• Tidak ada hasil yang ditemukan

Atrial Fibrilasi Pascatindakan Bedah Jantung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Atrial Fibrilasi Pascatindakan Bedah Jantung"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Yutu Solihat, Akhyar H. Nasution, Henry Panjaitan

Departemen Anestesiologi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/ RSUP Haji Adam Malik, Medan

Abstrak: Paska-operasi atrial fibrilasi (POAF) merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai setelah tindakan bedah jantung. Penelitian sebelumnya mengungkapkan kejadian POAF antara 20-50%. Kejadian POAF meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini, hal ini berhubungan dengan umur penderita yang menjalani tindakan bedah jantung. Patofisiologi POAF setelah operasi jantung belum diketahui secara pasti, namun dikatakan bahwa mekanismenya merupakan multifaktorial.1,2. Tujuan dari tulisan ini adalah menerangkan mengenai faktor resiko, mekanisme, pencegahan serta pengobatannya POAF.

Kata kunci: POAF, cardiac surgery

Abstract: Post operative atrial fibrilation was most common complication after cardiac surgery. From previous research the incidence of POAF is approximately 20–50%. The incidence of POAF increase in this past decade, this related to the patient age who performing cardiac surgery. The pathophysiology of POAF is still unknown for sure, but it is said that the mechanism is multifactorial.1-2

Keywords: pascaoperasi atrial fibrilasi, operasi jantung

INSIDENSI DAN DAMPAK KLINIS

Kejadian POAF ± 30% setelah operasi CABG (coronary artery bypass grafting), 40% setelah operasi pergantian atau perbaikan katub, dan meningkat menjadi 50% bila tindakan kombinasi. Kejadian ini diperkirakan akan meningkat di kemudian hari, oleh karena populasi pasien yang menjalani prosedur bedah jantung berusia tua dan kejadian AF berkorelasi kuat dengan umur.1-4

POAF cenderung muncul dalam 2-4 hari setelah tindakan, dan mencapai puncaknya pada hari ke-2 pascaoperasi. Tujuh puluh persen terjadi sebelum hari keempat dan 94% sebelum akhir hari ke 6 paskah operasi.1,2

Meskipun biasanya dapat ditoleransi dengan baik, POAF dapat mengancam jiwa, khususnya bila terjadi pada pasien usia lanjut dan adanya disfungsi ventrikel kiri. POAF telah dilaporkan sebagai kejadian morbiditas utama, bersamaan dengan peningkatan resiko tromboemboli dan stroke, gangguan hemodinamik, disritmia ventrikel, dan komplikasi iatrogenik. Resiko stroke perioperatif ± 3 kali lebih sering pada POAF. Almassi dkk, menemukan bahwa pada 3855 pasien bedah jantung, angka kematian (6% vs

3%) dan angka kematian dalam 6 bulan (9% vs 4%) pada penderita POAF.1

Dampak POAF pada lamanya rawat inap penderita memanjang 4.9 hari, dengan pengeluaran ekstra U$ 10.000-11.500 di Amerika Serikat. Menurut American Heart Association (AHA), pada tahun 2004, dari 640.000 pasien bedah jantung, insiden POAF mencapai 30% dan biaya ekstra yang harus dikeluarkan mencapai U$ 2 juta milyar/tahun.1-3

FAKTOR RESIKO

(2)

terakhir ini berperan sebagai substrate potensial terjadinya POAF.1-3

Selain faktor umur, banyak faktor yang telah diidentifikasikan termasuk: riwayat AF sebelumnya, berjenis kelamin pria, penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, pembesaran atrium kiri, operasi katup jantung, penyakit paru obstruktif kronis, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus, dan penyakit jantung rematik. Penelitian terbaru mengatakan, obesitas merupakan prediktor bebas terjadinya AF onset baru pada populasi umum dan pada penderita yang menjalani operasi jantung. Obesitas merupakan faktor resiko yang kuat timbulnya POAF setelah operasi CABG terutama pada usia di atas 50 tahun, namun pada umur lebih muda belum ada penelitiannya. Sindroma metabolik merupakan faktor independen metabolik satu-satunya terjadinya POAF pada usia muda.1-3

PATOFISIOLOGI DAN MEKANISME Mekanisme yang mendasari terjadinya POAF melibatkan banyak faktor, namun tidak semua faktor dapat diterangkan secara jelas. Beberapa mekanisme penyebab antara lain adalah inflamasi perikardial, produksi katekolamin yang berlebihan, ketidak-seimbangan autonomik selama periode pascaoperasi, dan perubahan cairan interstisial yang mengakibatkan perubahan volume, tekanan dan rangsangan neurohumoral. Faktor-faktor ini dapat mengganggu refraktori atrium dan memperlambat konduksi atrium . Multiple re-entry wavelets akibat dari dispersi (penyebaran) refraktori atrium merupakan mekanisme elektrofisiologis terjadinya POAF. 1-7

Tetapi, ada satu yang masih menjadi pertanyaan, mengapa ada respon supseptibilitas interindivu timbulnya POAF.

Pre-disposing factors: -Advanced age

-Hypertension -Obesity

-Metabolic syndrome -Left atrial enlargement -Diastolic dysfunction -Left vent.hypertrophy -Genetic predisposition

Intraoperative factors: -Surgical atrial injury -Atrial ischemia -Pulmonary vein vent -Venous cannulation -Acute volume changes

-Inflammation -Oxidative stress

Dispersion of atrial refractoriness

Atrial electrophysiological substrate Atrial structural substrate

Triggers:

-Atrial premature contractions -Imbalance of autonomic nervous system

-Electrolyte imbalance (hypomagnesemia, hypokalemia)

Multiple re-entry wavelets

POAF

[image:2.595.135.480.371.740.2]
(3)

Salah satu jawabannya adalah pasien yang memiliki substrate struktural sebelum operasi lebih cenderung terjadi re-entri elektrikal atrium dan lebih mudah terkena gangguan fisiologi yang dijumpai pascaoperasi. Penjelasan lain adalah struktural substrate ini merupakan hasil dari prosedur operasi itu sendiri. Sangat mungkin gangguan struktur jantung ini akibat insisi atrium atau iskemia perioperatif yang meningkatkankan suseptibilitas gangguan irama.1,2,5-7

Aktifasi neurohormonal telah diketahui dapat meningkatkan suseptibilitas terjadinya POAF. Peningkatan aktifasi simpatis dan aktifasi mengganggu refraktori atrium (pemendekan periode refrakter efektif atrium), kemungkinan dapat memberikan konstribusi terjadinya substrat aritmia. Hoque dkk telah melaporkan, pasien POAF dengan variasi RR interval tinggi atau rendah, peningkatan rangsang simpatis atau tonus vagal muncul sebelum onset aritmia. Penemuan ini menduga intervensi yang mengatur baik simpatis dan parasimpatis dapat memberikan keuntungan dalam menekan terjadinya aritmia pascaoperasi.1,2

Adanya peningkatan proses inflamasi memainkan peranan penting dalam patogenesis POAF. Dua penelitian terbaru menunjukkan inflamasi dapat mengganggu konduksi atrium, memfasilitasi re-entri dan merupakan predisposisi terbentuknya POAF. Extracorporeal circulation yang ditandai dengan adanya respon inflamasi sistemik, juga bertanggungjawab terhadap timbulnya POAF. Juga telah dilaporkan leukositosis, yang biasanya didapati beberapa hari setelah cardiopulmonary bypass, merupakan prediktor bebas terjadinya POAF.1,2,4

Obesitas berhubungan dengan kebutuhan yang lebih besar atas curah jantung, masa ventrikel kiri , ukuran atrium kiri. Semua ini juga merupakan predisposisi timbulnya POAF.1

Selain hal-hal yang telah disebut tadi, mekanisme lain yang juga berhubungan dengan terjadinya POAF, antara lain adalah: kelebihan volume, predisposisi genetik yang diukur dengan adanya variant gene promotor interleukin-6, gangguan stress oxidatif atrium, dan peningkatan ekspresi dari gap-junctional protein connexin 40. 1

PENCEGAHAN

(4)
[image:4.595.64.529.103.278.2]

Tabel 1.

Adapted from ACC/AHA/ESC 2006 guidelines for the management of AF after cardiac surgery

Indication Class I -Unless contraindicated, treatment with an oral beta-blocker drug to prevent POAF is recommended for patients undergiong cardiac surgery

-Administration of AV nodal blocking agents is recommended to achieve rate control in patients who develop POAF

A

B

Indication Class II -Pre-operative administration of amiodarone reduces the incidence of AF in patients undergoing cardiac surgery and represents appropiate prophylactic therapy for patients at high risk for POAF

-It is reasonable to restore sinud rhythm by pharmacologic cardioversion with ibutilide or direct-current cardioversion in patients develop POAF, as advised for nonsurgical patients

-It is reasonable to administer antiarrhythmic medications in attemp to maintain sinus rhythm in patients with recurrent or refractory POAF, as recommended for other patients who develop AF

-It is reasonable to administer antithrombotic medication in patients who develop POAF, as recommended for nonsurgical patients

A

B

B

B

Indication Class III - Prophylactic administration of sotalol might be considered for patients at risk of developing AF after cardiac surgery

B

Penyekat beta. Merupakan obat yang paling banyak diteliti sampai sat ini. Peningkatan aktivitas simpatis yang meningkat pada penderita pascaoperasi jantung memungkinkan untuk terjadinya POAF. Hampir semua penelitian menunjukkan penurunan kejadian POAF dengan penggunaan penyekat beta. Suatu metaanalisis yang dilakukan Crystal dkk, menunjukkan pada 28 penelitian dengan penyekat beta (4074 sampel) menunjukkan penurunan kejadian POAF. (OR 0.35). Para peneliti menganjurkan untuk tidak menghentikan pemberian penyekat beta sebelum operasi jantung.1-7

Sotalol. Merupakan golongan penghambat beta yang juga mempunyai efek antiaritmia golongan III. Banyak studi yang telah mengevaluasi pemberian sotalol sebagai profilaksis dalam pencegahan POAF. Bahkan dalam penelitian Burgess dkk, ditemukan bahwa sotolol lebih efektif dari penyekat beta yang lain, namun efek bradikardi dan hipotensinya juga lebih tinggi.1-7

Amiodarone. Merupakan antiaritmia golongan III, yang juga memiliki efek menghambat alpha dan beta adrenergik sehingga menekan stimulasi yang berlebihan pada sistem simpatis. Pemberian amiodarone sekurangnya 1 minggu pre-operatif secara signifikan mengurangi kejadian POAF dibandingkan dengan plasebo (25% vs 53%). Pada penelitian ARCH (Amiodarone Reduction in Coronary Heart), pemberian amiodarone intravena pascaoperasi

Atrial Pacing. Manfaat atrial pacing untuk mencegah POAF didasarkan pada pacing akan mempengaruhi konduksi intra-arterial dan arterial refraktori. Ada beberapa mekanisme bagaimana pacing atrial dapat mencegah POAF1-7

:

1. Mereduksi bradikardia-induced dispersion atrial repolarisasi, yang memberikan konstribusi terbentuknya substrat elektrofisiologi untuk terjadinya AF

2. Menekan overdrive atrial, sehingga mencegah atrial premature beat dan supraventrikular premature beat, sehingga mencegah terangsangnya AF

3. Pemakaian dual-site arterial pacing akan merubah bentuk gelombang atrial yang teraktifasi, sehingga mencegah terbentuknys intra-arterial re-entri

Digoxin. Pemakaian digoxin sebagai pencegahan POAF telah ditinggalkan oleh karena tidak efektif. Metaanalisis terbaru menemukan bahwa pemakaian digoxin pre-operatif tidak efektif menurunkan kejadian POAF.1-4

Calcium-channel bloker. Pemakaian obat ini mengurangi resiko terjadinya supraventricular takiaritmia. Namun pada beberapa studi ditemukan terjadinya peningkatan insidensi AV blok dan sindroma low output, yang berhubungan dengan efek kronotropik dan inotropik negatif.1,2,4,7

(5)

40 mg perhari dimulai pada 7 hari sebelum operasi jantung elektif dan dilanjutkan setelah paskah operasi menurunkan nangka kejadian hinga 61%.1

Anti inflamasi. Pada studi yang dilakukan Cheruku dkk, pada pasien CABG yang diberikanya ketorolac 30 mg intravena setiap 6 jam sampai kemudian diganti dengan ibuprofen oral 600 mg setiap 8 jam (bila telah mampu peroral). Hasil penelitian menunjukkan, AF timbul pada 28.6% pada plasebo berbanding 9.8% pada konvensional group. Mereka menyimpulkan pemberian anti inflamasi nonsteroid efektif dalam menurunkan kejadian AF setelah CABG. Akan tetapi rasio perbandingan antara resiko dan keuntungannya untuk pemberian propilaksis belumlah jelas, karena bila diberikan terutama pada penderita usia lanjut dapat menimbulkan nefrotoksik.1

Pada penelitian lain pemberian hydrocortisone 100 mg pada pasien apakah operasi jantung, timbulnya POAF dalam 84 jam pertama lebih rendah dibandingkan plasebo (30% vs 48%).1,2

PENGOBATAN

Managemen komorbid (misalnya hipoksia) dan koreksi atas ketidakseimbangan elektrolit (khususnya Kalium dan Magnesium) merupakan bagian dari strategi pencegahan dan pengobatan POAF. Meskipun POAF dapat bersifat sementara dan umumnya self-limiting, pengobatan diindikasikan pada keadaan1-4

:

- Timbulnya simptom - Hemodinamik tidak stabil

- Terjadi iskemik atau gagal jantung.

Penatalaksanaan konvensional meliputi: - Mencegah terjadinya tromboembolik - Mengkontrol respon ventrikel

- Mengembalikan dan menjaga agar irama sinus.

Rate control. Periode pascaoperasi biasanya ditandai dengan peningkatan stress adrenergik, sehingga sulit untuk mengkontrol denyut jantung pada POAF. Obat penyekat beta kerja pendek merupakan pilihan utama, khususnya pada penyakit jantung iskemik, namun preparat ini relatif kontraindikasi terhadap terhadap pasien dengan asma atau penyakit brokospasma, gagal jantung, atau AV blok (Tabel 2). Sebagai gantinya dapat diberikan nondihydropyridine calcium channel blocker (AV nodal blocking agent). Digoxin kurang efektif diberikan saat tonus adrenergik tinggi tetapi dapat digunakan pada gagal jantung kongesti. Amiodarone juga efektif untuk mengontrol denyut jantung, pemberian secara intravena meningkatkan status hemodinamik.1-7

(6)
[image:6.595.63.533.104.259.2]

Table 2.

Dosage, adventage, and side effects of drugs used for rate control in POAF

Drugs Adult Dosage Advantage Side Effects Digoxin 0.25-1.0 mg IV then 0.125-0.5

mg/day IV/PO

Can be used in HF Nausea, AVB moderate effect in POAF

Beta-blocker drugs

- Esmolol

- Atenolol

- Metoprolol

500 ug/kg over 1min then 0.05-0.2 mg/kg/min

1-5 mg IV over 5 min repeat after 10 min then 50-100 mg bid PO 1-5 mg IV over 2 min then 50-100 mg bid PO

Short acting effect and short duration

Rapid onset of rate control(IV)

Rapid onset of rate control(IV)

Might worsen CHF; can cause bronchospasm, hypotension; AVB

Calcium CB

- Verapamil

- Diltiazem

2.5-10 mg IV over 2 min then 80-120 mg/day bid PO

0.25 mg/kg IV over 2 min then 5-15 mg/h IV

[image:6.595.64.535.240.685.2]

Short acting effect Migh worsen CHF, AVB

Table 3.

Dosage, advantage, and side effects of drugs used for rhythm control in POAF Drugs Adult Dosage Advantages Side Effects

Amiodarone 2.5-5 mg/kg IV over 20 min then 15 mg/kg or 1.2 g over 24 h

Can be used in patients with severe LVdysfunction

Thyroid and hepatic dysfunction, torsades de pointes, pulmonary fibrosis,photosensitivity,bradycardia Procainamide 10-15 mg/kg IV up to 50

mg/min

Therapeutic level quickly achieved

Hypotension,fever,accumulates in renal failure, worsen HF, requires drug level monitoring

Ibitulide 1 mg IV over 10 min, can repeat after 10 min if no efect

Easy to use Torsades de pointes more frequent

than amiodarone and procainamide

Electrical cardioversion. Merupakan penatalaksanaan segera bila dijumpai adanya ketidakstabilan hemodinamik, gagal jantung akut, atau iskemik jantung dan digunakan

(7)

dari 48 jam. Untuk kasus nonsurgical, diberikan antikoagulant 3-4 minggu sebelum kardioversi pada AF yang telah berlangsung selama 48 jam. Pada kasus post operatif sebaiknya dilakukan pemeriksaan transoesophageal ekokardiografi untuk mengetahui adanya trombus sebelum dilakukan kardioversi. Setelah kardioversi akan terjadi ’atrial stunning’, untuk itu direkomendasikan pemberian antikoagulant 3-4 minggu setelah AF kembali ke irama sinus.1-4,7

Pencegahan thromboemboli. POAF berkaitan dengan adanya kejadian stroke perioperatif. Pemberian antikoagulant diyakini dapat menurunkan angka kejadian. Namun pemberian antikoagulant pascaoperasi dapat meningkatkan resiko perdarahan atau tamponade jantung. Resiko perdarahan dapat meningkat dibandingkan keuntungannya

untuk mencegah stroke terutama pada penderita usia lanjut, hipertensi tidak terkontrol dan dengan riwayat perdarahan sebelumnya.1-7

(8)

KESIMPULAN

POAF setelah operasi jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi yang menyebabkan meningkatnya resiko mortalitas dan morbiditas. Pasien dengan resiko tinggi terkena stroke dan tromboemboli sering membutuhkan pengobatan tambahan, dengan demikian akan meningkatkan biaya untuk perawatan pascaoperasi. Ada beberapa usaha untuk mencegah terjadinya hal ini. Menurut bukti terbaru obat penyekat beta cukup efektif dan aman digunakan untuk kebanyakan pasien. Amiodarone juga dapat digunakan untuk pasien-pasien dengan resiko tinggi terjadinya AF.

Jika POAF ini muncul, disertai dengan hemodinamik yang tidak stabil, maka dapat segera dilakukan tindakan kardioversi elektrikal. Jika hemodinamik stabil, gunakan obat penghambat AV-nodal untuk mencapai denyut jantung terkontrol. Jika AF tidak secara spontan berubah ke irama sinus dalam 24 jam, gunakan obat antiaritmia kelas III atau Ic untuk mengkontrol irama dan berikan antikoagulan secara bersamaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Echahidi N, Pibarot P, Pibarot P,O’Hara G, Mathieu P. Mechanisms, Prevention, and Treatment of Atrial Fibrillation After Cardiac Surgery. JACC 2008; 51 (8): 793-801

2. Palin CA, Kailasam R, Houge CW. Atrial Fibrillation After Cardiac Surgery: Pathophysiology and treatment. Semin Cardiothorac Vasc Anesh 2004;8: 175-83

3. Fuster V, Ryden EL, Cannom SD,Crijns HJ, Curtis AB, Morais J et al ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation: full text. Eurospace 2006; 8: 651-745

4. Kay NG, Plumb GN. Rhythm and

Conduction Disorders:Atrial fibrillation, atrial flutter, and atrial tachycardia .Hurst’s The Heart 2004;11 (2): 825-54

5. King ED, Dickerson ML, Sack J. Acute Management of Atrial Fibrillation: Part I. Rate and Rhythm Control. American Family Physician 2002; 66 (2): 249-56 6. Khairy P, Nattel S. New insights into the

mechanisms and management of atrial fibrillation. JAMC 2002;167 (9): 1012-20

Gambar

Gambar 1. Pathogeneses POAF
Tabel 1.  Adapted from ACC/AHA/ESC 2006 guidelines for the management of AF after cardiac surgery
Table 3.  Dosage, advantage, and side effects of drugs used for rhythm control in POAF

Referensi

Dokumen terkait