• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis politik hukum Islam mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis politik hukum Islam mengenai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.sy)

Oleh : Siti Iqri Mayanah NIM : 107045201809

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)

i

















Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunianya kepada seluruh makhluknya, dan atas segala rahmat dan hidayahnya. Penulis menghanturkan shalawat teriring salam kepada Rasul pilihan pengemban risalah illahi, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya sebagai uswah kita meniti hidup dan aktifitas kita sehari-hari.

Selanjutnya penulis menghanturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik dalam bentuk dorongan moril maupun materil. Karena penulis tanpa dukungan serta bantuan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu atas terselesaikannya penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M

(5)

ii

telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam membimbing skripsi ini

5. Nahrowi, S.H, M.H selaku dosen pembimbing kedua skripsi yang juga telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya

6. Ayahanda H. Umarullah dan Ibunda Hj. Siti Zakiah selaku orangtua tercinta, Hj. Umrah selaku nenek, semoga segala motivasi yang telah diberikan dapat bermanfaat pada suatu hari nanti.

7. Adik-adiku tersayang Vicki, Fathur, Naya, Subhan, Saskia, Nabila dan kakak ku Rista, Kiki, Gadis yang sudah memberikan semangat untuk mengerjakan skripsi ini

8. Teman-teman jurusan Ketatanegaraan Islam angkatan 2007, Sahabat-sahabatku tercinta yaitu Vivi, Lisa, Anda, Afiat, Desy, Dina, Anis yang telah memberikan motivasi dan semangat untuk mengejar ketertinggalan skripsi ini sehingga akhirnya tercapai.

Tangerang, 15 September 2011

(6)

iii

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang dijukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya antumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tangerang, 12 September 2011

(7)

iv

DAFTAR ISI ……… iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….………1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ……….………9

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian……….………9

D. Tinjauan Pustaka ………10

E. Metode Penelitian ……...……… 12

F. Sistematika Penulisan ………14

BAB II POLITIK HUKUM KETENAGAKERJAAN A. Pengertian Politik Hukum ………16

B. Hubungan Hukum dan Politik ………19

C. Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia ………26

BAB III KETENAGAKERJAAN DALAM SEJARAH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 A. Ketenagakerjaan Dalam Sejarah Islam ………36

B. Ketenagakerjaan Dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003…..45

BAB IV ANALISIS POLITIK HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (Putusan Nomor 012/Puu-1/2003)

(8)

v

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ……….64 C. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang

Ketenagakerjaan ……….72

D. Analisis Politik Hukum Islam Terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi ……….73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……….89

B. Saran-saran ……….90

DAFTAR PUSTAKA ……….91

(9)
(10)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian, layak pula bila dikatakan bahwa hukum adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat. Tetapi hukum bukanlah bangunan sosial yang statis, melainkan ia bisa berubah dan perubahan ini terjadi karena fungsinya untuk melayani masyarakatnya. Perubahan yang paling utama nyata terjadi manakala diikuti sejarah sosial sesuatu masyarakat dan bagaimana nampaknya terhadap hukum yang berlaku di situ.

Indonesia menyimpan bahan sejarah yang cukup kaya dan adalah menarik sekali apabila para ahli sudi untuk menelusuri hubungannya dengan perkembangan hukum negeri ini. Pemahaman serta penglihatan terhadap perkembangan hukum yang demikian sangat bermanfaat oleh karena ia akan memberikan masukan informasi yang berharga sekali bagi pemahaman yang seksama mengenai kehidupan hukum di Indonesia.1

Politik hukum merupakan legal policy (sebagai kebijakan resmi negara) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai

1

(11)

tujuan negara. Hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. 2

Negara hukum yang dibangun di atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial dalam suatu masyarakat Indonesia yang bersatu nampaknya merupakan aspirasi dari para pendiri Negara Republik Indonesia. Hal itu Nampak nyata bila kita membaca pokok-pokok pikiran yang termuat dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Gagasan Hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial dalam masyarakat bangsa Indonesia. Pengalaman hidup masyarakat Indonesia dibawah kekuasaan raja-raja feodal yang sangat menindas, dan kemudian kaum penjajah barat yang juga menindas dan menghisap sumber daya masyarakat bangsa Indonesia menyadarkan para pendiri Republik Indonesia tentang perlunya dibangun sebuah Negara hukum yang didasarkan atas prinsip demokrasi dan keadilan sosial dalam suatu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu.3

Politik adalah upaya manajemen konflik, bahwa konflik adalah selalu ada dalam setiap hubungan sosial. Karena politik pada dasarnya memuat unsur-unsur nilai, kepentingan dan kekuasaan, maka hubungan politik juga memuat potensi konflik. Hasil manajemen itu adalah sesuatu penyelesaian konflik antara lain, muncul sebagai aturan main atau hukum. Politik yang paling ideal adalah komunitas. Dalam

2

. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 2. 3

(12)

unit politik ini warga saling merasa terikat bukan karena kepentingan materiil, tetapi lebih karena ikatan-ikatan yang lebih emosional, karena itu komunitas adalah unit politik yang paling terintegrasi. Karena unsur-unsur menonjol dalam suatu komunitas adalah kepatuhan warganya kepada hukum, maka pengembangan komunitas juga menjadi pengembangan hukum. Pembangunan politik, juga secara sangat menyederhanakan, bisa diartikan sebagai : pertama, upaya pembinaan wewenang atau kapasitas suatu sistem politik, kedua, pengembangan partisipasi warga sistem itu

dan ketiga, pemantapan pembagian kerja. Ketiga upaya ini merupakan ukuran

kemajuan suatu masyarakat. Dan dalam proses ini hukum berperan sangat penting, karena pada dasarnya wujud konkrit pelembagaan itu adalah aturan main.4

Tuntutan atau harapan yang relevan yakni perubahan sistem politik yang memberi kebebasan pada jumlah dan asas yang dianut oleh partai politik. Selain itu juga terbentuknya hukum nasional dengan mengakomodasi berbagai hukum lokal yang plural, termasuk hukum agama (hukum Islam).5

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat,

4

Moh Busyro Muqoddas dkk, Politik Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta: UII Press, 1992), h. 147.

5

(13)

martabat, dan harga diri serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual.

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan tenaga kerja mempunyai banyak dimensi keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencangkup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan kerja, dan pembinaan hubungan industrial.6

Produktifitas kerja suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh produktivitas kerja karyawannya. Atau dapat dikatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara hasil dari suatu pekerjaan karyawan dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan. Atau juga bisa dikatakan, poduktivitas kerja karyawan akan bisa dicapai melalui motivasi yang kuat ditopang dengan budaya kedisiplinan kerja yang tinggi.

Pasca Indonesia merdeka, dihasilkan dua Undang-undang yaitu UU No. 12 Tahun 1948 tentang kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang

6

(14)

Pengawasan Perburuhan, yang memuat banyak aspek perlindungan terhadap buruh. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 misalnya memuat larangan terhadap diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam dalam seminggu, kewajiban pengusaha untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja, termasuk sebuah pasal yang melarang mempekerjakan anak dibawah usia 14 tahun. Selain itu Undang-undang ini juga menjamin hak perempuan buruh untuk mengambil cuti haid dua hari dalam sebulan, dan pembatasan kerja malam bagi perempuan.

Sedangkan dalam UU No.13 Tahun 2003 mengatur tentang ketenagakerjaan, tetapi sejak awal mulai pembahasannya hingga pengesahan, Undang-undang Ketenagakerjaan, yang awalnya disebut RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK), sudah banyak menimbulkan kontroversi, karena pertama-tama dianggap telah tidak berpihak kepada kepentingan buruh/pekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal, nasional dan terutama internasional, serta tidak cukup mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruh/pekerja Indonesia. Didalam Undang-undang ini diantaranya juga mengatur tentang kebijakan seperti Upah minimum, Outsourcing (kontrak kerja), mogok kerja, pemutusan hubungan kerja.7

Meliputi hubungan kerja yang terjadi dibadan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha

7

(15)

lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.8

Seperti diketahui bahwa tujuan hukum perburuhan adalah melaksanakan keadilan sosial dalam bidang perburuhan yang diselenggarakan dengan jalan melindungi buruh terhadap kekuasaan majikan. Perlindungan buruh dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan-peraturan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat di ukur secara yuridis saja, tetapi juga diukur secara sosiologis, dan filosofis. 9

Dalam Pengujian Materi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang terdapat pada lampiran jelas bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon dalam sebagian putusan yang menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya Undang-undang yang dimaksud, sehingga para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai para pemohon dihadapan Mahkamah Konstitusi. Menimbang bahwa adanya dalil yang menyatakan bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan yang diundangkan tanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft Undang-undang

8

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta:PT. Raja Grafindo, 2007), h. 177.

9

(16)

Ketenagakerjaan yang disahkan oleh sidang paripurna DPR R.I tanggal 25 Februari 2003, oleh Mahkamah Konstitusi dipandang tidak dapat dibuktikan secara sah oleh para pemohon, sehingga harus dikesampingkan, dan Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan para pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian, dan akan menolak permohonan yang selebihnya, karena dipandang tidak cukup beralasan, putusan mengabulkan sebagian pasal didalam Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu : Pasal 158 tentang pemutusan hubungan kerja, Pasal 159 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Pasal 160 ayat 1 tentang upah kepada pekerja, Pasal 170 tentang pembayaran seluruh upan dan hak pekerja, Pasal 171 PHK tanpa penetapan lembaga PPhi, Pasal 186 mengenai sanksi pidana dan denda karena Undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.10

Dengan demikian perkara ketenagakerjaan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam Undang-undang tersebut ada beberapa pemohon yang tidak puas dengan adanya Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka pemohon tersebut dapat mengajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-undang tersebut dengan menunjukan bukti-bukti bahwa Undang-undang tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang 1945.

Politik yang adil dalam setiap umat Islam adalah mengatur urusan dalam negeri dan luar negeri dengan sistem dan peraturan yang menjamin keamanan

10

(17)

terhadap individu dan golongan serta asas keadilan di antara mereka, merealisasikan kemaslahatan, menghantarkan mereka agar lebih maju dan mengatur hubungan dengan orang lain. Islam menjamin politik agar dasar-dasar Islam dijadikan acuan sistem asas keadilan, merealisasikan kemaslahatan manusia di setiap zaman dan tempat. Hal itu terdapat dua bukti pertama yaitu, bahwa dasar dan sumber utama Islam adalah Al Qur’an, meskipun tidak menjelaskan sistem tersebut secara rinci,

tetapi menetapkan dasar-dasar tentang sistem mengatur urusan umat dalam pemerintahan.11

Penulis juga ingin melihat dalam Analisis Politik Hukum Islam terhadap pandangan Putusan Mahkamah Konstitusi, Oleh karena itu dalam masalah ini menarik untuk dikaji, Bagaimana respon dan langkah-langkah yang diambil pemerintah dan khususnya dunia usaha menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi. Apakah dampak dari putusan tersebut terhadap pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja di Indonesia. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi itu merugikan kepentingan pengusaha dan menguntungkan posisi pekerja/buruh atau sebaliknya, Atau justru keduanya yang dirugikan karena disatu sisi pekerja/buruh akan melalui proses hukum pidana yang panjang dan terkadang melelahkan. Sedangkan bagi pengusaha harus menunggu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum memutuskan hubungan kerja karena alasan melakukan kesalahan berat, dan bagaimana Analisis Politik Hukum Islam dalam memberikan kebijakan untuk masalah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap masyarakat.

11

(18)

Beranjak dari beberapa persoalan diatas, maka penulis menuangkannya dalam skripsi yang berjudul Analisis Politik Hukum Islam Mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penulis akan mencoba menjelaskan pembatasan masalah terhadap skripsi ini yaitu mengenai Politik Hukum Islam dalam Undang-undang Ketenagakerjaan yang diajukan pemohon kepada Mahkamah Konstitusi. Maka penulis mengidentifikasi sejumlah masalah yang harus dijawab/diteliti, Dalam skripsi ini perlu ditentukan beberapa rumusan masalah, antara lain yaitu :

1. Bagaimana putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materi Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?

2. Bagaimana pandangan Politik Hukum Islam pasca putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(19)

1. Mengetahui Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Materi Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

2. Mengetahui Politik Hukum Islam dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasca putusan mahkamah konstitusi

Adapun manfaat penelitian yang juga akan sangat berguna jika dilihat dalam dua hal, yaitu :

1. Secara teoritis; dapat menambah atau meningkatkan pengetahuan dan juga wawasan dalam bidang hukum, serta dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan dapat menjadi acuan para pekerja dan pengusaha di tanah air dalam meningkatkan semangat kerja yang profesional. 2. Secara praktis; dapat dijadikan pedoman dan bacaan yang bermanfaat bagi

para praktisi dan upaya pembaharuan pemikiran analisis politik hukum Islam dalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi, Penelitian ini pun dapat berguna bagi kalangan masyarakat secara umum.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian tentang topik yang telah dilakukan, baik yang mengkaji maupun meneliti secara spesifik isu tersebut yang menyinggung secara umum. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya penelitian tersebut :

No. Karya Judul Isi Perbandingan

1. Asri Wijayanti Hukum Ketenagake

menjelaskan tentang Asas pembangunan

(20)
(21)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif dan yuridis yaitu berupa kata-kata ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti, berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai analisis Politik Hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

2. Tekhnik Pengumpulan Data

Sedangkan tekhnik pengumpulan data, penulis memperoleh data menggunakan studi dokumentasi (studi pustaka). Instrumen pengumpulan data ialah peneliti sendiri, suatu yang memang merupakan konsekuensi logis dari metode kualitatif yang diterapkan. Adapun langkah-langkah pengumpulan data melalui tekhnik dokumentasi tersebut adalah menelaah bahan-bahan pustaka, baik yang bersifat bahan hukum primer, sekunder, yaitu dengan kepustakaan (library

research), yaitu melakukan pengumpulan data-data yang dibutuhkan dari

(22)

3. Sumber data

a. Bahan hukum primer, yaitu terdiri dari : Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/Puu-1/2003 dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b. Bahan hukum sekunder, penulis mencari dan memperoleh data dalam penyusunan skripsi ini yaitu dari literatur yang berasal dari buku-buku Ketenagakerjaan seperti : buku Hukum Kerja dan Hukum Ketenagakerjaan

Bidang Hubungan Kerja oleh Asyhadie Zaeni, Dasar-dasar Hukum

Perburuhan oleh Asikin Zaenal, buku mengenai Politik Hukum seperti :

Buku Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional oleh Artidjo Alkostar, buku Politik Hukum di Indonesia, oleh Mahfud MD, buku Politik Hukum Indonesia, oleh Abdul Halim G. Nusantara, buku

Politik Pembangunan Hukum Nasional oleh Moh Busyro Muqoddas dkk.

Buku mengenai Politik Hukum Islam seperti : Politik Hukum Islam oleh Abdul Wahab Khallaf, buku Perkembangan Hukum Islam di tengah

Kehidupan Sosial Politik di Indonesia oleh Warkum Sumitro. Selain itu

media cetak yang diambil dari internet (website), dan buku-buku pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan obyek kajian dalam skripsi ini.

(23)

4. Tekhnik Analisis Data

Tekhnik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan tekhnik conten analisis yaitu Penulis mencari dan melakukan analisis dari putusan Mahkamah Konstitusi. Seluruh data akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum, kemudian dikaji dan diteliti, selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan dari data tersebut dalam Analisis Politik Hukum Islam. Dalam penemuan hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan komparatif yaitu dengan membandingkan salah satu kebijakan dari sistem Politik Hukum Islam dengan Politik Hukum di Indonesia.

5. Tekhnik Penulisan Skripsi

Tekhnik penulisan skripsi ini menggunakan “Pedoman Penulisan skripsi

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. Dalam

penulisan ini maka buku pedoman yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Tim Fakultas Syari’ah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

(24)

masalah, C. tujuan penelitian dan manfaat penelitian, D. Tinjauan Pustaka, E. metode penelitian dan F. Sistematika penulisan.

Bab kedua berjudul “Politik Hukum Ketenagakerjaan”. Bab ini memaparkan

A. Pengertian Politik Hukum, B. Hubungan Hukum dan politik dan C. Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia.

Bab ketiga bertajuk “Ketenagakerjaan Dalam Sejarah Islam dan

Undang-undang No.13 Tahun 2003yang terdiri dari: A. Ketenagakerjaan Dalam Sejarah Islam, dan B. Ketenagakerjaan Dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003

Bab ke empat membahas tentang “Analisis Politik Hukum Islam Terhadap

Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Putusan No.012/Puu-1/2003) yang terdiri dari: A. Proses Uji Materi Undang-undang Ketenagakerjaan, B. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, C. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan dan D. Analisis Politik Hukum Islam Terhadap Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasca Putusan Mahkamah konstitusi.

Bab ke lima ini merupakan Bab Penutup yang memuat A. Kesimpulan, yaitu dari hasil penelitian dan pembahasan penelitian, sebagai solusi yang terjadi diatas, disamping itu dimuat pula B. Saran-saran, terkait tindak lanjut atas temuan penelitian.

(25)
(26)

16

POLITIK HUKUM KETENAGAKERJAAN

A. Pengertian Politik Hukum

Politik hukum adalah “legal policy atau garis (kebijakan) resmi

tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru

maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan

Negara.” Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang

hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum-hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945.12

Definisi yang dikemukakan oleh Moh. Mahfud yakni bahwa politik hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono mengemukakan tentang “hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik

hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan

12

(27)

oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.

Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang ada yang bersifat periodik. Yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolonial dengan hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip dimuat di dalam UUD sekaligus berlaku sebagai politik hukum. Adapun yang bersifat priodik adalah politik hukum yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada priode tertentu baik yang akan memberlakukan maupun yang akan mencabut, misalnya, pada periode 1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi dalam bidang-bidang hukum tertentu, pada periode 1983-1988 ada politik hukum untuk membentuk peradilan Tata Usaha Negara, dan pada periode 2004-2009 ada lebih dari 250 rencana pembuatan Undang-undang yang dicantumkan di dalam Program Legislasi Nasional (Proglenas).

(28)

resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka mencapai tujuan negara; kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud) atas lahirnya produk hukum; ketiga, penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan.

Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Didalam tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu yang didalamnya mencangkup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban.13

Politik hukum digunakan sebagai berlakunya aturan hukum, menyebabkan adanya perkembangan pelaksanaan hukum yang dialami sebagai pengatur tingkah laku bangsa Indonesia di dalam pergaulan hidup.14

13

Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 5.

14

(29)

Teuku Mohammad Radhie, S.H menyatakan “Politik hukum adalah pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan”. Politik hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita, di satu pihak, dan di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum internasional. Dengan demikian faktor yang akan menentukan politik hukum nasional itu tidak dengan apa yang dicita-citakan, atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan oleh perkembangan hukum di lain-lain negara, serta perkembangan hukum internasional. Dengan lain perkataan ada faktor di luar jangkauan bangsa kita yang ikut menentukan politik hukum masa kini dan di masa yang akan datang.15

B. Hubungan Hukum dan Politik

Hukum adalah keseluruhan azas-azas dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan.16

Hukum adalah produk politik jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum

15

Artidjo Alkostar dkk, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 1.

16

(30)

dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan formalisasi atau legislasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.

Dalam konsep konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa

“hukum merupakan produk politik”. Siapa yang dapat membantah bahwa

hukum dalam arti undang-undang merupakan produk dari pergulatan politik? Itulah sebabnya Von Kirchman mengatakan bahwa karena hukum merupakan produk politik maka kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi sampah yang tak berguna jika lagi lembaga legislatif menggetokkan palu pencabutan atau pembatalannya. Jika politik diartikan sebagai kekuasaan maka dari asumsi yang terakhir ini bisa lahir pernyataan seperti yang sering

dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa, “Politik dan hukum itu

interdeterminan,” sebab “Politik tanpa hukum itu zhalim, sedangkan hukum

tanpa politik itu lumpuh”.17

Sedangkan Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya

17

(31)

penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.18

Dalam pengertian yang sederhana, politik adalah upaya manajemen konflik. Pengertian ini mengasumsikan bahwa konflik adalah selalu ada dalam setiap hubungan sosial. Karena politik pada dasarnya mamuat unsur-unsur nilai, kepentingan dan kekuasaan, maka hubungan politik juga memuat konflik. Hasilnya yaitu suatu penyelesaian konflik antara lain, muncul sebagai aturan main atau hukum. Unit politik yang dianggap paling ideal adalah komunitas. Dalam politik ini warga saling merasa terikat bukan karena kepentingan materiil. Tetapi lebih karena ikatan-ikatan yang lebih emosional, karena unsur-unsur menonjol dalam suatu komunitas adalah kepatuhan warganya pada hukum, maka pengembangan komunitas juga menjadi pengembangan hukum.

Pembangunan politik, juga bisa diartikan sebagai, pertama, upaya pembinaan wewenang atau kapasitas suatu sistem politik, kedua, pengembangan partisipasi warga sistem itu, dan ketiga, pemantapan pembagian kerja. Ketiga upaya ini merupakan ukuran kemajuan suatu masyarakat. Dan dalam proses ini hukum berperan sangat penting, karena ada dasarnya wujud konkrit pelembagaan itu adalah aturan main. Dalam pengertian yang pertama, yaitu pembangunan politik sebagai pembinaan wewenang, pelembagaan

18

(32)

dilakukan dalam kaitan dengan manajemen konflik demi penyelesaian konflik, yang pasti muncul dalam proses pembangunan itu. (ideal hukum adalah pertikaian tidak diselesaikan dengan uji kekuatan). Kemampuan menyelesaikan konflik akan menetapkan wewenang pemerintah sehingga bisa melakukan pekerjaannya.

Sebagai suatu cara penyelesaian konflik, hukum berfungsi sebagai mekanisme pengendalian dan memberikan kerangka bagi tertib politik. Dalam konsep kedua, yaitu pembangunan politik sebagai partisipasi, hak-hak rakyat untuk ikut serta menentukan masa depannya juga memerlukan pelembagaan efektif. Ciri khas demokrasi adalah gagasan government of laws, not ofmen. Begitu juga dalam pengertian ketiga, pembagian kerja yang jelas antara unit-unit dalam sistem politik harus terjamin. Dalam hal ini tugas hukum adalah membuat proses bekerjanya pemerintahan menjadi tertib dan bisa diramalkan, secara tekhnis konsisten satu sama lain, dan secara moral sah. Pelembagaan itu terutama sekali sangat diperlukan dalam masyarakat yang sedang merubah struktur sosial ekonominya demi kemajuan, karena sistem politik dalam masyarakat seperti itu harus bisa mengendalikan dan memobilisasikan sumber daya manusia dan materiil, disamping juga harus mengelola konflik yang muncul akibat perubahan sosial ekonomi itu.19

19

(33)

Bahwa negara adalah benar sebuah sistem hukum dibenarkan oleh fakta bahwa masalah-masalah yang biasanya digambarkan dari sudut teori politik umum ternyata menjadi masalah-masalah dalam teori hukum, masalah keabsahan dan penciptaan sistem hukum. Apa yang disebut elemen negara-kekuasaan negara, wilayah negara, dan warga negara pada hakikatnya hanyalah keabsahan sistem negara, bersama-sama dengan bidang keabsahan sistem negara.20

Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga bagian jawaban yang dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum merupakan hasil kristalisasi dari kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan.

Ketiga, politik dan hukum yang sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada

posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.

20

(34)

Berdasarkan perspektif yang dipilih terlihat bahwa dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukum lah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik yang memiliki konsentrasi. Energy yang lebih besar dari pada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Sri soemantri pernah menjabarkan hubungan antara hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari rel nya. Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui. Prinsip yang menyatakan politik dan hukum harus bekerja sama dan saling menguatkan melalui ungkapan “hukum tanpa

kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelalaian”. Hal itu terjadi karena di dalam praktiknya hukum kerap kali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan.21

Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan politik, hukum harus membatasi kekuasaan politik, agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan “menyuntikan’ kekuasaan pada hukum, yaitu dalam

wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum

21

(35)

ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik melalui alat-alat politik lain seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Dalam hal ini, kita harus berani mengakui bahwa pengadilan bukan sekedar alat-hukum, tetapi juga alat politik. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum tadi dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum. Harus di ingat, bahwa setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik tadi, hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya.22

Hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika konfigurasi politik yang melahirkannya berubah. Dalam sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasarkan priode sistem politik) antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dihasilkannya berkarakter responsif, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks. Hubungan kausalitas tersebut berlaku untuk hukum publik yang berkaitan dengan tingkat sensitivitas berbeda-beda. Semakin kental

22

(36)

muatan hukum dengan masalah hubungan kekuasaan, semakin kuat pula pengaruh konfigurasi politik terhadap hukum tersebut.23

C. Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia

Wajah Tenaga Kerja Indonesia dari waktu ke waktu terus berada dalam lingkaran kemuraman dan ketidakpastian, baik secara politik maupun hukum dan selalu pada posisi yang paling menyedihkan sekaligus memilukan. Kasus kekerasan yang menimpa tenaga kerja, terutama tenaga kerja wanita (TKW) selalu menjadi catatan kelam bagi bangsa ini di mata dunia internasional. Kasus-kasus kekerasan ini pun bersamaan dengan berbagai kasus pemutusan hubungan kerja pada sektor-sektor industri maupun pengangguran. Yang tak kalah prihatin, ternyata pengiriman tenaga kerja kebanyakan menjadi pembantu rumah tangga di negara penerima, yang berarti, mutu tenaga kerja Indonesia demikian rendah untuk berkompetisi dengan tenaga kerja negara lain pada sektor-sektor yang menentukan.24

1. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada Masa Kemerdekaan

Pada masa kemerdekaan, ketenagakerjaan Indonesia pada prinsipnya dapat dibagi dalam dua priode, yaitu masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Apabila melihat sejarah pembentukan hukum perburuhan di Indonesia dapat ditemukan banyak bukti nuansa perlindungan terhadap buruh.

23

Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 373. 24

(37)

Pada masa pemerintahan Soekarno tidak banyak terdapat kebijaksanaan tentang ketenagakerjaan mengingat masa itu adalah masa mempertahankan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari jajahan Hindia Belanda. Di bidang hukum ketenagakerjaan, pemerintah membuat produk hukum sebagian besar dengan cara menerjemahkan peraturan Hindia Belanda yang dianggap sesuai dengan alam kemerdekaan atau dengan mengadakan perbaikan dan penyesuaian.

Meskipun demikian, produk hukum dimasa pemerintahan Soekarno justru lebih menunjukan adanya penerapan teori hukum perundang-undangan yang baik, yaitu hukum yang baik apabila berlaku sampai 40 atau 50 tahun yang akan datang.25

(38)

terlibat dalam isu perburuhan. Melalui Undang-undang ini pemerintah mengambil peran untuk menentukan batas dan lingkup dari pengerahan tenaga kerja (labour Supply).26

Undang-undang No. 12 Tahun 1948 tentang kerja dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, yang memuat banyak aspek perlindungan terhadap buruh. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948, misalnya memuat larangan terhadap diskriminasi kerja; jam kerja yang 40 jam dalam seminggu, kewajiban pengusaha untuk menyediakan fasilitas perumahan bagi buruh/pekerja, termasuk sebuah pasal yang melarang mempekerjakan anak dibawah usia 14 tahun. Selain itu Undang-undang ini juga menjamin hak perempuan buruh untuk mengambil cuti haid dua hari dalam sebulan, dan pembatasan kerja malam bagi perempuan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 adalah Undang-undang Perburuhan yang paling maju di Asia Tenggara dari segi perlindungan terhadap buruh. Ketentuan kerja 40 jam seminggu misalnya, jauh lebih baik dibanding negara-negara tetangga dengan 44 hingga 48 jam seminggu. Demikian pula dengan ketentuan larangan buruh anak, yang relatif belum dikenal pada waktu itu.

25

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 22.

26

(39)

Rangkaian Undang-undang perburuhan awal ini juga menegaskan bahwa sistem hukum perburuhan yang ingin dibangun adalah sistem hukum perburuhan yang melindungi (protektif) terhadap buruh/ pekerja, sebagai pihak yang senantiasa akan berada pada posisi yang lemah dalam sebuah relasi perburuhan yang karenanya perlu proteksi. Dalam konteks ini pemerintah memainkan peran untuk menjamin perlidungan terebut dengan cara aktif terlibat dengan isu perburuhan. Melalui Undang-undang ini pemerintah mengambil peran untuk menentukan batas dan lingkup dari pengerahan tenaga kerja ( labour supply). Ini antara lain melakukan dengan mendefinisikan kapan orang dapat memasuki pasar kerja (usia lulus sekolah); kapan mereka diharapkan berhenti bekerja (usia pensiun) serta dengan mengatur syarat-syarat dimana kelompok masyarakat tertentu bekerja (misalnya: perempuan, orang muda, buruh migran).27

Kemudian pada masa Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik, politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi maka ditetapkanlah repelita. Namun sejalan dengan berkembangnya waktu pembangunan ekonomi, akhirnya tertuju pada tindakan penguasa yang sewenang-wenang. Seperti pengerahan TKI keluar negeri pada masa

27

(40)

pemerintahan Soekarno yaitu berdasarkan pada pasal 2 TAP MPRS No.XXVIII/MPRS-RI/1966, yaitu segera dibentuk undang-undang perburuhan mengenai penempatan kerja. Kemudian hukum yang mengatur tentang tenaga kerja yaitu diatur dengan ketentuan Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-pokok Ketentuan Tenaga Kerja.

Selama masa Soeharto ketentuan ini tidak pernah di realisasi dan dicabut sebagai kelanjutan pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1969 ditetapkan tugas pemerintah untuk mengatur pembayaran tenaga kerja yang efektif dan efisien. Kedudukan buruh semakin lemah dengan Hubungan Industrial Pancasila, hak buruh hanya dapat mendirikan satu serikat pekerja, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).28

2. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru pemerintahan Indonesia, sebagian di dorong oleh masalah finansial pada awal krisi ekonomi, banyak ketidak stabilan di Indonesia yang menurut Bank Dunia tidak menguntungkan bagi bisnis dan investasi. Merespon ”peringatan” yang berkaitan dengan makin meningkatnya ketidak stabilan perburuhan dengan mengajukan RUU ketenagakerjaan kepada DPR yang kemudian menjadi Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang baru ini mendapat protes dari berbagai organisasi buruh dan LSM perburuhan sebagai sebuah

28

(41)

undang yang “anti buruh” dalam berbagai hal. Undang-undang tersebut telah

disahkan dengan berbagai masalah di dalamnya.

Di dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1997 mengatur tentang ketenagakerjaan, yang keberadaannya menimbulkan perdebatan yang berdasarkan UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2002, Undang-undang Ketenagakerjaan, yang sudah banyak menimbulkan kontroversi, karena dianggap telah tidak berpihak kepada kepentingan buruh/pekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal, Didalam Undang-undang ini di antaranya juga mengatur tentang kebijakan seperti Serikat pekerja, Organisasi pengusaha, Lembaga kerjasama Bipartite, Lembaga kerjasama Tripartite, Peraturan perusahaan,

Kesepakatan kerja bersama, Penyelesaian perselisihan industrial.

Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya cenderung menjadi

“legalisasi” dari Praktek-praktek Orde Baru yang merugikan buruh dalam

(42)

Indonesia yang melihat buruh/pekerja semata sebagai hambatan bagi investasi dan pembangunan ekonomi.29

3. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada Masa Reformasi

Bahwa pada tanggal 25 februari 2003 DPR RI telah menyetujui RUU Ketenagakerjaan yang diajukan oleh pemerintah RI menjadi Undang-undang Ketenagakerjaan, dan selanjutnya di sahkan oleh pemerintah RI menjadi Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang diundangkan pada tanggal 25 maret 2003, dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 2003 No. 39 bahwa sejak awal mulai dari pembahasannya hingga pengesahannya, Undang-undang ketenagakerjaan, yang awalnya disebut RUU pembinaan dan perlindungan ketenagakerjaan (PPK), sudah banyak menimbulkan kontroversi karena pertama-tama dianggap tidak berpihak kepada kepentingan buruh/pekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal, nasional dan terutama Internasional, serta tidak cukup mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruh/pekerja Indonesia.

Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mengatur tentang ketenagakerjaan, tetapi sejak awal mulai pembahasannya hingga pengesahan, Undang-undang Ketenagakerjaan, yang awalnya disebut RUU Pembinaan

29

(43)

dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK), sudah banyak menimbulkan kontroversi, karena pertama-tama dianggap tidak berpihak kepada kepentingan buruh/pekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal, nasional dan terutama internasional, serta tidak cukup mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruh/pekerja Indonesia. Didalam Undang-undang ini di antaranya juga mengatur tentang kebijakan seperti Upah minimum, Outsourcing (kontrak kerja), mogok kerja, pemutusan hubungan kerja.30

Meliputi hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.31

Bahwa sudah banyak penelitian yang menunjukan penekanan terhadap efesiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah murah dan berakibat kepada hilangnya keamanan kerja (job security) bagi buruh/ pekerja Indonesia, karena sebagian besar buruh pekerja tidak akan lagi menjadi buruh/ pekerja tetap tetapi menjadi buruh/pekerja kontrak yang akan berlangsung

30

(44)

seumur hidupnya. Hal ini lah yang dikatakan oleh sebagian kalangan sebagai

suatu bentuk ”perbudakan zaman modern” (modern formed of slavery atu

modern slavery). Status sebagai buruh/ pekerja kontrak ini pada kenyataannya

berarti juga hilangnya hak-hak dan tunjangan-tunjangan kerja maupun jaminan-jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang bisanya mempunyai status sebagai buruh/ pekerja tetap, yang demikian amat potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh/pekerja Indonesia, dan karena buruh/ pekerja merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia, pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya.32

Saat ini hukum Ketenagakerjaan mendasarkan pada ketentuan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam lembaran negara No. 39 Tahun 2003 dan TLN No.4279 yang hanya mencangkup materi RUU pembinaan dan perlindungan ketenagakerjaan (PPK), sedangkan RUU PPHI di sahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Di dalam GBHN tahun 2004 angka tentang arah kebijaksanaan ketenagakerjaan menegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan dilakukan dengan cara mengembangkan ketenagakerjaan secara menyeluruh dan terpadu yang diarahkan pada peningkatan kompetensi

31

Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta:PT. Raja Grafindo, 2007), h. 179.

32

(45)

dan kemandirian tenaga kerja, peningkatan upah, jaminan kesejahteraan, perlindungan kerja dan kebebasan berserikat.33

Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu sejak tahun 2004 hingga sekarang, tampaknya ada sedikit perubahan di bidang ketenagakerjaan, ada pemangkasan dan berbagai upaya peningkatan pelayanan dan kinerja baik pekerja maupun pegawai. Ada upaya pemberatasan korupsi. Sayangnya tekad yang baik belum dapat diikuti oleh sebagian besar penduduk Indonesia yang sudah terlanjur korup dan tidak amanah di segala aspek kehidupan.34

33

Majalah hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional No.1 Tahun 2004 (Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum), h. 173.

34

(46)

36

KETENAGAKERJAAN MENURUT SEJARAH ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003

A. KETENAGAKERJAAN DALAM SEJARAH ISLAM

Dalam Al-Qur’an terdapat 360 ayat yang membicarakan tentang „bekerja’

dan 190 ayat tentang ’berbuat’ yang meliputi hukum-hukum yang menyeluruh

tentang bekerja, berikut ketentuan dan tanggung jawab pekerja serta hukuman dan ganjarannya. Sebagian ayat yang menganjurkan untuk melakukan pekerjaan yang baik, memperoleh ganjaran dan ampunan dari Allah, sebagaimana ayat-ayat lainnya yang menganjurkan untuk tetap berusaha dan berjuang dalam mendapatkan rezeki.35

Manusia dalam bekerja dituntut keyakinan dan kesungguhannya. Keyakinan dan kesungguhan sangat berguna dalam mencari langkah-langkah baru yang tepat. Sehingga manusia akan berusaha mencari cara-cara mudah dan efektif, apabila menjumpai suatu kesulitan. Inilah yang dimaksudkan Allah di dalam QS. Alam Nasyrah 94 ayat 5-6 :

(47)

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Qs. Alam Nasyrah/94 : 5

- 6)

Allah memberikan motivasi dengan ungkapan “faraghta” yang berarti,

apabila selesai dari suatu pekerjaan, maka terus melakukan usaha lainnya yang lebih berat (fanshab). Dengan kata lain, apabila tengah menyelesaikan suatu pekerjaan sampai letih, maka hadirkanlah persoalan baru sehingga menjadi

relaks. Dengan demikian, tidak ada istilahnya “menganggur” dan “tidak bekerja

selagi masih ada waktu.36

Kemudian terdapat hadist pula dalam setiap putusan hakim, putusan yang menetapkan suatu hukum itu benar maupun salah tetapi hakim tersebut tetap akan mendapatkan pahala yaitu :

Dari Amru bin Ash R.A, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda “

Apabila seorang hakim berijtihad (berupaya memutuskan hukum), kemudian dia benar, maka hakim tersebut akan mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad dalam menetapkan suatu hukum (perkara), tetapi ia salah maka ia

akan mendapat pahala” (HR. Muslim).

36

(48)

Maka dalam hadist ini bersangkutan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan suatu hukum dalam Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.37

Produktifitas kerja suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh produktivitas kerja karyawannya. Atau dapat dikatakan bahwa produktivitas adalah perbandingan antara hasil dari suatu pekerjaan karyawan dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan. Atau juga bisa dikatakan, poduktivitas kerja karyawan akan bisa dicapai melalui motivasi yang kuat ditopang dengan budaya kedisiplinan kerja yang tinggi. Sebagai seorang muslim yang meyakini keniscayaan balasan hari akhir, maka produktivias kerja bisa ditumbuhkan dengan membangun keyakinan yang benar, baik menyangkut hasil maupun cara. Allah berfirman QS. At-taubah 9 ayat 105 yaitu:

 dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,

lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(Qs. At

taubah 9 : 105)

Rasulullah saw bersabda “bukan golongan kami, mereka yang

meninggalkan dunianya untuk akhiratnya, dan meninggalkan akhiratnya untuk

37

(49)

dunianya”. Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw mendorong umatnya meraih dunia dan akhirat sekaligus. Dalam sabdanya “Bekerjalah untuk duniamu seolah -olah engkau hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu se-olah--olah

engkau akan mati esok hari” 38

Sesungguhnya bekerja itu merupakan jalan hidup para nabi dan pembaharu. Imam Shadiq meriwayatkan dari kakeknya Amirul Mukminin Ali bin

Abi Thalib, yang berkata, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepada Daud As,

wahai Daud, sesungguhnya engkau adalah sebaik-baiknya hamba, seandainya engkau tidak makan dari baitul mal dan mengerjakan sesuatu dengan tanganmu! Daud menangis selama 40 hari. Maka Allah mewahyukan kepada besi, jadilah lembut untuk hambaku Daud! Besi itu pun menjadi lembut untuk Daud sehingga Daud as dapat menjadi pandai besi setiap hari. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hamba dan nabinya, Daud menjadi seorang penganggur dan makan dari baitul mal tanpa bekerja keras, tetapi Allah menyukai Daud untuk makan dari jerih payahnya sendiri. Karena itulah Allah melembutkan besi bagi Daud agar dapat bekerja sebagai pandai besi dan makan dari hasil kerjanya. Sebelum Muhammad saw, diutus menjadi nabi, dia bekerja mengembala kambing dan memperdagangkan barang-barang Khadijah. Setelah diutus sebagai nabi pun beliau bekerja bersama para sahabatnya serta ikut merasakan keletihan mereka dan membantu pekerjaan mereka. Karena beliau tidak merasa lebih unggul dan

38

(50)

istimewa di banding mereka. Buktinya, beliau bekerja bersama mereka dalam membangun masjidnya yang agung, sedangkan kaum Anshar membantu beliau sambil bersenandung: Sungguh bila kami hanya duduk dan Nabi bekerja, Maka

apa yang kami lakukan itu tidak benar.39

Bekerja merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah, karena dengan bekerja, seseorang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk diri sendiri dan keluarganya dan tidak membutuhkan manusia. Sesungguhnya Islam menghendaki kemakmuran bagi kaum muslimin dan itu tidak dapat tercapai kecuali dengan bekerja dan tidak membutuhkan bantuan manusia. Para imam Ahlulbait berusaha mendorong kaum muslimin untuk bekerja. Untuk itu, mereka pun bekerja dengan tangan mereka sendiri demi memberi keteladanan pada kaum muslimin. Imam Ja’far Shadiq yang merupakan pemimpin kebangkitan

intelektualisme di dunia Islam, juga bekerja di kebunnya. Ini sebagaimana diriwayatkan Abu Umar asy-Syaibani yang berkata, “Aku melihat Abu Abdillah dan pacul ditangannya. Beliau mengenakan sarung kasar dan pada saat itu

keringatnya bercucuran. Maka aku berkata kepadanya, „Biarlah aku yang

mengerjakannya!” Namun Imam menjawab, „Sungguh aku ingin kakiku ini

merasakan kepedihan terik matahari dalam mencari rezeki’.

Tujuan bekerja dalam Islam adalah untuk memberi pelajaran yang berharga kepada kaum muslimin tentang Islam, bahwa Islam itu menyuruh

39

(51)

bekerja dan melarang bersikap malas dan lemah. Juga bahwa seseorang, walaupun posisinya agung dan kedudukannya tinggi, tetap diperintahkan untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya tanpa perlu bantuan manusia.40

Setelah Islam mulai berkembang pesat, maka negara makin banyak membutuhkan pekerja untuk bekerja dalam memajukan Islam seperti dalam bidang sekretaris negara, kementrian, kepolisian, kemiliteran dan sebagainya, yang diupah melalui kas negara yang sering disebut dengan baitul mal. Dan terdapat pula tenaga kerja yang bekerja dalam jalur perdagangan dengan bekerja dari orang lain seperti usaha dengan modal sendiri dan bekerja sebagai pegawai orang lain (karyawan).

Dahulu gelar kepolisian (syurthah) merupakan profesi yang baik, polisi dimutlakkan kepada kelompok pilihan dari pasukan, kemudian dipergunakan dalam makna ajudan amir yang menjaga keamanan dan berjaga malam. As-Suyuthi beranggapan bahwa orang yang menetapkan sistem kepolisian ini di dalam Islam adalah Amr bin Ash ketika menjadi Gubernur Mesir. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa orang yang pertama menggunakan syurthah ini adalah muawiyah. Tentang etika kepolisian dan tugasnya, maka sebagian ulama

mengatakan, “Adapun petugas kepolisian maka dia adalah orang yang aris,

berwibawa, banyak berfikir, dan jauh dari agretifitas. Harus keras terhadap ahli keraguan dalam tindakan rekayasa, sangat tanggap, bersih, mengetahui tingkatan

40

(52)

dan hukuman, dan tidak tergesa-gesa. Wajib menegakan hukum had sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan mengamalkannya. Harus mencegah orang yang dizhalimi untuk melakukan balasan sendiri.41

Selanjutnya militer atau menjadi tentara merupakan profesi paling mulia dalam pandangan Islam dan tidak ada satu profesipun yang lebih mulia dari ini. Tugas kemiliteran dan juga kepala negara, seperti membentuk pasukan-pasukan khusus atau sariyah, mengangkat komandan pasukan, mengatur jadwal operasi-operasi militer dan bahkan terjun langsung memimpin pertempuran-pertempuran besar. Islam mengharuskan semua muslim menjadi tentara atau terlibat didalam dunia kemiliteran untuk menguasai ilmu persenjataan yang sesuai dengan tuntutan zaman termasuk cara-cara menggunakannya dengan sebaik-baiknya melalui pendidikan dan latihan sehingga mereka benar-benar menjadi tentara yang professional. Dan Islam melarang keras bagi siapa saja yang telah memiliki dan menguasai kemampuan tersebut kemudian menyia-nyiakannya.42

Angkatan bersenjata atau militer merupakan lambang kedaulatan negara dan penahanan utama bagi kemungkinan serangan negara, baik dari luar maupun dari dalam. Sejak 15 abad lalu Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk membangun kekuatan militer sebagai persiapan menghadapi musuh, dari luar maupun dari dalam. Al- Ustadz Sayyid Qutb menyatakan bahwa Islam harus

41

Amir Aliyah, Sistem Pemerintahan Islam & Adat Dalam Islam, (Jakarta: Khalifa, 2004), h. 72.

42

(53)

memiliki kekuatan militer yang mendampinginya dipermukaan bumi untuk membebaskan semua manusia, maka tugas pertama kekuatan militer ini di lapangan dakwah ialah menghilangkan semua rintangan dan kezaliman yang menghalangi kebebasan manusia untuk memilih aqidah’ Islam atau tetap kepada keyakinan semula dan kemudian melindungi setiap individu yang telah memilihnya. Selain itu tugas militer adalah menghancurkan semua kekuatan lain di muka bumi yang menempatkan dirinya sebagai Tuhan, menindas manusia serta tidak mau mengakui tuhan Allah satu-satunya tuhan.

Kesekretariatan (al-makatib) adalah profesi yang baik di dalam kelembagaan negara, bahkan tampak pula bahwa aspek kemashlahatan (

al-mahlahah) dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam pembentukan lembaga

kesekretariatan. Dalam rangka untuk kepentingan tertib administrasi sekretariat negara dipimpin oleh sekretaris yang bertugas mengurus dan melaksanakan administrasi negara secara baik dan rapi untuk mewujudkan efektifitas dan efesiensi pemerintahan. Umar bin Khattab dianggap selaku perintis awal pembentukan lembaga ini, yang di dalamnya dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan seperti yang dilakukan pada masa dinasti Umayah. Al-katib terdiri dari sekretaris negara (al-katib al-rasail), sekretaris pendapatan negara (

al-katib al-kharaj), sekretaris militer (katib al-jund), sekretaris kepolisian (katib

al-syurthat), dan panitera (katib al-qadha). Katib al-rasail dianggap paling penting

(54)

masing-masing saling melengkapi dan memerlukan sehingga mereka yang bekerja sebagai sekretaris maupun di pemerintahan digaji dari uang kas negara.

Diantaranya tentara pejuang dijalan Allah adalah para juru tulis, para penegak hukum, para pekerja, para pertugas jizyah dan kharaj, para pedagang, tukang dan karyawan. Mereka juga yang berada ditingkat terbawah, yang sangat membutuhkan bantuan dan tidak cukup penghasilannya. Semua mereka itu telah dirinci dan ditetapkan oleh Allah SWT bagiannya masing-masing. Pada hakikatnya setiap manusia memang harus bekerja untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Seorang wali negeri tidak akan mampu melaksanakan semua kewajibannya kecuali dengan mencurahkan perhatian yang besar dan memohon bantuan Allah SWT dan harus menguatkan tekad untuk mempertahankan kebenaran dan bersikap sabar dalam segala hal yang ringan baginya maupun yang berat.43

Juru tulis adalah seorang penulis yang berkepribadiannya mencangkup sebanyak mungkin akhlak luhur. Yaitu yang tidak berpengaruh mengenai kedudukan penting dalam pekerjaan. Tugasnya adalah sebagai seseorang yang memegang amanat yang merupakan bukti ketulusan pada tuannya, yang melaporkan apapun dan mengirimi jawaban yang tepat pada tuannya serta menjadi sekretaris pribadi.

43

(55)

Pedagang atau tukang adalah orang yang berusaha bekerja ditempat atau yang berpindah-pindah dengan hartanya ataupun berpenghasilan dengan tenaganya, dan mereka bersedia menyediakan bahan-bahan kebutuhan masyarakat dan barang-barang kebutuhan sehari-hari sehingga rela membawa dari tempat yang jauh dan pusat didarat, dilaut, di kota, dan di pegunungan, yang kebanyakan rakyat tidak dapat mencapainya ataupun pergi kesana. Mereka juga orang-orang yang mencintai kedamaian.

Mengenai unsur pekerjaan unsur-unsur pekerjaan di dalam Ketenagakerjaan, terutama yang berhubungan yaitu pemberi kerja, pekerja, perjanjian kerja (kontrak kerja), masa kerja, dan upah kerja. Unsur pemberi

kerja yaitu orang yang mempekerjakan orang lain dan memperhatikan hak-hak

(56)

digunakan dalam melaksanakan tugas tertentu sebagaimana disepakati kedua belah pihak.44

B.KETENAGAKERJAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13

TAHUN 2003

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia,

44

(57)

peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial.45

Hukum ketenagakerjaan dahulu disebut dengan hukum perburuhan. Pemakaian istilah tenaga kerja, pekerja, dan buruh pada dasarnya harus dibedakan, berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Menurut Undang-undang ini Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Di dalam isi Undang-undang ini di antaranya mengenai hubungan kerja, hubungan Industrial, Serikat pekerja, upah tenaga kerja, jaminan sosial tenaga kerja, pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan Hubungan Kerja. Isi yang terkandung di dalam UU Ketenagakerjaan hanya mencangkup ketentuan yang mengatur hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan buruh, pekerja atau penerima kerja, serta hal-hal lainnya yang berkaitan. Dan belum

45

(58)

sama sekali mengatur tentang hubungan kepegawaian, pekerja yang informal, dan pengangguran. Berdasarkan pasal 3 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan di selenggarakan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, sehingga bertujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan, meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya. Berdasarkan pasal 1 angka 14 Undang-undang No. 13 Tahun 2003, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.

(59)

dan kewajiban para pihak. Pengertian hubungan industrial berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 16 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yaitu suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang atau jasa yang terdiri atas unsur pengusaha, pekerja dan pemerintah yang didasarkan pada nilai pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun bentuk kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh diatur dalam ketentuan pasal 88 ayat 3 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 mengenai upah minimum, kemudian pasal 99 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 setiap pekerja berhak untuk memperoleh Jaminan Sosial tenaga kerja dan pelaksanaannya diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 terdapat pemutusan hubungan kerja (PHK) berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (25) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja buruh dan pengusaha. Selain itu Undang-undang No. 13 Tahun 2003 mengenal bentuk penyerahan pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Kegiatan ini sering disebut outsourching, yaitu pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing).46

46

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode studi kasus yang bertujuan untuk memahami proses manajemen konflik yang dilakukan oleh CLO terhadap konflik yang

Maka implikasinya, penerapan latihan manipulatif dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan kemampuan gross motor (motorik kasar) pada peserta didik dengan autisme yang

Guru mengajak siswa dan menanyakan kepada siswa sesuai materi. Sesi selanjutnya setelah siswa telah menyelesaikan tugas yang diberikan guru maka guru memulai kegiatan

Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu daerah penghasil jeruk nipis di Sumatera Barat dengan petani yang dahulunya menanam jeruk nipis sebagai usaha tanaman pekarangan

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kemudahan dalam penerapan metoda down-tilting antenna karena dilakukan secara jarak jauh, mengurangi kebutuhan banyak

Puji syukur atas karunia yang Allah SWT berikan, atas limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, atas petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan, sehingga penulis

Sedangkan tanah (soil) berarti bahan atau material di permukaan atau di bawah permukaan yang menyusun dan membentuk lahan di permukaan bumi. Berdasarkan pengertian tersebut,

Penggunaan limbah bandeng pada perlakuan P3 sebesar 10% atau sama dengan 100% tepung ikan menghasilkan presentase lemak daging yang terendah, ini menunjukkan