• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi)."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PENGENDALIAN MUTU IKAN SWANGGI

(

Priacanthus macracanthus

) (STUDI KASUS DI CV. BAHARI

EXPRESS, PALABUHANRATU, SUKABUMI)

VERA WANGSADINATA

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

(3)

ABSTRAK

VERA WANGSADINATA, C44051212. Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi). Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan JOKO SANTOSO.

Ikan swanggi merupakan ikan demersal kecil yang dulunya memiliki harga jual yang murah yaitu tidak lebih dari Rp.10.000/kg. Dengan berdirinya CV. Bahari Express, harga ikan ini mengalami kenaikan menjadi Rp.35.000/kg. Ikan swanggi sekarang telah menjadi salah satu komoditas ekspor yang cukup diminati sehingga harus diperhatikan mutunya agar memenuhi standar mutu ekspor. Tetapi sistem pengendalian mutu ikan swanggi baru dilaksanakan secara tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi proses penanganan dan menentukan keragaan mutu ikan swanggi dengan metode survey, uji organoleptik, analisis nilai pH dan Total Volatile Base (TVB). Penelitian dilakukan pada saat pascapanen, pembongkaran, produksi dan saat dipasarkan di pasar sekitar PPN Palabuhanratu. Proses penanganan yang dilakukan kapal CV. Bahari Express sudah hampir memenuhi Good Handling Practices (GHP), sedangkan supplier

masih melakukan penanganan yang tidak memenuhi syarat dalam GHP. Nilai rata-rata organoleptik ikan swanggi pada proses penanganan yaitu : pembongkaran (8,38), produksi (7,48), pasar (5,23). Nilai pH ikan swanggi yaitu : pembongkaran (6,11-6,75), produksi (6,36-7), pasar (6,4-6,66). Nilai TVB ikan swanggi pada setiap tahapan penanganan adalah : pembongkaran (13,07 mgN/100 g), ikan segar saat produksi (28 mgN/100 g), ikan reject saat produksi (42 mgN/100 g), pasar (42 mgN/100 g).

(4)

EXPRESS, PALABUHANRATU, SUKABUMI)

VERA WANGSADINATA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi)

Nama : Vera Wangsadinata NRP : C44051212

Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si Dr. Ir. Joko Santoso,M.Si NIP 19660920 199103 1001 NIP 19670922 199203 1003

Diketahui :

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr.Ir. Indra Jaya,M.Sc. NIP: 19610410 198601 1002

(6)

Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanankan pada bulan April-Mei 2009 ini adalah pengendalian mutu ikan swanggi, dengan judul “Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi)”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ayah, ibu serta kakak-kakak tercinta, atas semua dukungan baik moril maupun materil kepada penulis.

2. Bapak Sugeng Hari Wisudo selaku dosen Departemen Pemanfaatan Perikanan dan Bapak Joko Santoso selaku dosen Departemen Teknologi Hasil Perikanan sebagai Komisi Pembimbing atas segala masukan, kritikan serta kesabarannya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Bapak Dinarwan sebagai pembimbing akademik atas bimbingannya kepada penulis.

4. Bapak Mustarudin dan Ibu Roza Yusfiandadani sebagai dosen penguji tamu atas segala masukan untuk perbaikan skripsi.

5. Bapak Rasdi selaku direktur CV. Bahari Express yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian.

6. Teman-teman di CV. Bahari Express yang telah banyak membantu.

7. Teman-teman PSP 42 yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuannya kepada penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, walupun masih terdapat beberapa kekurangan.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Mei 1987 dari pasangan Bong Kie Siong dan Tjong Thjui Fong. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis lulus dari SMU Damai pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB jalur Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dengan melalui sistem Mayor Minor yang diterapkan IPB, masuk Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap.

Selama kuliah penulis aktif di organisasi yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) pada tingkat pertama dan Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Perikanan Tangkap (HIMAFARIN) pada tingkat ketiga.

(8)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Perumusan Masalah ... 3

1.4 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 4

2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ... 4

2.1.2 Daerah penyebaran ... 5

2.2 Sistem ... 6

2.3 Pengendalian Mutu ... 7

2.4 Mutu Ikan ... 7

2.4.1 Pengertian mutu ikan ... 7

2.4.2 Kemunduran mutu ikan ... 9

2.4.3 Parameter kemunduran mutu ikan ... 13

2.5 Penanganan dan Pendistribusian ... 15

2.5.1 Penanganan berdasarkan Good Handling Practices (GHP) .. 15

2.5.2 Penanganan berdasarkan Good Distribution Practices (GDP) 21 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Bahan dan Alat ... 23

3.3 Metode Penelitian ... 23

3.3.1 Uji organoleptik ... 23

3.3.2 Penentuan nilai pH ... 24

3.3.3 Total Volatile Base (TVB) ... 24

3.4 Pengumpulan Data ... 25

3.5 Analisis Data ... 26

3.5.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi ... 26

3.5.2 Uji organoleptik ... 27

(9)

ii 4 HASIL

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 30

4.1.1 Keadaan umum Palabuhanratu ... 30

4.1.2 CV. Bahari Express ... 33`

1 Sejarah dan struktur organisasi ... 33

2 Sarana penangkapan ikan swanggi ... 34

4.2 Penanganan Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 36

4.2.1 Penanganan pascapanen (first handling) ... 36

a. Di kapal CV. Bahari Express ... 36

b. Di supplier ... 40

4.2.2 Penanganan saat pembongkaran ... 41

a. Di kapal CV. Bahari Express ... 41

b. Di supplier ... 43

4.2.3 Penanganan saat produksi ... 46

4.2.4 Penanganan saat di pasar ... 49

4.3 Karakteristik Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 51

4.3.1 Perubahan nilai organoleptik ... 51

4.3.2 Penentuan pH... 52

4.3.3 Penentuan nilai Total Volatile Base (TVB)... 54

5 PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 55

5.1.1 Keadaan umum Palabuhanratu ... 55

5.2 Penanganan Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 56

5.2.1 Penanganan pascapanen (first handling) ... 56

a. Di kapal CV. Bahari Express ... 56

b. Di supplier ... 57

5.2.2 Penanganan saat pembongkaran ... 57

a. Di kapal CV. Bahari Express ... 57

b. Di supplier ... 57

5.2.3 Penanganan saat produksi ... 58

5.3 Karakteristik Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 59

5.3.1 Perubahan nilai organoleptik ... 59

5.3.2 Penentuan pH... 60

5.3.3 Penentuan nilai Total Volatile Base (TVB)... 61

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(10)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan

yang disimpan dalam es ... 11 2 Rata-rata nilai organoleptik ikan swanggi pada setiap tahapan proses

penanganan ... 26 3 Hasil uji organoleptik pada mata, insang, lendir, daging, bau, dan

konsistensi pada setiap proses penanganan ... 27 4 Persentase penurunan mutu organoleptik ikan swanggi pada setiap

mata rantai penanganan ... 27 5 Total produksi ikan swanggi yang didaratkan di PPN Palabuhanratu

dari tahun 2004-2008 ... 31 6 Total nilai produksi ikan swanggi yang didaratkan di PPN

Palabuhanratu dari tahun 2004-2008 ... 32 7 Hasil uji organoleptik pada mata, insang dan konsistensi pada setiap

proses penanganan ... 51 8 Persentase penurunan mutu organoleptik ikan swanggi pada setiap

mata rantai penanganan ... 52 9 Nilai pH ikan swanggi pada setiap proses penanganan ... 53 10 Nilai pH ikan swanggi dibandingkan alat tangkap dan waktu

(11)

SISTEM PENGENDALIAN MUTU IKAN SWANGGI

(

Priacanthus macracanthus

) (STUDI KASUS DI CV. BAHARI

EXPRESS, PALABUHANRATU, SUKABUMI)

VERA WANGSADINATA

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

(13)

ABSTRAK

VERA WANGSADINATA, C44051212. Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi). Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO dan JOKO SANTOSO.

Ikan swanggi merupakan ikan demersal kecil yang dulunya memiliki harga jual yang murah yaitu tidak lebih dari Rp.10.000/kg. Dengan berdirinya CV. Bahari Express, harga ikan ini mengalami kenaikan menjadi Rp.35.000/kg. Ikan swanggi sekarang telah menjadi salah satu komoditas ekspor yang cukup diminati sehingga harus diperhatikan mutunya agar memenuhi standar mutu ekspor. Tetapi sistem pengendalian mutu ikan swanggi baru dilaksanakan secara tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi proses penanganan dan menentukan keragaan mutu ikan swanggi dengan metode survey, uji organoleptik, analisis nilai pH dan Total Volatile Base (TVB). Penelitian dilakukan pada saat pascapanen, pembongkaran, produksi dan saat dipasarkan di pasar sekitar PPN Palabuhanratu. Proses penanganan yang dilakukan kapal CV. Bahari Express sudah hampir memenuhi Good Handling Practices (GHP), sedangkan supplier

masih melakukan penanganan yang tidak memenuhi syarat dalam GHP. Nilai rata-rata organoleptik ikan swanggi pada proses penanganan yaitu : pembongkaran (8,38), produksi (7,48), pasar (5,23). Nilai pH ikan swanggi yaitu : pembongkaran (6,11-6,75), produksi (6,36-7), pasar (6,4-6,66). Nilai TVB ikan swanggi pada setiap tahapan penanganan adalah : pembongkaran (13,07 mgN/100 g), ikan segar saat produksi (28 mgN/100 g), ikan reject saat produksi (42 mgN/100 g), pasar (42 mgN/100 g).

(14)

EXPRESS, PALABUHANRATU, SUKABUMI)

VERA WANGSADINATA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Judul Skripsi : Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi)

Nama : Vera Wangsadinata NRP : C44051212

Mayor : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si Dr. Ir. Joko Santoso,M.Si NIP 19660920 199103 1001 NIP 19670922 199203 1003

Diketahui :

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr.Ir. Indra Jaya,M.Sc. NIP: 19610410 198601 1002

(16)

Skripsi ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanankan pada bulan April-Mei 2009 ini adalah pengendalian mutu ikan swanggi, dengan judul “Sistem Pengendalian Mutu Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) (Studi Kasus di CV. Bahari Express, Palabuhanratu, Sukabumi)”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ayah, ibu serta kakak-kakak tercinta, atas semua dukungan baik moril maupun materil kepada penulis.

2. Bapak Sugeng Hari Wisudo selaku dosen Departemen Pemanfaatan Perikanan dan Bapak Joko Santoso selaku dosen Departemen Teknologi Hasil Perikanan sebagai Komisi Pembimbing atas segala masukan, kritikan serta kesabarannya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Bapak Dinarwan sebagai pembimbing akademik atas bimbingannya kepada penulis.

4. Bapak Mustarudin dan Ibu Roza Yusfiandadani sebagai dosen penguji tamu atas segala masukan untuk perbaikan skripsi.

5. Bapak Rasdi selaku direktur CV. Bahari Express yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian.

6. Teman-teman di CV. Bahari Express yang telah banyak membantu.

7. Teman-teman PSP 42 yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuannya kepada penulis.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, walupun masih terdapat beberapa kekurangan.

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Mei 1987 dari pasangan Bong Kie Siong dan Tjong Thjui Fong. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis lulus dari SMU Damai pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB jalur Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dengan melalui sistem Mayor Minor yang diterapkan IPB, masuk Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap.

Selama kuliah penulis aktif di organisasi yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) pada tingkat pertama dan Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Perikanan Tangkap (HIMAFARIN) pada tingkat ketiga.

(18)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Perumusan Masalah ... 3

1.4 Manfaat ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 4

2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ... 4

2.1.2 Daerah penyebaran ... 5

2.2 Sistem ... 6

2.3 Pengendalian Mutu ... 7

2.4 Mutu Ikan ... 7

2.4.1 Pengertian mutu ikan ... 7

2.4.2 Kemunduran mutu ikan ... 9

2.4.3 Parameter kemunduran mutu ikan ... 13

2.5 Penanganan dan Pendistribusian ... 15

2.5.1 Penanganan berdasarkan Good Handling Practices (GHP) .. 15

2.5.2 Penanganan berdasarkan Good Distribution Practices (GDP) 21 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Bahan dan Alat ... 23

3.3 Metode Penelitian ... 23

3.3.1 Uji organoleptik ... 23

3.3.2 Penentuan nilai pH ... 24

3.3.3 Total Volatile Base (TVB) ... 24

3.4 Pengumpulan Data ... 25

3.5 Analisis Data ... 26

3.5.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi ... 26

3.5.2 Uji organoleptik ... 27

(19)

ii 4 HASIL

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 30

4.1.1 Keadaan umum Palabuhanratu ... 30

4.1.2 CV. Bahari Express ... 33`

1 Sejarah dan struktur organisasi ... 33

2 Sarana penangkapan ikan swanggi ... 34

4.2 Penanganan Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 36

4.2.1 Penanganan pascapanen (first handling) ... 36

a. Di kapal CV. Bahari Express ... 36

b. Di supplier ... 40

4.2.2 Penanganan saat pembongkaran ... 41

a. Di kapal CV. Bahari Express ... 41

b. Di supplier ... 43

4.2.3 Penanganan saat produksi ... 46

4.2.4 Penanganan saat di pasar ... 49

4.3 Karakteristik Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 51

4.3.1 Perubahan nilai organoleptik ... 51

4.3.2 Penentuan pH... 52

4.3.3 Penentuan nilai Total Volatile Base (TVB)... 54

5 PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 55

5.1.1 Keadaan umum Palabuhanratu ... 55

5.2 Penanganan Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 56

5.2.1 Penanganan pascapanen (first handling) ... 56

a. Di kapal CV. Bahari Express ... 56

b. Di supplier ... 57

5.2.2 Penanganan saat pembongkaran ... 57

a. Di kapal CV. Bahari Express ... 57

b. Di supplier ... 57

5.2.3 Penanganan saat produksi ... 58

5.3 Karakteristik Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 59

5.3.1 Perubahan nilai organoleptik ... 59

5.3.2 Penentuan pH... 60

5.3.3 Penentuan nilai Total Volatile Base (TVB)... 61

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

(20)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan

yang disimpan dalam es ... 11 2 Rata-rata nilai organoleptik ikan swanggi pada setiap tahapan proses

penanganan ... 26 3 Hasil uji organoleptik pada mata, insang, lendir, daging, bau, dan

konsistensi pada setiap proses penanganan ... 27 4 Persentase penurunan mutu organoleptik ikan swanggi pada setiap

mata rantai penanganan ... 27 5 Total produksi ikan swanggi yang didaratkan di PPN Palabuhanratu

dari tahun 2004-2008 ... 31 6 Total nilai produksi ikan swanggi yang didaratkan di PPN

Palabuhanratu dari tahun 2004-2008 ... 32 7 Hasil uji organoleptik pada mata, insang dan konsistensi pada setiap

proses penanganan ... 51 8 Persentase penurunan mutu organoleptik ikan swanggi pada setiap

mata rantai penanganan ... 52 9 Nilai pH ikan swanggi pada setiap proses penanganan ... 53 10 Nilai pH ikan swanggi dibandingkan alat tangkap dan waktu

(21)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) ... 4

2 Prinsip perubahan yang terjadi setelah kematian ikan ... 12

3 Grafik produksi ikan per tahun dan per daerah yang disalurkan lewat darat ke PPN Palabuhanratu pada tahun 2004-2008... 32

4 Struktur oganisasi CV. Bahari Express ... 34

5 Diagram alir proses penanganan pascapanen di kapal CV. Bahari Express ... 38

6 Pelepasan ikan dari jaring kapal CV. Bahari Express ... 38

7 Perendaman ikan dengan air dingin dalam blong di kapal CV. Bahari Express... 39

8 Pemasukkan ikan dalam plastik, penyusunan di box dan pemberian es di kapal CV. Bahari Express ... 39

9 Diagram alir proses penanganan pascapanen di nelayan yang dikumpulkan supplier ... 41

10 Pengangkutan ikan dari palka kapal CV. Bahari Express ... 42

11 Penyusunan box di mobil CV. Bahari Express ... 42

12 Diagram alir proses penanganan ikan swanggi saat pembongkaran di lokasi pengumpulan supplier... 44

13 Ikan dibawa oleh nelayan di lokasi supplier ... 44

14 Penimbangan dan penyortiran ikan di lokasi supplier ... 45

15 Pencucian ikan di lokasi supplier ... 45

16 Penyusunan ikan dalam box dan pemberian es di lokasi supplier ... 46

17 Diagram alir proses penanganan ikan swanggi saat produksi ... 48

18 Penyortiran dan penimbangan ikan di perusahaan ... 48

19 Pemasukan ikan satu per satu ke dalam plastik di perusahaan ... 49

20 Penyusunan ikan dalam box besar dan pemberian es di perusahaan ... 49

21 Ikan swanggi di pasar yang diletakkan di box dan diberi es ... 50

22 Ikan swanggi di pasar yang diletakkan di meja tanpa diberi es ... 50

23 Grafik nilai organoleptik ikan swanggi pada setiap proses penanganan 51 24 Grafik peta kendali kualitas ikan swanggi di CV. Bahari Express ... 52

(22)
(23)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Peta PPN Palabuhanratu... 68 2 Nilai organoleptik ikan segar... 69 3 Total produksi ikan swanggi per bulan di PPN Palabuhanratu (kg) dari

tahun 2004-2008 ... 72 4 Total nilai produksi ikan swanggi per bulan di PPN Palabuhanratu

dari tahun 2004-2008 ... 72 5 Produksi ikan swanggi perbulan per daerah yang disalurkan lewat

darat ke PPN Palabuhanratu dari tahun 2004-2008 ... 73 6 Nilai organoleptik ikan swanggi

(24)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sukabumi merupakan salah satu pusat kegiatan perikanan tangkap yang cukup besar dengan adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Pada tahun 2005 produksi hasil tangkapannya lebih dari 12.000 ton dengan berbagai komoditas sumberdaya ikan pelagis maupun demersal. Pada umumnya komoditas sumberdaya ikan demersal bernilai ekonomis penting dan karena migrasinya yang terbatas maka secara umum cenderung menetap pada wilayah perairan tertentu (Badrudin 2006). Ikan swanggi merupakan ikan demersal kecil yang dulunya memiliki harga jual yang murah. Ikan yang berhasil ditangkap oleh nelayan biasanya dikonsumsi sendiri ataupun dijual dengan harga yang sangat murah yaitu tidak lebih dari Rp.10.000/kg. Dengan berdirinya CV. Bahari Express, harga ikan ini mengalami kenaikan menjadi Rp.35.000/kg. Ikan swanggi sekarang telah menjadi salah satu komoditas ekspor yang cukup diminati sehingga harus diperhatikan mutunya agar memenuhi standar mutu untuk ekspor. Tetapi pengendalian mutu ikan swanggi baru bersifat secara tradisional yaitu dengan pemberian es curah saja sehingga mutunya belum dijaga secara maksimal.

Menurut Prawirosentono (2001), mutu suatu produk adalah keadaan fisik, fungsi, dan sifat suatu produk bersangkutan yang dapat memenuhi selera dan kebutuhan konsumen dengan memuaskan sesuai nilai uang yang telah dikeluarkan. Prinsip dasar yang perlu disadari bahwa upaya maksimum yang dapat dilakukan hanya dapat mempertahankan mutu bahan baku (hasil-hasil perikanan). Begitu dikeluarkan dari habitatnya, hasil perikanan akan berubah mutunya, yang secara umum sangat merugikan, sehingga mutu hasil-hasil perikanan harus dikendalikan tidak hanya pada aktivitas pascapanen, bahkan harus sudah dimulai pada aktivitas prapanen (penangkapan) (Diniah, 2006).

(25)

2

Penanganan ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu secara keseluruhan belum mendapatkan perhatian yang baik akibat pelaku produksi yang kurang memperhatikan pentingnya penanganan ikan sejak dimulainya proses pendaratan / pembongkaran ikan dari palka ikan sampai menuju ke tempat pelelangan ikan untuk dilakukan pelelangan, hal inilah yang menjadikan salah satu faktor indeks relatif nilai produksi ikan PPN Palabuhanratu terhadap produksi ikan di Kabupaten Sukabumi dan Provinsi Jawa Barat I < 1 artinya kualitas pemasaran ikan PPN Palabuhanratu kurang baik dibandingkan Kabupaten Sukabumi dan Propinsi Jawa Barat (Yundari, 2005).

Setelah sampai ke darmaga, ikan telah mulai mengalami cacat fisik akibat kepala dikait dengan ganco, pemindahan ikan yang diambil satu persatu dengan menggunakan tangan hingga ikan dibiarkan terlalu lama terkena sinar matahari akibat menunggu proses pelelangan. Kondisi ikan diperburuk dengan penanganan pada saat dipasarkan oleh pedagang baik selama ikan dipasarkan di pasar lokal terdekat atau didistribusikan ke luar PPN Palabuhanratu. Para pedagang mengandalkan penggunaan es dalam pendinginan ikan selama distribusi (Yundari, 2005).

Pengendalian mutu ikan swanggi pada aktivitas praproduksi yaitu saat penanganan di kapal dan saat pendistribusian masih dilakukan secara tradisional dan belum sesuai dengan GHP dan GDP. Hal ini menyebabkan ikan yang sampai ke tangan konsumen ataupun produsen belum semuanya memenuhi standar mutu untuk ekspor.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :

1) Mengidentifikasi proses penanganan ikan swanggi mulai dari penangkapan hingga distribusi pemasaran.

(26)

1.3 Perumusan Masalah

Permasalahan yang ada pada penelitian adalah belum diidentifikasinya proses penanganan mulai dari penangkapan hingga distribusi pemasaran dan belum diketahuinya keragaan mutu ikan swanggi.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1) Memberikan gambaran proses penanganan dan keragaan mutu ikan swanggi mulai dari penangkapan hingga distribusi pemasaran.

(27)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus) 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi

Ikan swanggi (Priacanthus macracanthus) yang memiliki nama internasional red bigeye/brownspot bigeye merupakan salah satu spesies dari Genus Priacanthus. Secara garis besar ikan ini mudah dikenali karena mata yang besar (Nelson, 1984). Bentuk tubuh ikan swanggi dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : Discoverlife, 2009

Gambar 1 Ikan Swanggi (Priacanthus macracanthus).

Ikan swanggi menurut Saanin (1984) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Subordo : Percoidea Divisi : Perciformes Famili : Priacanthidae Genus : Priacanthus

(28)

Ikan ini memiliki nama lokal : swangi/semerah padi (PPN Pemangkat), swanggi (Pelabuhan Perikanan Banjarmasin), swangi (PPP Tegalsari), mata bulan (PPN Ambon), camaul (PPN Palabuhanratu), belong (PPN Pekalongan), capa (PPN Sibolga), swanggi (PPS Jakarta), golok sabrang (PPN Brondong), swanggi (PPN Prigi) (www.pipp.dkp, 2009).

Menurut Nelson (1984), Famili Priacantidae memiliki ciri-ciri sebagai berikut mata amat besar, mulut lebar, rahang yang kokoh, terdapat sirip punggung yang terdiri dari 10 jari-jari keras dan 10-15 jari-jari lemah, sirip ekor terdiri dari 3 jari-jari keras dengan 9-16 jari-jari lemah, serta memiliki bentuk yang berpinggiran tegak hingga membulat, juga terdapat membran yang menghubungkan jari-jari sirip perut sebelah dalam ke tubuh, memiliki sisik stenoid dan biasanya berwarna merah cerah.

Menurut Anonima (2009) warna tubuh ikan ini adalah seluruhnya merah di mana bagian atasnya berwarna merah cerah dan bagian bawahnya berwarna merah keperakan. Priacanthus macracanthus dapat mencapai panjang 30 cm (Anonimb, 2009). Suharti (2009) menyatakan bahwa ikan dari Famili Priacanthidae termasuk ikan nokturnal, namun kadang-kadang kegiatan makan dilakukan sepanjang hari.

2.1.2 Daerah penyebaran

(29)

6

2.2 Sistem

Definisi sistem menurut Amirin (1992) adalah suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh.

Menurut Amirin (1992), ciri-ciri pokok suatu sistem adalah sebagai berikut : 1) Sistem bersifat terbuka atau pada umumnya bersifat terbuka. Boleh dikatakan

dalam kenyataan tidak ada sistem yang benar-benar tertutup. Sesuatu sistem dikatakan terbuka jika berinteraksi dengan lingkungannya dan sebaliknya, dikatakan tertutup jika mengisolasikan diri dari pengaruh apapun.

2) Suatu sistem terdiri dari dua atau lebih subsistem. Setiap sistem terdiri dari subsistem yang terbagi lagi ke dalam subsistem yang lebih kecil begitu seterusnya.

3) Di antara subsistem-subsistem itu terdapat saling ketergantungan, satu sama lain saling memerlukan masukkan (input) yang diperoleh dari subsistem yang lain, dengan kata lain keluaran (output) satu subsistem diperlukan sebagai masukan bagi subsitem yang lain.

4) Suatu sistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya (self adjustment). Kegiatan ini dimungkinkan karena adanya sistem umpan-balik atau balikan (feedback).

5) Sistem itu juga mempunyai kemampuan untuk mengatur diri sendiri ( self-regulation). Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan di atas.

6) Sistem itu mempunyai tujuan atau sasaran.

(30)

2.3 Pengendalian Mutu

Feigenbaum (1992) mengatakan bahwa, kendali adalah suatu proses untuk mendelegasikan tanggung jawab dan wewenang untuk kegiatan manajemen sambil tetap menggunakan cara-cara untuk menjamin hasil yang memuaskan.

Menurut Ishikawa (1992) pengendalian mutu adalah mengembangkan, mendesain, memproduksi dan memberikan jasa produk bermutu yang paling ekonomis, paling berguna dan selau memuaskan bagi konsumen. Menurut Hill (1994) pengendalian mutu adalah aspek dan pemeliharaan mutu yang menyangkut cara praktis untuk menjamin bahan mutu barang sesuai dengan spesifikasi.

Kegunaan pengendalian mutu menurut Komaruddin (1972) yakni: 1. Untuk menjaga agar langganan tidak kecewa.

2. Untuk memperoleh efisiensi bahan bakar, pelengkap, tenaga dan kapital.

2.4 Mutu Ikan

2.4.1 Pengertian mutu ikan

Menurut Ilyas (1993), mutu mengandung arti nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu material, produk atau jasa. Seperti pada hasil pertanian umumnya, hasil perikanan pun mengandung paling kurang beberapa aspek mutu, antara lain :

a) Aspek bio-tekno-ekonomis (pertanian/perikanan). Hasil perikanan secara biologis mengandung nilai gizi yang secara teknologi dimanfaatkan dengan memperhatikan nilai teknologis dan ekonomis dengan menerapkan kaidah ekonomi.

b) Aspek sanitasi dan higienis (kesehatan). Mutu gizi dan higienis yang memenuhi persyaratan kesehatan, yang tidak membahayakan kesehatan. c) Aspek komersial. Nilai komersial produk perikanan yang dapat

dipindah-pindahkan kepada pihak lain melalui penggolongan mutu (grade grading). d) Aspek industrial. Nilai mutu pada produk yang dapat dimanfaatkan untuk

tujuan industrial. Misalnya pemanfaatan sesuatu jenis minyak ikan untuk tujuan industri kosmetik.

(31)

8

Pada ikan basah dan produk cepat busuk lainnya, mutunya identik dengan kesegaran. Ikan basah yang sangat segar baru ditangkap dikatakan bermutu tinggi. Istilah “segar” mencakup dua pengertian, yakni baru dipanen atau ditangkap dan mutunya masih asli belum mengalami kemunduran cara apapun (Ilyas, 1993).

Dalam arti teknologis perikanan, mutu ikan basah umumnya, diperinci pula atas berbagai mutu biologis, fisik, organik, mikrobial, dan lain-lainnya (Ilyas, 1993). Kesegaran ikan dapat digolongkan ke dalam empat kelas mutu (Anonimc, 2009) yaitu :

1) Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima)

Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian. Semua organ tubuhnya baik daging, mata, maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar.

2) Ikan yang kesegarannya masih baik (advanced)

Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar seperti kondisi pertama. Ciri-cirinya adalah bola mata yang agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun lunak bila ditekan.

3) Ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang)

Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan, bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging lembek. 4) Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk)

(32)

2.4.2 Kemunduran mutu ikan

Secara kronologis, pembusukan ikan berjalan melalui empat tahapan sebagai berikut :

a. Hiperaemia

Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia, biokimia, dan mikrobiologi terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah pada pembusukan. Lendir ikan terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam kulit, membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat sangat banyak jumlahnya hingga mencapai 1-2.5 % dari berat tubuhnya.

Lendir itu terdiri dari glucoprotein mucin yang merupakan substrat yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri (Bimoharto, 2009). Keadaan ini secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar adenosine triphosphate

(ATP) dan keratin fosfat seperti pada reaksi aktif glikolisis (Eskin, 1990). b. Rigor mortis

Perubahan selanjutnya, ikan melalui tahap rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati, sebagai hasil perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (Dwiari et al., 2008). Hilangnya kelenturan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin. Aktomiosin adalah suatu senyawa protein kompleks yang dibentuk selama otot berkontraksi. Pada mamalia, aves dan ikan, bentuk senyawa aktomiosin sebagai hasil dari penurunan jumlah ATP selama post-mortem (Dwiari et al., 2008). Tingkat rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Rigor mortis pada ikan mulai terjadi pada bagian ekor dan terus merambat ke bagian kepala. Lama tidaknya masa rigor mortis tergantung pada beberapa faktor, yaitu :

1) Suhu lingkungan

(33)

10

2) Cara ikan mati

Ikan yang mati dengan cara dibunuh langsung, segera setelah ditangkap akan mempunyai masa rigor yang lebih lama. Hal ini berkaitan dengan kandungan glikogen yang ada pada tubuh ikan, apabila mati dalam keadaan stress maka kandungan glikogennya akan cepat habis.

3) Kandungan glikogen setelah ikan mati

Kandungan glikogen yang ada pada ikan setelah mati dapat menunjukkan lamanya proses rigor mortis. Semakin lama glikogen dalam tubuh ikan habis, maka masa rigor akan lebih lama.

c. Autolisis

Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Karena daging ikan terdiri atas protein, maka proses ini dapat disebut proteolisis. Enzim-enzim ini sebetulnya sudah aktif sejak ikan masih hidup, akan tetapi ketika itu hasil aktivitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan pemeliharaan tubuh. Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Mula-mula, protein terpecah menjadi molekul-molekul makro, yang menyebabkan peningkatan dehidrasi lalu terpecah menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Di samping asam amino, autolisis menghasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak gliserol. Autolisis akan mengubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun (Dwiari et al.,2008).

d. Pembusukan oleh bakteri

(34)

selesai rigor mortis, yaitu setelah daging menjadi lunak dan celah-celah seratnya terisi air. Meskipun bakteri mampu menguraikan protein, tetapi substrat yang terbaik bagi dirinya adalah hasil-hasil hidrolisis yang terbentuk selama autolisis dan senyawa-senyawa nitrogen non protein (trimetilamin oksida, urea) yang terdapat dalam daging. Daging ikan laut lebih banyak mengandung senyawa non-protein daripada ikan air tawar, dengan demikian ikan laut lebih cepat diuraikan bakteri (Dwiari et al.,2008).

Laju penurunan mutu dan daya awet ikan dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti tercantum pada Tabel 1. Secara umum dapat dinyatakan bahwa ikan berukuran besar mengalami penurunan mutu yang lebih lambat dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil, ikan berbentuk pipih dapat disimpan lebih lama daripada ikan yang berbentuk bulat, ikan berlemak rendah dapat dipertahankan lebih lama daripada ikan berlemak tinggi pada kondisi aerobik dan ikan bertulang keras dapat lebih tahan lama disimpan daripada ikan bertulang rawan (Dwiari et al.,2008).

Tabel 1 Faktor intrinsik yang mempengaruhi laju penurunan mutu ikan yang disimpan dalam es

Parameter Laju Penurunan Mutu

Cepat Lambat

Ukuran pH post mortem Kandungan lemak

Ketebalan kulit

Ikan kecil pH tinggi Spesies lemak tinggi

Kulit tipis

Ikan besar pH rendah Spesies lemak rendah

Kulit tebal Sumber : FAO, 1995a.

Setelah ikan mati, sirkulasi darah terhenti mengakibatkan runtutan perubahan yang terjadi dalam otot / jaringan ikan. Berawal dari terhentinya sirkulasi darah yang mengakibatkan terhentinya suplai O2 sehingga

(35)

12

terhenti mengakibatkan ATP dan keratin fosfat menurun jumlahnya sehingga terjadilah rigor mortis dan denaturasi protein (Eskin, 1990). Prinsip perubahan yang terjadi setelah kematian ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

[image:35.612.140.499.153.623.2]

Sumber : Eskin, 1990

Gambar 2 Prinsip perubahan yang terjadi setelah kematian ikan.

Ikan m at i Sikulasi darah t erhenti

Sist em syaraf dan hormon t erhent i

Suplai vit , ant ioksidan,

dll t erhent i

Suplai O2 t erhent i

Keseim bangan osm otik

Akum ulasi bakt eri

Penurunan suhu

Pem adat an lemak

Potensial reduksi m enurun

Respirasi t er henti (glikogen ≠> CO2)

Glikolisis t erjadi (glikogen

as. lakt at)

Penurunan pH

Pem unculan

rigor mort is Pem bebasan & pengakt if an kat epsin

Protein m elepas Ca2+ dan m engikat K+

Akum ulasi m et abolit pem icu favor,dll

Pengur aian f osfat berenergi tinggi Denat urasi prot ein Perubahan w arna Penguraian prot ein

Pert um buhan bakt er i Oksidasi

(36)

2.4.3 Parameter kemunduran mutu

Menurut Adawyah (2007), parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor fisikawi, sensoris/organoleptik, kimiawi dan mikrobiologi.

1. Parameter fisika, antara lain :

a. Kenampakan luar. Ikan yang masih segar mempunyai kenampakan cerah, tidak kusam. Tapi kenampakan ini makin lama akan menjadi berkurang, ikan makin suram warnanya karena timbulnya lendir sebagai akibat berlangsungnya proses biokimiawi lebih lanjut dan berkembangnya mikroba.

b. Kelenturan daging ikan. Ikan segar dagingnya cukup lentur, karena belum terputusnya benang-benang daging. Pada ikan busuk benang-benang daging ini sudah banyak yang putus dan dinding-dinding selnya banyak yang rusak sehingga daging ikan kehilangan kelenturannya.

c. Keadaan mata. Perubahan kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kecerahan matanya.

d. Keadaan daging. Ikan yang masih baik kesegarannya, dagingnya kenyal, jika ditekan dengan jari telunjuk atau ibu jari maka bekasnya akan segera kembali. Daging ikan belum kehilangan cairan dagingnya sehingga daging ikan masih kelihatan basah. Pada permukaan tubuh juga belum terdapat lendir. Beberapa jam setelah ikan mati, daging ikan menjadi kaku, timbul cairan sebagai tetes-tetes air yang mengalir ke luar, dan daging kehilangan tekstur kenyalnya.

e. Keadaan insang dan sisik. Pada ikan yang masih segar, warna insangnya merah cerah. Sebaliknya ikan yang sudah tidak segar, warna insangnya berubah menjadi coklat gelap. Jika ikan bersisik, maka pada ikan yang masih segar, sisiknya masih melekat kuat, tidak mudah dilepaskan dari tubuhnya.

(37)

14

2. Parameter kimiawi, antara lain :

a. Analisis pH daging ikan. Pada umumnya ikan yang sudah tidak segar, dagingnya mempunyai pH lebih basis (tinggi) daripada yang masih segar. Hal ini disebabkan karena timbulnya senyawa-senyawa yang bersifat basis seperti misalnya ammonia, trimetilamin, dan senyawa-senyawa volatile lainnya.

b. Dengan menentukan kandungan hipoksantin. Hipoksantin berasal dari hasil pemecahan ATP. Semakin tinggi kandungan hipoksantin, maka kesegaran ikan akan semakin rendah.

c. Dengan menentukan kadar dimetilamin, trimetilamin, atau ammonianya. Jika kerusakan ikan masih pada tahap permulaan sehingga kesegarannya masih cukup baik, lebih baik dilakukan pemeriksaan dimetilamin, sedangkan periksaan trimetilamin digunakan pada ikan yang kesegarannya sudah mundur sekali.

d. Defosforilasi inosin monofosfat (IMP). Defosforilasi IMP ada kaitannya dengan perubahan citarasa daging ikan.

e. Analisis kerusakan lemak pada daging ikan. Pemeriksaan kerusakan lemak dapat dikerjakan dengan memeriksa kandungan peroksidanya atau jumlah malonaldehida yang biasanya dinyatakan sebagai angka TBA. f. Dengan menentukan kandungan senyawa-senyawa volatil lainnya,

misalnya kandungan hidrogen sulfida (H2S), senyawa-senyawa karbonil,

sulfur, dan ammonia.

Komponen utama Total Volatile Base (TVB) adalah NH3, TMA dan DMA.

(38)

Menurut Soekarto (1990), tingkat kesegaran hasil perikanan berdasarkan TVBN dikelompokkan menjadi 4, yaitu :

 Ikan sangat segar dengan kadar TVBN 10 mgN / 100 g atau lebih kecil;

 Ikan segar dengan kadar TVBN sebesar 10-20 mgN / 100 g;

 Ikan yang berada pada garis batas kesegaran yang masih dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN 20-30 mgN / 100 g;

 Ikan busuk yang tidak dapat dikonsumsi dengan kadar TVBN lebih besar dari 30 mgN / 100 g.

3. Parameter mikrobiologi

Ikan secara alamiah sudah membawa mikroorganisme, sehingga pada saat hidup ikan memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme sehingga tidak terlihat selama ikan masih hidup. Mikroorganisme yang dominan penyebab kerusakan berupa bakteri karena kandungan proteinnya tinggi, kadar airnya tinggi, dan pH daging ikan mendekati netral sehingga menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan bakteri (Adawyah, 2007).

4. Parameter sensorik

Cara tersebut umum dikerjakan dalam praktik, terutama di pabrik-pabrik pengolahan ikan. Cara itu lebih mudah dan lebih cepat karena hanya menggunakan alat indrawi saja, tidak memerlukan banyak peralatan serta lebih murah. Pengujian sensorik lebih banyak ke arah pengamatan secara visual. Sebagai parameter dalam pengujian sensorik berupa kenampakan warna, citarasa, dan tekstur. Para panelis akan memberikan skor pada sampel yang diamati. Biasanya semakin segar ikan yang dianalisis skor akan semakin tinggi. Sifatnya sangat subyektif hanya mengandalkan indra panelis, kepekaan masing-masing berbeda dan keterbatasan kemampuan dalam mendeteksi, misalnya membedakan antara bau busuk dengan bau amoniak atau bau indol (Adawyah, 2007).

2.5 Penanganan dan Pendistribusian

2.5.1 Penanganan berdasarkan good handling practices (GHP)

(39)

16

suhu sekitar 0 °C, memperlakukan ikan secara bersih, higienis dan sehat, serta selalu memperhatikan faktor waktu dan kecepatan bekerja selama rantai penanganan (Ilyas, 1993).

Good handling practice (GHP) atau cara penanganan yang baik dalam kelayakan dasar dalam sistem manajemen mutu hasil perikanan, meliputi :

1. Persyaratan bahan baku.

Bahan baku harus sesuai dengan persyaratan keamanan dan mutu yang berlaku pada standar nasional Indonesia, standar internasional, standar negara tujuan, standar pembeli atau ketentuan lain. Ikan yang diolah harus bersih, segar, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lainnya yang dapat menurunkan mutu produk dan tidak membahayakan kesehatan. Ikan yang terkontaminasi atau yang dipilih dari kelompok yang telah dianggap sisa pengolahan dilarang diolah untuk tujuan makanan manusia (KEP MEN, 2009).

2. Persyaratan penanganan

Persyaratan penanganan tergantung dari jenis produk yang diolah, namun secara umum ditekankan pada : penanganan bahan baku sejak penerimaan sampai menjadi produk akhir harus dilakukan secara hati-hati dan saniter serta higienis; penanganan bahan baku harus diterapkan sesuai sistem FIFO (First In First Out); bahan baku yang menunggu proses lebih lanjut ditempatkan pada tempat yang saniter dan higienis untuk menghindari kontaminasi (KEP MEN, 2009).

3. Persyaratan pengolahan

Proses pengolahan harus dilakukan secara saniter dan higienis. Bentuk dan ukuran produk akhir harus sesuai dengan persyaratan. Pemberian etiket atau kode-kode pada waktu memproses sejak dari penanganan bahan baku, agar dapat membantu identifikasi produk akhir (KEP MEN, 2009).

4. Persyaratan pengemasan

(40)

berat, nama bahan tambahan (jika dipakai), kode produksi dan persyaratan lain. Wadah harus mampu melindungi bahan makanan dari kontaminasi bakteri dan kerusakan. Penyimpanan bahan baku maupun produk akhir harus terpisah dengan bahan lain dan tempat penyimpanan dijaga saniter. Wadah dan atau bahan pengemas harus disimpan di tempat yang bersih dan tidak bercampur dengan bahan baku yang menyebabkan kontaminasi. Kondisi penyimpanan produk harus disesuaikan dengan suhu, kelembaban, dan cahaya (KEP MEN, 2009).

5. Persyaratan penyimpanan

Penyimpanan bahan baku maupun produk akhir harus terpisah dengan bahan lain dan tempat penyimpanan dijaga saniter. Wadah dan atau bahan pengemas harus disimpan di tempat yang bersih dan tidak bercampur dengan bahan baku yang menyebabkan kontaminasi. Kondisi penyimpanan produk harus disesuaikan dengan suhu, kelembaban, dan cahaya (KEP MEN, 2009). 6. Persyaratan transportasi

Kondisi alat angkut dan distribusi disesuaikan dengan jenis produk. Alat angkut dan distribusi dijaga kebersihannya dan sanitasinya. Alat angkut tidak boleh mengkontaminasi bahan makanan. Dinding alat angkut harus selalu diperhatikan agar tidak mencemari bahan makanan. Penyimpanan bahan baku maupun produk akhir harus terpisah dengan bahan lain dan tempat penyimpanan dijaga saniter. Wadah dan atau bahan pengemas harus disimpan di tempat yang bersih dan tidak bercampur dengan bahan baku yang menyebabkan kontaminasi. Kondisi penyimpanan produk harus disesuaikan dengan suhu, kelembaban dan cahaya (KEP MEN, 2009).

Menurut Ilyas (1993), penanganan ikan sesudah ditangkap akan ditentukan antara lain oleh :

a) Jenis ikan (ikan laut, pelagis atau demersal, ikan darat, udang, kerang, kodok, atau lain-lainnya).

b) Ukuran (besar atau kecil) dan bentuk ikan.

(41)

18

d) Permintaan pembeli atau pasar, ditangani untuk dipasarkan utuh, disiangi, difilet atau lainnya.

Berdasarkan penelitian dan pengembangan, dapatlah disusun ketentuan berikut yang dianjurkan diikuti dalam penanganan hasil perikanan segera setelah ditangkap. Petunjuk atau ketentuan tersebut menurut Ilyas (1993) adalah sebagai berikut :

1) Pilihan akan kondisi biologis ikan dan alat penangkap yang cocok. Pengetahuan mengenai siklus kehidupan ikan akan membantu dalam menentukan saat yang baik bagi operasi penangkapan, terutama dalam hubungannya dengan tahap peneluran atau pemijahan. Perlu pula diperhatikan ukuran komersial yang diinginkan pasar. Periode ikan sedang makan kenyang, kurang baik dimanfaatkan untuk menangkapnya, berhubung perutnya penuh sisa makanan yang tinggi kadar enzim pencernaannya yang mengakibatkan daging ikan cepat lunak dan membusuk.

Pilihlah teknik penangkapan dan alat tangkap yang tidak banyak merusak ikan baik secara fisik maupun biologis, sehingga ikan tidak luka, cacat dan memar, serta tidak pula menghadapi perjuangan dahsyat menghadapi kematiannya yang akan memperpendek masa kejang (rigor mortis) dan dalam gilirannya akan memperpendek pula daya awet ikan.

2) Persiapan sarana pengumpulan ikan yang bersih. Sebelum ikan naik ke kapal atau ke darat, perlu dipersiapkan sarana pengumpulan yang lengkap dan bersih, berupa dek, papan dek, keranjang, bak atau peti. Setelah tangkapan naik ke kapal atau ke darat, bilaslah bersih dari lumpur dan kotoran, dengan menggunakan air bersih.

(42)

seragam jenis, bentuk, rupa, ukuran dan kesegarannya, akan lebih tinggi pula nilai komersialnya.

4) Perlindungan dari dan pendinginan hasil tangkapan. Pada iklim tropis, suhu air dan udara apalagi pada siang hari sangat tinggi, cepat memanaskan dan membusukkan ikan. Di samping itu, sambil menanti giliran untuk ditangani selanjutnya, proses penurunan mutu ikan mulai berlangsung dan suhunya meningkat. Oleh karena itu, ikan perlu dilindungi dengan cara menaburkan es hancuran ke atas tumpukan atau sekeranjang ikan; atau dengan cara mencelupkannya langsung ke dalam tangki air laut yang didinginkan, menjelang ditangani selanjutnya (dipak dalam es, disiangi, dibekukan, atau lainnya).

5) Menghilangkan sumber pembusukan pada ikan. Teristimewa pada ikan berukuran besar, penyiangan ikan dengan cara mengeluarkan isi perut dan insangnya akan mampu memperpanjang daya awet. Kalau penyiangan dapat dilakukan selagi ikan masih hidup, darah akan sempurna dipompakan ke luar tubuh ikan dan sebagai hasilnya akan diperoleh daging ikan yang berwarna lebih putih. Penyiangan perlu diikuti dengan pencucian sempurna di dalam rongga perut dan insang menggunakan air bersih yang dingin.

6) Menempatkan dan mendinginkan ikan. Setelah ikan dicuci ditiriskan, segera dimasukkan dan disusun dalam wadah dan didinginkan. Pada cara pendinginan dengan es ikan dapat diwadahi dalam peti, secara lapis atau rak, atau secara curahan. Ikan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat membusuk oleh karena itu seharusnya ia terlebih dahulu ditangani dan didinginkan.

7) Pemeliharaan suhu rendah sekitar 0 °C pada seluruh mata rantai. Yang harus diusahakan adalah suhu pada pusat termal ikan senantiasa dingin bersuhu 0 °C pada seluruh mata rantai, pada pembongkaran, pelelangan, pengangkutan dan distribusi hingga saat diserahkan kepada konsumen atau pembeli terakhir.

(43)

20

ini pada penanganan ikan, harus meliputi semua metode, teknik, proses, sistem, bahan pembantu (air, es, dan lain-lain) dan peralatan yang digunakan dalam penanganan.

9) Melindungi ikan dari panas, aksi pembusukan, penularan dan pencemaran. Pada seluruh mata rantai penanganan, ikan basah harus dilindungi dari kemungkinan perembesan oleh panas ke dalam wadah (peti, palka, dan lain-lain). Di samping itu, gaya dan aksi yang akan membusukkan ikan perlu pula dijauhkan atau ditiadakan. Penyusunan ikan yang terlalu rapat, tumpukan ikan yang terlalu tinggi, ikan tidak tertutup oleh es, dan lain sebagainya, adalah beberapa contoh yang akan menurunkan mutu dan cepat membusukkan ikan.

Selain itu dibiarkannya air lelehan es yang mengandung darah, lendir dan bakteri ikan di bagian bawah wadah akan sangat berpengaruh tidak baik terhadap mutu. Oleh karena itu air lelehan itu mesti ditiriskan atau dialirkan ke luar wadah (peti, palka atau kamar dingin). Kotoran dan lalat perlu dicegah hinggap ke atas ikan. Air yang tercemar dari selokan palka dan air pelabuhan atau sungai yang kotor, jangan menyimbah atau menyembur ikan, apalagi kalau sengaja mencelupkannya.

10)Senantiasa memperhatikan faktor waktu. Ketentuannya adalah selalu bekerja cepat dan cermat dalam menangani ikan pada setiap kegiatan atau tahapan. Selalu memperhitungkan daya awet atau waktu yang tersisa dalam operasi penyaluran dan pemasaran. Waktu daya awet yang tersisa, perlu dimanfaatkan secara baik dengan berbagai usaha dan tindakan (Ilyas, 1993).

(44)

Pembongkaran hasil tangkapan dalam palka saat kapal memasuki pelabuhan (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Tengah, 2009), harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1) Sewaktu membongkar muatan, hendaknya dipisahkan hasil tangkapan yang

berbeda hari atau waktu penangkapannya.

2) Harus dihindarkan pemakaian alat-alat yang dapat menimbulkan kerusakan

fisik, seperti sekop, garpu, pisau dan lain-lain.

3) Pembongkaran muatan harus dilakukan secara cepat dengan mengindarkan

terjadinya kenaikan suhu ikan.

Penanganan ikan yang baik harus memperhatikan suhu ikan, karena kenaikan suhu berkorelasi positif dengan pertumbuhan bakteri dan peningkatan kadar Total Volatile Base (TVB) pada ikan yang merupakan faktor koreksi terhadap kesegarannya. Semakin tinggi suhu yang digunakan dalam penanganan, kecenderungan pertumbuhan bakteri dan peningkatan nilai TVB akan semakin cepat. Sebaliknya, semakin rendah suhu yang digunakan akan menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat dan kadar TVB dalam tubuh ikan juga semakin kecil bila dibandingkan dengan penggunaan suhu tinggi. Standar suhu penanganan ikan segar menurut Anonim (1988/1989) diacu dalam Hidayat (2004) adalah sebagai berikut :

1. Pada peyortiran, suhu yang digunakan maksimal 5 °C. 2. Pada pencucian, suhu yang digunakan maksimal 10 °C. 3. Pada penimbangan, suhu yang digunakan maksimal 5 °C.

4. Pada penyimpanan sementara, suhu yang digunakan maksimal 5 °C. 5. Pada pengemasan, suhu dalam pengemasan antara 0-2 °C.

2.5.2 Pendistribusian berdasarkan good distribution practices (GDP)

(45)

22

lebih kecil terdiri atas berbagai jenis produk yang disalurkan distribusinya dalam kendaraan kecil delivery van yang didesain khusus untuk distribusi lokal. Pada sistem ini, investasi dalam peralatan angkutan dan fasilitas penyimpanan menjadi besar, dan penanganan manual produk pun menjadi banyak (Ilyas, 1993).

Suatu sistem distribusi yang dikembangkan lebih maju adalah sistem distribusi satelit, pada sistem ini bagian distribusi dari pedagang besar ditempatkan di wilayah produksi. Pada gudang dingin pedagang besar dilakukan pemisahan dan pembagian atas partai-partai lebih kecil yang terdiri atas berbagai jenis produk. Keseluruhan partai atau lot kecil itu dimuat ke dalam kendaraan jarak jauh yang selama perjalanannya menuju kota tujuan akhir, dapat pula menyerahkan sebagian muatannya kepada kendaraan disribusi yang lebih kecil (van) di pangkalan atau tempat parkir tertentu (Ilyas, 1993).

Menurut Ilyas (1993), faktor yang diperhatikan pada distribusi dan transportasi, yaitu :

a) Jenis, bentuk dan tipe dari produk ikan basah.

b) Perkiraan daya awet yang masih tersisa sejak mulai didistribusi atau diangkut. c) Keadaan iklim cuaca, suhu, lembab nisbi, dan lain-lain selama distribusi. d) Jarak perjalanan yang akan ditempuh (dekat/jauh), apakah ada pemindahan

muatan.

e) Jenis wadah ikan; jenis, bentuk dan tipe alat angkut; keadaan insulasi. f) Fasilitas penyimpanan dingin yang ada di tempat tujuan.

g) Medium pendinginan ikan dan sistem pendinginan alat angkut.

Menurut (KEP MEN, 2007), bahan kemasan dan bahan lain yang kontak langsung dengan hasil perikanan harus memenuhi persyaratan higiene, dan khususnya:

a. Tidak boleh mempengaruhi karakteristik organoleptik dari hasil perikanan; b. Tidak boleh menularkan bahan-bahan yang membahayakan kesehatan manusia; c. Harus cukup kuat melindungi hasil perikanan.

(46)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai Mei 2009 dan bertempat di CV. Bahari Express, di sekitar PPN Palabuhanratu dan di kawasan PPI Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu ikan swanggi, HCl 0,02 N, TCA 7%, asam borat dan K2CO3.. Alat yang digunakan yaitu cawan conway, pipet, pinset, cawan

petri, inkubator, pH meter dan berbagai alat lainnya untuk mengumpulkan dan mengolah data.

3.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Aspek-aspek yang diteliti meliputi aspek aktifitas penanganan saat ikan pertama kali ditangkap (di kapal), saat ikan didaratkan, dan saat ikan telah sampai di perusahaan Bahari Express; juga aspek mutu ikan di tiga lokasi yang telah disebutkan. Jumlah sampel yang digunakan yaitu 10 ekor untuk uji organoleptik dan 2 ekor untuk uji pH dan TVB di setiap lokasi pengamatan.

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu pengumpulan data dan analisis data. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah pengamatan di lapangan dan wawancara.

Pengamatan di lapangan dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu: 3.3.1 Uji organoleptik

(47)

24

perut, dan lain-lain. Untuk penilaian cita rasa, ikan atau bentuk disposisi ikan basah (filet, yang disiangi, dan sebagainya).

Selama di lapangan, langkah awal adalah dilakukan penulisan (secara deskriptif) kondisi dan perubahan-perubahan mutu organoleptik pada ikan yang diamati. Pengamatan dan pencatatan dimulai pada saat proses pembongkaran, produksi dan saat dipasarkan. Selanjutnya dapat dipersiapkan lembaran nilai (score sheet) uji organoleptik ikan yang diamati. Lembaran nilai itu memuat faktor-faktor mutu yang masing-masing diberi nilai angka 9 untuk nilai yang terbaik dan angka 1 untuk nilai terburuk. Sebagai batas antara daerah baik dan buruk dapat diambil angka 5 yang juga disebut garis batas.

Metode yang digunakan dalam pengujian organoleptik adalah scoring test

yaitu menggunakan skala angka. Pengujian organoleptik dilakukan oleh panelis. Panelis tersebut ialah karyawan perusahan yang bertugas mensortir ikan, supplier dari beberapa lokasi yang bertugas menimbang dan mensortir ikan, serta pedangang yang menjual ikan swanggi di pasar. Jumlah total panelis sebesar 8 orang yaitu 3 orang pada saat pembongkaran, 3 orang saat produksi dan 2 orang saat di pasar. Dari data yang diperoleh, dilakukan penilaian kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut :

Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9 Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 4-6

Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3 (SNI 01-2729-1992).

Wawancara dilakukan terhadap nelayan yang menangani ikan selama di kapal, juga saat ikan didaratkan. Wawancara juga dilakukan terhadap pegawai di pabrik yang bertanggung jawab mengecek mutu ikan yang masuk ke pabrik. 3.3.2 Penentuan nilai pH

(48)

3.3.3 Total Volatile Base (TVB)

Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-senyawa basa volatile yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatile (amin, mono-, di-, dan trimetilamin) pada suhu kamar selama 24 jam. Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian ditritasi dengan larutan 0,1 N HCL (AOAC, 1984).

Sampel sebanyak 25 gram ditambahkan 75 ml larutan TCA 7% kemudian diblender selama 1 menit kemudian disaring dengan kertas saring sehingga filtrat yang diperoleh berwarna jernih. Larutan asam borat 1 ml dimasukkan ke dalam

inner chamber cawan Conway lalu diletakkan tutup cawan dengan posisi hampir menutupi cawan (AOAC, 1984).

Dengan memakai pipet ukuran 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke dalam

outer chamber di sebelah kiri. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan K2CO3 tidak

tercampur. Di samping itu cawan segera ditutup dan digerakkan memutar sehingga kedua cairan di “outer chamber” tercampur. Di samping itu dikerjakan blanko dengan prosedur yang sama tetapi filtrat diganti dengan larutan TCA 5%.

Kemudian kedua cawan Conway tersebut disimpan dalam inkubator pada suhu 35°C selama 2 jam. Setelah disimpan, selanjutnya larutan asam borat dalam

inner chamber cawan Conway yang berisi blanko dititrasi dengan larutan HCL 0.02 N (Vo), dengan menggunakan magnetic stirrer sehingga berubah warna

menjadi merah muda. Selanjutnya cawan Conway dititrasi dengan larutan yang sama sehingga menjadi warna merah muda yang sama dengan blanko (V1).

Keterangan :

V1 = Volume NaOH 0.01 M yang dibutuhkan untuk titrasi

V0 = Volume titrasi blanko

M = Berat sampel

(49)

26

3.4 Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer yang dikumpulkan meliputi :

1) Pengamatan langsung di kapal terhadap ikan saat pertama kali ditangkap dan ditangani.

2) Pengisian data score sheet saat ikan berada di atas kapal, saat pertama kali didaratkan dan saat ikan sampai di pabrik.

3) Wawancara dan pengisian kuesioner kepada nelayan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi :

1) Daerah pemasaran ikan swanggi.

2) Laporan time series data statistik produksi swanggi, nilai produksi hasil tangkapan swanggi yang didaratkan dan statistik volume nilai ekspor ikan swanggi.

3) Dokumentasi dan studi literatur yang berupa pengumpulan informasi baik dari media cetak maupun dari media elektronik yang dapat menunjang kegiatan penelitian.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi

Dengan menghitung rata-rata nilai organoleptik ikan swanggi pada setiap tahapan proses penanganan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata nilai organoleptik ikan swanggi pada setiap tahapan proses penanganan

No Tahapan proses penanganan Waktu Nilai organoleptik 1

2

Penangkapan Pembongkaran ..

………menit ………menit

x ± σ x ± σ

(50)

Dimana :

x = nilai rata-rata

xi = nilai x dalam ulangan ke-i n = jumlah data

Dimana :

σ = standar deviasi, selalu positif x – x = selisih nilai x dengan nilai reratanya

n = jumlah item dari populasi / sampel besar (untuk sampel kecil, dipakai notasi s dan notasi n diganti n-1).

3.5.2 Uji organoleptik

Dengan membandingkan hasil uji organoleptik pada mata, insang, lendir, daging, bau, dan konsistensi pada setiap proses penanganan seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji organoleptik pada mata, insang, lendir, daging, bau, dan

konsistensi pada setiap proses penanganan Karakteristik

organoleptik

Tahapan proses penanganan

Penangkapan Pembongkaran … … Mata

Insang Lendir Daging Bau

Konsistensi

Juga menghitung persentase penurunan mutu organoleptik ikan swanggi pada setiap mata rantai penanganan seperti pada Tabel 4.

Tabel 4 Persentase penurunan mutu organoleptik ikan swanggi pada setiap mata rantai penanganan

Tahapan proses penanganan Nilai penurunan mutu organoleptik (%) Penangkapan-pembongkaran

[image:50.612.131.504.375.541.2] [image:50.612.135.413.626.705.2]
(51)

28

Nilai penurunan mutu organoleptik =

3.5.3 Peta kendali p

Salah satu alat yang digunakan untuk pengendalian kualitas adalah peta kendali. Tujuan pembuatan peta kendali adalah untuk menetapkan apakah setiap titik pada grafik normal. Peta kendali p digunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan proporsi dari produk ikan yang tidak memenuhi untuk tujuan ekspor.

Fungsi dibuatnya proporsi yaitu untuk mengetahui banyaknya produksi ikan swanggi yang tidak memenuhi kualitas ekspor dari total produksi ikan swanggi yang diperiksa. Proporsi ikan swanggi yang tidak memenuhi kualitas ekspor didefinisikan sebagai rasio banyaknya ikan swanggi dalam contoh yang tidak memenuhi syarat spesifikasi kualitas.

Ishikawa (1989) menyatakan langkah-langkah dalam membuat peta kendali p, sebagai berikut :

1) Mengumpulkan dan mencatat data yang menggambarkan ikan swanggi yang diperiksa (n) dan jumlah ikan swanggi yang ditolak karena tidak sesuai spesifikasi (pn).

2) Membagi data ke dalam subgroup.

3) Menghitung p, yaitu bagian cacat untuk setiap subgroup.

(52)

5) Menghitung batas kendali untuk setiap subgroup. Formulasi yang digunakan sebagai berikut :

GT = p

BB = p – 3

Keterangan : BA = Batas Atas GT = Garis Tengah BB = Batas Bawah P = Proporsi

n = Banyaknya sampel

(53)

4 HASIL

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan umum Palabuhanratu

Perairan Teluk Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Propinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu daerah perikanan di selatan Jawa Barat yang memiliki beberapa keunggulan berupa sumberdaya ikan yang melimpah serta daerah pemasaran yang luas meliputi Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat, bahkan beberapa komoditi telah menembus pasar ekspor. Perairan Teluk Palabuhanratu sebagai daerah penangkapan utama bagi nelayan, berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Posisi geografis Teluk Palabuhanratu terletak pada koordinat 06°57’-07°07’ LS dan 106°49’-107°00’ BT. Secara topografi sebagian besar daratan di sekitar Teluk Palabuhanratu berupa daerah berbukit, lereng pegunungan, dataran rendah yang sempit dan banyak daerah aliran sungai. Beberapa sungai yang bermuara di Teluk Palabuhanratu antara lain Sungai Cimandiri, Cibareno, Cisolok, Cimaja, Citepus, Cipalabuhan dan Sungai Cipatuguran. Banyaknya sungai yang bermuara di Teluk Palabuhanratu memberi pengaruh yang sangat besar terhadap kesuburan perairan Teluk Palabuhanratu (Prayitno, 2006).

(54)

Terdapat dua musim utama yang sangat mempengaruhi operasi penangkapan ikan di Teluk Palabuhanratu yaitu musim barat dan musim timur. Selain itu dikenal pula musim peralihan dari musim barat ke musim timur dan sebaliknya, biasa dikenal oleh penduduk setempat sebagai musim liwung. Musim barat berlangsung dari bulan Desember hingga Februari, sedangkan musim timur terjadi dari bulan Juli hingga Agustus. Musim peralihan berlangsung pada bulan Maret sampai Mei dan bulan September sampai November. Pada saat musim barat biasanya terjadi hujan dengan angin sangat kencang disertai ombak yang besar, sehingga pada musim ini biasanya nelayan tidak berangkat melaut. Pada musim timur kondisi Teluk Palabuhanratu relatif lebih tenang dan jarang terjadi hujan (Prayitno, 2006). Curah hujan rata-rata tahunan di Palabuhanratu adalah sebesar 2.514 mm, sedangkan untuk rata-rata curah hujan bulanan adalah sebesar 209,5 mm. Curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni sampai September, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus. Menurut klasifikasi Schmidt – Ferguson, tipe iklim Palabuhanratu digolongkan ke dalam tipe iklim B atau tipe iklim lembab (Prayitno, 2006).

[image:54.612.167.468.539.711.2]

Ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu terdiri dari bermacam-macam jenis di antaranya adalah : ikan tuna, layur, tongkol, cucut, cumi-cumi, tembang, swanggi dan lain-lain. Produksi ikan swanggi di PPN Palabuhanratu masih tergolong sedikit dibandingkan dengan ikan lainnya. Pada Tabel 5 dan 6 disajikan total produksi dan nilai produksi ikan swanggi per tahun dari tahun 2004 sampai 2008.

Tabel 5 Total produksi ikan swanggi yang didaratkan di PPN Palabuhanratu dari tahun 2004-2008.

Bulan Total Produksi (kg)

2004 2005 2006 2007 2008

1 - - 320 2102 -

2 405 145 45 98 -

3 56 6 82 - -

4 - - 55 - -

5 - - 170 98

6 - - 71 234 -

7 1 - 12421 208 1361

Gambar

Gambar 2 Prinsip perubahan yang terjadi setelah kematian ikan.
Tabel 3 Hasil uji organoleptik pada mata, insang, lendir, daging, bau, dan konsistensi pada setiap proses penanganan
Tabel 5  Total produksi ikan swanggi yang didaratkan di PPN Palabuhanratu dari tahun 2004-2008
Gambar 3  Grafik produksi ikan per tahun dan per daerah yang disalurkan lewat darat ke PPN Palabuhanratu pada tahun 2004-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait