• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN I PENGANTAR DAN SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN BAB I HAKEKAT FILSAFAT 1.1. Filsafat Timbul dari Dorongan Untuk Mengetahui

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAGIAN I PENGANTAR DAN SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN BAB I HAKEKAT FILSAFAT 1.1. Filsafat Timbul dari Dorongan Untuk Mengetahui"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN I

PENGANTAR DAN SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN

BAB I

HAKEKAT FILSAFAT

1.1. Filsafat Timbul dari Dorongan Untuk Mengetahui

Disadari atau tidak, setiap manusia selalu berfilsafat. Karena manusia yang normal selalu bertanya dan mencari jawaban tentang segala sesuatu yaitu Tuhan, dunia dan dirinya termasuk apa yang dilakukannya. Menurut Aristoteles (384-322) dari kodratnya semua manusia memiliki hasrat ingin tahu.[1] Dalam diri manusia ada dorongan untuk mengetahui (desiderium sciendi) lebih banyak tentang kenyataan yang mengitarinya dan tentang dirinya sendiri. Manusia memiliki akal budi yang haus akan pengetahuan batu (an inquistive mind), yang terbuka untuk menyelidiki segala kejadian dan gejala.[2]

Filsafat bertolak dari keinginan mendasar ini. Manusia selalu mempertanyakan segala sesuatu. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki akal budi yang memungkinkan dia untuk berpikir. Dengan ini manusia memiliki kemampuan yang melebihi makhluk-makhluk infra-human seperti tumbuhan dan hewan. Sesekor hewan, misalnya tidak memiliki kesadaran diri, dia tidak sadar bahwa ia tahu, tidak tidak tahu bahwa ia menginginkan sesuatu. Manusia sebaliknya, tidak hanya menangkap peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi dengan indera-indera seperti makhluk-makhluk lain. Dengan akal budinya dia mampu membentuk pengertian-pengertian dan merumuskan putusan-putusan logis. Dia tidak hanya puas mengenal fakta-fakta, tetapi juga ingin mengetahui ”alasan, sebab” dari fakta-fakta itu.

Pengetahuan yang diperoleh dengan akal budi menyata dalam dua bentuk utama. Yang satu bersifat rasional atau logis, yang bekerja dengan konsep-konsep umum. Bentuk ini bersifat spekulatif, abstrak dan refleksif. Aristoteles menjelaskan manusia sebagai makhluk berakal budi (animal rationale). Tetapi ada bentuk lain yang juga penting, yaitu pengetahuan yang bersifat simbolis atau figuratif yang bekerja dengan gambar-gambar, simbol-simbol, mitos-mitos dan perbandingan (kiasan). Ernst Cassirer, seorang filsuf terkemuka aliran Neokantian abad ini mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang menggunakan simbol-simbol (animal symbolicum). Jadi ada dua hal yang saling melengkapi.

1.2. Jenis-Jenis Filsafat

Manusia pada hakekatnya adalah fisuf. Sejauh sebagai makhluk berakal budi, dia terdorong untuk bertanya dan mencari jawaban tentang semua yang ada dan tentang semua yang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan bukanlah monopoli orang-orang terpelajar melulu, tetapi menyangkut semua orang. Pada umumnya dibedakan dua jenis filsafat[3], yaitu:

1. Filsafat elementer (alamiah) yang ada pada semua bangsa dan menjadi milik semua orang.

Filsafat alamiah ini pada umumnya bersifat naratif (dalam bentuk cerita-cerita) dan bukan argumentatif dan sistematis. Filsafat jenis ini diungkapkan dalam bentuk mitos-mitos, disajikan dalam kisah-kisah, diabadikan dalam syair-syair dan dipadatkan dalam kata-kata bijaksana. Dalam arti ini filsafat terdapat pada semua suku bangsa dan peradaban pada segala momen sejarah dan bukan monopoli suku bangsa tertentu.

2. Filsafat ilmiah yang bersifat sistematis dan metodis. Secara historis, filsafat ini dimulai dan

(2)

Bangsa Yunani, leluhur peradaban manusia Barat, pertama kali berhasil menemukan dan menetapkan sarana-sarana seperti logika, yaitu aturan-aturan untuk penalaran logis yang perlu untuk mengangkat filsafat dari tingkat alamiah ke tingkat ilmiah. Pada bangsa-bangsa asli Timur sezaman Yunani Kuno ketika filsafat lahir, unsur-unsur filsafat selalu berhubungan dengan kehidupan religius dan karena itu tidak dapat disebut sebagai filsafat dalam arti yang sesungguhnya. Parmenides, Herakleitos, Pythagoras, Sokrates, Plato dan Aristoteles adalah pemikir-pemikir besar pertama yang mengembangkan tehnik-tehnik baru untuk menghadapi dan memecahkan persoalan-persoalan mendasar menyangkut kehidupan dengan bertumpu pada penalaran murni (penalaran yang dikontrol secara ketat oleh hukum-hukum logika). Tokoh-tokoh ini mengembangkan filsafat sebagai ilmu yang sistematis dan metodis. Filsafat sistematis adalah hasil temuan manusia Yunani.

Dalam pembicaran selanjutnya, kita akan menggunakan filsafat dalam pengertian kedua ini.

1.3. Pengertian Filsafat

Istilah filsafat berasal dari kata bahasa Yunani philosophia. Kata ini terbentuk dari dua kata dasar, yakni philia (kata benda) berarti cinta atau philein (kata kerja) berarti mencintai dan sophia (kata benda) yang berarti kebijaksanaan, kebenaran. Menurut tradisi filsafat, orang yang pertama kali memakai kata philosophos atau filsuf orang yang mencintai kebijaksanaan) adalah Phytagoras.

Dari tinjauan etimologis ini menjadi jelas bahwa filsafat secara harafiah berarti cinta akan kebijaksanaan dan filsuf berarti orang yang mencintai kebijaksanaan. Dengan demikian, segera tampak bahwa filsafat adalah suatu aktivitas intelektual yang bersifat dinamis dan bukan suatu pengertian yang statis. Cinta (philia) atau hasrat menunjuk kepada suatu aspirasi, keterarahan seluruh diri kepada sesuatu yang dicita-citakan, yang belum dimiliki sepenuhnya. Kebijaksanaan dan kebenaran (sophia) menunjuk kepada sasaran yang dituju oleh aspirasi itu. [4] Berdasarkan pengertian ini, ada beberapa unsur hakiki yang perlu digarisbawahi, yaitu:

1. Sebagai aktivitas intelektual, filsafat selalu terarah kepada kebenaran (objek intelek adalah

kebenaran). Filsafat tidak pernah berhenti pada suatu pendapat yang sudah mapan dan diterima umum; ia tidak pernah berhenti mempertanyakan. Ia selalu mempertanyakan secara kritis semua pendapat dan pandangan dan tidak menerima begitu secara buta.[5]

2. Filsafat mau mencari sampai ke akar (memikirkan secara radikal, radix; akar), mau mencari

sampai kepada sesuatu yang paling mendalam yang mendasari kenyataan. Dengan kata lain, filsafat mau menggapai syarat-syarat yang memungkinkan adanya atau terjadinya sesuatu. Inilah yang dalam filsafat dikenal sebagai metode transendental (to transcend; melampaui dan mengatasi fakta-fakta dan gejala-gejala yang tampak).

3. Ketulusan dan kejujuran untuk selalu memihak kepada kebenaran, kerendahan hati untuk terus

menerus mencari. Dalam hal ini orang perlu membuat suatu pertobatan terus menerus. Ada tiga jenis pertobatan yang perlu untuk mencapai kebenaran, yaitu:

a. Pertobatan intelektual. Orang harus terus menerus menjernihkan pandangannya tentang realitas

yaitu bahwa kebenaran ada dan harus ditemukan.

b. Pertobatan moral. Orang harus selalu mengarahkan diri kepada nilai yang akan membantu

perwujudan dirinya dalam penggunaan kebebasan yang memihak kepada nilai.

c. Pertobatan religius. Orang harus membuka diri kepada realitas yang lebih tinggi.

(3)

Secara singkat filsafat yang dimaksudkan di sini selain sebagai ilmu adalah juga sikap hidup. Sikap hidup yang dituntut oleh filsafat adalah kepekaan dan keterbukaan untuk senantiasa membuat refleksi kritis rasional yang tak berkesudahan tentang penghayatan hidup sendiri, tentang tindakan dan tentang realitas secara keseluruhan. Plato pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak direflesikan tidak layak untuk dibanggakan. Sebagai ilmu, sebenarnya filsafat merupakan suatu bentuk pengetahuan yang bersifat metodis, sistematis, dan kritis tentang seluruh kenyataan yang dibahas menurut aspek kedalamannya, sampai ke akar-akarnya. Filsafat dengan ini berupaya mencari sebab-sebab terdalam dan prinsip-prinsip[6] dasar dari kenyataan. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu mengenai prinsip-prinsip dasar.[7]

Adapun yang menjadi persamaan antara ilmu-ilmu dan filsafat, yakni filsafat dan ilmu-ilmu timbul dari dorongan untuk mengetahui dan keinginan dasar untuk mengerti. Filsafat dan ilmu-ilmu timbul dari manusia sebagai mahkluk rasional, yang bertanya dan mencari jawaban. Semuanya terarah kepada kepentingan manusia. Tidak ada filsafat untuk filsafat, seperti juga tidak ada ilmu untuk ilmu. Karena apa yang dilakukan manusia dengan sadar dan sengaja selalu bersifat intensional dalam arti memiliki tujuan tertentu. Demikian juga filsafat dan ilmu selalu merupakan abdi manusia, demi kepentingan manusia.

Sementara yang menjadi perbedaan antara ilmu-ilmu dan filsafat terletak pada objek kajian (obyek material) dan sudut pandang dari mana suatu segi dari realitas dibahas (objek formal). Objek material dari filsafat adalah seluruh kenyataan; tak ada aspek yang diabaikan. Maka objek filsafat adalah yang paling luas. Objek formal adalah sebab-sebab pertama dan terdalam (first and ultimate causes) dari kenyataan. Sementara ilmu-ilmu lain membatasi diri pada bagian tertentu dari kenyataan. Misalnya, objek kajian biologi terbatas pada makhluk-makhluk hidup; objek kajian geografi adalah letak tempat-tempat di permukaan bumi, iklim, fauna, flora, dan populasi suatu daerah; ilmu kedokteran mempelajari perlbagai hal tentang kesehatan dan penyakit-penyakit. Ilmu-ilmu lain bekerja mulai dengan kata-kata dan gejala-gejala yang dapat diamati diobservasi dan dikuantifikasi. Ilmu-ilmu lain menyelidiki sebab-sebab sejauh dapat diamati dan dapat diukur, bukan sebab-sebab terdalam, yaitu kenyataan sebagaimana adanya. Boleh dikatakan bahwa ilmu-ilmu membahas sebab-sebab kedua dan terdekat (secondary and immediate causes).

1.5. Filsafat dan Ideologi

Ditilik dari segi kata, Ideologi berarti ilmu tentang ide-ide; ilmu yang mengambil ide-ide sebagai objek kajiannya. Pada umumnya ideologi diartikan sebagai berikut: [8]

1. Teori tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan fisik pihak yang

memperjuangkannya. Dalam hal ini ideologi menjadi sarana untuk membenarkan dan mengabadikan kekuasaan dan kepentingan sebuah kelompok sosial;

2. Keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani suatu kelompok sosial. Di

sini pengertian ideologi bersifat netral. Baik buruknya suatu ideologi tergantung pada isinya;

3. Segala penilaian etis, anggapan-anggapan normatif, teori-teori serta paham-paham keagamaan,

yang tidak dapat diuji secara matematis-logis atau empiris (tuntutan positivisme). Dalam arti ini ideologi tidak bersifat rasional, karena bersifat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara objektif.

(4)

1. Filsafat bersifat refleksif dan spekulatif, sedangkan ideologi bersifat instrumental dan

pragmatis digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu yang dianggap berguna secara praktis;

2. Filsafat bersifat revelatif, dalam arti bertujuan menyingkapkan kebenaran, sedangkan

ideologi menetapkan ide-ide dasar yang berguna untuk menunjang sukses praktis;

3. Filsafat akan tetap bertahan selama sifat refleksif kritis dan spekulatifnya ada dan akan mati

kalau ia berubah menjadu ideologi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan praktis dan langsung.

1.6. Tujuan Belajar Filsafat 1.6.1. Tujuan Umum[10]

Pada umumnya studi filsafat menjadikan orang mampu menangani pertanyaan-pertanyaan dasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang metodis ilmu-ilmu lain, tapi tentang kenyataan dan tanggung jawab manusia. Dalam hal ini filsafat memberikan:

1. Pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari

pendekatan-pendekatan pokok terhadap pertanyaaan-pertanyaan dasar manusia serta mendalami jawaban-jawaban yang pernah diberikan oleh pemikir-pemikir besar sepanjang sejarah, wawasan seseorang diperluas;

2. Kepekaan kritis dan kemampuan untuk menganalisis secara tepat argumentasi; pendapat dan

tuntutan pelbagai ideologi yang selalu muncul dan membujuk orang untuk mempercayakan diri secara buta. Filsafat di sini berperan sebagai kritik ideologi;

3. Pendasaran metodis dan sistematis dalam menjalani studi dalam ilmu-ilmu lain;

4. Filsafat dapat membantu orang untuk melihat kenyataan secara keseluruhan yang utuh dan

menangkap bagian-bagian dalam dimensi kedalamannya. 1.6.2. Fungsi Filsafat untuk Indonesia

Pada zaman sekarang, filsafat memiliki banyak fungsi. Berkaitan dengan situasi dan kondisi Indonesia, maka filsafat memiliki beberapa fungsi, yakni :

1. Filsafat merupakan sarana untuk mengambil sikap kritis terhadap tantangan mordenisasi dan

globalisasi yang sedang membawa perubahan dalam pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma yang baku dari bangsa kita;

penyelewengan seperti ketidakadilan sosial, pelecehan terhadap martabat manusia, pemerkosaan hak-hak asasi manusia yang masih sering terjadi;

4. Filsafat memberikan sarana dan dasar bagi dialog antar umat beragama.

1.6.3. Fungsi Filsafat untuk Pendidikan Keagamaan

Filsafat hadir bukan untuk menentang eksistensi agama yang mapan. Filsafat memiliki fungsi untuk agama, khususnya berkaitan dengan pendidikan keagamaan. Fungsi filsafat untuk Pendidikan Keagamaan adalah :

1. Studi filsafat membimbing orang untuk memahami secara mendalam martabat, kebebasan dan

(5)

kesadaran yang semakin mendalam tentang hubungan antara roh manusia dan kebenaran yang diwahyukan secara penuh dalam diri Yesus Kristus;

2. Filsafat membantu pembentukan intelektual seorang yang beriman dan beragama dalam

usahanya untuk mencintai dan menghormati kebenaran (loving veneration of truth) dan membimbing dia untuk mengakui bahwa kebenaran tidak diciptakan oleh manusia, tetapi diterima sebagai hadiah dari Allah, kebenaran Tertinggi;

3. Filsafat membuat orang sadar bahwa budi manusia mencapai kebenaran objektif dan universal,

bahkan kebenaran tentang Allah dan arti terakhir hidup manusia meskipun dalam bentuk terbatas dan sering kali sulit;

4. Pentingnya filsafat bagi orang yang beriman dan beragama memperlihatkan kebenaran bahwa

iman tidak dapat bertahan tanpa daya nalar. Karena itu usaha yang tidak berkesudahan untuk memikirkan untuk memikirkan secara mendalam iman merupakan seuatu yang sangat manusiawi.

1.7. Metode Filsafat

Istilah metode berasal dari kata bahasa Yunani Meta yang berarti sesudah atau di belakang atau bersama dengan dan odos yang berarti perjalanan. Berdasarkan arti etimologis ini, metode bisa menunjuk kepada apa yang ingin dicapai pada akhir suatu pencarian. Jadi, suatu metode selalu mengandaikan dua unsur itu, yaitu:

1. Apa yang hendak dicapai atau tujuan;

2. Cara kerja macam mana yang memungkinkan pencapaian tujuan yang dimaksud secara paling

efektif dan memberikan hasil paling memuaskan.[11]

Perlu dibedakan dua cara memandang metode dalam uraian filosofis, yaitu metode umum dan khusus.[12]

1.7.1. Metode Umum

Pada umumnya dalam filsafat, seperti juga dalam karya ilmiah umumnya, dikenal dua metode sejak lama.

1. Metode deduksi. Metode ini selalu bertolak dari hukum-hukum umum untuk menilai dan

menguji kasus-kasus khusus. Cara yang lazim untuk metode ini adalah silogisme di mana ada satu premis mayor dan satu premis minor, dan kesimpulan akan ditarik dari hubungan antara kedua premis itu;

2. Metode deduksi. Metode yang bertolak dari kasus-kasus khusus, sambil melihat unsur umum

yang ada pada banyak kasus khusus, menetapkan hukum-hukum umum. 1.7.2. Metode Khusus

1.7.2.1.Metode Fenomenologi

Metode ini kembangkan oleh Edmund Husserl sebagai metode untuk menjelaskan arti dari sesuatu sejauh sesuatu itu muncul dari kesadaran. Kesadaran menurut Husserl memiliki dua kurub, yaitu kutub subjektif dan kutub objektif. Penjelasan fenomenologis harus memperhatikan kedua aspek dari kesadaran (pengalaman). Dalam filsafat pendidikan, metode ini ingin menjelaskan pendidikan sebagai suatu fenomen (gejala-gejala) dalam kehidupan manusia.

(6)

1. Mengurungkan semua pengetahuan yang sudah ada, yaitu pendapat orang dan memusatkan

perhatian pada fenomen, yaitu bagaimana sesuatu itu menampakkan diri dalam kesadaran;

2. Reduksi eidetis, yaitu dengan mengurungkan semua aspek tambahan yang tidak perlu sehingga

yang tinggal hanya aspek yang paling inti, hakiki, yang universal dan yang mengatasi ruang dan waktu, yang disebut eidos (hakikat);

3. Reduksi transendental, yaitu setelah menyisihkan pelbagai pendapat dan unsur-unsur

tambahan, maka orang mencapai subjek murni, aku murni yang mengatasi semua pengalaman. Yang diperlukan dalam penjelasan tentang fenomen pendidikan adalah reduksi eidetis.

1.7.2.2.Metode Kritis

Metode ini penting dalam membicarakan aliran-aliran filsafat pendidikan nanti. Metode ini menyelidiki paham-paham tentang pendidikan, meneliti sistem-sistem dan teori-teori yang sudah ada. Yang diteliti secara kritis adalah anggapan dasarnya, entah diterima atau tidak. Juga diteliti ketetapan (konsistensi) dan hubungan logis (koherensi) teori-teori atau sistem-sistem itu. Konsistensi berarti sesuai dengan asas atau prinsip-prinsip yang dianut. Koherensi berarti keselarasan atau persesuaian satu bagian dengan bagian lain, yang membuat sistem itu menjadi satu kesatuan yang utuh.

1.7.2.3.Metode Transendental

Metode transendental bertitik tolak dari fenomena manusiawi yang paling sentral, yaitu fakta kegiatannya (berpikir, berbicara, memilih). Tidak dianalisis arti dan nilai yang diungkapkan sebagai isi eksplisit dalam kegiatan itu, melainkan dicari pengandaian-pengandaian yang tersirat atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut. Pengandaian-pengandaian yang tersirat atau syarat-syarat mutlak yang memungkinkan pelaksanaan fakta kegiatan tersebut. Pengandaian-pengandaian itu ditemukan baik pada phak subjek sendiri yang bertindak, maupun pada pihak objek yang dilibatkan. Setiap kali dibentangkan lagi konsekuensi syarat atau pengandaian yang ditemukan. Dengan demikian secara sistematis disingkapkan struktur-struktur hakiki dalam manusia dan dunianya yang merupakan dasar konstitutif bagi kegiatannya yang faktual.

1.8. Pembagian Filsafat

Setiap filsuf biasanya memilih bidang tertentu dari kenyataan sebagai objek pokok refleksinya. Berdasarkan pemilihan ini maka dapat dilihat persoalan-persoalan yang selalu muncul dalam sejarah filsafat, seperti:

1. Logika, membahas aturan-aturan penalaran yang baik dan tertib;

sama membentuk suatu keseluruhan yang teratur atau kosmos;

(7)

11. Sejarah (filsafat sejarah);

12. Kebudayaan (filsafat kebudayaan);

13. Aksiologi (filsafat tentang nilai)

Tetapi persoalan-persoalan itu dapat dikembalikan kepada 9 (sembilan) cabang filsafat dan kesembilan cabang ini dapat dikelompokkan lagi ke dalam tiga bagian utama. Pembagian ini dikenal sebagai pembagian filsafat yang klasik.[13]

1.8.1. Filsafat tentang Pengetahuan

1. Logika, menyelidiki dan menetapkan aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya cara

berpikir manusia lurus dan tidak sesat.

2. Epistemologi, merupakan pengetahuan tentang pengetahuan

3. Kritik ilmu-ilmu menyelidiki titik pangkal, metode dan objek ilmu-ilmu

1.8.2. Filsafat tentang Keseluruhan Kenyataan

1. Ontologi, merupakan pengetahuan tentang ’semua yang ada sejauh ada’

2. Teologi Metafisik (filsafat ketuhanan) membahas tentang apakah Tuhan ada dan tentang nama-nama Allah

3. Antropologi (filsafat manusia) berbicara tentang manusia

4. Kosmologi (filsafat alam dunia) membahas tentang alam dunia sebagai suatu susunan yang teratur (kosmos).

Ontologi disebut juga metafisika umum, sedangkan teologi metafisik, antropologi metafisik dan kosmologi filosofis merupakan bagian-bagian dari metafisika khusus.

1.8.3. Filsafat tentang Tindakan Manusia

1. Etika (filsafat moral) membahas tentang tindakan manusia yang dilakukan secara sadar dan segaja.

(8)

BAB II

HAKEKAT FILSAFAT PENDIDIKAN

2.1. Pengertian Pendidikan

2.1.1. Pendidikan Sebagai Aktivitas Eksistensial dan Fundamental

Fenomena pendidikan merupaka sesuatu yang hakiki dan eksistensial bagi kehidupan manusia.[14] Pendidikan merupakan fenomen bukan hanya karena tampak bagi mata sebagai data dan gejala, melainkan tampak bagi kesadaran manusia: pikiran, jiwa dan pribadinya. Fenomen itu disebut hakiki karena di mana pun manusia ada bersama selalu ada pendidikan. Pendidikan diartikan sebagai aktivitas eksistensial dan fundamental. Pengertian ini mengandung 3 unsur penting, yaitu :

1. Pendidikan disebut eksistensial karena menyangkut eksistensi manusia. Eksistensi berarti cara

manusia berada yang khas di dunia. Aliran yang berakaitan dengan eksistensi adalah Eksistensi. Eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat abad ke-20 yang merasakan misinya sebagai pemberantas dua pandangan yang berat sebelah tentang manusia, yakni materialisme

dan idealisme. Materialisme adalah paham yang melihat manusia hanya sebagai bagian dari alam jasmani (materi) yang tidak berbeda dari benda-benda jasmani lain. Sedangkan idealisme

adalah paham yang berpendapat bahwa manusia itu hanya subyek, di mana subyek itu disamakan dengan pikirannya sendiri. Dunia di luar pikiran manusia tidak ada, kalaupun ada, tidak mungkin dimengerti;[15]

2. Pendidikan menyangkut cara orang berelasi dengan orang lain. Manusia tidak bisa

berkembang dan menjadi diri sendiri tanpa hubungan dengan manusia-manusia lain. Dunia manusia adalah dunia arti-arti, dan arti-arti itu juga berlaku untuk manusia-manusia lain sebagai subjek. Jelas bahwa manusia hanya dapat hidup sebagai manusia kalau ia hidup bersama dengan manusia lain. L. Binswanger menegaskan bahwa cara berada manusia adalah ada bersama dengan subjek-subjek, dalam cinta kasih, yang saling membangun dan menyempurnakan. Cita-cita dari individu diarahkan kepada cinta tanpa pamrih sebagai pemenuhannya. Cinta menciptakan persekutuan. Karena itu, persekutuan, ada bersama bersifat hakiki bagi manusia;

3. Fenomena pendidikan begitu nyata dalam hubungan antarmanusia. Dalam hal ini, hubungan

bersifat saling memberi arti, hubungan membangun dan menyempurnakan dalam cinta kasih. Suatu perbuatan disebut fenomen mendidik karena hasilnya apakah baik atau buruk. Pendidikan adalah suatu aktivitas fundamental karena pendidikan itu menyentuh akar-akar hidup manusia sehingga mengubah dan menentukan hidup itu.

2.1.2. Pendidikan Sebagai Proses Pemanusiaan

(9)

1. Proses hominisasi (homo; manusia), yaitu perkembangan menjadi manusia. Pendidikan disebut

hominisasi bukan karena proses bertumbuh dan berkembang yang diharapkan dari pendidikan secara lambat laun membawa kepada kesempurnaan diri sebagai manusia, baik dari aspek biologis maupun dari aspek psikologis. Homonisasi itu mengarah kepada menjadi seorang pribadi, seorang subjek yang mengerti diri dan tahu menempatkan diri dalam situasi;

2. Proses humanisasi (humanus; manusiawi, humanisme; kehidupan manusia dan masyarakat yang

sempurna karena cocok dengan tuntutan dan cita-cita manusia), yaitu proses perkembangan manusia yang lebih tinggi dari tingkat yang minimal (hominisasi) kepada perkembangan ke tingkat yang lebih sempurna. Tingkat lebih tinggi itu adalah kebudayaan yang lebih tinggi. Kebudayaan adalah hasil pengangkatan alam (kodrat) ke tingkat lebih tinggi dengan kekuatan akal budi manusia.

Tujuan pendidikan adalah membantu manusia yang muda, sehingga bisa bergerak, bertindak dan bersikap sebagai manusia. Pendidikan tidak hanya bermaksud memimpin manusia menjadi homo tetapi menjadi homo yang human (homo humanus). Jadi, pendidikan sebenarnya bertujuan untuk membantu seorang manusia muda untuk menjadi pribadi atau subjek yang human.

2.2. Aktivitas Pendidikan Sebagai Persoalan Filsafat 2.2.1. Ilmu Pendidikan

Ilmu pendidikan sering disebut dengan istilah Pedagogi. Istilah Pedagogi yang merupakan bahasa Yunani,yang berarti ”seni membimbing seorang anak”. Pada umumnya, istilah ini sinonim dengan ”ilmu pendidikan.[17]

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang lahir dengan kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk bertindak , tetapi tanpa kecakapan untuk menerjemahkan kemampuan itu ke dalam perbuatan nyata. Manusia terlebih dahulu harus belajar dari orang lain tentang bagaimana mengungkapkan kemampuan-kemampuan itu seperti berjalan, merawat dan memelihara diri, berbicara, membaca dan menulis, menghargai dan mencintai. Seekor hewan, sebaliknya, sudah ’mahir’ dan ’terspesialisasi’ sejak lahir; ia memiliki kecakapan dan kepandaian secara instingtif. Manusia pada saat kelahirannya hanya memiliki kemampuan untuk berkembang. Kecakapan dan kepandaian serta penghalusan budi dicapai lewat pendidikan dan proses belajar. Lewat proses belajar dan pendidikan dia serentak menspesialisasikan diri, menjadi pribadi yang matang dan berbudaya.

2.2.2. Subyek Pendidikan

(10)

menemukan kebutuhan yang dididik dan menciptakan situasi yang tepat agar yang dididik dapat mengembangkan dan menyempurnakan diri.

Dalam perspektif ini, subjek dalam proses pendidikan adalah yang dididik. Konsep pendidikan seperti ini dikenal sebagai pedosentrisme (paidos; anak). Anak adalah seorang pribadi yang aktif dan orisinal. Yang dididik ini tidak hanya si anak, si remaja, kaum muda melainkan manusia. Karena pendidikan tidak mengenal batas umur, tetapi berlangsung seumur hidup, maka subjek pendidikan itu adalah manusia. Dia adalah pribadi yang harus memwujudkan diri. Ia harus menjadi seorang pribadi. Kepribadian merupakan hasil perpaduan antara unsur-unsur yang dibawa sejak lahir, unsur yang diwariskan dari lingkungan dan unsur yang diperoleh dari belajar. Akan tetapi unsur-unsur itu selalu bersifat dinamis dan karena itu kepribadian manusia merupakan kenyataan yang bersifat plastis karena ditentukan menurut sikap yang berbeda-beda, berdasarkan situasi-situasi yang dihadapi dan dihayati individu secara konkret. Manusia tidak dapat dideterminasi (ditentukan lebih dahulu). Dia selalu dapat berubah menjadi lebih baik, atau lebih buruk. Dan kalau ada kemungkinan untuk selalu berubah, maka benar apa yang sudah dikatakan ”pendidikan berlangsung seumur hidup” (long life education). 2.2.3. Tiga Dimensi Dasar Pendidikan

Pendidikan memiliki beberapa dimensi. Pada umumnya, terdapat 3 dimensi dasar pendidikan, yakni :

1. Personal. Pendidikan berlangsung di antara pribadi-pribadi. Peserta didik bukanlah objek atau

benda melainkan subjek dengan berbagai kemampuan dan kreativitas yang khas. Aktivitas pendidikan harus mampu memajukan pribadi dan membuat ia mengembangkan diri;

2. Sosial. Pendidikan adalah suatu aktivitas antar-subjektif dan bersifat sosial. Pendidikan mampu

membantu orang untuk saling mengenal, untuk hidup bersama dan menjamin harmoni sosial dan peka terhadap kepentingan umum suatu kelompok sosial di mana ia hidup, dan ikut memberikan sumbanganya untuk kesejahteraan umum;

3. Kultural. Pendidikan mengalihkan nilai-nilai dari generasi yang lebih dahulu kepada generasi

berikutnya dalam bentuk pengetahuan, nilai sosial, moral dan agama, yang telah diolah dengan tujuan membuat individu yang menerima menjadi pribadi yang memberikan sumbangannya bagi perkembangan peradaban lebih lanjut. Dalam hal ini, perlu diingat tiga unsur penting dalam perkembangan manusia, yaitu :

a. Unsur kemampuan dasar, bakat (nature; alam yang dibawa sejak lahir);

b. Unsur pemberdayaan, bantuan (nurture; secara harafiah berarti gizi, tetapi dapat diperluas

dengan semua bantuan yang memudahkan perkembangan seorang pribadi termasuk pendidikan);

c. Pengolahan sendiri oleh pribadi yang bersangkutan (culture; secara harafiah berarti kebudayaan,

tetapi dapat dialihkan kepada hasil olah budidaya sendiri). Di sini pendidikan bertujuan supaya seseorang dapat mengolah sendiri entah itu dirinya sendiri atau juga dunianya untuk pada gilirannya memberikan sumbangan bagi peradaban.

2.2.4. Autoedukasi dan Heteroedukasi

(11)

dengan tuntutan struktur-struktur sosial, ekonomis, moral, agama dan politik. Proses pendidikan mencapai sasarannya kalau yang dididik menyesuaikan diri, juga tahu bersikap dan bertindak sesuai dengan tatanan yang ada.

Ketiga, kedua hal ini tidak saling bertentangan dalam konteks pendidikan yang integral. Proses pendidikan di sini mendasari tuntutan akan kebebasan, orisinalitas setiap pribadi tanpa mengabaikan kehadiran kondisi-kondisi sosial dan tuntutan lingkungan. Autoedukasi akan memajukan kematangan dan kedewasaan integral dan menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab personal, sedangkan heteroedukasi akan menumbuhkan dalam diri yang dididik kesadaran akan keterlibatan sosial dan tanggung jawab pribadi di tengah-tengah lingkungan sosial atau religius.

2.3. Filsafat Pendidikan

2.3.1. Filsafat dan Pendidikan

Setiap praksis pendidikan selalu mencerminkan suatu pandangan tentang manusia, dunia dan Tuhan.[18] Seringkali pandangan itu tidak bersifat refleksif, kritis dan sistematis. Seringkali pandangan itu diandaikan saja dan dihayati secara praktis. Tetapi pandangan itu diberi bentuk yang lebih ilmiah dalam ilmu mendidik, yang memiliki objek yang jelas dan dilengkapi dengan metode yang khusus. Pada langkah terakhir ada suatu pandangan yang diberi bentuk yang sistematis dengan diberi dasar-dasar mengenai hakikat manusia, dunia dan Tuhan, dan melihat implikasinya bagi praksis pendidikan. Pada tahap ini disusunlah suatu filsafat yang menguraikan tentang latar belakang dan menjelaskan fenomen dan praksis pendidikan secara kristis.

Pengertian tentang pendidikan selalu berkaitan erat dengan pengertian tentang manusia dan tujuan hidup manusia. Maka jelas ada hubungan antara filsafat dan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan merupakan mahkota logis dari antropologi filsafat dan etika. Sesudah memahami pertanyaan tentang siapakah manusia dan apa tujuan akhir hidupnya, harus diajukan pertanyaan tentang bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya dan bagaimana mencapai tujuan akhir manusia itu. Maka ilmu pendidikan harus dibangun di atas dasar filsafat manusia yang sehat dan juga atas dasar etika yang seimbang.

Setiap filsafat yang sistematis akan menyusun suatu konsepsi mengenai pendidikan, entah dalam garis besar atau juga secara lengkap dan filsafat itu dapat memberikan pengarahan kepada ilmu pendidikan dan praksis mendidik (misalnya; komunisme, nasionalisme, eksistensialisme, personalisme, pragmatisme, dan sebagainya). Maka selalu ada hubungan timbal balik antara filsafat (pendidikan), ilmu pendidikan dan praksis pendidikan.

Terutama seorang pendidik yang memiliki keahlian harus menyadari latar belakang ini. Juga seorang guru dengan bidang spesialisasinya pertama-tama menjadi pendidik. Baik kepada spesialisasi itu, maupun kepada unsur-unsur pedagogi, sosiologi, psikologi dan didaktik, perlu memiliki perspektif yang lebih luas. Filsafat pendidikan berusaha untuk memberikan kerangka (frame) lebih luas itu.

(12)

tentang manusia yang utuh. Karena bagaimanapun, seperti yang sudah dikatakan di atas, subjek pendidikan adalah manusia, dan praksis pendidikan itu berlangsung di antara pribadi-pribadi. 2.3.2. Kaitan antara Filsafat dan Ilmu Pendidikan

Filsafat pendidikan dan Ilmu Pendidikan menyelidiki data-data dan gejala-gejala yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda dan pada taraf berbeda. Mereka memakai istilah yang sama tetapi dengan memakai arti yang berbeda. Masing-masing memiliki keuntungan dan kelemahan.

Filsafat merumuskan prinsip-prinsip dan asas yang mendasari pelaksanaan pendidikan. Ia tidak memperhatikan detail-detail seperti susunan ruang sekolah, metode ilmu-ilmu sosial, isi kebudayaan nasional, juga tidak membahas tentang bagaimana memberi motivasi belajar. Gayanya adalah lebih luas dan tidak langsung bersifat praktis. Maka walaupun hal-hal yang konkret lekas berubah, filsafat tidak berkembang dengan pesat. Bahayanya, filsafat kurang mengindahkan fakta. Akibatnya, baik ilmu pendidikan dan praksis pendidikan yang diinspirasikannya, mengabaikan banyak segi.

Ilmu Pendidikan sebaliknya berdasarkan fakta-fakta dan gejala-gejala konret. Hal-hal umum muncul dari kenyataan objektif, dan langsung dihubungkan dengan pengalaman. Namun bahayanya, ilmu pendidikan sering terlalu dangkal dan kurang terbuka bagi unsur-unsur yang hakiki. Sering kali ilmu pendidikan yang dangkal memberikan interpretasi yang keliru tentang kenyataan.

Maka, filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan saling melengkapi. Mereka tidak mengambil alih hasil ilmu lainnya sehingga todak terjadi pinjaman logis. Masing-masing mereka memakai metodenya sendiri dan mencapai pemahamannya sendiri. Tetapi mereka saling memperkaya secara psikologis dan saling memberikan inspirasi. Filsafat harus mengujoi90

2.3.3. Objek Filsafat Pendidikan

Filsafat pendidikan memiliki obyek kajiannya. Pada umumnya, ada 2 obyek filsafat pendidikan, yakni :

1. Objek material. Objek material filsafat pendidikan adalah:

a. Segala gejala (fenomen) pendidikan sebagai fakta dan peristiwa;

b. Segala sistematisasi ilmiah; teori, data, eksperimen (psikologi, sosiologi, antropologi, dan

sebagainya);

c. Segala bentuk refleksi kritis filsafat dalam sejarah mengenai pendidikan. Segala bahan itu

merupakan pertanyaan, dorongan dan tantangan. Tetapi, filsafat pendidikan terutama tertarik dengan struktur dan arah dasar. Misalnya, relasi pendidikan, perkembangan ekspresi, segi intelektual dan kebebasan.

2. Obyek Formal. Objek formal filsafat pendidikan ialah menghubungkan segala gejala dan teori

itu dengan hakikat manusia. Filsafat pendidikan mencoba mengakarkan kembali semua unsur dalam struktur-struktur dasar, seperti berlaku bagi manusia dengan mutlak. Misalnya, proses belajar, mata pelajaran ilmu eksata, kebudayaan dan sejarah.

2.3.4. Fungsi Filsafat Pendidikan

(13)

1. Fungsi spekulatif. Filsafat pendidikan berusaha mengerti secara menyeluruh

persoalan-persoalan mengenai pendidikan dan hubungan persoalan-persoalan itu dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan;

2. Fungsi normatif. Filsafat pendidikan memberikan arah dan pedoman bagi praksis pendidikan.

Arah dan pedoman ini biasanya ditentukan berdasarkan tujuan pendidikan, norma-norma moral dan agama yang dianut dan cita-cita yang ingin dicapai;

3. Fungsi kritis. Filsafat pendidikan memberikan kerangka untuk menguji dan menafsirkan

data-data ilmiah dan praksis pendidikan. Dalam hubungan dengan teori-teori filsafat pendidikan menilai secara kritis anggapan-anggapan dasar yang menjadi penopang pelbagai teori dan berusaha melihat konsistensi dari teori-teori itu sert a kesesuaiannya dengan pandangan tentang manusia yang dianut;

4. Fungsi teoritis. Filsafat pendidikan dapat memberikan konsepsi, ide-ide dan

kesimpulan-kesimpulan yang dapat menjadi dasar pijakan bagi praksis pendidikan;

5. Fungsi integratif. Filsafat pendidikan dapat memberikan suatu gambaran yang dapat

menyatukan berbagai bidang keilmuan yang masing-masing berdiri sendiri dengan metode sendiri-sendiri, sehingga membuka pintu bagi dialog antara berbagai ilmu itu.

2.3.5. Metode Filsafat Pendidikan

Filsafat Pendidikan memiliki metode pembahasan. Pada umumnya, dapat dibedakan dua cara sesuai dengan metode filsafat umumnya, yaitu:

1. Bertolak dari data-data dan teori-teori ilmu pendidikan. Dianalisis oleh filsafat, dan dicari

dasar-dasar hakiki yang tersembunyi di dalamnya dengan memakai metode kritis dan fenomenologi. Lama kelamaan muncullah pemahaman lebih luas, mendalam dan menyeluruh. Bahaya dari metode ini, yaitu bahwa orang terlalu terikat pada konsep-konsep empiris;

2. Bertitik tolak dari suatu filsafat sistematik yang cukup lengkap. Dari situ ditarik kesimpulan

mengenai fenomen pendidikan. Misalnya, pandangan umum mengenai sosialitas manusia, dikhususkan dalam hubungan dengan pendidikan. Namun ada bahaya bahwa filsafat ini terlalu teoritis dan jauh dari praksis;

(14)

BAB III

FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM LINTASAN SEJARAH

3.1. Filsafat Yunani – Abad Pertengahan[20]

3.1.1. Kebudayaan-Kebudayaan Kuno

Dalam masyarakat primitif hampir tidak ada refleksi kritis dan sadar tentang proses pendidikan. Di situ pendidikan bertujuan melestarikan masa lampau dan mengamankan diri terhadap lingkungan hidup yang mengancam. Asumsi dasar pendidikan di dalam kebudayaan itu adalah apa yang ada, sudah benar. Karena kebiasaan dan adat berubah sangat perlahan, maka mudah disimpulkan bahwa apa yang ada, selalu sudah ada. Dan karena sudah selalu ada, maka itu sudah merupakan hakikat dari kenyataan. Dalam kebudayaan ini, fungsi pendidikan demikian jelas sehingga tidak diperlukan lagi suatu filsafat pendidikan untuk mengarahkan proses pendidikan.

Pada awal abad 5 SM, orang Yunani mulai memberikan perhatian istimewa pada persoalan-persoalan mengenai pendidikan. Kondisi-kondisi sosial yang sebelumnya terikat dengan kebiasaan-kebiasaan yang kaku mulai dipertanyakan dan cara hidup yang lama dianggap tidak lagi memadai. Sukses dalam perang-perang dengan Persia dan kemakmuran ekonomi yang mencolok dibandingkan dengan keadaan sebelumnya menuntut adaptasi sosial baru. Semakin orang menjadi sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi cocok dengan keadaan-keadaan baru, persoalan-persoalan mengenai pendidikan semakin tajam mendesak. Bagaimana manusia muda harus dididik bila kebiasaan-kebiasaan lama tidak lagi memadai, sedangkan cara hidup yang baru belum mendapat pengakuan umum? Di sini situasi menuntut pemikiran kritis dan sadar dari filsafat.

(15)

Para sofis Yunanilah yang pertama kali mengabdikan diri terhadap persoalan-persoalan mengenai pendidikan yang ditimbulkan oleh keresahan-keresahan sosial zamannya. Mereka mulai menyadari bahwa tatanan lama tidak memadai lagi dan memberikan kritik-kritik yang tajam. Mereka menggunakan penalaran rasional untuk mengkritik pola-pola pendidikan tradisional, yang sebagian bersifat transmitif (mengalihkan) dan berusaha melestarikan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang sudah mapan. Dalam melawan pelestarian kebiasaan-kebiasaan lama tanpa sikap kritis, mereka menetapkan kurikulum berdasarkan penalaran rasional dan kebutuhan-kebutuhan orang yang mereka ajar. Mereka tidak menggunakan kebiasaan-kebiasaan sosial lama sebagai ukuran penilaian. Mereka menegaskan bahwa ”manusia adalah ukuran dari segala sesuatu” (homo mensura).

Prinsip homo mensura ini berasal dari Protagoras. Manusia di sini adalah individu. Kaum sofis mengajarkan bahwa tentang sesuatu orang bisa mengatakan apa saja. Segala sesuatu bersifat relatif. Kaum sofis juga menuntut pembayaran atas pengajaran mereka (komersialisasi), maka yang mereka ajarkan adalah yang individu butuhkan, bukan apa yang benar.

Keinginan para sofis untuk mengajarkan sisi apa saja, dengan tidak terikat oleh kebenaran dan norma tertentu, tujuannya adalah untuk mendapatkan bayaran. Hal ini jelas menimbulkan keraguan mengenai kemungkinan mengajarkan prinsip-prinsip moral yang stabil, yang menyebabkan mereka dituduh tidak tulus.

Mengenai teori pendidikan, para Protagonis membuat kritik terhadap aliran sofisme dengan menggunakan metode-metode rasional seperti bahasa dan dialektika yang pernah diajarkan oleh para sofis. Menurut mereka, dengan cara dan metode pengajaran yang dilakukan oleh para sofis, jelas menimbulkan rasa skeptis bahwa orang dapat memiliki keutamaan (arete). Menurut tradisi lama, norma keutamaan adalah contoh dan teladan kaum ningrat atau bangsawan. Keutamaan diwariskan dan bukan diajarkan. Keutamaan dimiliki dengan melatih diri dalam tindakan melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur dan bukan melalui latihan akal atau intelek. Karena itu usaha para sofis yang bersifat demokratis dan populer untuk mengajarkan keutamaan kepada kaum muda dari kelompok sosial rendah dengan sendirinya ditolak.

Persoalan yang muncul antara kaum sofis dan kelompok konservatif adalah persoalan pendidikan yang ditambahkan pada perjuangan yang berbasis politis untuk menggantikan sistem aristokratis lama dengan sistem demokratis dalam masyarakat Yunani. Dengan para sofis mulailah suatu proses emansipasi dan demokratisasi dalam bidang pendidikan dan dalam masyarakat secara keseluruhan. Hubungan erat ini penting karena ia memberikan kepada persoalan pendidikan suatu prioritas tingkat tinggi dalam pikiran guru-guru terbaik zaman itu.

3.1.3. Sokrates (469-399 SM)

(16)

maka dalam bahasa Sokrates, ”Mengetahui yang baik adalah melakukannya”, berarti ”keutamaan adalah pengetahuan”.

Sokrates mengkritik para sofis yang menyangkal adanya pengetahuan yang bersifat umum dan norma-norma yang bersifat mutlak. Ia juga menilai mereka tidak tulus karena menggunakan pengetahuan untuk memperoleh keuntungan praktis, yaitu untuk memperkaya diri. Bagi Sokrates dan keyakian orang Yunani sezaman, pengetahuan yang sejati selalu tanpa pamrih.

”Metode Sokrates” adalah metode dialog (pertemuan antara dua logos, dua pihak yang memiliki akal budi dengan kesadaran kritis). Ada dua tahap dari metodenya, yakni :

1. Metode sangkalan atau ironi. Dengan metode ini, Sokrates tidak bermaksud untuk

mentransmisikan pengetahuan, tetapi terutama menggali dan mencapai pengetahuan yang sahih secara bersama-sama. Usaha bersama dalam dialog (memberi dan menerima), dipandu Sokrates dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan dijawab oleh mitra bicara. Jawaban atas pertanyaan itu dipertanyakan seterusnya sampai mencapai jawaban yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Dalam dialog itu, Sokrates tidak pernah memperlihatkan bahwa ia telah mengetahui jawaban atas segala persoalan. Dialog merupakan pergumulan bersama untuk menemukan kebenaran bersama-sama dan untuk memperlihatkan bahwa tentang banyak hal orang tidak tahu. Ia tidak menyebut diri sophos seperti para sofis. Ia hanyalah seorang

philosophos, orang yang mencintai dan mencarikebijaksanaan;

2. Tehnik kebidanan (Tehnik Maieutik). Sokrates tidak berpretensi telah memiliki kebijaksanaan

dan pengetahuan yang utuh tentang sesuatu persoalan ketika memulai suatu dialog. Sokrates yakin bahwa dalam diri orang lain ada juga unsur-unsur kebijaksanaan. Maka tugasnya sebagai guru adalah membantu orang lain mengungkapkan dan menyadari pengetahuan dan kebenaran yang sudah terkandung dalam dirinya. Sokrates melihat diri hanya sebagai bidan intelektual. Seperti seorang ibu yang akan melahirkan sudah memiliki bayi dalam kandungannya dan seorang bidan hanya membantu ibu itu untuk melahirkan bayinya, demikian juga seorang guru tidak memiliki kebenaran untuk diberikan kepada para murid.[21] Seorang guru hanya membantu agar seorang murid dengan mudah mengungkapkan pengetahuan yang sudah dimiliki tanpa disadari.

Relevansi metode Sokrates untuk pendidikan dewasa ini, antara lain diperlihatkan oleh pemikir-pemikir radikal dalam pendidikan seperti Paulo Freire dari Brazil. Freire mengkritik ”pendidikan gaya bank” di mana guru memberikan bahan (aktif) dan murid tinggal menerima (reseptif) tanpa kesempatan mempersoalkan. Ia menegaskan peranan dialog dalam pendidikan sebagai cara paling baik, karena menghargai anak didik sebagai pribadi. Dialog yang benar harus dilandasi cinta dan pengharapan terhadap sesama. Pendidikan dialogal inilah yang akan membawa pembebasan dari situasi masyarakat yang menindas.[22]

3.1.4. Plato (427-347 SM)

Sumbangan Plato dalam filsafat pendidikan terdapat dalam buku The Republic

(judul asli; Politeia). Pandangannya tentang pendidikan didasarkan atas analisis-analisisnya mengenai beberapa hal berikut:

1. Mengenai manusia. Menurutnya, manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu: [23]

a. Bagian keinginan yang terikat dengan indera-indera dan dorongan badani. Keinginan ini

(17)

b. Bagian keberanian atau semangat yang berkaitan dengan kecenderungan ke arah sikap suka

menonjolkan diri. Bagian ini berkaitan dengan kehendak. Keutamaan yang cocok dengan keberanian adalah kegagahan (keperkasaan).

c. Bagian bagian akal budi, intelek yang berfungsi untuk mengerti dan mengarahkan

bagian-bagian lain. Keutamaan dari akal budi adalah kebijaksanaan. Keanekaan fungsi dalam diri manusia ini akan diselaraskan oleh prinsip harmoni, yaitu suatu hierarki yang adil di mana akal budi dengam bantuan keberanian mengatur keinginan.

2. Mengenai masyarakat. Menurutnya, ada tiga kelompok sosial yang menjamin kesatuan

masyarakat, yakni :

a. Kelompok para petani, para tukang dan pengrajin, yaitu kelompok yang menjamin pemenuhan

kebutuhan pokok hidup manusia: kecenderungan dominan kelompok ini adalah keinginan. Keutamaan yang cocok adalah pengendalian diri;

b. Kelompok para serdadu, yaitu kelompok yang bertugas menjaga keamanan negara terhadap

serangan dari luar dan dari dalam; pada mereka yang dominan adalah keberanian. Keutamaan yang cocok adalah kegagahan.

c. Kelompok para filsuf adalah kelompok yang berwewenang untuk memimpin negara. Dalam

kelompok ini yang dominan adalah kemampuan intelektual. Keutamaan yang perlu adalah kebijaksanaan. Keutamaan keadilan adalah prinsip yang mengatur dan menyelaraskan ketiga kelompok dalam masyarakat.

3. Mengenai praksis pendidikan. Plato menegaskan bahwa kelompok pertama tidak memerlukan

pendidikan lama, karena keterampilan yang diperlukan oleh profesi mereka dapat dipelajari dengan mengerjakannya. Kelompok kedua memerlukan pendidikan yang intensif dalam musik dan olah raga. Kelompok ketiga memerlukan pendidikan yang jauh lebih intensif dan lama karena pada mereka tergantung masa depan negara. Mereka inilah calon-calon pemimpin negara yang harus mengetahui dengan baik konsep tentang ”yang baik” yang perlu untuk menjamin kesejahteraan negara.

(18)

1. Mengenai kodrat ditegaskan bahwa anak didik adalah manusia. Tidak ada gunanya mendidik

makhluk bukan manusia dalam kebaikan dan kebajikan. Yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain adalah jiwanya. Sifat khas jiwa adalah aktivitasnya. Ada tiga jenis

c. Tingkat rasional (akal budi) mengatur dan mengarahkan kedua tingkat lain. Akal budi adalah

unsur yang khas pada manusia yang menentukan manusia sebagai manusia.

2. Kebiasaan. Menurut Aristoteles seperti juga untuk Plato, anak-anak kecil lebih dekat dengan

hewan dalam arti tindakan-tindakan awal mereka lebih dimotivasi oleh keinginan. Dalam tindakan-tindakan awal mereka, belum ada bukti tentang adanya keutamaan moral yang muncul dari bakat alam mereka. Sebaliknya, keutamaan adalah kebiasaan yang harus dipelajari. Katanya, ”karena hal-hal yang harus kita pelajari sebelum kita lakukan, kita pelajari dengan melakukannya.” Karena itu keutamaan harus dipelajari, yaitu dengan membiasakan akal budi menguasai keinginan. Orang menjadi baik karena terbiasa melakukan hal yang baik dan menjadi buruk karena berulang kali melakukan hal yang buruk.

3. Aristoteles membedakan antara akal budi praktis dan akal budi teoritis. Akal budi praktis

berkaitan dengan kedua aktivitas jiwa yang lebih rendah. Ia mengekang dan mengarahkan kedua aktivitas jiwa itu agar dapat diungkapkan secara tepat. Bidang khasnya adalah moral dan politik. Akal budi teoritis berkaitan dengan aktivitas yang murni teoritis. Dalam hal ini, peranan akal sepenuhnya bersifat kognitif dan asyik dalam spekulasi mengenai hakikat kebenaran universal.

Norma bagi pendidik untuk menilai aktivitas-aktivitas ini adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dicapai dengan melaksanakan keutamaan khas manusia. Karena kekhasan manusia adalah akal budi maka kebahagiaan manusia akan tercapai dalam aktivitas terluhur akal budi, yaitu pemikiran murni. Maka pengolahan intelek adalah keutamaan utama karena mengantar kepada kebahagiaan.

3.1.6. Tomisme

Pendiri Tomisme adalah Thomas Aquinas (1224-1274), yang diberi gelar

Doctor Angelicus. Filsafat pendidikannya yang disajikan dalam karya berjudul De Magistero,

untuk waktu yang agak lama mempengaruhi ajaran Gereja Katolik mengenai pendidikan. Thomas Aquinas hidup pada zaman yang dikenal sebagai zaman Skolastik. Ada 8 pemikiran Thomas Aquinas, yakni :

1. Mengenai kodrat manusia yang dididik, Thomas Aquinas sependapat dengan Aristoteles

mengenai jiwa sebagai prinsip aktivitas. Maka, pendidikan melibatkan aktivitas dari anak didik. Thomas Aquinas membandingkan cara kerja seorang dokter. Dokter tidak dapat menyembuhkan tubuh orang sakit, tetapi dengan terapinya ia hanya membantu tubuh untuk menyembuhkan dirinya. Tubuh memiliki potensi alamiah untuk dapat mempertahankan keseimbangan kesehatan, dan hal-hal ini perlu dirangsang oleh dokter. Seorang guru tidak ”mengajar” seorang anak. Guru hanya membantu seorang anak untuk menyadari dan mengaktualisasikan potensi-potensi alamiah yang sudah ia miliki untuk belajar;

2. Thomas Aquinas menjelaskan proses belajar dengan menggunakan pembedaan Aristoteles atas

(19)

aktualisasi dari beberapa potensi. Dan aktualisasi itu dicapai melalui proses belajar. Potensi utama yang dimiliki pelajar adalah kemampuan untuk membentuk pengertian-pengertian umum. Akan tetapi, potensi ini hanya efektif bila dikembangkan sejalan dengan kontak dengan objek khusus tertentu yang merupakan contoh dari hal-hal yang umum. Bila indera-indera melaporkan objek-objek, esensinya dilepaskan dari kualitas-kualitas aksidental dan disajikan kepada intelek. Intelek lalu, berkat potensi yang dimiliki untuk membuat konsep-konsep, membuat objek yang diinderai menjadi dimengerti. Jadi, proses belajar sebagai aktualisasi potensi adalah menghubungkan hal yang umum dengan hal yang khusus, yang universal dengan yang partikular, menghubungkan materi dan forma. Dari segi logika, belajar adalah mengidentifikasi objek dan memberikan kepada mereka klasifikasi yang tepat dan khas;

3. Menempatkan Allah sebagai pusat filsafat Kristen memiliki konsekuensi yang menentukan

bagi pendidikan. Hal ini membuat filsafat pendidikan Skolastik sangat berwibawa. Karena Yesus ”mengajar sebagai seorang yang berwibawa” (Injil Matius. 7;29), dalam semangat yang sama Gereja perdana dan abad pertengahan melaksanakan perintas Gurunya; ”Pergilah dan ajarilah segala bangsa.., Ajarilah mereka mentaati semua yang kuperintahkan kepada kamu.”(Injil Matius 28:19-20). Maka pengajaran Skolastik tidak hanya berwibawa tetapi juga bersifat dogmatis. Tetapi akan sangat baik kalau doktrin dimaklumkan bukan hanya berdasarkan akal yang benar, tetapi berdasarkan wibawa wahyu ilahi yang tidak diragukan lagi;

4. Filsafat pendidikan Kristen bersifat teosentris dengan tujuan jauh dan dekat. Tujuan akhir

pendidikan Kristen berkaitan dengan tujuan akhir manusia. Untuk menemukan itu manusia harus kembali ke asalnya untuk mengenal penciptanya, yaitu Allah yang telah menciptakan manusia menurut gambarannya untuk mengabdi dan mencintai Dia dan sesudah kematian menikmati kebahagiaan kekal, menjadi orang kudus. Tujuan dekat pendidikan bersifat langsung, karena berhubungan dengan soal kehidupan sebagai warga negara (masyarakat) tertentu, panggilan dan akhirnya untuk kesejahteraan diri dan nasionalisme. Walaupun tujuan dekat filsafat Kristen berkaitan dengan kehidupan di sini dan kini, tidak boleh dilupakan bahwa tujuan itu selalu harus dinilai dalam perspektif sasaran terakhir yang bersifat teosentris;

5. Sumbangan lain dari kekristenan kepada filsafat pendidikan adalah pandangan tentang dosa

asal. Sofisme mengajarkan tentang manusia sebagai ukuran. Jadi ada optimisme tentang kodrat manusia. Dalam kekristenan, optimisme ini harus diwaspadai. Menurut tradisi Yahudi-Kristen kodrat manusia telah dirusakkan oleh dosa asal. Maka dalam dirinya selain ada kecenderungan yang teratur dan dipuji, juga ada beberapa yang tidak baik dan harus dijauhi. Kecenderungan terakhir ini terutama terikat dengan tubuh yang dipertentangkan dengan jiwa. Pertentangan ini terutama dipengaruhi dualisme Plato tentang jiwa dan badan, yang masuk dalam pandangan Kristen sejak lama. Filsafat pendidikan Kristen, cenderung tidak percaya pada praksis pendidikan yang didasarkan hanya pada kodrat manusia. Kendatipun demikian, ada unsur yang memberikan harapan. Kodrat manusia walaupun terpengaruh dosa asal, tidak sepenuhnya rusak. Kodrat manusia diselamatkan oleh rahmat Allah dan teladan Yesus Kristus. Dalam pengertian Thomas Aquinas, dengan aktivitas diri dan dengan bantuan ajaran Gereja yang didasarkan atas wahyu, orang punya harapan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada dalam hakikatnya yang terluka dosa;

3.2. Masa Modern – Masa Kini

(20)

Protestanisme menegaskan peranan individu sebagai pelaku tindakan yang bebas dan pemikir yang mandiri. Karena itu, pemikiran yang mandiri dan keputusan yang bebas selalu didorong. Tokoh dari reformasi Protestan adalah Marthin Luther King (1483-1546) yang sukses melepaskan diri dari otoritas Gereja di Roma, mencari otoritas lain yang memiliki wibawa untuk memecahkan semua konflik yang muncul, yaitu Kitab Suci. Tokoh lain adalah J. Calvin (1509-1564) memberikan beberapa modifikasi atas doktrin Tomistik tentang kodrat manusia yang rusak. Menurut dia, kodrat manusia sama sekali rusak karena dosa asal. Hanya Allah saja yang dapat menyelamatkan manusia.

Protestanisme mengambil alih beberapa aspek dari pandangan Aristoteles-Tomistik mengenai tujuan pendidikan. Tujuan akhir pendidikan ditentukan oleh hakikat manusia yang tidak binasa. Tujuan dekat pendidikan menyiapkan orang untuk bekerja dan menyumbang bagi kepentingan orang lain.

3.2.2. Naturalisme dan Empirisme

Pemacu naturalisme adalah perkembangan baru dan cepat dalam ilmu pengetahuan pada abad 17 dan 18. Pelopor gerakan baru ini adalah Francis Bacon (1561-1623), penulis karya berjudul Advancement of Learning dan Novum Organum. Perlahan-lahan dan melalui beberapa penulis, unsur-unsur baru dari pemahaman baru tentang dunia menjadi jelas pengaruhnya dalam filsafat pendidikan. Berkaitan dengan pendidikan, Naturalisme mengemukakan beberapa dimensi, yaitu :

1. Pendidikan harus dilaksanakan sesuai dengan tuntutan alam dan kodrat (natura). Orang

pertama yang memberikan pendasaran teoritis bagi orientasi pendidikan ini adalah Johann Amos Comenius.[24] Sebagai seorang pendeta, ia menegaskan bahwa kodrat manusia menjadi rusak karena dosa. Tetapi ia tidak merendahkan kodrat manusia. Dalam Didactica Magna ia menegaskan bahwa ”jika kita ingin mencari penyembuhan atas cacat celah kodrat, maka itu harus dicari dalam kodrat itu sendiri. Ia mengusahakan suatu sistem pendidikan yang bekerjasama dengan alam dan bukan memperkosa alam. Dari kodratnya segala sesuatu berkembang dari alam. Perkembangan alam selalu teratur, tahap demi tahap. Manusia harus dididik menjadi makhluk yang saleh, berbudi pekerti dan bijaksana;

2. Tekanan pada peran sentral indera-indera dalam proses belajar. Comenius menegaskan

pentingnya pengalaman mengenai indera-indera. Landasan teoritis bagi penekanan pendidikan pada indera-indera berasal dari pietisme. Pietisme adalah suatu reaksi dari rasionalisme dalam agama yang melihat agama sebagai suatu pengalaman vital batin. Pembenaran agama oleh rasa puas batiniah diungkapkan di bidang pendidikan dalam proses belajar, juga dibenarkan dalam pengalaman inderawi.

Dimensi inderawi filsafat pendidikan naturalistik lebih jauh ditegaskan dalam

empirisme (empeiria; pengalaman inderawi) John Locke (1632-1704). Dalam karyanya yang berjudul Essay Concerning Human Understanding, Locke menegaskan bahwa semua pengetahuan dalam akal budi berasal dari pengamatan atas fakta-fakta yang disampaikan oleh pengalaman inderawi. Ia menegaskan bahwa pada saat kelahiran, akal budi seseorang ibarat suatu papan bersih (tabula rasa). Anggapan dasarnya berbunyi: ”Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang sebelumnya tidak ada dalam indera-indera.” Hal ini berarti bahwa tidak ada pengertian dalam pikiran yang masuk tanpa melalui penginderaan. Locke membedakan dua jenis pengetahuan, yaitu :

1. Pengetahuan yang dibentuk oleh kesan langsung mengenai objek-objek empiris oleh

(21)

2. Pengetahuan yang dibentuk oleh gagasan yang berasal dari reflexion, yaitu pengalaman dalam

jiwa sebagai hasil pengolahan dari sensation. Akal budi memiliki kemampuan untuk membedakan, membandingkan dan membuat generalisasi atas kesan-kesan yang disampaikan oleh indera-indera.

Dalam pendidikan, Locke menekankan harmoni antara unsur rohani dan unsur jasmani. Prinsip yang dipegang teguh adalah ungkapan tua yang berbunyi : mens sana in copore sano; jiwa yang sehat berada dalam tubuh yang sehat. Pendidikan bertujuan membantu anak menjadi orang yang sehat jasmani dan berkepribadian yang utuh.

3.2.3. Rasionalisme

Abad 18 boleh disebut zaman akal budi. (the age of reason). Yang baru dari zaman ini adalah keyakinan tak terbatas yang diberikan kepada akal budi, terlepas dari pengaruh otoritas karya-karya klasik dan juga dari wahyu Kristen. Kemampuan manusia untuk bertumpu hanya pada akal budinya, membawa pandangan baru tentang dirinya. Manusia adalah hasil ciptaan alam semata. Manusia sebagai hasil ciptaan alam, harus diperintah oleh hukum-hukum yang seragam, seperti aspek-aspek lain dari alam. Dengan mengembalikan manusia kepada alam, martabat dan harkat manusia justru ditinggikan.

Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1927) dari Swiss adalah pendidik pertama yang sukses memaklumkan teori dan praksis pendidikan berdasarkan observasi atas hukum-hukum seragam tentang kodrat manusia. Menurut dia, jalannya kodrat itu tidak menyimpang. Maka, hanya ada satu metode pendidikan, yaitu mengikuti tuntutan kodrat. Ia sering menggunakan frasa-frasa seperti ”keharusan psikologis”, ”mekanisme kodrat manusia”, atau ”bentuk mekanis dari semua pengajaran”. Frasa-frasa ini bersama-sama dengan metode pendidikannya memperlihatkan bahwa Pestalozzi berusaha membawa pendidikan ke arah harmoni dengan naturalisme zamannya.

Tujuan pendidikan adalah memimpin anak menjadi orang yang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya alamiah yang ada padanya. Proses pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan perkembangan kodrat anak, sebab pendidikan pada hakikatnya adalah pemberian pertolongan agar anak kemudian menolong diri sendiri. Pendidikan adalah

Hilfe zur Selbsthilfe: menolong untuk menolong diri sendiri. Dalam pengajaran ia menganjurkan agar orang mengamati alam, sebab asal semua pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan menimbulkan pengertian, bahkan pengertian tanpa pengamatan adalah kosong.

(22)

Apa yang menjadi norma kemajuan pendidikan bagi seorang naturalis? Condore (1743-1794), seorang pemikir revolusioner Perancis mengemukakan kepercayaan akan kemampuan manusia untuk menjadi sempurna secara tak terbatas. Dengan kata lain, kemajuan tidak punya akhir kecuali kemajuan lebih besar lagi.

3.2.4. Idealisme

Kebanyakan filsuf sebelumnya melihat proses belajar kurang lebih sebagai suatu proses fotografis yang rumit. Dalam proses mengenal, budi memuat rekaman atas realitas. Semua ini rupanya harus diganti. Dalam proses pengenalan itu, akal budi yang sedang belajar harus membangun dalam dirinya sendiri ide-idenya sendiri tentang dunia. Maka, filsafat pendidikan ini dikenal sebagai idealisme. Tekanannya adalah pada keadaan intern budi atau perasaan individu.

Perkembangan terbesar idealisme dalam filsafat pendidikan terjadi di Jerman. Tema sentral kuliah-kuliah Kant mengenai pendidikan bersifat moral. Anak-anak harus dilatih untuk bertindak, bukan seperti mereka mau, tetapi sebagaimana seharusnya. Rasa wajib adalah produk struktur dari kehendak dan bukan dari pengalaman. Meskipun pada dasarnya kehendak ini terarah dari hal yang benar dan baik, ia dihalangi dalam mewujudkan dirinya oleh keinginan-keinginan. Karena itu, pendidikan merupakan suatu fase untuk melatih kehendak yang baik untuk mewujudkan dirinya sendiri.

Akan tetapi, memiliki kehendak baik saja tidak cukup. Kehendak harus juga diberi beberapa petunjuk tentang arah perwujudan dirinya. Petunjuk ini ditempatkan Kant dalam suatu imperatif praktis. ”Bertindaklah sedemikian, dalam memperlakukan kemanusiaan, entah itu dalam diri Anda sendiri atau dalam diri pribadi lain, dalam segala hal sebagai tujuan dan tidak pernah hanya sebagai sarana.” [25] ”Hormat terhadap kemanusiaan” dengan ini menjadi suatu imperatif kategoris (perintah tak bersyarat) dalam filsafat pendidikan yang demokratis.

Idealisme berasal dari kata bahasa Latin idea yang berarti gagasan, ide. Idealisme menekankan gagasan, ide, isi pikiran. Tokoh-tokohnya adalah Kant, Hegel, Bradley, J. D. Butler. Pokok-pokok pembahasan Filsafat Pendidikan menurut Idealisme adalah :

1. Realitas paling obyektif dan mendasar adalah sesuatu yang spiritual (konsep-konsep abstrak);

2. Unsur spiritual dan material bertentangan;

3. Dunia yang tampak bersifat material dan tergantung dari konsep yang ada dalam pikiran.

Realitas adalah bayangan dari realitas sesungguhnya, yaitu konsep atau ide;

4. Tujuan Pendidikan adalah:

a. memelihara nilai-nilai luhur dalam kehidupan kultural, sosial dan spiritual;

b. mengembangkan hal-hal yang berkaitan dengan hidup spiritual (kemampuan intelektual).

5. Unsur personal dalam pendidikan lebih penting dari fakta atau data pendidikan. Pengenalan diri

Realisme berasal dari kata bahasa Latin realis yang berarti sungguh-sungguh, nyata, benar.

(23)

Menurut aliran Realisme, realitas paling mendasar dan nyata tidak tergantung dari konsep akal budi atau pikiran manusia, tetapi dapat diketahui oleh budi manusia. Bagi Descartes, ide atau pikiran dan materi adalah ciptaan Allah yang adalah substansi (ada dari dirinya sendiri dan keberadaannya tidak tergantung dari sesuatu yang lain). Bagi Spinoza, akal budi dan materi adalah aspek-aspek dari Allah yang adalah substansi. Bagi Whitehead, budi dan materi adalah kedua aspek dari proses. Dalam proses itu, Allah menjadikan pikiran dan materi itu menjadi konkret.

Berkaitan dengan pendidikan, menurut Realisme tujuan aktivitas pendidikan adalah transmisi atau pengalihan atau penerusan dari :

1. kebenaran-kebenaran universal yang tidak tergantung dari budi. Di sini pengetahuan intelektual

sangat ditekankan;

2. pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan ttg manusia dan dunia ciptaan lain;

3. nilai-nilai kultural yang luhur.

Karena itu, pendidikan harus membuat orang sadar akan dunia nyata termasuk berbagai nilai dan kemungkinan hidup. Kebenaran adalah sesuatu yang obyektif dan dapat ditemui oleh manusia. Manusia yang rasional adalah penemu kebenaran obyektif.

3.2.6. Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos (Latin : pragmaticus). Arti pragmatikos adalah cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, perkara negara dan dagang. Bahasa Inggris pragmatic berarti berkaitan dengan hal-hal praktis. Pragmatisme adalah pendekatan terhadap masalah hidup apa adanya dan secara praktis, bukan teoretis/ideal. Berhubungan dengan tindakan, bukan abstraksi. Menurut Pragmatisme, pengetahuan dicari bukan sekedar untuk tahu demi tahu, melainkan untuk mengerti masyarakat dan dunia. Pragmatisme sudah ada sejak zaman Pytagoras. Tokoh utamanya adalah John Dewey dan Brameld.

b. memajukan dan menumbuhkan suatu kehidupan yang sukses dan significan;

c. memenuhi proses transformasi sosial yang dibutuhkan;

3. Pengetahuan bersifat relatif dan instrumental.

4. Pendidikan berkaitan dengan kemampuan memecahkan masalah (solving problem) berdasarkan

pengalaman;

5. Kebenaran adalah sesuatu yang dilakukan dan berfungsi untuk menjalankan nilai tertentu. Nilai

itu diwujudkan dan dilaksanakan.

Brameld kemudian mengembangkan aliran ini menjadi Rekonstruksionisme. Menurutnya, pendidikan mempunyai beberapa cirri, yaitu :

1. Esensialis. Pendidikan dilihat sbg jalan untuk mentransfer nilai-nilai esensial dalam kebudayaan

(24)

2. Perennialis. Pendidikan adalah proses transmisi kebenaran-kebenaran universal secara

berkelanjutan tanpa henti;

3. Progresif. Pendidikan dilihat sbg proses memecahkan masalah secara metodologis;

4. Rekonstruksionis. Pendidikan dilihat sebagai sumber dan implementasi rekonstruksi

tujuan-tujuan sosial dalam masyarakat. Karena itu, sangat ditekankan metode dan tujuan-tujuan pendidikan. 3.2.7. Eksistensialisme

Eksistensialisme[26] adalah aliran pemikiran filsafat yang timbul setelah Perang Dunia yang serentak merupakan reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Eksistensialisme juga merupakan reaksi terhadap idealisme.

Menurut Eksistensialisme, manusia adalah eksistensi. Eksistensi berarti cara berada manusia yang khas di dunia. Tokoh-tokohnya adalah Kierkegaard, Nietsche, Sartre, Heidegger, Jaspers, Merleau Ponty, Gabriel Marcel, Martin Buber.

Berkaitan dengan pendidikan, Eksistensialisme mengemukakan beberapa pandangannya, yaitu :

1. Pendidikan adalah suatu realitas dasar di mana perspektif atau tujuannya dipilih oleh manusia;

2. Dunia dalam arti sesungguhnya adalah sesuatu yang netral, tak bermakna, sia-sia (absurd).

Dunia akan menjadi arti ketika manusia memberinya arti untuk kepentingannya;

3. Eksistensi manusia itu khas dan unik;

4. Tujuan Pendidikan adalah :

a. menjadikan hidup manusia bermakna dan penuh tanggung jawab;

b. mendorong manusia agar bertindak bebas;

c. membantu manusia agar terbuka pada keasliannya sebagai manusia/menjadi dirinya sendiri;

d. membantu manusia mengalami kebenaran tentang dirinya sendiri;

e. mencapai makna diri lewat aktivitas, bukan lewat refleksi intelektual;

f. memajukan proses humanisasi dan hominisasi;

5. Kebenaran itu diciptakan dan bukan ditemukan;

6. Pendidik harus mendorong peserta didik agar yakin dan komit pada apa yang dianggapnya

benar;

7. Masalah-masalah hidup manusia lebih penting dari pengetahuan tentang sikap-sikap manusia.

3.2.8. Marxisme

Marxisme adalah suatu kumpulan ajaran yang menjadi dasar sosialisme dan komunisme pada abad ke-19 dan ke-20. Perumusnya adalah Karl Marx dan Friedrich Engels. Tujuan utama marxisme adalah menghapuskan kapitalisme yang sangat merugikan kaum proletar. Marxisme mengemukakan prinsip-prindip pendidikan, yaitu

1. Realitas paling mendasar adalah proses perubahan alam dan kultur yang bersifat dinamis.

Dalam proses ini, pikiran adalah ungkapan kesadaran kelas atau kelompok masyarakat;

2. Tujuan pendidikan adalah membuka peluang bagi peserta didik untuk bertindak dan

berpartisipasi dalam perubahan sosial dan kultural yang tak terelak dalam mencapai masyarakat ideal tanpa kelas;

3. Kebenaran bersifat relatif dalam kaitan dengan kebutuhan-kebutuhan revolusi. Kebenaran

adalah produk atau hasil dari kesadaran sosial dan tak terikat oleh waktu;

(25)

Referensi

Dokumen terkait