• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Gelombang Kelvin Ekuatorial Atmosferik pada Kondisi Normal (1990), La Nina (1988–1989), dan El Nino (1997–1998)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Gelombang Kelvin Ekuatorial Atmosferik pada Kondisi Normal (1990), La Nina (1988–1989), dan El Nino (1997–1998)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK GELOMBANG KELVIN EKUATORIAL

ATMOSFERIK PADA KONDISI NORMAL (1990),

LA NINA (1988–1989), DAN EL NINO (1997–1998)

FAIZ ROHMAN FAJARY

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

FAIZ ROHMAN FAJARY. Characteristics of Atmospheric Equatorial Kelvin Waves in Normal (1990), La Nina (1988–1989), and El Nino (1997–1998) Condition. Supervised by SONNI SETIAWAN

The purpose of this research is to analyze the characteristics of atmospheric equatorial Kelvin waves using spectral technique of upper winds in the level of 100 mb (tropopause) and 50 mb (lower-stratosphere) in Normal (1990), La Nina (1988–1989) and El Nino (1997–1998) condition. In tropopause, Kelvin waves are predominantly excited by deep tropical convections. Generally, behavior of Kelvin waves in the Normal condition is similar to those observed during the La Nina condition, namely the energy of waves is substantially strong over the maritime continent (Indonesia), but during the La Nina condition the energy of waves is also strong over Pasific ocean. Whereas the energy of waves over Indonesia is low during the El Nino condition because strong energy of the waves moves to western Pasific ocean following deep tropical convections. Kelvin waves have an upward energy propagation. The observed energy of the waves over Indonesia in the level of 100 mb is strong, thus, Indonesian region becomes a favorable region to induce the equatorial stratosphere circulation, especially on the quasi-biennial oscillation (QBO). In the lower-stratospher, we indetify the QBO during the period of 24 and 28 months. In the level of 50 mb the energy of Kelvin waves is strong when phase of QBO changes from easterly to westerly and westerly momentum increases. This is caused by easterly QBO phase dominates layer under the level of 50 mb, so the energy of Kelvin waves can penetrate to the level of 50 mb. The energy of Kelvin waves in tropopause is stronger than in lower-stratosphere due to distance from the forcing (tropical convection centre).

(3)

ABSTRAK

FAIZ ROHMAN FAJARY. Karakteristik Gelombang Kelvin Ekuatorial Atmosferik pada Kondisi Normal (1990), La Nina (1988–1989), dan El Nino (1997–1998). Dibimbing oleh SONNI SETIAWAN.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik dengan menggunakan teknik analisis spektral pada angin level 100 mb (tropopause) dan 50 mb (stratosfer-bawah) pada kondisi Normal (1990), La Nina (1988–1989), dan El Nino (1997–1998). Di tropopause gelombang Kelvin secara dominan dibangkitkan oleh konvektif tropis kuat. Secara umum karakter gelombang Kelvin pada kondisi Normal sama dengan kondisi La Nina, yaitu energi gelombang Kelvin kuat di atas kepulauan Indonesia, tetapi pada kondisi La Nina energi gelombang Kelvin juga menguat di atas Samudra Pasifik. Pada kondisi El Nino energi gelombang Kelvin di atas Indonesia lemah dan energi gelombang Kelvin yang kuat pindah ke Samudra Pasifik bagian barat mengikuti perpindahan pusat konvektif. Gelombang Kelvin merambatkan energinya ke atas. Energi gelombang Kelvin di level 100 mb di atas Indonesia kuat sehingga wilayah Indonesia dapat memberikan pengaruh yang kuat terhadap sirkulasi di stratosfer ekuator khususnya QBO (quasi-biennial oscillation). Di stratosfer-bawah teridentifikasi QBO dengan periode 24 dan 28 bulan. Di level 50 mb energi gelombang Kelvin kuat pada saat terjadi perubahan fase timuran QBO menjadi baratan QBO dan saat terjadi percepatan baratan QBO. Hal ini disebabkan karena di bawah level 50 mb di dominasi oleh fase timuran QBO sehingga energi gelombang Kelvin dapat mengalami penetrasi sampai level 50 mb. Energi gelombang Kelvin di tropopause lebih kuat daripada di stratosfer-bawah karena lapisan tropopause lebih dekat dengan pusat awan konvektif.

(4)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(5)

KARAKTERISTIK GELOMBANG KELVIN EKUATORIAL

ATMOSFERIK PADA KONDISI NORMAL (1990),

LA NINA (1988–1989), DAN EL NINO (1997–1998)

FAIZ ROHMAN FAJARY

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Karakteristik Gelombang Kelvin Ekuatorial Atmosferik pada

Kondisi Normal (1990), La Nina (1988–1989), dan El Nino

(1997–1998)

Nama

: Faiz Rohman Fajary

NIM

: G24080002

Menyetujui,

Pembimbing

Sonni Setiawan, S.Si, M.Si

NIP. 19760116 200604 1 006

Mengetahui,

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan fadhilah-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah gelombang atmosfer, dengan judul Karakteristik Gelombang Kelvin Ekuatorial Atmosferik pada Kondisi Normal (1990), La Nina (1988–1989), dan El Nino (1997–1998). Sholawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada nabi besar Muhammad SAW.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Sonni Setiawan, S.Si, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, ilmu, pengarahan, bimbingan serta kritik dan saran yang tidak hanya berhubungan dengan penelitian, tetapi juga mengenai kesabaran dan kehidupan. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey yang telah memberikan ilmu, pengarahan, bimbingan, kritik dan saran, serta pesan moral yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Daniel Murdiyarso selaku pembimbing akademik, Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku ketua departemen, Bapak Akhmad Faqih P.hD, segenap staf pengajar, dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi yang memberikan bimbingan, arahan, nasihat serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman GASISMA (Keluarga Mahasiswa Madura), teman-teman GFM 45, Kak Sandro, dan semua pihak yang telah membantu penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam karya ilmiah ini masih terdapat banyak kekurangan sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin

Bogor, Februari 2013

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang dilahirkan di Pamekasan, Madura, Jawa Timur pada tanggal 4 Mei 1991 dari pasangan Asy’ari dan Winarni.

Penulis menyelesaikan masa sekolah SDN Pakong VII tahun 2002 dan MTsN Model Sumber Bungur Pamekasan 3 tahun 2005. Tahun 2008 penulis lulus dari SMAN 1 Pamekasan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) untuk jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN ... .. 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II TINJAUAN PUSTAKA ... .. 1

2.1 Gelombang Ekuatorial Atmosferik Skala Planeter ... 1

2.2 Struktur Horizontal Gelombang Ekuatorial Atmosferik Skala Planeter ... 3

2.3 Gelombang Kelvin ... 6

2.4 ENSO (El Nino-Southern Oscillation) ... 7

III METODOLOGI ... .. 8

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 8

3.2 Alat dan Bahan ... 8

3.3 Metode Penelitian ... 9

3.3.1 Analisis Aliran Dasar ... 9

3.3.2 Analisis Spektrum ... 9

3.3.3 Analisis Spektrum Silang ... 10

3.3.4 STSA (Space-Time Spectral Analysis) ... 10

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... .. 11

4.1 Simulasi Teoritik Struktur Horizontal Gelombang Kelvin Ekuatorial ... 11

4.2 Analisis Aliran Dasar ... 13

4.2.1 Kondisi Normal (1990) ... 16

4.2.2 Kondisi La Nina (1988–1989) ... 16

4.2.3 Kondisi El Nino (1997–1998) ... 16

4.3 Analisis Struktur Horizontal Gelombang Kelvin Ekuatorial ... 20

4.3.1 Kondisi Normal (1990) ... 21

4.3.2 Kondisi La Nina (1988–1989) ... 23

4.3.3 Kondisi El Nino (1997–1998) ... 24

4.4 Analisis Struktur Vertikal Gelombang Kelvin ... 25

4.4.1 Kondisi Normal (1990) ... 25

4.4.2 Kondisi La Nina (1988–1989) ... 26

4.4.3 Kondisi El Nino (1997–1998) ... 26

V KESIMPULAN DAN SARAN ... .. 27

5.1 Kesimpulan ... 27

5.2 Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Karakteristik gelombang Kelvin ekuatorial berdasarkan observasi ... 7

2 Episode hangat (merah) dan dingin (biru) berdasarkan ambang batas ±0.5oC rata-rata tiga bulan berjalan anomali SST di wilayah Nino 3.4 (ONI-oceanic

nino index) pada saat a) Normal, b) La Nina, dan c) El Nino ... 8

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 SOI tahun 1988–1989 (La Nina), 1990 (Normal), dan 1997–1998 (El Nino) ... 7

2 Diagram alir penelitian ... 11

3 Simulasi teoritik amplitudo gelombang Kelvin dalam arah utara-selatan (meridional) komponen angin zonal dan geopotensial pada amplitudo yang berbeda ... 11

4 Eksperimen simulasi gelombang Kelvin 2 dimensi dan 3 dimensi dengan bilangan gelombang zonal (k) dan frekuensi sudut (ω) adalah (a) k=0.5; ω=0.05, (b) k=1; ω=0.05, dan (c) k=1.5; ω=0.05 untuk t=0 ... 12

5 Eksperimen simulasi gelombang Kelvin 2 dimensi dan 3 dimensi dengan k=1 dan ω=0.05 untuk (a) t=0 (nondim), (b) t=15 (nondim), dan (c) t=30 (nondim) ... 13

6 Time-height section (THS) angin zonal rata-rata bulanan di Singapura (1oLU dan 104oBT) ... 14

7 Angin zonal ketinggian (a) 50 mb dan (b) 100 mb tahun 1990 (Normal) ... 14

8 Time longitude section (TLS) angin zonal di level 50 mb sepanjang ekuator pada saat kondisi (a) La Nina (1988–1989), (b) Normal (1990), dan (c) El Nino (1997–1998) ... 15

9 Angin zonal ketinggian 50 mb tahun (a) 1988 dan (b) 1989 (La Nina) ... 17

10 Angin zonal ketinggian 100 mb tahun (a) 1988 dan (b) 1989 (La Nina) ... 18

11 Angin zonal ketinggian 50 mb tahun (a) 1997 dan (b) 1998 (El Nino) ... 19

12 Angin zonal ketinggian 100 mb tahun (a) 1997 dan (b) 1998 (El Nino) ... 20

13 Gelombang Kelvin pada level (a) 100 mb dan (b) 50 mb saat kondisi Normal (1990) ... 22

14 Gelombang Kelvin pada level (a) 100 mb dan (b) 50 mb saat kondisi La Nina (1988–1989) ... 23

15 Gelombang Kelvin pada level (a) 100 mb dan (b) 50 mb saat kondisi El Nino (1997–1998) ... 25

16 Koherensi dan spektrum fase angin zonal periode 10–20 harian 100 mb dan 50 mb saat kondisi Normal (1990) ... 26

17 Koherensi dan spektrum fase angin zonal periode 10–20 harian 100 mb dan 50 mb saat kondisi La Nina (1988–1989) ... 27

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Distribusi OLR satu pita tropik saat kondisi a) Normal b) La Nina c) El Nino ... 31

2 Distribusi simetris energi kinetik (Joule) angin meridional 50 mb periode 10– 20 harian saat kondisi (a) Normal, (b) La Nina, dan (c) El Nino ... 32

3 Distribusi simetris energi kinetik (Joule) angin meridional 100 mb periode 10–20 harian saat kondisi (a) Normal, (b) La Nina, dan (c) El Nino ... 33

4 Hasil STSA angin zonal 50 mb saat kondisi Normal (1990) ... 34

5 Hasil STSA angin zonal 100 mb saat kondisi Normal (1990) ... 35

6 Hasil STSA angin zonal 50 mb saat kondisi La Nina (1988–1989) ... 35

7 Hasil STSA angin zonal 100 mb saat kondisi La Nina (1988–1989) ... 36

8 Hasil STSA angin zonal 50 mb saat kondisi El Nino (1997–1998) ... 36

9 Hasil STSA angin zonal 100 mb saat kondisi El Nino (1997–1998) ... 36

10 Pengolahan data menggunakan perangkat lunak Matlab R2008b ... 37

11 Pengolahan data menggunakan perangkat lunak SAS 9.00 ... 42

12 Pengolahan data menggunakan perangkat lunak NCL ... 47

13 Karakteristik gelombang Kelvin ekuatorial berdasarkan observasi ... 48

(13)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gelombang ekuatorial atmosferik skala planeter atau equatorial planetary wave (EPW) merupakan bagian dalam fisika atmosfer dan meteorologi yang menarik untuk dipelajari. EPW umumnya diamati di tropopause dan stratosfer-bawah. Gelombang ini terbentuk di sekitar ekuator dan meluruh seiring dengan semakin menjauh dari ekuator.

Gelombang atmosfer merupakan fenomena yang sangat penting karena dengan gelombang atmosfer efek-efek dinamik dari badai konvektif dapat saling terhubung sehingga dapat memberikan pengaruh pada jarak yang jauh di tropik tanpa adanya perpindahan massa (Holton 2004; Andrews 2010).

Gelombang Kelvin pertama kali dikenalkan pada tahun 1878 oleh Sir William Thomson (Lord Kelvin) sebagai gelombang di perairan (Lynch & Cassano 2006). Gelombang Kelvin merupakan gelombang skala besar yang terdapat di lautan dan juga di atmosfer bumi (Wang 2002).

Holton dan Lindzen (1968) menurunkan persamaan-persamaan gerak atmosfer yang dilinierkan pada bidang-β ekuator dalam mempelajari gelombang Kelvin. Mereka menyebutkan bahwa gelombang ini mirip dengan gelombang Kelvin yang terdapat di lautan. Maruyama (1969) mengamati dua jenis gangguan gelombang skala planeter yaitu Kelvin wave dan mixed Rossby-gravity wave di stratosfer-bawah ekuatorial dengan menggunakan analisis spektrum pada data angin atas dan suhu selama tiga tahun (Juli 1957–Juni 1960) di pulau Canton (02o46’ LS dan 171o43’ BT).

Gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik merupakan salah satu gelombang yang penting di wilayah tropik. Dalam gelombang ini tidak terdapat gangguan angin meridional. Gelombang Kelvin merambat ke arah timur dan mempunyai kecepatan zonal dan gangguan geopotensial yang meluruh secara Gaussian terhadap lintang dan berpusat di ekuator (Matsuno 1966; Holton 2004; Setiawan 2010).

Dalam penelitian ini lebih dikhususkan untuk mengidentifikasi dan mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada kondisi El Nino, La Nina, dan Normal. Salah satu pemicu gelombang ini adalah awan konvektif terutama awan jenis cumulonimbus (Cb). Pada saat El Nino awan konvektif akan banyak terbentuk di atas wilayah Pasifik

bagian timur dekat dengan Amerika Selatan, sedangkan saat terjadi La Nina awan konvektif akan banyak terbentuk di atas wilayah Indonesia. Selanjutnya, akan diamati pengaruh awan konvektif sebagai pemicu terhadap pembentukan gelombang Kelvin sehingga besar kemungkinan pada saat La Nina energi gelombang Kelvin akan kuat di atas wilayah Indonesia, sedangkan pada saat El Nino energinya kuat di atas wilayah Samudra Pasifik Timur. Di samping itu, gelombang Kelvin juga dipicu oleh faktor geografis seperti pegunungan.

Penelitian tentang gelombang Kelvin di atas wilayah Indonesia bagian barat dilakukan oleh Nababan (2009) dan Ningrum (2009), sedangkan untuk seluruh wilayah Indonesia dilakukan oleh Lubis (2010). Dalam penelitian ini gelombang Kelvin tidak hanya diamati di atas wilayah Indonesia dan Samudra Pasifik tetapi akan diamati dalam skala global satu pita tropik. Diharapkan dengan pengamatan dalam skala global pemahaman terhadap gelombang Kelvin akan semakin baik.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan:

1. Mengkaji karakteristik gelombang Kelvin dalam satu pita tropik.

2. Mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada kondisi El Nino, La Nina, dan Normal.

3. Mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada empat periode yang berbeda, yaitu Desember–Februari (DJF), Maret–Mei (MAM), Juni–Agustus (JJA), dan September–Nopember (SON) di lapisan tropopause dan stratosfer-bawah.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gelombang Ekuatorial Atmosferik Skala Planeter

Gelombang ekuatorial merupakan gangguan di atmosfer maupun lautan yang merambat ke arah barat dan timur yang terjebak di ekuator sehingga meluruh ketika menjahui ekuator. Di atmosfer gelombang ini dapat dibangkitkan oleh pemanasan diabatik yang diorganisir oleh konveksi tropik. Perambatan gelombang atmosfer dapat menyebabkan badai konvektif saling terhubung walaupun pada jarak yang jauh (Holton 2004; Andrews 2010).

(14)

skala planeter menggunakan persamaan momentum horizontal, persamaan kontinuitas, dan metode pertubasi dalam konteks perairan dangkal (shallow water equation). Dalam metode pertubasi seluruh variabel medan didekomposisikan menjadi dua komponen, yaitu komponen keadaan dasar yang tidak bergantung waktu dan ruang dan komponen pertubasi yaitu deviasi lokal dari medan terhadap keadaan dasarnya (Holton 2004). Sebagai contoh medan tekanan jika didekomposisikan adalah sebagai berikut

�(�,�) =�̅+�′(�,�), dengan �̅ adalah rata-rata tekanan yang tidak bergantung ruang (x) dan waktu (t) dan p’ adalah deviasi tekanan terhadap rata-ratanya. Holton (2004) juga menjelaskan mengenai asumsi dasar dalam metode pertubasi ini, yaitu variabel keadaan dasar harus memenuhi persamaan jika komponen pertubasi nol, serta komponen pertubasi harus cukup kecil dibanding keadaan dasarnya sehingga bagian yang terdapat perkalian antar kompenen pertubasi cukup kecil.

Randall (2006) menjelaskan bahwa persamaan perairan dangkal merupakan persamaan gerak yang paling sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan struktur horizontal atmosfer. Penamaan persamaan perairan dangkal berasal dari asumsi yang digunakan dalam persamaan ini. Asumsi pertama adalah fluida yang tak termampatkan yaitu densitas fluida (ρ) konstan dan ρ’ = 0. Air (water) merupakan fluida yang hampir tak termampatkan. Asumsi kedua adalah efek shear vertikal dari kecepatan horizontal dapat diabaikan. Asumsi kedua ini dapat dipenuhi jika fluidanya dangkal (shallow).

Dengan asumsi-asumsi yang digunakan dalam persamaan perairan dangkal, gaya gradien tekanan horizontal mengalami sedikit modifikasi. Anggap terdapat sebuah lapisan “bebas” dengan tekanan hampir konstan. Dengan mengintegralkan persamaan hidrostatik dari suatu ketingian (z) sampai puncak permukaan bebas tersebut (h) yaitu

�(�,�,ℎ,�)− �(�,�,�,�) =−��(ℎ − �)

Jika �(�,�,ℎ,�) =� (konstan), maka

�′(,,,) =

ℎ+��ℎ … (1)

Dengan menggunakan persamaan momentum dan kontinuitas (Holton 2004)

��

Dan aproksimasi bidang-β untuk melinierisasikan parameter Coriolis dengan mengasumsikan bahwa parameter tersebut linier terhadap lintang (�), maka ekspansi parameter Coriolis (�) disekitar lintang

�0+�� dalam deret Taylor adalah sebagai

Dengan mensubstitusikan persamaan (1) dan (3) ke persamaan (2), akan diperoleh persamaan sebagai berikut:

��

Persamaan terakhir dari persamaan (4) dapat dimodifikasi sebagai berikut:

�ℎ

Selanjutnya dengan menggunakan metode pertubasi dan mendekomposisikan seluruh medan variabel menjadi komponen dasar dan komponen pertubasi, yaitu:

�(�,�,�) =��+�′(�,�,�)

�(�,�,�) =�̅+�′(�,�,�)

(15)

serta mengasumsikan bahwa atmosfer dalam keadaan diam (��= 0 dan �̅= 0) maka persamaan (4) menjadi:

��′

�′=�ℎ′ merupakan pertubasi geopotensial.

Kemudian akan sangat bermanfaat jika persamaan (5) diubah menjadi bentuk tak berdimensi dengan menggunakan persamaan berikut:

Dengan mensubstitusikan persamaan di atas ke dalam persamaan (5) maka akan diperoleh persamaan-persamaan sebagai berikut:

Untuk mempermudah penulisan dan tidak mengubah maksud dan tujuan dari menon-dimensionalkan persamaan-persamaan di atas, maka tanda bintang (*) dapat dihilangkan, sehingga persamaan-persamaan di atas akan menjadi:

Persamaan (6) di atas akan digunakan untuk menggambarkan struktur horizontal gelombang atmosfer ekuatorial atmosfer dengan semua simbol menyatakan besaran yang tidak berdimensi (Matsuno 1966; Holton 2004; Setiawan 2010).

2.2 Struktur Horizontal Gelombang Ekuatorial Atmosferik Skala Planeter

Telah disebutkan bahwa gelombang atmosfer ekuatorial planeter meluruh dalam arah meridional, sehingga terdapat kebergantungan variabel-variabel tak berdimensi �,�,� terhadap ruang dan waktu. Komponen Fourier dari propagasi gelombang secara zonal dapat ditulis secara matematis sebagai berikut:

��

Dengan mensubstitusikan persamaan (7) ke dalam persamaan (6) akan diperoleh persamaan sebagai berikut:

−���� − ���+����= 0 … (8) persamaan (8) dan (10) maka akan diperoleh:

��= 1

Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan (11) dan (12) ke persamaan (9) diperoleh persamaan:

Karena gelombang ekuatorial atmosferik merupakan gangguan yang terjebak di ekuator dan meluruh seiring menjauhi ekuator maka persamaan (13a) harus mempunyai syarat batas �� →0 ketika � → ∞ (Matsuno 1966; Setiawan 2010).

Kemudian persamaan (13a) dapat dituliskan dalam bentuk

�2��

�2− �2��=−��� . . . (13b) dengan �=�2− �2−�

�.

Dengan menggunakan sifat notasi operator diferensial

(16)

��� +�� ��

�� − �� ���=−(�+ 1)��� . . . (15)

Selanjutnya dengan melakukan operasi

��� +�� pada persamaan (14) dan ��

��− ��

pada persamaan (15) menjadi:

��� +�� ��

Dengan membandingkan persamaan (14) dan (17), ��=�� Kemudian substitusikan terhadap persamaan (15) menjadi

��� +�� ���+2=−(�+ 1)�� … (18) Selanjutnya dengan mengambil �=−1, diperoleh ��

Artinya persamaan (13b) mempunyai solusi jika �= 2�+ 1 (ganjil) untuk n = 0, 1, 2, 3, .... Sehingga persamaan (13b) dapat dituliskan sebagai berikut:

�2��

��2 − �2���=−(2�+ 1)��� … (19)

Sehingga �2− �2−�

�= 2�+ 1 … (20) Bentuk solusi dari persamaan (19) yang merupakan bentuk dari fungsi Hermite adalah

���=���� − �� dan dapat disimpulkan bahwa

���=�

Kemudian didefinisikan bahwa

��(�) = (−1)��

Selanjutnya dengan mensubstitusikan

���=�−

Untuk menyelesaikan persamaan (21) menggunakan �(�) = (−1)���2 ��

���(�−� 2

) adalah sebagai berikut:

(17)

Kemudian dengan menyederhanakan

�� dapat disederhanakan menjadi

���(�)

��2 juga dapat disederhanakan menjadi

�2 �(�)

��2 = 4�(� −1)��−2(�) … (23)

Kemudian dengan mensubstitusikan persamaan (22) dan (23) ke dalam persamaan (21) diperoleh:

��+1(�) = 2���(�)−2(�)��−1(�) … (24)

Persamaan (24) dapat digunakan untuk mencari � jika orde lainnya diberikan.

Dari penurunan persamaan yang dilakukan persamaan gelombang atmosfer ekuatorial dapat dinyatakan dalam fungsi � yaitu

Selanjutnya dengan menggunakan persamaan (7) dan mengambil komponen real maka persamaan perambatan gelombang atmosfer ekuatorial dalam fungsi � sebagai berikut:

Bilangan n disebut sebagai modus gelombang atau cara gelombang bergetar.

Gelombang dengan suatu modus gelombang akan bergetar secara unik artinya cara bergetarnya akan berbeda antar modus. Satu hal yang sangat menarik dari modus gelombang ini, seperti yang dibuktikan oleh Setiawan (2010) bahwa antar modus gelombang tidak saling mempengaruhi. Berikut adalah pembuktiannya, tinjau persamaan (21) yang telah dimodifikasi menjadi:

Kalikan persamaan (28) dan (29) dengan � dan � berturut-turut, kemudian kurangi persamaan (28) terhadap persamaan (29), sehingga didapat: memiliki arti yang sangat penting yaitu bahwa antar modus gelombang saling bebas dan tidak saling mempengaruhi (orthogonal).

Selanjutnya dengan meninjau kembali persamaan (20) dan mengubahnya menjadi bentuk �2+�

�+ (2�+ 1− �2) = 0, agar k memiliki akar-akar real berbeda, maka diskriminan pada persamaan tersebut harus lebih besar dari nol.

�44(2+ 1)2+ 1 > 0

(18)

|�| >�1

2(2�+ 1) +��(�+ 1) , atau

|�| <�1

2(2�+ 1)− ��(�+ 1) , dalam bentuk berdimensi adalah

|�| >��1

2(2�+ 1) +��(�+ 1)� ���� atau

|| <�(1

2(2�+ 1)− ��(�+ 1))����

Solusi diatas memberikan batasan nilai frekuensi bagi keberadaan gelombang atmosfer planeter.

2.3 Gelombang Kelvin

Gelombang Kelvin ekuatorial atmosferik merupakan salah satu gelombang yang mempunyai peran sangat penting, seperti pelepasan panas laten konvektif, pembentukan QBO (quasi-biennial oscillation) di stratosfer, serta pembentukan MJO (Madden-Julian oscillation) (Wang 2002). Ciri dari gelombang Kelvin adalah tidak terdapat pertubasi angin meridional (Matsuno 1966; Holton 2004). Oleh karena itu, persamaan (8), (9), dan (10) dapat disederhanakan menjadi:

−����+����= 0 … (31)

���+���

��= 0 … (32) −����+����= 0 … (33)

Dengan melakukan modifikasi pada persamaan (31) menjadi ��=�

��� dan mensubstitusikannya pada persamaan (33) maka:

�2− �2= 0 … (34)

Persamaan (34) memiliki dua solusi, yaitu

�=� atau �=−�. Kemudian, dengan mengeliminasi �� pada persamaan (32) menggunakan persamaan (31) maka diperoleh:

��=�− �2��2 … (35)

Jika solusi-solusi dari persamaan (34) disubstitusikan pada persamaan (35) maka akan diperoleh:

untuk �=�, ��=�−12�2

(memenuhi) … (36)

untuk �=−�, ��=�12�2

(tidak memenuhi) … (37)

Telah disebutkan bahwa gelombang yang terperangkap di wilayah ekuator akan meluruh seiring menjauhi ekuator sehingga dari kedua solusi di atas solusi yang terakhir tidak memenuhi karena variabel �� tidak meluruh seiring dengan menjauh dari ekuator. Dengan demikian, solusi struktur horizontal gelombang Kelvin adalah sebagai berikut:

��(�) =��(�) =�−12�2 … (38) Dan perambatan gelombang Kelvin, yaitu:

�′(,,) =(,,) =�−12�2exp[�(�� − ��)]

=�−12�2�cos(�� − ��)− � sin(�� − ��)� Dengan mengambil komponen real dari persamaan di atas, perambatan gelombang Kelvin menjadi:

�′(,,) =(,,)

=�−12�2cos(�� − ��) … (39) Gelombang Kelvin dikenal dengan gelombang bermode n = –1. Hal ini dapat dibuktikan dengan menggunakan persamaan (20) dan (36).

(19)

Tabel 1 Karakteristik gelombang Kelvin ekuatorial berdasarkan observasi

Karakteristik Besaran Level Sumber

Periode

Tp Indonesia barat Tp Indonesia barat Tp Indonesia

Wallace & Kousky (1968) Randel & Wu (2005) Ningrum (2009) Ke bawah; Ketimur atau quasi stasioner Ke timur

Ke timur Ke timur

S Tp

Tp Indonesia barat Tp Indonesia barat Tp Indonesia

Wallace & Kousky (1968) Randel & Wu (2005)

Ningrum (2009)

Wallace & Kousky (1968) Randel & Wu (2005) Keterangan: S: Stratosfer, Tp: Tropopause, T: Troposfer

Untuk menganalisis kecepatan kelompok menggunakan persamaan berikut:

���=����

dan persamaan (36) sehingga diperoleh

���= 1 atau dalam bentuk dimensi ��� =

���. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan kelompok merambat ke arah timur relatif terhadap angin dasar. Energi dalam gelombang dibawa oleh kecepatan kelompok ini sehingga dalam gelombang Kelvin energi

dirambatakan ke arah timur relatif terhadap angin dasar.

2.4 ENSO (El Nino-Southern Oscillation) El Nino terjadi karena melemahnya sirkulasi Walker. Pergeseran sikulasi Walker dipengaruhi oleh interaksi antara atmosfer dengan permukaan lautan. Perubahan dari suhu permukaan laut menyebabkan perubahan tekanan di atmosfer dan angin. Perubahan dalam sirkulasi atmosfer dapat mengubah suhu permukaan laut (Oliver & Hidore 2002).

(20)

Dalam mempelajari ENSO biasanya digunakan indeks untuk menjelaskan kejadian dan besarnya aktivitas ENSO, indeks yang digunakan diantaranya adalah berdasarkan suhu permukaan laut di wilayah ekuator Samudra Pasifik bagian timur (Tabel 2) dan southern oscillation index (SOI) (Gambar 1) yang merupakan fungsi dari perbedaan tekanan permukaan laut bulanan antara Tahiti dan Darwin. SOI positif menandakan kejadian La Nina, sedangkan SOI negatif menandakan kejadian El Nino (Aguado dan Burt 2007).

Tabel 2 Episode hangat (merah) dan dingin (biru) berdasarkan ambang batas ±0.5oC rata-rata tiga bulan berjalan anomali SST di wilayah Nino 3.4 (ONI-oceanic nino index) pada saat a) Normal, b) La Nina, dan c) El Sumber: NOAA 2012

Aguado dan Burt (2007) menjelaskan bahwa pada saat kondisi Normal angin pasat memindahkan permukaan air laut yang hangat dekat ekuator ke arah barat, menyebabkan suhu muka air laut di Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada Pasifik bagian timur dan muka air laut Pasifik bagian barat juga lebih tinggi di banding Pasifik bagian timur. Air laut hangat yang berpindah ke arah barat itu digantikan dengan air laut yang lebih dingin dengan proses upwelling di Pasifik bagian timur sehingga di Pasifik bagian barat suhu muka air laut dan suhu udara semakin hangat dan menyebabkan tekanan udara semakin kecil. Akibat perbedaan tinggi muka air laut, suatu saat secara perlahan-lahan air laut yang hangat akan bergerak ke timur menyebabkan angin pasat melemah dan bahkan berbalik arah, sehingga suhu permukaan laut dan udara Pasifik bagian timur menghangat dan tekanan udara semakin rendah. Kejadian tersebut dikenal sebagai episode El Nino.

Pada saat La Nina angin pasat menguat kembali dan membawa lebih banyak panas

yang dibawa oleh arus laut sehingga suhu permukaan laut Pasifik bagian barat lebih hangat dan tekanan udara semakin rendah serta gradien tekanan meningkat. Berbeda halnya dengan Pasifik bagian timur karena panas dibawa oleh angin pasat ke arah barat, suhu permukaan di wilayah Pasifik bagian timur semakin rendah, upwelling semakin meningkat, dan tekanan udara juga semakin meningkat (Aguado dan Burt 2007).

Tabel 3 Tahun kejadian El Nino dan La Nina 1950–1998

Sumber: Oliver & Hidore 2002

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2012 hingga bulan November 2012 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB.

3.2 Alat dan Bahan

(21)

bujur dan 5o dalam lintang. Data tersebut adalah data harian dengan interval pengamatan enam jam. Data angin zonal dan meridional diperoleh dari NCAR/NCEP Reanalysis I untuk kondisi Normal (1990), La Nina (1988–1989), dan El Nino (1997–1998) di dua level ketinggian yaitu tropopause (100 mb) dan stratosfer-bawah (50 mb). Di samping itu, penelitian ini menggunakan data OLR (outgoing longwave radiation) rata-rata tiga bulanan pada tahun-tahun kajian (1988, 1989, 1990, 1997, dan 1998) untuk mengestimasi pusat awan konvektif dalam satu pita tropik. Data angin zonal dan meridional dapat diunduh melalui situs NOAA yaitu http://www.esrl.noaa.gov/psd/ data/gridded/data.ncep.reanalysis.pressure.ht ml, sedangkan data OLR dapat diunduh di ftp://ftp.cdc.noaa.gov/Datasets/interp_OLR/ol r.mon.mean.nc.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Analisis Aliran Dasar

Analisis aliran dasar dilakukan terhadap data angin untuk melihat pola pergerakannya secara umum. Analisis dilakukan dengan melihat profil angin pada empat periode (DJF, MAM, JJA, dan SON) dalam lima tahun kajian (1988, 1989, 1990, 1997, dan 1998) di dua level ketinggian (100 mb dan 50 mb). Profil angin yang dibuat adalah distribusi spasial angin zonal di level 100 mb dan 50 mb serta time longitude section (TLS) angin zonal di ekuator dalam tiga kondisi yaitu El Nino (1997–1998), La Nina (1988–1989), dan Normal (1990) di level 50 mb.

3.3.2 Analisis Spektrum

Mulyana (2004) menjelaskan analisis spektrum merupakan telaah periodesitas data deret waktu pada kawasan frekuensi. Analisis ini dapat menganalisis periodesitas data tersembunyi yang sulit diperoleh pada saat menganalisis dengan menggunakan domain waktu. Analisis spektrum dapat dilakukan untuk menganalisis data deret waktu dengan menggunakan pendekatan domain frekuensi (Chatfield 1989; Wilks 1995). Analisis domain frekuensi menyajikan deret data dalam hubungan kontribusi kejadian dalam skala waktu yang berbeda atau frekuensi. Analisis spektrum merupakan modifikasi analisis Fourier agar cocok untuk fungsi waktu yang stokastik (Chatfield 1989).

Analisis Fourier direpresentasikan oleh deret Fourier, yaitu setiap fungsi yang periodik dapat direpresentasikan oleh jumlah tak hingga dari fungsi sinus dan kosinus.

Secara matematis didefinisikan sebagai berikut:

Untuk fungsi-fungsi yang non-periodik dapat direpresentasikan dengan menggunakan transformasi Fourier, secara matematis didefinisikan sebagai berikut (Weber dan Arfken 2003):

Spektrum merupakan transformasi Fourier dari fungsi autokovarians, yang secara matematis ditulis:

�(�) =1

� � �(�)�−���

�=−∞

Dalam struktur horizontal, gelombang ekuatorial linier dapat dibagi menjadi jenis simetris dan asimetris terhadap ekuator yang merupakan fungsi dari lintang (�). Hal tersebut dilihat dari medan data yang digunakan. Dalam persamaan dituliskan sebagai berikut:

��(�) =���(�) +���(�)

��� (�) = (��(�)− ��(−�))/2

��� (�) = (��(�) +��(−�))/2 Keterangan:

ZW : Zonal Wind

ZWA : Zonal Wind Antisymmetric ZWS : Zonal Wind Symmetric

Untuk gelombang dengan mode meridional (n) ganjil bentuk gelombangnya adalah simetrik terhadap ekuator (Wheeler & Kiladis 1999). Gelombang Kelvin memiliki n = –1 (ganjil) sehingga medan data dari gelombang Kelvin simetris terhadap ekuator.

(22)

dengan mempertimbangkan ciri-ciri dari gelombang Kelvin.

Berdasarkan Tabel 2 pada saat kondisi La Nina ONI (Oceanic Nino Index) minimum terjadi pada periode SON dan DJF dan saat kondisi El Nino ONI maksimum terjadi pada periode SON dan DJF. Untuk mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada tiga kondisi (Normal, La Nina, dan El Nino) maka periode yang akan dikaji adalah SON dan DJF dengan kontrol adalah tahun 1990 (Normal). Selain itu, untuk mengkaji karakteristik gelombang Kelvin pada empat periode berbeda (DJF, MAM, JJA, dan SON) menggunakan data tahun 1990 (Normal).

3.3.3 Analisis Spektrum Silang

Chatfield (1989) menjelaskan bahwa spektrum silang merupakan teknik untuk menguji hubungan antara dua deret waktu dalam domain frekuensi. Definisi dari spektrum silang terhadap proses bivariat diskret yang diukur pada suatu unit interval waktu sebagai tranformasi Fourier dari fungsi kovarian silang pada selang 0 < ω < π, adalah

Untuk membantu menginterpretasikan spektrum silang terdapat beberapa persamaan yang diturunkan, yaitu:

a) co-spectrum: bagian real dari spektral silang.

b) quadrature-spectrum: bagian kompleks dari spektral silang.

���(�) =

c) cross-amplitude spectrum

���(�) =�[�2(�) +�2(�)]

f) gain spectrum

���(�) =��� (�)

��(�)

3.3.4 STSA (Space-Time Spectral Analysis) Metode ini digunakan untuk mempelajari gelombang yang merambat secara zonal dan mendekomposisikan medan data yang bergantung ruang dan waktu (dalam penelitian ini menggunakan angin zonal) ke dalam komponen jumlah gelombang dan frekuensi untuk gelombang yang merambat ke arah barat dan timur (Hayashi 1982; Wheeler & Kiladis 1999). Dalam penelitian ini metode STSA hanya merupakan metode pendukung.

Dalam metode STSA, proses kompleks FFT (Fast Fourier Transform) dilakukan pada medan data (angin zonal) fungsi dalam bujur untuk mendapatkan koefisien-koefisien Fourier untuk masing-masing waktu dan lintang (150 LU–150 LS). Kemudian, dilakukan proses kompleks FFT lanjut fungsi dalam waktu terhadap koefisien-koefisien Fourier tersebut untuk memperoleh spektrum jumlah gelombang-frekuensi untuk masing-masing lintang. Selanjutnya, spektrum daya (power spectrum) data angin zonal dirata-ratakan selama waktu kajian kemudian dijumlahkan untuk semua lintang (dalam penelitian ini 150 LU-150 LS) (Wheeler & Kiladis 1999).

Proses di atas merupakan bawaan dari perangkat lunak NCL (NCAR Command Language) dengan fungsi wkSpaceTime. Keluaran dari fungsi tersebut adalah diagram spektrum daya angin zonal sebagai fungsi dari frekuensi dan jumlah gelombang zonal untuk komponen simetris dan asimetris.

(23)

Gambar 2 Diagram alir penelitian.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Simulasi Teoritik Struktur Horizontal Gelombang Kelvin Ekuatorial

Hasil simulasi amplitudo pertubasi angin zonal dan geopotensial terhadap lintang berdasarkan persamaan (38) dapat dijelaskan oleh Gambar 3. Gambar tersebut menjelaskan bahwa amplitudo pertubasi angin zonal sama dengan amplitudo pertubasi geopotensial yaitu maksimum berada di ekuator dan meluruh secara Gaussian (Gaussian decay) seiring dengan menjauh dari ekuator (Matsuno 1966; Holton 2004; Setiawan 2010).

Distribusi pertubasi angin zonal dan geopotensial dalam arah meridional adalah simetris terhadap ekuator. Hal ini merupakan salah satu ciri dari gelombang dengan n ganjil (odd-mode waves) termasuk gelombang Kelvin (n = –1) (Wheeler & Kiladis 1999).

Gambar 3 Simulasi teoritik amplitudo gelombang Kelvin dalam arah utara-selatan (meridional) komponen angin zonal dan geopotensial pada amplitudo yang berbeda.

Simulasi pada Gambar 4 memperlihatkan pertubasi medan angin zonal dan medan geopotensial memiliki fase yang sama, maksimum di ekuator dan meluruh ketika menjauhi ekuator serta tidak terdapat pertubasi angin meridional. Kemudian, pertubasi medan angin zonal sefase dengan pertubasi medan geopotensial, yaitu ketika ampitudo pertubasi angin zonal maksimum amplitudo pertubasi geopotensial juga maksimum.

Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin besar bilangan gelombang (k) maka jumlah gelombang (s) semakin banyak tetapi panjang gelombang (λ) semakin kecil dalam satu pita ekuator. Hal ini disebabkan karena k berbanding terbalik dengan λ. Hasil simulasi tiga dimensi menunjukkan peluruhan medan geopotensial membentuk kurva Gaussian dalam arah meridional dan pertubasi angin zonal dan geopotensial mengikuti fungsi sinus/kosinus dalam arah zonal. Gelombang Kelvin merupakan gelombang yang simetris terhadap ekuator dalam arah meridional dan asimetris dalam arah zonal.

Simulasi Gambar 5 menjelaskan bahwa dengan bertambahnya waktu (t = 0, t = 15, dan t = 30) gelombang Kelvin merambat ke arah timur dan dalam perambatannya tidak mengalami perubahan bentuk, artinya Data NCEP/NCAR

Reanalysis I NOAA

Variasi musim (DJF, MAM, JJA, SON)

di dua level ketinggian (50 mb dan 100 mb)

pada tiga kondisi (Normal, La Nina, dan El Nino)

Angin zonal, angin meridional,

OLR

Time Longitude Section (TLS), spasial angin zonal, dan spasial OLR

Analisis aliran dasar

Analisis spektral

Analisis spektral silang STSA

(24)

gelombang Kelvin adalah salah satu jenis gelombang non-dispersif. Semua simulasi yang dibuat merupakan simulasi gelombang

Kelvin linier dan tidak memperhitungkan gaya pembangkit (free wave).

(a)

(b)

(c)

(25)

(a)

(b)

(c)

Gambar 5 Eksperimen simulasi gelombang Kelvin 2 dimensi dan 3 dimensi dengan k = 1 dan ω = 0.05 untuk (a) t = 0 (nondim), (b) t = 15 (nondim), dan (c) t = 30 (nondim).

4.2 Analisis Aliran Dasar

Di stratosfer ekuatorial terdapat fenomena yang sangat menarik yaitu osilasi angin zonal dengan periode sekitar dua tahunan yang dikenal dengan quasi-biennial oscillation (QBO) (Gambar 6). Ciri-ciri dari QBO adalah pergantian secara teratur angin baratan dan timuran yang simetris secara zonal dengan periode bervariasi sekitar 24–30 bulan, merambat ke bawah dengan laju 1 km/bulan tanpa pengurangan amplitudo antara ketinggian 30 dan 23 km tetapi dibawah ketinggian 23 km terjadi pengurangan amplitudo secara cepat, osilasi simetris terhadap ekuator dengan amplitudo

maksimum sekitar 20 m/s, dan meluruh secara Gaussian dengan lebar sekitar 12o dalam arah meridional (Lindzen & Holton 1968; Holton 2004; Lynch & Cassano 2006).

(26)

Gambar 6 Time-height section (THS) angin zonal rata-rata bulanan di Singapura (1o LU dan 104o BT). Warna gelap: angin baratan.

sumber: http://www.geo.fu-berlin.de/met/ag/strat/produkte/ qbo/qbo_ wind_pdf.pdf.

(a)

(b)

(27)

(a)

(b)

(c)

(28)

4.2.1 Kondisi Normal (1990)

Pada tahun Normal di level 50 mb didominasi oleh fenomena QBO (Gambar 7a). Kedua fase QBO terdapat dalam tahun ini, yaitu fase timuran QBO pada dua periode pertama (DJF dan MAM) dan fase baratan pada dua periode berikutnya (JJA dan SON). Pada periode DJF terjadi fase timuran QBO dan melemah pada periode berikutnya (MAM) serta terjadi perubahan fase QBO menjadi fase baratan pada periode JJA dan SON. Pada periode JJA walaupun di sepanjang keliling bumi sekitar 15o LU terdapat angin timuran tetapi angin baratan merupakan angin yang dominan di sekitar ekuator. Begitu juga pada periode SON pada 15o LU/LS masih terdapat angin timuran walaupun tidak disepanjang keliling bumi, tetapi di sekitar ekuator sepanjang keliling bumi didominasi oleh angin baratan. Time longitude section (TLS) menunjukkan setengah periode QBO (fase timuran) adalah 12 bulan (Juni 1989–Mei 1990) sehingga periode QBO yang tertangkap adalah 24 bulan (Gambar 8a–b). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti bahwa periode QBO bervariasi sekitar 24–30 bulan (Lindzen dan Holton 1968; Holton 2004).

Pada saat perambatan QBO ke bawah akan terjadi pengurangan amplitudo secara cepat di bawah ketinggian 23 km. Ketinggian geopotensial level 100 mb adalah sekitar 16 km berdasarkan data atmosfer standar (Holton 2004). Pada level 100 mb fenomena QBO sudah lenyap (Gambar 7b).

4.2.2 Kondisi La Nina (1988–1989)

Pada kondisi La Nina di level 50 mb didominasi oleh fenomena QBO (Gambar 9a dan 9b). Seluruh periode tahun 1988 merupakan fase baratan QBO dan berlanjut sampai periode MAM 1989, sedangkan untuk dua periode terakhir (JJA dan SON) pada tahun 1989 merupakan fase timuran QBO. Walaupun terdapat angin timuran pada fase baratan QBO, tetapi di sekitar ekuator masih di dominasi oleh angin baratan. Hal yang menarik dari analisis angin zonal pada fase La Nina (1988–1989) adalah pergantian fase QBO dimulai dari semakin mendominasinya

angin zonal yang berlawanan arah dengan fase QBO, angin zonal tersebut awalnya mendominasi wilayah yang jauh dari ekuator kemudian dengan bertambahnya waktu mendominasi wilayah ekuator. Di samping itu, angin zonal yang berlawanan dengan fase QBO lebih banyak terdapat pada fase baratan QBO daripada fase timuran QBO (Gambar 7a, 9a–b, dan 11a–b).

Gambar 10a–b menunjukkan bahwa fenomena QBO sudah tidak terlihat di level 100 mb atau dapat dikatakan bahwa pada level tersebut fenomena QBO sudah lenyap. Pengurangan amplitudo QBO secara cepat di bawah ketinggian 23 km menyebabkan fenomena QBO tidak sampai pada level 100 mb.

4.2.3 Kondisi El Nino (1997–1998)

Gambar 11a dan 11b menunjukkan di level 50 mb pada periode DJF dan MAM 1997 merupakan fase timuran QBO, tetapi pada periode MAM fase timuran QBO lebih lemah dibanding DJF. Kemudian, mengalami perubahan fase menjadi baratan pada periode selanjutnya (JJA 1997). Periode JJA 1997 sampai MAM 1998 merupakan fase baratan QBO, sedangkan dua periode terakhir (JJA dan SON) pada tahun 1998 merupakan fase timuran QBO lagi. TLS tahun 1997–1998 (Gambar 8c) menunjukkan setengah periode QBO (fase baratan) adalah 14 bulan (April 1997–Mei 1998) sehingga periode QBO pada tahun El Nino adalah 28 bulan. Mirip pada saat fase La Nina pergantian fase QBO dimulai dari semakin mendominasinya angin zonal yang berlawanan arah dengan fase QBO, angin zonal tersebut awalnya mendominasi wilayah yang jauh dari ekuator kemudian seiring bertambahnya waktu mendominasi wilayah ekuator. Di samping itu, angin zonal yang berlawanan dengan fase QBO lebih banyak terdapat pada fase baratan QBO daripada fase timuran QBO.

(29)

(a)

(b)

(30)

(a)

(b)

(31)

(a)

(b)

(32)

(a)

(b)

Gambar 12 Angin zonal ketinggian 100 mb tahun (a) 1997 dan (b) 1998 (El Nino).

4.3 Analisis Struktur Horizontal Gelombang Kelvin Ekuatorial

Analisis dilakukan terhadap pengolahan spektrum data angin zonal dan meridional, yaitu dengan membandingkan antara distribusi simetris energi kinetik angin zonal dengan distribusi simetris energi kinetik angin meridional (Gambar 13–15 dan Lampiran 2– 3). Telah disebutkan bahwa ciri-ciri dari gelombang Kelvin adalah tidak terdapatnya pertubasi angin meridional, sedangkan pertubasi angin zonal maksimum di ekuator dan meluruh seiring semakin menjauh dari ekuator (Matsuno 1966; Holton 2004;

(33)

4.3.1 Kondisi Normal (1990)

Pada periode DJF 1990 di tropopuase Samudra Pasifik bagian tengah sampai timur tidak terdapat gelombang Kelvin karena di wilayah tersebut osilasi angin zonal tidak meluruh seiring semakin menjauh dari ekuator dan terdapat osilasi angin meridional. Pada periode MAM 1990 di tropopause Pasifik bagian tengah sampai timur juga tidak terdapat gelombang Kelvin karena terdapat osilasi angin meridional yang besar. Pada periode JJA 1990 di tropopause Samudra Pasifik osilasi angin zonal tidak meluruh seiring menjauh dari ekuator, begitu juga pada periode SON 1990 di tropopause Samudra Pasifik bagian timur. Dengan demikian, di wilayah tersebut tidak terdapat gelombang Kelvin. Tidak adanya gelombang Kelvin ini ditandai dengan kotak warna hitam pada Gambar 13a.

Pada level 100 mb (tropopause) secara umum gelombang Kelvin menguat di atas wilayah kepulauan Indonesia, Samudra Hindia, dan Samudra Atlantik (Gambar 13a). Menguatnya energi gelombang Kelvin bersesuaian dengan wilayah keawanan tinggi (OLR rendah) (Lampiran 1a). Hal ini mengindikasikan bahwa gelombang Kelvin dapat dibangkitkan oleh awan-awan konvektif. Peningkatan intensitas keawanan sebagai pemicu dari gelombang Kelvin menyebabkan energi gelombang semakin besar. Hal ini terlihat pada periode DJF dan MAM 1990 di atas kepulauan Indonesia terdapat energi gelombang Kelvin dan keawanan yang tinggi. Secara umum energi gelombang Kelvin paling besar terdapat di Indonesia dibandingkan dengan wilayah lainnya dalam satu pita tropik. Hal yang menarik yaitu energi gelombang Kelvin cukup kuat terdapat di Samudra Atlantik walaupun di wilayah tersebut tingkat keawanan kecil. Hal ini menunjukkan bahwa keawanan bukan satu-satunya faktor pemicu gelombang Kelvin, sehingga perlu kajian lebih lanjut dengan daerah kajian yang lebih sempit agar lebih fokus terutama di Samudra Atlantik. Energi gelombang Kelvin yang kuat tetapi dengan tingkat keawanan rendah merupakan jenis gelombang Kelvin yang jauh dari sumber pemicu (free waves), sedangkan energi gelombang Kelvin yang kuat dan bersesuaian dengan keawanan yang tinggi merupakan gelombang Kelvin yang dekat dengan sumber pemicu (forced waves).

Energi gelombang Kelvin pada periode DJF dan MAM relatif lebih kuat daripada periode JJA dan SON disebabkan pusat awan

konvektif pada periode DJF dan MAM lebih dekat ke ekuator. Hasil STSA pada Lampiran 5 menunjukkan terdapat aktivitas gelombang Kelvin pada frekuensi 0.05–0.1 siklus perhari dan jumlah gelombang zonal 1–2 pada semua periode (DJF–SON) ditandai dengan nilai spektrum yang tinggi (kontur berwarna hijau).

Pada lapisan stratosfer-bawah (50 mb) saat kondisi Normal osilasi angin meridional (Lampiran 2a) sangat kecil atau hampir tidak terdapat osilasi angin meridional pada semua periode (DJF–SON) dibandingkan dengan osilasi angin zonal (Gambar 13b). Selain itu, osilasi angin zonal meluruh seiring menjauh dari ekuator pada masing-masing periode dalam satu pita tropik (Gambar 13b), sehingga saat kondisi Normal terdapat aktivitas gelombang Kelvin di stratosfer-bawah ekuator. Hasil STSA (Lampiran 4) menunjukkan terdapat aktivitas gelombang Kelvin pada frekuensi 0.05–0.1 siklus perhari dan jumlah gelombang zonal 1–2 dalam satu pita tropik ditandai dengan nilai spektrum daya yang relatif tinggi. Energi gelombang Kelvin di lapisan tropopause lebih kuat daripada startosfer-bawah disebabkan lapisan tropopause lebih dekat dengan sumber pemicu dan merupakan lapisan yang stabil.

(34)

momentum baratan ke atas sehingga Kelvin memberikan percepatan baratan terhadap QBO (Holton dan Lindzen 1968; Wallace dan Kousky 1968; Maruyama 1969; Holton 2004; Lynch dan Cassano 2006).

Fase timuran QBO di level 50 mb dimulai sejak periode JJA 1989 (Gambar 9b), sehingga pada periode MAM 1990–JJA 1990 lapisan di bawah level 50 mb didominasi oleh fase timuran QBO. Hal ini menyebabkan energi gelombang Kelvin dapat mengalami penetrasi sampai level 50 mb, sehingga pada kedua periode tersebut di level 50 mb terlihat energi gelombang Kelvin tinggi.

Observasi menunjukkan QBO merambat ke bawah dengan laju 1 km/bulan (Lindzen dan Holton 1968; Holton 2004; Lynch dan Cassano 2006). Hal ini menyebabkan penyerapan fluks momentum gelombang Kelvin oleh aliran dasar baratan (SON 1990) terjadi pada level ketinggian yang lebih rendah dibanding bulan sebelumnya (JJA 1990), sehingga energi gelombang Kelvin yang sampai pada level 50 mb pada periode SON 1990 lebih kecil dari periode sebelumnya (JJA 1990).

(a)

(b)

(35)

4.3.2 Kondisi La Nina (1988–1989)

Keberadaan gelombang Kelvin dilakukan dengan membandingkan osilasi simetris angin zonal (Gambar 14a) dengan osilasi simetris angin meridional (Lampiran 3b). Pada periode SON 1988 di tropopause benua Amerika bagian timur tidak terdapat gelombang Kelvin karena terdapat osilasi angin meridional. Sementara itu, di atas Samudra Pasifik pada periode yang sama terdapat osilasi angin meridional yang sangat kecil dibandingkan dengan osilasi angin zonal, sehingga di atas Samudra Pasifik terdapat gelombang Kelvin. Pada periode DJF 1989 di atas Samudra Pasifik bagian tengah (sekitar 150o BB) tidak terdapat gelombang Kelvin karena terdapat osilasi angin meridional pada wilayah yang sama. Tidak adanya gelombang Kelvin ditandai dengan kotak hitam pada Gambar 14a.

Secara umum saat Kondisi La Nina energi gelombang Kelvin kuat di atas kepulauan Indonesia. Kuatnya energi gelombang Kelvin di atas Indonesia bersesuaian dengan pusat keawanan yang tinggi (OLR rendah) (Lampiran 1b). Hal ini mengindikasikan bahwa di tropopause gelombang Kelvin dapat dibangkitkan oleh awan-awan konvektif.

Selain di atas wilayah Indonesia, energi gelombang Kelvin juga kuat di atas Samudra Pasifik. Distribusi spasial OLR menunjukkan

bahwa keawanan di atas Samudra Pasifik jauh lebih kecil dibanding wilayah Indonesia, tetapi terdapat energi gelombang Kelvin yang relatif kuat. Untuk menganalisis hal ini perlu kajian yang lebih mendalam secara kuantitatif dengan mempertimbangkan gaya pembangkit dari gelombang Kelvin. STSA menunjukkan bahwa terdapat aktivitas gelombang Kelvin pada frekuensi 0.05–0.1 siklus perhari dan jumlah gelombang zonal 1–2. Nilai STSA ini menunjukkan aktivitas gelombang Kelvin dalam satu pita tropik keliling bumi. Aktivitas gelombang Kelvin pada periode SON 1988 lebih besar dibanding periode DJF 1989 (Lampiran 7).

Gambar 13a dan 14a menunjukkan pada periode SON energi gelombang Kelvin saat kondisi Normal menguat di atas kepulauan Indonesia bagian barat dan timur serta di Samudra Atlantik. Pada kondisi La Nina energi gelombang Kelvin di atas wilayah Indonesia bagian tengah lebih kuat dibandingkan dengan kondisi Normal. Distribusi OLR menunjukkan bahwa tingkat keawanan di atas wilayah Indonesia pada kondisi La Nina lebih tinggi dibandingkan saat kondisi Normal. Di atas Samudra Pasifik bagian tengah energi gelombang Kelvin relatif kuat saat kondisi La Nina, sedangkan saat Normal di wilayah tersebut energi gelombang Kelvin lemah.

(a)

(b)

(36)

Pada periode DJF energi gelombang Kelvin kuat di atas wilayah Indonesia dan Samudra Hindia saat kondisi Normal maupun La Nina. Di samping itu, saat kondisi La Nina energi gelombang Kelvin juga kuat di atas Samudra Pasifik yang tidak terdapat saat kondisi Normal. Secara umum, karakteristik energi gelombang Kelvin di tropopause saat kondisi La Nina hampir sama dengan saat kondisi Normal, yaitu menguat di atas wilayah sekitar kepulauan Indonesia, tetapi pada saat La Nina energi gelombang Kelvin juga menguat di atas Samudra Pasifik.

Keberadaan gelombang Kelvin di lapisan stratosfer-bawah (50 mb) dilakukan dengan membandingkan Lampiran 2b dan Gambar 14b. Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa osilasi angin meridional sangat kecil dibandingkan dengan osilasi angin zonal dan osilasi angin zonal meluruh seiring semakin menjauh dari ekuator. Oleh karena itu, saat kondisi La Nina terdapat aktivitas gelombang Kelvin di lapisan stratosfer-bawah. Hasil STSA (Lampiran 6) juga menunjukkan bahwa terdapat aktivitas gelombang Kelvin saat La Nina pada frekuensi 0.05–0.1 siklus perhari dengan jumlah gelombang zonal 1–2 ditandai dengan nilai spektrum daya yang relatif tinggi (kontur berwarna hijau). Energi gelombang Kelvin di tropopause lebih kuat daripada stratosfer-bawah karena lapisan tropopause lebih dekat dengan sumber pemicu dan merupakan lapisan yang stabil.

Fase baratan QBO di level 50 mb terjadi sejak awal tahun 1988 (Gambar 9a), sehingga pada periode SON 1988–DJF 1989 di bawah level 50 mb didominasi oleh fase baratan QBO. Berdasarkan hasil penelitian Yang et al. (2011, 2012) aliran QBO baratan akan memfilter perambatan ke atas dari energi gelombang Kelvin, sehingga energi gelombang Kelvin yang sampai di level 50 mb pada periode SON 1988–DJF 1989 (Gambar 14 b) lebih kecil dari pada periode MAM 1990–JJA 1990 (Gambar 13b).

4.3.3 Kondisi El Nino (1997–1998)

Untuk menguji keberadaan gelombang Kelvin saat kondisi El Nino dengan membandingkan Gambar 15a dan Lampiran 3c. Pada periode SON 1997 di atas Samudra Pasifik bagian tengah sampai Benua Amerika tidak terdapat gelombang Kelvin karena osilasi angin zonal tidak meluruh secara meridional seiring menjauh dari ekuator. Begitu juga pada saat periode DJF 1998 karena osilasi angin zonal tidak meluruh maka di atas Samudra Pasifik dan Benua Amerika

bagian timur tidak terdapat gelombang Kelvin. Tidak terdapatnya gelombang Kelvin ditandai dengan kotak hitam pada Gambar 15a.

Energi gelombang Kelvin dalam satu pita tropik pada periode SON 1997 tidak terlalu kuat. Di samping itu, energi gelombang Kelvin di atas Indonesia lemah, sedangkan energi gelombang Kelvin yang relatif lebih kuat berada di atas Samudra Hindia, Pasifik bagian barat, dan Samudra Atlantik. Pada periode DJF 1998 energi gelombang Kelvin dalam satu pita tropik lebih kuat dari periode SON 1997. Energi gelombang Kelvin di atas wilayah Indonesia lemah, sedangkan energi gelombang Kelvin yang kuat berada di Samudra Hindia, Pasifik bagian barat, Benua Amerika, dan Samudra Atlantik.

Energi gelombang Kelvin yang kuat bersesuaian dengan pusat awan konvektif ditandai oleh OLR rendah pada distribusi OLR (Lampiran 1c). Saat kondisi El Nino pusat awan konvektif berpindah dari kepulauan Indonesia ke wilayah Pasifik dan umumnya wilayah Indonesia mengalami kekeringan. Faktor pemicu gelombang atmosfer berupa awan konvektif yang pindah ke Pasifik bersesuaian dengan energi gelombang Kelvin kuat yang pindah ke wilayah yang sama.

Karakteristik gelombang Kelvin di tropopause saat kondisi El Nino berbeda dibanding saat kondisi Normal. Saat kondisi Normal energi gelombang yang kuat berada di atas kepulauan Indonesia, sedangkan saat kondisi El Nino energi gelombang Kelvin yang kuat lebih bergeser ke timur dibandingkan saat kondisi Normal, berpindah ke wilayah Pasifik bagian barat mengikuti pusat awan konvektif.

Hasil STSA di tropopause menunjukkan adanya aktivitas gelombang Kelvin dengan frekuensi 0.05–0.1 siklus perhari dan jumlah gelombang zonal 1–2 ditunjukkan oleh nilai spektrum daya yang tinggi ditandai dengan kontur berwarna hijau (Lampiran 9). Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa aktivitas gelombang Kelvin pada periode DJF 1998 lebih besar dibanding SON 1997.

Keberadaan gelombang Kelvin di level 50 mb saat kondisi El Nino dapat diuji dengan membandingkan Gambar 15b dan Lampiran 2c. Kedua gambar tersebut memperlihatkan osilasi angin meridional jauh lebih lecil dibandingkan dengan osilasi angin zonal. Di samping itu, osilasi angin zonal meluruh seiring dengan semakin menjauh dari ekuator.

(37)

(a)

(b)

Gambar 15 Gelombang Kelvin pada level (a) 100 mb dan (b) 50 mb saat kondisi El Nino (1997– 1998) (kotak hitam menandakan bukan gelombang Kelvin).

Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, terdapat aktivitas gelombang Kelvin di stratosfer-bawah saat kondisi El Nino dalam satu pita tropik. Hasil STSA (Lampiran 8) menunjukkan bahwa terdapat aktivitas gelombang Kelvin pada frekuensi 0.05–0.1 siklus perhari dengan jumlah gelombang zonal 1–2 ditandai dengan nilai spektrum daya yang relatif tinggi (warna hijau). Selain itu, dalam satu pita tropik aktivitas gelombang Kelvin pada periode SON 1997 lebih besar daripada periode DJF 1998.

Gambar 15a dan 15b menunjukkan bahwa energi gelombang Kelvin pada lapisan tropopause lebih kuat daripada lapisan stratosfer-bawah disebabkan lapisan tropopause lebih dekat dengan sumber pemicu dan merupakan lapisan yang stabil. Saat kondisi El Nino fase baratan QBO dimulai sejak periode JJA 1997 (Gambar 11a). Perambatan QBO ke bawah dengan laju 1 km/bulan menyebabkan penyerapan fluks momentum gelombang Kelvin oleh aliran dasar baratan pada periode SON 1997 terjadi di bawah level 50 mb, sehingga energi gelombang Kelvin yang sampai pada level 50 mb pada periode SON 1997–DJF 1998 lebih kecil dari periode MAM 1990–JJA 1990.

4.4 Analisis Struktur Vertikal Gelombang Kelvin

Telah ditunjukkan dari subbab 4.3 bahwa energi gelombang Kelvin di tropopause lebih kuat daripada stratosfer-bawah karena

tropopause merupakan level yang stabil dan dekat dengan sumber pemicu. Gelombang Kelvin merambatkan energinya dalam arah vertikal ke atas, sehingga analisis dilakukan pada level 100 mb dan 50 mb.

Analisis struktur vertikal gelombang Kelvin menggunakan cross spectrum (spektrum silang) untuk menganalisis perambatan fase dan energi gelombang Kelvin secara vertikal. Dengan menggunakan nilai koherensi (squared coherency) dan spektrum fase (phase spectrum) diharapkan dapat menganalisis struktur vertikal gelombang Kelvin. Koherensi hampir mirip dengan korelasi dengan batas nilai 0 sampai 1. Nilai 1 menunjukkan korelasi positif yang sempurna, sedangkan nilai 0 menunjukkan korelasi yang lemah.

Nilai spektrum fase menunjukkan perambatan fase gelombang Kelvin. Nilai negatif dari spektrum fase mempunyai arti fase gelombang secara vertikal merambat ke bawah tanda bahwa energi dirambatkan ke atas. Pengujian dilakukan di beberapa titik di ekuator yang energi gelombang Kelvin di titik-titik tersebut cukup kuat (gambar 13–15).

4.4.1 Kondisi Normal (1990)

(38)

dengan gelombang Kelvin di level 50 mb ditandai dengan nilai koherensi yang relatif tinggi (>0.5). Kemudian, secara umum nilai spektrum fase adalah negatif menunjukkan bahwa fase gelombang merambat ke bawah tanda bahwa energi dirambatkan ke atas. Hal ini sesuai dengan teori dari gelombang Kelvin bahwa secara vertikal energi gelombang Kelvin dirambatkan ke atas.

Ada beberapa titik dengan nilai fase spektrum positif (SON 1990) yang menandakan bahwa energi gelombang Kelvin dirambatkan ke bawah. Hal ini kurang sesuai dengan teori gelombang Kelvin linier sehingga perlu adanya kajian yang lebih mendalam di titik-titik tesebut.

4.4.2 Kondisi La Nina (1988–1989)

Saat kondisi La Nina secara umum energi gelombang Kelvin kuat di tropopause kepulauan Indonesia dan Samudra Pasifik (Gambar 14). Gambar 17 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gelombang Kelvin di level 100 mb dan 50 mb pada titik-titik pengujian spektrum silang ditandai dengan nilai koherensi yang relatif tinggi (>0.5).

Di samping itu, nilai spektrum fase negatif menunjukkan bahwa fase gelombang merambat vertikal ke bawah tanda bahwa energi dirambatkan ke atas. Secara umum, saat kondisi La Nina energi gelombang Kelvin dirambatkan ke atas. Hal ini sesuai dengan

teori dari gelombang Kelvin linier bahwa perambatan fase gelombang Kelvin secara vertikal ke bawah, sedangkan energi gelombang Kelvin dirambatkan ke atas.

4.4.3 Kondisi El Nino (1997–1998)

Saat kondisi El Nino energi gelombang Kelvin relatif kuat di tropopause Samudra Hindia, Pasifik bagian barat, dan Benua Amerika (Gambar 15). Pada periode SON, pengujian spektrum silang hanya dilakukan di atas wilayah Samudra Atlantik karena energi gelombang Kelvin relatif lemah dalam satu pita tropik keliling bumi.

Gambar 18 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara gelombang Kelvin di level 100 mb dan 50 mb ditandai dengan nilai koherensi yang relatif tinggi (~0.5). Nilai fase spektrum saat kondisi El Nino ada yang bernilai positif dan negatif. Nilai fase spektrum negatif menunjukkan bahwa fase gelombang merambat secara vertikal ke bawah tanda bahwa energi dirambatkan ke atas yaitu di atas wilayah Samudra Atlantik (SON 1997), Benua Amerika (DJF 1998), dan Samudra Hindia bagian timur (DJF 1998). Nilai positif pada spektrum fase menunjukkan bahwa energi gelombang Kelvin dirambatkan ke bawah, sehingga perlu kajian yang lebih mendalam di titik-titik tersebut.

Gambar 16 Koherensi dan spektrum fase angin zonal periode 10–20 harian 100 mb dan 50 mb saat kondisi Normal (1990).

(39)

Gambar 17 Koherensi dan spektrum fase angin zonal periode 10–20 harian 100 mb dan 50 mb saat kondisi La Nina (1988–1989).

Gambar 18 Koherensi dan spektrum fase angin zonal periode 10–20 harian 100 mb dan 50 mb saat kondisi El Nino (1997–1998).

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dalam struktur horizontal, gelombang Kelvin linier merupakan gelombang yang merambat ke arah timur dan merupakan gelombang yang non-dispersif (bentuk tidak berubah selama perambatan). Dalam arah zonal pertubasi angin zonal dan geopotensial sefase, sedangkan dalam arah meridional pertubasi kedua medan tersebut simetris terhadap ekuator dan nilainya maksimum di ekuator serta meluruh secara Gaussian seiring dengan semakin menjauh dari ekuator. Selain itu, tidak terdapat pertubasi angin meridional.

Pada lapisan 50 mb (stratosfer-bawah) terdapat fenomena QBO dengan periode 24 bulan saat kondisi Normal (1990) dan 28 bulan saat kondisi El Nino (1997–1998). Sementara itu, pada lapisan 100 mb sudah tidak terdapat fenomena QBO yang disebabkan oleh pengurangan amplitudo secara cepat di bawah ketinggian 23 km ketika QBO merambat ke bawah.

Secara umum di lapisan tropopause energi gelombang Kelvin yang kuat bersesuaian dengan pusat awan konvektif. Hal ini mengindikasikan bahwa gelombang Kelvin

dapat dibangkitkan oleh awan-awan konvektif. Energi gelombang Kelvin pada periode DJF dan MAM relatif lebih kuat daripada periode JJA dan SON. Hal ini dikarenakan pusat awan konvektif pada periode DJF dan MAM lebih dekat ke ekuator.

Pada lapisan stratosfer bawah (50 mb) gelombang Kelvin erat kaitannya dengan fenomena QBO. Aliran QBO baratan dapat menjadi filter terhadap perambatan ke atas energi gelombang Kelvin. Indikasi gelombang Kelvin memberikan fluks momentum baratan yaitu di level 50 mb energi gelombang Kelvin kuat pada saat terjadi perubahan fase timuran QBO menjadi baratan QBO dan saat terjadi percepatan baratan QBO. Hal ini disebabkan karena di bawah level 50 mb di dominasi oleh fase timuran QBO sehingga energi gelombang Kelvin dapat mengalami penetrasi sampai level 50 mb.

Energi gelombang Kelvin di tropopause lebih kuat daripada stratosfer-bawah karena lapisan tropopause lebih dekat dengan sumber pemicu dan merupakan lapisan yang stabil. Hasil STSA menjadi pendukung untuk menganalisis keberadaan gelombang Kelvin pada frekuensi 0.05–0.1 siklus perhari dengan

Amerika Indonesia

Afrika

(40)

jumlah gelombang zonal 1–2 ditandai dengan nilai spektrum daya yang relatif tinggi.

Karakteristik energi gelombang Kelvin di tropopause pada kondisi La Nina hampir sama dengan saat kondisi Normal yaitu menguat di atas wilayah sekitar kepulauan Indonesia, tetapi saat La Nina energi gelombang Kelvin juga menguat di atas Samudra Pasifik. Sebaliknya, saat kondisi El Nino berbeda dibandingkan dengan saat kondisi Normal. Saat kondisi Normal energi gelombang yang kuat berada di atas kepulauan Indonesia sedangkan saat kondisi El Nino energi gelombang Kelvin yang kuat lebih bergeser ke timur berpindah ke wilayah Pasifik bagian barat mengikuti perpindahan pusat awan konvektif.

Secara umum terdapat hubungan antara gelombang Kelvin di level 100 mb dengan 50 mb, yaitu gelombang Kelvin merambatkan energi secara vertikal ke atas. Pada level 100 mb di atas wilayah Indonesia memiliki energi gelombang Kelvin yang kuat, sehingga wilayah Indonesia dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap sirkulasi atmosfer di stratosfer-bawah terutama terhadap fenomena QBO.

5.2 Saran

1. Untuk memahami struktur vertikal ge-lombang Kelvin analisis dilakukan pada beberapa level ketinggian yang berdekatan.

2. Analisis lebih lanjut dengan mempertim-bangkan gaya pembangkit (awan konvektif).

3. Perlu pemahaman dalam penggunaan STSA, sebelum dilakukan STSA seharusnya data perlu diberi perlakuan. 4. Untuk lebih memahami karakteristik

gelombang Kelvin pada tiga kondisi (Normal, La Nina, dan El Nino) perlu menggunakan tahun kajian yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Aguado E, Burt JE. 2007. Understanding Weather and Climate. Ed ke-2. New Jersey: Pearson.

Andrews. 2010. An Introduction to Atmospherics Physics. Ed ke-2. Cambridge: Cambridge Univ Pr.

[BOM] Bureau of Meteorology. 2012. S.O.I (Southern Oscillation Index) archives-1876 to present. [terhubung berkala].

http://www.bom.gov.au/climate/current/so ihtm1.shtml [8 Okt 2012].

Chatfield C. 1989. The Analysis of Time Series: An Introduction. Ed ke-4. London: Chapman.

Hayashi Y. 1982. Space-time spectral analysis and its applications to atmospheric waves. J Meteorol Soc Jpn 60(1):156-171.

Holton JR. 2004. An Introduction to Dynamics Meteorology. Ed ke-4. Burlington: Elsevier.

---, Lindzen RS. 1968. A note on kelvin waves in the atmosphere. Monthly Weather Rev 96(6):385-386.

Lindzen RS, Holton JR. 1968. A theory of the quasi-biennial oscillation. J Atmos Sci 25:1095-1107.

Lubis SW. 2010. Analisis gelombang atmosfer ekuatorial planeter (EPW) di lapisan tropopause dan stratosfer-bawah Indonesia dengan menggunakan data NCEP/NCAR reanalysis I [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Lynch AH, Cassano JJ. 2006. Applied Atmospherics Dynamics. England: J Wiley.

Mulyana. 2004. Analisis spektral untuk Menelaah Periodesitas Tersembunyi dari Data Deret Waktu. Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran.

Maruyama T. 1969. Long-term behavior of Kelvin waves and mixed Rossby-Gravity waves. J Meteorol Soc Jpn 47(4):245-254. Matsuno T. 1966. Quasi-geostrophic motions

in the equatorial area. J Meteorol Soc Jpn 44(1):25-42.

Nababan CA. 2009. Identifikasi gelombang kelvin di lapisan tropopause Indonesia dengan menggunakan data sounding NOAA [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

[NOAA] National Oceanic & Atmospheric Administration. 2012. NCEP/NCAR reanalysis 1: pressure. [terhubung berkala]. http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded /data.ncep. reanalysis .pressure.html. [21 Feb 2012].

Gambar

Tabel 1  Karakteristik gelombang Kelvin ekuatorial berdasarkan observasi
Tabel 3  Tahun kejadian El Nino dan La Nina 1950–1998
Gambar 4 menunjukkan bahwa semakin
Gambar 4  Eksperimen simulasi gelombang Kelvin 2 dimensi dan 3 dimensi dengan bilangan
+7

Referensi

Dokumen terkait