PENGKAJIAN ALGORITMA INDEKS VEGETASI
DAN METODE KLASIFIKASI MANGROVE DARI
DATA SATELIT LANDSAT-5 TM DAN LANDSAT-7 ETM+
(Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur)
RISTI ENDRIANI ARHATIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan Metode Klasifikasi Mangrove Dari Data Satelit Landsat-5 Tm dan Landsat-7 Etm+ (Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
RISTI ENDRIANI ARHATIN. Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan
Metode Klasifikasi Mangrove dari Data Satelit Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+ (Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur). Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan RICHARDUS F. KASWADJI.Pemantauan mangrove dengan cara konvensional sangat sulit dilakukan karena kondisi lapangan menjadi hambatan yang besar bagi pelaksanaan survei. Penginderaan jauh merupakan alternatif dalam menjawab masalah-masalah yang berhubungan dalam manajemen mangrove. Tujuan studi ini adalah melakukan validasi data penginderaan jauh pada data Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+, untuk menduga kerapatan kanopi mangrove, selain itu studi ini juga membandingkan dua metode klasifikasi, yaitu metode maximum likelihood dan neural network back propagation dalam memetakan mangrove.
ABSTRACT
RISTI ENDRIANI ARHATIN. Study on Vegetation Index Algorithm and Classification Model for Mangrove Derived from Landsat TM and ETM+ (Case Study at Kabupaten Berau, East Kalimantan). Under the direction of VINCENTIUS P. SIREGAR and RICHARDUS F. KASWADJI.
To monitor mangrove using conventional method is very difficult, due to the hard and tough field of mangrove forest that be a big obstruction. Remote sensing which is able to cover a large area of mangrove might become a promising alternative to answer the problem. The objectives of this study are to validate the accuracy of remote sensing data, namely Landsat TM and ETM+ images, and for estimating mangrove forest canopy. This study compares two classification methods, i.e., maximum likelihood and neural network back propagation classifiers.
The result shows that the best vegetation index algorithm is Green Normalized Difference Vegetation Index (GNDVI). PCA Result is {2,5180 (-0,522x2 – 0,497x3 – 0,470x4 – 0,510x5)} + {1,3057 (-0,462x2 – 0,515x3 – 0,548x4 – 0,469x5)}. The use of neural network back propagation classifier is improving the accuracy of classification result compared to maximum likelihood classifier. Its overall accuracy reach 85.61%.
Penyusunan glosari ini merujuk pada empat pustaka, yaitu: (1) Penginderaan Jauh Jilid 1 (Sutanto 1994a), (2) Penginderaan Jauh Jilid 2 (Sutanto 1994b), (3) Artificial Intellegency: Teknik dan Aplikasinya (Kusumadewi 2003), (4) Membangun Jaringan Syaraf Tiruan : menggunakan MATLAB dan Excel Link (Kusumadewi 2004) .
Algoritma (algorithm): (1) suatu cara kerja pasti tahap demi tahap untuk mencapai hasil tertentu, biasanya berupa suatu cara kerja yang disederhanakan untuk memecahkan masalah rumit, juga suatu pernyataan lengkap tentang sejumlah besar langkah, (2) cara kerja berorientasikan komputer untuk memecahkan suatu masalah.
Artificial intelegence: salah satu bagian ilmu computer yang membuat agar mesin dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik yang dilakukan oleh manusia
Back propagation: algoritma pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya. Algoritma ini menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward), untuk mendapatkan error ini tahap perambatan maju (forward propagation) dikerjakan terlebih dahulu, pada saat perambatan maju, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid.
Citra(image): (1) gambaran obyek yang dibuahkan oleh pantulan atau pembiasan sinar yang difokuskan oleh lensa atau cermin, (2) gambaran rekaman obyek yang dibentuk dengan cara optik, elektro-optik, optik-mekanik, dan elektronik, yang biasanya dalam bentuk gambaran foto.
Hidden layer: lapisan tersembunyi
Histogram: peragaan serangkaian data secara grafik yang menunjukkan frekuensi terjadinya peristiwa.
Inframerah: spektrum elektromagnetik pada panjang gelombang (0,7 – 1.000) µm. Untuk maksud penginderaan jauh maka spektrum inframerah dirinci lebih lanjut menjadi spektrum inframerah dekat/fotografik/pantulan (0,7 µm – 1,3 µm), inframerah sedang (1,3 µm – 3,0 µm) dan inframerah jauh (3,0 µm – 1.000 µm). Inframerah jauh juga disebut inframerah thermal.
Penginderaan jauh: ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji Pixel (picture element):unsur data dengan aspek spasial dan spektral
Pola (pattern):keteraturan dan karakteristik susunan rona dan tekstur
Registrasi:proses geometrik untuk menempatkan dua atau lebih rangkaian data citra sehingga sel resolusi untuk suatu daerah dapat ditumpangtindihkan secara digital maupun visual. Data yang diregistrasikan dapat berupa data sejenis, data dari sensor yang berbeda, atau data mutitemporal
Resolusi: (1) jarak minimum antara dua gambaran, (2) ukuran terkecil suatu obyek yang dapat dideteksi dengan sensor penginderaan jauh
Spektrum: serangkaian tenaga yang tersusun sesuai dengan panjang gelombang atau frekuensi
Percepteron: salah satu bentuk jaringan syaraf yang sederhana, biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan suatu tipe pola tertentu yang sering dikenal dengan pemisahan secara linear
AKU Analisis Komponen Utama
AI Artificial Intelegensi
ANN Artificial Neural Network ANOVA ANalysis Of VAriance DVI Difference Vegetation Index
ERTS-1 Earth Resources Technological Satellite GCP Ground Control Point
GVI Global Vegetation Index
GNDVI Green Normalized Difference Vegetation Index
II Infrared Index
IM Index Mangrove
IPVI Infrared Percentage Vegetation Index
LAI Leaf Area Index
LANDSAT 5 TM LAND SATellite 5 Thematic Mapper
LANDSAT 7 ETM+ LAND SATellite 7 Enhanced Thematic Mapper Plus LVQ Learning Vector Quantization
NDVI Normalized Difference Vegetation Index
NIR Near Infra-Red
NNBP Neural Network Back Propagation
MIR Middle Infra-Red
ML Maximum Likelihood (classification) MLP Multi Layer Perceptron
MSS Multispectral Scanner System
OIF Optimum Index Factor
PCA Principal Component Analysis RMSE Root Mean Square Error
RDI Ratio Drought Index
RVI Ratio Vegetation Index
SAVI Soil Adjusted Vegetation Index SLAVI Specific Leaf Area Vegetation Index SOM Self Organizing Map
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
DAN METODE KLASIFIKASI MANGROVE DARI
DATA SATELIT LANDSAT-5 TM DAN LANDSAT-7 ETM+
(Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur)
RISTI ENDRIANI ARHATIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGKAJIAN ALGORITMA INDEKS VEGETASI
DAN METODE KLASIFIKASI MANGROVE DARI
DATA SATELIT LANDSAT-5 TM DAN LANDSAT-7 ETM+
(Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur)
RISTI ENDRIANI ARHATIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan Metode Klasifikasi Mangrove Dari Data Satelit Landsat-5 Tm dan Landsat-7 Etm+ (Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
RISTI ENDRIANI ARHATIN. Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan
Metode Klasifikasi Mangrove dari Data Satelit Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+ (Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur). Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan RICHARDUS F. KASWADJI.Pemantauan mangrove dengan cara konvensional sangat sulit dilakukan karena kondisi lapangan menjadi hambatan yang besar bagi pelaksanaan survei. Penginderaan jauh merupakan alternatif dalam menjawab masalah-masalah yang berhubungan dalam manajemen mangrove. Tujuan studi ini adalah melakukan validasi data penginderaan jauh pada data Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+, untuk menduga kerapatan kanopi mangrove, selain itu studi ini juga membandingkan dua metode klasifikasi, yaitu metode maximum likelihood dan neural network back propagation dalam memetakan mangrove.
ABSTRACT
RISTI ENDRIANI ARHATIN. Study on Vegetation Index Algorithm and Classification Model for Mangrove Derived from Landsat TM and ETM+ (Case Study at Kabupaten Berau, East Kalimantan). Under the direction of VINCENTIUS P. SIREGAR and RICHARDUS F. KASWADJI.
To monitor mangrove using conventional method is very difficult, due to the hard and tough field of mangrove forest that be a big obstruction. Remote sensing which is able to cover a large area of mangrove might become a promising alternative to answer the problem. The objectives of this study are to validate the accuracy of remote sensing data, namely Landsat TM and ETM+ images, and for estimating mangrove forest canopy. This study compares two classification methods, i.e., maximum likelihood and neural network back propagation classifiers.
The result shows that the best vegetation index algorithm is Green Normalized Difference Vegetation Index (GNDVI). PCA Result is {2,5180 (-0,522x2 – 0,497x3 – 0,470x4 – 0,510x5)} + {1,3057 (-0,462x2 – 0,515x3 – 0,548x4 – 0,469x5)}. The use of neural network back propagation classifier is improving the accuracy of classification result compared to maximum likelihood classifier. Its overall accuracy reach 85.61%.
Penyusunan glosari ini merujuk pada empat pustaka, yaitu: (1) Penginderaan Jauh Jilid 1 (Sutanto 1994a), (2) Penginderaan Jauh Jilid 2 (Sutanto 1994b), (3) Artificial Intellegency: Teknik dan Aplikasinya (Kusumadewi 2003), (4) Membangun Jaringan Syaraf Tiruan : menggunakan MATLAB dan Excel Link (Kusumadewi 2004) .
Algoritma (algorithm): (1) suatu cara kerja pasti tahap demi tahap untuk mencapai hasil tertentu, biasanya berupa suatu cara kerja yang disederhanakan untuk memecahkan masalah rumit, juga suatu pernyataan lengkap tentang sejumlah besar langkah, (2) cara kerja berorientasikan komputer untuk memecahkan suatu masalah.
Artificial intelegence: salah satu bagian ilmu computer yang membuat agar mesin dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik yang dilakukan oleh manusia
Back propagation: algoritma pembelajaran yang terawasi dan biasanya digunakan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya. Algoritma ini menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya dalam arah mundur (backward), untuk mendapatkan error ini tahap perambatan maju (forward propagation) dikerjakan terlebih dahulu, pada saat perambatan maju, neuron-neuron diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid.
Citra(image): (1) gambaran obyek yang dibuahkan oleh pantulan atau pembiasan sinar yang difokuskan oleh lensa atau cermin, (2) gambaran rekaman obyek yang dibentuk dengan cara optik, elektro-optik, optik-mekanik, dan elektronik, yang biasanya dalam bentuk gambaran foto.
Hidden layer: lapisan tersembunyi
Histogram: peragaan serangkaian data secara grafik yang menunjukkan frekuensi terjadinya peristiwa.
Inframerah: spektrum elektromagnetik pada panjang gelombang (0,7 – 1.000) µm. Untuk maksud penginderaan jauh maka spektrum inframerah dirinci lebih lanjut menjadi spektrum inframerah dekat/fotografik/pantulan (0,7 µm – 1,3 µm), inframerah sedang (1,3 µm – 3,0 µm) dan inframerah jauh (3,0 µm – 1.000 µm). Inframerah jauh juga disebut inframerah thermal.
Penginderaan jauh: ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji Pixel (picture element):unsur data dengan aspek spasial dan spektral
Pola (pattern):keteraturan dan karakteristik susunan rona dan tekstur
Registrasi:proses geometrik untuk menempatkan dua atau lebih rangkaian data citra sehingga sel resolusi untuk suatu daerah dapat ditumpangtindihkan secara digital maupun visual. Data yang diregistrasikan dapat berupa data sejenis, data dari sensor yang berbeda, atau data mutitemporal
Resolusi: (1) jarak minimum antara dua gambaran, (2) ukuran terkecil suatu obyek yang dapat dideteksi dengan sensor penginderaan jauh
Spektrum: serangkaian tenaga yang tersusun sesuai dengan panjang gelombang atau frekuensi
Percepteron: salah satu bentuk jaringan syaraf yang sederhana, biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan suatu tipe pola tertentu yang sering dikenal dengan pemisahan secara linear
AKU Analisis Komponen Utama
AI Artificial Intelegensi
ANN Artificial Neural Network ANOVA ANalysis Of VAriance DVI Difference Vegetation Index
ERTS-1 Earth Resources Technological Satellite GCP Ground Control Point
GVI Global Vegetation Index
GNDVI Green Normalized Difference Vegetation Index
II Infrared Index
IM Index Mangrove
IPVI Infrared Percentage Vegetation Index
LAI Leaf Area Index
LANDSAT 5 TM LAND SATellite 5 Thematic Mapper
LANDSAT 7 ETM+ LAND SATellite 7 Enhanced Thematic Mapper Plus LVQ Learning Vector Quantization
NDVI Normalized Difference Vegetation Index
NIR Near Infra-Red
NNBP Neural Network Back Propagation
MIR Middle Infra-Red
ML Maximum Likelihood (classification) MLP Multi Layer Perceptron
MSS Multispectral Scanner System
OIF Optimum Index Factor
PCA Principal Component Analysis RMSE Root Mean Square Error
RDI Ratio Drought Index
RVI Ratio Vegetation Index
SAVI Soil Adjusted Vegetation Index SLAVI Specific Leaf Area Vegetation Index SOM Self Organizing Map
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
DAN METODE KLASIFIKASI MANGROVE DARI
DATA SATELIT LANDSAT-5 TM DAN LANDSAT-7 ETM+
(Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur)
RISTI ENDRIANI ARHATIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Landsat-7 ETM+ (Studi Kasus Di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur)
Nama Mahasiswa : Risti Endriani Arhatin Nomor Pokok : C525010081
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, MSc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
i
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah dengan judul ”Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan Metode Klasifikasi Mangrove Dari Data Satelit Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+” dilakukan berbasis pada data satelit dan hasil survei pada bulan Juli-Agustus 2005 di Berau, Kalimantan Timur.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Bapak Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu serta penuh kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penulis semenjak pengumpulan data, pengolahan hingga penyelesaian penulisan tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc selaku penguji tamu atas saran dan
koreksi serta kerjasama yang baik selama ujian berlangsung.
3. Suamiku: G. Manjela Eko Hartoyo atas kesabaran, kasih sayang, cinta, doa serta dorongan dan semangatnya selama ini yang membuat penulis tahan menghadapi cobaan yang datang.
4. Orang-orang terdekat dalam hidup ini: Ibu, Bapak dan adik-adik tercinta yang senantiasa mendoakan dan memberikan kasih sayang serta dorongan semangat kepada penulis.
5. Teman-temanku yang terbaik: Yuli, Erina, Santi, Ika atas dukungan dan kebersamaan selama ini.
6. Pak Danu, Pak Eko dan Mbak Yanti atas bantuannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun semoga karya ilmiah ini dapat memberikan sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia serta bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Agustus 2007
ii
Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 09 Maret 1975 dari pasangan ayah Budiman dan ibu Sri Yamtini, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan dasar sampai sekolah menengah tingkat atas diselesaikan di Klaten. Pada tahun 1993 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Sejak tahun 2000 penulis bekerja sebagai asisten dosen di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis kemudian melanjutkan ke Program Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan Pascasarjana IPB pada Tahun 2001. Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan seminar maupun pelatihan, baik sebagai peserta maupun instruktur diantaranya: International Training on Hyperspectral Technology (BPPT, Jakarta), Basic Training in Remote Sensing for Future ALOS Data (Lapan, Jakarta), Pelatihan Pengolahan dan Interpretasi Data Kelautan (IPB, Bogor), Remote Sensing and Ocean Science For Marine Resources Exploration and Environment (Bali), Satellite Remote Sensing For Marine Resources Exploration and Environment (Bali), Asian Ocean Remote Sensing Training Course (AIT, Thailand).
iii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vii DAFTAR LAMPIRAN ... viii 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan dan Pendekatan Masalah ... 2 1.3 Batasan Permasalahan ... 4 1.4 Hipotesis Penelitian ... 4 1.5 Tujuan Penelitian ... 4 1.6 Manfaat Penelitian ... 5 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7 2.1 Mangrove ... 7 2.2 Sistem Penginderaan Jauh untuk Vegetasi (Mangrove) ... 9 2.2.1 Indeks vegetasi ... 13 2.2.2 Klasifikasi citra (image classification) ... 15 2.3 Analisis Komponen Utama ... 20 3 METODOLOGI ... 25 3.1 Waktu dan Tempat ... 25 3.2 Bahan dan Alat ... 26
3.3 Data ... 26 3.4 Analisis Data ... 27
3.4.1 Preprocessing ... 27 3.4.2 Transformasi produk Level 1 (L1) ke spektral radians ... 28 3.4.3 Penajaman citra (image enhancement) ... 30 3.4.4 Uji ketelitian keterpisahan (separability) ... 30 3.4.5 Uji ketelitian matric contingency ... 32 3.4.6 Klasifikasi citra (image classification) ... 33 3.4.7 Transformasi indeks vegetasi ... 35 3.4.8 Analisis komponen utama ... 37 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39 4.1 Kondisi Ekosistem Hutan Mangrove ... 39 4.2 Karakteristik Fisika Kimia Perairan ... 39 4.3 Koreksi Geometrik dan Radiometrik ... 40 4.4 Ekstraksi Informasi Nilai Digital dan Radians Data Landsat-7 ETM+ ... 42 4.5 Penajaman Citra (Image Enhancement) ... 42 4.6 Training Area ... 49
iv
v
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Indeks vegetasi untuk Landsat MSS and TM ... 15 2 Nilai Spektral Radians, LMINλ dan LMAXλ dalam W/(m2.sr.µm) pada
LANDSAT-5 TM ... 29 3 Nilai LMINλ dan LMAXλ dalam W/(m2.sr.µm) pada LANDSAT-7 ETM+ .... 29
4 Matrik kesalahan (confussion matrix) ... 32 5 Beberapa formula indeks vegetasi yang dipergunakan pada penelitian ... 35 6 Nilai minimum dan maksimum digital number sebelum dan setelah
terkoreksi radiometrik ... 41 7 Perubahan dari nilai digital ke nilai radians ... 43 8 Matriks korelasi antar kanal pada tiap tanggal perekaman ... 44 9 Standart deviasi tiap kanal pada tiap tanggal perekaman ... 45 10 Nilai OIF dari tiap kombinasi kanal ... 46 11 Nilai tranformed divergency ... 50 12 Nilai jeffries-matusita distance ... 51 13 Ketelitian matrik kontingensi ... 53 14 Evaluasi ketelitian matriks kontingensi dengan maximum likelihood ... 54 15 Evaluasi ketelitian matriks kontingensi dengan neural network back
propagation ... 55 16 Luasan obyek hasil klasifikasi maximum likelihood ... 56 17 Akurasi berdasarkan perbedaan learning rate dan jumlah hiddenlayer ... 57 18 Luasan obyek hasil klasifikasi neural network back propagation ... 58 19 Matrik kontingensi metode maximum likelihood dan neural network
back propagation dengan peta referensi ... 58 20 Matrik metode klasifikasi maximum likelihood dengan metode neural
network back propagation ... 60 21 Hasil indeksvegetasi dari beberapa algoritma pada tiap stasiun ... 61 22 Nilaikoefisien determinasi dari hasil analisis regresi antara persen
vi
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Diagram alir perumusan dan pendekatan masalah hingga hasil penelitian ... 6 2 Pola respon spektral beberapa objek (Danoedoro 1996) ... 11 3 Spektrum penyerapan pada klorofil a, b dan pigmen carotenoid yang
mempengaruhi pantulan vegetasi (Dozier 2004) ... 11 4 Karakteristik respon spektral pada vegetasi hijau daun (Leblon 2004) ... 12 5 Konsep klasifikasi pada data remote sensing (Gabriel 2005) ... 15 6 Flow chart proses klasifikasi (Schowengerdt 1997) ... 16 7 Konsep klasifikasi maximum likelihood (Gabriel 2005) ... 18 8 Struktur tradisional pada tiga layer neural network (Schowengerdt 1997) .... 19 9 Komponen-komponen elemen pemrosesan (Schowengerdt 1997) ... 20 10 Peta lokasi studi dan posisi stasiun pengambilan data ... 25 11 Ilustrasi klasifikasi neural network back propagation ... 33 12 Flow chart pengolahan data ... 38 13 Citra tiap kanal untuk identifikasi mangrove (21 Mei 2002) ... 42 14 Citra komposit hasil OIF ... 47 15 Citra komposit RGB 453 (21 Mei 2002) ... 48 16 Hasil regresi antara metode klasifikasi maximum likelihood dengan
neural network back propagation ... 59 17 Grafik hasil analisis regresi antara transformasi indeks vegetasi dengan
persentase kerapatan kanopi mangrove ... 64 18 Plotscree analisis komponen utama ... 67 19 Hubungan antara hasil tangkapan udang dengan pantai yang bervegetasi:
data dari Louisiana dan Teluk Mexico bagian timur laut (modifikasi dari Turner 1977 diacu dalam Kaswadji 2007) ... 71 20 Gambar 20 Hubungan antara hasil tangkapan udang dengan pantai yang
bervegetasi: data dari Mosambik, Madagaskar, Thailand, Sumatera,
viii
P
Halaman 1 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia di perairan mangrove,
Berau, Kalimantan Timur ... 83 2 Histogram Citra Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+ ... 84 3 Persentase penutupan kanopi mangrove hasil pengambilan data lapang
dan nilai digital Landsat-7 ETM+ (21 Mei 2002) ... 92 4 Histogram tiap obyek hasil training area ... 93 5 Nilai-nilai statistik dan covarian tiap obyek hasil training area ... 95 6 Peta hasil klasifikasi maximum likelihood tahun 1991 dan tahun 2002 ... 101 7 Peta hasil overlay citra klasifikasi maximum likelihood tahun 1991
dan tahun 2002 ... 102 8 Peta hasil klasifikasi neural networks back propagation tahun 1991
dan tahun 2002 ... 103 9 Peta hasil overlay citra klasifikasi neural networks back propagation
tahun 1991 dan tahun 2002 ... 104 10 Nilai Fhitung dan Ftabel tiap tansformasi indeks vegetasi pada data
Landsat-7 ETM+ (21 Mei 2002) ... 105 11 Hasil analisa uji anova tiap tansformasi indeks vegetasi dari data
Landsat-7 ETM+ (21 Mei 2002) ... 106 12 Peta kerapatan mangrove hasil klasifikasi maximum likelihood
dengan GNDVI ... 107 13 Peta kerapatan mangrove hasil klasifikasi neural network back
propagation dengan GNDVI ... 108 14 Peta perubahan kerapatan mangrove hasil klasifikasi maximum
likelihood dengan GNDVI tahun 1991 dan tahun 2002 ... 109 15 Peta perubahan kerapatan mangrove hasil klasifikasi neural network
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luas mangrove di Indonesia adalah sekitar 4,25 juta hektar, yang merepresentasikan 25 % dari mangrove dunia. Indonesia merupakan pusat dari sebagian biogeografi genus mangrove (Quarto 2006). Nontji (1987) menambahkan bahwa ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasitik.
Mangrove memiliki nilai ekologi yang sangat penting, diantaranya sebagai pelindung pantai dari gelombang dan badai, di daerah pesisir berperan sebagai filter dari polutan. Khususnya di bidang perikanan ekosistem mangrove merupakan tempat bertelur, sebagai suplayer dalam siklus rantai makanan dan sebagai tempat berlindung sebagian besar juvenil ikan (Dankwa and Gordon 2006; Mumby 2005; Sheridan and Hays 2003).
Pentingnya keberadaan mangrove di daerah pesisir sudah diyakini secara luas di Indonesia, namun manajemen pemanfaatan mangrove tersebut saat ini belum didasarkan pada data yang komprehensif dari sumberdaya mangrove tersebut, sehingga banyak mangrove yang terdegradasi bahkan hilang sama sekali. Kurangnya data serta belum banyaknya penelitian mangrove dikarenakan selama ini kondisi lapangan menjadi hambatan yang besar bagi pelaksanaan survei dan penelitian, padahal data tersebut sangat penting, baik dalam rangka pengelolaan wilayah ekosistem mangrove itu sendiri maupun dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
melakukan inventarisasi mangrove di Cimanuk, Jawa Barat; Zuhair (1998) melakukan pemantauan mangrove di Kalimantan Timur; Widyastuti (2000) memetakan mangrove di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah; Harsanugraha et al. (2000) menganalisis potensi mangrove di Pulau Bali.
Sistem penginderaan jauh dapat melakukan inventarisasi dan monitoring mangrove dengan cakupan areal yang luas, repetitif, sinoptik, dengan biaya operasionalnya relatif murah dan cepat, serta resiko yang kecil. Namun demikian, data yang dihasilkan sensor satelit yang ada saat ini umumnya mempunyai tingkat akurasi yang masih rendah dalam mengamati ekosistem mangrove tersebut. Sehingga dalam rangka meningkatkan akurasi sampai saat ini masih terus dilakukan penelitian mengenai metode pemrosesan citra satelit dalam melakukan inventarisasi sumberdaya alam. Beberapa contoh penelitian diantaranya: Han et al. (2002) mengkaji tentang koreksi pixel yang tidak normal pada citra hyperion; Bruzzone et al. (1999) yang mengkaji tentang pendekatan neural-statistical untuk data multitemporal dan multisensor pada klasifikasi citra.
1.2 Perumusan dan Pendekatan Masalah
Dalam memetakan mangrove, data tentang indeks vegetasi sangat penting, karena bisa dipakai sebagai indikator dalam pendugaan biomassa (Boone et al. 2000; Budi 2000), pendugaan leaf area index (Gong et al. 2003) dan produktivitas primer (Ricotta et al. 1999).
3
Berbagai teknik klasifikasi telah digunakan oleh para peneliti dalam memetakan objek (Purbowaseso 1995). Teknik-teknik tersebut dibagi ke dalam dua kategori, yaitu klasifikasi supervised dan unsupervised (Michie et al. 1994.; Schowengerdt 1983; Schowengerdt 1997; Campbell 1987; Purwadhi 2001). Dasar klasifikasi yang umum digunakan adalah metode minimum distance to mean, paralelliped maupun maximum likelihood.
Paralelliped adalah metode klasifikasi yang sangat sederhana dan umumnya tidak digunakan untuk pemetaan land use, ketika training area diketahui dengan baik maka lebih baik menggunakan metode maximum likelihood (Richards 1995). Metode minimum distance to mean termasuk dalam klasifikasi supervised, yang akan mengkelaskan objek berdasarkan jarak minimum ke nilai mean tiap kelas pada tiap kanal, dari data training (Jensen 1986). Metode ini bisa digunakan untuk semua aplikasi (Richards 1995). Klasifikasi maximum likelihood adalah metode klasifikasi supervised yang paling umum digunakan pada data penginderaan jauh (Richards 1995). Klasifikasi ini didasarkan pada teori probabilitas bayesian. Beberapa penelitian mangrove yang menggunakan klasifikasi metode maximum likelihood diantaranya: Stelzer et al. (2004) menggunakan metode maximum likelihood untuk daerah pesisir; Budi (2000) menggunakan metode maximum likelihood untuk memetakan mangrove di segara anakan, Cilacap. Haralick dan Fu (1983) diacu dalam Jensen (1986) mengupas mendalam tentang probabilitas dan matematik pada maximum likelihood dan bayes decision rules, metode ini membutuhkan lebih banyak komputasi per pixel dari pada metode paralelliped maupun metode minimum distance to mean.
menggunakan kombinasi multiple artificial neural networks. Magoulas et al. (1999) meneliti tentang perbaikan konvergensi pada algoritma back propagation menggunakan learning rate adaptation methods, Luo et al. (2004) meneliti tentang elliptical basis function network untuk klasifikasi pada data remote sensing.
1.3 Batasan Permasalahan
Permasalahan pada penelitian ini dibatasi pada pemilihan indeks vegetasi yang terbaik dari beberapa algoritma indeks vegetasi yang telah ada, pengkajian hubungan matematis antara nilai respon spektral dengan kerapatan kanopi di lapangan dengan menggunakan regresi komponen utama, pengkajian keterpisahan antar objek dalam training area, serta pemilihan klasifikasi terbaik dari dua metode klasifikasi yang dicobakan, yaitu metode maximum likelihood dan neural network back propapagation.
1.4 Hipotesis Penelitian
Dugaan sementara (hipotesis) yang yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini antara lain:
(1) Adanya korelasi yang kuat antara kerapatan kanopi mangrove dengan respon spectral citra satelit
(2) Metode neural network back propagation memiliki akurasi yang lebih tinggi apabila dibanding metode maximum likelihood
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan studi ini adalah:
(1) Mencari hubungan matematis terbaik antara nilai respon spektral dengan kerapatan kanopi mangrove;
(2) Mengkaji berbagai algoritma indeks vegetasi guna menentukan kerapatan kanopi mangrove;
5
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan:
(1) Mengetahui metode yang efektif dan efisien dalam menentukan indeks vegetasi dan klasifikasi mangrove;
(2) Mengetahui keberadaan mangrove di Kabupaten Berau;
(3) Mengetahui pola perubahan tutupan mangrove, sehingga diharapkan bisa digunakan sebagai indikator naik atau turunnya produktifitas mangrove; (4) Memantau pola perubahan tutupan mangrove dimana selanjutnya dapat
digunakan oleh para pengambil kebijakan/keputusan/perencana dalam mengelola hutan mangrove di Kabupaten Berau.
Gambar 1 Diagram alir perumusan dan pendekatan masalah hingga hasil penelitian. MANGROVE
KERAPATAN KANOPI
ALGORITMA INDEKS VEGETASI Perumusan dan
Pendekatan Masalah
Permasalahan
Pemecahan Masalah
Hasil
• HUBUNGAN MATEMATIS KERAPATAN KANOPI DENGAN RESPON
SPEKTRAL
• INDEKS VEGETASI TERBAIK DARI 12 ALGORITMA INDEKS VEGETASI
• METODE KLASIFIKASI TERBAIK, ANTARA MAXIMUM LIKELIHOOD DAN NEURAL NETWORK BACK PROPAGATION
RESPON SPEKTRAL
OBSERVASI IN-SITU CITRA SATELIT
LANDSAT-5 TM, LANDSAT-7 ETM+
METODE KLASIFIKASI - MAXIMUM LIKELIHOOD - NEURAL NETWORK INVENTARISASI DAN MONITORING
PRODUKTIVITAS PRIMER
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mangrove
Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Kehutanan, hutan mangrove terdiri dari dua kata, yaitu hutan dan mangrove.
Hutan adalah suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungannya yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Arti kata
mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang dan surut,
tetapi dapat juga tumbuh pada pantai karang, dataran koral mati yang di atasnya
ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur (Darsidi 1986).
Total luas hutan Indonesia saat ini sekitar 119.418.200 ha (Ditjen INTAG
1993), luas areal berhutan mangrove saat ini adalah sekitar 3,16% saja (3,7 juta
ha) dari total luas areal berhutan di Indonesia tersebut. Hutan mangrove yang
cukup luas terdapat di Irian Jaya sekitar 1.326.990 ha (35,1%), Kalimantan Timur
775.640 ha (20,6%), dan Sumatera Selatan 363.430 ha (9,6%). Sisanya tersebar
di propinsi lain dengan luasan kurang dari 6% dari luas total hutan mangrove.
Kedudukannya sebagai suatu ekosistem antara darat dan laut, hutan
mangrove memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis ditinjau dari aspek fisika,
(1) mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur,
dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang dan angin taufan; (2)
mangrove yang tumbuh di daerah estuaria atau rawa dapat berfungsi mengurangi
bencana banjir. Dilihat dari aspek kimia, (1) sebagai penyerap bahan pencemar,
khususnya bahan-bahan organik; (2) sebagai sumber energi bagi lingkungan
perairan sekitarnya, dimana ketersediaan berbagai jenis makanan pada ekosistem
mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi bagi berbagai jenis biota
yang berasosiasi di dalamnya; (3) sebagai pensuplai bahan organik, daun
mangrove yang gugur mengalami proses penguraian oleh mikroorganisme
menjadi partikel-partikel detritus yang menjadi sumber makanan bagi berbagai
macam filter feeder. Dari aspek biologis, mangrove sangat penting dalam
menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah
Keberadaan mangrove sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
fisiknya. Faktor-faktor lingkungan tersebut diantaranya:
(1) Suhu
Rata-rata suhu terdingin di Indonesia yang baik untuk perkembangan
mangrove kira-kira 20°C dan 24°C (Hutchings dan Saenger 1987; Chapman
1977)
(2) Media lumpur
Salah satu syarat wilayah yang baik untuk ditumbuhi hutan mangrove adalah
wilayah pantai yang mempunyai endapan lumpur (Hutchings dan Saenger
1987; Chapman 1977)
(3) Proteksi
Kusmana et al. (2000) menyebutkan bahwa teluk-teluk, laguna-laguna,
perairan dan pantai tersebar dibalik pembatas pulau, merupakan
lokasi-lokasi yang cocok untuk mangrove
(4) Salinitas
Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran dan
perkembangan komunitas mangrove pada suatu daerah karena berbagai jenis
mangrove mempunyai perbedaan toleransi terhadap salinitas (Tomascik et
al. 1997)
(5) Pasang surut
Menurut Kusmana et al. (2000), besarnya kisaran pasang surut
menyebabkan kisaran vertikal yang tersedia untuk komunitas mangrove pun
besar. Lebar jalur hutan mangrove dipengaruhi oleh tinggi pasang surut,
yang menentukan lebarnya jangkauan air pasang di tempat-tempat tersebut.
Di sepanjang pantai yang lurus dan bergelombang kecil, atau yang
memiliki perbedaan pasang surut tidak tinggi, jalur hutan mangrove
kebanyakan agak sempit yaitu sekitar 25-50 m. Di delta-delta yang arusnya
banyak membawa lumpur dan pasir, dengan perbedaan pasang surut cukup
tinggi, hutan mangrove merupakan jalur yang lebih lebar. Di daerah laguna
atau daerah-daerah dengan rata-rata perbedaan pasang surut tinggi (4m -
6m), lebar jalur mangrove dapat mencapai beberapa kilometer tergantung
9
berpendapat, pengaruh pasang surut terhadap komposisi hutan mangrove
dikaitkan dengan lama tidaknya tanah habitat mangrove tergenang air laut
(6) Angin dan gelombang
Komar (1983) menyatakan bahwa pembentukan gelombang terjadi karena
angin. Tiga faktor yang mempengaruhi pembentukan gelombang oleh angin
adalah kecepatan angin, lama angin bertiup dan cakupan wilayah dimana
angin terjadi. Gelombang kecil membawa sedimen dan mengendapkan di
pantai. Endapan sedimen ini merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mangrove, sehingga gelombang kecil merupakan syarat ideal
untuk perkembangan mangrove
(7) Bathymetri
Kusmana et al. (2000) menyebutkan bahwa mangrove tumbuh secara baik
pada air yang dangkal, sebab anakan tidak dapat menancap pada perairan
yang dalam.
2.2 Sistem Penginderaan Jauh untuk Vegetasi (Mangrove)
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena
yang dikaji (Lillesand dan Keifer 1994; Sutanto 1994a).
Satelit penginderaan jauh dalam bidang kehutanan telah dikembangkan
lebih dari 25 tahun, sedangkan perkembangan fotografi udara lebih dari 100
tahun. Penerapan satelit penginderaan jauh dalam bidang kehutanan secara
efektif dimulai dengan peluncuran teknologi satelit sumberdaya bumi Amerika
Serikat (earth resources technological satellite/ERTS-1) pada tahun 1972,
kemudian satelit tersebut diberi nama Landsat. Proses ini diawali dengan adanya
peluncuran satelit berawak ke angkasa luar pada tahun 1961 yaitu Vostock-1,
milik Republik Sosialis Uni Soviet, dan foto pertama kali yang diperoleh dari
angkasa luar oleh Explorer-6 milik Amerika Serikat pada tahun 1959.
Sistematika observasi orbital bumi dari angkasa luar, dimulai sejak tahun 1960,
oleh observasi inframerah televisi Amerika Serikat (television observasi
yang digunakan untuk meteorologi, sedangkan satelit berawak orbit polar
Amerika Serikat pada tahun 1960-an (Mercury, Gemini, Apollo) memberikan foto
sepanjang jalur terbang dari permukaan bumi dengan hasil foto dengan kualitas
sangat baik tetapi resolusinya rendah, termasuk informasi geologi dan vegetasi
pada tingkat regional (Hartono et al. 1996).
Perkembangan penginderaan jauh untuk vegetasi saat ini telah dapat
digunakan untuk pemantauan luasan, penghitungan biomassa, produktivitas
tanaman dan lain-lain. Hal yang perlu dipahami disini adalah pola karakteristik
spektral dari vegetasi (daun), yaitu dengan melihat perbedaan intensitas radiasi
tenaga elektromagnetik yang dipantulkan.
Pada spektrum cahaya tampak, klorofil mempengaruhi respon spektral dari
daun. Pigmen klorofil daun pada mesophyll palisade mempunyai pengaruh yang
signifikan pada penyerapan dan reflektansi pada panjang gelombang tampak (red,
green, blue). Sedangkan cell pada spongy mesophyll mempunyai pengaruh yang signifikan pada penyerapan dan reflektansi pada cahaya NIR yang datang. Selain
klorofil, nilai respon spektral juga tergantung pada sudut datang matahari dan
waktu pengambilan data.
Klorofil yang paling umum adalah klorofil-a, paling penting dalam agen
fotosintesis pada tanaman hijau daun, kemudian klorofil-b, yang memiliki struktur
molekul yang berbeda, ditemukan pada daun hijau, tapi juga ada pada beberapa
alga dan bakteri.
Klorofil tidak menyerap semua cahaya. Molekul klorofil menyerap
cahaya biru dan merah untuk fotosintesis kira-kira sebesar 70% sampai 90%
cahaya yang datang. Cahaya hijau sedikit diserap dan banyak dipantulkan,
sehingga dapat kita lihat pantulan cahaya hijau yang dominan sebagai warna dari
vegetasi yang hidup (Campbell 1987). Pola respon spektral dari beberapa tipe
11
Gambar 2 Pola respon spektral beberapa objek (Danoedoro 1996).
Pigmen utama pada tanaman, klorofil-a dengan serapan maksimum pada
sekitar 0.43 µm dan 0.66 µm, klorofil-b dengan puncak penyerapan pada sekitar
0.45 µm dan 0.65 µm, dan pigmen carotenoid (corotene B, xanthophyll).
Phytocyanins mempunyai serapan tinggi untuk ultraviolet, mencapai maksimum
pada sekitar 0.50 µm dan menyerap secara kuat inframerah tengah. Phytocyanins,
jika muncul dengan pigmen merah akan menambah sifat serapan dan pantulan
daun (Dozier 2004; Schanda 1986). Faktor-faktor dominan yang mengontrol
pantulan vegetasi tersebut ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Spektrum penyerapan pada klorofil a, b dan pigmen carotenoid yang mempengaruhi pantulan vegetasi (Dozier 2004).
Pustaka tentang adanya penyerapan cahaya oleh daun banyak tersedia secara
luas, dan dari hal itu tidak ada keraguan lagi bahwa dua palung pada kurva
pantulan spektral spektrum tampak disebabkan oleh penyerapan klorofil.
Pantulan minimum yang muncul dalam merah spektrum tampak terjadi sekitar
sekitar 0.36 µm dan 0.40 µm (Leblon 2004 ; Schanda 1986; Campbell 1987).
Pada Gambar 4 ditampilkan tipe karakteristik respon spektral pada vegetasi hijau
daun. Pada gambar tersebut diilustrasikan bahwa reflektansi yang paling kontras
yaitu antara kanal merah dan near infrared. Kanal merah memantulkan
reflektansi yang rendah (sekitar 10%), 90% diserap oleh klorofil pada tanaman,
sedangkan reflektansi near infrared tinggi. Kontras pada panjang gelombang
inilah yang memungkinkan untuk membedakan penutupan vegetasi atau non
[image:41.612.153.493.246.472.2]vegetasi.
Gambar 4 Karakteristik respon spektral pada vegetasi hijau daun (Leblon 2004).
Selain didasarkan pada pantulan spektral spektrum tampak, penginderaan
jauh untuk vegetasi mangrove juga didasarkan pada sifat penting mangrove yang
hanya tumbuh di daerah pesisir. Dua hal tersebut akan menjadi pertimbangan
penting di dalam mendeteksi mangrove melalui data citra satelit.
Antara vegetasi mangrove dan vegetasi terestrial mempunyai sifat optik
yang hampir sama, tetapi mengingat mangrove hidup di pinggir pantai maka
biasanya antara keduanya dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak
pengaruh air laut. Berdasarkan hal tersebut pemantauan luasan serta kerapatan
13
2.2.1 Indeks vegetasi
Data tentang kerapatan vegetasi sangat penting dalam melakukan
inventarisasi maupun pemantauan wilayah mangrove, karena bisa digunakan
dalam menduga leaf area index (LAI), biomassa, volume tegakan, produktivitas
dan lain-lain.
Dalam sistem penginderaan jauh, kerapatan vegetasi diperoleh dengan
menggunakan suatu algoritma indeks vegetasi. Indeks vegetasi dibuat dengan
membentuk kombinasi beberapa spektral kanal, dengan menggunakan operasi
penambahan, pembagian, perkalian antara kanal yang satu dengan yang lain untuk
mendapatkan suatu nilai yang bisa mencerminkan kelimpahan atau kesehatan
vegetasi.
Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh
permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Banyaknya
konsentrasi klorofil yang dikandung oleh suatu permukaan vegetasi, khususnya
daun menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi tersebut.
Indeks vegetasi adalah pengukuran secara kuantitatif dalam mengukur
biomassa maupun kesehatan vegetasi, dilakukan dengan membentuk kombinasi
beberapa spektral kanal, dengan menggunakan operasi penambahan, pembagian,
perkalian antara kanal yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan suatu nilai
yang bisa mencerminkan kelimpahan atau kesehatan vegetasi.
Schowengerdt (1997) menyebutkan, bentuk sederhana dari indeks
vegetasi adalah ratio antara kanal near-infrared dan kanal red, ratio tersebut
disebut ratio vegetation index (RVI). Jika vegetasi sehat nilai akan tinggi, begitu
pula sebaliknya, algoritma RVI adalah sebagai berikut:
red NIR RVI
ρ ρ
=
Modulasi ratio dari kanal near-infrared dan kanal red adalah normalized
different vegetation index (NDVI). Algoritma indeks vegetasi ini yang paling
sering digunakan. Prinsip dari formula tersebut adalah bahwa radiasi dari visible
sedangkan radiasi dari sinar near-infrared akan kuat direflektansikan oleh struktur
daun spongy mesophyll. Nilai indeks yang diperoleh mempunyai kisaran dari -1.0
sampai 1.0. Menurut Lillesand and Kiefer (1994), awan, air dan non vegetasi
mempunyai nilai NDVI kurang dari nol. Nilai indeks yang lebih tinggi berarti
mempunyai penutupan vegetasi yang lebih sehat.
NDVI dapat digunakan untuk mengukur kondisi relatif vegetasi, hal ini
memungkinkan untuk dapat digunakan dalam menghitung dan memprediksi
biomassa, laef area index (LAI), photosynthetically active radation (PAR) yang
diserap oleh vegetasi (Sader et al. 1989). NDVI dapat digunakan sebagai
indikator biomassa relatif dan tingkat kehijauan daun (Chen and Brutsaert 1998).
NDVI juga memungkinkan untuk menghitung dan memprediksi produktivitas
primer, spesies yang dominan dan pengaruh pemangsaan (Oesterheld et al. 1998;
Peters et al. 1997).
Huete (1988) mengatakan bahwa Soil adjusted vegetation index (SAVI)
adalah rumusan yang paling bagus untuk penutupan yang rendah.
(
1 L)
L SAVI red NIR red NIR + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + + − = ρ ρ ρ ρ
Dimana L adalah konstanta yang memperkecil sensitivitas index vegetasi dari
reflektansi penutupan tanah. Jika nilai L sama dengan nol, maka SAVI sama
dengan NDVI. Untuk vegetasi dengan penutupan sedang, L memiliki nilai sekitar
0.5. Dengan faktor (1+L) bisa dipastikan range nilai SAVI sama dengan NDVI,
yaitu antara -1 sampai dengan 1.
Beberapa contoh algoritma untuk indeks vegetasi yang bisa digunakan
tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Indeks vegetasi untuk Landsat MSS and TM
Formula Tipe Indeks Referensi
Red NIR
RVI = Ratio vegetation index Tucker 1979
Red NIR Red NIR NDVI + −
15
(
1 L)
L Red NIR
Red NIR
SAVI +
+ +
−
= Soil adjusted vegetation index Huete 1988
d NIR
DVI =2.4 −Re Difference vegetation index Richardson and
Wiegand 1977
⎥ ⎦ ⎤ ⎢
⎣ ⎡
+ + −
= 0.5
Red NIR
Red NIR *
100 TVI
Transformed vegetation index Richardson and Wiegand 1977
2.2.2 Klasifikasi citra (image classification)
Klasifikasi pada data penginderaan jauh dilakukan untuk
mengelompokkan atau mengkelaskan ke dalam kelompok yang memiliki
karakteristik yang homogen. Klasifikasi ini didasarkan pada spektral, tekstur, dll.
[image:44.612.184.450.319.527.2]Konsep Klasifikasi pada data remote sensing diilustrasikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Konsep klasifikasi pada data remote sensing (Gabriel 2005).
Klasifikasi berangkat dari asumsi bahwa variasi pola peubah ganda
(multivariate) dari digital number pada suatu areal mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kondisi penutupan tanahnya. Diasumsikan juga bahwa
penutupan lahan yang sama akan mempunyai sifat-sifat reflektansi (nilai digital
suatu citra akan mampu membedakan antara penutupan lahan yang satu dengan
[image:45.612.164.473.106.578.2]yang lainnya. Flowchart proses klasifikasi ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Flow chart proses klasifikasi (Schowengerdt 1997).
Gambar 6 mengilustrasikan pada tahap awal (preprocessing) koreksi raw
data terhadap gangguan atmosfer dan kesalahan sensor dilakukan pada
masing-masing data multispektral, sebelum proses feature extraction. Feature extraction
merupakan analisis pola spektral untuk memperoleh obyek-obyek yang terdapat
pada citra yang digunakan sebagai dasar penajaman dan klasifikasi citra. Pada
a b
c
a b
c training
atmosphere
sensor
Scene
Multispectral image
Feature extraction
Labeling
Ectract training pixels
Determine discriminant
functions
Classifier
Feature
K-D feature
17
saat training, sampel kelas diambil dan dilakukan pendefinisian, langkah
selanjutnya adalah determine discriminant functions untuk memilih metode
klasifikasi yang digunakan, sehingga akan kita peroleh thematic map yang telah
terklasifikasi.
(1) Maximum likelihood
Metode klasifikasi maximum likelihood adalah metode yang paling
populer dalam klasifikasi data remote sensing. Pengkelas kemiripan maksimum
(maximum likelihood) mengevaluasi secara kuantitatif varian maupun korelasi
pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi pixel yang tidak dikenal.
Untuk melakukan hal ini, dibuat suatu asumsi bahwa agihan mega titiknya yang
membentuk data latihan kategori bersifat normal (agihan normal). Asumsi
normalitasnya wajar bagi agihan spektral yang lazim. Dengan asumsi ini, agihan
suatu pola tanggapan kategori dapat diuraikan secara lengkap dengan vektor
rerata dan kovarian matrik (yang memberikan varian dan koreksi). Dengan
diketahuinya parameter ini, kita dapat menghitung probabilitas statistik suatu nilai
pixel tertentu sebagai suatu warga kelas kategori tutupan lahan tertentu. Konsep
klasifikasi maximum likelihood ditampilkan pada Gambar 7.
Likelihood Lk didefinisikan sebagai kemungkinan sebuah pixel masuk kelas k.
Lk = P(k/X) = P(k)*P(X/k) / P(i)*P(X/i)
dimana:
P(k) : prior probability pada kelas k
P(X/k) : probability density function nilai x dari kelas k
Dalam kasus data terdistribusi normal, metode maximum likelihood dapat
dirumuskan sebagai berikut:
⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧− − − =
∑
∑
−1 2 1 2 ) ( ) ( 2 1 exp ) 2 ( 1 ) ( k t k k k nk X X X
L μ μ
π
n : jumlah kanal
X : nilai pixel pada sejumlah kanal
Lk(X) : kemungkinan X masuk ke kelas k
k : mean vector pada kelas k
k : variance-covariance matrix pada kelas k
| k| : determinan pada k
[image:47.612.176.449.166.407.2]t : transpose matrix
Gambar 7 Konsep klasifikasi maximum likelihood (Gabriel 2005).
(2) Neural networks
Algoritma neural network adalah pendekatan non parametrik yang populer
untuk klasifikasi saat ini. Dalam pengertiannya, neural network mirip dengan
algoritma clustering. Neural network pada intinya adalah sistem pembelajaran
yang didasarkan pada interconnected network pada elemen pemrosesan
sederhana. Pada umumnya ada tiga fase dalam klasifikasi neural network.
Pertama adalah melakukan training sebagai input data, kedua adalah fase validasi
yang menentukan keberhasilan dari fase training dan akurasi network ketika
diaplikasikan pada data, langkah terakhir adalah fase klasifikasi yang
menghasilkan peta (Gahegan et al. 1999).
Dasar network ditampilkan pada Gambar 8. Network ini mempunyai tiga
19
pemrosesan pada tiap node (Schowengerdt 1997 ; Patterson 1996; Kusumadewi
2003; Kusumadewi 2004).
Tiap pemrosesan node, kita mempunyai transformasi (Gambar 9). Di tiap
node pada hidden layer, j, mengikuti operasi yang dibentuk dari input patern, pi,
menghasilkan output, hj,
∑
=i i ji
j w p
S
Hidden layer:
)
( j
j f S
h =
Langsung pada tiap node pada output layer, k, dimana output, ok, dihitung,
∑
=j j kj
k w h
S
Output layer:
)
( k
k f S
[image:48.612.176.467.288.535.2]o =
Gambar 8 Struktur tradisional pada tiga layer neural network
(Schowengerdt 1997). • 1 • 1 • Activation function Node output S
Σ
f(S) Node inputs Hidden layer Nodes (j) Outputpattern ok
Inputs
pattern pi
weights wkj
• S • S • S • S • S • S • S • • S • S • S • S • S • S
weights wji
Input Nodes (i)
Gambar 9 Komponen-komponen elemen pemrosesan (Schowengerdt 1997).
Pada penelitian ini dimplementasikan neural network tiga layer, yaitu
input layer, hidden layer dan output layer, sehingga sering disebut sebagai neural network multi-layer perceptron (MLP). Neural network MLP umumnya
ditraining dengan back propagation untuk klasifikasi citra pada penginderaan
jauh (Kanellopoulos and Wilkinson 1997). Back propagation adalah algoritma
yang meminimalkan error pada output dan pendekatan ini telah berhasil untuk
taining networks (Schowengerdt 1997).
Beberapa hasil kajian menggunakan neural network diantaranya:
Carpenter et al. (1997) telah melakukan klasifikasi vegetasi menggunakan
adaptive resonante theory (ART) neural network. Schiffmann et al. (1994) telah
mengadakan penelitian tentang optimasi algoritma back propagation dalam
training multilayer percepteron. Muchoney dan Williamson (2001) mendapatkan
hasil bahwa ART neural network bisa memberikan hasil klasifikasi yang sangat
baik pada vegetasi maupun penutupan lahan lainnya.
2.3 Analisis Komponen Utama
Analisis komponen utama (AKU) adalah salah satu teknik eksplorasi data
yang digunakan sangat luas ketika menghadapi data peubah ganda. Penggunaan
komponen utama, yang merupakan fungsi linier tertentu dari peubah asal, sering
disarankan dalam proses mereduksi banyaknya peubah pada data peubah ganda.
Peubah-peubah baru hasil pereduksian merupakan fungsi dari peubah asal atau
peubah asal itu sendiri yang memiliki proporsi informasi yang signifikan
mengenai gugus data tersebut. Dengan prosedur ini (AKU) akan didapatkan
komponen utama yang mampu mempertahankan sebagian besar infomasi yang
terkandung pada data asal tersebut. Komponen utama mampu mempertahankan
sebagian informasi yang diukur menggunakan keragaman total hanya
21
Rao (1964) diacu dalam Sartono et al. (2003) juga mempertimbangkan
ukuran lain untuk menilai informasi yang terkandung sehingga proses pencarian
komponen utama dengan batasan informasi yang optimal menjadi beragam.
Analisis komponen utama juga bisa dipandang sebagai sebuah kasus proyeksi
data dari dimensi besar ke dimensi yang lebih rendah. Pemilihan proyeksi ke
dimensi yang lebih rendah ini biasanya dilakukan dengan mengoptimasi indeks
tertentu.
Komponen utama mampu menangkap sebagian besar informasi, sifat lain
yang umumnya diperlukan dalam banyak analisis dan dimiliki oleh komponen
utama adalah antar komponen utama tidak saling berkorelasi.
Analisis komponen utama pada dasarnya bertujuan untuk
menyederhanakan variabel-variabel yang diamati dengan cara mereduksi
dimensinya. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan korelasi diantara variabel
asal (x) ke variabel baru (komponen utama) yang tidak berkolerasi.
Tahap awal penentuan komponen utama dari vektor peubah x adalah
mendapatkan akar ciri dan vektor ciri dari matriks Σ, matriks ragam peragam x.
Suatu peubah acak berdimensi p misalkan x = (x1, x2, ..., xp)
mengikuti sebaran normal ganda dengan vektor nilai tengah µ dan matriks ragam
peragam Σ, x~Np (μ, Σ). Maka bentuk utama sebagai kombinasi linear terbobot
dari variabel asal dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan:
p pj j
ij
j a x a x a x
K = + 2 +...+
x a j
'
=
Dimana aij menunjukkan besarnya kontribusi peubah ke-i terhadap
komponen utama ke-j dan tanda aij menunjukkan arahnya.
Agar ragam dari komponen utama ke-j maksimum serta antara komponen
utama ke-j tidak berkorelasi dengan komponen utama ke-i untuk i ≠ j, maka
vektor pembobot aj’ harus dipilih dengan kendala aj’aj = 1 dan ai’aj = 0.
Sehingga akar ciri ke-j (λj) yang diturunkan dari matriks peragam S dapat
0
= Ι −λ
S
dan vektor pembobot aj atau vektor ciri ke-j diperoleh dengan menyelesaikan
persamaan:
(
S−λΙ)
aj =0Menurut Morrison (1990) jika peubah asal memiliki satuan yang sama dan
ragam yang homogen, maka analisis komponen utama didasarkan pada akar ciri
dan vektor ciri yang diturunkan dari matrik peragam (S). Jika peubah asal
memiliki satuan yang berbeda, maka digunakan matriks korelasi R dan sebelum
dilakukan analisis komponen utama variabel tersebut perlu dibakukan ke dalam
variabel baku Z,
(
)
ii i i i
x x
σ
− = Ζ
i = 1, 2, ..., p dan
dimana xi adalah peubah bebas ke-i, x adalah rataan dari peubah x dan s
merupakan simpangan baku.
Besarnya keragaman yang dapat diterangkan oleh komponen utama ke-i
untuk kompoenen utama yang dapat diturunkan dari matriks korelasi R adalah
sebesar:
p R tr
i
i λ
λ =
) (
dimana p adalah banyaknya variabel asal, λi merupakan akar ciri ke-i dan tr(R)
merupakan matriks teras R.
Ada tiga metode utama yang digunakan untuk penentuan banyaknya
komponen utama:
(1)Metode pertama didasarkan pada komulatif proporsi keragaman total yang
mampu dijelaskan. Metode ini merupakan metode yang paling banyak
digunakan, dan bisa diterapkan pada penggunaan matriks korelasi maupun
ii ii S
∧ =
23
matriks ragam peragam. Minimum persentase keragaman yang mampu
dijelaskan ditentukan terlebih dahulu, dan selanjutnya banyaknya komponen
yang paling kecil hingga batas itu terpenuhi dijadikan sebagai banyaknya
komponen utama yang digunakan. Tidak ada patokan baku berapa batas
minimum tersebut, sebagian buku menyebutkan 70%, 80%, bahkan ada yang
90%. Jika λ1≥...≥λp adalah akar ciri dari matriks ragam peragam (atau
korelasi) maka proporsi komulatif dari k komponen utama pertama adalah:
p k p i i k i i ,..., 1 , 1 1 =
∑
∑
= = λ λPada kasus pengunaan matriks korelasi maka p
k
i i =
∑
=1
λ , sehingga proporsi
komulatifnya adalah:
(2) Metode yang kedua hanya bisa diterapkan pada penggunaan matriks korelasi.
Ketika menggunakan matriks ini, peubah asal ditransformasi menjadi peubah
yang memiliki ragam sama yaitu satu. Pemilihan komponen utama
didasarkan pada ragam komponen utama, yang tidak lain adalah akar ciri.
Metode ini disarankan oleh Kaiser (1960) dalam Sartono et al. (2003) yang
berargumen bahwa jika peubah asal saling bebas maka komponen utama
tidak lain adalah peubah asal, dan setiap komponen utama akan memiliki
ragam satu. Sehingga jika ada komponen utama yang ragamnya kurang dari
satu dianggap memiliki konstribusi yang kurang. Dengan cara ini, komponen
yang berpadanan dengan akar ciri kurang dari satu tidak digunakan.
(3) Metode yang ketiga adalah penggunaan grafik yang disebut plot scree. Cara
ini bisa digunakan ketika titik awalnya matriks korelasi maupun ragam
peragam. Plot scree merupakan plot antara akar ciri λk dengan k. Dengan
mengunakan metode ini, banyaknya komponen utama yang dipilih, yaitu k,
adalah jika pada titik k tersebut plotnya curam ke kiri tapi tidak curam ke
p k
p k
i
i, 1,...
kanan. Ide yang ada di belakang ini adalah bahwa banyaknya komponen
utama yang dipilih sedemikian rupa sehingga selisih antara akar ciri yang
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Pemrosesan awal data citra satelit dilakukan pada bulan Februari – Juni
2005. Pengambilan data insitu pada bulan Juli 2005, kemudian dilanjutkan
dengan pemrosesan akhir (data hasil survei lapang dan data citra satelit) sampai
dengan bulan Desember 2005. Lokasi studi yang dipilih untuk penelitian adalah
Berau, Kalimantan Timur yang meliputi kecamatan Sambaliung dan Talisayan.
Pemrosesan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografi Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Peta lokasi studi dan posisi stasiun
[image:54.612.116.527.331.645.2]pengambilan data ditampilkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Peta lokasi studi dan posisi stasiun pengambilan data
Bahan utama yang dipergunakan pada penelitian ini adalah citra Landsat
TM dan ETM+, peta-peta pendukung (peta hasil digitasi yang dilakukan oleh the
nature conservancy/TNC Berau) serta data hasil pengukuran di lapangan.
Dalam survei lapang, ada beberapa peralatan yang digunakan untuk
mengukur parameter fisika lingkungan yang membatasi mangrove, yaitu:
(1) Thermometer, digunakan untuk mengukur suhu perairan
(2) Refraktometer, digunakan untuk mengukur salinitas (English et al. 1997) (3) Secchi disk, digunakan untuk mengukur kecerahan (English et al. 1997) (4) Depth gauge, digunakan untuk mengukur kedalaman
(5) Floating drouge dan stop watch, digunakan untuk mengukur kecepatan pergerakan air (arus)
(6) Global positioning system (GPS), digunakan untuk menentukan posisi
(7) Kompas, digunakan untuk menentukan arah.
Dalam pengamatan komunitas mangrove, diperlukan: perahu motor, roll
meter, kamera, peta citra satelit Landsat-5 TM hasil pengolahan awal.
Dalam pengolahan data, beberapa peralatan yang diperlukan adalah:
seperangkat personal computer lengkap dengan printer. Software yang digunakan
meliputi ER Mapper 6.4, ERDAS Imagine 8.5, Idrisi Kilimajaro dan Arc View
3.3, serta software untuk analisis statistik SPSS 12.
3.3 Data
Kuantitas data yang diperlukan meliputi:
1) Data Spasial
Data spasial yang dipergunakan adalah citra Landsat-5 TM hasil liputan
tanggal 16 Juni 1991 serta Landsat-7 ETM+ hasil liputan tanggal 15 Mei
2000, 27 Februari 2001 dan 21 Mei 2002 (path/row : 116/059).
2) Data Lapangan
Data lapangan yang diperlukan meliputi data tentang parameter lingkungan
fisika perairan (suhu, salinitas kecerahan, kedalaman), lingkungan kimia
perairan (pH) serta data kerapatan kanopi mangrove. Data ini diperoleh dari
pengamatan langsung di lapangan pada tanggal 9-16 Juli 2005. Pengamatan
27
berbeda, dengan membuat transek berukuran 30 x 30 meter (sesuai resolusi
spasial Landsat TM) pada tiap stasiun. Pada setiap transek diidentifikasi
jenis mangrove yang dominan serta diukur persentase penutupan kanopinya.
Posisi stasiun pengambilan data lapangan ditampilkan pada Lampiran 1.
3.4 Analisis Data
Analisis digital diproses dengan menggunakan software ER Mapper 6.4,
ERDAS Imagine 8.5, Idrisi Kilimajaro dan Arc View 3.3 sedangkan analisis
visual dilakukan berdasarkan hasil identifikasi objek. ER Mapper 6.4 digunakan
untuk preprocessing, yang meliputi koreksi geometrik dan radiometrik. ERDAS
Imagine digunakan untuk melakukan transformasi produk Level 1 (L1) ke
spektral radians, pengambilan training area, uji ketelitian keterpisahan yang
meliputi transformed divergency dan jeffries-matusita distance, klasifikasi citra
serta uji ketelitian matric contingency. Idrisi Kilimajaro digunakan untuk proses
transformasi indeks vegetasi, overlay antara citra klasifikasi tahun 1991 dengan
tahun 2002 serta overlay antara citra klasifikasi dengan citra indeks vegetasi. Arc
View 3.3 digunakan untuk konversi dari data raster ke data vektor serta untuk
membuat tampilan akhir (layout). Secara lebih lengkap, proses yang dilakukan
terhadap data citra meliputi:
3.4.1 Preprocessing
Pada preprocessing dilakukan koreksi radiometrik dan koreksi geometrik.
Koreksi geometrik dilakukan untuk mendapatkan citra yang sesuai dengan posisi
yang sebenarnya di bumi. Metode yang digunakan untuk koreksi geometrik
adalah polynomial orde 1, eksekusi resampling terhadap data citra menggunakan
model nearest neighbour. Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki
nilai-nilai pixel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral
objek yang sebenarnya, teknik/metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah
penyesuaian histogram (histogram adjustment).
3.4.2 Transformasi produk Level 1 (L1) ke spektral radians
Konversi dari digital number (Qcal) produk Level 1 (L1) pada data
λ λ
λ
λ Q LMIN
Q LMIN LMAX L cal cal + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = max
Persamaan diatas dapat juga didefinisikan sebagai:
rescale cal
rescale Q B G
Lλ = × +
⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = max cal rescale Q LMIN LMAX
G λ λ
λ LMIN Brescale =
dimana:
Lλ = spektral radians (W/(m2.sr.µm))
Qcal = nilai pixel yang dikalibrasi
Qcalmax = nilai pixel minimum yang dikalibrasi (DN=255)
LMINλ = spektral radians minimum (W/(m2.sr.µm))
LMAXλ = spektral radians maksimum (W/(m2.sr.µm))
Berdasarkan NASA 2007, konversi dari digital number (Qcal) produk
Level 1 (L1) Landsat-7 ETM+ ke spektral radians (Lλ) menggunakan persamaan:
(
)
λλ λ
λ Q Q LMIN
Q Q
LMIN LMAX
L cal cal
cal cal + − ∗ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − = min min max dimana:
Lλ = spectral radians (W/(m2.sr.µm))
Qcal = nilai pixel yang dikalibrasi
Qcalmin = nilai pixel minimum yang dikalibrasi (DN=0 untuk NLAPS
products atau 1 untuk LPGS products)
Qcalmax = nilai pixel minimum yang dikalibrasi (DN=255)
LMINλ = spectral radians minimum (W/(m2.sr.µm))
LMAXλ = spectral radians maksimum (W/(m2.sr.µm))
Pada Tabel 2 ditampilkan secara spesifik parameter LMINλ dan LMAXλ
serta nilai Grescaledan Brescale yang di