• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PERANAN TIM PEMANTAUAN DAN PENGENDALIAN INFLASI DAERAH (TPID) TERHADAP PENGENDALIAN INFLASI

(STUDI KASUS: PROVINSI SUMATERA UTARA)

Oleh :

Surya Dharma 110501036

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN

PENANGGUNG JAWAB SKRIPSI

Nama : Surya Dharma

NIM : 110501036

Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan

Judul : Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)

Tanggal, 03 November 2013

Pembimbing,

(3)

LEMBARAN PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disususn sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan/lembaga, dan/ atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/ atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya siap menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Oktober 2014

Surya Dharma

(4)

ABSTRAK

ANALISIS PERANAN TIM PEMANTAUAN DAN PENGENDALIAN INFLASI DAERAH (TPID) TERHADAP PENGENDALIAN INFLASI

(STUDI KASUS: PROVINSI SUMATERA UTARA)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian inflasi (studi kasus: Provinsi Sumatera Utara). Kemudian di dalam rumusan masalah dapat dibagi menjadi dua yaitu bagaimana peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian Inflasi Provinsi Sumatera Utara, sebelum dan setelah di bentuknya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan bagaimana keadaan tingkat persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan data time series, yaitu data inflasi bulanan (mounth to

mounth) data yang diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK)

Provinsi Sumatera Utara periode bulan Januari 2002 – Desember 2013 dan data kelompok komoditi penyusun Indeks Harga Konsumen (IHK) bulanan Provinsi Sumatera Utara yang dikategorikan dalam 7 kelompok pengeluaran berdasarkan COICOP (the Classification of individual consumption by purpose) periode bulan Januari 2007 – Desember 2012.

Pengolahan dan analisis data menggunakan metode analisis regresi sederhana dengan variabel bebas dummy dan Univariate Autoregressive (AR)

Time Series model dengan menggunakan program Eviews. Dalam menganalisis

peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian inflasi Provinsi Sumatera Utara digunakan analisis regresi sederhana, menggunakan Uji Kesesuaian dan Uji Penyimpangan Asumsi klasik. Disamping itu, dalam menganalisis tingkat persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara dilakukan penelitian terhadap sumber persistensi inflasi dan jangka waktu kembali ke nilai alamiahnya.

Penelitian ini menemukan adanya pembentukan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) berperan terhadap pengendalian inflasi Provinsi Sumatera Utara dan telah memberikan pengaruh yang baik terhadap pengendalian inflasi Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan untuk tingkat persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara ditemukan tingkat persistensi inflasi yang rendah. Kelompok komoditi dengan tingkat persistensi inflasi tertinggi adalah kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar dan kelompok komoditi bahan makanan. Penelitian ini juga menemukan bahwa jangka waktu yang dibutuhkan oleh kelompok pengeluaran untuk kembali kenilai alamiahnya yaitu 3,3 hari hingga 16,15 hari. Sedangkan untuk adanya pembentukan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) telah memberikan pengaruh yang baik bagi inflasi dan persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara. Setelah dibentuknya TPID, inflasi dan persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara cenderung mengalami penurunan.

(5)

ABSTRACT

THE ROLE ANALYSIS OF REGION INFLATION MONITORING AND CONTROLLING TEAM (TPID) TOWARD INFLATION RESTRAINT

(CASE STUDY: NORTH SUMATRA PROVINCE)

This study aims to analyze the role of Region Inflation Monitoring and Controlling Team (TPID) toward Inflation Restraint (Case Study: North Sumatra Province) Afterwards, the formulation of the problem could be divided into two, how the role of region monitoring and controlling team (TPID) to the control of inflation in North Sumatra Province, prior to and after in the shape of region Monitoring and controlling team (TPID) and how the state rate of inflation persistence North Sumatra Province. This study uses time series data, ie the data is monthly inflation (mounth to mounth) and measured using the Consumer Price Index (CPI) of North Sumatra Province period January 2002 - December 2013 and Data commodity groups making up the Consumer Price Index (CPI) monthly Province North Sumatra were categorized into seven groups based on the expenditure COICOP (Classification of the individual consumption by purpose) in the period January 2007 - December 2012.

The processing and analysis of data using simple regression analysis with dummy independent variable and Univariate Autoregressive (AR) time series models using Eviews program. In analyzing the role of on the control of inflation in North Sumatra province used simple regression analysis, using the Test Goodness of Fit and Test Irregularities classical assumptions. In addition, in analyzing the rate of inflation persistence North Sumatra province conducted a study of sources of inflation persistence and the term back to its natural value.

This study found an establishment Region Inflation Monitoring and Controlling Team (TPID) contribute to the control of inflation and the North Sumatra Province has a good influence on the control of inflation, North Sumatra. As for the level of inflation persistence North Sumatra Province found a low rate of inflation persistence. Commodity groups with the highest rate of inflation persistence is the housing, water, electricity, gas and fuel and commodity groups groceries. The study also found that the length of time required by expenditure group to return to its natural value of 3.3 days to 16.15 days. As for the formation of Region of Inflation Monitoring and Controlling Team (TPID) has given a good influence for inflation and inflation persistence North Sumatra Province. After the establishment of TPID, inflation and inflation persistence North Sumatra province tend to decrease.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)”.

Penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi di Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi ini, baik berupa bimbingan, saran, dan dorongan moril, yaitu : 1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec, Ac, Ak., selaku Dekan Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec., selaku Ketua Departemen dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si., selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universutas Sumatera Utara. 3. Bapak Irsyad Lubis, S.E, M.Soc.Sc, Ph.D., selaku Ketua Program Studi S1

(7)

4. Bapak Wahyu Ario Pratomo, S.E, M.Ec., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan masukan serta waktu selama masa penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Drs. Raina Linda Sari, M.Si., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan petunjuk, kritik dan saran yang bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini. 6. Bapak Dr. Rujiman, M.A., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

petunjuk, kritik dan saran yang bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini. 7. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Departemen Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada kedua orangtua tercinta Sumarno dan Hamidah atas kasih dan sayangnya dan seluruh dukungan baik doa, dana maupun semangat.

9. Kepada Abang dan Adik penulis, Surya Bayu Hidayat dan Taufik Kemas serta seluruh keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan semangat dan dukungannya

10. Untuk Alamarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo dan Almarhum Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec., sebagai idola penulis yang telah banyak menginspirasi penulis dalam menimba ilmu dibidang ekonomi.

(8)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua pihak yang telah memberikan bantuannya selama ini.

Medan, Oktober 2014

Penulis

Surya Dharma

(9)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inflasi ... 13

2.1.1 Indikator Inflasi ... 13

2.1.2 Disagregasi Inflasi di Indonesia ... 15

2.1.3 Determinan Inflasi ... 16

2.2 Teori Pembentukan Inflasi di Indonesia ... 17

2.3 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).. 20

2.4 Definisi Persistensi Inflasi ... 22

2.5 Teori dan Pengukuran Persistensi Inflasi... 2.6 Penelitian Terdahulu ... 25

2.7 Kerangka Konseptual ... 27

2.8 Hipotesis ... 28

(10)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 37

4.2 Deskripsi Data Penelitian ... 38

4.3 Hasil Analisis Data ... 41

4.3.1 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 41

4.3.2 Analisis Regresi Variabel Bebas Dummy ... 47

4.3.3 Hasil Uji Kesesuaian ( Test Goodness of fit ) ... 49

4.3.3.1 Analisis Koefisien Determinasi ( R2 ) ... 49

4.3.3.2 Hasil Uji t-Statistik (Uji Parsial) ... 49

4.3.4 Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi Provinsi Sumatera Utara ... 50

4.3.5 Peranan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Melalui Pendekatan Kelembagaan... 52

4.3.6 Model Autoregressive Untuk Mengukur Tingkat Persistensi Inflasi ... 54

4.3.6.1 Tingkat Persistensi Inflasi Provinsi Sumatera Utara... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 64

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(11)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 Pencapaian Target Inflasi Indonesia ... 2

3.1 Teknik Analisis ... 31

4.1 Hasil Uji Durbin Watson Test ... 41

4.2 Hasil Uji LM Test ... 42

4.3 Hasil Uji Durbin Watson Test First Difference ... 44

4.4 Hasil Uji Durbin Watson Test Dengan Model AR .. 45

4.5 Hasil Uji LM Test Dengan Model AR ... 46

4.6 Hasil Uji Regresi Variabel Bebas Dummy ... 48

4.7 Hasil Uji t-Statistk (Uji Parsial) ... 49

4.8 Hasil Pengukuran Persistensi Provinsi Sumatera Utara ... 55

4.9 Hasil Pengujian Sumber Persistensi Provinsi Sumatera Utara ... 57

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konseptual ... 27 4.1 Grafik Inflasi Provinsi Sumatera Utara

Periode 2002 – 2013 ... 39 4.2 Grafik Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Kembali

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1 Data Inflasi Bulanan Provinsi Sumatera Utara Menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Sumatera Utara

Periode Januari 2002 – Desember 2013 ..…... 69 2 Data Kelompok Komoditi Penyusun Indeks Harga

Konsumen (IHK) Bulanan Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan 7 Kelompok Pengeluaran Periode

Januari 2007 – Desember 2012………..…... 70 3 Hasil Output Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ……….. 73 4 Hasil Output Uji Kesesuaian ……….... 77 5 Hasil Output Model Autoregressive Untuk

(14)

ABSTRAK

ANALISIS PERANAN TIM PEMANTAUAN DAN PENGENDALIAN INFLASI DAERAH (TPID) TERHADAP PENGENDALIAN INFLASI

(STUDI KASUS: PROVINSI SUMATERA UTARA)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian inflasi (studi kasus: Provinsi Sumatera Utara). Kemudian di dalam rumusan masalah dapat dibagi menjadi dua yaitu bagaimana peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian Inflasi Provinsi Sumatera Utara, sebelum dan setelah di bentuknya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan bagaimana keadaan tingkat persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan data time series, yaitu data inflasi bulanan (mounth to

mounth) data yang diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK)

Provinsi Sumatera Utara periode bulan Januari 2002 – Desember 2013 dan data kelompok komoditi penyusun Indeks Harga Konsumen (IHK) bulanan Provinsi Sumatera Utara yang dikategorikan dalam 7 kelompok pengeluaran berdasarkan COICOP (the Classification of individual consumption by purpose) periode bulan Januari 2007 – Desember 2012.

Pengolahan dan analisis data menggunakan metode analisis regresi sederhana dengan variabel bebas dummy dan Univariate Autoregressive (AR)

Time Series model dengan menggunakan program Eviews. Dalam menganalisis

peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian inflasi Provinsi Sumatera Utara digunakan analisis regresi sederhana, menggunakan Uji Kesesuaian dan Uji Penyimpangan Asumsi klasik. Disamping itu, dalam menganalisis tingkat persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara dilakukan penelitian terhadap sumber persistensi inflasi dan jangka waktu kembali ke nilai alamiahnya.

Penelitian ini menemukan adanya pembentukan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) berperan terhadap pengendalian inflasi Provinsi Sumatera Utara dan telah memberikan pengaruh yang baik terhadap pengendalian inflasi Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan untuk tingkat persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara ditemukan tingkat persistensi inflasi yang rendah. Kelompok komoditi dengan tingkat persistensi inflasi tertinggi adalah kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar dan kelompok komoditi bahan makanan. Penelitian ini juga menemukan bahwa jangka waktu yang dibutuhkan oleh kelompok pengeluaran untuk kembali kenilai alamiahnya yaitu 3,3 hari hingga 16,15 hari. Sedangkan untuk adanya pembentukan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) telah memberikan pengaruh yang baik bagi inflasi dan persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara. Setelah dibentuknya TPID, inflasi dan persistensi inflasi Provinsi Sumatera Utara cenderung mengalami penurunan.

(15)

ABSTRACT

THE ROLE ANALYSIS OF REGION INFLATION MONITORING AND CONTROLLING TEAM (TPID) TOWARD INFLATION RESTRAINT

(CASE STUDY: NORTH SUMATRA PROVINCE)

This study aims to analyze the role of Region Inflation Monitoring and Controlling Team (TPID) toward Inflation Restraint (Case Study: North Sumatra Province) Afterwards, the formulation of the problem could be divided into two, how the role of region monitoring and controlling team (TPID) to the control of inflation in North Sumatra Province, prior to and after in the shape of region Monitoring and controlling team (TPID) and how the state rate of inflation persistence North Sumatra Province. This study uses time series data, ie the data is monthly inflation (mounth to mounth) and measured using the Consumer Price Index (CPI) of North Sumatra Province period January 2002 - December 2013 and Data commodity groups making up the Consumer Price Index (CPI) monthly Province North Sumatra were categorized into seven groups based on the expenditure COICOP (Classification of the individual consumption by purpose) in the period January 2007 - December 2012.

The processing and analysis of data using simple regression analysis with dummy independent variable and Univariate Autoregressive (AR) time series models using Eviews program. In analyzing the role of on the control of inflation in North Sumatra province used simple regression analysis, using the Test Goodness of Fit and Test Irregularities classical assumptions. In addition, in analyzing the rate of inflation persistence North Sumatra province conducted a study of sources of inflation persistence and the term back to its natural value.

This study found an establishment Region Inflation Monitoring and Controlling Team (TPID) contribute to the control of inflation and the North Sumatra Province has a good influence on the control of inflation, North Sumatra. As for the level of inflation persistence North Sumatra Province found a low rate of inflation persistence. Commodity groups with the highest rate of inflation persistence is the housing, water, electricity, gas and fuel and commodity groups groceries. The study also found that the length of time required by expenditure group to return to its natural value of 3.3 days to 16.15 days. As for the formation of Region of Inflation Monitoring and Controlling Team (TPID) has given a good influence for inflation and inflation persistence North Sumatra Province. After the establishment of TPID, inflation and inflation persistence North Sumatra province tend to decrease.

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sesuai Undang-undang (UU) No. 3 tahun 2004 Pasal 7, tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan menjaga kestabilan nilai Rupiah, yang salah satunya adalah dalam bentuk kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin melalui kestabilan inflasi. Dengan demikian, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai dan menjaga inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil.

Sejalan dengan hal tersebut, adapun upaya pemerintah dalam mencapai kondisi perekonomian yang ideal salah satu upayanya yaitu menjaga stabilitas harga melalui kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi. Untuk menjaga kestabilan perekonomian, Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter di Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. (Rahardja dan Manurung, 2004).

Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Kestabilan nilai rupiah yang dijaga baik itu didalam negeri maupun diluar negeri. Di dalam negeri, kestabilan nilai rupiah digambarkan melalui kestabilan harga barang dan jasa yang tercermin dari tingkat inflasi sedangkan di luar negeri digambarkan melalui nilai Rupiah terhadap mata uang negara lain yang tercermin dari nilai tukar.

(17)

dinamika ekonomi nasional dari tahun ke tahun. Perkembangan ekonomi nasional dan global beberapa tahun terakhir ini telah memfokuskan perhatian Bank Indonesia (BI) kepada masalah pengendalian inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama yang biasa disebut dengan Inflation Targeting Framework. Kinerja dari inflation targeting bisa dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 1.1. Pencapaian Target Inflasi Indonesia

Tahun Target

Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia

(18)

Bahkan pada tahun 2001, 2005, 2008 dan 2013, inflasi aktual yang terjadi sangat jauh melampaui target inflasinya. Hal ini disebabkan oleh adanya krisis keuangan global dan naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) yang juga berdampak pada perekonomian Indonesia. Akan tetapi setelah tahun 2008, kondisi inflasi Indonesia cenderung membaik.

Dalam kaitan tersebut, respon kebijakan moneter tidak hanya ditentukan oleh tingkat inflasi yang ingin dicapai tetapi ditentukan pula oleh perilaku inflasi itu sendiri. Hal tersebut akan menentukan besaran dan waktu (timing) respon kebijakan moneter yang perlu diterapkan dalam rangka mencapai inflasi yang ingin dicapai tersebut. Dari sisi tingkat inflasi yang ingin dicapai, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan menurun secara gradual menuju tingkat yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sesuai UU dimaksud, sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia yang dimaksudkan untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter. Sementara itu, asesmen mengenai perilaku inflasi yang diperlukan antara lain terkait dengan persistensi inflasi atau kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ketingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock (Arimurti, 2011).

(19)

menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga mempengaruhi kesejahteraan masyarakat (Fatimah, 2013).

Budiono (1985) Salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai di hampir semua negara di dunia adalah Inflasi. Hal ini juga didukung oleh perkembangan teori ekonomi dalam literatur dan temuan empiris di beberapa negara bahwa kebijakan moneter dalam jangka menengah panjang hanya berpengaruh pada inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi (Perry Warjiyo dan Solikin, 2003).

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, sumber tekanan inflasi Indonesia tidak hanya berasal dari sisi permintaan yang dapat dikelola oleh Bank Indonesia. Dari hasil penelitian, karakteristik inflasi di Indonesia masih cenderung bergejolak yang terutama dipengaruhi oleh sisi supply (sisi penawaran) berkenaan dengan gangguan produksi, distribusi maupun kebijakan pemerintah. Selain itu, shocks

terhadap inflasi juga dapat berasal dari kebijakan pemerintah terkait harga komoditas strategis seperti BBM dan komoditas energi lainnya (administered prices).

(20)

Untuk itu, kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan aggregat (demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan yang bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.

Sementara inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.

Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi sangat terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008 sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi yang menjadi fenomena di masyarakat.

(21)

tingkat pusat sejak tahun 2005 dan sejak tahun 2008 dibentuk pula Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang bertugas untuk membantu pencapaian tingkat inflasi di daerah. Koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah (Bank Indonesia)

TPI dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan satu sasaran yang ingin dicapai Pemerintah, sebagai bagian dalam upaya menjaga stabilitas makro ekonomi sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.

Sehubungan mengenai pembentukan Tim Pengendalian Inflasi di tingkat pusat sesuai pernyataan diatas, bahwa pentingnya peran koordinasi dalam rangka pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, Pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di level pusat sejak tahun 2005. Penguatan koordinasi kemudian dilanjutkan dengan membentuk Tim Pengendalian Inflasi di level daerah pada tahun 2008. Selanjutnya, untuk menjembatani tugas dan peran TPI di level pusat dan TPID di daerah, maka pada Juli 2011 terbentuk Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang dapat memperkuat efektivitas peran TPID.

(22)

kesadaran daerah terhadap implikasi inflasi bagi kegiatan pembangunan dan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum. Keberadaan TPID juga menekankan pentingnya kerangka kerjasama yang lebih bersinergi antar daerah sejalan dengan implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Besarnya komitmen daerah untuk turut berpartisipasi menjaga stabilitas harga tertuang dalam Agenda Jakarta 2011 yang merupakan hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) II TPID yang diselenggarakan pada 16 April 2011. Pada Rakornas II TPID juga disepakati pembentukan Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID yang beranggotakan Bank Indonesia (BI), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Nomor. MOU-01/M.EKON/03/2011, 13/I/GBI/DKM/NK, 300-194 Tahun 2011. Sebagai tindak lanjut dari MoU tersebut, pada penyelenggaraan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) TPID Jakarta-Jabar-Banten tanggal 14 Juli 2011 ditandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) antara ketiga pihak tersebut yang menandai terbentuknya Pokjanas TPID (Bank Indonesia).

(23)

kepentingan di daerah dalam merumuskan kebijakan terkait pengendalian harga (Bank Indonesia).

Inflasi nasional terbentuk dari inflasi daerah, sehingga penelitian tentang inflasi di tingkat regional sangat diperlukan. Inflasi nasional merupakan rata-rata tertimbang dari inflasi daerah di Indonesia, maka dirasa perlu untuk mempelajari perilaku inflasi di tingkat daerah (Fatimah, 2013).

Provinsi Sumatera Utara khususnya, menurut data statistik diketahui bahwa tingkat Inflasi Sumatera Utara tahun 2013 sebesar 10,8 %, sedangkan tingkat Inflasi Nasional tahun 2013 sebesar 8,38%. Tingginya tingkat Inflasi Sumatera Utara dibandingkan tingkat Inflasi Nasional disebabkan karena kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), kenaikan harga pangan seperti harga bawang, baik bawang puith maupun bawang merah, kenaikan harga kedelai dan adanya pengaruh erupsi Gunung Sinabung yang menyebabkan stabilitas harga terganggu (Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2013).

(24)

Perilaku inflasi dapat dilihat dari persistensi inflasi. Marques (2005) mendefinisikan persistensi inflasi sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ketingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Derajat persistensi yang tinggi menunjukkan lambatnya tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat alamiahnya maka dikatakan inflasi bersifat persisten. Sebaliknya derajat persistensi yang rendah menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat alamiahnya. Perilaku inflasi penting untuk dipelajari untuk mendukung pengambilan kebijakan atas respon dari perubahan tekanan terhadap inflasi di dalam negeri agar pengendalian inflasi bisa lebih efektif.

Penelitian persistensi inflasi perlu didukung dengan analisis mengenai penyebab dari persistensi inflasi tersebut. Seperti diketahui dalam komponen inflasi IHK terdapat komponen inflasi yang harganya banyak dipengaruhi oleh

supply pasokan barang yang bersifat musiman. Selain itu terdapat komponen yang harganya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah (administered price). Kedua komponen ini merupakan penyusun inflasi yang bersifat non-fundamental. Maka diperlukan suatu kebijakan yang ditujukan untuk mengendalikan inflasi yang bersifat non-fundamental yang sulit untuk dikendalikan melalui instrument kebijakan moneter yang dimiliki Bank Indonesia selaku pemegang otoritas kebijakan moneter (Fatimah, 2013).

(25)

daerah memiliki karakteristik yang berbeda sehingga menyebabkan adanya kebijakan pengendalian inflasi yang berbeda pula.

Meskipun secara umum tekanan inflasi di daerah banyak dipengaruhi shock

pada sisi penawaran. Disamping penelitian mengenai persistensi inflasi perlu juga diketahui tindakan seperti apa yang akan diambil oleh Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terkait dengan tingkat persistensi inflasi di Sumatera Utara, maka dirasa perlu untuk mempelajari perilaku inflasi di tingkat daerah, termasuk mengukur dan mencari penyebabnya, serta mengetahui implikasinya terhadap pengendalian inflasi daerah dengan fokus Provinsi Sumatera Utara.

Di Sumatera Utara sendiri penelitian tentang persistensi inflasi sangat penting, mengingat bahwa Sumatera Utara termasuk provinsi yang menyumbang bobot inflasi nasional terbesar di kawasan Pulau Sumatera Utara. Dilihat dari komponennya, komponen volatile food (bahan makanan yang harganya fluktuatif) banyak mempengaruhi inflasi Sumatera Utara. Pengaruh keterbatasan pasokan dan ekspektasi inflasi masyarakat menjadi faktor pendorong peningkatan inflasi. Berdasarkan pada uraian sebelumnya maka sangat pentingnya mengetahui faktor penyebab utama persistensi inflasi yang terjadi agar otoritas moneter dapat segera merespon shock yang terjadi dan mencegah dampak dari persistensi inflasi tersebut.

(26)

pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kajian tersebut pada akhirnya diperlukan untuk merumuskan strategi pengendalian inflasi. Sumber tekanan inflasi yang menyebabkan persistensi inflasi perlu dianalisa secara lebih tajam sehingga dapat dibedakan sumber tekanan inflasi yang bersifat fundamental dan yang hanya bersifat sementara atau temporer. Kebijakan moneter tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk merespon tekanan inflasi dari kejutan di sisi pasokan. Diperlukan kebijakan sektoral dan regional untuk mengurangi tekanan inflasi dari faktor-faktor non-fundamental (Arimurti, 2011).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat Inflasi Provinsi Sumatera Utara sebelum dan sesudah dibentuknya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan untuk mengetahui tingkat persistensi inflasi di Sumatera Utara. Melihat pentingnya peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian inflasi di daerah. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan judul “Analisis Peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Terhadap Pengendalian Inflasi (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Utara)”.

1.2 Perumusan Masalah

(27)

1. Apakah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) berperan terhadap pengendalian Inflasi Sumatera Utara, sebelum dan setelah dibentuknya Tim Pemantuan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) ?

2. Bagaimana Tingkat Persistensi Inflasi Sumatera Utara ? 1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian Inflasi Sumatera Utara, sebelum dan setelah di bentuknya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).

2. Untuk mengetahui tingkat Persistensi Inflasi Sumatera Utara ? 1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan dan menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dan pembaca yang berkaitan dalam pengendalian inflasi.

2. Sebagai bahan studi, tambahan literatur dan informasi bagi pembaca dan peneliti dalam penelitian selanjutnya.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Inflasi

Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan terus-menerus. Dari defenisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi untuk menggambarkan bahwa telah terjadi inflasi (Rahardja Manurung, 2001) :

1. Kenaikan Harga 2. Bersifat Umum

3. Berlangsung Terus-Menerus 2.1.1 Indikator Inflasi

Ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur laju inflasi selama satu periode tahun tertentu, diantaranya adalah :

1. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)

(29)

Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan melihat perekembangan regional, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar, terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia (Rahardja Manurung, 2001).

2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)

Jika IHK meluhat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu, IHPB sering juga disebut sebagai indeks harga produsen (production price index). IHPB menunjukkan tingkat harga yang diterima produsen pada berbagai tingkat produksi. Prinsip perhitungan berdasarkan IHPB adalah sebagai berikut:

3. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)

(30)

Angka deflator (IHI) ini dapat diperoleh melalui perhitungan, sebagai berikut :

Perhitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dengan menghitung perubahan angka indeks :

2.1.2 Disagregasi Inflasi di Indonesia

Menurut Bank Indonesia, di Indonesia disamping pengelompokan berdasarkan COICOP (the Classification of individual consumption by purpose) tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:

• Interaksi permintaan-penawaran

• Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi

mitra dagang

(31)

2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari :

• Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :

Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.

• Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) :

Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

2.1.3 Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi

negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

(32)

Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari komdisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan (Bank Indonesia).

2.2 Teori Pembentukan Inflasi di Indonesia

Inflasi tidak terbentuk dengan sendirinya, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan inflasi. Hutabarat (2005) mendefinisikan terdapat tiga teori pembentukan inflasi yaitu ekspektasi inflasi, inflasi dari sisi permintaan ( demand-pull inflation) dan inflasi dari sisi penawaran (cost-push inflation).

(33)

karena pandangan subyektif dari pelaku ekonomi mengenai apa yang akan terjadi ke depan.

Inflasi permintaan atau demand-pull inflation merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya interaksi permintaan dan penawaran domestik pada jangka panjang. Tekanan inflasi dari sisi permintaan direpresentasikan dari sisi output gap, yaitu selisih antara output aktual dengan output potensial. Ketika dalam kondisi output aktual berada di atas output potensialnya (output gap positif), kenaikan output gap

menggambarkan tekanan inflasi yang meningkat. Sebaliknya, ketika kondisi output aktual lebih kecil dari output potensial, kenaikan output gap berarti mengurangi tekanan deflasi. Inflasi permintaan ini bisa dikendalikan melalui instrument moneter yang dimiliki oleh bank sentral. Bank Indonesia selaku pemegang otoritas kebijakan moneter memiliki instrument yang bisa digunakan untuk menekan inflasi dari sisi permintaan. Instrument moneter tersebut adalah BI Rate, Giro Wajib Minimum (GWM) dan Open Market Operation.

Inflasi penawaran atau cost-push inflation merupakan jenis inflasi yang disebabkan oleh tingkat penawaran yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan. Penawaran yang rendah disebabkan oleh adanya kenaikan pada biaya produksi sehingga mengakibatkan produsen harus mengurangi produksinya sampai jumlah tertentu atau menaikkan harga barang. Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan cost-push inflation didorong oleh beberapa faktor yaitu :

(34)

disertai dengan aksi mogok kerja. Hal ini membuat para pengusaha tidak memiliki pilihan selain memenuhi tuntutan mereka. Kenaikan upah ini menyebabkan biaya produksi yang harus dikeluarkan meningkat, sehingga untuk menutupi kekurangan biaya yang harus dikeluarkan pengusaha memilih untuk mengurangi jumlah produksinya. Pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan harga barang.

b. Kenaikan harga bahan baku industri. Adanya kenaikan harga bahan baku juga menyebabkan peningkatan biaya produksi yang pada akhirnya dapat menaikkan harga barang.

c. Terjadi imported inflation, maksudnya adalah adanya pengaruh inflasi dari luar negeri. Inflasi yang terjadi di luar negeri dapat berdampak kepada inflasi dalam negeri. Contohnya apabila terjadi inflasi di luar negeri yang menyebabkan harga barang di negara tersebut meningkat sedangkan Indonesia mengimpor barang tersebut, maka akibatnya harga barang impor tersebut akan mengalami kenaikan dan akan menyebabkan kenaikan biaya produksi. Pada akhirnya juga akan menyebabkan kenaikan pada harga jual. Hal inilah yang dimaksud dengan pengaruh inflasi dari luar negeri (imported inflation) akibat peningkatan harga barang-barang impor dan komponen-komponen atau bahan-bahan baku industri yang belum sanggup diproduksi didalam negeri.

(35)

menyebabkan gagal panen. Hal ini dapat menyebabkan terjadi kelangkaan barang di pasar yang dapat menyebabkan kenaikan harga.

2.3 Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID)

Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) adalah suatu kelompok atau tim yang dibentuk khusus untuk mengendalikan inflasi dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan beberapa dinas instansi terkait. Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) merupakan forum koordinasi yang dibentuk oleh Bank Indonesia untuk membantu pencapaian tingkat inflasi dan menjaga tingkat inflasi agar tetap rendah dan stabil.

Tujuan dari pembentukan TPID adalah untuk saling berkoordinasi dan bekerja sama dalam melakukan pemantauan dan upaya pengendalian inflasi daerah dalam rangka pencapaian target inflasi yang ditetapkan guna mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi daerah yang berkualitas pada khususnya dan nasional pada umumnya sehingga kestabilan makroekonomi dapat terjaga. TPID dibentuk pada akhir tahun 2008 lalu guna mendukung pemberlakuan Inflation

Targetting Framework (ITF) di Indonesia. TPID mempunyai tujuan untuk

(36)

Keanggotaan TPID yang terdiri atas berbagai instansi pemerintahan daerah, Kantor Bank Indonesia (KBI), Biro Perekonomian, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, Bulog, BUMD, serta pihak terkait lainnya sejauh ini mampu membuka jalan bagi sinergi koordinasi kebijakan dan kegiatan dalam kerangka stabilitas harga.

Dalam mengendalikan inflasi, TPID bertugas untuk mengendalikan harga komoditas-komoditas yang turut menyumbang pada bobot inflasi. Bentuk pengendalian harga yang dilakukan oleh TPID yaitu :

1. Operasi Pasar

Yang dimaksud dengan operasi pasar adalah turun langsungnya instansi dan dinas-dinas yang bersangkutan apabila terjadi kenaikan harga-harga barang di pasar.

2. Perbaikan Distribusi

Perbaikan distribusi dilakukan untuk menjamin ketersediaan pasokan barang agar tidak terjadi kelangkaan yang bisa menyebabkan terjadinya kenaikan harga. Perbaikan distribusi dilakukan oleh Dinas Perhubungan dengan cara memperbaiki sarana dan prasarana guna mendukung kelancaran distribusi. 3. Himbauan atau Moral Suasion

(37)

4. Pembentukan Ekspektasi Masyarakat

Pembentukan ekspektasi masyarakat dilakukan dengan cara memberitahu dan mengkomunikasikan target inflasi tahun ini kepada masyarakat. Pemberitahuan ini bisa melalui media massa maupun elektronik.

2.4 Definisi Persistensi Inflasi

Banyak pendapat yang mengemukakan bahwa ketika terjadi guncangan dalam perekonomian, variabel ekonomi akan cenderung menjauh dari nilai alamiahnya untuk waktu yang lama, atau dengan kata lain variabel tersebut tidak langsung kembali kepada nilai alamiahnya jika mengalami guncangan. Fenomena seperti ini dikenal sebagai persistensi dari suatu variabel.

(38)

definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa persistensi inflasi merupakan cepat lambatnya inflasi untuk kembali ke nilai alamiahnya ketika terjadi guncangan (shock) yang menyebabkan inflasi menjauh dari nilai alamiahnya tersebut.

Derajat persistensi yang tinggi menunjukkan lambatnya tingkat inflasi ke tingkat alamiahnya. Sebaliknya derajat persistensi yang rendah menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat alamiahnya. Shock dimaksud antara lain dapat berupa kebijakan pemerintah, gangguan distribusi, bencana alam dan perubahan cuaca. Studi mengenai persistensi inflasi penting untuk meningkatkan kemampuan peramalan inflasi, memperoleh kejelasan efek dinamis dari exogenous price shocks, memberikan informasi/ petunjuk dan memperbaiki kebijakan moneter, dan untuk menilai apakah rezim kebijakan moneter yang berbeda akan menghasilkan persistensi yang berbeda, (Arimurti, 2011).

2.5 Teori dan Pengukuran Persistensi Inflasi

Menurut Marques (2004) dalam mengukur persistensi inflasi, terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, dalam estimasi persistensi inflasi, sangat tergantung dari nilai inflasi jangka panjang yang diasumsikan. Untuk mengetahui apakah inflasi bergerak dengan lambat atau cepat sebagai responnya terhadap guncangan, diperlukan informasi mengenai jalur inflasi yang akan diikuti, seandainya guncangan tidak terjadi dan seberapa besar tingkat inflasi yang diharapkan setelah pengaruh guncangan hilang.

Kedua, apakah nilai jangka panjang dari inflasi harus diasumsikan

(39)

oleh data). Dalam pendekatan multivariate dengan menggunakan model structural, dapat diketahui besarnya kemungkinan guncangan tertentu berpengaruh terhadap nilai inflasi jangka panjang, akan tetapi dalam pendekatan univariat harus diasumsikan bahwa guncangan tidak mempengaruhi nilai inflasi jangka panjang atau target inflasi bank sentral.

Ketiga, target inflasi yang bergerak dapat menjadi sumber persistensi inflasi. Sebagai contoh, jika bank sentral merubah target inflasinya, orang-orang akan memerlukan waktu untuk belajar mengenai target yang baru, sehingga inflasi akan bergerak lebih lambat menuju nilai targetnya. Dalam studi empiris, hal ini dapat diketahui dengan penggunaan model structural.

Untuk mengukur tingkat persistensi inflasi, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan univariat dan multivariat model (Yanuarti, 2007). Pendekatan univariat lebih menekankan hanya pada aspek data time series. Dalam pendekatan ini model autoregresif sederhana diasumsikan dan shock

diukur dari komponen white noise dari proses autoregresif. Sedangkan menurut Dossche dan Everaert (dalam Arimurti, 2011), pada pendekatan multivariat mencakup juga tambahan informasi seperti output riil dan tingkat suku bunga bank sentral. Pendekatan multivariate mengasumsikan hubungan kausalitas antara inflasi dan determinannya, dengan menggunakan Phillips Curve atau Structural VAR model. Persistensi inflasi dalam konteks ini adalah durasi dari suatu guncangan terhadap inflasi.

(40)

shock berbeda yang turut mempengaruhi inflasi dan menentukan shock apa yang memiliki dampak spesifik pada persistensi inflasi. Sedangkan pada pendekatan univariat, shock pada inflasi tidak memiliki interpretasi ekonomi karena shock

tersebut merupakan ukuran total shock yang mempengaruhi inflasi pada periode tersebut.

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Alamsyah (2008) tentang persistensi inflasi Indonesia menyebutkan bahwa derajat persistensi inflasi di Indonesia secara umum masih tinggi jika dibandingkan dengan kawasan Asia, tetapi cenderung menurun pada periode pasca krisis. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Yanuarti (2007) yang menyebutkan bahwa pada

post crisis period (2000-sekarang) derajat persistensi inflasi Indonesia cenderung menurun bila dengan pre crisis period (1990-1997).

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bank Indonesia Medan (2010) menunjukkan derajat persistensi di Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,92. Derajat persistensi tersebut relatif tinggi, komoditas minyak goreng, tarif listrik, beras, kontrak rumah, sewa rumah, dan rokok kretek filter memiliki derajat persistensi lebih tinggi dari komoditas terpilih lainnya.

(41)

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arimurti (2011) pada persistensi inflasi di Jakarta menyebutkan bahwa tingkat persistensi inflasi di Jakarta masih tinggi dengan kelompok komoditi penyumbang persistensi yaitu kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau juga kelompok kesehatan. Dengan jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyerap shock yang ada untuk kelompok komoditi selama 5-12 bulan, sedangkan untuk komoditi selama 3-12 bulan. Penelitian oleh Arimurti (2011) ini menyebutkan bahwa tingginya persistensi inflasi di Jakarta disebabkan oleh adanya penetapan harga oleh pemerintah (administered price) dan shock pada volatile food.

(42)

terdapat perbedaan pada persistensi inflasi sebelum dan setelah adanya TPID. Sebelum dibentuknya TPID yaitu sebelum tahun 2008, inflasi cenderung tinggi. Sedangkan setelah dibentuk TPID sejak tahun 2008, inflasi cenderung menurun seperti yang ditunjukkan oleh koefisien yang bertanda negatif. Maka dapat disimpulkan bahwa setelah dibentuk TPID, tingkat persistensi inflasi cenderung menurun.

2.7 Kerangka Konseptual

Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, secara umum penelitian ini terbagi dua bagian, yaitu peranan sebelum dan sesudah adanya TPID terhadap Inflasi (INF), dan Bagaimana kontribusi TPID terhadap tingkat Persistensi Inflasi yang berimplikasi terhadap Inflasi. Berikut kerangka konseptual pada penelitian ini dapat dilihat pada skema berikut:

Gambar 2.1. Skema Kerangka Konseptual

Sebelum dan sesudah adanya TPID

Tingkat Persistensi Inflasi

TPID

(43)

2.8 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang sebenarannya harus diuji secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah yang ada, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut:

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Menurut Mudrajat Kuncoro, 2009, penelitian deskriptif merupakan pengumpulan data untuk diuji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan hipotesis yang berkaitan dengan fenomena lain. Penelitian ini merupakan gabungan dari penelitian deskriptif dan kuantitatif tersebut.

3.2 Batasan Operasional

Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap inflasi di Sumatera Utara. Kemudian penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yang pertama untuk melihat bagaimana pergerakan inflasi di Sumatera Utara sebelum dan sesudah adanya TPID, dan yang kedua adalah untuk melihat bagaimanan persistensi inflasi di Sumatera Utara.

3.3 Defenisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan penafsiran dalam menjawab pertanyaan penelitian ini, adapun defenisi operasional yang digunakan sebagai berikut:

(45)

menggunakan Indeks Harga Konsumen Provinsi Sumatera Utara yang menggunakan data bulanan dari tahun 2002 - 2013.

2. TPID atau Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah adalah suatu kelompok atau tim yang dibentuk khusus untuk mengendalikan inflasi dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan beberapa dinas instansi terkait. Dalam Penelitian ini TPID diukur dengan variabel bebas dummy. 3. Persistensi Inflasi adalah kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat

keseimbangan setelah timbulnya suatu guncangan (yaitu kebijakan pemerintah, gangguan produksi, gangguan distribusi, bencana alam, dan perubahan cuaca).

3.4 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif. Data berbentuk runtun waktu (time series) yang dipublikasikan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) yaitu: 1. Data inflasi bulanan (mounth to mounth) data yang diukur dengan

menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Sumatera Utara periode bulan Januari 2002 – Desember 2013.

(46)

3.5 Pengolahan Data

Penulis menggunakan program komputer Eviews 7.0 untuk mengolah data dalam penulisan skripsi ini.

3.6 Teknik Analisis

Untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini, teknik analisis yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Teknik Analisis

No Masalah Teknik analisis

1. Mengetahui peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian Inflasi Sumatera Utara, sebelum dan setelah di bentuknya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).

Analisis Regresi dengan Variabel Bebas

Dummy

2. Mengetahui tingkat persistensi Inflasi Sumatera Utara.

Univariate Autoregressive (AR) Time Series Model

3.6.1 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

(47)

1. Autokorelasi

Autokorelasi merupakan gangguan pada fungsi regresi berupa korelasi diantara faktor gangguan (error term). Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa faktor pengganggu yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh faktor pengganggu pada pengamatan lainnya. Jadi, autokorelasi ialah adanya korelasi antara variabel itu sendiri pada pengamatan yang berbeda waktu dan individu. Umumnya kasus autokorelasi banyak terjadi pada data time series. Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam model regresi linier ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada suatu periode dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya. Cara yang digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi antara lain:

a. Uji Durbin Watson (D-W Test) Nilai D-W dihitung dengan rumus:

Setelah dihitung nilai D-W nya, maka kemudian bandingkan dengan nilai D-W tabel, dengan pedoman sebagai berikut:

(48)

b. Uji Lagrange Multiplier (LM Test)

Pengujian lainnya untuk melihat autokorelasi ialah dengan menggunakan

Serial Correlation LM test. Apabila nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0,05 maka terdapat autokorelasi, sebaliknya jika nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 maka tidak terdapat autokorelasi.

3.6.2 Analisis Regresi Variabel Bebas Dummy

Untuk mengetahui peranan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terhadap pengendalian Inflasi Sumatera Utara, sebelum dan setelah di bentuknya Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) maka teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier sederhana dengan menggunakan variabel bebas dummy. Analisis regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan antarvariabel. Regresi dengan variabel dummy adalah regresi dengan menggunakan variabel bebasnya (X) bertipe data nominal. Dengan menggunakan metode ekonometrika sebagai berikut:

Y = α + β1 D + µ Dimana : Y = Tingkat inflasi di Sumatera Utara

α = Konstanta

β1 = Koefisien Regresi

D = Sebelum dan sesudah adanya TPID

D = 1 ; setelah adanya TPID D = 0 ; sebelum adanya TPID

µ = Variabel Gangguan ( error term )

3.6.3 Uji Kesesuaian (Test Goodness of fit ) 3.6.3.1 Koefisien Determinasi (R2)

(49)

terestimasi cukup baik atau tidak. Untuk mengetahui hal tersebut, harus dilakukan suatu cara untuk mengukur seberapa dekatkah garis regresi yang terestimasi dengan data.

Ukuran koefisien determinasi ini mencerminkan seberapa besar variasi dari

regressand (Y) dapat diterangkan oleh regressor (X). Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1 (0 < R2 < 1).Bila R2 = 0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara bila R2 = 1, artinya variasi dari Y, 100% dapat diterangkan oleh X. Dengan kata lain bila R2 = 1, maka semua titik pengamatan berada pada garis regresi.

3.6.3.2 Uji t-Statistik (Uji Parsial)

Uji t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah koefisien regresi signifikan atau tidak. Sebelum melakukan pengujian, biasanya dibuat hipotesis terlebih dahulu, yang untuk uji-t lazimnya sebagai berikut :

H0 : b = 0 Ha : b ≠ 0

(50)

Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus :

t-hitung =

Dimana:

bi = koefisien Variabel Independen b = nilai hipotesis nol

Sbi = simpangan baku dari variabel independen

3.6.4 Model Autoregressive Untuk Mengukur Tingkat Persistensi Inflasi Untuk mengukur tingkat persistensi inflasi maka model yang digunakan adalah model autoregressive. Pemilihan model AR ini dikarenakan model AR merupakan pengukur persistensi inflasi yang cukup baik. Dari beberapa studi yang telah dilakukan, seperti yang dilakukan Arimurti (2008), Yanuarti (2007), Alamsyah (2008), model autoregressive (AR) time series merupakan pendekatan yang paling lazim dalam riset empiris. Formula AR dengan order p dapat dijabarkan sebagai berikut:

Πt = µ + αjπt-j + t

Dimana:

Πt :tingkat inflasi bulanan pada waktu t

µ : konstanta dari hasil proses estimasi, sebagai kontrol terhadap

rata-rata

inflasi

αj : jumlah koefisien AR

t : random error term atau residual dari regresi persamaan di atas Tingkat persistensi inflasi dihitung dengan menjumlahkan koefisien AR sebagai berikut:

= αj

(51)

terutama dari sisi penawaran. Untuk mengetahui sumber persistensi inflasi di Sumatera utara dengan menggunakan Partial Adjustment Model (PAM) dengan persamaan awal sebagai berikut :

��= ��0+ ��0��+ 1−���−1+ �� ; dimana ��= ���

Model PAM tersebut juga termasuk model Autoregressive. Berdasar pada model awal tersebut maka persamaan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

����= �0 +�1�����+�2������+ �3������+ �4����+

�5����+�6�������+�7������+ 1−�����−1+ ��

Dimana:

INF = tingkat inflasi

BAMA = indeks harga kelompok bahan makanan

MAMIN = indeks harga kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan

tembakau

PERUM = indeks harga kelompok perumahan

SAND = indeks harga keompok sandang

KES = indeks harga kelompok kesehatan\

PENDIK = indeks harga kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga

TRANS = indeks harga kelompok transportasi dan komunikasi

β = koefisien

�� = error terms

Kemudian jangka waktu untuk kembali ke nilai alamiah maka digunakan cara yang digunakan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk kembali pada keseimbangan awal atau nilai alamiahnya setelah adanya shock dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(Gujarati, 2003)

Dimana:

p = derajat persistensi inflasi

h = lamanya waktu

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian

1. Kondisi Geografis Sumatera Utara

Sumatera Utara terletak diantara 10 – 40 Lintang Utara dan 980 – 1000 Bujur Timur. Di sebelah Utara Provinsi Sumatera Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh dan Selat Malaka, sebelah Timur dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Barat, sebelah Barat dengan Samudera Hindia.

Luas daerah Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680 Km2 atau 7.168.000 Ha, yang meliputi : Pantai Timur, Dataran Tinggi, Pantai Barat dan Kepulauan Nias. Panjang Pantai Timur ± 330 Km dan Pantai Barat ± 280 Km, jarak antara Pantai Barat dan Pantai Timur melewati pegunungan Bukit Barisan di sebelah Utara ± 220 Km sedang di bagian Selatan ± 300 Km. Luas hutan pada tahun 1982 tinggal 28% dari luas wilayah Sumatera Utara yang menyebabkan tanah krisis yakni 724 – 144 Ha serta pendangkalan sungai yang menimbulkan banjir.

Keadaan topografi bervariasi, sebahagian datar dan sebagian merupakan daerah pantai dan dataran tinggi dan ketinggian dari 0 meter di atas permukaan laut di Tanjung Balai sampai 1.418 meter di atas rata-rata berkisar 150C – 320C, dan kelembaban udara antara 83% - 89%.

(53)

diselingi oleh areal persawahan. Wilayah dataran tinggi, sebahagian besar diusahakan untuk tanaman pangan serta tanaman perkebunan rakyat dan perkebunan besar.

Akan tetapi sebagian wilayah ini sesuai dengan keamanan alamnya terdiri dari areal hutan yang tidak dimanfaatkan untuk areal pertanian disamping pada alang-alang yang luas serta tanahnya yang kurang subur. Wilayah Pantai Barat (Tapanuli Selatan) dan sebahagian daerah lainnya, beriklim agak kering dengan areal pertanian yang kurang subur. Wilayah Kepulauan Nias adalah daerah yang relatif lambat dalam perkembangan prasarana perhubungan serta perkembangan sosial budaya penduduknya. Tanahnya yang berbukit, sebahagian kurang subur apabila digunakan untuk areal pertanian terutama di pulau-pulau kecil selain Pulau Nias.

4.2 Deskripsi Data Penelitian

1. Perkembangan Inflasi Provinsi Sumatera Utara

(54)

2005 sebesar 22,41%. Berikut gambaran perkembangan Inflasi Provinsi Sumatera Utara periode 2002 – 2013 terlihat pada grafik berikut:

Gambar 4.1. Grafik Inflasi Provinsi Sumatera Utara Periode 2002 – 2013

0 4 8 12 16 20 24

02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13

INFLASI

INFLASI PROVINSI SUMATERA UTARA PERIODE 2002 - 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik diolah

Perkembangan Inflasi Provinsi Sumatera Utara periode 2002 – 2013 terlihat pergerakannya fluktuatif. Inflasi Provinsi Sumatera Utara pernah berada diposisi lebih dari 20% yaitu pada tahun 2005, hal ini disebabkan terkait kebijakan pemerintah dalam rangka menaikkan harga bahan bakar minyak.

(55)

Kenaikan BBM benar-benar membawa dampak yang cukup serius bagi keadaaan inflasi Provinsi Sumatera Utara. Ketika pemerintah menaikkan BBM pada tahun 2008, langsung diikuti oleh laju inflasi yang meningkat sampai menyentuh level 10,72%, yang sebelumnya di level 6,60% di tahun 2007. Pada tahun 2009 pemerintah berhasil meredam gejolak inflasi dan berhasil turun sampai pada posisi 2,61%, paling rendah dari semua periode pengamatan, penurunan ini disebabkan karena kebijakan penurunan harga BBM oleh pemerintah pada akhir tahun 2009.

Pada tahun 2010, kembali terjadi gejolak kenaikan inflasi pada posisi 8,00%, kenaikan ini dipicu karena harga beberapa komoditas bahan makanan, terutama cabai merah dan beras, yang dipengaruhi oleh kurangnya pasokan akibat gangguan cuaca dan gagal panen di sejumlah sentra pertanian di Sumatera Utara. Setelah itu pada tahun 2011 inflasi turun pada posisi 3,67% dan bergerak stabil sampai tahun 2012 di level 3,86%. Pada 21 Juni 2013 pemerintah kembali menaikkan harga BBM sebesar 44%, sehingga membawa dampak kenaikan inflasi yang cukup tajam di level 10,18%.

Dilihat dari Gambar 4.1. diatas secara umum perkembangan inflasi Provinsi Sumatera Utara bergerak secara berfluktuatif, dilihat dari Gambar 4.1 diatas kenaikan BBM terkait kebijakan pemerintah pusat yaitu pada tahun 2004 dan tahun 2013 menyebabkan kenaikan inflasi yang cukup tajam, secara umum guncangan (shock) inflasi di Provinsi Sumatera Utara disebabkan oleh

(56)

4.3 Hasil Analisis Data

4.3.1 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik 1. Autokorelasi

Autokorelasi merupakan gangguan pada fungsi regresi berupa korelasi diantara faktor gangguan (error term). Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa faktor pengganggu yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh faktor pengganggu pada pengamatan lainnya. Jadi, autokorelasi ialah adanya korelasi antara variabel itu sendiri pada pengamatan yang berbeda waktu dan individu. Umumnya kasus autokorelasi banyak terjadi pada data time series. Cara yang digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi antara lain:

a. Uji Durbin Watson (D-W Test)

Untuk mendeteksi terjadinya autokorelasi dilakukan perbandingan nilai

Durbin-Watson (DW)-statistik dengan nilai DW-tabel. Nilai DW-statistik dalam penelitian ini dapat diketahui dengan melihat koefisien korelasi DW-statistik (DW-test) melalui uji Durbin-Watson pada Tabel berikut ini:

Tabel 4.1. Hasil Uji Durbin Watson Test

Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.742361 0.163222 4.548162 0.0000

TPID -0.111944 0.230831 -0.484963 0.6285

R-squared 0.001654

Durbin-Watson stat 1.642706 F-statistic 0.235189 Prob(F-statistic) 0.628450

Dependent Variabel: INFLASI

(57)

Berdasarkan hasil estimasi estimasi Peranan TPID terhadap inflasi diperoleh nilai DW- statistik (hitung) sebesar 1,642706. Sedangkan pada tingkat signifikansi

= 5%), k=1 dan 144 diperoleh nilai dl= 1.7137 dan du= 1.7417.

Berdasarkan perbandingan nilai statistik (hitung) dengan nilai DW-tabel, berarti ada autokorelasi pada model regresi diatas.

b. Uji Lagrange Multiplier (LM Test)

Uji DW secara umum sangat mudah untuk dilakukan, namun banyak peneliti yang lupa asumsi yang ada pada uji DW tersebut. Asumsi dari penggunaan uji DW dalam menguji autokorelasi adalah (1) variabel penjelas atau variabel independen adalah nonstokatistik, (2) variabel error berdistribusi normal , (3) model regresi tidak termasuk variabel lag. Durbin telah membuat sebuah tes yang disebuthtest untuk menguji serial korelasi ( model lag). Namun tes tersebut tidaklah cocok, sehingga muncul tes Breusch-Godfrey test atau juga dikenal dengan LM test.

Untuk melihat autokorelasi ialah dengan menggunakan Serial Correlation LM test. Apabila nilai probabilitasnya lebih kecil dari 0,05 maka terdapat autokorelasi, sebaliknya jika nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 maka tidak terdapat autokorelasi. Hasil Pengujian adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2. Hasil Uji LM Test Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 3.131058 Probability 0.046745

Obs*R-squared 6.165265 Probability 0.045838

(58)

Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Obs*R-squared (x2 - hitung) > x2 tabel atau nilai probability lebih rendah dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hasil estimasi tersebut adalah signifikan. Dengan demikian , menurut uji serial korelasi (LM test), bahwa terdapat autokorelasi dalam hasil estimasi. Hal ini didukung oleh hasil DW test nya menunjukkan angka yang rendah.

2. Pengobatan Autokorelasi

Menurut Pratomo & Paidi Hidayat, 2007, Apabila pada hasil estimasi dijumpai ada autokorelasi, maka sebelum diobati sebaiknya memperhatikan bentuk fungsi dan persamaan yang dibuat sudah tepat. Perhatikan pula variabel-varibel penting, apakah variabel penting yang sudah dihilangkan ataukah ada kesalahan dalam spesifikasi modelnya.

Dalam menjelaskan pengobatan autokorelasi dimulai dari model persamaan yang dibentuk, yakni sebagai berikut:

Yt = a0+ ai Xµ + µt

Dimana, µt = pµt-1 + Vt

Selanjutnya model persamaan menjadi :

Yt = a0 + ai Xµ +pµt-1 + Vt

Dimana µt = error term yang mengandung autokorelasi murni, p adalah koefisien autokorelasi dan Vt adalah error termyang memenuhi asumsi klasik.

Apabila kita dapat menghilangkan

p

µ

t-1 dari persamaan diatas, maka masalah

autokorelasi akan hilang, karena error term yang tertinggal hanya Vt yang tidak

mengandung autokorelasi. Untuk menghilangkan

t-1, maka persamaan diatas

(59)

pYt-1 = pa0 + pa1 Xµ-1+ pµt-1

Selanjutnya kurangkan kedua persamaan di atas menjadi:

Yt - pYt-1 = a0(1- p) + a1(- Xµ-1) + (µt - pµt-1)

Masalahnya kita tidak mengetahui sebenarnya berapa nilai p tersebut. Untuk itu perlu dilakukan pengujian melalui transformasi model. Apabila diasumsikan nilai

p =

1

maka persamaan diatas menjadi:

Y

t

-

Y

t-1

=

a

1

(

X

µ

-

X

µ-1

) +

µ

t

Pada hasil estimasi diatas didapati adanya autokorelasi. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pengobatan atas hasil estimasi diatas. Untuk itu perlu dilakukan pembedaan pertama (first difference). Hasil estimasi persamaan tersebut adalah:

Tabel 4.3. Hasil Uji Durbin Watson Test First Difference Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.

D(TPID) -0.440000 1.774897 -0.247902 0.8046

R-squared 0.000326

Durbin-Watson stat 2.630904

Dependent Variabel: D(INFLASI)

Sumber: diolah dari Eviews 7.0

Hasil estimasi diatas dapat dituliskan ke dalam bentuk persamaan regresi yaitu:

Inflasi = inflasit-1 = 2,630904 (tpidt = tpidt-1)

(60)

Berdasarkan hasil estimasi tersebut diatas, maka metode menghilangkan autokorelasi menjadi kurang tepat, perlu selanjutnya melakukan metode kedua

untuk mengobati masalah autokorelasi dengan mencari nilai

p

yang

seseungguhnya. Pada metode ini, kita harus mengestimasi nilai

p

tersebut, yaitu

dengan menggunakan model AR(1). Dalam model ini model yang digunakan adalah :

µt = pµt-1 + pµt-2 + ...+ p0 µt-n + €t

Jika nilai p=1, maka ini disebut autoregresif berordo 1, sehingga persamaannya menjadi:

µ

t =

µ

t-1

+

€t

Model AR(1) ini dapat menjadi dasar dalam membuat perbedaan guna menghilangkan autokorelasi pada persamaan. Untuk itu, dala estimasi regresi perlu ditambahkan AR(1) sebagai variabel bebas (Pratomo & Paidi Hidayat, 2007). Hasil estimasi regresi yang baru adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4. Hasil Uji Durbin Watson Test Dengan Model AR Variable Coefficien Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.700431 0.193382 3.622000 0.0004

TPID -0.071104 0.271680 -0.261718 0.7939

AR(1) 0.166669 0.082283 2.025564 0.0447

R-squared 0.529225

Durbin-Watson stat 1.923369

Dependent Variabel: INFLASI

Sumber: diolah dari Eviews 7

Koefisien variabel AR(1) adalah sebagai berikut sebesar 0,166669. Angka tersebut merupakan nilai dari p. Untuk menuliskan hasil estimasi tersebut ke dalam persamaan dapat dilihat pada langkah berikut:

Gambar

Tabel 1.1.  Pencapaian Target Inflasi Indonesia
Gambar 2.1. Skema Kerangka Konseptual
Tabel 3.1 Teknik Analisis
Gambar 4.1. Grafik Inflasi Provinsi Sumatera Utara Periode 2002 – 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saat magnet berputar dalam kumparan akan timbul tegangan di antara kedua ujung kumparan, ini akan memberikan kenaikan pada arus bolak-balik, arus tertinggi pada saat kutub

Analisis uji beda sifat fisik tanah (porositasas, permeabilitas, BJ, BV, BO, dan Kadar Air) pada berbagai penggunaan lahan (hutan, kebun campuran, permukiman, sawah, dan

Anggaran Inspektorat Utama BPS tahun 2012 sebesar Rp4.550 juta (2011 sebesar Rp4.517,575 juta, tahun 2010 sebesar Rp5.329,63 Juta, tahun 2009 sebesar Rp5.901,89 Juta), dibiayai

Upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan hasil belajar IPA, dapat dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif STAD dengan media video compact disk, karena

Dengan tidak adanya variabel yang masuk dalam kuadran III dan IV, menunjukkan bahwa mahasiswa beranggapan tidak ada variabel yang tidak penting apalagi sangat tidak

Berdasarkan pengamatan, seperti yang terlihat dalam sistem pengelolaan wakaf tunai di Yayasan Wakaf UMI, bahwa sebagai bentuk atau bagian dana jaminan sosial, wakaf tunai

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan ramat, hidayah , serta inaah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan Tugas Akhir dengan

Rataan jumlah daun pada media perlakuan tersebut lebih banyak dibandingkan dengan tanaman krisan yang ditanam dalam media MS0, sehingga bahan organik tersebut dapat menggantikan