• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa Reproduksi Kuda Pacu Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performa Reproduksi Kuda Pacu Indonesia"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

AULIA MIFTAKHUR RAHMAN. Reproductive Performance of Indonesian

Racehorses. Under direction of AMROZI.

The efficiency of Indonesian racehorse’s reproductive strategies could be determined by its reproductive performance. This study was aimed to determine the performance and reproductive disorders of Indonesian racehorses. In 2010, there were 310 Indonesian racehorses mares examined in various stable spread on the Java Island and Madura Island. Early pregnancy examinations were generally performed on days 18 and 20 after mating using perectal ultrasonography. Pregnancy rate recorded were 65.07% (190 mares) of the 292 mares that mated one or more times. Pregnancy disorders detected were twin pregnancy (6.32% or 12 mares), early embryonic death (7.37% or 14 mares) and, 1.29% abortion from 190 pregnancy. Records of reproductive system disorder were pyometra (1.29% or 2 mares), endometritis (15.81% or 42 mares), and ovarian hypofunction (4.52% or 13 mares) of all mares were checked.

(2)

PERFORMA REPRODUKSI KUDA PACU INDONESIA

AULIA MIFTAKHUR RAHMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Performa Reproduksi Kuda Pacu Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yangberasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Aulia Miftakhur Rahman

(4)

ABSTRACT

AULIA MIFTAKHUR RAHMAN. Reproductive Performance of Indonesian

Racehorses. Under direction of AMROZI.

The efficiency of Indonesian racehorse’s reproductive strategies could be determined by its reproductive performance. This study was aimed to determine the performance and reproductive disorders of Indonesian racehorses. In 2010, there were 310 Indonesian racehorses mares examined in various stable spread on the Java Island and Madura Island. Early pregnancy examinations were generally performed on days 18 and 20 after mating using perectal ultrasonography. Pregnancy rate recorded were 65.07% (190 mares) of the 292 mares that mated one or more times. Pregnancy disorders detected were twin pregnancy (6.32% or 12 mares), early embryonic death (7.37% or 14 mares) and, 1.29% abortion from 190 pregnancy. Records of reproductive system disorder were pyometra (1.29% or 2 mares), endometritis (15.81% or 42 mares), and ovarian hypofunction (4.52% or 13 mares) of all mares were checked.

(5)

RINGKASAN

AULIA MIFTAKHUR RAHMAN. Performa Reproduksi Kuda Pacu

Indonesia. Di bawah bimbingan AMROZI.

Performa reproduksi kuda pacu Indonesia perlu diketahui untuk menentukan strategi efisiensi reproduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan dan gangguan reproduksi kuda di Indonesia. Selama tahun 2010, tercatat sebanyak 310 ekor kuda pacu indonesia betina diperiksa di berbagai stable yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Madura, Indonesia. Pemeriksaan kebuntingan dini dilakukan pada hari 18 dan 20 setelah kawin menggunakan ultrasonografi secara perektal. Tingkat keberhasilan kebuntingan mencapai 65,07% (190 ekor) dari satu atau lebih perkawinan (292 ekor). Gangguan kebuntingan yang tercatat adalah kebuntingan kembar sebanyak 6,32% (12 ekor), kematian embrio dini sebanyak 7,37% (14 ekor) dan, abortus sebanyak 1,29% dari 190 kebuntingan. Gangguan sistem reproduksi yang tercatat adalah pyometra sebanyak 1,29% (2 ekor), endometritis sebanyak 15,81% (42 ekor), dan hipofungsi ovari sebanyak 4,52% (13 ekor) dari seluruh kuda yang diperiksa.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PERFORMA REPRODUKSI KUDA PACU INDONESIA

AULIA MIFTAKHUR RAHMAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Skripsi : Performa Reproduksi Kuda Pacu Indonesia

Nama : Aulia Miftakhur Rahman

NIM : B04070194

Disetujui

drh. Amrozi, Ph.D Pembimbing

Diketahui

drh. Agus Setiyono, M.S. Ph.D. APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamiin, atas Rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan

kepada nabi Muhammad SAW. Skripsi yang berjudul Performa Reproduksi Kuda

Pacu Indonesia merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana

Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada drh. Amrozi, Ph.D sebagai

guru dan pembimbing yang telah ikhlas memberikan ilmu-ilmunya dan

membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini menjadi karya tulis yang

baik. Serta ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin

Septyaningtijas, M.Sc. dan drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D sebagai dosen penguji

yang telah memberikan saran kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu serta

adik-adik penulis yang selalu memberi dukungan. Ucapan terima kasih juga

penulis sampaikan kepada Kementerian Agama yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan sarjana. Terima kasih

penulis sampaikan kepada Dewi, Mas Danang, Mbak Ade, Anang, Bagus, Junto,

serta teman-teman Ikalum, SRC dan Gianuzzi 44.

Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu

pengetahuan di Indonesia.

Bogor, Maret 2012

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Trenggalek, Jawa Timur pada

tanggal 17 Desember 1988 dari Ayah Subagyo dan Ibu

Istikomah. Penulis adalah putra pertama dari tiga

bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah

dasar di SDN 1 Kamulan Durenan Trenggalek tahun 2001,

sekolah menengah pertama di SMPN 1 Kauman

Tulungagung tahun 2004, dan sekolah menengah atas di

SMA Darul Ulum 2 Jombang tahun 2007.

Penulis masuk pendidikan sarjana tahun 2007 di Institut Pertanian Bogor

melalui jalur BUD Kementerian Agama RI. Selama mahasiswa, penulis aktif di

Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) IKALUM, Himpunan Minat dan Profesi

(HIMPRO) Satwa Liar, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FKH IPB, Majelis

Permusyawaratan Mahasiswa (MPM KM) IPB, dan klub olahraga berkuda

(11)

ix

Kuda Generasi dan Kuda Pacu Indonesia ... 3

Sistem Reproduksi Kuda Betina ... 3

Ultrasonografi ... 7

Kebuntingan Kembar ... 10

Kematian Embrio Dini ... 11

Pelaksanaan Penelitian ... 17

Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Performa Reproduksi ... 18

Kebuntingan Kembar ... 22

(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Gambaran lateral dari saluran reproduksi kuda betina. ... 4

Gambar 2 Siklus estrus kuda. ... 6

Gambar 3 Salah satu pencitraan ultrasonografi perektal B-mode. ... 9

Gambar 4 Skema representasi uterus kuda yang tidak bunting ... 9

Gambar 5 Gambaran ultrasonografi kebuntingan kuda ... 18

Gambar 6 Kebuntingan kuda 24 hari ... 19

Gambar 7 Gambaran ultrasonografi uterus kuda kebuntingan kembar ... 22

Gambar 8 Pyometra pada kuda. ... 27

Gambar 9 Gambaran ultrasonografi uterus kuda endometritis... 28

(13)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Jumlah kuda yang terdaftar di Biro Registrasi Kuda Indonesia 2010. ... 3

Tabel 2 Performa reproduksi kuda ... 20

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Angka kebuntingan kuda secara liar dapat mencapai 90% dari populasi

induk kuda dan bahkan dapat lebih tinggi, sedangkan kuda yang didomestikasi

angka kebuntingannya lebih rendah. Penurunan angka kebuntingan ini dapat

disebabkan oleh kurangnya latihan fisik, ketersediaan pakan dan penyakit serta

faktor-faktor lain (Blakely dan Bade 1991). Kurangnya latihan fisik

menyebabkan otot-otot pada saluran reproduksi cenderung lemah sehingga

menurunkan kemampuan pertahanan fisik terhadap kuman penyebab gangguan

reproduksi.

Tingkat konsepsi dan tingkat kelahiran selama satu musim perkawinan

sering diekspresikan sebagai pengukuran performa reproduksi. Beberapa faktor

yang dianggap penting untuk efisiensi peternakan adalah usia kuda, status

reproduksi kuda, dan masa perkawinan (Bruck et al. 1993; Morris dan Allen 2002). Peningkatan performa reproduksi kuda dapat dicapai dengan perbaikan

sistem manajemen dan meminimalkan adanya gangguan reproduksi. Gangguan

reproduksi yang umum terjadi pada kuda antara lain disfungsi ovari, kista ovari,

granulosa cell tumor, endometritis, pyometra, abortus dan kematian embrio dini

(Arthur 1969; Dawson 1977).

Industri ternak kuda di Indonesia sudah mulai berkembang dengan

munculnya kuda persilangan Thoroughbred dengan kuda lokal Indonesia yang digunakan sebagai kuda pacu. Kuda persilangan tersebut termasuk yearround breeders yang mengalami estrus dan ovulasi sepanjang tahun (Hafez 1993). Siklus estrus dan ovulasi kuda di Indonesia dapat berlangsung sepanjang tahun

sehingga diharapkan tingkat penampilan reproduksi dapat lebih baik dibandingkan

dengan daerah yang memiliki empat musim. Hal tersebut dikarenakan peluang

perkawinan kuda lebih banyak sehingga angka kebuntingan dapat lebih tinggi.

Berbeda dengan kuda di daerah empat musim yang musim kawinnya hanya

berlangsung pada musim semi. Namun demikian, performa reproduksi kuda di

Indonesia belum diketahui dengan tepat. Pengamatan saluran reproduksi melalui

(15)

uterus yang mengalami gangguan reproduksi, dengan harapan akan dapat

mendiagnosis dengan cepat dan tepat sehingga dapat meningkatkan performa

reproduksi kuda (Goddard 1995). Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian

yang diharapkan mampu untuk menggambarkan penampilan reproduksi dan

gangguan reproduksi kuda di Indonesia.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan reproduksi dan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kuda Generasi dan Kuda Pacu Indonesia

Kuda pacu Indonesia (KPI) merupakan kuda Indonesia hasil grading up

dari kuda betina Indonesia dengan pejantan Thoroughbred sampai generasi ketiga (G3) dan generasi keempat (G4) atau hasil perkawinan diantaranya yang memiliki

sertifikat kuda pacu Indonesia yang terdaftar pada biro registrasi kuda.

Perkembangan perkudaan di Indonesia mengikuti arah persilangan terhadap darah

Thoroughbred dengan sistem persilangan grading up sesuai keputusan Pordasi tahun 1975. Grading up adalah usaha persilangan untuk membentuk ras baru yang memanifestasikan karakter tertentu dengan cara menyilangkan betina lokal

dengan pejantan ras lain yang diinginkan. Komposisi darah kuda pacu Indonesia

hasil grading up adalah 87,5% darah kuda Thoroughbred dan 12,5% darah kuda lokal untuk G3, 93,75% darah kuda Thoroughbred dan 6,25 % darah kuda lokal untuk G4, dan 90,625% darah kuda Thoroughbred dan 9,375% darah kuda lokal untuk perkawinan G4 x G4. Jumlah kuda pacu Indonesia sampai tahun 2010

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah kuda yang terdaftar di Biro Registrasi Kuda Indonesia tahun 2009 - 2010 (Widyananta 2011).

Jenis Kuda Jumlah Total Kuda di tahun 2009 (ekor)

Pemahaman mengenai anatomi normal saluran reproduksi kuda betina

sangat penting untuk membedakan antara kondisi normal dan kelainan reproduksi.

Tampilan morfologi bagian caudal saluran reproduksi dan kondisi normal

perineum sangat penting untuk menjaga fertilitas kuda. Distorsi umum dari

anatomi normal dapat menyebabkan adanya udara di dalam vagina sehingga

(17)

(England 2005). Saluran reproduksi kuda betina berbentuk tubular seperti huruf

“Y”. Perineum, vulva, vagina dan serviks membentuk serangkaian pelindung bagi

struktur yang lebih halus di bagian lebih dalam (uterus, tuba fallopi dan ovarium)

yang berfungsi untuk memproduksi gamet, fertilisasi dan perkembangan embrio

(Morel 2005). Ilustrasi saluran reproduksi kuda betina terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Gambaran lateral dari saluran reproduksi kuda betina. Sumber: Morel (2005).

Tipe uterus kuda menurut Morel (2005) disebut uterus simpleks bipartitus

karena ukuran corpus uteri lebih besar dari kornua uteri dengan perbandingan 60 :

40. Posisi uterus dapat berubah-ubah akibat tingkat pengisian vesika urinaria atau

usus. Corpus uteri terletak di cranial pelvis bagian ventral dan caudal abdomen.

Uterus yang normal terletak di dorsal, dorso-lateral atau lateral vesika urinaria.

Corpus uteri memiliki panjang sekitar 20-25 cm dan diameter 8-12 cm. Bagian

cornua memiliki diameter yang semakin mengecil pada bagian ujungnya.

Ketebalan dinding uterus dan tonus miometrium sangat bervariasi tergantung

status reproduksi dan umur. Kebuntingan menyebabkan distorsi yang mencolok

dari bentuk uterus (England 2005).

Ovarium kuda umumnya terletak di bagian paling anterior dari saluran

reproduksi pada kuda yang tidak bunting. Ukuran ovarium berkisar antara 6

sampai 8 cm panjangnya dan 3 sampai 4 cm lebarnya dengan rata-rata berat 70

(18)

daripada ovarium kiri. Ovarium memiliki dua fungsi yaitu sebagai kelenjar

eksokrin yang menghasilkan gamet dan kelenjar endokrin yang memproduksi

hormon (Blanchard et al. 2003).

Panjang siklus estrus pada kuda berlangsung selama 22 hari dengan panjang

fase estrus 5-7 hari (Aurich 2011). Sedangkan kuda bangsa Caspian memiliki

siklus estrus, lama estrus, dan diestrus sepanjang 22.1±0.40, 8.3±0.86 dan 13.8±

0.59 hari secara berturut-turut (Shirazi et al. 2005). Panjang siklus estrus juga dipengaruhi oleh tahap reproduksi, 21,2 ± 1,8 hari dalam keadaan menyusui dan

22,8 ± 1,4 hari pada-kuda yang tidak menyusui (Heidler et al. 2004). Durasi estrus bergantung pada jenis spesies dan bervariasi satu sama lain dalam spesies

yang sama, dan terkait dengan waktu pencapaian ovulasi, pada kuda adalah 4-6

hari setelah mulainya estrus atau 1-2 hari sebelum akhir estrus. Panjang siklus

estrus dan waktu ovulasi bervariasi dalam hubungannya dengan faktor-faktor

eksternal maupun internal (Hafez 1993). Namun, kuda tua memiliki interval

siklus estrus dapat lebih lama daripada kuda muda dan usia pertengahan karena

tingkat pertumbuhan folikel dominan lebih lambat (Ginther et al. 2008).

Ovarium kuda betina memiliki struktur yang unik ditandai dengan ukuran

yang sangat besar (35-120 cm3) dan berat (40-80 g) jika dibandingkan dengan

spesies hewan domestik lainnya (Kimura et al. 2005), adanya fosa ovulasi dan lokasi yang terbalik antara korteks dengan medula. Selama satu siklus estrus

terdapat satu sampai dua gelombang folikel berbeda yang berkembang. Sebuah

gelombang folikular pertama bisa terjadi pada awal fase luteal. Folikel dominan

pada gelombang awal mungkin tidak ovulasi dan mengalami regresi, tetapi

peningkatan konsentrasi progesteron dapat menyebabkan terjadinya ovulasi.

Kuda poni biasanya mengembangkan satu gelombang folikel, sementara dua

gelombang folikel adalah khas dari kuda Thoroughbred dan Warmblood (Ginther 2000).

Munculnya setiap gelombang folikel secara temporal dikaitkan dengan

lonjakan FSH. FSH mencapai puncaknya ketika folikel terbesar mencapai ukuran

sekitar diameter 13 mm (Gastal et al. 1997). Selanjutnya, FSH menurun dengan konsentrasi yang tidak mendukung pertumbuhan folikel skunder lebih lanjut tetapi

(19)

Perkembangan folikel praovulasi dan ovulasi kuda berbeda dari spesies hewan

ternak lainnya. Folikel praovulasi jauh lebih besar dan pecah di bagian fosa

ovulasi. Setelah folikel skunder deviasi, folikel praovulasi tumbuh pada tingkat

rata-rata 3 mm per hari sampai sekitar 35 mm pada empat hari sebelum ovulasi.

Pertumbuhan terus terjadi hingga 2 hari sebelum ovulasi ketika ukuran folikel

mencapai sekitar 40 mm (Ginther et al. 2008). Namun, folikel praovulasi dapat tumbuh sampai dengan ukuran 55 mm atau lebih, dengan diameter praovulasi

yang konsisten serupa dalam siklus berturut-turut (Cuervo-Arango dan

Newcombe 2008).

Korpus luteum (CL) kuda membesar ke bagian internal dari ovarium dan

tidak menonjol ke permukaan ovarium luar seperti pada spesies lain. CL kuda

memiliki bentuk pearlike dan terdiri dari kompartemen kecil dengan tekstur permukaan yang kasar (Kimura et al. 2005). Struktur CL kuda dibentuk oleh sel-sel luteal dan non-luteal. Sel luteal dari kuda ini tidak berasal dari teka, tetapi

berasal eksklusif dari sel granulosa dari folikel praovulasi. Saat ovulasi, sel teka

berada pada berbagai tahap degenerasi dan kemudian diganti oleh fibroblas

hipertrofi (van Niekerk et al. 1975).

Gambar 2 Siklus estrus kuda. Siklus estrus berkisar antara 21-22 hari dengan 4-7 hari fase folikular dan 14-15 hari fase luteal (Blanchard et al. 2003).

Pada kuda, konsentrasi progesteron segera meningkat pada saat ovulasi

terlihat pada Gambar 2. Konsentrasi progesteron maksimal dicapai pada hari ke-8

setelah ovulasi dan kemudian perlahan-lahan menurun sampai timbulnya luteolisis

(20)

paralel dan progresif dalam luas penampang rata-rata CL dari hari ke-4 hingga

hari ke-19 siklus (Ginther et al. 2007). Seperti spesies lain, fungsi CL kuda berada di bawah kendali estrogen dan progesteron melalui mekanisme umpan

balik negatif terhadap LH.

Luteolisis dalam kuda ditandai oleh penurunan konsentrasi progesteron

darah di sekitar hari 15-17 dari siklus (Ginther et al. 2005). Sinyal awal untuk luteolisis adalah sekresi PGF2α oleh endometrium selama fase luteal akhir yang

dirangsang oleh oksitosin dari endometrium dan hipotalamus. PGF2α disekresikan

ke dalam sirkulasi perifer dan tidak ada sistem arus lokal counter (yaitu antara vena uterus dan arteri ovarium) (Aurich 2011).

Ultrasonografi

Peralatan instrumentasi ultrasonografi (USG) modern telah tersedia dalam

berbagai varian, dan memungkinkan bagi sebagian besar manusia untuk

mengoperasikannya dengan mudah, namun demikian, harus disertai dengan

pemahaman yang baik terhadap sifat fisika ultrasonografi dan interaksi fungsi

peralatan dengan jaringan untuk memperoleh hasil yang baik. Kualitas gambar

yang dihasilkan juga akan sangat dipengaruhi oleh keterampilan seorang

sonographer. Diagnostik ultrasonografi menggunakan prinsip pulse-echo yang dapat menghasilkan gambar pada tayangan scanner yang berhubungan dengan

accoustis impedance atau resistensi jaringan yang dijumpai ultrasound

(gelombang suara frekuensi tinggi). Ultrasound tidak dapat berpindah melalui udara (acoustic barrier). Medium terbaik untuk penghantaran ultrasound adalah cairan dan dihantarkan melalui kompresi atau penghalusan gelombang-gelombang

(Goddard 1995).

Menurut Barr (1988) terdapat tiga jenis echo yang digunakan sebagai

prinsip dasar dalam mendeskripsikan gambar pada sonogram, yaitu;

1. Hyperechoic; echogenic artinya echogenitas terang, menampakkan warna putih pada sonogram atau memperlihatkan echogenitas yang lebih tinggi

dibandingkan sekelilingnya, contohnya tulang, udara, kolagen dan lemak.

2. Hypoechoic; echopoor menampilkan warna abu-abu gelap pada sonogram atau memperlihatkan area dengan echogenitas lebih rendah dari pada

(21)

3. Anechoic yang menunjukkan tidak adanya echo, menampilkan warna hitam pada sonogram dan memperlihatkan transmisi penuh dari gelombang

contohnya cairan.

Pemerikasaan menggunakan USG memiliki potensi penting untuk

pemeriksaan pada saluran reproduksi kuda, seperti penggunaan x-ray untuk

pemeriksaan kaki. Prinsip-prinsip USG didasarkan pada kemampuan dari

berbagai jaringan dan berisi cairan yang mampu mencerminkan atau menyebarkan

gelombang suara frekuensi tinggi. Sebuah sinar suara dipancarkan dari sebuah

transduser, dilakukan secara perektal. Proporsi sinar yang dipantulkan (bergema)

diterima oleh transduser, dikonversi menjadi impuls listrik, dan ditampilkan pada

layar sebagai gambar bergerak. Struktur yang berisi cairan tidak mencerminkan

gelombang suara dan tampak hitam di layar. Pada ekstrem yang lain, jaringan

padat mencerminkan banyak balok dan tampak putih. Jaringan lain terlihat dalam

berbagai warna dari skala abu-abu, tergantung pada echogenisitasnya

(kemampuan untuk mencerminkan gelombang suara). Formasi jaringan tertentu

dapat menyebabkan gelombang suara untuk menekuk (membiaskan), dipantulkan

kembali dan bergaung, atau menjadi lemah (dilemahkan) atau seluruhnya diblokir.

Oleh karena itu artefak dapat muncul pada layar dan harus diinterpretasikan oleh

ultrasonographer tersebut. Kemampuan alat USG untuk menghasilkan gambar

yang baik tergantung pada frekuensi gelombang suara yang diukur dalam satuan

megahertz (MHz). Sebuah transduser 5 MHz lebih cocok untuk memeriksa

saluran reproduksi kuda daripada transduser 3 atau 3,5 MHz yang tersedia secara

umum (Ginther dan Pierson 1984).

Pemerikasaan saluran reproduksi kuda dengan USG menggunakan

gambaran B-mode. Gambaran B-mode merupakan pencitraan gelombang suara

jamak. Echo yang direfleksikan akan memberikan gambaran berupa titik atau dot

pada layar monitor. Posisi yang terlihat pada layar merupakan posisi dari refleksi

struktur organ. Kekuatan dari echo ditunjukkan oleh keterangan berupa titik pada

layar sehingga gambaran dua dimensi menunjukkan potongan organ yang

ditampilkan pada layar. Gambaran B-mode hanya menampilkan echo yang kuat.

(22)

seperti gambaran yang tidak begitu jelas (Mannion 2006). Gambaran hasil

pencitraan B-mode dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Salah satu pencitraan ultrasonografi perektal B-mode. Kiri: folikel praovulatori. Kanan: udema uterus pada kuda masa estrus atau birahi (Aurich 2011).

Gambar 4 Skema representasi uterus kuda yang tidak bunting, menunjukkan posisi tranduser USG pada cornua uteri (a) dan corpus uteri (b).

Persiapan untuk pemeriksaan USG secara perektal mirip dengan persiapan

untuk pemeriksaan perektal, tetapi ada pertimbangan lain, seperti perlindungan

peralatan dan manajemen pencahayaan eksternal. Sebuah transduser jenis linier-array digenggam dan umumnya berorientasi pada bidang sagital sehubungan dengan tubuh kuda itu. Gambaran dari serviks dan corpus uteri berorientasi

longitudinal, dan corpus uteri adalah cross-sectional. Saat penggunaan USG, berkas suara umumnya bergerak melintang sehubungan dengan tubuh kuda dan

gambar dari serviks dan corpus uteri adalah cross-sectional dan gambar cornua adalah longitudinal atau miring. Ilustrasi teknik pemeriksaan USG pada saluran

reproduksi kuda betina ditunjukkan pada Gambar 4. Ketersediaan instrumen

(23)

dokter hewan untuk meningkatkan pengetahuan tentang anatomi dan patologi

reproduksi (Ginther dan Pierson 1984).

Masalah yang terjadi akibat turunnya fertilitas dan gangguan selama

kebuntingan dapat mempengaruhi performa reproduksi kuda. Gangguan yang

terjadi selama kebuntingan kuda yang umum terjadi yaitu kebuntingan kembar,

kematian embrio dini dan abortus. Baberapa masalah yang dapat menurunkan

fertilitas pada kuda antara lain silent heat, hipofungsi ovari dan infeksi saluran

reproduksi yang mengakibatkan endometritis maupun pyometra (England 2005).

Kebuntingan Kembar

Asal terbentuknya kebuntingan kembar umumnya adalah dizigotik.

Zigositas mengacu pada asal kembar. Kembar dizigotik berasal dari dua buah

oosit yang dibuahi secara terpisah oleh dua spermatozoa. Sedangkan monozigotik

mengacu pada kembar identik yang berasal dari pembuahan satu oosit. Tiga hal

umum yang telah dikenal mengenai kebuntingan kembar, yaitu kembar berulang

pada indukan yang sama, tingkat kebuntingan kembar bervariasi berdasarkan

jenis, dan pejantan yang sangat fertil. Secara historis kebuntingan kembar

menyebabkan kerugian ekonomi karena akan terjadi aborsi, kematian fetus atau

embrio, atau kelahiran anak kuda kerdil. Kuda yang mengalami aborsi

menyebabkan terjadinya kerusakan pada saluran reproduksi dan sulit untuk

dikembangbiakan lagi (McKinnon et al. 2011).

Ovulasi ganda dapat terjadi pada kuda. Tingkat ovulasi ganda dipengaruhi

oleh berbagai faktor seperti ras, status reproduksi, usia dan manipulasi

farmakologis dari siklus estrus. Kejadian spontan ovulasi ganda bervariasi antara

sekitar 2% pada poni dan 25% pada thoroughbred. Ketika dua folikel dominan

(dua folikel> 28mm) berkembang dalam gelombang folikel yang sama, ovulasi

ganda terjadi pada sekitar 40% dari kuda (Ginther et al. 2008). Ini dapat terjadi serentak (dalam waktu 12 jam), namun interval sampai dua hari dan lebih telah

dilaporkan antara ovulasi dan dapat menyebabkan pembentukan kebuntingan

kembar. Pada 2,5 hari sebelum ovulasi, tingkat pertumbuhan folikel dominan

dalam kuda berovulasi ganda lebih rendah daripada kuda berovulasi tunggal

mengakibatkan diameter folikel praovulasi lebih kecil pada kuda berovulasi

(24)

rendah, kemungkinan besar karena konsentrasi estradiol yang lebih tinggi dari dua

folikel preovulatori (Ginther et al. 2008). Kematian Embrio Dini

Kematian embrio dini umumnya didefinisikan sebagai kegagalan

kebuntingan yang terjadi hingga hari 40 dari kebuntingan, sesuai dengan masa

transisi dari tahap embrio ke tahap fetus dari perkembangan kebuntingan.

Diagnosis kematian embrio dini dan faktor yang berkontribusi telah ditingkatkan

secara luas menggunakan pemerikasaan ultrasonografi transrektal untuk diagnosis

awal kebuntingan. Kondisi di lapangan secara umum, pemeriksaan USG rutin

digunakan untuk diagnosis kebuntingan pada hari 12-14 setelah ovulasi,

sedangkan untuk penelitian digunakan pada hari 10-11. Pemeriksaan USG

memungkinkan secara langsung untuk menilai konseptus selama sekitar fase tiga

perempat kebuntingan ketika terjadi kematian embrio dini. Penggunaan

ultrasonografi untuk pemeriksaan kebuntingan kuda pada hari 10 sampai 14

setelah ovulasi memungkinkan untuk evaluasi insidensi kematian embrio pada

hari 14 sampai 40. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa peningkatan umur

kuda menurunkan tingkat kebuntingan dan meningkatkan angka kematian embrio

dini. Insidensi kematian embrio dini akhir-akhir ini mencapai sekitar 7,7%.

Sebelum hari 10, pemeriksaan USG tidak dapat mendeteksi konseptus awal secara

akurat. Embrio kuda memasuki uterus pada hari 6 sampai 7, sehingga penurunan

jumlah dan kelangsungan viabilitas blastosis terkait dengan abnormalitas uterus,

oviduk atau perlekatan embrio. Beberapa penelitian telah mempelajari karakter

awal embrio kuda selama perjalanan di oviduk pada berbagai usia dan fertilitas.

Perkiraan kematian embrio dini antara fertilisasi sampai hari 10 adalah 10% pada

kuda muda dan 80-90% pada kuda tua. Meskipun tingkat kebuntingan serupa

pada hari 2 antara kuda muda dan tua, tetapi setelah 4 hari fertilisasi reduksi

kebuntingan sangat signifikan terjadi pada kuda tua. Temuan ini menyarankan

bahwa periode kritis dalam kegagalan kebuntingan terjadi pada hari 2 sampai 4

(25)

Abortus

Aborsi berarti pengeluaran isi kandungan sebelum waktu kelahiran normal.

Abortus dapat terjadi pada kuda di paddock dan tidak akan teramati karena kuda biasanya tidak menunjukkan adanya efek setelah abortus dan fetus yang keluar

dimakan oleh predator. Aborsi dapat terjadi akibat ketiadaan atau hilangnya

korpus luteum. Lama kebuntingan kuda biasanya tidak terprediksikan, oleh

karena itu perbandingan kelahiran normal dengan kelahiran dini sulit

didefinisikan. Deskripsi selanjutnya melihat kemampuan anak kuda untuk

mampu bertahan hidup (England 2005).

Tingkat aborsi sebesar 10% setelah 60 hari kebuntingan biasanya terjadi

pada kuda. Aborsi kuda dapat dibagi menjadi non-infeksi (70%), infeksi (15%)

dan tidak diketahui (15%). Dalam prakteknya, penting untuk membedakan

penyebab aborsi menular dari non-menular. Pengeluaran cairan dari vagina,

laktasi dini dan kolik pada kuda bunting dapat mengindikasikan akan terjadi

aborsi. Ketika aborsi terjadi, kuda betina itu harus diisolasi, sejarah dicatat dan

fetus dikirim ke laboratorium untuk nekropsi. Pemeriksaan post-mortem

dilakukan pada hati, paru-paru, timus, limpa dan chorioallantois harus dikirimkan

dalam larutan salin untuk pemeriksaan histologis. Selain itu, sampel beku hati

segar dan paru-paru fetus harus disimpan dalam deep freeze pada -20 ° C untuk investigasi isolasi virus jika dibutuhkan pada tahap berikutnya. Sampel serum

dari kuda pasien dan sekelompok juga harus diambil untuk investigasi serologis.

Swab dari jantung atau hati dan chorion fetus digunakan untuk screening infeksi bakteri. Fetus dan selaput fetus (amnion, chorioallantois dan tali umbilikus) harus

diperiksa hati-hati untuk adanya kelainan dan perubahan warna (McKinnon et al.

2011).

Pyometra

adalah akumulasi eksudat inflamasi dalam jumlah besar di dalam uterus

yang menyebabkan distensi. Distensi tersebut harus dibedakan dari akumulasi

cairan yang dapat dideteksi oleh ultrasonografi pada endometritis akut. Pyometra

terjadi karena interferensi dengan drainase alami cairan dari uterus yang mungkin

karena adesi, abnormalitas atau cervix tidak teratur. Pada beberapa kasus, cairan

(26)

tersebut. Faktor predisposisi adalah infeksi kronis P. aeruginosa atau fungi. Ketika endometrium rusak parah, ada kehilangan luas permukaan epitel,

endometrium fibrosis dan atrofi kelenjar menyebabkan fase luteal

berkepanjangan, mungkin karena gangguan pada sintesis atau pelepasan PGF2α.

Hal ini kontras dengan endometritis ringan dengan koleksi sejumlah kecil cairan

intraluminal uterus yang lebih mungkin menyebabkan pelepasan dini PGF2α dan

luteolisis (Noakes et al. 2008).

Beberapa dokter membatasi istilah pyometra, selain akumulasi eksudat

dalam lumen uterus, korpus luteum berlangsung di luar rentang masa normal.

Beberapa kuda dengan pyometra telah normal dan aktivitas siklus ovarium

kembali teratur. Persistensi korpus luteum mungkin karena kegagalan sintesis dan

atau pelepasan prostaglandin dari uterus. Kuda induk yang memiliki aktivitas

luteal berkepanjangan memiliki kerusakan endometrium terbesar. Kuda betina

dengan pyometra jarang menunjukkan tanda-tanda penyakit sistemik bahkan

ketika ada hingga 60 liter eksudat dalam lumen uterus. Jarang ada penurunan

berat badan, depresi dan anoreksia. Pyometra telah diklasifikasikan ke dalam dua

kategori pada kuda, yaitu terbuka dan tertutup. Dalam kasus pyometra tertutup,

cairan terakumulasi karena cervix tertutup. Dalam pyometra terbuka, cervix tetap

terbuka, tetapi bahan purulen terakumulasi karena pembersihan uterus terganggu.

Discharge atau kotoran pada vulva sering diamati dalam pyometra terbuka, terutama pada saat birahi, yang mungkin bervariasi konsistensinya dari encer

sampai seperti krim. Meskipun pembiakan swab endometrium kadang-kadang

dapat mengakibatkan pertumbuhan berbagai macam organisme atau

kadang-kadang tidak ada pertumbuhan bakteri sama sekali, dalam kebanyakan kasus

organisme terisolasi adalah S. Zooepidemicus (Noakes et al. 2008).

Diagnosis pyometra adalah berdasarkan palpasi perektal, pemeriksaan USG

dari uterus yang membesar berisi cairan dan analisis cairan uterus. Karena tidak

munculnya tanda penyakit sistemik, kasus pyometra sering menjadi kronis

sebelum pengobatan dilakukan. Dalam beberapa kasus memiliki prognosis buruk

karena kerusakan endometrium yang parah, yang tidak mungkin untuk dapat

(27)

Endometritis

Endometritis adalah masalah utama dalam memaksimalkan tingkat konsepsi

dan tingkat kelahiran. Beberapa penelitian terbaru tentang endometritis telah

meningkatkan pemahaman tentang patogenesis dan menghasilkan metode yang

lebih efektif untuk meminimalkan pengaruhnya terhadap kesuburan. Kegagalan

pengeluaran secara mekanik terhadap cairan, kotoran dan sel-sel radang dari

lumen uterus diakui sebagai faktor predisposisi utama yang terkait dengan

perkembangan penularan endometritis (Reed et al. 2004). Endometritis dilaporkan sebagai penyakit ketiga paling umum terjadi pada kuda (Card 2005).

Endometritis meliputi perubahan endometrium yang terkait dengan

peradangan akut atau kronis. Perubahan ini dimodulasi oleh sistem kekebalan

lokal dan dipengaruhi sistem hormonal. Endometritis yang terjadi pada kuda

setelah kawin alami maupun buatan merupakan reaksi peradangan sebagai respon

terhadap keberadaan sperma dalam uterus, tetapi endometritis akut ini tampaknya

merupakan peradangan normal dan akan hilang setelah 2-3 hari. Deteksi cairan

uterus dengan ultrasonografi perektal 24 jam setelah kawin menunjukkan

tertundanya proses pembersihan (clearance). Endometritis akut yang diinduksi melalui proses perkawinan merupakan kejadian klinis yang diakui sebagai

penyebab utama infertilitas (Reed et al. 2004), disebut juga sebagai persistent mating-induced endometritis/post-coital endometritis/the susceptible mare. Endometritis akut merupakan konsekuensi alami dari infeksi mikrobiologi

oportunistik pada uterus, umumnya terjadi pada saat partus atau kawin (Zerbe et al. 2003). Endometritis akut mirip proses peradangan akut yang terjadi pada jaringan lain pada kuda dan respon yang signifikan terjadi 30 menit setelah infeksi

eksperimental yang ditandai peningkatan neutrofil (Pycock dan Allen 1990).

Pengamatan pada kuda betina yang resisten terhadap endometritis menunjukkan

bahwa neutrofil yang terdapat pada saat estrus lebih aktif dibandingkan dengan

neutrofil yang dikoleksi pada saat fase luteal (Asbury dan Hansen 1987).

Konsentrasi PGF intra uteri dipengaruhi oleh tahapan siklus dan dapat

menginduksi endometritis akut yang dapat menggangu fungsi normal ovarium.

Kuda induk dengan endometritis persisten memiliki konsentrasi PGF, protein total

(28)

induk normal. Penelitian Watson et al. (1987) mengemukakan bahwa sel darah putih yang diambil dari kuda endometritis mampu menghasilkan PGF dan PGE2

secara invitro. PGE2 yang terdeteksi setelah infeksi merupakan proses

imunoreaktif (Pycock dan Allen 1990).

Endometritis persisten dianggap sebagai penyakit multifaktorial yang

berkaitan dengan buruknya anatomi saluran reproduksi, gangguan kontraktilitas

miometrium, gangguan sistem kekebalan, produksi lendir yang berlebih dan

drainase limfatik yang tidak memadai. Peradangan uterus merupakan sebuah

mekanisme pertahanan akibat gangguan kontraktilitas miometrium dan akumulasi

produk radang di dalam lumen uterus rentan menyebabkan endometritis.

Akumulasi cairan di dalam lumen uterus mempengaruhi fertilitas dengan

menurunkan motilitas dan viabilitas sperma atau menyebabkan kegagalan

implantasi embrio jika endometritis berlangsung pada hari ke-5 dan ke-6 setelah

ovulasi (saat embrio berpindah dari oviduk ke lumen uterus) (Rohrbach et al

2007). Tingkat IgA, IgG dan IgG(T) secara umum lebih tinggi dihasilkan dari

kuda endometritis daripada kuda normal (Asbury et al. 1980). Hipofungsi Ovari

Hipofungsi ovari merupakan kegagalan folikel mengalami perkembangan

dalam kurang lebih 21 hari atau satu siklus normal kuda. Hipofungsi ovari

menurunkan efisiensi reproduksi dan menyebabkan kerugian ekonomi peternak.

Faktor penyebab hipofungsi ovari dapat dihubungkan dengan ketidakcukupan

nutrisi, umur yang sudah tua dan terapi iatrogenik. Kondisi tubuh yang buruk

dapat mempengaruhi performa reproduksi kuda, termasuk memperpanjang onset

ovulasi pertama pada musim kawin, menurunkan tingkat kebuntingan dan

meningkatkan kematian embrio dini. sedangkan kuda dengan kondisi tubuh yang

bagus akan cenderung menunjukkan siklus estrus yang normal selama musim

kawin (McKinnon et al. 2011).

Kuda tua (umur >20 tahun) mengalami penurunan performa reproduksi

yang berhubungan dengan perubahan fungsi ovari, kesehatan kandungan,

konformasi perineal dan faktor lainnya. Kuda tua memiliki masa interval

interovulatori yang lebih panjang dibandingkan dengan kuda yang lebih muda,

(29)

kuda tua juga semakin berkurang sehingga kesempatan untuk berkembangnya

folikel dan ovulasi semakin sedikit. Pemberian anabolik steroid, glukokortikoid,

dan gonadal steroid dapat menghambat perkembangan folikel. Pemberian

anabolik steroid pada dosis rendah menyebabkan kuda lebih agresif atau

menunjukkan sifat kejantanan, ketika digunakan pada dosis tinggi akan

menghambat aktifitas ovari dan menghasilkan kegagalan perkembangan folikel

(30)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2011 di

beberapa peternakan kuda di Pulau Jawa dan Madura.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini menggunankan kuda induk yang diperiksa kebuntingannya

atau organ reproduksinya. Kuda-kuda yang diamati adalah keturunan kuda

persilangan induk betina lokal dan pejantan Thoroughbred atau pejantan persilangan juga. Kuda hasil persilangan dikenal sebagai kuda G atau KPI.

Pemeliharaan kuda dilakukan secara intensif dengan pakan tambahan yang

berbeda-beda sesuai dengan manajemen masing-masing peternakan. Umur kuda

induk bervariasai antara 3–23 tahun, dara atau sudah pernah beranak. Perkawinan

kuda dilakukan secara alami.

Pemeriksaan organ reproduksi dilakukan dengan pemeriksaan perektal

dengan alat ultrasonografi (ALOKA SSD-500, Aloka Co.Ltd, Japan), linear probe

5 MHz (ALOKA UST-588U-5, Aloka Co. Ltd. Japan) dilengkapi printer (SONY, UP-895 MD, Video Graphic Printer, Japan). Pemeriksaan dilakukan minimal 3

kali yaitu sebelum perkawinan, 18-20 hari setelah perkawinan dan 30-45 hari

setelah perkawinan.

Analisis Data

Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di berbagai peternakan

kuda dan mengikuti kegiatan pemeriksaan dan penanganan kasus pasien. Data

sekunder diperoleh dari rekam medik pasien kuda Unit Rehabilitasi Reproduksi.

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Reproduksi

Selama tahun 2010 tercatat sebanyak 310 kuda betina diperiksa. Kuda

tersebut adalah kuda poni hasil persilangan kuda Thoroughbred dengan kuda lokal Indonesia atau yang lebih dikenal kuda G atau KPI. Kuda yang diperiksa berasal

dari berbagai peternakan kuda di pulau Jawa dan Madura. Perkawinan kuda-kuda

ini dilakukan secara alami. Musim kawin kuda di Indonesia berlangsung pada

bulan September hingga Januari. Hal ini berhubungan dengan perhitungan umur

kuda bagi peserta lomba pacuan kuda PORDASI, dimana perhitungan umur kuda

dimulai pada tanggal 1 Agustus setiap tahun bukan pada tanggal 1 Januari.

Sedangkan kegiatan Pacuan Kuda Derby Indonesia dilaksanakan pada minggu

terakhir bulan Juli setiap tahun. Perbedaan umur beberapa bulan saja prestasi

kuda sudah menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan baik tenaga, napas,

kekuatan otot dan lain-lain.

Gambar 5 Gambaran ultrasonografi kebuntingan kuda: (a) adanya massa anechoic pada kebuntingan 16 hari terlihat vesikel (V). (b) kebuntingan 18 hari, bentuk vesikel tidak membulat lagi. (c) kebuntingan 40 hari,massa echoic adalah embrio (E) berukuran sekitar 35 mm, kantong kuning telur (Y) sudah mengecil dan mulai terbentuk tali umbilikus (tanda panah) serta amnion (A) yang mengembang.

Sebenarnya di Indonesia yang termasuk wilayah tropis, semua kuda dapat

dikawinkan sepanjang tahun. Sedangkan di belahan bumi utara musim kawin

berlangsung pada April sampai Juni atau Mei sampai Juli (Hafez 1993) dan di

(32)

belahan bumi selatan (Australia) berlangsung pada September sampai Desember

(Osborne 1966).

Pengamatan USG untuk menentukan kebuntingan kuda paling efektif

dilakukan pada hari ke-18 sampai ke-20 setelah perkawinan, gambaran USG

vesikel sudah mulai tidak membulat dan ditandai adanya perkembangan

endometrium seperti pada Gambar 5. Hal ini berhubungan dengan siklus estrus

kuda sekitar 21 hari. Ketika hasil pemeriksaan menunjukkan negatif, dapat segera

dikawinkan ulang sebelum masa estrus berakhir.

Pengamatan kebuntingan sebelum hari ke-18 dapat dilakukan mengingat

terbentuknya vesikel pada hari ke-12 dan masa implantasi atau fiksasi vesikel

berlangsung pada hari ke-16 (England 2005). Tetapi beberapa pengamatan

menunjukkan ukuran vesikel sangat kecil bahkan belum terlihat sehingga belum

bisa dikatakan positif bunting dan harus dilakukan pemeriksaan ulang.

Pemeriksaan ulang umumnya dilakukan antara hari ke-30 hingga ke-45 setelah

kawin. Pemeriksaan ulang bertujuan untuk memastikan kebuntingan kuda. Pada

hari-hari tersebut embrio mengalami masa akhir perkembangan menjadi fetus dan

terbentuk tali umbilikus. Sebaiknya transportasi kuda dilakukan setelah dilakukan

pemeriksaan ulang untuk menghindari kematian embrio dini.

Gambar 6 Kebuntingan kuda 24 hari ditandai adanya embrio (tanda panah) pada uterus disertai estrus ditunjukkan oleh folikel dominan (DF) sekitar 35 mm.

Penggunaan ultrasonografi sebagai alat diagnosa kebuntingan pada kuda

sangat efisien karena membantu peternak mengetahui kondisi kebuntingan kuda

sejak dini. Sehingga kerugian ekonomi akibat penantian kepastian kondisi

(33)

bunting yang tidak pasti dapat dicegah. Secara tradisional, peternak mengetahui

bahwa kuda yang bunting tidak mengalami estrus atau birahi pada periode siklus

berikutnya setelah kawin. Tetapi, beberapa kasus menunjukkan kelainan tingkah

laku betina seperti estrus semu dan silent heat terlebih pada kuda yang menyusui (England 2005). Gambaran USG kuda bunting yang juga mengalami estrus

ditunjukkan pada Gambar 6. Peternak melaporkan bahwa telah terjadi perkawian

pada kuda bunting yang mengalami estrus semu mengakibatkan keguguran fetus.

Perilaku estrus tersebut telah dilaporkan oleh Hayes dan Ginther (1989)

berlangsung pada hari 12, 13, 14, 18, 40, atau sampai hari 60.

Pencatatan yang dilakukan pada akhir musim hanya diperoleh tingkat

keberhasilan kebuntingan mencapai 65,07% (190 ekor) dari satu atau lebih

perkawinan (292 ekor) seperti pada Tabel 2. Sedangkan kuda yang tidak

dikawinkan sebanyak 18 ekor. Hal ini dinilai cukup rendah bila dibandingkan

tingkat kebuntingan di negara lain seperti kuda Thoroughbred di Swedia sebesar 90,9% (Hemberg et. al. 2004), Spanyol sebesar 72.78% dan India sebesar 85.25% (Sharma et. al. 2010).

Tabel 2 Performa reproduksi kuda

Status Reproduksi Kuda Jumlah (ekor) Persentase (%)

Kawin 292 94,19

Bunting 190 65,07

Tidak Bunting 102 34,93

Tidak Kawin 18 5,81

Total 310 100

Rendahnya angka kebuntingan tersebut terutama dipengaruhi oleh

perbedaan manajemen dari masing-masing stable. Angka kebuntingan juga

dipengaruhi oleh jumlah kuda yang diternakan, terdapat kecenderungan semakin

banyak kuda akan semakin menurun angka kebuntingan. Hal ini dapat

disebabkan oleh kurangnya sumberdaya manusia untuk mengatur perkawinan

kuda. Umumnya stable-stable tersebut berkonsentrasi pada pacuan kuda dan

belum ada pembagian khusus pengelolaan antara breeding dengan perlombaan. Stable yang manajemen breeding nya cukup bagus yaitu Pamulang Stable,

Manfaat Stable, Tonsea Stable dan King Halim Stable. Jumlah ideal bagi

(34)

sangat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan, pakan, jumlah pejantan dan

sumberdaya manusia. Stable yang memiliki kuda cukup banyak seperti Aragon

Stable (31 ekor), Bintang Madura Stable (17 ekor), Tombo Ati Stable (22 ekor)

dan KTS Stable (33 ekor) lebih kesulitan mengelola program breeding-nya, sehingga didapatkan angka kebuntingan yang rendah. Tingkat kebuntingan di

beberapa stable di Indonesia disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat kebuntingan kuda di beberapa stable.

Stable Jumlah kuda yang

Selain faktor-faktor yang dibahas di atas, variabel lain yang dapat

mempengaruhi kinerja reproduksi kuda adalah kesuburan, nutrisi dan manajemen

pejantan. Sejauh ini, studi tentang kesuburan pejantan (Davies Morel dan

Gunnarsson 2000; Morris dan Allen 2002) sangat mempengaruhi tingkat

kesuburan. Kondisi tubuh juga mempengaruhi nilai kebuntingan. Laporan

Henneke et al (1984) menunjukkan bahwa kuda dengan kondisi tubuh yang kurang pada 90 hari prepartum hingga 90 hari postpartum hanya menghasilkan

angka kebuntingan sebesar 50%. Sementara itu, nutrisi yang tidak cukup dalam

jangka panjang dapat menurunkan kesuburan kuda yang berkaitan dengan

ketidakmampuan mempertahankan fungsi luteal (van Niekerk FE.dan van Niekerk

CH 1998). Hal ini dapat sangat berpengaruh sekali bagi efisiensi reproduksi

(35)

rendah untuk nutrisi kuda. Selain itu, pengetahuan peternak kuda akan kecukupan

nutrisi kuda sangat sedikit dan biasanya diternakkan secara tradisional.

Kebuntingan Kembar

Kejadian kebuntingan kembar sebesar 6,32% (12 ekor) dari 190

kebuntingan. Kebuntingan kembar pada kuda Thoroughbred di Jerman yang dilaporkan oleh Merkt dan Jöchle pada tahun 1993 sebesar 2,5% dari 27.465

kebuntingan selama kurun waktu antara 1967 dan 1992. Namun, angka ini

menurun dari 2,7% sebelum 1984 menjadi 1,7% pada tahun berikutnya.

Sedangkan laporan Sharma et al. (2010) angka kebuntingan kembar 10.70% dari total kebuntingan. Kebuntingan kembar kuda Thoroughbred di Polandia sebesar 3,3% pada tahun 1952-1976. Sebanyak 73% dari kuda bunting kembar tersebut

terjadi abortus sebesar 73%, still birth sebesar 11% dan yang hidup sebesar 16% (Deskur 1985). Kebanyakan kebuntingan sebesar 57,57% secara unilateral dan

41.50% secara bilateral.

Gambar 7 Gambaran ultrasonografi uterus kuda dengan kebuntingan kembar ditandai dengan adanya dua vesikel (V) anechoic.

Kebuntingan kembar menyebabkan kerugian ekonomi karena

mengakibatkan kematian embrio dini, abortus atau fetus sangat jarang sekali

tumbuh sempurna hingga lahir (Wolc et al. 2006). Identifikasi kebuntingan kembar dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG. Keberadaan lebih dari satu

vesikel anechoic seperti terlihat pada Gambar 7 pada awal kebuntingan

merupakan indikasi kebuntingan kembar. Sebanyak 11 kasus kebuntingan

kembar dilaporkan hanya satu yang berhasil lahir. Namun, hanya satu anak yang

(36)

berhasil lahir dan satu fetus telah mengalami mumifikasi. Ada beberapa peternak

yang berusaha mereduksi jumlah fetus dengan cara mengurangi asupan pakan

tetapi hal tersebut tidak berhasil. Begitu pula terapi enekluasi tidak menunjukkan

hasil yang positif.

Dua kasus kebuntingan kembar diindikasikan sebagai akibat sinkronisasi

estrus menggunakan PGF2α. Penggunaan PGF2α dapat memicu ovulasi lebih dari

satu folikel apabila ada lebih dari satu folikel dengan diameter lebih dari 25 mm.

Hal ini telah diteliti oleh Veronesi et al. (2003) bahwa penggunaan hormon untuk sinkronisasi seperti hCG, PGF2α atau kombinasi hCG dan PGF2α dapat

menginduksi kebuntingan kembar. Selain itu penelitian embrio transfer oleh

Mancill et al. (2011) menyebabkan kebuntingan kembar monozigotik yang kesemuanya mengalami kematian. Umur yang sudah tua (lebih dari 16 tahun)

menunjukkan kecenderungan kebuntingan kembar lebih tinggi dibandingkan

dengan kuda yang lebih muda (Deskur 1985).

Penelitian yang dilakukan Ginther (1987) menunjukkan bahwa ukuran

vesikel antara kuda dengan satu ovulasi dan kuda dengan lebih dari satu ovulasi

tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada hari ke-14. Penghilangan atau

enukleasi yang dilakukan oleh Merkt dan Jöchle (1993) pada salah satu embrio

dari 69 kasus memberikan hasil terbaik jika dilakukan pada hari ke-21 hingga 26

kebuntingan dan menghasilkan 80% keberlangsungan gestasi. Pemeriksaan USG

oleh Ginther (1989) setelah enuklesi menunjukkan reduksi embrio meningkat

secara signifikan ketika vesikel fiksasi secara unilateral, bukan bilateral, dan

ketika ukuran vesikel tidak setara diameternya. Selain itu juga perlu diperhatikan

porsi terbesar dari dinding kantong kuning telur, kantong alantois atau

vaskularisasi berada pada vesikel atau endometrium. Reduksi embrio pada porsi

dinding embrio yang lebih besar menempel pada endometrium mengakibatkan

embrio kekurangan asupan maternal dan akan mengalami regresi. Pembatasan

asupan pakan untuk menghindari kebuntingan kembar dengan cara melemahkan

konseptus sulit untuk dikelola. Pengurangan asupan pakan selama satu siklus

sebelum kawin pada tiga kuda dengan sejarah kebuntingan kembar menghasilkan

(37)

Kematian Embrio Dini

Kematian embrio dini pada kuda umumnya didefinisikan sebagai kegagalan

kebuntingan yang terjadi setelah fertilisasi hari ke-40 sampai 60 hari umur

kebuntingan. Kematian embrio diketahui saat pemeriksaan ulang yang dilakukan

umumnya pada hari ke 30 sampai 50 kebuntingan. Pada pemeriksaan ulang tidak

ditemukan perkembangan embrio atau tanda-tanda kebuntingan. Jumlah kematian

embrio dini yang tercatat sebanyak 7,37% (14 ekor) dari total 190 kebuntingan.

Vanderwall (2008) menyatakan bahwa rata-rata kejadian kematian embrio dini

pada berbagai studi sebesar 8,6% dengan kisaran antara 3,0 sampai 24,0%. Angka

kematian embrio dini paling tinggi antara 20 sampai 30% terjadi pada kuda tua

dengan usia lebih dari 18 tahun.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kematian embrio dini

diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: intrinsik, ekstrinsik dan embrionik. Faktor

intrinsik meliputi penyakit endometrium, ketidakcukupan progesteron, usia induk,

laktasi, waktu inseminasi, tempat fiksasi embrio intrauterin, dan kelainan

kromosom induk. Faktor ekstrinsik meliputi stres, nutrisi, cuaca atau iklim,

palpasi perektal atau ultrasonografi, manipulasi gamet dan semen. Faktor

embrionik meliputi anomali kromosom atau karakter lain embrio, dapat

dipengaruhi faktor ekstrinsik dan ekstrinsik (Vanderwall 2008).

Menurut Vanroose et al. (2000) kematian embrio dini paling sering terjadi sehari setelah fertilisasi dan selama proses implantasi. Penyebab kematian embrio

dapat dibagi menjadi infeksius dan noninfeksius. Patogen spesifik maupun non

spesifik dapat menginfeksi embrio dan lingkungannya. Patogen pada uterus

menyebabkan kematian embrio dini dengan merubah endometrium (endometritis)

atau langsung merusak embrio (sitolitik). Penelitian mengenai mekanisme

kematian embrio dini yang dilakukan Ivkov et al. (1998) menunjukkan bahwa embrio yang mati lebih cenderung mengalami penyerapan daripada dikeluarkan

melewati cerviks. Embrio yang mati lebih baik dikeluarkan daripada mengganggu

kondisi uterus, sehingga kuda lebih cepat dikawinkan kembali.

Kematian embrio dini dapat dihindari dengan mengubah manajemen atau

melalui treatment sesuai dengan kondisi individu kuda. Hal utama secara umum

(38)

tubuh yang optimal, vaksinasi dan pemberian obat cacing yang rutin, dan menjaga

hewan tidak stres. Gangguan spesifik individu kuda seperti ketidakcukupan

estrogen dapat diterapi dengan pemberian progesteron estrogenik. Terapi ini

dapat mencegah luteolisis dan menjaga fungsi CL. Aspek penting manajemen

klinik bagi kematian embrio dini adalah menentukan faktor penyebab spesifik

pada kuda yang memiliki sejarah kematian embrio dan pada kuda tua untuk segera

dilakukan treatment yang tepat sehingga dapat dikawinkan sesegera mungkin.

Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan rutin dengan jangka waktu yang lebih

pendek (10 hari sekali) sampai umur kebuntingan 60 hari, kemudian dengan

frekuensi pemeriksaan diturunkan (Vanderwall 2008).

Abortus

Kejadian abortus yang tercatat sebesar 1,29% (2 ekor) dari 190 kebuntingan.

Kejadian di lapangan mungkin dapat lebih banyak lagi, mengingat kasus ini bukan

hasil diagnosa ultrasonografi. Laporan oleh Merkt dan Jöchle pada tahun 1993

menunjukkan 6.5% abortus dari seluruh kebuntingan terjadi pada kuda

thoroughbred. Data diperoleh dari informasi kondisi kuda ketika pemerikasaan

USG untuk mengetahui kondisi saluran reproduksi post abortus. Kasus abortus

umumnya akan diikuti oleh endometritis atau pyometra. Kerugian yang

ditimbulkan akibat abortus tidak hanya kehilangan anak atau keturunan tetapi juga

menyebabkan pengafkiran induk.

Kematian fetus dan abortus memiliki banyak kemungkinan penyebab, tetapi

kasus aktual pada setiap individu sulit untuk dipahami. Beberapa teknik untuk

mengetahui kematian fetus antara lain pemeriksaan serologis hormon atau protein

feto-placental atau fetal (seperti oestrone sulphate, PAG1 atau PSP60) dan pemeriksaan biofisik dengan ultrasonografi untuk melihat fetal heart rate (FHR) dan fetal movements (FM). Idealnya kedua pemeriksaan tersebut tidak dilakukan secara tersendiri, tetapi keduanya dapat saling melengkapi (Jonker 2004).

Faktor-faktor yang menyebabkan abortus menurut Jonker (2004) yaitu

masalah pada tali umbilikus, bisa terjadi torsio atau iskemia, kebuntingan kembar,

edema plasenta, contracted foal syndrome, gangguan hormonal, infeksi fetoplacental dan placentitis. Infeksi yang terjadi pada akhir kebuntingan

(39)

adalah bakteri. Bakteri penyebab antara lain penyebab penyakit veneral (seperti

Taylorella equigenitalis, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Rhodococcus equi, Leptospira spp.) atau bakteri umum di lingkungan (E. coli, Streptococcus zooepidemicus, Staphylococcus aureus). Pada tahun 1997, Madić

e. al. melaporkan kejadian outbreak abortus pada 21 ekor kuda dari 26 kuda bunting yang terinfeksi Salmonella abortusequi.

Infeksi virus biasanya menyebabkan abortus pada masa akhir kebuntingan.

Virus penyebab abortus pada kuda antara lain equine viral arteritis (EVA), equine

herpesvirus-1 (EHV 1) dan equine herpesvirus-4 (EHV-4). Apabila terjadi

abortus akibat infeksi, tindakan yang dilakukan adalah kuda harus diisolasi, alas

kandang dibersihkan, dan semua area didesinfeksi (Davies Morel 2005; Smith et al. 2003 dan Giles et al. 1993). Infeksi fungi bisa diakibatkan oleh Aspergillus, Mucor, dan Candida. Selain itu, dapat juga diakibatkan oleh infeksi parasit seperti Trypanosomum equiperdum, Mycoplasma dan Babesia (Jonker 2004).

Abortus dapat terjadi akibat gangguan hormonal seperti hilangnya fungsi

luteal. Tetapi kasus abortus yang dilaporkan oleh Bosu dan McKinnon (1982)

menunjukkan bahwa pemberian preparat prostaglandin sintetik, prostalene, pada

empat ekor kuda tidak mengakibatkan abortus. Penggunaan prostalene tersebut

menghasilkan relaksasi cerviks, peningkatan tonus uterus dan penurunan

konsentrasi plasma progesteron.

Pyometra

Kejadian pyometra yang ditemukan sebesar 1,29% (2 ekor) dari seluruh

kuda yang diperiksa. Gejala klinis pyometra yang dapat tampak dari luar adalah

keluarnya eksudat atau materi purulen dari vulva. Biasanya eksudat tersebut akan

menempel dan mengering di rambut ekor seperti terlihat pada Gambar 8.

Pemeriksaan USG pada kasus pyometra ditunjukkan dengan adanya gambaran

echoic, hypoechoic, dan anechoic di dalam uterus yang mengindikasikan adanya

massa cairan bercampur padatan. Adanya cairan pyometra dapat dibiaskan

dengan lendir estrus. Perbedaan keduanya adalah adanya bagian yang lebih

echoic pada bagian ventral dibandingkan bagian medial dan dorsal akibat adanya

endapan massa purulen pada pyometra seperti terlihat pada Gambar 8, sedangkan

(40)

menjelaskan pemeriksaan USG pyometra yang menunjukkan adanya massa

purulen ditandai dengan gambaran yang relatif anechoeic tetapi juga berisi

titik-titik echogenic.

Gambar 8 Pyometra pada kuda. (a) Gambaran ultrasonografi lumen uterus yang mengalami pyometra dengan akumulasi cairan anechoic bercampur dengan eksudat hypoechoic-echoic. Pada bagian ventral (tanda panah) terlihat lebih echoic merupakan endapan eksudat. (b) Gejala klinis kuda yang mengalami pyometra. Eksudat keluar dari vulva dan sebagian menempel pada ekor (tanda panah).

Pyometra tidak selalu menunjukkan gejala penyakit sistemik atau keluarnya

lendir purulen dari vulva, tetapi beberapa kuda akan menunjukkan

ketidaknyamanan ketika latihan atau beraktivitas. Temuan klinis yang dilaporkan

oleh Cozens (2009) pada kasus pyometra adalah lethargy dan pyrexia.

Pemeriksaan post mortem menunjukkan pembesaran cornua uteri yang berisi

materi purulen. Kultur bakteri dari materi purulen tersebut diperoleh biakan

Streptococcus zooepidemicus dan Pseudomonas spp. kedua isolat bakteri menunjukkan sensitivitas gentamicin, ceftiofur, enrofloxacin, dan rifampicin.

Kasus yang terjadi di lapangan kebanyakan sulit untuk diobati. Hal ini

dikarenakan pyometra sudah berlangsung kronis sehingga tingkat kerusakan

endometrium sebagai tempat implantasi embrio sudah parah. Kasus pyometra

dapat diawali dari temuan endometritis yang berangsur-angsur berkembang

menjadi pyometra. Ataupun pyometra berhasil diterapi dan hanya diindikasikan

sebagai endometritis. Tujuan dari pengobatan pyometra adalah untuk

(41)

menghilangkan materi purulen dari uterus. Beberapa tindakan yang dilakukan

yaitu dengan cara flushing atau mengeluarkan materi purulen dengan cara disedot

menggunakan selang secara pervaginal. Volume materi purulen yang dapat

dikeluarkan bisa mencapai lebih dari 1 liter. Pengobatan yang dilakukan antara

lain menggunakan PGF2α, multivitamin kompleks, oxytocin, povidone iodine, atau

kombinasi antibiotik gentamicine dan flumequine.

Teknik pengobatan yang disarankan oleh Noakes et al. (2008) adalah menginduksi luteolisis korpus luteum jika ada dengan preparat PGF2α pada tahap

awal. Pemberian PGF2α membuat cerviks relaksasi dan memungkinkan

perlekatannya terbuka. Selain PGF2α, estradiol juga dapat digunakan untuk

mengendurkan cerviks. Selanjutnya materi purulen dikeluarkan dengan cara

flushing, kemudian diterapi menggunakan kombinasi antibiotik spektrum luas dan

oxytocin untuk menuntaskan pengeluaran eksudat. Setelah itu, pengamatan USG

harus rutin dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi uterus. Hal yang

perlu dicermati apabila terapi yang dilakukan berhasil adalah kuda tersebut tetap

harus diperhatikan ketika akan dikawinkan. Beberapa kasus kronis akan sulit

diterapi, untuk itu terapi terakhir adalah histerektomi. Terapi ini akan mencegah

kontaminasi peritoneum.

Endometritis

Gambar 9 Gambaran ultrasonografi uterus kuda yang mengalami endometritis (hypoechoic) ditandai adanya garis-garis hypoechoic-hyperechoic pada lumen uterus (tanda panah).

Kasus endometritis merupakan masalah terbesar dalam reproduksi kuda.

(42)

Gambaran ultrasonografi uterus yang mengalami endometritis adalah terlihat

adanya massa berbentuk garis-garis tipis hypoechoic-echoic pada lumen uterus

seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Tingkat keparahan endometritis dapat variatif

dan dapat dilihat dari besarnya garis-garis yang terbentuk.

Faktor predisposisi endometritis yaitu kondisi fisiologis uterus. Clearance

atau pembersihan uterus secara fisik selama estrus berbeda antara kuda yang fertil

dan infertil. Kuda yang mengalami endometritis akan terjadi akumulasi lendir

estrus dan tidak dapat membersihkan bakteri di dalam uterus. Sedangkan kuda

yang fertil akan sangat cepat mengeluarkan bakteri dari dalam uterus sehingga

tidak terjadi akumulasi cairan. Endometritis dapat diakibatkan adanya gangguan

kontraksi uterus. Penelitian yang dilakukan oleh Troedsson et al. (1993) secara in vivo menunjukkan bahwa kuda yang mengalami endometritis memiliki aktivitas

mioelektrik yang tertunda dan lebih rendah intensitasnya. Menurut LeBlanc

(2003) perubahan anatomis sudut vulva menyebabkan tertahannya pengeluaran

discharge dan bakteri dari luar lebih mudah masuk kedalam uterus. Konformasi

vulva lebih ke caudal sedangkan anus lebih cranial dapat disebabkan kondisi

tubuh menurun dan genetik. peregangan ligamen akibat seringnya beranak

mengakibatkan posisi uterus turun di dalam abdomen. Posisi uterus yang lebih

ventral akan menyulitkan pengeluaran akumulasi cairan di dalam uterus akibat

gravitasi.

Terapi endometritis yang dilakukan meliputi pemberian obat secara

langsung maupun saran-saran perbaikan manajemen kepada klien. Terapi tersebut

berhasil mengembalikan kondisi uterus dan kuda dapat bunting. Jumlah kuda

yang berhasil diterapi sebanyak 20 ekor. Pemberian antibiotik kombinasi

gentamicine dan flumequine, PGF2α, oxytocin, dan multivitamin dilakukan sesuai

dengan kondisi kuda. Pemilihan antibiotik kombinasi gentamicine dan

flumequine untuk menghilangkan bakteri baik gram positif maupun gram negatif.

Pemberian PGF2α dimaksudkan untuk mengendurkan cerviks sehingga eksudat

dapat keluar. Oxytocin berguna untuk membantu meningkatkan tonus uterus

sehingga discharge yang tertimbun dapat dikeluarkan (Hurtgen 2006).

Menurut Hurtgen (2006), pemilihan terapi endometritis pada kuda

(43)

memiliki resiko dan resistensi. Endometritis sangat sulit dipelajari karena

memiliki cakupan yang luas terhadap variabel-variabel penyebab pada kuda.

Sebaiknya kasus akut, kronik atau persistent mating-induced endometritis tidak diterapi dengan standar yang sama. Diagnosis penyebab utama sebaiknya

dilakukan untuk mengetahui secara spesifik penyebab infeksi untuk diperoleh

terapi yang tepat. Penelitian yang dilakukan oleh Nielsen (2005) untuk

menentukan diagnosis endometritis yang memiliki nilai sensitivitas dan prediksi

yang akurat adalah menggunakan metode kultur bakteri dan cytologi dari biopsi

endometrium.

Hipofungsi Ovari

Gambar 10 Gambaran ovarium yang mengalami gangguan perkembangan folikel (hipofungsi), ditunjukkan dengan gambaran folikel dengan ukuran kecil-kecil (kurang dari 20 mm) dan ketiadaan corpus luteum baik pada ovarium kanan maupun kiri.

Hipofungsi ovari merupakan gangguan perkembangan folikel sehingga kuda

tidak mengalami estrus dan ovulasi dalam satu siklus normal. Kasus yang tercatat

mencapai 4,52% (13 ekor) dari seluruh kuda yang diperiksa. Informasi peternak

umumnya menyatakan bahwa kuda tersebut tidak pernah birahi meskipun sudah

didekatkan dengan pejantan pemacek. Pemeriksaan ultrasonografi biasanya sulit

untuk mencari posisi ovarium karena ukurannya kecil. Ovarium tersebut tidak

memiliki folikel yang berkembang, hanya massa anechoic yang berukuran kurang

dari 20 mm seperti terlihat pada Gambar 10. Terapi yang dilakukan untuk

memicu perkembangan ovarium adalah pemberian injeksi multivitamin dan terapi

hormonal.

Gangguan perkembangan folikel dapat diakibatkan oleh berbagai faktor.

(44)

atau bahkan jerami dan sedikit dedak tidak cukup untuk menghasilkan performa

aktivitas ovarium yang normal. Tampilan fisik luar kuda belum tentu

menunjukkan kondisi ovarium yang bagus. Untuk itu, pemeriksaan ultrasonografi

penting untuk dilakukan bagi kuda yang hendak dikawinkan. Kuda yang

diternakkan umumnya merupakan kuda yang baru mengikuti pacuan. Hal ini

sangat dimungkinkan kuda tersebut banyak diberi steroid untuk meningkatkan

performa pacunya. Steroid tersebut dapat mempengaruhi fungsi hormon

reproduksi. Menurut McCue (2007) jumlah steroid yang digunakan dalam dosis

sedikit menyebabkan kuda betina menunjukkan sikap seperti pejantan dan

pengguanan steroid dosis tinggi menghambat aktivitas ovarium sehingga terjadi

kegagalan perkembangan folikel. Pengaruh steroid ini biasanya tidak cukup

hanya diterapi dengan multivitamin. Pemberian hormon dapat digunakan sebagai

(45)

SIMPULAN

Performa reproduksi kuda pacu Indonesia cukup rendah dengan berbagai

gangguan reproduksi yaitu kebuntingan kembar, kematian embrio dini, abortus,

pyometra, endometritis, dan hipofungsi ovari. Pemeriksaan kebuntingan efektif

dilakukan pada hari 18 sampai 20 setelah perkawinan terakhir menggunakan

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Arthur GH. 1969. The ovary of the mare in health and disease. Equine. Vet. J. 1: 153–156.

Asbury AC, dan Hansen PJ. 1987. Effects of susceptibility of mares to endometritis and stage of cycle on phagocytic activity of uterine-derived neutrophils. J. Reprod. Fertil. Suppl. 35:311-6.

Asbury AC, Halliwell REW, Foster GW, dan Longino SJ.1980. Immunoglobulins in uterine secretions of mares with differing resistance to endometritis.

Theriogenology 14:299-308.

Aurich C. 2011. Reproductive cycles of horses. Anim. Reprod. Sci. 124: 220-228. Barr FJ. 1988. Diagnostic Ultrasound in The Dog and Cat. Oxford: Blackwell

Scientific Pub.

Blakely J, dan Bade DH. 1991. Ilmu Peternakan Edisi ke IV. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr.

Blanchard TL, Varner DD, Love CC, Brinsko SP, Rigby SL, dan Schumacher J.

2003. Manual of Equine Reproduction. Ed ke-2. USA: Mosby Inc.

Bosu WTK, dan McKinnon AO. 1982. Induction of abortion during midgestation in mares. Can Vet. J. 23:358-360.

Bruck I, Anderson GA, dan Hyland JH. 1993. Reproductive performance of Thoroughbred mares on six commercial stud farms. Austr. Vet. J. 70: 299–303. Card C. 2005. Post-breeding inflammation and endometrial cytology in mares.

Theriogenology 64:580-588.

Cozens ERW. 2009. Pyometra and complete vaginal adhesion in a miniature horse. Can. Vet. J. 50:971–972.

Cuervo-Arango J, dan Newcombe JR. 2008. Risk factors for the development of haemorrhagic anovulatory follicles in the mare. Reprod. Domest. Anim.

45:473–480.

Davis Morel MCG, dan Gunnarsson V. 2000. A survey of the fertility of Icelandic stallions. Anim. Reprod. Sci. 64:49–64.

Davies Morel MCG. 2005. Breeding Horses. UK: Blackwell Publishing Ltd. Dawson FL. 1977. Recent advances in equine reproduction. Equine. Vet. J. 9:4–

(47)

Deskur S. 1985. Twinning in Thoroughbred mares in Poland. Theriogenology

23:711-718.

England GCW. 2005. Fertility and Obstetrics in the Horse. Ed ke-3. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

Gastal EL, Gastal MO, Bergfelt DR, dan Ginther OJ. 1997. Role of diameter differences among follicles in selection of a future dominant follicle in mares.

Biol. Reprod. 57(6):1320-7.

Giles RC, Donahue JM, Hong CB, Tuttle PA, Petrites-Murphy MB, Poonacha KB, Roberts AW, Tramontin RR, Smith B, dan Swerczek TW. 1993. Causes of abortion, stillbirth, and perinatal death in horses: 3.527 cases (1986-1991). J. Am. Vet. Med. Assoc. 203:1170-1175.

Ginther OJ, dan Pierson RA. 1984. Ultrasonic anatomy and pathology of the equine uterus. Theriogenology 21:505-516.

Ginther OJ. 1987. Relationships among number of days between multiple ovulations, number of embryos, and type of embryo fixation in mares. J. Equine. Vet. Sci. 7: 82-88.

Ginther OJ. 1989. Twin embryos in mares II: post fixation embryo reduction. Eq. Vet. J. 21: 171–174.

Ginther OJ. 2000. Selection of the dominant follicle in cattle and horsee. Anim. Reprod. Sci. 60-61:61-79.

Ginther OJ, Gastal EL, Gastal MO, dan Beg MA. 2005. Regulation of Circulating Gonadotropins by the Negative Effects of Ovarian Hormones in Mares. Biol. Reprod.73:315–323

Ginther OJ, Gastal EL, Gastal MO, dan Beg MA. 2007. Effect of prostaglandin F2alpha on ovarian, adrenal and pituitary hormones and luteal blood flow in mares. Domest. Anim. Endocrinol. 32:315–328.

Ginther OJ, Gastal EL, Gastal MO, dan BegMA. 2008. Dynamics of the equine preovulatory follicle and periovulatory hormones: what's new? J. Equine. Vet. Sci. 28: 454–460.

Goddard PJ. 1995. Veterinary Ultrasonography. England: CAB International. Hafez ESE, editor: 1993. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-6. Philadelphia:

Lea & Febiger.

Gambar

Gambar 1 Gambaran lateral dari saluran reproduksi kuda betina. .................... 4
Gambar 1 Gambaran lateral dari saluran reproduksi kuda betina.
Gambar 2 Siklus estrus kuda. Siklus estrus berkisar antara 21-22 hari dengan 4-7 hari fase
Gambar 3 Salah satu pencitraan ultrasonografi perektal B-mode. Kiri: folikel praovulatori
+7

Referensi

Dokumen terkait