• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Produk Minuman Cincau Hitam (Mesona palustris) Dalam Kemasan Cup Polipropilen di PT Fits Mandiri Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Produk Minuman Cincau Hitam (Mesona palustris) Dalam Kemasan Cup Polipropilen di PT Fits Mandiri Bogor"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGEMBANGAN PRODUK MINUMAN CINCAU HITAM (Mesona palustris) DALAM KEMASAN CUP POLIPROPILEN

DI PT FITS MANDIRI BOGOR

Oleh :

YOGA RAHMAWANSAH F24102080

2006

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

PENGEMBANGAN PRODUK MINUMAN CINCAU HITAM (Mesona palustris) DALAM KEMASAN CUP POLIPROPILEN

DI PT FITS MANDIRI BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

YOGA RAHMAWANSAH F24102080

2006

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(3)

Yoga Rahmawansah, F24102080. Pengembangan Produk Minuman Cincau Hitam (Mesona palustris) Dalam Kemasan Cup Polipropilen di PT Fits Mandiri Bogor, Dibawah bimbingan Slamet Budijanto, 2006

RINGKASAN

Cincau hitam merupakan suatu tanaman perdu yang berpotensi menghasilkan gum. Jika gum tersebut dicampurkan dengan pati maka dapat terbentuk gel cincau hitam yang kokoh. Cincau hitam saat ini mulai banyak dikembangkan di kawasan Asia khususnya Singapura, Taiwan dan Cina. Produk yang dikembangkan dinamakan Grass Jelly Drink. Minuman tersebut dikemas dalam kaleng dan prosesnya berupa sterilisasi. Produk tersebut terdiri oleh gel cincau hitam yang dipotong dalam ukuran ± 0,5 cm dan larutan sirup sebagai pengisi. Akan tetapi masih belum banyak teknologi pengolahan minuman cincau dalam kemasan yang lebih sederhana.

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan teknologi pengolahan minuman cincau hitam dalam kemasan cup polipropilen, dengan harapan dapat diterapkan dalam industri kecil.

Penelitian yang telah dilakukan diawali dengan penentuan tahapan ekstraksi menggunakan NaHCO3, formulasi gel cincau hitam dan formulasi

larutan pengisi minuman cincau hitam. Setelah dihasilkan produk minuman cincau hitam dilakukan analisa sifat fisik dan kimia serta mikrobiologi. Pengujian sifat fisik yang dilakukan meliputi pengujian tekstur gel cincau menggunakan alat Reoner RE-3305 dan total padatan terlarut (TPT) dengan Refraktometer. Pengujian sifat kimia berupa pengukuran tingkat keasaman dan total asam tertitrasi. Sedangkan Analisa mikrobiologi meliputi penghitungan Total Plate Count (TPC).

Ekstraksi tanaman cincau hitam dilakukan dalam waktu minimum 30 menit atau hingga diperoleh ekstrak yang terasa lekat di tangan. Ekstraksi dilakukan dengan bobot tanaman 5 % dan 6 %. Secara subjektif diketahui bahwa aroma cincau hitam yang lebih baik pada bobot tanaman cincau 6 %, sehingga untuk tahap selanjutnya digunakan bobot ekstraksi tanaman cincau sebesar 6%.

(4)

Untuk menentukan formulasi yang terbaik maka telah dilakukan pengujian organoleptik yaitu uji Hedonik dengan rating dan rangking. Uji hedonik ini menggunakan tiga formula yaitu formula A dengan 10 % gula, formula B dengan 11 % gula dan formula C dengan 12 % gula. Hasil dari uji hedonik ini menunjukan bahwa formula terbaik yang disukai oleh panelis adalah formula A.

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGEMBANGAN PRODUK MINUMAN CINCAU HITAM (Mesona palustris) DALAM KEMASAN CUP POLIPROPILEN

DI PT FITS MANDIRI BOGOR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

YOGA RAHMAWANSAH F24102080

Dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1984 Di Sukabumi

Tanggal Lulus: Agustus 2006

Menyetujui, Bogor, Agustus 2006

Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr Dosen Pembimbing

Mengetahui,

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1984 di Sukabumi, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Rahmawan Paidi dan Enung Aisah. Penulis mengawali pendidikannya di Tk Sanggar Tunas Harapan Ciampea pada tahun 1989 dan melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Ciherang V Kabupaten Bogor pada tahun 1990-1993, kemudian pindah ke SDN Ciomas VIII Kabupaten bogor tahun 1993-1996.

Pada tahun 1996-1999 penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN 6 Bogor, sedangkan tahun 1999-2002 pendidikan penulis dilanjutkan di SMUN 2 Bogor di Jurusan IPA. Pada tahun 2002 penulis dapat diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan pada program studi Teknologi Pangan.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahir Rohmaanir Rahiim, rasa syukur terlimpah pada Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan karunianya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengembangan Produk Minuman Cincau Hitam (Mesona palustris) Dalam Kemasan Cup Polipropilen di PT Fits Mandiri Bogor”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian dari penulis sebagai suatu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian studi penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, Khususnya kepada :

1. Mama, dan Bapak atas segala dukungan, doa dan harapannya serta bimbingan yang telah diberikan selama ini, karya ini kupersembahkan khusus untukmu.

2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan masukan dan membantu terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Muhammad Arpah, Msi dan Bapak Dr. Ir. Yadi Haryadi, Msc atas kesediaan untuk menjadi penguji skripsi dan memberikan masukan yang berharga.

4. Mba Rinrin, Mba Febri dan Mba Emi serta seluruh karyawan PT Fits Mandiri yang banyak membantu penulis selama bekerja di PT Fits Mandiri. 5. Seluruh Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah

memberikan banyak ilmu selama perkuliahan.

6. Vebri, Bayu, Mang Mesri, Teh Vita, Om Waluyo serta seluruh keluarga besar Hj Atikah dan Kromorejo yang banyak membantu penulis.

(8)

8. Teman-teman satu bimbingan Mas Abud, Mas Malvin, Mba Ulva, Rahmat, Chamdani, Sigit, Indri, Fahrul, Crist, Didin, Irma, Rucit, Dini dan Andal. 9. Farah, Yudhan (konk), Putra, Qky dan Rauf. Temen-temen terbaik gw yang

dah kasih banyak kenangan di masa-masa TPB.

10.Teman-teman golongan C khususnya C4 (Rikza, Fahrul dan Steisi), Ulik, Boyon, Qyas, Deddy, Molid, Rebek, Hana, Kenot, Eva dan semua anak C, atas kerjasamanya selama praktikum

11.Vivi dan Apong (sie konsumsi gw waktu sidang), Dadik (makasih dah ambilin LCD), Ansor (Makasih atas Laptopnya), Ajeng dan Inggrid (makasih dah ajarin persiapan plating), Echo (makasih atas motivasi dan bantuannya selama empat tahun), Ami, Muslimah, Bekti, izal dan seluruh rekan-rekan TPG 39 yang tidak dapat disebutkan namanya, Terima kasih atas kerjasama selama empat tahun.

12.Bapak Koko, Bapak Wahid, Bapak Sidik, Bapak Gatot, Bapak Rojak, Bapak Mul, Bapak Sobirin, Bapak Yahya, Ibu Rub, Teh Ida, Mas Edi, Mba Darsih, Mas Dodi dan seluruh laboran yang telah banyak membantu penulis.

13.Serta Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan namanya atas segala bantuan dan bimbingannya.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih belum sempurna. Namun semoga keterbatasan penulis ini tidak mengurangi hakikat kebenaran dari tulisan ini. Mudah-mudahan karya ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2006

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN DAN SASARAN... 2

C. MANFAAT... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. CINCAU... 3

B. CINCAU HITAM... 4

C. ABU QI DAN MINERAL PENGGANTINYA... 7

D. PATI... 9

E. GEL CINCAU HITAM... 11

F. PENGASAM (ACIDULANT)... 14

G. BAHAN PEMANIS... 15

H. BAHAN PENGAWET... 16

I. PENGEMASAN... 18

J. PROSES TERMAL DAN PASTEURISASI... 19

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT... 22

B. METODE PENELITIAN... 22

1. Rendemen Gel dan Produktivitas Cincau... 25

2. Total Padatan Terlarut... 25

3. Pengukuran pH... 26

4. Kekuatan Gel Cincau Hitam... 26

5. Total Asam Tertitrasi... 26

6. Total Mikroba... 27

7. Uji Organoleptik... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. OBSERVASI PENGOLAHAN CINCAU HITAM... 28

B. EKSTRAKSI DAN FORMULASI GEL CINCAU HITAM... 30

1. Ekstraksi... 30

2. Formulasi Gel Cincau Hitam... 31

3. Penggunaan Pengasam Dalam Formulasi Gel Cincau Hitam... 33

C. FORMULASI MINUMAN CINCAU HITAM... 37

D. UJI ORGANOLEPTIK... 38

1. Uji Rating (Overall)... 39

2. Uji Peringkat (Rangking)... 39

E. PENGAMATAN DAN ANALISIS... 40

1. Analisis Sifat Fisik... 40

a. Rendemen Gel dan Produktivitas Gel Cincau Hitam... 40

b. Total Padatan Terlarut... 42

(10)

a. Pengukuran pH... 43

b. Total Asam Tertitrasi... 44

3. Analisis Mikrobiologi (Total Plate Count) ……… 45

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN... 48

B. SARAN... 49

DAFTAR PUSTAKA... 50

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbedaan jenis tanaman Cincau ... 3

Tabel 2. Perbedaan karakteristik dari amilosa dan amilopektin ... 10

Tabel 3. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati

pada bahan pangan ... 10

Tabel 4. Pengaruh penambahan NaCl terhadap suhu pembentukan dan

suhu titik leleh gel cincau ... 13

Tabel 5. Formulasi minuman cincau hitam ... 23

Tabel 6. Proses formulasi gel cincau hitam untuk 300 ml ekstrak... 32

Tabel 7. Pengamatan penggunaan pengasam terhadap rasa gel cincau

hitam ... 33

Tabel 8. Pengaruh penambahan pengasam terhadap tektur gel cincau

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau ... 4

Gambar 2. Pendugaan mekanisme pembentukan gel cincau hitam... 12

Gambar 3. Pembuatan minuman cincau hitam ... 24

Gambar 4. Pengukuran kekuatan gel cincau hitam dengan penambahan asam fosfat ... 36

Gambar 5. Pengukuran Rendemen gel cincau hitam ... 40

Gambar 6. Produktivitas 1 gram tanaman cincau ... 41

Gambar 7 Pengukuran TPT minuman cincau hitam ... 42

Gambar 8. Pengukuran pH minuman cincau hitam ... 44

Gambar 9. Pengukuran total asam tertitrasi minuman cincau hitam ... 45

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Penggunaan Asam sitrat 1 gr/100 ml air dan 100 ml ekstrak 53

Cincau………... Lampiran 2. Penggunaan asam malat 1 gr/100 ml air dan 100 ml ekstrak

Cincau……….. 54

Lampiran 3. Penggunaan asam fosfat 5 ml/100 ml air dan 100 ml ekstrak Cincau……….. 55

Lampiran 4. Formulasi minuman cincau hitam, rendemen dan produktivitas cincau hitam………. 56

Lampiran 5. Gambar hasil pengukuran Reoner RE-3305... 57

Lampiran 6. Hasil pengukuran kekuatan gel menggunakan reoner RE- 3305... 58

Lampiran 7. Hasil pengukuran TPT dan pH ... 59

Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil uji hedonik rating overall ....…….…. 60

Lampiran 9. Analisis ANOVA dan uji lanjutan Duncan dari uji hedonik rating .………..……… 61

Lampiran 10. Rekapitulasi hasil uji peringkat (rangking).………... 62

Lampiran 11. Hasil analisis Friedman Test dari uji peringkat (rangking)... 63

Lampiran 12. Form uji organoleptik... 64

Lampiran 13. Hasil pengukuran total asam tertitrasi ... 65

Lampiran 14. Hasil pengamatan total mikroba ... 66

Lampiran 15. Gambar minuman cincau hitam ... 67

(14)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cincau hitam merupakan suatu tanaman perdu yang berpotensi menghasilkan gum. Jika gum tersebut dicampurkan dengan pati maka dapat terbentuk gel cincau hitam yang kokoh. Cincau hitam saat ini mulai banyak dikembangkan di kawasan Asia khususnya Singapura, Taiwan dan Cina. Produk yang dikembangkan dinamakan Grass Jelly Drink. Minuman tersebut dikemas dalam kaleng dan prosesnya berupa sterilisasi. Produk tersebut terdiri dari gel cincau hitam yang dipotong dalam ukuran ± 0,5 cm dan larutan sirup sebagai pengisi. Minuman Gras Jelly Drink juga telah masuk ke Indonesia, akan tetapi hanya dijual di tempat-tempat tertentu saja seperti swalayan-swalayan besar. Minuman tersebut dijual dengan harga yang relatif mahal, oleh karena itu perlu adanya pengembangan lebih lanjut mengenai teknologi pengolahan cincau hitam yang lebih sederhana.

(15)

Cincau hitam apabila dilihat dari nilai gizinya tergolong kedalam produk rendah kandungan energi sebab sebagian besar adalah air. Oleh karena itu sering dijadikan makanan untuk diet. Sifat fungsional dari cincau hitam ini juga menjadi suatu kekuatan bahwa produk cincau ini akan dapat berkembang di pasaran. Menurut Wahab (1983) cincau hitam sejak dahulu sering dijadikan sebagai obat diare. Cincau hitam juga memiliki kemampuan untuk melindungi kerusakan DNA pada limfosit manusia yang terkena hidrogen peroksida dan iradiasi UV, hal ini dikarenakan kandungan senyawa aktif polifenol (Lai et al., 2001).

B. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN

1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan teknologi pengolahan cincau hitam dalam kemasan cup plastik polipropilen yang dapat diterapkan dalam skala industri kecil.

2. Sasaran

Sasaran dari penelitian ini adalah tersedianya teknologi pengolahan cincau hitam dalam kemasan cup plastik polipropilen yang dapat diterapkan dalam skala industri kecil.

C. MANFAAT

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. CINCAU

Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), tanaman cincau secara umum terdiri dari empat jenis yaitu Cincau Hijau (Cyclea barbata), Cincau Perdu (Premna serratifolia L, atau Premna integritifolia L), Cincau Minyak (Stephania hermandifolia) dan Cincau Hitam (Mesona palustris). Pada Tabel 1 berikut ini dapat dilihat perbedaan-perbedaan antara keempat jenis cincau tersebut.

Tabel 1. Perbedaan jenis tanaman Cincau

No Karakterisatik Perbedaan Cincau

Cincau Hijau Cincau Minyak Cincau Perdu Cincau Hitam 1. Bahan baku Daun segar Daun segar Daun

dilayukan Brankas (batang dan daun kering) Daun asli lemas

Daun Asli kaku Daun asli kaku Daun asli lemas

Warna hijau klorofil Warna hijau klorofil Warna hijau klorofil Warna coklat karena ikatan klorofil rusak Relatif bersih dari kotoran Relatif bersih dari kotoran Relatif bersih dari kotoran Banyak kotoran, campuran benda lain saat pengeringan Aroma spesifik, lemah Aroma spesifik, lemah Aroma langu, kuat Aroma spesifik, lemah

2. Proses Tanpa

pemanasan Tanpa pemanasan Pelayuan alami, atau pelayuan dengan air hangat Perebusan brankas (janggelan) Diremas dengan air matang dingin Diremas dengan air matang dingin Diremas dengan air matang lalu ditambah pengental Direbus dan ditambahkan tepung pati Disaring dan dicetak Disaring dan dicetak Disaring dan dicetak Dicetak

3. Hasil Produk Sedikit Sedikit Sedikit-banyak Sangat banyak Kebutuhan keluarga Kebutuhan keluarga Kebutuhan keluarga dan komersial Kebutuhan keluarga dan komersial

(17)

Secara umum tanaman cincau bermanfaat sebagai bahan pangan, sebagai pangan fungsional, tanaman konservasi karena memiliki kemampuan untuk dapat hidup pada kondisi yang kering dan tidak subur tanahnya serta sebagai komoditas agribisnis dan agroindustri (Pitojo dan Zumiati, 2005). Gambar dari masing masing jenis cincau tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Cyclea barbata Mesona palustris

Premnaserratifolia Stephania hermandifolia

Gambar 1. Empat jenis tanaman cincau

B. CINCAU HITAM

(18)

pangkal tepi daun bergerigi dan memiliki bulu halus. Letak daun saling berhadapan dan berselang seling dengan daun berikutnya (Pitojo dan Zumiati, 2005).

Tanaman cincau hitam dapat dibudidayakan dengan cara generatif maupun vegetatif. Cara generatifnya adalah dengan menggunakan biji sedangkan vegetatifnya menggunakan stek batang, tunas akar dan cara merunduk (Sunanto, 1995). Proses pembibitan secara generatif tingkat keberhasilannya kecambahnya hanya 1-2 % saja dengan waktu 12 bulan, hal ini menyebabkan pembibitan cara ini jarang dilakukan (Sunanto, 1995). Pembudidayaan yang sering dilakukan adalah dengan cara stek batang, tunas akar dan merunduk. Pembudidayaan dengan cara vegetatif ini tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dan tingkat keberhasilannya juga tinggi, selain itu tanaman yang dihasilkan memiliki sifat yang sama dengan induknya. Tanaman cincau hitam mudah dibudidayakan, terutama didaerah dataran menengah hingga tinggi. Tanaman tersebut umumnya cocok ditanam ditegalan, pekarangan, dan ladang, secara monokultur atau tumpang sari dengan tanaman lain. Dalam rangka konservasi lahan, tanaman tersebut dapat ditanam di galengan teras atau ditempat yang berlereng. Hal ini didukung oleh sifat perakaran yang lebat dan kuat mengikat tanah (Pitojo dan Zumiati, 2005).

(19)

dan daunnya, sehingga dalam proses pengolahannya digunakan bagian daun dan batang tanaman cincau hitam (Pitojo dan Zumiati, 2006).

Proses pemeliharan tanaman cincau hitam ini dilakukan dengan melakukan penyiraman pagi dan sore agar diperoleh kondisi tanah yang tetap lembab dan tidak kekeringan. Pupuk yang digunakan untuk tanaman ini pupuk yang mengandung N (nitrogen) seperti pupuk urea. Hal ini bertujuan agar dapat merangsang pertumbuhan daun yang lebih banyak (Sunanto, 1995). Hama yang mungkin tumbuh selama penanaman cincau ini adalah jenis Maenas maculifascia yang akan merusak daun cincau. Untuk mengatasinya dilakukan penyemprotan insektisida. Penyemprotan dilakukan apabila diketahui gejala penyebarannya yaitu dengan banyaknya daun cincau yang berlubang. Insektisida yang digunakan adalah insektisida jenis Azordin 15 WSC atau Dursban 20 EC dengan dosis ringan 1,5 ml perliter air (Sunanto, 1995)

Penyebaran tanaman cincau hitam tergolong cukup luas sebab ditemukan dibeberapa daerah Indonesia. Penyebaran tanaman cincau hitam di Jawa Barat meliputi daerah sekitar Gunung Salak, Ciomas dan Ciampea (Bogor), serta di Batujajar (Bandung). Didaerah Jawa Tengah tanaman ini banyak ditemukan di daerah Gunung Unggaran dan Gunung Ijen. Daerah penyebaran lainnya adalah Bali, Lombok dan Sumbawa (Sunanto, 1995). Apabila kita melakukan penanaman secara penuh pada luas lahan sebanyak 1000 Ha maka hasil tanaman cincau hitam kering adalah 6000 ton/tahun (Anonim, 2004). Melalui nilai tersebut ternyata produktivitasnya cukup menjanjikan. Wilayah Pacitan saja mampu menyediakan bahan baku cincau hitam sebanyak 3 ton/hari (Anonim, 2006).

(20)

dihasilkan gel yang kokoh. Perbandingan antara komponen pembentuk gel, pati dan abu Qi menentukan kekokohan dari gel cincau hitam.

Selain kemampuannya dalam menghasilkan gel bersama pati dan abu Qi tanaman cincau hitam juga tergolong kedalam tanaman yang memiliki sifat sebagai antioksidan. Menurut Lai et al. (2001), adanya senyawa aktif polifenol mampu melindungi kerusakan DNA pada limfosit manusia yang terkena hidrogen peroksida dan iradiasi sinar UV. Menurut Lai et al. (2001) dan Hung dan Yen (2002), aktivitas yang dimiliki oleh cincau hitam dikarenakan adanya senyawa fenol seperti protocatheic acid, p-hydroxy benzoic acid, vanilic acid, caffeic acid dan syringic acid. Aktivitas terbanyak disebabkan oleh adanya caffeic acid. Aktivitas antioksidan dari cincau hitam pada konsentrasi 50 mg/ml (98,9 %) lebih kuat dibandingkan 50 mg/ml α-tocopherol (78 %). Aktivitas

antioksidan dari cincau hitam ini akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi gum.

C. ABU QI DAN MINERAL PENGGANTINYA

Abu Qi berperan dalam membentuk gel sebab abu tersebut mengandung berbagai jenis mineral yang dibutuhkan untuk memperkokoh struktur gel cincau. Abu Qi yang sering dijual di toko kimia berupa kristal berwarna coklat muda sampai coklat tua, dengan sifat yang mudah menyerap air. Secara tradisional abu Qi dapat diperoleh dari bahan dasar merang (tangkai padi), atau diperoleh dari ekstrak abu tangkai padi yang sudah direndam sebelumnya dengan air atau air hujan (Wahab, 1983).

(21)

hitam (Asyar, 1988). Peningkatan larutan abu Qi sebagai larutan pengekstrak akan meningkatkan kekuatan gel cincau yang dihasilkan akan tetapi jika sangat berlebihan maka kekuatan gel akan kembali menurun. Apabila tidak digunakan larutan abu Qi dalam mengekstrak tanaman cincau maka ekstraksi komponen pembentuk gel cincau tidak dapat berlangsung dengan baik dan gel tidak akan terbentuk secara kokoh.

Saat ini para pengrajin cincau hitam telah meninggalkan abu Qi. Hal ini disebabkan semakin sulitnya diperolah abu Qi di toko-toko kimia. Penggunaan larutan untuk menggantikan abu Qi telah banyak dilakukan. Menurut Asyhar (1988), abu Qi berusaha digantikan dengan NaOH, hal ini didasarkan pada sifat alkalis yang dimiliki oleh abu Qi. Harapannya dengan penambahan NaOH hingga pH 10-11 akan diperolah ekstrak cincau yang dapat membentuk gel. Akan tetapi penggunaan NaOH ini gagal sebab ekstrak yang dihasilkan tidak mampu membentuk gel. Menurut Asyhar (1988), ekstraksi menggunakan KCl dan NaCl juga dilakukan akan tetapi hasilnya sama saja.

(22)

D. PATI

Pati merupakan polimer karbohidrat yang secara alami disintesa dalam tanaman. Pati tersusun atas unit-unit glukopiranosa yang masing-masing dihubungkan satu sama lain melalui ikatan α-glikosidik. Pati memiliki

kandungan 2 polimer yang berbeda baik dari segi berat molekul maupun dari struktur kimianya, polimer tersebut adalah amilosa dan amilopektin.

Amilosa adalah polimer berantai lurus dengan ikatan α (1,4) glukosida.

Masing-masing polimer mengandung 200-2000 unit glukosa (Wuzburg, 1968). Banyaknya gugus hidroksil yang bersifat hidrofilik dan mempunyai afinitas yang cukup besar terhadap air menyebabkan pati memiliki kemampuan membentuk dispersi dalam air. Amilosa bersifat larut air panas dan akan keluar dari granula pati saat mengalami gelatinisasi. Struktur dari amilosa linear dan banyak mengandung gugus hidoksil maka memiliki kecenderungan membentuk struktur paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen. Jika hal ini terjadi maka afinitas amilosa terhadap air akan berkurang karena adanya ikatan antar molekul ini. Kumpulan molekul amilosa akan meningkat sampai pada suatu titik dimana terjadi pengendapan jika konsentrasinya rendah, dan akan terbentuk gel jika konsentrasinya tinggi. Fenomena penggabungan molekul amilosa dari suatu larutan pati yang telah dipanaskan dan didinginkan kembali, membentuk suatu gel yang keruh dan dikenal dengan retrogradasi.

Berbeda dengan amilosa, komponen amilopektin pati merupakan polimer berantai cabang yang terdiri dari 15-25 unit glukosa dengan ikatan α-(1,4)-glukosida dan pada setiap percabangan terdapat ikatan α-(1,6)-glukosida

(Wuzburg, 1968). Amilopektin merupakan polimer yang lebih besar dibandingkan dengan amilosa. Pada Tabel 2 dapat dilihat perbedaan antara amilosa dan amilopektin.

(23)

retrogradasi dan juga membentuk kompleks dengan senyawa lain, tetapi kemampuan amilopektin untuk membentuk kompleks lebih kecil daripada amilosa (Madukarti, 1987).

Tabel 2. Perbedaan karakteristik dari amilosa dan amilopektin

Karakteristik Amilosa Amilopektin Reaksi dengan I2 Biru Intensif Merah ungu

Berat molekul 250.000 1.000.000

Jumlah unit glukosa dalam setiap rantai lurus

200 atau lebih 15-30

Analisa difraksi sinar-x Derajat kristal tinggi

Amorphous

Kelarutan dalam air Larut Tidak larut Stabilitas dalam larutan air Retrogradasi stabil Madukarti (1987)

Perlu diketahui bahwa kandungan pati pada berbagai bahan berbeda-beda satu sama lain, baik dari segi jumlah pati maupun komponen amilosa dan amilopektinnya. Tabel 3 menunjukan perbedaan kandungan amilosa beberapa bahan pangan. Perbedaan amilosa ini cukup berpengaruh dalam proses pembuatan cincau sebab cincau akan terbentuk dengan baik jika digunakan pati dengan kadar amilosa yang cukup tinggi. Secara umum dalam pembuatan gel cincau hitam digunakan tapioka, maka dalam penelitian ini juga akan digunakan tapioka. Selain tapioka memiliki kandungan amilosa yang cukup tinggi, gel yang dihasilkan juga kokoh dan tidak mudah hancur.

Tabel 3. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati pada bahan pangan

Bahan Pangan Suhu Gelatinisasi (°C) Kandungan amilosa (%)

Jagung 62-72 22-28

Tapioka 62-73 17-22

Gandum 58-64 17-27

Beras 68-78 16-17

Sagu - 26

(24)

E. GEL CINCAU HITAM

Gel cincau hitam adalah massa gel yang berwarna hitam kecoklatan yang diperoleh dari pengolahan panas tiga komponen yaitu komponen pembentuk gel tanaman cincau, pati dan abu Qi. Massa ini mempunyai konsistensi mirip dengan massa gel yang diperoleh dari agar-agar. Gel cincau akan terbentuk semakin kaku dengan waktu yang semakin singkat apabila semakin tinggi kadar tepung pati dan daun janggelan yang digunakan (BPK, 1975), sedangkan kekuatan gel cincau tergantung pada perbandingan komponen pembentuk gel, pati dan abu Qi.

Menurut wahab (1983), dalam pembentukan gel selain jumlah pati secara keseluruhan, kadar amilosa sangat berpengaruh terhadap gel cincau hitam. Contohnya pada saat penggunaan tepung beras ketan sebagai sumber pati dalam pembuatan cincau maka tidak terbentuk gel cincau layaknya penggunaan tepung beras, tepung terigu, tepung jagung. Hal ini disebabkan jumlah amilosa pada beras ketan sangat sedikit (1-2 %) sehingga tidak terjadi keseimbangan antara jumlah komponen amilosa dan amilopektin pati. Maka dari penelitian tersebut tepung yang dijadikan sebagai sumber pati harus yang memiliki kandungan amilosa cukup tinggi.

Gel cincau terjadi akibat adanya interaksi yang sinergis antara komponen pati, mineral dan komponen pembentuk gel cincau. Interaksi-interaksi yang mungkin terjadi meliputi Interaksi-interaksi elektrostatik, ikatan hidrogen, ikatan kovalen. Apabila jenis ikatan tersebut semakin kuat maka air yang terperangkap didalamnya akan terikat kuat sehingga gel akan semakin kokoh. Bentuk interaksi dari gel cincau hitam kemungkinan mirip dengan interaksi gel antara Xantan Gum dan Locus Bean Gum atau antara Xantan Gum dan Karagenan. Interaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2.

(25)

satu sisi reaktif dari gum cincau hitam. Setelah melakukan ikatan ionik dengan satu sisi rekatif, maka dengan adanya penambahan energi (karena dilakukan pemanasan) diduga terjadi pula ikatan yang lain seperti ikatan hidrogen antara sisi reaktif yang belum berikatan dengan ion mineral (Gambar 2D). Apabila sebagian besar sisi reaktif telah melakukan ikatan ionik dengan ion mineral, maka ikatan kedua yang diharapkan membentuk ikatan silang antara komponen-komponen pembentuk gel hanya akan terjadi dalam jumlah sedikit, atau bahkan tidak terjadi sama sekali jika semua sisi reaktif yang ada sudah melakukan ikatan ionik (Gambar 2E)

D E

Gambar 2. Pendugaan mekanisme pembentukan gel cincau hitam A. Struktur double heliks dari pati tapioka

B. Bentuk gum dari tanaman cincau hitam

(26)

Menurut Wahab (1983), pembentukan gel cincau hitam juga dipengaruhi oleh tanaman cincau yang digunakan. Tanaman yang memiliki batang dan daun yang lebih kecil dan relatif berat akan menghasilkan ekstrak gum yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang memiliki batang besar tetapi beratnya relatif lebih ringan. Kandungan gum yang lebih banyak juga dipengaruhi oleh masa pemanenan. Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), apabila tanaman cincau hitam dipanen menjelang masa berbunga maka kadar gumnya akan lebih banyak, akan tetapi diluar itu maka kandungan gumnya akan sedikit. Kualitas tanaman cincau hitam yang dipanen setelah masa berbunga kurang baik sebab sebagian energi tanaman telah digunakan untuk membentuk bunga dan buah. Pemanenan yang baik dilakukan pada umur tanaman 3-4 bulan (Sendiko, 1987).

Tabel 4. Pengaruh penambahan NaCl terhadap suhu pembentukan dan suhu titik leleh gel cincau

NaCl (mM) Suhu Pembentukan gel (°C) Waktu Pembentukan gel (menit) Titik Leleh (°C) Waktu Pelelehan (menit) Kehilangan Viskositas (%)

0 50,1 6,1 82,8 1,4 89,0

5 49,9 7,4 85,7 1,2 90,6

15 50,1 5,9 90,4 1,5 90,9

35 60,5 2,8 95,7 4,2 78,8

75 71,3 1,7 95,7 5,1 57,7

Lai dan Chou (2000)

Gel cincau yang terbentuk merupakan gel yang bersifat termoreversibel. Menurut Sendiko (1987), termoreversibel maksudnya bahwa gel cincau yang telah terbentuk selama pendinginan, akan kembali mencair jika dipanaskan melewati suhu titik cairnya. Selanjutnya jika setelah dipanaskan, kembali didinginkan maka gel cincau akan terbentuk kembali. Secara alami gel cincau yang dihasilkan antara campuran ekstrak cincau dan pati memiliki suhu pencairan pada 82,8 °C, sedangkan suhu pembentukan gelnya adalah 50 °C (Lai

(27)

garam NaCl pada berbagai konsentrasi dan pengaruhnya dalam merubah titik leleh gel cincau. Menurut Sendiko (1987), penggunaan Li, Na dan K dalam proses pembentukan gel akan mampu meningkatkan kekuatan gel cincau hitam hingga jumlah tertentu. Setelah jumlah mineral terlalu banyak maka yang terjadi adalah penurunan kekuatan gel kembali.

F. PENGASAM (ACIDULANT)

Produk produk minuman sering kali ditambahkan pengasam (Acidulant). Acidulant merupakan suatu senyawa kimia yang memiliki sifat asam dan sering digunakan dalam pengolahan makanan dengan tujuan tertentu. Peranan dari penambahan pengasam ini sebagai penegas rasa dan warna atau menyelubungi aftertaste yang tidak diinginkan. Sifat asam yang dimilikinya dapat menurunkan pH sehingga akan berpengaruh dalam mencegah pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai pengawet. Pengasam yang sering digunakan dalam bahan pangan meliputi asam organik dan asam anorganik. Asam organik yang dapat digunakan adalah asam sitrat, asam malat, asam tartarat, asam fumarat, asam asetat, asam suksinat dan asam laktat. Sedangkan asam anorganik yang dapat digunakan sebagai pengasam dalam makanan hanya satu yaitu asam fosfat. Selain asam fosfat asam anorganik lain tidak dapat digunakan seperti HCl dan H2SO4 karena kurang baik terhadap mutu produk akhir (Winarno, 1989)

(28)

dibandingkan penggunaan asam sitrat. Hal ini disebabkan asam malat memiliki derajat ionisasi dalam air lebih tinggi daripada asam sitrat.

Asam fosfat secara umum digunakan dalam minuman cola dan sangat mungkin digunakan untuk jenis minuman lainnya. Rasa asamnya lebih rendah dibandingkan dengan asam sitrat dan lebih baik jika digunakan untuk minuman bukan saribuah atau tidak memiliki rasa buah (nonfruit) (Woodroof, 1981). Asam fosfat memiliki bentuk cair dan memiliki kelarutan yang tinggi dalam air. Biasanya secara komersial dijual dalam konsentrasi yang tinggi 75%, 80%, 85%, dan 90%. Memiliki sifat yang korosif terhadap bahan logam. Asam fosfat jika terkena kulit akan memiliki efek samping berupa gatal dan terasa terbakar. Asam fosfat tidak bersifat volatile. Asam fosfat dapat berfungsi sebagai pengasam, buffer dan emulsifier. Selain itu dapat bersifat sebagai sumber nutrisi bagi tubuh yaitu sebagai penyumbang fosfor.

G. BAHAN PEMANIS

Bahan pemanis merupakan suatu bahan yang umum digunakan dalam makanan. Bahan pemanis ini terbagi menjadi dua. Jenis pemanis pertama yaitu Nutritive sweetener yaitu pemanis yang dapat dimetabolisme oleh tubuh seperti sukrosa, fruktosa dan glukosa. Pemanis yang kedua adalah Non-nutritive sweetener, merupakan pemanis yang tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh seperti sakarin, aspartam, alitam, siklamat, Acesulfam-K, manitol, maltitol, neotam, sukralosa, isomalt, laktitol, silitol dan sorbitol (Salminen dan Hallikainen, 1990).

Pemanis yang paling banyak digunakan adalah sukrosa. Sukrosa ini tergolong kedalam oligosakarida yang banyak terdapat pada tanaman tebu, bit, siwalan dan kelapa kopyor. Sukrosa banyak digunakan di industri sebab selain harganya relatif murah dan banyak diproduksi, sukrosa juga tidak menimbulkan aftertaste yang tidak disukai oleh konsumen. Aftertaste ini seringkali muncul pada penggunaan pemanis buatan yang tidak dikontrol dengan baik.

(29)

dengan 1,00. Untuk industri-industri makanan biasa digunakan sukrosa dalam bentuk kristal halus atau kasar dan dalam jumlah yang banyak dipergunakan dalam cairan sukrosa (sirup). Pada pembuatan sirup, sukrosa dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa sehingga disebut gula invert.

Menurut Salminen dan Hallikainen (1999), selain sebagai pemanis sukrosa juga berperan sebagai bahan pengembang, pengawet, dan pembentuk tekstur, selain itu sukrosa dijadikan sebagai sumber energi pada proses fermentasi. Sukrosa dapat pula digunakan untuk mencegah sineresis dan denaturasi protein, membantu proses emulsifikasi lemak serta seringkali dikombinasikan dengan garam dan asam sitrat untuk menghasilkan sensasi rasa yang lebih baik. Sukrosa sering digunakan sebagai salah satu komponen dalam proses pembuatan cake, biskuit, puding, bir, wine, wine yang difortifikasi dan softdrink. Hal ini menunjukan sukrosa memiliki peranan penting dalam pengolahan pangan.

H. BAHAN PENGAWET

Bahan pengawet terdiri dari bahan pengawet organik dan anorganik dalam bentuk asam atau garamnya. Pengawet berfungsi untuk memperpanjang umur simpan produk makanan dan menghambat pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu sering pula disebut senyawa anti mikroba (Winarno, 1989). Bahan pengawet anorganik diantaranya adalah sulfit, nitrit dan nitrat. Bahan pengawet organik meliputi asam asetat, asam propionat, asam benzoat, asam sorbat dan senyawa epoksida.

Bahan pengawet anorganik seperti sulfit, selain digunakan sebagai pengawet sering pula digunakan untuk mencegah reaksi browning pada bahan pangan. Nitrit dan nitrat biasanya digunakan untuk mengawetkan daging olahan untuk mencegah pertumbuhan mikroba dan menghasilkan warna produk yang menarik.

(30)

(α-diena). Bentuk yang biasa digunakan umumnya dalam bentuk garamnya seperti Na-sorbat dan K-sorbat. Pengawet ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan kapang dan bakteri. Sorbat aktif pada pH diatas 6,5 dan keaktifannya menurun dengan meningkatnya pH.

Asam propionat (CH3CH2COOH) merupakan asam yang memiliki tiga

atom karbon yang tidak dapat dimetabolisme oleh mikroba. Hewan tingkat tinggi dan manusia dapat memetabolisme asam propionat ini seperti asam lemak biasa. Penggunaan propionat biasanya dalam bentuk garam Na-propionat dan Ca-propionat. Bentuk efektifnya dalam bentuk yang tidak terdisosiasi, pengawet ini efektif terhadap kapang dan khamir pada pH diatas 5.

Asam asetat merupakan bahan pengawet yang dapat digunakan untuk mencegah pertumbuhan kapang, contohnya pertumbuhan kapang pada roti. Asam asetat tidak dapat mencegah pertumbuhan khamir. Asam asetat sebesar 4% kita kenal sebagai cuka dan aktivitasnya akan lebih besar pada pH rendah.

Epoksida merupakan senyawa kimia yang bersifat membunuh semua mikroba termasuk spora dan virus. Contoh senyawa epoksida adalah etilen oksida dan propilen oksida. Bahan pengawet ini digunakan sebagai fumigan terhadap bahan-bahan kering seperti rempah-rempah, tepung dan lain-lain. Etilen oksida lebih efektif dari propilen oksida, tetapi etilen oksida lebih mudah menguap, terbakar dan meledak, karena itu biasanya diencerkan dengan senyawa lain membentuk campuran 10% etilen oksida dan 90% CO2.

Bahan pengawet yang digunakan adalah Na-benzoat dengan rumus kimia C6H5COONa. Bahan pengawet ini sangat luas penggunaanya dan sering

(31)

Perlu di ketahui bahwa penambahan Na-benzoat dapat mempengaruhi rasa produk, sebab Na-benzoat memiliki rasa astringent. Seringkali dengan penambahan Na-benzoat dapat menimbulkan aroma fenol, yaitu seperti aroma obat cair. Apabila penambahan Na-benzoat melebihi 0,1 % maka sering kali menimbulkan rasa pedas dan terbakar.

Winarno (1989) menyatakan bahwa efektivitas dari Na-benzoat akan meningkat apabila ada penambahan senyawa belerang (SO2) atau senyawa sulfit

(SO3) dan gas karbon (CO2). Efektivitas dari Na-benzoat dalam menghambat

pertumbuhan mikroba meliputi jenis bakteri seperti Lactobacillus, Listeria, Kapang seperti Candida, Saccharomyces dan Khamir jenis Aspergillus, Rhyzopus dan Cladosphorium.

Legalitas dari penggunaan Na-benzoat digolongkan kedalam Generally Recognized As Safe (GRAS). Hal ini menunjukan bahwa penggunaanya memiliki toksisitas yang rendah terhadap hewan dan manusia. Hewan dan manusia memiliki mekanisme detoksifikasi benzoat yang efisien, sebab jika dikonsumsi 60-95 % dari senyawa ini akan dapat dikeluarkan oleh tubuh. Hingga saat ini benzoat dipandang tidak memiliki efek teratogenik (menyebabkan cacat bawaan) jika dikonsumsi dan tidak bersifat karsinogenik.

I. PENGEMASAN

(32)

mampu memberi pengenalan keterangan dan daya tarik penjualan, unit pengepakan yang dijual harus dapat menjual apa yang dilindunginya dan melindungi apa yang dijual (Buckle et al, 1987).

Kemasan yang sering digunakan sebagai pengemas bahan makanan meliputi kemasan kertas, botol, plastik, kaleng, komposit (kombinasi plastik dan kertas). Kemasan yang umum digunakan dalam minuman dalam cup adalah kemasan plastik. Kemasan plastik polipropilen merupakan salah satu kemasan yang dapat digunakan untuk produk minuman. Sifat dari kemasan ini adalah ringan, mudah dibentuk dan transparan serta tidak mudah sobek. Kemasan polipropilen ini memiliki permeabilitas uap air rendah, dan permeabilitas gas sedang, tahan suhu tinggi hingga 150 °C, titik leleh tinggi, tahan terhadap asam

kuat, basa dan minyak.

J. PROSES TERMAL DAN PASTEURISASI

Proses termal atau pengawetan dengan suhu tinggi pertama kali ditemukan oleh Nicholas Appert. Nicholas Appert berhasil mengawetkan makanan dengan tahapan wadah gelas diisi dengan makanan, kemudian ditutup dengan rapat, wadah yang berisi makanan tersebut dipanaskan dalam air mendidih dalam beberapa saat dan langsung didinginkan. Akan tetapi Nicholas Appert belum dapat menjelaskan bagaimana mekanisme pengawetan terjadi. Fenomena tersebut baru terjawab oleh penelitian yang dilakukan Louis Pasteur, bahwa ternyata proses pemanasan atau proses termal dapat mengawetkan makanan karena panas dapat membunuh atau memusnahkan mikroba pembusuk.

(33)

zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat; (5) rusaknya atau hilangnya beberapa komponen anti gizi (misalnya inhibitor tripsin pada produk leguminosa).

Namun demikian, proses pemasakan dengan suhu tinggi juga dapat mengakibatkan kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya yang berhubungan dengan mutu organoleptik seperti warna, tekstur dan lain-lain), terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol dengan baik. Karena itulah maka pada pelaksanaannya, proses pengolahan dengan suhu tinggi (pemanasan) ini perlu dikontrol dengan baik. Pada umumnya semakin tinggi suhu pemanasan dan semakin lama waktu pemanasan maka semakin besar pula tingkat inaktivasi mikroorganisme dan enzim-enzim. Karena itulah maka kontrol terpenting dalam proses pemanasan adalah kontrol terhadap suhu dan waktu.

Berdasarkan pada kriteria suhu, waktu dan tujuan pemanasan ini maka proses termal dibagi menjadi beberapa operasi yaitu proses blansir (blanching), proses pasteurisasi dan proses sterilisasi. Blansir adalah perlakuan pemanasan pendahuluan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu buah dan sayuran sebelum dikenai perlakuan proses lanjutan. Jadi, proses blansir bukan merupakan proses pengawetan, tetapi merupakan proses pendahuluan yang biasanya dilakukan dalam suatu proses pengolahan buah dan sayur. Adapun tujuan dari proses blansir ini adalah untuk (1) menginaktivasi enzim; (2) mengurangi jumlah mikroba awal (terutama mikroba pada bagian permukaan bahan pangan, buah dan sayur); (3) melunakan tekstur buah dan sayur sehingga mempermudah proses pengisian buah dan sayur dalam wadah dan (4) mengeluarkan udara yang terperangkap pada jaringan buah/sayur yang akan mengurangi kerusakan oksidasi dan membantu proses pengalengan dengan terbentuknya ruang kosong (headspace) yang baik.

(34)

beberapa waktu. Namun demikian, dalam perkembangannya proses pasteurisasi lebih banyak diaplikasikan untuk proses pengolahan susu.

Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu kurang dari 100 ºC) dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan memiliki daya awet beberapa hari (seperti produk susu pasteurisasi) atau sampai beberapa bulan (seperti produk sari buah pasteurisasi)

Walaupun proses ini hanya mampu membunuh sebagian populasi mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering diterapkan terutama jika (1) dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu); (2) tujuan utama proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroba patogen (penyebab penyakit, misalnya pada susu) atau inaktivasi enzim-enzim yang dapat merusak mutu (misalnya pada saribuah); (3) diketahui bahwa mikroorganisme penyebab kebusukan yang utama adalah mikroorganisme yang sensitif tehadap panas (khamir atau ragi pada sari buah); (4) Akan digunakan cara atau metode pengawetan lain yang dikombinasikan dengan proses pasteurisasi, sehingga sisa mikroorganisme yang masih ada setelah pasteurisasi dapat dikendalikan dengan metode pengawetan tersebut (misalnya pasteurisasi dikombinasikan dengan pendinginan, pemasakan yang rapat tertutup, penambahan gula dan/atau asam dan lain lain).

(35)

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

Pada penelitian ini bahan-bahan yang digunakan meliputi tanaman cincau hitam, NaHCO3, tepung tapioka, gula, asam fosfat dan air. Bahan yang

digunakan dalam analisis meliputi NaOH, Asam oksalat, indikator fenolftalein, aquades, NaCl dan Media PCA (Plate Count Agar) Peralatan dalam pembuatan minuman cincau hitam ini adalah timbangan, panci besar dan kecil, pengaduk kayu, termometer, saringan halus, kompor, mesin pengelim (sealing machine). Sedangkan peralatan untuk analisa digunakan digunakan refraktometer, pH meter, Reoner RE-3305, otoklaf, inkubator, cawan petri, tabung reaksi bertutup, erlenmeyer, dan gelas piala.

B. METODE

Penelitian yang telah dilakukan meliputi observasi dan formulasi dari minuman cincau hitam yang diawali dengan proses ekstraksi komponen pembentuk gel dari cincau hitam. Ekstraksi dilakukan menggunakan bobot tanaman cincau sebesar 5 % dan 6 % selama 30 menit dan atau hingga diperoleh ekstrak cincau yang berwarna hitam pekat serta terasa licin ditangan. Dari dua kombinasi tersebut dipilih satu untuk dijadikan ekstrak pada formulasi selanjutnya.

Ekstrak yang dipilih digunakan untuk formulasi gel cincau hitam. Dalam formulasi ini telah digunakan tiga kombinasi penambahan tepung tapioka yaitu 2,5 %, 5 %, dan 8 %. Berdasarkan ketiga kombinasi tepung tapioka tersebut diambil satu kombinasi yang memiliki kekuatan dan bentuk massa yang paling baik secara subjektif.

(36)

asam fosfat. Dari ketiga jenis pengasam tersebut dipilih satu yang memiliki rasa asam paling rendah yaitu asam fosfat. Setelah diperoleh jenis pengasam yang cocok selanjutnya diberikan perlakuan P1, P2 dan P3 yang merupakan penambahan jumlah asam yang berbeda-beda. Jumlah asam yang ditambahkan berturut-turut adalah 0,115 % v/v, 0,120 % v/v dan 0,125 % v/v. Ketiga perlakuan penambahan asam tersebut diamati secara subjektif dan diukur kekuatannya menggunakan alat Reoner RE-3305 serta dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan hasil kedua pengamatan ini diambil satu perlakuan yang menghasilkan gel dengan pH yang rendah dan memiliki kekuatan yang masih cukup baik dan cocok digunakan dalam minuman cincau hitam.

[image:36.612.155.512.566.703.2] [image:36.612.149.515.566.704.2]

Berbagai kombinasi ekstrak, tepung tapioka dan pengasam telah diperoleh selama proses yang telah disebutkan sebelumnya. Selanjutnya adalah penambahan gula yang akan berpengaruh terhadap rasa dari minuman cincau hitam. Jumlah gula yang ditambahkan meliputi tiga macam dan dikatakan sebagai formula A, B dan C, ketiga formula ini dapat dilihat pada Tabel 5. Formula tersebut juga telah diujikan kepada para panelis dengan menggunakan uji organoleptik yaitu uji hedonik secara rating dan peringkat (rangking). Melalui uji hedonik tersebut dipilih satu formula yang paling baik dan paling disukai oleh panelis. Formula tersebut dikatakan sebagai formula terbaik. Ketiga formula ini dilakukan pengujian terhadap beberapa parameter fisik, kimia dan mikrobiologi. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat mutu dari produk minuman cincau hitam yang dihasilkan. Diagram alir pembuatan minuman ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 5. Formulasi minuman cincau hitam

Formulasi Bahan Formula

A B C Gel cincau

hitam (% ekstrak)

Tapioka 2,5 2,5 2,5

Gula 10 11 12

Air 16 16 16

Asam fosfat 0,125 0,125 0,125

Sirup Pengisi (% air)

Gula 10 11 12 Garam 0,06 0,06 0,06

Asam fosfat 0,01 0,01 0,01

(37)

Tanaman Cincau Kering ↓

Disortasi dan dipotong-potong ± 5 cm serta dicuci bersih ↓

Dipanaskan selama 30 menit pada suhu 100° C ↓

Disaring ↓

Filtrat cincau hitam ↓

Dicampurkan ↓

Dipanaskan diatas 90°C sambil diaduk hingga larut ↓

Diturunkan suhunya hingga ± 85°C ↓

Dicampurkan sedikit demi sedikit sambil diaduk cepat ↓

Ditambahkan Acidulant (Asam fosfat) ↓

Dituang dalam loyang hingga ketebalan ± 1 cm ↓

Didinginkan, dicetak atau dipotong kecil kecil ↓

Potongan cincau Air

Dipanaskan diatas 90°C ↓

Dicampurkan ↓

Ditambahkan garam dan Na Benzoat serta asam fosfat

↓ Sirup cincau

Dimasukkan kedalam cup plastik ↓

dikelin (sealing) dan dipasteurisasi ↓

dilakukan shock cooling dalam waktu 10 menit ↓

[image:37.612.103.549.78.677.2]

Minuman cincau hitam

Gambar 3. Pembuatan minuman cincau hitam Air standar

untuk pangan

0,125 %NaHCO3

Ampas

Gula Pasir

Larutan Tepung Tapioka

(38)

Analisis-analisis yang dilakukan selama proses pembuatan minuman ini meliputi analisis sifat fisik, kimia dan mikrobiologi serta uji organoleptik. Analisis fisik yang dilakukan adalah rendemen dan produktivitas cincau hitam, analisis kekuatan gel dan total padatan terlarut, sedangkan analisis kimia yang dilakukan adalah pengukuran pH dan total asam tertitrasi. Untuk analisis mikrobiologi dilakukan analisis total mikroba menggunakan media PCA (Plate Count Agar). Berikut analisis-analisis yang telah disebutkan sebelumnya :

1. Rendemen Gel dan Produktivitas Cincau

Penentuan rendemen gel dilakukan dengan menimbang semua bahan yang digunakan dalam pembuatan gel cincau hitam seperti, tepung tapioka, ekstrak cincau, gula, air dan asam fosfat. Setelah itu gel yang dihasilkan juga ditimbang. Dengan menggunakan rumus berikut ini dan ditentukan persen rendemennya.

% Rendemen = Bobot akhir x 100 % Bobot awal

Dari proses perhitungan rendemen tersebut dapat dilakukan konversi untuk mengetahui tingkat produktivitas per gram tanaman cincau hitam dalam membentuk gel. Dengan asumsi 120 gram cincau dalam 2000 ml air dilakukan ekstrasksi 30 menit dengan hasil ekstrak 1500 ml.

2. Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)

(39)

3. Pengukuran pH (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Alat pH meter yang digunakan harus melalui tahapan kalibrasi. Dalam kalibrasi diperlukan larutan buffer pH 4 dan buffer pH 7.

4. Pengukuran Kekuatan Gel (Reoner RE-3305)

[image:39.612.226.414.400.516.2]

Uji kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan Reoner RE-3305. Melalui pengujian kekuatan gel ini akan diketahui seberapa besar gaya yang diperlukan untuk menghancurkan gel cincau yang telah terbentuk. Dalam melakukan pengukuran kekuatan gel ini, alat reoner diatur dengan kecepatan meja bergerak 0,5 mm/s, kecepatan grafik 60 mm/s. Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan mengukur ketinggian dari peak yang terbentuk pada grafik. Setiap kotak mewakili 5 gram force (gf)

Gambar 3. Ilustrasi hasil pengamatan reoner RE-3305 Kekuatan gel = t x 5 gf (gram force)

5. Penentuan Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1992)

Sampel dihancurkan dan dihomogenkan dengan menggunakan wearing blender. Sampel yang telah homogen tersebut diambil sebanyak 10 gram dan encerkan dengan menggunakan labu takar 100 ml. Larutan yang telah diencerkan diambil sebanyak 10 ml kemudian diteteskan dengan indikator

(40)

pp sebanyak 3 tetes. Setelah itu lakukan titrasi dengan NaOH 0.1 N. Lakukan perhitungan total asam tertitrasi dalam satuan ml NaOH 0,1 N/100 gram bahan

TAT = ml NaOH 0,1N x 100 x Fp gram sampel

6. Penentuan Total Mikroba (Fardiaz, 1992b)

Sampel yang dimiliki dihancurkan dengan menggunakan stomacher kemudian diambil 10 ml sampel dan diencerkan dengan 90 ml larutan pengencer. Setelah itu dilakukan pengenceran kembali pada 10-2 dan 10-3, dari tiap pengenceran tersebut diambil 1 ml untuk pemupukan pada cawan petri, setiap pemupukan dilakukan duplo. Setiap cawan petri dituangkan media PCA (Plate Count Agar) dan diinkubasi pada suhu 37 º C selama 48 jam. Kemudian diamati jumlah mikrobanya dan dihitung berdasarkan standar plate count (SPC).

7. Uji Organoleptik (Mielgard et al., 1999)

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. OBSERVASI PENGOLAHAN CINCAU HITAM

Dalam pelaksanaan observasi ini telah dilakukan pengamatan dan wawancara langsung tentang proses pengolahan cincau hitam pada para pengrajin cincau hitam di daerah Bogor. Keberhasilan proses pengolahan cincau hitam diawali dengan bahan baku cincau hitam yang harus baik. Bahan baku tanaman cincau yang baik adalah tanaman yang memiliki kandungan gum yang tinggi. Menurut Pitojo dan Zumiati (2005), tanaman cincau hitam yang memiliki kandungan gum yang tinggi dapat diketahui dengan sederhana, yaitu dengan melakukan pelumatan pada bagian daun cincau hitam kering dan dengan penambahan sedikit air. Apabila pada pelumatan tersebut terasa lekat atau licin sekali maka kandungan gum tanaman cincau semakin baik.

Selain itu menurut Sendiko, (1987) pemanenan tanaman cincau hitam juga berpengaruh terhadap kandungan gumnya. Pemanenan yang paling baik adalah pada umur 3-4 bulan atau menjelang tanaman cincau hitam berbunga. Pada saat umur tersebut kandungan gum pada bagian batang, daun dan akar tanaman cincau hitam berada pada jumlah yang maksimal. Pengrajin cincau hitam biasanya menggunakan tanaman dengan umur 3-4 bulan, akan tetapi saat pasokan tanaman cincau kering dengan umur tersebut sedikit maka pengrajin cincau hitam melakukan penambahan jumlah tanaman kering dalam tahapan ekstraksinya agar diperoleh ekstrak yang licin ditangan.

(42)

Perlu diketahui bahwa pada tahapan ekstraksi sering sekali digunakan abu Qi untuk mempermudah proses ekstraksi tanaman cincau, akan tetapi saat ini para pengrajin cincau tidak menggunakannya lagi sebab semakin sulit didapatkan. Upaya menggantikan abu Qi oleh NaOH, KCl dan NaCl tidak dapat membantu ekstraksi tanaman cincau hitam (Asyhar, 1988). Menurut Supriharso (1991), kandungan mineral terbanyak dari abu Qi adalah natrium, kalium dan kalsium. Jika Na dan K tersebut ditambahkan selama proses ekstraksi tanaman cincau hitam dalam bentuk karbonat, maka dapat dihasilkan ekstrak yang mampu membentuk gel bersama pati. Selama observasi ternyata beberapa pengrajin cincau hitam telah beralih menggunakan natrium bikarbonat sebagai pengganti abu Qi.

Setelah tahapan ekstraksi ini selanjutnya adalah tahapan pembentukan gel cincau hitam. Gel cincau hitam dapat terbentuk apabila ekstrak tersebut dicampur dengan pati dalam hal ini adalah tepung tapioka. Ekstrak dipanaskan kemudian ditambahkan larutan tepung tapioka dalam jumlah tertentu. Penambahan dilakukan secara perlahan-lahan sambil terus diaduk-aduk. Selama proses pengadukan terjadi beberapa perubahan karakteristik dari larutan. Awalnya larutan terlihat encer, semakin lama proses pengadukan, maka larutan akan semakin mengental dan terus mengental hingga viskositas yang maksimum. Apabila telah tercapai viskositas maksimum, maka larutan kembali mengalami penurunan viskositas. Pada saat inilah larutan dikatakan siap untuk dicetak.

(43)

Peningkatan viskositas selama pemasakan terjadi akibat proses gelatinisasi pati. Pada saat itu air diserap oleh setiap granula pati dalam jumlah paling maksimum dan pemanasan lebih lanjut menyebabkan granula pati pecah diikuti dengan keluarnya molekul amilosa dan amilopektin. Kondisi ini menyebabkan viskositas larutan menjadi kembali menurun. Pada saat inilah kemungkinan terjadi ikatan silang untuk membentuk jala tiga dimensi, yang merupakan basis pembentuknya gel, akan tetapi ikatan silang tersebut tidak merata diseluruh bagian (Sendiko, 1987). Viskositas maksimum tercapai pada saat jumlah energi kinetik pada sistem tidak cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul amilosa bersatu.

Perlu diketahui bahwa keseimbangan jumlah pati dan gum yang terdapat pada ekstrak cincau hitam sangat berpengaruh terhadap kekokohan gel cincau hitam. Apabila jumlah pati lebih banyak maka gel yang dihasilkan akan memiliki kekuatan yang lemah, begitupula jika jumlah ekstrak yang terlalu banyak.

B. EKSTRAKSI DAN FORMULASI GEL CINCAU

1. Ekstraksi

Mengacu pada proses observasi yang dilakukan, maka pengembangan produk ini juga di awali dengan proses ekstraksi. Pada percobaan ini telah dilakukan proses ekstraksi dengan bobot tanaman kering 5 % dan 6 % b/v air. Dalam proses ekstraksi ini juga dilakukan penambahan NaHCO3 atau

(44)

menghasilkan karakter ekstrak cincau hitam yang diinginkan. Berdasarkan kondisi tersebut maka proses ekstraksi, terutama dalam hal waktu ekstraksi sering berbeda-beda sampai dihasilkan ekstrak tanaman cincau hitam yang hitam pekat dan terasa licin di tangan.

Apabila selama proses ekstraksi tidak dihasilkan karakter ekstrak yang diinginkan maka kandungan gum dalam ekstrak masih dalam jumlah sedikit, sehingga pada akhirnya gel yang dihasilkan tidak terlalu kokoh. Menurut Asyhar (1988) waktu ekstraksi yang diperlukan untuk mengekstrak tanaman cincau adalah 2-3 jam. Perlu diketahui bahwa ekstrak yang dihasilkan ini akan sangat mempengaruhi hasil gel cincau yang dihasilkan.

Berdasarkan pengamatan secara subjektif diketahui bahwa ekstrak tanaman kering cincau hitam dengan bobot 6 % b/v memiliki aroma yang lebih kuat dari bobot 5 % b/v. Oleh karena itu maka pada tahapan ekstraksi ini dipilih ekstrak dengan bobot 6 % .

2. Formulasi Gel Cincau Hitam

Setelah dilakukan proses ekstraksi tanaman cincau hitam, selanjutnya adalah proses formulasi gel cincau hitam. Dalam proses ini yang berperan penting adalah tepung tapioka yang dijadikan sebagai sumber pati. Digunakannya tepung tapioka sebagai sumber pati dikarenakan tepung tapioka memiliki kandungan amilosa yang cukup tinggi. Menurut Wahab (1983), penggunaan tepung ketan dalam proses pengolahan cincau hitam tidak mampu menghasilkan gel yang kokoh layaknya penggunaan tepung tapioka.

(45)
[image:45.612.138.516.175.335.2]

pada saat gelatinisasi sempurna. Pada saat itu maka rantai amilosa yang berbentuk linear dan helik akan berikatan silang dengan gum cincau hitam, sehingga akan mampu memerangkap air dan membentuk gel.

Tabel 6. Proses formulasi gel cincau hitam untuk 300 ml ekstrak Tepung Tapioka (% b/v) Air (ml) Pengamatan Gel

2,5 50 Gel cincau hitam sangat kokoh, tidak lengket, tidak mudah dipotong

5 50 Gel cincau lembek, lengket dan

kurang kokoh

8 50 Gel cincau hitam sangat lembek,

lengket dan semakin kurang kokoh, lebih cenderung seperti dodol

Berdasarkan Tabel 6 di atas terlihat bahwa keseimbangan jumlah tepung tapioka dan ekstrak cincau hitam diperoleh pada kandungan tepung tapioka 2,5 %. Apabila jumlahnya lebih dari itu maka gel yang dihasilkan tidak kokoh akibat jumlah pati dan tepung tapioka tidak seimbang dengan gum yang terdapat pada ekstrak tanaman cincau hitam. Menurut Wahab (1983), bahwa secara umum daya tahan pecah gel cincau hitam ditentukan oleh kesetimbangan antara ekstrak tanaman cincau hitam, pati dan air yang digunakan dalam pembentukan gel tersebut. Terbentuknya gel yang kokoh pada jumlah tepung tapioka 2,5 % terjadi akibat efek sinergistik antara gum yang ada dalam ekstrak tanaman cincau hitam dengan pati dari tepung tapioka.

(46)

gel cincau hitam dengan peningkatan jumlah tepung tapioka yang berlebihan akibat ketidakseimbangan jumlah amilosa, amilopektin dan gum tanaman cincau hitam.

Dalam Tabel 6 formulasi gel cincau tertulis adanya penggunaan air dalam jumlah 50 ml untuk 300 ml ekstrak. Fungsi air ini tak lain untuk melarutkan tepung tapioka, agar dapat mudah terdispersi merata sehingga interaksi antara amilosa dan gum cincau hitam dapat terjadi dengan baik. Apabila penambahan tepung tapioka tidak menggunakan air maka yang terjadi adalah gumpalan-gumpalan molekul pati yang tidak terdispersi. Berdasarkan serangkaian formulasi gel tersebut maka dipilih pati sebanyak 2,5 % untuk dijadikan formulasi dasar gel cincau hitam.

3. Penggunaan Pengasam Dalam Formulasi Gel Cincau Hitam

[image:46.612.140.506.567.668.2]

Tahapan selanjutnya adalah melakukan modifikasi terhadap formula dasar gel cincau hitam. Salah satu bentuk modifikasi yang dilakukan adalah penggunaan pengasam. Penggunaan pengasam terkait dengan kemasan yang dimiliki adalah kemasan cup sehingga sulit untuk dilakukan sterilisasi oleh karena itu hanya dapat dilakukan pasteurisasi. Untuk mendukung proses tersebut maka dilakukanlah penambahan pengasam. Dengan penambahan pengasam maka produk yang kita miliki akan memiliki tingkat keamanan yang cukup baik. Penggunaan pengasam juga akan berpengaruh terhadap rasa oleh karena itu pemilihan pengasam haruslah tepat.

Tabel 7. Pengamatan penggunaan pengasam terhadap rasa gel cincau hitam No Jenis

Pengasam

Jumlah (% ekstrak)

Setara pH Rasa asam

(47)

Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa penambahan pengasam tersebut mampu menurunkan pH ekstrak cincau hingga di bawah pH 4,5. Jumlah pengasam tersebut diperoleh dari lampiran 1, 2 dan 3. Dalam lampiran tersebut diketahui bahwa sejumlah pengasam dalam konsentrasi tertentu ditambahkan sedikit demi sedikit kedalam ekstrak cincau hitam, setiap penambahan dilakukan menggunakan pipet secara tepat dan dicatat jumlah serta perubahan pHnya hingga diperoleh pH kurang 4,5. dari ketiga jenis asam yang digunakan ternyata yang paling tidak terasa asamnya adalah asam fosfat. Perlu diketahui bahwa cincau hitam yang ada dipasaran memiliki rasa netral, apabila kita menjual produk cincau hitam dengan rasa yang sangat asam dengan penggunaan asam sitrat atau asam malat maka konsumen akan merasa aneh, oleh karena itu pada penelitian ini dipilih asam fosfat.

[image:47.612.149.509.515.605.2]

Pada penelitian selanjutnya dilakukan penambahan pengasam lebih banyak lagi dibandingkan dengan Tabel 7 diatas. Jumlah yang ditambahkan dalam tiga konsentrasi yaitu 0,115 %, 0,120 % dan 125 %. Penambahan yang lebih banyak ini untuk mengetahui sampai tingkat penambahan berapa gel yang dihasilkan masih cukup baik digunakan untuk minuman cincau hitam. Pada Tabel 8 di bawah ini dapat di amati pengaruh penambahan pengasam terhadap tekstur gel cincau hitam secara subjektif.

Tabel 8. Pengaruh penambahan pengasam terhadap tekstur gel cincau hitam secara subjektif

Ekstrak ( %)

Pengasam

Tekstur Jenis Konsentrasi

(%) Setara pH

6 Asam Fosfat 0,115 4,36 +++

0,120 4,24 ++

0,125 4,07 +

(48)

lemah sekali. Penambahan asam fosfat pada tahap awal menyebabkan terjadi suatu pemanasan pada ekstrak dan pati, sedangkan proses pemanasan pati dalam suasana asam akan menyebabkan terjadinya suatu reaksi hidrolisis. Keadaan suhu tinggi merupakan katalis dari terjadinya hidrolisis pati oleh asam.

Penambahan asam fosfat yang dilakukan adalah setara dengan pH kurang dari 4,5. Menurut Wahab (1983) penambahan pengasam hingga pH 4,5 menyebabkan penurunan kekerasan gel menjadi 1/10 dari kekerasan gel pada pH lebih dari 5. Dengan penambahan pengasam pada awal proses maka adanya panas dan kondisi asam akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisis terhadap komponen pati dan komponen gum cincau hitam. Adanya hidrolisis karena asam tersebut menyebabkan rantai polisakarida semakin pendek sehingga kemampuan untuk memerangkap air dan membentuk jala tiga dimensi akan semakin lemah sehingga gel yang dihasilkan juga lemah. Penambahan pengasam yang paling baik adalah pada saat proses gelatinisasi telah berjalan sempurna dan telah tercapai keseimbangan antara jumlah air, pati dan gum cincau hitam. Penambahan dilakukan pada tahapan paling akhir sebelum gel akan dicetak, sehingga hidrolisis karena asam akan dapat dikurangi dan gel yang dihasilkan tidak terlalu lemah. Pada tahap akhir suhu pemanasan sudah mulai dikurangi (suhu tidak terlalu tinggi), sehingga reaksi hidrolisis oleh asam tidak akan berjalan secara cepat. Kondisi tersebut masih memungkinkan gel cincau terbentuk.

(49)

0 5 10 15 20 25 30 35 40

G

ram

F

o

rce

Kontrol P1 P2 P3

Perlakuan penambahan asam

Pati secara umum juga akan mengalami hidrolisis pada media asam, yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan viskositas yang pada akhirnya akan mengganggu pembentukan gel (Asyhar, 1988). Menurut Glicksman (1969), pada selang pH 5-7 suhu gelatinisasi pati tidak dipengaruhi oleh pH sehingga berdasarkan penelitian Asyhar (1988) gel cincau hitam masih terbentuk dengan kokoh pada pH 5-7. akan tetapi pada pH kurang dari 5 gel cincau hitam akan semakin menurun kekuatannya.

[image:49.612.218.411.372.475.2]

Menurut Sendiko (1987), penurunan pH hingga 4,5 tidak dapat menghasilkan gel cincau hitam sama sekali. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya perubahan sifat dari salah satu komponen utama pembentuk gel cincau hitam yaitu pati. Apabila pati dalam larutan campuran mengalami perubahan sifat fisik maupun kimia, maka campuran ekstrak tanaman cincau, air, mineral dan pati yang telah mengalami perubahan, tidak akan mampu menghasilkan gel.

Gambar 4. Pengukuran kekuatan gel cincau hitam dengan penambahan asam fosfat

Keterangan :

Kontrol : Tanpa penambahan asam fosfat

P1 : Penambahan asam fosfat 0,115 % (setara pH 4,36) P2 : Penambahan asam fosfat 0,120 % (setara pH 4,24) P3 : Penambahan asam fosfat 0,125 % (setara pH 4,07)

(50)

gel akibat adanya pengasam dan suhu tinggi. Penurunan kekuatan yang terjadi tidak terlalu drastis ini menunjukan bahwa dengan penambahan pengasam pada tahap akhir proses dapat mengurangi penurunan kekuatan gel cincau hitam. Berdasarkan Gambar 4, pada penelitian ini mutlak terjadi depolimerisasi atau hidrolisis asam pada gel cincau hitam sehingga merusak rantai polisakarida yang berinteraksi membentuk jala tiga dimensi. Hal ini juga yang menurunkan kemampuan untuk memerangkap air. Untuk melihat bentuk grafik yang dihasilkan dan perhitungan kekuatan gel dapat dilihat pada lampiran 5 dan 6.

Berdasarkan hasil pengukuran ini, maka yang baik untuk proses pembuatan minuman cincau hitam adalah P3, yaitu penambahan asam fosfat yang setara dengan pH 4,07. Hal ini disebabkan gel yang dihasilkan masih cukup kokoh dan dapat dipotong kecil. Apabila penambahan asam dilakukan lebih rendah dari pH 4, maka dikhawatirkan tidak akan terbentuk gel akibat hidrolisis yang terjadi.

C. FORMULASI MINUMAN CINCAU HITAM

Setelah pada tahapan sebelumnya diperoleh gel cincau hitam yang memiliki kekokohan yang baik maka pada penelitian selanjutnya adalah melakukan formulasi minuman cincau hitam. Dalam formulasi minuman cincau hitam ini berdasarkan pada pencampuran antara gel cincau hitam dan sirup pengisinya. Dalam sirup pengisi cincau hitam yang digunakan meliputi gula sebagai pemanis, asam fosfat, natrium benzoat sebagai pengawet, garam dan air.

Perlu diketahui bahwa minuman ini terdiri dari gel cincau hitam yang telah dipotong dalam ukuran kecil menyerupai kubus, dan dilakukan penambahan sirup sebagai pengisi. Jumlah gel yang ditambahkan ± 2/5 dari

(51)

80 °C dalam waktu 15 menit. Setelah itu dilakukan shock cooling, sehingga diperoleh produk minuman cincau hitam ini.

Minuman cincau hitam yang dihasilkan memiliki warna yang hitam, padahal sebelum pasteurisasi khususnya untuk sirup tidak berwarna sama sekali. Selama proses pasteurisasi terjadi pengeluaran pigmen hitam dari gel sehingga mewarnai sirup minuman cincau hitam ini. Gel cincau hitam yang diisi dengan sirup dan dipanaskan akan mengalami sineresis. Sineresis yaitu peristiwa keluarnya air dari gel cincau, penyebabnya adalah kontraksi pada gel akibat terbentuknya ikatan-ikatan baru antara polimer dari struktur gel (Sunanto, 1995). Menurut Aurand et al. (1987), sineresis dipengaruhi oleh nilai pH, temperatur, tekanan mekanis dan konsentrasi fase terdispersi. Pada penelitian ini kondisi temperatur proses pasteurisasi yang cukup tinggi mempengaruhi terjadinya sineresis pada gel cincau hitam sehingga air keluar dan mewarnai sirup minuman cincau hitam menjadi hitam. Produk minuman cincau hitam yang telah dihasilkan ternyata menyerupai produk grass jelly drink yang dikemas dalam kaleng. Gambar dapat dilihat pada lampiran 15.

D. UJI ORGANOLEPTIK

(52)

Setelah diperoleh tanggapan dari 35 panelis tidak terlatih tersebut data yang diperoleh diolah lebih lanjut dengan menggunakan software SPSS 11.0 production facility. Untuk uji hedonik rating terhadap atribut keseluruhan diolah dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan, sedangkan untuk uji peringkat (rangking) dianalisis dengan Friedman Test.

1. Uji Rating (overall)

Dalam uji hedonik ini panelis diminta untuk memberikan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu sampel dengan tanpa membandingkan antara satu sampel dengan sampel lainnya. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,030 (p<0,05). Nilai tersebut menunjukan bahwa perbedaan kadar gula untuk ketiga formula memberikan pengaruh yang nyata terhadap kesukaan panelis. Oleh karena itu maka analisis dilanjutkan dengan uji duncan yang menghasilkan dua subset seperti pada lampiran 9 . Berdasarkan uji duncan tersebut dapat ditunjukkan bahwa ternyata dari ketiga formula hanya formula A yang berbeda, sedangkan formula B dan C secara statistika adalah sama. Formula A berdasarkan hasil uji duncan tersebut dapat menunjukan formula terbaik sebab formula ini berbeda dengan yang lainnya dan memiliki nilai rata-rata sebesar 5,46 (agak suka). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 8 dan lampiran 9.

2. Uji Peringkat (Rangking)

(53)

0 20 40 60 80 100

% Rend

em

e

n

A B C

Formula

parameter keseluruhan yang telah dibahas pada subbab sebelumnya. (Lampiran 10 dan 11)

Oleh karena itu berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan baik uji hedonik maupun uji rangking menunjukan bahwa dari ketiga formula yang dibuat telah diperoleh formula A sebagai formula terbaik.

E.PENGAMATAN DAN ANALISIS

Dalam sub-bab sebelumnya telah diketahui bahwa proses formulasi yang dilakukan menghasilkan produk yaitu minuman cincau hitam. Produk tersebut selama prosesnya dilakukan analisis terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan mikrobiologi. Dengan melakukan pengamatan dan analisis ini maka dapat diketahui mutu dari produk yang dihasilkan.

1. Analisis Sifat Fisik

Pengukuran sifat fisik yang dilakukan pada produk ini meliputi pengukuran rendemen gel cincau hitam yang dihasilkan, produktivitas gel cincau hitam dan total padatan terlarut (TPT). Khusus untuk penentuan produktivitas gel cincau hitam diperoleh melalui konversi dari rendemen gel cincau hitam.

[image:53.612.230.388.559.678.2]

a. Rendemen dan Produktivitas Gel Cincau Hitam

(54)

Penentuan rendemen gel cincau hitam bertujuan untuk mengetahui persentase hasil yang akan diperoleh saat kita memproduksi minuman cincau hitam. Melalui data ini, dapat dilakukan perkiraan jumlah bahan baku yang dibutuhkan untuk proses produksi. Penentuan rendemen gel cincau hitam dilakukan untuk ketiga formula yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya. Untuk dapat mengamati jumlah rendemen yang dihasilkan dapat dilihat lampiran 4, yang merupakan tabel penentuan rendemen dan Gambar 5 pengukuran rendemen.

Berdasarkan Lampiran 4, formula A memiliki rendemen sebesar 68,68 %. Formula B memiliki rendemen 73,88 %. Formula C memiliki rendemen 74,93 %. Maka berdasarkan hasil pengamatan tersebut rendemen gel cincau hitam yang dihasilkan lebih dari 65 % dari bobot total awal. Hilangnya bobot terjadi akibat pemanasan yang terjadi selama pengolahan, menyebabkan penguapan komponen air untuk memperoleh keseimbangan antara jumlah pati, gum cincau hitam dan air yang diikat didalamnya. Pada saat bobot ± 65 % dari bobot awal maka pada saat itulah terjadi

[image:54.612.219.415.430.553.2]

keseimbangan yang paling sesuai untuk menghasilkan gel cincau hitam.

Gambar 6. Produktivitas 1 gram tanaman cincau

Apabila masing-masing hasil rendemen dari formula yang dibuat dikonversi menjadi sebuah nilai produktivitas tanaman cincau hitam seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Dapat diamati pula hasil konversi tersebut dalam Gambar 6, yang menunjukan bahwa ternyata untuk 1 gram

6 8 10 12 14

gram

A B C

(55)

0 2 4 6 8 10 12 14

Br

ik

A B C

Formula

tanaman cincau hitam kering dihasilkan gel lebih dari 10 gram, atau dapat dikatakan bahwa produktivitas tanaman cincau tersebut sepuluh kali dari bobot tanaman cincau kering. Jumlah gel tersebut tentunya setelah dilakukan penambahan komponen lain seperti tepung tapioka, gula dan pengasam.

b. Total Padatan Terlarut

[image:55.612.227.373.358.463.2]

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), Total padatan terlarut merupakan bahan bukan air dan terdiri dari gula, lemak, protein atau abu serta komponen lain yang terlarut didalamnya. Pengukuran total padatan terlarut ini menggunakan alat Refraktometer Abbe. Menurut Sudarmadji et al (2003), Refraktometer Abbe dapat digunakan untuk mengukur kadar gula secara fisis.

Gambar 7 Pengukuran TPT minuman ci

Gambar

Tabel 1. Perbedaan jenis tanaman Cincau
Tabel 3. Perbedaan kandungan amilosa dan suhu gelatinisasi pati pada bahan  pangan
Gambar 2. Pendugaan mekanisme pembentukan gel cincau hitam
Tabel 5. Formula tersebut juga telah diujikan kepada para panelis dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait