ANALISA HUKUM MENGENAI KETENTUAN
PERDAGANGAN REGIONAL DALAM KERANGKA WTO
(STUDI TERHADAP KESEPAKATAN AFTA-CHINA)
TESIS
Oleh
HALIMATUL MARYANI
097005051
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISA HUKUM MENGENAI KETENTUAN PERDAGANGAN
REGIONAL DALAM KERANGKA WTO
(STUDI TERHADAP KESEPAKATAN AFTA-CHINA)
TESIS
Diajukan untuk memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HALIMATUL MARYANI
097005051/HK
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JUDUL TESIS : ANALISA HUKUM MENGENAI KETENTUAN PERDAGANGAN REGIONAL DALAM
KERANGKA WTO
(STUDI TERHADAP KESEPAKATAN AFTA-CHINA)
Nama Mahasiswa : Halimatul Maryani
Nomor Pokok : 097005051
Program Studi : Ilmu hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) Ketua
(Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH,CN,M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)
Telah diuji pada Tanggal 6 Juli 2011
____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA: Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH
Anggota: 1. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH,CN,M.Hum
3. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum
ABSTRAK
Pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan pembentukan perdagangan dunia dan telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota, dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep ini dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi yang maknanya ialah universal dan mencakup bidang yang sangat luas. Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas “Free Trade Agreement” regional, sebenarnya ada sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada dalam kerangka regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak berjalan dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan langsung dan memajukan pertumbuhan ekonomi regional, dimana saat ini perdagangan secara regional lebih maju dan berkembang. Pembentukan perdagangan regional ini deperbolehkan berdasarkan Pasal 24 GATT.
Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Adam Smith yang melahirkan teori keadilan dengan tujuan untuk melindungi dari kerugian dalam transaksi perdagangan dan individu bebas mengejar kepentingannya sendiri, kemudian dikembangkan oleh Jhon Meynard Keynes tetap perlu campur tangan pemerintah, serta didukung oleh Jhon Rawls bahwa keadilan sebagai suatu kejujuran dan kesetaraan ( justice as fairness) dengan penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian deskriftif analitis dengan data skunder meliputi bahan hukum primer, skunder dan tertier. Bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis secara kualitatif.
Sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), pada Framework Agreement on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian Nation and The People’s Republic of China (Asean-China) yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Megawati) pada tanggal 4 Novenber 2002 di Phnom Penh, Kamboja, juga telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, dengan UU.No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam kerangka ACFTA tetap sama dengan prinsip-prinsip yang ada dalam kerangka WTO seperti Most Favoured Nation, National treatment, larangan restriksi kuantitatif, perlindungan melalui tarif, taranparansi juga prinsip saling melengkapi, solidaritas, kerjasama dan penghormatan terhadap kedaulatan negara. Sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa tetap mengacu kepada ketentuan WTO Disputes Settlement Understanding (DSU), untuk sengketa ACFTA dapat diselesaikan melalui Disputes Settlement Mechamisme (DSM) ACFTA.
ABSRACT
The establishment of World Trade Organization (WTO) through Law No.7/1994 on Legalization of Trade Establishment has spread the concept of trade liberalization to the world especially its country members where the basic concept of trade liberalization is the elimination of constraints in international trade. In its implementation, this concept froms a globalization which means universal and includes a very big field. In relation to the agreement or understanding in a regional Free Trade Agreement, there is multilateral system (WTO) which is much better than the existing systems in regional level. Yet, the problem is that the multilateral system in the framework of WTO gets stuck and cannot function well that the country members begin to establish regional trade blocks such as ASEAN, AFTA, including, ACFTA to obtain a direct benefit and develop their regional economic growth where regional trade is currently making more progress and developing. The establishment of this regional trade is allowed based on Article 24 of GATT.
The theory used in this analytical descriptive study with normative juridical approach was the theory developed by Adam Smith focusing on theory of justice for self protection from the loss inflicted in a free individual trade transaction after vested interest. This theory was then developed by John Meynard Keynes saying government`s intervention is still needed. This theory was supported by John Rawls who focused on justice and equality (justice as fairness). The data for this study include primary, secondary and tertiary legal materials which were obtained through library research. The data obtained were qualitatively analyzed.
Since January 1, 2010, China has joint the Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) in the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association of South East Asian Nation and the People`s Republic of China (Asean – China) signed by the President of Republic of Indonesia (Megawati) on November 4, 2002 in Phnom Penh, Cambodia, and has also been ratified through Presidential decree No.48/2004 and Law No.24/2000 on International Agreement.
The principles found in the Framework of ACFTA remains the same as those in the framework of WTO such as Most Favorite Nation, National Treatment, prohibition of quantitative restriction, tariff-based protection, transparency, also the principle of mutual achievement, solidarity, cooperation and respect to national sovereignty. The system and mechanism of dispute settlement still refer to the stipulations of WTO Disputes Settlement Understanding (DSU), for the disputes occurred within ACFTA can be settled through Disputes Settlement Mechanism (DSM) ACFTA:
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Syukur Alhamdulilah ke hadirat Ilahi Robbi, yang dengan ridho dan izin-Nya
penulis dapat menyusun tesis ini, walaupun begitu banyak cobaan dan rintangan yang
penulis alami selama proses penyusunan tesis ini, namun dengan dukungan dan
motivasi dari semua pihak serta semangat yang penulis miliki, akhirnya penulis
berhasil menyelesaikan tesis ini dengan judul: “ANALISA HUKUM MENGENAI
KETENTUAN PERDAGANGAN REGIONAL DALAM KERANGKA WTO
(STUDI TERHADAP KESEPAKATAN AFTA-CHINA)”.
Sholawat dan salam atas junjungan Nabi besar MUHAMMAD Rasulullah
SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang
benderang yang disinari dengan iman dan taqwa serta penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Tujuan penyusunan tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara. Maka dalam tesis ini penulis juga menyadari tentunya masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan dikarenakan keterbatasan dan kemampuan yang penulis
miliki, untuk itu dengan senang hati penulis sangat mengharapkan saran-saran,
walaupun tidak sempurna sampai seratus persen, akan tetapi diharapkan mendekati
sempurna.
Dalam kesempatan ini sudah selayaknya penulis menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih tersebut penulis sampaikan
kepada:
1. Prof. Dr.dr. Syahrin Pasaribu DTM&H, M.Sc (CTM).Sp.A (K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen pembimbing I penulis,
walaupun ditengah-tengah kesibukannya, beliau tetap memberikan bimbingan
dan arahan dalam penyusunan tesis penulis ini.
4. Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum, selaku Seketaris Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara, juga sekaligus sebagai Dosen
Pembimbing II penulis yang dalam kesibukannya beliau tetap sabar
memberikan arahan, bimbingan serta motivasi kepada penulis untuk terfokus
dalam menulis judul yang diangkat sampai pada akhirnya penulis dapat
5. Dr. T. Keizerina Devi. A, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen pembimbing III
yang juga memberikan arahan dan sumbangan pemikiran kepada penulis guna
menyelesaikan tesis ini.
6. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Dosen penguji yang telah memberikan
banyak masukan dan sumbangan pemikiran dalam menyesaikan tesis ini.
7. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
sumbangan pemikiran, keritik, saran dalam penulisan tesis ini.
8. Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (dikti) yang telah
memberikan beasiswa BPPS untuk penulis selama menjalani pendidikan di
program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf pengajar/ dosen selaku
pendidik, staf pegawai dan seluruh citivitas akademisi Universitas Sumatera Utara,
serta teman-teman se almamater, kelas Reguler B angkatan 2009, kelas bisbis yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan, sumbangan pemikiran dan
motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih yang tidak dapat terhingga atas ketulusan, keikhlasan, kasih
sayang, serta doa dan dukungan penuh baik moril maupun materil buat Ayahanda
tercinta Nurdin Ritonga dan Ibunda Rusmaini Daulay, tidak lupa buat ayah dan ibu
mertua penulis Syaharuddin Siregar dan Ida Mawarni, juga dorongan semangat serta
perhatian yang tulus serta kerelaan, dukungan dan doa dari suami tercinta dan
Muhammad Rifqi Siregar dan Siti Dzakirah Siregar, diusiamu yang belia (3 tahun 9
bulan dan 1 tahun 11 bulan) adalah kunci semangat dan motivasi bagi mamak nak,
ketika mamak capek, letih. Engkau buah hatiku sebagai pengobat semua itu dengan
melihat dan mendengar tawa canda serta tangismu, mamak harapkan semua
perjuangan mamak ini menjadi motivasi bagi anak-anakku kelak dewasa mengerti
apa itu kehidupan dengan keterbatasan ekonomi yang mamak hadapi saat menjalani
pendidikan. Insya Allah mamak jalani dengan penuh kesabaran, keikhlasan, kejujuran
serta selalu bersyukur dengan keyakinan fokus dan tawakkal pada Allah,
Alhamdulillah mamak beasiswa dari dikti. Semoga anak-anakku kelak menjadi
Sukses. Amin.
Terima kasih juga buat adik-adikku, Rito, Dayani, Rafiqah, Fajri, Adli, (almh
Adawiyah), Abdul Halim, dan Fakih Muwahid, Incek H.Drs. Masyhuril Khomis, SH
dan Unden Cut Nia Helfira, Incek Zainuddin Dly, Spd, dan unden Ros, Ibu Dra.
Nursyam dan pak Syahnan,SH, unden Pesah, Bapak Dr. Amarullah Naution, adinda
Johan Agustian, SH serta seluruh kelurga Lainnya yang mohon maaf penulis tidak
dapat menyebutkan namanya satu persatu.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Rektor
Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah Medan Ibu Prof. Hj. Sri Sulistyawati,
SH, M.Si, Ph.D yang telah memberikan izin belajar kepada penulis serta seluruh
citivitas akademisi Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah Medan yang juga
ucapan selamat kepada Bapak Drs. H. Kondar Siregar, M.A selaku Rektor baru
Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah Medan, semoga UMN maju untuk masa
yang akan datang.
Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak dan semua ilmu yang
diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa dan agama. Amin.
Medan, Juni 2011
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Halimatul Maryani, Agama Islam, perempuan, menikah, lahir di Bagan Bilah
(Rantau Prapat) pada tanggal 20 Agustus 1978, adalah anak pertama dari sembilan
bersaudara pasangan dari Bapak Nurdin Ritonga dan Ibu Rusmaini Daulay. Istri dari
Ahmad Nauli Siregar ST, saat penyusunan tesis ini mempunyai dua orang anak
Muhammad Rifqi Siregar (umur 3 tahun 9 bulan) dan Siti Dzakirah Siregar (umur 1
tahun 11 bulan). Pekerjaan Ibu Rumah Tangga dan Dosen Yayasan Pada Universitas
Muslim Nusantara Medan.
Riwayat Pendidikan:
Tahun 1986-1992 SD Negeri Nomor 118165 Bagan Bilah Rantau Prapat, lulus dengan berijazah.
Tahun 1992-1995 Madrasah Tsanawiyah Swasta Pondok Pesantren Al-ma’shum Rantau Prapat lulus dengan berijazah.
Tahun 1995-1998 Madrasah Aliyah Swasta Pondok Pesantren Darul Falah Langga Payung lulus dengan berijazah.
Tahun 1998-2003 Kuliah di Perguruan Tinggi dan menyelesaikan pendidikan sarjana S1 (Strata 1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara lulus
dengan berijazah.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR SINGKATAN ... ix
DAFTAR TABEL ... x
BAB I: PENDAHULUAN... 1
A. Latar belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 16
1. Kerangka Teori... 16
2. Konsepsi... 25
G. Metode Penelitian ... 28
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 29
2. Sumber Data... 30
3. Teknik Pengumpulan Data... 32
4. Analisis Data ... 32
BAB II: PENGATURAN KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DALAM KERANGKA WTO ... 33
A. Gambaran Umum Perdagangan Regional... 33
1. Pengertian Kesepakatan Regional... 33
a. Bagi Negara Anggota... 42
b. Bagi Negara Non Anggota ... 43
B. Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional Dalam WTO.... 44
C. Common Efective Preferential Tariff (CEPT) ... 50
D. Perkembangan Tentang Pengaturan Perdagangan Bebas Dalam Kerangka AFTA... 54
E. Dasar Hukum Perdagangan Bebas ACFTA... 58
BAB: III PRINSIP-PRINSIP PENGATURAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA ACFTA ... 65
A. Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Dalam WTO ... 65
B. Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Dalam AFTA ... 69
C. Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Dalam ACFTA ... 71
D. Perlindungan Industri Dalam Negeri Hadapi ACFTA... 75
E. Perlunya Unifikasi Dan Harmonisasi Hukum Dalam ACFTA ... 91
BAB:IV PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN BEBAS ACFTA ... 98
A. Sistem Penyelesaian Sengketa ACFTA ... 98
1.Pengertian Sengketa ... 98
2. Sifat Penyelesaian Sengketa... 100
B. Prinsip Penyelesaian Sengketa ACFTA ... 105
C. Forum Penyelesaian Sengketa ACFTA ... 109
D. Prosedur Penyelesaian Sengketa ACFTA... 115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124
A. Kesimpulan ... 124
B. Saran... 127
DAFTAR SINGKATAN
ACFTA : ASEAN China Free Trade Agreement
AFTA : ASEAN Free Trade Area
ASEAN : Association of South East Asian Nations
APEC : Asia Fasific Ekonomi Cooperation
CEPT : Common Efective Preferential Tariff
CACM : Central America Common Market
DSM : Disputes Settlement Mechanisme
DSU : Disputes Settlement Understanding
GATT : General Agreement on Tariffs and Trade
GSP : General System Preference
ICC : International Chammer of Commerce
ILA : International Law Association
UMKM : Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah
UNICITRAL : United National on International Trade Law
UNIDROIT : The International Institusi for the Unification of Privat
Law
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1: Beberapa PTA Regional di Dunia……….…. 41
Tabel 2: Klasifikasi Produk CEPT... 53
Tabel 3: Neraca Perdagangan Internasional-China Periode
2003- 2009 (Juta USD)………... 85
Tabel 4: Global Competitiveness Report 2009-2010………... 88
Tabel 5: Presentase Faktor Penghambat Terbesar bisnis China
vs Indonesia (2009-2010)………. 89
ABSTRAK
Pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan pembentukan perdagangan dunia dan telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota, dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep ini dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi yang maknanya ialah universal dan mencakup bidang yang sangat luas. Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas “Free Trade Agreement” regional, sebenarnya ada sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada dalam kerangka regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak berjalan dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan langsung dan memajukan pertumbuhan ekonomi regional, dimana saat ini perdagangan secara regional lebih maju dan berkembang. Pembentukan perdagangan regional ini deperbolehkan berdasarkan Pasal 24 GATT.
Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Adam Smith yang melahirkan teori keadilan dengan tujuan untuk melindungi dari kerugian dalam transaksi perdagangan dan individu bebas mengejar kepentingannya sendiri, kemudian dikembangkan oleh Jhon Meynard Keynes tetap perlu campur tangan pemerintah, serta didukung oleh Jhon Rawls bahwa keadilan sebagai suatu kejujuran dan kesetaraan ( justice as fairness) dengan penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian deskriftif analitis dengan data skunder meliputi bahan hukum primer, skunder dan tertier. Bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis secara kualitatif.
Sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), pada Framework Agreement on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian Nation and The People’s Republic of China (Asean-China) yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Megawati) pada tanggal 4 Novenber 2002 di Phnom Penh, Kamboja, juga telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, dengan UU.No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam kerangka ACFTA tetap sama dengan prinsip-prinsip yang ada dalam kerangka WTO seperti Most Favoured Nation, National treatment, larangan restriksi kuantitatif, perlindungan melalui tarif, taranparansi juga prinsip saling melengkapi, solidaritas, kerjasama dan penghormatan terhadap kedaulatan negara. Sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa tetap mengacu kepada ketentuan WTO Disputes Settlement Understanding (DSU), untuk sengketa ACFTA dapat diselesaikan melalui Disputes Settlement Mechamisme (DSM) ACFTA.
ABSRACT
The establishment of World Trade Organization (WTO) through Law No.7/1994 on Legalization of Trade Establishment has spread the concept of trade liberalization to the world especially its country members where the basic concept of trade liberalization is the elimination of constraints in international trade. In its implementation, this concept froms a globalization which means universal and includes a very big field. In relation to the agreement or understanding in a regional Free Trade Agreement, there is multilateral system (WTO) which is much better than the existing systems in regional level. Yet, the problem is that the multilateral system in the framework of WTO gets stuck and cannot function well that the country members begin to establish regional trade blocks such as ASEAN, AFTA, including, ACFTA to obtain a direct benefit and develop their regional economic growth where regional trade is currently making more progress and developing. The establishment of this regional trade is allowed based on Article 24 of GATT.
The theory used in this analytical descriptive study with normative juridical approach was the theory developed by Adam Smith focusing on theory of justice for self protection from the loss inflicted in a free individual trade transaction after vested interest. This theory was then developed by John Meynard Keynes saying government`s intervention is still needed. This theory was supported by John Rawls who focused on justice and equality (justice as fairness). The data for this study include primary, secondary and tertiary legal materials which were obtained through library research. The data obtained were qualitatively analyzed.
Since January 1, 2010, China has joint the Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) in the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association of South East Asian Nation and the People`s Republic of China (Asean – China) signed by the President of Republic of Indonesia (Megawati) on November 4, 2002 in Phnom Penh, Cambodia, and has also been ratified through Presidential decree No.48/2004 and Law No.24/2000 on International Agreement.
The principles found in the Framework of ACFTA remains the same as those in the framework of WTO such as Most Favorite Nation, National Treatment, prohibition of quantitative restriction, tariff-based protection, transparency, also the principle of mutual achievement, solidarity, cooperation and respect to national sovereignty. The system and mechanism of dispute settlement still refer to the stipulations of WTO Disputes Settlement Understanding (DSU), for the disputes occurred within ACFTA can be settled through Disputes Settlement Mechanism (DSM) ACFTA:
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan World Trade Organization (WTO) telah memberikan konsep
liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota,
dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan
dalam perdagangan internasional. Konsep ini dalam pelaksanaannya membentuk
globalisasi1, yang maknanya ialah universal dan mencakup bidang yang sangat luas.
Dari segi ekonomi dan perdagangan globalisasi sudah terjadi pada saat mulainya
perdagangan rempah-rempah, kemudian tanam paksa di Jawa, sampai tumbuhnya
perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda, dan pada saat itu globalisasi lahir dengan
kekerasan dalam alam kolonialisme. Pada masa kini globalisasi ekonomi dan
perdagangan dilakukan dengan jalan damai melalui perundingan dan perjanjian
internasional yang melahirkan aturan perdagangan bebas serta memfokuskan
pengembangan pasar bebas terbuka.2
Percepatan proses globalisasi dalam dua dekade terakhir ini secara
fundamental telah mengubah struktur dan pola hubungan perdagangan dan keuangan
internasional. Hal ini menjadi fenomena penting sekaligus merupakan suatu “era
1
Eko Prilianto Sudradjat, Free Trade (Perdagangan Bebas) dan Fair Trade ( Perdagangan berkeadilan) Dalam Konsep Hukum, http:// Whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html, diakses pada tanggal 18 Maret 2011.
2
baru” yang ditandai dengan adanya pertumbuhan perdagangan internasional yang
tinggi,3 artinya Indonesia telah menjalankan dan melaksanakan rezim perdagangan
bebas (era globalisasi). Dalam era globalisasi perdagangan bebas merupakan hal yang
sering diperbincangkan karena diharapkan membawa perubahan penting bagi dunia.
Untuk mencapai kondisi perdagangan bebas perlu cukup waktu, sebab
konsekuensi yang ditimbulkan tidak sedikit. Penghapusan hambatan perdagangan
internasional disatu sisi dapat membawa kebaikan, misalnya perdagangan bebas
memungkinkan arus masuk produk import lebih melaju, banyak beragam sehingga
menambah pilihan bagi konsumen. Proses kearah perdagangan bebas ini disebut
dengan liberalisasi perdagangan atau trade liberalization 4.
Namun disisi lain juga dapat membawa kejelekan dan diharapkan tidak akan
terjadi seperti,5 apabila pemerintah membebaskan pajak impor hingga 0 % (nol
persen), maka Indonesia tidak mendapat keuntungan dari produk impor, akan terjadi
defisit perdagangan, perdagangan bebas akan mengganggu pasar domestik dan
mengancam barang produksi dalam negeri, produksi Indonesia akan berkurang
dikarenakan produk impor membanjiri Indonesia, pemutusan hubungan kerja akibat
pengurangan produksi dari perusahaan, gulung tikar terhadap pengusaha lokal
3
Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2009), hal. 1.
4
Ida susanti dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam melaksanakan perdagangan Bebas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 5.
5
kemungkinan terjadi, termasuk Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah (UMKM)
karena produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor, masyarakat
Indonesia akan menjadi masyarakat konsumtif karena dibanjiri barang-barang impor
dengan relatif murah.
Perkembangan perdagangan yang semakin kompleks menuntut adanya sebuah
aturan atau hukum yang berbentuk tertulis dan berlaku secara universal. Hukum
adalah merupakan suatu kaidah sekaligus sebagai rujukan yang harus dipatuhi bagi
masyarakat internasional dalam hal melakukan kegiatan ekonomi (perdagangan)
untuk mengembangkan dan memperkuat struktur dan daya saing industri, khususnya
dalam business to business, baik secara bilateral dan regional sampai pada tingkat
internasional.
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) lahir dengan tujuan untuk
membuat suatu unifikasi hukum dibidang perdagangan internasional. Meskipun pada
awalnya masyarakat internasional ingin membentuk sebuah organisasi perdagangan
internasional di bawah PBB, namun dengan adanya penolakan dari Amerika Serikat,
maka negara peserta GATT membuat kesepakatan agar perjanjian dalam GATT
ditaati oleh para pihak yang menandatanganinya. Beragam kelemahan yang terdapat
dalam GATT kemudian diperbaiki melalui beberapa pertemuan. Salah satu
putaran tersebut dicapai kesepakatan untuk membentuk sebuah lembaga perdagangan
internasional World Trade Organization (WTO).6
Hal kongkrit yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tepatnya pada tahun
1994 dengan meratifikasi Agreement On Establishing the World Trade Organization
(WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia7. Manfaat yang diharapkan
dari integrasi perekonomian yang ada di Indonesia ke perekonomian dunia secara
global melalui keikutsertaan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO salah satunya
adalah terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, sehingga
perekonomian Indonesia akan meningkat lebih baik bagi kepentingan nasional,
khususnya dalam menghadapi mitra dagang melalui hubungan regional.
Dengan adanya WTO, maka sistem yang telah menjadi kompleks akibat
perluasan yang dihasilkan Uruguay Round dapat ditempatkan dalam satu payung
dengan suatu organisasi yang lebih baik, sehingga kegiatan GATT versi baru ini akan
menuntut penanganan lebih kontinyu dan intensif di kalangan negara anggota.
Perjanjian Uruguay Round juga mengubah status organisasi GATT menjadi WTO
6
Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO,
http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/01/perjanjian-perdagangan-regional-rta-dalam-kerangka-world-trade-organization-wto-sudy, terakhir diakses pada hari senin tanggal 18 April 2011
7
sebagai organisasi internasional sepenuhnya, dan Final Act merumuskan
dibentuknya WTO sebagai organisasi internasional.8
Kerangka institusi WTO merupakan alat untuk menerapkan single
undertaking approach terhadap seluruh hasil Putaran Uruguay. Maka seluruh anggota
WTO harus menerima hasil Putaran Uruguay tanpa kecuali. Menurut perjanjian,
secara operasional WTO mempunyai 5 fungsi utama yaitu:9
1. Mempermudah penerapan, pengadministrasian dan pengoperasian perjanjian-perjanjian yang ada dan mengikat semua pihak serta juga menyediakan kerangka untuk menerapkan, mengadministrasikan dan mengoperasikan Plurilateral Trade Agreements atau PTAs yang hanya mengikat pihak yang menyatakan turut serta.
2. Menyediakan forum negosiasi mengenai hubungan perdagangan bagi anggotanya.
3. Melaksanakan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute.
4. Melaksanakan Trade Policy Review Mechanism.
5. Melakukan kerja sama dengan organisasi internasional lainnya terutama IMF dan Bank Dunia (IBRD) berserta lembaga-lembaganya.
Berdasarkan fungsi tersebut, WTO merupakan payung yang menawungi
berbagai jenis kesepakatan atau persetujuan yang mengatur tentang perdagangan dan
keikutsertaan suatu negara sebagai anggota WTO menimbulkan konsekwensi hukum
yang otomatis mengikat, bahkan disertai dengan sarana penerapan sanksi-sanksi bagi
pelanggaran terhadap aturannya. WTO juga adalah kerangka hukum sebagai
kesepakatan internasional, dan dijadikan sebagai acuan dalam setiap tindakan para
8
H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI Press, 1997), hal. 299.
9
pelaku bisnis dan kebijakan pemerintah yang salah satu diantaranya berkaitan
khususnya dengan penanaman modal asing disamping hal-hal lain yang berkaitan
dengan transaksi perdagangan internasional.
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat internasional yang turut
meratifikasi kerangka WTO ini, dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan
yang dimuat dalam kesepakatan tersebut. Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar,
harus menyesuaikan peraturan perundang-undangannya, dengan kerangka WTO,
khususnya dalam kaitannya dengan bidang yang diatur dalam WTO,10 adalah murni
multilateral. Kelahiran WTO menandakan adanya usaha dari negara-negara untuk
melembagakan ketentuan-ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah
disepakati dalam GATT. Upaya tersebut membuktikan keinginan dunia internasional
untuk membuat unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional dengan
prinsip yang menganut pada liberalisasi perdagangan dan kompetisi yang bebas.
Upaya untuk melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan
internasional yang dilakukan oleh WTO ternyata mengalami kesulitan untuk
mencapai kesepakatan multilateral. Hal ini disebabkan karena terlalu banyaknya
negara yang menjadi anggota dan tentunya anggota tersebut semua harus setuju.
Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral
sebenarnya sudah diambil jalan tengahnya dalam ketentuan Pasal 24 GATT tentang
10
diperbolehkannya pembentukan kerjasama-kerjasama regional dibidang perdagangan.
Ketentuan pasal tersebut memberi persyaratan bahwa pembentukan perjanjian
perdagangan regional tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral.11
Perkembangan saat ini, banyak negara-negara membuat perjanjian
perdagangan regional, karena bersifat lebih mudah dan aplikatif tidak melibatkan
terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi dalam WTO. Dengan
kata lain ada pengecualian yang membolehkan bagi negara anggota WTO untuk
membentuk organisasi-organisasi ekonomi (perdagangan) secara regional bilateral
dan tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya12.
Bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam
membuat kesepakatan, menjalin kerjasama dibidang ekonomi dan perdagangan antar
negara misalnya, dalam konteks custum union atau free trade area.13
Salah satu perjanjian perdagangan regional yang ada saat ini adalah Asean
Free Trade Area (AFTA) yang diprakarsai oleh Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) sebuah organisasi regional negara-negara di Asia Tenggara. AFTA
lahir pada tahun 1995 dengan tujuan untuk memberikan keuntungan-keuntungan
perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari ASEAN. Upaya AFTA untuk
mewujudkan tujuannya adalah dengan melakukan kesepakatan preferensi terhadap
11
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 170.
12
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan, ( Jakarta: BP. IBLAM, Cetakan I, 2005), hal. 21.
13
barang-barang yang ada dari negara ASEAN.14 Selain itu juga Uni Eropa, Asia
Facific Economic Co-operation (APEC), North American Free Trade Agreement
(NAFTA) dan lainnya dengan syarat bahwa pembentukan organisasi (perdagangan)
regional tersebut tidak menjadi rintangan perdagangan bagi pihak ketiga, hal ini
berdasarkan pasal 24 GATT.
Kelahiran AFTA sendiri merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi
kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didomisi oleh
negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA
merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi terhadap pasar regionalnya dan timbul
atas perjanjian perdagangan regional yang lainnya, karena dengan adanya perjanjian
perdagangan regional ini akan melemahkan sistem perdagangan multilateral. Padahal
dalam ketentuan GATT sendiri mengatur tentang diperbolehkannya untuk
membentuk perjanjian pedagangan regional.15
Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas “Free
Trade Agreement” atau FTA yang bilateral dan regional, sebenarnya ada sistem
multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada dalam
kerangka bilateral dan regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa
sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak berjalan
dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan
14
Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO, Op.Cit.
15
regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan
langsung. Dimana saat ini perdagangan secara regional lebih merebak, maju dan
berkembang.16
Perdagangan bebas ASEAN atau AFTA sudah diputuskan terhitung mulai
sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan
Asean China Free Trade Agreement (ACFTA),17 pada Framework Agreement on
comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian
and The People’s Republic of China (Asean-China). China cukup agresip untuk
mengejar FTA ini, karena ekonomi China yang tumbuh dengan laju 9 % (sembilan
persen) pertahunnnya sangat membutuhkan bahan mentah dan energi, juga beberapa
produk pertanian dan kehutanan yang ia ingin pastikan dengan FTA tersebut.
Masuknya China dalam perdagangan bebas ASEAN ini meresahkan kalangan
produsen tekstil dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk bebas masuk ke
pasar ASEAN termasuk Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka prinsip-prinsip pengaturan
perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
16
Renegosiasi Perjanjian dagang ACFTA, Koran Waspada, kamis tanggal 14 Mei 2010. Lihat juga M. Sadli, Kerja Sama Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia,
http://www.kolom.pasific.net.id/ind, terakhir diakses pada tanggal 16 Juli 2007.
17
Administrator, China Bergabung Dalam AFTA,
prinsip-prinsip perdagangan bebas yang diatur dalam ketentuan WTO. Hal ini
disebabkan bahwa ketentuan dalam ACFTA tetap mengacu kepada WTO.18
Sikap Indonesia terhadap perdagangan bebas internasional khususnya
perdagangan bebas ACFTA sering mendua atau ambivalen. Artinya di satu pihak
Indonesia takut bahwa pasar dalam negeri akan direbut oleh asing, akan tetapi di lain
pihak juga disadari bahwa kalau tidak mengikuti mode dan trend FTA khusus
ACFTA maka Indonesia akan jauh ketinggalan dari negara lain.
Akhirnya Indonesia juga membuka perundingan atau kesepakatan secara
bilateral untuk mencapai FTA dan prosesnya mengandung “give and take”. Jika
Indonesia menginginkan suatu konsesi atau fasilitas maka Indonesia harus bisa
menawarkan suatu konsesi secara “quid and pro”, dan berangsur-angsur membuka
Indonesia untuk perdagangan yang bebas.19
18
Gotar Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 142, dan prinsip tersebut adalah : (1). MFN (Most-Favoured-Nation) yaitu perlakuan sama terhadap semua anggota mitra dagang berdasarkan kesepakatan WTO, (2). National Treatment yaitu perlakuan yang sama diberikan baik terhadap badan usaha milik asing maupun terhadap badan usaha milik negara sendiri, (3). Transparancy yaitu mengaharuskan negara-negara anggota membuat seluruh peraturan perundangan yang relevan terbuka untuk semua pihak, (4). Regulation yaitu suatu peraturan objektif dan bisa diterima, karena peraturan domestik merupakan cara yang paling efektif untuk mengatur dan mengawasi perdagangan jasa, maka kesepakatan menetapkan agar negara-negara anggota mengatur perdagangan jasa yaitu mengaharuskan negara-negara anggota membuat seluruh peraturan perundangan yang relevan terbuka untuk semua pihak,secara tidak berat sebelah,(5). Recognition atau pengakuan yaitu membuat kesepakatan untuk saling mengakui kualifikasi masing-masing dalam hal prosedur izin dan sertifikat pemasok barang, (6). International transfer yaitu suatu negara harus membuat komitmen untuk membuka sektor jasa bagi foreign competition, (7). Komitment spesifik yaitu komitmen masing-masing aggota secara individu untuk membuka pasar bagi sektor jasa spesifik, (8). Basis for progressive liberalisation atau Liberalisasi progresif yaitu meletakkan dasar bagi liberalisasi progresif dibidang jasa melaui mengembangan dari nasional schedules masing-masing negara.
19
Dengan demikian terhadap perdagangan bebas khususnya ACFTA tentunya
resiko ke depan sudah pasti akan terjadi, misalnya suatu anggota merasa dirugikan
akibat tindakan anggota lain (perselisihan atau sengketa dalam perdagangan). Artinya
ada sistem dan prosedur penyelesaian dalam sengketa yang terjadi atau yang akan
terjadi. Secara umum sistem dan prosedur penyelesaian sengketa ini diatur dalam
Understanding on Rules and Procedures Govening the settlement of Dispute atau
lebih dikenal dengan Dispute Settlement Understanding (DSU) yang merupakan
annex 2 dari perjanjian WTO dan berlaku untuk seluruh sengketa mengenai
pelaksanaan perjanjian WTO.20 Upaya penyelesaian sengketa dilakukan oleh suatu
badan yang disebut dengan Dispute Settlement Body (DSB).
Kesepakatan multilateral dalam kerangka WTO lebih superior dari pada
kesepakatan FTA bilateral atau regional, maka pemerintah Indonesia sebaiknya tetap
berkiblat kepada pengaturan multilateral walaupun merundingkan FTA secara
bilateral. Demikian juga halnya FTA bilateral harus dikaitkan dengan FTA regional
dan harus disesuaikan dengan WTO. Artinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam
aturan hukum perdagangan bebas secara regional tetap pondasinya pada aturan
ketentuan yang ada dalam WTO, serta tidak betentangan dengan WTO.
20
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini
diberi judul “ Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan Regional Dalam
Kerangka WTO (Studi Terhadap Kesepakatan Perdagangan AFTA-China)”.
B.Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang
menjadi isu hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan kesepakatan perdagangan bebas Regional dalam
kerangka WTO ?
2. Bagaimana prinsip-prinsip pengaturan perdagangan bebas dalam kerangka
ACFTA ?
3. Bagaimana ketentuan tentang penyelesaian sengketa dalam kerangka
perdagangan bebas ACFTA?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang pengaturan kesepakatan
2. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang prinsip-prinsip
pengaturan perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN-China
Free Trade Agreement.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang ketentuan-ketentuan
penyelesaian sengketa dalam kerangka perdagangan bebas
ACFTA.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi
seluruh pihak dan kalangan yang dapat memanfaatkannya, dan dalam pemanfaatan
penelitian ini ada dua hal yang sangat penting, baik secara teoritis maupun secara
praktis antara lain sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Merupakan bahan untuk penelitian lebih lanjut, baik sebagai bahan dasar
maupun bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan
dengan rumusan penelitian ini dan memberikan sumbangan pemikiran hukum
khususnya dalam bidang hukum perdagangan Internasional.
2. Secara praktis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum, negara dan
perdagangan regional dalam kerangka WTO tersbut, dalam hal ini perdagangan
bebas yang berkaitan dengan diterapkannya ACFTA.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh
peneliti terhadap hasil-hasil penelitian khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, maka penelitian tentang “Analisa Hukum Mengenai Ketentuan
Perdagangan Regional Dalam Kerangka WTO (Studi Terhadap
Kesepakatan AFTA-China), belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
namun walaupun ada beberapa penelitian tesis yang membahas terkait dengan
pembahasan perdagangan bebas, AFTA, ACFTA, dan WTO antara lain diteliti
oleh:
1. Siti Bunga Sitohang, Nim 017005034, mahasiswi Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Peraturan Kerja Sama
Secara Bilateral Dibidang Ketenagakerjaan Antara Indonesia Dengan
Malaysia Ditinjau Dari Perjanjian Hukum Internasional”.
2. Rita Erlina, Nim 047005012, mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Anti Dumping Dalam
Perdagangan Internasional: Sinkronisasi Peraturan Anti Dumping Indonesia
3. Joi Arianto, Nim 077005125, mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea
Masuk Dalam Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau
Dari Sudut Kepabean”.
4. Febrina Rezkitta Hasibuan, Nim 087005045, mahasiswi Program Magister
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kebijakan Dibidang
Perdagangan Yang Tanggap Terhadap Perubahan Makrostruktur Sistem
Internasional (Analisis yuridis Terhadap Perjanjian AFTA China-Indonesia”
dengan ketentuan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana suatu kebijakan dinyatakan tanggap terhadap
makrostruktur sistem internasional ?
2) Bagaimana kesiapan hukum di Indonesia dalam menghadapi
liberalisasi perdagangan di bawah China-AFTA ?
3) Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi liberalisasi
perdagangan berdasarkan China-AFTA ?
5. Mayer Hayrani DS, Nim 097005042, masiswa Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Perlindungan Hukum Terhadap
Industri Dalam Negeri Menghadapi ACFTA” dengan ketentuan masalahnya
sebgai berikut:
1). Bagaimana perlindungan hukum terhadap industry dalam negeri
2). Bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi industry dalam
negeri terhadap dampak negative diberlakuannya ACFTA?
Dalam hal ini tentunya dari segi judul dan materi, substansi dan
permasalahan serta pengkajian dalam penelitiannya berbeda sama sekali, dan
oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan
ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara jujur, akademis dan ilmiah,
karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian
yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti dan akademisi, dengan demikian
penelitian ini adalah asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran serta teori yang akan menjadi
dasar kerangka bagi penelitian ini yang awalnya lahir dari adanya
hubungan-hubungan internasional selanjutnya menjadi teori hukum internasional atau
international legal Theory.
Adapun teori tentang perdagangan bebas yang digunakan adalah teori yang
dikemukakan oleh Adam Smith (1723-1790), seorang guru besar dibidang Filosofi
teori hukum, bapak ekonomi modern,21 telah melahirkan teori keadilan (justice),
bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian “the end of justice is to
secure from injure” yang berawal dari persepektif kapitalisme klasik terhadap
perdagangan bebas internasional didasarkan pada prinsip laissez faire dalam karyanya
yang sangat terkenal An Inquiry to the Nature and Causes of the Wealth Natio.
Awalnya kapitalisme dianggap cukup atraktif dimana versi Adam Smith ini diyakini
akan mampu memberikan kesejahteraan kepada mayarakat. Dalam The Wealth of
Nation Smith juga mendiskripsikan bahwa sistem harga akan bekerja dan bagaimana
ekonomi yang bebas dan berkopetensi akan berfungsi tanpa ada campur tangan
pemerintah melalui pengalokasian sumber daya dengan cara yang efesien. Smith juga
mendiskripsikan pandangan laissez faire atau prinsip bebas melakukan apa saja,
bahwa berbagai transaksi ekonomi yang independen akan terdapat harmoni alamiah
di mana manusia mencari pekerjaan, produsen menghasilkan barang, konsumen
membelanjakan penghasilannya untuk membeli produk yang berdasarkan pilihan
masing-masing.22
Adam Smith percaya bahwa kepentingan pribadi tidak boleh dikekang oleh
negara. Lebih jauh dikatakan bahwa selama pasar bebas bersaing, tindakan individu
yang didorong oleh kepentingan diri akan berjalan bersama dengan kebutuhan
21
Bismar Nasution, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 4. Lihat juga Neil MacCornick, Adam Smith On Law, Valparaiso University Law Review, (vol. 15, 1981), hal. 244.
22
bersama khalayak ramai. Sebagaimana diuraikan Smith bahwa bila dalam transaksi
dengan orang lain setiap individu bebas mengejar kepentingannya sendiri, maka
bukan hanya individu itu yang beruntung, akan tetapi juga seluruh masyarakat.23
Meskipun tidak setuju dengan campur tangan pemerintah, akan tetapi seperti
diuraikan Smith tersebut, peran negara tidak hilang sama sekali, hanya dikurangi
sampai tingkat minimal. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah punya tugas yang
amat sangat penting dan yang begitu luas serta jelas bagi pemahaman umum. Pertama
tugas untuk melindungi masyarakat dari kekarasan dan serbuan negara lain. Untuk
melindungi sejauh mungkin setiap warga negara dari ketidakadilan dan
pemaksaan/pemerasan yang dilakukan oleh warga lain, atau tugas menyelenggarakan
secermat mungkin tata keadilan.24
Smith juga mengajarkan bahwa perdagangan bebas akan dengan sendirinya
menciptakan international devision of labour (pembagian kerja internasional) yang
saling menguntungkan, di mana masing-masing negara akan mengekspor barang
maupun jasa ke pasar internasional yang dianggap paling menguntungkan dari segi
biaya produksi maupun jasa ke pasar internasional.25
23
Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal : Studi kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Inverstasi Multilateral, (Medan: Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pascasarjana, 2005), hal.191. dan lihat juga dalam “Adam Smith ,Teori Adam Smith,
Namun pada prinsipnya mengenai sistem perdagangan bebas ini juga
dikembangkan oleh John Meynard Keynes bahwa sistem perdagangan bebas ini
adalah sistem ekonomi kapitalis yang terkontrol melalui campur tangan negara.26
Artinya Keynes menyatakan bahwa perlunya campur tangan pemerintah dan
pendanaan langsung dari pemerintah untuk menanggulangi kemerosotan investasi
swasta dan daya beli demi untuk merangsang pemulihan ekonomi. Anjuran Keynes
ini memunculkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dan membawa
perubahan bahwa campur tangan negara dalam masyarakat sangat mengubah
pekerjaan yang bisa dilakukan oleh hukum tradisional,27 dimana peran negara yang
besar diakui tidak saja untuk menjamin keamanan internal dan ekternal, akan tetapi
lebih jauh bertanggung jawab atas sejumlah besar ketidakadilan. Negara harus
mengambil peran dalam penghapusan ketidakadilan tersebut dari sistem yang ada
melalui sejumlah intervensi ekonomi dan sosial.28
Salah satu bentuk intervensi dalam konteks hukum adalah keadilan, dan
tentunya tidak terlepas dari ketentuan yang mengatur perdagangan bebas termasuk
prinsip-prinsip perdagangan yang tertuang dalam ketentuan WTO, bahwa
perdagangan bebas bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis
produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan hambatan non-bea di
26
Ida susanti dan Bayu Seto, Op.Cit., hal. 14. Lihat juga dalam
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/22/opini/2068215.htm, diakses pada tanggal 7 Maret 2011.
27
Satjipto Rahardjo,SH, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, (Mataram: Genta Publishing, 2009), hal. 27.
28
lingkaran ASEAN dalam AFTA untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antara
negara anggota ASEAN juga untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antara negara
ASEAN guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang
berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN dimana hal tersebut sangat
penting bagi pencapaian stabilitas dan kemakmuran di kawasan.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Jhon Rawls dalam teori
keadilannya (theory of justice), bahwa keadilan adalah sebagai suatu kejujuran dan
kesetaraan ( justice as fairness), yaitu memberikan keuntungan terbesar bagi yang
paling tidak diuntungkan serta membuka kesempatan yang fair. Keadilan sebagai
konsep yang didasarkan pada asas persamaan dan ketidaksamaan ( equality and
inequality) dimana nilai-nilai sosial, kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan
kemakmuran berdasarkan self respect harus didistribusikan sesama.29
Namun demikian ketidaksamaan distribusi kemakmuran diperkenankan
selama hal tersebut untuk memberikan kebaikan kepada setiap orang. Dengan kata
lain, inequalities diperkenankan sepanjang everyone”s position be improved. Teori
keadilan Jhon Rawls (Rawlsian) yang juga dinamakan sebagai contract theory
mengandung maksud bahwa keadilan dalam konteks atau situasi kontraktual dan
prinsip timbal balik (reciprocity) yang merupakan salah satu prinsip terkait hubungan
29
dalam perdagangan internasional serta karakter hukum internasional bercirikan suatu
sistem hukum yang sifatnya horizontal (horizontal legal system).30
Konsep keadilan internasional Rawls digambarkan kedalam konteks hukum
internasional dan dapat diaplikasikan dalam hal perdebatan melalui negosiasi
pengadaan harus terhindar dari unsur manipulasi, dominasi, tekanan terhadap
kelompok inferior yang selanjutnya dinamakan kriteria resiprositas juga melahirkan
ketegangan internal dalam teori liberal itu sendiri yaitu adanya tensi antara teori
keadilan perdagangan utilitarian dan liberatarian. Pertama, bahwa perdagangan
internasional yang harus dikontruksi untuk perlindungan kesamaan moral (morality
equality) dari semua individu yang dikenakan aturan. Kedua, keadilan dalam
pandangan liberal memerlukan hukum perdagangan internasional yang berlaku dan
menguntungkan negara yang kurang beruntung. Ketiga, bahwa keadilan liberal
memasyarakatkan hukum internasional yang tidak mengorbankan hak asasi manusia
dan perlindungan efektif terhadap hak asasi manusia untuk mencapai kesejahteraan
(welfare gains), keadilan adalah suatu cita-cita dari segala kepentingan hukum
perdagangan internasional tidak lain adalah “keadilan”.
Maka keadilan dalam pandangan internasional memerlukan komitmen
terhadap perdagangan bebas sebagai elemen fundamental dari hubungan
perekonomian yang adil, artinya bahwa prinsip dasar perdagangan bebas tetap
30
menelaah dari aturan-aturan dasar yang terdapat dalam GATT 1994 dan didukung
dengan pendapat para ahli hukum khususnya hukum internasional.
Dengan demikian pada dasarnya prinsip liberalisasi perdagangan internasional
menganggap semua pihak sama kedudukannya dan dalam prinsip ini tersirat prinsip
persaingan yang bebas melalui kesempatan yang sama misalnya perdagangan baik
secara bilateral maupun regional tetap ketentuannya dalam kerangka WTO dan
dengan bergabungnya China dalam AFTA terkait WTO, maka negara-negara
berkembang memiliki suara yang lebih berpengaruh pada satu pihak, walaupun
terdapat kepentingan China dan kepentingan dari negara-negara berkembang lainnya
tidak sepenuhnya berjalan seiring.
Selanjutnya mengenai uraian teori di atas tersebut adalah akan menjadi pisau
analis untuk membuktikan bahwa norma-norma hukum internasional yang terkait
dengan judul penelitian yaitu “Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan
Regional Dalam Kerangka WTO (Studi terhadap kesepakatan AFTA-China)”. Dalam
rangka kajian terhadap analisa hukum mengenai kesepakatan regional (studi terhadap
kesepakatan AFTA-China) tersebut, perlu memperhatikan sebagai mana diamati hasil
studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan pembangunan terdapat 5 (lima)
unsur yang harus dikembangkan agar tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas
pengembangan khusus dari sarjana hukum ( the special development abilities of the
lawyer).31
Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas
ini merupakan persyaratan supaya ekonomi berfungsi dengan baik. Dalam hal ini
“stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing, dan dalam hukum internasional stabilitas berfungsi
untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi persaingan kepentingan antara
kelompok negara berkembang dengan kelompok negara maju dengan kapasitas masih
dalam lingkup kerangka WTO .
Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara32. Hal ini
sejalan dengan J.D. Ny. Hart, yang mengemukakan konsep hukum sebagai dasar
pembangunan ekonomi yaitu predictability, procedural capability, codification of
goals, education, balance, definition and clarity of status serta accommodation.33
Aspek keadilan “fairness” adalah ukuran yang menyeimbangkan
kepentingan-kepentingan lembaga WTO di satu pihak, dengan kepentingan
masyarakat di negara-negara berkembang di pihak lainnya, terutama yang berkenaan
31
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International and Policy, Vol.9, 1980), hal. 232, dikutip dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi , Op.Cit. hal. 37.
32
Ibid.
33
dengan hubungan-hubungan internasional, contoh dalam kesepakatan perdagangan
bebas regional dan setiap problema perdagangan yang timbul sebagai akibat
perjanjian dalam kerangka WTO harus benar-benar diselesaikan dengan ketentuan
atau norma-norma hukum internasional.
Keadilan yang diharapkan dari perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA
ini adalah memperoleh keuntungan yang besar bagi semua negara anggota khususnya
ACFTA dengan tidak membedakan antara negara-negara maju dengan negara-negara
berkembang. Kaitannya dengan perdagangan, dalam bentuk apapun ada kelompok
besar dan kelompok kecil yang terlibat dalam kegiatan dagang atau pelaku usaha.
Keadilan yang diharapkan dalam hal ini, ketika keduanya bersatu harus berdasarkan
prinsip kesetaraan tanpa harus menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut. Dengan
kata lain, nilai dasar yang hendak dicari dan diperoleh oleh berbagai peraturan hukum
adalah keadilan. Masyarakat ASEAN khususnya yang tergabung dalam ACFTA
merasakan, bahwa keadilan tercapai apabila seseorang yang tidak bersalah tidak
dikenakan hukuman, juga dirasakan adil jika seorang kreditur dilindungi haknya
untuk mendapatkan kembali uangnya dari sidebitur. Keadilan tercermin pula apabila
negara yang sudah cukup memiliki modal, mengalirkan modalnya ke negara yang
kekurangan modal.34
Jelas, bahwa semua sistem hukum ASEAN mempunyai persamaan yang besar
dan mendasar adalah sama-sama mencari keadilan yang benar-benar adil, seperti
34
yang dicita-citakan orang cerdik pandai Aristotels, Adam Smith, John Rawls dan
lainnnya yang tidak disebutkan, mereka banyak mengajukan analisis tentang
keadilan.35
Artinya jika dikaitkan dalam perdagangan ACFTA, Indonesia dan China
tentunya terdapat perbedaan, misalnya produk China terkenal dengan harga murah
dan relatif bagus sehingga dapat bersaing dengan produk lokal. Namun harga saja
bukan faktor yang menentukan konsumen untuk membeli. Oleh karena itu, sebaiknya
konsumen juga harus memperhatikan kualitas, purna jual, pelayanan, dan
faktor-faktor lainnya. Maka ada baiknya keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh
4P yaitu Product atau produk, Price atau harga, Place atau distribusi, dan Promotion
atau promosi, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut jangan dihilangkan, artinya
penentuan untuk membeli ada pada pihak konsumen.
2. Konsepsi
Kerangka konsepsional ini penting untuk dirumuskan agar tidak tersesat
kepemahaman yang lain di luar maksud penulis dalam penelitian ini. Konsepsional
ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas
dan standart. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan
salah satu inti sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah
35
suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan
dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.36
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan
beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
yang telah ditentukan. Adapun konsep yang dimaksud pada penelitian ini antara lain:
1. Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan azas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara
dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau
subjek hukum bukan negara satu sama lain.37
2. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan
apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis
oleh pemrintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,
organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia
yang bersifat hukum Publik.38 Perjanjian Internasional dalam hal ini
adalah Asean-China Free Trade Agreement.
36
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 48.
37
Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1989 ), hal. 3.
38
3. Kesepakatan atau Perjanjian Bilateral adalah merupakan perjanjian yang
dibuat atau diadakan oleh dua negara atau diadakan oleh pihak, dua subjek
hukum internasional.
4. Kesepakatan Perdagangan Regional adalah merupakan kesepakatan yang
diadakan dengan lebih dari dua negara dalam lingkup regional (kawasan
tertentu) terhadap kawasan-kawasan lainnya.
5. Perdagangan bebas adalah masuknya barang dan jasa dari satu unsur ke
unsur lain tanpa dikenai tarif, dan merupakan sebuah konsep ekonomi
yang mengacu kepada Harmonizet Commodity Deskription and Coding
System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization. Dengan
kata lain perdagangan bebas disebut juga sebagai tidak adanya hambatan
buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antara
individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang
berbeda.
6. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang bersifat lintas batas
yang dilintasi oleh negara dalam suatu perdagangan internasional yang
sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang
diterapkan pada barang export import dan juga regulasi non tarif pada
barang import. Seacara teori semua hambatan-hambatan inilah yang
ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya
perjanjian-perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh penganut perdagangan bebas
terciptanya pasar bebas. Oleh Adam Smith menunjukkan bahwa
perdagangan internasional merukan stumuls bagi pertumbuhan melalui
perluasan pasar bagi produsen domestik serta melalui bertambahnya
kesempatan pembagian kerja serta diperkenalkannya teknologi baru.39
7. Industri Dalam Negeri adalah suatu industri atau perusahaan (pabrik) yang
menghasilkan barang-barang dalam negeri secara domestik.
8. ACFTA adalah perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara
ASEAN yang tergabung dalam AFTA dengan China.
G.Metode Penelitian
Untuk lebih jelasnya apa makna dari metode penelitian, maka ada baiknya
penulis menjelaskan kata per kata berikut ini. Karena dalam penyusunan dan
penulisan penelitian tesis ini digunakan istilah metode penelitian. “Metode”
adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi
sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.40 “Penelitian” adalah suatu
kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis, dan konsisten,41 juga suatu upaya pencarian.42 “Penelitian hukum”
39
Hata, Perdagangan Internasional dalam system GATT dan WTO: aspek-aspek hukum dan non hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 18.
40
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metode Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta:Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.
41
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal.1
42
adalah merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi,43 dan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan
pemikiran tertentu dengan tujuan untuk mempelajari gejala hukum,44 sebagai
kajian ilmu hukum.45
Dengan demikian dalam penelitian ilmiah, rangkaian kegiatan dalam
penelitian ini adalah mengikuti metode penelitian yang ditetapkan di lingkungan
Universitas Sumatera Utara sebagai berikut;
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Penelitian Yuridis Normatif46 dengan sifat Penelitian adalah deskriptif analitis.47
Maksud dari yuridis normatif adalah penelitian ini dilakukan dengan
memfokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
hukum positif yang terkait dengan Undang-undang mengenai pengaturan
perdagangan bebas regional. Kemudian yang dimaksud dengan deskriptif analitis
adalah bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara
analitis keadaan atau gejala berupa perdagangan bebas regional dalam kerangka
43
Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 35.
44
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.
45
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), hal. 46.
46
Mahmul Siregar, Buku 1, Op. Cit., hal. 28
47
ACFTA, baik yang bersifat normatif maupun empiris dengan tujuan untuk
memecahkan masalah yang telah dirumuskan dalam isu hukum, seterusnya
mencakup atas asas-asas hukum, sistematika hukum, singkronisasi hukum,
sejarah hukum dan perbandingan hukum,48 dan pada prinsipnya tidak lain adalah
semua ketentuan-ketentuan mengenai hukum internasional yang terkait dengan
materi perdagangan yang bersifat regional.
2. Sumber Data
Mengenai bahan-bahan yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam
penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum
tertier.49 Dimana ketiga bahan hukum ini adalah sebagai data pokok dan dalam hal ini
disebut dengan data sekunder,50 yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan atau ketentuan perundang-undangan
sebagai hukum yang tertulis dan terkait di bidang hukum internasional
termasuk konvensi-konvensi internasional, kesepakatan atau perjanjian
internasional, kovenan-kovenan internasional, dan juga peraturan perundang
undangan nasional (Indonesia) antara lain: Undang-undang Nomor 7 Tahun
1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
48
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985), hal. 17.
49
Peter Mahmud Marjuki, Op.Cit., hal. 142.
50