• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kebisingan dengan Stres Kerja pada Pekerja Pabrik Tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kebisingan dengan Stres Kerja pada Pekerja Pabrik Tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti Tahun 2016"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KUESIONER PENELITIAN

Data Umum Responden

1. Nama :

2. Usia :

3. Pendidikan Terakhir :

Riwayat Pekerjaan

1. Masa Kerja di PT. Hutahaean : …. tahun 2. Lama kerja : …. jam/hari

3. Selain bekerja di PT. Hutahaean, apakah saudara mempunyai pekerjaan sampingan?

a. Ya b. Tidak

Kebisingan

1. Apakah saudara merasa lingkungan kerja saudara terlalu bising?

a. Ya b. Tidak

Penilaian Stres Akibat Kerja Berdasarkan Gejala - Gejala Stres Cara pengisian : beri tanda “X” pada nilai yang saudara pilih

Nilai 0 : tidak pernah sama sekali

3. Diare/gangguan buang air besar 4. Gatal-gatal/gangguan kulit 5. Rasa sakit pada rahang 6. Kerongkongan kering 7. Sering buang air kecil 8. Perubahan pola makan 9. Banyak keringat 10. Kaku leher belakang

(2)

3. Cemas

4. Emosi berlebihan 5. Gelisah

6. Merasa tidak berdaya

7. Selalu mengkritik diri sendiri dan orang lain 8. Merasa diabaikan

9. Mudah tersinggung C. Gejala Perilaku

1. Menurunnya kegairahan

2. Konsumsi alkohol yang berlebihan 3. Meningkatnya konsumsi rokok/kopi 4. Gangguan pada kebiasaan makan 5. Gangguan tidur

6. Kecenderungan menyendiri 7. Sering absen di tempat kerja

8. Kecendrungan perilaku berisiko tinggi seperti berkendaraan dengan tidak hati-hati

9. Kekerasan/tindakan agresif 10. Menunda pekerjaan

D. Gejala Intelektual 1. Lemahnya daya ingat

2. Ketidakmampuan berkonsentrasi 3. Sukar mengambil keputusan 4. Menyalahkan diri sendiri 5. Binggung/pikiran kacau

6. Produktivitas/prestasi kerja menurun 7. Mutu kerja rendah

8. Melamun secara berlebihan 9. Kehilangan rasa humor 10. Berfikir negatif

E. Gejala Interpersonal

1. Kehilangan kepercayaan kepada orang lain 2. Mudah mempersalahkan orang lain

3. Mudah membatalkan janji

4. Suka mencari kesalahan orang lain

5. Menyerang teman/orang lain dengan kata-kata 6. Mengambil sikap terlalu membentengi diri 7. Mengambil sikap terlalu mempertahankan diri 8. Mendiamkan orang

TOTAL NILAI

(Grant Brecht, 2000 dalam penelitian Murani Dwi Putri dengan judul Gambaran Kebisingan Lalu Lintas dan Stres Kerja pada Operator Pompa Bensin di SPBU X

(3)

4

10

LAMPIRAN 2

DENAH PABRIK & TITIK PENGUKURAN KEBISINGAN

3

2

12

6

1

5

9

11

11

11

11

9

9

7

(4)

Keterangan :

: Titik Pengukuran Kebisingan

Nomor 1 : Pengupasan

Nomor 2 : Pencucian

Nomor 3 : Cassava Bin

Nomor 4 : Rasper Section

Nomor 5 : Control Room

Nomor 6 : Peeler Section

Nomor 7 : Packing

Nomor 8 : Boiler

Nomor 9 : Separator Section

Nomor 10 : Workshop (Bengkel)

Nomor 11 : Extractor Section

(5)
(6)

LAMPIRAN 4

(7)
(8)

LAMPIRAN 6

(9)
(10)

Keterangan:

Umur : Umur dalam bentuk kategori (1 = < 27 tahun ; 2 = ≥ 27 tahun)

MK : Masa Kerja dalam bentuk kategori (1 = < 5 tahun ; 2 = ≥ 5 tahun)

PDK : Pendidikan dalam bentuk Kategori (1 = SMA; 2 = SKM; 3 = STM)

LB : Lingkungan Bising dalam bentuk kategori (1 = Ya; 2 = Tidak)

KT : Kerja Tambahan dalam bentuk kategori (1 = Ya; 2 = Tidak)

KBS : Kebisingan dalam bentuk kategori (1 = ≥ 85 dB ; 2 = < 85 dB)

(11)
(12)

Frequency Percent Valid Percent

Gejala stres kerja berdasarkan kuesioner:

(13)
(14)
(15)

Frequency Percent Valid Percent

Selalu mengkritik diri sendiri dan orang lain

(16)
(17)

Frequency Percent Valid Percent

Sering absen di tempat kerja

Frequency Percent Valid Percent

Kecendrungan perilaku berisiko tinggi seperti berkendaraan dengan tidak hati-hati

(18)
(19)
(20)

Frequency Percent Valid Percent

Suka mencari kesalahan orang lain

Frequency Percent Valid Percent

Menyerang teman/orang lain dengan kata-kata

(21)

Frequency Percent Valid Percent

Mengambil sikap terlalu mempertahankan diri

(22)

b. Uji Bivariat

Kebisingan * Stres Kerja Crosstabulation

(23)

DOKUMENTASI

Gambar 1. Pintu Utama Pabrik

(24)

Gambar 3. Kondisi di dalam Pabrik

(25)

Gambar 5. Rambu K3 di dalam Pabrik

(26)

Gambar 7. Kondisi di dalam Pabrik

(27)

Gambar 9. Pekerja Boiler

(28)

Gambar 11. Pengisian Kuesioner

(29)

Gambar 11. Pengisian Kuesioner

(30)

Gambar 13. Pengisian Kuesioner

(31)

Gambar 15. Pengukuran Kebisingan

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Agung, 2008. Stress Kerja. http://www.johan-suyanto.com//2008/04/bahaya- stres-di-tempat-kerja.html diakses pada tanggal 11 Desember 2015

Anises, 2014. Kedokteran Okupasi: Berbagai Penyakit Akibat Kerja dan Upaya Penanggulangan dari Aspek Kedokteran. AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta.

Anizar, 2009. Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Cetakan Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Anoraga, P., 2001. Psikologi Kerja. Cetakan Ketiga. PT RINEKA CIPTA, Jakarta.

Chandra, B., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. EGC, Jakarta.

Doelle, Leslie L., 1990. Akustik Lingkungan. Erlangga : Jakarta.

European Agency for Safety and Health at Work, https://osha.europa.eu/en/

tools-and-publications/publications/reports/6805535, diakses pada tanggal 24 Mei 2016.

Harrianto, R., 2010. Buku Ajar Kesehatan Kerja. EGC, Jakarta.

Heryati E., & Faizah N., 2008. Diktat Kuliah Psikologi Faal. http://file.upi.edu/ Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197710132005012-EUIS HERYATI/DIKTAT_KULIAHx.pdf., diakses pada tanggal 18 September 2016.

Idhayu Oktarini, 2010. Pengaruh Kebisingan terhadap Stres Kerja Tenaga Kerja Penggilingan Padi CV Padi Makmur Karangayar. https://dglib.uns.ac.id/dokumen/download/15217/MzAxMzQ=/Pengar uh-kebisingan-terhadap-stress-kerja-tenaga-kerja-penggilingan-padi-CV-Padi-Makmur-Karanganyar-abstrak.pdf, diakses pada tanggal 23 Juli 2016.

(33)

Munandar, Ashar Sunyoto, 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

Notoadmodjo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT RINEKA CIPTA, Jakarta.

Noviani R.D., 2010. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Stres Kerja pada Tenaga Kerja Penggilingan Padi di Kecamatan Mojolaban Sukoharjo. http://lib.unnes.ac.id/18361/1/6450408013.pdf, diakses pada tanggal 19 Juli 2016.

Subaris, H., Haryono, 2008. Hygiene Lingkungan Kerja. Cetakan Kedua. MITRA CENDIKIA Press, Yogyakarta.

Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Cetakan Kedelapan. Alfabeta, Bandung.

Suma‟mur, 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). CV Sagung Seto, Jakarta.

Soeripto, 2008. Higiene Industri. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Tambunan, Sihor TB, 2005. Kebisingan di Tempat Kerja (Occupational Noise). ANDI. Jakarta.

Tarwaka, 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan dan Produktivitas. Cetakan Pertama. UNIBA PRESS, Surakarta.

World Health Organization. Occupational Noise. http://www.who.int/

quantifyingehimpacts/publications/en/ebd9.pdf, diakses pada tanggal 6 Januari 2016.

Waluyo, M., 2009. Psikologi Teknik Industri. Cetakan Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta.

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian survey analitik dengan desain

penelitian cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari kolerasi antara

faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau

pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoadmojo, 2005).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi

Penelitian dilaksanakan di pabrik PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli, Jl.

Indorayon, Desa Pintubosi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa, dengan

alasan:

a. Belum pernah dilakukannya penelitian mengenai hubungan kebisingan dengan

stres kerja pada pekerja di pabrik tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli

Kecamatan Laguboti.

b. Adanya kemudahan dan dukungan dari pihak PT. Hutahaean Wilayah

Tapanuli untuk melakukan penelitian pada pekerja pabrik.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Februari 2016 – Agustus 2016.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

(35)

dilakukan dengan populasi sebanyak 60 orang pekerja.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian kecil populasi yang digunakan dalam uji untuk

memperoleh informasi statistik mengenai keseluruhan populasi (Chandra, 2008).

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu teknik

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2010).

Populasi yang diambil untuk dijadikan sampel penelitian adalah yang

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Pekerja yang melakukan aktivitas kerja dekat dengan sumber bunyi.

b. Usia 20-50 tahun

c. Tidak mengalami gangguan pendengaran.

Berdasarkan keterangan di atas, jumlah sampel dalam penelitian ini

berjumlah 36 orang pekerja.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer penelitian ini yaitu data kebisingan di pabrik yang diperoleh

dengan melakukan pengukuran secara langsung menggunakan alat Sound Level

Meter dan pengisian lembar kuesioner oleh pekerja di pabrik untuk memperoleh

data stres kerja.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan

Laguboti meliputi data-data yang berkaitan dengan pekerja dan gambaran umum

(36)

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional 3.5.1 Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel

independen berupa intensitas kebisingan dan variabel dependen berupa stres kerja.

3.5.2 Defenisi Operasional

a. Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari

mesin-mesin produksi di pabrik. Pada penelitian ini kebisingan di tempat

kerja diukur dengan menggunakan alat ukur Sound Level Meter.

b. Stres kerja adalah sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi

individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Stres kerja

diukur dengan menggunakan kuesioner mengenai gejala-gejala stres kerja.

3.6 Metode Pengukuran

Aspek pengukuran adalah mengukur kebisingan dan stres kerja pada

pekerja di pabrik. Untuk dapat mengetahuinya dilakukan pengukuran dengan

menggunakan alat serta wawancara dengan menggunakan kuesioner mengenai

gejala-gejala stres kerja.

3.6.1 Kebisingan

Kebisingan diukur dengan menggunakan Sound Level Meter (SLM) oleh Balai

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Medan. Pengukuran dilakukan di 9 titik dimana

pekerja melakukan aktivitas kerjanya.

Alat ukur : Sound Level Meter (SLM)

(37)

Gambar 3.1 Sound Level Meter Wohler SP 22

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Hasil pengukuran :

a. Kebisingan ≥ 85 dB(A)

b. Kebisingan < 85 dB(A)

Prosedur pengukuran:

Alat diletakkan pada tripord sebagai alat penyangga untuk memudahkan

petugas dalam melakukan pengukuruan. Adapun prosedur pengukurannya antara lain:

a. Hidupkan alat ukur

b. Periksa kondisi baterai, pastikan bahwa keadaan power dalam kondisi

baik.

(38)

d. Sesuaikan pembobotan waktu respon alat ukur dengan karakteristik

sumber bunyi yang diukur (S untuk sumber bunyi relatif konstan atau F

untuk sumber bunyi kejut).

e. Posisikan mikropon alat ukur setinggi posisi telinga manusia yang ada di

tempat kerja. Hindari terjadinya refleksi bunyi dari tubuh atau penghalang

sumber bunyi.

f. Arahkan mikropon alat ukur dengan sumber bunyi sesuai dengan

karakteristik mikropon (mikropon tegak lurus dengan sumber bunyi, 700–

800 dari sumber bunyi)

g. Pilih tingkat tekanan bunyi (SPL) atau tingkat tekanan bunyi sinambung

setara (Leq). Sesuaikan dengan tujuan pengukuran.

h. Catatlah hasil pengukuran kebisingan pada lembar data sampling. Lembar

data sampling minimum memuat ketentuan seperti nama perusahaan,

alamat perusahaan, tanggal sampling, lokasi titik pengukuran, rentang

waktu pengukuran, dan hasil pengukuran kebisingan.

3.6.2 Stres kerja

Penilaian stres dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner kepada tenaga

kerja. Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner adopsi dari penelitian

yang dilakukan oleh Murani Dwi Putri dengan judul Gambaran Kebisingan Lalu

Lintas dan Stres Kerja pada Operator Pompa Bensin di SPBU X Kecamatan

Medan Petisah Tahun 2004. Menurut Brecht (2000) dalam penelitian Murani,

penilaian stres dilakukan berdasarkan gejala-gejala yang timbul akibat stres.

(39)

adalah sebagai berikut:

a. ≥ 60 = Stres

b. < 60 = Tidak Stres

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian

No. Variabel Cara Ukur dan

Alat Ukur

Hasil Ukur Skala

Ukur 1. Kebisingan Pengukuran

(Sound Level Meter)

3.7 Metode Analisa Data

Data yang telah diperoleh dianalisis melalui proses pengolahan data yang

mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Editing, penyuntingan data dilakukan untuk menghindari kesalahan

atau kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi.

2. Coding, pemberian kode atau skoring pada tiap jawaban untuk

memudahkan entry data.

3. Entry Data, data yang telah diberikan kode tersebut kemudian

dimasukkan dalam program komputer untuk selanjutnya akan diolah.

4. Analysis, data-data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan secara

univariat dan bivariat.

3.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari

(40)

dan persentase dari tiap variabel seperti distribusi umur, masa kerja, pendidikan,

stres kerja, dan lain-lain (Notoadmojo, 2005).

3.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi dengan menggunakan uji Chi-Square (Notoadmojo,

2005). Jika hasil uji statistik tidak memenuhi syarat uji Chi-Square, maka yang

(41)

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian 4.1.1 Sejarah Perusahaan

Cita-cita yang tinggi dan mulia yang timbul di hati Bapak Harangan

Wilmar Hutahaean dan Ibu Tio Monika br. Sibarani (Op. Gora Hutahaean) untuk

membangun bonapasogit, Tapanuli Raya dinyatakan dengan membangun pabrik

tapioka dan membuka perkebunan ubi sebagai bahan baku utama sungguh sangat

mengagumkan dan menggembirakan hati pemerintah, masyarakat, karyawan dan

supplier serta pelanggan pembeli tepung tapioka hasil produksi perusahaan ini.

Pemilik perusahaan dan sekaligus Direktur Utama perusahaan ini telah

memancangkan satu tonggak sejarah perekonomian di Tapanuli Raya khususnya

dan Provinsi Sumatera Utara. Setelah sukses di Kabupaten Riau, Bapak Harangan

Wilmar Hutahaean ingin mewariskan semangat membangun daerah kelahirannya

dan ingin memberi contoh kepada generasi muda untuk berkarya di daerah

asalnya, desa Simatibung Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.

PT. Hutahaean merupakan salah satu industri di Sumatera Utara yang

menghasilkan Tepung Tapioka Cap Beringin yang memadukan kegiatan hulu

yaitu penyedian bahan baku utama untuk 2 pabrik pengolahan tapioka yang

berada di Jalan Indorayaon Desa Pintubosi Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba

Samosir dan di Desa Bahal Batu Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli

(42)

Bahan baku untuk pabrik tapioka milik PT. Hutahaean adalah ubi kayu

yang langsung dikelola PT. Hutahaean dengan luas lahan 1.400 hektar di Desa

Natumingka Kecamatan Borbor, Desa Sibide Kecamatan Silaen, Desa Sibuntuon

Kecamatan Uluan, Kompleks Kompi 125 Kecamatan Balige, Desa Pintubosi

Kecamatan Laguboti di Kabupaten Toba Samosir dan sekitarnya serta di

Kecamatan Garoga, Pangaribuan, Parmonangan, Siatas Barita, Pagaran di

Kabupaten Tapanuli Utara dan di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang

Hasundutan. Selain hasil bahan baku ubi dari kebun inti, perusahaan juga membeli

ubi dari para petani yang berada di sekitar pabrik di Kabupaten Tapanuli Utara,

Toba Samosir, Simalungun ataupun dari Kabupaten Dairi dan Samosir melalui

para pemasok ubi, namun ada juga yang langsung diantarkan oleh para petani ke

perusahaan.

4.1.2 Visi dan Misi a. Visi PT. Hutahaean

“Menjadi Perusahaan terbaik di Indonesia di dalam memproduksi tepung

tapioka dengan teknologi ramah lingkungan”

b. Misi PT. Hutahaean

1. Ikut serta membangun dan memajukan Tapanuli Raya di bidang

perekonomian melalui program pertanian dan tanaman ubi singkong

2. Meningkatkan kesejahteraan petani di bidang ekonomi dengan

(43)

menanam ubi kayu yang menjadi bahan baku untuk memproduksi

tepung tapioka.

4. Meningkatkan pengalaman berbisnis dalam budaya industri dalam

perpaduannya dengan budaya agraris.

4.1.3 Lokasi

Secara geografis lokasi pabrik pengolahan tepung tapioka PT. Hutahaean

Wilayah Tapanuli terletak antara 02.21.20.7” – 02.21‟22.7” LU dan 099.10‟58.9”

– 099.06‟11” BT, beralamat di Jl. Indorayon Desa Pintubosi, Kecamatan Laguboti,

Kab. Toba Samosir, Sumatera Utara. 4.1.4 Proses Produksi

a. Pengangkutan bahan baku ubi kayu masuk ke dalam pabrik

Bahan baku berupa ubi kayu yang dibutuhkan sebanyak 84 ton per hari.

Apabila kapasitas mobil barang pengangkut ubi kayu berkapasitas 2 ton, maka

akan ada sebanyak 42 kali pengangkutan ubi kayu keluar masuk pabrik. Dan jika

pabrik beroperasi menjadi 2 shift maka kebutuhan ubi menjadi 128 ton ubi per

hari dengan angkutan kurang lebih 82 truk per hari.

b. Bagian Pembersihan (Washing Section)

Pada proses ini, kotoran dan kulit ubi kayu akan dibuang dengan

menggunakan Dry Sieve (saringan kering) yang berputar pada kecepatan seragam.

Ubi kemudian masuk ke dalam Washing Slot yang akan mencuci ubi dengan cara

(44)

kulit dan kotoran. Ubi kayu yang sudah cukup bersih selanjutnya akan masuk ke

bagian pengolahan setelah melalui Water Leaking.

Peralatan: Row Material Buffer Silo; Belt Conveyor; Dry Sieve; Washing Slot; Water Leaking Sieve

c. Processing Section (Bagian Pengolahan)

Ubi kayu yang berasal dari Washing Section akan jatuh ke dalam Cutting

Machine untuk dipotong kecil-kecil dengan pisau pemutar dan selanjutnya masuk

ke mesin Rasper untuk proses pemarutan. Ubi yang telah diparut akan berbentuk

bubur dan selanjutnya dipompa ke Centrifugal Sieve. Pada bagian ini akan terjadi

2 tahap proses pemisahan, yaitu tahap pertama untuk memisahkan serat tipis dan

tahap kedua proses dehidrasi. Melalui penggunaan kombinasi aliran air bersih dan

saringan, maka pati dapat terpisah secara efisien yang kemudian akan dipompa ke

Fiber Ground dan dikeringkan (dehidrasi) dengan Fiber Compressor. Pati bubur

dengan konsentrasi sekitar 5,4 Be‟ akan dipompa ke Desander dengan tujuan

untuk membuang pasir, lumpur atau benda yang kemungkinan masih ada pada

pati dengan gravitasi berat lainnya (merupakan impurities) sehingga

memperlancar proses berikutnya. Bubur pati dengan konsentrasi 5,4 Be‟ ini akan

dipompa ke Vertikal Sieve dan dikirim ke Disc Separator. Bubur pati yang

mengandung air sekitar 62,8% akan diangkut ke tangki lalu dikirim ke Peeler

Centrifuge untuk mengurangi kadar airnya.

Peralatan: Cassava Cutting Machine; Buffer Silo; Screw Conveyor;

Flashboard Value; Magnet Device; Rasper; Screw Pump; Centrifuge Sieve;

(45)

Di bagian pengeringan pati basah akan diturunkan kadar airnya dari 39%

menjadi 13,5% sehingga menjadi produk akhir. Pati basah dengan kandungan air

39% dikirim ke Buffer Bind melalui Secrew Conveyor. Pati basah didorong ke

Winnow dan akan berputar dengan kecepatan tinggi, yang selanjutnya akan

terdorong ke dalam Drying Tubes. Udara panas akan masuk ke dalam Heat

Exchanger melalui Air Filter. Setelah pemanasan, udara akan masuk ke dalam

Drying Tubes. Pati basah akan tersedot di udara panas dengan kecepatan tinggi

dan pati akan mengalir ke Cyclone. Setelah dikeringkan produk akhir ini akan

dikeluarkan dari Air Proof Secrew dengan kandungan air 12%. Selanjutnya

diisikan ke Packer Otomatis melalui Double Bin Starch Filter (ayakan ganda).

Produk akhir setelah ditimbang dan dikemas akan disimpan dalam gudang.

Peralatan: Secrew Conveyour; Winnow; Heat Exchanger; Air Filter; Drying Pipes; Cyclones; Airproof Secrew; Double Bin Starch Sifter; Automatic

Packer; Exhaust Fan

e. Pengangkutan produk tepung tapioka keluar dari pabrik

Sesuai dengan pesanan para customer, perusahaan mengirimkan tepung

tapioka dengan pengangkutan truk. Tujuan penjualan antara lain ke Medan,

Tanjung Morawa, Pematangsiantar, Pekanbaru, Payakumbuh, Balige dan kota

(46)
(47)

4.2.1 Umur Pekerja Pabrik

Distribusi pekerja pabrik berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Umur di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti

tahun yaitu berjumlah 22 orang (61,1 %), sedangkan pekerja berumur ≥ 27 tahun

berjumlah 14 orang (38,9).

4.2.2 Masa Kerja Pekerja Pabrik

Distribusi pekerja pabrik berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.2 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Masa Kerja di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti

Masa Kerja (tahun) Jumlah %

pekerja < 5 tahun berjumlah 16 orang (44,4).

4.2.3 Pendidikan

Distribusi pekerja pabrik berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel

(48)

Tabel 4.3 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Pendidikan di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti

Pendidikan Jumlah %

SMA 13 36,1

SMK 19 52,8

STM 4 11,1

Jumlah 36 100

Berdasarkan tabel di atas, pendidikan pekerja paling banyak adalah SMK

yaitu berjumlah 19 orang (52,8%), sedangkan pendidikan paling sedikit adalah

STM yaitu berjumlah 4 orang (11,1 %).

4.2.4 Lingkungan Kerja Bising

Distribusi pekerja pabrik berdasarkan penilaian pekerja terhadap

kebisingan di tempat kerja dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Penilaian Pekerja terhadap Kebisingan di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti

Terlalu Bising Jumlah %

Ya 17 47,2

Tidak 19 52,8

Jumlah 36 100

Berdasarkan tabel di atas, lingkungan kerja terlalu bising menurut pekerja

pabrik paling banyak mengatakan Tidak yaitu berjumlah 19 orang (52,8 %),

sedangkan yang mengatakan Ya berjumlah 16 orang (47,2).

4.2.5 Pekerjaan Tambahan

Distribusi pekerja pabrik berdasarkan kebisingan menurut pekerjaan

(49)

Pekerja di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti

Pekerjaan Tambahan Jumlah %

Ada 17 47,2

Tidak 19 52,8

Jumlah 36 100

Berdasarkan tabel di atas, pekerja pabrik yang memiliki pekerjaan

tambahan berjumlah 16 orang (47,2) dan yang tidak memiliki pekerjaan tambahan

berjumlah 19 orang (52,8 %).

4.2.6 Kebisingan di Pabrik

a. Besar Paparan Kebisingan pada Pekerja

Distribusi pekerja pabrik berdasarkan besar paparan kebisingan di pabrik

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.6 Distribusi Pekerja Pabrik Berdasarkan Besar Paparan Kebisingan di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti

Berdasarkan tabel di atas, terdapat 9 titik pengukuran kebisingan, dimana

nilai kebisingan terendah sebesar 78,5 dB dengan 8 orang pekerja (22,2%) dan

(50)

b. Kategori Kebisingan

Distribusi kebisingan di pabrik dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.7 Distribusi Kebisingan di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti

Intensitas Kebisingan

(dB) Jumlah Pekerja %

≥ 85 14 38,9

< 85 22 61,1

Jumlah 36 100

Berdasarkan tabel di atas, pekerja pabrik lebih banyak bekerja di

lingkungan kerja dengan nilai kebisingan < 85 dB yaitu berjumlah 22 orang

(61,1%), sedangkan pada kebisingan ≥ 85 dB, yaitu sebanyak 14 orang pekerja

(51)

Distribusi pekerja di pabrik berdasarkan gejala stres kerja dapat dilihat pada tabel berikut:

(52)

Gejala perilaku

Kecendrungan perilaku berisiko tinggi seperti berkendaraan dengan tidak hati-hati

(53)
(54)

b. Stres Kerja

Distribusi pekerja di pabrik berdasarkan stres kerja dapat dilihat pada tabel

berikut:

Berdasarkan tabel di atas, pekerja pabrik lebih banyak tidak mengalami

stres kerja yaitu berjumlah 24 orang (66,7%), sedangkan pekerja yang mengalami

stres kerja berjumlah 24 orang pekerja (33,3%).

4.3 Analisis Bivariat

Berdasarkan hasil pengukuran intensitas kebisingan serta hasil kuesioner,

dilakukan uji statistik Chi-Square untuk melihat apakah ada hubungan kebisingan

dengan stres kerja pada pekerja di Pabrik Tapioka PT. Hutahaean Wilayah

Tapanuli Kecamatan Laguboti 2016.

Hubungan kebisingan dengan stres kerja pada pekerja di Pabrik Tapioka

PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti 2016 dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 4.10 Hubungan Kebisingan dengan Stres Kerja pada Pekerja di PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti

(55)

orang pekerja pabrik yang mengalami stres kerja yang terdiri dari 8 orang pekerja

(22,2%) dengan kebisingan ≥ 85 dB dan 4 orang (11,1%) dengan kebisingan < 85

dB.

Hasil uji Exact Fisher antara kebisingan dengan stres kerja didapatkan

nilai p = 0,029 dimana p < 0,05, artinya ada hubungan antara kebisingan dengan

stres kerja pada pekerja di pabrik tepung tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli

(56)

52

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Kebisingan

Pengukuran kebisingan di dalam Pabrik Tapioka PT. Hutahaean Wilayah

Tapanuli dilakukan di 9 titik dimana titik-titik pengukuran tersebut dikategorikan

menjadi dua yaitu kebisingan ≥ 85 dB(A) dan < 85 dB(A). Dari hasil pengukuran

kebisingan, 5 titik pengukuran memiliki nilai kebisingan ≥ 85 dB(A) dan 4 titik

pengukuran lainnya memiliki nilai kebisingan < 85 dB.

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun

2011 mengenai Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat

Kerja, dikatakan bahwa faktor bahaya (kebisingan) yang dapat diterima tenaga

kerja dalam pekerjaan sehari-hari tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam

seminggu. Dalam hal ini Nilai Ambang Batas kebisingan adalah 85 dB. Jika

tenaga kerja bekerja di lingkungan kerja dengan kebisingan di atas 85 dB, maka

lama kerja tenaga kerja harus dikurangi. Pekerja di pabrik tapioka memiliki lama

kerja 7 jam/hari. Artinya, dengan nilai kebisingan yang telah melebihi 85 dB

maka lama kerja pekerja pabrik seharusnya dikurangi. Namun hal tersebut tentu

sulit dilakukan karena akan mengganggu jalannya proses produksi.

Hasil pengukuran kebisingan pada 4 titik masih berada di bawah 85 dB.

Kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut secara fisiologis tidak

menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering

(57)

mengatakan lingkungan kerjanya terlalu bising dan 19 orang lainnya berkata

tidak. Walaupun hampir 50% pekerja mengatakan lingkungan kerjanya tidak

terlalu bising, hal tersebut harus menjadi perhatian bagi perusahaan untuk

melakukan pengendalian kebisingan agar kebisingan tersebut tidak menimbulkan

gangguan kesehatan yang pada pekerja.

Kebisingan yang bersumber dari mesin produksi dapat dikendalikan

dengan beberapa cara, seperti perawatan pada mesin dengan mengganti komponen

mesin yang sudah tua, aus atau mengeras dan melakukan pelumasan pada

bagian-bagian mesin yang bergesekan, termasuk penggunaan pelumas pada proses

machining (bubut dan sejenisnya), pengencangan bagian-bagian mesin yang mulai

longgar, terutama bagian-bagian yang dihubungkan dengan sambungan baut

(Tambunan, 2005).

Selain itu, kebisingan dapat dikendalikan dengan memberikan alat

pelindung telinga (ear plug) pada pekerja. Alat pelindung telinga tersebut dapat

mengurangi intensitas kebisingan sekitar 10 – 25 dB (Sumakmur, 2009).

Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di

perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatif lebih murah.

(Tarwaka, 2004).

Perusahaan telah menyediakan APD (Alat Pelindung Diri) bagi pekerja,

khususnya alat pelindung telinga. Namun demikian ada kendala yang ditemukan

dalam pelaksanaannya seperti kedisiplinan pekerja dalam memakai alat pelindung

(58)

5.2 Stres Kerja

Dari hasil penilaian stres kerja pada pekerja pabrik terdapat 12 orang

pekerja mengalami stres kerja sedangkan 24 orang pekerja tidak mengalami stres

kerja. Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga

kerja tergantung dari persepsi tenaga kerja terhadap lingkungan, apakah ia

merasakan adanya stres kerja ataukah tidak. Hal ini berarti bahwa pada situasi

kerja yang sama, seorang tenaga kerja dapat mengalami stres sedangkan lainnya

tidak (Anies, 2014).

Stres biasanya merupakan perasaan subjektif seseorang sebagai bentuk

kelelahan, kegelisahan dan depresi. Setelah beberapa lama mengalami

kegelisahan, depresi, konflik dan stres di tempat kerja, maka pengaruhnya akan

dibawa ke dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Bila tubuh

mengalami stres maka akan terjadi perubahan fisiologis sebagai jawaban atas

stres. (Tarwaka, 2004).

Gejala psikologis berupa kecemasan dan ketegangan, sering berupa

ancaman terhadap keselamatan maupun kesehatan, meskipun kadang-kadang juga

terkait dengan jaminan sosial. Gejala fisik yang terjadi berupa peningkatan detak

jantung dan tekanan darah. Biasanya dirasakan oleh para pekerja yang

bersangkutan sebagai berdebar-debar, sakit kepala, mual, dan sebagainya (Anies,

2014).

Gejala psikologis lain berupa bingung, marah, mudah tersinggung. Hal ini

akan diikuti dengan meningkatnya produksi hormon adrenalin dan nonadrenalin.

(59)

dari faktor psikologis (Anies, 2014).

Pekerja yang memendam perasaan, misalnya tidak cocok dengan bidang

pekerjaan tetapi tidak berani mengungkapkan. Gejala ini akan diikuti dengan

gejala fisik berupa gangguan pada saluran pencernaan berupa rasa mual, muntah,

perih di ulu hati karena tukak lambung. Pekerja ini juga berpotensi untuk lari

menggunakan minuman keras atau yang memamukkan (Anies, 2014).

Sementara pada pekerja yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya,

cenderung lebih sering berkeringat. Gejala perilaku yang muncul antara lain

terjadi kecenderungan peningkatan agresivitas dan tindakan kriminal. Pada taraf

tertentu, pekerja dapat mengalami kelelahan mental, disertai gejala fisik berupa

gangguan pada kulit. gejala perilaku yang kelihatan antara lain penurunan kualitas

hubungan antarmanusia, baik hubungan dengan teman maupun dengan anggota

keluarga lainnya (Anies, 2014).

Selain itu, stres juga dapat menjadi bagian dari masalah di luar lingkungan

pekerjaan, sehingga masalah “di belakang layar” dalam keluarga atau lingkungan

sosial dapat bermanifes sebagai gejala stres di tempat kerja dan membuat

pengungkapan gejala stres ini menjadi lebih menyulitkan (Harrianto, 2011).

5.3 Hubungan Kebisingan dengan Stres Kerja

Dari hasil uji statistik yang dilakukan, diperoleh nilai p = 0,029 dimana p

< 0,05 yang artinya ada hubungan antara kebisingan dengan stres kerja pada

pekerja pabrik tepung tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan

(60)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat 8 orang pekerja

mengalami stres kerja pada kebisingan ≥ 85 dB dan 4 orang pekerja pada

kebisingan < 85 dB. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan kerja berpotensi

menyebabkan pekerja mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas

kerja. Lingkungan kerja yang tidak nyaman misalnya bising (Anies, 2014).

Semakin tinggi kebisingan, pekerja semakin berpotensi terkena stres kerja.

Pada situasi kerja yang sama, seorang tenaga kerja dapat mengalami stres

sedangkan yang lainnya tidak. Hal tersebut dapat dikarenakan sumber-sumber

lingkungan kerja yang dapat menimbulkan stres seperti ruangan kerja fisik yang

kurang baik, beban kerja terlalu berat, tempo kerja terlalu cepat, pekerjaan terlalu

sederhana, dll (Anies, 2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan pekerja, 17

orang memiliki pekerjaan tambahan di luar pekerjaannya di pabrik sedangkan 19

orang lainnya tidak memiliki pekerjaan tambahan. Pekerjaan tambahan tersebut

kemungkinan dapat memicu timbulnya stres karena dengan bertambahnya beban

kerja pada pekerja berarti tuntutan pekerjaan yang harus dikerjakan juga

bertambah.

Kebisingan mempunyai pengaruh terhadap tenaga kerja, mulai gangguan

ringan berupa gangguan terhadap konsentrasi kerja, pengaruh dalam komunikasi

dan kenikmatan kerja sampai pada cacat yang berat karena kehilangan daya

pendengaran (Anizar, 2009), antara lain:

d. Gangguan terhadap konsentrasi kerja dapat mengakibatkan menurunnya

kuantitas dan kualitas kerja. Hal ini pernah dibuktikan pada sebuah

(61)

baku.

e. Gangguan dalam kenikmatan kerja berbeda-beda untuk tiap orang. Untuk

beberapa orang yang rentan, kebisingan dapat menyebabkan rasa pusing,

kantuk, sakit, tekanan darah tinggi, tegang dan stres yang diikuti dengan

sakit maag, kesulitan tidur. Gangguan konsentrasi dan kehilangan

semangat kerja.

f. Gangguan terhadap komunikasi akan mengganggu kerjasama antara

pekerja dan kadang-kadang mengakibatkan salah pengertian yang secara

tidak langsung menurunkan kuantitas dan kualitas kerja.

Telinga manusia terdiri dari telinga bagian luar, telinga bagian tengah, dan

telinga bagian dalam. Tulang berbentuk spiral di bagian dalam telinga disebut

cochlea, yang dilapisi sel rambut halus. Gelombang bunyi dihantarkan dari telinga

bagian luar ke telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam. Di telinga bagian

dalam, gelombang tekan menggerakkan sel rambut yang kemudian mengirim

sinyal suara yang didengar telinga ke otak melalui jaringan saraf. (Anies, 2014).

Stresor pertama kali ditampung oleh panca indera dan diteruskan ke pusat

emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Aksis HPA memegang peranan penting

dalam beradaptasi terhadap stress baik stress eksternal maupun internal. Ketika

berespon terhadap ketakutan, marah, cemas, dan hal-hal yang tidak

menyenangkan atau bahkan juga terhadap harapan dapat terjadi peningkatan aksis

(62)

Gambar 5.1 Skema Aksis HPA

Kortisol mempunyai efek umpan balik negatif yang sifatnya langsung

terhadap hipotalamus untuk menurunkan CRF, dan kelenjar hipofisis anterior

untuk menurunkan ACTH. Namun jika stressor terus-menerus ada, maka

mekanisme umpan balik ini tidak akan mampu lagi menekan sekresi CRF maupun

ACTH sehingga aktivitas pada aksis HPA ini akan meningkat terus. Bila

peningkatan aktivitas ini terus terjadi sehingga produksi kortisal terus meningkat,

dapat merusak sel-sel neuron di hipotalamus sehingga terjadi atrofi hipotalamus,

dan akibatnya bisa muncul gangguan kognitif, seperti pada penderita depresi. Dan

bahkan kortisol yang meningkat terus diduga kuat dapat mempengaruhi kekebalan

tubuh dengan menekan T-cell (Heryati, 2008).

Dalam hubungannya dengan gangguan pada badan, dikatakan bahwa

„stres‟ emosional mempengaruhi otak, yang kemudian melalui sistem

(63)

menimbulkan kadar asam lemak bebas juga meningkat dan ini merupakan

persediaan sumber energi ekstra. Bila peningkatan ini tidak disertai kegiatan fisik,

energi ekstra ini tidak akan dibakar habis dan akan diubah hati menjadi lemak

kolesterol dan trigliserid yang kemudian menimbun pada dinding pembuluh

darah, menimbulkan penyempitan pembuluh darah, termasuk pembuluh jantung

koroner. Selanjutnya terjadi kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang

bertambah dan keduanya mengakibatkan gangguan pada kerja jantung. Pada

sistem saraf otonom, menimbulkan gejala seperti keluarnya keringat dingin dan

keringat pada telapak tangan, rasa panas dingin, asam lambung yang meningkat,

kejang lambung dan usus, mudah kaget, gangguan seksual dan lain-lain (Anoraga,

2001).

Menurut Harrianto (2011), dalam menghadapi sumber stres (stressor),

manusia mengalami tiga tahap reaksi tubuh yaitu reaksi alarm, tahap kebal, dan

tahap kelelahan. Reaksi alarm (tanda bahaya) merupakan respon yang datang

dengan cepat ketika manusia menghadapi suatu tantangan atau ancaman. Terjadi

mobilisasi dari sistem saraf otonom yang mencetuskan respon stres dalam bentuk

respon perlawanan (fight) atau respon menghindar (flight). Tahap kebal (resisten)

terjadi ketika pajanan yang berkepanjangan terhadap stresor akan menyebabkan

individu kebal. Pada tahap ini sesungguhnya tubuh sudah dapat beradaptasi. Pada

tahap kelelahan, stres yang lama dan berkelanjutan dapat menimbulkan

masalah-masalah yang menahun, sehingga individu akan menderita suatu kelelahan yang

(64)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja pabrik

tapioka PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti Tahun 2016 dapat

disimpulkan:

a. Pengukuran kebisingan dilakukan di 9 titik dimana 5 titik memiliki nilai

kebisingan ≥ 85 dB dan 4 titik lainnya memiliki nilai kebisingan < 85 dB.

b. Penilaian stres pada pekerja pabrik tapioka dengan sampel sebanyak 36

orang, diperoleh 12 orang pekerja mengalami stres kerja sedangkan 24

orang tidak mengalami stres kerja.

c. Hasil uji statistik (p value = 0,029 < 0,05) diperoleh adanya hubungan

antara kebisingan dengan stres kerja pada pekerja pabrik tepung tapioka

PT. Hutahaean Wilayah Tapanuli Kecamatan Laguboti.

6.2 Saran

a. Sebaiknya dilakukan sosialisasi mengenai pentingnya penggunaan Alat

Pelindung Diri (APD) khususnya pelindung telinga pada pekerja pabrik

agar pekerja mengerti dan menyadari bahwa alat pelindung tersebut

merupakan suatu kebutuhan perlindungan untuk menghindari terjadinya

peningkatan gangguan kesehatan yang salah satunya adalah stres kerja.

b. Sebaiknya dilakukan pengawasan terhadap pekerja agar selalu

(65)
(66)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebisingan

2.1.1. Defenisi Kebisingan

Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara

dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri, bising

berarti bunyi yang sangat mengganggu dan menjengkelkan serta sangat

membuang energi (Harrianto, 2008).

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber

dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu

dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I..

No. Per.13/MEN/X/2011).

Dalam rangka perlindungan kesehatan tenaga kerja, kebisingan diartikan

sebagai semua suara/bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat

proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat

menimbulkan gangguan pendengaran (Suma‟mur, 2013)

Kebisingan adalah salah satu faktor fisik berupa bunyi yang dapat

menimbulkan akibat buruk bagi kesehatan dan keselamatan kerja. Sedangkan

dalam keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia “Bising adalah semua

suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat produksi dan atau

alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran”. Dari

kedua defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah semua bunyi

atau suara yang tidak dikehendaki yang dapat menggangu kesehatan dan

(67)

Menurut Wisnu, sumber kebisingan dilihat dari sifatnya dibagi menjadi

dua yaitu: (Subaris & Haryono, 2008)

a. sumber kebisingan statis: pabrik, mesin, tape, dan lainnya.

b. sumber kebisingan dinamis: mobil, pesawat terbang, kapal laut, dan

lainnya.

Sedangkan menurut Men.KLH, sumber bising yang dilihat dari bentuk

sumber suara yang dikeluarkannya ada dua, yaitu: (Subaris & Haryono, 2008)

a. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu titik/bola/lingkaran.

Contoh: sumber bising dari mesin-mesin industri/mesin yang tak

bergerak

b. Sumber bising yang berbentuk sebagai suatu garis, misalnya

kebisingan yang timbul karena kendaraan-kendaraan yang bergerak.

Di tempat kerja, disadari maupun tidak, cukup banyak fakta yang

menunjukkan bahwa perusahaan beserta aktivitas-aktivitasnya ikut menciptakan

dan menambah keparahan tingkat kebisingan di tempat kerja, misalnya:

(Tambunan, 2005)

a. Mengoperasikan mesin-mesin produksi “ribut” yang sudah cukup tua.

b. Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja

cukup tinggi dalm periode operasi cukup panjang.

c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya,

misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami

(68)

d. Melakukan modifikasi/perubahan/penggantian secara parsial pada

komponen-komponen mesin produksi tanpa mengindahkan

kaidah-kaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan

komponen-komponen mesin tiruan.

e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak

tepat (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian

penghubung antara modul mesin (bad connection).

f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya, misalnya

penggunaan palu (hammer)/alat pemukul sebagai alat pembengkok

benda-benda metal atau alat bantu pembuka baut.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebisigan

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebisingan antara

lain :

a. Intensitas, intensitas bunyi yang dapat didengar telinga manusia

berbanding langsung dengan logaritma kuadrat tekanan akustik yang

dihasilkan getaran dalam rentang yang dapat didengar. Jadi, tingkat

tekanan bunyi di ukur dengan logaritma dalam decibel (dB).

b. Frekuensi, frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia terletak

antara 16-20000 Hertz. Frekuensi bicara terdapat antara 250-4000

Hertz.

c. Durasi, efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya

paparan dan berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai

(69)

berfluktuasi, intermiten). Bising impulsive (satu/lebih lonjakan energi

bunyi, dengan durasi kurang dari 1 detik) sangat berbahaya.

Menurut Anizar, bagian yang paling penting adalah:

1. intensitas kebisingan (tingkat tekanan suara)

2. jenis kebisingan (wide band, narrow band, impulse)

3. lamanya terpapar per hari

4. jumlah lamanya terpapar (dalam tahun)

5. usia yang terpapar

6. masalah pendengaran yang telah diderita sebelumnya

7. lingkungan yang bising

8. jarak pendengaran dengan sumber kebisingan

2.1.4. Jenis Kebisingan

Menurut Suma‟mur, kebisingan yang sering ditemukan adalah:

a. Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus dengan spektrum

frekuensi yang lebar (steady state,wide band noise), misalnya bising

mesin, kipas angin dapur pijar dan lain-lain

b. Kebisingan menetap berkelanjutan dengan spektrum frekuensi tipis

(steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler,

kutup gas, dan lain-lain.

c. Kebisingan terputus-putus (intermittent noise), misalnya bising lalu

(70)

d. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti bising

pukulan palu, tembakan bedil atau meriam, dan ledakan.

e. Kebisingan impulsif berulang, misalnya bising mesin tempa di

perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan.

Di tempat kerja, kebisingan diklasifikasikan ke dalam dua jenis golongan

besar, yaitu kebisingan tetap (steady noise) dan kebisingan tidak tetap (non-steady

noise) (Tambunan, 2005).

Kebisingan tetap (steady noise) dipisahkan lagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise)

Kebisingan ini berupa “nada-nada” murni pada frekuensi yang

beragam, contohnya suara mesin, suara kipas, dan sebagainya.

b. Broad band noise

Kebisingan dengan frekuensi terputus dan broad band noise

sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (steady noise).

Perbedaannya adalah broad band noise terjadi pada frekuensi yang

lebih bervariasi (bukan “nada” murni)

Sementara itu, kebisingan tidak tetap (unsteady noise) dibagikan lagi

menjadi:

a. Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise)

Kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu

b. Intermittent noise

(71)

kebisingan lalu lintas.

c. Impulsive noise

Kebisingan impulsif dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi

(memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara

ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya.

Sedangkan menurut Anizar (2009), kebisingan dapat dikelaskan kepada

beberapa jenis yaitu:

a. Bising secara terus menerus adalah bising yang mempunyai perbedaan

tingkat intensitas bunyi di antara maksimum dan minimum yang

kurang dari 3 dBA. Contohnya adalah bunyi yang dihasilkan oleh

mesin penenun tekstil.

b. Bising fluktuasi ialah bunyi bising yang mempunyai perbedaan tingkat

di antara intensitas yang tinggi dengan yang rendah lebih dari 3 dBA.

c. Bising impuls ialah bising yang mempunyai intensitas yang sangat

tinggi dalam waktu yang singkat seperti tembakam senjata api, lagan

besi dan sebagainya.

d. Bising bersela ialah bunyi yang terjadi di dalam jangka waktu tertentu

serta berulang. Contohnya bising ketika memotong besi akan berhenti

apabila gergaji itu dihentikan. Terdapatnya kombinasi daripada jenis

bunyi di atas, contohnya kebisingan berterusan dan bersela dapat

(72)

2.1.5. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kebisingan di tempat kerja adalah

intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh

tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu

terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu (Soeripto, 2008).

NAB kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja adalah standar

sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya

tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan

sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sesehari-hari dan 5 (lima) sehari-hari kerja

seminggu atau 40 jam seminggu (Suma‟mur, 2013)

NAB kebisingan adalah 85 dB(A). NAB kebisingan tersebut merupakan

ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : Kep-51/Men/1999

tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja dan merupakan standar

dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-2004 Nilai Ambang Batas iklim

kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di

(73)

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun 2011:

Tabel 1.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.3 tahun 2011

2.1.6. Pengukuran Kebisingan

Telinga manusia sama sekali tidak dapat dijadikan “referensi” tingkat

kebisingan yang terdapat pada sebuah temapat. Berdasarkan hasil percobaan, pada

intensitas kebisingan sesungguhnya berkurang 2 dB dari tingkat kebisingan awal,

pengurangan kebisingan yang dirasakan oleh telinga manusia adalah sekitar 15%,

sedangkan pada saat pengurangan (actual) sebesar 20% maka kebisingan yang

dirasakan akan berkurang sebesar 81%. Untuk mendapatkan hasil pengukuran

(74)

Bunyi diukur dengan satuan yang disebut decibel. Dalam hal ini mengukur

besarnya tekanan udara yang ditimbulkan oleh gelombang bunyi. Satuan decibel

diukur dari 0 sampai 140, atau bunyi terlemah yang masih dapat didengar oleh

manusia sampai tingkat bunyi yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen

pada telinga manusia. Desibel biasa disingkat dB dan mempunyai skala A, B, dan

C. Skala yang terdekat dengan pendengaran manusia adalah skala A atau dBA

(Anies, 2009).

Dua suara atau lebih dengan intensitas sama, jika digabungkan akan

menghasilkan intensitas kebisingan yang lebih tinggi. Untuk memperoleh hasil

pengukuran kebisingan di tempat kerja yang teliti, maka kebisingan dari setiap

sumber sebaiknya diukur secara terpisah atau satu per satu (Subaris dan Haryono,

2008).

Menurut Suma‟mur (2013), maksud dilakukannya pengukuran kebisingan

ada dua dua hal, yaitu:

a. Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di

perusahaan atau di mana saja

b. Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi

intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan

dalam rangka upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, atau

perlindungan masyarakat dari gangguan kebisingan atas ketenangan dalam

kehidupan masyarakat atau tujuan lainnya.

Anizar (2009) berpendapat bahwa pengukuran ada yang hanya bertujuan

(75)

bersangkutan di mana:

a. Pengukuran dilakukan di tempat kerja, tempat si pekerja berada dan

menghabiskan waktu kerjanya. Pengukuran ini dilakukan pada pagi

hari, siang dan sore hari.

b. Pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan tingkat kebisingan

rata-rata yang diterima tenaga kerja selama 8 jam kerja berturut-turut,

sehingga hasilnya dapat dihubungkan dengan penelitian terhadap

tenaga kerja yang bersangkutan. Oleh karena itu, pengukuran harus

dilakukan selama jam kerja secara intensif dan bila tenaga kerja selalu

berpindah tempat maka harus dilakukan pengukuran tingkat

kebisingan pada tempat di mana tenaga kerja itu berada dan pencatatan

waktu selama tenaga kerja berada di tempat-tempat tersebut,

selanjutnya diperhitungkan tingkat kebisingan rata-rata yang diterima

tenaga kerja selama 8 jam kerja.

Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. Alat

ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekuensi 20 -20.000 Hz.

Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi

mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai alat

kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur oleh

amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi tersebut yang

tergantung pada tekanan udara, sehingga perlu koreksi berdasarkan atas perbedaan

(76)

karena alat pengukur intensitas kebisingan demikian mungkin dipakai untuk

mengukur kebisingan yang intensitasnya tinggi (Suma‟mur, 2013).

Adapun bagian-bagian yang terdapat pada Sound Level Meter adalah

sebagai berikut (Subaris & Haryono, 2008):

a. Tombol pengatur hidup/mati atau power on/off

b. Tombol pengontrol battery

c. Tombol pengatur penunjuk cepat lambat (slow/fast)

d. Tombol pengukur skala angka puluhan

e. Tombol pengatur penunjuk maksimum (max hold)

f. Microphone

g. Filter microphone

h. Kalibrator

i. Display

Komponen dasar sebuah Sound Level Meter adalah sebuah microphone,

penguat suara (amplifier) dengan pengatur frekuensi dan sebuah layar indikator.

Sesuai namanya, fungsi dasar minimum yang harus ada pada sebuar Sound Level

Meter adalah sebagai alat ukur tingkat suara (dB). Fungsi – fungsi tambahan lain

cukup bervariasi, seperti fungsi pengukuran TWA (Time Weigted Average) secara

otomatis dan pengukuran dosis kebisingan (Tambunan, 2005).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengukuran adalah

sebagai berikut (Subaris & Haryono, 2008):

a. Sebelum pengukuran dilaksanakan, battery harus diperiksa untuk

(77)

terlebih dahulu harus dicek dengan menggunakan kalibrator, yaitu dengan

meletakkan/memasang alat tersebut di atas microphone dari SLM,

kemudian dengan tombol pada alat tersebut dikeluarkan nada murni (pure

tone) dengan intensitas tertentu, maka jarum penunjuk/display SLM

tersebut harus menunjukkan sesuai dengan intensitas suara dari kalibrator.

c. Meletakkan sejauh mungkin SLM sepanjang tangan (paling dekat 0,5

meter dari tubuh pengukur). Bila perlu gunakan tripod untuk

meletakkannya. Hal ini dilakukan karena selain operator dapat merintangi

suara yang datang dari salah satu arah operator tersebut juga dapat

memantulkan suara sehingga menyebabkan kesalahan pengukuran.

d. Pengukuran di luar gedung/lingkungan harus dilakukan pada ketinggian

1,2 – 1,5 meter di atas tanah dan bila mungkin tidak kurang dari 3,5 meter

dari semua permukaan yang dapat memantulkan suara. Sebaliknya

digunakan WindsScreen (terbuat dari karet busa berpori) yang dipasang

pada microphone untuk mengurangi turbulensi aliran udara di sekitar

diafragma microphone.

e. Bila ingin diketahui dengan tepat sumber suara yang sedang diukur dapat

digunakan headphone yang dihubungkan dengan output dari SLM

f. Hindarkan pengukuran terlalu dekat dengan sumber bunyi, karena hasil

pengukuran akan menunjukkan perbedaan yang bermakna pada posisi

(78)

g. SLM ini dapat digunakan pada suasana kelembapan sampai dengan 90%

dan pada suhu antara 100– 500C.

Dalam merencanakan pengukuran, perlu untuk menginvestigasi:

a. Titik-titik pengukuran

b. Personalia

c. Peralatan pengukuran

d. Proses pengukuran

e. Metode komunikasi, dan sebagainya

Waktu memilih alat-alat pengukuran, perlu untuk mengingat tujuan dari

hasil-hasil pengukuran. Terutama, bila pengukuran adalah bagian dari investigasi

untuk langkah-langkah penanggulangan, maka perlu diadakan

pengukuran-pengukuran pada titik-titik di mana suara-suara mudah bocor seperti

jendela-jendela, pintu-pintu, kipas angin, dan sebagainya.

2.2. Stres Kerja 2.2.1. Defenisi

Menurut Morgan dan King ”..as an internal state can be caused by

physical demand on the body (disease condition, exercise, extremes of

temperature, and the like) or by environmental and cosial situations which are

evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for

coping”. Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal yang bisa

disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial yang

berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Waluyo, 2009).

Stres dapat diartikan sebagai suatu persepsi akan adanya ancaman atau

(79)

tantangan, di mana ia merasa belum pasti dapat menghadapi dengan berhasil

(Anies, 2009).

Menurut Dr. Hans Selye, guru besar emeritus (purnawirawan) dari

Universitas Montreal, stres adalah suatu abstraksi. Orang tidak dapat melihat

pembangkit stres (stressor), yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres

(Munandar, 2001).

Stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara

karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek

pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa

atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan ( Agung,

2008).

Menurut Rice (1992), seseorang dapat dikategorikan mengalami stres kerja

adalah apabila stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi perusahaan

tempat orang yang bersangkutan bekerja. Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat

dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja (Anies, 2014).

“Work stress is an individual‟s response to work related environtmental

stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological,

psychological, or behavioral reaction” Berdasarkan definisi di atas, stres kerja

dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi

individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah

(80)

Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang di persepsikan karyawan

sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja (Waluyo, 2009).

Kemudian stres kerja dapat disimpulkan sebagai suatu kondisi dari hasil

penghayatan subjektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan

lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis,

fisiologis dan sikap individu (Sutarto Wijono, 2011).

2.2.2. Sumber Stres Kerja

Sumber stres kerja (stressors) adalah suatu kondisi, situasi atau peristiwa

yang dapat menyebabkan stres. Ada berbagai sumber stres yang dapat

menyebabkan stres di perusahaan di antaranya adalah faktor perkerjaan itu sendiri

dan di luar pekerjaan itu. Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi

dan transaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya (Sutarto Wijono,

2011).

Menurut Cooper (1983), ada beberapa sumber stres kerja, antara lain

(Anies, 2014):

a. Lingkungan kerja

Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah

sakit, mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas kerja.

Lingkungan yang kurang nyaman, misalnya panas, berisik, sirkulasi

udara kurang, membuat pekerja mudah menderita stres.

b. Overload

Overload dapat dibedakan menjdai kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan

(81)

ketegangan tinggi. Sementara overload kualitatif, bila pekerjaan

memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi.

c. Deprivational stres

Istilah deprivational stres diperkenalkan oleh George Every dan Daniel

Girdano (1980), yaitu pekerjaan yang tidak lagi menantang atau

menarik bagi pekerja. Akibatnya, timbul berbagai keluhan seperti

kebosanan, ketidakpuasan, dan sebagainya.

d. Pekerjaan berisiko tinggi

Ada pekerjaan yang berisiko tingi dan berbahaya bagi keselamatan,

misalnya pekerjaan di pertambangan di lepas pantai, pekerja cleaning

service pada gedung-gedung pencakar langit, dan sebagainya.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut berpotensi menimbulkan stres.

Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri.

Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di

Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama,

yakni (Waluyo, 2009):

a. Kondisi dan situasi pekerjaan

b. Pekerjaannya

c. Job Requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas

d. Hubungan interpersonal

Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres terdiri atas 4 (empat)

(82)

a. Extra Organization Stressor, yang terdiri dari perubahan

social/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan,

ras dan kelas, dam keadaan komunitas/tempat tinggal.

b. Organization Stressor, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur

organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi

dalam organisasi.

c. Group Stressor, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup,

kurangnya dukungan social, serta adanya konflik antar individu,

interpersonal, dan intergroup.

d. Individual Stressor, yang terdiri dari terjadinya konflik dan

ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian

Tipe A, control personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya

tahan psikologis.

Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam

pekerjaan menjdai dua, yakni:

a. Group Stressor, adalah penyebab stres yang bersal dari situasi maupun

keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara

karyawan, konflik antara individu dalam kelompok, maupun

kurangnya dukungan social dari sesama karyawan di dalam

perusahaan.

b. Individual Stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri

(83)

ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.

2.2.3. Faktor Penyebab Stres Kerja

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stres kerja pada individu dalam

penelitian Mirza (2011), antara lain:

a. Usia

Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan

20-an d20-an kemudi20-an menurun deng20-an bertambahnya usia

b. Masa kerja

Masa kerja dapat diartikan sebagai jangka waktu seseorang bekerja,

dihitung dari mulai bekerja sampai dia masih bekerja. Semakin lama

seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar

bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

c. Pendidikan

Secara umum pendidikan bertujuan mengembangkan dan memperluas

pengetahuan, pengalaman serta pengertian individu. Semakin tinggi

pendidikan seseorang makin mudah seseorang berpikir secara luas,

makin tinggi daya inisiatifnya dan makin mudah pula untuk

menemukan cara-cara yang efisien guna menyelesaikan pekerjaannya

dengan baik.

d. Riwayat Penyakit

Penyakit akan menyebabkan hipo atau hipertensi suatu organ,

Gambar

Gambar 1. Pintu Utama Pabrik
Gambar 3. Kondisi di dalam Pabrik
Gambar 5. Rambu K3 di dalam Pabrik
Gambar 7. Kondisi di dalam Pabrik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing) ini ditutup pukul 11.00 WIB secara elektronik sesuai dengan jadwal yang tertera pada portal LPSE BKKBN dengan jumlah pertanyaan

Uraian singkat pekerjaan Pengadaan Formulir Pendataan Keluarga Tahun 2015 berjumlah 2.888.770 lembar, Rekapitulasi Tingkat RT berjumlah 38.505 lembar, Rekapitulasi Tingkat

Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Barat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan Pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan jasa lainnya sebagai berikut:1.

2017 akan melanjutkan proses pengadaan ke tahap berikutnya sesuai dengan jadwal lelang yang telah dibuat..

Pelaksanaan supervisi artistik yang dilakukan Kepala SD Negeri 1 Selojari melalui kegiatan kunjungan kelas tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu yang dikemukakan

E'MAL BAHSAR DEMMAL.. U NDAI NU RBAVANI,

pemerintah, dan keuangan secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan industri kripik tempe di daerah Sanan Kota Malang karena nilai signifikansi

Idad and jihad are some of basic concepts that radical Islamic groups and terrorists including in Indonesia use to express their strategies in dealing with