• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Prevalensi Angular Cheilitis Pada Anak Panti Asuhan SOS Childrens Village Dan Panti Asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Prevalensi Angular Cheilitis Pada Anak Panti Asuhan SOS Childrens Village Dan Panti Asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PREVALENSI

ANGULAR CHEILITIS DI PANTI ASUHAN SOS

CHILDRENS VILLAGE DAN PANTI ASUHAN

AL-JAMIATUL WASLIYAH MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi

syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

INDAH PRATIWI NIM: 080600161

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen IKGP/KGM Tahun 2014

Indah Pratiwi

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan xi + 32 halaman

Gizi adalah segala asupan makanan yang diperlukan agar tubuh menjadi sehat terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang seimbang. Rongga mulut merupakan salah satu bagian terkecil dari seluruh tubuh manusia, namun demikian rongga mulut dapat menggambarkan keadaan gizi seseorang. Salah satu contoh kelainan di rongga mulut yang sering dialami pada masa anak-anak yang erat hubungannya dengan status gizi selama masa pertumbuhan ialah angular cheilitis. Angular cheilitis adalah suatu keadaan inflamasi yang akut atau kronik dari kulit yang berdekatan dengan membran mukosa labial dari sudut mulut.

Jenis penelitian adalah survei analitik dengan desain cross sectional. Populasi adalah anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan berjumlah 262 anak. Sampel dihitung menggunakan rumus jumlah sampel dengan populasi diketahui sehingga didapat jumlah sampel 174 orang dengan kriteria inklusi anak umur 6-12 tahun. Pengambilan data diperoleh dengan pemeriksaan angular cheilitis pada sudut bibir. Untuk melihat hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan angular cheilitis digunakan uji chi-square. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan prevalensi angular cheilitis pada anak-anak di panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan.

(3)

Al-Jamiatul Wasliyah Medan berstatus gizi dibawah normal. Ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan prevalensi angular cheilitis (p= 0,002). Semakin rendah indeks massa tubuh anak semakin tinggi persentase angular cheilitis.

Kesimpulan, ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS childrens village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan.

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 24 Februari 2014

Pembimbing : Tanda Tangan

1. Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.Kes ...……… NIP : 198110516 200501 2 003

2. Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes ...

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 24 Februari 2014

TIM PENGUJI

KETUA : Prof. Lina Natamiharja, drg., SKM

ANGGOTA : 1. Simson Damanik, drg., M.Kes

2. Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.Kes 3. Gema Nazri Yanti, drg,. M.Kes

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini telah selesai disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Pada penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak. Terutama sekali penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs. Syahril Hasballah SH. MM dan Ibunda Yuslinda atas kasih sayang, doa, dan dukungan serta bantuannya yang begitu besar sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara penulis yang tersayang yaitu Abangnda Hendri Soenandar Sstp., M.si, dr. Hady Maulanza, Indra Kesuma SS, Aulia Syahputra Sstp., M.sp yang telah mendukung dan memotivasi penulis. Selain itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Nazaruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan

2. Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D., selaku Ketua departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, atas saran, dukungan dan petunjuk yang diberikan kepada penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.Kes dan Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan motivasi selama masa penyelesaian skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

(7)

5. Seluruh staf pengajar di Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan bimbingan.

6. Nevi Yanti, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani program akademik.

7. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi USU yang telah membimbing penulis selama menjalani pendidikan.

8. Sahabat-sahabat penulis Melisa, Kiky, Maryati, Ratna, Lina, Rizki, Rani dan seluruh teman-teman angkatan 2008 lainnya yang telah memberikan bantuan, doa, dan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Penulis juga mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 24 Februari 2014

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

2.2.1.4 Defisiensi Cyanocobalamin (vitamin B12) ... 9

2.2.1.5 Defisiensi Asam Folat ... 9

2.3 Patogenesis Angular Cheilitis ... 12

2.4 Gambaran Klinis Angular Cheilitis ... 13

2.5 Status Gizi ... 14

2.6 Kerangka Konsep ... 18

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 19

(9)

3.3 Populasi dan Sampel ... 19

3.4 Variabel dan Defenisi Operasional ... 20

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 21

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 21

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 22

BAB 5 PEMBAHASAN ... 27

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 30

6.2 Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi IMT/U menurut Kemenkes RI 2010 untuk anak usia 5-18

tahun ... 15

2. Gambaran responden di panti asuhan SOS Childrens Village Medan dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah berdasarkan usia dan jenis

kelamin ... 20

3. Persentase kategori IMT anak panti asuhan SOS Childrens Village dan

panti asuhan Al-Jamiatul wasliyah... 21

4. Karakteristik angular cheilitis anak panti asuhan SOS Childrens

Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan ... 22 5. Persentase distribusi pola makan pada responden yang

mengalami angular cheilitis dan yang tidak mengalami angular

cheilitis ... 23 6. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan angular cheilitis anak panti

asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kuesioner

2. Output hasil analisis

3. Standar Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) anak laki-laki umur 6 – 12 tahun

(12)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen IKGP/KGM Tahun 2014

Indah Pratiwi

Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan xi + 32 halaman

Gizi adalah segala asupan makanan yang diperlukan agar tubuh menjadi sehat terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang seimbang. Rongga mulut merupakan salah satu bagian terkecil dari seluruh tubuh manusia, namun demikian rongga mulut dapat menggambarkan keadaan gizi seseorang. Salah satu contoh kelainan di rongga mulut yang sering dialami pada masa anak-anak yang erat hubungannya dengan status gizi selama masa pertumbuhan ialah angular cheilitis. Angular cheilitis adalah suatu keadaan inflamasi yang akut atau kronik dari kulit yang berdekatan dengan membran mukosa labial dari sudut mulut.

Jenis penelitian adalah survei analitik dengan desain cross sectional. Populasi adalah anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan berjumlah 262 anak. Sampel dihitung menggunakan rumus jumlah sampel dengan populasi diketahui sehingga didapat jumlah sampel 174 orang dengan kriteria inklusi anak umur 6-12 tahun. Pengambilan data diperoleh dengan pemeriksaan angular cheilitis pada sudut bibir. Untuk melihat hubungan antara Indeks Massa Tubuh dengan angular cheilitis digunakan uji chi-square. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan prevalensi angular cheilitis pada anak-anak di panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan.

(13)

Al-Jamiatul Wasliyah Medan berstatus gizi dibawah normal. Ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan prevalensi angular cheilitis (p= 0,002). Semakin rendah indeks massa tubuh anak semakin tinggi persentase angular cheilitis.

Kesimpulan, ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS childrens village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan.

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Masa depan bangsa bergantung pada kualitas hidup anak. Status nutrisi merupakan kondisi kesehatan individu yang dipengaruhi konsumsi diet. Kebutuhan nutrisi beragam untuk setiap individu. Kebutuhan nutrisi seseorang berubah sepanjang hidup, bergantung pada genetik, laju pertumbuhan, aktivitas dan banyak faktor lain. Diet inadekuat telah dianggap sebagai faktor penyebab utama terhadap penyakit defisiensi. Malnutrisi merupakan gangguan kesehatan yang berasal dari defisiensi kalori dan/atau nutrisi esensial lain.1 Usia sekolah adalah periode pertumbuhan dan perkembangan yang dinamis dimana terjadi perubahan fisik,

mental, emosi, dan sosial pada anak.2

Status pertumbuhan dan nutrisi anak pada masa pra sekolah dan masa sekolah dipengaruhi diet yang mereka konsumsi.2 Pertahanan tubuh yang lemah memudahkan infeksi jamur dan bakteri yang memicu terjadinya lesi oral seperti angular cheilitis.1 Oleh karena itu, anak sekolah pada masa kondisi pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan promosi kesehatan, penilaian kesehatan dan perbaikan kesehatan yang layak. Untuk mengatasi masalah kesehatan dan memulai program untuk meningkatkan status kesehatan, diperlukan informasi yang tepat mengenai penyakit yang ditimbulkan akibat defisiensi diantara anak sekolah sehingga tindakan pencegahan dapat diambil. Insiden penyakit ini beragam dari satu tempat ke tempat lain bergantung pada pola makan setempat dan faktor sosial.2

(15)

yang didapat melalui pola makan yang sehat akan berpengaruh positif terhadap kesehatan serta tumbuh kembang anak.2

Angular cheilitis merupakan lesi yang ditandai dengan keretakan atau fisur pada kedua sudut mulut.3,4 Angular cheilitis dapat terjadi dengan berbagai pola etiologi yang berhubungan erat dengan kondisi kesehatan dan kondisi lingkungan. Secara garis besar faktor-faktor etiologi angular cheilitis yaitu defisiensi nutrisi, defisiensi imun, infeksi bakteri dan jamur serta trauma mekanis.4,5 Angular cheilitis yang sering terjadi pada anak biasanya disebabkan oleh defisiensi nutrisi seperti riboflavin, folat, zat besi dan protein.4 Angular cheilitis yang sering terjadi pada anak biasanya disebabkan oleh defisiensi nutrisi seperti riboflavin, folat, zat besi dan protein yang banyak diperoleh dari daging (khususnya jeroan), ikan lemak, kacang-kacangan, sayuran hijau dan susu.4,13

Penelitian Lubis pada anak-anak panti asuhan di kota Medan, Indonesia, menunjukkan bahwa sebesar 47% anak-anak menderita angular cheilitis disebabkan defisiensi nutrisi. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi (kekurangan energy protein) yang diukur berdasarkan berat badan dan

umur dengan angular cheilitis (p<0,05) dengan menggunakan indeks berat badan/ umur. Pada penelitian ini diperoleh ada ratio status gizi dengan angular cheilitis 1,96, +berarti anak dengan status gizi KEP kemungkinan relatif menderita angular ceilitis 1,96 kali lebih besar dari pada anak yang mempunyai status gizi baik.7

(16)

India mengenai prevalensi penyakit akut, salah satunya angular cheilitis, menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok sosial ekonomi rendah dengan kelompok sosial ekonomi tinggi.15

Penelitian Crivelli menunjukkan prevalensi lesi oral pada siswa sekolah dasar umur 4 – 13 tahun di Argentina berdasarkan tingkatan ekonomi, dilaporkan bahwa 1,1% siswa sekolah dasar dengan tingkat ekonomi tinggi menderita angular cheilitis, sedangkan 6,5% pada siswa sekolah dasar dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah.6 Penelitian Park menyatakan anemia telah dihubungkan dengan angular cheilitis sebanyak 11,3% sampai 31,8% dari keseluruhan pasien.14

Status ekonomi dan tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku hidup sehat pada seseorang.8 Penghasilan mempunyai pengaruh langsung pada perawatan medis, jika pendapatan meningkat biaya untuk perawatan kesehatan pun ikut meningkat.9 Orang dengan status ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah cenderung mengabaikan perilaku hidup sehat. Anak-anak dari kelompok ekonomi rendah cenderung berada pada risiko menderita penyakit akut seperti angular cheilitis. Angular cheilitis lebih jarang dijumpai pada kelompok sosial ekonomi tinggi dan

sebaliknya. Hal ini dikaitkan dengan lebih besarnya minat hidup sehat pada kelompok sosial ekonomi tinggi.10

(17)

Kurangnya informasi mengenai status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh(Tinggi Badan/ Berat Badan) dibandingkan dengan umur (z-skor) serta hubungannya dengan prevalensi angular cheilitis di kota Medan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara status gizi dengan prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS Childrens Village yang berlokasi di jalan Seroja Raya No. 150 Medan dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah yang berlokasi di jalan Islamiah, Medan.

1.2Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut “apakah ada hubungan status gizi dengan prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan”.

1.3Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :

a.Mengetahui status gizi anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan

b.Mengetahui prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan

c.Mengetahui rekurensi, frekuensi dan lama penyembuhan penderita angular cheilitis

d.Mengetahui jenis makanan yang dikonsumsi anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Medan

(18)

1.4Hipotesis Penelitian

Ada hubungan status gizi dengan prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan :

a.Sebagai masukan bagi Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/ Kesehatan Gigi Masyarakat FKG-USU untuk menambah referensi penelitian

b.Memberi informasi kepada tenaga kesehatan untuk melakukan penyuluhan mengenai pentingnya nutrisi bagi kesehatan anak melalui promosi kesehatan, penilaian kesehatan dan perbaikan kesehatan.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Angular Cheilitis

Angular cheilitis disebut juga angular cheilosis, commissural cheilitis, angular stomatitis atau perleche merupakan inflamasi akut atau kronis pada sudut mulut.11 Pada awalnya, sudut mulut menunjukkan penebalan putih keabu-abuan dengan pinggir eritema. Angular cheilitis akut dapat berubah menjadi eritema yang lebih parah dengan cepat diikuti maserasi, ulserasi dan pembentukan krusta. Pada angular cheilitis kronis biasanya terbentuk jaringan granulasi dan kulit yang berdekatan menunjukkan dermatitis yang parah. Penderita angular cheilitis biasanya mengeluhkan rasa sakit, terbakar dan pruritus.12

2.2 Etiologi Angular Cheilitis

Etiologi angular cheilitis dapat berupa defisiensi nutrisi, defisiensi imun, infeksi bakteri dan jamur serta trauma mekanis. Setiap faktor etiologi terutama defisensi nutrisi berkorelasi dengan kondisi lingkungan.2,3 Pada anak sekolah, yang paling berpengaruh dalam menimbulkan angular cheilitis adalah pola makan anak di dalam lingkungan keluarga dan sekolah.3

2.2.1 Defesiensi Nutrisi

Makanan yang mengandung gizi yang seimbang adalah makanan yang mengandung prinsip empat sehat dan lima sempurna. Orang tua mempunyai peranan besar dalam mengatur pola makan anak. Mereka harus memastikan bahwa anak-anak mereka mendapat gizi yang cukup dari makanan yang dikonsumsinya. Orang tua harus menanamkan kepada anak tentang betapa pentingnya pola makan yang sehat

(20)

Defisiensi nutrisi atau malnutrisi disebabkan oleh faktor primer dan atau sekunder. Faktor primer disebabkan bila susunan makanan seseorang salah dalam kualitas dan/ kuantitas yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, pengetahuan akan nutrisi yang kurang, kebiasaan makan yang salah dan sebagainya.13

Faktor sekunder meliputi faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi. Penyebab terjadinya defisiensi nutrisi sekunder bukan dari faktor ekonomi, misalnya faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya pencernaan, seperti gigi-geligi yang tidak baik, kelainan struktur saluran cerna dan kekurangan enzim. Faktor sekunder juga dapat berupa kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji atau makanan siap saji. Dari segi finansial, makanan makanan siap saji dianggap memiliki prestise tinggi, namun makanan makanan siap saji sangat rendah nutrisi dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan anak.13 Angular cheilitis dapat disebabkan oleh karena beragam defisiensi nutrisi. Defisiensi zat besi dan vitamin B merupakan penyebab terjadinya angular cheilitis.

2.2.1.1 Defisiensi Zat Besi

Zat besi sangat penting untuk mengangkut oksigen dan respirasi intraseluler,

yang melekat dibeberapa enzim. Kebanyakan zat besi hadir dalam hemoglobin, beberapa

disimpan dalam makrofag dalam hati dan limpa sebagai feritin dan haemosiderin. Zat

besi diangkut sebagai transferin. Defisiensi dapat timbul dari penyebab makanan atau

serapan, tetapi biasanya merupakan konsekuensi dari kehilangan darah yang kronis.

Kekurangan zat besi berpengaruh cepat, dan membagi sel- sel seperti sumsum tulang dan

mukosa oral.12,20Defisiensi zat besi merupakan kekurangan zat gizi yang biasa terjadi di

negara berkembang dan industri. Apabila tubuh mengalami kekurangan zat besi, dapat

menyebabkan anemia. Anemia defisiensi zat besi adalah keadaan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam darah sampai kadar dibawah 11 g/dl Defisiensi zat besi umumnya

terjadi pada usia 6 -12 bulan atau 1-2 tahun, yaitu 70% kebutuhan zat besi pada usia 6 -

(21)

jaringan yang cepat. Pada tahun pertama kehidupan, kebutuhan sseorang bayi untuk mengabsorbsi zat besi sama besarnya dengan kebutuhan seorang laki- laki dewasa, yang

mana hal ini sulit untuk dipenuhi.14 Defisiensi zat besi kronis dapat menyebabkan

koilonychias, glossitis dan cheilosis dengan pembentukkan fisur. Defisiensi zat besi dapat menurunkan imunitas yang dimediasi sel sehingga merangsang perumbuhan Candidiasis mucocutaneous.15 Bahan makanan yang mengandung zat besi adalah kuning telur, jantung, hati, ginjal, kerang, asparagus dan kacang.13

2.2.1.2 Defisiensi Riboflavin (vitamin B2)

Defisiensi riboflavin (vitamin B2) sering diikuti dengan defisiensi vitamin B kompleks dikarenakan peranan dalam metabolisme vitamin B6 dan tryptophan, yang kemudian akan diubah menjadi niacin (vitamin B1). Anak- anak dan wanita hamil

membutuhkan tambahan riboflavin karena vitamin ini penting untuk pertumbuhan.

Berfungsi sebagai pembentukan dua koenzim, flavin adenine dinukleotida dan flavin

mononukleotida, terlibat dalam metabolisme oksidatif.14 Secara umum, defisiensi riboflavin akan menyebabkan membran mukosa menjadi kemerahan, angular cheilitis dan glossitis yang berwarna magenta.15 Bahan makanan yang mengandung vitamin B2 adalah susu, keju, daging dan sayuran berwarna hijau.13

2.2.1.3 Defisiensi Pyridoxine (vitamin B6)

Koenzim vitamin B6 berperan penting dalam metabolisme asam amino, sehingga

konsumsi sehari- hari harus sebanding dengan konsumsi protein karena protein dibuat

dari asam amino Defisiensi pyridoxine (vitamin B6) menyebabkan cheilosis, glossitis,

(22)

2.2.1.4 Defisiensi Cyanocobalamin (vitamin B12)

Penurunan tingkat vitamin B12 (cyanocobalamin) membuat pasien rentan terhadap perkembangan angular cheilitis. Hal ini biasanya dikaitkan dengan malnutrisi, kecanduan alkohol dan anemia. Penyebab lain mencakup reseksi ileum terminal atau penyakit (biasanya penyakit Crohn), keadaan postgastrectomy, pancreatitis kronis, diet vegetarian yang ketat, dan infeksi dengan Diphyllobothrium latum. Tingkat vitamin B12 berubah oleh cholestyramine, colestipol, asam p-aminosalicylic dan kalium klorida.15 Kekurangan vitamin B 12 dapat menyebabkan kekurangan darah (anemia), yang sebenarnya disebabkan oleh kekurangan folat. Tanpa

vitamin B12, folat tidak dapat berperan dalam pembentukan sel- sel darah merah. Gejala

kekurangan lainnya adalah sel- sel darah merah menjadi belum matang (immature) yang

menunjukkan sintesis DNA yang lambat. Kekurangan vitamin B12 dapat juga

mempengaruhi sistem syaraf, berperan pada regenerasi syaraf peripheral, mendorong

kelumpuhan. Selain itu juga dapat menyebabkan hipersensitif pada kulit. Bahan

makanan yang mengandung vitamin B12 adalah hati, ginjal, jantung, daging, ikan, unggas, kerang, telur dan susu dan hasil olahannya.13

2.2.1.5 Defisiensi Asam Folat

Defisiensi folat sering muncul dengan vitamin B12 dan dikarakteristikkan dengan stomatitis, glossitis, dan anemia megaloblastik. Suplemen folat terdiri dari methotrexate, phenytoin, phenobarbital, primidone, kontrasepsi oral, dan triamterene. Pecandu alkohol kronis, penyakit usus, penyakit pankreas, malnutrisi dan sindrom malasorpsi lain dapat memproduksi defisiensi multi-nutrisi yang mengarah pada defisiensi folat, vitamin B12 dan zat besi sehingga menyebabkan angular cheilitis.15 Bahan makanan yang mengandung asam folat adalah hati, ginjal, sayuran hijau, gandum dan kacang.13

2.2.1.6 Defisiensi Niacin (vitamin B6)

Fungsi vitamin B6 adalah untuk membentuk Dua Koenzim yang dibantu oleh

(23)

metabolisme glukosa, lemak dan alkohol. Niasin memiliki keunikan diantara vitamin B

karena tubuh dapat membentuknya dari asam amino tryptophan. Niasin membantu

kesehatan kulit, sistem saraf dan sistem pencernaan.14 Defisiensi niacin (vitamin B3)

dapat menyebabkan 3D (dermatitis, diare dan demensia) sehingga menghasilkan glossitis atau cheilitis dan telah diketahui lebih sering menyebabkan angular cheilitis daripada defisiensi riboflavin.15 Bahan makanan yang mengandung vitamin B3 adalah daging ayam, ikan, hati, ginjal dan kacang tanah.13

2.2.1.7 Defisiensi Zinc

Defisiensi mineral dapat menyebabkan angular cheilitis. Kekurangan mineral esensial zinc dikarakteristikkan dengan diare, alopecia, dan dermatitis yang bermanifestasi sebagai eczematous dan perubahan erosif disekeliling mulut. Angular cheilitis, glossitis dan postural paronychia juga dapat terlihat. Pada kenyataannya, angular cheilitis merupakan tanda awal dari acrodermatitis enteropathica dan terjadi kembali pada penderita. Angular cheilitis dapat disebabkan defisiensi gen resesif autosomal yang dikenal sebagai acrodermatitis enteropathica. Hal ini dapat terlihat dengan hubungannya terhadap cystic fibrosis, masa awal penggunaan ASI oleh bayi, diet tinggi sereal dan 3% dari peminum alkohol berat.15 Bahan makanan yang mengandung zinc adalah telur, susu, daging sapi, daging kambing dan biji semangka.13

2.2.2 Defisiensi Imun

Kerusakan sel imun dikaitkan dengan AIDS dapat menyebabkan pasien pada berbagai resiko infeksi oportunistik. Salah satunya adalah infeksi oral candidiasis. Infeksi tersebut disebabkan Candida albicans terdapat di rongga mulut dalam keadaan non-patogen namun dalam kondisi tertentu dapat berubah menjadi patogen.16

(24)

gingiva dan palatum keras. Penyakit mukosa mulut dapat berupa bagian dari penyakit sistemik umum, bagian dari penyakit kulit atau hanya berada pada rongga mulut.17

HIV dan AIDS tidak hanya mempengaruhi sistem tubuh namun juga melibatkan rongga mulut. Keterlibatan rongga mulut merupakan kelanjutan penyakit dimana sel CD4 menurun dan ketika berjumlah kurang dari 250, sejumlah infeksi oportunistik termasuk infeksi Candida dapat terjadi. Pasien yang menunjukkan angular cheilitis memiliki jumlah CD4 berjumlah 147,33 yang menunjukkan penurunan sistem imun tubuh individu.17

2.2.3 Infeksi Bakteri dan Jamur

Pada kulit yang mengalami angular cheilitis biasanya ditemukan Candida albicans, Stafilokokus aureus dan streptokokus β-hemolitik yang berlebihan. Infeksi Candida dan oral hygiene yang buruk menyebabkan 10% kasus angular cheilitis. Candida albicans dapat dikultur dari 93% lesi angular cheilitis yang masih aktif, namun dapat juga dikultur dari 35%-37% pasien yang tidak memiliki gejala.12 Kenyataannya, individu yang sehat memiliki Candida albicans sebagai flora normal di mulut dalam jumlah terbatas. Jika ditemukan pseudohifa dan peragian maka Candida tersebut bersifat patogen. Infeksi Candida albicans dapat mempunyai 4 bentuk yaitu pseudomembranous candidiasis, hyperplastic candidiasis, erythematous candidiasis dan angular cheilitis. Angular cheilitis ditandai dengan keretakan, pengelupasan atau ulserasi yang melibatkan sudut mulut dan sering muncul dengan kombinasi berbagai bentuk infeksi Candida albicans.16 Stafilokokus aureus biasanya dikaitkan dengan angular cheilitis, dengan rasio isolasi 63%; strain S. aureus yang sensitif terhadap methicilin paling banyak ditemukan. Streptokokus β-hemolitik juga dapat dikultur.15

(25)

sedangkan pada anak-anak kebiasaan menjilat bibir dikarenakan bibir kering dapat menyebabkan angular cheilitis.18

2.2.4 Trauma Mekanis

Kontak yang lebih dengan iritan biasanya menyebabkan perubahan anatomis yang menghasilkan lipatan kulit yang lebih dalam pada sudut mulut. Faktor yang mengurangi dimensi vertikal atau dukungan wajah antara mandibula dan maksila menyebabkan penutupan yang berlebihan. Kehilangan dimensi vertikal dapat juga dikaitkan dengan edentulous, migrasi gigi, dan keberadaan piranti ortodonti, kerusakan jaringan elastik oleh paparan sinar ultraviolet yang lama dan pemakaian tembakau. Secara klinis, angular cheilitis dikarenakan iritan cenderung jangka panjang, bilateral dan dapat berulang.15

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa angular cheilitis dapat muncul lebih sering pada pasien dengan denture stomatitis. Infeksi dapat dimulai dari bawah gigi tiruan maksila dan menyebar ke sudut mulut. alasan keberadaan angular cheilitis pada pemakai gigi tiruan dapat disebabkan secara langsung dan tidak langsung.

Penyebab langsung dapat berupa penutupan yang berlebihan, penurunan dimensi vertikal, dukungan bibir yang lemah dan denture stomatitis mempredisposisi infeksi pada sudut mulut. Penyebab tidak langsung dapat berupa defisiensi nutrisi.15

2.3 Patogenesis Angular Cheilitis

(26)

2.4 Gambaran Klinis Angular Cheilitis

Secara umum angular cheilitis mempunyai simtom utama bibir kering, rasa tidak nyaman, adanya sisik-sisik dan pembentukan fisur (celah) yang diikuti dengan rasa terbakar pada sudut mulut. Yang paling sering sebagai daerah eritema dan udema yang berbentuk segitiga pada kedua komisura atau dapat berupa atropi, eritema, ulser, krusta dan pelepasan kulit sampai terjadi eksudasi yang berulang. Reaksi jangka panjang, terjadi supurasi dan jaringan granulasi.3,19

Pada angular cheilitis yang berhubungan dengan defisiensi nutrisi, lesi terjadi bilateral dan meluas beberapa milimeter dari sudut mulut pada mukosa pipi dan ke lateral pada kulit sirkumoral 1 – 10 mm. Lesi angular cheilitis bersifat lembab disertai fisur yang tajam dan vertikal dari tepi vermillion bibir dan area kulit yang berdekatan. Secara klinis, epitel pada komisura terlihat mengerut dan sedikit luka. Pada waktu mengerut, menjadi lebih jelas terlihat, membentuk satu atau beberapa fisur yang dalam, berulserasi tetapi tidak cenderung berdarah. Walaupun dapat terbentuk krusta yang bernanah pada permukaan, fisur ini tidak melibatkan permukaan mukosa pada komisura di dalam mulut, tetapi berhenti pada mukokutan

junction.19

Gambar 1. Gambaran Klinis Angular Cheilitis15

2.5 Status Gizi

(27)

dan mengatur proses tubuh.13 Ada berbagai cara yang dilakukan untuk menilai status gizi, salah satunya adalah pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan istilah “antropometri”. Antropometri nutrisi didefinisikan oleh Jelliffe 1966 sebagai pengukuran pada variasi dimensi fisik dan komposisi besaran tubuh manusia pada tingkat usia dan derajat nutrisi yang berbeda. Tujuan yang hendak dicapai dalam pemeriksaan antropometris adalah besaran komposisi tubuh yang dapat dijadikan isyarat dini perubahan status gizi. Beberapa macam antropometri yang telah digunakan antara lain: Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB)/ Panjang Badan (PB), Lingkar Lengan Atas (LLA), Lingkar Kepala (LK), Lingkar Dada (LD) dan Lapisan Lemak Bawah Kulit (LLBK).22

Ukuran tubuh anak-anak terutama sensitif akan kekurangan masukan protein dan energi seperti yang terjadi pada Kekurangan Energi Protein (KEP). Oleh karena itu, ukuran tubuh, paling sering digunakan untuk mengukur status gizi dengan indeks antropometri, yaitu hubungan antara tinggi badan, berat badan, dan umur anak.14 Secara internasional, indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Body Mass Index (BMI). Di Indonesia BMI diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT)

yang digunakan untuk mengukur berat badan normal. Pengukuran IMT dapat dilakukan pada anak-anak, remaja maupun orang dewasa. IMT adalah perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Cara pengukurannya adalah dengan mengukur berat badan dan tinggi badannya. Selanjutnya dihitung IMT-nya, yaitu :14

(28)

populasi.23 Z-skor paling sering digunakan. Secara teoritis, Z-skor dapat dihitung dengan cara berikut apabila nilai IMT yang diukur lebih besar dari median nilai IMT dari referensi Kemenkes RI 2010:23

Apabila nilai IMT yang diukur lebih kecil dari median nilai IMT dari referensi Kemenkes RI 2010 maka rumus Z-Skor yang dipakai adalah:

(29)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah survei analitik dengan menggunakan desain cross sectional untuk mengukur faktor risiko yaitu status gizi dan faktor efek yaitu angular cheilitis pada waktu yang bersamaan..

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian

Tempat penelitian adalah panti asuhan SOS Childrens Village yang berlokasi di jalan Seroja Raya No. 150, Medan dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah yang berlokasi di jalan Islamiah, Medan. Waktu Penelitian ± empat bulan.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi adalah anak panti asuhan SOS Childrens Village berumur 6 – 12 tahun yang berjumlah 112 orang dan anak panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah berumur 6-12 tahun yang berjumlah 150 orang sehingga jumlah seluruh populasi penelitian ini sebanyak 262 orang.

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus perhitungan sebagai berikut :

= 1,962 0,47 (1-0,47) 262 0,052 (262-1) + 1,962 0,47 (1-0,47)

= 156 orang Keterangan :

P merupakan nilai perkiraan proporsi populasi kasus angular cheilitis (P) = 47% Populasi (N) = 262 orang

Convidence level = 95% Absolut precision (d) = 5%

(30)

Berdasarkan perhitungan diatas diperoleh besar sampel 156 orang, dengan kriteria inklusi anak umur 6-12 tahun.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a.Angular cheilitis yaitu lesi inflamasi berwarna merah pada komisura bibir, dapat terjadi pada satu sisi (unilateral) maupun kedua sisinya (bilateral) berupa retakan, robekan atau fisur yang dalam dan terasa sakit, meliputi:

a) Rekurensi yaitu berulang atau tidak berulang b) Frekuensi yaitu >1x/minggu dan 1x/bulan

c) Lama menderita yaitu <3 hari, 3-7 hari, >1 minggu

b.Status gizi yaitu pengukuran keadaan tubuh responden berdasarkan

berat badan dan tinggi badan dengan menggunakan rumus

kemudian untuk menentukan anak dan remaja usia 5-19 tahun nilai IMT dibandingkan dengan referensi WHO/NCHS 2007 dengan rumus

apabila nilai IMT yang diukur lebih besar dari median nilai IMT dari referensi Kemenkes RI 2010 dan rumus

apabila nilai IMT yang diukur lebih kecil dari median nilai IMT dari referensi Kemenkes RI 2010, klasifikasi status giziterdiri dari :

(31)

c.Konsumsi makanan yaitu kebiasaan responden mengkonsumsi makanan sehat (empat sehat lima sempurna) yang terdiri dari:

1) Karbohidrat : Beras, gandum, kentang

2) Protein : Lauk pauk hewani dan nabati (Daging, ikan, kacang-kacangan)

3) Sayuran dan buah-buahan : Sayuran (Bayam, Kangkung, sawi) dan buah-buahan (Pisang, alpukat. semangka)

4) Susu : Susu kental manis, susu bubuk, yogurt 5) Vitamin : Suplemen vitamin B kompleks

3.5 Metode Pengumpulan Data

a.Peneliti memanggil anak satu per satu untuk dilakukan wawancara

b.Setiap anak diperiksa berat badan dan tinggi badannya untuk mengukur Indeks Massa Tubuh anak

c.Peneliti melakukan pemeriksaan sudut mulut pada seluruh anak. Apabila siswa menderita angular cheilitis maka diberi tanda pada kuesioner.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data diolah dan dihitung dengan menggunakan program komputer dengan menghitung persentase. Uji chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antara status gizi dengan prevalensi angular cheilitis pada anak panti asuhan SOS Childrens Village dan Al-Jamiatul Wasliyah Medan.

(32)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian menunjukkan jumlah responden terbanyak pada usia 6-8 tahun yaitu 48,3%. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak 89,7% dari pada perempuan 10,3%. (Tabel 2)

Tabel 2. Gambaran responden di panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan berdasarkan usia dan jenis kelamin (n=174)

(33)

Tabel 3. Persentase kategori IMT anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul wasliyah Medan

Kategori IMT

Laki-laki Perempuan Jumlah

AC

Non-AC

AC

Non-AC

n % n % n % n % n %

Sangat Kurus

7 1 0 0 2 1 0 0 9 100

Kurus 2 7 6 2 3 6 2 4 3 100

Normal 2 2 8 7 3 2 8 7 1 100

Gemuk 0 0 1 1 0 0 0 1 1 100

Obesitas 0 0 1 1 0 0 0 0 1 100

Jumlah 5 4 1 6 1 3 1 6 1 100

(34)

cheilitis yang berulang. Dari 27 anak yang mengalami angular cheilitis yang berulang ditemukan 88,9% anak mengalami angular cheilitis yang berulang >1x/minggu, dan 11,1% anak mengalami angular cheilitis yang berulang 1x/bulan. Dari 65 anak yang mengalami angular cheilitis ditemukan 40% anak mengalami penyembuhan <3 hari, 20% anak mengalami penyembuhan 3-7 hari, 40% anak mengalami penyembuhan >1 minggu. (Tabel 4)

Tabel 4. Karakteristik angular cheilitis anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan

Gambaran Angular

(35)

lauk pauk nabati setiap hari, 18,4% anak yang menderita angular cheilitis tidak pernah mengkonsumsi sayuran hijau sedangkan 38,5% anak yang tidak menderita angular cheilitis mengkonsumsi sayuran hijau setiap hari, 32,7% anak yang menderita angular cheilitis dan 52,9% anak yang tidak menderita angular cheilitis kadang-kadang mengkonsumsi susu. (Tabel 5)

Tabel 5. Persentase distribusi pola makan pada responden yang mengalami angular cheilitis dan yang tidak mengalami angular cheilitis

Jenis Makanan Setiap Hari Kadang-kadang

(36)

cheilitis. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan angular cheilitis (p=0,002) (Tabel 6)

Tabel 6. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan angular cheilitis anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan Kategori

IMT

Status angular cheilitis Hasil Uji Statistik

Ada Tidak Ada

n % n %

Sangat Kurus

9 100 0 0

p=0,002

Kurus 25 75,8 8 24,2

Normal 31 26,3 87 73,7

Gemuk 0 0 13 100

Obesitas 0 0 1 100

(37)

BAB 5

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan anak panti asuhan SOS Childrens Village Medan dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah yang mengalami angular cheilitis adalah sebanyak 37,4%. Persentase penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Lubis di enam panti asuhan Kotamadya Medan yang menunjukkan 47% anak panti asuhan mengalami angular cheilitis.7 Persentase ini juga lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Ilery pada anak-anak di lokasi pembuangan akhir Sumompo Kota Manado yang menyatakan sebanyak 84% angka kejadian angular cheilitis di TPA Sumompo.29 Hal ini mungkin disebabkan karena wilayah penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan wilayah penelitian yang

dilakukan oleh Lubis.

Hasil penelitian menunjukkan 67,8% anak mempunyai status gizi normal dan 19% anak mempunyai status gizi kurus, 5,2% anak mempunyai status gizi sangat kurus, 7,5% anak mempunyai status gizi gemuk dan 0,5% anak mempunyai status gizi obesitas, yang diukur menurut Indeks Massa Tubuh (tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa 24,2% anak panti asuhan tersebut masih kekurangan gizi. Hal ini didukung data WHO bahwa kira-kira 150 juta (26,7%) anak di negara yang sedang berkembang adalah kekurangan gizi.24 Di Asia Selatan dan Afrika Timur, setengah dari populasi anak kekurangan pertumbuhan karena kekurangan energi protein.25 Prevalensi kekurangan energi protein di Asia Selatan lima kali lebih besar dibandingkan dengan di negara barat. Dua pertiga anak-anak kekurangan gizi terdapat di Asia dan seperempat di Afrika. Di negara yang sedang berkembang kira-kira 50% dari 10 juta kematian setiap tahun adalah disebabkan kekurangan gizi.24 Kekurangan gizi ini dapat terjadi karena masukan protein dan energi yang kurang untuk kebutuhan terutama kebutuhan pertumbuhan anak tersebut. 25

(38)

berada lama atau baru masuk di panti asuhan tersebut. Biasanya Indeks Massa Tubuh yang rendah yang menunjukkan kekurangan berat badan terjadi dalam waktu yang dimulai sejak kecil.26 Kemungkinan anak dengan kekurangan gizi yang ada di panti asuhan ini sebelum masuk panti asuhan sudah kekurangan gizi sejak kecil.

Pada penelitian ini, dijumpai sebanyak 37,4% anak menderita angular cheilitis dan 62,6% anak tidak menderita angular cheilitis (tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa anak panti asuhan yang menderita angular cheilitis lebih dari seperempat populasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Lubis yang menyatakan 47% anak panti asuhan di Kotamadya Medan menderita angular cheilitis.7 Kenyataan bahwa angular cheilitis lebih banyak pada anak dengan gizi buruk dan terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi buruk yang diukur menurut Indeks Massa Tubuh dengan angular cheilitis. Sesuai dengan literatur, kekurangan gizi adalah salah satu faktor penyebab terjadinya angular cheilitis terutama pada anak-anak pada dekade pertama sampai dekade kedua kehidupan.27 Tingginya frekuensi anak dengan status gizi dibawah normal yang mengalami angular cheilitis yang mencapai 81% pada panti asuhan tersebut disebabkan karena angka kecukupan gizi (AKG) tidak

terpenuhi sebab rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari atau disebut dengan kekurangan energi protein (KEP).

(39)

akibat integritas kulit di sudut mulut yang menurun dapat menyebabkan mikroorganisme patogen didalam rongga mulut dan di kulit menginvasi dan mencegah penyembuhan lesi sehingga terjadi infeksi yang berulang.28

Sebanyak 40% anak yang mengalami lama penyembuhan angular cheilitis lebih dari 1 minggu disebabkan banyaknya anak yang tidak pernah mengkonsumsi lauk pauk hewani, lauk pauk nabati, sayuran hijau. Sebanyak 20% anak yang mengalami lama penyembuhan angular cheilitis 3 -7 hari disebabkan sebagian anak jarang mengkonsumsi lauk pauk hewani, lauk pauk nabati, sayuran hijau. Sebanyak 40% anak yang mengalami lama penyembuhan angular cheilitis kurang dari 3 hari disebabkan hampir setiap hari anak mengkonsumsi lauk pauk hewani, lauk pauk nabati, sayuran hijau. Lauk pauk hewani dan nabati serta sayuran hijau banyak mengandung vitamin B2 yang berperan penting dalam proses penyembuhan angular cheilitis.30 Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Republik Indonesia (AKG RI), konsumsi vitamin B2 pada usia 6-12 tahun yang dianjurkan adalah 1-2 mg setiap hari

yang dapat diperoleh dari makanan berupa daging (terutama jeroan), ikan lemak, kacang-kacangan dan sayuran hijau terutama sayuran hijau tua yang mengandung

konsentrasi riboflavin cukup tinggi.31 Selain faktor nutrisi, salah satu yang dapat mempengaruhi kecepatan penyembuhan angular cheilitis adalah lingkungan yang lembab. Kebiasaan menjilat bibir mengakibatkan lingkungan lembab pada daerah luka dan memicu keberadaan jamur seperti Candida albicans dan bakteri seperti Streptoccocus aureus yang dapat memperlambat penyembuhan angular cheilitis.31

(40)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Status gizi anak panti asuhan sebagian besar termasuk kategori normal 67,8% 2. Prevalensi angular cheilitis yang terjadi di panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan sebanyak 37,4%

3. Sebanyak 41,5% anak mengalami angular cheilitis berulang, 18,5% berulang 1x/minggu dan 40% mengalami lama penyembuhan lebih dari 1 minggu

4. Anak penderita angular cheilitis lebih banyak mengonsumsi lauk pauk hewani dan nabati 18,4% sedangkan yang tidak mengalami angular cheilitis lebih banyak mengonsumsi sayuran hijau (38,5%)

5. Terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi seorang anak dengan prevalensi angular cheilitis (p=0,002)

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka disarankan:

1. Bagi pemerintah, khususnya dinas kesehatan kota Medan agar lebih memperhatikan dan dapat membuat suatu program peningkatan kesehatan masyarakat, khususnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mult melalui tindakan-tindakan preventif dan promotif di panti-panti asuhan di kota Medan

2. Bagi panti asuhan, diharapkan memberi makanan yang mengandung zat besi, asam folat, protein dan vitamin B dalam menu empat sehat lima sempurna seperti daging (khususnya jeroan), ikan lemak, kacang-kacangan, sayuran hijau dan susu agar dapat mencegah terjadinya angular cheilitis

(41)
(42)

DAFTAR PUSTAKA

1. Monika M, Santosh A, Veenu N. Nutritional Health Status of Primary School Children: A study in Bareilly District. Indian Educational Review 2011; 48(1): 18-28 2. Chadna S, Sehgal S. Prevalence of Deficiency Diseases among School Children.

Health and Population-Perspectives and Issues 1994; 17(1&2): 108-13

3. Devani, Barankin D. Answer: Can you identify this condition?. Can Fam Physician 2007; 53: 1022-23

4. Parlak AH dkk. Prevalence of Oral Lesion in 13- to 16-Year-Old Student in Duzce, Turkey. Blackwell Munksgaard 2006; 12: 553-8

5. Scully S. Oral and Maxillofacial Medicine. 2nd Ed. Toronto: Churchill Livingstone Elsevier, 2008:147-9

6. Crivelli MR dkk. Influence of socioeconomic status on oral mucosa lesion prevalence in schoolchildren. Community Dent Oral Epidemiol 1988; 16: 58-60

7. Lubis S. Hubungan status gizi dengan terjadinya keilitis angularis pada anak umur 6-12 tahun di enam panti asuhan di kota madya Medan. Dentika Dent J. 2006; 11(2): 117-21

8. Mulder BC, Marijn DB, Hanneke S, Erik A, Cees M. Stressors and resources mediate the association of socioeconomic position with health behavior. BMC Public Helath 2011; 11:798

9. Bloom DE, Canning D, Sevilla J. The Effect of Health on Economic Growth: A Production Function Approach. World Development 2004; 32(1): 1-13

10.Sharma B, Mitra M, Chakrabarty S, Bharati P. Nutritional Status of Preschool Children of Raj Gond – a Tribal Population in Madhya Pradesh, India. Mal J Nutr 2006; 12(2): 147-55

11.Zaidan TF. Angular cheilitis and iron deficiency anemia. Department of Oral Diagnosis 2008; 5(1): 37-41

12.Park KK, Brodell RT, Stephen E, Helms. Angular cheilitis, part 1: local etiologies. Department of Dermatology 2011; 87: 289-95

(43)

14.Park KK, Brodell RT, Stephen E, Helms. Angular cheilitis, part 2: nutritional, systemic, and drug-related causes and treatment. San Francisco: Department of Dermatology 2011; 87: 27-30

15.Kumar GS, Neeraj K, Neeraj G, Atul V. A study to assess the health status of under five years children in the tsunami affected area of rural tamil nadu. National Journal of Medical and Dental Reaserch 2012; 1(1): 9-13

16.Shetti A, Gupta I, Charantimath SM. Oral Candidiasis: Aiding in the Diagnosis of HIV – A Case Report. Hindawi Publishing Corporation 2011; 1-4

17.Mathur N. Correlation between oral manifestations and CD4+ count of HIV+VE patients. Journal of Evolution of Medical and Dental Science 2013; 2(24): 4419-24 18.Schuftan C. The causes of hunger and malnutrition: macro and micro determinants.

Hunger and Society. Monograph Series 1998; 18(1): Chapter 3

19.Gandolfo S, Scully C, Carrozzo M. Oral Medicine. Toronto: Churchill Livingstone Elsevier, 2006: 42

20.Wiekowicz A dkk. Cheilitis- case study and literature review. Postepy Dermatology 2011; 3:231-9

21.Bellachew T, Jira C, Faris K, Mekete G, Asres T. Protein Energy Malnutrition. Ethiopia Public Health Training Initiative 2001: 36-7

22.Deritana N, Kombong M, Yuristianti G. Gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan. J. WATCH Jayawijaya. 2007: 5-18

23.Kemenkes RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia N0. 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak 24.Onis M dkk. The worldwide magnitude of protein-energy malnutrition: an overview

from the WHO Global Database on Child Growth. Bulletin of the World Health Organization 1993; 71(6): 1-12

25.Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children dying every year?. The Lancet 2003; 361:2226-34

26.WHO. Infant and young child nutrition

(44)

27.Schwartz S. Clinical Encounters in Pediatric Dentistry.

28.Ohman SC, Jontel M, Dahlen G. Reccurance of angular cheilitis. Scand J Dent Res 1988; 96(4): 360-5

29.Ilery C, Mintjelungan CN, Soewantoro J. Hubungan status gizi dengan kejadian angular cheilitis pada anak-anak di lokasi pembuangan akhir Sumompo kota Manado. Jurnal e-GiGi(eG) 2013; 1(1): 33-7

30. Rayner H, Allen SL, Braverman ER. Nutrition and Wound Healing.

31.Anonymous. Top 10 Foods Highrst in Vitamin B2 (Riboflavin).

Gambar

Gambar 1. Gambaran Klinis  Angular Cheilitis15
Tabel 1. Klasifikasi status gizi menurut Kemenkes RI 2010 untuk anak usia 5-18  tahun23
Tabel 2. Gambaran responden di panti asuhan SOS Childrens Village dan panti   asuhan Al-Jamiatul Wasliyah Medan berdasarkan usia dan jenis kelamin (n=174)
Tabel 3. Persentase kategori IMT anak panti asuhan SOS Childrens Village dan panti asuhan Al-Jamiatul wasliyah Medan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Didalam Panti Asuhan Yayasan Amal-Sosial Al-Washliyah Medan Johor, anak-anak asuhan diberi tempat tinggal berupa kamar besar seperti asrama, untuk anak laki-laki dan perempuan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah efektifitas pelayanan sosial di bidang pendidikan yang dilakukan oleh Panti Asuhan Yayasan-Amal Sosial Al-Washliyah berlangsung