LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nur Farhana Puteri binti Hamdan Tempat / Tanggal Lahir : Ipoh, Perak, Malaysia / 8 Januari 1991
Agama : Islam
Alamat : Jalan Dr. Mansur, Gang Kenari No. 6, Kelurahan Padang Bulan, Medan Selayang, 20131 Medan Orang Tua : Ayah : Hamdan bin Mohamed Shith
Ibu : Nur Amalina Lee binti Abdullah Riwayat Pendidikan : 1. SK Jelapang, Ipoh (1998-2001)
2. SK Jati, Ipoh (2002-2003) 3. SMK Jati, Ipoh (2004-2008)
4. Universiti Malaya, KL (2009-2010)
5. Universitas Sumatera Utara (2010-Sekarang) Riwayat Organisasi : 1. Setiausaha Kelas, SK Jati (2002-2003)
2. Setiausaha Kelas, SMK Jati (2004-2008) 3. Setiausaha Kadet Remaja Sekolah, SMK Jati
(2006-2008)
4. Setiausaha Kelab Komputer, SMK Jati (2006) 5. Pengerusi Kelab Komputer, SMK Jati (2007-
2008)
6. Setiausaha Kelab Badminton, SMK Jati (2008) 7. Setiausaha Rumah Sukan Uranus, SMK Jati
LAMPIRAN 6
DATA INDUK
NO. UMUR
KELOMPOK UMUR
JENIS
KELAMIN STATUS GIZI
TINGKAT PENDIDIKAN
ORANG TUA
1 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar
2 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
3 13 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
4 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar
5 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk
Sekolah Menengah Atas
6 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
7 2 0-4 tahun Perempuan Gizi Buruk Sekolah Dasar
8 2 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
9 12 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
10 14 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik Tidak Bersekolah
11 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
12 9 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
13 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
14 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
15 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar
16 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
17 13 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
18 11 10-14 tahun Perempuan Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
19 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar
20 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Pendidikan Tinggi
21 14 10-14 tahun Perempuan Gizi Buruk
Sekolah Menengah Pertama
22 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
23 12 10-14 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar
24 15 15-19 tahun Perempuan Gizi Baik Tidak Bersekolah
26 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
27 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
28 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
29 8 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang Pendidikan Tinggi
30 5 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
31 11 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
32 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk
Sekolah Menengah Atas
33 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
34 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
35 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
36 10 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
37 14 10-14 tahun Perempuan Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
38 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang
Sekolah Menengah Atas
39 5 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
40 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Tidak Bersekolah
41 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
42 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
43 9 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar
44 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang Pendidikan Tinggi
45 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
46 2 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
47 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
48 14 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
49 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
50 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk Sekolah Dasar
51 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Buruk Pendidikan Tinggi
52 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
53 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
54 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
55 13 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
56 11 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik
57 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
58 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk Sekolah Dasar
59 14 10-14 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar
60 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
61 12 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
62 15 15-19 tahun Laki-laki Gizi Lebih Sekolah Dasar
63 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
64 13 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
65 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
66 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar
67 8 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
68 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Pendidikan Tinggi
69 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar
70 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
71 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
72 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
73 10 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang
Sekolah Menengah Pertama
74 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Pendidikan Tinggi
75 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
76 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
77 9 5-9 tahun Perempuan Gizi Buruk
Sekolah Menengah Pertama
78 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
79 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
80 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
81 14 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar
82 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
83 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
84 15 15-19 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
85 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar
86 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
88 3 0-4 tahun Perempuan Gizi Kurang Pendidikan Tinggi
89 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
90 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
91 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
92 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
93 10 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
94 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Kurang
Sekolah Menengah Atas
95 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
96 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
97 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
98 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar
99 5 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
100 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
101 14 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
102 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang
Sekolah Menengah Atas
103 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
104 2 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
105 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
106 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Buruk
Sekolah Menengah Atas
107 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
108 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
109 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
110 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
111 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk Sekolah Dasar
112 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
113 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang
Sekolah Menengah Atas
114 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
115 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
116 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
Atas
118 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar
119 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
120 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
121 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
122 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk
Sekolah Menengah Atas
123 9 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang
Sekolah Menengah Atas
124 3 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
125 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik
Sekolah Menengah Pertama
126 12 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar
127 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik
Sekolah Menengah Atas
128 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk
Sekolah Menengah Atas
129 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar
PEKERJAAN BAPA PEKERJAAN IBU
ETIOLOGI SINDROM NEFROTIK (SN)
Tidak Bekerja Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Petani Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
TNI/POLRI Karyawan Swasta SN Sekunder
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Lain-lain SN Sekunder
Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Sekunder
Tidak Bekerja Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Karyawan Swasta SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Sekunder
Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
TNI/POLRI Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Karyawan Swasta SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Lain-lain TNI/POLRI SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tukang/Buruh SN Sekunder
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Karyawan Swasta SN Sekunder
Tidak Bekerja Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Lain-lain SN Idiopatik/Primer
PNS/ABRI Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Sekunder
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Karyawan Swasta SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Sekunder
Petani Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
TNI/POLRI Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Sekunder
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Petani Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Petani SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Karyawan Swasta SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
PNS TNI/POLRI SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Sekunder
Karyawan Swasta Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Petani Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Petani SN Idiopatik/Primer
Petani Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Sekunder
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Sekunder
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Lain-lain SN Sekunder
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Lain-lain Petani SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Sekunder
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Petani Petani SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer
Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer
LAMPIRAN 7
HASIL ANALISA DATA
Analisa data berdasarkan kelompok umur :
Umur Pasien Berdasarkan Kelompok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
0-4 tahun 37 28.5 28.5 28.5
5-9 tahun 57 43.8 43.8 72.3
10-14 tahun 33 25.4 25.4 97.7
15-19 tahun 3 2.3 2.3 100.0
Total 130 100.0 100.0
Analisa data berdasarkan jenis kelamin :
Jenis Kelamin Pasien
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Laki-laki 74 56.9 56.9 56.9
Perempuan 56 43.1 43.1 100.0
Total 130 100.0 100.0
Analisa data berdasarkan status gizi :
Status Gizi Pasien
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Gizi Buruk 12 9.2 9.2 9.2
Gizi Kurang 32 24.6 24.6 33.8
Gizi Baik 85 65.4 65.4 99.2
Gizi Lebih 1 .8 .8 100.0
Analisa data berdasarkan tingkat pendidikan orang tua :
Tingkat Pendidikan Orang Tua Pasien
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak Bersekolah 3 2.3 2.3 2.3
Sekolah Dasar 49 37.7 37.7 40.0
Sekolah Menengah
Pertama 33 25.4 25.4 65.4
Sekolah Menengah Atas 37 28.5 28.5 93.8
Pendidikan Tinggi 8 6.2 6.2 100.0
Total 130 100.0 100.0
Analisa data berdasarkan pekerjaan bapak :
Pekerjaan Bapak Pasien
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak Bekerja 17 13.1 13.1 13.1
Petani 48 36.9 36.9 50.0
Tukang/Butuh 32 24.6 24.6 74.6
PNS
TNI/POLRI
1 4
0.8 3.1
0.8 3.1
75.4 78.5
Karyawan Swasta 13 10.0 10.0 88.5
Lain-lain 15 11.5 11.5 100.0
Analisa data berdasarkan pekerjaan ibu :
Pekerjaan Ibu Pasien
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak Bekerja 58 44.6 44.6 44.6
Petani 33 25.4 25.4 70.0
Tuknag/Buruh 11 8.5 8.5 78.5
PNS
TNI/POLRI
0 2
0 1.5
0 1.5
0 80.0
Karyawan Swasta 6 4.6 4.6 84.6
Lain-lain 20 15.4 15.4 100.0
Total 130 100.0 100.0
Analisa data berdasarkan etiologi sindrom nefrotik :
Etiologi Sindrom Nefrotik
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
SN Idiopatik/Primer 116 89.2 89.2 89.2
SN Sekunder 14 10.8 10.8 100.0
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, O.B., Boschi-Pinto, C., Lopez, A.D., Murray, C.J.L., Lozano, R., Inoue M., 2001. Age Standardization of Rates: a New WHO Standard (GPE Discussion Paper Series: No. 31), Geneva: World Health Organization Al Salloum, A.A., Muthanna, A., Bassrawi, R., Al Shehab, A.A., Al Ibrahim, A.,
Islam, M.Z., et al., 2012. Long-term Outcome of the Difficult Nephrotic Syndrome in Children. Saudi Journal Of Kidney Diseases And
Transplantation: An Official Publication Of The Saudi Center For Organ
Transplantation, Saudi Arabia; 23(5): 965-972
Alfiler, C.A., Yap, H., Chiu, M., 2003. Pediatric Nephrology Around The World : Asia. In: Avner, E.D., Harmon, W.E., Niaudet, P., Pediatric Nephrology. 5th ed. USA: Springer, 1517-1524
Ali, U., Bagga, A., Banerjee, S., Kanitkar, M., Phadke, K.D., Senguttuvan, P., et al., 2008. Management of Steroid Sensitive Nephrotic Syndrome: Revised Guidelines.
Amir, A., 2008. Rekam Medis. Dalam: Hanafiah, M.J., Sp.Og(K), Amir, A.,
Sp.F(K). Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 62-71
Bagga, A., Mantan, M., 2005. Nephrotic Syndrome in Children. Indian J Med
Res, 122(1): 13-28
E. Pelayanan Pengobatan / Perawatan, 2004. Dalam: Definisi Operasional:
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
Propinsi Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 13-14
Gipson, D.S., Massengill, S.F., Yao, L., Nagaraj, S., Smoyer, W.E., Mahan, J.D., et al. 2009. Management of Childhood Onset Nephrotic Syndrome.
Pediatrics, 124(2): 747-757
Gulati, A., Bagga, A., Gulati, S., Mehta, K.P., Vijayakumar, M., 2009.
Management of Steroid Resistant Nephrotic Syndrome. Indian Pediatrics, 46(1): 35-47
Hodson, E.M., 2003. The Management of Idiopathic Nephrotic Syndrome in Children. Paediatric Drugs, 5(5): 335-349
Lane, J.C., MD, Langman, C.B., MD, Finberg, L., MD, Spitzer, A., MD, Windle,
M.L., PharmD, 2013. Pediatric Nephrotic Syndrome. Medscape
Reference : Drugs, Diseases & Procedures. Available from :
May 2013]
Leung, A.K.C., MBBS, Wong, A.H.C., MD, 2010. Proteinuria in Children.
American Family Physician, 82(6): 645-651
Liapis, H., 2008. Molecular Pathology of Nephrotic Syndrome in Childhood: A Contemporary Approach to Diagnosis. Pediatric and Developmental
Pathology, 11(4): 254–263
MacHardy, N., Miles, P.V., Massengill, S.F., Smoyer, W.E., Mahan, J.D.,
Greenbaum, L., et al., 2009. Management patterns of childhood-onset
nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, 24(11):2193–2201
Pharmacotherapeutic Review and Update of Idiopathic Nephrotic Syndrome in Children. Pharmacy World & Science: PWS, 32(3): 314-321 Mubarak, M., Kazi, J., 2013. Study of nephrotic syndrome in children: Importance
of light, immunoflourescence and electron microscopic observations to a correct classification of glomerulopathies. Nefrologia, 33(2): 237-342 Nanjundaswamy, H., Phadke, K.D., 2002. Steroid Sensitive Nephrotic
Syndrome. Indian Journal Of Pediatrics, 69(12): 1059-1063
Noer, M.S., 2005. Predictors of Relapse in Steroid-Sensitive Nephrotic Syndrome.
Noer, M.S., 2011. Sindrom Nefrotik Idiopatik. Dalam: Noer, M.S., Soemyarso, N.A., Subandiyah, K., Prasetyo, R.V., Alatas, H., Tambunan, T., dkk,
Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta : Unit Kerja Koordinasi Nefrologi
IDAI, 72-88
Pais, P., Avner, E.D., 2011. Nephrotic Syndrome. In: Kliegman, R.M., MD,
Stanton, B.F., MD, Saint GemeIII, J.W., MD, Schor, N.F., MD PhD, Behrman, R.E., MD, ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. USA: Elsevier, 1801-1807
Rosita, I.R., Muryawan, M.H., 2012. Perbadaan Kualitas Hidup Anak dengan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid dan Sindrom Nefrotik Relaps. Medica
Hospitalia, 1(1): 42-46
Rothenberg, M.B., Heymann, W., 1957. The Incidence of the Nephrotic Syndrome in Children. Pediatrics, 19(3): 446-452
Pavel Geier, P., Juřenčák, R., Zapletalová, J., 2006. Treatment of the first episode of nephrotic syndrome in children. Pediatric Nephrology, 21(11): 1779–
1780
et al., 2012. Risk Factor for Relapse in Childhood Nephrotic Syndrome - A
Hospital Based Retrospective Study. Faridpur Medical College Journal,
7(1): 18-22
Simatupang, D.F., Damanik, M.P., Sadjimin, T., 2007. Perbedaan Tingkat
Kualitas Hidup Anak dengan Sindrom Nefrotik Primer Kelainan Minimal
Dan Bukan Kelainan Minimal di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Sari
Pediatri, 9(3): 220-226
Timmreck, T.C., 2001. Ukuran Status Kesehatan dalam Epidemiologi : Morbiditas
– Rate dan Rasio. Dalam: Timmreck, T.C., Epidemiologi Suatu Pengantar.
Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 126-161
Tune, B.M., Mendoza, S.A., 1997. Treatment of the Idiopathic Nephrotic
Syndrome: Regimens and Outcomes in Children and Adults. Journal of
the American Society of Nephrology, 8(5): 824-832
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
GAMBAR 3.1 – Kerangka konsep insidensi sindrom nefrotik inisial pada
anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.
3.2 Definisi Operasional
1. Insidensi adalah jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam suatu periode waktu dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode waktu tertentu (Timmreck, 2001).
2. Sindrom nefrotik adalah suatu manifestasi penyakit glomerular, ditandai dengan proteinuria berat hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia (Noer, 2011).
3. Sindrom nefrotik inisial adalah sindrom nefrotik yang pertama kali didapat.
4. Anak menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the
Child) adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun,
kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak yang - Usia
- Jenis Kelamin - Status Gizi
- Tingkat Pendidikan Orang Tua
- Pekerjaan Orang Tua - Etiologi
Sindrom nefrotik inisial pada anak yang dirawat inap dan dirawat jalan
ditentukan bahwa usia dewasa telah mencapai lebih awal, dan menurut UndangUndang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
5. Rawat inap menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur (2004) adalah pelayanan pengobatan kepada penderita di suatu fasilitas pelayanan kesehatan yang oleh karena penyakitnya penderita harus menginap di fasilitas kesehatan tersebut.
6. Rawat jalan menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur (2004) adalah pelayanan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan dengan tidak harus menginap di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut baik didalam gedung dan diluar gedung.
7. Rekam medis adalah kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan segala kegiatan para pelayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu (Amir, 2007)
8. Usia adalah lamanya hidup pasien sindrom nefrotik yang dihitung berdasarkan tahun sejak pasien lahir, sesuai yang tercatat pada rekam medis.
9. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien sindrom nefrotik sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:
a. Laki-laki b. Perempuan
10. Status gizi adalah status gizi pasien sindrom nefrotik sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:
a. Gizi buruk b. Gizi kurang c. Gizi baik d. Gizi lebih
a. Tidak bersekolah b. Sekolah Dasar (SD)
c. Sekolah Menengah Pertama (SMP) d. Sekolah Menengah Atas (SMA) e. Pendidikan Tinggi (PT)
12. Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan orang tua pasien sindrom nefrotik sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:
a. Tidak bekerja b. Petani
c. Tukang/Buruh d. PNS
e. TNI/POLRI f. Karyawan Swasta g. Lain-lain
13. Etiologi adalah penyebab sindrom nefrotik pada pasien sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas :
a. Sindrom nefrotik idiopatik/primer b. Sindrom nefrotik sekunder
c. Sindrom nefrotik kongenital
3.2.1 Cara Ukur
Semua variabel penelitian diukur dengan survei rekam medis.
3.2.2 Alat Ukur
Semua variabel penelitian diukur dengan menggunakan rekam medis.
3.2.3 Hasil Ukur
3.2.4 Skala Pengukuran
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat retrospective dimana akan dihitung insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah
cross-sectional study, dimana akan dilakukan pengumpulan data berdasarkan
rekam medis di RSUP. H. Adam Malik Medan.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai dari pengumpulan data dan pengerjaan proposal dari bulan April hingga Juni 2013 dan pengerjaan interpretasi hasil pengumpulan data dan penelitian mulai dari bulan Agustus hingga Desember 2013.
4.2.2 Tempat Penelitian
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua data pasien anak dengan sindrom nefrotik inisial yang dirawat inap dan dirawat jalan di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian adalah data semua pasien anak dengan sindrom nefrotik inisial yang dirawat inap dan dirawat jalan di RSUP. H. Adam Malik Medan dari bulan Januari 2011 sampai Desember 2012. Teknik mengumpul sampel menggunakan teknik total sampling, dimana seluruh populasi digunakan sebagai sampel.
4.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan berupa data sekunder yaitu rekam medis pasien anak dengan sindrom nefrotik inisial yang dirawat inap dan dirawat jalan dimana hal yang diperlukan dalam menghitung insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak dicatat dan diuraikan berdasarkan kebutuhan peneliti.
4.5 Metode Analisis Data
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas ±10 ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 km. 12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.
5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel
5.1.2.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Gizi, Tingkat Pendidikan Orang Tua, dan Pekerjaan Orang Tua
Tabel 5.1 – Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Umur, Jenis Kelamin, Status Gizi, Tingkat Pendidikan Orang Tua, dan Pekerjaan Ibu dan Bapa
Variabel Frekuensi (%)
Kelompok Umur
0 - 4 tahun 37 (28.5)
5 - 9 tahun 57 (43.8)
10 - 14 tahun 33 (25.4)
15 - 19 tahun 3 (2.3)
Jenis Kelamin
Laki-laki 74 (56.9)
Perempuan 56 (43.1)
Status Gizi
Gizi buruk 12 (9.2)
Gizi kurang 32 (24.6)
Gizi baik 85 (65.4)
Gizi lebih 1 (0.8)
Tingkat Pendidikan Orang Tua
Tidak bersekolah 3 (2.3)
Sekolah Dasar (SD) 49 (37.7)
Sekolah Menengah Pertama (SMP) 33 (25.4) Sekolah Menengah Atas (SMA) 37 (28.5)
Pendidikan Tinggi (PT) 8 (6.2)
Pekerjaan Bapak
Tidak Bekerja 17 (13.1)
Petani 48 (36.9)
Tukang/Buruh 32 (24.6)
PNS 1 (0.8)
TNI/POLRI 4 (3.1)
Karyawan Swasta 13 (10.0)
Lain-lain 15 (11.5)
Pekerjaan Ibu
Tidak Bekerja 58 (44.6)
Petani 33 (25.4)
Tukang/Buruh 11 (8.5)
PNS 0 (0)
TNI/POLRI 2 (1.5)
Karyawan Swasta 6 (4.6)
[image:31.595.150.485.189.754.2]Dari Tabel 5.1 diketahui bahwa kelompok umur 5 – 9 tahun mempunyai jumlah pasien yang terbanyak dengan 57 pasien (43.8%) dan yang paling sedikit pada kelompok umur 15 - 19 tahun dengan hanya 3 pasien (2.3%). Umur rata-rata adalah 7.36 dengan pasien termuda yang ditemuka n berumur 2 tahun, tertua berumur 15 tahun, dan lebih sering terjadi pada laki-laki (56.9%) dibandingkan perempuan (43.1%). Sindrom nefrotik juga sering terjadi pada pasien dengan status gizi baik (65.4%).
Pada penelitian ini, dijumpai tingkat pendidikan orang tua pasien paling banyak adalah sampai sekolah dasar (37.7%). Selain itu, kebanyakan bapak pasien bekerja sebagai petani (36.9%) dan kebanyakan ibu pasien tidak bekerja (44.6%).
5.1.2.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Etiologi
Tabel 5.2 – Karakteristik Sampel Berdasarkan Etiologi
Etiologi Sindrom Nefrotik Frekuensi (%)
Idiopatik/Primer 116 (89.2)
Sekunder 14 (10.8)
Dari Tabel 5.2, didapati sindrom nefrotik idiopatik/primer (89.2%) lebih sering terjadi berbanding sindrom nefrotik sekunder (10.8%).
5.1.2.3 Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial
Tabel 5.3 – Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial
Insidensi Frekuensi (%)
Sindrom Nefrotik Inisial 130 (5.8) Penyakit Lain 2,241,250 (94.2)
Dari Tabel 5.3, insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak adalah 5.8 kasus per 100.000 anak.
5.2 Pembahasan
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat retrospective dimana telah dihitung insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak. Penelitian ini dilakukan karena berdasarkan adanya kenyataan dari Alfiler dkk (2003) bahwa sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada anak-anak. Karakteristik yang akan dinilai adalah berdasarkan umur, jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan orang tua, sosioekonomi keluarga, dan etiologi dari SN.
Pada penelitian ini, umur pasien dibagi mengikut kelompok umur sesuai standar internasional (WHO, 2001). Didapati bahwa kelompok umur 5 – 9 tahun mempunyai jumlah pasien yang terbanyak (43.8%), manakala kelompok umur 15 - 19 tahun mempunyai jumlah pasien paling sedikit (2.3%). Pada penelitian ini, umur rata-rata adalah 7.36 dengan pasien termuda yang ditemukan berumur 2 tahun, dan tertua berumur 15 tahun. Hasil yang diperoleh sejalan dengan penelitian yang dijalankan oleh Wila Wirya (2002) yang menyatakan bahwa SN di Indonesia terjadi pada anak kurang dari 14 tahun dengan timbulnya penyakit pada usia 18 bulan hingga 6 tahun.
(2002) yang menyatakan bahwa rasio antara laki-laki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1.
Selain itu, dijumpai SN lebih sering terjadi pada pasien dengan status gizi baik (65.4%) seiring dengan hasil penelitian yang dijalankan oleh Noer (2005) yang menjumpai anak dengan status gizi baik, yaitu sebanyak 64.7%, lebih sering terjadi SN dan SN relaps.
Tingkat pendidikan orang tua pasien juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya SN. Dijumpai orang tua pasien dengan tingkat pendidikan sampai tingkat sekolah dasar (37.7%) lebih sering dijumpai anaknya menderita SN. Sesuai dengan hasil penelitian Simatupang dkk (2007), yaitu sebanyak 53.5%, dan Rosita dkk (2012), yaitu sebanyak 34.3%, dijumpai tingkat pendidikan orang tua anak yang menderita SN sebagian besar adalah sampai tingkat sekolah dasar.
Pekerjaan orang tua juga dilihat sebagai salah satu faktor risiko terjadinya SN. Pada penelitian ini, pekerjaan bapka yang sering dijumpai adalah petani (36.9%) dan kebanyakan ibu pasien tidak bekerja (44.6%). Namun begitu, di dalam rekam medis tidak dinyatakan jumlah penghasilan keluarga. Oleh karena itu, keadaan sosioekonomi keluarga tidak ketahui dan tidak dapat dibandingkan dengan penelitian lainnya.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Insidensi sindrom nefrotik inisial di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012 adalah rendah, yaitu sebanyak 5.8 kasus per 100.000 anak.
2. Umur paling banyak adalah pada kelompok umur 5 - 9 tahun. 3. Jenis kelamin paling banyak adalah jenis kelamin laki-laki. 4. Status gizi paling banyak adalah dengan status gizi baik.
5. Tingkat pendidikan orang tua paling banyak adalah orang tuanya yang tingkat pendidikannya sampai sekolah dasar.
6. Pekerjaan bapa paling banyak adalah petani dan kebanyakan ibu tidak bekerja.
7. Sindrom nefrotik idiopatik/primer lebih sering terjadi berbanding sindrom nefrotik sekunder.
6.2 Saran
Adapun saran pada penelitian ini, yaitu :
1. Bagi Bagian Rekam Medis RSUP. H. Adam Malik Medan diharap dapat menyimpan informasi pasien seperti rekam medis dengan lebih baik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik, suatu manifestasi penyakit glomerular, ditandai dengan proteinuria berat (ekskresi protein ≥ 40 mg/m2LPB/jam, atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia (Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik, antara lain (Noer, 2011, Bagga, Mantan, 2005, Nanjundaswamy, Phadke, 2002):
1. Remisi : Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
2. Relaps : Proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
3. Relaps jarang : Relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan. 4. Relaps sering : Relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respon awal, atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun.
5. Sensitif steroid : Remisi tercapai dalam 4 minggu atau kurang setelah pengobatan steroid dosis penuh (full dose).
6. Dependen steroid : Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan, atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan steroid dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.
2.2 Etiologi
Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik memiliki bentuk sindrom nefrotik primer atau idiopatik (Tabel 2.1). Lesi glomerulus yang berhubungan dengan sindrom nefrotik idiopatik termasuk penyakit kelainan minimal (yang paling umum), glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif, nefropati membranosa dan proliferasi mesangial difus. Etiologi-etiologi ini memiliki distribusi usia yang berbeda (Gambar 2.1) (Pais, Avner, 2011).
Sindrom nefrotik juga mungkin sekunder terhadap penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, keganasan (limfoma dan leukemia), dan infeksi (hepatitis, HIV, dan malaria) (Tabel 2.1) (Pais, Avner, 2011).
Tabel 2.1 – Penyebab Sindrom Nefrotik Pada Anak
KELAINAN GENETIK
Sindrom Nefrotik (Tipikal) :
Sindrom nefrotik congenital tipe Finnish (Kehilangan nephrin)
Glomerulosklerosis fokal segmental (mutasi pada podocin, α-actinin 4, TRPC6)
Sklerosis mesangial difus (mutasi pada rantai laminin β2)
Sindrom Denys-Drash (mutasi pada factor transkripsi WT1)
Proteinuria Dengan atau Tanpa Sindrom Nefrotik :
Sindrom Nail-patella (mutasi pada factor transkripsi LMX1B)
Sindrom Alport (mutasi pada gen biosintesis kolagen)
Sindrom Multisistem Dengan atau Tanpa Sindrom Nefrotik :
Sindrom Galloway-Mowat
Penyakit Charcot-Marie-Tooth
Sindrom Jeune
Sindrom Cockayne
Sindrom Laurence-Moon-Biedl-Bardet
Gangguan Metabolik Dengan atau Tanpa Sindrom Nefrotik :
Sindrom Alagille
Defisiensi α1 Antitrypsin
Penyakit Fabry
Acidemia glutarat
Penyakit penyimpanan glikogen
Sindrom Hurler
Gangguan Lipoprotein
Sitopati mitokondria
Penyakit sel sabit (Sickle cell disease)
SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK
Penyakit kelainan minimal
Glomerulosklerosis fokal segmental
Nefropati membranosa
PENYEBAB SEKUNDER
Infeksi :
Hepatitis B, C
HIV-1 Malaria Sifilis Toksoplasmosis Obat-obatan : Penicillamine Emas
Obat anti-inflamasi nonsteroidal
Pamidronate
Interferon
Mercury
Heroin
Lithium
Gangguan Imun atau Alergi :
Penyakit Castleman
Penyakit Kimura
Sengatan lebah
Alergi makanan
Terkait Dengan Penyakit Malignan :
Limfoma
Leukemia
Hiperfiltrasi Glomerulus :
Oligomeganephronia
Obesitas morbid
Gambar 2.1 - Hasil biopsi ginjal dari 223 anak-anak dengan proteinuria
dirujuk untuk biopsi ginjal diagnostik (Glomerular Disease Collaborative
Network, J. Charles Jennette, MD, Hyunsook Chin, MS, and D.S. Gipson,
2007). n, jumlah pasien, C1Q, nefropati, FSGS, glomerulosklerosis fokal segmental, MCNS, sindrom nefrotik kelainan minimal; MPGN, glomerulonefritis membranoproliferative.
2.3 Patofisiologi
Kelainan yang mendasari sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus, yang meyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan ekstensif proses kaki podocyte (ciri khas sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting untuk podocyte. Sindrom nefrotik idiopatik adalah berhubungan dengan gangguan yang kompleks dalam sistem kekebalan/imun tubuh, terutama imunitas diperantarai sel T (T cell–
mediated immunity). Pada glomerulosklerosis fokal segmental, suatu
faktor plasma, yang mungkin dihasilkan oleh subset limfosit aktif, mungkin bertanggung jawab untuk peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Atau, mutasi pada protein podocyte (podocin, α-actinin 4) dan
MYH9 (gen podocyte) dapat berhubungan dengan glomerulosklerosis fokal segmental. Sindrom nefrotik resisten steroid (steroid-resistant
nephrotic syndrome) dapat dikaitkan dengan mutasi pada NPHS2
[image:41.595.151.363.106.265.2]Untuk mekanisme pembentukan edema pada sindrom nefrotik, hilangnya protein urin masif menyebabkan hipoalbuminemia, yang menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan dari kompartemen intravaskular ke ruang interstisial. Penurunan volume intravaskular menurunkan tekanan perfusi ginjal, yang mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang reabsorpsi natrium di tubular. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antidiuretik, yang meningkatkan reabsorpsi air dalam collecting
duct (Pais, Avner, 2011).
Teori ini tidak berlaku untuk semua pasien dengan sindrom nefrotik karena beberapa pasien sebenarnya ada peningkatan volume intravaskular dengan kadar renin dan aldosteron plasma berkurang. Oleh karena itu, faktor-faktor lain, termasuk aviditas ginjal primer (primary
renal avidity) untuk natrium dan air, mungkin terlibat dalam pembentukan
edema pada beberapa pasien dengan sindrom nefrotik (Pais, Avner, 2011). Dalam keadaan nefrotik, tingkat lipid dalam darah/serum (kolesterol, trigliserida) yang meningkat adalah disebabkan dua alasan. Hipoalbuminemia merangsang sintesis protein hepatik umum, termasuk sintesis lipoprotein. Ini juga mengapa sejumlah faktor koagulasi meningkat, lalu meningkatkan risiko trombosis. Selain itu, katabolisme lipid berkurang akibat dari pengurangan kadar lipoprotein lipase plasma yang berkaitan dengan peningkatan kehilangan enzim ini ini melalui urin (Pais, Avner, 2011).
risiko tambahan adalah penggunaan obat imunosupresif untuk mengobati sindrom nefrotik (Pais, Avner, 2011).
Sindrom nefrotik adalah keadaan hiperkoagulasi yang disebabkan beberapa faktor yaitu stasis vaskular, peningkatan produksi hepatik fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya, penurunan kadar faktor antikoagulan serum, peningkatan produksi trombosit plasma (sebagai reaktan fase akut), dan peningkatan agregasi platelet. Koagulopati dimanifestasi dengan kejadian tromboemboli (Pais, Avner, 2011).
2.4 Sindrom Nefrotik Idiopatik/Primer
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik/primer. Sindrom nefrotik idiopatik berhubungan dengan penyakit glomerulus primer tanpa bukt i adanya penyebab penyakit sistemik tertentu. Sindrom nefrotik idiopatik mempunyai beberapa tipe secara histologis: penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangial, glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa, dan glomerulonefritis membranoproliferatif (Pais, Avner, 2011).
2.4.1 Manifestasi Klinis
Anak-anak biasanya tampil dengan edema ringan, yang awalnya terdapat di sekitar mata dan di ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik awalnya dapat disalah diagnosis sebagai gangguan alergi karena adanya pembengkakan periorbital yang menurun sepanjang hari. Dengan waktu, edema menjadi generalisasi, dengan adanya perkembangan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas, nyeri abdomen, dan diare adalah gejala umum. Fitur penting dari sindrom nefrotik idiopatik kelainan minimal adalah ketiadaan hipertensi dan gross hematuria (sebelumnya disebut fitur nephritik) (Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
Diagnosis differensial anak yang ditandai dengan edema mencakup enteropati kehilangan protein, gagal hati, gagal jantung, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein. Diagnosis selain SNKM harus dipertimbangkan pada anak dibawah usia 1 tahun, riwayat keluarga positif sindrom nefrotik, adanya temuan ekstrarenal (misalnya, artritis, ruam, anemia), hipertensi atau edema paru, insufisiensi ginjal akut atau kronis, dan gross hematuria (Pais, Avner, 2011).
2.4.2 Pemeriksaan Penunjang
Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk menetapkan apakah adanya sindrom nefrotik, karena hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (seperti pada enteropati kehilangan protein), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (misalnya, pada angioedema, kebocoran kapiler, insufisiensi vena, gagal jantung kongestif) (Lane, 2013).
1. Protein urin - Dengan ekskresi protein ≥ 40 mg/m2LPB/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam, atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstick ≥ 2+
2. Albumin serum - Kurang dari 2,5 g/dL
3. Panel lipid - Peningkatan kolesterol total, kolesterol low-density
lipoprotein (LDL), peningkatan trigliserida dengan hipoalbuminemia
berat, kolesterol high-density lipoprotein (HDL) (normal atau rendah) Setelah menentukan adanya sindrom nefrotik, tugas selanjutnya adalah untuk menentukan apakah sindrom nefrotik primer (idiopatik) atau sekunder terhadap gangguan sistemik dan, jika sindrom nefrotik idiopatik (SNI) telah ditentukan, apakah ada tanda-tanda penyakit ginjal kronis , insufisiensi ginjal, atau tanda-tanda yang dapat mengecualikan kemungkinan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (Lane, 2013, Nanjundaswamy, Phadke, 2002). Oleh karena itu, di samping tes di atas, berikut ini harus dimasukkan dalam hasil pemeriksaan:
1. Jumlah sel darah lengkap (Complete Blood Count (CBC)) – Peningkatan hemoglobin dan hematokrit, jumlah trombosit meningkat 2. Panel metabolik - Elektrolit serum rendah, BUN dan kreatinin tinggi,
kalsium rendah, fosfor, dan kadar kalsium terionisasi normal
3. Pengujian untuk HIV, hepatitis B dan C - Pertimbangkan pemeriksaan enzim hati, seperti alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST), ketika skrining untuk penyakit hati.
4. Studi komplemen (C3, C4) – Kadar rendah
5. Antibodi antinuklear (ANA), antibodi anti–double-stranded DNA (pada pasien yang dipilih)
anak yang sering kambuh atau sindrom nefrotik resisten steroid, untuk melakukan pengujian untuk 25-OH-vitamin D, 1,25-di (OH)-vitamin D, T4 bebas, dan thyroid-stimulating hormone (TSH) (Lane, 2013).
Tes dan prosedur lain pada pasien tertentu mungkin termasuk yang berikut:
1. Studi genetik - Mutasi NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2
2. Ultrasonografi ginjal - Ginjal biasanya membesar karena edema jaringan
3. Radiografi dada - Radiografi dada diindikasi pada anak dengan gangguan pernapasan. Efusi pleura adalah umum, namun edema paru jarang terjadi
4. Uji Mantoux - Harus dilakukan sebelum pengobatan steroid untuk menyingkirkan infeksi TB.
5. Biopsi ginjal - Biopsi ginjal juga harus dilakukan apabila hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, atau laboratorium menunjukkan sindrom nefrotik sekunder atau sindrom nefrotik primer selain SNKM
Umur memainkan peran penting dalam evaluasi diagnostik sindrom nefrotik. Anak-anak yang mengalami sindrom nefrotik dibawah usia 1 tahun harus dievaluasi untuk sindrom nefrotik kongenital (Lane, 2013). Selain tes di atas, bayi harus dilakukan tes berikut:
1. Infeksi kongenital (sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus, HIV)
2. Biopsi ginjal
3. Tes genetik untuk mutasi NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2 sebagaimana dibimbing berdasarkan temuan biopsi dan presentasi klinis
dikonfirmasi dengan pemeriksaan bakteriologis dari aspirasi cairan peritoneal. Organisme yang paling sering dijumpai pada peritonitis adalah
Streptococcus pneumoniae, namun bakteri enterik usus juga dapat
menyebabkan peritonitis. Penatalaksanaan adalah secara medis daripada bedah (Lane, 2013).
2.4.3 Histopatologi
Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada sindrom nefrotik yang digunakan sesuai dengan rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop electron dan imunofluoresensi. Pada Tabel 2.2, dipakai istilah/terminologi yang sesuai dengan laporan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) (1970) dan Habib dan Kleinknecth (1971) (Wirya, 2002, Bagga, Mantan, 2005, Mubarak, Kazi, 2013).
Tabel 2.2 – Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada Sindrom Nefrotik Primer
Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM)
2.4.4 Diagnosa Differensial
Diagnosa differensial dari sindrom nefrotik adalah (Leung, Wong, 2010): 1. Glomerulonefritis poststreptococcal
2. Sindrom Alport
3. Henoch-Schönlein purpura
4. Systemic lupus erythematosus (SLE)
5. Diabetes mellitus
6. Sindrom nefrotik congenital
7. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) 8. Glomeruloskleresis fokal segmental (GSFS)
9. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) 10. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
11. Glomerulopati membranosa (GM) 12. Keganasan (malignancy)
13. Acute tubular necrosis
14. Acute tubulointerstitial nephritis
15. Polycystic kidney disease
16. Proximal renal tubular acidosis
17. Pyelonephritis
18. Toksin
2.4.5 Penatalaksanaan
muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002)
2.4.5.1 Dietetik
• Diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (recommended
daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari dengan kalori yang
adekuat.
• Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang tidak melebihi 30% jumlah total kalori keseluruhan, lebih dianjurkan memberikan karbohidrat kompleks daripada gula sederhana.
• Restriksi garam dan cairan tidak diperlukan pada sebagian besar kasus sindrom nefrotik sensitif steroid.
• Diet rendah garam (1-2 g/hari atau 2 mmol/kg/hari) plus menghindari makanan ringan yang asin, dianjurkan selama anak mengalami edema atau hipertensi (Noer, 2011, Gipson, et al., 2009, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
2.4.5.2 Edema/Sembab
• Sebagian pasien dengan sembab ringan tidak memerlukan diuretik.
• Intake air tidak perlu direstriksi, kecuali pada pasien dengan
sembab hebat. Pada keadaan tersebut, intake cairan dibatasi sesuai dengan insensible loss plus jumlah urin sehari sebelumnya.
• Terapi diuretik kadang-kadang tidak efektif bahkan dapat membahayakan pasien yang mengalami hipoalbuminemia (albumin serum < 1,5 g/dL) plus deplesi volume intravascular. Pemberian infuse albumin 20% (kadang-kadang diperlukan beberapa kali infus) dengan furosemid dapat memacu diuresis dan mengurangi sembab.
• Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20 hingga 25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intarvena 1-2 mg/kgBB.
• Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.
• Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah
overload cairan (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
2.4.5.3 Pengobatan Inisial Sindrom Nefrotik
• Prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2LPB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan prednisone dosis 40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan secara
intermitent (3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating
• Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednisone
intermittent/alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari diberikan selama 4 minggu.
• Bila remisi tidak terjadi pada 4 minggu pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
2.4.5.4 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps
• Prednison dosis penuh setiap hari (dosis tunggal atau terbagi) sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent/alternating (dosis tunggal pada pagi hari) dosis 40 mg/m2LPB/hari selama 4 minggu.
• Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi, maka pasien didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid dan harus diberikan terapi imunosupresif lain (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
2.4.5.5 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid
• Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison
intermittent/alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6 hingga 12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
• Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB
alternating, tetapi < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping
CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 8 hingga 12 minggu (Madani, et al., 2010).
• Pada sindrom nefrotik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik (siklofosfamid (CPA)) dianjurkan pemberian siklosporin (suatu inhibitor calcineurin) dengan dosis 5-6 mg/kgBB/hari (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
2.4.5.6 Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
• Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien sindrom nefrotik resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis (Noer, 2011, Gipson, et al., 2009).
• Sitostatik oral : siklofosfamid (CPA) 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan.
• Prednison dosis 40 mg/m2LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
• Atau, siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan, dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
2.4.5.7 Pemberian Non Imunosupresif untuk Mengurangi Proteinuria
• Pada pasien sindrom nefrotik yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik, dan siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik (bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting
enzyme) untuk mengurangi proteinuria.
• Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 kali sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
• Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif), dapat dikombinasikan dengan golongan anti reseptor bloker (ARB) misalnya losaktan 0,75 mg/kgBB dosis tunggal (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).
2.4.6 Komplikasi
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik. Anak-anak yang kambuh telah terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri karena kehilangan imunoglobulin dan faktor B properdin dari urin, cacat imunitas cell-mediated, terapi imunosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites bertindak sebagai medium kultur potensial. Peritonitis bakterial spontan adalah infeksi umum, namun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih juga dapat dilihat. Meskipun Streptococcus
pneumonia adalah organisme yang paling umum yang menyebabkan
Anak-anak dengan sindrom nefrotik harus menerima vaksin pneumokokus serotype-23 (selain vaksin pneumokokus konjugat 7-valent), diberikan sesuai dengan jadwal imunisasi rutin, idealnya diberikan ketika anak berada dalam fase remisi dan terapi selang sehari. Vaksin virus hidup tidak boleh diberikan kepada anak-anak yang menerima steroid dosis tinggi harian atau selang sehari (≥ 2 mg/kg/ hari prednison atau yang setara, atau ≥20 mg/hari jika anak memiliki berat >10kg). Vaksin dapat diberikan setelah terapi kortikosteroid telah dihentikan selama sekurangnya 1 bulan. Anak dengan nefrotik nonimmune yang kambuh, jika terkena varicella, harus menerima immunoglobulin varicella-zoster (1 dosis ≤ 96 jam setelah eksposur yang signifikan). Vaksin influenza harus diberikan secara tahunan (Al Salloum, et al., 2012, Pais, Avner, 2011, Bagga, Mantan, 2005).
harus digunakan untuk mengobati hiperlipidemia yang terlihat pada sindrom nefrotik persisten, namun data terkontrol mengenai risiko atau manfaatnya tidak tersedia (Al Salloum, et al., 2012, Pais, Avner, 2011).
2.4.7 Prognosis
Meskipun tidak ada cara yang terbukti untuk memprediksi perjalanan penyakit anak secara individu, anak-anak yang member respon dengan cepat terhadap steroid dan mereka yang tidak kambuh semula selama 6 bulan pertama setelah diagnosis cenderung jarang kambuh sindrom nefrotiknya. Untuk meminimalkan efek psikologis dari kondisi dan terapinya, anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tidak boleh dianggap sakit kronis dan boleh berpartisipasi dalam semua kegiatan anak sesuai dengan usia dan mempertahankan diet yang tak terbatas ketika dalam fase remisi (Pais, Avner, 2011, Al Salloum, et al., 2012).
Anak-anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid, paling sering disebabkan oleh GSFS, umumnya memiliki prognosis yang jauh lebih buruk. Anak-anak dapat terjadi insufisiensi ginjal progresif, akhirnya mengarah ke stadium akhir penyakit ginjal yang memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Sindrom nefrotik berulang/rekuren terjadi pada 30% hingga 50% dari penerima transplantasi dengan GSFS (Pais, Avner, 2011, Al Salloum, et al., 2012).
2.5 Sindrom Nefrotik Sekunder
disfungsi ginjal, gejala ekstrarenal (ruam, arthralgia, demam), atau penurunan tingkat komplemen serum (Pais, Avner, 2011).
Di daerah tertentu di dunia, malaria dan schistosomiasis adalah penyebab utama dari sindrom nefrotik. Agen infeksi lainnya yang terkait dengan sindrom nefrotik termasuk virus hepatitis B, virus hepatitis C, filaria, kusta, dan HIV (Pais, Avner, 2011).
Sindrom nefrotik telah dikaitkan dengan malignansi, khususnya pada populasi orang dewasa. Pada pasien dengan tumor padat, seperti karsinoma pada paru-paru dan saluran pencernaan, patologi ginjal sering menyerupai glomerulopati membranosa. Kompleks imun terdiri dari antigen tumor dan antibodi spesifik tumor mungkin memediasi keterlibatan ginjal. Pada pasien dengan limfoma, terutama limfoma Hodgkin, patologi ginjal paling sering menyerupai sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Mekanismenya adalah bahwa limfoma menghasilkan limfokin yang meningkatkan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Sindrom nefrotik dapat terjadi sebelum atau setelah keganasan terdeteksi, setelah regresi tumor, dan kembali jika tumor berulang (Pais, Avner, 2011).
Sindrom nefrotik juga dapat terjadi selama terapi dengan berbagai obat-obatan dan bahan kimia. Gambaran histologis dapat menyerupai glomerulopati membranosa (penisilamin, kaptopril, anti-inflamasi nonsteroid, senyawa merkuri), SNKM (probenesid, ethosuximide, methimazole, lithium), atau glomerulonefritis proliferatif (procainamide, chlorpropamide, phenytoin, trimethadione, paramethadione) (Pais, Avner, 2011).
2.6 Sindrom Nefrotik Kongenital
pada masa kanak-kanak. Sindrom nefrotik kongenital didefinisikan sebagai sindrom nefrotik yang hadir pada saat lahir atau dalam 3 bulan kehidupan. Sindrom nefrotik kongenital dapat diklasifikasikan sebagai primer atau sebagai sekunder untuk beberapa etiologi seperti infeksi di rahim (sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, hepatitis B dan C, HIV), lupus eritematosus sistemik infantil, atau paparan merkuri (Pais, Avner, 2011).
Sindrom nefrotik kongenital primer adalah disebabkan berbagai sindrom yang diwariskan sebagai gangguan resesif autosomal. Sejumlah kelainan struktural dan fungsional dari barrier filtrasi glomerulus menyebabkan sindrom nefrotik kongenital yang telah dijelaskan. Barrier filtrasi glomerulus, baik ukuran dan muatan selektif, terdiri dari 3 lapisan: endotelium fenestrated, membran basal glomerulus, dan podocyte foot
processes. Podosit saling berhubungan dengan menjembatani struktur,
celah diafragma, yang bertindak sebagai filter ukuran, sedangkan membran basal glomerulus membatasi molekul berdasarkan muatan ion mereka (Pais, Avner, 2011).
Dalam studi kohort di Eropa menunjukkan anak-anak dengan sindrom nefrotik kongenital, 85% menunjukkan penyakit, menyebabkan mutasi di 4 gen (NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2), 3 yang pertama yang mengkode komponen penghalang filtrasi glomerulus. Sindrom nefrotik kongenital tipe Finnish disebabkan oleh mutasi pada gen NPHS1 atau NPHS2, yang mengkode nephrin dan podocin, komponen-komponen penting dari celah diafragma. Bayi yang terkena paling sering terlihat saat lahir dengan edema akibat proteinuria masif, dan mereka biasanya dilahirkan dengan plasenta membesar (> 25% dari berat bayi). Hipoalbuminemia berat, hiperlipidemia, dan hypogammaglobulinemia adalah hasil dari hilangnya penyaringan selektivitas pada penghalang filtrasi glomerulus. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan adanya
Sindrom Denys-Drash disebabkan oleh mutasi pada gen WT1, yang menghasilkan fungsi podosit abnormal. Pasien datang dengan onset awal sindrom nefrotik, insufisiensi ginjal progresif, ambigu genitalia, dan tumor Wilms (Pais, Avner, 2011).
Mutasi pada gen LAMB2, terlihat pada sindrom Pierson,
menyebabkan kelainan β2 laminin, komponen penting dari glomerulus dan membran basal okular. Selain sindrom nefrotik kongenital, bayi yang terkena menunjukkan bilateral microcoria (penyempitan tetap pupil) (Pais, Avner, 2011).
Tanpa memperhatikan dari etiologi sindrom nefrotik kongenital, diagnosis dibuat secara klinis pada bayi baru lahir atau bayi yang menunjukkan edema generalisasi berat, pertumbuhan dan gizi yang buruk dengan hipoalbuminemia, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, hipotiroidisme (karena kehilangan globulin pengikat tiroksin urin), dan meningkatkan risiko trombotik. Kebanyakan bayi memiliki insufisiensi ginjal progresif (Pais, Avner, 2011).
Sindrom nefrotik kongenital sekunder dapat diterapi dengan pengobatan penyebab yang mendasari, seperti sifilis. Pengelolaan sindrom nefrotik kongenital primer meliputi perawatan suportif intensif dengan albumin intravena dan diuretik, pemberian rutin intravena globulin-gamma, dan dukungan nutrisi yang agresif (sering parenteral),
angiotensin-converting enzyme inhibitor, angiotensin II receptor inhibitor,
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom nefrotik pada anak (pediatrik), juga dikenal sebagai nefrosis, ditandai oleh kehadiran proteinuria masif, edema, hipoalbuminemia dan dapat disertai hiperlipidemia. Proteinuria masif pada anak-anak adalah ekskresi protein lebih dari 40 mg/m2/jam. Nilai rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg menunjukkan proteinuria nefrotik dan berkorelasi dengan hasil dari 24-jam pengambilan urin. Sindrom nefrotik inisial adalah sindrom nefrotik yang pertama kali didapat, tidak termasuk relaps dan yang resisten steroid (Lane, 2013, Noer, 2011).
Penyakit glomerular yang menyebabkan sindrom nefrotik pada umumnya dapat dibagi menjadi primer dan sekunder berdasarkan etiologi (Lane, 2013). Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidensi penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 hingga 7 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidensi di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1 dengan timbulnya penyakit pada usia 18 bulan hingga 6 tahun (Wirya, 2002, Noer, 2005).
lesi glomerular dapat dilihat pada SNI yaitu sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM), glomerulosklerosis fokal ssegmental (GSFS), nefropati membranosa/glomerulopati membranosa (GM), glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP), glomerulonefritis proliferasi mesangial difus (GNPMD) dan lain-lain (Lane, 2013).
Menurut definisi, sindrom nefrotik sekunder mengacu pada etiologi ekstrinsik pada ginjal. Penyebab sekunder dari sindrom nefrotik termasuk Henoch-Schönlein purpura (HSP), lupus eritematosus sistemik, diabetes mellitus, sifilis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B dan C, keganasan, vaskulitis, dan paparan obat (misalnya, heroin, merkuri) (Lane, 2013).
Sindrom nefrotik juga bisa disebabkan oleh kelainan genetik. Sindrom nefrotik kongenital (hadir sejak lahir hingga usia 3 bulan) telah dikaitkan dengan kelainan pada gen nephrin (NPHS1), fosfolipase C epsilon 1 gen (PLCE1), dan gen supresor tumor Wilms.Selain itu, sindrom genetik lainnya telah dikaitkan dengan sindrom nefrotik, seperti sindrom Nail-patella, sindrom Pierson, Schimke immuno-osseus displasia, dan lain-lain (Lane, 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah yang diteliti adalah berapakah insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui manifestasi klinis dan penegakan diagnosis sindrom nefrotik pada anak..
2. Mengetahui penatalaksanaan sindrom nefrotik pada anak.
3. Mengetahui komplikasi dan prognosis sindrom nefrotik pada anak. 4. Mengetahui faktor umur, jenis kelamin, dan status gizi anak yang
mempengaruhi terjadinya sindrom nefrotik.
5. Mengetahui tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua anak dengan sindrom nefrotik.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. RSUP. H. Adam Malik, Medan supaya data atau hasil penelitian dapat digunakan untuk memperbaharui dan menambahkan informasi tentang insidensi sindrom nefrotik pada anak di institusi ini.
3. Individu supaya dapat mengetahui angka kejadian dan faktor risiko sindrom nefrotik pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.
ABSTRAK
Latar Belakang : Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang
paling sering ditemukan pa