• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diksi dalam terjemahan: studi kritik terjemahan al-Risalah al-Qusyairiyyah fi olmi al-tasawwuf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diksi dalam terjemahan: studi kritik terjemahan al-Risalah al-Qusyairiyyah fi olmi al-tasawwuf"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK

TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ

ILMI AL-TASAWWUF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

ANNA SARASWATI

NIM : 104024000830

PROGRAM STUDI TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK

TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ

ILMI AL-TASAWWUF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

ANNA SARASWATI

NIM : 104024000830

PROGRAM STUDI TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 14 Mei 2008

(4)

DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK

TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ

ILMI AL-TASAWWUF

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

Anna Saraswati NIM: 104024000830

Pembimbing,

Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum

NIP: 150 370 229

PROGRAM STUDI TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(5)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK

TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH ILMI

AL-TASAWWUF telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 3 Juni 2008. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada

Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 3 Juni 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA Ahmad Syaekhuddin, M.Ag

150 265 589 150 303 001

Anggota,

Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum

(6)

ABSTRAK

ANNA SARASWATI

Diksi Dalam Terjemahan: Studi Kritik Terjemahan Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf

Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Diksi merupakan faktor utama dalam aktivitas penerjemahan. Jadi, dalam menerjemahkan, penerjemah harus teliti dalam memilih kata agar ide dan pesan penulis tersampaikan dengan baik. Diksi yang dipergunakan penerjemah harus diksi yang umum dan tidak menyalahi norma-norma umum yang berlaku. Penerjemah yang belum mahir mempergunakan bahasa akan menemukan berbagai kesulitan, karena apa yang dipikirkan atau dimaksudkan tidak akan sempurna dilahirkan kepada orang lain. Hal ini akan menimbulkan kesalahpahaman. Sanksi yang langsung dapat diterima oleh penerjemah adalah bahwa apa yang diinginkan tidak dapat segera mendapat tanggapan dari pembaca.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerjemah Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf dalam memilih diksi. Melalui data yang telah dianalisis, terdapat kata yang masih belum tepat dan belum sesuai menurut gaya bahasa. Dengan kata lain, sebagian diksi yang digunakan oleh penerjemah

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadiat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat,

hidayah, dan karunia-Nya Penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul

DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK TERJEMAHAN AL-RISÂLAH

AL-QUSYAIRIYYAH FÎ ‘ILMI AL-TASAWWUF. Skripsi ini diajukan untuk

memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program sarjana (S1) pada

Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya

atas segala dukungan, bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak selama proses

studi dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Abdul Chaer selaku dekan Fakultas Adab dan Humaniora.

2. Bapak Drs. Ikhwan Azizi, MA selaku ketua jurusan Tarjamah dan bapak

Ahmad Syaekhuddin, M.Ag selaku sekretaris jurusan Tarjamah yang telah

memberikan dukungan dan kemudahan sehingga segalanya dapat

terlaksana.

3. Bapak Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum selaku dosen pembimbing atas

ketulusan dan kesabarannya dalam membimbing Penulis dan memberikan

masukan dalam menyelesaikan skripsi, sekaligus telah memberikan

wawasan yang luas tentang dunia penerjemahan.Bapak Dr. Sukron Kamil,

MA sebagai dosen seminar skripsi yang telah memberikan banyak

(8)

4. Bapak dan ibu dosen lainnya atas curahan ilmunya selama masa studi.

5. Staf pegawai dan pengurus perpustakaan utama, perpustakaan Adab dan

Humaniora, perpustakaan pribadi Mas Tatam, dan perpustakaan pribadi

lainnya yang telah memfasilitasi buku-buku hingga Penulis terbantu dalam

menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Mohammad Luqman Hakiem selaku penerjemah buku Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf di tengah-tengah kesibukannya,

beliau bersedia dihubungi via telepon dan mengirimkan profilnya lewat

e-mail.

7. Bapak dan Mama tercinta (H. Agus Salim dan Hj. Tuti Fatmawati) yang

tiada hentinya berdoa untuk keberhasilan anak-anaknya, terima kasih atas

semua kasih sayang dan support yang telah diberikan selama ini. Kak

Zikri dan dek Meyla yang tak pernah lupa untuk memberikan perhatian

dan semangat kepada Penulis.

8. Kawan-kawan di Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya kawan-kawan

Tarjamah angkatan 2004 (Nay, Moena, Fiena, Nungke, Iziel, Poet, Tatam,

Erwan, Omen, dll) yang menjadi tempat bertukar pikiran bagi Penulis.

Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat

Penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab

itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa

mendatang.

Ciputat, 12 Mei 2008

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Landasan Teori ... 9

G. Metodologi Penelitian ... 9

H. Sistematika Penulisan ...10

BAB II KERANGKA TEORETIK A. Teori Terjemah ... 12

1. Definisi Penerjemahan ... 12

(10)

3. Metode Penerjemahan ... 19

B. Teori Diksi ... 25

1. Definisi Diksi ... 25

2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan ... 27

3. Peranti-peranti Diksi ... 29

a. Penggunaan Kata Bersinonim ... 29

b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi .. 32

c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ... 32

d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret ... 33

e. Penggunaan Bentuk Idiomatis ... 34

4. Ketepatan Pilihan Kata ... 34

a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata ... 34

b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata ... 35

5. Kesesuaian Pilihan Kata ... 37

a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata ... 37

b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata ... 37

BAB III SEPUTAR RISALAH QUSYAIRIYYAH, BIOGRAFI SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH A. Seputar Risalah Qusyairiyyah ... 41

B. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penulis ... 42

C. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penerjemah ... 47

(11)

AL-QUSYAIRIYYAH FÎ ‘ILMI AL-TASAWWUF

A. Kritik Peranti-peranti Diksi ... 49

1. Penggunaan Kata Bersinonim ... 49

2. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi ... 52

3. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ... 54

4. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret ... 56

5. Penggunaan Bentuk Idiomatis ... 57

B. Kritik Ketepatan Pilihan Kata ... 58

C. Kritik Kesesuaian Pilihan Kata ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 75

(12)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Skripsi ini menggunakan transliterasi yang bersumber pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh

CeQDA.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

No. Lambang Bunyi Transliterasi Keterangan

1 Tidak dilambangkan

2 b be

3 t te

4 ts te dan es

5 j je

6 h h dengan garis bawah

7 kh ka dan ha

8 d de

9 dz de dan zet

10 r er

11 z zet

12 s es

13 sy es dan ye

14 s es dengan garis di bawah

(13)

No. Lambang Bunyi Transliterasi Keterangan

17 z zet dengan garis di bawah

16 t te dengan garis di bawah

18 ‘ koma terbalik di atas hadap

kanan

19 gh ge dan ha

20 f ef

21 q ki

22 k ka

23 l el

24 m em

25 n en

26 w we

27 h ha

28 ` apostrof

29 y ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

(14)

2 " i kasrah

3 # u dammah

b. Vokal Rangkap

Untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

1

!

ai a dan i

2

!

au a dan u

c. Vokal panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

1

$!

â a dengan topi di atas

2

%&"

î i dengan topi di atas

3

%'#

û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Indonesia terus menerus berkembang. Akhir-akhir ini, perkembangannya

itu menjadi demikian pesatnya sehingga bahasa ini telah menjelma menjadi

bahasa modern, yang kaya akan kosakata dan mantap dalam stuktur. Untuk itu,

sebagai masyarakat Indonesia harus mempergunakan kosakata tersebut sesuai

dengan waktu, tempat, dan kondisi.

Jika berbicara menulis atau menerjemahkan, maka seseorang selalu

menggunakan kata. Kata tersebut dibentuk manjadi kelompok kata, klausa,

kalimat, paragraf, dan akhirnya sebuah wacana. Dengan begitu, untuk menguasai

suatu bahasa, seseorang dituntut untuk menguasai kosakata bahasa tersebut.

Walaupun demikian, penguasaan kosakata saja tidak cukup sebagai syarat untuk

menguasai bahasa tertentu. Salah satu syarat yang perlu dan mendesak dalam

berbicara, menulis, dan menerjemahkan adalah pemilihan kata.

Pemilihan kata dalam Linguistik disebut diksi. Diksi adalah pilihan kata

yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek

tertentu (seperti yang diharapkan).1

Pemakaian bahasa diatur oleh dua perangkat kaidah. Kaidah yang pertama

disebut tata bahasa, yang menentukan benar tidaknya kalimat. Kaidah yang kedua

dinamakan gaya bahasa, yang membuat bahasa yang kita gunakan menjadi baik,

indah, dan efektif. Penggunaan bentuk kata yang tepat, seperti pemilihan antara

(16)

tahu dan mengetahui, termasuk dalam cakupan tata bahasa karena pilihan yang salah berakibat kalimat menjadi salah. Sebaliknya, pemilihan antara matahari dan sang surya tergolong ke dalam cakupan gaya bahasa. Pemilihan gaya bahasa yang salah tidak berakibat kalimat menjadi salah, tetapi kalimat itu dapat

dianggap tidak tepat, tidak kena sasarannya, atau tidak indah. Kalimat yang betul

belum tentu tepat, kena, indah, atau efektif.2 Dalam penelitian ini, Penulis hanya

meneliti pemilihan kata atau diksi secara gaya bahasa.

Pilihan kata termasuk dalam ilmu semantik, yaitu ilmu yang mempelajari

makna kata. Makna kata tersebut terdapat dalam kamus. Kamus merupakan

sebuah referensi yang memuat kosakata dan disusun secara alfabetis disertai

keterangan bagaimana menggunakan kata itu. Dengan banyaknya makna dalam

kamus, kita harus memilih kata atau makna yang tepat untuk mengungkapkan

sebuah gagasan. Hal ini penting, karena tidak jarang sebuah kata dapat berubah

arti dalam ruang dan waktu yang berbeda sehingga menimbulkan kesalahpahaman

dalam penggunaan.

Bahasa yang dipergunakan penulis atau penerjemah harus bahasa yang

umum dan tidak menyalahi norma-norma umum yang berlaku. Baik penulis

maupun penerjemah yang belum mahir mempergunakan bahasa akan menemukan

berbagai kesulitan, karena apa yang dipikirkan atau dimaksudkan tidak akan

sempurna dilahirkan kepada orang lain. Demikian pula dalam pergaulan umum,

jika bahasa yang dipergunakan bukan merupakan bahasa yang umum berlaku,

maka sukar pula diperoleh komunikasi yang lancar. Hal ini akan menimbulkan

kesalahpahaman. Sangsi yang langsung dapat diterima oleh pembicara, penulis,

(17)

dan penerjemah adalah bahwa apa yang diinginkan tidak dapat segera mendapat

tanggapan.

Dalam menerjemah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah

harus memilih padanan kata yang sesuai dengan tuntutan konteks, sehingga hasil

terjemahannya tepat dan benar. Terkadang satu kata dalam bahasa Arab

mempunyai belasan arti. Untuk itu penerjemah harus teliti dalam memilih

padanan kata. Contoh, kata bermakna ‘banyak, sering, dan

melimpah-limpah’, dalam kalimat:

ی !

"#$%"&

Kita sering menonton TV yang menayangkan film cerita.

Pilihan diksi pada kata dalam kalimat di atas, sangat tepat diartikan ‘sering’.

Contoh lain, pada frasa

' ( ) *

, kata

) *

pada frasa tersebut tidak

diartikan ‘memukul’, tetapi lebih tepatnya diatikan ‘mengocok’, karena kata yang

berdampingan dengannya bermakna ‘telur’. Jadi, frasa tersebut diartikan

‘mengocok telur’.

Penggunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok:

pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau

barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam

mempergunakan kata tersebut. Perbedaan antara ketepatan dan kesesuaian diksi

adalah dalam ketepatan, kita mempersoalkan apakah kata yang digunakan sudah

tepat, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan di antara pembicara

dan pendengar, atau antara penulis dengan pembaca. Dalam kesesuaian, kita

(18)

menyinggung perasaan orang lain.

Di bawah ini contoh pilihan kata yang kurang tepat yang terdapat dalam

buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf:

(

-+",

-. / 0

1

2 3 4" 3 56 7 89 " 3 : 89 8; <

= >

< 1 6 "9< 8?( 2 3 < 1@ < "9< AB

) )

3

C ( <

Beliau bersabda, “Itu bukanlah malu yang sebenarnya.

Orang yang ingin malu dengan yang sebenar-benarnya di hadapan Allah

swt, hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga

perutnya dan apa yang dimakannya, hendaklah ia mengingat mati dan

fitnah kubur....4

Kata

C (

di atas diterjemahkan ‘fitnah kubur’, kata

C (

di atas tidak

tepat dan tidak sesuai diartikan ‘fitnah’, karena dalam bahasa Indonesia kata

fitnah diartikan ‘perkataan atau pembicaraan yang sengaja disebarkan untuk

menjelek-jelekkan orang agar masyarakat mempunyai kesan yang buruk tentang

orang yang difitnah itu.’5 Dalam kamus al-Ashri

C ﺏ

bermakna ‘dicoba; diuji’.6

Menurut Penulis, kata

C (

di atas lebih tepatnya diartikan ‘siksa kubur’, karena

sebelumnya, kata tersebut didahului oleh kalimat hendaklah ia mengingat mati.

Jadi, arti dari

C (

tidak jauh dari kematian. Kata fitnah (kata yang dipilih oleh

3 Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf (Beirut: Darul Khair, t.t.), h. 215.

4

Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), h. 252.

5J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Buku Kompas, 2005), cet. ke-2, h. 111.

(19)

penerjemah Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf), dicoba, dan diuji

merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan.

Di bawah ini contoh pilihan kata yang kurang sesuai yang terdapat dalam

buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf:

E F -4" G ="9

89 H0>I - " 8ﺏ J K + ی

-

*

C

L

<

M

>

N

O

8

<

,

3

4"

<

P

(

Q$ C

#

< "

R

+

S

9

J

7

))

)))))))

Al-Fudhail bin Iyadh menjelaskan, “Ada lima tanda celaka

seorang manusia: Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu,

hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”8

Kata

+ ی

di atasditerjemahkan ‘menjelaskan’. Dalam konteks kalimat di

atas, subjek sedang menyebutkan sesuatu, bukan menjelaskan. Jadi, menurut

Penulis, kata tersebut lebih sesuai diterjemahkan ‘menyebutkan’. Begitu juga

terjemahan kata

4" G

yang diterjemahkan ‘celaka’. Penggunaan kata celaka

kurang sesuai, karena kata celaka berkedudukan sebagai kata kerja sedangkan

pada struktur kalimat di atas lebih tepat menggunakan kata benda. Dalam kamus

al-Ashri, kata

4" G

berarti ‘kesengsaraan; kemalangan’.9 Begitu juga dalam

kamus al-Munjid fî al-Lughah, kata

4" G

berarti

)

EN"OF ' # UE$G

T

10

yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘kesengsaraan; lawan kata kebahagiaan’.

7 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf, h. 217.

8 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 255.

9

Atabik Ali, h. 1141.

(20)

Jadi, setelah merujuk beberapa kamus, menurut Penulis, kata

4" G

lebih

tepat diterjemahkan ‘kesengsaraan’.

Diksi merupakan faktor utama dalam aktivitas penerjemahan. Penerjemah

harus teliti dalam memilih kata agar ide dan pesan penulis tersampaikan dengan

baik. Terkadang, penyampaian seseorang dalam menyampaikan ide yang

dimaksud mengalami kesulitan, baik dalam menulis, berkomunikasi, maupun

menerjemahkan. Hal ini disebabkan karena minimnya kosakata yang dimiliki.

Sebaliknya, ada pula seseorang yang mempergunakan kata sangat boros, namun

tidak ada isi yang tersirat di balik kata-kata itu. Inilah alasan utama Penulis

mengkritik diksi/pilihan kata dalam terjemahan agar pilihan kata dapat

tersampaikan sesuai pesan penulis dan mudah dipahami oleh para pembaca.

Sekarang ini, banyak sekali buku terjemahan di Indonesia yang telah

membuka cakrawala pemikiran kita untuk selalu berhubungan dengan bangsa lain

melalui karya mereka yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.

Khususnya, buku terjemahan dari bahasa Arab yang sebagian besar sudah dicetak

berulang kali. Penulis menjadikan salah satu buku terjemahan tersebut sebagai

bahan kritik yang fokus membahas masalah diksi.

Buku terjemahan yang akan menjadi bahan kritik adalah buku Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf karya Imam Al-Qusyairy al-Naisabury,

seorang sufi besar, pengarang dalam bidang tasawuf, dan ilmu-ilmu Islam. Buku

tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mohammad Luqman

Hakiem berjudul Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf.

Berdasarkan latar belakang itulah, Penulis memberi judul skripsi ini

(21)

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pengamatan pada buku terjemahan Al-Risâlah Qusyairiyyah fî Ilmi

al-Tasawwuf memberi inspirasi kepada Penulis untuk mengangkat permasalahan

pada kajian diksi/ pilihan kata. Agar penulisan ini tidak meluas, Penulis

merumuskan masalah ini dengan bentuk pertanyaan yang akan dijawab setelah

melalui telaah mendalam. Bentuk pertanyaannya adalah:

Apakah diksi yang dipilih penerjemah buku Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî

Ilmi al-Tasawwuf sudah tepat dan sesuai secara gaya bahasa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, Penulis memiliki tujuan

umum dalam penelitian ini, di antaranya membuktikan pentingnya memilih kata

dalam penerjemahan sehingga tidak menimbulkan kerancuan arti dan

tersampaikan apa yang diinginkan penulis buku. Selain itu, Penulis juga memiliki

tujuan inti yang secara jelas dirumuskan berikut ini:

Mengetahui akurasi kata yang dipilih oleh penerjemah buku Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf.

D. Manfaat Penelitian

Di samping penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi kata dalam

terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf. Penelitian ini juga

(22)

penerjemah agar dapat merujuk hasil penelitian ini guna mengetahui pilihan kata

atau diksi yang tepat dan sesuai secara gaya bahasa. Selain itu, bagi penerjemah

pemula yang ingin melakukan penerjemahan menyadari bahwa dalam

penerjemahan itu perlu diperhatikan kemahiran dalam memilih diksi yang tepat

dan sesuai agar para pembaca mudah menangkap isi atau pesan yang disampaikan

penulis.

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh yang Penulis temukan, penelitian tentang permasalahan diksi dilakukan

oleh 5 orang, di antaranya: Umanih (2007) menganalisis diksi terhadap

terjemahan Fiqh al-Mar`ah al-Muslimah, Rachmad Joeni Akbar (2006)

menganalisis diksi terhadap Alquran terjemahan Departemen Agama surat

al-Waqi‘ah, Elang Satya Nagara (2007) menganalisis diksi pada bab puasa buku

terjemahan Fath al-Qarib, Euis Maemunah (2004) menganalisis diksi pada bab

zakat buku terjemahan Fath al-Qarib, dan Mohammad Hotib (2006) menganalisis

diksi pada terjemahan buku Bulugh al-Maram bab riba “versi A. Hassan”.

Umumnya, penelitian yang dilakukan mahasiswa Jurusan Tarjamah adalah

analisis diksi pada terjemahan Alquran dan kitab-kitab Fiqh. Sementara itu, belum

terdapat penelitian yang menganalisis atau mengkritik masalah diksi mengenai

tasawuf, seperti yang akan Penulis teliti dalam buku terjemahan Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf.

(23)

Dalam penelitian ini, Penulis akan memakai teori Newmark dalam buku yang

disusun oleh Rochayah Machali yang berjudul Pedoman bagi Penerjemah.

Penulis juga akan menggunakan teori Eugene A. Nida. Selain itu, Penulis akan

menggunakan teori Gorys Keraf yang terdapat dalam buku Diksi dan Gaya

Bahasa. Selanjutnya, sebagai alat untuk mengkritik, Penulis akan menggunakan

teori Kunjana Rahardi dalam bukunya Seni Memilih Kata.

G. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian studi naskah

terjemahan, yaitu dengan cara menginventarisir kata-kata terkait dengan masalah

yang diteliti untuk menyingkap fakta yang ada sekaligus menemukan

masalah-masalah baru. Setelah itu, Penulis mendeskripsikan masalah-masalah tersebut sesuai

dengan data yang ada sehingga dapat mencapai maksud dan tujuan penelitian.

Penulis melakukan pencarian data dengan membaca dan menelaah

berbagai kamus guna mengetahui diksi atau pilihan kata dengan tepat dan sesuai

secara gaya bahasa. Penulis mengkritik pilihan kata atau diksi yang terdapat

dalam buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf.

Di samping itu, Penulis juga terus berkonsultasi dengan para ahli untuk

mengetahui lebih jauh dalam memilih diksi yang tepat.

Dalam penulisan ini, Penulis juga merujuk pada sumber-sumber sekunder

berupa buku-buku tentang penerjemahan, buku mengenai semantik, kamus bahasa

Arab, bahasa Indonesia, Linguistik, ensiklopedi, internet, dan lain-lain.

Selain itu, Penulis menggunakan kajian pustaka (library research). Secara

(24)

(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality Development and

Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I merupakan bab yang memayungi

topik penelitian ini. Bab ini menjelaskan latar belakang atau alasan pemilihan

topik penelitian ini, pembatasan masalah, perumusan masalah yang berupa

pertanyaan, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian. Bab ini

sangat penting, karena akan berpengaruh terhadap bab-bab selanjutnya.

Bab II menyajikan teori penerjemahan, yang meliputi definisi, proses, dan

metode penerjemahan. Mengingat penelitian ini berorientasi pada kritik atau

penilaian, karenanya pada bab ini juga dipaparkan kerangka teori yang akan

dipakai, diantaranya, teori diksi dan perantinya, ketepatan dan kesesuaian

pemilihan kata, dan lain-lain. Bab ini akan menjadi alat kritik.

Bab III menyuguhkan hal yang terkait objek atau data penelitian ini, yaitu

kajian tentang biografi singkat Imam al-Qusyairy al-Naisabury. Bab ini akan

memperjelas penelitian.

Bab IV berupa kritik internal atau penilaian dengan menerapkan teori yang

ada pada bab II. Bab ini akan membuktikan hasil penelitian.

Bab V merupakan bab yang mengakhiri penelitian ini dengan memberikan

(25)

BAB II

KERANGKA TEORETIK

A. Teori Terjemah 1. Definisi Penerjemahan

Dalam bidang penerjemahan ditemukan banyak definisi yang disampaikan oleh

para ahli. Berbagai definisi penerjemahan tersebut sering dikutip dalam

buku-buku tentang penerjemahan.

Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat

kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai the replacement of

textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another

language (TL), yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘mengganti bahan

teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa

sasaran.’ Newmark (1981) juga mendefinisikan serupa, namun lebih jelas lagi,

rendering the meaning of a text into another language in the way that the author

intended the text, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘menerjemahkan makna

suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.’11

Kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa: (1) penerjemahan adalah

upaya mengganti teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa

sasaran; (2) yang diterjemahkan adalah makna yang sesuai dengan maksud

pengarang.

Di sisi lain, Eugene A. Nida dan Charles R. Taber (1969), dalam buku

mereka The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi

(26)

penerjemahan sebagai berikut:

Translating consists in reproducing in the receptor language the closest

natural equivalent of the source language message, first in terms meaning and

secondly in terms of style.

Menerjemahkan adalah kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa

penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan

pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua

menyangkut gayanya.

Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai

memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima

(sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua

mengungkapkan gaya bahasanya.12 Di sini Nida dan Taber tidak

mempermasalahkan bahasa-bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih

tertarik pada cara kerja penerjemahan, yakni mencari padanan alami yang semirip

mungkin sehingga pesan dalam BSu bisa disampaikan dalam Bsa.13 Menurut

mereka, terjemahan terbaik ialah terjemahan yang tidak berbau terjemahan.14

Menurut Benny Hoedoro Hoed, dalam bukunya Penerjemahan dan

Kebudayaan, penerjemahan adalah upaya untuk mengungkapkan (kembali) pesan

yang terkandung dalam teks suatu bahasa atau teks sumber (BSu/TSu) ke dalam

bentuk teks dalam bahasa lain atau teks sasaran (BSa/TSa).15

Dalam bukunya Translation: Applications and Research, Brislin (1976)

12 Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 11. 13

Zuchridin Suryawinata dan Sugeng hariyanto, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 12.

14

Moch. Syarif Hidayatullah, Teori dan Permasalahan Penerjamahan, Diktat (Jakarta: t.pn., 2007), h. 42.

15 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan

(27)

menulis:

Translation is the general term referring to the transfer of thoughts and

ideas from one language (source) to another (target), whether the languages are

in written or oral form; whether the languages have a established orthographies

or do not have such standardization or whether one or both languages is based on

signs, as with sign languages of the deaf.

Secara bebas, definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:

Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan

buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) ke dalam bahasa lain

(sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan; baik kedua bahasa tersebut

telah mempunyai sistem penulisan yang telah baku maupun belum, baik salah satu

atau keduanya didasarkan pada isyarat sebagaimana bahasa isyarat orang tuna

rungu.16

Dari definisi di atas, Brislin memberi batasan pada istilah penerjemahan.

Bagi dia penerjemahan adalah pengalihan buah pikiran atau gagasan dari satu

bahasa ke dalam bahasa yang lain. Kedua bahasa ini bisa serumpun, seperti

bahasa Jawa dan Sunda, bisa dari lain rumpun, seperti bahasa Indonesia dan Arab,

atau bahkan bahasa yang sama tetapi dipakai dalam kurun waktu yang berbeda.

Definisi lain tentang penerjemahan diungkapkan oleh Mc Guire (1980),

yaitu:

Translation involves the rendering of a source language (SL) text into the

target language (TL) so as to ensure that (1) the surface meaning of the two will

be approximately similar and (2) the structure of the SL will be preserved as

16

(28)

closely as possible, but not so closely that the TL structure will be seriously

distorted.

Definisi tersebut diterjemahkan sebagai berikut:

Penerjemahan melibatkan usaha menjadikan BSu ke BSa sehingga (1)

makna keduanya menjadi hampir mirip dan (2) struktur BSa dapat dipertahankan

setepat mungkin, tetapi jangan terlalu tepat sehingga struktur BSanya menjadi

rusak.17

Definisi di atas terdapat beberapa hal yang kurang mengena. Pertama,

yang dibicarakan adalah BSu dan BSa yang sangat umum, sehingga tidak khusus

mengacu pada suatu terjemahan. Selain itu, definisi kedua mengandung

kontroversi, yaitu setepat mungkin namun jangan terlalu tepat. Dari sini kita tidak

tahu batas ketepatan yang dimaksud.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan

adalah memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu

(BSu) ke bahasa yang lain (BSa) dengan menyesuaikan kaidah kedua bahasa

tersebut.

2. Proses Penerjemahan

Menerjemahkan bukan hanya sekadar menyadur, dengan pengertian menyadur

sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan

detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke

dalam bahasa lain. (Pengertian menyadur tersebut disampaikan oleh Harimurti

Kridalaksana). Selain memahami definisi penerjemahan, seorang penerjemah

(29)

hendaknya mengetahui pula proses penerjemahan.18 Salah satu proses

penerjemahan yang seringkali dianut oleh banyak teoritis penerjemahan adalah

proses penerjemahan karya Nida (1975).

Nida membagi proses penerjemahan itu menjadi tiga tahap. Ketiga tahap

itu ialah:

1. Analisis

2. Pengalihan (Transfer)

3. Penyelarasan (Restructuring)19

Tahap Pertama atau Analisis

Pada tahap pertama, sebelum penerjemah menganalisis teks yang akan

diterjemahkan, ia akan dihadapkan dengan sebuah teks Bahasa Sumber (BSu),

misalnya bahasa Arab. Pada waktu seorang penerjemah menghadapi teks BSu, dia

harus memiliki latar belakang ilmu pengetahuan yang diterjemahkan itu. Kalau

tidak, dia tentu akan mengalami kesulitan. Misalnya seorang penerjemah yang

tidak menguasai bidang kedokteran diminta menerjemahkan teks-teks atau

materi-materi di bidang kedokteran, dia tentu akan mengalami kesulitan dalam

memahami isinya. Hal tersebut akan berakibat penerjemahannya melenceng dari

isi atau pesan teks bahasa sumbernya (BSu).

Di samping seorang penerjemah harus menguasai masalah pokok dari

materi yang diterjemahkan itu, dia harus pula menguasai BSu dengan baik sekali

dan bahkan hampir sempurna dari segi kebahasaannya. Tujuan penganalisisan dari

aspek kebahasaannya ini dimaksudkan bahwa si penerjemah harus mampu

menganalisis pola kalimatnya, struktur bahasanya, kolokasinya, idiomnya,

18

Widyamartaya, h.14. 19

(30)

peribahasanya (kalau ada), gaya bahasanya, kata-katanya, dan sebagainya.

Seorang penerjemah harus dapat menguasai segala sesuatu yang berhubungan

dengan bahasa yang digunakan dalam teks BSu, agar dia dapat memahami seluruh

isi atau maknanya.20 Untuk itu, penerjemah terlebih dahulu harus tahu bahan yang

hendak diterjemahkan itu bahasa siapa: bahasa seorang pujanggakah, seorang

noveliskah, seorang ahli hukumkah, seorang penulis iklankah, dan sebagainya.21

Di sisi lain, penerjemah juga harus menguasai (atau paling tidak banyak

mengetahui) budaya yang dilibatkan dalam BSu karena penerjemahan itu sangat

erat hubungannya dengan kebudayaan.

Tahap Kedua atau Tahap Pengalihan

Pada tahap ini, penerjemah harus mampu mencarikan padanan ke dalam BSa yang

menyangkut semua kata, frasa, klausa, kalimat, dan bahkan mencarikan padanan

untuk seluruh wacana. Pekerjaan ini tidak mudah, karena kadang-kadang terdapat

ungkapan yang sukar sekali dicarikan padanannya dalam BSa. Malahan terdapat

makna yang sama sekali tidak dapat dicarikan padanannya dalam BSa. Tetapi ada

pendapat yang mengatakan bahwa pikiran atau gagasan yang dapat diungkapkan

dalam suatu bahasa pasti juga dapat diungkapkan dalam bahasa yang lain, tentu

saja cara pengungkapannya berbeda. Tetapi harus diingat bahwa kedua ungkapan

itu (BSu dan BSa) tidak akan sama persis maknanya. Dengan demikian,

penerjemah harus berusaha mencarikan padanannya yang paling dekat, karena

setiap bahasa mempunyai sistem pengungkapan dan sistem pemaknaan yang

berbeda dengan bahasa yang lain.22 Dalam tahap ini, penerjemah harus sering

meminta bantuan orang lain.

20 Ibid., h. 6. 21

Widyamartaya, h. 16. 22

(31)

Tahap Ketiga atau Tahap Penyelarasan

Tahap ini merupakan tahap akhir, dan ini berarti bahwa tahap sebelumnya sudah

diselesaikan dengan baik. Setelah seorang penerjemah menemukan semua

padanan dalam BSa, dia harus menuangkan semua padanan itu ke dalam draft

atau rencana terjemahannya. Tentu saja hasil terjemahannya masih kasar dan

bersifat sementara serta masih memerlukan perbaikan di sana-sini. Dengan kata

lain draft itu masih memerlukan penyelarasan. Barangkali kalimat-kalimatnya

masih tampak kaku atau masih tampak seperti kalimat-kalimat yang berasal dari

kalimat-kalimat BSu. Kalimat-kalimat terjemahan tersebut masih terpengaruh

oleh bentuk bahasa sumbernya.23

Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau

membiarkan orang lain melakukannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu

dilakukan oleh orang lain. Ada dua alasan bagi hal ini: (1) penerjemah biasanya

merasa sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara psikologis ia akan

beranggapan bahwa terjemahannya sudah bagus, peristilahannya sudah tepat,

bahasanya sudah cukup alamiah dan wajar, dan sebagainya; (2) penerjemahan

sebaiknya merupakan pekerjaan suatu tim. Dalam hal ini, penerjemah melulu

menerjemahkan sedangkan kegiatan penyerasian dilakukan oleh orang lain.

Apabila penerjemah sendiri ingin melakukan penyerasian, maka sebaiknya

penerjemah memberikan hasil terjemahan untuk beberapa lama, agar ia tidak ingat

lagi proses pengambilan keputusan yang dilakukannya pada waktu

menerjemahkan. Hal ini untuk menghindari pengaruh proses tersebut terhadap

tindakan penyerasian yang akan dilakukannya. Sesudah itu, barulah ia dapat

(32)

memeriksa kembali hasil terjemahan tersebut dengan pikiran yang segar.24

3. Metode Penerjemahan

Menurut Newmark, sebagaimana dikutip oleh Rochayah Machali, ada dua metode

penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa

sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran

(BSa). Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya mewujudkan

kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun dijumpai

hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa (yakni hambatan bentuk dan makna).

Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif

sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi BSu.25

Metode-metode yang memberikan penekanan atau lebih berorientasi

terhadap bahasa sumber antara lain:

1. Penerjemahan Kata demi Kata (Word-for-word translation)

Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata TSa langsung diletakkan

di bawah versi TSu. Kata-kata dalam TSu diterjemahkan di luar konteks, dan

kata-kata yang bersifat kultural dipindahkan apa adanya. Contoh:

ﺙ X

$

V

<

)

Y ,B

dan di sisiku tiga pulpen-pulpen.

Umumnya metode ini digunakan sebagai tahapan prapenerjemahan pada

penerjemahan teks yang sangat sukar atau untuk memahami mekanisme BSu.

Jadi, dalam proses penerjemahan, metode ini dapat terjadi pada tahap analisis atau

24

(33)

tahap awal pengalihan.

2. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)

Metode ini juga dapat dilakukan dalam penerjemahan awal. Kalimat-kalimat yang

panjang dan sulit diterjemahkan secara harfiah dulu untuk kemudian

disempurnakan. Dalam penerjemahan harfiah, penerjemah sudah mengubah

struktur BSu menjadi struktur BSa. Namun, kata-kata dan gaya bahasa dalam TSu

masih dipertahankan dalam TSa. Dengan sendirinya terjemahan seperti ini masih

memperlihatkan model teks dari TSu dan belum dapat dikatakan sebagai

terjemahan yang betul. Metode ini juga dipilih untuk menjaga agar jangan terjadi

kebocoran dalam mengalihkan pesan.26 Contoh:

4 N Z I

Ringan selendang.27

Metode ini dapat digunakan sebagai metode pada tahap awal pengalihan,

bukan sebagai metode yang lazim. Sebagai proses penerjemahan awal, metode ini

dapat membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi.28

3. Penerjemahan Setia (Faithful Translation)

Penerjemah setia ini berupaya menghasilkan kembali makna kontekstual BSu

yang tepat. Dalam melaksanakan hal itu, penerjemah akan berhadapan dengan

kendala struktur gramatikal BSa. Dengan menggunakan metode ini, penerjemah

mentransfer kata-kata kultural dan mempertahankan tingkat ketidakwajaran

gramatikal dan leksikal (penyimpangan dari norma-norma BSu) dalam

penerjemahan. Penerjemah berupaya setia sepenuhnya terhadap tujuan dan

26

Hoed, h. 56.

27 Moch. Syarif Hidayatullah, Teknik Menerjemah Teks Arab 1, (Jakarta: Transpustaka, 2005) h. 27.

28

(34)

realisasi teks penulis BSu.29 Dalam hasil penerjemahan metode ini,

kadang-kadang terasa kaku dan seringkali asing. Contoh:

Dia (lk.) dermawan karena banyak abunya.

)+)

N"

9

%

4. Penerjemahan Semantik (Semanic Translation)

Penerjemah sangat menekankan pada penggunaan istilah, kata kunci, ataupun

ungkapan yang harus dihadirkan dalam terjemahannya.30 Perbedaan antara

penerjemahan setia (3) dan penerjemahan semantik adalah bahwa metode (3)

lebih kaku, tidak berkompromi dengan kaidah, dan lebih terikat oleh BSu

sedangkan metode (4) lebih fleksibel. Contoh seperti dalam contoh (3), namun,

dalam metode ini, hasil terjemahnnya lebih luwes.

Ia (laki-laki) adalah orang dermawan. =

N"9

%

Penerjemahan semantis harus pula mempertimbangkan unsur estetika teks

BSu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran.

Metode-metode yang memberi penekanan atau lebih berorientasi terhadap

bahasa sasaran antara lain:

1. Saduran (Adaptation)

Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat

dengan BSa. Istilah saduran dapat dimasukkan di sini asalkan penyadurannya

tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, misalnya tema, karakter, atau

alur. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Tetapi

29

Hidayatullah, h. 15. 30

(35)

dalam penerjemahan, terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa, dan teks asli

ditulis kembali serta diadaptasikan ke dalam Tsa.31

Contoh: BSu: Mumpung padhang rembulane

Mumpung jhembar kalangane

Klausa di atas dapat diadaptasi ke dalam bahasa Arab sebagai berikut:

6

V

>

B "

#

["

#

ﺏ "

$

[

#"

Selama bulan purnama bersinar.

Tidak diterjemahkan: Selama menyinari (kami) bulan purnama (kami).

(pronominal persona “kami” tidak diterjemahkan).

Versi asli BSa adalah penggambaran budaya tentang betapa pengaruh

bulan purnama di suatu suasana desa Jawa (yang mungkin temaram/gelap),

sehingga tidak hanya “padhang rembulane” (terangnya sinar bulan) saja yang

dilukiskan, tetapi juga “jembar kalangane” (luasnya lingkaran terang bulan).

Keduanya disampaikan melalui lagu/irama bunyi [e] pada akhir klausa. Demikian

pula pada penerjemahan ke dalam bahasa Arab tidak dapat menggambarkan

budaya yang serupa. Alternatif versi BSa (bahasa Arab) adalah penggambaran

netral dalam satu kalimat, dengan rima internal bunyi [na:] pada kata ana: rana:

dan badruna:. Dalam budaya masyarakat Arab, bulan purnama

[$ﺏ

/badr/ sudah

mengandung makna terang bulan dengan luas lingkaran penuh.32

2. Penerjemahan Bebas (Free Translation)

Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan

bentuk teks BSu. Biasanya, metode ini berbentuk sebuah parafrase yang dapat

31

Machali, h. 53. 32

(36)

lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya dan bentuk retorik (seperti alur) atau

bentuk kalimatnya sudah berubah sama sekali. Metode ini sering dipakai di

kalangan media massa.33 Contoh:

B C

>

+"

B

HJ

]

H^

9

8

B

+

N"F

3

E"

V

A"

B

M

>

O

8

Harta sumber malapetaka34

3. Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)

Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering dengan

menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada

versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Beberapa

pakar penerjemahan seperti Seleskovitch menyukai metode terjemahan ini, yang

dianggapnya “hidup” dan “alami (dalam arti akrab)”. Sebagai contoh adalah

penerjemahan berikut ini:

8_"V; 4J>ﺕ 4"9a J(,

Sedia payung sebelum hujan.

4. Penerjemahan Komunikatif (Communicative Translation)

Metode ini berupaya memberikan makna kontekstual BSu yang tepat sedemikian

rupa sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca.35

Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi.

Yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah

versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan

33

Machali, h. 53. 34

(37)

prinsip di atas.36 Contoh:

#

?

[

9

8

#

?

Y

^

9

8

Y

^

9

8

9

K

b

Y

Dapat diterjemahkan ke dalam beberapa versi, di antaranya:

1. Kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal

daging (awam).

2. Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio (terpelajar).37

Newmark memberikan komentar terhadap metode-metode di atas.

Menurutnya, hanya metode semantik dan komunikatiflah yang dapat memenuhi

tujuan utama penerjemahan, yaitu keakuratan dan keekonomisan. Pada umumnya,

masih menurut Newmark, penerjemahan semantik ditulis pada tingkat linguistik

penulis, sedangkan penerjemahan komunikatif pada tingkat linguistik pembaca.

Penerjemahan semantik digunakan untuk menerjemahkan teks-teks ekspresif,

sedangkan penerjemahan komunikatif untuk teks-teks vokatif dan informatif.38

B. Teori Diksi 1. Definisi Diksi

Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris

yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam Websters (Edisi

ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to

correctness, clearness, or effectiveness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata,

36

Machali, h. 55. 37

(38)

terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan.39

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi adalah pilihan kata yang

tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan

sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).40

Menurut Harimurti Kridalaksana, diksi adalah pilihan kata dan kejelasan

lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam

karang-mengarang.41

Dalam buku Seni Menggayakan Kalimat, Widyamartaya mengutip

pendapat Gorys Keraf bahwa pilihan kata atau diksi adalah kemampuan

membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang

ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai

dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah

besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.42

Gorys Keraf juga menguraikan tiga kesimpulan utama mengenai diksi:

pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang

dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk

pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang

tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi; kedua,

pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat

nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk

39 Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. ke-I, h. 7.

40

Alwi dkk., h. 264. 41

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993) ed. 3.

(39)

menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situsi dan nilai rasa yang dimiliki

kelompok masyarakat pendengar; ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya

dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata

bahasa itu. Sementara itu, yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosakata

suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.43

Dari beberapa pendapat di atas, secara umum Penulis menyimpulkan

bahwa diksi adalah pilihan kata yang sesuai dengan makna atau gagasan yang

ingin disampaikan oleh pembicara, penulis, dan penerjemah. Kata-kata tersebut

harus tepat digunakan dalam situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok

masyarakat pendengar dan pembaca.

Dengan demikian, diksi yang baik dapat diketahui apabila sebuah

tulisan mampu dipahami oleh pembaca sesuai dengan tingkat keahlian di mana

tulisan itu ditujukan.

2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan

Penerjemah harus mengalihkan pesan atau amanat, bukan mengalihbahasakan

kata per kata. Namun, pada praktiknya, dalam pengalihan pesan itu, sering

terjemahan suatu kata atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi,

demikian pula ungkapan. Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga

penerjemah dihadapkan pada ketidakmungkinan menerjemahkan suatu kata. Di

sinilah diperlukan kebijakan, kemampuan berbahasa Indonesia, keterampilan

(40)

menemukan kata yang tepat serta kreativitas seorang penerjemah agar teks

terjemahannya dapat berterima. Di samping itu, ia pun harus mengenali apakah

suatu kelompok kata merupakan frasa atau klausa biasa ataukah ungkapan atau

peribahasa.

Masalahnya muncul jika penerjemah tidak tahu padanan peribahasa

Indonesia atau memang dalam bahasa Indonesia tidak ada padanannya. Salah satu

solusi adalah menerjemahkan makna peribahasa itu berdasarkan kamus.

Kata-kata yang sulit dicarikan padanannya biasanya menyangkut unsur

budaya materi, religi, sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur,

bahasa isyarat, ekologi (Newmark: 1988: 95, seperti yang dikutip oleh Nababan,

2004). Masalahnya, terkadang padanan kata itu ada dalam bahasa Indonesia, tetapi

konotasinya berbeda. Atau sebaliknya, kata tersebut dalam teks asal memiliki

berbagai makna yang harus dipilih dengan jeli oleh penerjemah. Memang

persoalan memilih makna kata itu merupakan masalah permanen dalam

penerjemahan yang dapat membuat kesal penerjemah karena terkadang ia telah

paham betul apa yang dimaksud pengarang, tetapi mendapat kesulitan bagaimana

menuangkannya dalam bahasa Indonesia gara-gara satu kata atau istilah saja.

Contoh-contoh berikut yang menyangkut kebiasaan sehari-hari (pranata sosial,

makanan-minuman, dll.), istilah keagamaan, istilah kekerabatan, kata ganti orang,

nama diri, sebutan, gelar, kata sapaan, nama peralatan, tumbuh-tumbuhan,

bunga-bungaan, buah-buahan,dan hewan.44

Dalam pencarian padanan, kita akan dihadapkan pada beberapa kasus.

44

(41)

Kasus berikut disarikan dari website yang ditulis oleh Ida Sundari Husen,45 di

antaranya:

a. Istilah/kata yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesia.

• Kata tersebut sebetulnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia, namun

dengan makna yang lebih luas, misalnya dalam bahasa Inggris, kata rice yang

dapat berarti ’padi/beras/nasi’. Dalam hal ini, konteks sangat menentukan padanan

kata yang dimaksud.

• Suatu kata dari bahasa sumber dapat memiliki makna ganda dan mempunyai dua

padanan dalam bahasa Indonesia, misalnya, dalam bahasa Arab, kata maktab

dapat berarti ’meja’ atau ’kantor’. Penerjemah harus memilih yang mana yang

paling cocok dengan konteksnya.

• Banyak juga kata-kata yang sebetulnya memiliki padanan dalam bahasa

Indonesia, tetapi dengan konotasi khusus, misalnya, dalam bahasa Inggris, kata

café bermakna ’warungkopi’; kitchen bermakna ’dapur’.

Rasa rendah diri dan kebiasaan berbahasa orang Indonesia tampaknya ikut

menentukan dalam pengadopsian atau peminjaman istilah-istilah asing tersebut.

Istilah "dapur" digunakan untuk dapur tradisional yang kotor, sedangkan kalau

dapur itu bersih dan modern namanya kitchen. Dari istilah itu muncul kitchen-set

di mana-mana. Sama halnya dengan keempat istilah lain yang tersebut di atas.

Ada yang dipinjam bulat-bulat dalam bentuk aslinya, ada pula yang secara

perlahan-lahan disulap menjadi bahasa Indonesia, seperti café atau kafe.

Dalam petunjuk-petunjuk penerjemahan sering dikatakan bahwa penerjemah

harus menggunakan padanan istilah yang digunakan di Indonesia.

45

(42)

b. Istilah/kata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Biasanya

terdapat dalam istilah budaya yang menyangkut adat/kebiasaan, bangunan,

tumbuhan, makanan dan minuman. Contoh, dalam bahasa Arab kata al-basyaam

tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi di kamus al-Munawwir, kata

tersebut diartikan ‘nama pohon’. Dalam hal ini, seorang penerjemah harus kreatif

untuk mencari padanan yang cocok dalam bahasa Indonesia, misalnya dengan

bertanya kepada ahli bahasa, baik sasaran, maupun sumber.

3. Peranti-peranti Diksi

a. Penggunaan Kata Bersinonim

Secara etimologi, kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma

yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata

sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik,

Verhaar mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat)

yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.46 Dikatakan

kurang lebih, karena tidak akan ada dua buah kata berlainan yang maknanya

persis sama. Yang sama sebenarnya hanya informasinya saja, sedangkan

maknanya tidak persis sama.47

Dalam buku Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Abdul Chaer: 2002)

juga disebutkan bahwa dalam buku-buku pelajaran bahasa sering dikatakan

sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan

ini jelas kurang tepat, sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim

46 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), cet. ke-3, h. 82.

(43)

pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan

bahasa lainnya. Seperti dalam contoh berikut:

a. Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara

dia dengan nya, dalam kalimat “minta bantuan dia” dengan “minta

bantuannya.”

b. Sinonim antara kata dengan kata, seperti antara mati dengan meninggal.

c. Sinonim antara kata dengan frasa atau sebaliknya. Misalnya meninggal

dengan tutup usia.

d. Sinonim antara frasa dengan frasa. Misalnya, antara ayah ibu dengan

orangtua.

e. Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola

dengan Bola ditendang adik.

Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya

kata beras, salju, batu, kuning, dan lain-lain tidak memiliki sinonim.

Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk

jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul, tetapi kata

kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Sebaliknya, ada

kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki

sinonim pada bentuk jadian. Misalnya, kata jemur tidak mempunyai

sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan.

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula

yang tidak.48 Contoh kata yang dapat digantikan satu sama lain: kata semua

bersinonim dengan kata seluruh, seperti dalam kalimat di bawah ini:

48

(44)

- Semua warga kota diungsikan.

- Seluruh warga kota diungsikan.

Sedangkan kata yang tidak dapat digantikan satu sama lain adalah kata melihat,

melirik, menonton, meninjau, dan mengintip. Kata melihat memiliki makna

umum; kata melirik memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata menonton

memiliki makna melihat untuk kesenangan; kata meninjau memiliki makna

melihat dari tempat jauh; dan kata mengintip memiliki makna melihat dari atau

melalui celah sempit. Contoh dalam kalimat:

- Ia mengintip bioskop. (salah)

- Ia menonton bioskop. (benar)

Sinonim dipergunakan untuk mengalih-alihkan pemakaian kata pada

tempat tertsntu sehingga kalimat itu tidak membosankan. Dalam pemakaiannya

bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan

mengkongkretkan bahasa seseorang sehingga kejelasan komunikasi (lewat bahasa

itu) akan terwujud. Dalam hal ini pemakai bahasa dapat memilih bentuk mana

yang paling tepat untuk dipergunakannya, sesuai dengan kebutuhan dan situasi

yang dihadapinya.49

b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi

Makna denotasi dan konotasi dibedakan berdasarkan ada tidaknya nilai rasa dalam

sebuah kata. Kata denotasi tidak bernilai rasa, sedangkan kata konotasi memiliki

nilai rasa. Makna denotasi sering disebut makna konseptual, makna sebenarnya,

makna lugas, makna polos, makna sesungguhnya sesuai dengan faktanya.

Sedangkan konotasi itu bukanlah makna yang sebenarnya, melainkan makna

49

(45)

kiasan.50 Contoh kata kurus bermakna denotasi ‘keadaan tubuh seseorang yang

lebih kecil dari ukuran yang normal’.

Konotasi terbagi dua, yakni konotasi positif dan konotasi negatif. Konotasi

positif adalah makna tambahan dari makna kata sebenarnya yang bernilai rasa

tinggi, baik, sopan, santun, sakral, dan sejenisnya. Sementara itu, makna konotasi

negatif adalah makna tambahan dari makna kata sebenarnya yang bernilai rasa

rendah, kotor, jelek, dan sejenisnya.51 Contoh, kata ramping memiliki konotasi

positif, nilai rasa yang mengenakkan. Sebaliknya, kata kerempeng memiliki

konotasi negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan.

c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus

Kata umum adalah sebuah kata yang mengacu kepada suatu hal atau kelompok

yang luas bidang lingkupnya.52 Kata khusus (hiponim) ialah bentuk (istilah) yang

maknanya terangkum oleh bentuk kata umum (superordinat)nya.53

Pada umumnya, untuk mencapai ketepatan pengertian, lebih baik memilih

kata khusus daripada kata umum, karena kata khusus memperlihatkan pertalian

yang khusus atau kepada obyek yang khusus, maka kesesuaian akan lebih cepat

diperoleh antara pembaca dan penulis. Misalnya, jika seorang mengatakan, “Si

Cathy, kucing Rani, mencakar adik saya,” maka, kata si Cathy tidak akan

menimbulkan salah interpretasi antara pembicara dan pendengar atau penulis dan

pembaca. Karena, si Cathy mengacu kepada obyek yang khusus, yaitu kucing

Rani yang bernama si Cathy.

50

Rahardi, h. 105.

51 Chaer, Linguistik Umum, h. 292. 52

Keraf, h. 90.

(46)

d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret

Kata-kata abstrak ialah kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca/pendengar,

karena referennya berupa konsep. Konsep ialah gambaran dari obyek atau proses

yang berada di luar bahasa dan memahaminya harus menggunakan akal budi.54

Kata perdamaian, peradaban, dan lain-lain tidak dapat ditunjukkan dengan hanya

memperlihatkan sesuatu benda, gambarnya atau modelnya, namun harus

dijelaskan dengan definisi yang panjang lebar.

Kata konkret ialah kata-kata yang mudah dipahami karena referennya

dapat dilihat, didengar, dirasakan, atau diraba. Contoh, kata mobil, meja,

komputer, ayam, kucing, dan lain-lain. Kata-kata tersebut referennya dapat

ditunjukkan dengan cara melihat gambarnya.

Singkatnya, kata abstrak merupakan kata yang tidak mudah diserap oleh

pancaindra. Sebaliknya, kata konkret merupakan kata yang mudah diserap oleh

pancaindra.

e. Penggunaan Bentuk Idiomatis

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna

unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal.55

Rahardi menuliskan dalam bukunya bahwa bentuk idiomatis sudah lekat

dan tidak dapat diceraikan. Contoh, sesuai dengan, sehubungan dengan, berharap

akan, berbicara tentang, dan lain-lain.56 Jadi, tidak cocok apabila ditulis sesuai

bagi, seharusnya sesuai dengan.

Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom, yaitu idiom penuh

dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara

54 Ibid., h. 83.

55 Chaer, Linguistik Umum, h. 296. 56

(47)

keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, contoh

membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau. Sedang pada idiom sebagian

masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, daftar hitam

yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai/dianggap

bersalah.’57 Untuk mengetahui makna sebuah idiom sebuah kata (frasa atau

kalimat) harus mencarinya di kamus.

4. Ketepatan Pilihan Kata

a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata

Ketepatan pilihan kata adalah kesanggupan sebuah kata untuk

menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau

pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau

pembicara.58 Hal ini menyangkut pula masalah makna kata dan kosakata

seseorang.

Dalam persoalan ketepatan kita bertanya apakah pilihan kata yang dipakai

sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan

antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dan pembaca.

Contoh, Dengan adanya kegiatan penelitian sastra diharapkan dapat

membantu menyediakan bahan-bahan guna penyusunan teori sastra Indonesia.

Suntingan: Kegiatan penelitian sastra Indonesia diharapkan dapat

membantu lahirnya teori sastra Indonesia.59

Setiap penulis harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya

untuk mencapai maksud tersebut, karena dengan begitu tidak akan menimbulkan

57 Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 75. 58

Keraf, h. 87.

(48)

salah paham.

b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata

Beberapa syarat berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai

ketepatan pilihan katanya itu.

1. Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang

mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus menetapkan mana

yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Kalau hanya

pengertian dasar yang diinginkannya, maka ia harus memilih kata yang

denotatif; kalau ia menghendaki reaksi emosional tertentu, ia harus

memilih kata konotatif sesuai dengan sasaran yang akan dicapainya itu.

2. Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Penulis

harus berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada untuk

menyampaikan apa yang diinginkannya, sehingga tidak timbul interpretasi

yang berlainan.

3. Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis sendiri

tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu, maka akan

mengakibatkan salah paham. Misalnya, bahwa-bawah, massa-masa,

karton-kartun, dan sebagainya.

4. Tidak boleh menafsirkan makna kata secara subjektif berdasarkan

pendapat sendiri. Jika pemahaman itu belum dapat dipastikan, maka

penulis harus dapat menemukan makna yang tepat di dalam kamus.

Misalnya kata modern sering diartikan ‘canggih’. Padahal, kedua kata itu

(49)

5. Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing

yang mengandung akhiran asing tersebut, seperti kata kultur-kultural.

6. Harus dapat menggunakan kata-kata idiomatik berdasarkan susunan yang

benar.

7. Harus dapat membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih

tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum.

8. Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang

khusus. Kata-kata tersebut merupakan pengalaman-peng

Gambar

Grafika, 2003, cet. ke-8.

Referensi

Dokumen terkait