FAKTOR PERTIMBANGAN DSN-MUI DALAM
PROSES PENETAPAN FATWA PRODUK PERBANKAN
SYARIAH INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)
Oleh:
DARTO_
_
NIM. 107046100379
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 September 2011
KATA PENGANTAR
ﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ ﻢﯿﺣ ﺮﻟا ﻦﻤﺣ ﺮ
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun masih
terdapat kekurangan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya menuju kehidupan bahagia
fiddun yaa wal aakhirat.
Banyak kendala yang dihadapai penulis dalam penulisan skripsi ini, dan tidak
akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan
rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang setulus-tulusnya atas
segala kepedulian mereka yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan baik
berupa sapaan moril, kritik, masukan, dorongan semangat, maupun sumbangan
pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
menghaturkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., sebagai Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN)
Jakarta.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M. Ag dan Bapak Mu’min Rauf, M.Ag, sebagai ketua dan
sekretaris Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).
3. Bapak Prof. Dr.H. Hasanuddin. AF. MA sebagai dosen pembimbing yang telah
bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, semoga Allah
membalas kebaikan bapak.
4. Bapak Drs. Noryamin Aini, M.A sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan waktu luang untuk membimbing, mendidik, memberi ilmu
serta saran dan kritik terhadap penulis, yang sangat berarti bagi penulis dan Pak
Hendra Kholid yang telah memberikan ilmu dan membantu dalam pembuatan
skripsi ini. Semoga Allah mebalas kebaikan bapak-bapak.
5. Seluruh dosen serta segenap Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya
kepada penulis, yang telah memberikan pemikirannya kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum dan
Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah memberikan pinjaman buku kepada penulis, sehingga dapat membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Kanny Hidaya Y, SE, MA sebagai wakil sekretaris BPH/Deputy
Secretary-Executive Commite, dan Pak Supri sebagai staf Dewan Syariah
Nasional serta seluruh jajaran staf lainya yang telah membantu proses kelancaran
dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.
8. Kedua orang tua saya, Bapak Mukmin (ALM), Ibu Emi (engkau adalah yang
mba-mba saya yang cantik mba Eno, mba Uul, serta Kang Udin yang telah
memberikan motifasi dan dukungannya baik dalam bentuk materil dan immateril,
9. Keponakan-keponakanku yang sangat lucu-lucu, cantik dan ganteng Nabila
Nurul Izmi, M. Habibi Khairul Azzam, dan Syaiful Amri. Yang memberikan
keceriaan tersendiri disaat kegalauan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Orang-orang terdekat Ella, Denok Agustina, Agung, Bambang, Umar KH
Munaji, Abdul Basit (Maslani), Nurokhman, Ayip, Kholid, Barok, Mu Lutfi,
Khaeron, Sarnadi, yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik dalam
bentuk motivasi, saran dan kritik yang berarti bagi penulis.
11. Teman-teman KKN E-Babuy, momen saat kita KKN di Baduy, sebagai
kenangan yang takkan terlupakan bagi penulis. Kalian adalah orang-orang hebat.
12. Teman-teman seperjungan di UIN khususnya anak-anak PS07 (Efull, Syafik,
Fery, Gufron, Neily, Citra) Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan
satu persatu. Terima kasih atas semua bantuan yang tak akan penulis lupakan,
semoga silaturahmi kita dapat terus terjalin.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua
pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
Jakarta, 11 September 2011
DAFTAR SKEMA
1. Skema 1 Produk Deposito – Mudharabah Muqayyadah (Murabahah) 57
2. Skema 2 Produk Deposito dan Reksadana – Mudharabah 60
3. Skema 3 Produk Tabungan dan Giro Authomatic Transfer – Mudharabah –
Wadhiah 64
4. Skema 4 Produk Car Financing – Al-Ijarah Thumma Al Bai (AITAB) 69
5. Skema 5 Produk Personal Financing – Bai Al inah 73
6. Skema 6 Produk Revolving Finance – Bai Bithaman Ajil (BBA) 78
7. Skema 7 Produk Revolving Financing – Mudharabah 81
8. Skema 8 Produk Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai 84
9. Skema 9 Produk Export Credit Refinancing – Murabahah 88
10. Skema 10 Produk Pembiayaan Dengan Penjaminan-Semua Akad
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii
LEMBAR PERNYATAAN iv
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6
BAB II FATWA DAN PRODUK BANK SYARIAH
A. Fatwa 18
1. Pengertian Fatwa 18
2. Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam 21
3. Metode Istinbath Dalam Berfatwa 26
B. Produk Bank Syariah 32
1. Pengertian Produk Bank Syariah 32
2. Proses Penerbitan Produk 38
BAB III DEWAN SYARIAH NASIONAL DALAM PENETAPAN FATWA
PRODUK BANK SYARIAH
A. Pengertian Dewan Syariah Nasional 43
B. Sejarah Pembentukan Dewan Syariah Nasional 44
C. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional 45
D. Mekanisme Kerja Operasional Penetapan Fatwa DSN-MUI 48
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan DSN-MUI Dalam Penetapan Fatwa Produk Bank
Syariah 51
B. Kendala Dewan Syariah Nasional Dalam Berfatwa 53
C. Produk Perbankan Syariah Internasional dan Pertimbangan Dalam
Proses Penetapan Fatwa di Indonesia 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 96
B. Saran 98
DAFTAR PUSTAKA 99
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia perbankan saat ini, kian semarak dengan hadirnya sistem
perbankan yang berbasiskan syariah, dan dikenal dengan nama perbankan syariah.
Perbankan syariah sendiri adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha,
serta kegiatan lainya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.1
Aktivitas perbankan syariah di Indonesia sendiri di mulai sejak Majelis Ulama
Indonesia (MUI) bersama dengan intitusi lain terutama Bank Indonesia, memberikan
respon positif dan bersikap proaktif terhadap ekonomi Islam. Salah satu hasilnya
antara lain ialah kelahiran Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 sebagai bank
pertama di Indonesia yang berlandaskan pada prinsip syariah dalam kegiatan
transaksinya.2
Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum
syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada
tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 23
Tahun 1999 tentang perbankan, undang-undang tersebut memberikan landasan
1
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. Kata pengantar.
hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Pada
tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan
tugasnya berdasarkan prinsip syariah3.
Undang-undang tersebut semakin mempertegas perbankan syariah sebagai
lembaga keuangan, dan menjadikan perkembangan perbankan syariah kian
menunjukkan eksistensinya. Karena semenjak undang-undang tersebut lahir, sistem
perbankan di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system),
sehingga ruang gerak perbankan syariah semakin luas, yaitu seperti dalam bentuk
bank umum syariah (full fledged Islamic bank), unit usaha syariah (bank
konvensional yang membuka cabang syariah), dan office channeling (gerai syariah di
kantor bank konvensional).4
Pesatnya perkembangan perbankan syariah sendiri juga didukung dengan
produk-produk perbankan syariah yang menawarkan kemaslahatan, karena tidak
menggunakan sistem riba didalamnnya seperti yang dilakukan oleh perbankan
konvensional. Pengakajian setiap produk yang terdapat pada pebankan syariah
penting dilakukan, karena sebelum dipasarkan kemasyarakat produk-produk tersebut
harus benar-benar murni sesuai syariat Islam yang sudah terbukti kebenaranya,
3Adrian Sutedi. Perbankan Syariah; Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum (Bogor: Ghalia Indonesia 2009), h. v
disamping bersumber langsung dari Al-Qur’an juga ketetapan Nabi SAW, yang
mencerminkan penerapan aturan, prinsip, dan perintah Allah dalam Alquran.5
Pada tahun 1999 MUI membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN), lembaga ini
beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha) dan praktisi ekonomi, terutama sektor
keuangan baik bank maupun non bank, berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas
MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat disamping itu lembaga ini pun
bertugas menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam
(syari’ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga
keuangan syari’ah, serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya6.
Produk dan jasa keuangan syariah yang ditawarkan bank syariah di Indonesia
cukup bervariasi, namun hal tersebut perlu adanya inovasi maupun pengembangan
produk-produk bank syariah, agar bank syariah lebih maju lagi. Sejalan dengan ini
menurut M. Nur Rianto Al Arif dalam bukunya “Dasar-dasar Pemasaran Bank
Syariah” menyebutkan bahwa strategi pengembangan produk perbankan merupakan
usaha meningkatkan jumlah nasabah dengan cara mengembangkan atau
memperkenalkan produk-produk baru perbankan.7
Namun produk bank syariah yang ada di Indonesia masih minim, hal ini
diungkapkan oleh Direktur Direktorat Perbankan Syariah Mulya E. Siregar Bahwa
sebanyak 46 produk bank syariah masih terganjal di Dewan Syariah Nasional, produk
5Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud. Perbankan Syariah (Prinsip, praktik & prospek). (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 33
6 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan FatwaDewan Syari’ah Nasional, h. xiv
tersebut belum mendapatkan fatwa halal untuk diperdagangkan di industri perbankan
syariah.8
“Hal itu menghambat bank-bank syariah untuk memasarkan inovasi produk
perbankan syariah kepada masyarakat masyarat,” papar Mulya E. Siregar di Gedung
Bank Indonesia. Pihaknya, sudah mengajukan produk-produk tersebut sejak akhir
2009 ke DSN. Namun belum juga dibahas, ia menuturkan, DSN mempunyai
wewenang untuk menetapkan fatwa, sehingga produk-produk yang akan dipasarkan
di perbankan syariah harus mendapatkan fatwa. “Selama ini, perbankan syariah sulit
tumbuh karena belum ada inovasi produk-produk baru,” timpalnya.9
Produk yang diajukan oleh Lembaga Keuangan Syariah melalui BI tersebut
merupakan produk-produk perbankan syariah yang termasuk pada produk perbankan
syariah international. Dimana produk-produk tersebut berasal dari negara-negara
yang menerapkan bank syariah, seperti Malaysia, Yordania, Sudan, Pakistan dan lain
sebagainya, untuk dikaji dan diterapkan di perbankan syariah Indonesia.
DSN-MUI selaku pihak yang mempunyai otoritas untuk menfatwakan produk
bank syariah tentu saja mempunyai alasan tersendiri, kenapa produk-produk bank
syariah belum difatwakan. latar belakang atau faktor apa yang menyebabkan produk
8
Herdaru Purnomo, BI: 46 Produk Bank Syariah Belum Dihalalkan DSN, artikel diakses pada tanggal 24 Juli 2011 dari http://finance.detik.com/read/2010/12/03/140514/1508445/5/bi-46-produk-bank-syariah-belum-dihalalkan-dsn
bank syariah Internasional belum difatwakan oleh Dewan Syariah ini, akan penulis
tuangkan dalam penelitian skripsi yang berjudul Faktor Pertimbangan DSN-MUI
Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah International
.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga
kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka penulis akan
membatasi pembahasan hanya dalam ruang lingkup Faktor Pertimbangan
DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah International
.
Dari produk perbankan syariah internasional tersebut, hanya sepuluh produk dari
Malaysia saja yang penulis angkat untuk dianalisis. Produk tersebut terdiri dari tiga
produk penghimpunan dana dan tujuh produk penyaluran dana.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mencermati
persoalan-persoalan diatas dengan merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa Dasar Pertimbangan DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank
syariah?
2. Apakah Terdapat Kendala Dalam Proses Pelaksanaan Fatwa Produk Bank
Syariah?
3. Bagaimanakah Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
maka skripsi ini bertujuan untuk menjawab perumusan masalah berikut ini:
1. Apa Dasar Pertimbangan DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank
syariah?
2. Apakah Terdapat Kendala Dalam Proses Pelaksanaan Fatwa Produk Bank
Syariah?
3. Bagaimanakah Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa
Produk Bank Syariah Internasional?
Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bagi penulis, memperoleh pengetahuan yang bersifat fakta yang terjadi dalam
praktek proses pengambilan keputusan atau proses penetapan fatwa di
DSN-MUI yang ada saat ini, serta menambah pengetahuan dan motifasi penulis untuk
terus mengembangkan pengetahuan tentang produk perbankan syariah.
2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
keilmuan pengetahuan dan sebagai partisipasi serta dukungan dalam
pengembangan ekonomi syariah.
3. Bagi DSN-MUI, dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan
dan evaluasi untuk mengembangkan ekonomi syariah yang lebih baik lagi.
4. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah khususnya fakultas syariah
kepustakaan fakultas syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
D. Kerangka Pemikiran
Istilah “bank” berasal dari kata Italia banco yang berarti “kepingan papan tempat
duduk”, sejenis “meja”. Kemudian penggunanya diperluas untuk menunjukkan
“meja” tempat penukaran uang, yang digunakan oleh para pemberi pinjaman dan para
pedagang valuta di Eropa, pada abad pertengahan itu memamerkan uang mereka, dari
sinilah awal mula timbulnya perkataan bank.10
Sistem perbankan Islam berbeda dengan sistem perbankan konvensional, karena
sistem keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan subsistem dari suatu sistem
ekonomi yang cakupanya lebih luas. Oleh karena itu, perbankan Islam tidak hanya
dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, namun dituntut secara
sungguh-sungguh menampilkan realisasi nilai-nilai syariah.11
Setiap lembaga perbankan terutama perbankan syariah memiliki produk-produk
untuk setiap transaksi, baik berupa produk pendanaan, penghimpunan maupun produk
dalam bidang jasa. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak
sama dengan produk perbankan konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar
dan maysir. Oleh karena itu, produk-produk penghimpunan, pembiayaan, maupun
10 Dr. Muhammad Muslehuddin,Ph.d. Sitem Perbankan Dalam Islam (jakarta: PT Asdi Mahasatya), h.1
jasa pada bank syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut.
Didalam perbankan konvensional mengenal adanya riba, sedangkan riba secara fiqh
dikategorikan sebagai bunga dan bunga itu haram12.
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah merupakan lembaga yang
beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha) serta ahli dan praktisi ekonomi,
terutama sektor keuangan baik bank maupun non bank, berfungsi untuk
melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat
disamping itu lembaga ini pun bertugas menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai
dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan
transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari’ah, serta mengawasi pelaksanaan dan
implementasinya.13
Produk-probuk bank syariah diajukkan oleh Lembaga Keuangan Syariah melalui
Bank Indonesia, Kemudian Bank Indonesia mengajukkan fatwa kepada Dewan
Syariah Nasional, setelah produk tersebut diterima dan ditetapkan fatwa, maka
produk tersebut siap untuk dipasarkan di perbankan syariah di Indonesia. Tapi jika
belum mendapatkan fatwa dari DSN, maka produk tersebut tidak dapat dipasarkan di
perbankan syariah Indonesia. Produk bank bisa saja mengadopsi dari beberapa negara
yang telah menerapkan perbankan syariah. Namun produk yang diterapkan di suatu
12 Adiwarman A Karim. Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2007), h. 22
negara belum tentu bisa diterapkan pada negara lain. Banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan, agar produk-p Penggalian
Produk bank syariah tersebut tidak hanya sesuai syariah saja melainkan harus
sesuai juga dengan kondisi pada suatu negara tersebut. Hal ini bertujuan agar
produk-produk bank syariah bisa diterapkan dan tidak bertentangan dengan norma/aturan
yang sudah ada sebelumnya. Secara sederhana, alur produk perbankan syariah untuk
diterapkan di Indonesia, digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Mengajukkan Produk
Produk Dipasarkan Mengajukkan Fatwa
Pertimbangan & Penetapan fatwa Lembaga
Keuangan Syariah Bank Indonesia
DSN-MUI Produk Perbankan
Syariah Internasional
E. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan telaah yang dilakukan, penulis mendapatkan beberapa kepustakaan.
sebagai bahan acuan dalam penulisan skripsi ini. Adapun hasil kajian kepustakaan
terdahulu, penulis mendapatkan beberapa kepustakaan yang akan memaparkan
penelitian yang sudah dilakukan, sehingga menjadi jelas bagaimana penelitian ini
relevan dan penting untuk dilakukan, dan berikut pemaparanya:
No Aspek Perbandingan Studi Terdahulu
1. a.Nama/Judul/bentuk
b. pendekatan teori
c. Fokus
d. Jenis Penelitian
Novita Ekayanti “Optimalisasi Dewan Pengawas
Syariah Dalam Pengembangan Produk ” Skripsi.
Pengembangan produk menurut george dalam judulnya
adalah pengembangan sistematik sebuah produk untuk
tidak terlambat oleh perusahaan citarasa konsumen,
lewat pengembangan produk perusahaan mampu
menawarkan produk
Penelitian ini fokus membahas tentang peran dewan
pengawas syariah dalam pengembangan produk.
Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis
e. Waktu/Tempat Penelitian skripsi ini dilakukan pada tahun 2009
dengan studi kasus di bank DKI Syariah
2. a.Nama/Judul/bentuk
b. Pendekatan Teori
c. Fokus
d. Metode Penelitian
e. Tempat/tahun
Fitri Barkah “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas
Syariah (DPS) Dalam Menentukan Produk Baru Bank
Syariah” Skripsi.
Pelaksanaan sistem ekonomi syariah di Indonesia
memerlukan sosialisasi, dan ulama memiliki peran
utama dalam sosialisasi tersebut, disamping kualitas
keilmuan juga sebagai penggerak dan motivator
masyarakat.
Fokus membahas DPS dalam mementukan roduk baru
bank syariah, juga jasa atau kegiatan usaha yang
dilakukan oleh Bank Permata syariah.
Metode yang digunanakan adalah metode kualitatif
dengan pendekatan deskriptif.
Penelitian ini dilakukan di Bank Permata syariag
3. a.Nama/Judul/Bentuk
b.pendekatan Teori
c. Fokus
d. Metode Penelitian
e. Waktu/Tempat
Rahmani Timorita Yulianti, “Pola Ijtihad Fatwa
Dewan Syariah Nasional MUI Tentang Produk
Perbankan Syariah” Jurnal ekonomi Islam Universitas
Islam Indonesia.
Fatwa sebagai salah satu produk pemikiran hukum
Islam, erat sekali hubungannya dengan
persoalan-persoalan kemasyarakatan. Oleh karena itu fatwa
Dewan Syari’ah Nasioanl MUI pada dasarnya adalah
hasil interaksi antara si pemikir hukum dengan
lingkungannya
Jurnal ini fokus membahas mengenai pola ijtihad fatwa
DSN-MUI tentang produk perbankan syraiah dan
faktor yang melatarbelakangi penetapan fatwa
DSN-MUI tentang produk perbankan syariah
Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis
dengan jenis data kualitatif.
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2007 dan di tempat
Studi Ekonomi Islam FIAI UII dan Reseacher pada
Berdasarkan review studi terdahulu di atas, Novita Ekayanti “Optimalisasi
Dewan Pengawas Syariah Dalam Pengembangan Produk ” dalam Skripsinya
membahas mengenai Dewan Pengawas Syariah dalam Pengembangan Produk, Fitri
Barkah “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dalam Menentukan
Produk Baru Bank Syariah” dalam skripsinya membahas bagaimana mekanisme dari
Dewan Pengawas Syariah dalam menentukan produk baru yang akan diterapakan
pada bank syariah, dan Rahmani Timorita Yulianti, “Pola Ijtihad Fatwa Dewan
Syariah Nasional MUI Tentang Produk Perbankan Syariah” dalam jurnalnya
membahas tentang pola ijtihad dalam berfatwa dan latarbelakang penetapan fatwa.
Yang menjadi pembeda dari skripsi ini adalah penulis mengangkat faktor
pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah
Internasional. Judul tersebut layak diangkat sebagai skripsi karena menganalisis
produk-produk baru yang diperoleh dari negara lain seperti Malaysia, Yordania,
Pakistan, UEA. Untuk diterapkan di perbankan syariah Indonesia.
F. METODE PENELITIAN
1. Metode Pengumpulan Data
a. Penelitian Kepustakaan (library Research)
Tehnik pengumpulan data dimana peneliti melakukan kunjungan langsung
ke beberapa perpustakaan untuk mendapatkan beberapa sumber tertulis, baik
dari buku-buku, media massa maupun media elektronik dan sumber tertulis
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
1. Interview: agar mendapatkan hasil yang valid, maka penulis melakukan
suatu metode penelitian berupa wawancara dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam penelitian.
2. Dokumentasi: dalam hal ini, penulis mendapatkan dan mengumpulkan
data berdasarkan laporan yang didapat dari lembaga yang diteliti dan
laporan lainya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat.
2. Metode Penyajian Data dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah
dengan cara dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang didukung dari
data-data kepustakaan yang berkaitan dengan analisis faktor-faktor Keputusan
DSN-MUI dalam menfatwakan produk bank syariah, karya ilmiah, majalah,
artikel atau data-data tertulis lainya. Sedangkan metode analisis yang
digunakan adalah metode deskriptif analisis yaitu dengan pola pikir dedukatif
yang menjelaskan tentang hal-hal yang bersifat umum berkaitan dengan tema
yang diangkat. Menurut whitney (1960), metode deskriptif adalah pencarian
fakta dengan interprestasi yang tepat.14
Adapun sumber data yang diperoleh oleh peneliti dalam skripsi ini,
melalui:
14
a. Data primer
Untuk mendapatkan data dan hasil yang valid, maka dalam penulisan
skripsi ini, penulis terjun kelapangan dan melakukan wawancara langsung
dengan narasumber.
b. Data sekunder
Adapun data yang digunakan diperoleh dari program studi muamalat
mengenai tema-tema skripsi, serta literatur-literatur kepustakaan seperti
buku-buku dan sumber lainya yang berkaitan dengan materi penulisan
skripsi ini.
G. Metode Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan, penulis merujuk pada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta, yang
telah diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan hasil penulisan yang terstruktur dan sesuai dengan kaidah
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangkan
pemikiran, revieuw studi terdahulu, metode penelitian, metode
penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Pada bab ini merupakan tinjauan teoritis yang menjadi dasar
pemikiran penelitian ini. Secara rinci bab ini menjelaskan tentang
fatwa dan produk bak syariah, fatwa (pengertian fatwa, kedudukan
fatwa dalam hukum Islam, dan metode istinbath dalam berfatwa),
produk bank syariah (pengertian produk bank syariah, proses
penerbitan produk dan macam-macam produk bank syariah).
BAB III : GAMBARAN UMUM MENGENAI OBJEK PENELITIAN
Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang gambaran umum Dewan
Syariah Nasional yaitu pengertian Dewan Syariah Nasional, sejarah
pembetukan Dewan Syariah Nasional, tugas dan wewenang Dewan
Syariah Nasional serta mekanisme kerja operasioanl penetapan
BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis membahas mengenai dasar pertimbangan
DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank syariah, kendala
DSN-MUI dalam berfatwa, produk perbankan syariah internasional
dan pertimbangan fatwa di Indonesia.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini penulis membuat kesimpulan dari pembahasan yang
telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan memberikan
saran-saran yang kiranya bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dan terkait dalam dengan permasalahan yang
BAB II
Fatwa dan Produk Bank Syariah
A. Fatwa
1. Pengertian Fatwa
Secara pengertian kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa. Dalam
bahasa Indonesia fatwa dimaknai sebagai petuah, nasihat atau jawaban atas
pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan fatwa dalam ilmu fiqh dan
ushul fiqh berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih
sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya
tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bersifat pribadi, kelompok
atau masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau mufti tersebut tidak
mempunyai daya ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh dan ushul
fiqh disebut mufti sedangkan pihak yang menerima fatwa disebut mustafti.15
Sedangkan secara terminologis, sebagaimana dikemukakan oleh
Zamakhsyari: (w. 538 H) fatwa adalah penjelasan hukum syara tentang suatu
masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa
dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang
tidak mengikat untuk diikuti. Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah
menerangkan hukum syara dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan
atau kolektif.16
Berdasarkan beberapa keterangan diatas, Amir Syarifudin memberikan
hakikat dan ciri-ciri tertentu dari berfatwa, yaitu:
1. Berfatwa adalah usaha memberikan jawaban.
2. Jawaban yang diberikan adalah tentang hukum syara melalui proses ijtiihad.
3. Yang menjawab adalah yang ahli dalam bidang yang dijawab.
4. Jawaban diberikan pada yang belum tahu jawabanya.17
Dan dari beberapa pendapat mengenai fatwa, Ma’ruf Amin juga
menyimpulkan dalam bukunya “Fatwa dalam Hukum Islam” bahwa, fatwa
memiliki dua sifat utama. Pertama, fatwa bersifat responsif. Fatwa merupakan
penjelasan tentang hukum syara yang diperoleh melalui hasil ijtihad yang
dilakukan setelah muncul suatu pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa.
Kedua, fatwa bersifat opsional ‘ikhtiariyah’ (pilihan yang tidak mengikat secara
legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta
fatwa), sedangkan bagi selain mustafti bersifat ‘i’lamiyah’ atau informatif yang
lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka mengambil fatwa yang sama atau
meminta fatwa kepada mufti yang lain. Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai
suatu masalah yang sama maka umat boleh memilih mana yang lebih
16 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Elsas, 2008), h. 20
memberikan qana’ah (penerima/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin.
Hal ini disebabkan bahwa fatwa tidaklah mengikat sebagaimana putusan
pengadilan (qadha).18
Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang
merupakan permasalahan atau kasus yang telah terjadi. Dalam kaitan ini, seorang
mufti boleh menolak memberikan fatwa atas pertanyaan tentang peristiwa yang
belum terjadi. Namun demikian seorang mufti tetap disunnahkan untuk
menjawab pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk
orang yang menyembunyikan ilmu.19
Penjelasan tentang pengertian fatwa tersebut, sekaligus menjelaskan rukun
dari fatwa, yaitu: pertama, usaha memberikan penjelasan yang disebut ifta.
Kedua, orang yang menyampaikan jawaban hukum kepada yang telah mufti;
ketiga, orang yang meminta penjelasan hukum kepada yang telah mengetahuinya
disebabkan oleh ketidaktahuanya tentang hukum suatu kejadian (kasus) yang
telah terjadi, orang disini disebut mustafti; keempat, materi jawaban hukum syara
yang disampaikan oleh mufti yang disebut fatwa.20
18 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 20 19Ibid., h.20
2. Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam
Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena ia
merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam tentang
kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul dikalangan masyarakat.
Ketika muncul masalah, suatu masalah baru yang belum ada ketentuan
hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ maupun
pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan satu-satunya
institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan
hukum masalah tersebut.
Mengingat betapa penting keberadaan fatwa bagi orang awam dalam
menjalankan amal ibadahnya, maka setiap orang yang telah memenuhi syarat
untuk mengeluarkan fatwa tidak boleh menolak bila dimintai fatwa. Dalam hal
ini al-Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan
kaitanya dengan hukum berfatwa:21
Pertama, berfatwa hukumnya adalah fardhu kifayah. Dimana jika ada
seseorang atau pihak yang menanyakan hukum suatu masalah maka wajib bagi
orang yang mempunyai kompetensi berfatwa untuk menjawabnya. Jika ada orang
lain yang juga mempunyai kemampuan berfatwa, maka menjawab hukum suatu
masalah yang dipertanyakan hukumnya fardhu kifayah.
Kedua, jika suatu fatwa telah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal
fatwa tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa
(mufti) harus memberitahukan orang yang meminta fatwa (mustafti) bahwa fatwa
yang dileluarkan terdahulu tidak sesuai.
Ketiga, haram hukumnya bagi seorang mufti untuk terlalu mudah
mengeluarkan fatwa, dan jika diketahui seperti itu maka haram bagi mustafti
untuk meminta fatwa kepadanya. Kedudukan fatwa bagi peminta fatwa adalah
merupakan penuntun dalam menjalankan amal ibadahnya.
Keempat, seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil psikis dan
fisiknya, sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga kenetralanya dalam
menetapkan hukum suatu masalah.
Kelima, seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber
penghasilan untuk kepentingan dirinya.
Keenam, bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk pendapat ulama
mazhab tertentu, maka harus didasarkan atas pendapat ulama yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqih yang diakui.
Ketujuh, jika seorang mufti telah menetapkan fatwa tentang hukum suatu
maslalah kemudian dilain waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang
dalil-dalil dan argumentasinya, maka boleh baginya mengeluarkan fatwa seperti fatwa
yang pertama.
Kedelapan, ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan
oleh peminta fatwa (mustafti), karena hal seperti itulah yang dibutuhkan oleh
mustafti dengan meminta fatwa.
Dan Ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi
seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut
adalah: (1) Bligh, Berakal dan Merdeka; (2) Adil dan (3) memenuhi persyaratan
seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa.
Berdasarkan persyaratan ini, seorang mufti tidak harus seorang laki-laki.
Wanitapun boleh menjadi nufti asal memenuhi persyaratan diatas. Adapun yang
dimaksudkan dengan adil menurut Imam al-Ghazali ahli ushul dari kalangan
ulama Syafi’i adalah seseorang yang istiqamah dalam agamanya yang
memelihara kehormatan pribadiinya. Syarat ini sangat diperlukan karena mufti
merupakan panutan bagi masyarakat, bak dari segi fatwa yang dikeluarkanya
maupun dari segi kepribadianya.
Terkait dengan sarat adil bagi mufti, ulama uhul fiqh juga mengemukakan
implikasi dari syarat ini. Menurut mereka, ada tiga hal yang harus diperhatikan
Pertama, Setiap fatwanya harus senantiasa dilandasi dalil. Apabila fatwanya
itu diambil dari pendapat para mujtahid terdahulu, maka ia harus memilih
pendapat yang terkuat dalilnya dan lebih pada berorientasi pada kemaslahatan.
Kedua, apabila mufti tersebut memiliki apasitas ilmiah untuk mengistibath
hukum maka ia harus menggali hukum dari nash dengan mempertimbangkan
berbagai realitas yang ada. Ketiga, fatwa itu tidak mengikuti kehendak
al-Mustafti tetapi memprtimbangkan umat manusia.22
a. Fatwa Sahabat
Sahabat adalah orang yang selalu berada dalam majelis Rasulullah SAW
dan selalu mengikutinya juga meriwayatkan hadis dari beliau. Yang termasuk
golongan ini seperti al-Khulafa al-Rasyidun, Abdullah ibn Mas’ud Anas ibn
Malik, zaid ibn Tsabit, Abu Hurairah. Setelah Nabi SAW wafat, banyak
timbul peristiwa baru dan kejadian yang memerlukan adanya petunjuk atau
fatwa syara’ dari para sahabat yang mengetahui sumber-sumber hukum Islam.
Fatwa-fatwa yang mereka berikan itu, oleh sebagian ulama dijadikan hujjah
dan sebagai sumber hukum karena fatwa-fatwa mereka tidak keluar dari
sunnah Nabi.
Para sahabat sebagai pengganti rasulullah SAW dalam menangani dan
menyelesaikan seluruh problematika umat Islam, memberi fatwa tentang suatu
yang belum ada ketetapan hukumnya karena keistimewaan dan kredibilitas
pribadi yang dimilikinya. Mereka telah lama bergaul dengan Nabi Muhammad
SAW, menghafal al-Qur’an dan sunnah dari beliau, mereka turut menyaksikan
kejadian-kejadian yang melatarbelakangi turun ayat-ayat al-Qur’an dan
mengetahui sebab-sebab proses lahirnya sunnah. Untuk itu fatwa sahabat
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum Islam, yaitu: pertama,
sahabat melakukan penelaahan terhadap al-Qur’an dan sunnah dalam
menyelesaikan suatu kasus, apabila tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan
sunnah, mereka melakukan ijtihad. Ijtihad dalam melakukan penyelesaian
kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya
peristiwa yang terjadi. Kedua, sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath
(metode penelitian) dalam menyelasaikan kasus yang dihadapi.23
b. Fatwa Para Imam Mujtahid
Dalam penetapan hukum para imam mujtahid memiliki pendapat yang
berbeda-beda hingga akhirnya mereka mempunyai mazhab-mazhab fiqh
tertentu. Perbedaan pengetahuan tentang sumber hukum khususnya sunnah
sangat berpengaruh terhadap hasil ijtihad (fatwa) seorang mujtahid. Pada masa
ini, ijtihad banyak digunakan dalam mengistinbath hukum terhadap suatu
masalah yang belum ada ketetapan hukumnya.
Fatwa para imam mujtahid berpengaruh dalam penetapan hukum Islam
karena membantu umat Islam dalam memahami al-Qur’an dan tafsirnya,
sunnah atau hadits dan fiqh sebab mereka mengambil dan menerima pelajaran
dari para tabi’in, tabi’u al tabi’in dan sahabat. Selain itu, para imam mujtahid
menggunakan metode istinath yang dapat diakui dan diteruskan oleh generasi
selanjutnya dalam mengistinbath hukum terhadap suatu masalah yang belum
ada ketetapan hukumnya. Di samping juga fatwa para imam mujtahid dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam beribadah dan beramal khususnya bagi
mereka yang tidak mampu berijtihad.24
3. Metode Istinbath Dalam Berfatwa
Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga
dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah
fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum
yang dihasilkanya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya,
implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan
suatu keniscayaan.
Metode/kaidah istinbath yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa
adalah sebagai berikut:
24Tesis Fahruroji, “Fatwa Dewan Syariah Nasional entang Murabahah (Suatu Analisa
1. Metode Bayani (Analisa Kebahasaan)
Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks al-Qur’an dan
as-sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis
kebahasaan. Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah
kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh
para ulama ushul untuk melakukan pemahaman terhadap makna lafadz
sebagai hasil analisa induktif dari tradisi kebahasaan bangsa Arab sendiri.
Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup:
a. Analisa berdasarkan segi makna lafaz (bi i’tibar al-lafdz lil-ma’na).
b. Analisa berdasarkan segi pemakaian makna (bi i’tibar isti’mal al-lafdz
lil-ma’na).
c. Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna (bi i’tibar dalalah
al-lafz ala al-ma’na bi hasab zuhur al-ma’n wal khafaih).
d. Analisa berdasarkan segi penunjukan lafaz kepada makna menurut
maksud pencipta nash (bi i’tibar kaifiyah dalalah lafz ala
al-ma’na).25
Dari segi makna lafaz, ada suatu lafaz yang ditempatkan untuk
menunjukkan suatu makna tertentu (khas) dan umum (‘am), ada lafaz yang
mengacu pada satu makna (muradif), dan ada pula lafaz jama’ yang
mecakup satuan-satuan yang banyak akan tetapi tidak mencakup seluruh
satuan yang dimasukkan kedalamnya (jama’ munakkar).
Dari segi pemakaian arti, ada lafaz yang menunjuk kepada pengertian
asli (al-baqiqah) dan ada pula yang menunjuk pengertian lain yang bukan
makna asli, karena ada satu indikasi yang mengendaki demikian (majaz),
selain itu pula ada lafadz yang mengaku pada pengertiian yang jelas
karena pengertian tersebut lazim dipakai (sharih), dan ada pula lafadz yang
samar maksudnya karena baru diketahui ketika ada indikasi lain yang
membantu untuk mengetahui maknanya (kinayah).
Dari segi terang dan samarnya makan, ada lafadz yang petunjuk
maknanya jelas tanpa memerlukan lafadz lain untuk menjelaskanya
(wadhih ad-dalalah) dan ada pula yang tidak jelas petunjuk maknanya
kecuali ada lafadz lain yang membantu untuk menjelaskanya (khafi
ad-dalalah). Dari segi penunjukkan lafadz pada makana menurut maksud
pencipta nash, ada lafadz yang petunjuk teksnya mengacu pada makna
implisit (al-mafhum).
Selain itu termasuk dalam metode ini adalah tata cara penyelesaian
dalil-dalil yang secara lahiriah terlihat bertentangan (ta’arud al adillah),
yang mencakup: kompromi antara nash-nash yang berlawanan (al-jamu’u
wa al-Taufiq), mengamalkan dalil yang lebih kuat dan menegaskan yang
lebih lemah (tarjih), mengahapus ketentuan dalil yang datangnya lebih dulu
(naskh-mansukh), atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan
2. Metode Ta’lili
Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum
terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya tersurat dalam nash
baik secara qath’i maupun dzanni, dan tidak juga dengan ijma’ yang
menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada.
Istinbath seperti ini ditujukkan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa
dengan merujuk kepada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara
dua peristiwa itu terdapat kesamaan illat hukum. Dalam hal ini mufti
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kejadian yang telah ada
nashnya, intinbath jenis ini dilakukan melalui metode qiyas dan istihsan.
Penalaran yang dipakai berusaha malihat apa yang melatarbelakangi
suatu ketentuan hukum dalam al-qur’an dan al-hadis. Dengan kata lain apa
yang menjadi illat dari suatu peraturan. Menurut ulama semua ketentuan
hukum mengandung illat, karena tidak mungkin Tuhan memberikan
peraturan tanpa tujuan dan maksud yang baik.
Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga
kategori, yaitu illat tasyri’i, illat qiyasi dan illat istihasni. Illat tasyri’i ialah
illat yang digunakan untuk menentukan apakah hukum yang dipahami dari
nash tersebut memang harus tetap seperti apa adanya, atau boleh diubah
kepada yang lainya. Dengan kata lain, berhubung diketahui illat penafsiran
peraturan tersebut maka para ulama berani mentakwilkan makna sesuai
dari pemahaman sebelumnya atau berbeda dengan arti harfiyahnya. Dalam
illat tasyri’i ini tidak dipersoalkan ada qiyas atau tidak, karena penekanan
kajianya adalah pada masalah itu sendiri. Kalau illat tersebut ingin
diberlakukan pada masalah lain, maka fungsinya berubah menjadi illat
qiyasi.
Illat qiyasi ialah illat yang dipergunakan untuk memberlakukan suatu
ketentuan nash pada masalah lain yang secara zahir tidak dicakupnya.
Dengan kata lain, illat ini dipergunakan untuk menjawab pertanyaan
apakah nash yang mengatur masalah x juga berlaku unuk masalah y (yang
secara harfiyah tidak dicakupnya, namun diantara kedua masalah tersebut
terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang disebut illat.
Illat istihsani yaitu illat pengecualian maksudnya mungkin saja ada
pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri’i tadi tidak dapat
berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas
tidak dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang menyebabkan
dikecualikan. Dengan demikian illat kategori ini mungkin ditemukan
sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagaimana mungkin juga
pengecualian dari kategori kedua.
yang membedakan ketiga pengelompokkan illat ini hanyalah
3. Metode Istishlahi
Metode ini digunakan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan
hukum syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qathi’ maupun zhanni,
dan tidak memungkinkan mencari kaitanya dengan nash yang ada, belum
diputuskan dengan ijma’, dan tidak memungkinkan dengan qiyas atau
istihsan.
Jadi dasar pegangan ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara’
yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik dalam
bentuk mendatangkan manfaat (jalb al-manfa’at) ataupun menolak
kerusakan (dar u al-mafasid) dalam rangka memelihara agama, kehidupan,
akal, keturunan dan harta.
Lebih jauh para ulama telah membuat tiga kategori kemaslahatan yang
menjadi sarana semua perintah dan larangan Allah SWT, yaitu dharuriyyat,
hajiyat, tahsiniyat.
Penalaran yang dipakai menggunakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang
mengandung konsep umum sebagai dalil atau sandaranya. Misalnya
ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil, tidak boleh mencelakakan diri sendiri
maupun orang lain dsb. Biasanya penalaran ini dilakukan kalau masalah
yang akan diidentifikasi tersebut tidak dapat dikembalikan kepada sesuatu
ayat atau hadis tertentu secara khusus. Dengan kata lain tidak ada
aturan untuk membuat SIM (surat ijin mengemudi) tidak ada bandinganya
dengan sunnah nabi. Tetapi mengatur masalah baru tersebut, baik
menerima atau menolaknya adalah perlu karena menyangkut hajat dan
kepentingan orang banyak.
Cara kerjanya, ayat dan hadis tersebut diganbungkan satu sama lain,
sehingga kesimpulanya adalah merupakan sebuah “prinsip umum”. Prinsip
umum ini didedukasikan pada persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan
tadi.
B. Produk Bank Syariah
Kegiatan usaha Perbankan Syariah lalu diterjemahkan menjadi Produk
Perbankan Syariah. berkaitan dengan hal diatas, maka bank Indonesia telah
mengeluarkan PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah,26 yang mengatur proses kelahiran produk Perbankan Syariah.
1. Pengertian Produk Bank Syariah
Mulyadi dan Jonny Setyawan menyatakan bahwa istilah “produk” sering
sekali diidentikan dengan sebuah produk yang sifatnya nyata, tetapi pada
sesungguhnya jasa dan ide juga termasuk bagian dari produk itu sendiri.
Dipandang dari sudut customer, produk yang dihasilkan oleh produsen tidak
lebih dari sekedar alat berwujud untuk mendapatkan jasa yang dapat
menghasilkan value bagi customer setelah melalui use proses (yang secara
keseluruhan melalui tahap-tahap lengkap: fire, acquire, transport, store, use,
dispose of, stop). Dengan demikian, dipandang dari sudut customer. Suatu
produk merupakan “a bundle of service” yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan atau keinginan dan harapan customer.27
Produk-produk bank syariah muncul karena didasari oleh operasionalisasi
fungsi bank syariah (Baraba, 2000). Dalam menjalankan operasinya bank syariah
memiliki empat fungsi sebagai berikut:28
a. Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi dana-dana yang
dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas prinsip bagi
hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank;
b. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki pemilik dana/shahibul
mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana;
c. Sebagai penyedia jasa lau lintas pembayaran dan jasa-jasa lainya sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan
d. Sebagai pengelola fungsi sosial.
Dari keempat fungsi operasional tersebut kemudian diturunkan menjadi
produk-produk bank syariah, yang secara garis besar dapat dikelompokkan
kedalam produk pendanaan, produk pembiayaan, produk jasa perbankan, dan
27
Mulyadi & Jonny Setiyawan, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen,
(Jakarta: Salemba Empat, 2001), h.272
28
produk kegiatan sosial dan produk-produk perbankan syariah terkodifikasi
menjadi dua yaitu kodifikasi produk bank syariah domestik dan kodifikasi
produk perbankan syariah internasional, dan produk domestik adalah
produk-produk perbankan syariah yang selama ini digunakan, seperti digambarkan pada
gambar berikut:29
Akad dan Produk Bank Syariah
Pendanaan Pembiayaan Jasa Perbankan Sosial
Pola titipan
Tabel 1. Akad dan Produk Bank Syariah
29
Dan sedangkan produk internasional adalah produk-produk perbankan syariah
yang diambil dari berbagai negara yang menerapkan perbankan syariah/Islam
dalam sistem perbankan di negaranya, seperti Malaysia, Yordania, Sudan,
Bahrain, Pakistan dan lain sebagainya. Produk perbankan syariah internasional
ini terdiri dari produk penghimpunan dana, produk penyaluan dana dan produk
jasa, dan berikut produk-produknya:
A. Produk Penghimpunan dana terdiri dari 8 (delapan) produk:
1. Deposito - mudharabah muqayyadah – murabahah dari Malaysia;
2. Deposito - mudharabah muqayyadah - komoditi murabahah dari
Malaysia;
3. Deposito dan reksadana - mudharabah, Deposito – musyarakah dari
Malaysia;
4. Deposito Unrestricted Recurring Investment – mudharabah Uni Emirat
Arab (UEA);
5. Deposito – Wakalah bil Ujrah dari Uni Emirat Arab (UEA);
6. Giro – Wadhiah dan Qard dari Uni Emirat Arab, Pakistan, Inggris, dan
Bahrain;
7. Tabungan dan Giro Automatic Transfer – Mudharabah dan wadhiah}
dari Malaysia.
B. Produk Penyaluran Dana terdiri dari 30 (tiga puluh) produk:
2. Home Financing – BBA (Ba’i Bithaman Ajil) dari Malaysia;
3. Home Financing – Musyarakah Mutanaqishah dan Ijara dari UEA,
Inggris, dan Pakistan;
4. Islamic Card – Bai Al Inah dari Malaysia;
5. Islamic Card – Tawaruq dari Saudi Arabia;
6. Personal Financing – Ba’i Al Inah dari Malaysia;
7. Personal Financing – Murabahah dari Bahrain. Inggris, UEA, Saudi
Arabia;
8. Personal Financing – Tawaruq dari UEA, Saudi Arabia;
9. Agriculture Implements Investment – Shirkatul Melk (Ijarah, Ba’i)
dari Bangladesh;
10.Micro Industries Investment – Shirkatul Melk (Ijarah, Ba’i);
11.Islamic Overdraft (Cash Line facility) – BBA dan Ba’i Al Inah;
12.Cash Line Facility – Ba’i Bithaman Ajil dari Bahrain;
13.Revolviing Financing – Ba’i Bithaman Ajil (BBA) dai Malaysia;
14.Revolving Financing – Mudharabah dari Malaysia;
15.Term Financing Fixed and Variable Rate – Ba’i Bithaman Ajil (BBA)
dari Malaysia;
16.Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai’ dari Malaysia;
17.Hire Purchase – Shirkatul Melk dari Bangladesh;
19.Working Capital and erm Financing – Tawaruq dari Inggris, Bahrain,
dan saudi Arabia;
20.Export Credit Refinancing – Bai’ Dayn dari Malaysia;
21.Export Credit Refinancing – Murabahah dari Malaysia;
22.Export Credit Refinancing – Murabahah dan Bai’ Dayn dari Malaysia;
23.Export Refinancing – Musyarakah dari Uni Emirat Arab;
24.Forward Rate Agreement – Murabahah dari Malaysia;
25.Islamic Profit Rate Swap – Murabahah dari Malaysia;
26.Islamic Treasurry Instrument – Salam Pararel dari Saudi Arabia;
27.Sukuk Investment – Wakalah Bil Ujrah dari Arab Saudi;
28.Pembiayaan dengan penjaminan – semua akad pembiayaan syariah
dari Malaysia;
29.Share Financing – Murabahah (Trading) dari Malaysia dan UEA;
30.Share Financing – Murabahah (Investment) dari UEA.
C. Produk Jasa terdiri dari 8 (delapan) produk:
1. Escrow Account – Wakalah Bil Ujrah dari UEA;
2. Shipping Guarantee – Kafalah dari Malaysia;
3. Documentary Credit – wakalah Bil Ujrah dari Malaysia;
4. Bill Collection Outward – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia;
5. Bill Collection Inward – Wakalah Bil Ujrrah dari Malaysia;
6. Islamic Will (surat wasiat) – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia;
8. Islamic Trust – Wakalah Bil Ujrah dari malaysia.
2. Proses Penerbitan Produk30
Bank wajib melaporkan rencana pengeluaran produk baru kepada Bank
Indonesia (Pasal 2 ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008). Laporan rencana
pengeluaran produk baru harus disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari
sebelum produk baru dimaksud dikeluarkan (pasal 3 ayat 1 PBI No.
10/17/PBI/2008). Bank Indonesia memberikan penegasan atas laporan itu paling
lambat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen
pelaporan diterima secara lengkap (pasal 3 ayat 2 PBI No. 10/17/PBI/2008).
Bank dilarang mengeluarkan produk baru dalam jangka waktu 15 (lima
belas) hari itu, apabila belum memperoleh penegasan tidak keberatan dari Bank
Indonesia (pasal 3 ayat 3 PBI No. 10/17/PBI/2008). Apabila dalam jangka waktu
15 (lia belas) hari setelah seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan
diterima secara lengkap. Bank Indonesia tidak memberikan penegasan, maka
bank dapat mengeluarkan produk baru dimaksud (pasal 3 ayat 4 PBI No.
10/17/PBI/2008).
Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan
rencana pengeluaran produk baru paling lamabat 15 (lima belas) hari sejak
seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap
(pasal 4 PBI No. 10/17/PBI/2008).
30 Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah- Titik Temu Hukum Islam dan
Bank wajib melaporkan realisasi pengeluaran produk baru paling lambat 10
(sepuluh) hari setelah produk baru dimaksud dikeluarkan (pasal 5 PBI No.
10/17/PBI/2008). Bank wajib memberikan penjelasan kepada Bank Indonesia
atas produk baru yang wajib mendapatkan persetujuan Bank Indonesia (pasal 6
ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank Indonesia dapat meminta kepada bank
untuk memberikan penjelasan atas: a. Produk baru wajib dilaporkan kepada bank
Indonesia; b. Produk yang telah dikeluarkan; c. Produk non bank yang
dipasarkan oleh bank pasal 6 ayat 2 PBI No. 10/17/PBI/2008.
3. Macam-macam Produk Bank Syariah
Tidak dipungkiri lagi, bahwa produk perbankan syariah berperan dalam
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Karena produk perbankan syariah
ini menjadi pembeda antara bank syariah dengan bank konvensiaonal, karena
produk bank syariah menawarkan kemaslahatan bagi setiap orang, karena tidak
tidak ada unsur gharar, maysir dan riba. Contohnya bunga yang diterapkan oleh
bank konvensional.
Sejalan dengan itu, seperti Peraturan Bank Indonesia tentang produk bank
syariah adalah bahwasanya transaksi dalam bank syariah tidak boleh
mengandung unsur gharar, maysir, riba, zalim, risywah, barang haram dan
maksiat. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dijelaskan sebagai
berikut;31
1. Gharar adalah transaksi dengan objek yang tidak jelas, mengandung tipuan
dari salah satu pihak sehingga pihak lain dirugikan.
2. Maysir adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian,
untung-untungan, atau spekulatif yang tinggi.
3. Riba adalah transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun simpan pinjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran
Islam.
4. Zalim adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan
penderitaan pihak lain.
5. Risywah adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau betuk
lainya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau
kemudahan dalam bertransaksi.
6. Barang haram dan maksiat adalah barang atau fasilitas yang dilarang
dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, prinsip-prinsip dalam dunia bank
syariah ruang lingkup usaha perbankan syariah yaitu:
1. Prinsip bagi hasil
Secara umum dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaiutu:
a. Al-Musyarakah (partnership, project fianancing participation)
b. Al-Mudharabah (trust financing, trust investment)
c. Al-Muzara’ah (harvest-yield profit sharing)
d. Al-Musaqah (plantation management fee based on certain portion of yield)
Tetapi prinsip yang paling sering dipakai adalah musyarakah dan mudharabah
2. Prinsip jual beli
Ada tiga jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok
dalam pembiayaan dalam perbankan syariah dari sekian banyak jenis jual beli,
yaitu:
a. Al-muarabah (deffered payment sale)
b. As-salam (in-front payment sale)
c. Al-istishna (purchase by order of manufacture)
3. Prinsip sewa
a. Al-ijarah (operational lease) seperti halnya bank menyewakan traktordan
alat produk lainya kepada nasabah
b. Al-ijarah muntahia bit-tamlik (financial lease with purchase option)
4. Prinsip jasa (fee based services)
BAB III
Dewan Syariah Dalam Penetapan Fatwa Produk Bank Syariah
A. Pengertian Dewan Syariah Nasional
Berdasarkan surat keputusan dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang
susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI No: Kep-98/MUI/III/2001, maka
pengertian, kedudukan, tugas dan wewenang DSN-MUI sudah tercantum dan diatur
didalamnya.
Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan
syariah. DSN merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas
mengembangakan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada
umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan
reksadana. DSN merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan
untuk mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan
syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan
syariah di Indonesia.32
Sedangkan Kedudukan Dewan Syariah Nasional adalah otoritas syariah tertinggi,
yang merupakan lembaga independen dalam mengeluarkan fatwa yang berhubungan
dengan semua masalah Syariah agama Islam, baik masalah ibadah maupun
muamalah, termasuk masalah ekonomi, keuangan dan perbankan.33. Statusnya
membantu pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan lain-lain
dalam menyususn peraturan/ketentuan untuk lembaga keuangan syariah. dan anggota
DSN terdiri dari para Ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait
dengan muamalah syariah, serta anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI
dengan masa bakti sama dengan periode masa bakti pengurus MUI pusat yakni lima
tahun.34
Visi Dewan Syariah Nasional adalah “memasyarakatkan ekonomi syariah dan
mensyariatkan ekonomi masyarakat” sedangkan misi Dewan Syariah Nasional
adalah “menumbuhkembangkan ekonomi syariah dan lembaga keuangan atau bisnis
syariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa”.
B. Sejarah Pembentukan Dewan Syariah Nasional
Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air
akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas Syariah pada setiap lembaga keuangan,
dipandang perlu didirikan lembaga Dewan syariah Nasional yang akan menampung
berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam
penangananya dari masing-masing Dewan Pengawas Syariah yang ada dilembaga
keuangan syariah.
Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah efisiensi dan
koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah
ekonomi/keuangan. Dewan Syariah Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk
mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.
DSN-MUI dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1998 dan
dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-754/MUI/II/1999. Dewan ini
bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa
dan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah dengan prinsip syariah.35
Adapun latar belakang pembentukan DSN antara lain:
1. Untuk mewujudkan aspirasi umat Islam dalam mendorong penerapan ajaran
Islam dalam bidang perekonomian keuangan;
2. Terciptanya koordinasi dan langkah yang efisien para ulama dalam
mengahdapi isu-isu yang berkaitan dengan masalah ekonomi/keuangan;
3. Menanggapi munculnnya kasus-kasus di bank syariah sehingga diperoleh
dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing bank syariah.
C. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional
Dewan syariah, mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan ekistensi
atau menjamian ke-Islaman keuangan syariah diseluruh dunia. Di Indonesia, tugas ini
dijalankan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
Dalam pedoman dasar DSN-MUI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia
untuk memenuhi masalah-masalah yang berhubungan denagn aktifitas lembaga
keuangan syariah. menurut MUI (SK MUI No, Kep.754/II/1999) dewan ini bertugas
sebagai berikut: pertama Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah
dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya, kedua
mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan, ketiga mengeluarkan fatwa
atas produk dan jasa keuangan syariah, keempat mengawasi penerapan fatwa yang
telah dikeluarkan.36
Selain itu DSN-MUI mempunyai tugas untuk mempublikasikan penerapan
ekonomi Islam kepada masyarakat melalui fatwa-fatwanya sebagai pedoman
pelaksanaan bagi para pelaku ekonomi Islam serta mengawasi produk-produk
lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Untuk keperluan
pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan Syariah yang
bersumber dari hukum-hukum Islam yang menjadi dasar dalam pengawasan dan
pengembangan produk-produk yang akan dikeluarkan oleh lembaga keuangan
syariah.37
Selain itu Dewan Syariah Nasional berwenang: pertama, mengeluarkan fatwa
yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan
36 Adrian Sutedi, S.H., M.H. Perbankan Syariah-Tinjauan dan Beberapapa Segi Hukum, (Ghalia Indonesia, 2009), h.147.