• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Implikasi Regulasi Cukai Hasil Tembakau (Studi Kasus Peredara n Rokok Ilegal Di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan CukaiTipe Madya Pabean B Surakarta).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Implikasi Regulasi Cukai Hasil Tembakau (Studi Kasus Peredara n Rokok Ilegal Di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan CukaiTipe Madya Pabean B Surakarta)."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Industri rokok di tanah air telah memainkan peranan dan dampak perekonomian yang tidak kecil di tengah masyarakat. Sejarah panjang industri rokok yang sudah mengakar ratusan tahun lalu sejak zaman penjajahan telah membuat industri ini kuat dan besar.1

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah China, AS, dan Rusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia mengalami peningkatan dari 182 miliar batang pada 2001 (Tobacco Atlas 2002) menjadi 260,8 miliar batang pada 2009 (Tobacco Atlas 2012),2 sementara pada tahun 2013 tercatat 341,9 miliar batang.3

Konsumsi rokok tumbuh rata-rata 4,4% per tahun selama 2005-2012 dan diperkirakan tumbuh 4%-5% di 2013. Global Adult Tobacco Survey

(GATS) Indonesia 2011 juga menunjukkan bahwa prevalensi merokok di Indonesia secara umum meningkat dari 27% pada 1995 menjadi 36,1% di

1 Chairul Umam, Menelisik Politik Hukum RUU Pertembakauan, Jurnal Rechtsvinding:

Media Pemberdayaan Hukum Nasional, ISSN 2089 – 9009 Rechtsvinding Online, http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/MENELISIK%20POLITIK%20HUKUM%20RUU %20PERTEMBAKAUAN.pdf. Di akses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 18.34 WIB.

2 Faisal Rino Bernando, , M. Ajie M, dkk, Industry Update, Office of Chief Economist,

Volume 3Februari 2013, hal. 2, www.bankmandiri.co.id/indonesia/eriview-pdf/NCEQ16157183.pdf di akses pada tanggal 20 Maret 2015 pukul 18.42 WIB.

3 Widayatama, Tugas Akhir, Analisis Kebangkrutan Metode Springate Pada Industri Rokok

Wismilak Inti Makmur, Universitas Widyatama, hal 1,

(2)

2011.4 Prevalensi perokok nasional 29,2% dengan rerata jumlah rokok 12 batang/hari, tertinggi di Lampung (34,3%), Bengkulu 34,1% dan Gorontalo (32,6%). Prevalensi perokok usia di atas 15 pada 2001 dan 2007 adalah 31,5% dan 34,2% cenderung meningkat. Perokok perempuan 2001-2007 (1,3% menjadi 5,2%) meningkat empat kali lebih besar. Pada kelompok umur 15-19 tahun, pada 1995 sebesar 7,1% meningkat menjadi 19,9% pada 2007.5 Tingginya jumlah perokok di Indonesia menyebabkan industri rokok menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar. Menurut data Kementerian Keuangan, pada tahun 2008 industri rokok menyumbang Rp 51,3 triliun dan terus meningkat menjadi Rp 83,3 triliun dalam APBN-P 2012.6 Susiwijono Moegiarso selaku Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan seperti meyebutkan penerimaan di sektor cukai masih didominasi produk tembakau, di antaranya rokok, dari penerimaan cukai Februari 2014 sebesar Rp 12,9 triliun, 98 persen disumbang oleh hasil tembakau.7 Dalam RAPBN-P 2015, penerimaan cukai rokok ditargetkan

4 Faisal Rino Bernando, , M. Ajie M, dkk, Industry Update, Office of Chief Economist,

Volume 3Februari 2013, hal. 2, www.bankmandiri.co.id/indonesia/eriview-pdf/NCEQ16157183.pdf di akses pada tanggal 20 Maret 2015 pukul 19.10 WIB.

5 Nasrin Kodim, Kontroversi Rokok dan Tembakau Menggadaikan Kesehatan Anak

Bangsa, Medika: Jurnal Kedokteran Indonesia, Edisi No 12 Vol XXXIX - 2013 – Editorial,

http://jurnalmedika.com/edisi-tahun-2013/edisi-no-12-vol-xxxix-2013/639-editorial/1435-kontroversi-rokok-dan-tembakau-menggadaikan-kesehatan-anak-bangsa di akses pada tanggal 20 Maret 2015 pukul 18.20 WIB.

6 Joko Tri Haryanto, Urgensi Pajak Rokok, Artikel Umum,

www.kemenkeu.go.id/sites/default/.../Urgensi%20Pajak%20Rokok.pdf diakses pada tanggal 20 Maret 2015, pukul 19.46 WIB

7 Maria Yuniar, Rokok Sumbang Penerimaan Cukai Terbanyak, Tempo.co, Portal Berita

Online, Senin, 24 Maret 2014 | 10:43 WIB,

(3)

mencapai 136,12 triliun. Target ini meningkat Rp 15,56 triliun dibandingkan target yang tercatat di APBN 2015, yang hanya Rp 120,56 triliun.8

Peningkatan konsumsi tembakau di Indonesia sejak tahun 1970 disebabkan oleh rendahnya harga rokok, peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan rumah tangga dan proses mekanisasi industri rokok. Undang – Undang Cukai menetapkan bahwa tarif cukai adalah untuk menurunkan konsumsi produk tembakau dan mengendalikan distribusinya karena produk tembakau berbahaya bagi kesehatan. Peningkatan tarif cukai tembakau adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi kerugian kesehatan dan ekonomi akibat konsumsi tembakau.9

Pemungutan cukai tembakau pertama di Indonesia dimulai pada zaman kolonial Belanda pada tahun 1932 berdasarkan Tabsacccijns Ordonnantie, Stbl. 1932 Nomor 517 ; 3.10 Kebijakan cukai tembakau pasca Indonesia merdeka telah berganti sebanyak tiga kali yaitu; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1947 tentang Cukai Tembakau, Undang-Undang nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dan terakhir digantikan oleh Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Salah satu

8 Redaksi Kata Data News and Research, Target Penerimaan Cukai Rokok Dinaikkan Rp

15 Triliun, 27 Januari 2015, http://katadata.co.id/berita/2015/01/27/target-penerimaan-cukai-rokok-dinaikkan-rp-15-triliun, diakses pada tanggal 20 Maret 119.26 WIB

9 Sarah Barber, Sri Moertiningsih Adi oetomo, Abdillah Ahsan dan Diah hadi Setyo naluri,

Aspek Ekonomi Tembakau di Indonesia disadur dari Ekonomi Tembakau di Indonesia, Artikel Umum http://www.worldlungfoundation.org/ht/a/GetDocumentAction/i/6571. diakses pada tanggal 20 Maret 21.00 WIB

10 Surono, Mengenal Lebih Mendalam Pungutan Cukai, dipresentasikan di acara

(4)

perubahannya antara lain adanya kenaikan tarif cukai rokok. Dengan peraturan yang baru tersebut pemerintah dapat menaikkan pendapatan APBN dari cukai. Menyimak Laporan Tahunan Bank Indonesia tahun 2008 dan Laporan Dana Bagi Hasil Cukai dan 2010, menunjukkan bahwa nilai pendapatan negara dari cukai rokok mulai tahun 2001 hingga tahun 2010 terus meningkat dengan laju rata-rata sebesar 18% per tahun, dan mencapai sekitar Rp 56 triliun pada tahun 2010 dari Rp. 11,1 triliun pada tahun 2001.11

Keberadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai tidak terlalu banyak perubahan terutama dalam cara dan basis perhitungan besaran cukainya serta pemberlakuan cukai yang beragam, yang menjadi baru adalah bahwa cukai hasil tembakau kini dimasukkan perhitungan dana bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah penghasil tembakau, sehingga melahirkan istilah’Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau’ (DBH-CHT)

yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84 /PMK.07/2008.12

Ada beberapa hal yang ingin dicapai dalam UU Cukai hasil amandemen ini, antara lain:13

1. Meningkatnya peranan cukai sebagai instrumen pengawasan dan pengendalian serta salah satu sumber penerimaan negara untuk

11 http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-16230-Chapter1-206398.pdf.

12 Gugun El Guyanie, dkk, Ironi Cukai Tembakau: Karut Marut Hukum & Pelaksanaan

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau di Indonesia, Indonesia Berdikari, 2013, Hal 23

13 Ester Maria Chandra, Kajian Eksistensi Barang Kena Cukai Pada Minuman Ringan

(5)

disesuaikan dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah;

2. Undang-Undang ini mempertegas sifat atau karateristik Barang Kena Cukai sehingga memberikan landasan dan kepastian hukum dalam upaya menambah atau memperluas objek cukai degan memperhatikan aspirasi dan kemampuan masyarakat;

3. Dalam rangka transparansi pembuatan kebijakan cukai pemerintah telah membuat roadmap kebijakan cukai yang mempertimbangkan aspek penerimaan, tenaga kerja dan kesehatan sehingga disepakati besarnya tarif tertinggi untuk hasil tembakau yaitu 57% dan 80% untuk Barang Kena Cukai lainnya;

4. Dalam mengoptimalkan penerimaan Negara dari sektor cukai, undang-undang ini mengatur penyempurnaan sistem administrasi pemungutan cukai, peningkatan upaya penegakan hukum (law enforcement), penyesuaian sistem penagihan, penyesuaian sistem pembukuan dan penggunaan dokumen cukai serta dokumen pelengkap cukai dalam bentuk elektronik.

5. Undang-Undang ini mengatur kode etik pegawai, pemberian sanksi terhadap pejabat bea dan cukai yang salah menghitung atau menetapkan serta premi kepada pegawai bea dan cukai atau orang yang berjasa dalam menanggulangi pelanggaran di bidang cukai; 6. Menjadi dasar untuk alokasi Dana Bagi Hasil Cukai bagi Propinsi

(6)

Pengertian cukai menurut Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang, di mana sifat atau karakteristik yang ditetapkan antara lain meliputi: 1). konsumsinya perlu dikendalikan; 2). peredarannya perlu diawasi; 3). pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau 4). pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Pengertian cukai menurut undang-undang ini membuka peluang untuk adanya penambahan jenis barang atau jasa yang dapat dikenakan cukai. Pasal 4 ayat (1) UU Cukai mengatur bahwa cukai dikenakan terhadap BKC (Barang Kena Cukai) yang terdiri dari:

1. etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya;

2. minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;

(7)

Di dalam undang-undang tersebut juga diatur mengenai peluang penambahan atau pengurangan BKC, yakni pada pasal 4 ayat (2) yang menyebutkan bahwa penambahan dan pengurangan jenis BKC diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa penambahan dan pengurangan jenis BKC disampaikan kepada alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang membidangi keuangan untuk mendapatkan persetujuan dan dimasukkan dalam Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU – APBN). Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka dalam hal diperlukan, pemerintah dapat menambah BKC sepanjang memenuhi salah satu dari 4 (empat) karakteristik sebagaimana diatur di dalam pasal 2 Undang-Undang Cukai.

Dengan mempertegas sifat dan karateristik Barang Kena Cukai, maka hal ini dapat menjadi landasan dan kepastian hukum untuk melakukan perluasan barang kena cukai sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Cukai. Melalui penambahan objek cukai, ada dua hal yang dapat dicapai oleh pemerintah, yaitu berjalannya fungsi penerapan cukai sebagai alat pengawasan dan pegendalian sekaligus meningkatkan penerimaan cukai.

Pengawasan dan pengendalian terkait dengan tingginya konsumsi rokok di Indonesia didasarkan pada Konstitusi, UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28H menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan

(8)

Kemudian UU No. 39 Tahun 2009 tentang HAM Pasal 9 ayat (3) menyebutkan : “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 113 ayat 1

menyebutkan: Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan

perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Ayat 2 Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang

mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang

penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau

masyarakat sekelilingnya.

Tujuan dari UU Cukai adalah untuk menghambat pemakaian barang-barang yang dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang di atas guna untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan, tuntutan masyarakat secara nasional maupun internasional menghendaki adanya kepedulian pemerintah yang lebih tinggi terhadap aspek kesehatan masyarakat. Salah satu tuntutan ini berasal dari forum Internasional yaitu rekomendasi yang dikeluarkan dalam Framework Convention On Tobacco

Control (FCTC) pada tahun 2003 dan mulai di implementasikan sejak tahun

2005. tetapi hingga saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi konvensi yang digagas oleh World Health Organization (WHO) tersebut.

(9)

Pajak Penghasilan (pph non migas/income tax), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Mewah (PPNBM).14 Bahkan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono mengatakan, penerimaan terbesar cukai berasal dari Hasil Tembakau (HT) yang berkontribusi 95,95%, diikuti oleh MMEA (Minuman Mengandung Etil Alkohol) 3,88%, dan EA (Etil Alkohol) 0,017%.15

[image:9.595.187.464.391.543.2]

Cukai tembakau di Indonesia berkembang pesat, dapat dipastikan bahwa kenaikan cukai tembakau akan naik setiap tahun. Gambaran besarnya kenaikan cukai tembakau dapat di lihat dalam table dibawah ini.

Tabel 01.

Perkembangan Cukai Tembakau di Indonesia, 2000 – 2008

14 Subdit Humas dan Penyuluhan Bea dan Cukai, Penerimaan Cukai Terbesar Nomor Tiga ,

Karawang, 11 September 2014, http://beacukai.go.id/?page=media-center/galeri-kegiatan/penerimaan-cukai-terbesar-nomor-tiga.html, diakses pada tanggal 24 Maret 2015, pukul 23.33 WIB.

15 Irene Harty, DJBC: Penerimaan Cukai Masih Jadi Realisasi Terbesar Semester I/2014,

(10)
[image:10.595.174.451.137.274.2]

Tabel 02.

Perkembangan Cukai Tembakau di Indonesia, 2007 – 2013

Mengingat dominasi penerimaan cukai hasil tembakau dibanding pungutan cukai lainnya, wajar saja apabila konsentrasi terhadap kebijakan cukai Hasil Tembakau (HT) ini terlihat lebih intensif. Sejak tahun 2001 pemerintah secara reguler menetapkan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau setiap akhir tahun. Hampir dapat dikatakan bahwa tarif cukai hasil tembakau akan selalu naik setiap tahunnya.

Disisi lain kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok tersebut ternyata mengakibatkan sejumlah pabrik rokok menengah ke bawah merasa berat dan dapat menghancurkan perusahaan rokok kecil. Perlu diketahui bahwa kenaikan tarif cukai rokok adalah sebesar batas maksimum 57 persen dari sebelumnya 55 persen. Di bawah ini akan ditampilkan data produksi rokok nasional sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 sebagaimana tertera pada tabel dibawah ini.

Tabel 03.

Produksi Rokok dan Hasil Cukai Nasional Tahun 1997 – 2005

Tahun Produksi Rokok

(Milyar/Batag)

Cukai Triliun

Rp

Keterangan

1997 216.30 4.56 Produksi cukup besar

[image:10.595.107.516.654.754.2]
(11)

2001 222.00 17.40

Produksi turun, namun nilai cukai meningkat. Pemerintah menaikkan tarif cukai dan dampak pemberlakuan

Harga Jual Eceran (HJE)

2002 214.00 23.30 Produksi turun

2003 192.00 26.30 Produksi turun

2004 203.80 29.10 Produksi rokok kembali meningkat

2005 220.00 32.60

157,2 miliar batang atara lain diproduksi oleh enam pabrik rokok

besar, sedangkan kontribusi cukai mencapai Rp. 28,5 triliun (86.1%) Sumber: Diolah Berdasarkan Data Biro Pusat Statistik, 2006

[image:11.595.106.518.112.270.2]

Nilai pendapatan negara dari sektor tembakau cukup besar bahkan lebih besar dari pendapatan dari mineral (emas, batubara, nikel) yang pada tahun 2011 hanya mampu menyumbang pendapatan sebesar Rp. 15 Triliun, jauh dibandingkan pendapatan dari tembakau yang mencapai Rp. 77 Triliun.16

Tabel 04.

Produksi Rokok dan Hasil Cukai Nasional Tahun 2009 – 2014

Tahun Produksi Rokok

(Milyar/Batag)

Cukai Triliun Rp

2009 245.0 54.3

2010 284.4 59.3

2011 311.0 77.0

2012 341.9 103.02

2013 192.00 114.82

2014 365.0 118.0

Sumber : Kementerian Perindustrian dan Dirjen Bea Cukai, diolah

Dari tahun 2009 sampai 2012 produksi rokok meningkat cukup signifikan, tetapi pada tahun 2013 mengalami penurunan yag sangat drastis, walaupun kemudian naik lagi. Jika melihat penerimaan Negara dari tabel 3

16 Lihat website http://komunitaskretek.or.id/?p=2770 Tembakau Primadona Indonesia

(12)

dan tabel 4 dapat dilihat bahwa kenaikan dan penurunan rokok tidak sebanding dengan jumlah penerimaan Negara dari hasil cukai.

Kemudian beralih pada perkembangan perusahaan rokok di Indonesia, berdasarkan Data Statistik Industri Besar dan Sedang (BPS), pada tahun 1981 industri rokok hanya dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok kretek (31420) dan industri rokok putih (31430). Mulai tahun 1990, industri rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok kretek (31420) yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), serta industri rokok lainnya (31440) yang terdiri dari rokok klembak menyan, rokok klobot dan cerutu.17

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat jumlah industri rokok di dalam negeri cenderung merosot dalam 5 tahun terakhir. Pada 2007, jumlah industri rokok mencapai lebih dari 4.000 perusahaan, sedangkan pada 2012 menyusut menjadi 1.530 perusahaan.18 Data Kementerian Perindustrian dan Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia menyebutkan pada 2009, jumlah perusahaan rokok mencapai 3.255 unit dan pada tahun 2013 hanya 1.133 unit.19 Dan pada tahun 2014 menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) saat ini ada sekitar 1.320 pabrik tersebar di Pulau Jawa dan sedikit Sumatra. Dari 1.320 pabrik tersebut hanya ada 4 pabrik rokok besar,

17 Tri Wibowo, Potret Industri Rokok Di Indonesia, Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol.

7, No. 2, Juni 2003

18 Jumlah Pabrik Menciut, Cukai Rokok Justru Melonjak,

http://finance.detik.com/read/2013/12/24/155239/2450780/1036/jumlah-pabrik-menciut-cukai- rokok-justru-melonjakhttp://finance.detik.com/read/2013/12/24/155239/2450780/1036/jumlah-pabrik-menciut-cukai-rokok-justru-melonjak diakses pada tanggal 1 April 2015 pukul 19.28 WIB

19 Industri Rokok: Investasi Di Jateng Capai Rp6 Triliun,

(13)

seperti Philip Morris-Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, dan BAT-Bentoel, sisanya merupakan perusahaan menengah kecil yang banyak memproduksi rokok murah.20

Yang menarik dari jumlah perusahaan rokok adalah terjadi pada tahun 2009 dengan jumlah 3.255 unit dan pada tahun 2013 hanya terdapat 1.133 unit, penulis berasumsi bahwa penurunan secara signifikan jumlah perusahaan yang gulung tikar salah satu faktor penyebabnya adalah karena kebijakan yang terdapat dalam Undang-Undang Cukai yang didalamnya dicantumkan bahwa tarif tertinggi untuk hasil tembakau yaitu 57% dan di saat yang sama pelaku industri harus membayar Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang dipatok Undang-Undang sebesar 10% dari cukai yang dibayarkan industri.

Tidak hanya industri kelas menengah bawah yang merasakan dampak dari keberadaan Undang-Undang Cukai ini, tetapi juga perusahaan rokok besar, sepanjang 2014, sudah ada 3 (tiga) perusahaan rokok besar yang mengurangi jumlah karyawannya untuk menekan biaya produksi. Mereka adalah PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang pada 31 Mei lalu menghentikan produksi pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Jember dan Lumajang. Kebijakan tersebut membuat 4.900 karyawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Awal September 2014, PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA) menawarkan pengunduran diri sukarela kepada 1.000 pekerjanya sebagai langkah efisiensi. Setelah pengurangan pekerja tersebut, Bentoel

20 Catatan Agus Pambagio: Menyabung Nyawa dengan Rokok Murah,

(14)

menghentikan produksi delapan pabrik dari total 11 pabrik milik perusahaan. Sehingga hanya tersisa tiga pabrik saja yang beroperasi. Terakhir, pada 9 Oktober 2014, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) menawarkan program pensiun dini kepada pekerjanya di Kediri, Jawa Timur. Tawaran tersebut diterima oleh 2.088 pekerja SKT borongan.21

Dan yang paling mengkhawatirkan adalah merebaknya peredaraan rokok ilegal bersamaan dengan ketatnya regulasi. Diperkirakan peredaran rokok illegal mencapai 4%-6% dari total produksi rokok yang mencapai 320-340 miliar batang per tahun pada tahun 2014.22 Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti menyatakan kasus rokok illegal mulai berkembang pada tahun 2003 saat pemerintah menaikkan tarif cukai 3 (tiga) kali dalam setahun. Dan pada tahun 2007, Direktorat Jendral Bea dan Cukai berhasil mengungkap 237 kasus rokok illegal di dalam negeri pada periode tujuh bulan pertama 2007. Jumlah tersebut melonjak signifikan dibandingkan tahun 2006 tang hanya total 25 kasus. Dari 237 kasus rokok illegal paling marak dengan peredarannya berada di Kudus, Jawa Tengah. Dikarenakan jumlah pabrik rokok di Kudus mencapai 1.930 unit atau 41% dari total pabrik rokok nasional pada tahun 2007.23

21 Kenaikan Cukai Rokok: Perusahaan Rokok Kecil Terancam Gulung Tikar , Rabu,

15/10/2014 18:22 WIB, http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141015182229-92-6516/perusahaan-rokok-kecil-terancam-gulung-tikar/ diakses pada tanggal 2 April 2015, pukul 20.21wib

22 Industri Rokok, Produksi Pabrik Kecil Turun Hingga 30 Persen,

http://industri.bisnis.com/read/20141222/257/385137/industri-rokok-produksi-pabrik-kecil-turun-hingga-30-persen diakses pada tanggal 2 April 2015, pukul 20.30 WIB

23 Potensi Kerugian Negara Capai Rp. 2,4 Miliar, BC ungkap 237 kasus rokok illegal,

(15)

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa keberadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11/ Tahun 1995 tentang Cukai mengakibatkan banyaknya peredaran rokok illegal di Surakarta?,

2. Bagaimana peran, fungsi dan wewenang Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madaya Pabean B Surakarta dalam menangani kasus rokok illegal di Surakarta?, dan

3. Bagaimana model pencegahan yang ideal untuk menekan peredaran rokok illegal?

C. Orisinalitas

Sebagai pijakan dalam penelitian ini, peneliti mengemukakan beberapa hasil penelitian terdahulu. Hal ini dimaksudkan agar posisi penelitian ini jelas arahnya, apakah melanjutkan, menolak ataukah mengambil aspek bagian lain dari penelitian sebelumnya. Penelitian terdahulu yang dipaparkan mempunyai kesamaan secara tematik, meskipun tidak terkait langsung dengan persoalan penelitian, tetapi penelitiannya mempunyai kemiripan.

Beberapa studi yang peneliti temukan dan memiliki relevansi dengan permasalahan yang dikembangkan dalam penelitian ini antara lain:

(16)

yang ditunjang dengan pendekatan yuridis sosiologis dengan menggunakan desain penelitian di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai tipe A2 Kudus.

Hasil penelitiannya, untuk membatasi peredaran rokok, instrumen yang digunakan oleh Undang-Undang Cukai adalah Tarif Cukai dan Harga Jual Eceran. Dengan Tarif dan Harga Jual Eceran yang relatif tinggi dapat mengurangi peredaran rokok di samping juga dapat meningkatkan penerimaan Negara. Pengusaha rokok yang tidak taat dalam membayar cukai adalah pengusaha golongan kecil sekali karena tidak dapat bersaing dengan tarif cukai dan harga jual eceran yang terlalu tinggi. Diperlukan treatment khusus terhadap kelompok pengusaha kecil berupa pencabutan izin bahkan pengenaan pidana sehingga tidak mengganggu kestabilan kelompok pengusaha rokok lainnya. Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Cukai masih kurang tepat dan kurang lengkap sehingga tidak efektif dan efisien dalam pencegahan peredaran rokok ilegal.

(17)

proses penyidikan tindak pidana pemalsuan pita cukai hasil tembakau maupun indikasi ketidakefektifan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh tim penyidik pegawai negeri sipil bea dan cukai.

Prof. Dr Jeane Neltje Saly, melakukan penelitian pada tahun 2014 tentang efektivitas peraturan terkait pengendalian produk tembakau terhadap kesehatan. Dalam penelitian ini, disimpulkan dua poin, (1) Peraturan perundang-undangan yang mengatur dampak tembakau terhadap kesehatan belum memadai, (2) dilema yang dihadapi pemerintah dalam menjalankan pembangunan. Hal itu antara lain pajak dari produksi tembakau dua kali yaitu bea dan cukai yang sangat menunjang pemerintah dalam pendanaan pembangunan ekonomi, sementara perlindungan kesehatan demi mencapai kesejahteraan rakyat juga merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengeksplanasikan bahwa keberadaan UU Cukai sebagai salah satu faktor menurunnya industri rokok dalam negeri dan mengakibatkan peredaran rokok illegal di Surakarta;

b. Untuk mendeskripsikan peran, fungsi dan wewenang Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Surakarta dalam menangani kasus peredaran rokok illegal; dan

(18)

peredaran rokok illegal. 2. Manfaat Penelitian

2.1 Secara teoritis

Apabila tujuan penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini dapat dicapai, maka penelitian ini diharapkan akan mempunyai kontribusi, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis temuan dalam penelitian ini dapat memberikan kontribusi antara lain sebagai berikut:

1) Memberikan pemahaman bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku bisa memberikan dampak negatif lain bagi masyarakat dan Negara terkait rokok illegal;

2) Memberikan pengertian dan gambaran secara rinci tentang tugas Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Surakarta; dan 3) Memberikan kontribusi terhadap upaya pembangunan model

pencegahan yang ideal untuk menekan peredaran rokok illegal. 2.2 Secara Praktis

(19)

tidak semakin terpuruk dalam perdagangan bebas dengan segala atribut kapitalismenya.

E. Landasan Teori

Untuk mengungkap problematika yang telah diajukan pada bagian perumusan masalah diajukan beberapa teori sebagai unit maupun pisau analisis. Untuk menjawab permasalahan pada rumusan masalah pertama dan kedua menggunakan bekerjanya hukum dalam masyarakat dari Robert B. Seidmann. Dan untuk rumusan masalah ketiga mendasarkan pada konsep ideal tentang hubungan cukai untuk mengendalikan peredaran rokok illegal di Indonesia.

1. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat: Robert B. Seidmann

Manusia tidak dapat hidup sendiri sehingga selalu hidup bersama. Dalam kehidupan bersama itu diperlukan “sesuatu” agar hubungan antar manusia dapat berlangsung lancar.24 Untuk memperlancar hubungan itu manusia memerlukan norma atau kaidah. Secara garis besar norma dapat dibedakan menjadi norma etika dan norma hukum atau hukum.

Basis bekerjanya hukum adalah masyarakat, maka hukum akan dipengaruhi oleh faktor-faktor atau kekuatan sosial mulai dari tahap pembuatan sampai dengan pemberlakuan. Proses menjalankan aturan hukum selain dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di sekelilingnya seperti : adat istiadat, norma agama, kehidupan sosial ekonomi bahkan

24

(20)

politik tetapi juga pengaruh faktor internal yang bersumber dalam diri manusia itu sendiri. Jika suatu aturan telah memenuhi kaidah yuridis dan memasukkan unsur-unsur sosiologis dan filosofisnya tidaklah peraturan tersebut telah berakhir dibuat. Undang-Undang dapat dikatakan berfungsi sejak undang-undang tersebut berlaku efektif dalam masyarakat dan sejak itulah sebenarnya manusia secara individu dapat memaknai dan menafsirkan ke arah mana peraturan atau hukum tersebut ditindaklanjuti baik berupa pola pikir yang terucap dalam lisan maupun tulisan. Philippe Nonet dan Philip Selznick menyebutkan terdapat hubungan hukum dengan variabel lain di luar hukum yang secara realitas mempunyai korelasi yang signifikan. Pengaruh internal yang penulis bicarakan di atas disebut oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick sebagai hubungan hukum dengan tatanan moral.25

Hukum dapat bekerja dan berfungsi tidak sekedar apa yang diharapkan oleh pembuat peraturan hukum, tetapi perlu diteliti pada komponen elemen yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Maksudnya tidak bekerja itu, bisa datangnya dari pembuat peraturan hukum, atau dari para penerap peraturan/pelaksana, atau dari pemangku peran. Selain itu dapat dikaji kendala-kendala eksternal global yang menyebabkan hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seperti ada

25

(21)

tekanan dari pihak luar negeri yang tergabung dalam organisiasi internasional.

(22)

politik, ideologi dan lain-lainn yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.26

2. Konsep Tentang Hubungan Cukai Untuk Mengendalikan Peredaran

Rokok Illegal di Indonesia

Pajak tidak langsung yang dikenakan karena adanya konsumsi atas barang dan jasa, di mana pengenaan pajaknya dilakukan dengan asumsi yang menunjukkan kemampuan seorang untuk membayar. Pajak tidak langsung beban pajaknya dapat digeser ke depan atau ke belakang. Cukai merupakan bagian dari pajak tidak langsung, yang dikenakan pajak karena mengkonsumsi barang-barang tertentu, dimana secara teoritis didasarkan pada asumsi bahwa konsumsi adalah index yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk membayar. Jadi semakin besar kemampuan untuk membayar maka semakin besar kemampuan untuk membeli. Cukai adalah pajak selektif dan umumnya menggunakan ad valorum system atas penjualan eceran. 27

Filosofi dari pajak ini adalah untuk mengurangi atau jika dapat menghilangkan konsumsi atau produksi barang-barang yang dianggap memberi dampak negatif terhadap masyarakat dengan mengenakan sejumlah pungutan untuk mempertinggi harga jual barang tersebut.28

Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan penyumbang cukai terbesar di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi

26 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung:Alumni, 1980, hal 27

27 Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak Perusahaan dan Bisnis Dengan Pelaksanaan

Hukum, Kompas Gramedia, Jakarta, 2010, hal 196

(23)

Indonesia.29 Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia. Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik dan produk-produk tembakau lainnya,30

Berdasarkan data yang diterbitkan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Southeast Asia Tobacco Control Alliance, dan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Indonesia bahkan menduduki urutan ketiga dengan jumlah perokok terbanyak di dunia setelah Cina dan India. Pada 2012, diperkirakan terdapat 62,3 juta perokok di Indonesia. Meningkat dari 2011 dengan jumlah perokok sebanyak 61,4 juta perokok.31

Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, tingkat cukai rokok di Indonesia berada di posisi ke dua terendah (37%), hanya lebih tinggi dari Kamboja (20%). Tingkat cukai rokok tertinggi di ASEAN terjadi di Singapura (74%) dan Thailand (70%). Tingkat cukai rokok di kedua negara tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi WHO bahwa tingkat cukai rokok haruslah lebih dari 2 per 3 dari harga ecerannya. Oleh karena amanat UU No. 39 Tahun 2007 dimana tingkat cukai rokok maksimal 57% maka tingkat cukai rokok di Indonesia masih memiliki banyak ruang untuk ditingkatkan ke kondisi yang maksimal.

29 Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”,

http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2. diakses pada 26 Agustus 2015.

30 ”Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com

/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/EkonomicTobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 26 Agustus 2015.

31 Perokok Indonesia Terbanya se Asia Tenggara,

(24)
[image:24.595.134.491.170.407.2]

Tabel 05.

Tingkat Cukai Rokok dan Harga Rokok Lokal di Beberapa Negara, Tobacco Atlas 2009

No Negara

Tingkat Cukai Rokok (%)

Terhadap HJE

Harga Rokok Lokal (US$ per Bungkus)

1 Singapura 73,76 6,71

2 Thailand 69,54 1,34

3 Selandia Baru 69,1 7,08

4 Korea Selatan 63,09 2,15

5 Jepang 63 2,64

6 Australia 62,09 7,41

7 Malaysia 49 1,86

8 Filipina 47,5 0,57

9 Laos 45,04 0,46

10 Vietnam 45 0,7

11 Cina 37,5 1,7

12 Indonesia 37 1,24

13 Kamboja 19,8 0,85

Salah satu cara yang dibuat oleh WHO (World Health Organization) untuk mencegah/menekan jumlah perokok adalah dengan cara membuat sebuah konvensi atau perjanjian dalam bentuk hukum internasional untuk pengendalian masalah tembakau yang dinamakan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Konvensi mengenai Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, merupakan traktat internasional pertama yang dibahas dalam forum Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO, World Health Organization) yang berisi seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum menandatangani dan meratifikasi FCTC tersebut.

(25)

akan melalui tahapan-tahapan kegiatan sehingga dapat dicapai masyarakat merokok tetapi sehat, mampu menampung lapangan kerja, dan dapat menyumbang penerimaan negara khususnya melalui cukai. Rokok-rokok ilegal akan memperoleh prioritas penanganannya, selain memperbaiki struktur industri. Kebijakan cukai dinilai masih terlalu rumit sehingga ke depan perlu disederhanakan. Ijin-ijin perusahaan baru perlu dibatasi dan diperlukan pengawasan yang efektif, khususnya untuk menghasilkan rokok dengan kandungan bahan berbahaya yang rendah kandungan tar, nikotin, dan bahan-bahan berbahaya yang lain akan mendapat prioritas dalam penanganannya.32

Rincian jangka waktu untuk mencapai tujuan tersebut di atas adalah sebagai berikut:33

 2007–2010: Urutan prioritas pada aspek keseimbangan tenaga

kerja dengan penerimaan negara dan kesehatan masyarakat.

 2010–2015: Urutan prioritas pada aspek penerimaan negara,

kesehatan masyarakat, dan tenaga kerja

 2010–2020: Prioritas pada aspek kesehatan masyarakat melebihi

aspek tenaga kerja dan penerimaan negara.

Pada tahun 2020 diharapkan pemerintah tidak lagi mempertimbangkan penerimaan Negara melalui cukai, pajak, dan lain-lain

32 Imam Haryono, Road Map 20072020 Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai

(Departemen: Perindustrian, Perdagangan, Keuangan, Kesehatan,Pertanian,Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Gappri, dan Gaprindo) Direktorat Minuman dan Tembakau, Departemen Perindustrian, artikel, hal 70 - 71

(26)

serta penyerapan tenaga kerja sebagai prioritas, tetapi akan lebih mengedepankan aspek perlindungan masyarakat dari dampak negatif IHT.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

a. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di wilayah Surakarta. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive, yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan, yaitu : pertama, karena di daerah ini bukan merupakan tempat industri rokok kategori besar. Kedua, peredaran rokok di Surakarta cukup tinggi.

b.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengeksplanasikan bahwa keberadaan UU Cukai sebagai salah satu faktor menurunnya industri rokok dalam negeri dan mengakibatkan peredaran rokok illegal di Surakarta;

2. Untuk mendeskripsikan peran, fungsi dan wewenang Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Surakarta dalam menangani kasus peredaran rokok illegal;

3. Untuk mengeksplorasi model pencegahan yang ideal untuk menekan peredaran rokok illegal.

c. Pendekatan

(27)

dalam penelitian ini, hukum tidak hanya dikonsepkan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam masyarakat.

Dengan demikian di dalam penelitian ini akan dicoba dilihat keterkaitan antara faktor hukum dengan faktor-faktor ekstra legal yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

d.Jenis Data

Penelitian ini membutuhkan dua jenis data yang berasal dari dua sember yang berbeda, yaitu :

a. Data Primer

Yaitu data-data yang berasal dari sumber data utama, yang berwujud tindakan-tindakan sosial dan kata-kata,34 dari pihak-pihak yang terlibat dengan objek yang diteliti (sesuaikan dengan objek masing-masing).

Adapun data-data primer ini akan diperoleh melalui para informan dan situasi sosial tertentu, yang dipilih secara purposive, dengan menentukan informan dan situasi sosial awal terlebih dahulu.35

Wawancara dan observasi tersebut akan dihentikan apabila dipandang tidak lagi memunculkan varian informasi dari setiap penambahan sampel yang dilakukan. 36

34 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Offset,

Bandung, hal. 112

(28)

b. Data Sekunder

Yaitu data yang berasal dari bahan-bahan pustaka, baik yang meliputi :

1) Dokumen-dokumen tertulis, yang bersumber dari peraturan perundang-undangan (hukum positif Indonesia), artikel ilmiah, buku-buku literatur, dokumen-dokumen resmi, arsip dan publikasi dari lembaga-lembaga yang terkait;

2) Dokumen-dokumen yang bersumber dari data-data statistik, baik yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah, maupun oleh perusahaan, yang terkait denga fokus permasalahannya.

e. Metode Analisis

Data yang telah terkumpul dan telah diolah akan dibahas dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yang dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka dalam penelitian ini analisis akan dilakukan dengan metode analisis secara kualitatif. Dalam hal ini analisis akan dilakukan secara berurutan antara metode analisis domain, analisis taksonomis, dan analisis komponensial. Penggunaan metode-metode tersebut akan dilakukan dalam bentuk tahapan-tahapan sebagai berikut : 1) Pertama akan dilakukan analisis domain, dimana dalam tahap

ini peneliti akan berusaha memperoleh gambaran yang

(29)

bersifat menyeluruh tentang apa yang yang tercakup di suatu pokok permasalahan yang diteliti. Hasilnya yang akan diperoleh masih berupa pengetahuan ditingkat permukaan tentang berbagai domain atau kategori-kategori konseptual. 2) Bertolak dari hasil analisis domain tersebut di atas, lalu akan

dilakukan analisis taksonomi untuk memfokuskan penelitian pada domain tertentu yang berguna dalam upaya mendiskripsikan atau menjelaskan fenomena yang menjadi sasaran semula penelitian. Hal ini dilakukan dengan mencari struktur internal masing-masing domain dengan mengorganisasikan atau menghimpun elemen-elemen yang berkesamaan di suatu domain.

(30)

4) Tahap terakhir dari analisis data ini adalah dengan mengadakan pemeriksaan keabsahan data, dengan tujuan untuk mengecek keandalan dan keakuratan data, yang dilakukan melalui dua cara, yaitu : pertama, dengan menggunakan teknik triangulasi data, terutama triangulasi sumber, yang dilakukan dengan jalan :

(a) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara;

(b) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi;

(c) membandingkan keadaan dan perspektif dengan berbagai pendapat yang berbeda stratifikasi sosialnya; (d) membanding hasil wawancara dengan isi suatu dokumen

yang berkaitan; Kedua, pemeriksaan sejawat melalui diskusi analitik.

(31)

kenyataan kemasyarakatannya.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan pendekatan non-doktrinal yang kualitatif. Hal ini disebabkan di dalam penelitian ini, hukum tidak hanya dikonsepkan sebagi keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam masyarakat.

Dengan demikian di dalam penelitian ini akan dicoba dilihat keterkaitan antara faktor hukum dengan faktor-faktor ekstra legal yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup kemungkinan pada taraf tertentu juga akan mengeksplanasikan/memahami) tentang berbagai hal yang terkait dengan objek yang diteliti, yaitu (1) hubungan antara keberadaan UU Cukai dengan maraknya rokok illegal (2) tugas, peran, fungsi dan wewenang Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Surakarta dan (3) memberikan model peraturan tentang cukai dan tembakau dalam hubungannya dengan pemerintah pusat dan daerah.

3. Sumber Data

(32)

kepustakaan, yang dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Pada tahap awal, di samping akan dilakukan studi kepustakaan, yang dilakukan dengan cara cara, mencari, mengiventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, dan data-data sekunder yang lain, yang berkaitan dengan fokus permasalahannya,

b. Lalu akan dilakukan wawancara secara intensif dan mendalam terhadap para informan, dan dan observasi tidak terstruktur, yang ditujukan terhadap beberapa orang informan dan berbagai situasi.

Kedua cara yang dilakukan secara simultan ini dilakukan, dengan maksud untuk memperoleh gambaran yang lebih terperinci dan mendalam, tentang apa yang tercakup di dalam berbagai permasalahan yang telah ditetapkan terbatas pada satu fokus permasalahan tertentu, dengan cara mencari kesamaan-kesamaan elemen, yang ada dalam masing-masing bagian dari fokus permasalahan tertentu, yang kemudian dilanjutkan dengan mencari perbedaan-perbedaan elemen yang ada dalam masing-masing bagian dari fokus permasalahan tertentu.

4. Metode Penentuan Subjek

(33)

dilakukan secara sengaja untuk memilih individu-individu tertentu yang mempunyai informasi banyak mengenai hal yang sedang diteliti.37

Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik snowball, yaitu memilih unit-unit yang mempunyai karakteristik langka dan unit-unit tambahan yang ditunjukkan oleh responden sebelumnya, misalnya responden pertama menunjuk temannya kemudian teman tersebut menunjuk lagi ke teman lainnya dan seterusnya.38

5. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan membaca, mempelajari, dan menganalisis berbagai data sekunder yang berkaitan dengan obyek penelitian

b. Wawancara

Yaitu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan tanya jawab secara langsung antara penulis dengan pihak yang dipandang mengerti dan memahami objek yang diteliti yaitu dengan para pejabat dan masyarakat sekitar hutan.

6. Teknik Analisis Data

Teknik yang akan dilakukan menggunakan analisis taksonomi,

37 Jonathan sarwono, Mixed Metods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan Riset

Kualitatif Secara Benar, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, Hal 81

(34)

dengan tujuan untuk memfokuskan penelitian pada domain tertentu yang berguna dalam upaya mendiskripsikan atau menjelaskan fenomena yang menjadi sasaran semula penelitian. Hal ini dilakukan dengan mencari struktur internal masing-masing domain dengan mengorganisasikan atau menghimpun elemen-elemen yang berkesamaan di suatu domain.

Gambar

Tabel 01. Perkembangan Cukai Tembakau di Indonesia, 2000
Tabel 02.  Perkembangan Cukai Tembakau di Indonesia, 2007
Tabel 04. Produksi Rokok dan Hasil Cukai Nasional Tahun 2009
Tabel 05. Tingkat Cukai Rokok dan Harga Rokok Lokal di Beberapa Negara, Tobacco

Referensi

Dokumen terkait

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup kemungkinan pada taraf tertentu juga

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup kemungkinan pada taraf tertentu juga

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup kemungkinan pada taraf tertentu juga

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup kemungkinan pada taraf tertentu juga

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup.. kemungkinan pada taraf tertentu juga

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup kemungkinan pada taraf tertentu juga

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup kemungkinan pada taraf tertentu juga akan

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup kemungkinan pada taraf tertentu juga