• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategy of community participation improvement in managing community based marine protected area in Kepulauan Seribu District, DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategy of community participation improvement in managing community based marine protected area in Kepulauan Seribu District, DKI Jakarta"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

ERWIANTONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PENGELOLAAN AREAL PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS

MASYARAKAT DI KABUPATEN ADMINISTRASI

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Areal Perlindungan Laut – Berbasis Masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Erwiantono NIM. I361080021

(4)
(5)

Pengelolaan Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dibimbing oleh SITI AMANAH, PANG. S ASNGARI dan RILUS A. KINSENG

Dalam dua dekade terakhir, kualitas ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu menunjukkan penurunan yang nyata. Kualitas ekosistem terumbu karang dilaporkan berada dalam kondisi cukup buruk dengan rata-rata tutupan karang hidup 32,69% pada tahun 2004 dan terus berkurang pada tahun 2007 menjadi 31,33%. Kualitas ekosistem terumbu karang ini mendapat tekanan dari dari peningkatan penduduk yang cepat dan perubahan iklim, sedangkan di sisi lain masyarakat terus berlomba memanfaatkan potensi sumberdaya untuk memenuhi penghidupan dan kesejahteraannya.

Mempertimbangkan laju kerusakan sumberdaya perikanan dan kelautan tersebut, mulai tahun 2004 pemerintah daerah dan masyarakat secara partisipatif sepakat untuk menerapkan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL–BM) di Kelurahan Pulau Panggang. Program ini kemudian juga dilaksanakan pada empat kelurahan lain, yaitu Kelurahan Pulau Harapan, Kelapa, Tidung dan Pari

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM di Kepulauan Seribu belum berjalan secara memuaskan karena interaksi dari berbagai faktor. Berdasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam mengelola program APL–BM di Kepulauan Seribu, (2) menganalisis faktor-faktor penentu yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM dan (3) merancang strategi untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan pengelolaan bersama APL–BM di Kepulauan Seribu tergolong rendah dan pasif pada semua tahapan partisipasi. Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat rendah adalah indikator yang terkait dengan kemampuan organisasi masyarakat, mulai dari kemampuan manajerial, sosial dan teknis, serta dipengaruhi oleh motivasi masyarakat yaitu motivasi untuk melestarikan sumberdaya, meningkatkan pendapatan dan mendapatkan pengakuan atas kredibilitas. Tingkat kemampuan organisasi masyarakat dan motivasi masyarakat dipengaruhi oleh kualitas program APL–BM dengan indikator yang berpengaruh adalah kesesuaian konsep program, pendekatan komunikasi program dan intensitas peran penyuluh.

(6)

Motivasi untuk melestarikan sumberdaya alam adalah indikator yang paling nyata yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan program APL–BM. Faktor ini berhubungan dengan ikatan emosional antara masyarakat dengan sumberdaya yang ada. Indikator motivasi kedua yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah keinginan untuk meningkatkan pendapatan. Hampir keseluruhan masyarakat di Kepulauan Seribu sangat tergantung penghidupannya pada keberadaan sumberdaya alam sebagai penyedia utama kebutuhan ekonomi dan domestik mereka.

Kemampuan organisasi dan motivasi masyarakat dalam berpartisipasi sangat dipengaruhi oleh kualitas program APL–BM di wilayah Kepulauan Seribu. Indikator dengan pengaruh tertinggi adalah kesesuaian konsep program. Secara umum, masyarakat di Kepulauan Seribu mengharapkan konsep program APL– BM dapat diterjemahkan menjadi informasi praktis dan langkah–langkah teknis pengelolaan yang menjamin pemenuhan hak–hak secara berkeadilan dalam mendistribusikan beban dan manfaat program.

Indikator kualitas program lainnya adalah pendekatan komunikasi program yang diterapkan oleh pemerintah daerah sebagai inisiator program. Sejauh ini, pendekatan komunikasi yang diterapkan oleh pemerintah dianggap masih mengabaikan informasi penting yang disampaikan masyarakat setempat. Pendekatan komunikasi program dalam pelaksanaan program APL–BM Kepulauan Seribu belum mampu memfasilitasi perbedaan kepentingan dan isu– isu lain yang berkembang di lapangan.

Indikator kualitas program yang juga menunjukkan pengaruh nyata adalah intensitas penyuluhan di lapangan. Masyarakat setempat mengakui bahwa penyuluh adalah staf pemerintah yang paling mudah ditemui di lapangan jika mereka ingin membahas permasalahan yang ada. Penyuluh juga telah melakukan serangkaian kegiatan pelatihan dan pendampingan untuk mengembangkan aspek kemampuan organisasi masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa penyuluh telah memberikan kontribusi positif meskipun memiliki banyak keterbatasan dalam menjalankan tugasnya.

(7)

Managing Community Based Marine Protected Area in Kepulauan Seribu District, DKI Jakarta. Supervised by SITI AMANAH, PANG.S ASNGARI AND RILUS A. KINSENG

In the last two decades, coral reef ecosystem in Kepulauan Seribu has shown a significant degradation. Coral reef ecosystem condition was considered as poor to fair with average live coral cover of 32,69 % in 2004, while in 2007 it was reduced to 31,33%. Rapid development, population increase and climate change are threatening coral reef resources, while communities continue to seize potentials in using or modifying resources for their livelihood and welfare.

Starting in 2004, the local government established Community Based– Marine Protected Area (CB–MPA) in village of Panggang Island, followed by other four villages within the Kepulauan Seribu District. It is expected that co– management approach may encourage community responsibility over activities affecting coral reef ecosystem and natural resources. Sharing of responsibilities and authorities between local fisher community and government should emphasize on the community participation in CB–MPA management.

Community participation in CB–MPA management in Kepulauan Seribu is considered unsatisfactory due to interactions of several factors. Given this fact, the objectives of this research are as follows: (1) to analyze fisher community participation in managing CB–MPA in Kepulauan Seribu and (2) to analyze the determinant factors influencing community participation in managing CB–MPA in Kepulauan Seribu and (3) to design strategy of community participation improvement in managing CB–MPA in Kepulauan Seribu.

This study showed that level of community participation in performing co–management of CB–MPA in Kepulauan Seribu was low and passive throughout all participation phases. Factors affecting low community participation were indicators related with community organization ability, ranging from managerial, social and technical ability; also related with low community motivation, that are motivation to conserve the resources, raise income and gain credibility acknowledgement. The lack of community organization ability and community motivation was influenced by quality of CB–MPA management where indicators related with compatibility of program conception, program communication approach and intensity of extension agent roles.

(8)

yield benefits from the environment with existing resources. The second indicator of community motivation with positive influence to community participation was to raise income. Most of community groups in Kepulauan Seribu are dependent on the existence of natural resources as primary support which secure their economic and domestic needs. Maintaining natural capacity of fishery–marine resources will secure the source of livelihood for Kepulauan Seribu community, thus may develop as motive to secure the source of income.

Low quality of CB–MPA management served as the prominent factor affecting community organization ability and community motivation in performing their role as primary stakeholder of natural resource management in Kepulauan Seribu. Indicator with highest potential to affect community organization ability and community motivation was compatibility of program conception. Fisher community in Kepulauan Seribu expected the translation of CB–MPA conception into practical information and technical steps of management which secure equal rights of burden and benefit distribution in program implementation.

Other indicator is the quality of public communication approach applied by the local government. Additionally, communication approach applied by the government neglects critical information of the local community. Platforms for public communication applied throughout the implementation of CB–MPA Kepulauan Seribu disregard communal disagreement and other issues available in the field.

Other indicator showed by services of extension staff in field. Local community recognize that extension agents are the government staff who easiest met in field if they want discussed about their problem. Extension agents have been begining to develop community organization ability aspect as primary program facilitator by conducting training and advocacy. Generally can say that extension agents have given positive contribution although not optimal yet and have many limits.

(9)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidakmerugikan kepentingan wajar IPB.

(10)
(11)

SERIBU, DKI JAKARTA

ERWIANTONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi

Penguji Ujian Tertutup : 1. Dr Luky Adrianto, MSc

(Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)

: 2. Prof (Ris) Dr Ign Djoko Susanto, SKM APU (Staf Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Penguji Ujian Terbuka 1. Dr Ir Toni Ruchimat, MSc

(Direktur Sumberdaya Ikan, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Kementrian Kelautan dan Perikanan RI)

2. Dr Ir Anna Fatchiya, MSi

(13)
(14)

Nama : Erwiantono

NIM : I.361080021

Disetujui :

Komisi Pembimbing,

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua

Prof Dr Pang S. Asngari Anggota

Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr Ir Siti Amanah, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(15)
(16)

Puji syukur kehadirat Gusti Allah SWT maha welas asih, yang dengan segala rahmat dan karunia-Nya memungkinkan penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah disertasi dengan judul “Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.” Sholawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW berserta seluruh pengikutnya sampai akhir zaman. Karya ilmiah ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam lingkup Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Dengan selesainya penulisan karya ilmiah ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr Ir Siti Amanah, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Prof Dr Pang S. Asngari dan Dr Rilus A. Kinseng, MA selaku anggota Komisi yang telah sangat banyak memberikan arahan dan masukan sejak pemilihan topik penelitian sampai pada tersusunnya laporan penelitian ini. Di samping itu, penulis menyampaikan penghargaan kepada masyarakat Kepulauan Seribu, enumerator serta para narasumber yang telah bersedia berbagi informasi, Tim Peneliti Kepulauan Seribu: Sabihis, Dr Samsul B. Agus, Adriani Sunudin, Suryo Kusumo dan Muhammad Sahrir serta Mitra Diskusi : Dr Adi Riyanto, Kru Lab. MOBA, Dr Yopi Novita, Dr Wazir Mawardi dan Dr Budi Hascaryo Iskandar untuk kebersamaan yang dibagi. Ungkapan terima kasih penulis haturkan kepada Ibunda (alm) Nurinah, Ayahanda Surip Samin, Mommy Ariningsih dan Papap Bambang Adinugroho, Sdri. Qoriah Saleha, Dr Amri Jahi, Sdr. Sarminto Hadi, Sdr. Amehr Hakim, Keluarga Besar Eksplo, Sdri. Eli Dahlia dan Anita Zulaicha serta pihak–pihak yang telah mendukung penulis secara moral dan material selama menjalani studi.

Besar harapan penulis semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Terima kasih.

Bogor, Juli 2013 Penulis,

(17)
(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 15

Konsep Partisipasi Masyarakat 15

Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat

dalam Pengelolaan Sumberdaya 17

Pengertian Sikap 21

Proses Penyuluhan Pembangunan 22

Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut 25

3. PROFIL WILAYAH DAN KARAKTERISTIK SOSIAL–EKONOMI

MASYARAKAT PEMANFAAT SUMBERDAYA PERIKANAN–

KELAUTAN BERBASIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI

KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU 29

Pendahuluan 29

Metode Penelitian 30

Rancangan Penelitian 30

Kerangka Berpikir Penelitian 32

Pembahasan 33

Potensi Sumberdaya Perikanan – Kelautan di Kepulauan Seribu 33

Sejarah Pengelolaan Laut di Kepulauan Seribu 34

Sejarah Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 41 Karakteristik Masyarakat Pemanfaat Sumberdaya Perikanan–

Kelautan di Kepulauan Seribu 47

(19)
(20)

4. FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN AREAL PERLINDUNGAN

LAUT–BERBASIS MASYARAKAT (APL–BM) DI KABUPATEN

ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA 75

Pendahuluan 76

Metode Penelitian 77

Rancangan Penelitian 77

Kerangka Pemikiran 77

Hipotesis Penelitian 78

Pembahasan 80

Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL–BM 80 Faktor–Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat dalam

Pengelolaan APL–BM 82

Simpulan 92

5. STRATEGI PENGEMBANGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM

PENGELOLAAN AREAL PERLINDUNGAN LAUT–BERBASIS

MASYARAKAT (APL–BM) DI KABUPATEN ADMINISTRASI

KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA 93

Pendahuluan 93

Metode Penelitian 94

Rancangan Penelitian 94

Kerangka Berpikir Penelitian 95

Hipotesis Penelitian 96

Pembahasan 96

Sikap Masyarakat Terhadap Pengelolaan APL–BM Saat ini 96 Pengaruh Partisipasi pada Pembentukan Sikap Masyarakat 98 Model dan Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam

Pengelolaan APL–BM 102

Simpulan 113

6. PEMBAHASAN UMUM 115

7. SIMPULAN DAN SARAN 121

DAFTAR PUSTAKA 125

(21)
(22)

Karakteristik Individu 8 2 Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran

Dinamika Sosial Budaya Masyarakat 9

3 Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran

Kualitas Program Pengelolaan APL-BM 10

4 Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Kemampuan Organisasi Masyarakat dlm Pengelolaan APL-M 11 5 Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran

Motivasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL-BM 11

6 Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL-BM 12 7 Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran

Sikap Masyarakat dalam Pengelolaan APL-BM 13

8 Perbandingan Partisipasi Sebagai Cara dan Tujuan 16

9 Kerangka Pemilihan Sampel Penelitian 31

10 Sebaran Organisasi Pengelolaan APL-BM 40

11 Sebaran Kualitas Ekosistem Terumbu Karang di Areal Inti

APL-BM 40

12 Sebaran Komunitas Ikan Terumbu Karang pada Fish Shelter 41

13 Keadaaan Iklim Tahunan 43

14 Pembagian Wilayah Administrasi dan Luasan Pulau

Berpenghuni 44

15 Keragaan Demografis 44

16 Karakteristik Pembentuk IPM dan Kemiskinan 45

17 Statistik Ketenagakerjaan 46

18 Jumlah Sekolah dan Rasio Murid-Guru 46

19 Statistik Kelautan dan Pertanian Kab. Adm. Kepulauan Seribu 47

20 Sebaran Karakteristik Individu Responden 48

21 Sebaran Dinamika Sosial Budaya Masyarakat 58

22 Sebaran Kualitas Program Pengelolan APL-BM 63

23 Sebaran Tingkat Kemampuan Organisasi Masyarakat Pengelola

APL-BM 68

24 Sebaran Tingkat Motivasi Masyarakat Untuk Berpartisipasi

dalam Pengelolaan APL-BM 71

25 Sebaran Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan

APL-BM 80

26 Sebaran Sikap Masyarakat Terhadap Pengelolaan APL-BM Saat

(23)
(24)

Masyarakat dalam Pengelolaan APL–BM di Kabupaten Aministrasi

Kepulauan Seribu 7

2. Peta Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu 38

3. Sebaran Lokasi APL-BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 42 4. Kerangka Berpikir Penelitian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan

APL–BM di Kabupaten Aministrasi Kepulauan Seribu 79

5. Model Struktural/Diagram Lintasan Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL-BM di Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu (standaridized) 83

6. Diagram Jalur Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Organisasi

Masyarakat Pengelolan APL-BM 83

7. Diagram Jalur Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Masyarakat

Pengelolaan APL-BM 87

8. Diagram Jalur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat

Pengelolaan APL-BM 89

9. Kerangka Berpikir Penelitian Sikap dan Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL–BM di Kabupaten

Aministrasi Kepulauan Seribu 96

10.Diagram Jalur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Masyarakat

Pengelolaan APL-BM Saat Ini 98

11.Model Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan

APL-BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu 104

12.Alur Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan

APL-BM di Kepulauan Seribu 112

13.Model Struktural Partisipasi dan Sikap Masyarakat dalam Pengelolaan

APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (Standardized) 115

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian 131

(25)
(26)

1

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih kurang 17.508 pulau dengan sekitar 6.000 di antaranya merupakan pulau yang berpenduduk. Indonesia secara keseluruhan juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia yakni 81.000 Km dan merupakan 14 % dari garis pantai yang ada di seluruh dunia. Luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta kilo meter persegi atau mendekati 70 % dari luas keseluruhan negara Indonesia (Dahuri, 2002).

Ekosistem di laut Indonesia sangat bervariasi, khususnya ekosistem pesisir. Indonesia merupakan rumah bagi sebagian besar terumbu karang yang luar biasa yang ada di dunia. Zona pesisir Indonesia menopang kehidupan sekitar 60 % penduduk Indonesia. Pada beberapa wilayah, kehidupan masyarakat sangat bergantung kepada kualitas ekosistem terumbu karang yang menjadi habitat hewan laut yang menjadi sumber pangan sehari–hari dengan nilai gizi yang tinggi dan sebagai komoditas untuk diperdagangkan. Selain itu, secara tradisional terumbu karang juga dimanfaatkan sebagai bahan bangunan karena mengandung kapur (Tomascik dkk., 1997).

Ekosistem laut di Indonesia menopang tipe terumbu karang yang bervariasi yaitu terumbu karang tepi, penghalang dan atol. Tipe terumbu karang yang dominan di Indonesia ialah terumbu karang tepi. Terumbu karang tepi ini dapat dijumpai sepanjang pesisir Sulawesi, Maluku, Barat dan Utara Papua, Madura, Bali, tetapi komposisi terumbu karang tipe ini paling baik terbentuk di wilayah Kepulauan Seribu (Tomascik dkk., 1997).

Pulau–pulau di Kepulauan Seribu pada umumnya dikelilingi oleh terumbu karang tepian (fringing reefs) dengan kedalaman 0,5–5 meter yang juga merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut. Jenis karang yang dapat ditemukan termasuk dalam jenis karang keras (hard coral), seperti karang batu (massive coral), karang meja (table coral), karang kipas (gorgonion), karang daun (leaf coral), karang jamur (mushroom coral) dan jenis karang lunak (soft coral). Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa kawasan Kepulauan Seribu terdapat sekitar 267 jenis karang bercabang (Terangi, 2009).

Secara alami, terdapat banyak masalah dan penyebab hilangnya terumbu karang baik lokal maupun global seperti penyakit, sedimentasi, spesies pendatang, pemutihan (bleaching), predator, karang keropos (osteoporosis of coral), tumbuhnya alga dan pengaruh badai. Selain itu, perubahan iklim global juga menjadi penyebab hilangnya terumbu karang berupa panas, dingin, terang dan gelap, terutama meningginya suhu air laut menyebabkan kerusakan simbiosisme antara karang dengan alga pada karang tersebut (zooxanthella). Semakin banyak karbondioksida dilepas ke atmosfir semakin banyak pula yang kembali ke laut melalui air hujan dan mengubah pH (keasaman) air laut menjadi lebih rendah atau makin asam. Turunnya pH air laut ini menyebabkan karang menjadi keropos. Karang keropos ini jika dikembalikan ke kondisi air laut semula tidak dapat memperbaiki terumbu kembali (Coremap, 2008).

(27)

pengebom, penggunaan sianida sebagai racun, teknik penangkapan ikan dengan muroami atau jaring penangkap ikan lain yang merusak terumbu karang. Pengeboman terumbu karang untuk mendapatkan ikan merupakan praktek yang umum di seluruh laut Indonesia. Sianida sebagai racun sering digunakan untuk menangkap ikan–ikan ornamental di banyak wilayah di Indonesia. Aktivitas kapal nelayan dan kegiatan olahraga air serta wisata bahari juga menyebabkan kerusakan terumbu karang melalui jaring tangkap yang digunakan oleh nelayan, pembuangan jangkar kapal dan aktivitas berjalan–jalan di atas karang yang merupakan dampak dari kegiatan wisata bahari (Coremap, 2008).

Kualitas terumbu karang di Kepulauan Seribu saat ini umumnya dikategorikan dalam kondisi rusak hingga sedang. Hasil penelitian Yayasan Terangi menunjukkan bahwa rerata tutupan karang hidup adalah sebesar 32,69 % pada tahun 2004 dan 33,61 % pada tahun 2005. Pada tahun 2007, hasil penelitian kerjasama Sudin Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta dan Yayasan Terangi menunjukkan tutupan karang hidup sebesar 31,33 %. Apabila penurunan kualitas ekosistem terumbu karang ini tidak segera ditangani maka akan semakin berakibat buruk bagi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Terangi, 2009).

Upaya melindungi dan mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat pesisir sesungguhnya juga memiliki tanggung jawab yang sama besar, mengingat kegiatan dan penghidupan mereka sehari–hari sangat bergantung pada layanan sumberdaya yang ada dan dampak dari kegiatan mereka pun cukup besar pengaruhnya terhadap sumberdaya pesisir dan lautan. Masyarakat perlu diajak untuk memutuskan metode atau cara yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan lautan di sekitar mereka. Dengan demikian, masyarakat memegang peranan penting dalam menentukan kondisi lingkungan dan sumberdaya di sekitarnya.

Gambaran penurunan kualitas ekosistem terumbu karang di kawasan Kepulauan Seribu dapat diteliti dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah dari sudut pandang partisipasi masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan–kelautan yang berbasis ekosistem terumbu karang. Terjadinya penurunan kualitas ekosistem terumbu karang mengindikasikan bahwa pengelolaannya belum dilakukan dengan baik oleh masyarakat. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola ekosistem terumbu karang telah berjalan sejak dulu, namun dapat dikatakan saat ini sedang mengalami penurunan intensitas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengungkapkan dan menganalisis secara mendalam berbagai fakta empirik yang mempengaruhi pola dan tingkat partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya perikanan–kelautan yang berasal dari ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu.

Tujuan Penelitian

(28)

inisiatif, kemauan, dan kemampuan dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya perikanan dan kelautan.

Paradigma ini memberikan peluang dan ruang gerak yang lebih luas kepada masyarakat pesisir untuk ikut terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya. Dengan partisipasi seperti ini maka akan timbul rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) atas keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya. Apabila partisipasi hanya bersifat pasif dan parsial, maka rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat atas keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan menjadi rendah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Craig dan Mayo (1995) bahwa jaminan pembangunan berkelanjutan adalah adanya partisipasi anggota–anggota masyarakat.

Program pengelolaan pesisir di tingkat pusat maupun lokal harus mencakup mekanisme yang menjamin adanya partisipasi masyarakat secara adil dan efektif dalam pengambilan keputusan sehingga kerjasama pengelolaan sumberdaya pesisir dapat berlangsung secara berkelanjutan. Partisipasi aktif masyarakat secara luas merupakan bagian penting dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan secara lestari. Untuk itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung dengan sumberdaya ini perlu diberdayakan peran sertanya, baik pada level perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil maupun pengawasan kegiatan.

Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL–BM) merupakan kawasan laut yang ditetapkan sebagai daerah yang secara permanen tertutup bagi berbagai aktivitas pemanfaatan yang bersifat ekstraktif selain untuk aktivitas konservasi. Pengelolaan DPL–BM dilakukan secara bersama oleh masyarakat, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Urgensi penerapan DPL– BM adalah untuk menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti pemulihan kualitas hidup terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme laut lainnya, serta lebih lanjut dapat meningkatkan produksi perikanan. DPL–BM diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Di sisi lain, penerapan DPL–BM merupakan proses pemberdayaan masyarakat secara sosial dan ekonomis agar masyarakat memperoleh akses untuk mengelola sumberdaya mereka sendiri (Coremap, 2008).

(29)

Hingga saat ini, kemauan, kemampuan serta peluang masyarakat untuk berperan lebih aktif dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan melalui program daerah perlindungan laut belum berjalan optimal dan masih terkendala oleh berbagai faktor. Berdasarkan pengamatan awal, ditemukan indikasi bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program APL–BM di Kepulauan Seribu masih belum berjalan dengan optimal. Kendala yang dihadapi antara lain adalah perbedaan penafsiran atas aturan yang berlaku dalam sistem zonasi APL–BM, belum terbentuknya forum komunikasi yang dijalankan oleh masyarakat untuk membahas permasalahan pengelolaan sumberdaya serta kapasitas kelembagaan masyarakat pengelola sumberdaya yang rendah.

Belum optimalnya partisipasi masyarakat pada pelaksanaan program APL–BM dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah Kepulauan Seribu saat ini merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :

(1) Menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL–BM) di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

(2) Menganalis faktor–faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL–BM) di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

(3) Merancang strategi untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL–BM) di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu di masa yang akan datang

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai proses pembelajaran dalam mensintesis sebuah model pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis kelembagaan lokal yang didasarkan pada analisis teoritik dan empirik. Secara rinci, kegunaan penelitian ini adalah :

(1) Merupakan upaya pencarian kebenaran ilmiah tentang berbagai faktor yang berhubungan dengan perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian ekosistem.

(2) Sebagai sumber informasi bagi pihak lain dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan ekosistem dalam rangka mendorong transformasi perilaku dan kelembagaan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Ruang Lingkup Penelitian

(30)

stakeholders/user groups) sumberdaya perikanan–kelautan berbasis ekosistem terumbu karangsebagai sumber utama penghidupannya.

Secara umum, partisipasi didefinisikan sebagai proses peran serta masyarakat secara aktif dan substansial dalam pembangunan yang berkenaan dengan aspek kehidupan mereka. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL–BM) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan secara permanen dari berbagai aktivitas penangkapan ikan dan pengambilan sumberdaya lainnya yang pengelolaannya dilakukan secara kolaboratif. Pulau–pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2000 Km2 yang secara ekologis terpisah dari pulau induk dan memiliki batas fisik yang jelas sehingga bersifat insular. Penyuluhan pembangunan meliputi upaya sadar dan terencana yang berkaitan dengan transformasi perilaku melalui pendekatan pendidikan non formal dan komunikasi dialogis agar masyarakat mampu mengambil keputusan yang berkualitas terkait aspek pengelolaan sumberdaya yang menjadi sumber utama penghidupan mereka.

Penelitian yang berkaitan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya secara tradisional maupun kolaboratif telah cukup banyak dilakukan oleh beberapa pihak sebelumnya. Fauzy dan Bukhari (2002) melakukan penelitian berkaitan dengan perspektif sosial ekonomi masyarakat terkait dengan pengaruh degradasi sumberdaya yang terus terjadi di wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat jeda komunikasi antara pemangku kepentingan dan keterbatasan akses yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat pada program-program konservasi yang dikelola oleh pihak Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu.

Sementara itu, Clifton (2003) melakukan kajian tentang prospek penerapan pendekatan komanajemen dalam pengelolaan daerah perlindungan laut sebagai dampak dari reformasi kelembagaan yang terjadi di Indonesia. Hasil penelitiannya menyimpulkan terdapat beberapa hambatan kelembagaan dan budaya dalam penerapan pendekatan kolaboratif tersebut. Hambatan tersebut di antaranya adalah lemahnya koordinasi antara pemerintahan pusat, daerah dan pemangku kepentingan di tingkat lokal serta belum terdapat kesamaan persepsi tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam mengakses sumberdaya perikanan dan kelautan yang ada di wilayah perlindungan laut.

Satria (2009) juga melakukan penelitian dengan topik dinamika implementasi program pengelolaan daerah perlindungan karang secara kolaboratif di Lombok Barat. Temuan penting dari penelitian tersebut adalah pendekatan pengelolaan tradisional awig–awig yang pernah berlaku di wilayah tersebut memiliki potensi besar untuk direvitalisasi sebagai pendekatan yang efektif dengan sejumlah penguatan, antara lain penguatan hukum, penguatan kapasitas kelompok–kelompok pemanfaat dalam mengaktualisasikan kepentingannya dan peningkatan koordinasi antar aras lembaga pemerintahan.

(31)

Sangadji (2010) melakukan penelitian yang menitikberatkan pada kajian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tengah dengan pola kemitraan. Temuan penting dari penelitian tersebut adalah masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses informasi terkait tujuan dan mekanisme kemitraan pengelolaan sumberdaya yang diterapkan sehingga berdampak pada rendahnya motivasi untuk berpartisipasi. Di sisi lain juga ditemukan fakta bahwa kegiatan penyuluhan memiliki peran yang signifikan dalam membangun jejaring kerjasama di tengah rendahnya kinerja faktor–faktor pembangunan lainnya.

Sementara Faiza (2011) melakukan penelitian terhadap efektifitas dan tingkat keberlanjutan program pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Minahasa Selatan, Lampung Selatan dan Kepulauan Seribu Utara. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa efektivitas dan tingkat keberlanjutan program yang diterapkan di Kepulauan Seribu Utara tergolong rendah yang disebabkan oleh faktor keterbatasan dukungan dalam legalitas program dan internalisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah.

Beberapa penelitian sebelumnya seperti yang disebutkan di atas belum mengkaji secara khusus aspek partisipasi masyarakat pada dalam pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat dalam perspektif perilaku individu dan kelompok pemanfaat sebagai dampak dari interaksi tiga faktor dasar pembentuk partisipasi yaitu kemauan (motivasi), kemampuan dan peluang/akses (dinamika sosial–budaya dan disain program). Penelitian ini dirancang untuk menemukan faktor–faktor penentu utama dan pola hubungan di antara faktor– faktor tersebut yang kemudian secara simultan membentuk tingkat partisipasi masyarakat. Berdasarkan temuan tersebut kemudian dirancang strategi dalam tataran praksis untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan mengembangkan potensi yang ada untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh dan substansial.

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah strategi pengembangan partisipasi masyarakat pada pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat dirancang dengan mengakomodasi pandangan antroposentris kelompok masyarakat pemanfaat utama sumberdaya perikanan–kelautan sebagai basis perekat dan rekayasa sosial terkait konsep pengelolaan sumberdayanya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini kemudian menjajagi peluang untuk merekomendasikan pemberian hak pengelolaan sumberdaya secara terbatas pada komunitas (communal right) meskipun komunitas tersebut tidak memiliki rekam jejak sejarah pengelolaan sumberdaya berbasis kelembagaan tradisional.

Hasil penelitian disajikan dengan pola rangkaian penelitian yang terdiri dari beberapa judul penelitian. Pola ini digunakan dengan maksud agar setiap judul memiliki fokus penelitian yang kuat dan kedalaman pengkajian. Selanjutnya, judul–judul dari rangkaian penelitian tersebut diintegrasikan dalam bagian pembahasan umum dan ditutup dengan kesimpulan umum.

(32)

analisis sikap masyarakat terhadap konsep pengelolaan areal perlindungan laut berbasis masyarakat saat ini dan strategi pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya di masa yang akan datang. Bab V menguraikan pembahasan umum untuk mengintegrasikan hasil kajian atau temuan dari setiap judul penelitian sehingga dapat menjelaskan hubungan satu dengan lainnya sebagai satu rangkaian penelitian. Bab VI menyajikan kesimpulan yang merupakan temuan utama penelitian dan saran kebijakan berdasarkan temuan tersebut. Daftar Pustaka menyajikan pustaka–pustaka yang menjadi sumber rujukan penelitian. Daftar lampiran menyajikan kuesioner yang digunakan sebagai instrumen penelitian dan hasil olah data statistik dari perangkat lunak.

Berdasarkan uraian di atas, maka disusun kerangka berpikir rangkaian penelitian yang menggambarkan hubungan antar peubah–peubah penelitian sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

(33)

Konseptualisasi peubah–peubah penelitian diuraikan sebagai berikut : (1) Karakteristik Individu (X1): ciri-ciri atau sifat–sifat individu yang

melekat pada pribadi seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupannya dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan–kelautan (Tabel 1).

Tabel 1. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Karakteristik Individu

Indikator Definisi Operasional Parameter

Pengukuran

Skala Pengukuran

X1.1 Umur

(34)

Tabel 1. (Lanjutan).

Indikator Definisi Operasional Parameter

Pengukuran

(2) Dinamika Sosial Budaya Masyarakat (X2) : dinamika sosial dan budaya yang ada di masyarakat terkait dengan proses pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan melalui penerapan program APL–BM (Tabel 2).

Tabel 2. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Dinamika Sosial Budaya Masyarakat

Indikator Definisi Operasional Parameter

(35)

Tabel 2. (Lanjutan).

Indikator Definisi Operasional Parameter

Pengukuran responden terhadap kinerja program pengelolaan APL–BM yang pendekatan komunikasi, inisiasi dan kontinuitas dan kesesuaian konsep program serta dukungan intensitas peran penyuluhan (Tabel 3).

Tabel 3. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Kualitas Program Pengelolaan APL–BM

Indikator Definisi Operasional Parameter

(36)

(4) Kemampuan organisasi masyarakat dalam pengelolaan APL–BM (X4) adalah persepsi responden terhadap seberapa besar/tinggi kemampuan teknis, manajerial dan sosial yang dimiliki oleh organisasi masyarakat yang membuatnya mampu berpartisipasi secara aktif dalam mengelola program APL–BM (Tabel 4)

Tabel 4. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Tingkat Kemampuan Organisasi Masyarakat

Indikator Definisi Operasional Parameter

Pengukuran

(5) Motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan APL– BM (X4) adalah persepsi responden terhadap seberapa kuat keinginan-keinginan dalam dirinya yang mendorong untuk terlibat atau berpartisipasi dalam pengelolaan APL–BM (Tabel 5).

Tabel 5. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Tingkat Motivasi Masyarakat

(37)

Tabel 5. (Lanjutan).

Indikator Definisi Operasional Parameter

Pengukuran

adalah persepsi responden terhadap seberapa jauh keterlibatan dirinya dalam penerapan kegiatan-kegiatan pengelolaan APL–BM yang telah dilakukan (Tabel 6).

Tabel 6. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan APL–BM.

Indikator Definisi Operasional Parameter

(38)

(7) Sikap masyarakat dalam pengelolaan APL–BM saat ini (Y2) adalah kecenderungan menyetujui / mendukung atau tidak terhadap pengelolaan sumberdaya melalui program proses pengelolaan sumberdaya perikanan– kelautan melalui penerapan program APL–BM yang diterapkan (Tabel 7).

Tabel 7. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran Sikap Masyarakat terhadap Pengelolaan APL–BM Saat Ini

Indikator Definisi Operasional Parameter Pengukuran

Skala Pengukuran Y2.1

Sikap terhadap status ekosistem

Penilaian obyektif individu terhadap perubahan status ekosistem saat ini sebagai dampak penerapan program APL– BM

Diukur berdasarkan skor sikap responden

Interval

Y2.2

Sikap terhadap konsep

pengelolaan APL–BM

Kecenderungan untuk menyetujui / mendukung atau menolak konsep pengelolaan APL–BM yang diterapkan saat ini

Diukur berdasarkan skor sikap responden

(39)
(40)

15

Partisipasi telah menjadi lintasan sejarah yang panjang bagi berbagai pembangunan di berbagai negara di dunia (Pretty, 1995). Hal ini berarti bahwa pemerintah dari berbagai negara telah menyadari pentingnya keterlibatan rakyat atau masyarakat dalam kegiatan pembangunan negaranya. Secara etimologis partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti take part in

(ambil bagian). Dengan demikian partisipasi dalam pembangunan berarti ambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dalam suatu proses atau kegiatan pembangunan.

Mubyarto (1992) memberikan pengertian partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Kesediaan berarti adanya unsur kerelaan yang melibatkan aspek emosional dan mental dari orang yang terlibat. Unsur kemampuan sebagaimana yang dinyatakan oleh Mubyarto lebih ditekankan untuk menghargai adanya perbedaan individu. Artinya, setiap orang akan berbeda-beda bentuk partisipasinya disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing orang tersebut.

The World Bank (Pretty, 1995) mendefinisikan partisipasi sebagai sebuah proses stakeholder-stakeholder mempengaruhi dan ambil bagian atas pengelolaan inisiatif dan keputusan-keputusan pembangunan dan sumberdaya yang mempengaruhi mereka. Pretty (1995) mengemukakan tipologi partisipasi masyarakat dalam program dan proyek pembangunan yaitu:

(1) Partisipasi pasif (passive participation) : masyarakat berpartisipasi secara ikut – ikutan, pemberitahuan sepihak dari pengelola proyek tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat.

(2) Partisipasi dalam pemberian informasi (participation in information giving) : masyarakat berpartisipasi dengan menjawab atau memberi informasi. Masyarakat tidak mempunyai pilihan untuk mempengaruhi cara kerja.

(3) Partisipasi dengan konsultasi (participation by consultation) : masyarakat berpartisipasi dengan konsultasi, sedangkan agen luar menetapkan masalah dan jalan keluarnya serta memodifikasinya. Pengambilan keputusan oleh profesional.

(4) Partisipasi untuk memperoleh insentif material (participation for material incentive) : masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumberdaya, seperti tenaga kerja, untuk memperoleh insentif material.

(5) Partisipasi fungsional (funcional participation); masyarakat berpartisipasi dengan pembentukan kelompok – kelompok yang dikaitkan dengan tujuan proyek. Masyarakat tidak dilibatkan pada tahapan awal atau perencanaan, pengarahan dilakukan oleh pihak luar.

(41)

(7) Pengembangan diri (self-mobilization) : masyarakat berpartisipasi dengan mengambil kebebasan inisiatif dari lembaga eksternal untuk mengubah sistem. Masyarakat membangun hubungan dengan lembaga eksternal untuk sumberdaya dan bantuan teknis yang diperlukan, tetapi tetap menguasai sumberdaya yang digunakan.

Sejalan dengan pendapat Hoofsteede, Uphoff dan Cohen (Ndraha, 1990) memberikan empat tahapan partisipasi, yaitu:

(1) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pembuatan keputusan.

(2) Partisipasi dalam melaksanakan operasional pembangunan.

(3) Partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan.

(4) Partisipasi dalam menilai pembangunan.

Apabila partisipasi tidak melibatkan semua tahapan tersebut, maka dikatakan bahwa partisipasi hanya bersifat parsial. Partisipasi yang sesungguhnya harus meliputi keempat tahapan tersebut.

Oakley dkk. (Ife, 2006) menyajikan analisis perbandingan antara partisipasi sebagai cara dan sebagai tujuan (Tabel 8).

Tabel 8. Perbandingan Partisipasi sebagai Cara dan Tujuan

Partisipasi sebagai cara Partisipasi sebagai tujuan

Berimplikasi pada penggunaan Lebih umum dalam program–program

pemerintah, yang pertimbangan

Oakley dkk. (Khaerudin, 1992) mencatat sejumlah keuntungan utama partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:

(42)

(2) Efektivitas (Effectiveness): Partisipasi masyarakat dapat membuat proyek - proyek lebih efektif melalui pengambilan keputusan mengenai tujuan dan strategi, partisipasi dalam pelaksanaan, sehingga memastikan penggunaan sumberdaya secara efektif

(3) Kemandirian (Self-reliance): Melalui partisipasi aktif masyarakat lokal, tidak hanya dapat mengatasi mentalitas ketergantungan, tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran, kepercayaan diri dan pengawasan atas proses pembangunan

(4) Jaminan (Coverage): Partisipasi masyarakat dapat menjadi sebuah usaha keras sebagai jaminan atas manfaat yang diperoleh kelompok sasaran (5) Keberlanjutan (Sustainability): Partisipasi masyarakat dianggap sebagai

sebuah prasyarat bagi keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukung-nya yaitu kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 2003). Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan–kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Setelah mengetahui, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan–kesempatan itu.

Diperlukan upaya khusus untuk membuat masyarakat mau memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya. Kemampuan menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu poses belajar. Ketersediaan sumberdaya material atau teknologi erat kaitannya dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan sumberdaya, teknologi dan kesempatan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada pihak luar yang bersedia memfasilitasi masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan (Slamet, 2003).

Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan karena pada prinsipnya masyarakat yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan. Namun demikan pada kenyataannya menggerakkan, mendorong serta mempertahankan partisipasi masyarakat yang telah berjalan tidaklah mudah. Demikian pula dalam mempertahankan dan meningkatkan partisipasi masyarakat Terdapat banyak faktor yang terlibat agar para masyarakat dapat tetap konsisten dan antusias dengan partisipasi yang selama ini telah dilaksanakannya.

Motivasi Nelayan

(43)

Sardiman (2000) menjelaskan bahwa kata “motif (motive)” diartikan

sebagai daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di luar subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi (motivation)dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak.

Seseorang yang sangat termotivasi adalah orang yang melaksanakan upaya substansial, guna mendukung tujuan-tujuan produksinya. Seseorang yang tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individual Maslow berpendapat bahwa terdapat kebutuhan-kebutuhan atau keinginan– keinginan yang memotivasi individu untuk berupaya memenuhi atau memuaskan kebutuhan tersebut. Seseorang akan termotivasi selama kebutuhan-kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah fisiologis, rasa aman, sosial atau afiliasi, prestasi atau rasa dihargai, dan aktualisasi diri (Winardi, 2002).

Maslow juga mengemukakan bahwa motivasi setiap individu akan saling berbeda, sesuai dengan tingkat pendidikan dan kondisi ekonominya. Orang yang semakin terdidik dan semakin independen secara ekonomi, maka sumber motivasinyapun akan berbeda, tidak lagi semata-mata ditentukan oleh sarana motivasi tradisional, seperti formal authorithy dan financial incentives, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan akan growth dan achievement. Para individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat prepoten atau yang paling kuat pada saat tertentu. Prepotensi suatu kebutuhan tergantung pada situasi individual yang berlaku dan pengalaman-pengalaman yang baru saja dialami (Winardi, 2002).

Berbagai pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya merupakan refleksi kesadaran dan kemauan atau keinginan yang ada pada diri anggota masyarakat. Keinginan atau kemauan ini yang mendorong nelayan dan kelompok masyarakat pesisir lainnya untuk terlibat aktif dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang meliputi:

1. Motivasi untuk Meningkatkan Pendapatan

Masyarakat pesisir pada umumnya adalah nelayan yang sangat mengharapkan adanya perubahan dalam tingkat kesejahteraan hidupnya. Indikator dari terjadinya perubahan positip dalam kesejahteraan hidup adalah meningkatnya pendapatan rumah tangga. Kartasapoetra (1991) menyatakan bahwa setiap petani dan keluarganya ingin meningkatkan produksi dalam usaha taninya untuk mendapatkan income yang sebesar-besarnya. Sebelumnya juga dikemukakan bahwa untuk dapat hidup sejahtera, para nelayan harus berusaha meningkatkan pendapatannya, yang berarti harus menjalankan usaha perikanannya dengan lebih produktif, sehingga lebih menguntungkan.

(44)

perekonomian keluarga kadangkala lebih penting dibandingkan dengan keuntungan yang tinggi tetapi dalam waktu yang singkat.

Masyarakat cenderung memilih aman baik dari dimensi waktu maupun besaran resiko dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Dengan kata lain, lebih baik memilih usaha yang hasilnya kecil tetapi aman serta berkesinambungan dibandingkan dengan hasil besar penuh resiko dan ketidakpastian. Jaminan keamanan bagi perekonomian keluarga merupakan prioritas utama, terutama bagi nelayan subsisten. Dalam kesimpulannya, Sahidu (1998) mengemukakan bahwa pedapatan usaha merupakan sumber motivasi bagi nelayan dan merupakan faktor kuat yang mendorong timbulnya kemauan, timbulnya kemampuan serta terwujudnya kinerja partisipasi masyarakat.

2. Motivasi untuk Mendapatkan Pengakuan atas Kredibilitas

Paradigma pembangunan perikanan dan kelautan masa lalu memandang keberadaan masyarakat sebagai eksternalitas. Masyarakat pesisir yang kebanyakan nelayan kerap dianggap sebagai ancaman dan resiko, sehingga akses mereka terhadap sumberdaya dibatasi, bahkan ditutup. Faktanya menurut Nikijuluw (2002) bahwa di beberapa daerah terdapat praktek pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dilakukan masyarakat telah menerapkan kearifan dan pengetahuan lokal yang memperhatikan kelestariannya. Pergeseran paradigma pembangunan perikanan dan kelautan yang terjadi adalah masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama dan pemerintah mendorong masyarakat pesisir untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa mereka memiliki kemampuan dan dapat dipercaya untuk mengelola sumberdaya.

3. Motivasi untuk Melestarikan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan

Kehidupan perekonomian dan budaya masyarakat pesisir sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya perikanan dan kelautan (Nikijuluw, 2002). Masyarakat pesisir memiliki kearifan dan pengetahuan lokal dan menyadari pentingnya keberadaan sumberdaya yang ada di sekitar mereka bagi generasi berikutnya. Pengetahuan dan kearifan yang dimiliki telah mendorong dan mengarahkan mereka untuk selalu berusaha menjaga eksistensi dan kelestarian sumberdaya.

Kemampuan Masyarakat Mengelola Sumberdaya

Kemampuan (ability) merupakan kapasitas individu yang memungkinkan individu tersebut dapat melakukan tugas-tugas yang bersifat mental dan fisik. Kemampuan berkembang sepanjang waktu melalui interaksi bakat/bawaan dan pengalaman, serta bersifat menetap/permanen atau bertahan lama dalam diri individu (Desimone dkk, 2002). Robin (2003) mendefinisikan kemampuan sebagai kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, yang meliputi kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kapasitas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kerja mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kapasitas untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut adanya stamina, ketangkasan atau keterampilan, dan kekuatan.

Kemampuan (ability) merupakan konsep yang sering disandingkan dengan konsep kompetensi (competency/competence) bahkan terkadang dipertukarkan penggunaannya. Sebagaimana tercantum dalam Oxford Learner’s Pocket

(45)

Definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai hasil kerja yang superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non rutin (Susanto, 2003).

Kemampuan, menurut Robert dan Kinicki (1991) adalah karakteristik yang luas dan mapan yang bertanggungjawab atas kinerja maksimum seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan mental dan fisik yang diklasifikasikan menjadi dua tingkatan yaitu:

(1) Kemampuan ambang batas (threshold competency) : Kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Dikatakan minimal karena sekedar terpenuhinya standar kerja minimal yang dipersyaratkan, tidak lebih, sehingga pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik.

(2) Kemampuan yang membedakan (differentiating competency)

Kemampuan unggul yaitu kemampuan yang dapat membedakan antara seseorang yang memiliki kinerja superior dengan yang tidak memiliki kinerja superior. Dikatakan superior, apabila kinerja seseorang berada di atas rata-rata kebanyakan orang, dengan kata lain mampu melakukan pekerjaan dengan lebih baik dibandingkan dengan orang lain yang melakukan pekerjaan yang sama.

Soesarsono (2002) menyatakan secara umum kemampuan individu dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

(1) kemampuan personal yaitu kemampuan seseorang yang dihubungkan dengan kepribadian, sifat-sifat atau karakter yang dimilikinya.

(2) kemampuan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, berinteraksi dan membangun hubungan dan jaringan dengan orang lain. (3) kemampuan profesional yaitu seperangkat kemampuan khusus yang

dimiliki seseorang dalam melaksanakan profesinya atau melaksanakan tugas tertentu.

UNESCO (2005) mengkategorikan kemampuan yang perlu dimiliki oleh individu secara lebih mendasar dengan mengaitkannya pada proses perkembangan manusia dan proses belajar yang dialami oleh manusia. Menurut UNESCO bahwa terdapat empat kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh individu untuk menghadapi tantangan yang muncul di dalam hidupnya dan yang muncul di dalam masyarakatnya. Empat kemampuan tersebut adalah:

(1) Learning to be, dapat dinyatakan sebagai kemampuan personal.

Kemampuan personal merupakan potensi individu yang terkait dengan konsep diri, yaitu cara bagaimana individu memandang dirinya sendiri. Kemampuan personal membuat setiap individu berbeda satu dengan lainnya. Dengan kemampuan personal, seseorang dapat dan sanggup melakukan sesuatu yang berbeda dari individu lainnya.

(46)

(3) Learning to know, dapat dinyatakan sebagai kemampuan kognitif.

Kemampuan dalam menggunakan, meningkatkan dan mendayagunakan intelektual. Terdapat tiga instrumen untuk mengembangkan kemampuan ini yaitu belajar tentang cara belajar (learning how ton learn), mengajar tentang cara mengajar (teaching how to teach), dan mengetahui tentang cara mengetahui (knowing how to know).

(4) Learning to do, dapat dinyatakan sebagai kemampuan produktif

Kemampuan yang terkait dengan upaya individu membangun dirinya menjadi individu yang produktif, kreatif, dan inovatif. Kemampuan produktif terekspresi dalam bentuk kemampuan mengarahkan (directing), mengelola (managing), koordinasi/kerjasama (coordinating), pengawasan dan evaluasi terhadap produksi sendiri (self-management), produksi kelompok sendiri (co-management), atau produksi kelompok lain (group management). Kemampuan ini dapat menciptakan ruang enterpreneur

bagi individu.

Pengertian Sikap

Definisi sikap sebagai suatu gejala psikologis memiliki berbagai definisi dengan berbagai tinjauan dari para ahli. Allport (Mar’at, 1984) mendefinisikan sikap sebagai keadaan dan kesiapan mental yang terorganisasi melalui pengalaman yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua obyek atau situasi yang mempunyai hubungan dengan dirinya. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, setuju, tidak setuju dan sebagainya.

Mar’at (1984) membuat rangkuman mengenai pengertian sikap

berdasarkan berbagai definisi yang dirumuskan Allport, yaitu :

(1) Attitudes are learned, yang berarti sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis ataupun diturunkan, akan tetapi sikap sebagai hasil belajar diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.

(2) Attitudes have referent, yang berarti bahwa sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide.

(3) Attitudes are social learning, yang berarti bahwa sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain.

(4) Attitudes have readiness to respond, yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.

(5) Attitudes are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dan sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negatif atau ragu.

(6) Attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap terhadap obyek tertentu kuat atau juga lemah.

(7) Attitudes have a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut mungkin hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi belum tentu sesuai pada saat lainnya

(8) Attitudes have a duration factor, yang berarti bahwa sikap dapat bersifat relatif konsisten dalam sejarah hidup individu.

(47)

(10) Attitudes are evaluations, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan.

(11) Attitudes are inferred, yang berarti bahwa sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan yang tidak memadai.

Suatu sikap mempunyai komponen, yaitu (Mar’at, 1984) : (1) komponen kognitif, yaitu seseorang yang bersikap perlu memiliki pengetahuan mengenai obyek sikapnya, terlepas dan apakah pengetahuannya tersebut benar, salah, lengkap, tidak lengkap dan sebagainya; (2) komponen afektif, komponen ini merupakan komponen yang paling penting. Seseorang yang bersikap akan mempunyai pemaknaan sebagai hasil evaluasi emosional (setuju, tidak setuju) mengenai obyek sikapnya dan (3) komponen konatif, bahwa suatu sikap tidak lengkap hanya dengan pengetahuan dan evaluasi emosional tetapi juga memiliki kecenderungan individu dalam bertingkah laku / merespon yang bersifat lebih permanen. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah perasaan, pikiran dan kecenderungan individu bertingkah laku / merespon yang kurang lebih bersikap permanen terhadap sesuatu yang dinyatakan dengan persetujuan atau ketidaksetujuan, perasaan senang atau tidak senang dan sejenisnya.

Proses Penyuluhan Pembangunan

Slamet (2003) menguraikan bahwa istilah penyuluhan pada awalnya

dikenal sebagai “agricultural extention.” Karena penggunaannya di bidang lain, maka sebutannya berubah menjadi extention education dan development communication.

Istilah “penyuluhan” pertama kali dikemukakan oleh James Stuart dari

Trinity College (Cambridge) tahun 1967, sehingga Stuart dikenal sebagai bapak Penyuluhan (van Den Ban dan Hawkins, 1999). Berbagai istilah digunakan untuk mengambarkan proses belajar penyuluhan, seperti: (1) voorlichting (Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2) beratung (Inggris dan Jerman) yang mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut berhak menentukan pilihannya, (3) erziehung (mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (4) forderung (Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diingikan, dan (5)

fulgarisation (Perancis) menekankan penyederhanaan pesan bagi orang awam (Van Den Ban dan Hawkins, 1999).

Secara harafiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses memberikan penerangan tentang sesuatu yang

belum “diketahui.” Namun, penerangan yang dilakukan harus terus menerus

(48)

Asngari (2003) mengartikan penyuluhan sebagai kegiatan mendidik orang dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai yang dikehendaki. Ini merupakan usaha memberdayakan potensi individu klien agar lebih berdaya dan mandiri. Berdasarkan pandangan tersebut disimpulkan bahwa kegiatan penyuluhan selalu berorientasi pada perubahan perilaku serta penemuan baru dan mampu meningkatkan kesadaran dan rasa percaya diri individu. Karena itu Asngari (2008) lebih lanjut menekankan pentingnya mengembangkan falsafah penyuluhan antara lain: (1) falsafah mendidik, (2) falsafah pentingnya pribadi individu, (3) falsafah demokrasi, (4) falsafah bekerja bersama antara penyuluh/agen pembaharuan dengan klien, (5) falsafah membantu klien agar mereka mampu membantu diri sendiri (6) falsafah membakar sampah secara tradisional dan (7) falsafah berkelanjutan.

Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa kemampuan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efektivitas proses belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar menyebabkan rakyat memperoleh dan memahami informasi, kemudian secara kognitif memprosesnya menjadi pengetahuan tentang adanya kesempatan dan melatih dirinya agar mampu berbuat (konatif) serta secara intrinsik termotivasi untuk mau (afektif) bertindak atas dasar manfaat yang akan dapat diraihnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa keseluruhan proses ini merupakan ruang lingkup penyuluhan pembangunan dan menjadi bagian utama yang harus dikembangkan dalam ilmu penyuluhan pembangunan.

Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa pada falsafah penyuluhan terdapat makna “menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri, melalui

pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya” (Helping people to help themselves through educational means to improve their level of living). Menyangkut falsafah ini, Asngari (2008) mengutip pikiran Tomson Repley Bryant sebagai berikut : “The whole extention philosophy is built on the

idea of helping people to help themselves and getting them to realize that is their interest to help them selves. It is essential that they will not get real help until they do it themselves.”

Falsafah penyuluhan tersebut juga sejalan dengan prinsip pemberdayaan (Empowerment) yang dikemukakan oleh Ife (2006) : “Empowerment means providing people with the resources, knowledge and skill to increase their community.” Maknanya adalah bahwa menyiapkan komunitas atau individu dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi menentukan masa depan. Lebih lanjut Ife mengemukakan bahwa pemberdayaan bertujuan membangun kemandirian (self reliance) artinya, komunitas mencari atau berusaha menggunakan sumberdaya lokal sendiri dari pada bantuan luar, baik SDM, SDA, keuangan dan teknik. Prinsip kemandirian bukan berarti tanpa bantuan orang lain tetapi justru mendorong masyarakat untuk bekerjasama, berkontribusi (partisipasi), bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sesuatu.

(49)

Dalam kaitan dengan materi penyuluhan, Mardikanto (Margono, 2003) mengatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) pentingnya pengembangan kebiasaan untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat; (2) selalu mengacu kepada kebutuhan calon penerima manfaat; (3) materi belajar tidak harus benar-benar baru tetapi dapat berupa praktek lama, kebiasaan atau teknologi yang telah dikembangkan masyarakat setempat dan (4) sumber materi belajar tidak selalu berasal dari pakar, orang lain atau texbook atau surat kabar, majalah, radio, TV akan tetapi lebih diutamakan dari pelaku-pelaku setempat yang telah berpengalaman yang disampaikan secara lisan dalam diskusi, pertemuan-pertemuan, percakapan informal dan lain–lain.

Metode penyuluhan menurut Ibrahim dkk. (2003) adalah cara-cara penyampaian materi penyuluhan secara sistematis sehingga materi penyuluhan tersebut dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat sasaran. Pengalaman menunjukan bahwa metode penyuluhan sangat berperan dalam menunjang keberhasilan program penyuluhan karena sebaik apapun materi penyuluhan yang disampaikan tidak akan mampu merubah perilaku sasaran yang diinginkan bila metode peyuluhan yang digunakan kurang tepat.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode penyuluhan menurut Slamet dan Asngari (Sumardjo 2008), yaitu sebanyak banyaknya sasaran yang harus dilayani, sesering-seringnya berinteraksi dengan sasaran dan semurah-murahnya tetapi menjadi media pengalaman yang efektif. Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan metode-metode penyuluhan harus didasarkan pada persyaratan sebagai berikut: (1) sesuai keadaan sasaran, (2) cukup dalam jumlah dan mutu, (3) tepat sasaran dan pada waktunya, (4) amanat harus mudah diterima / dimengerti dan (5) murah pembiayaannya atau efisien.

Setiap metode pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa pada prinsipnya, makin sedikit sasaran belajar dengan menggunakan suatu metode yang sama cenderung makin efektif, tetapi sebaliknya cenderung makin tidak efisien. Dalam pelaksanannya, kegiatan tersebut dapat dilakukan secara langsung (face to face) atau misalnya dengan telepon dapat pula dilakukan secara tidak langsung yaitu menggunakan surat dan media massa tetapi um;pan balik tidak dapat terjadi secara spontan.

Mardikanto (1993) menyarankan untuk menerapkan beragam metode secara simultan yang saling menunjang dan melengkapi. Secara umum terdapat banyak sekali metode yang dapat dipergunakan dalam setiap kegiatan penyuluhan antara lain: metode ceramah, diskusi, kunjungan lapang, magang, studi banding, temu lapang dan lain-lain. Dengan demikian, setiap penyuluh setelah memperhatikan kondisi keragaman baik masyarakat sasaran maupun lingkungannya harus memahami dan mampu memilih atau mengkombinasikan metode penyuluhan yang paling sesuai untuk kegiatan penyuluhan yang akan dijalaninya di masyarakat yang bersangkutan.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian Strategi Pengembangan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Areal Perlindungan Laut–Berbasis Masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
Tabel 1. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran
Tabel 2. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran
Tabel 3. Indikator, Definisi Operasional, Parameter dan Skala Pengukuran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Keputusan Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 027/10.6.4/SS/2011 tanggal 6 Oktober 2011 tentang Penetapan Daftar

Selama tahun 2016, perusahaan-perusahaan yang terlibat aktif di Inisiatif ini bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan pimpinan perusahaan, mencari cara untuk memperbaiki

Lembu kerbau yang akan dipindahkan untuk tujuan pembiakan atau sembelih di dalam negeri lain, sera lembu kerbau dari gerompok tersebut hendaklah diuji dengan

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ FAKTOR- FAKTOR YANG

Selain itu, Sarle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga meyebutkan ciri-ciri ilokusi komisif, yaitu berjanji, bersumpah atau mengancam. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat

Seperti halnya perusahaan BUMD lainnya di Indonesia, sejak tahun 1961 perusahaan ini didirikan, PT.Bank Riau Kepri masih menggunakan sistem pengelolaan surat

Kesimpulan dari penelitian ini, pengaruh penggunaan campuran bahan bakar premium- methanol terhadap performa dan emisi gas buang mesin bensin pada sistem EGR panas dengan