KUESIONER PENELITIAN
Data Umum Responden
1. Nama :
2. Usia :
3. Pendidikan Terakhir :
Riwayat Pekerjaan
1. Masa Kerja di PT. Hutahaean : …. tahun 2. Lama kerja : …. jam/hari
3. Selain bekerja di PT. Hutahaean, apakah saudara mempunyai pekerjaan sampingan?
a. Ya b. Tidak
Kebisingan
1. Apakah saudara merasa lingkungan kerja saudara terlalu bising?
a. Ya b. Tidak
Penilaian Stres Akibat Kerja Berdasarkan Gejala - Gejala Stres Cara pengisian : beri tanda “X” pada nilai yang saudara pilih
Nilai 0 : tidak pernah sama sekali
3. Diare/gangguan buang air besar 4. Gatal-gatal/gangguan kulit 5. Rasa sakit pada rahang 6. Kerongkongan kering 7. Sering buang air kecil 8. Perubahan pola makan 9. Banyak keringat 10. Kaku leher belakang
3. Cemas
4. Emosi berlebihan 5. Gelisah
6. Merasa tidak berdaya
7. Selalu mengkritik diri sendiri dan orang lain 8. Merasa diabaikan
9. Mudah tersinggung C. Gejala Perilaku
1. Menurunnya kegairahan
2. Konsumsi alkohol yang berlebihan 3. Meningkatnya konsumsi rokok/kopi 4. Gangguan pada kebiasaan makan 5. Gangguan tidur
6. Kecenderungan menyendiri 7. Sering absen di tempat kerja
8. Kecendrungan perilaku berisiko tinggi seperti berkendaraan dengan tidak hati-hati
9. Kekerasan/tindakan agresif 10. Menunda pekerjaan
D. Gejala Intelektual 1. Lemahnya daya ingat
2. Ketidakmampuan berkonsentrasi 3. Sukar mengambil keputusan 4. Menyalahkan diri sendiri 5. Binggung/pikiran kacau
6. Produktivitas/prestasi kerja menurun 7. Mutu kerja rendah
8. Melamun secara berlebihan 9. Kehilangan rasa humor 10. Berfikir negatif
E. Gejala Interpersonal
1. Kehilangan kepercayaan kepada orang lain 2. Mudah mempersalahkan orang lain
3. Mudah membatalkan janji
4. Suka mencari kesalahan orang lain
5. Menyerang teman/orang lain dengan kata-kata 6. Mengambil sikap terlalu membentengi diri 7. Mengambil sikap terlalu mempertahankan diri 8. Mendiamkan orang
TOTAL NILAI
(Grant Brecht, 2000 dalam penelitian Murani Dwi Putri dengan judul Gambaran Kebisingan Lalu Lintas dan Stres Kerja pada Operator Pompa Bensin di SPBU X
4
10
LAMPIRAN 2
DENAH PABRIK & TITIK PENGUKURAN KEBISINGAN
3
2
12
6
1
5
9
11
11
11
11
9
9
7
Keterangan :
: Titik Pengukuran Kebisingan
Nomor 1 : Pengupasan
Nomor 2 : Pencucian
Nomor 3 : Cassava Bin
Nomor 4 : Rasper Section
Nomor 5 : Control Room
Nomor 6 : Peeler Section
Nomor 7 : Packing
Nomor 8 : Boiler
Nomor 9 : Separator Section
Nomor 10 : Workshop (Bengkel)
Nomor 11 : Extractor Section
LAMPIRAN 4
LAMPIRAN 6
Keterangan:
Umur : Umur dalam bentuk kategori (1 = < 27 tahun ; 2 = ≥ 27 tahun)
MK : Masa Kerja dalam bentuk kategori (1 = < 5 tahun ; 2 = ≥ 5 tahun)
PDK : Pendidikan dalam bentuk Kategori (1 = SMA; 2 = SKM; 3 = STM)
LB : Lingkungan Bising dalam bentuk kategori (1 = Ya; 2 = Tidak)
KT : Kerja Tambahan dalam bentuk kategori (1 = Ya; 2 = Tidak)
KBS : Kebisingan dalam bentuk kategori (1 = ≥ 85 dB ; 2 = < 85 dB)
Frequency Percent Valid Percent
Gejala stres kerja berdasarkan kuesioner:
Frequency Percent Valid Percent
Selalu mengkritik diri sendiri dan orang lain
Frequency Percent Valid Percent
Sering absen di tempat kerja
Frequency Percent Valid Percent
Kecendrungan perilaku berisiko tinggi seperti berkendaraan dengan tidak hati-hati
Frequency Percent Valid Percent
Suka mencari kesalahan orang lain
Frequency Percent Valid Percent
Menyerang teman/orang lain dengan kata-kata
Frequency Percent Valid Percent
Mengambil sikap terlalu mempertahankan diri
b. Uji Bivariat
Kebisingan * Stres Kerja Crosstabulation
DOKUMENTASI
Gambar 1. Pintu Utama Pabrik
Gambar 3. Kondisi di dalam Pabrik
Gambar 5. Rambu K3 di dalam Pabrik
Gambar 7. Kondisi di dalam Pabrik
Gambar 9. Pekerja Boiler
Gambar 11. Pengisian Kuesioner
Gambar 11. Pengisian Kuesioner
Gambar 13. Pengisian Kuesioner
Gambar 15. Pengukuran Kebisingan
DAFTAR PUSTAKA
Agung, 2008. Stress Kerja. http://www.johan-suyanto.com//2008/04/bahaya- stres-di-tempat-kerja.html diakses pada tanggal 11 Desember 2015
Anises, 2014. Kedokteran Okupasi: Berbagai Penyakit Akibat Kerja dan Upaya Penanggulangan dari Aspek Kedokteran. AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta.
Anizar, 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Cetakan Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Anoraga, P., 2001. Psikologi Kerja. Cetakan Ketiga. PT RINEKA CIPTA, Jakarta.
Chandra, B., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. EGC, Jakarta.
Doelle, Leslie L., 1990. Akustik Lingkungan. Erlangga : Jakarta.
European Agency for Safety and Health at Work, https://osha.europa.eu/en/
tools-and-publications/publications/reports/6805535, diakses pada tanggal 24 Mei 2016.
Harrianto, R., 2010. Buku Ajar Kesehatan Kerja. EGC, Jakarta.
Heryati E., & Faizah N., 2008. Diktat Kuliah Psikologi Faal. http://file.upi.edu/ Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197710132005012-EUIS HERYATI/DIKTAT_KULIAHx.pdf., diakses pada tanggal 18 September 2016.
Idhayu Oktarini, 2010. Pengaruh Kebisingan terhadap Stres Kerja Tenaga Kerja Penggilingan Padi CV Padi Makmur Karangayar. https://dglib.uns.ac.id/dokumen/download/15217/MzAxMzQ=/Pengar uh-kebisingan-terhadap-stress-kerja-tenaga-kerja-penggilingan-padi-CV-Padi-Makmur-Karanganyar-abstrak.pdf, diakses pada tanggal 23 Juli 2016.
Munandar, Ashar Sunyoto, 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Notoadmodjo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT RINEKA CIPTA, Jakarta.
Noviani R.D., 2010. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Stres Kerja pada Tenaga Kerja Penggilingan Padi di Kecamatan Mojolaban Sukoharjo. http://lib.unnes.ac.id/18361/1/6450408013.pdf, diakses pada tanggal 19 Juli 2016.
Subaris, H., Haryono, 2008. Hygiene Lingkungan Kerja. Cetakan Kedua. MITRA CENDIKIA Press, Yogyakarta.
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Cetakan Kedelapan. Alfabeta, Bandung.
Suma‟mur, 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). CV Sagung Seto, Jakarta.
Soeripto, 2008. Higiene Industri. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Tambunan, Sihor TB, 2005. Kebisingan di Tempat Kerja (Occupational Noise). ANDI. Jakarta.
Tarwaka, 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan dan Produktivitas. Cetakan Pertama. UNIBA PRESS, Surakarta.
World Health Organization. Occupational Noise. http://www.who.int/
quantifyingehimpacts/publications/en/ebd9.pdf, diakses pada tanggal 6 Januari 2016.
Waluyo, M., 2009. Psikologi Teknik Industri. Cetakan Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survey analitik dengan desain
penelitian cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari kolerasi antara
faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoadmojo, 2005).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi
Penelitian dilaksanakan di pabrik PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli, Jl.
Indorayon, Desa Pintubosi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa, dengan
alasan:
a. Belum pernah dilakukannya penelitian mengenai hubungan kebisingan dengan
stres kerja pada pekerja di pabrik tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli
Kecamatan Laguboti.
b. Adanya kemudahan dan dukungan dari pihak PT. Hutahaean Wilayah
Tapanuli untuk melakukan penelitian pada pekerja pabrik.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2016 – Agustus 2016.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
dilakukan dengan populasi sebanyak 60 orang pekerja.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian kecil populasi yang digunakan dalam uji untuk
memperoleh informasi statistik mengenai keseluruhan populasi (Chandra, 2008).
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010).
Populasi yang diambil untuk dijadikan sampel penelitian adalah yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Pekerja yang melakukan aktivitas kerja dekat dengan sumber bunyi.
b. Usia 20-50 tahun
c. Tidak mengalami gangguan pendengaran.
Berdasarkan keterangan di atas, jumlah sampel dalam penelitian ini
berjumlah 36 orang pekerja.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer penelitian ini yaitu data kebisingan di pabrik yang diperoleh
dengan melakukan pengukuran secara langsung menggunakan alat Sound Level
Meter dan pengisian lembar kuesioner oleh pekerja di pabrik untuk memperoleh
data stres kerja.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan
Laguboti meliputi data-data yang berkaitan dengan pekerja dan gambaran umum
3.5 Variabel dan Defenisi Operasional 3.5.1 Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel
independen berupa intensitas kebisingan dan variabel dependen berupa stres kerja.
3.5.2 Defenisi Operasional
a. Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari
mesin-mesin produksi di pabrik. Pada penelitian ini kebisingan di tempat
kerja diukur dengan menggunakan alat ukur Sound Level Meter.
b. Stres kerja adalah sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi
individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Stres kerja
diukur dengan menggunakan kuesioner mengenai gejala-gejala stres kerja.
3.6 Metode Pengukuran
Aspek pengukuran adalah mengukur kebisingan dan stres kerja pada
pekerja di pabrik. Untuk dapat mengetahuinya dilakukan pengukuran dengan
menggunakan alat serta wawancara dengan menggunakan kuesioner mengenai
gejala-gejala stres kerja.
3.6.1 Kebisingan
Kebisingan diukur dengan menggunakan Sound Level Meter (SLM) oleh Balai
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Medan. Pengukuran dilakukan di 9 titik dimana
pekerja melakukan aktivitas kerjanya.
Alat ukur : Sound Level Meter (SLM)
Gambar 3.1 Sound Level Meter Wohler SP 22
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Hasil pengukuran :
a. Kebisingan ≥ 85 dB(A)
b. Kebisingan < 85 dB(A)
Prosedur pengukuran:
Alat diletakkan pada tripord sebagai alat penyangga untuk memudahkan
petugas dalam melakukan pengukuruan. Adapun prosedur pengukurannya antara lain:
a. Hidupkan alat ukur
b. Periksa kondisi baterai, pastikan bahwa keadaan power dalam kondisi
baik.
d. Sesuaikan pembobotan waktu respon alat ukur dengan karakteristik
sumber bunyi yang diukur (S untuk sumber bunyi relatif konstan atau F
untuk sumber bunyi kejut).
e. Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia yang ada di
tempat kerja. Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang
sumber bunyi.
f. Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan
karakteristik mikropon (mikropon tegak lurus dengan sumber bunyi, 700–
800 dari sumber bunyi)
g. Pilih tingkat tekanan bunyi (SPL) atau tingkat tekanan bunyi sinambung
setara (Leq). Sesuaikan dengan tujuan pengukuran.
h. Catatlah hasil pengukuran kebisingan pada lembar data sampling. Lembar
data sampling minimum memuat ketentuan seperti nama perusahaan,
alamat perusahaan, tanggal sampling, lokasi titik pengukuran, rentang
waktu pengukuran, dan hasil pengukuran kebisingan.
3.6.2 Stres kerja
Penilaian stres dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner kepada tenaga
kerja. Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner adopsi dari penelitian
yang dilakukan oleh Murani Dwi Putri dengan judul Gambaran Kebisingan Lalu
Lintas dan Stres Kerja pada Operator Pompa Bensin di SPBU X Kecamatan
Medan Petisah Tahun 2004. Menurut Brecht (2000) dalam penelitian Murani,
penilaian stres dilakukan berdasarkan gejala-gejala yang timbul akibat stres.
adalah sebagai berikut:
a. ≥ 60 = Stres
b. < 60 = Tidak Stres
Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
No. Variabel Cara Ukur dan
Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
Ukur 1. Kebisingan Pengukuran
(Sound Level Meter)
3.7 Metode Analisa Data
Data yang telah diperoleh dianalisis melalui proses pengolahan data yang
mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Editing, penyuntingan data dilakukan untuk menghindari kesalahan
atau kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi.
2. Coding, pemberian kode atau skoring pada tiap jawaban untuk
memudahkan entry data.
3. Entry Data, data yang telah diberikan kode tersebut kemudian
dimasukkan dalam program komputer untuk selanjutnya akan diolah.
4. Analysis, data-data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan secara
univariat dan bivariat.
3.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari
dan persentase dari tiap variabel seperti distribusi umur, masa kerja, pendidikan,
stres kerja, dan lain-lain (Notoadmojo, 2005).
3.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi dengan menggunakan uji Chi-Square (Notoadmojo,
2005). Jika hasil uji statistik tidak memenuhi syarat uji Chi-Square, maka yang
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Sejarah Perusahaan
Cita-cita yang tinggi dan mulia yang timbul di hati Bapak Harangan
Wilmar Hutahaean dan Ibu Tio Monika br. Sibarani (Op. Gora Hutahaean) untuk
membangun bonapasogit, Tapanuli Raya dinyatakan dengan membangun pabrik
tapioka dan membuka perkebunan ubi sebagai bahan baku utama sungguh sangat
mengagumkan dan menggembirakan hati pemerintah, masyarakat, karyawan dan
supplier serta pelanggan pembeli tepung tapioka hasil produksi perusahaan ini.
Pemilik perusahaan dan sekaligus Direktur Utama perusahaan ini telah
memancangkan satu tonggak sejarah perekonomian di Tapanuli Raya khususnya
dan Provinsi Sumatera Utara. Setelah sukses di Kabupaten Riau, Bapak Harangan
Wilmar Hutahaean ingin mewariskan semangat membangun daerah kelahirannya
dan ingin memberi contoh kepada generasi muda untuk berkarya di daerah
asalnya, desa Simatibung Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
PT. Hutahaean merupakan salah satu industri di Sumatera Utara yang
menghasilkan Tepung Tapioka Cap Beringin yang memadukan kegiatan hulu
yaitu penyedian bahan baku utama untuk 2 pabrik pengolahan tapioka yang
berada di Jalan Indorayaon Desa Pintubosi Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba
Samosir dan di Desa Bahal Batu Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli
Bahan baku untuk pabrik tapioka milik PT. Hutahaean adalah ubi kayu
yang langsung dikelola PT. Hutahaean dengan luas lahan 1.400 hektar di Desa
Natumingka Kecamatan Borbor, Desa Sibide Kecamatan Silaen, Desa Sibuntuon
Kecamatan Uluan, Kompleks Kompi 125 Kecamatan Balige, Desa Pintubosi
Kecamatan Laguboti di Kabupaten Toba Samosir dan sekitarnya serta di
Kecamatan Garoga, Pangaribuan, Parmonangan, Siatas Barita, Pagaran di
Kabupaten Tapanuli Utara dan di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang
Hasundutan. Selain hasil bahan baku ubi dari kebun inti, perusahaan juga membeli
ubi dari para petani yang berada di sekitar pabrik di Kabupaten Tapanuli Utara,
Toba Samosir, Simalungun ataupun dari Kabupaten Dairi dan Samosir melalui
para pemasok ubi, namun ada juga yang langsung diantarkan oleh para petani ke
perusahaan.
4.1.2 Visi dan Misi a. Visi PT. Hutahaean
“Menjadi Perusahaan terbaik di Indonesia di dalam memproduksi tepung
tapioka dengan teknologi ramah lingkungan”
b. Misi PT. Hutahaean
1. Ikut serta membangun dan memajukan Tapanuli Raya di bidang
perekonomian melalui program pertanian dan tanaman ubi singkong
2. Meningkatkan kesejahteraan petani di bidang ekonomi dengan
menanam ubi kayu yang menjadi bahan baku untuk memproduksi
tepung tapioka.
4. Meningkatkan pengalaman berbisnis dalam budaya industri dalam
perpaduannya dengan budaya agraris.
4.1.3 Lokasi
Secara geografis lokasi pabrik pengolahan tepung tapioka PT. Hutahaean
Wilayah Tapanuli terletak antara 02.21.20.7” – 02.21‟22.7” LU dan 099.10‟58.9”
– 099.06‟11” BT, beralamat di Jl. Indorayon Desa Pintubosi, Kecamatan Laguboti,
Kab. Toba Samosir, Sumatera Utara. 4.1.4 Proses Produksi
a. Pengangkutan bahan baku ubi kayu masuk ke dalam pabrik
Bahan baku berupa ubi kayu yang dibutuhkan sebanyak 84 ton per hari.
Apabila kapasitas mobil barang pengangkut ubi kayu berkapasitas 2 ton, maka
akan ada sebanyak 42 kali pengangkutan ubi kayu keluar masuk pabrik. Dan jika
pabrik beroperasi menjadi 2 shift maka kebutuhan ubi menjadi 128 ton ubi per
hari dengan angkutan kurang lebih 82 truk per hari.
b. Bagian Pembersihan (Washing Section)
Pada proses ini, kotoran dan kulit ubi kayu akan dibuang dengan
menggunakan Dry Sieve (saringan kering) yang berputar pada kecepatan seragam.
Ubi kemudian masuk ke dalam Washing Slot yang akan mencuci ubi dengan cara
kulit dan kotoran. Ubi kayu yang sudah cukup bersih selanjutnya akan masuk ke
bagian pengolahan setelah melalui Water Leaking.
Peralatan: Row Material Buffer Silo; Belt Conveyor; Dry Sieve; Washing Slot; Water Leaking Sieve
c. Processing Section (Bagian Pengolahan)
Ubi kayu yang berasal dari Washing Section akan jatuh ke dalam Cutting
Machine untuk dipotong kecil-kecil dengan pisau pemutar dan selanjutnya masuk
ke mesin Rasper untuk proses pemarutan. Ubi yang telah diparut akan berbentuk
bubur dan selanjutnya dipompa ke Centrifugal Sieve. Pada bagian ini akan terjadi
2 tahap proses pemisahan, yaitu tahap pertama untuk memisahkan serat tipis dan
tahap kedua proses dehidrasi. Melalui penggunaan kombinasi aliran air bersih dan
saringan, maka pati dapat terpisah secara efisien yang kemudian akan dipompa ke
Fiber Ground dan dikeringkan (dehidrasi) dengan Fiber Compressor. Pati bubur
dengan konsentrasi sekitar 5,4 Be‟ akan dipompa ke Desander dengan tujuan
untuk membuang pasir, lumpur atau benda yang kemungkinan masih ada pada
pati dengan gravitasi berat lainnya (merupakan impurities) sehingga
memperlancar proses berikutnya. Bubur pati dengan konsentrasi 5,4 Be‟ ini akan
dipompa ke Vertikal Sieve dan dikirim ke Disc Separator. Bubur pati yang
mengandung air sekitar 62,8% akan diangkut ke tangki lalu dikirim ke Peeler
Centrifuge untuk mengurangi kadar airnya.
Peralatan: Cassava Cutting Machine; Buffer Silo; Screw Conveyor;
Flashboard Value; Magnet Device; Rasper; Screw Pump; Centrifuge Sieve;
Di bagian pengeringan pati basah akan diturunkan kadar airnya dari 39%
menjadi 13,5% sehingga menjadi produk akhir. Pati basah dengan kandungan air
39% dikirim ke Buffer Bind melalui Secrew Conveyor. Pati basah didorong ke
Winnow dan akan berputar dengan kecepatan tinggi, yang selanjutnya akan
terdorong ke dalam Drying Tubes. Udara panas akan masuk ke dalam Heat
Exchanger melalui Air Filter. Setelah pemanasan, udara akan masuk ke dalam
Drying Tubes. Pati basah akan tersedot di udara panas dengan kecepatan tinggi
dan pati akan mengalir ke Cyclone. Setelah dikeringkan produk akhir ini akan
dikeluarkan dari Air Proof Secrew dengan kandungan air 12%. Selanjutnya
diisikan ke Packer Otomatis melalui Double Bin Starch Filter (ayakan ganda).
Produk akhir setelah ditimbang dan dikemas akan disimpan dalam gudang.
Peralatan: Secrew Conveyour; Winnow; Heat Exchanger; Air Filter; Drying Pipes; Cyclones; Airproof Secrew; Double Bin Starch Sifter; Automatic
Packer; Exhaust Fan
e. Pengangkutan produk tepung tapioka keluar dari pabrik
Sesuai dengan pesanan para customer, perusahaan mengirimkan tepung
tapioka dengan pengangkutan truk. Tujuan penjualan antara lain ke Medan,
Tanjung Morawa, Pematangsiantar, Pekanbaru, Payakumbuh, Balige dan kota
4.2.1 Umur Pekerja Pabrik
Distribusi pekerja pabrik berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4.1 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Umur di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti
tahun yaitu berjumlah 22 orang (61,1 %), sedangkan pekerja berumur ≥ 27 tahun
berjumlah 14 orang (38,9).
4.2.2 Masa Kerja Pekerja Pabrik
Distribusi pekerja pabrik berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4.2 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Masa Kerja di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti
Masa Kerja (tahun) Jumlah %
pekerja < 5 tahun berjumlah 16 orang (44,4).
4.2.3 Pendidikan
Distribusi pekerja pabrik berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel
Tabel 4.3 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Pendidikan di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti
Pendidikan Jumlah %
SMA 13 36,1
SMK 19 52,8
STM 4 11,1
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel di atas, pendidikan pekerja paling banyak adalah SMK
yaitu berjumlah 19 orang (52,8%), sedangkan pendidikan paling sedikit adalah
STM yaitu berjumlah 4 orang (11,1 %).
4.2.4 Lingkungan Kerja Bising
Distribusi pekerja pabrik berdasarkan penilaian pekerja terhadap
kebisingan di tempat kerja dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.4 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Penilaian Pekerja terhadap Kebisingan di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti
Terlalu Bising Jumlah %
Ya 17 47,2
Tidak 19 52,8
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel di atas, lingkungan kerja terlalu bising menurut pekerja
pabrik paling banyak mengatakan Tidak yaitu berjumlah 19 orang (52,8 %),
sedangkan yang mengatakan Ya berjumlah 16 orang (47,2).
4.2.5 Pekerjaan Tambahan
Distribusi pekerja pabrik berdasarkan kebisingan menurut pekerjaan
Pekerja di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti
Pekerjaan Tambahan Jumlah %
Ada 17 47,2
Tidak 19 52,8
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel di atas, pekerja pabrik yang memiliki pekerjaan
tambahan berjumlah 16 orang (47,2) dan yang tidak memiliki pekerjaan tambahan
berjumlah 19 orang (52,8 %).
4.2.6 Kebisingan di Pabrik
a. Besar Paparan Kebisingan pada Pekerja
Distribusi pekerja pabrik berdasarkan besar paparan kebisingan di pabrik
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.6 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Besar Paparan Kebisingan di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti
Berdasarkan tabel di atas, terdapat 9 titik pengukuran kebisingan, dimana
nilai kebisingan terendah sebesar 78,5 dB dengan 8 orang pekerja (22,2%) dan
b. Kategori Kebisingan
Distribusi kebisingan di pabrik dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.7 Distribusi Kebisingan di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti
Intensitas Kebisingan
(dB) Jumlah Pekerja %
≥ 85 14 38,9
< 85 22 61,1
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel di atas, pekerja pabrik lebih banyak bekerja di
lingkungan kerja dengan nilai kebisingan < 85 dB yaitu berjumlah 22 orang
(61,1%), sedangkan pada kebisingan ≥ 85 dB, yaitu sebanyak 14 orang pekerja
Distribusi pekerja di pabrik berdasarkan gejala stres kerja dapat dilihat pada tabel berikut:
Gejala perilaku
Kecendrungan perilaku berisiko tinggi seperti berkendaraan dengan tidak hati-hati
b. Stres Kerja
Distribusi pekerja di pabrik berdasarkan stres kerja dapat dilihat pada tabel
berikut:
Berdasarkan tabel di atas, pekerja pabrik lebih banyak tidak mengalami
stres kerja yaitu berjumlah 24 orang (66,7%), sedangkan pekerja yang mengalami
stres kerja berjumlah 24 orang pekerja (33,3%).
4.3 Analisis Bivariat
Berdasarkan hasil pengukuran intensitas kebisingan serta hasil kuesioner,
dilakukan uji statistik Chi-Square untuk melihat apakah ada hubungan kebisingan
dengan stres kerja pada pekerja di Pabrik Tapioka PT. Hutahaean Wilayah
Tapanuli Kecamatan Laguboti 2016.
Hubungan kebisingan dengan stres kerja pada pekerja di Pabrik Tapioka
PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti 2016 dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4.10 Hubungan Kebisingan dengan Stres Kerja pada Pekerja di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti
orang pekerja pabrik yang mengalami stres kerja yang terdiri dari 8 orang pekerja
(22,2%) dengan kebisingan ≥ 85 dB dan 4 orang (11,1%) dengan kebisingan < 85
dB.
Hasil uji Exact Fisher antara kebisingan dengan stres kerja didapatkan
nilai p = 0,029 dimana p < 0,05, artinya ada hubungan antara kebisingan dengan
stres kerja pada pekerja di pabrik tepung tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli
52
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Kebisingan
Pengukuran kebisingan di dalam Pabrik Tapioka PT. Hutahaean Wilayah
Tapanuli dilakukan di 9 titik dimana titik-titik pengukuran tersebut dikategorikan
menjadi dua yaitu kebisingan ≥ 85 dB(A) dan < 85 dB(A). Dari hasil pengukuran
kebisingan, 5 titik pengukuran memiliki nilai kebisingan ≥ 85 dB(A) dan 4 titik
pengukuran lainnya memiliki nilai kebisingan < 85 dB.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun
2011 mengenai Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat
Kerja, dikatakan bahwa faktor bahaya (kebisingan) yang dapat diterima tenaga
kerja dalam pekerjaan sehari-hari tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam
seminggu. Dalam hal ini Nilai Ambang Batas kebisingan adalah 85 dB. Jika
tenaga kerja bekerja di lingkungan kerja dengan kebisingan di atas 85 dB, maka
lama kerja tenaga kerja harus dikurangi. Pekerja di pabrik tapioka memiliki lama
kerja 7 jam/hari. Artinya, dengan nilai kebisingan yang telah melebihi 85 dB
maka lama kerja pekerja pabrik seharusnya dikurangi. Namun hal tersebut tentu
sulit dilakukan karena akan mengganggu jalannya proses produksi.
Hasil pengukuran kebisingan pada 4 titik masih berada di bawah 85 dB.
Kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut secara fisiologis tidak
menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering
mengatakan lingkungan kerjanya terlalu bising dan 19 orang lainnya berkata
tidak. Walaupun hampir 50% pekerja mengatakan lingkungan kerjanya tidak
terlalu bising, hal tersebut harus menjadi perhatian bagi perusahaan untuk
melakukan pengendalian kebisingan agar kebisingan tersebut tidak menimbulkan
gangguan kesehatan yang pada pekerja.
Kebisingan yang bersumber dari mesin produksi dapat dikendalikan
dengan beberapa cara, seperti perawatan pada mesin dengan mengganti komponen
mesin yang sudah tua, aus atau mengeras dan melakukan pelumasan pada
bagian-bagian mesin yang bergesekan, termasuk penggunaan pelumas pada proses
machining (bubut dan sejenisnya), pengencangan bagian-bagian mesin yang mulai
longgar, terutama bagian-bagian yang dihubungkan dengan sambungan baut
(Tambunan, 2005).
Selain itu, kebisingan dapat dikendalikan dengan memberikan alat
pelindung telinga (ear plug) pada pekerja. Alat pelindung telinga tersebut dapat
mengurangi intensitas kebisingan sekitar 10 – 25 dB (Sumakmur, 2009).
Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di
perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatif lebih murah.
(Tarwaka, 2004).
Perusahaan telah menyediakan APD (Alat Pelindung Diri) bagi pekerja,
khususnya alat pelindung telinga. Namun demikian ada kendala yang ditemukan
dalam pelaksanaannya seperti kedisiplinan pekerja dalam memakai alat pelindung
5.2 Stres Kerja
Dari hasil penilaian stres kerja pada pekerja pabrik terdapat 12 orang
pekerja mengalami stres kerja sedangkan 24 orang pekerja tidak mengalami stres
kerja. Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga
kerja tergantung dari persepsi tenaga kerja terhadap lingkungan, apakah ia
merasakan adanya stres kerja ataukah tidak. Hal ini berarti bahwa pada situasi
kerja yang sama, seorang tenaga kerja dapat mengalami stres sedangkan lainnya
tidak (Anies, 2014).
Stres biasanya merupakan perasaan subjektif seseorang sebagai bentuk
kelelahan, kegelisahan dan depresi. Setelah beberapa lama mengalami
kegelisahan, depresi, konflik dan stres di tempat kerja, maka pengaruhnya akan
dibawa ke dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Bila tubuh
mengalami stres maka akan terjadi perubahan fisiologis sebagai jawaban atas
stres. (Tarwaka, 2004).
Gejala psikologis berupa kecemasan dan ketegangan, sering berupa
ancaman terhadap keselamatan maupun kesehatan, meskipun kadang-kadang juga
terkait dengan jaminan sosial. Gejala fisik yang terjadi berupa peningkatan detak
jantung dan tekanan darah. Biasanya dirasakan oleh para pekerja yang
bersangkutan sebagai berdebar-debar, sakit kepala, mual, dan sebagainya (Anies,
2014).
Gejala psikologis lain berupa bingung, marah, mudah tersinggung. Hal ini
akan diikuti dengan meningkatnya produksi hormon adrenalin dan nonadrenalin.
dari faktor psikologis (Anies, 2014).
Pekerja yang memendam perasaan, misalnya tidak cocok dengan bidang
pekerjaan tetapi tidak berani mengungkapkan. Gejala ini akan diikuti dengan
gejala fisik berupa gangguan pada saluran pencernaan berupa rasa mual, muntah,
perih di ulu hati karena tukak lambung. Pekerja ini juga berpotensi untuk lari
menggunakan minuman keras atau yang memamukkan (Anies, 2014).
Sementara pada pekerja yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya,
cenderung lebih sering berkeringat. Gejala perilaku yang muncul antara lain
terjadi kecenderungan peningkatan agresivitas dan tindakan kriminal. Pada taraf
tertentu, pekerja dapat mengalami kelelahan mental, disertai gejala fisik berupa
gangguan pada kulit. gejala perilaku yang kelihatan antara lain penurunan kualitas
hubungan antarmanusia, baik hubungan dengan teman maupun dengan anggota
keluarga lainnya (Anies, 2014).
Selain itu, stres juga dapat menjadi bagian dari masalah di luar lingkungan
pekerjaan, sehingga masalah “di belakang layar” dalam keluarga atau lingkungan
sosial dapat bermanifes sebagai gejala stres di tempat kerja dan membuat
pengungkapan gejala stres ini menjadi lebih menyulitkan (Harrianto, 2011).
5.3 Hubungan Kebisingan dengan Stres Kerja
Dari hasil uji statistik yang dilakukan, diperoleh nilai p = 0,029 dimana p
< 0,05 yang artinya ada hubungan antara kebisingan dengan stres kerja pada
pekerja pabrik tepung tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat 8 orang pekerja
mengalami stres kerja pada kebisingan ≥ 85 dB dan 4 orang pekerja pada
kebisingan < 85 dB. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja berpotensi
menyebabkan pekerja mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas
kerja. Lingkungan kerja yang tidak nyaman misalnya bising (Anies, 2014).
Semakin tinggi kebisingan, pekerja semakin berpotensi terkena stres kerja.
Pada situasi kerja yang sama, seorang tenaga kerja dapat mengalami stres
sedangkan yang lainnya tidak. Hal tersebut dapat dikarenakan sumber-sumber
lingkungan kerja yang dapat menimbulkan stres seperti ruangan kerja fisik yang
kurang baik, beban kerja terlalu berat, tempo kerja terlalu cepat, pekerjaan terlalu
sederhana, dll (Anies, 2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan pekerja, 17
orang memiliki pekerjaan tambahan di luar pekerjaannya di pabrik sedangkan 19
orang lainnya tidak memiliki pekerjaan tambahan. Pekerjaan tambahan tersebut
kemungkinan dapat memicu timbulnya stres karena dengan bertambahnya beban
kerja pada pekerja berarti tuntutan pekerjaan yang harus dikerjakan juga
bertambah.
Kebisingan mempunyai pengaruh terhadap tenaga kerja, mulai gangguan
ringan berupa gangguan terhadap konsentrasi kerja, pengaruh dalam komunikasi
dan kenikmatan kerja sampai pada cacat yang berat karena kehilangan daya
pendengaran (Anizar, 2009), antara lain:
d. Gangguan terhadap konsentrasi kerja dapat mengakibatkan menurunnya
kuantitas dan kualitas kerja. Hal ini pernah dibuktikan pada sebuah
baku.
e. Gangguan dalam kenikmatan kerja berbeda-beda untuk tiap orang. Untuk
beberapa orang yang rentan, kebisingan dapat menyebabkan rasa pusing,
kantuk, sakit, tekanan darah tinggi, tegang dan stres yang diikuti dengan
sakit maag, kesulitan tidur. Gangguan konsentrasi dan kehilangan
semangat kerja.
f. Gangguan terhadap komunikasi akan mengganggu kerjasama antara
pekerja dan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian yang secara
tidak langsung menurunkan kuantitas dan kualitas kerja.
Telinga manusia terdiri dari telinga bagian luar, telinga bagian tengah, dan
telinga bagian dalam. Tulang berbentuk spiral di bagian dalam telinga disebut
cochlea, yang dilapisi sel rambut halus. Gelombang bunyi dihantarkan dari telinga
bagian luar ke telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam. Di telinga bagian
dalam, gelombang tekan menggerakkan sel rambut yang kemudian mengirim
sinyal suara yang didengar telinga ke otak melalui jaringan saraf. (Anies, 2014).
Stresor pertama kali ditampung oleh panca indera dan diteruskan ke pusat
emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Aksis HPA memegang peranan penting
dalam beradaptasi terhadap stress baik stress eksternal maupun internal. Ketika
berespon terhadap ketakutan, marah, cemas, dan hal-hal yang tidak
menyenangkan atau bahkan juga terhadap harapan dapat terjadi peningkatan aksis
Gambar 5.1 Skema Aksis HPA
Kortisol mempunyai efek umpan balik negatif yang sifatnya langsung
terhadap hipotalamus untuk menurunkan CRF, dan kelenjar hipofisis anterior
untuk menurunkan ACTH. Namun jika stressor terus-menerus ada, maka
mekanisme umpan balik ini tidak akan mampu lagi menekan sekresi CRF maupun
ACTH sehingga aktivitas pada aksis HPA ini akan meningkat terus. Bila
peningkatan aktivitas ini terus terjadi sehingga produksi kortisal terus meningkat,
dapat merusak sel-sel neuron di hipotalamus sehingga terjadi atrofi hipotalamus,
dan akibatnya bisa muncul gangguan kognitif, seperti pada penderita depresi. Dan
bahkan kortisol yang meningkat terus diduga kuat dapat mempengaruhi kekebalan
tubuh dengan menekan T-cell (Heryati, 2008).
Dalam hubungannya dengan gangguan pada badan, dikatakan bahwa
„stres‟ emosional mempengaruhi otak, yang kemudian melalui sistem
menimbulkan kadar asam lemak bebas juga meningkat dan ini merupakan
persediaan sumber energi ekstra. Bila peningkatan ini tidak disertai kegiatan fisik,
energi ekstra ini tidak akan dibakar habis dan akan diubah hati menjadi lemak
kolesterol dan trigliserid yang kemudian menimbun pada dinding pembuluh
darah, menimbulkan penyempitan pembuluh darah, termasuk pembuluh jantung
koroner. Selanjutnya terjadi kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang
bertambah dan keduanya mengakibatkan gangguan pada kerja jantung. Pada
sistem saraf otonom, menimbulkan gejala seperti keluarnya keringat dingin dan
keringat pada telapak tangan, rasa panas dingin, asam lambung yang meningkat,
kejang lambung dan usus, mudah kaget, gangguan seksual dan lain-lain (Anoraga,
2001).
Menurut Harrianto (2011), dalam menghadapi sumber stres (stressor),
manusia mengalami tiga tahap reaksi tubuh yaitu reaksi alarm, tahap kebal, dan
tahap kelelahan. Reaksi alarm (tanda bahaya) merupakan respon yang datang
dengan cepat ketika manusia menghadapi suatu tantangan atau ancaman. Terjadi
mobilisasi dari sistem saraf otonom yang mencetuskan respon stres dalam bentuk
respon perlawanan (fight) atau respon menghindar (flight). Tahap kebal (resisten)
terjadi ketika pajanan yang berkepanjangan terhadap stresor akan menyebabkan
individu kebal. Pada tahap ini sesungguhnya tubuh sudah dapat beradaptasi. Pada
tahap kelelahan, stres yang lama dan berkelanjutan dapat menimbulkan
masalah-masalah yang menahun, sehingga individu akan menderita suatu kelelahan yang
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja pabrik
tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti Tahun 2016 dapat
disimpulkan:
a. Pengukuran kebisingan dilakukan di 9 titik dimana 5 titik memiliki nilai
kebisingan ≥ 85 dB dan 4 titik lainnya memiliki nilai kebisingan < 85 dB.
b. Penilaian stres pada pekerja pabrik tapioka dengan sampel sebanyak 36
orang, diperoleh 12 orang pekerja mengalami stres kerja sedangkan 24
orang tidak mengalami stres kerja.
c. Hasil uji statistik (p value = 0,029 < 0,05) diperoleh adanya hubungan
antara kebisingan dengan stres kerja pada pekerja pabrik tepung tapioka
PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti.
6.2 Saran
a. Sebaiknya dilakukan sosialisasi mengenai pentingnya penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD) khususnya pelindung telinga pada pekerja pabrik
agar pekerja mengerti dan menyadari bahwa alat pelindung tersebut
merupakan suatu kebutuhan perlindungan untuk menghindari terjadinya
peningkatan gangguan kesehatan yang salah satunya adalah stres kerja.
b. Sebaiknya dilakukan pengawasan terhadap pekerja agar selalu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebisingan
2.1.1. Defenisi Kebisingan
Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara
dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri, bising
berarti bunyi yang sangat mengganggu dan menjengkelkan serta sangat
membuang energi (Harrianto, 2008).
Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber
dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu
dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I..
No. Per.13/MEN/X/2011).
Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kerja, kebisingan diartikan
sebagai semua suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat
proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran (Suma‟mur, 2013)
Kebisingan adalah salah satu faktor fisik berupa bunyi yang dapat
menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan keselamatan kerja. Sedangkan
dalam keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia “Bising adalah semua
suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat produksi dan atau
alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran”. Dari
kedua defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah semua bunyi
atau suara yang tidak dikehendaki yang dapat menggangu kesehatan dan
Menurut Wisnu, sumber kebisingan dilihat dari sifatnya dibagi menjadi
dua yaitu: (Subaris & Haryono, 2008)
a. sumber kebisingan statis: pabrik, mesin, tape, dan lainnya.
b. sumber kebisingan dinamis: mobil, pesawat terbang, kapal laut, dan
lainnya.
Sedangkan menurut Men.KLH, sumber bising yang dilihat dari bentuk
sumber suara yang dikeluarkannya ada dua, yaitu: (Subaris & Haryono, 2008)
a. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran.
Contoh: sumber bising dari mesin-mesin industri/mesin yang tak
bergerak
b. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya
kebisingan yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak.
Di tempat kerja, disadari maupun tidak, cukup banyak fakta yang
menunjukkan bahwa perusahaan beserta aktivitas-aktivitasnya ikut menciptakan
dan menambah keparahan tingkat kebisingan di tempat kerja, misalnya:
(Tambunan, 2005)
a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.
b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja
cukup tinggi dalm periode operasi cukup panjang.
c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya,
misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami
d. Melakukan modifikasi/perubahan/penggantian secara parsial pada
komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan
komponen-komponen mesin tiruan.
e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak
tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian
penghubung antara modul mesin (bad connection).
f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya
penggunaan palu (hammer)/alat pemukul sebagai alat pembengkok
benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut.
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebisigan
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebisingan antara
lain :
a. Intensitas, intensitas bunyi yang dapat didengar telinga manusia
berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang
dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Jadi, tingkat
tekanan bunyi di ukur dengan logaritma dalam decibel (dB).
b. Frekuensi, frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia terletak
antara 16-20000 Hertz. Frekuensi bicara terdapat antara 250-4000
Hertz.
c. Durasi, efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya
paparan dan berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai
berfluktuasi, intermiten). Bising impulsive (satu/lebih lonjakan energi
bunyi, dengan durasi kurang dari 1 detik) sangat berbahaya.
Menurut Anizar, bagian yang paling penting adalah:
1. intensitas kebisingan (tingkat tekanan suara)
2. jenis kebisingan (wide band, narrow band, impulse)
3. lamanya terpapar per hari
4. jumlah lamanya terpapar (dalam tahun)
5. usia yang terpapar
6. masalah pendengaran yang telah diderita sebelumnya
7. lingkungan yang bising
8. jarak pendengaran dengan sumber kebisingan
2.1.4. Jenis Kebisingan
Menurut Suma‟mur, kebisingan yang sering ditemukan adalah:
a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum
frekuensi yang lebar (steady state,wide band noise), misalnya bising
mesin, kipas angin dapur pijar dan lain-lain
b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis
(steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler,
kutup gas, dan lain-lain.
c. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise), misalnya bising lalu
d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising
pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.
e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di
perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan.
Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan
besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (non-steady
noise) (Tambunan, 2005).
Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)
Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang
beragam, contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya.
b. Broad band noise
Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise
sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise).
Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang
lebih bervariasi (bukan “nada” murni)
Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagikan lagi
menjadi:
a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)
Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu
b. Intermittent noise
kebisingan lalu lintas.
c. Impulsive noise
Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi
(memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara
ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya.
Sedangkan menurut Anizar (2009), kebisingan dapat dikelaskan kepada
beberapa jenis yaitu:
a. Bising secara terus menerus adalah bising yang mempunyai perbedaan
tingkat intensitas bunyi di antara maksimum dan minimum yang
kurang dari 3 dBA. Contohnya adalah bunyi yang dihasilkan oleh
mesin penenun tekstil.
b. Bising fluktuasi ialah bunyi bising yang mempunyai perbedaan tingkat
di antara intensitas yang tinggi dengan yang rendah lebih dari 3 dBA.
c. Bising impuls ialah bising yang mempunyai intensitas yang sangat
tinggi dalam waktu yang singkat seperti tembakam senjata api, lagan
besi dan sebagainya.
d. Bising bersela ialah bunyi yang terjadi di dalam jangka waktu tertentu
serta berulang. Contohnya bising ketika memotong besi akan berhenti
apabila gergaji itu dihentikan. Terdapatnya kombinasi daripada jenis
bunyi di atas, contohnya kebisingan berterusan dan bersela dapat
2.1.5. Nilai Ambang Batas Kebisingan
Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kebisingan di tempat kerja adalah
intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh
tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu
terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Soeripto, 2008).
NAB kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar
sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya
tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan
sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sesehari-hari dan 5 (lima) sehari-hari kerja
seminggu atau 40 jam seminggu (Suma‟mur, 2013)
NAB kebisingan adalah 85 dB(A). NAB kebisingan tersebut merupakan
ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : Kep-51/Men/1999
tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja dan merupakan standar
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-2004 Nilai Ambang Batas iklim
kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun 2011:
Tabel 1.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun 2011
2.1.6. Pengukuran Kebisingan
Telinga manusia sama sekali tidak dapat dijadikan “referensi” tingkat
kebisingan yang terdapat pada sebuah temapat. Berdasarkan hasil percobaan, pada
intensitas kebisingan sesungguhnya berkurang 2 dB dari tingkat kebisingan awal,
pengurangan kebisingan yang dirasakan oleh telinga manusia adalah sekitar 15%,
sedangkan pada saat pengurangan (actual) sebesar 20% maka kebisingan yang
dirasakan akan berkurang sebesar 81%. Untuk mendapatkan hasil pengukuran
Bunyi diukur dengan satuan yang disebut decibel. Dalam hal ini mengukur
besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan decibel
diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh
manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen
pada telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, dan
C. Skala yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA
(Anies, 2009).
Dua suara atau lebih dengan intensitas sama, jika digabungkan akan
menghasilkan intensitas kebisingan yang lebih tinggi. Untuk memperoleh hasil
pengukuran kebisingan di tempat kerja yang teliti, maka kebisingan dari setiap
sumber sebaiknya diukur secara terpisah atau satu per satu (Subaris dan Haryono,
2008).
Menurut Suma‟mur (2013), maksud dilakukannya pengukuran kebisingan
ada dua dua hal, yaitu:
a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di
perusahaan atau di mana saja
b. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi
intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan
dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau
perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam
kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya.
Anizar (2009) berpendapat bahwa pengukuran ada yang hanya bertujuan
bersangkutan di mana:
a. Pengukuran dilakukan di tempat kerja, tempat si pekerja berada dan
menghabiskan waktu kerjanya. Pengukuran ini dilakukan pada pagi
hari, siang dan sore hari.
b. Pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan tingkat kebisingan
rata-rata yang diterima tenaga kerja selama 8 jam kerja berturut-turut,
sehingga hasilnya dapat dihubungkan dengan penelitian terhadap
tenaga kerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengukuran harus
dilakukan selama jam kerja secara intensif dan bila tenaga kerja selalu
berpindah tempat maka harus dilakukan pengukuran tingkat
kebisingan pada tempat di mana tenaga kerja itu berada dan pencatatan
waktu selama tenaga kerja berada di tempat-tempat tersebut,
selanjutnya diperhitungkan tingkat kebisingan rata-rata yang diterima
tenaga kerja selama 8 jam kerja.
Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. Alat
ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekuensi 20 -20.000 Hz.
Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi
mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai alat
kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur oleh
amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi tersebut yang
tergantung pada tekanan udara, sehingga perlu koreksi berdasarkan atas perbedaan
karena alat pengukur intensitas kebisingan demikian mungkin dipakai untuk
mengukur kebisingan yang intensitasnya tinggi (Suma‟mur, 2013).
Adapun bagian-bagian yang terdapat pada Sound Level Meter adalah
sebagai berikut (Subaris & Haryono, 2008):
a. Tombol pengatur hidup/mati atau power on/off
b. Tombol pengontrol battery
c. Tombol pengatur penunjuk cepat lambat (slow/fast)
d. Tombol pengukur skala angka puluhan
e. Tombol pengatur penunjuk maksimum (max hold)
f. Microphone
g. Filter microphone
h. Kalibrator
i. Display
Komponen dasar sebuah Sound Level Meter adalah sebuah microphone,
penguat suara (amplifier) dengan pengatur frekuensi dan sebuah layar indikator.
Sesuai namanya, fungsi dasar minimum yang harus ada pada sebuar Sound Level
Meter adalah sebagai alat ukur tingkat suara (dB). Fungsi – fungsi tambahan lain
cukup bervariasi, seperti fungsi pengukuran TWA (Time Weigted Average) secara
otomatis dan pengukuran dosis kebisingan (Tambunan, 2005).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengukuran adalah
sebagai berikut (Subaris & Haryono, 2008):
a. Sebelum pengukuran dilaksanakan, battery harus diperiksa untuk
terlebih dahulu harus dicek dengan menggunakan kalibrator, yaitu dengan
meletakkan/memasang alat tersebut di atas microphone dari SLM,
kemudian dengan tombol pada alat tersebut dikeluarkan nada murni (pure
tone) dengan intensitas tertentu, maka jarum penunjuk/display SLM
tersebut harus menunjukkan sesuai dengan intensitas suara dari kalibrator.
c. Meletakkan sejauh mungkin SLM sepanjang tangan (paling dekat 0,5
meter dari tubuh pengukur). Bila perlu gunakan tripod untuk
meletakkannya. Hal ini dilakukan karena selain operator dapat merintangi
suara yang datang dari salah satu arah operator tersebut juga dapat
memantulkan suara sehingga menyebabkan kesalahan pengukuran.
d. Pengukuran di luar gedung/lingkungan harus dilakukan pada ketinggian
1,2 – 1,5 meter di atas tanah dan bila mungkin tidak kurang dari 3,5 meter
dari semua permukaan yang dapat memantulkan suara. Sebaliknya
digunakan WindsScreen (terbuat dari karet busa berpori) yang dipasang
pada microphone untuk mengurangi turbulensi aliran udara di sekitar
diafragma microphone.
e. Bila ingin diketahui dengan tepat sumber suara yang sedang diukur dapat
digunakan headphone yang dihubungkan dengan output dari SLM
f. Hindarkan pengukuran terlalu dekat dengan sumber bunyi, karena hasil
pengukuran akan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada posisi
g. SLM ini dapat digunakan pada suasana kelembapan sampai dengan 90%
dan pada suhu antara 100– 500C.
Dalam merencanakan pengukuran, perlu untuk menginvestigasi:
a. Titik-titik pengukuran
b. Personalia
c. Peralatan pengukuran
d. Proses pengukuran
e. Metode komunikasi, dan sebagainya
Waktu memilih alat-alat pengukuran, perlu untuk mengingat tujuan dari
hasil-hasil pengukuran. Terutama, bila pengukuran adalah bagian dari investigasi
untuk langkah-langkah penanggulangan, maka perlu diadakan
pengukuran-pengukuran pada titik-titik di mana suara-suara mudah bocor seperti
jendela-jendela, pintu-pintu, kipas angin, dan sebagainya.
2.2. Stres Kerja 2.2.1. Defenisi
Menurut Morgan dan King ”..as an internal state can be caused by
physical demand on the body (disease condition, exercise, extremes of
temperature, and the like) or by environmental and cosial situations which are
evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for
coping”. Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal yang bisa
disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial yang
berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Waluyo, 2009).
Stres dapat diartikan sebagai suatu persepsi akan adanya ancaman atau
tantangan, di mana ia merasa belum pasti dapat menghadapi dengan berhasil
(Anies, 2009).
Menurut Dr. Hans Selye, guru besar emeritus (purnawirawan) dari
Universitas Montreal, stres adalah suatu abstraksi. Orang tidak dapat melihat
pembangkit stres (stressor), yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres
(Munandar, 2001).
Stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara
karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek
pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa
atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan ( Agung,
2008).
Menurut Rice (1992), seseorang dapat dikategorikan mengalami stres kerja
adalah apabila stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi perusahaan
tempat orang yang bersangkutan bekerja. Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat
dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja (Anies, 2014).
“Work stress is an individual‟s response to work related environtmental
stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological,
psychological, or behavioral reaction” Berdasarkan definisi di atas, stres kerja
dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi
individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah
Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang di persepsikan karyawan
sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja (Waluyo, 2009).
Kemudian stres kerja dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi dari hasil
penghayatan subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan
lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis,
fisiologis dan sikap individu (Sutarto Wijono, 2011).
2.2.2. Sumber Stres Kerja
Sumber stres kerja (stressors) adalah suatu kondisi, situasi atau peristiwa
yang dapat menyebabkan stres. Ada berbagai sumber stres yang dapat
menyebabkan stres di perusahaan di antaranya adalah faktor perkerjaan itu sendiri
dan di luar pekerjaan itu. Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi
dan transaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya (Sutarto Wijono,
2011).
Menurut Cooper (1983), ada beberapa sumber stres kerja, antara lain
(Anies, 2014):
a. Lingkungan kerja
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah
sakit, mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas kerja.
Lingkungan yang kurang nyaman, misalnya panas, berisik, sirkulasi
udara kurang, membuat pekerja mudah menderita stres.
b. Overload
Overload dapat dibedakan menjdai kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan
ketegangan tinggi. Sementara overload kualitatif, bila pekerjaan
memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi.
c. Deprivational stres
Istilah deprivational stres diperkenalkan oleh George Every dan Daniel
Girdano (1980), yaitu pekerjaan yang tidak lagi menantang atau
menarik bagi pekerja. Akibatnya, timbul berbagai keluhan seperti
kebosanan, ketidakpuasan, dan sebagainya.
d. Pekerjaan berisiko tinggi
Ada pekerjaan yang berisiko tingi dan berbahaya bagi keselamatan,
misalnya pekerjaan di pertambangan di lepas pantai, pekerja cleaning
service pada gedung-gedung pencakar langit, dan sebagainya.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut berpotensi menimbulkan stres.
Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri.
Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di
Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama,
yakni (Waluyo, 2009):
a. Kondisi dan situasi pekerjaan
b. Pekerjaannya
c. Job Requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
d. Hubungan interpersonal
Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres terdiri atas 4 (empat)
a. Extra Organization Stressor, yang terdiri dari perubahan
social/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan,
ras dan kelas, dam keadaan komunitas/tempat tinggal.
b. Organization Stressor, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur
organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi
dalam organisasi.
c. Group Stressor, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,
kurangnya dukungan social, serta adanya konflik antar individu,
interpersonal, dan intergroup.
d. Individual Stressor, yang terdiri dari terjadinya konflik dan
ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian
Tipe A, control personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya
tahan psikologis.
Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam
pekerjaan menjdai dua, yakni:
a. Group Stressor, adalah penyebab stres yang bersal dari situasi maupun
keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara
karyawan, konflik antara individu dalam kelompok, maupun
kurangnya dukungan social dari sesama karyawan di dalam
perusahaan.
b. Individual Stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri
ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
2.2.3. Faktor Penyebab Stres Kerja
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stres kerja pada individu dalam
penelitian Mirza (2011), antara lain:
a. Usia
Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan
20-an d20-an kemudi20-an menurun deng20-an bertambahnya usia
b. Masa kerja
Masa kerja dapat diartikan sebagai jangka waktu seseorang bekerja,
dihitung dari mulai bekerja sampai dia masih bekerja. Semakin lama
seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar
bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.
c. Pendidikan
Secara umum pendidikan bertujuan mengembangkan dan memperluas
pengetahuan, pengalaman serta pengertian individu. Semakin tinggi
pendidikan seseorang makin mudah seseorang berpikir secara luas,
makin tinggi daya inisiatifnya dan makin mudah pula untuk
menemukan cara-cara yang efisien guna menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik.
d. Riwayat Penyakit
Penyakit akan menyebabkan hipo atau hipertensi suatu organ,