• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu

Oleh :

Martin Susanto 080100383

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu

Oleh :

Martin Susanto 080100383

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT KELURAHAN BADAK BEJUANG TERHADAP TUBERKULOSIS (TB) EKSTRAPARU

NAMA : MARTIN SUSANTO

NIM : 080100383

Pembimbing, Penguji,

(Dr. Jessy Chrestella, Sp.PA) (Dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med.Ed) NIP: 19820113 200801 2006 NIP: 132 296 965

(Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes) NIP: 132 231 986

Medan, Desember 2011 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

Dekan,

(4)

Halaman Persetujuan

Laporan Hasil Penelitian dengan Judul:

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Tuberkulosis (TB) Ekstraparu

Yang dipersiapkan oleh: Martin Susanto

080100383

Karya Tulis Ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui untuk dilanjutkan ke Lahan Penelitian

Medan, Desember 2011 Disetujui, Dosen Pembimbing

(5)

ABSTRAK

Latar Belakang Tuberkulosis (TB) ekstraparu merupakan suatu penyakit infeksi

yang dapat menyebabkan komplikasi dan kematian jika tidak diobati dengan tepat dan cepat, padahal risiko tertular penyakit ini dapat dikurangkan dengan langkah-langkah pencegahan tertentu. Komplikasi dan kematian juga dapat dielakkan dengan diagnosa dini. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China. TB ekstraparu mencakup 15-20% dari seluruh kasus aktif.

Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk menentukan tingkat pengetahuan

masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu.

Metode Suatu penelitian deskriptif-analitik secara cross-sectional terhadap

masyarakat Kelurahan Badak Bejuang dimulai dari bulan Juni 2011 hingga Juli 2011. Peneliti mengambil sampel secara accidental sampling. Tingkat pengetahuan masyarakat kemudian diuji dengan menggunakan kuesioner. Analisis data-data menggunakan SPSS.

Hasil Dari 100 orang masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini,

didapati 8% mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, 85% mempunyai tingkat pengetahuan yang sedang, dan 7% yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang.

Kesimpulan dan Saran Masih terdapat banyak responden yang belum

mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang TB ekstraparu. Upaya edukasi dan penyuluhan harus ditingkatkan supaya dapat lebih meningkatkan lagi pengetahuan masyarakat tentang TB ekstraparu.

(6)

ABSTRACT

Background Extrapulmonary tuberculosis (EPTB) is an infectious disease that may cause the complications and the death if it is not treated properly and rapidly, indeed the risk of infected this disease can be reduced by the steps of preventions. The complication and the death can also be avoided by early diagnosis. Indonesia is a country which has the third highest prevalence of TB in the world after India and China. EPTB includes 15-20% of all active cases. Purpose This research is held to determine the knowledge level of the society of Kelurahan Badak Bejuang to EPTB.

Methods A descriptive-analitical research, using cross sectional method, to the society of Kelurahan Badak Bejuang started from June 2011 until July 2011. The researcher took the samples by using accidental sampling method. The knowledge level of the society was then tested with questionnaire. The researcher analyzed the datas by using SPSS.

Results From 100 people being the respondents of this research, found 8% with the high knowledge level, 85% withe medium knowledge level, and 7% with the low knowledge level.

Conclusion and Advice There are still a lot of respondents that have not had high knowledge level to EPTB. Efforts of education and counselling have to be increased in order to improve the knowledge level of the society to EPTB.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan, karena berkat dan karuniaNya, karya tulis ilmiah yang berjudul “Tingkat Pengetahuan Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap Penyakit Tuberkulosis (TB) Ekstraparu” akhirnya selesai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan sejuta terima kasih kepada keluarga tercinta, khususnya ayahanda Ng A Kau dan ibunda Thea Ju Ing, serta saudara-saudari penulis, Rudy, Fenny dan Agustina, yang telah memberikan dukungan, baik secara moral maupun materi, dalam rangka penyelesaian karya tulis ilmiah ini. Sejuta terima kasih, khususnya kepada Dr. Jessy Chrestella, Sp.PA, selaku dosen pembimbing penulis, Dr. Hemma Yulfi, DAP&E, M.Med.Ed dan Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, selaku dosen penguji karya tulis ilmiah penulis, serta Dr. Franciscus Ginting, Sp.PD, selaku dokter ahli dalam penelitian ini, yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dari awal sampai selesainya penelitian ini yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran. Penghargaan turut diberikan kepada sahabat-sahabat penulis, seperti Kadir Gani, Erwin Xu, Azmeilia Lubis, Fadillah Akbar, Perdana Sidauruk, Lina Ng, Irwanto Xiong dan semua yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam penghasilan laporan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskriptif-analitik yang menggunakan metode cross-sectional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap penyakit TB ekstraparu, dengan mengingat angka prevalensi TB di Indonesia masih tinggi.

(8)

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERSETUJUAN... ABSRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN... BAB 1 PENDAHULUAN...

1.1. Latar Belakang... 1.2. Rumusan Masalah... 1.3. Tujuan Penelitian... 1.3.1. Tujuan Umum... 1.3.2. Tujuan Khusus... 1.4. Manfaat Penelitian...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... ...

2.1. Tuberkulosis... 2.1.1. Pendahuluan... 2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis secara Global... 2.2. Tuberkulosis Ekstraparu...

2.2.1. Definisi... 2.2.2. Epidemiologi... 2.2.3. Etiologi, Patogenesa dan Patofisiologi Mycobacterium

tuberculosis... 2.2.4. Klasifikasi... 2.2.5. Situs Predileksi dan Gambaran Klinis... 2.2.6. Diagnosis... 2.6.6.1. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test... 2.2.6.2. Pemeriksaan Patologi...

(9)

2.2.6.3. Pemeriksaan Bakteriologi... 2.2.6.4. Pemeriksaan Radiologi... 2.2.6.5. Diagnosis Terapi Percobaan... 2.2.7. Terapi... 2.2.7.1. Terapi obat... 2.2.7.2. Terapi Bedah... 2.2.8. Pencegahan dan Pengendalian... 2.3. Pengetahuan... 2.4. Tingkat Pengetahuan terhadap TB Ekstraparu dan TB secara

Umum...

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL..

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 3.2. Definisi Operasional...

BAB 4 METODE PENELITIAN...

4.1. Jenis Penelitian... 4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 4.2.1. Waktu Penelitian... 4.2.2. Tempat Penelitian... 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian...

4.3.1. Populasi... 4.3.2. Sampel... 4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 4.4. Teknik Pengumpulan Data... 4.4.1. Data Primer... 4.4.2. Data Sekunder... ... 4.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas... 4.5. Ethical Clearance...

4.5. Pengolahan dan Analisis Data...

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...

5.1. Hasil Penelitian... 5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...

(10)

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 5.1.3. Hasil Analisis Data... 5.2. Analisis Statistik... 5.3. Pembahasan...

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN...

6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran...

DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 5.1

Tabel 5.2

Tabel 5.3

Tabel 5.4

Tabel 5.5

Tabel 5.6

Tabel 5.7

Tabel 5.8

Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden yang Mengikuti Penelitian

Distribusi Frekuensi Umur Responden yang Mengikuti Penelitian

Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Pertanyaan

Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Penyakit TB Ekstraparu Secara Umum Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden

Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Umur Responden

Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Distribusi Proporsi Umur Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

29

30

31

32

32

33

34

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I Riwayat Hidup Peneliti LAMPIRAN II Kuesioner Penelitian LAMPIRAN III Lembar Penjelasan

LAMPIRAN IV Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) / Informed Consent

LAMPIRAN V Master Data

LAMPIRAN VI Surat Izin Penelitian LAMPIRAN VII Ethical Clearance

(13)

DAFTAR SINGKATAN

TB Tuberkulosis

WHO World Health Organization HIV Human Immunodeficiency Virus SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga CDC Centers for Disease Control

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia

BTA Basil Tahan Asam

SSP Sistem Saraf Pusat

TST Tuberculin Skin Test

IVP Intravenous Pyelography

BCG Bacille Calmette-Guérin MCQ Multiple Choice Questions

(14)

ABSTRAK

Latar Belakang Tuberkulosis (TB) ekstraparu merupakan suatu penyakit infeksi

yang dapat menyebabkan komplikasi dan kematian jika tidak diobati dengan tepat dan cepat, padahal risiko tertular penyakit ini dapat dikurangkan dengan langkah-langkah pencegahan tertentu. Komplikasi dan kematian juga dapat dielakkan dengan diagnosa dini. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China. TB ekstraparu mencakup 15-20% dari seluruh kasus aktif.

Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk menentukan tingkat pengetahuan

masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu.

Metode Suatu penelitian deskriptif-analitik secara cross-sectional terhadap

masyarakat Kelurahan Badak Bejuang dimulai dari bulan Juni 2011 hingga Juli 2011. Peneliti mengambil sampel secara accidental sampling. Tingkat pengetahuan masyarakat kemudian diuji dengan menggunakan kuesioner. Analisis data-data menggunakan SPSS.

Hasil Dari 100 orang masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini,

didapati 8% mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, 85% mempunyai tingkat pengetahuan yang sedang, dan 7% yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang.

Kesimpulan dan Saran Masih terdapat banyak responden yang belum

mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang TB ekstraparu. Upaya edukasi dan penyuluhan harus ditingkatkan supaya dapat lebih meningkatkan lagi pengetahuan masyarakat tentang TB ekstraparu.

(15)

ABSTRACT

Background Extrapulmonary tuberculosis (EPTB) is an infectious disease that may cause the complications and the death if it is not treated properly and rapidly, indeed the risk of infected this disease can be reduced by the steps of preventions. The complication and the death can also be avoided by early diagnosis. Indonesia is a country which has the third highest prevalence of TB in the world after India and China. EPTB includes 15-20% of all active cases. Purpose This research is held to determine the knowledge level of the society of Kelurahan Badak Bejuang to EPTB.

Methods A descriptive-analitical research, using cross sectional method, to the society of Kelurahan Badak Bejuang started from June 2011 until July 2011. The researcher took the samples by using accidental sampling method. The knowledge level of the society was then tested with questionnaire. The researcher analyzed the datas by using SPSS.

Results From 100 people being the respondents of this research, found 8% with the high knowledge level, 85% withe medium knowledge level, and 7% with the low knowledge level.

Conclusion and Advice There are still a lot of respondents that have not had high knowledge level to EPTB. Efforts of education and counselling have to be increased in order to improve the knowledge level of the society to EPTB.

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil TB menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ-organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).

Lebih dari 2 miliyar manusia (sekitar sepertiga dari populasi penduduk dunia) diperkirakan terinfeksi TB. Pada tahun 2006, organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), memberitakan bahwa prevalensi infeksi aktif TB diperkirakan 14,4 juta dengan angka prevalensi bernilai 219/100.000 dan insidensi kasus baru TB diperkirakan 9,2 juta dengan angka insidensi 139/100.000. Dua belas dari lima belas negara dengan insidensi TB yang diperkirakan tertinggi berada di benua Afrika, dimana angka insidensinya 363/100.000. Pada tahun 2006, ada 1,7 juta kematian disebabkan TB di seluruh dunia, dengan angka kematian 25/100.000 (Horsburgh, 2010).

Diperkirakan 95% kasus TB muncul di negara-negara berkembang. (Horsburgh, 2010). Di negara Indonesia sendiri, penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan utama masyarakat Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan China dengan jumlah pasien TB di Indonesia setara dengan 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 dan survey kesehatan nasional 2001, menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga tertinggi di Indonesia (Amin & Bahar, 2006).

(17)

Jenis kelamin, usia, dan infeksi HIV merupakan faktor risiko penyakit ini. TB ekstraparu lebih sering terdiagnosa pada wanita dan pasien-pasien muda. Orang-orang dengan penyakit imunosupresif lebih beresiko dan lebih cenderung mendapatkan TB ekstraparu (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008). Pada pasien yang positif terinfeksi HIV, TB ekstraparu berjumlah lebih dari 50% dari seluruh kasus TB (Sharma & Mohan, 2004).

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dianggap penting bagi masyarakat Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, berusia muda ataupun tua, untuk memiliki pengetahuan yang adekuat mengenai penyakit TB ekstraparu, agar dengan pengetahuan tersebut masyarakat dapat kemudian menerapkan cara pencegahan yang efektif dan efisien, serta dapat mengenali gejala klinis yang timbul pada penyakit ini agar dapat ditangani pertolongan medis dengan secepat mungkin.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap tuberkulosis (TB) ekstraparu?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang etiologi penyakit TB ekstraparu.

2. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang cara penularan infeksi TB ekstraparu.

(18)

4. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang pemeriksaan pada penyakit TB ekstraparu.

5. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang pengobatan terhadap penyakit TB ekstraparu.

6. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang tentang pencegahan terhadap penyakit TB ekstraparu.

7. Distribusi tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang berdasarkan jenis kelamin.

8. Distribusi tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang berdasarkan umur.

9. Distribusi proporsi jenis kelamin berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang.

10. Distribusi proporsi umur berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dinas Kesehatan:

Sebagai masukan/saran kepada Dinas Kesehatan untuk lebih mengetahui gambaran tingkat pengetahuan terhadap penyakit TB ekstraparu di kalangan masyarakat, serta dapat lebih meningkatkan upaya edukatif dan pencegahan terhadap penyakit TB ekstraparu.

2. Masyarakat / responden:

Responden dapat menguji tingkat pengetahuan mereka, serta dapat lebih meningkatkan tingkat pengetahuan mereka sekiranya mendapati pengetahuan mereka tentang infeksi TB ekstraparu tidak memadai.

3. Peneliti-peneliti lain:

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

2.1.1. Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).

(20)

2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis secara Global

Epidemiologi tuberkulosis bervariasi nilainya di seluruh dunia. Angka tertinggi (100/100.000 atau lebih) ditemukan di Afrika sub-Sahara, India, China, dan pulau-pulau di Asia Tenggara dan Mikronesia. Angka intermediat tuberkulosis (26-100 kasus/100.000) muncul di Amerika Tengah dan Selatan, Eropa Timur, dan Afrika Utara. Angka rendah (kurang dari 25 kasus per 100.000 penduduk) muncul di Amerika Serikat, Eropa Barat, Kanada, Jepang, dan Australia . Dan diperkirakan 1 dari 14 kasus TB baru muncul pada individu yang terinfeksi HIV, 85% kasus-kasus ini muncul di Afrika (Horsburgh, 2010).

Seperti yang disampaikan di atas, TB paru mencakup 80-85% dari seluruh kasus aktif; sedangkan TB ekstraparu mencakup 15-20% lainnya (Fitzpatrick & Braden, 2000).

2.2. Tuberkulosis Ekstraparu

2.2.1. Definisi

Yang dimaksud dengan TB ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya, kelenjar limfe, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2007).

2.2.2. Epidemiologi

Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran faktor-faktor yang berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab atas terjadinya TB pada situs ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi telah melaporkan bahwa proporsi TB ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga oleh perkembangan dalam fasilitas diagnostik (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).

(21)

menunjukkan HIV-seropositif, usia kurang dari 18 tahun, warga Amerika berketurunan Afrika, pengidap sirosis hepatis adalah faktor-faktor resiko terhadap TB ekstraparu. Adapun suatu studi dari Turki menunjukkan bahwa wanita mempunyai resiko lebih tinggi untuk perkembangan TB ekstraparu dan resiko TB ekstraparu meningkat 5 tahun setelah kontak awal. Suatu studi yang lain menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan penjamu bervariasi menurut asal geografis dan faktor resiko terhadap TB ekstraparu adalah berjenis kelamin perempuan untuk individu-individu yang berasal dari Asia ataupun Afrika Utara, usia untuk individu-individu yang asalnya dari Afrika sub-Sahara dan positif HIV untuk yang asalnya dari Eropa (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).

Pada pasien terinfeksi HIV, frekuensi TB ekstraparu tergantung pada derajat penurunan imunitas selular. Pada pasien dengan <100 CD4 cells/mL, TB ekstraparu dan milier terhitung 70% dari seluruh bentuk TB (Beek, Werf, Richter, dan Borgdorff, 2006).

2.2.3. Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi Mycobacterium tuberculosis

Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauw oleh cairan asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan untuk menampakkan basil ini (Karnadihardja, 2004).

(22)

bronkoskop yang terkontaminasi. Resiko penularan dari pasien sumber infeksi ke pejamu dihubungkan dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus di ruang udara. Resiko penularan menjadi lebih besar pada ruangan yang kekurangan volume udara, udara segar, dan cahaya alami atau cahaya ultraviolet (Fitzpatrick & Braden, 2000; Raviglione & O’Brien, 2005).

Sedangkan menurut Karnadihardja (2004), ada dua macam mikobakteria penyebab TB, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan bila diminum, dapat menyebabkan TB usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TB terbuka. Orang yang rentan dapat terinfeksi TB bila menghirup bercak ini, ini merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan penyakitnya.

Pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer. Basil kemudian masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentuk fibrosis dan kalsifikasi (95%) (Karnadihardja, 2004).

Sekalipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya “tidur” (Karnadihardja, 2004).

(23)

bertahun-tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi HIV (Karnadihardja, 2004).

TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan bronkiektasis melalui erosi bronkus (Karnadihardja, 2004).

Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan bersarang pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau “tidur” selama bertahun-tahun. Patologi di ginjal sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis (Karnadihardja, 2004).

Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus, baik sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai TB pascaprimer. TB kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan TB pascaprimer (Karnadihardja, 2004).

Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis) (Karnadihardja, 2004).

Penyebaran ke tulang adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan TB tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran ini menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskular (Karnadihardja, 2004).

(24)

Kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis) (Karnadihardja, 2004).

2.2.4. Klasifikasi

Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu terbagi atas:

a. TB ekstraparu ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b. TB ekstraparu berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,

peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).

2.2.5. Situs Predileksi dan Gambaran Klinis

Menurut Kreider dan Rossman (2008), situs tersering TB ekstraparu adalah sbb:

- Kelenjar Limfe (44%).

Limfadenitis TB (skrofula) merupakan bentuk paling umum dari TB ekstraparu. Beberapa nodus dapat terlibat, tetapi rantai-rantai servikal dan supraklavikular paling sering terkena. Pasien datang untuk perhatian medis dengan adenopati yang tidak nyeri, yang sering berdrainase secara spontan. Pada tahap awal penyakit, nodus akan padat dan diskret. Pada tahapan penyakit lebih lanjut, nodus akan menjadi lembek dan berfluktuasi. Selain demam, biasanya tidak ada gejala sistemik jika penyakit ini tidak ada di tempat lainnya. Diagnosis adalah dengan peralatan aspirasi jarum halus atau biopsi insisional pada nodus yang terpengaruhi. Pewarnaan BTA dan kultur jaringan nodus biasanya menunjukkan BTA dan organisme M. tuberculosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).

- Rongga Pleura (19%).

(25)

keringat malam, dan penurunan berat badan. Penyakit dapat dalam bentuk akut atau kronik dan sering menyebabkan efusi dan sering menyebabkan efusi yang halus. Efusi umumnya unilateral dan mengiringi penyakit parenkim aktif pada 70% pasien. TB pleura akan berkembang beberapa tahapan penyakit tetapi seringkali muncul sebagai manifestasi penyakit primer dan muncul selama 6 bulan setelah infeksi TB (Fitzpatrick & Braden, 2000).

- Tulang dan/atau Sendi (11%).

Vertebral TB (Pott's disease) terhitung untuk 50-70% dari semua kasus TB tulang, yang bercirikan kifosis and kompresi sumsum tulang belakang, jadi pasien akan bisa mengalami gejala neurologik atau motorik. Vertebra torakal bawah dan lumbal atas merupakan situs tersering dari penyakit. Pasien secara khas mempunyai riwayat 2 minggu sampai 3 bulan mengalami nyeri punggung, demam, dan penurunan berat badan. Abses paravertebral terjadi di antara 50% pasien. Pasien dengan Pott’s disease biasanya mempunyai bukti radiologis dari keterlibatan tulang belakang, dan 50% pasien mempunyai bukti radiologis dari salah satu TB paru lama atau aktif. Diagnosis memerlukan biopsi dan kultur dari tulang yang terinfeksi (Fitzpatrick & Braden, 2000).

TB artritis secara khas bermanifestasikan sebagai sebuah artritis monoartikular dari sendi-sendi yang menopang berat (lutut, pinggul, pergelangan). Nyeri merupakan gejala paling umum, dan pembengkakan dengan rentang pergerakan yang menurun pada sendi yang dapat terlihat. Infeksi diawali trauma pada 25% kasus. Biopsi jaringan sinovial dapat mengandung granuloma, dan hasil kultur adalah positif untuk M. Tuberculosis 60-70% dari waktu itu (Fitzpatrick & Braden, 2000).

- Meninges / Sistem Saraf Pusat (6%).

(26)

penyebaran secara hematogen dari organisme mikobakterial menuju ruang meningeal. Proses ini terjadi dalam berminggu-minggu hingga bertahun-tahun setelah infeksi, dan tampilan TB sistem saraf pusat (SSP) bisa akut ataupun subakut. Penyakit dapat bermanifestasi klinis sebagai meningitis bakterial. Gejal-gejala akut dapat meliputi sakit kepala, demam, atau perubahan status mental. Gejala-gejala lain dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan; meliputi demam, penurunan berat badan, anoreksia, keringat malam, malaise, dan kelumpuhan saraf kranialis. Kelumpuhan nervus VI adalah pertanda TB SSP, tetapi nervus II, III, dan VII juga bisa mungkin bisa dipengaruhi. Pemeriksaan bisa menunjukkan meningismus dan papilledema.

TB SSP dapat berkembang dalam tiga tahapan. Tahap 1 ditandai gejala-gejala nonspesifik dengan sedikit atau tanpa tanda-tanda klinis meningitis. Tahap 2 ditandai perkembangan tanda-tanda meningitis seperti meningismus, letargi, dan kelumpuhan saraf kranialis. Tahap 3 ditandai koma dan gangguan neurologis seperti paralisis (Fitzpatrick & Braden, 2000).

Diagnosis sering dibuat berdasarkan adanya alasan klinis dan keberadaan faktor resiko TB, hasil Tuberculin Skin Test (TST), dan radiograf dada. Pasien dengan TB SSP sering mempunyai respon memuaskan terhadap pengobatan TB jika terapi diawali dengan cepat (sebelum tahap 3). Ini adekuat untuk diagnosis ketika sangkaan klinis tinggi dan hasil studi laboratorium tidak mencukupi untuk mendukung diagnosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).

- Peritoneum dan/atau Usus (5,5%).

(27)

badan, dan malaise. Gejala-gejala dapat menjadi kronik, dan penyakit dapat berkembang menjadi asites atau massa abdominal, yang mungkin adalah omentum yang terkumpul, mesenteri, dan usus; ditemukan di pemeriksaan fisik. Sebanyak 30% dari pasien-pasien mungkin akan mengalami efusi pleura.

- Saluran Genitourinarius (4%).

TB genitourinarius berkembang dengan lamban. Dapat memunculkan tanda dan gejala infeksi lokal dengan sedikit manifestasi sistemik, atau penyakit mungkin saja asimptomatis (Fitzpatrick & Braden, 2000). Keterlibatan saluran genitourinarius mengakibatkan disuria, frekuensi urine, dan gross hematuria dengan atau tanpa nyeri pinggang. Penyakit di antara wanita dapat menyebabkan nyeri pelvik, ketidakteraturan menstruasi, dan infertilitas. Laki-laki dapat mempunyai massa skrotum yang tidak nyeri. Seperlima pasien dengan pyuria dapat mengalami tanpa gejala. Penyakit dicurigai ketika urinalisis menunjukkan sel darah putih dan hematuria tanpa bakteri (Fitzpatrick & Braden, 2000).

Diagnosis dikonfirmasi dengan kultur urine. Hasil kultur urine adalah negatif untuk bakteri yang umum (sterile pyuria) dan positif untuk M. Tuberculosis. Hasil diagnostik yang terbaik dari spesimen pagi hari awal. Tiga spesimen diambil untuk dikultur. Temuan pada IVP (Intravenous Pyelography) biasanya nonspesifik dan sering tidak membantu. Dua pertiga pasien dengan TB genitourinarius mempunyai radiograf dada abnormal yang menunjukkan tanda-tanda penyakit paru aktif atau lama (Fitzpatrick & Braden, 2000).

- Milier (1.8%).

(28)

radiograf dada atau pada spesimen biopsi dari sumsum tulang belakang, hati atau limpa. Penyakit milier biasanya muncul di antara grup berisiko tinggi, meliputi orang-orang dengan infeksi HIV atau penyakit imunosupresif yang lain, penyakit jaringan ikat, atau neoplasma hematologik, orang-orang yang menyalahgunakan alkohol dan mereka yang menjalani pengobatan imunosupresif, termasuk steroid dosis tinggi (Fitzpatrick & Braden, 2000).

Pasien dapat mengalami penyakit ringan selama beberapa minggu atau bulan sebelum mencari perhatian medis. Demam merupakan gejala paling umum pada penyakit milier, tetapi banyak pasien dilaporkan mendapat gejala-gejala nonspesifik seperti malaise, anoreksia, penurunan berat badan, dan keringat malam. Pemeriksaan fisik adalah non-fokal (Fitzpatrick & Braden, 2000).

Diagnosis TB milier ditegakkan berdasarkan riwayat klinis, keberadaan pola milier pada radiograf dada dan hasil kultur positif untuk M. tuberculosis dari darah atau sebuah situs biopsi seperti hati, atau sumsum tulang belakang (Fitzpatrick & Braden, 2000). TST adalah indikator yang insensitif terhadap infeksi M. Tuberculosis sebelumnya di antara orang-orang dengan penyakit milier; hasil telah dilaporkan positif pada 25 - 75% kasus. Pada kasus yang mana diagnosis laboratorium sulit untuk ditegakkan, pengawasan respon klinis terhadap terapi anti-TB dapat membantu. Demam mereda di antara 30% pasien dalam 2 minggu dan di antara 60 - 70% pasien dalam 4 minggu (Fitzpatrick & Braden, 2000). - Dan Lain-lain (11%)

Kulit, Laring, telinga tengah, perikardium, payudara, tiroid, kelenjar ludah, jaringan lunak (Kreider & Rossman, 2008; Sreeramareddy et al., 2008).

2.2.6. Diagnosis

2.2.6.1. Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test

(29)

TB aktif karena berhubungan dengan sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah dan ketidakmampuannya membedakan antara infeksi laten dan infeksi aktif (Raviglione & O’Brien, 2005).

Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat terhadap kuman TB. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman TB, yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi TB (baik yang aktif maupun yang “tidur”) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi sel limfosit di daerah penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut positif, kurang dari 5 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu (false-negative) umum pada pasien yang mengalami imunosupresi dan mereka dengan TB yang membludak. Reaksi positif palsu (false-positive) bisa disebabkan infeksi oleh mikobakterium nontuberkulosis dan oleh vaksinasi bacille Calmette-Guérin (BCG) (Karnadihardja, 2004; Raviglione & O’Brien, 2005).

2.2.6.2. Pemeriksaan Patologi

Tuberkulum biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di sekitar kelompok basil TB. Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran patologi khas TB. Gambaran patologi jaringan hasil biopsi atau sisa jaringan debris pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini pula. Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya meskipun tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang memberikan gambaran hampir sama (Karnadihardja, 2004).

Gejala dan tanda klinis juga khas. Kecuali TB mililer, penyakit TB berkembang lambat tanpa radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut “abses dingin”. (Karnadihardja, 2004)

(30)

banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai produktiva atau sika. Nekrosisnya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga disebut pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa (Karnadihardja, 2004).

Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin karena tidak ada demam umum maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadenitis TB di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal atau lumbal sering mengalirkan nanahnya keluar melalui fasia otot psoas. Pada tempat jaringan nekrosis / keju yang telah keluar itu mungkin terjadi ruang yang disebut kaverne seperti di paru dan ginjal (Karnadihardja, 2004).

2.2.6.3. Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan adanya TB. Sediaan apus untuk identifikasi kuman TB dapat dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Nielsen atau KenyonGabet-Tan. Biakan kuman dilakukan dengan medium L’weinstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung pada letak penyakit (Karnadihardja, 2004).

Oleh karena basil TB sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam sampai delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmut dapat dipakai untuk biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu. Pembelahan sel memerlukan waktu 20-24 jam (Karnadihardja, 2004).

2.2.6.4. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologis TB sering dapat menegakkan diagnosis TB meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis (Karnadihardja, 2004).

2.2.6.5. Diagnosis Terapi Percobaan

(31)

tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi maupun patologi, cara diagnosis ini dapat dilakukan. Efek anti-TB ini paling sedikit baru dapat dinantikan setelah tiga minggu (Karnadihardja, 2004).

2.2.7. Terapi

2.2.7.1. Terapi Obat

Kant (2004) mengatakan TB ekstraparu biasanya paucibasiler dan pengobatan dengan regimen yang efektif pada TB paru kemungkinan efektif dengan sama baiknya pada pengobatan TB ekstraparu. Saat ini telah ditemukan banyak macam anti-TB yang mekanisme kerja dan efek sampingnya berbeda-beda. Umumnya anti-TB aktif terhadap kuman yang sedang giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah lambat. Selain itu, obat-obat ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berada dalam sel makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif dalam suasana asam. Sementara itu, kuman TB mudah resisten terhadap obat-obat ini. Oleh karena itu, kemoterapi TB selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud meningkatkan efek terapinya dan mengurangi timbulnya resistensi (Karnadihardja, 2004).

Untuk menyembuhkan TB diperlukan pengobatan yang lama karena basil TB tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu, kuman yang semidormant, yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman tersebut telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini, kuman yang tidur tetap tidak dapat dijangkau (Karnadihardja, 2004).

(32)

adanya kontraindikasi dan efek samping obat harus jadi pertimbangan (Karnadihardja, 2004).

Efek samping penting yang penting diingat adalah kerusakan N. VIII oleh streptomisin, neuritis perifer oleh INH pada defisiensi vitamin B6, gangguan penglihatan akibat etambutol, dan hepatotoksisitas INH dan rifampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih berat bila kedua obat diberikan bersama-sama (Karnadihardja, 2004).

Untuk bentuk yang parah, lebih cenderung untuk menangani dengan empat obat pada fase intensif awal dan jika diperlukan, total lama pengobatan dapat diperpanjang menjadi 9 bulan. Pasien TB ekstraparu diberikan pengobatan 2H3R3Z3/4H3R3 selama 6 bulan. Bagaimanapun, pada bentuk yang parah

diberikan 2H3R3Z3E3/4H3R3. Pada TB meningeal, pengobatan akan diperpanjang

selama 9 bulan dengan tambahan steroid. Walaupun pengobatan memberikan hasil yang bagus pada kebanyakan bentuk TB ekstraparu, ada beberapa pengecualian, seperti meningitis dan TB spiral yang mana hasil pengobatan tergantung diagnosis awal. Jika, bagaimana pun, TB ekstraparu bersamaan dengan infeksi HIV, idealnya pengobatan anti-retroviral aktif tinggi (HAART / Highly Active Anti-retroviral Treatment) harus diberikan juga. Interaksi antara rifampasin dan komponen HAART perlu untuk diketahui dan diingat juga (Kant, 2004).

2.2.7.2. Terapi Bedah

(33)

2.2.8. Pencegahan dan Pengendalian

Menurut Brooks, Butel, dan Morse (2007), pencegahan dan pengendalian TB secara umum adalah sbb:

1. Pengobatan pasien TB aktif dengan segera dan efektif serta tindak lanjut terhadap kontak mereka melalui uji tuberkulin, foto rontgen sinar X, dan pengobatan yang sesuai dengan saksama adalah tujuan utama pengendalian TB kesehatan masyarakat. Timbulnya kembali penyakit TB menunjukkan bahwa metode pengendalian ini belum dilakukan secara adekuat.

2. Pengobatan obat pada orang asimtomatik yang uji tuberkulinnya positif pada kelompok umur yang paling rentan terhadap timbulnya komplikasi (misalnya, anak-anak) dan orang yang uji tuberkulinnnya positif yang harus menerima obat-obatan imunosupresif sangat mengurangi reaktivasi infeksi.

3. Resistansi seorang pejamu: faktor-faktor nonspesifik dapat mengurangi resistansi pejamu sehingga membantu konversi infeksi asimtomatik menjadi sebuah penyakit. Faktor-faktor tersebut meliputi kelaparan, gastrektomi, dan supresi imunitas selular dengan obat (misalnya, kortikosteroid) atau infeksi. Infeksi HIV adalah faktor resiko utama untuk TB.

4. Imunitas: berbagai macam basil tuberkel avirulen, terutama BCG (bacille Calmette-Guérin, organisme attenuated bovin), telah digunakan untuk menginduksi sejumlah tertentu resistansi pada orang yang sangat terpajan dengan infeksi. Vaksinasi dengan organisme ini, sama dengan infeksi primer dengan basil tuberkel virulen tanpa disertai bahaya di kemudian hari. Vaksin yang tersedia tidak adekuat menurut banyak sudut pandang teknis dan biologis. Walaupun demikian, BCG diberikan kepada anak-anak pada banyak negara. Di Amerika Serikat, BCG hanya diberikan pada orang dengan hasil uji tuberkulin negatif yang sangat terpajan (anggota keluaraga pasien TB , petugas kesehatan). Bukti statistik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan resistansi untuk periode tertentu yang muncul setelah vaksinasi BCG.

(34)

2.3. Pengetahuan

Notoatmodjo (2003) menjelaskan pengetahuan sebagai suatu hasil ‘tahu’, dan hasil ‘tahu’ ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

2. Memahami (comprehension)

Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.

4. Analisis (Analysis)

Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjalarkan materi atau suatu suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

(35)

2.4. Tingkat Pengetahuan terhadap TB Ekstraparu dan TB secara Umum

Tujuan dari edukasi pasien adalah untuk mempengaruhi atau mengubah perilaku kesehatan pasien dengan menyediakan mereka informasi yang memotivasi untuk mengikuti rencana pengobatan. Inti elemen-elemen pengetahuan dari keterkaitannya kepada penghentian penularan penyakit dan ikatannya dengan terapi berhubungan dengan: apakah TB, apakah yang menyebabkannya, bagaimanakah penularannya, tindakan apakah yang dapat diambil untuk membatasi penularannya, bagaimanakah pengobatannya, apa pentingnya mengambil pengobatan secara teratur, selama berapa lama, apa konsekuensi dari menghentikan pengobatan, apa efek samping dan komplikasi yang mungkin dan apakah TB penyakit dapat disembuhkan. Semua ini adalah pesan-pesan edukasi yang penting yang pasien seharusnya ketahui (Mohamed, Yousif, Ottoa, dan Bayoumi, 2007).

Pengetahuan tentang penyakit ini dipercaya menjadi penentu penting dari perilaku menjaga kesehatan dan mencari pertolongan medik sebagaimana halnya keterikatan untuk tindakan pencegahan dan pengobatan. Ketidakterikatan kepada pengobatan sering kali dihasilkan dari ketidakadekuatan pengetahuan atau pemahaman tentang penyakit dan pengobatanya. Sebaliknya, pengetahuan yang lebih besar tentang TB akan meningkatkan penerimaan tindakan pengendalian dengan menghasilkan penurunan penyebaran penyakit (Mohamed, Yousif, Ottoa, dan Bayoumi, 2007).

TB ekstraparu sedang berada dalam peningkatan di seluruh dunia. Keragaman ekstraparu sekarang sedang memulai untuk muncul dari bayangan TB paru. Di negara-negara dengan surveilans data yang baik seperti Amerika Serikat, dimana angka TB paru telah menurun ke tingkat terendahnya pada 2001, statistik mengindikasikan peningkatan relatif kasus ekstraparu dari 16% pada 1992 menjadi 20% pada 2001. Lebih dari 70% pasien positif HIV dengan TB telah mempunyai presentasi ekstraparu, ketika prevalensinya 15-30% orang-orang imunokompeten (Kant, 2004).

(36)

500 (65%) dilaporkan mempunyai stigma TB yang tinggi, 177 (23%) berpengetahuan TB yang rendah, and 379 (49%) berpengetahuan HIV yang rendah. Pasien pasien yang dilaporkan berstigma TB yang tinggi lebih berkemungkinan untuk telah mengambil antibiotik sebelum pengobatan TB, telah melakukan kunjungan pertama ke penyembuhan tradisional, mengetahui bahwa monogami dapat mengurangi resiko mendapatkan infeksi HIV, dan telah dihospitalisasi. Pasien dengan pengetahuan TB rendah lebih berkemungkinan unutk mempunyai penyakit TB yang parah, untuk dihospitalisasi, dirawat di rumah sakit rujukan penyakit infeksi nasional dan mempunyai pengetahuan HIV yang rendah. Pasien dengan pengetahuan HIV rendah lebih berkemungkinan mengetahui seorang pasien TB dan mempunyai pengetahuan TB yang rendah. Adapun kesimpulannya stigma dan pengetahuan spesifik penyakit yang rendah adalah umum di antara pasien TB terinfeksi HIV dan berhubungan dengan faktor yang sama.

Legesse, Ameni, Mamo, Medhin, Bjune dan Abebe (2011) meneliti tentang pengetahuan TB limfadenitis servikal dan pengobatannya di komunitas peternakan di wilayah Afar, Ethiopia. Dari 818 orang terwawancara [357 (43,6%) perempuan and 461 (56,4%) laki-laki], 742 (90,7%) yang dilaporkan bahwa mereka mempunyai pengetahuan tentang TB limfadenitis, menyatakan bahwa pembengkakan di leher yang menghasilkan lesi dan parut adalah gejala umum. Bagaimanapun, hanya 11 (1,5%) individu menyatakan bahwa bakteri atau kuman merupakan agen penyebab TB limfadenitis. Tiga orang yang terwawancara dan seorang diskusiwan laki-laki menyatakan meminum susu mentah sebagai penyebab TB limfadenitis. Proporsi yang sangat banyak (34,2%) dari orang-orang terwawancara dan hampir semua diskusiwan mengesankan pengobatan herbal sebagai pengobatan yang efektif. Partisipan studi laki-laki adalah 1,82 kali lebih berkemungkinan untuk mempunyai pengetahuan menyeluruh tentang TB limfadenitis daripada partisipan studi perempuan.

(37)
(38)

Masyarakat Kelurahan

Badak

Pengetahuan Penyakit

TB

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN

DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

3.2. Definisi Operasional

1. Masyarakat Kelurahan Badak Bejuang: semua warga, baik laki-laki maupun perempuan, yang berumur di atas 17 tahun bertempat tinggal di Kelurahan Badak Bejuang dan dapat berbahasa Indonesia.

2. Pengetahuan: kemampuan responden mengenal, memahami dan mengetahui TB ekstraparu, dari segi etiologi, cara penularan, gejala klinis (berdasarkan tempat predileksi), pemeriksaan, pengobatan dan pencegahan. 3. TB ekstraparu: tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain

paru, misalnya, kelenjar limfe, selaput otak, tulang, usus, ginjal, dan lain-lain.

4. Cara Ukur : Angket

5. Alat Ukur: Kuesioner, diajukan pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban (MCQ).

(39)

diberikan kepada responden menggunakan skala pengukuran Pratomo (1986) dibagi menjadi tiga kategori yaitu:

• Pengetahuan baik apabila jawaban responden yang benar lebih dari 75% dari nilai tertinggi.

• Pengetahuan sedang apabila jawaban responden yang benar antara 40% sampai 75% dari nilai tertinggi.

• Pengetahuan kurang apabila jawaban responden yang benar kurang dari 40% dari nilai tertinggi.

(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitik yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap TB ekstraparu, distribusi tingkat pengetahuan masyarakat berdasarkan jenis kelamin dan umur, serta distribusi proporsi jenis kelamin dan umur berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cross-sectional, yaitu pengamatan terhadap sekumpulan obyek dalam jangka waktu tertentu.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2011.

4.2.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Kelurahan Badak Bejuang, Kecamatan Tebing Tinggi Kota, Kotamadya Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih karena masyarakatnya yang sangat heterogen bila ditinjau dari segi tingkat pendidikan, sosial budaya, dan tingkat ekonomi. Kelurahan ini merupakan salah satu kelurahan dengan populasi penduduk terbanyak di kota tersebut.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

(41)

4.3.2. Sampel

Cara pemilihan sampel untuk penelitian ini adalah dengan melakukan accidental sampling dimana pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil responden yang kebetulan ada atau tersedia. Sampel dihitung dengan menggunakan rumus di bawah (Notoatmodjo,2005):

.

N n = 1+ N(d2)

keterangan :

N = besar populasi

n = besar sampel

d = tingkat kepercayaan yang diinginkan

Dengan menggunakan rumus tersebut, perhitungan sampel untuk masyarakat Kelurahan Tebing Tinggi adalah seperti berikut:

3381 n =

1+ 3381(0.102)

3381 n =

1+ 3381(0.01)

3381 n =

34.81

n = 97.12

n ≈ 100 orang

(42)

4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini merupakan semua masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, yang berusia di atas 17 tahun bertempat tinggal di Kelurahan Badak Bejuang dan dapat berbahasa Indonesia. Kriteria eksklusi merupakan masyarakat yang buta huruf dan yang menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

4.4.1. Data Primer

Data primer pada penelitian ini diperoleh melalui kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian yang disebarkan pada responden yang memenuhi kriteria inklusi.

4.4.2. Data Sekunder

Pada penelitian ini, data sekunder merupakan jumlah masyarakat Kelurahan Badak Bejuang dan dikumpul terlebih dahulu untuk menentukan jumlah populasi dalam penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Badak Bejuang.

4.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas

(43)

dalam penelitian yang sebenar. Hasilnya dinilai dengan menggunakan Pearson’s Correlation. Jika r hitung melebihi r tabel, maka pertanyaan tersebut

valid. Jika pertanyaan tersebut tidak valid, maka pertanyaan harus dikeluarkan dari kuesioner. Pada penelitian ini, uji validitas telah dilakukan pada masyarakat Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru. Kuesioner yang diberikan terdiri dari 15 soalan. Setelah dilakukan uji validitas, didapati 15 soalan yang valid.

Uji reliabilitas dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama. Uji reliabilitas telah dilakukan sebelum pengumpulan data terhadap 15 orang responden. Uji reliabilitas dihitung dengan menggunakan Cronbach’s Alpha. Jika nilai alpha lebih besar dari nilai r tabel, maka kuesioner bisa dikatakan sebagai reliabel. Pada penelitian ini, didapati semua pertanyaan yang valid mempunyai hubungan yang cukup erat dengan nilai alpha melebihi 0,6.

4.5. Ethical Clearance

Penelitian ini sudah mendapatkan persetujuan etika dari Komiti Etik Kesehatan dan Kedokteran FK USU.

4.6. Pengolahan dan Analisis Data

(44)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Proses pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan dengan pembagian kuesioner yang telah diisi oleh responden di tempat tanpa dibawa pulang. Hasil kuesioner yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis, sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap penyakit tuberkulosis (TB) ekstraparu dilaksanakan di sepanjang Jalan Sudirman, Kelurahan Badak Bejuang, Kecamatan Tebing Tinggi Kota, Kotamadya Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

[image:44.595.136.511.590.676.2]

Dalam penelitian ini, karakteristik yang diamati pada responden meliputi umur dan jenis kelamin pada responden. Jumlah responden adalah sebanyak 100 orang.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden yang Mengikuti Penelitian

Jenis Kelamin Jumlah %

Laki-laki

Perem puan

52

48

52

48

Total 100 100

(45)
[image:45.595.143.511.133.322.2]

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Umur Responden yang Mengikuti Penelitian

Umur Jumlah %

<21

21-30

31-40

41-50

51-60

61-70

>70

24

55

5

3

10

2

1

24

55

5

3

10

2

1

Total 100 100

(46)

5.1.3. Hasil Analisis Data

[image:46.595.145.510.215.732.2]

Data lengkap distribusi jawaban responden pada semua 15 soal kuesioner dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Pertanyaan

Pertanyaan

Jaw aban

Benar Salah

Jumlah % Jumlah %

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

Definisi penyakit TB secara um um

Et iologi penyakit TB ekst raparu

Cara penularan infeksi TB ekst raparu

Tem pat predileksi penyakit TB

ekst raparu

Fakt or risiko TB ekst raparu

Gejala klinis TB kelenjar get ah

bening

Gejala klinis TB m eningeal

Gejala klinis TB t ulang

Cara penularan TB usus

Tem pat predileksi TB m ilier

Pem eriksaan pada penyakit TB

ekst raparu

Lam a pengobat an penyakit TB

ekst raparu

Efek sam ping pengobat an penyakit

TB ekst raparu

Pencegahan penyakit TB ekst raparu

secara um um

Pencegahan penyakit TB ekst raparu

(47)
[image:47.595.147.509.334.441.2]

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan benar oleh responden adalah pertanyaan nomor 1 yaitu dengan persentase sebesar 91% (91 orang). Pertanyaan yang paling sedikit dijawab dengan benar oleh responden adalah pertanyaan nomor 5 yaitu dengan persentase sebesar 33% (33 orang). Kesimpulan dapat dibuat bahwa tingkat pengetahuan responden terhadap definisi penyakit TB secara umum adalah baik. Tingkat pengetahuan responden terhadap faktor risiko penyakit TB ekstraparu adalah kurang.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Penyakit TB Ekstraparu Secara Umum

Tingkat Pengetahuan Jumlah %

Baik (>11) Sedang (6-11) Kurang (<6) 8 85 7 8 85 7

Total 100 100

Dari tabel 5.4, dapat dilihat bahwa 8 responden (8%) berada dalam kategori tingkat pengetahuan yang baik terhadap penyakit TB ekstraparu, 85 responden (85%) berada dalam kategori tingkat pengetahuan sedang dan sebanyak 7 responden (7%) berada dalam kategori tingkat pengetahuan kurang terhadap penyakit TB ekstraparu.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Responden

Jenis

Kelamin

Tingkat Pengetahuan

Total Baik (>11) Sedang (6-11) Kurang (<6)

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Laki-laki Perem puan 2 6 2 6 46 39 46 39 4 3 4 3 52 48 52 48

[image:47.595.150.512.613.745.2]
(48)
[image:48.595.149.513.292.523.2]

Dari tabel 5.5 di atas dapat dilihat bahwa paling banyak responden dalam golongan tingkat pengetahuan baik adalah perempuan sebanyak 6 orang (6%). Responden terbanyak dalam kategori tingkat pengetahuan sedang adalah laki-laki sebanyak 46 orang (46%). Jumlah responden dalam tingkat pengetahuan kurang terbanyak adalah laki-laki sebanyak 4 orang (4%).

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Umur Responden

Umur

Tingkat Pengetahuan

Total Baik (>11) Sedang (6-11) Kurang (<6)

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

<21 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 >70 1 6 0 1 0 0 0 1 6 0 1 0 0 0 23 47 4 2 7 2 0 23 47 4 2 7 2 0 0 2 1 0 3 0 1 0 2 1 0 3 0 1 24 55 5 3 10 2 1 24 55 5 3 10 2 1

Total 8 8 85 85 7 7 100 100

(49)

5.2.Analisis Statistik

[image:49.595.133.518.230.331.2]

Distribusi proporsi jenis kelamin dan umur responden berdasarkan tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Kurang-Sedang Baik 50 2 50 2 42 6 42 6 92 8 92 8

df=1 p=0,110

Berdasarkan tabel 5.7, dapat dilihat bahwa proporsi tingkat pengetahuan kurang-sedang responden tertinggi pada laki-laki 50%. Proporsi tingkat pengetahuan baik responden tertinggi pada perempuan 6%.

Berdasarkan hasil analisis statistik Fisher’s exact test, diperoleh nilai (p>0.05), berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi jenis kelamin responden berdasarkan tingkat pengetahuan.

Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Umur Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Tingkat Pengetahuan

Umur

Total <21-40 >40

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Kurang-Sedang Baik 77 7 77 7 15 1 15 1 92 8 92 8

df=1 p=0,624

[image:49.595.132.518.542.645.2]
(50)

Berdasarkan hasil analisis statistik Fisher’s exact test, diperoleh nilai (p>0.05), berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi umur responden berdasarkan tingkat pengetahuan.

5.3. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan diatas dapat dilakukan pembahasan seperti berikut. Ternyata bahwa mayoritas responden yang mengikuti penelitian memiliki tingkat pengetahuan yang sedang yaitu sebanyak 85 orang (85%), diikuti dengan reponden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 8 orang (8%) dan yang dengan tingkat pengetahuan yang kurang yaitu sebanyak 7 orang (7%). Hal ini mungkin disebabkan karena informasi tentang penyakit TB ekstraparu yang diterima di dalam maupun di luar lingkungan Kelurahan Badak Bejuang adalah sangat sederhana, yaitu mungkin disebabkan minimnya kesempatan masyarakat mendapatkan informasi mengenai penyakit ini karena kesibukan pekerjaan dan rutinitas sehari-hari masyarakat. Ini menyebabkan paling banyak responden tergolong dalam tingkat pengetahuan yang sedang terhadap penyakit ini.

Dari hasil penelitian juga telah didapati bahwa 91% dari jumlah responden mengetahui bahwa penyakit TB merupakan suatu penyakit infeksi, 88% mengetahui bahwa vaksin untuk mencegah TB paru dan ekstraparu adalah vaksin BCG, dan 86% mengetahui bahwa dengan melakukan imunisasi anti-TB dan selalu menjaga pola hidup sehat dapat mencegah penyakit TB paru dan ekstraparu. Ini mungkin disebabkan oleh usaha yang baik pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit TB dan pencegahannya melalui vaksinasi dan promosi pola hidup sehat.

(51)

menganggap penyakit TB (paru dan ekstraparu) disebabkan oleh bakteri. Ini mungkin adalah karena masyarakat kelurahan ini belum terlalu akrab dengan kosa kata ‘bakteri’ sehingga kosa kata ini belum umum dipakai dalam pergaulan sehari-hari masyarakat. Sebanyak 61% dari jumlah responden menganggap selaput pleura, kulit, ginjal, jantung, tulang, dan otak bukanlah tempat predileksi yang lain (selain paru) untuk penyakit TB. Ini mungkin disebabkan oleh minimnya pengalaman masyarakat melihat dan mendengar kejadian penyakit TB ekstraparu di lingkungan sekitar mereka.

Ada pun hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat yang sedang terhadap cara penularan infeksi TB ekstraparu, lama pengobatan penyakit TB ekstraparu, tempat predileksi TB milier, pemeriksaan pada penyakit TB ekstraparu, gejala klinis TB meningeal, gejala klinis TB kelenjar getah bening, gejala klinis TB tulang, cara penularan TB usus, dan efek samping pengobatan penyakit TB ekstraparu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai poin-poin ini dijawab betul oleh para responden dengan persentase sebesar antara 46-75%. Hal ini menunjukkan informasi yang diterima masyarakat mengenai poin-poin ini mencukupi, penyuluhan dan edukasi perlu diupayakan untuk meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat menjadi lebih baik lagi.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel tingkat pengetahuan responden berdasarkan umur, responden terbanyak pada tingkat pengetahuan baik adalah pada umur antara 21-30 tahun. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mohamed, Yousif, Ottoa dan Bayoumi (2007) di Omdurman, Sudan tentang pengetahuan pasien TB paru dan ekstraparu tentang TB dan talaksananya menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan menurun seiring dengan pertambahan usia. Hal ini mungkin dikarenakan responden dalam kelompok umur yang lebih muda ini lebih aktif mencari informasi tentang kesehatan, baik dari pergaulan sehari-hari, media massa, atau pun media elektronik.

(52)

di Omdurman, Sudan tentang pengetahuan pasien TB paru dan ekstraparu tentang TB dan pengobatannya. Hasil ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Legesse, Ameni, Mamo, Medhin, Bjune dan Abebe (2011) meneliti tentang pengetahuan TB limfadenitis servikal dan pengobatannya di komunitas peternakan di wilayah Afar, Ethiopia. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa laki-laki lebih berpengetahuan dibanding perempuan.

(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Badak Bejuang terhadap penyakit tuberkulosis (TB) ekstraparu menunjukkan: 1. 8% mempunyai tingkat pengetahuan yang baik, 85% mempunyai tingkat

pengetahuan yang sedang, dan 7% yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang.

2. Dari segi pengetahuan tentang etiologi TB ekstraparu, hanya terdapat 37% dari jumlah responden yang mengetahui penyakit TB ekstraparu disebabkan oleh bakteri.

3. Dari aspek cara penularan cara penularan infeksi TB ekstraparu, 75 % mengetahui penyakit ini dapat menular melalui percikan ludah ataupun percikan dahak yang terhirup, tetapi hanya 33% yang mengetahui penderita HIV/AIDS merupakan faktor risiko utama dan 48% yang mengetahui TB usus bisa ditularkan melalui susu sapi yang terkontaminasi bakteri ini. 4. Dari aspek gejala klinis berdasarkan tempat predileksi TB ekstraparu,39%

mengetahui basil TB juga bisa menyerang bagian tubuh lain, seperti selaput pembungkus paru, kulit, ginjal, jantung, tulang, otak, dll. 53% mengetahui bahwa benjolan di leher adalah gejala klinis TB limfadenitis. 55% mengetahui bahwa demam, nyeri kepala, kaku kuduk, penurunan kesadaran adalah gejala klinis TB meningeal. 50% mengetahui bahwa badan bungkuk, nyeri punggung, gangguan persarafan adalah gejala klinis TB tulang. 64% mengetahui TB bisa menyebar ke seluruh tubuh secara hematogenik (TB milier).

5. Dari segi pemeriksaan pada TB ekstraparu, 58 % mengetahui bahwa pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan bakteriologi dan foto Rontgen adalah pemeriksaan untuk penyakit ini.

(54)

gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, dan gangguan ginjal adalah efek samping obat anti-TB.

7. Dari segi pencegahan, 86% mengetahui pengambilan imunisasi dan selalu menjaga pola hidup sehat dapat mencegah infeksi penyakit ini dan sebanyak 88% mengetahui bahwa vaksin untuk TB adalah BCG.

8. Perempuan mempunyai persentase tingkat pengetahuan baik yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

9. Responden yang berusia 21-30 tahun mempunyai tingkat pengetahuan baik yang terbanyak dengan persentase 6%.

10. Tidak ada perbedaan proporsi jenis kelamin dan umur responden berdasarkan tingkat pengetahuan.

6.2. Saran

Dari hasil penelitian yang didapat, maka muncul beberapa saran dari peneliti, yaitu:

1. Masukan kepada Dinas Kesehatan:

Diharapkan Dinas Kesehatan setempat akan meningkatkan upaya edukasi dan penyuluhan di kalangan masyarakat supaya dapat meningkatkan lagi tingkat pengetahuan mereka menjadi lebih baik.

2. Masukan kepada masyarakat / responden:

Masyarakat sebaiknya lebih meningkatkan lagi pengetahuan mereka tentang TB ekstraparu dengan lebih aktif lagi dalam mencari dan membahas informasi mengenai TB ekstraparu.

3. Masukan kepada peneliti-peneliti selanjutnya:

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., Bahar, A., 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K, M.S., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Internal Publishing, 988-994.

Beek, L.A.M., Werf, M.J.v.d, Richter, C., Borgdorff, M.W, 2006. Extrapulmonary Tuberculosis by Nationality, the Netherlands, 1993–2001. Available from : http://www.cdc.gov/ncidod/eid/vol12no09/05-0553.htm [Accessed on 25 March 2011].

Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A., 2007. Mikobakterium. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Edisi 23. Jakarta: EGC, 325-337 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.

Fitzpatrick, L.K., Braden, C.

Gambar

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden yang Mengikuti
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Umur Responden yang Mengikuti Penelitian
Tabel 5.3 Distribusi Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Pertanyaan
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Responden
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dan sikap orang tua tentang penyakit tuberkulosis paru dengan kejadian TB pada anak di

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit tuberkulosis paru di kelurahan

TB terhadap pengetahuan masyarakat tentang TB (p=0,021), tapi tidak ada pengaruh yang signifikan dari program TB terhadap sikap masyarakat terhadap TB (p=0,307). Kata kunci

Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat tentang Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat.. Assessment of

Hasil analisis bivariat didapatkan adanya hubungan pengetahuan responden dengan perilaku pencegahan penyakit TB Paru dengan nilai p = 0,009 dan ada hubungan antara sikap

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tentang hubungan tingkat pengetahuan keluarga tentang TB Paru terhadap perilaku pencegahan penularan penyakit TB

Berdasarkan latar belakang diatas, Tuberculosis (TB) pada anak merupakan penyakit yang diakibatkan karena terlutarnya infeksi virus dari orang dewasa

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penyuluhan menggunakan metode ceramah dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap penyakit TB pada jamaah Pengajian Ahad