• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan Regional Dalam Kerangka WTO (Studi Terhadap Kesepakatan AFTA-China)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan Regional Dalam Kerangka WTO (Studi Terhadap Kesepakatan AFTA-China)"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA HUKUM MENGENAI KETENTUAN

PERDAGANGAN REGIONAL DALAM KERANGKA WTO

(STUDI TERHADAP KESEPAKATAN AFTA-CHINA)

TESIS

Oleh

HALIMATUL MARYANI

097005051

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISA HUKUM MENGENAI KETENTUAN PERDAGANGAN

REGIONAL DALAM KERANGKA WTO

(STUDI TERHADAP KESEPAKATAN AFTA-CHINA)

TESIS

Diajukan untuk memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HALIMATUL MARYANI

097005051/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

JUDUL TESIS : ANALISA HUKUM MENGENAI KETENTUAN PERDAGANGAN REGIONAL DALAM

KERANGKA WTO

(STUDI TERHADAP KESEPAKATAN AFTA-CHINA)

Nama Mahasiswa : Halimatul Maryani

Nomor Pokok : 097005051

Program Studi : Ilmu hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) Ketua

(Dr. Mahmul Siregar, SH.,M.Hum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH,CN,M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 6 Juli 2011

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA: Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH

Anggota: 1. Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH,CN,M.Hum

3. Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum

(5)

ABSTRAK

Pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan pembentukan perdagangan dunia dan telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota, dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep ini dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi yang maknanya ialah universal dan mencakup bidang yang sangat luas. Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas “Free Trade Agreement” regional, sebenarnya ada sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada dalam kerangka regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak berjalan dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan langsung dan memajukan pertumbuhan ekonomi regional, dimana saat ini perdagangan secara regional lebih maju dan berkembang. Pembentukan perdagangan regional ini deperbolehkan berdasarkan Pasal 24 GATT.

Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Adam Smith yang melahirkan teori keadilan dengan tujuan untuk melindungi dari kerugian dalam transaksi perdagangan dan individu bebas mengejar kepentingannya sendiri, kemudian dikembangkan oleh Jhon Meynard Keynes tetap perlu campur tangan pemerintah, serta didukung oleh Jhon Rawls bahwa keadilan sebagai suatu kejujuran dan kesetaraan ( justice as fairness) dengan penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian deskriftif analitis dengan data skunder meliputi bahan hukum primer, skunder dan tertier. Bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis secara kualitatif.

Sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), pada Framework Agreement on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian Nation and The People’s Republic of China (Asean-China) yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Megawati) pada tanggal 4 Novenber 2002 di Phnom Penh, Kamboja, juga telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, dengan UU.No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam kerangka ACFTA tetap sama dengan prinsip-prinsip yang ada dalam kerangka WTO seperti Most Favoured Nation, National treatment, larangan restriksi kuantitatif, perlindungan melalui tarif, taranparansi juga prinsip saling melengkapi, solidaritas, kerjasama dan penghormatan terhadap kedaulatan negara. Sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa tetap mengacu kepada ketentuan WTO Disputes Settlement Understanding (DSU), untuk sengketa ACFTA dapat diselesaikan melalui Disputes Settlement Mechamisme (DSM) ACFTA.

(6)

ABSRACT

The establishment of World Trade Organization (WTO) through Law No.7/1994 on Legalization of Trade Establishment has spread the concept of trade liberalization to the world especially its country members where the basic concept of trade liberalization is the elimination of constraints in international trade. In its implementation, this concept froms a globalization which means universal and includes a very big field. In relation to the agreement or understanding in a regional Free Trade Agreement, there is multilateral system (WTO) which is much better than the existing systems in regional level. Yet, the problem is that the multilateral system in the framework of WTO gets stuck and cannot function well that the country members begin to establish regional trade blocks such as ASEAN, AFTA, including, ACFTA to obtain a direct benefit and develop their regional economic growth where regional trade is currently making more progress and developing. The establishment of this regional trade is allowed based on Article 24 of GATT.

The theory used in this analytical descriptive study with normative juridical approach was the theory developed by Adam Smith focusing on theory of justice for self protection from the loss inflicted in a free individual trade transaction after vested interest. This theory was then developed by John Meynard Keynes saying government`s intervention is still needed. This theory was supported by John Rawls who focused on justice and equality (justice as fairness). The data for this study include primary, secondary and tertiary legal materials which were obtained through library research. The data obtained were qualitatively analyzed.

Since January 1, 2010, China has joint the Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) in the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association of South East Asian Nation and the People`s Republic of China (Asean – China) signed by the President of Republic of Indonesia (Megawati) on November 4, 2002 in Phnom Penh, Cambodia, and has also been ratified through Presidential decree No.48/2004 and Law No.24/2000 on International Agreement.

The principles found in the Framework of ACFTA remains the same as those in the framework of WTO such as Most Favorite Nation, National Treatment, prohibition of quantitative restriction, tariff-based protection, transparency, also the principle of mutual achievement, solidarity, cooperation and respect to national sovereignty. The system and mechanism of dispute settlement still refer to the stipulations of WTO Disputes Settlement Understanding (DSU), for the disputes occurred within ACFTA can be settled through Disputes Settlement Mechanism (DSM) ACFTA:

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Syukur Alhamdulilah ke hadirat Ilahi Robbi, yang dengan ridho dan izin-Nya

penulis dapat menyusun tesis ini, walaupun begitu banyak cobaan dan rintangan yang

penulis alami selama proses penyusunan tesis ini, namun dengan dukungan dan

motivasi dari semua pihak serta semangat yang penulis miliki, akhirnya penulis

berhasil menyelesaikan tesis ini dengan judul: “ANALISA HUKUM MENGENAI

KETENTUAN PERDAGANGAN REGIONAL DALAM KERANGKA WTO

(STUDI TERHADAP KESEPAKATAN AFTA-CHINA)”.

Sholawat dan salam atas junjungan Nabi besar MUHAMMAD Rasulullah

SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang

benderang yang disinari dengan iman dan taqwa serta penuh dengan ilmu

pengetahuan.

Tujuan penyusunan tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara. Maka dalam tesis ini penulis juga menyadari tentunya masih banyak terdapat

kekurangan-kekurangan dikarenakan keterbatasan dan kemampuan yang penulis

miliki, untuk itu dengan senang hati penulis sangat mengharapkan saran-saran,

(8)

walaupun tidak sempurna sampai seratus persen, akan tetapi diharapkan mendekati

sempurna.

Dalam kesempatan ini sudah selayaknya penulis menyampaikan rasa hormat

dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu

penulis dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih tersebut penulis sampaikan

kepada:

1. Prof. Dr.dr. Syahrin Pasaribu DTM&H, M.Sc (CTM).Sp.A (K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen pembimbing I penulis,

walaupun ditengah-tengah kesibukannya, beliau tetap memberikan bimbingan

dan arahan dalam penyusunan tesis penulis ini.

4. Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum, selaku Seketaris Program Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara, juga sekaligus sebagai Dosen

Pembimbing II penulis yang dalam kesibukannya beliau tetap sabar

memberikan arahan, bimbingan serta motivasi kepada penulis untuk terfokus

dalam menulis judul yang diangkat sampai pada akhirnya penulis dapat

(9)

5. Dr. T. Keizerina Devi. A, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen pembimbing III

yang juga memberikan arahan dan sumbangan pemikiran kepada penulis guna

menyelesaikan tesis ini.

6. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Dosen penguji yang telah memberikan

banyak masukan dan sumbangan pemikiran dalam menyesaikan tesis ini.

7. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

sumbangan pemikiran, keritik, saran dalam penulisan tesis ini.

8. Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (dikti) yang telah

memberikan beasiswa BPPS untuk penulis selama menjalani pendidikan di

program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf pengajar/ dosen selaku

pendidik, staf pegawai dan seluruh citivitas akademisi Universitas Sumatera Utara,

serta teman-teman se almamater, kelas Reguler B angkatan 2009, kelas bisbis yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas bantuan, sumbangan pemikiran dan

motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih yang tidak dapat terhingga atas ketulusan, keikhlasan, kasih

sayang, serta doa dan dukungan penuh baik moril maupun materil buat Ayahanda

tercinta Nurdin Ritonga dan Ibunda Rusmaini Daulay, tidak lupa buat ayah dan ibu

mertua penulis Syaharuddin Siregar dan Ida Mawarni, juga dorongan semangat serta

perhatian yang tulus serta kerelaan, dukungan dan doa dari suami tercinta dan

(10)

Muhammad Rifqi Siregar dan Siti Dzakirah Siregar, diusiamu yang belia (3 tahun 9

bulan dan 1 tahun 11 bulan) adalah kunci semangat dan motivasi bagi mamak nak,

ketika mamak capek, letih. Engkau buah hatiku sebagai pengobat semua itu dengan

melihat dan mendengar tawa canda serta tangismu, mamak harapkan semua

perjuangan mamak ini menjadi motivasi bagi anak-anakku kelak dewasa mengerti

apa itu kehidupan dengan keterbatasan ekonomi yang mamak hadapi saat menjalani

pendidikan. Insya Allah mamak jalani dengan penuh kesabaran, keikhlasan, kejujuran

serta selalu bersyukur dengan keyakinan fokus dan tawakkal pada Allah,

Alhamdulillah mamak beasiswa dari dikti. Semoga anak-anakku kelak menjadi

Sukses. Amin.

Terima kasih juga buat adik-adikku, Rito, Dayani, Rafiqah, Fajri, Adli, (almh

Adawiyah), Abdul Halim, dan Fakih Muwahid, Incek H.Drs. Masyhuril Khomis, SH

dan Unden Cut Nia Helfira, Incek Zainuddin Dly, Spd, dan unden Ros, Ibu Dra.

Nursyam dan pak Syahnan,SH, unden Pesah, Bapak Dr. Amarullah Naution, adinda

Johan Agustian, SH serta seluruh kelurga Lainnya yang mohon maaf penulis tidak

dapat menyebutkan namanya satu persatu.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Rektor

Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah Medan Ibu Prof. Hj. Sri Sulistyawati,

SH, M.Si, Ph.D yang telah memberikan izin belajar kepada penulis serta seluruh

citivitas akademisi Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah Medan yang juga

(11)

ucapan selamat kepada Bapak Drs. H. Kondar Siregar, M.A selaku Rektor baru

Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah Medan, semoga UMN maju untuk masa

yang akan datang.

Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak dan semua ilmu yang

diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa dan agama. Amin.

Medan, Juni 2011

Penulis,

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Halimatul Maryani, Agama Islam, perempuan, menikah, lahir di Bagan Bilah

(Rantau Prapat) pada tanggal 20 Agustus 1978, adalah anak pertama dari sembilan

bersaudara pasangan dari Bapak Nurdin Ritonga dan Ibu Rusmaini Daulay. Istri dari

Ahmad Nauli Siregar ST, saat penyusunan tesis ini mempunyai dua orang anak

Muhammad Rifqi Siregar (umur 3 tahun 9 bulan) dan Siti Dzakirah Siregar (umur 1

tahun 11 bulan). Pekerjaan Ibu Rumah Tangga dan Dosen Yayasan Pada Universitas

Muslim Nusantara Medan.

Riwayat Pendidikan:

 Tahun 1986-1992 SD Negeri Nomor 118165 Bagan Bilah Rantau Prapat, lulus dengan berijazah.

 Tahun 1992-1995 Madrasah Tsanawiyah Swasta Pondok Pesantren Al-ma’shum Rantau Prapat lulus dengan berijazah.

 Tahun 1995-1998 Madrasah Aliyah Swasta Pondok Pesantren Darul Falah Langga Payung lulus dengan berijazah.

 Tahun 1998-2003 Kuliah di Perguruan Tinggi dan menyelesaikan pendidikan sarjana S1 (Strata 1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara lulus

dengan berijazah.

(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR TABEL ... x

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 16

1. Kerangka Teori... 16

2. Konsepsi... 25

G. Metode Penelitian ... 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 29

2. Sumber Data... 30

3. Teknik Pengumpulan Data... 32

4. Analisis Data ... 32

BAB II: PENGATURAN KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL DALAM KERANGKA WTO ... 33

A. Gambaran Umum Perdagangan Regional... 33

1. Pengertian Kesepakatan Regional... 33

(14)

a. Bagi Negara Anggota... 42

b. Bagi Negara Non Anggota ... 43

B. Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional Dalam WTO.... 44

C. Common Efective Preferential Tariff (CEPT) ... 50

D. Perkembangan Tentang Pengaturan Perdagangan Bebas Dalam Kerangka AFTA... 54

E. Dasar Hukum Perdagangan Bebas ACFTA... 58

BAB: III PRINSIP-PRINSIP PENGATURAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA ACFTA ... 65

A. Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Dalam WTO ... 65

B. Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Dalam AFTA ... 69

C. Prinsip-Prinsip Perdagangan Bebas Dalam ACFTA ... 71

D. Perlindungan Industri Dalam Negeri Hadapi ACFTA... 75

E. Perlunya Unifikasi Dan Harmonisasi Hukum Dalam ACFTA ... 91

BAB:IV PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN BEBAS ACFTA ... 98

A. Sistem Penyelesaian Sengketa ACFTA ... 98

1.Pengertian Sengketa ... 98

2. Sifat Penyelesaian Sengketa... 100

B. Prinsip Penyelesaian Sengketa ACFTA ... 105

C. Forum Penyelesaian Sengketa ACFTA ... 109

D. Prosedur Penyelesaian Sengketa ACFTA... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 124

A. Kesimpulan ... 124

B. Saran... 127

(15)

DAFTAR SINGKATAN

ACFTA : ASEAN China Free Trade Agreement

AFTA : ASEAN Free Trade Area

ASEAN : Association of South East Asian Nations

APEC : Asia Fasific Ekonomi Cooperation

CEPT : Common Efective Preferential Tariff

CACM : Central America Common Market

DSM : Disputes Settlement Mechanisme

DSU : Disputes Settlement Understanding

GATT : General Agreement on Tariffs and Trade

GSP : General System Preference

ICC : International Chammer of Commerce

ILA : International Law Association

UMKM : Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah

UNICITRAL : United National on International Trade Law

UNIDROIT : The International Institusi for the Unification of Privat

Law

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Beberapa PTA Regional di Dunia……….…. 41

Tabel 2: Klasifikasi Produk CEPT... 53

Tabel 3: Neraca Perdagangan Internasional-China Periode

2003- 2009 (Juta USD)………... 85

Tabel 4: Global Competitiveness Report 2009-2010………... 88

Tabel 5: Presentase Faktor Penghambat Terbesar bisnis China

vs Indonesia (2009-2010)………. 89

(17)

ABSTRAK

Pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan pembentukan perdagangan dunia dan telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota, dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep ini dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi yang maknanya ialah universal dan mencakup bidang yang sangat luas. Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas “Free Trade Agreement” regional, sebenarnya ada sistem multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada dalam kerangka regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak berjalan dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan langsung dan memajukan pertumbuhan ekonomi regional, dimana saat ini perdagangan secara regional lebih maju dan berkembang. Pembentukan perdagangan regional ini deperbolehkan berdasarkan Pasal 24 GATT.

Kerangka teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis pada penelitian ini adalah menggunakan teori Adam Smith yang melahirkan teori keadilan dengan tujuan untuk melindungi dari kerugian dalam transaksi perdagangan dan individu bebas mengejar kepentingannya sendiri, kemudian dikembangkan oleh Jhon Meynard Keynes tetap perlu campur tangan pemerintah, serta didukung oleh Jhon Rawls bahwa keadilan sebagai suatu kejujuran dan kesetaraan ( justice as fairness) dengan penelitian yuridis normatif dan sifat penelitian deskriftif analitis dengan data skunder meliputi bahan hukum primer, skunder dan tertier. Bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis secara kualitatif.

Sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), pada Framework Agreement on comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian Nation and The People’s Republic of China (Asean-China) yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia (Megawati) pada tanggal 4 Novenber 2002 di Phnom Penh, Kamboja, juga telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004, dengan UU.No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam kerangka ACFTA tetap sama dengan prinsip-prinsip yang ada dalam kerangka WTO seperti Most Favoured Nation, National treatment, larangan restriksi kuantitatif, perlindungan melalui tarif, taranparansi juga prinsip saling melengkapi, solidaritas, kerjasama dan penghormatan terhadap kedaulatan negara. Sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa tetap mengacu kepada ketentuan WTO Disputes Settlement Understanding (DSU), untuk sengketa ACFTA dapat diselesaikan melalui Disputes Settlement Mechamisme (DSM) ACFTA.

(18)

ABSRACT

The establishment of World Trade Organization (WTO) through Law No.7/1994 on Legalization of Trade Establishment has spread the concept of trade liberalization to the world especially its country members where the basic concept of trade liberalization is the elimination of constraints in international trade. In its implementation, this concept froms a globalization which means universal and includes a very big field. In relation to the agreement or understanding in a regional Free Trade Agreement, there is multilateral system (WTO) which is much better than the existing systems in regional level. Yet, the problem is that the multilateral system in the framework of WTO gets stuck and cannot function well that the country members begin to establish regional trade blocks such as ASEAN, AFTA, including, ACFTA to obtain a direct benefit and develop their regional economic growth where regional trade is currently making more progress and developing. The establishment of this regional trade is allowed based on Article 24 of GATT.

The theory used in this analytical descriptive study with normative juridical approach was the theory developed by Adam Smith focusing on theory of justice for self protection from the loss inflicted in a free individual trade transaction after vested interest. This theory was then developed by John Meynard Keynes saying government`s intervention is still needed. This theory was supported by John Rawls who focused on justice and equality (justice as fairness). The data for this study include primary, secondary and tertiary legal materials which were obtained through library research. The data obtained were qualitatively analyzed.

Since January 1, 2010, China has joint the Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) in the Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation Between The Association of South East Asian Nation and the People`s Republic of China (Asean – China) signed by the President of Republic of Indonesia (Megawati) on November 4, 2002 in Phnom Penh, Cambodia, and has also been ratified through Presidential decree No.48/2004 and Law No.24/2000 on International Agreement.

The principles found in the Framework of ACFTA remains the same as those in the framework of WTO such as Most Favorite Nation, National Treatment, prohibition of quantitative restriction, tariff-based protection, transparency, also the principle of mutual achievement, solidarity, cooperation and respect to national sovereignty. The system and mechanism of dispute settlement still refer to the stipulations of WTO Disputes Settlement Understanding (DSU), for the disputes occurred within ACFTA can be settled through Disputes Settlement Mechanism (DSM) ACFTA:

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembentukan World Trade Organization (WTO) telah memberikan konsep

liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negara-negara anggota,

dimana konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan

dalam perdagangan internasional. Konsep ini dalam pelaksanaannya membentuk

globalisasi1, yang maknanya ialah universal dan mencakup bidang yang sangat luas.

Dari segi ekonomi dan perdagangan globalisasi sudah terjadi pada saat mulainya

perdagangan rempah-rempah, kemudian tanam paksa di Jawa, sampai tumbuhnya

perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda, dan pada saat itu globalisasi lahir dengan

kekerasan dalam alam kolonialisme. Pada masa kini globalisasi ekonomi dan

perdagangan dilakukan dengan jalan damai melalui perundingan dan perjanjian

internasional yang melahirkan aturan perdagangan bebas serta memfokuskan

pengembangan pasar bebas terbuka.2

Percepatan proses globalisasi dalam dua dekade terakhir ini secara

fundamental telah mengubah struktur dan pola hubungan perdagangan dan keuangan

internasional. Hal ini menjadi fenomena penting sekaligus merupakan suatu “era

      

1

Eko Prilianto Sudradjat, Free Trade (Perdagangan Bebas) dan Fair Trade ( Perdagangan berkeadilan) Dalam Konsep Hukum, http:// Whatbecomethegreaterme.blogspot.com/2007/12/konsep-hukum-fair-trade.html, diakses pada tanggal 18 Maret 2011. 

2

(20)

baru” yang ditandai dengan adanya pertumbuhan perdagangan internasional yang

tinggi,3 artinya Indonesia telah menjalankan dan melaksanakan rezim perdagangan

bebas (era globalisasi). Dalam era globalisasi perdagangan bebas merupakan hal yang

sering diperbincangkan karena diharapkan membawa perubahan penting bagi dunia.

Untuk mencapai kondisi perdagangan bebas perlu cukup waktu, sebab

konsekuensi yang ditimbulkan tidak sedikit. Penghapusan hambatan perdagangan

internasional disatu sisi dapat membawa kebaikan, misalnya perdagangan bebas

memungkinkan arus masuk produk import lebih melaju, banyak beragam sehingga

menambah pilihan bagi konsumen. Proses kearah perdagangan bebas ini disebut

dengan liberalisasi perdagangan atau trade liberalization 4.

Namun disisi lain juga dapat membawa kejelekan dan diharapkan tidak akan

terjadi seperti,5 apabila pemerintah membebaskan pajak impor hingga 0 % (nol

persen), maka Indonesia tidak mendapat keuntungan dari produk impor, akan terjadi

defisit perdagangan, perdagangan bebas akan mengganggu pasar domestik dan

mengancam barang produksi dalam negeri, produksi Indonesia akan berkurang

dikarenakan produk impor membanjiri Indonesia, pemutusan hubungan kerja akibat

pengurangan produksi dari perusahaan, gulung tikar terhadap pengusaha lokal

      

3

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terrace & Library, 2009), hal. 1.  

4 

Ida susanti dan Bayu Seto, Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas: Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam melaksanakan perdagangan Bebas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 5. 

5

(21)

kemungkinan terjadi, termasuk Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah (UMKM)

karena produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor, masyarakat

Indonesia akan menjadi masyarakat konsumtif karena dibanjiri barang-barang impor

dengan relatif murah.

Perkembangan perdagangan yang semakin kompleks menuntut adanya sebuah

aturan atau hukum yang berbentuk tertulis dan berlaku secara universal. Hukum

adalah merupakan suatu kaidah sekaligus sebagai rujukan yang harus dipatuhi bagi

masyarakat internasional dalam hal melakukan kegiatan ekonomi (perdagangan)

untuk mengembangkan dan memperkuat struktur dan daya saing industri, khususnya

dalam business to business, baik secara bilateral dan regional sampai pada tingkat

internasional.

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) lahir dengan tujuan untuk

membuat suatu unifikasi hukum dibidang perdagangan internasional. Meskipun pada

awalnya masyarakat internasional ingin membentuk sebuah organisasi perdagangan

internasional di bawah PBB, namun dengan adanya penolakan dari Amerika Serikat,

maka negara peserta GATT membuat kesepakatan agar perjanjian dalam GATT

ditaati oleh para pihak yang menandatanganinya. Beragam kelemahan yang terdapat

dalam GATT kemudian diperbaiki melalui beberapa pertemuan. Salah satu

(22)

putaran tersebut dicapai kesepakatan untuk membentuk sebuah lembaga perdagangan

internasional World Trade Organization (WTO).6

Hal kongkrit yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tepatnya pada tahun

1994 dengan meratifikasi Agreement On Establishing the World Trade Organization

(WTO) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan

Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia7. Manfaat yang diharapkan

dari integrasi perekonomian yang ada di Indonesia ke perekonomian dunia secara

global melalui keikutsertaan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO salah satunya

adalah terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, sehingga

perekonomian Indonesia akan meningkat lebih baik bagi kepentingan nasional,

khususnya dalam menghadapi mitra dagang melalui hubungan regional.

Dengan adanya WTO, maka sistem yang telah menjadi kompleks akibat

perluasan yang dihasilkan Uruguay Round dapat ditempatkan dalam satu payung

dengan suatu organisasi yang lebih baik, sehingga kegiatan GATT versi baru ini akan

menuntut penanganan lebih kontinyu dan intensif di kalangan negara anggota.

Perjanjian Uruguay Round juga mengubah status organisasi GATT menjadi WTO

       6 

Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO,

http://senandikahukum.wordpress.com/2009/03/01/perjanjian-perdagangan-regional-rta-dalam-kerangka-world-trade-organization-wto-sudy, terakhir diakses pada hari senin tanggal 18 April 2011 

 

7

(23)

sebagai organisasi internasional sepenuhnya, dan Final Act merumuskan

dibentuknya WTO sebagai organisasi internasional.8

Kerangka institusi WTO merupakan alat untuk menerapkan single

undertaking approach terhadap seluruh hasil Putaran Uruguay. Maka seluruh anggota

WTO harus menerima hasil Putaran Uruguay tanpa kecuali. Menurut perjanjian,

secara operasional WTO mempunyai 5 fungsi utama yaitu:9

1. Mempermudah penerapan, pengadministrasian dan pengoperasian perjanjian-perjanjian yang ada dan mengikat semua pihak serta juga menyediakan kerangka untuk menerapkan, mengadministrasikan dan mengoperasikan Plurilateral Trade Agreements atau PTAs yang hanya mengikat pihak yang menyatakan turut serta.

2. Menyediakan forum negosiasi mengenai hubungan perdagangan bagi anggotanya.

3. Melaksanakan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Dispute.

4. Melaksanakan Trade Policy Review Mechanism.

5. Melakukan kerja sama dengan organisasi internasional lainnya terutama IMF dan Bank Dunia (IBRD) berserta lembaga-lembaganya.

Berdasarkan fungsi tersebut, WTO merupakan payung yang menawungi

berbagai jenis kesepakatan atau persetujuan yang mengatur tentang perdagangan dan

keikutsertaan suatu negara sebagai anggota WTO menimbulkan konsekwensi hukum

yang otomatis mengikat, bahkan disertai dengan sarana penerapan sanksi-sanksi bagi

pelanggaran terhadap aturannya. WTO juga adalah kerangka hukum sebagai

kesepakatan internasional, dan dijadikan sebagai acuan dalam setiap tindakan para

      

8

H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, (Jakarta: UI Press, 1997), hal. 299.

9

(24)

pelaku bisnis dan kebijakan pemerintah yang salah satu diantaranya berkaitan

khususnya dengan penanaman modal asing disamping hal-hal lain yang berkaitan

dengan transaksi perdagangan internasional.

Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat internasional yang turut

meratifikasi kerangka WTO ini, dengan sendirinya tunduk pada aturan perdagangan

yang dimuat dalam kesepakatan tersebut. Untuk itu Indonesia tanpa tawar menawar,

harus menyesuaikan peraturan perundang-undangannya, dengan kerangka WTO,

khususnya dalam kaitannya dengan bidang yang diatur dalam WTO,10 adalah murni

multilateral. Kelahiran WTO menandakan adanya usaha dari negara-negara untuk

melembagakan ketentuan-ketentuan tentang perdagangan internasional yang telah

disepakati dalam GATT. Upaya tersebut membuktikan keinginan dunia internasional

untuk membuat unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional dengan

prinsip yang menganut pada liberalisasi perdagangan dan kompetisi yang bebas.

Upaya untuk melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan

internasional yang dilakukan oleh WTO ternyata mengalami kesulitan untuk

mencapai kesepakatan multilateral. Hal ini disebabkan karena terlalu banyaknya

negara yang menjadi anggota dan tentunya anggota tersebut semua harus setuju.

Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral

sebenarnya sudah diambil jalan tengahnya dalam ketentuan Pasal 24 GATT tentang

      

10

(25)

diperbolehkannya pembentukan kerjasama-kerjasama regional dibidang perdagangan.

Ketentuan pasal tersebut memberi persyaratan bahwa pembentukan perjanjian

perdagangan regional tidak menjadi rintangan bagi perdagangan multilateral.11

Perkembangan saat ini, banyak negara-negara membuat perjanjian

perdagangan regional, karena bersifat lebih mudah dan aplikatif tidak melibatkan

terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi dalam WTO. Dengan

kata lain ada pengecualian yang membolehkan bagi negara anggota WTO untuk

membentuk organisasi-organisasi ekonomi (perdagangan) secara regional bilateral

dan tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya12.

Bahkan sekarang ini sering dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam

membuat kesepakatan, menjalin kerjasama dibidang ekonomi dan perdagangan antar

negara misalnya, dalam konteks custum union atau free trade area.13

Salah satu perjanjian perdagangan regional yang ada saat ini adalah Asean

Free Trade Area (AFTA) yang diprakarsai oleh Association of Southeast Asian

Nations (ASEAN) sebuah organisasi regional negara-negara di Asia Tenggara. AFTA

lahir pada tahun 1995 dengan tujuan untuk memberikan keuntungan-keuntungan

perdagangan bagi negara-negara yang berasal dari ASEAN. Upaya AFTA untuk

mewujudkan tujuannya adalah dengan melakukan kesepakatan preferensi terhadap

      

11

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 170. 

12

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan, ( Jakarta: BP. IBLAM, Cetakan I, 2005), hal. 21.  

13

(26)

barang-barang yang ada dari negara ASEAN.14 Selain itu juga Uni Eropa, Asia

Facific Economic Co-operation (APEC), North American Free Trade Agreement

(NAFTA) dan lainnya dengan syarat bahwa pembentukan organisasi (perdagangan)

regional tersebut tidak menjadi rintangan perdagangan bagi pihak ketiga, hal ini

berdasarkan pasal 24 GATT.

Kelahiran AFTA sendiri merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi

kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didomisi oleh

negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA

merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi terhadap pasar regionalnya dan timbul

atas perjanjian perdagangan regional yang lainnya, karena dengan adanya perjanjian

perdagangan regional ini akan melemahkan sistem perdagangan multilateral. Padahal

dalam ketentuan GATT sendiri mengatur tentang diperbolehkannya untuk

membentuk perjanjian pedagangan regional.15

Terkait dengan perjanjian atau kesepakatan dalam perdagangan bebas “Free

Trade Agreement” atau FTA yang bilateral dan regional, sebenarnya ada sistem

multilateral (WTO) yang jauh lebih baik daripada sistem-sistem yang ada dalam

kerangka bilateral dan regional. Akan tetapi yang menjadi problema adalah bahwa

sistem multilateral dalam kerangka WTO terhambat, macet, dan tidak berjalan

dengan baik, sehingga mulailah negara-negara membentuk blok-blok perdagangan

       14 

Administrator, Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) dalam Kerangka WTO, Op.Cit.  

15

(27)

regional seperti ASEAN, AFTA, termasuk ACFTA dengan tujuan meraih keuntungan

langsung. Dimana saat ini perdagangan secara regional lebih merebak, maju dan

berkembang.16

Perdagangan bebas ASEAN atau AFTA sudah diputuskan terhitung mulai

sejak 1 Januari 2010 China dipastikan bergabung lewat apa yang disebut dengan

Asean China Free Trade Agreement (ACFTA),17 pada Framework Agreement on

comprehensive Economic Co-opration Between The Association of South East Asian

and The People’s Republic of China (Asean-China). China cukup agresip untuk

mengejar FTA ini, karena ekonomi China yang tumbuh dengan laju 9 % (sembilan

persen) pertahunnnya sangat membutuhkan bahan mentah dan energi, juga beberapa

produk pertanian dan kehutanan yang ia ingin pastikan dengan FTA tersebut.

Masuknya China dalam perdagangan bebas ASEAN ini meresahkan kalangan

produsen tekstil dalam negeri, karena bisa dipastikan semua produk bebas masuk ke

pasar ASEAN termasuk Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka prinsip-prinsip pengaturan

perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA sebenarnya tidak jauh berbeda dengan

      

16

Renegosiasi Perjanjian dagang ACFTA, Koran Waspada, kamis tanggal 14 Mei 2010. Lihat juga M. Sadli, Kerja Sama Ekonomi Asia dan Posisi Indonesia,

http://www.kolom.pasific.net.id/ind, terakhir diakses pada tanggal 16 Juli 2007.

   

17

Administrator, China Bergabung Dalam AFTA,

(28)

prinsip-prinsip perdagangan bebas yang diatur dalam ketentuan WTO. Hal ini

disebabkan bahwa ketentuan dalam ACFTA tetap mengacu kepada WTO.18

Sikap Indonesia terhadap perdagangan bebas internasional khususnya

perdagangan bebas ACFTA sering mendua atau ambivalen. Artinya di satu pihak

Indonesia takut bahwa pasar dalam negeri akan direbut oleh asing, akan tetapi di lain

pihak juga disadari bahwa kalau tidak mengikuti mode dan trend FTA khusus

ACFTA maka Indonesia akan jauh ketinggalan dari negara lain.

Akhirnya Indonesia juga membuka perundingan atau kesepakatan secara

bilateral untuk mencapai FTA dan prosesnya mengandung “give and take”. Jika

Indonesia menginginkan suatu konsesi atau fasilitas maka Indonesia harus bisa

menawarkan suatu konsesi secara “quid and pro”, dan berangsur-angsur membuka

Indonesia untuk perdagangan yang bebas.19

       18 

Gotar Bain, Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal. 142, dan prinsip tersebut adalah : (1). MFN (Most-Favoured-Nation) yaitu perlakuan sama terhadap semua anggota mitra dagang berdasarkan kesepakatan WTO, (2). National Treatment yaitu perlakuan yang sama diberikan baik terhadap badan usaha milik asing maupun terhadap badan usaha milik negara sendiri, (3). Transparancy yaitu mengaharuskan negara-negara anggota membuat seluruh peraturan perundangan yang relevan terbuka untuk semua pihak, (4). Regulation yaitu suatu peraturan objektif dan bisa diterima, karena peraturan domestik merupakan cara yang paling efektif untuk mengatur dan mengawasi perdagangan jasa, maka kesepakatan menetapkan agar negara-negara anggota mengatur perdagangan jasa yaitu mengaharuskan negara-negara anggota membuat seluruh peraturan perundangan yang relevan terbuka untuk semua pihak,secara tidak berat sebelah,(5). Recognition atau pengakuan yaitu membuat kesepakatan untuk saling mengakui kualifikasi masing-masing dalam hal prosedur izin dan sertifikat pemasok barang, (6). International transfer yaitu suatu negara harus membuat komitmen untuk membuka sektor jasa bagi foreign competition, (7). Komitment spesifik yaitu komitmen masing-masing aggota secara individu untuk membuka pasar bagi sektor jasa spesifik, (8). Basis for progressive liberalisation atau Liberalisasi progresif yaitu meletakkan dasar bagi liberalisasi progresif dibidang jasa melaui mengembangan dari nasional schedules masing-masing negara. 

19 

(29)

Dengan demikian terhadap perdagangan bebas khususnya ACFTA tentunya

resiko ke depan sudah pasti akan terjadi, misalnya suatu anggota merasa dirugikan

akibat tindakan anggota lain (perselisihan atau sengketa dalam perdagangan). Artinya

ada sistem dan prosedur penyelesaian dalam sengketa yang terjadi atau yang akan

terjadi. Secara umum sistem dan prosedur penyelesaian sengketa ini diatur dalam

Understanding on Rules and Procedures Govening the settlement of Dispute atau

lebih dikenal dengan Dispute Settlement Understanding (DSU) yang merupakan

annex 2 dari perjanjian WTO dan berlaku untuk seluruh sengketa mengenai

pelaksanaan perjanjian WTO.20 Upaya penyelesaian sengketa dilakukan oleh suatu

badan yang disebut dengan Dispute Settlement Body (DSB).

Kesepakatan multilateral dalam kerangka WTO lebih superior dari pada

kesepakatan FTA bilateral atau regional, maka pemerintah Indonesia sebaiknya tetap

berkiblat kepada pengaturan multilateral walaupun merundingkan FTA secara

bilateral. Demikian juga halnya FTA bilateral harus dikaitkan dengan FTA regional

dan harus disesuaikan dengan WTO. Artinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam

aturan hukum perdagangan bebas secara regional tetap pondasinya pada aturan

ketentuan yang ada dalam WTO, serta tidak betentangan dengan WTO.

      

20

(30)

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka penelitian ini

diberi judul “ Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan Regional Dalam

Kerangka WTO (Studi Terhadap Kesepakatan Perdagangan AFTA-China)”.

B.Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa hal yang

menjadi isu hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan kesepakatan perdagangan bebas Regional dalam

kerangka WTO ?

2. Bagaimana prinsip-prinsip pengaturan perdagangan bebas dalam kerangka

ACFTA ?

3. Bagaimana ketentuan tentang penyelesaian sengketa dalam kerangka

perdagangan bebas ACFTA?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang pengaturan kesepakatan

(31)

2. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang prinsip-prinsip

pengaturan perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN-China

Free Trade Agreement.

3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang ketentuan-ketentuan

penyelesaian sengketa dalam kerangka perdagangan bebas

ACFTA.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi

seluruh pihak dan kalangan yang dapat memanfaatkannya, dan dalam pemanfaatan

penelitian ini ada dua hal yang sangat penting, baik secara teoritis maupun secara

praktis antara lain sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Merupakan bahan untuk penelitian lebih lanjut, baik sebagai bahan dasar

maupun bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan

dengan rumusan penelitian ini dan memberikan sumbangan pemikiran hukum

khususnya dalam bidang hukum perdagangan Internasional.

2. Secara praktis

Memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum, negara dan

(32)

perdagangan regional dalam kerangka WTO tersbut, dalam hal ini perdagangan

bebas yang berkaitan dengan diterapkannya ACFTA.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh

peneliti terhadap hasil-hasil penelitian khususnya di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, maka penelitian tentang “Analisa Hukum Mengenai Ketentuan

Perdagangan Regional Dalam Kerangka WTO (Studi Terhadap

Kesepakatan AFTA-China), belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,

namun walaupun ada beberapa penelitian tesis yang membahas terkait dengan

pembahasan perdagangan bebas, AFTA, ACFTA, dan WTO antara lain diteliti

oleh:

1. Siti Bunga Sitohang, Nim 017005034, mahasiswi Program Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Peraturan Kerja Sama

Secara Bilateral Dibidang Ketenagakerjaan Antara Indonesia Dengan

Malaysia Ditinjau Dari Perjanjian Hukum Internasional”.

2. Rita Erlina, Nim 047005012, mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Anti Dumping Dalam

Perdagangan Internasional: Sinkronisasi Peraturan Anti Dumping Indonesia

(33)

3. Joi Arianto, Nim 077005125, mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Ketentuan Harmonisasi Tarif Bea

Masuk Dalam Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas Regional Ditinjau

Dari Sudut Kepabean”.

4. Febrina Rezkitta Hasibuan, Nim 087005045, mahasiswi Program Magister

Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kebijakan Dibidang

Perdagangan Yang Tanggap Terhadap Perubahan Makrostruktur Sistem

Internasional (Analisis yuridis Terhadap Perjanjian AFTA China-Indonesia”

dengan ketentuan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana suatu kebijakan dinyatakan tanggap terhadap

makrostruktur sistem internasional ?

2) Bagaimana kesiapan hukum di Indonesia dalam menghadapi

liberalisasi perdagangan di bawah China-AFTA ?

3) Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi liberalisasi

perdagangan berdasarkan China-AFTA ?

5. Mayer Hayrani DS, Nim 097005042, masiswa Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Perlindungan Hukum Terhadap

Industri Dalam Negeri Menghadapi ACFTA” dengan ketentuan masalahnya

sebgai berikut:

1). Bagaimana perlindungan hukum terhadap industry dalam negeri

(34)

2). Bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi industry dalam

negeri terhadap dampak negative diberlakuannya ACFTA?

Dalam hal ini tentunya dari segi judul dan materi, substansi dan

permasalahan serta pengkajian dalam penelitiannya berbeda sama sekali, dan

oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan

ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara jujur, akademis dan ilmiah,

karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian

yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti dan akademisi, dengan demikian

penelitian ini adalah asli.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran serta teori yang akan menjadi

dasar kerangka bagi penelitian ini yang awalnya lahir dari adanya

hubungan-hubungan internasional selanjutnya menjadi teori hukum internasional atau

international legal Theory.

Adapun teori tentang perdagangan bebas yang digunakan adalah teori yang

dikemukakan oleh Adam Smith (1723-1790), seorang guru besar dibidang Filosofi

(35)

teori hukum, bapak ekonomi modern,21 telah melahirkan teori keadilan (justice),

bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian “the end of justice is to

secure from injure” yang berawal dari persepektif kapitalisme klasik terhadap

perdagangan bebas internasional didasarkan pada prinsip laissez faire dalam karyanya

yang sangat terkenal An Inquiry to the Nature and Causes of the Wealth Natio.

Awalnya kapitalisme dianggap cukup atraktif dimana versi Adam Smith ini diyakini

akan mampu memberikan kesejahteraan kepada mayarakat. Dalam The Wealth of

Nation Smith juga mendiskripsikan bahwa sistem harga akan bekerja dan bagaimana

ekonomi yang bebas dan berkopetensi akan berfungsi tanpa ada campur tangan

pemerintah melalui pengalokasian sumber daya dengan cara yang efesien. Smith juga

mendiskripsikan pandangan laissez faire atau prinsip bebas melakukan apa saja,

bahwa berbagai transaksi ekonomi yang independen akan terdapat harmoni alamiah

di mana manusia mencari pekerjaan, produsen menghasilkan barang, konsumen

membelanjakan penghasilannya untuk membeli produk yang berdasarkan pilihan

masing-masing.22

Adam Smith percaya bahwa kepentingan pribadi tidak boleh dikekang oleh

negara. Lebih jauh dikatakan bahwa selama pasar bebas bersaing, tindakan individu

yang didorong oleh kepentingan diri akan berjalan bersama dengan kebutuhan

      

21

Bismar Nasution, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, (Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2005), hal. 4. Lihat juga Neil MacCornick, Adam Smith On Law, Valparaiso University Law Review, (vol. 15, 1981), hal. 244. 

22

(36)

bersama khalayak ramai. Sebagaimana diuraikan Smith bahwa bila dalam transaksi

dengan orang lain setiap individu bebas mengejar kepentingannya sendiri, maka

bukan hanya individu itu yang beruntung, akan tetapi juga seluruh masyarakat.23

Meskipun tidak setuju dengan campur tangan pemerintah, akan tetapi seperti

diuraikan Smith tersebut, peran negara tidak hilang sama sekali, hanya dikurangi

sampai tingkat minimal. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah punya tugas yang

amat sangat penting dan yang begitu luas serta jelas bagi pemahaman umum. Pertama

tugas untuk melindungi masyarakat dari kekarasan dan serbuan negara lain. Untuk

melindungi sejauh mungkin setiap warga negara dari ketidakadilan dan

pemaksaan/pemerasan yang dilakukan oleh warga lain, atau tugas menyelenggarakan

secermat mungkin tata keadilan.24

Smith juga mengajarkan bahwa perdagangan bebas akan dengan sendirinya

menciptakan international devision of labour (pembagian kerja internasional) yang

saling menguntungkan, di mana masing-masing negara akan mengekspor barang

maupun jasa ke pasar internasional yang dianggap paling menguntungkan dari segi

biaya produksi maupun jasa ke pasar internasional.25

      

23

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal : Studi kesiapan Indonesia Dalam Perjanjian Inverstasi Multilateral, (Medan: Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pascasarjana, 2005), hal.191. dan lihat juga dalam “Adam Smith ,Teori Adam Smith,

(37)

Namun pada prinsipnya mengenai sistem perdagangan bebas ini juga

dikembangkan oleh John Meynard Keynes bahwa sistem perdagangan bebas ini

adalah sistem ekonomi kapitalis yang terkontrol melalui campur tangan negara.26

Artinya Keynes menyatakan bahwa perlunya campur tangan pemerintah dan

pendanaan langsung dari pemerintah untuk menanggulangi kemerosotan investasi

swasta dan daya beli demi untuk merangsang pemulihan ekonomi. Anjuran Keynes

ini memunculkan konsep negara kesejahteraan (welfare state) dan membawa

perubahan bahwa campur tangan negara dalam masyarakat sangat mengubah

pekerjaan yang bisa dilakukan oleh hukum tradisional,27 dimana peran negara yang

besar diakui tidak saja untuk menjamin keamanan internal dan ekternal, akan tetapi

lebih jauh bertanggung jawab atas sejumlah besar ketidakadilan. Negara harus

mengambil peran dalam penghapusan ketidakadilan tersebut dari sistem yang ada

melalui sejumlah intervensi ekonomi dan sosial.28

Salah satu bentuk intervensi dalam konteks hukum adalah keadilan, dan

tentunya tidak terlepas dari ketentuan yang mengatur perdagangan bebas termasuk

prinsip-prinsip perdagangan yang tertuang dalam ketentuan WTO, bahwa

perdagangan bebas bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis

produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan hambatan non-bea di

      

26

Ida susanti dan Bayu Seto, Op.Cit., hal. 14. Lihat juga dalam

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/22/opini/2068215.htm, diakses pada tanggal 7 Maret 2011. 

27

Satjipto Rahardjo,SH, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, (Mataram: Genta Publishing, 2009), hal. 27. 

28

(38)

lingkaran ASEAN dalam AFTA untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antara

negara anggota ASEAN juga untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antara negara

ASEAN guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang

berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN dimana hal tersebut sangat

penting bagi pencapaian stabilitas dan kemakmuran di kawasan.

Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Jhon Rawls dalam teori

keadilannya (theory of justice), bahwa keadilan adalah sebagai suatu kejujuran dan

kesetaraan ( justice as fairness), yaitu memberikan keuntungan terbesar bagi yang

paling tidak diuntungkan serta membuka kesempatan yang fair. Keadilan sebagai

konsep yang didasarkan pada asas persamaan dan ketidaksamaan ( equality and

inequality) dimana nilai-nilai sosial, kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan

kemakmuran berdasarkan self respect harus didistribusikan sesama.29

Namun demikian ketidaksamaan distribusi kemakmuran diperkenankan

selama hal tersebut untuk memberikan kebaikan kepada setiap orang. Dengan kata

lain, inequalities diperkenankan sepanjang everyone”s position be improved. Teori

keadilan Jhon Rawls (Rawlsian) yang juga dinamakan sebagai contract theory

mengandung maksud bahwa keadilan dalam konteks atau situasi kontraktual dan

prinsip timbal balik (reciprocity) yang merupakan salah satu prinsip terkait hubungan

       29   

(39)

dalam perdagangan internasional serta karakter hukum internasional bercirikan suatu

sistem hukum yang sifatnya horizontal (horizontal legal system).30

Konsep keadilan internasional Rawls digambarkan kedalam konteks hukum

internasional dan dapat diaplikasikan dalam hal perdebatan melalui negosiasi

pengadaan harus terhindar dari unsur manipulasi, dominasi, tekanan terhadap

kelompok inferior yang selanjutnya dinamakan kriteria resiprositas juga melahirkan

ketegangan internal dalam teori liberal itu sendiri yaitu adanya tensi antara teori

keadilan perdagangan utilitarian dan liberatarian. Pertama, bahwa perdagangan

internasional yang harus dikontruksi untuk perlindungan kesamaan moral (morality

equality) dari semua individu yang dikenakan aturan. Kedua, keadilan dalam

pandangan liberal memerlukan hukum perdagangan internasional yang berlaku dan

menguntungkan negara yang kurang beruntung. Ketiga, bahwa keadilan liberal

memasyarakatkan hukum internasional yang tidak mengorbankan hak asasi manusia

dan perlindungan efektif terhadap hak asasi manusia untuk mencapai kesejahteraan

(welfare gains), keadilan adalah suatu cita-cita dari segala kepentingan hukum

perdagangan internasional tidak lain adalah “keadilan”.

Maka keadilan dalam pandangan internasional memerlukan komitmen

terhadap perdagangan bebas sebagai elemen fundamental dari hubungan

perekonomian yang adil, artinya bahwa prinsip dasar perdagangan bebas tetap

      

30

(40)

menelaah dari aturan-aturan dasar yang terdapat dalam GATT 1994 dan didukung

dengan pendapat para ahli hukum khususnya hukum internasional.

Dengan demikian pada dasarnya prinsip liberalisasi perdagangan internasional

menganggap semua pihak sama kedudukannya dan dalam prinsip ini tersirat prinsip

persaingan yang bebas melalui kesempatan yang sama misalnya perdagangan baik

secara bilateral maupun regional tetap ketentuannya dalam kerangka WTO dan

dengan bergabungnya China dalam AFTA terkait WTO, maka negara-negara

berkembang memiliki suara yang lebih berpengaruh pada satu pihak, walaupun

terdapat kepentingan China dan kepentingan dari negara-negara berkembang lainnya

tidak sepenuhnya berjalan seiring.

Selanjutnya mengenai uraian teori di atas tersebut adalah akan menjadi pisau

analis untuk membuktikan bahwa norma-norma hukum internasional yang terkait

dengan judul penelitian yaitu “Analisa Hukum Mengenai Ketentuan Perdagangan

Regional Dalam Kerangka WTO (Studi terhadap kesepakatan AFTA-China)”. Dalam

rangka kajian terhadap analisa hukum mengenai kesepakatan regional (studi terhadap

kesepakatan AFTA-China) tersebut, perlu memperhatikan sebagai mana diamati hasil

studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan pembangunan terdapat 5 (lima)

unsur yang harus dikembangkan agar tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas

(41)

pengembangan khusus dari sarjana hukum ( the special development abilities of the

lawyer).31

Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas

ini merupakan persyaratan supaya ekonomi berfungsi dengan baik. Dalam hal ini

“stabilitas” berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari

kepentingan-kepentingan yang saling bersaing, dan dalam hukum internasional stabilitas berfungsi

untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi persaingan kepentingan antara

kelompok negara berkembang dengan kelompok negara maju dengan kapasitas masih

dalam lingkup kerangka WTO .

Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi

ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara32. Hal ini

sejalan dengan J.D. Ny. Hart, yang mengemukakan konsep hukum sebagai dasar

pembangunan ekonomi yaitu predictability, procedural capability, codification of

goals, education, balance, definition and clarity of status serta accommodation.33

Aspek keadilan “fairness” adalah ukuran yang menyeimbangkan

kepentingan-kepentingan lembaga WTO di satu pihak, dengan kepentingan

masyarakat di negara-negara berkembang di pihak lainnya, terutama yang berkenaan

      

31

Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development”, Journal of International and Policy, Vol.9, 1980), hal. 232, dikutip dalam Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi , Op.Cit. hal. 37. 

32

Ibid. 

33

(42)

dengan hubungan-hubungan internasional, contoh dalam kesepakatan perdagangan

bebas regional dan setiap problema perdagangan yang timbul sebagai akibat

perjanjian dalam kerangka WTO harus benar-benar diselesaikan dengan ketentuan

atau norma-norma hukum internasional.

Keadilan yang diharapkan dari perdagangan bebas dalam kerangka ACFTA

ini adalah memperoleh keuntungan yang besar bagi semua negara anggota khususnya

ACFTA dengan tidak membedakan antara negara-negara maju dengan negara-negara

berkembang. Kaitannya dengan perdagangan, dalam bentuk apapun ada kelompok

besar dan kelompok kecil yang terlibat dalam kegiatan dagang atau pelaku usaha.

Keadilan yang diharapkan dalam hal ini, ketika keduanya bersatu harus berdasarkan

prinsip kesetaraan tanpa harus menghilangkan perbedaan-perbedaan tersebut. Dengan

kata lain, nilai dasar yang hendak dicari dan diperoleh oleh berbagai peraturan hukum

adalah keadilan. Masyarakat ASEAN khususnya yang tergabung dalam ACFTA

merasakan, bahwa keadilan tercapai apabila seseorang yang tidak bersalah tidak

dikenakan hukuman, juga dirasakan adil jika seorang kreditur dilindungi haknya

untuk mendapatkan kembali uangnya dari sidebitur. Keadilan tercermin pula apabila

negara yang sudah cukup memiliki modal, mengalirkan modalnya ke negara yang

kekurangan modal.34

Jelas, bahwa semua sistem hukum ASEAN mempunyai persamaan yang besar

dan mendasar adalah sama-sama mencari keadilan yang benar-benar adil, seperti

      

34

(43)

yang dicita-citakan orang cerdik pandai Aristotels, Adam Smith, John Rawls dan

lainnnya yang tidak disebutkan, mereka banyak mengajukan analisis tentang

keadilan.35

Artinya jika dikaitkan dalam perdagangan ACFTA, Indonesia dan China

tentunya terdapat perbedaan, misalnya produk China terkenal dengan harga murah

dan relatif bagus sehingga dapat bersaing dengan produk lokal. Namun harga saja

bukan faktor yang menentukan konsumen untuk membeli. Oleh karena itu, sebaiknya

konsumen juga harus memperhatikan kualitas, purna jual, pelayanan, dan

faktor-faktor lainnya. Maka ada baiknya keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh

4P yaitu Product atau produk, Price atau harga, Place atau distribusi, dan Promotion

atau promosi, sehingga perbedaan-perbedaan tersebut jangan dihilangkan, artinya

penentuan untuk membeli ada pada pihak konsumen.

2. Konsepsi

Kerangka konsepsional ini penting untuk dirumuskan agar tidak tersesat

kepemahaman yang lain di luar maksud penulis dalam penelitian ini. Konsepsional

ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas

dan standart. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan

salah satu inti sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah

      

35

(44)

suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan

dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.36

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan

beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan

yang telah ditentukan. Adapun konsep yang dimaksud pada penelitian ini antara lain:

1. Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan azas yang mengatur

hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, antara negara

dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau

subjek hukum bukan negara satu sama lain.37

2. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan

apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis

oleh pemrintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,

organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta

menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia

yang bersifat hukum Publik.38 Perjanjian Internasional dalam hal ini

adalah Asean-China Free Trade Agreement.

      

36

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 48. 

37

Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1989 ), hal. 3. 

38

(45)

3. Kesepakatan atau Perjanjian Bilateral adalah merupakan perjanjian yang

dibuat atau diadakan oleh dua negara atau diadakan oleh pihak, dua subjek

hukum internasional.

4. Kesepakatan Perdagangan Regional adalah merupakan kesepakatan yang

diadakan dengan lebih dari dua negara dalam lingkup regional (kawasan

tertentu) terhadap kawasan-kawasan lainnya.

5. Perdagangan bebas adalah masuknya barang dan jasa dari satu unsur ke

unsur lain tanpa dikenai tarif, dan merupakan sebuah konsep ekonomi

yang mengacu kepada Harmonizet Commodity Deskription and Coding

System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization. Dengan

kata lain perdagangan bebas disebut juga sebagai tidak adanya hambatan

buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antara

individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang

berbeda.

6. Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang bersifat lintas batas

yang dilintasi oleh negara dalam suatu perdagangan internasional yang

sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang

diterapkan pada barang export import dan juga regulasi non tarif pada

barang import. Seacara teori semua hambatan-hambatan inilah yang

ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya

perjanjian-perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh penganut perdagangan bebas

(46)

terciptanya pasar bebas. Oleh Adam Smith menunjukkan bahwa

perdagangan internasional merukan stumuls bagi pertumbuhan melalui

perluasan pasar bagi produsen domestik serta melalui bertambahnya

kesempatan pembagian kerja serta diperkenalkannya teknologi baru.39

7. Industri Dalam Negeri adalah suatu industri atau perusahaan (pabrik) yang

menghasilkan barang-barang dalam negeri secara domestik.

8. ACFTA adalah perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara

ASEAN yang tergabung dalam AFTA dengan China.

G.Metode Penelitian

Untuk lebih jelasnya apa makna dari metode penelitian, maka ada baiknya

penulis menjelaskan kata per kata berikut ini. Karena dalam penyusunan dan

penulisan penelitian tesis ini digunakan istilah metode penelitian. “Metode”

adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi

sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.40 “Penelitian” adalah suatu

kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,

metodologis, dan konsisten,41 juga suatu upaya pencarian.42 “Penelitian hukum”

      

39

Hata, Perdagangan Internasional dalam system GATT dan WTO: aspek-aspek hukum dan non hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 18.  

40

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metode Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta:Indonesia Hillco, 1990), hal. 106. 

41

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hal.1 

42

(47)

adalah merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi,43 dan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan

pemikiran tertentu dengan tujuan untuk mempelajari gejala hukum,44 sebagai

kajian ilmu hukum.45

Dengan demikian dalam penelitian ilmiah, rangkaian kegiatan dalam

penelitian ini adalah mengikuti metode penelitian yang ditetapkan di lingkungan

Universitas Sumatera Utara sebagai berikut;

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Penelitian Yuridis Normatif46 dengan sifat Penelitian adalah deskriptif analitis.47

Maksud dari yuridis normatif adalah penelitian ini dilakukan dengan

memfokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma

hukum positif yang terkait dengan Undang-undang mengenai pengaturan

perdagangan bebas regional. Kemudian yang dimaksud dengan deskriptif analitis

adalah bahwa penelitian ini menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara

analitis keadaan atau gejala berupa perdagangan bebas regional dalam kerangka

      

43

Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 35.  

44

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 

45

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), hal. 46. 

46

Mahmul Siregar, Buku 1, Op. Cit., hal. 28 

47

(48)

ACFTA, baik yang bersifat normatif maupun empiris dengan tujuan untuk

memecahkan masalah yang telah dirumuskan dalam isu hukum, seterusnya

mencakup atas asas-asas hukum, sistematika hukum, singkronisasi hukum,

sejarah hukum dan perbandingan hukum,48 dan pada prinsipnya tidak lain adalah

semua ketentuan-ketentuan mengenai hukum internasional yang terkait dengan

materi perdagangan yang bersifat regional.

2. Sumber Data

Mengenai bahan-bahan yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam

penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum

tertier.49 Dimana ketiga bahan hukum ini adalah sebagai data pokok dan dalam hal ini

disebut dengan data sekunder,50 yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan atau ketentuan perundang-undangan

sebagai hukum yang tertulis dan terkait di bidang hukum internasional

termasuk konvensi-konvensi internasional, kesepakatan atau perjanjian

internasional, kovenan-kovenan internasional, dan juga peraturan perundang

undangan nasional (Indonesia) antara lain: Undang-undang Nomor 7 Tahun

1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan

Dunia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

      

48

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985), hal. 17. 

49

Peter Mahmud Marjuki, Op.Cit., hal. 142. 

50

Gambar

Tabel  1 Beberapa PTA regional di dunia
Tabel 2
Tabel 3 Neraca Perdagangan Indonesia – China *)
Global Competitveeness Report 2009-2010 Tabel  4 Rank. Kompetitif
+3

Referensi

Dokumen terkait