• Tidak ada hasil yang ditemukan

Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Samadhi Sebagai Wahana Untuk Mencapai Ketenangan Hidup

Wiwik Sulistyaningsih

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

A. PENGANTAR

Manusia adalah makhluk bio-psiko-sosial-spiritual. Sebagai makhluk biologis yang terdiri dari sel-sel yang membentuk organ-organ, ia akan berkembang menjadi makhluk organismik yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Sedangkan sebagai makhluk spiritual, manusia tidak hanya berhubungan dengan orang lain dalam sistem masyarakat atau dunia, namun ia juga berhubungan dengan Sang Pencipta. la mengakui bahwa ada suatu kekuatan di luar dirinya yang banyak mempengaruhi kehidupannya. Setelah berbagai usaha ia lakukan dan menemui kegagalan, maka ia akan menyerahkan dirinya pada kekuatan ini. Selain itu spiritualitas dalam diri manusia diwujudkan dalam bentuk rasa kasihnya terhadap sesama. Sifatnya yang altruistik yaitu keinginannya untuk memberikan apa yang dipunyainya untuk orang lain adalah suatu tanda adanya spiritualitas tersebut (Prawitasari, 1995).

Didalam hidupnya manusia akan selalu berhadapan dengan perubahan. Baik perubahan itu yang terjadi didalam dirinya sendiri maupun perubahan yang terjadi diluar dirinya. Kesemua perubahan tersebut dapat menimbulkan stress atau tekanan. Bila dinilai secara positif, stress dapat mendorong timbulnya perilaku kreatif, inovatif atau kemampuan inisiatif. Namun sebaliknya, apabila dinilai negatif, stress dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan pada individu.

Ketidakseimbangan yang terjadi akan mendorong individu untuk berusaha menemukan kembali keseimbangannya. Kesanggupan untuk memelihara keseimbangan psikologik ini adalah daya utama dalam mempertegar ketahanan mental (mental resilience), apa dan betapapun stressor yang bermunculan yang melanda manusia (Fuad Hassan, 2000). Berbagai upaya akan dilakukan manusia untuk memelihara keseimbangan tersebut.

Salah satu upaya untuk mendapatkan keseimbangan didalam menjalani kehidupan yang penuh problem dan perubahan adalah dengan cara melakukan meditasi atau samadhi. Tujuan akhir yang ingin dicapai dengan jalan ini adalah meluasnya kesadaran dan transendensi diri. Karena pelaku samadhi meyakini bahwa manusia berasal dan akan kembali kepada Sang Pencipta, maka tidak ada pilihan lain kecuali menjalani hidup menurut kemauanNya. Untuk itulah manusia dipandang perlu secara terus menerus menjalani transendensi dengan Sang Pencipta. Kesadaran untuk menjalani hidup di alam semesta semestinya dibimbing oleh kesadaran lain yang lebih tinggi. Ruh atau spiritual manusia yang bersifat luhur diyakini akan dapat membimbing sehingga manusia dapat menjalani hidup yang selaras, harmonis, atau menyatu dengan alam semesta.

(2)

dibahas apa dan bagaimana manusia dapat bertahan, bahkan muncul potensi yang melebihi orang pada umumnya, sehingga seseorang dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Juga ingin diketahui sejauhmana telah terjadi perubahan-perubahan sikap, mental, dan perilaku akibat berkembangnya suatu "kesadaran yang lain" pada seseorang.

Tinjauan kasus ini akan dibahas menurut perspektif psikologi transpersonal. Oleh karenanya metode yang dipergunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif yang berlandaskan phenomenologi. Data diambil melalui observasi partisipan dan wawancara kepada subjek serta informan, yang dilaksanakan pada bulan Nopember sampai dengan Desember 2001 di Surakarta.

B. 1. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif berlandaskan phenomenologi yang mengakui empat kebenaran empirik, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik-logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transendental. Menurut Muhadjir (2000) kemampuan penghayatan dan pemahaman manusia atas indikasi empiri ini menjadikan manusia mampu mengenal keempat kebenaran tersebut di atas.

Penelitian kualitatif disini dapat didefinisikan sebagai penelitian yang memiliki tu juan dokumentasi, identiftkasi, dan interpretasi mendalam terhadap pandangan dunia, nilai, makna, keyakinan, pikiran, dan karaktertik umum seseorang atau kelompok masyarakat tentang peristiwa-peristiwa kehidupan, situasi kehidupan, kegiatan-kegiatan ritual, dan gejala-gejala khusus kemanusiaan yang lain (Wiseman, 1993).

Terdapat beberapa model metodologi dalam penelitian kualitatif yakni antara lain fenomenologi, etnometodologi, dan interaksionisme simbolik. Pada model fenomenologis, penelitian ditekankan pada cara manusia sebagai subjek berinteraksi dengan dunia gejala, baik terhadap objek-objek empirik maupun peristiwa. lni sesuai dengan pengertian fenomenologi sebagai disiplin yang mempelajari makna suatu gejala bagi manusia secara individual. Model etnometodologi menekankan pada cara-cara orang mengkonstruk dunia budaya mereka. Model ini terutama membahas cara-cara berpikir antar individu berkenaan dengan aturan-aturan etnik kultural yang melatarbelakangi interaksi sosial kelompok budaya mereka. Sedangkan interaksionisme simbolik menekankan pada makna yang tercakup dalam cara-cara manusia menggunakan dan menginterpretasikan pola-pola simbolik dalam melakukan interaksi sosial (Persell, 1987).

Untuk mencapai tujuan penelitian seperti tersebut di atas, penelitian ini menggunakan pendekatan naturalistik atau interpretif terhadap topik-topik penelitian yang dikaji. Naturalistik berarti peneliti melakukan penelitian terhadap objek-objek atau subjek-subjek penelitian dalam seting alamiah atau lingkungan hidup asli mereka. Interpretif berarti bahwa berdasar pada lingkungan hidup asli itu kemudian peneliti kualitatif mencoba untuk memahami secara mendalam atau membuat interpretasi mendalam suatu gejala dalam hubungan dengan makna yang dibangun oleh subjek atau partisipan penelitian.

(3)

Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi partisipan. Wawancara mendalam yang dilakukan terhadap subjek dan sejumlah informan lainnya dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pengalaman spiritual subjek, sehingga ia berada dalam kondisi mental-spiritual seperti saat ini. la merasa memiliki dan menjalani hidup yang penuh keterlangan dan keharmonisan. Selain itu juga dilakukan observasi untuk memperoleh gambaran tentang dinamika psikologis dari kondisi yang dihadapi melalui interaksi interpersonalnya dengan orang lain, termasuk pula suasana keseharian di rumahnya.

B. 2. SUBJEK

Subjek adalah seorang pria berusia sekitar 44 tahun. la memiliki seorang anak perempuan. Isterinya termasuk kerabat keraton Kasunanan Solo yakni salah seorang anak dari Raja Susuhunan Paku Buwono XII. Subjek sendiri dilahirkan oleh ibu yang bersuku Madura, sedangkan ayahnya berasal dari suku Sindh di daerah Kashmir India. Kedua orangtuanya saat ini telah meninggal, ayahnya meninggal pada waktu subjek berusia 10 tahun.

Selepas mengikuti pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Surakarta, ia sempat kuliah di Institut Teknologi Bandung. Namun tidak sampai tamat, ia terkena skorsing Drop Out sehingga harus keluar dari ITB. Kemudian ia menempuh pendidikan hukum di Universitas Dr. Sutomo di Surabaya sampai selesai sehingga bergelar sarjana hukum.

Riwayat pekerjaan pertama yang dijalani adalah di kantor pengacara sebuah badan hukum di Surabaya. Pekerjaan ini ditekuninya sambil kuliah sampai lulus sarjana. Setelah itu ia pindah ke Jakarta bekerja sebagai ahli spiritual yang ditempatkan di kantor sekretariat negara dan juga di perusahaan PT. Citra milik Tutut, putri mantan presiden Suharto. Kemudian pada Februari 1998, subjek memutuskan kembali tinggal di Surakarta sampai saat ini.

Bersama isterinya sekarang ini ia berwiraswasta berdagang batik yang dilakukannya di sela-sela waktunya menekuni masalah spiritualitas.

C. HASIL PENELITIAN

1. Hasil Observasi

Observasi dilakukan dalam dua seting lingkungan yang berbeda, yaitu di rumah subjek dan di ruang kelas aula tempat diselenggarakannya kursus pengenalan tentang spritualitas manusia.

Di rumahnya subjek tinggal bersama isteri dan seorang anak. Di rumahnya juga tinggal bersama mereka dua orang mahasiswa, yang setiap harinya juga sering mengikuti langkah spiritual yang dilakukan oleh subjek. Pada waktu penulis datang ke rumah (sebanyak empat kali) subjek selalu mempersilakan untuk berbincang-bincang sambil duduk di lantai, meskipun ada ruang tamu yang berkursi. la lebih suka duduk di lantai dengan meja rendah ada di samping bantal-bantal untuk duduk. Dari atas meja tercium bau wangi dupa yang dibakar yang diletakkan di cawan di atas meja.

(4)

lain. Namun ia juga bersikap rendah hati karena menyadari bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanyalah setitik kecil ilmu Tuhan yang tidak terbatas luasnya.

Observasi kedua dilakukan di suatu ruang kelas yang berupa aula dimana subjek berperan sebagai instruktur pelatihan. Dalam observasi partisipan ini, penulis menjadi peserta pelatihan yang mengikuti kursus yang diberikan. Separuh dan waktu pelatihan, yakni sekitar satu jam, dipergunakan oleh subjek untuk menjelaskan secara teori tentang masalah spiritualitas manusia. Kemudian sejam berikutnya dipergunakan untuk praktek secara langsung membimbing peserta kursus untuk melatih kemampuan spiritual yang dimiliki. Pelatihan dilakukan sebanyak delapan kali, yang dilakukan pada malam hari yakni setiap Kamis pukul 20.00 sampai 22.00 WIB. Setiap kali memberikan pelatihan, ia didampingi oleh tua orang muridnya yang telah lebih dahulu dibimbingnya.

Dalam salah satu penyampaiannya di kelas, subjek mengajarkan bahwa manusia dapat mengambil manfaat dari energi alam. Bila energi alam ini disimpan di dalam did manusia, maka simpanan energi ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai tu juan seperti misalnya untuk penyembuhan penyakit, kekuatan fisik, ataupun kekuatan mental. Energi alam ini dapat diambil dengan cara meditasi atau samadhi. Delapan sumber energi alam yang disebut sebagai hasta brata ini adalah matahari, bulan, bintang, awan, air, angin, api, dan bumi.

Pada waktu berlatih mengenal energi alam, peserta dirninta untuk mengambil sikap samadhi. Kemudian subjek membimbing agar peserta mulai menyerap satu per satu energi alam. Pada kesempatan tersebut, penulis sebagai peserta pelatihan merasakan betul sensasi fisik seolah-olah berada di alam semesta. Sewaktu menyerap energi awan, seluruh tubuh merasa dingin. Pada waktu menyerap energi angin, di seluruh tubuh terasa seperti terhembusi angin. Sedang pada waktu menyerap energi matahari, tubuh merasakan sensasi rasa panas terutama di depan wajah terasa sekali panas dan silau, padahal mata tertutup rapat. Peserta latihan juga merasakan berat menahan rasa panas dan tekanan yang sangat kuat. Demikianlah setelah itu kembali 'cooling down', pelatihan samadhi diakhiri dengan mengucap syukur atas kebesaranNYA.

Bila latihan terus menerus dilakukan, pelatih mengatakan bahwa tubuh akan merasa sehat, kuat, dan keseimbangan fisik terjaga. Secara umum pelatihan tersebut bertujuan agar peserta mampu mengenali dan selanjutnya mengembangkan kemampuan spiritual yang dimiliki sehingga dapat bermanfaat untuk memperoleh ketenangan. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah agar manusia dapat hidup secara sempurna, sehingga selanjutnya kehidupan masyarakat yang damai, aman, dan sejahtera dapat terwujud.

2. Hasil Wawancara

(5)

dengan dirinya. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang adalah siapakah manusia itu, bagaimana asal usulnya, dan apa tugasnya di dunia ini.

Subjek mengatakan bahwa dalam perjalanan hidupnya sangat banyak penderitaan dan pengorbanan yang hams dijalaninya akibat konsekuensi pilihan sikap yang diyakininya. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri I Surakarta, ia berhasil diterima di Institut Teknologi Bandung. Namun hanya beberapa semester dijalaninya dan tidak sempat menyelesaikan studi karena ia terkena skorsing DO dari universitas. Penyebab jatuhnya skorsing dikatakan karena keaktifannya dalam demonstrasi politik melawan pemerintah raja saat itu. la ikut berpartisipasi dalam penulisan buku putih yang berjudul "Indonesia di bawah sepatu lars". Akibatnya ia mendapat skorsing harus keluar dari ITB, selain juga mengalami kekerasan secara fisik dan mental dari aparat. Dari pengalamannya ini ia berpendapat bahwa menegakkan kebenaran itu harus dibayar dengan pengorbanan yang sangat besar. Karena itulah pada umumnya orang lebih suka mencari yang aman, meskipun kadang harus menempuh jalan yang tidak benar. Namun bagaimanapun harus ada sebagian kecil dari masyarakat yang bersedia berjuang menegakkan kebenaran. Karena kalau tidak demikian, maka seluruh manusia akan tersesat dan menjalani hidup secara salah.

Setelah keluar dari ITB, subjek kembali tinggal di Surakarta. Saat itu ia merasa dirinya menjalani kehidupan yang benar-benar kacau, disebutkannya sebagai 'kehidupan yang sungguh bejad'. la tenggelam dalam pengaruh buruk narkotika. Namun di puncak kesesatannya tersebut, tiba-tiba ia tersentak karena ada 'kekuatan lain' yang menyadarkannya. la menjadi tersadar, apalagi ketika ia mulai menatap alam semesta (yakni menatap bintang di langit) tubuhnya menjadi bergetar penuh keringat. Seolah ia tersadar bahwa ada dzat yang Maha Kuasa yang mengatur kehidupan ini. Kemudian dari dalam sanubarinya timbul dorongan yang sangat mendesaknya untuk mencari tabu lebih lanjut tentang kekuatan Yang Maha tersebut.

Dorongan hati membawanya pergi ke Gunung Lawu untuk bersamadhi. Selama sekitar satu setengah tahun sendirian ia menjalani samadhi disana. Dalam samadhinya itu ia merasa dibimbing oleh "sang guru". Yang dimaksud dengan "guru" tersebut sebenarnya tidak lain adalah roh atau sukma dari jati diri setiap manusia. Karena sifat orang suci, maka ruh itu bisa membimbing manusia untuk menjalani kehidupan yang baik sesuai kehendak Ilahi.

Pada suatu ketika subjek diperintahkan untuk duduk di tepian lereng sebuah kawah yang di bawahnya mengeluarkan asap belerang. Mengetahui bahwa asap belerang itu mengandung racun yang dapat mematikan manusia, maka timbul sikap ragu-ragu subjek untuk melaksanakannya. Sempat hampir seharian ia berpikir untuk menjalankan perintah itu atau tidak. Akhirnya ia diingatkan "Apakah kamu ragu terhadap guru sehingga kamu kira aku akan mencelakakanmu?". Kemudian akhirnya ia berangkat dan mencari lereng kawah yang dimaksud. Lalu ia mengambil posisi duduk di tepian lereng yang di bawahnya mengeluarkan asap. Tidak lama setelah ia duduk, tubuhnya jatuh rebah ke belakang tersandar pada tepian lereng. la merasa mengalami mati suri dalam jangka waktu yang lama.

(6)

tertinggi, yakni tempat terdekat dengan hadirat Ilahi, nampak cahaya yang amat menyilaukan yang tidak mampu ditangkap oleh keterbatasan indera manusia.

Banyak lagi pengalaman-pengalaman lain yang terjadi, dari mulai subjek digoda oleh makhluk cantik, binatang buas harimau dan ular besar yang hendak memangsa sampai dengan makhluk yang berbentuk besar dan menyeramkan, yang semuanya ingin menguji ketahanan mental subjek. Dalam menghadapi semua godaan tersebut, ia berserah diri sepenuhnya dan ikhlas menjalani apapun kehendak IIahi. Dan ternyata ia selamat dari semua godaan tersebut. Pada tahun 1987, setelah ia dinyatakan cukup menerima pelajaran dari 'guru', kemudian ia turun gunung dan kembali menjalani kehidupan di tengah masyarakat.

Dari pengalamannya samadhi di Gunung Lawu, subjek mengatakan bahwa melalui pengenalan terhadap alam semesta manusia dapat mengenal Tuhan. Untuk menjadi beriman, yakni mempercayai adanya Tuhan, bisa saja seseorang memperolehnya tidak harus melalui teks-teks. Kitab Suci melainkan bisa juga melalui penalaran, pengalaman, dan perenungan hidup. Yaitu berupaya sekuat kemampuannya untuk menjelaskan Kekuatan Gaib atau Misteri yang menguasai alam semesta ini, bahkan juga misteri yang ada dalam diri setiap individu. Tuhan disebut Misteri dalam arti manusia meyakini akan pengaruh dari keberadaan dan kekuatanNYA, namun sepanjang zaman manusia merasa tidak mampu untuk mengetahui secara pasti dengan kekuatan nalar dan inderanya (Hidayat & Nafia, 1995).

Setelah beberapa saat di Surakarta, subjek memutuskan untuk pindah ke Surabaya. Di kota ini ia kuliah sambil bekerja. la bekerja untuk suatu kantor pengacara sebagai 'law investigator'. Tugasnya adalah mengumpulkan data tentang apa saja yang berkaitan dengan kasus hukum yang sedang ditangani. Sambil bekerja ia berhasil menyelesaikan studi sehingga bergelar sarjana hukum dari Universitas Dr. Sutomo Surabaya.

Selama menjalankan tugas tersebut, ada satu pengalaman yang berkesan sangat mendalam bagi subjek. Karena tugasnya membela orang yang berperkara, maka ia harus berhadapan dengan mafia tanah yang ingin menguasai tanah rakyat. Pihak yang ingin menguasai tanah berusaha membujuknya agar ia mau menerima uang sogok sebesar lima puluh juta rupiah, dengan syarat ia mau berhenti membela si empunya tanah. Subjek menolak karena ia ingin membela pihak yang lemah. Tidak disangka ternyata mafia tanah tadi menjadi marah dan dendam, lalu mengancam akan memenjarakan subjek agar keinginannya berhasil.

Ternyata betul, tidak lama kemudian subjek dimasukkan ke penjara tanpa tahu apa kesalahannya. Selama di penjara, ia merasakan siksaan fisik dan mental serta penganiayaan, agar ia mau mengaku bersalah. Semua penderitaan yang dialaminya tersebut diterimanya dengan tabah. la berprinsip bahwa untuk membela yang benar memang harus dibayar dengan pengorbanan yang mahal. Dengan demikian rasa sakit dan penderitaan secara fisik yang dialami tidak dirasakannya sebagai beban mental.

Kemudian tiba-tiba pada hari yang kesepuluh ia dipenjara, datang 'guru' yang selama ini menempanya. Dikatakan oleh 'guru' tersebut bahwa besok pagi ia akan keluar dari sel. Tidak lama setelah 'guru' pergi, tiba-tiba tanpa ada hujan atau pertanda alam yang lain, datang petir yang sangat hebat sehingga semua peralatan elektronik di kantor polisi itu terbakar dan rusak. Ternyata betul, esok paginya tanpa ada proses apapun yang menyulitkan, subjek diminta keluar dari sel.

(7)

kepadamu!". Begitulah ancaman yang ditujukan kepada subjek. Banyak teman-teman subjek yang menyarankan agar ia menyerah dan minta maaf saja agar ia terhindar dari celaka. Namun subjek tetap teguh pada pendiriannya yakni kejahatan harus dilawan dengan kebenaran. Maka pada malam harinya, subjek bersamadhi sambil memohon kekuatan Ilahi untuk memancarkan energi alam, sehingga air sungai meluap ke arah tambak udang tersebut. Selang beberapa hari kemudian teman-temannya mengabarkan bahwa orang tadi tidak jadi panen udang karena tambaknya terkena banjir. Dengan demikian subjek terhindar dari ancaman akan dipenjarakan lagi. Dari kejadian ini subjek semakin yakin bahwa kebenaran Ilahi akan dapat mengalahkan segala kejahatan yang diupayakan oleh manusia.

Setelah beberapa lama tinggal di Surabaya, subjek memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Selama hidup di Jakarta secara materi ia sangat berkecukupan karena memperoleh gaji yang cukup besar. Dengan kemampuannya untuk melihat visi ke depan secara spiritual, keahliannya dimanfaatkan sebagai star ahli pendamping di kantor sekretariat negara dan juga di perusahaan PT. Citra milik Tutut putri mantan presiden Suharto. Pada awal tahun 1998 ia melihat bahwa situasi kehidupan masyarakat akan mengalami kekacauan, maka pada Februari tahun itu juga ia memutuskan untuk kembali ke Surakarta. Selain itu ia juga merasa banyak idenya yang tidak dimanfaatkan. Karena merasa pendapatnyalah yang benar, maka ia lebih memilih untuk mengundurkan diri. Selang tiga bulan setelah itu, tepatnya pada bulan Mei 1998 memang betul terjadi kekacauan masyarakat yang menandai runtuhnya pemerintahan orde baru.

Dari pengalamannya selama hidup di Jakarta, subjek menarik kesimpulan bahwa ternyata kebanyakan orang belum memiliki kejujuran dan keberanian untuk berkata benar. Saat ini subjek berupaya memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana bisa menyebarkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kebaikan agar manusia dapat hidup selaras dengan alam dan sesuai dengan hukum alam. Apabila manusia dapat hidup sesuai dengan kehendak Ilahi, maka hidup yang penuh dengan ketenangan dan keharmonisan akan terwujud. Subjek juga menjelaskan bahwa kemampuan spiritual yang berkembang dan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan hidup hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah mencapai kedewasaan spiritual, selain sebelumnya juga telah mencapai kedewasaan individual dan kedewasaan sosial. Kedewasaan spiritual ditandai dengan kemampuan untuk memahami "Sangkan Paraning Dumadi" atau mampu bersikap bijaksana dalam menghadapi hidup. Kedewasaan individual ditandai oleh kematangan jasmani dan jiwa, yaitu berani mengambil alternatif dan mandiri. Sedang kedewasaan sosial ditandai oleh aktualisasi potensi dialogis, mengendapnya rasa, tanggung jawab, kesediaan untuk mencintai dan dicintai orang lain, dan kerelaan berkorban (Damardjati Supadjar, 1984).

Dalam melakukan samadhi atau meditasi, subjek percaya bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan melalui tanggapan batin. Alat untuk menghampiri ke hadirat Tuhan ini bukan panca indera atau akal, melainkan mata hati. Jalan untuk mencapai penghayatan ini adalah penyucian hati dan meditasi. Sesudah hatinya menjadi suci, tidak memikirkan dan tidak terikat dengan dunia (apa-apa selain Tuhan), baru melangkah ke meditasi atau samadhi. Samadhi dilakukan dengan cara mengkonsentrasikan seluruh pikiran dan kesadaran untuk merenungkan keagungan Tuhan. Meditasi pada hakekatnya berusaha mengalihkan kesadaran terhadap dunia luar untuk dipusatkan ke alam batin.

(8)

berjalan lurus sesuai dengan kehendak Tuban. Nafsu-nafsu materi yang sifatnya duniawi tidak lagi menarik perhatiannya. Orang yang telah mencapai kesempurnaan ini hidupnya diimbasi sifat-sifat ke Tuhanan, laksana bayang-bayang Tuhan di atas alam semesta (Simuh, 1984).

D. PEMBAHASAN

Pengalaman dan penghayatan spiritual yang dialami oleh subjek dalam penelitian ini menunjukkan adanya suatu fenomena yang dapat dijelaskan dalam perspsektif psikologi transpersonal. Ditunjukkan dalam kasus ini telah terjadi adanya pengalaman puncak, transendensi diri, dan penghayatan meditasi atau samadhi. Ketiga konsep ini merupakan dasar untuk menjelaskan adanya gejala transpersonal yang dialami oleh subjek.

Pengalaman puncak dinyatakan oleh Davis (1993) memiliki beberapa (meski tidak semua) karakteristik antara lain: emosi yang amat kuat dan mendalam mirip ekstase; merasakan kedamaian atau ketenangan yang mendalam; merasa selaras, harmonis, atau menyatu dengan alam semesta; merasa tahu secara lebih mendalam atau memiliki pemahaman yang mendalam, dan; merasa bahwa itu suatu pengalaman yang sangat istimewa yang sukar atau mustahil diceritakan dengan kata-kata. Dalam hal ini pengalaman puncak dialami oleh subjek sewaktu ia samadhi di Gunung Lawu, dimana ia merasakan seperti seolah menyatu dengan alam serta, merasakan ketenangan dan harmonis di dalam dirinya. Bersamaan dengan rasa harmoni dengan alam semesta ini, transendensi diri pada subjek juga berlangsung. Sedangkan untuk memupuk keadaan transpersonal yang telah dialami, subjek terus menerus melakukan meditasi atau samadhi yang bertujuan untuk meluasnya kesadaran dan transendensi dia.

Berdasarkan pengertian psikologi transpersonal yang membahas tentang potensi tertinggi manusia serta pengenalan dan pemahaman dari kesadaran yang transenden maupun spiritual manusia, maka pada diri subjek telah tercapai suatu kondisi puncak. Hal ini melibatkan keadaan kesadaran yang berubah, tercapainya potensi manusia yang tertinggi, mampu mengatasi ego, transenden, serta menghayati spiritualitas (Alexander, 1996). Adanya kesadaran yang berubah telah memungkinkan subjek untuk mampu melihat sesuatu yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.

Pengalaman-pengalaman seperti yang telah dikemukakan oleh subjek merupakan bagian dan fenomena psikis, yang oleh Tart (1975) disebut sebagai transpersonal experience, yaitu sebuah pengalaman dimana ada jarak terhadap masukan sensoris (yang ada hanya keheningan atau ectasy), sehingga eksistensi wadag dan waktu terlupakan. Menurut Valle (1989) dalam kondisi seperti ini subjek mengalami transendental being, dimana individu mengalami ASCs (Altered State of Counsciousness). Dengan kata lain self-firs lepas dari realitas fisik dan menyatu dengan kekuatan yang transendental.

(9)

menjalani pilihan tersebut dengan berbagai resiko yang tidak mudah untuk dijalani. Dalam hal ini kekuatannya untuk menahan segala penderitaan fisik dan mental, dimungkinkan dengan kemampuannya bertransenden sehingga ia mampu untuk "mengatasi".

Selain ciri-ciri psikologis, dimensi spiritual memberikan gambaran penjelasan tentang orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi yaitu: (1) kemampuan bersikap fleksibel; (2) tingkat kesadaran yang tinggi; (3) kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan; (4) kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa takut; (5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai; (6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu; (7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal; (8) kecenderungan untuk mencari jawaban yang mendasar; (9) pemimpin yang penuh pengabdian dan tanggung jawab; (10) kemampuan menghayati keberadaan Tuhan; (11) memahami diri secara utuh; (12) memahami hakekat di balik realitas; (13) menemukan hakekat diri; (14) tidak terkungkung egosentrisme; (15) memiliki rasa cinta; (16) memiliki kepekaan batin; (17) mencapai pengalaman spiritual (Subandi, 2001).

Orang yang tinggi kecerdasan spiritualnya antara lain dicirikan oleh adanya kemampuan memahami hakekat di balik realitas, sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan penderitaan. Berkaitan dengan jalan hidup subjek yang dilaluinya dengan penuh penderitaan dan pengorbanan, maka dapat dikatakan bahwa ia adalah orang yang memiliki kecerdasan spiritual.

Keberanian subjek untuk bersikap dan berperilaku yang agak kurang lazim, karena ia lebih mengambil pilihan yang beresiko, ini dapat diterangkan dengan teori determinasi diri atau Self Determination Theory. Dinyatakan oleh teori ini bahwa pengaturan sikap dan perilaku akan terjadi jika sikap dan perilaku tersebut secara pribadi dinilai penting dan bermakna. Dengan demikian perilaku seseorang tidak dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya, namun lebih ditentukan oleh dirinya sendiri dan bersifat otentik (Carver & Seheier, 1998).

Didalam penjelasannya subjek eenderung mengkaitkan antara Tuhan, manusia, dan alam. Untuk itu sudut pandang filsafat perennial akan dapat membantu menjelaskan hal ini. Pandangan perennial menjelaskan bahwa segala kejadian yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalankan hidup yang benar yang ini sesuai dengan tradisi besar spiritualitas manusia. Aldous Huxley (dalam Hidayat & Nafis, 1995) menyebut bahwa filsafat perennial adalah: (1) metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan Ilahi dalam segala sesuatu: kehidupan dan pikiran; (2) suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia yang identik dengan kenyataan Ilahi; dan (3) etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan - yang bersifat imanen maupun transenden - mengenai suatu keberadaan. Dengan demikian, filsafat perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini dengan Realitas yang Terakhir.

(10)

dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan, dan membuat penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk akan memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu (Rachman, 2001).

E. KESIMPULAN

Subjek dalam penelitian ini menunjukkan adanya gejala transpersonal, yakni terjadinya pengalaman puncak, transendensi diri, dan penghayatan meditasi. Hal ini menimbulkan kesadaran yang berubah yang memungkinkan subjek mampu untuk melihat sesuatu yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu.

Adanya pilihan sikap dan perilaku subjek yang terkadang beresiko menimbulkan penderitaan, atau harga mahal yang harus ditanggungnya, mengindikasikan bahwa subjek lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianutnya daripada pengaruh eksternal. Dalam bersikap dan berperilaku, ia cenderung berorientasi pada makna dan hakekat di balik realitas. Kecenderungan subjek ini sesuai dengan prinsip self determination theory.

Pandangan subjek menggambarkan adanya saling keterkaitan antara seluruh eksistensi yang ada di alam semesta, yakni Tuhan, manusia, dan alam semesta. Manusia akan dapat hidup bermakna dan sempurna kalau ia mampu memahami keteraturan alam semesta, untuk selanjutnya menyesuaikan diri dengan irama dan dinamika keteraturan alam semesta itu.

Pada akhirnya, agar manusia dengan segala sikap dan perilakunya dapat dipahami secara menyeluruh, maka seluruh aspek yang ada pada diri manusia harus dilibatkan. Hal ini berarti, dari pandangan psikologis baik itu aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritualitas harus dipahami secara menyeluruh. Dengan demikian gambaran utuh tentang diri manusia akan diperoleh dengan baik.

Daftar Pustaka

Alexander, 1 1996. Human Person in the Mirror of Transpersona1 Psychology. Journal of Dharma, Vol. XXI (1),104-124.

Carver, CS. & Scheier, M.F. 1998. On the Self-Regulation of Behavior. Cambridge: Cambridge University Press.

Davis, 1. 1993. Introduction to Transpersonal Psychology. Denzin, N. & Lincoln, Y.S. 1994. Handbook of Qualitative Research. London: Sage Publications. .

Hanurawan, F. 2001. Kontroversi Pendekatan Kuantitatif dan Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang.

Hassan, F. 2000. Urbanisme dan Ketahanan Mental dalam Tantangan Psikologi Menghadapi Milenium Baru. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM.

Hidayat, K. & Nafis, M.W. 1995. Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Penerbit Paramadina.

(11)

Persell, CH. 1987. Understanding Society : An Introduction to Sociology. New York: Harper & Row Publisher Inc.

Prawitasari, J.E. 1995. Handout Teori, sistem, dan model dalam Psikologi. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM.

Rachman, B.M. 2001. Demam Tasawuf. Makalah. Tidak diterbitkan.

Simuh. 1984. Aspek Mistik Islam dalam Wirid Hidayat Jati. Yogyakarta : Yayasan Javanologi.

Subandi, 2001. Menyoal Kecerdasan Spiritual. Makalah, dalam Seminar Spiritual Intelligence PW IJABI, Yogyakarta.

Supadjar, D. 1984. Kata-kata Kunci Wulang-wulang Kajawen. Yogyakarta : Yayasan Javanologi.

Tart, C.T. 1975. Transpersonal Psychology. New York: Harper & Row Publisher.

Valle, R.S. & Halling, S. (Eds). 1989. Existential Phenomenological Perspectives in Psychology: Exploring the Breadth of Human Experience. New York: Plenum Press.

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebutkan di atas kemudian dituangkan ke dalam konsep yang lebih praktis sehingga dapat diukur dan dicirikan... Ciri-ciri ini

Hal yang dapat menjadi sumber stres yang berasal dari pekerjaan dapat beraneka ragam seperti beban tugas yang terlalu berat, desakan waktu, penyeliaan yang kurang baik, iklim

Menurut Sutiarti & Edi (2017:26) Media Interaktif adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan software dan hardware yang bisa digunakan sebagai perantara dalam

1.3 Predpostavke in omejitve raziskave Predpostavke: • glede na trende pozitivnega razvoja gradbeništva menimo, da ima proučevano podjetje še veliko možnosti razvoja, saj se ukvarja

KJKS BINAMA (Koperasi Jasa Keuangan Syariah BINA NIAGA UTAMA) adalah lembaga keuangan berbadan hukum koperasi yang bergerak dibidang jasa keuangan syariah, yaitu

Bahasa tersebut sejak lama digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau.. Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia SMP Kelompok Kompetensi Profesional C 5 bahasa

Perwakilan daerah dalam DPD mencerminkan prinsip representasi territorial atau regional (regional representasi) dari daerah, dalam hal ini provinsi.Dengan demikian, keberadaan

Siswa Pelamar, menggunakan NISN dan password yang diberikan oleh Kepala Sekolah pada waktu verifikasi data di PDSS, login ke laman SNMPTN http://snmptn.ac.id untuk