• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI GERAKAN SOSIAL PENOLAKAN RELOKASI

KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI

(Kasus Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY)

YUNIAWAN SETYADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

YUNIAWAN SETYADI. Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO dan PUDJI MULJONO.

Komunikasi memiliki peran penting dalam menciptakan sebuah gerakan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan penggunaan komunikasi dalam mewujudkan gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi dalam penetapan Kawasan Rawan Bencana III (KRB III) Gunung Merapi di Desa Glagaharjo. Penelitian juga menjelaskan bagaimana komunikasi risiko yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat di KRB III Desa Glagaharjo dalam menyikapi ancaman risiko bencana Gunung Merapi. Komunikasi risiko adalah kondisi fisik dan mental yang mendasari pengelolaan informasi dalam menghadapi risiko bencana. Analisis framing digunakan untuk mengetahui cara berpikir aktor dalam mewujudkan gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pengembangan strategi komunikasi risiko yang tepat dalam pengelolaan bencana, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Penelitian menggunakan metode kualitatif dan diperkuat dengan data kuantitatif yang diambil secara purposive.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan sosial dipengaruhi oleh kurangnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Sosialisasi sebagai bentuk komunikasi risiko kebijakan tidak dilakukan dengan efektif sehingga pesan risiko yang disampaikan mengenai isi kebijakan ditafsirkan berbeda oleh masyarakat. Penelitian juga menyatakan bahwa ada 4 (empat) elemen framing yang melatarbelakangi gerakan sosial penolakan relokasi. Pertama, masalah kebijakan relokasi didefinisikan sebagai pengabaian hak masyarakat untuk bertempat tinggal. Kedua, penyebab masalahnya adalah ketidakadilan pemerintah. Ketiga, alasan moral yang mendasari keputusan masyarakat adalah tentang kesejahteraan dan mempertahankan tanah kelahiran. Elemen framing keempat yaitu rekomendasi tindakan, masyarakat memutuskan tetap tinggal di dusunnya dengan meningkatkan kesiapsiagaan dan kemandirian ekonomi. Jadi berdasarkan analisis framing yang dilakukan, masyarakat akan tetap bersikap menolak kebijakan relokasi, kecuali pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab bersedia mempertimbangkan kembali kebijakan dengan membuka dialog dengan masyarakat untuk menemukan solusi penanggulangan bencana yang lain.

Keputusan untuk bertahan tinggal di Kawasan Rawan Bencana semakin menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya komunikasi risiko dalam menghadapi ancaman bencana. Saat ini masyarakat KRB III Desa Glagaharjo mengelola risiko bencana dan mengembangkan komunikasi risiko secara swadaya. Masyarakat memilih tindakan tersebut sebagai akibat ketidakpercayaan terhadap kinerja dan kredibilitas pemerintah dalam upaya penanggulangan risiko bencana.

(5)

SUMMARY

YUNIAWAN SETYADI. Communication of Social Movements in The Rejection of The Relocation of Disaster-Prone Areas of Mount Merapi. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO and PUDJI MULJONO

Communication has an important role in creating a social movement. This study is aimed to describe how communication is used in realizing the social movements of rejection relocation in a disaster prone area and also describes how risk communication strategies conducted by a government and community in Disaster Prone Area III of Mount Merapi at Glagaharjo Village. Risk communication is physical and mental conditions that underlie the management of information in facing risks of a disaster. The study will also analyze the framing

that underlies the community‟s resistance towards government relocation policy.

This research also expected to contribute to the development of appropriate risk communication strategies in disasters management, for both government and local communities. This research uses qualitative methods and strengthen by quantitative data with purposive sampling.

The results showed that the social movements are be affected by the lack of communication between government and community. Socialization as a form of risk communication policy was not done effective so that the risk information submitted regarding the content policy is interpreted differently by community. Research also suggests that there are four (4) framing elements underlying the social movements of rejection relocation. First, the relocation policy is considered to be disregardful of the people rights for proper settlement. Second, the justification of the matter is the government unjustness. Third, is more of a moral reason underlying the people resistance towards the policy which is an effort to retaining personal welfare and sustaining homeland. The fourth framing element, are recommendations for action, the people have decided to stay inthe village and improve preparedness and economic self-reliance. So based on the analysis of framing, people are still being refused the relocation policy, unless the government as a responsible party willing to reconsider the policy to open a dialogue with the community to find a solution that is mutually agreed.

The decision to survive living in a disaster prone area is increasingly raising the people awareness of the importance of risk communication in facing the threats of possible disasters. Now the community in KRB III managing and developing disaster risk communication independently. The community chose these actions caused mistrust of the performance and credibility of the government in disaster risk reduction.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

KOMUNIKASI GERAKAN SOSIAL PENOLAKAN RELOKASI

KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI

(Kasus Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

NM : I 352130161

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

ititi MS Prof Dr r MSi

Anggota Ketua

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertnian dan Pedesaan

Tanggal Ujian: 30 Agustus 2016

Diketahui oleh

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan bulan Juni hingga Desember 2015 ini ialah tentang gerakan sosial, dengan judul Komunikasi Gerakan Sosial Penolakan Relokasi Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Prof Dr Ir Pudji Muljono, MSi selaku pembimbing dalam karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Bapak Suroto selaku Kepala Desa Glagaharjo beserta seluruh staf dan warga masyarakat yang telah memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan yang telah membantu kelancaran selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada istri Dyah Enggar Handayani, keluarga dan teman-teman KMP 2013, atas segala doa dan dukungannya. Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada anak tercinta Aksana Yodha Prama.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Kegunaan Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Manajemen Risiko dan Komunikasi Risiko 5

Komunikasi Gerakan Sosial 10

Konsep Framing Gerakan Sosial 11

Framing Robert Entman 14

Penelitian Terdahulu 15

Kerangka Pemikiran 16

Variabel Penelitian dan Hipotesis Pengarah 18

3 METODOLOGI PENELITIAN 19

Paradigma Penelitian 19

Pendekatan Penelitian 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 20

Responden Penelitian 20

Analisis Data 20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 21

Geografis 21

Pemerintahan dan Kependudukan 22

Kondisi Umum Desa Glagaharjo 22

Potensi Sumberdaya Desa 23

Kelembagaan Masyarakat 23

Distribusi Informasi 25

Sejarah Erupsi Merapi sebagai Ancaman Risiko 25 Kebijakan Sebagai Upaya Manajemen Risiko Bencana 29 Peraturan Bupati Sleman Nomer 20 Tahun 2011 34 Sosialisasi Kebijakan Sebagai Bentuk Komunikasi Risiko

Pemerintah 37

Gerakan Sosial Penolakan Relokasi 42

(12)

Framing Masyarakat Terhadap Kebijakan Relokasi 60 Komunikasi Risiko Masyarakat Kawasan Rawan Bencana 66

Preparedness (Kesiapsiagaan) 68

Response (Tanggap Darurat) 70

Recovery (Pemulihan) 70

5 SIMPULAN DAN SARAN 72

Simpulan 72

Saran 74

DAFTAR PUSTAKA 75

LAMPIRAN 80

(13)

DAFTAR TABEL

1 Tahapan manajemen risiko bencana di Indonesia 7

2 Perangkat framing model Entman dan Gamson 21

3 Dusun dan status KRB 22

4 Sejarah erupsi gunung merapi 28

5 Seleksi isu dan penonjolan aspek kebijakan relokasi 61 6 Analisis define problem dalam framing Robert Entman 61 7 Analisis diagnoseproblem dalam framing Robert Entman 62 8 Analisis moral judgement dalam framing Robert Entman 63 9 Analisis treatment recommendation dalam framing Robert Entman 64

10 Framing dalam penentuan masalah 65

11 Konstruksi framing model Entman dan Gamson 66

DAFTAR GAMBAR

1 Tahapan komunikasi risiko (Sheppard & Janoske 2012) 9

2 Kerangka pemikiran penelitian 18

3 Peta kawasan rawan bencana gunung merapi 31

4 Persentase Pandangan Responden tentang KRB III 38

5 Sumber Informasi Penetapan KRB III 39

6 Stiker sebagai media pesan penolakan kebijakan relokasi 44

7 Persepsi aktor terhadap kebijakan relokasi 46

8 Media pesan penolakan kebijakan relokasi 50

9 Tokoh yang dipatuhi saat bencana 56

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap ancaman berbagai jenis bencana alam. Salah satu bencana di Indonesia yang datang hampir setiap tahun, dengan frekuensi dan dampak yang berbeda-beda adalah erupsi gunung api. Secara geografis, Indonesia berada di kawasan "Pacific Ring of Fire" yang memiliki lebih dari 83 gunung api aktif sehingga berpotensi sering terjadi gempa bumi maupun meletusnya gunung api. Bencana gunung api yang mempunyai siklus rutin dan terjadi dalam periode waktu tertentu adalah erupsi Gunung Merapi yang terletak di perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bencana erupsi Gunung Merapi meskipun memiliki tanda-tanda yang khas, namun kejadian dan dampaknya tetap tidak dapat dihindari. Bahaya yang terjadi di luar periode erupsi bisa mengancam masyarakat yang tinggal di lereng gunung. Salah satu risiko bahaya yang paling ditakuti dan menjadi karakter dalam erupsi Gunung Merapi, yaitu aliran awan panas atau

“wedhus gembel” dengan suhu mencapai 600o-1000o C yang dapat meluncur ke lereng gunung dengan kecepatan 200-300 km/jam dan menjadi ancaman terbesar pada kehidupan di lereng Gunung Merapi. Padatnya permukiman penduduk di lereng gunung Merapi mengakibatkan risiko ancaman bencana menjadi semakin besar. Penelitian Triyoga (1991) menyatakan tidak kurang dari 30 gunung api aktif yang terdapat di Indonesia, lereng-lerengnya dipadati oleh permukiman penduduk. Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar sisi gunung Merapi berjumlah 1,6 juta jiwa (Surono, et al., 2012). Melihat gejala demikian maka sangat penting bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana guna mengurangi risiko yang ditimbulkan.

Kebijakan penanggulangan bencana yang ditetapkan pemerintah bertujuan untuk mencegah dan mengurangi tingkat risiko bahaya erupsi Gunung Merapi. Kebijakan tersebut diantaranya yaitu pemetaan potensi kawasan, menetapkan peta kawasan rawan bencana, membikin rencana kontijensi untuk setiap ancaman bencana, serta membangun hunian tetap (huntap) untuk relokasi warga. Penyusunan kebijakan pemerintah tersebut didasarkan pada penilaian mengenai risiko ancaman bencana Gunung Merapi. Kebijakan juga berisi tentang bagaimana upaya pencegahan yang harus dilakukan secara sinergis antara pemerintah dan masyarakat.

(16)

Dalam pelaksanaannya, sosialisasi sebagai bentuk komunikasi risiko penyampaian informasi kebijakan tidak selalu berhasil sesuai yang diharapkan. Penelitian Susanto (2011) menunjukkan bahwa komunikasi yang dilakukan pemerintah dalam penanggulangan bencana memiliki kendala birokratis yang kaku dan sering berlawanan dengan sikap fleksibilitas dan pengetahuan lokal masyarakat dalam mengatasi bencana.

Dalam upaya mencegah dan mengurangi risiko bencana, manajemen komunikasi memang harus dilakukan secara komprehensif dengan mengelola proses produksi pesan atau informasi tentang bencana, penyebaran pesan dan penerimaan pesan dari tahap prabencana, saat terjadi bencana dan pascabencana. Kajian tentang manajemen komunikasi bencana di Indonesia pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain: Lestari, et al. (2012), Badri (2008) dan Ramli (2010).

Penelitian Lestari, et al. (2012) tentang Manajemen Komunikasi Bencana Merapi, menyoroti tentang proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi atas berbagai kebijakan pemerintah terkait pengelolaan bencana. Badri (2008) juga meneliti tentang manajemen komunikasi bencana gempa di Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Badri (2008) menyatakan bahwa komunikasi berperan penting dalam penanggulangan bencana, terutama untuk menyinergikan kebijakan pemerintah dan program lembaga non pemerintah yang terlibat dalam penanggulangan bencana. Komunikasi untuk mempercepat proses penanggulangan bencana di masyarakat dilakukan dengan melibatkan sumber daya lokal terutama pemuka pendapat. Hal ini didukung oleh Ramli (2010) bahwa mengelola bencana tidak bisa dilakukan secara dadakan namun harus terencana dengan manajemen yang baik sebelum terjadi bencana.

Beberapa kajian tersebut mempertegas bahwa manajemen komunikasi risiko bencana merupakan aktivitas yang sangat penting dan harus direncanakan guna mengantisipasi dan mengurangi risiko bencana berikutnya. Penanggulangan bencana merupakan serangkaian upaya penetapan kebijakan pembangunan terkait pencegahan, tanggap darurat dan rehabilitasi. Manajemen komunikasi kebijakan yang tidak dikelola dengan baik akan menghambat penyampaian pesan kebijakan sehingga mengakibatkan perbedaan pemahaman antara pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan observasi yang dilakukan sebelum penelitian, perbedaan pemahaman mengenai kebijakan ini menimbulkan sikap penolakan kebijakan yang diwujudkan dalam aksi gerakan sosial seperti yang terjadi di tiga dusun (Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen), Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tiga dusun tersebut telah ditetapkan sebagai Kawasan Rawan Bencana III (KRB III), yaitu wilayah atau kawasan yang paling rawan risiko bahayanya sehingga dianggap tidak layak huni dan harus direlokasi.

(17)

pemerintah, proses framing masyarakat terhadap informasi kebijakan, komunikasi dalam mewujudkan gerakan sosial dan komunikasi risiko masyarakat sebagai konsekuensi tinggal di kawasan rawan bencana.

Perumusan Masalah

Gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi di KRB III Desa Glagaharjo muncul karena adanya perbedaan pemahaman antara pemerintah dan masyarakat dalam memaknai risiko. Perbedaan pemahaman ini dibentuk oleh cara berpikir atau framing masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam menanggulangi risiko bencana. Dove (2008) menyatakan bahwa dalam memandang risiko bencana, fokus pemerintah adalah pada dampak yang ditimbulkan saat bencana terjadi, sehingga penanggulangannya adalah dengan upaya penataan kawasan dan relokasi hunian. Masyarakat melihat risiko dengan mempertimbangkan waktu interval di antara bencana, dimana sumberdaya alam dimanfaatkan untuk menunjang perekonomian sehari-hari.

Perbedaan pemahaman ini semakin menguat dengan adanya komunikasi internal yang dijalin antar aktor gerakan sosial di tingkat dusun ataupun desa. Komunikasi internal yang dimaksud antara lain berupa penggalangan massa, koordinasi aksi gerakan, musyawarah, dan pembentukan tim pengurangan risiko bencana. Koordinasi antar aktor maupun lembaga dalam mewujudkan gerakan sosial dilakukan untuk menyamakan tujuan gerakan dan menentukan langkah gerakan. Hal ini sesuai dengan penelitian Pambudi (2010) tentang Gerakan Masyarakat Sipil di Yogyakarta yang menyatakan bahwa gerakan sosial lebih dipengaruhi oleh koordinasi, organisasi, dan kemampuan masyarakat untuk mendesakkan cita-cita gerakan yang dituju.

Komunikasi internal juga berperan dalam membentuk framing kolektif masyarakat dalam memaknai kebijakan pemerintah. Framing merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh aktor gerakan sosial ketika menyeleksi isu dan menyampaikan kepada orang lain. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil dari sebuah kebijakan, bagian mana yang ditonjolkan atau dihilangkan dan hendak dibawa kemana informasi tentang kebijakan tersebut.

Beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya menunjukkan peran framing dalam mengkonstruksi sebuah gerakan sosial. Pada umumnya, gerakan sosial diwujudkan melalui aksi perlawanan atau protes langsung yang dilakukan masyarakat sipil terhadap lembaga penguasa. Untuk melengkapi penelitian sebelumnya, penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi dan menganalisis latar belakang pembentukan framing dalam mengkonstruksigerakan sosial penolakan relokasi. Lebih jauh lagi, penelitian ini mengidentifikasi penggunaan komunikasi risiko sebagai upaya pengurangan risiko bencana. Komunikasi risiko dilihat sebagai tahapan dalam gerakan sosial penolakan relokasi di KRB III Desa Glagaharjo.

Secara teknis, penelitian ini mengamati peran komunikasi yang menjadi latar belakang framing dan yang mengkonstruksi gerakan sosial penolakan relokasi. Penelitian mengajukan 4 pertanyaan utama, yaitu :

(18)

2. Bagaimana model pembingkaian (framing) masyarakat terhadap kebijakan relokasi dalam penetapan KRB?

3. Bagaimana peran komunikasi dalam mengkonstruksi dan mewujudkan gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi?

4. Sejauh mana penggunaan komunikasi risiko oleh masyarakat dalam menghadapi risiko bencana?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan proses komunikasi risiko kebijakan pemerintah yang mengkonstruksi pemahaman masyarakat tentang risiko.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis proses framing terhadap kebijakan relokasi dalam penetapan KRB.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis aktivitas komunikasi yang dilakukan terkait gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi.

4. Memahami konstruksi penggunaan komunikasi risiko masyarakat di kawasan rawan bencana.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan bisa menemukan ruang bagi pemerintah maupun masyarakat untuk mendiskusikan kembali kebijakan relokasi dalam penetapan KRB Gunung Merapi. Hal ini penting hubungannya dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Penolakan warga menyebabkan program pembangunan pemerintah di Desa Glagaharjo (Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen) menjadi terhambat (terputus jalur koordinasinya). Lebih jauh lagi, tidak adanya perhatian dari pemerintah terhadap kondisi ini berpotensi menimbulkan gerakan sosial yang lebih besar dampaknya, yaitu gerakan radikal yang disebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Dalam tatanan praktis, melalui pengetahuan tentang faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi perilaku komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api, dapat disusun strategi yang efektif bagi peningkatan kesiapan masyarakat menghadapi risiko bencana gunung api. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan pada pengembangan strategi penggunaan komunikasi risiko yang tepat dalam pengelolaan bencana di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

(19)

gerakan sosial yang disebabkan pandangan masyarakat yang sama terhadap informasi kebijakan pemerintah.

Pengamatan terhadap kapan dan bagaimana aktivitas komunikasi dilakukan dalam mengkonstruksi gerakan sosial, akan menunjukkan model framing yang digunakan sebagai dasar tindakan kolektif penolakan relokasi. Penelitian ini menggunakan konsep framing model Entman untuk mengidentifikasi latar belakang masyarakat dalam mewujudkan tindakan kolektif gerakan sosial penolakan relokasi. Analisis framing model Gamson juga dilakukan untuk memperkuat hasil penelitian, bukan untuk membandingkan kedua model framing tersebut. Ruang lingkup data dan aktivitas komunikasi yang akan dicari dan dianalisis dalam penelitian meliputi :

1. Data sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di lokasi penelitian.

2. Kebijakan pemerintah berupa Peraturan Bupati Sleman No 20 tahun 2011. 3. Model framing penolakan masyarakat terhadap kebijakan relokasi.

4. Aktivitas dan peran komunikasi yang dilakukan mulai dari komunikasi kebijakan relokasi dalam penetapan KRB III (sosialisasi), koordinasi antar masyarakat dan komunikasi aksi gerakan sosial masyarakat menolak relokasi. 5. Penggunaan komunikasi risiko masyarakat sebagai upaya pengurangan risiko

bencana.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Manajemen Risiko dan Komunikasi Risiko

Risiko telah didefinisikan dengan berbagai cara, meskipun semuanya tidak ada yang sepenuhnya benar atau salah, tetapi risiko telah menjadi “alat” yang berguna untuk mengabstraksi dan menciptakan pandangan umum tentang bagaimana cara menghadapinya (Rosa, 1998 dikutip Habegger, 2008). Sebuah definisi menganggap bahwa risiko adalah kemungkinan cedera, kerusakan atau kerugian (Webster, 1983 dikutip Habegger, 2008). Rosa (1998) dikutip Habegger (2008) menambahkan bahwa risiko memiliki unsur ketidakpastian yaitu dengan mendefinisikan risiko sebagai situasi di mana sesuatu yang bernilai bagi manusia telah dipertaruhkan dan hasilnya selalu tidak pasti. Dalam cara yang sama, Terje dan Ortwin (2009) menganggap bahwa meskipun tidak ada definisi umum yang menyepakati risiko, namun ada beberapa karakteristik umum yang bisa disebut, antara lain :

1. Risiko adalah kombinasi dari probabilitas dari suatu peristiwa dan konsekuensinya (ISO, 2002).

2. Risiko didefinisikan sebagai satu set skenario, yang masing-masing memiliki probabilitas dan konsekuensinya (Kaplan, 1991).

Health dan O‟Hair (2009) mengatakan perilaku memahami risiko adalah

(20)

Perspektif tentang risiko ini akan menjadikan pemaknaan berbeda bagi setiap orang. Perbedaan-perbedaan ini dapat didasarkan pada informasi yang berbeda, kepentingan, atau persepsi tentang realitas dan bagaimana kita datang untuk melihatnya. Pemahaman dan tindakan tentang risiko bisa dipelajari melalui konsepsi sosial dan budaya yang terstruktur dan evaluasi (Boholm, 1998).

Memahami risiko berarti bahwa penting untuk melakukan tindakan atas risiko tersebut. Untuk itu diperlukan manajemen risiko agar pengelolaan risiko bisa terencana dan sistematis. Manajemen risiko bencana adalah proses dinamis dari upaya-upaya penanggulangan bencana yang dilakukan secara terus menerus, baik melalui mekanisme eksternal maupun internal. Mekanisme eksternal merupakan mekanisme penanggulangan yang lebih memobilisasi unsur di luar masyarakat. Penanggulangan bencana dengan mekanisme internal merupakan mekanisme yang menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dan sentral. Mekanisme internal dilandasi oleh pemikiran bahwa masyarakat korban masih dapat diberdayakan dan memiliki keberdayaan.

Dalam menyusun strategi pengurangan risiko bencana sangat penting untuk memahami manajemen risiko, yaitu bagaimana masyarakat menafsirkan risiko dan memilih tindakan berdasarkan interpretasi mereka. Risiko dalam konteks bencana alam selalu melibatkan interaksi antara gejala alam dan faktor manusia. Interpretasi masyarakat dibentuk oleh pengalaman mereka sendiri, perasaan pribadi dan nilai-nilai, keyakinan budaya serta dinamika interpersonal dan sosial. Selain itu, akses terhadap informasi dan kapasitas untuk perlindungan diri biasanya tidak merata dalam populasi (Eiser, et al., 2012).

Menurut Kodoatie dan Syarief (2006) yang mengutip Carter (2001), manajemen risiko bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari dengan melakukan observasi secara sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan terukur (measures), terkait dengan pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi), persiapan, tanggap darurat dan pemulihan (recovery).

Manajemen risiko bencana dilakukan dalam suatu tahapan yang terdiri dari: pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan, kejadian bencana, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekontruksi (Carter, 1992). Memahami setiap tahapan dalam manajemen risiko bencana adalah hal yang sangat penting. Efektifitas manajemen risiko bencana tidak hanya dilihat dari aktivitas pada saat penanganan bantuan bencana saja, namun meliputi seluruh aktivitas seperti dalam tahapan manajemen risiko bencana sebagai berikut:

1. Tahap preparedness pemerintah perlu menekankan pada keselamatan jiwa masyarakat di lingkungan wilayah bencana. Praktek manajemen risiko bencana secara terpadu dan komprehensif mutlak diperlukan. Pada sisi lain, pemahaman bencana pada masyarakat merupakan bagian penting pada fase ini. Dalam hal ini masyarakat perlu memahami response dan tindakan mereka dalam peristiwa bencana tersebut.

(21)

3. Tahap response sangat diperlukan koordinasi yang baik dari berbagai pihak. Koordinasi memungkinkan pemberian bantuan kepada masyarakat yang terkena bencana dapat diberikan secara cepat, tepat dan efektif.

4. Tahap recovery merupakan fase aktivitas penilaian dan rehabilitasi kerusakan akibat bencana. Fase ini ditekankan pada proses pendistribusian bantuan. Proses tersebut meliputi penentuan dan monitoring bantuan pada masyarakat yang terkena bencana.

Menurut Rahmat (2006) manajemen risiko bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus manajemen risiko bencana yang bertujuan antara lain:

1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang. 2. Mengurangi penderitaan manusia.

3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak yang berwenang mengenai risiko.

4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis lainnya.

Risiko harus dipahami, dikelola dan dikomunikasikan sehingga orang dapat menjalani kehidupan yang nyaman, sehat dan bahagia. Pada awal perkembangannya komunikasi risiko diarahkan untuk kepentingan politik para pejabat pemerintah dan usahawan yang membutuhkan dukungan masyarakat untuk suatu keputusan politik. Komunikasi risiko dikembangkan dari kebutuhan praktis masyarakat industri untuk mengelola teknologi dan untuk melindungi warga dari bahaya teknologi buatan manusia dan bahaya alam. Berdasarkan uraian di atas, awal munculnya komunikasi risiko bersifat satu arah yaitu dari para ahli sebagai partisipan kunci kepada masyarakat.

Melengkapi tahapan-tahapan yang sudah disebutkan sebelumnya, Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan siklus manajemen risiko bencana sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1 Tahapan manajemen risiko bencana di Indonesia

Kegiatan Keterangan

Preparedness (kesiapsiagaan)

Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Mitigasi Serangkaian kegiatan untuk mengurangi risiko bencana,

baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Response

(tanggap darurat)

(22)

Tabel 1 Tahapan manajemen risiko bencana di Indonesia (lanjutan)

Kegiatan Keterangan

Rehabilitasi (Recovery)

Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

Rekonstruksi Pembangunan kembali semua prasarana dan sarana kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik tingkat pemerintah maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.

Sumber : UU no 24 th 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Palenchar (2009) menjelaskan perkembangan selanjutnya, bahwa komunikasi risiko menyoroti pentingnya pendekatan dialogis dan membangun. Pendekatan dialogis sering terhambat oleh kurangnya lembaga yang responsif terhadap kebutuhan, perhatian dan pemahaman publik terhadap potensi risiko yang nyata. Reynolds dan Seeger (2005) seperti dikutip oleh Palenchar (2009) menjelaskan bahwa komunikasi risiko menyangkut tentang produksi pesan yang dirancang khusus untuk memperoleh tanggapan publik, sebagian besar dimediasi melalui saluran komunikasi massa, mengandalkan kredibilitas sebagai elemen mendasar persuasi dan bertujuan untuk mengurangi bahaya serta meningkatkan keamanan masyarakat.

Saat ini pembahasan tentang komunikasi risiko telah meluas dalam berbagai disiplin ilmu. Tansey dan Rayner (2009) membahas komunikasi risiko dari perspektif budaya, dimana lembaga-lembaga sosial memberikan pengaruh yang cukup menentukan terhadap penilaian risiko dan tindakan sosial. Nilai-nilai dan keyakinan yang memiliki kekuatan dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tindakan kolektif. Tindakan seseorang juga tidak dapat dipisahkan dari pemikiran bagaimana orang lain dalam lingkungannya akan melihat tindakan yang dilakukannya.

(23)

Gambar 1 Tahapan komunikasi risiko (Sheppard & Janoske 2012)

Crisis and emergency risk communication (CERC) adalah penerapan prinsip-prinsip berkomunikasi yang efektif selama keadaan darurat. Prinsip-prinsip ini digunakan untuk memberikan informasi yang membantu individu, pemangku kepentingan, dan seluruh masyarakat untuk membuat keputusan terbaik dalam menghadapi risiko. CERC mengakui bahwa selama keadaan darurat, segala tindakan dilakukan di bawah kendala waktu dan dalam keadaan tertekan. Sehingga keputusan yang diambil belum tentu merupakan yang terbaik, namun merupakan solusi pada saat itu juga.

Situational Theory Of Publics (STP) atau teori situasi publik dikembangkan oleh Profesor James E. Grunig di University of Maryland, College Park. Grunig (1997) mendefinisikan bahwa publik dapat diidentifikasi dan diklasifikasikan dalam konteks dimana mereka menyadari masalah dan sejauh mana mereka melakukan sesuatu atas masalah tersebut. Teori ini menjelaskan bagaimana ketika berkomunikasi orang bisa lebih efektif sesuai dengan situasi yang ada.

Heuristic Systematic Model (HSM) adalah model komunikasi atau pengolahan informasi yang diakui secara luas oleh Chaiken (1980) yang mencoba untuk menjelaskan bagaimana orang menerima dan memproses pesan persuasif. Teori ini menyatakan bahwa individu dapat memproses pesan menggunakan salah satu dari dua cara yaitu sistematis atau heuristik. Pemrosesan sistematis merefleksikan pengamatan yang hati-hati, analitis dan sungguh-sungguh terhadap pesan. Orang harus dimotivasi untuk mempraktekkan pemrosesan sistematis, dan ini sebaliknya dapat dipengaruhi oleh variabel-variabel situasi seperti tekanan waktu atau kurangnya keahlian di bidang tertentu. Pengamatan heuristik adalah cara yang lebih sederhana yang menggunakan aturan-aturan atau skema prediksi untuk membentuk penilaian atau membuat keputusan. Contoh-contoh aturan yang mungkin dapat membantu pengambilan keputusan adalah “pernyataan para pakar

yang dapat dipercaya”, “orang-orang menarik yang popular” dan “tindakan

(24)

ini dikembangkan pada awal hingga pertengahan 1980-an dan telah berbagi banyak konsep dan ide-ide yang sama (Hill, 2009).

Deliberative Process Model (proses musyawarah) merupakan proses pengambilan keputusan yang melibatkan kelompok. Dengan demikian, kita mendefinisikan "proses musyawarah" sebagai sebuah proses yang memungkinkan kelompok pelaku untuk menerima dan melakukan pertukaran informasi, untuk memahami masalah dan untuk mencapai kesepakatan dalam pengambilan keputusan (Fearon, 1998).

Komunikasi Gerakan Sosial

Masyarakat sipil adalah wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi, yang bercirikan kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self generating), keswadayaan (self supporting) dan kemandirian yang tinggi terhadap negara. Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme yang khas dari masyarakat sipil (Porta & Diani, 2006). Sebagai bentuk aktivisme yang khas, gerakan sosial

didefinisikan sebagai „sebentuk aksi kolektif‟ dengan orientasi konfliktual yang

jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat oleh rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.

Pelaku gerakan sosial tidaklah tunggal, sehingga gerakan sosial tidak dapat direpresentasikan oleh suatu organisasi tertentu saja. Gerakan sosial direpresentasikan oleh cita-cita yang akan diusung, oleh sebab itu gerakan sosial memiliki ciri inklusif, tidak didominasi dan direpresentasikan oleh satu atau dua organisasi. Sebagai sebuah proses, gerakan sosial melibatkan pertukaran sumber daya yang berkesinambungan bagi pencapaian tujuan bersama di antara beragam aktor individu maupun kelembagaan. Strategi, koordinasi dan pengaturan peran dalam aksi kolektif gerakan sosial ditentukan dari negosiasi yang terus menerus di antara aktor-aktor yang terlibat dan diikat oleh identitas kolektif. Gerakan sosial mengambil tanggung jawab publik atas peran-peran yang seharusnya dijalankan oleh negara seperti jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan, partisipasi yang lebih luas dan lain sebagainya. Gidden (2010) menyatakan bahwa gerakan sosial adalah upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang sudah mapan.

(25)

Gerakan sosial membutuhkan partisipasi yang luas dari para pendukungnya. Menurut Klandermans (2005) terdapat empat langkah menuju partisipasi dalam gerakan sosial. Pertama adalah potensi mobilisasi. Untuk menciptakan potensi mobilisasi, suatu gerakan harus mendapatkan simpati dari beberapa kelompok. Potensi mobilisasi mengacu kepada anggota masyarakat yang secara potensial dapat dimobilisasi dengan suatu cara tertentu oleh gerakan sosial. Anggota masyarakat potensial yang dimaksud adalah semua orang yang mempunyai sikap positif terhadap gerakan, tidak terbatas pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipertahankan atau diwakili oleh gerakan. Bahkan orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari gerakan sosial pun dapat bersimpati kepada gerakan, sehingga bisa menjadi calon potensial untuk dimobilisasi.

Kedua yaitu jaringan perekrutan dan potensi mobilisasi. Seberapapun besar potensi mobilisasi sebuah gerakan, bila gerakan tersebut kurang memiliki jaringan perekrutan untuk aksi, maka gerakan tidak akan efektif. Untuk membentuk dan mengaktifkan jaringan perekrutan, suatu gerakan harus mampu menyatukan kekuatan dengan organisasi-organisasi lain dan menjalin hubungan dengan jaringan formal maupun informal yang telah ada. Gerakan juga harus mampu mengembangkan organisasinya sendiri baik lokal maupun nasional (Farree & Miller, 1985). Jaringan perekrutan gerakan sosial menentukan upaya-upaya jangkauan mobilisasinya. Semakin luas jaringan dan semakin erat hubungannya dengan organisasi dan jaringan-jaringan yang lain, maka semakin banyak pula orang akan berada dalam barisan gerakan (McAdam & Paulsen, 1993).

Ketiga, motivasi untuk terlibat dalam gerakan. Untuk menstimulasi motivasi, sebuah gerakan harus mampu mempengaruhi pemahaman tentang keuntungan dan kerugian jika seseorang terlibat dalam gerakan sosial. Jika keuntungan yang diperoleh dalam gerakan sosial lebih besar dari kerugian, kemungkinan untuk berpartisipasi juga semakin besar. Partisipasi masyarakat dalam gerakan sosial bisa berupa keterlibatan kongkret dan spesifik seperti mengikuti rapat umum atau demonstrasi, menyumbangkan sejumlah uang, bergabung dalam barisan protes, dan lain sebagainya. Kita tidak dapat mengasumsikan bahwa seseorang yang telah berpartisipasi dalam sebuah gerakan yang spesifik, maka ia akan juga berpartisipasi kembali dengan gerakan yang lain. Keempat yaitu penghalang berpartisipasi. Motivasi menunjukkan kesediaan untuk berpartisipasi, tetapi itu saja tidak cukup. Kesediaan akan berubah menjadi partisipasi jika niat untuk turut dalam gerakan dapat dilaksanakan. Penghalang untuk berpartisipasi dapat diatasi bila orang benar-benar memiliki niat dan termotivasi dalam sebuah gerakan. Seseorang akan berpartisipasi atau tidak tergantung pada bagaimana cara dia merespon penghalangnya. Jadi, gerakan sosial harus menerapkan salah satu atau kedua strategi berikut, yaitu (a) mempertahankan atau menguatkan motivasi, dan (b) menyingkirkan penghalang.

Konsep Framing Gerakan Sosial

(26)

arti dan bermakna (Goffman, 1974 dikutip Eriyanto, 2007). Menurut Pan dan Kosicki (1993) yang dikutip Eriyanto (2007), terdapat dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi. Framing dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukan dalam skema tertentu. Skema adalah teori yang berasal dari bidang keilmuan psikologi yang menjelaskan mengenai bagaimana seseorang menggunakan struktur kognitifnya dalam memandang dunia (seseorang, lingkungan dan peristiwa) dengan pandangan atau perspektif tertentu. Skema dapat menimbulkan efek yang kuat pada tiga proses dasar: perhatian atau atensi (attention), pengodean (encoding), dan mengingat kembali (retrival) (Baron & Bryne, 2004). Frame menawarkan penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung setiap hari.

Kedua, dalam perspektif sosiologis, frame berfungsi membuat realitas menjadi teridentifikasi, dipahami dan dimengerti dengan label tertentu. Menurut Goffman yang dikutip Eriyanto (2007), frame secara aktif mengklasifikasi, mengorganisasikan dan menginterpretasikan pengalaman hidup seseorang agar orang tersebut dapat memahaminya. Menurut Snow yang dikutip Klandermans dan Suzanne (2002), frame merupakan interpretative schemata yang membuat partisipan mampu menempatkan, menerima dan melabeli suatu hal. Klandermans dan Suzanne (2002) berpendapat bahwa frame memiliki elemen-elemen sebagai berikut :

1. Frame memiliki konten.

2. Frame merupakan struktur kognitif atau skema.

3. Frame terdapat pada diri individu maupun lingkungan sosialnya. Frame merupakan skema kognitif seorang individu yang berguna dalam membangun aksi kolektif. Aksi kolektif dapat dibangun apabila individu tersebut berbagi skema yang ia miliki kepada individu lain yang memiliki skema sama dalam suatu aksi yang memiliki pola tertentu.

4. Frame merupakan struktur kognitif seseorang dan hasil pengembangan proses kognitif. Berdasarkan hal ini, penelitian mengenai framing dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu: (1) memandang framing sebagai suatu kegiatan penting dalam mengembangkan pergerakan dengan menyebarkannya melalui frame aligment processes, dan (2) memandang frame sebagai konten dan struktur, yang mengungkapkan interpretasi partisipan ataupun pemimpinnya mengenai suatu hal dalam suatu waktu.

5. Frame berbasis pada teks. Frame dalam konteks ini dapat ditemukan dalam dokumen tertulis, komunikasi verbal (percakapan, pidato, slogan, lagu), dan representasi secara visual (gambar, ilustrasi kartun). Frame juga dapat ditemukan dari gabungan ketiganya yaitu melalui analisis dokumen, wawancara partisipan, pidato, slogan, lagu, lukisan, foto, dan sebagainya.

(27)

Untuk menarik massa, gerakan sosial harus membangun frame yang sangat mirip dengan frame dari individu-individu yang sedang berusaha untuk dimobilisasi. Proses ini disebut “kerangka berpihak” dan tergantung pada seberapa sukses pemimpin gerakan menjembatani kerangka aksi gerakan mereka sendiri dengan frame tindakan kolektif dari simpatisan. Sehingga mereka akan mampu memobilisasi berbagai individu dan kelompok.

Strategi framing dalam gerakan sosial baru juga menjelaskan ada beberapa topik yang penting dijelaskan untuk pijakan analisis teori dalam membentuk proses framing pada masyarakat (McCarthy & Zald, 2009). Dengan kata lain topik-topik ini menjadi dasar proses pembentukan framing kelompok tanggap bencana, yaitu: Pertama, kontradiksi budaya. McCarthy dan Zald (2009) menjelaskan peranan gerakan sosial seringkali tercipta melalui ketergantungan budaya yang sudah berlangsung lama, kemudian berkembang menjadi bahan proses pembentukan framing seperti keluhan dan ketidakadilan sehingga menyebabkan terjadinya aksi kolektif. Kedua, proses pembentukan framing sebagai aktivitas strategi. Adanya keretakan dan kontradiksi budaya telah menyediakan konteks dan sekaligus kesempatan bagi kader-kader gerakan, yaitu pemimpin, partisipan inti, aktivis dan simpatisan. Dalam hal ini ada proses aktif framing pendefinisian idiologi dan simbol, juga peristiwa-peristiwa yang mampu menjadi sorotan dari kalangan di luar aktivis. Kalangan masyarakat, asosiasi pemimpin, politisi dan penulis juga berkontribusi menentukan pilihan strategis framing dalam gerakan sosial. Ketiga, dalam menentukan kelompok sasaran dalam gerakan diperlukan alat dalam menjalankan framing, yaitu berupa media pertemuan atau perkumpulan, sebuah tempat sebagai ruang berdikusi. Karena diskusi proses framing juga memasukkan media sebagai topik penting. Pengkontesan framing terjadi pada interaksi berhadap-hadapan langsung antar anggota. Gerakan sosial mempergunakan ruang atau tempat-tempat pertemuan sebagai media berdebat atau berdiskusi untuk mensosialisasikan masalah-masalah sosial sehingga kelompok masyarakat berkeinginan untuk ikut dalam gerakan sosial tersebut (Situmorang, 2013).

(28)

Framing Robert Entman

Menurut pandangan Entman, konsep framing digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media massa (Eriyanto, 2007). Framing berita menjadi lebih tajam karena adanya proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isinya. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu. Dalam penelitian ini, realitas yang dimaksud adalah kebijakan relokasi dalam penetapan kawasan rawan bencana dan teks berita digantikan dengan hasil wawancara terhadap aktor gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi. Aspek seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Tidak semua bagian peristiwa dapat disampaikan kepada masyarakat, selalu ada bagian yang dipilih (included) dan ada yang dibuang (excluded).

Proses seleksi isu yang bertujuan untuk mendefinisikan peristiwa, dilakukan melalui empat strategi yang merupakan konsepsi utama (elemen) framing model Entman. Konsepsi mengenai framing model Entman menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh aktor gerakan (Eriyanto, 2007).

Pertama, pada identifikasi masalah (define problems), peristiwa dilihat sebagai apa dan dengan nilai positif atau negatif apa. Ini menekankan bagaimana sebuah isu atau peristiwa dipahami oleh aktor gerakan. Pendefinisian masalah menjadi bingkai pertama dan utama dalam proses konstruksi realitas. Pada proses pendefinisian masalah, bagaimana aktor gerakan memandang dan menangkap suatu peristiwa berpengaruh pada keseluruhan elemen framing lainnya. Konstruksi realitas dibentuk oleh realitas subyektif yang melekat dalam diri aktor gerakan, maka cara pandang setiap aktor pun berbeda-beda, sehingga akan mungkin dihasilkan frame yang berbeda-beda atas peristiwa ini.

Kedua, perkiraan penyebab masalah (diagnose problems), yaitu mengidentifikasi siapa atau apa yang dianggap penyebab dari suatu peristiwa. Bagaimana sebuah peristiwa dipahami tentu saja akan menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Berdasarkan pendefinisian yang dilakukan masyarakat terhadap sebuah peristiwa, selanjutnya dapat diperkirakan apa atau siapa yang menjadi penyebab timbulnya beragam reaksi di masyarakat. Perkiraan penyebab masalah ini berkaitan dengan cara pandang dan pemahaman masyarakat terhadap peristiwa ini, juga faktor realitas subyektif dan obyektif dari masyarakat. Faktor realitas obyektif itu misalnya pemahaman atau pandangan umum (mayoritas masyarakat Indonesia) dalam menanggapi sebuah peristiwa.

(29)

Keempat, saran penyelesaian masalah (treatment recommendation) dipakai untuk menawarkan suatu cara penanganan atau penyelesaian masalah dan kadang juga memprediksi hasilnya. Penyelesaian itu tentu saja bergantung pada bagaimana peristiwa dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah (Eriyanto, 2007). Setelah mendefinisikan masalah mengenai sebuah isu atau peristiwa, konstruksi framing dilanjutkan dengan memberikan saran penyelesaian masalah terhadap persoalan. Pemberian saran penyelesaian jelas tergantung dengan cara pandang dan persepsi aktor gerakan terhadap isu tersebut. Pemilihan saran penyelesaian masalah oleh aktor, dipengaruhi proses dialektis yang terjadi dalam diri aktor saat melakukan konstruksi atas peristiwa itu.

Penonjolan aspek tertentu dari suatu isu sangat berkaitan dengan penulisan fakta. Proses ini mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak. Penonjolan diartikan sebagai proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat oleh khalayak. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk diperhatikan khalayak (Eriyanto, 2007).

Eriyanto (2007) menyampaikan sebuah contoh bagaimana penonjolan aspek atas suatu isu ditampilkan, yaitu dalam kasus Majalah Rolling Stone Indonesia terkait rencana penutupan blog-blog musik dan pemblokiran situs-situs file sharing terkait pembajakan musik di Indonesia. Dalam kasus tersebut, aspek penonjolan dilakukan wartawan untuk memperkuat pendefinisian peristiwa atas isu yang dipilih untuk ditampilkan dalam frame Majalah Rolling Stone Indonesia. Isu tersebut akan dilihat atau didefinisikan sebagai persoalan apa, sisi inilah yang kemudian difokuskan untuk ditonjolkan. Penonjolan yang dilakukan yaitu melalui pemilihan kata tertentu, pengulangan kata atau makna, atau asosiasi dengan budaya atau keyakinan tertentu. Penonjolan ini akan memperkuat konstruksi atau frame yang dikembangkan oleh wartawan Majalah Rolling Stone Indonesia mengenai peristiwa yang menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat ini. Dari sinilah kemudian akan terlihat sikap dan dan arah keberpihakan Majalah Rolling Stone Indonesia terkait rencana penutupan blog-blog musik dan pemblokiran situs-situs file sharing terkait pembajakan musik di Indonesia.

Penelitian Terdahulu

Penelitian ini melihat bagaimana aktivitas komunikasi memiliki peranan penting dalam melatarbelakangi framing masyarakat terhadap kebijakan relokasi dan juga dalam mewujudkan gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi di masyarakat KRB III Desa Glagaharjo. Penelitian juga mengamati penggunaan komunikasi risiko masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana sebagai konsekuensi atas gerakan sosial penolakan relokasi yang dilakukan. Dengan adanya studi ini maka akan memberikan sumbangan pada pengembangan strategi komunikasi pemerintah yang lebih efektif, salah satunya dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan penanggulangan risiko bencana.

(30)

(OMS) memandang permasalahan transparansi anggaran Indonesia melalui siaran pers yang dirilisnya serta bagaimana proses konstruksi frame pada siaran pers tersebut. Analisis framing dalam kedua penelitian tersebut menghasilkan identitas kolektif untuk mewujudkan tindakan kolektif atau gerakan sosial.

Sebagai referensi, penelitian ini juga melihat penelitian sebelumnya tentang kebijakan relokasi dan komunikasi pada masyarakat Kawasan Rawan Bencana yang telah dilakukan antara lain oleh Martanto (2014) yang mengungkapkan faktor-faktor penyebab penolakan relokasi yaitu warga merasa aman dan nyaman meskipun tinggal di kawasan rawan bencana, kekhawatiran kehilangan hak milik lahan dan lokasi hunian tetap yang jauh dari sumber ekonomi warga. Ni‟am (2014) dalam penelitiannya tentang Kepengaturan dan Penolakan Relokasi menyimpulkan bahwa kebijakan relokasi merupakan otoritas birokrasi yang membukakan ruang kontestasi antara warga dan pemerintah. Penolakan relokasi bukanlah bentuk penolakan warga terhadap otoritas, melainkan sebagai sikap mempertahankan diri untuk kehidupan yang lebih baik menurut mereka. Wardhani (2011) yang meneliti tentang pentingnya peran komunikasi bencana dalam mempersiapkan masyarakat di daerah bencana agar terhindar atau mengurangi kerugian yang dialami. Puspito (2015) meneliti tentang model komunikasi risiko di kawasan rawan bencana Gunung Merapi yang menyatakan bahwa model komunikasi risiko di setiap wilayah berbeda-beda tergantung dampak bencana yang dihadapi. Menurut Puspito (2015) penguasaan terhadap media komunikasi menjadi faktor penentu kesiapan komunikasi masyarakat menghadapi bencana. Penelitian tentang kesiapan masyarakat Yogyakarta dalam menghadapi bencana alam juga dilakukan oleh Hidayat (2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapan masyarakat Yogyakarta dalam menghadapi bencana terkait dengan pemaknaan masyarakat tentang bencana dari aspek-aspek: konsep diri, world view, nilai-nilai budaya dan keyakinan yang dimiliki masyarakat. Aspek-aspek yang dimiliki masyarakat tersebut penting untuk mendapat perhatian dari pemerintah sehingga upaya penanggulangan bencana bisa dilakukan secara sinergis.

Kerangka Pemikiran

Gerakan Sosial menjadi respon dari ketidakpuasan masyarakat terhadap penyebaran nilai yang tidak sesuai keinginan publik. Biasanya dimunculkan dari adanya indikasi ketidakadilan. Dimana dalam pergerakan sosial melibatkan anggota, lawan dan masyarakat secara luas (Ritzer, 2005).

Gerakan sosial merupakan bentuk aktivisme yang khas dari masyarakat sipil (Porta & Diani, 2006). Sebagai bentuk aktivisme yang khas, gerakan sosial

(31)

pemahaman ini maka gerakan sosial dilihat sebagai bertemunya ketersediaan sumber daya dan kemampuan invidu atau kelompok untuk mempengaruhi masyarakat mencapai tujuannya.

Salah satu faktor penentu keberhasilan gerakan sosial terletak pada diterimanya tujuan gerakan sosial oleh seluruh aktor gerakan (Gamson, 1992). Keberhasilan gerakan sosial terletak pada bagaimana aktor-aktor gerakan memformulasikan tujuannya sehingga diterima secara luas, yaitu sejauh mana khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu, musuh bersama atau tujuan bersama. Snow (1986) yang dikutip Gamson (1992) menyatakan bahwa gerakan sosial bukan hanya membutuhkan bingkai (frame) bagaimana setiap aktor harus bertindak, melainkan juga bingkai apa yang sedang dihadapi. Oleh karena itu aktor gerakan memiliki tugas penting mencapai tujuan gerakannya melalui pembentukan framing atas masalah-masalah sosial dan isu ketidakadilan (Situmorang, 2013). Untuk mencapai sebuah kelompok sasaran, aktor gerakan membutuhkan alat dalam menjalankan framing yaitu komunikasi.

Unsur komunikasi melekat dalam mengkonstruksi sebuah gerakan sosial, yaitu bagaimana pola pikir masyarakat dibingkai dengan proses diskusi, penguatan wacana, dan konsolidasi untuk melakukan mobilisasi. Aksi penolakan terhadap kebijakan relokasi dalam penetapan KRB III dikatakan sebagai gerakan sosial karena tidak lagi bersifat individu, melainkan terorganisir dalam batasan tertentu. Penggeraknya mungkin inisiatif masyarakat sendiri (bukan lembaga). Analisis framing komunikasi dalam gerakan sosial akan menjadi fokus penelitian yang merangkum semua isu mengenai tipe gerakan sosial yang soft (bukan radikal).

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu (Eriyanto, 2007). Ada empat konsepsi utama (elemen) yang diterapkan Robert N. Entman dalam membentuk frame atas sebuah peristiwa, yaitu identifikasi masalah (define problem), perkiraan penyebab masalah (diagnose problem), penilaian atau keputusan moral (make moral judgement) dan saran penyelesaian masalah (treatment recommendation).

Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini menelusuri latar belakang framing yang mempengaruhi penolakan masyarakat Dusun Srunen, Kalitengah Kidul dan Kalitengah Lor terhadap kebijakan pemerintah dalam merelokasi masyarakat di KRB III. Penelitian dilakukan untuk menjawab pertanyaan kunci sejauh mana aktivitas komunikasi mampu mengkonstruksi sebuah gerakan sosial masyarakat menolak relokasi. Studi kualitatif dipilih sebagai metode yang paling tepat dalam mengamati aktivitas komunikasi secara lebih mendalam.

(32)

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian

Variabel Penelitian dan Hipotesis Pengarah

Untuk mengetahui latar belakang gerakan sosial penolakan masyarakat terhadap kebijakan relokasi dalam penetapan KRB III, perlu dilakukan penelitian dengan mengkaji beberapa variabel terkait dengan kerangka pemikiran peneliti. Variabel-variabel yang dimaksud meliputi unsur dalam aktivitas komunikasi risiko yang dilakukan dalam mengkonstruksi framing masyarakat terhadap kebijakan dan gerakan sosial penolakan kebijakan relokasi.

Berdasarkan variabel-variabel dan kerangka berpikir pada Gambar 2, dapat diajukan hipotesis pengarah yang berfungsi sebagai pedoman kerja dalam pengumpulan data dan sekaligus sebagai pedoman untuk berteori tentang data (Sitorus, 1998). Hipotesis pengarah yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Aktivitas komunikasi risiko kebijakan pemerintah mengkonstruksi framing

masyarakat dalam mewujudkan gerakan sosial penolakan relokasi dalam penetapan KRB III.

(33)

3

METODOLOGI PENELITIAN

Paradigma Penelitian

Paradigma yang dianut dalam penelitian ini adalah konstruktivisme yang memandang bahwa obyektifitas merupakan sebuah konstruksi sosial. Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subyek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif secara observasi partisipatif. Konstruksivisme menolak gagasan untuk memisahkan fakta dengan nilai, memisahkan fenomena pengetahuan dengan konteks sosial historisnya (Lubis & Adian 2011). Tujuan dari paradigma konstruktivisme adalah untuk memahami berbagai konstruksi yang sebelumnya dipegang oleh orang (termasuk peneliti), yang berusaha ke arah konsensus namun masih terbuka bagi interpretasi baru seiring dengan perkembangan informasi dan kecanggihan (Denzin & Lincoln, 2009).

Alasan dalam pemilihan paradigma konstruktivisme adalah upaya untuk melihat aktivitas komunikasi yang mampu menciptakan framing dalam mengkonstruksi gerakan sosial penolakan masyarakat terhadap kebijakan relokasi dalam penetapan Kawasan Rawan Bencana III Gunung Merapi. Faktor-faktor ini hanya bisa diperoleh dari perspektif dan persepsi masyarakat sebagai penerima pesan komunikasi.

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang diperkuat data kuantitatif. Metode kualitatif dipilih untuk lebih memahami realitas dan segala hal dari kondisi kehidupan komunikasi masyarakat sehari-hari. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan atau data deskriptif orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dari sisi kualitatif akan dilihat bagaimana konstruksi terbentuknya gerakan sosial, terutama dari aktivitas komunikasi yang digunakan. Tidak menutup kemungkinan juga jika ada interest lain yang menyebabkan terciptanya gerakan sosial tersebut. Metode kuantitatif akan digunakan untuk melihat kecenderungan respon masyarakat terhadap kebijakan relokasi dalam penetapan Kawasan Rawan Bencana III oleh pemerintah. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara yaitu studi dokumen, distribusi kuisioner, wawancara mendalam, diskusi kelompok dan observasi atau pengamatan langsung.

(34)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY yang ditetapkan sebagai KRB III yaitu dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen. Pengumpulan data dilakukan dalam kurun waktu bulan Juni hingga Desember 2015.

Responden Penelitian

Informan dan responden dipilih secara purposive sesuai kebutuhan data dan keterwakilan elemen masyarakat. Dengan menggunakan purposive sampling, diharapkan kriteria sampel yang diperoleh benar-benar sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, observasi, wawancara mendalam, diskusi kelompok, dan studi dokumen. Jumlah penduduk Dusun Srunen, Kalitengah Kidul dan Kalitengah Lor adalah sekitar 1000 jiwa yang terdiri dari 400 Kepala Keluarga. Kuisioner didistribusikan kepada 60 responden di tiga dusun lokasi penelitian. Menurut Roscoe (1975) yang dikutip Sekaran (2006), ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan penelitian. Pendalaman data hasil kuisioner dilakukan melalui wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci antara lain tokoh masyarakat, aparat Pemerintah Desa dan warga yang bisa merepresentasikan masyarakat di lokasi penelitian. Verifikasi data hasil temuan di lapangan dilakukan dengan melakukan studi dokumen dan diskusi kelompok dengan beberapa perwakilan masyarakat.

Analisis Data

Analisis data dilakukan sesuai pendekatan campuran dan konstruktivis. Analisis data kualitatif yang dipakai yaitu tahap reduksi data, display data dan kesimpulan atau verifikasi. Analisis data kualitatif berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan sejak proses pengumpulan data dimulai hingga semua data selesai terkumpul. Data kuantitatif dari kuesioner diolah menggunakan Microsoft Excel. Reduksi data dilakukan untuk menemukan beberapa isu dan tema bahasan yang paling menonjol untuk mengetahui bingkai utama atau master frame yang digunakan para aktor gerakan sosial untuk memaknai kebijakan relokasi dalam penetapan KRB.

(35)

Entman mengoperasionalkan empat dimensi isu sebagai perangkat framing: define problems (pendefinisian masalah), diagnose causes (penyebab masalah), make a moral judgement (alasan keputusan), dan treatment recommendation (rekomendasi penyelesaian). Isu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan relokasi dalam penetapan Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi.

Tabel 2 Perangkat framing model Entman dan Gamson

Konstruksi Framing Entman Gamson

Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat?

Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah dan untuk

Peran dan posisi aktor gerakan di mana?

identity frame

Sumber: Eriyanto (2007) & Peneliti

Perbandingan dua model framing seperti dalam Tabel 2, menunjukkan bahwa konstruksi framing yang dikembangkan oleh Robert Entman dan William Gamson adalah saling memperkuat. Perbedaannya yaitu pada framing Gamson, posisi tiga elemen (injustice, agency, identity) adalah mengkonstruksi tindakan kolektif untuk menyelesaikan masalah (collective action). Dalam framing Robert Entman, posisi ketiga elemen tersebut bukan hanya mengkonstruksi tindakan kolektif, melainkan mengkonstruksi setiap elemen framing yang dinyatakan Gamson (aggregate, consensus, collective action).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Geografis

(36)

Balerante Kabupaten Klaten, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Argomulyo dan di sebelah Barat berbatasan langsung dengan Desa Kepuharjo dan Desa Wukirsari. Desa Glagaharjo merupakan desa yang letaknya paling ujung bagian timur laut dari ibukota Kabupaten Sleman. Jarak Desa Glagaharjo ke ibukota Kecamatan adalah sekitar 2 km, sedangkan jarak ke ibukota Kabupaten adalah sekitar 18 Km (Kecamatan Cangkringan Dalam Angka Tahun 2014).

Pemerintahan dan Kependudukan

Pemerintahan Desa Glagaharjo dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Desa Glagaharjo terdiri dari 10 dusun. Desa Glagaharjo memiliki jumlah penduduk sebanyak 3785 jiwa yang terdiri dari 1248 kepala keluarga. Jumlah kepadatan penduduk sebanyak 476,1 jiwa/km2 dan sex ratio sebesar 96,41 persen. (Kecamatan Cangkringan Dalam Angka Tahun 2014).

Tabel 3 Dusun dan status KRB

Nama Dusun di Desa Glagaharjo Status Kawasan Rawan Bencana

Besalen KRB I

Banjarsari KRB I

Ngancar KRB I

Glagah Malang KRB I

Jetis Sumur KRB I

Gading KRB I

Singlar KRB II

Srunen KRB III

Kalitengah Kidul KRB III

Kalitengah Lor KRB III

Kondisi Umum Desa Glagaharjo

Desa Glagaharjo memiliki fasilitas pendidikan berupa tiga buah TK dan tiga buah SD.Tidak terdapat gedung SMP dan SMA di Desa Glagaharjo sehingga jika ada anak yang bersekolah SMP maupun SMA, mereka harus pergi keluar desa. Untuk sarana kesehatan, di Desa Glagaharjo hanya terdapat satu buah Puskesmas Pembantu yang terletak di perbatasan antara Dusun Srunen dan Gading. Di Desa Glagaharjo terdapat tenaga kesehatan yaitu satu orang bidan dan satu orang dukun bayi. Mayoritas masyarakat Glagaharjo beragama Islam dengan jumlah Masjid ada 10 buah dan Mushola sebanyak 8 buah. Sumber air minum masyarakat desa berasal sumur dan beberapa warga langsung menyalurkan dari mata air Gunung Merapi.

Penggunaan wilayah Desa Glagaharjo mayoritas digunakan untuk area perkebunan sebesar 628,2 ha dari luas keseluruhan 795 ha. Jenis tanaman yang paling banyak adalah Sengon dan rumput gajah untuk kebutuhan pakan ternak. Tidak terdapat area persawahan padi di Desa Glagaharjo. Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani kebun dan peternak, namun terdapat juga penduduk yang bermata pencaharian sebagai penambang pasir, pedagang, pertukangan, wiraswasta, PNS dan TNI/POLRI.

(37)

di Desa Glagaharjo sejumlah 24 kelompok dengan jumlah gardu ronda sebanyak 23 buah.

Potensi Sumberdaya Desa

Infrastruktur di Desa Glagaharjo, terutama kondisi jalan desa sebagai penghubung antar dusun masih belum memadai. Setelah erupsi tahun 2010 hingga kini belum ada perbaikan yang berarti. Sering lewatnya truk-truk pengangkut pasir yang berasal dari Sungai Gendol juga semakin memperburuk kondisi jalan. Jalan desa tersebut adalah jalur utama evakuasi ketika terjadi peningkatan status Gunung Merapi, namun pemerintah lambat dalam perbaikan. Hal tersebut membuat beberapa dusun, terutama yang termasuk Kawasan Rawan Bencana III (Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul dan Srunen) mengupayakan pembangunan jalan secara swadaya. Tidak hanya itu beberapa infrastruktur fisik seperti Masjid, jembatan, dan sebagainya juga dibangun secara swadaya. Penetapan sebagai Kawasan Rawan Bencana III membuat Pemerintah Daerah Sleman tidak lagi memberikan bantuan atau program pembangunan di ketiga dusun tersebut.

Sumberdaya manusia di Desa Glagaharjo memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Generasi muda saat ini banyak yang sudah melanjutkan sekolah hingga tingkat SMA, bahkan banyak juga yang melanjutkan hingga tingkat perguruan tinggi. Kemampuan warga usia produktif dalam hal bertani dan beternak juga membuat mereka mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan baik.

Sumberdaya ekonomi yang dimiliki warga adalah berupa kebun dan ternak. Perkebunan dan peternakan merupakan sektor utama yang menjadi sumber penghasilan masyarakat. Erupsi Gunung Merapi telah mengeluarkan material melalui sungai-sungai yang berhulu di Merapi. Salah satu material yang menguntungkan bagi masyarakat di sekitar sungai adalah ketersediaan pasir yang melimpah. Banyak masyarakat di dusun sekitar sungai atau bahkan dari dusun lain yang kemudian menambang pasir di sepanjang aliran sungai. Hasil dari menambang pasir ini sifatnya instan, artinya setiap hari masyarakat bisa langsung membawa hasil berupa uang tunai dari menjual pasir ke truk-truk pengangkut. Hal itu berbeda dengan ketika mereka menanam atau beternak, yang hasilnya baru akan diperoleh ketika musim panen.

Terkait sumber daya alam, di Desa Glagaharjo tidak memiliki lahan pertanian berupa sawah, namun sebagian besar wilayah desa terdiri dari lahan perkebunan dan hijauan rumput yang difungsikan sebagai pakan ternak. Tidak terdapatnya lahan pertanian berupa sawah disebabkan kondisi lahan berbukit dan tidak ada sungai yang berfungsi sebagai irigasi. Namun demikian sumberdaya alam berupa sungai yang merupakan jalur lahar dingin Gunung Merapi adalah penghasil pasir dengan kualitas baik. Seperti yang disampaiakn dalam peragraf sebelumnya bahwa erupsi Gunung Merapi telah membawa berkah sendiri bagi warga yang ada di sekitar sungai Gendol untuk menjadi penambang pasir. Hasil dari menambang pasir ini yang menjadi modal untuk membangun kembali rumah dan infrastruktur desa yang rusak terkena dampak erupsi.

Kelembagaan Masyarakat

Gambar

Tabel 1 Tahapan manajemen risiko bencana di Indonesia (lanjutan)
Gambar 1 Tahapan komunikasi risiko (Sheppard & Janoske 2012)
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 2 Perangkat framing model Entman dan Gamson
+7

Referensi

Dokumen terkait

Inisiasi 3 Mahasiswa sudah mulai memahami bagaimana mengembangkan peta konsep, hal ini terlihat dari sudah tidak ada lagi konsep-konsep yang disatukan dalam satu kotak,

Penelitian ini bersifat deskriptif yang menggunakan satu variabel yaitu subjective well-being yang bertujuan untuk memberikan gambaran deskriptif subjective well-being yang

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui peningkatan minat siswa terhadap pembelajaran matematika menggunakan metode permainan kompetisi kelas II Sekolah

Dengan demikian yang dimaksud peserta didik (murid) adalah manusia yang sedang mengalami perrtumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani. Pendidikan dirancang dan

Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara disiplin belajar dan kemandirian belajar dengan hasil belajar

6 – Menguak Misteri Bilangan π 33 Pada abad ke-17, tepatnya pada tahun 1660-an, Isaac Newton, se- orang matematikawan dan fisikawan dari Inggris, menghitung nilai π dengan

Untuk itu dirasakan perlu dilakukan pelatihan-pelatihan lebih lanjut untuk pengisian data maupun pencetakan laporan, khususnya bagi karyawan baru ataupun yang sebelumnya bukan

Janji pemerintah daerah untuk mengangkat tenaga dokter sebagai PNS dan memberikan insentif untuk mengisi kekosongan tenaga kesehatan tampaknya belum cukup ampuh untuk membuat