• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

Azhari Purbatrapsila

E. 34104077

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN

SPASIAL ULAR PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

Azhari Purbatrapsila

E. 34104077

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

SUMMARY

AZHARI PURBATRAPSILA. Study of Species Diversity and Spatial Distribution of Snake on Several Habitat Types in Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan. Supervised by: Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. and Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Snake is one part of herpetofauna with large number of species. At least 154 species from 10 families of snakes have been recorded from Borneo island (Stuebing and Inger, 1999). Although information about snakes diversity is already available, however it is too general. Specific information about snakes diversity, especially in the conservation area is still very limited. Tanjung Puting National Park (TPNP) is one of the conservation area in Indonesia that have limited information about snakes diversity. Whereas, TPNP have many type of ecosystems as well as snakes habitat. The objectives of this research were to identify species diversity and mapping the spatial distribution of snakes in TPNP.

Data were collected about 24 days on April - May 2008 at 6 habitat types; shrub, secondary swamp forest at Beguruh, secondary swamp riverine forest at Sekonyer Kanan River, primary swamp forest, mixed forest at Camp Tanjung Harapan, and mixed forest at Camp Leakey. Data were collected using Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design method (Heyer et al., 1994) .

In total 14 species and 12 genus from 4 families of snakes were recorded during the surveys. The species richness represents 9,09 % of snakes in Borneo island. All of the species are not protected by Indonesian government laws and non-endemic species. There were two species categorized as Appendix II CITES, which are Naja sumatrana and Python reticulatus.

The highest species richness was recorded in Camp Tanjung Harapan. These habitat are ecotone area and has a high number of snakes prey. Lowest species richness was found in primary swamp forest, whereas no snake was recorded in shrub habitat. Spatial distribution of snake in each habitat type are affected by difference of habitat characteristics, especially cover, water, and easiness to get prey.

(4)

RINGKASAN

AZHARI PURBATRAPSILA. Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh: Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Ular merupakan salah satu herpetofauna yang memiliki jumlah jenis yang tinggi. Terdapat sedikitnya 154 jenis dari 10 suku ular di pulau Kalimantan (Stuebing and Inger, 1999). Meskipun informasi mengenai keanekaragaman jenis ular telah tersedia, namun informasi tersebut masih tergolong umum. Informasi yang lebih spesifik, khususnya di kawasan konservasi masih sangat terbatas. Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) merupakan kawasan konservasi yang memiliki informasi keanekaragaman jenis ular yang terbatas. Padahal TNTP memiliki beragam tipe ekosistem yang dapat menjadi habitat ular. Tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan memetakan sebaran spasial ular di TNTP.

Pengambilan data dilakukan selama 24 hari antara bulan April-Mei 2008 pada 6 tipe habitat (semak/belukar, hutan rawa sekunder (Beguruh), hutan rawa primer riparian (Sungai sekonyer Kanan), hutan rawa primer, Camp tanjung Harapan, dan Camp Leakey). Pengambilan data menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design (Heyer et al., 1994).

Sebanyak 14 jenis dan 12 marga dari 4 suku ular dijumpai selama penelitian. Jumlah ular yang dijumpai merupakan 9,09 % dari total jenis ular di pulau Kalimantan. Seluruh jenis ular yang dijumpai, belum dilindungi undang-undang dan bukan jenis ular endemik. Terdapat dua jenis ular yang termasuk kategori Appendix II CITES, yaitu Naja sumatrana dan Python reticulatus.

Kekayan jenis tertinggi terdapat pada Camp Tanjung Harapan. Habitat ini merupakan daerah ekoton dan memiliki satwa mangsa ular yang melimpah. Sedangkan, kekayaan jenis terendah terdapat pada hutan rawa primer, meskipun pada habitat semak/belukar tidak dijumpai jenis ular. Sebaran spasial jenis ular pada setiap tipe habitat dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik habitat yang ada, terutama tempat berlindung, air, serta kemudahan memperoleh satwa mangsa.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul ”Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2009

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Seluruh hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit informasi mengenai jenis– jenis ular yang terdapat di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kalimantan Tengah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman Nasional Tanjung Puting, Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kalimantan Tengah, IRATA, OFI, OF-UK, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki berbagai kekurangan. Namun, penulis mengharapkan semua kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini

dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya konservasi herpetofauna, khususnya ular, di TNTP ke arah yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga bermanfaat!

Bogor, April 2009

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 23 Desember 1986 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Zainal Fanani dan Ibu Tunik Purbarenagalih. Pada tahun 2004, penulis lulus dari SMU Negeri 7 Bogor dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) ”Forestra” dan Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) ”Python” pada periode kepengurusan tahun 2005-2006, serta menjadi ketua KPH ”Python” pada periode kepengurusan tahun 2006-2007.

Pada tahun 2007, penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan

Pengelolaan Hutan (P3H) di CA/TWA Kawah Kamojang, CA Leuweung Sancang, dan Perum Perhutani KPH Tasikmalaya. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah pada tahun 2008.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan yang berguna dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak, Ibu, dan adik-adikku (Lya, Ryan, serta Si kecil Tetryn) atas segala doa, kasih sayang, kepercayaan, dukungan, dan semangat yang tiada henti. 2. Ir. Sudaryanto dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. selaku dosen penguji yang

telah memberikan arahan dan masukan yang berguna bagi penyempurnaan skripsi ini.

3. George T. Saputra (IRATA) atas persetujuan bantuan dana yang diberikan. 4. Ir. Yohanes Sudarto (Kepala Balai TNTP) beserta seluruh staff yang sudah

membantu dan memberikan ijin penelitian.

5. Ir. Ade Suharso, M.Si. (Kepala SKW II BKSDA Kalimantan Tengah) atas bantuan perijinan, masukan dan saran yang diberikan.

6. Prof. Dr. Birute M. F. Galdikas (Pimpinan OFI) atas bantuan, saran, dukungan dan masukan yang diberikan.

7. Stephen Brend (Pimpinan OF-UK) atas bantuan dan dukungan yang diberikan.

8. Pak Ichlas Al Zaqie, Ibu Waliyati, Bang Fajar, Bang Robert, Bang Ifran, Pak Tumin, serta seluruh staff OFI di kantor Pangkalan Bun dan Pasir Panjang atas pengalaman, pengetahuan, informasi, akomodasi, bantuan, dukungan, dan semua kesan positif yang diberikan selama penulis berada di Kalimantan. 9. Iman Sapari dan Keluarga atas kerelaannya membagi tempat tinggal selama

penulis berada di Kalimantan.

(9)

11.Ibu Ika, Ibu Ijum, dan semua staff dapur di Camp Tanjung Harapan, Camp Beguruh, Camp Pondok Ambung, serta Camp Leakey yang selalu menyediakan makanan yang luar biasa nikmat selama penulis melakukan penelitian.

12.Keluarga besar HIMAKOVA dan KPH ”Python”, khususnya periode kepengurusan tahun 2006-2007 atas segala kebersamaan, kekompakan, serta pengalaman yang telah dilalui.

13.Keluarga besar KSH 41 tanpa terkecuali, atas segala kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, suka duka, serta semua hal yang telah dilakukan bersama hingga menjadi pengalaman dan pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi penulis.

14.IC Balio 33B, Base Camp KSH 41 yang telah berkenan untuk dijadikan tempat bersinggah.

15.Semua orang yang menganggap penulis sebagai teman, sahabat, saudara, atau apapun itu, yang telah memberikan perhatian, bantuan, dukungan, semangat, dan kasih sayang, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang disadari maupun tidak disadari, hingga memberikan warna yang berbeda-beda dalam hidup penulis dan membuat ”satu tidak lagi kosong saat berada diantara sepuluh, seratus, seribu, atau bahkan tak terhingga”

Thanks for all..

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ular... 3

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ... 3

2.1.2 Habitat dan Penyebaran... 5

2.2 Penelitian Mengenai Ular yang Telah Dilakukan ... 6

2.3 Penginderaan Jauh ... 7

2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 7

2.4.1 Definisi ... 7

2.4.2 Subsistem SIG ... 8

2.4.3 Komponen SIG ... 9

2.4.4 Aplikasi SIG ... 10

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 11

3.2 Alat dan Bahan ... 11

3.3 Jenis Data ... 11

3.3.1 Data Primer ... 11

3.3.2 Data Sekunder ... 13

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 13

(11)

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

Azhari Purbatrapsila

E. 34104077

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(12)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN

SPASIAL ULAR PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

Azhari Purbatrapsila

E. 34104077

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(13)

SUMMARY

AZHARI PURBATRAPSILA. Study of Species Diversity and Spatial Distribution of Snake on Several Habitat Types in Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan. Supervised by: Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. and Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Snake is one part of herpetofauna with large number of species. At least 154 species from 10 families of snakes have been recorded from Borneo island (Stuebing and Inger, 1999). Although information about snakes diversity is already available, however it is too general. Specific information about snakes diversity, especially in the conservation area is still very limited. Tanjung Puting National Park (TPNP) is one of the conservation area in Indonesia that have limited information about snakes diversity. Whereas, TPNP have many type of ecosystems as well as snakes habitat. The objectives of this research were to identify species diversity and mapping the spatial distribution of snakes in TPNP.

Data were collected about 24 days on April - May 2008 at 6 habitat types; shrub, secondary swamp forest at Beguruh, secondary swamp riverine forest at Sekonyer Kanan River, primary swamp forest, mixed forest at Camp Tanjung Harapan, and mixed forest at Camp Leakey. Data were collected using Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design method (Heyer et al., 1994) .

In total 14 species and 12 genus from 4 families of snakes were recorded during the surveys. The species richness represents 9,09 % of snakes in Borneo island. All of the species are not protected by Indonesian government laws and non-endemic species. There were two species categorized as Appendix II CITES, which are Naja sumatrana and Python reticulatus.

The highest species richness was recorded in Camp Tanjung Harapan. These habitat are ecotone area and has a high number of snakes prey. Lowest species richness was found in primary swamp forest, whereas no snake was recorded in shrub habitat. Spatial distribution of snake in each habitat type are affected by difference of habitat characteristics, especially cover, water, and easiness to get prey.

(14)

RINGKASAN

AZHARI PURBATRAPSILA. Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh: Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Ular merupakan salah satu herpetofauna yang memiliki jumlah jenis yang tinggi. Terdapat sedikitnya 154 jenis dari 10 suku ular di pulau Kalimantan (Stuebing and Inger, 1999). Meskipun informasi mengenai keanekaragaman jenis ular telah tersedia, namun informasi tersebut masih tergolong umum. Informasi yang lebih spesifik, khususnya di kawasan konservasi masih sangat terbatas. Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) merupakan kawasan konservasi yang memiliki informasi keanekaragaman jenis ular yang terbatas. Padahal TNTP memiliki beragam tipe ekosistem yang dapat menjadi habitat ular. Tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan memetakan sebaran spasial ular di TNTP.

Pengambilan data dilakukan selama 24 hari antara bulan April-Mei 2008 pada 6 tipe habitat (semak/belukar, hutan rawa sekunder (Beguruh), hutan rawa primer riparian (Sungai sekonyer Kanan), hutan rawa primer, Camp tanjung Harapan, dan Camp Leakey). Pengambilan data menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design (Heyer et al., 1994).

Sebanyak 14 jenis dan 12 marga dari 4 suku ular dijumpai selama penelitian. Jumlah ular yang dijumpai merupakan 9,09 % dari total jenis ular di pulau Kalimantan. Seluruh jenis ular yang dijumpai, belum dilindungi undang-undang dan bukan jenis ular endemik. Terdapat dua jenis ular yang termasuk kategori Appendix II CITES, yaitu Naja sumatrana dan Python reticulatus.

Kekayan jenis tertinggi terdapat pada Camp Tanjung Harapan. Habitat ini merupakan daerah ekoton dan memiliki satwa mangsa ular yang melimpah. Sedangkan, kekayaan jenis terendah terdapat pada hutan rawa primer, meskipun pada habitat semak/belukar tidak dijumpai jenis ular. Sebaran spasial jenis ular pada setiap tipe habitat dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik habitat yang ada, terutama tempat berlindung, air, serta kemudahan memperoleh satwa mangsa.

(15)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul ”Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2009

(16)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Seluruh hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit informasi mengenai jenis– jenis ular yang terdapat di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kalimantan Tengah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman Nasional Tanjung Puting, Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kalimantan Tengah, IRATA, OFI, OF-UK, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki berbagai kekurangan. Namun, penulis mengharapkan semua kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini

dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya konservasi herpetofauna, khususnya ular, di TNTP ke arah yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga bermanfaat!

Bogor, April 2009

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 23 Desember 1986 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Zainal Fanani dan Ibu Tunik Purbarenagalih. Pada tahun 2004, penulis lulus dari SMU Negeri 7 Bogor dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) ”Forestra” dan Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) ”Python” pada periode kepengurusan tahun 2005-2006, serta menjadi ketua KPH ”Python” pada periode kepengurusan tahun 2006-2007.

Pada tahun 2007, penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan

Pengelolaan Hutan (P3H) di CA/TWA Kawah Kamojang, CA Leuweung Sancang, dan Perum Perhutani KPH Tasikmalaya. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah pada tahun 2008.

(18)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan yang berguna dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak, Ibu, dan adik-adikku (Lya, Ryan, serta Si kecil Tetryn) atas segala doa, kasih sayang, kepercayaan, dukungan, dan semangat yang tiada henti. 2. Ir. Sudaryanto dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. selaku dosen penguji yang

telah memberikan arahan dan masukan yang berguna bagi penyempurnaan skripsi ini.

3. George T. Saputra (IRATA) atas persetujuan bantuan dana yang diberikan. 4. Ir. Yohanes Sudarto (Kepala Balai TNTP) beserta seluruh staff yang sudah

membantu dan memberikan ijin penelitian.

5. Ir. Ade Suharso, M.Si. (Kepala SKW II BKSDA Kalimantan Tengah) atas bantuan perijinan, masukan dan saran yang diberikan.

6. Prof. Dr. Birute M. F. Galdikas (Pimpinan OFI) atas bantuan, saran, dukungan dan masukan yang diberikan.

7. Stephen Brend (Pimpinan OF-UK) atas bantuan dan dukungan yang diberikan.

8. Pak Ichlas Al Zaqie, Ibu Waliyati, Bang Fajar, Bang Robert, Bang Ifran, Pak Tumin, serta seluruh staff OFI di kantor Pangkalan Bun dan Pasir Panjang atas pengalaman, pengetahuan, informasi, akomodasi, bantuan, dukungan, dan semua kesan positif yang diberikan selama penulis berada di Kalimantan. 9. Iman Sapari dan Keluarga atas kerelaannya membagi tempat tinggal selama

penulis berada di Kalimantan.

(19)

11.Ibu Ika, Ibu Ijum, dan semua staff dapur di Camp Tanjung Harapan, Camp Beguruh, Camp Pondok Ambung, serta Camp Leakey yang selalu menyediakan makanan yang luar biasa nikmat selama penulis melakukan penelitian.

12.Keluarga besar HIMAKOVA dan KPH ”Python”, khususnya periode kepengurusan tahun 2006-2007 atas segala kebersamaan, kekompakan, serta pengalaman yang telah dilalui.

13.Keluarga besar KSH 41 tanpa terkecuali, atas segala kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, suka duka, serta semua hal yang telah dilakukan bersama hingga menjadi pengalaman dan pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi penulis.

14.IC Balio 33B, Base Camp KSH 41 yang telah berkenan untuk dijadikan tempat bersinggah.

15.Semua orang yang menganggap penulis sebagai teman, sahabat, saudara, atau apapun itu, yang telah memberikan perhatian, bantuan, dukungan, semangat, dan kasih sayang, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang disadari maupun tidak disadari, hingga memberikan warna yang berbeda-beda dalam hidup penulis dan membuat ”satu tidak lagi kosong saat berada diantara sepuluh, seratus, seribu, atau bahkan tak terhingga”

Thanks for all..

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ular... 3

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ... 3

2.1.2 Habitat dan Penyebaran... 5

2.2 Penelitian Mengenai Ular yang Telah Dilakukan ... 6

2.3 Penginderaan Jauh ... 7

2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 7

2.4.1 Definisi ... 7

2.4.2 Subsistem SIG ... 8

2.4.3 Komponen SIG ... 9

2.4.4 Aplikasi SIG ... 10

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 11

3.2 Alat dan Bahan ... 11

3.3 Jenis Data ... 11

3.3.1 Data Primer ... 11

3.3.2 Data Sekunder ... 13

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 13

(21)

3.4.2 Data Sekunder ... 15

3.5 Analisis Data ... 15

3.5.1 Analisis Data Keanekaragaman Jenis Ular ... 15

3.5.2 Analisis Data Habitat ... 16

3.6 Diagram Alur Pembuatan Peta Sebaran Ular ... 17

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kawasan ... 18

4.2 Letak Kawasan ... 18

4.3 Fisik Kawasan ... 19

4.3.1 Topografi ... 19

4.3.2 Iklim ... 19

4.3.3 Hidrologi ... 19

4.3.4 Geologi dan Tanah ... 20

4.4 Biotik ... 21

4.4.1 Flora ... 21

4.4.2 Fauna ... 22

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 23

5.1.1 Kondisi Habitat di Lokasi Penelitian ... 23

5.1.2 Kekayaan Jenis Ular ... 30

5.1.3 Kemerataan Jenis Ular ... 32

5.1.4 Sebaran Spasial Jenis Ular ... 32

5.1.5 Kesamaan Jenis Ular ... 40

5.1.6 Peluang Perjumpaan Jenis Ular ... 41

5.2 Pembahasan ... 42

5.2.1 Kekayaan Jenis Ular ... 42

5.2.2 Kemerataan Jenis Ular ... 44

5.2.3 Sebaran Spasial Jenis Ular ... 45

5.2.4 Kesamaan Jenis Ular ... 47

5.2.5 Peluang Perjumpaan Jenis Ular ... 48

(22)

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1. Kesimpulan ... 52 6. 2. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN... 58

(23)

DAFTAR TABEL

(24)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Lokasi penelitian di Taman Nasional Tanjung Puting ... 12 2. Desain plot analisis vegetasi metode jalur berpetak ... 14 3. Diagram alur pembuatan peta sebaran ular ... 17 4. Kondisi lokasi pengamatan di habitat semak/belukar ... 23 5. Kondisi lokasi pengamatan pada habitat hutan rawa sekunder di Beguruh ... 24 6. Kondisi lokasi pengamatan pada habitat hutan rawa sekunder riparian

di Sungai Sekonyer Kanan ... 25 7. Kondisi lokasi pengamatan di habitat hutan rawa primer ... 26 8. Kondisi lokasi pengamatan pada hutan campuran di Camp Tanjung

Harapan ... 28 9. Kondisi lokasi pengamatan pada hutan campuran di Camp Leakey ... 29 10. Kurva pertambahan jenis ular selama penelitian ... 31 11. Histogram nilai indeks kekayaan jenis ular di lokasi penelitian ... 32 12. Histogram nilai kemerataan jenis ular di lokasi penelitian ... 32 13. Peta sebaran ular di seluruh lokasi penelitian ... 34 14. Peta sebaran ular pada habitat hutan rawa sekunder di Beguruh ... 35 15. Peta sebaran ular pada habitat hutan rawa sekunder riparian

di Sungai Sekonyer Kanan ... 36 16. Peta sebaran ular di habitat hutan rawa primer ... 37 17. Peta sebaran ular pada hutan campuran di Camp Tanjung Harapan ... 38 18. Peta sebaran ular pada hutan campuran di Camp Leakey ... 39 19. Dendogram kesamaan jenis ular antar tipe habitat di lokasi penelitian ... 40 20. Dendogram kesamaan jenis ular di TNTP, Malinau, TNBK,

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Daftar jenis tumbuhan hasil analisa vegetasi ... 59 2. Data analisa vegetasi ... 62 3. Data perjumpaan ular selama penelitian ... 69 4. Suhu udara di lokasi penelitian ... 71 5. Suhu air di lokasi penelitian ... 72 6. Data kelembaban udara di lokasi penelitian ... 73 7. Daftar jenis ular di Kalimantan dan TN Tanjung Putting ... 74 8. Perbandingan jenis ular yang dijumpai di TNTP, TNBK, Malinau

(26)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ular merupakan salah satu satwa yang memiliki jumlah jenis yang tinggi. Menurut Halliday dan Adler (2000), ular terdiri dari 2.389 jenis dan 11 famili yang tersebar pada berbagai habitat. Berdasarkan Iskandar dan Colijn (2001), keanekaragaman jenis ular yang ada di Asia Tenggara dan Papua Nugini adalah sebanyak 658 jenis dari 11 famili. Pada beberapa pulau di Indonesia, tercatat sedikitnya 154 jenis dari 10 famili di Kalimantan (Stuebing dan Inger, 1999), 127 jenis dari 9 famili di Sumatera (Patrick dan Vogel, 1996), dan 52 jenis dari 13 famili di Sulawesi (de Lang dan Vogel, 2005).

Meskipun catatan mengenai jenis ular di Indonesia telah tersedia, namun data tersebut masih tergolong umum karena hanya terbatas pada wilayah yang relatif luas. Data yang lebih spesifik mengenai jenis dan penyebaran ular pada

wilayah-wilayah tertentu, terutama pada kawasan-kawasan konservasi di Indonesia masih sangat kurang. Padahal ular memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem kawasan secara alami, baik sebagai predator (pemangsa) maupun sebagai prey (mangsa). Di alam, ular berperan sebagai pengendali hama pertanian (tikus atau hewan pengerat lainnya) yang sangat efektif dan ular juga merupakan mangsa dari jenis satwa lain yang memiliki trophic level yang lebih tinggi (Goin et al., 1978; O’Shea, 1996; Link, 2005).

(27)

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan memetakan sebaran spasial ular yang dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting.

1.3 Manfaat Penelitian

(28)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Ular

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Klasifikasi ular menurut Goin et al. (1978) dan Gow (1989) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class : Reptilia Sub Class : Lepidosauria Order : Squamata Sub Order : Serpentes Infra Order : Scolecophidia

Henophidia Caenophidia

Ular tidak memiliki kaki, lubang telinga, dan kandung kemih (urinary bladder). Kelopak mata pada ular tidak dapat digerakkan. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik transparan yang dapat berganti pada jangka waktu tertentu. Ular mendeteksi mangsa dengan menggunakan sensor kimia, disebut Jacobson organ, yang terletak pada bagian dalam rahang atas dengan memanfaatkan lidahnya yang bercabang untuk menangkap partikel-partikel kimia di udara dan getaran yang ditimbulkan oleh mangsa, kemudian dimasukkan ke dalam organ tersebut secara cepat dan berulang.

(29)

Ular memiliki ruas tulang belakang lentur yang terdiri dari sekitar 400 vertebra. Setiap vertebra memiliki sepasang tulang rusuk, kecuali vertebra ekor. Bagian bawah tulang rusuk ular tidak menyambung sehingga dapat meregang ketika ular menelan mangsa yang besar (Setford, 2005).

Ular dapat digolongkan berdasarkan tipe taring bisa yang dimilikinya. Ada empat tipe taring bisa ular, yaitu Aglypha, Ophistoglypha, Proteroglypha, dan Solenoglypha (Suhono, 1986; Zug, 1993; Supriatna, 1995; Shine, 1999; Setford, 2005).

1. Aglypha

Merupakan jenis ular yang tidak memiliki taring bisa. Ular dengan tipe taring bisa ini tidak berbahaya jika menggigit. Namun beberapa jenis ular dengan tipe seperti ini memiliki ukuran tubuh yang sangat besar. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Python sp., Elaphe sp., dan Morelia sp.

2. Ophistoglypha

Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa pada bagian belakang rahang atas. Bisa yang yang terdapat pada jenis ular ini tergolong bisa menengah dan tidak berbahaya bagi manusia. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Ahaetulla sp., Boiga sp., dan Enhydris sp.

3. Proteroglypha

Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa pada bagian depan rahang atas. Ular dengan tipe taring bisa ini termasuk ular yang sangat berbahaya. Bisa yang terkandung umumnya berjenis neurotoxin yang menyerang pusat syaraf pernafasan. Jika tidak segera dilakukan penanganan lebih lanjut setelah digigit ular ini, maka akan mengakibatkan kematian pada korban yang digigit. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Naja sp., Bungarus sp., Laticauda sp., dan Ophiophagus hannah.

4. Solenoglypha

(30)

jaringan darah. Umumnya kelompok ular dengan tipe taring seperti ini memiliki kepala berbentuk segitiga. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Trimeresurus sp., Calloselasma rhodostoma, dan Daboia rusellii.

2.1.2 Habitat dan Penyebaran

Menurut Odum (1971), habitat merupakan tempat suatu individu hidup, sedangkan menurut Alikodra (2002) habitat merupakan suatu kesatuan fisik maupun biotik yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwaliar.

Ular termasuk kedalam salah satu jenis herpetofauna yang memiliki habitat dan penyebaran sangat luas. Ular dapat ditemukan di seluruh dunia, kecuali di daerah kutub. Secara garis besar, ular dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok, antara lain ular terrestrial yang hidup di tanah/daratan, ular akuatik dan semi akuatik yang hidup di daerah perairan, ular fossorial yang hidup di dalam tanah, dan ular arboreal yang hidup di atas pohon (Goin et al., 1978; Mattison, 1992; Halliday dan Adler, 2000).

Umumnya ular dapat ditemukan pada daerah yang memiliki suhu, kelembaban, serta cahaya matahari yang stabil (Mattison, 1992; Putegnat, 2006). Ular jarang ditemukan pada tempat-tempat yang dingin dan memiliki temperatur

yang ekstrim, namun jenis Agkistrodon himalayanus pernah ditemukan pada ketinggian 4900 m dpl di daerah pegunungan yang merupakan habitat yang tidak ideal bagi ular dari jenis lain (Mattison, 1992). Menurut Matthews et al. (2002), faktor penting lainnya yang mempengaruhi penyebaran ular pada suatu habitat adalah ketersediaan satwa amfibi sebagai mangsanya. Selain itu, ketinggian tempat juga mempengaruhi penyebaran ular, terutama dalam hal keanekaragaman jenis dan kelimpahannya (Hofer et al., 2000; Endarwin, 2006)

(31)

2.2 Penelitian Mengenai Ular yang Telah Dilakukan

Pada umumnya herpetofauna Indonesia (termasuk ular) tidak banyak dikenal, baik dari segi taksonomi, ciri-ciri biologi maupun ciri-ciri ekologinya. Daerah penyebaran suatu jenis sangat sedikit diketahui. Hal ini disebabkan karena lambatnya penelitian tentang herpetofauna di Indonesia, terutama ular, dibandingkan dengan negara lain (Iskandar dan Erdelen, 2006).

Beberapa laporan yang mengungkapkan hasil penelitian maupun kompilasi deskripsi jenis mengenai ular yang dilakukan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, antara lain dilakukan oleh Boeadi et al. (1998), Cox et al. (1998), Erdelen (1998), Sugardjito et al. (1998), Shine et al. (1999a), Shine et al. (1999b), Stuebing dan Inger (1999), Harvey et al. (2000), Iskandar dan Colijn (2001), Nugroho (2003), de Lang dan Vogel (2005) serta Husna (2006).

Khusus untuk Pulau Kalimantan, penelitian mengenai ular yang telah di lakukan masih terbatas. Data ular yang tersedia saat ini sebagian besar merupakan hasil dari kompilasi deskripsi jenis yang berupa buku panduan lapangan maupun laporan umum, seperti Stuebing dan Inger (1999), Iskandar (2004), Meijaard et al. (2005), dan lainnya. Terbatasnya penelitian mengenai ular di Kalimantan menyebabkan sedikitnya pengetahuan masyarakat mengenai jenis-jenis ular yang terdapat di kawasan tersebut. Selama ini, jenis ular yang telah banyak diketahui

oleh masyarakat adalah jenis Python reticulatus yang oleh sebagian masyarakat telah dimanfaatkan untuk diambil kulitnya atau untuk dikonsumsi (Stuebing dan Inger, 1999).

(32)

2.3 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu teknik mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa bersentuhan fisik. Fisher dan Lindenberg (1989) dalam Claasen (1992) menjelaskan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu kegiatan pengumpulan data keruangan dari spektrum elektromagnetik dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek yang diamati.

Penginderaan jauh umumnya digunakan untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Data hasil interpretasi penginderaan jauh bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, kehutanan, geografi, geologi, arkeologi, dan berbagai bidang lainnya. Banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh, membuat penerapannya semakin lama menjadi semakin berkembang.

Menurut Lillesand dan Kiefer (1979), keberhasilan penerapan penginderaan jauh meningkat cukup pesat dengan menggunakan pendekatan multi

pandang. Pendekatan tersebut, meliputi penginderaan multi tingkat (data suatu daerah dikumpulkan dari berbagai tinggi), penginderaan multi spektral (data suatu daerah diperoleh dari beberapa saluran spektral secara bersamaan), serta penginderaan multi temporal (data suatu daerah dikumpulkan dengan lebih dari satu tanggal pemotretan).

2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.4.1 Definisi

(33)

berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisa informasi geografis.

Burrough (1986) mendefinisikan SIG sebagai sistem penanganan dan pengolahan data serta informasi geografis, baik data atribut maupun data spasial. Data spasial dapat disajikan dalam dua model, yaitu model raster berupa grid atau kisi dan model vektor (Paryono, 1994). Pada model data raster, semua objek disajikan dalam bentuk sel yang disebut piksel (picture element). sedangkan pada model data vektor, objek disajikan sebagai titik atau segmen-segmen garis.

SIG dapat dianggap sebagai sistem pengelolaan peta. Berbagai peta disimpan untuk digunakan kembali sewaktu-waktu. Peta yang ada dapat dianalisis dan dimanipulasi sehingga membentuk peta baru yang disajikan sebagai pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan, seperti perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, dan sebagainya.

2.4.2 Subsistem SIG

Berdasarkan definisi-definisi yang telah berkembang, Prahasta (2002) menguraikan SIG menjadi beberapa subsistem, yaitu masukan data, keluaran data, manajemen data, serta manipulasi data.

1. Masukan data

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggung jawab dalam mengkonversi format-format data aslinya kedalam format yang dapat digunakan SIG.

2. Keluaran data

Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy ataupun hardcopy seperti grafik, tabel, peta dan lain-lain.

3. Manajemen data

(34)

4. Manipulasi dan analisis data

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan permodelan data untuk mengahasilkan informasi yang diharapkan.

2.4.3 Komponen SIG

SIG merupakan sistem kompleks yang terintegrasi dengan sistem-sistem komputer lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG terdiri dari beberapa komponen, yaitu perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografi, serta manajemen data (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2002).

1. Perangkat keras

Saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras, mulai dari PC desktop, workstations, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki harddisk yang besar, dan memiliki kapasitas memori (RAM) yang besar. Perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer, mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner.

2. Perangkat lunak

SIG merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secar modular,

dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul, sehingga terdapat ratusan program yang dapat dieksekusi sendiri.

3. Data dan informasi geografis

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data serta informasi yang diperlukan, baik secara tidak langsung (mengimportnya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain) maupun secara langsung (mendijitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari table-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard).

4. Manajemen data

(35)

2.4.4 Aplikasi SIG

SIG dapat digunakan untuk perencanaan tata ruang (penggunaan lahan), perencanaan geologi, pengelolaan sumberdaya alam, lingkungan, satwaliar, perencanaan pertanian, perencanaan tata kota, lalu lintas, dan transportasi (jaringan jalan), perencanaan rekreasi, serta perencanaan pelayanan umum (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2002).

(36)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Pengambilan data dilakukan selama 24 hari antara bulan April - Mei 2008 pada beberapa tipe habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Gambar 1), meliputi habitat semak/belukar, hutan rawa sekunder di Beguruh, hutan rawa sekunder riparian di Sungai Sekonyer Kanan, hutan rawa primer, hutan campuran di Camp Tanjung Harapan, dan hutan campuran di Camp Leakey.

3.2 Alat dan Bahan

[image:36.595.118.493.377.553.2]

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan kegunaannya (Tabel 1).

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Kegunaan Alat dan Bahan

1 Pembuatan plot analisis vegetasi

Kompas, meteran (50m), meteran jahit, tambang plastik, tali rafia.

2 Pengambilan data ular GPS, Tongkat ular, kantong spesimen, buku panduan identifikasi jenis ular, senter, baterai, kaliper, spidol permanen.

3 Pengukuran faktor fisik lingkungan

Termometer air raksa, Hygrometer.

4 Analisis data ArcView 3.3, Minitab 14, peta penutupan lahan TNTP, peta sungai TNTP, peta batas kawasan, serta peta study area Camp Leakey.

5 Preservasi Alat suntik, alkohol 70%, kapas, kertas label, benang jahit, kotak penyimpanan spesimen.

6 Dokumentasi Kamera, tally sheet, alat tulis.

3.3 Jenis Data 3.3.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan, antara lain: 1. Data ular: nama jenis, jumlah individu jenis, waktu ditemukan, posisi (vertikal dan horizontal) dan koordinat, substrat, sex, aktifitas, panjang tubuh (SVL), dan panjang ekor.

(37)
[image:37.842.103.750.121.492.2]
(38)

1. Kondisi umum lokasi penelitian.

2. Peta tipe penutupan lahan Taman Nasional Tanjung Puting. 3. Peta sungai Taman Nasional Tanjung Puting.

4. Peta batas kawasan Taman Nasional Tanjung Puting.

5. Peta study area Camp Leakey

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

1. Data keanekaragaman jenis ular

Pengambilan data keanekaragaman jenis ular dilakukan dengan menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design (Heyer et al., 1994). Langkah-langkah pengambilan data, yaitu:

a. Survei pendahuluan

Survei pendahuluan dilakukan sebelum pengambilan data. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap lokasi penelitian sehingga mempermudah penentuan lokasi pengamatan dan memperbesar peluang menemukan ular.

b. Inventarisasi ular

Kegiatan ini dilakukan pada waktu pagi hari dan malam hari. Pengamatan pagi hari dilakukan pada pukul 08.30-11.30 WIB, sedangkan pengamatan malam hari dilakukan pada pukul 20.00-23.00 WIB. Pengamatan dilakukan dengan 4 (empat) kali ulangan pada setiap lokasi penelitian dan difokuskan pada tempat-tempat yang diperkirakan menjadi sarang atau tempat-tempat persembunyian ular, seperti ranting pohon, di bawah kayu lapuk, diantara akar-akar pohon, di celah-celah

batu, di lubang dalam tanah, di bawah tumpukan serasah, atau di tepi sungai. Pengamatan dilakukan dengan berjalan secara acak pada lokasi yang telah ditentukan dengan jumlah pengamat sebanyak 2 orang.

c. Pengumpulan spesimen

(39)

datanya. Data ular yang dicatat saat ditemukan meliputi jenis, waktu, aktifitas, substrat, serta posisi (vertikal dan horizontal). Ular yang berhasil dikumpulkan, dibawa untuk diukur panjang tubuh (SVL) dan panjang ekornya lalu diidentifikasi. d. Preservasi spesimen

Jenis ular yang belum teridentifikasi di lapangan, akan diawetkan dengan alkohol 70% dan disimpan dalam kotak spesimen serta diberi label. Spesimen yang telah dipreservasi akan diidentifikasi lebih lanjut di Laboratorium Herpetologi Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi-LIPI Cibinong. Seluruh spesimen yang diambil selanjutnya disimpan di Laboratorium Herpetologi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan-IPB Bogor.

2. Data habitat

Data habitat diperoleh dengan mencatat suhu udara dan kelembaban udara pada awal dan akhir pengamatan, serta melakukan analisis vegetasi dengan tujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi yang menjadi habitat ular. Analisis vegetasi dilakukan pada tipe habitat hutan alam yang mendominasi sebagian besar kawasan TNTP, yaitu pada hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder, dengan menggunakan metode jalur berpetak berdasarkan Soerianegara

dan Indrawan (1987). Sedangkan pada habitat hutan campuran, tidak dilakukan analisis vegetasi karena pengambilan data ular hanya dilakukan di sekitar areal bangunan camp yang terdapat di dalam hutan campuran tersebut. Desain plot analisis vegetasi metode jalur berpetak disajikan pada Gambar 2.

Keterangan:

[image:39.595.150.474.577.734.2]

A = 2x2 m (Tingkat semai) B = 5x5 m (Tingkat pancang) C = 10x10 m (Tingkat tiang) D = 20x20 m (Tingkat pohon)

Gambar 2 Desain plot analisis vegetasi metode jalur berpetak.

B

A Arah Jalur

C D

A

B C

D

D

(40)

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis Data Keanekaragaman Jenis Ular

1. Kekayaan jenis

Kekayaan jenis ular dihitung dengan menggunakan indeks kekayaan jenis Margalef:

 

Keterangan:

DMG = Indeks kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis

N = Total individu

2. Kemerataan Jenis

Kemerataan jenis ular dihitung dengan menggunakan rumus (Brower dan Zar, 1977):

 

Keterangan:

E = Indeks kemerataan jenis

H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener S = Jumlah jenis

ln = Logaritma natural

3. Kesamaan jenis

Kesamaan jenis ular antar tipe habitat yang dijumpai di lokasi penelitian ditunjukkan melalui dendogram dari hasil analisis klaster menggunakan metode ward linkage correlation coefficient distance pada Minitab 14.

4. Peluang perjumpaan

(41)

 

Keterangan:

Pp = Peluang perjumpaan ni = Jumlah jenis ke-i

t = Waktu pengamatan

3.5.2 Analisis Data Habitat

Analisis vegetasi dilakukan untuk menentukan komposisi dan dominansi suatu jenis tumbuhan pada suatu komunitas. Dominansi suatu jenis pohon digambarkan oleh besaran Indeks Nilai Penting (INP) yang diperoleh dari hasil perhitungan. Untuk vegetasi tingkat pohon dan tiang, nilai INP diperoleh dari hasil penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR). Sedangkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang,

INP diperoleh dari hasil penjumlahan antara Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (FR). Data habitat lainnya dijelaskan secara deskriptif sesuai dengan kondisi lapangan.

Persamaan yang digunakan dalam analisis vegetasi ini adalah: 1. Kerapatan Jenis 

2. Frekuensi Jenis

3. Dominansi Jenis

 

 

4. Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon dan tiang

(42)

5. Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang dan semai

6. Luas Bidang Dasar (LBDS)

3.6 Diagram Alur Pembuatan Peta Sebaran Ular

[image:42.595.177.449.277.541.2]

Langkah-langkah pembuatan peta sebaran ular berdasarkan tipe habitat di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alur pembuatan peta sebaran ular.

PETA PENUTUPAN LAHAN TANJUNG

PUTING

PETA SEBARAN ULAR

PENANDAAN KOORDINAT ULAR INVENTARISASI

(43)

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Kawasan

Taman Nasional Tanjung Puting termasuk salah satu kawasan konservasi yang ditetapkan sebagai Cagar Biosfer sejak tahun 1977. Penetapan kawasan ini bertujuan untuk perlindungan terhadap dua jenis satwa langka dan dilindungi, yaitu orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan bekantan (Nasalis larvatus).

TN Tanjung Puting awalnya merupakan kawasan konservasi seluas 305.000 Ha, terdiri dari CA Kotawaringin (100.000 Ha) dan SM Sampit (205.000 Ha). Sesuai dengan penetapan batas kawasan yang dilakukan mulai tahun 1969/1970 hingga 1973/1974, kawasan Tanjung Puting mengalami perubahan luasan menjadi 270.040 Ha. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 698/Kpts/UM/11/1978 pada tanggal 13 November 1978, Tanjung Puting diperluas menjadi 300.040 Ha.

Kawasan Tanjung Puting ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis Dirjen PHPA dengan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts/111984 tanggal 12 Mei 1984, kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun yang sama dengan luas

305.040 Ha berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 46/Kpts/VI-Sel/1984. Kawasan TN Tanjung Puting mendapat tambahan areal dari eks HPH PT. Hezubasah seluas 90.000 Ha dan kawasan perairan disekitarnya seluas 25.000 Ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-11/1996 tanggal 25 Oktober 1996, sehingga luas total kawasan TN Tanjung Puting menjadi 415.040 Ha (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.2 Letak Kawasan

(44)

4.3 Fisik Kawasan 4.3.1 Topografi

Secara umum, topografi TN Tanjung Puting adalah datar sampai bergelombang dengan ketinggian kurang dari 50 meter diatas permukaan laut. Di bagian Utara, terdapat beberapa punggung pegunungan yang rendah dan bergelombang serta umumnya mengarah ke Selatan, akan tetapi di sebelah Selatan dari Sungai Sekonyer tidak terdapat pegunungan atau bukit. Anak-anak sungai telah terbentuk karena terjadinya luapan air sungai pada waktu musim hujan.

Natai atau tanah tinggi banyak dijumpai di bagian tengah kawasan taman nasional. Natai ini terisolasi oleh rawa atau danau yang besar dimana jarang dijumpai pepohonan. Keadaan ini akan lebih tampak terutama pada musim hujan, yaitu antara bulan Oktober sampai dengan Februari. Daerah pantai sebagian berpasir (antara sungai Arut Tebal sampai Teluk Ranggau di bagian Barat dan Pantai Selatan) dan sebagian berlumpur (mulai dari muara Sungai Sekonyer ke selatan sampai Sungai Arut Tebal) (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.3.2 Iklim

Kawasan TN Tanjung Puting mempunyai curah hujan rata-rata mencapai

2.400 mm/tahun. Suhu maksimum bervariasi dari 31-33° C dan suhu minimum bervariasi dari 18-21° C. Menurut Schmidt & Fergusson, tipe iklim seperti ini termasuk dalam iklim selalu basah tipe A (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.3.3 Hidrologi

(45)

Banjir sering terjadi dan beberapa danau sering terbentuk di daerah hulu pada musim hujan, mulai bulan Oktober sampai dengan April. Air tanah menjadi bagian penting dari semua habitat di TN Tanjung Puting dan lebih dari 60% kawasan tergenang air paling tidak selama 4 bulan setiap tahunnya.

Selama musim kemarau yang panjang, air payau dapat masuk ke daerah hulu sejauh ± 10 km, sepanjang Sungai Sekonyer. Fluktuasi harian dari permukaan air Sungai Sekonyer yang terkait dengan adanya pasang surut dapat diukur sampai ± 15 km dari muara. Fluktuasi musiman permukaan air di daerah rawa-rawa memiliki variasi rata-rata antara 1,5 sampai 2 meter dan di beberapa tempat bisa mencapai 3 meter (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.3.4 Geologi dan Tanah

TN Tanjung Puting relatif berumur geologi muda dan daerah berawa-rawa datar yang meluas ke pedalaman sekitar 5-20 km dari pantai mungkin hanya berumur beberapa ratus sampai beberapa ribu tahun saja. Sebagian besar sedimen tanah/lumpur adalah alluvial muda. Bagian utara kawasan yang mencuat beberapa meter diatas permukaan laut mungkin merupakan bagian dari deposisi "sandstone" tertiary.

Pada umumnya, tanah di kawasan TN Tanjung Puting adalah miskin hara (kurang subur), tercuci berat serta kurang berkembang. Semua tanah bersifat sangat asam dengan kisaran pH antara 3,8-5,0. Tanah-tanah di sekitar anak-anak sungai dicirikan oleh suatu lapisan top soil yang berwarna abu-abu kecoklatan serta suatu lapisan sub soil yang lengket yang juga berwarna abu-abu kecoklatan.

(46)

adalah sangat tidak subur dan secara umum hanya mampu mendukung usaha pertanian secara temporer (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.4 Biotik 4.4.1 Flora

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2004), TN Tanjung Puting memiliki beberapa tipe ekosistem, yaitu: hutan dataran rendah, hutan tanah kering (hutan kerangas), hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan sekunder. Jenis-jenis tumbuhan yang dapat ditemui di dalam kawasan adalah Gonystylus bancanus, Shorea sp., Dyera costulata, Aquilaria sp., Dipterocarpus sp., Eusideroxylon zwageri, Dacrydium sp., Lithocarpus sp., Castanopsis sp., Hopea sp., Schima sp., Melaleuca sp., Diospyros sp., Vatica sp., Tetramerista sp., Palaquium sp., Campnosperma sp., Casuarina sp., Alstonia sp., Durio sp., Calophyllum sp., Pandanus sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., Barringtonia sp., Nypa fruticans, Podocarpus sp., Calamus sp., dan Imperata cylindrica.

Pada bagian Utara kawasan terdapat hutan kerangas dan di lantai hutannya terdapat jenis tumbuhan pemakan serangga seperti Nepenthes sp. Hutan rawa

gambut yang tumbuhannya memiliki akar lutut, dan akar nafas yang mencuat dari permukaan air, ditemukan di bagian Tengah kawasan dan di tepi beberapa sungai. Di sepanjang tepi sungai di kawasan ini terdapat hutan rawa air tawar dengan jenis tumbuhan yang kompleks, termasuk jenis tumbuhan merambat berkayu yang besar dan kecil, epifit, dan paku-pakuan dalam jumlah besar. Di daerah Utara menuju Selatan kawasan, terdapat belukar yang luas yang merupakan areal bekas tebangan dan kebakaran.

(47)

4.4.2 Fauna

Kawasan TN Tanjung Puting dihuni oleh sekitar 38 jenis mamalia. Jenis-jenis tersebut, diantaranya tupai (Tupaia spp.), tangkasi (Tarsius bancanus), kukang (Nyctycebus coucang), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), kelasi (Presbytis rubicunda), lutung (Presbytis cristata), bekantan (Nasalis larvatus), owa Kalimantan (Hylobates agilis), orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), trenggiling (Manis javanica), bajing (Ratufa affinis), landak (Hystrix brachyura), beruang madu (Helarctos malayanus), berang-berang (Lutra sp.), kucing batu (Felis bengalensis), macan dahan (Neofelis nebulosa), babi hutan (Sus barbatus), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), dan duyung (Dugong dugon) (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

Daftar awal (preliminary list) mencatat 200 jenis burung hidup di kawasan ini. Beberapa jenis yang telah tercatat misalnya "the bornean Bristlehead" atau "bald headed wood shrike" (Pityariasis gymnocephala), dinyatakan jarang ditemukan di tempat lain di Kalimantan. Jenis burung yang paling penting di TN Tanjung Puting adalah sindanglawe (“storm's stork”, Ciconia stormii), yang termasuk dalam 20 jenis burung bangau paling langka di dunia serta dimasukkan ke dalam kategori terancam punah oleh IUCN (Direktorat Jenderal Perlindungan

Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

(48)

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Kondisi Habitat di Lokasi Penelitian

[image:48.595.113.518.360.449.2]

Habitat semak/belukar yang dijadikan lokasi penelitian merupakan areal tak berhutan yang didominasi oleh tumbuhan herba berupa alang-alang (Imperata cylindrica) dan bruta (Dicranopteris curranii), serta beberapa jenis tumbuhan berkayu, seperti jamai (Rhodamnia cinerea), karamunting kodok (Melastoma polyanthum), karamunting padang (Melastoma malabathricum), lowari (Schima wallichii), dan halaban (Vitex pubescens). Selain itu, terdapat pula beberapa pohon mati akibat kebakaran hutan dan hanya menyisakan batang pohon yang hangus. Jenis herpetofauna yang dijumpai, yaitu Eutropis multifasciata.

Gambar 4 Kondisi lokasi pengamatan di habitat semak/belukar.

Areal ini mengalami kebakaran yang besar pada tahun 2006, sehingga sebagian besar tumbuhan yang terdapat di tempat ini mengalami kematian. Pada

areal ini tidak terdapat sumber air, menyebabkan areal ini sangat kering. Permukaan lahan berupa pasir putih. Areal ini memiliki topografi yang datar dengan ketinggian sekitar 20 mdpl. Suhu udara pada saat pengamatan berkisar antara 25,5 – 31,5 ° C (pagi) dan 24 - 26 ° C (malam). Kelembaban udara berkisar antara 61 – 81 % (pagi) dan 74 – 91 % (malam). Saat ini, areal semak/belukar yang dijadikan lokasi penelitian telah menjadi kawasan rehabilitasi lahan dan dikelola oleh salah satu mitra TNTP, yaitu Friends of the National Park Foundation (FNPF).

(49)

Meskipun memiliki tipe penutupan lahan yang sama, namun lokasi ini dijadikan tempat pengambilan data karena memiliki perbedan yang diduga mempengaruhi keragaman jenis ular yang ada.

[image:49.595.135.493.341.463.2]

Hutan rawa sekunder yang terdapat di Beguruh merupakan hutan rawa yang tidak selalu tergenang air. Sumber air yang terdapat di habitat tersebut berasal dari air hujan. Jika turun hujan, terdapat aliran air yang menyerupai sungai kecil. Namun setelah beberapa hari tidak turun hujan, aliran air tersebut akan kering dan hanya menyisakan genangan air di antara akar-akar pohon. Lantai hutan berupa timbunan serasah yang berasal dari lapukan daun dan akar pohon yang telah mati. Tutupan tajuk tidak terlalu rapat, sehingga sinar matahari masih dapat menembus hingga lantai hutan.

Gambar 5 Kondisi lokasi pengamatan pada habitat hutan rawa sekunder di Beguruh.

Habitat ini memiliki topografi yang datar dengan ketinggian 27 mdpl. Suhu udara pada saat pengamatan berkisar antara 26 – 31,5° C (pagi) dan 24,5 -

(50)

glandulosa, Limnonectes malesianus, Rhacophorus pardalis, serta Polypedates macrotis.

Berbeda dengan hutan rawa sekunder yang terdapat di Beguruh, hutan rawa sekunder di sepanjang aliran Sungai Sekonyer Kanan merupakan hutan rawa riparian yang tergenang oleh air dari sungai secara berkala. Pada saat musim hujan, aliran air sungai akan meluap atau melebar masuk ke dalam hutan hingga mencapai 100 – 200 meter dari aliran sungai saat normal. Hal ini disebabkan karena tepian sungai memiliki ketinggian yang hampir sama dengan aliran sungai.

[image:50.595.125.504.383.500.2]

Sungai Sekonyer Kanan memiliki aliran air yang tenang dengan air yang berwarna seperti air teh sebagai akibat dari dekomposisi bahan-bahan organik dari lapukan daun atau tumbuhan yang telah mati. Lebar badan sungai sekitar 5 – 15 meter dan kedalaman sungai sekitar 4 – 8 meter. Air sungai memiliki nilai pH sebesar 5.

Gambar 6 Kondisi lokasi pengamatan pada habitat hutan rawa sekunder riparian di Sungai Sekonyer Kanan.

Habitat hutan rawa sekunder riparian ini apabila musim kemarau tidak tergenang air sungai sehingga lantai hutannya kering, namun tetap terdapat genangan air pada beberapa tempat. Pada saat musim hujan atau saat air sungai meluap, lantai hutan akan tergenang air hingga mencapai kedalaman 2 meter. Panjang hutan rawa yang menjadi lokasi pengamatan sekitar 4 km mengikuti aliran sungai.

(51)

(pagi dan malam). Kelembaban udara berkisar antara 66 - 91 % (pagi) dan 84 - 91 % (malam). Jenis pohon yang mendominasi antara lain, tingkat semai didominasi oleh kayu malam dengan INP sebesar 62,50 %, tingkat pancang didominasi oleh pansulan (Pternandra caerulescens) dengan INP sebesar 21,22%, tingkat tiang dan pohon didominasi oleh ketiau (Ganua motleyana) dengan INP sebesar 46,43 % dan 58,63 %. Jenis tumbuhan lain yang terdapat di lokasi ini, antara lain bruta (Dicranopteris curranii), kantong semar (Nepenthes sp.), serta liana. Jenis herpetofauna yang dijumpai, antara lain Eutropis rudis, Eutropis multifasciata, Varanus salvator, Draco sp., Cyrtodactylus sp., Tomistoma schlegelii, Pseudobufo subasper, Rana glandulosa, serta Rana chalconota.

Habitat hutan rawa primer yang dijadikan lokasi penelitian terdapat pada study area di Camp Leakey. Pengamatan dilakukan melewati jalur study area hingga menembus beberapa jalur study area lainnya. Areal pengamatan terletak di sekitar Jalan Anang Deni, Jalan X, Jalan 12, Jalan 19, Jalan Suharto, Jalan 14, Jalan Tepi Rawa, Jalan RR2, dan Jalan Haribut Utara.

Habitat hutan rawa primer ini terletak pada ketinggian sekitar 40 mdpl dengan topografi datar. Meskipun memiliki topografi yang datar, pengamatan pada lokasi ini merupakan pengambilan data tersulit dibandingkan lokasi lainnya karena permukaan lantai hutannya akan masuk hingga kedalaman tertentu bila

[image:51.595.151.476.589.708.2]

diinjak sehingga agak sulit untuk melangkah. Selain itu, terdapat akar-akar pohon yang muncul ke permukaan dengan membentuk celah-celah diantara akar tersebut, sehingga dilakukan pengecekan setiap celah tersebut karena diduga dapat menjadi tempat berlindung ular.

(52)

Penutupan tajuk pada lokasi ini rapat, sehingga sinar matahari hanya sedikit menembus hingga lantai hutan. Lantai hutan berupa timbunan bahan organik dari tumbuhan yang telah mati. Tergenang air pada beberapa tempat, terutama di sekitar perakaran pohon. Sumber air berasal dari air hujan. Jika diinjak, permukaan lantai hutan akan masuk 5 – 10 cm. Bahkan pada beberapa tempat yang tergenang, permukaan hutan dapat masuk hingga kedalaman 1 m. Perakaran pohon bertipe akar lutut dan akar tunjang. Tipe perakaran seperti ini diduga merupakan adaptasi dari pohon-pohon di hutan rawa untuk memperoleh udara, karena lantai hutan di sekitar perakaran pohon selalu tergenang air, dan kondisi air pada lantai hutan bersifat oligotrofik (tidak subur).

Suhu udara pada saat pengamatan di habitat hutan rawa primer berkisar antara 23,5 – 30° C (pagi) dan 23,5 - 26° C (malam). Kelembaban udara berkisar antara 72 - 87 % (pagi) dan 72 - 95 % (malam). Jenis pohon yang mendominasi antara lain, tingkat semai didominasi oleh ubar merah (Syzygium leucoxylon) dengan INP sebesar 23,87 %, tingkat pancang didominasi oleh kumpang (Knema cinerea) dengan INP sebesar 16,12 %, tingkat tiang didominasi oleh bekapas (Vatica oblongifolia) dengan INP sebesar 86,23 %, dan tingkat pohon didominasi oleh lanan (Shorea ovalis) dengan INP sebesar 47,02 %. Jenis tumbuhan lain yang terdapat di lokasi ini, antara lain anggrek, kantong semar (Nepenthes sp.),

paku-pakuan, epifit, serta liana. Jenis herpetofauna yang dijumpai, antara lain Eutropis rudis, Gonocephalus borneensis, Broncochela jubata, Rana glandulosa, Polypedates macrotis, serta polypedates colletii.

Habitat lainnya yang menjadi lokasi penelitian, yaitu hutan campuran di sekitar Camp Tanjung Harapan dan hutan campuran di sekitar Camp Leakey. Kedua lokasi ini merupakan areal rehabilitasi orangutan yang menjadi objek wisata utama TNTP melalui pemberian pakan (feeding) orangutan. Intensitas manusia yang berada di lokasi ini sangat tinggi, sehingga diduga dapat menjadi salah satu ancaman terhadap ular.

(53)

rawa. Meskipun memiliki tipe penutupan lahan yang hampir sama, namun kedua lokasi ini terletak pada dua sub DAS yang berbeda dan memiliki tingkat ancaman yang berbeda.

[image:53.595.128.504.344.459.2]

Hutan campuran di Camp Tanjung Harapan terletak di tepi Sungai Sekonyer yang merupakan batas kawasan Taman Nasional. Selain itu, terdapat beberapa desa yang terletak di sekitar aliran sungai. Di hulu sungai ini terdapat aktivitas pertambangan pasir dan emas secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Limbah pertambangan tersebut dibuang ke sungai yang mengakibatkan pencemaran air sungai dan merubah warna sungai menjadi cokelat keruh. Terdapat beberapa bangunan yang digunakan menjadi pos jaga dan pusat informasi.

Gambar 8 Kondisi lokasi pengamatan pada hutan campuran di Camp Tanjung Harapan.

Hutan campuran di Camp Leakey terletak di tepi Sungai Sekonyer Kanan. Kondisi air sungai relatif masih baik dan tidak mengalami pencemaran seperti

pada Sungai Sekonyer. Pada lokasi ini, terdapat banyak petugas lapangan dari Orangutan Foundation Internasional (OFI) yang sangat protektif terhadap kelestarian ekosistem di areal Camp. Lokasi ini menjadi pusat rehabilitasi orangutan di TNTP.

(54)
[image:54.595.128.504.262.378.2]

Lokasi pengamatan di hutan campuran di Camp Tanjung Harapan terletak pada ketinggian 12 mdpl, sedangkan lokasi pengamatan di hutan campuran di Camp Leakey terletak pada ketinggian 30 mdpl. Topografi kedua lokasi tersebut relatif datar dengan penutupan tajuk sedang. Hutan campuran di Camp Tanjung Harapan memiliki permukaan lahan berupa pasir putih, sedangkan hutan campuran di Camp Leakey memiliki permukaan lahan berupa tanah berwarna hitam dengan lapisan serasah tipis.

Gambar 9 Kondisi lokasi pengamatan pada hutan campuran di Camp Leakey.

Suhu udara pada saat pengamatan di hutan campuran di Camp Tanjung Harapan berkisar antara 25 – 31° C (pagi) dan 23,5 - 27° C (malam), serta suhu air berkisar antara 25,5 – 26,5° C (pagi) dan 25– 26° C (malam). Kelembaban udara berkisar antara 65 - 93 % (pagi) dan 84 - 99 % (malam). Jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi ini, antara lain rasau (Pandanus sp.), bakung (Crinum sp.), ketiau (Ganua motleyana), pempaning (Quercus bennettii), sungkai (Peronema canescens), pulai (Alstonia scholaris), nenasi, ubar (Syzygium sp.), beberapa jenis tumbuhan epifit, serta liana. Jenis herpetofauna yang dijumpai di habitat hutan campuran di Camp Tanjung Harapan, antara lain Lipinia vittigera, Cyclemis sp., Varanus salvator, Apterygodon vittatus, Orlitia borneensis, Rhacophorus appendiculatus, Polypedates macrotis, serta Polypedates colletii.

Suhu udara pada saat pengamatan di hutan campuran di Camp Leakey berkisar antara 26 - 31° C (pagi) dan 23,5 - 26° C (malam). Kelembaban udara

(55)

banitan, aru (Casuarina sumatrana), ulin (Eusideroxylon zwageri), beberapa jenis tumbuhan epifit, serta liana. Jenis herpetofauna yang dijumpai di habitat hutan campuran di Camp Leakey, antara lain Varanus salvator, Takydromus sexlineatus, Eutropis multifasciata, Apterygodon vittatus, Rhacophorus appendiculatus, serta Rana baramica.

5.1.2 Kekayaan Jenis Ular

[image:55.595.205.402.399.477.2]

Kekayaan jenis merupakan ukuran keanekaragaman hayati yang menggambarkan jumlah jenis dalam suatu komunitas (Santosa, 1995). Kekayaan jenis ular yang dijumpai di lokasi penelitian adalah sebanyak 14 jenis dan 12 marga dari 4 suku (Colubridae, Elapidae, Pythonidae, dan Crotalidae) (Tabel 2). Seluruh hasil penelitian ini merupakan catatan baru (new record) bagi Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), karena kajian ilmiah mengenai ular belum pernah dilakukan sebelumnya.

Tabel 2 Perjumpaan ular di lokasi penelitian

No Suku Marga Jenis 1 Colubridae 9 11

2 Elapidae 1 1

3 Pythonidae 1 1 4 Crotalidae 1 1

∑ 4 12 14

Habitat yang memiliki jumlah jenis paling banyak, yaitu hutan campuran di Camp Tanjung Harapan (8 jenis), sedangkan habitat yang memiliki jumlah jenis paling sedikit, yaitu semak/belukar (0 jenis). Terdapat habitat yang memiliki jumlah jenis yang sama (6 jenis), namun dengan komposisi yang berbeda, yaitu hutan rawa sekunder riparian di Sungai Sekonyer Kanan dan hutan campuran di

(56)
[image:56.595.206.418.511.639.2]

Tabel 3 Daftar jenis ular di lokasi penelitian

Jenis Tipe Habitat ∑

Individu SB TH BG SSK HRP CL

Ahaetulla prasina 0 1 0 0 0 2 3

Boiga cynodon 0 1 0 0 0 0 1

Chrysopelea paradisi 0 0 0 0 0 1 1 Dendrelaphis caudolineatus 0 1 0 0 0 0 1

Dendrelaphis pictus 0 0 0 1 0 1 2

Dryophiops rubescens 0 0 0 0 0 1 1 Gonyosoma oxycephalum 0 1 0 1 0 0 2

Enhydris enhydris 0 0 0 3 0 0 3

Psammodynastes pictus 0 1 0 15 3 2 21

Xenochrophis maculata 0 1 0 0 0 0 1 Xenochrophis trianguligera 0 2 0 1 0 1 4 Tropidolaemus wagleri 0 1 1 0 0 0 2

Naja sumatrana 0 0 1 0 0 0 1

Python reticulatus 0 0 0 1 0 0 1

∑ Individu 0 9 2 22 3 8 44

∑ Jenis 0 8 2 6 1 6 14

Keterangan :

SB : Semak/belukar

TH : Hutan campuran di Camp Tanjung Harapan (Hutan rawa sekunder, semak/belukar, dan semak/belukar rawa)

BG : Hutan rawa sekunder Beguruh

SSK : Hutan rawa sekunder riparian Sungai Sekonyer Kanan HRP : Hutan rawa primer

CL : Hutan campuran di Camp Leakey (Hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, rawa, dan semak/belukar rawa)

Jika dilhat dari kurva pertambahan jenis ular selama penelitian (Gambar 10), kemungkinan dapat dijumpai lebih banyak jenis ular apabila waktu pengamatan diperpanjang.

Gambar 10 Kurva pertambahan jenis ular selama penelitian.

(57)

= 0). Habitat semak/belukar tidak dapat terdefinisi nilai kekayaan jenisnya karena tidak dijumpai jenis ular (Gambar 11).

Gambar 11 Histogram nilai indeks kekayaan jenis ular di lokasi penelitian.

5.1.3 Kemerataan Jenis Ular

Kemerataan jenis menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antar jenis. Kemeratan jenis dapat digunakan sebagai indikator adanya gejala dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka kemeratan jenis pada komunitas tersebut memiliki nilai maksimum (Santosa, 1995).

Kemerataan jenis ular pada beberapa lokasi tergolong tinggi dan merata. Habitat hutan rawa sekunder di Beguruh memiliki kemerataan jenis tertinggi (E = 1), sedangkan habitat hutan rawa primer memiliki kemerataan jenis terendah (E = 0). Habitat semak/belukar tidak dapat terdefinisi nilai kemerataan jenisnya karena

tidak dijumpai jenis ular (Gambar 12).

(58)

5.1.4 Sebaran Spasial Jenis Ular

Sebanyak 44 individu ular dijumpai dari 6 lokasi selama penelitian berlangsung (Gambar 13). Terdapat satu lokasi pengamatan dimana tidak dijumpai ular, yaitu di habitat semak/belukar. Sebanyak 2 individu dari 2 jenis ular dijumpai di habitat hutan rawa sekunder di Beguruh (Gambar 14).

Pada habitat hutan rawa sekunder riparian di sepanjang aliran Sungai Sekonyer Kanan, dijumpai sebanyak 22 individu dari 6 jenis ular (Gambar 15). Jumlah individu ular pada lokasi ini, merupakan jumlah individu ular terbanyak yang dijumpai diantara lokasi pengamatan lainnya. Sedangkan jumlah ular yang dijumpai di habitat hutan rawa primer adalah sebanyak 3 individu dari 1 jenis ular (Gambar 16).

Pada habitat hutan campuran di Camp Tanjung Harapan dijumpai sebanyak 9 individu dari 8 jenis ular (Gambar 17). Hutan campuran di Camp Tanjung Harapan merupakan lokasi dijumpainya jenis ular terbanyak dibandingkan dengan lokasi pengamatan lainnya. Lokasi terakhir, yaitu hutan campuran di Camp Leakey, dijumpai sebanyak 8 individu dari 6 jenis ular (Gambar 18).

Berdasarkan habitat/tempat hidupnya, jenis ular yang dijumpai di lokasi penelitian tergolong kedalam 3 tipe, yaitu ular semi akuatik, ular terrestrial, dan

ular arboreal. Jenis ular semi akuatik dijumpai 3 jenis, yaitu Enhydris enhydris, Xenochrophis maculata, dan Xenochrophis trianguligera. Jenis ular terrestrial dijumpai 2 jenis, yaitu Naja sumatrana dan Python reticulatus. Jenis ular lainnya merupakan jenis ular arboreal.

(59)
[image:59.842.84.753.120.490.2]
(60)
[image:60.842.92.755.115.493.2]
(61)
[image:61.842.92.753.115.489.2]
(62)
[image:62.842.93.756.115.485.2]
(63)
[image:63.842.96.751.116.498.2]
(64)
[image:64.842.94.752.114.486.2]
(65)

5.1.5 Kesamaan Jeni

Gambar

Tabel 1  Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
Gambar 1  Lokasi penelitian di Taman Nasional Tanjung Puting.
Gambar 2  Desain plot analisis vegetasi metode jalur berpetak.
Gambar 3  Diagram alur pembuatan peta sebaran ular.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh kerana sifat yang dinyatakan dan kewujudan grafin yang stabil dalam keadaan mandiri, grafin adalah salah satu calon bahan yang sesuai untuk memfabrikasi suis NEM yang

Sebagai contoh, bila pin 4 pada port data yang dikendalikan dan setelah diperiksa oleh komputer hasilnya benar, maka alarm akan menyala dan komputer

Dari diagram tersebut di atas terlihat bahwa sebagian besar yakni 74 orang (64%) responden meyakini bahwa alasan dari penyamaan besaran PTKP bagi anak baik yang memperoleh

[r]

maka di dalamnya dapat diperoleh makna model masyarakat madani Indonesia- Dari sila-sila yang ad4 dapat dikontruksikan bahwa Masyarakat Madani Indonesia merupakan

Berlatar belakang dari permasalahan yang terjadi diatas, peneliti mencoba untuk melakukan penelitian dengan judul “ Pengaruh Internet Sebagai Sumber Belajar

Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu melaksanakan urusan pemerintahan dan pembangunan di bidang penanaman modal dan penyelenggaraan pelayanan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun