• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan produksi ternak domba prolifik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaan produksi ternak domba prolifik"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

.

KERAGAAN PRODUKSI TERNAK DOMBA PROLlFlK

Oleh

:

ISMETH INOUNU

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

PRODUCTION PERFORMANCE OF PROLIFIC SHEEP ABSTRACT

Production and economic performance of ewes from three different

genotypes of prolificacy was evaluated from f 980 to 1993. Non-carriers

(Fed'FecJ'), carriers (FecJF~ecJ') and homozygotes (Fec.JFFecJF) for a gene

affecting prolificacy, averaged 1 .I 9; 2.12 and 2.96 of ovulation rate, respectively.

This difference in turn resulted in variability of ewe productivity and management

level required for each genotype. Genotype and Management interaction effect

was significant source of variation of embryonic suwivd (DHE) and of litter weight

at weaning

(8s).

While parity did not significantly affect DHE but significantly

affected

8s.

Ewe gestation gain (PKB) was negatively related to DHE, on the

contrary it was positively related to BS. Phenotypic and genetic correfations between weights at birth, at weaning, at mating and at lambing were generally

positive. This variability in the ewe production as a result of the differences in

genotype and management level practiced were economically evaluated. The

result shows that an increase of management practiced toward better

management was followed by an increase of ewe production (BS) per head.

However, these increases required higher input, which was expressed in the total

production cost. Ewes with ~ e d ~ F e c J + genotype gained the highest gross

margin if high level of management was practiced, followed by FecJFFec~F

genotype. On the low level of management, ewes carrying the F e d F gene did

not show their superiority since they gained lower gross margin compared with

(11)

INOUNU,

bimbingan Harimurti Martojo sebagai Ketua, Asikin Natasasmita, Ahmad Ansori

Mattjik. Subandriyo dan Tjeppy

D.

Soedjana masingmasing sebagai anggota).

Domba-domba dari

P.

Jawa terkenal kerena kemampuannya untuk

rnenghasilkan anak banyak (prolifik). Dengan jarak kelahiran delapan bulan,

maka dalam setahun domba-domba dari

P.

Jawa rnampu menghasilkan 2 ekor

anak per induk.

Di Stasiun Pemuliaan Balai Penelitian Ternak di Cicadas, Kabupaten Bogor

dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 telah dilakukan penelitian untuk

mencari penyebab tingginya angka keragamsn jumlah anak sekelahiran pada

domba-domba di P. Jawa. Batas atas jumlah anak sekelahiran ditentukan oleh

jumlah ovum yang diovulasikan oleh seekor betina. Hasil-hasil sebelumnya

membuktikan bahwa sifat reproduksi ternak domba ini dipengaruhi oleh gen

tunggal FedF, yang bekeja secara aditif, sehingga keragaman jumlah ovum

yang dilepaskan oleh seekor induk tergantung dari genotipe induk tersebut.

Kehadiran gen FecJf pada populasi dornba di Indonesia, mengakibatkan ternak-

ternak ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: ternak dengan genotipe

FecJFFedF (prolifikasi tinggi), ~ e c . J ~ ~ e d ' (prolifikasi medium) dan Fed'FecJ' (prolifikasi rendah). Hal ini mengakibatkan pula terjadinya variasi dalam jumlah

anak yang dilahirkan. Akibat adanya interaksi dengan lingkungan, ternyata gen

(12)

juga secara tidak langsung terhadap bobot lahir, mortalitas, bobot sapih, dan

urnur kawin. Dengan rnengetahui sifat-sifat reproduksi dan produksi sejak dini

akan dapat rnembantu dalam seleksi individu-individu calon bibit yang akan

dikernbangkan lebih lanjut, dan rnernpercepat pengeluaran ternak-ternak sisa

seleksi untuk digunakan sebagai ternak bakalan pada usaha penggernukan.

Penelitian ini bertujuan untuk rnengamati sifat reproduksi dan produksi

domba dengan prolifikasi rendah, sedang dan tinggi yang dikembangkan di Balai

Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor dan yang telah diidentifikasi sejak usia muda.

serta untuk rnengetahui kapan suatu genotipe tertentu berproduksi paling tinggi

dan pada lingkungan yang bagaimana produksi tinggi tersebut dicapai.

Selanjutnya rnengingat untuk rnencapai produksi tinggi tersebut diperlukan input

yang berbeda-beda pada masing-masing genotipe, rnaka penelitian ini juga

rnencari genotipe rnana yang paling rnenguntungkan ditinjau dari segi ekonorni.

Dari hasil penelitian ini dan dwi hasil pembahasan maka dapatlah ditarik

kesimputan sebagai berikut:

Rataan laju ovulasi (LO) adalah 1.96 buah per induk, keragarnannya

dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan manajernen. Induk-induk dengan

genotipe FecJFFecJF lebih responsif terhadap perubahan msnajemen. Satu

duplikat gen F e d F dapat meningkatkan LO sebanyak 0.79-1 . I buah tergantung

rnanajernen yang diterapkan. Kenaikan bobot badan induk sebanyak satu kg.

diiringi dengan kenaikan LO sebanyak 0.03 buah.

Keragarnan daya hidup ernbrio (DHE) dipengaruhi oleh interaksi genotipe

(13)

manajemen. Peningkatan manajemen ke arah yang lebih baik menurunkan

angka DHE. Hal ini erat kaitannya dengan kapasitas tampung uterus yang

terbatas pada angka 3.06 buahhnduk.

Rataan jumlah anak sekelahiran (JAS) yang didapatkan adalah sebesar 1.77 ekor per induk. Keragaman JAS dipengaruhi oieh genotipe dan interaksi manajemen dengan paritas induk serta pertambahan bobot badan induk (PKB).

Kehadiran satu duplikat gen F e d F dapat meningkatkan JAS sebanyak 0.8 ekor per induk. Pada indukinduk yang baru pertama kali beranak dihasilkan JAS 5.5% lebih rendah dibandingkan induk-induk yang tefah beranak dua kali.

Peningkatan satu kg bobot badan induk (PKB) diikuti dengan meningkatnya JAS

sebanyak 0.04 ekor.

Rataan total bobot badan anak saat lahir (BL) adalah 3.43 kg. Keragaman

B L dipengaruhi oleh genotipe dan interaksi rnanajemen dengan paritas induk. lndukinduk prirnipara (beranak pertama kali) menghasilkan E L lebih rendah dibandingkan indukinduk yang tefah beranak dua kdi.

Rataan daya hidup anak prasapih (DHA) didapatkan sebesar 73.9396,

keragamannya dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan manajemen, paritas induk

dan pertambahan bobot badan induk. Pada paritas pertarna induk mempunyai

DHA 11% lebih rendah dibandingkan pada paritas kedua. Kenaikan pertambahan bobot badan induk sebesar 1 kg meningkatkan DHA sebesar 2.3 persen.

Keragaman totai bobot badan anak saat sapih

(6s)

dipengaruhi oleh
(14)

induk (PKB). Raban

BS

yang didapat adalah

13.12

kg.

Bobot badan betina saat kawin (BK) adalah 23.49 kg. interaksi

manajemen dan genotipe di samping paritas induk mernpengaruhi keragarnan

BK. Bobot betina saat pertama kdi kawin adalah 20.55 kg. Flataan Bobot betina

saat beranak (BB) adalah 26.40 kg atau 11% lebih tinggi dibandingkan BK.

Bobot betina saat pertama kaIi beranak (88) adalah 24.41 kg. Keragarnan 85

dipengaruhi oleh interaksi rnanajemen dan paritas induk.

Makin dekatnya jarak umur antara sifat bobot badan yang diamati akan

diikuti dengan kian tingginya angka korelasi fenotipik. EL rnempunyai korelasi fenotipik dan genotipik yang tinggi dengan BS.

Peningkatan manajernen ke arah yang lebih baik diikuti dengan

peningkatan produksi bobot sapih per induk, narnun demikian perbaikan

rnanajemen ini menuntut peningkatan input yang tercerrnin dari kian

meningkatnya total biaya produksi. Induk-induk dengan genotipe Fec~~FecJ'

menghasilkan rnarjin kotor paling tinggi apabila manajemen tinggi diterapkan,

disusul ofeh induk-induk dengan genotipe FecJFFecJF. Pada manajemen rendah

induk-induk karier gen ~ e o J ~ tidak tampak keunggulannya karena rnernpunyai

rnarjin kotor yang lebih rendah dibandingkan induk-induk nonkarier.

Dari kesimpulan di atas dapatlah disarankan agar pernilihan induk-induk untuk pengembangan usaha disesuaikan dengan kondisi rnanajernen yang akan

diterapkan dan genotipe induk yang akan dikernbangkan, karena masing-masing

genoitpe induk rnernerlukan input yang berbeda untuk mencapai hasil yang

(15)

KERAGAAN PRODUKSI TERNAK

DOMBA

PROLlFlK

Oleh :

ISMET H lNOUNU

Disertasi sebagai

salah

satu syaat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program

Pascasarjana, lnstihrt Pertanisn Bogor

PROGRAM PASCASARJANA fNSTlTUT PERTANIAN BOGOR

(16)

Narna Mahasiswa Nomor Pokok

Prof. Dr. Asikin Natasasrnita Anggots

1. Kornisi Pembimblng

4

Martolo

Ketua

Dr. Ir. Subandrlvo. M.Sc. Anggota

Keragaan Produksi Temak Domba Prolink

lsmeth rnounu 91513

Dr.

lr.

Ahmad Ansori Mattilk

\

Awgo-

Dr.

Ir.

T i e ~ p v 0. ~gediana. M.Sc. Anggota

2. Ketua Bidang Keahiian

flmu

Ternak
(17)

KATA PENGANTAR

Penelitian mengenai keragaan produksi dan ekonomi ternak domba pada

tiga genotipe berbeda dilakuksn dilokasi Cicadas dan Bogor yang merupakan

stasiun pemuliaan Wai Penelitian Ternak. Ciawi-Bagor. Penelitian ini bertujuan

untuk mendapatkan informasi rnengenai potensi ternak domba yang

reproduksinya dipengaruhi oleh gen prolifik (gen F ~ c J ~ ) , dimana sebagian ternak

dapat beranak banyak dan sebagian lagi beranak tunggal, serta kondisi fluktuasi

manajemen yang rnengakibatkan terjadinya perbedaan produktivitas ternak dari

masingmasing genotipe ternak. Hal tersebut menjadi topik dari penulisan

disertasi ini.

Ide penulisan disertasi ini datang dari Prof. Dr. G.E. Bradford dari

Universitas California Davis di Arnerika Serikat, yang juga sekaligus mensponsori

biaya kutiah penulis (melalui program kerjasarna "SR-CRSP) di Program

Pascasarjana IPB, sejak dari program S2 sarnpai program S3 saat ini. Untuk itu penulis rnengucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan materif maupun

moril, yang selama ini penulis rasakan. Beliau dengan tidak bosan-bosannya

rnendorong penulis untuk melanjutkan studi sarnpai kejenjang akadernik yang

paling tinggi.

Seorang bapak pemuliaan yang tidak hanya rnernuliakan ternak tetapi lebih

banyak mendidik manusia adalah Bapak Prof. Dr. Harirnurti Martojo. Beliaulah

yang menyambut penulis untuk hadir di Iingkungan IPB. Dimana pada lingkungan

(18)

kemampuan seseorang, walaupun penulis dalam keadaan patah semangat, beliau

mengarahkan penulis untuk dapat melanjutkan studi bahkan kejenjang yang tidak

pernah penulis irnpikan. Semoga yang Mahakuasa membaias segala kebaikan

beliau dan mernberi kekuatan kepada beliau untuk terus berkarya.

Penulisan disertasi ini diarahkan pula oleh Prof. Dr. Asikin Natasamita

sebagai seorang ahli dalarn bidang produksi ternak ruminansia kecil, beliaulah

yang mengarahkan penutisan desertasi ini sehingga bobot ilmiahnya semakin

terasa. Dr. A. A. Mattjik sangat berperan dalam pengarahan penulisan disertasi

ini terutarna dafam Mdang statistik. Dr. Subandriyo yang penulis kenal sejak

tahun 1981, membantu penulis tidak saja dari bidang pemuliaan tetapi juga dari

bidang statistik serta mernberi kemudahan untuk mendapatkan kepustakaan.

Penulisan ini menjadi lebih iengkap setelah Dr. T. D. Soedjana rnengarahkan

penulis untuk rnelakukan tinjauan ekonornis. Untuk itu penulis mengucapkan

banyak terima kasih atas bimibingan dan saran dari Sapak-bapak sekalian.

Tanpa izin dari Bapak Kepala Balai Penelitian Ternak, tidaklah mungkin

penulis dapat melanjutkan studi di IPB ini, untuk itu penulis rnengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini.

Terirna kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Ir. Bambang Setiadi

(19)

xi

Pada kesempatan ini penulis sarnpaikan juga terima kasih kepada kedua

orang tua penulis yang telah mendidik penulis untuk rnerangkak, berjalan dan

beriari,

serta

tidak putus-putusnya mendorong penulis untuk berdiri kembali

manakala penulis jatuh terpuruk. Hanya yang Mahakuasalah yang dapat

memberi balasan kepadanya.

Kepada Nurhasanah Hidayafi, sebagai isteri yang mendampingi penulis

dalam kesulitan yang harus dilalui selama penulis rnenyelesaikan studi ini

diucapkan banyak terima kasih, juga kepada Aristogama dan Adiwicaksana

sernoga kalian dapat rnenyelesaikan studi kalian lebih baik dari penulis sebagai

bapakny a.

Akhir kata semoga karya tulis ini dapat menjadi bahan bacaan yang

berguna bagi mereka yang memeriukannya, serta sernoga dengan selesainya

studi penulis dijenjang akademik yang paling tinggi ini justru rnembuat penulis

semakin rendah hati dan lebih mengenal lagi akan kebesaran yang Mahakuasa

(20)

xii

Penulis dilahirkan di Bandung, pada tanggal 1 Januari 1955 sebagai anak

ketiga dari Bapak lsmu Athar dan Ibu 6. Zubaedah. Penulis rnenyelesaikan

Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama serta Sekolah Menengah Atas di

Bandung. Pada tahun 1980 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di

Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (UNPAD), juga di Bandung. Di

Bandung pula penulis rnenikah dengan Ir. Nurhasanah Hidayati dan dikaruniai

dua orang anak lelaki, Aristogama yang lahir di Bogor pada bulan April 1982,

dan Adiwicaksana juga lahir di h g o r pada bulan September 1983. Penulis rnulai

bekerja sebagai pengajar tidak tetap go1 Ilb di Fakultas Peternakan UNPAD pada

tahun 1978. Setelah meyelesaikan studinya di S1 penulis bekerja di Balai

Penelitian Ternak Ciawi, sejak tahun 1981 hingga saat ini. Penulis mendapat

beasiswa dari "Small-Ruminant, Cotlaborative Research Support Project1*

Universitas California Davis dari Amerika Serikat pada tahun 1987 untuk

rnencapai gelar S2 di tPB, selanjutnya pada tahun 1991 penulis kembali

mendapatkan kesernpatan untuk rnelanjutkan studi kejenjang 53 di IPB Bogor

(21)

DAFTAR

I

S

1

Halaman

KATA PENGANTAR

. . .

ix

RIWAYAT HIDUP

. . .

xii

DAFTARlSl

...

xiii

. . .

DAFTARTABEL xv DAFTAR GAMBAR

. . .

xix

. . .

DAFTARLAMPIRAN xx PENDAHULUAN

. . .

1

. . .

TINJAUAN PUSTAKA 3

. . .

Penemuan Gen Prolifik 3

. . .

KeragaanReproduksi 7

. . .

Kondisi Ternak Untuk Pasar Non Tradisional dan Ekspor 10

. . .

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bobot Lahir 11

. . .

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bobot Sapih 17 Pertumbuhan Pasca Sapih

. . .

19

Analisis Ekonorni

. . .

27

MATERI DAN METODE

. . .

.

.

.

24

Lokasi Penelitian

. . .

24

Ternak

...

24

Perkawinan Ternak

. . .

26

Kelahiran Anak

. . .

27

Tatalaksana Pemeli haraan

. . .

28

Data

. . .

29

Metode Analisis

. . .

31

Ripitabilitas, Heritabilitas, Korelasi Fenotipik dan Genetik

...

33

Metode Analisis Ekonomi

. . .

40

HASIL DAN PEMBAHASAN

. . .

49

Laju Ovulasi

. . .

49

Daya Hidup Embrio

. . .

55

Jumlah Anak seketahiran

. . .

6 7 Bobot Lahir Total Per lnduk

. . .

68

Daya Hidup Anak

. . .

74

Bobot Sapih Total Per lnduk

. . .

83

Bobot lnduk Pada Saat Kawin

. . .

88

BobotBeranak

. . .

93

Ripitabilitas, Heritabilitas, Korelasi Fenotipik dan Korelasi Genetik

.

.

98

Ripitabilitas

dan

Heritabilitas

. . .

98

Uorelasi Fenotipik

. . .

100

Korelasi Genetik 102 Fungsi Produksi 103 Biaya dan Penerirnaan

. . .

107

...

(22)

xiv

. . .

KESIMPULAN DAN SARAN 114

DAFTARPUSTAKA

. . .

117
(23)

Nomor Halaman

Teks

Domba-domba prolifik di dunia

. . .

Pertambahan bobot-badan harian (PBBH) pada domba Jawa dan target untuk mencapai bobot ternak komersil

. . .

Model dan peubah yang digunakan

. . .

Peubah yang digunakan untuk menduga komponen peragam

. .

Analisis Peragam Saudara tiri seinduk

. . .

Jumlah konsumsi hijauan dan pakan tambahan pada tiga tipe kefahiran dan tingkat manajemen berbeda selama satu periode produksi (8 bulan)

. . .

Asumsi biaya dan penerimaan

. . .

Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari laju ovulasi (LO) pada tiga genotipe prolifikasi dan manajemen yang berbeda

. . .

Distribusi (46) anak kedalam kelompok genotipe berdasarkan kelasifikasi pejantan d m induk

. . .

Jumlah pengamatan (N), Rataan kuadrat terkecil (LSM) dan Salah baku (SE) dari daya hidup embryo (%) pada tiga genotipe prolifikasi dengan manajemen yang berbeda

. . .

Daya hidup embryo

(DHE)

berdasarkan taju owlasi (LO) induk dan kapasitas tampung uterus (KTU)

. . .

(24)

Jurnlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari jurnlah anak sekelahiran (JAS) dari rnanajernen yang berbeda

. . .

Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari jurnlah anak seketahiran (JAS) dornba pada

berbagai tingkat paritas

. . .

Jurnlah pengarnatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan safah baku (SE) dari bobot lahir total (BL) pada tiga genotipe prolifikasi

berbeda

...

Jurnlah pengarnatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari bobot lahir totaI (BL) pada rnanajernen berbeda

. .

Jurnlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari bobot lahir total (BL) domba pada berbagai tingkat

. . .

paritas

Jurnlah pengarnatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari daya hidup anak (DHA) pada tiga genotipe prolifikasi dan rnanajemen yang berbeda

. . .

Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku (SE) dari daya hidup anak (DHA) pada berbagai tingkat pantas

. . .

Jurnlah pengamatan

(N),

rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah

baku (SE) dari pertarnbahan bobot badan induk selama

kebuntingan (PKB) pada tiga genotipe prolifikasi dan rnanajernen yangberbeda

. . .

Persentase

(96)

total bobot lahir dari total produksi induk dari tiga

...

genotipe prolifikasi pada rnanajernen yang betbeda

Jurnlah pengarnatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah

baku (SE) dari bobot *h total (BS) pada tiga genotipe prolifikasi dan manajemen yang berbeda

. . .

Jurnlah pengarnatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku dari bobot sapih total

(6s)

pada berbagai tingkat paritas

. .

xvi

(25)

baku (SE) dari bobot kawin (BK) pada tiga genotipe prolifikasi dan manajemen yang berbeda

. . .

Jumlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan satah baku (SE) dari bobot kawin (BK) berdasarkan paritas induk

. . . .

Jurnlah pengamatan (N), rataan kuadrat terkecil (LSM) dan salah baku dari bobot saat beranak (BB) pada paritas induk dan manajernen yang berbeda

. . .

Nilai dugaan ripitabilitas (r) dan heritabilitas (h2) untuk sifat-sifat laju ovulasi (LO), daya hidup embrio (DHE), lama kebuntingan (LKB), jumlah anak sekelahiran (JAS), bobot lahir total (BL), daya hidup anak (DHA), bobot sapih total (BS), bobot kawin (BK) dan bobot

. . .

beranak (88)

Dugaan korelasi fenotipik (r,) antara bobot betina saat dilahirkan (BL), bobot saat sapih

(m),

bobot saat kawin (BK) dan bobot saat beranak (66)

. . .

Dugaan korelasi genetik (re) antara bobot betina saat dilahirkan

(BL), bobot saat sapih (BS), bobot saat kawin (BK) dan bobot saat beranak (65)

. . .

Nitai koefisien dugaan parameter yang diperoleh dari fungsi

. . .

produksi pada tingkat rnanajernen rendah (MNJ-1)

Nilai koefisien dugaan parameter yang diperoleh dari fungsi

. . .

produksi pada tingkat rnanajernen sedang (MNJ-2)

Nilai koefisien dugaan parameter yang diperoleh dari fungsi

. . .

produksi pada tingkat rnanajemen tinggi (MNJ-3)

Estirnasi marjin kotor usaha ternak dornba tipe kelahiran tunggal pada tiga tingkat rnanajernen

. . .

Estimasi marjin kotor usaha ternak domba tipe kelahiran kernbar

...

pada tiga tingkat manajemen

Estirnasi marjin kotor usaha ternak domba tipe kelahiran triplet pada

(26)

xviii

36. Distribusi

(96)

tipe kelahiran berdasarkan genotipe ternak

. . . .

.

1 1 3 37. Majin kotor (Rp) berdasarkan genotipe induk dan tingkat
(27)

Nomor Halaman

Teks

1. Rataan laju ovulasi (LO) pada masing-masing genotipe dari bhun

1983-1993

. . .

49

2. Rataan daya hidup embrio {DHE) pada masing-masing genotipe

. . .

dari tahun 1983-1993 57

3. Rataan jumlah anak sekelahiran (JAS) pada masing-masing

. . .

genotipe dari tahun 1981 -1 993 62

4. Distribusi (%) jumlah anak sekelahiran berdasarkan genotipe

. . .

63

5. Rataan total bobot lahii per induk (BL) pada masing-masing genotipe dari tahun 1981-1 993

. . .

69

6. Rataan daya hidup anak pra-sapih per induk (DHA) pada masing-

masing genotipe dari tahun 1981 -3 993

. . .

75

7.

Rataan total bobot sapih anak per induk (BS) pada masing-masing

. . .

genotipe dari tahun 1981 -1 993

a4

8. Rataan bobot kawin induk (BK) pada masing-masing genotipe dari

tahun 1981 -1 993

. . .

88

9. Rataan bobot saat beranak (BB) pada masing-masing genotipe dari tahun 1981-1993

. . .

94

10. Total bobot sapih per induk (kg) pada tiga manajemen (MNJ)

dengan tiga tipe kelahiran (TKL) berbeda

. . .

104
(28)

Nomor Hataman

Teks

1. Jumlah pengamatan (N), Rataan nilai kuadrat terkecil (LSM) dan

Salah baku (SE) untuk Iaju ovulasi (LO).

. . .

126

2. Jumlah pengamatan (N), Rataan nilai kuadrat terkecil (LSM) dan

Salah baku (SE) untuk Daya hidup embrio (DHE)

. . .

128

3. Jurnlah pengamatan (N), Rataan nilai kuadrat terkecil (LSM) dan

Sdah baku (SE) untuk Jumlah anak sekelahiran (JAS)

. . .

330

4. Jumlah pengamatan (N), Rataan nilai kuadrat terkecil (LSM) dan

Salah baku (SE) untuk Bobot lahir total (BL)

. . .

132

5. Jumlah pengamatan (N), Rataan nilai kuadrat terkecil (LSM) dan

Salah baku (SE) untuk

Daya

hidup anak (DHA)

. . .

134 6. Jumlah pengamatan (N), Rataan nilai kuadrat terkecil (LSM) dan

Salah baku (SE) untuk Bobot sapih total (9s).

. . .

136

7.

Jumlah pengamatan (N), Rataan nilai kuadrat terkecil (LSM) dan

Saiah baku (SE) untuk Bobot kawin (BK)

. . .

138

8. Jumlah pengamatan (N). Rittaan nifai kuadrat terkecil fLSM) dan

Salah baku (SE) untuk Bobot beranak (66)

. . .

140

9. Nilai usaha pembibitan dengan skala usaha 120 ekor induk

(29)

Domba-domba dari P. Jawa terkenal kerena kemampuannya untuk

menghasilkan anak banyak (prolifik). Mason (1 978) melaporkan prolifikasi domba

dari P. Jawa sebesar 170, 156 dan 136 persen. masing-masing untuk domba Priangan, domba ekor gemuk dan domba lokal ekor tipis. Dilaporkan pula bahwa

ternak-ternak ini mampu untuk beranak sepanjang tahun. Dengan jarak kelahiran

delapan butan, rnaka dalarn dua tahun seekor induk domba dari P. Jawa dengan

kelahiran tunggal mampu menghasilkan 3 ekor anak per induk atau 1.5 ekor anak

per induk per tahun.

Di Stasiun Pemuliaan Balai Penelitian Ternak. Cicadas. Kabupaten Bagor

dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 telah dilakukan penelitian untuk

mencari penyebab tingginya angka keragaman jurnlah anak sekelahiran pada

domba-domba di P. Jawa. Saat ini penelitian masih dilanjutkan di Stasiun

Penelitian Ternak, lokasi Bogor. Batas atas jumlah anak sekelahiran ditentukan oleh jumlah ovum yang diovulasikan oieh seekor betina. Hasil analisa data

membuktikan bahwa sifat reproduksi ternak domba ini dipengaruhi ofeh gen

tunggal FecJF, yang bekerja secara aditif, sehingga keragaman jumlah ovum yang dilepaskan oleh seekor induk tergantung dari genotipe induk tersebut

(Bradford et a/.. 1991).

Kehadiran gen F e d F pada populasi domba di Indonesia, mengakibatkan

(30)

2

genotipe FecJF~ec.JF (prolifikasi tinggi), FedFFecJ+ (profifikasi sedang) dan

FecJ'FecJ' (prolifikasi rendah). Hal ini rnengakibatkan pula terjadinya variasi

dalarn jurnlah

anak

yang dilahirkan. Akibat adanya interaksi dengan lingkungan,

ternyata gen F e d F ini tidak saja berpengaruh pada jurnlah ovulasi dan jurnlah

anak lahir; tetapi juga secara tidak langsung terhadap bobot tahir, mortalitas,

bobot sapih, dan umur kawin. Dengan rnengetahui sifat-sifat reproduksi dan

produksi sejak dini akan dapat rnernbantu dalarn seleksi individu-individu cdon

bibit yang akan dikernbangkan lebih fanjut, dan rnernpercepat pengeluaran ternak-

ternak sisa seleksi untuk dgunakan sebagai ternak bakalan pada usaha

penggernukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati sifat reproduksi dan produksi

dornba dengan prozifikasi rendah, sedang dan tinggi yang dikernbangkan di Balai

Penelitian Ternak. Ciawi Bogor dan yang telah diidentifikasi sejak usia rnuda,

serta untuk rnengetahui kapan suatu genotipe tertentu berproduksi paling tinggi

dan pada lingkungan yang bagairnana produksi tinggi tersebut dicapai.

Setanjutnya mengingat untuk mencapai produksi tinggi fersebut diperlukan input

yang berbeda-beda pada masing-masing genotipe, rnaka penelitian ini juga

(31)

Penemuan

Gen

Prolifik

Dornba-domba di

P.

Jawa dikenal rnernpunyai sifat keragarnan jurnlah

anak sekelahiran yang tinggi. Banyak betina rnernpunyai anak satu atau dua

ekor saja, tetapi frekuensi betina-betina yang mernpunyai anak 3, 4 clan 5 ekor

lebih tinggi dari yang diharapkan untuk suatu populasi dengan rataan jurnlah anak

sekelahiran sekitar dua ekor (Bradford et a/., 1984). Laporan-iaporan dari peternak di pedesaan menyatakan bahwa pada induk-induk tertentu cendemng

untuk mempunyai anak banyak secara berulang. Catatan produksi dornba dari

Balitnak mernperkuat adanya pola beranak yang dernikian.

Kernatian anak dari tipe kelahiran 3 atau lebih sangat tinggi (fnounu et

al.,

1982), sehingga potensi keuntungan dari beiina dengan jurnlah anak banyak ini tidak terlihat. Betina-betina yang rnerawat anak banyak membutuhkan tingkat

nutrisi yang sangat baik pada fase sebelum dan sesudah kelahiran dan juga

rnernerlukan perawatan serta perhatian yang lebih banyak, jika persentase anak

hidup yang tinggi ingin dicapai. Apabila dalarn suatu kelompok ternak dapat

diprediksi jurnlah anak yang akan dilahirkan, hal tersebut akan sangat rnembantu

dalarn pengembangan rnanajernen yang efisien. Kelornpok ternak yang beranak

banyak akan lebih produktif pada kondisi pakan dan manajernen yang tinggi

sedangkan induk-induk beranak tunggal dapat beradaptasi pada kondisi pakan

(32)

4

berdasarkan jurnlah anak yang dilahirkannya menjadi sangat penting.

Pacia awalnya penelitian ternak domba di Bslitnak bertujuan untuk

mernpelajari potensi produksi ternak l o ~ 5 e s i a terutarna yang ada di

PJewa. Vntuk itu pada tahun

/

=

I

dibeli dornba d& Garut Jawa Barat

- d

sebanyak 20 ekor betina dan 15 ekor pejantan, dari Sernarang Jawa Tengah 22

ekor betina dan 6 ekor pejantan, dan dari Grati Jawa Tirnur sebanyak 38 ekor

betina dan 5 ekor pqantan, sebagai tambahan terhadsp ternak yang telah ada

sejak tahun 1978 yaitu sebanyak

60

ekor betina dan 2 &or pejantan, yang

sebelurnnya juga dibeli dari daerah Garut, Jawa Barat.

Catatan produksi sampai tahun 1982

&ri

ternak-ternak yang dibeli tersebut

ditambah catatan produksi dari ternak-ternak yang tefah ada di Stasiun

Percobaan sejak tahun 1978, rnenunjukkan adanya pola beranak yang tetap.

yaitu ada beberapa induk yang beranak banyak secara berulang dan ada pula

bebwapa induk yang selalu beranak tunggal. Hasil ini rnenarik perhatian Prof.

Bradford dari U.C. Davis yang berkunjung ke Balitnak pada saat itu. Beliau

meiihat ada kernungkinan reproduksi pada domba-domba ini dipengaruhi oleh gen

yang mirip dengan gen Booroola pada domba Booroola Merino. Sebagai

kelanjutannya pada bulan April-&lei 1983 difakukan pengarnatan terhadap Iaju

ovulasi ternak-ternak ini dengan teknik laparoskopi, sebanyak dua kali. Pada

saat itu jurnlah ternak yang tedibat adalah 90 ekor betina Garut. 37 ekor betina Ekor Gernuk dari Grati beserfa I 3 ekor anaknya, dan 18 ekor betina dari

(33)

tersebut diamati produksi sel telurnya (laju ovulasi) dengan

cara

menghitung

jumlah "corpus luteum (CL)" yang dihasilkannya. Pengamatan sernentara menunjukkan bahwa dari 744 ekor betina yang dapat diamati produksi sel

telurnya sebanyak dua kali, ada 97 ekor betina yang rnenghasilkan jumlah CL

yang sama banyaknya antara birahi yang pertama dengan birahi yang kedua.

Dari penelusuran lebih lanjut, ternyata betina dengan CL yang tinggi juga berasal

&ti induk yang rnenghasilkan anak banyak, demikian pula betina dengan jurnlah

CL yang rendah berasal dari induk yang beranak sedikit. Berdasarkan hasit ini

Bradford

ef

a/.

(1 984) menduga adanya gen tipe Booroola yang mempengaruhi

laju ovutasi pada domba-domba E3ooroola AAerino. Namun untuk membuktikannya

diperlukan tebih banyak data dan dengan garis keturunan yang jelas. Untuk itu

diiakukan perkawinan pada domba-dornba yang telah diiakukan klasifikasi

berdasarkan hasil laparoskopi (jumlah

CL)

dan catatan jumlah anak yang pernah

dilahirkannya. Pada tahap ini klasifikasi pada k i n a baru dilakukan dengan cara

rnengelompokkan betinabetina yang mempunyai laju ovulasi .rendah (12) dan betina yang mempunyai laju ovulasi tinggi (23). Klasifikasi ini dilakukan pada

semua betina, baik yang berasal dari Garut, Semarang maupun yang berasai dari

Grati. Perkawinan dilakukan dengan mengawinkan kedua kelompok betina

tersebut dengan kelornpok pejantan dari Garut. Sedangkan klasifikasi pejantan

dilakukan dengan memperhatikan jumlah anak dari betina keturunannya, dan juga

dibeli beberapa pejantan lagi dari Garut dengan tipe kelahiran yang telah

(34)

6

ovuiasi dengan teknik yang sama dilakukan dua kali Iagi. Hasilnya lebih

menguatkan lagi dugaan akan adanya gen tunggal yang mempengaruhi

reproduktivitas pada domba-domba ini, dengan ripitabilitas untuk laju ovulasi

sebesar 0.80 d m untuk jurnlah anak sekelahiran 0.35 (Bradford et

aL,

1986)

Pada tahun 1990 dalam suatu konferensi di Toulouse, Perancis, gen yang

mempengaruhi reproduktivitas pada domba dari Balitnak ini dinamakan gen

"Fecundity Javaw atau disingkat gen Fed; selanjutnya untuk gen pembawa sifat

jumlah an& banyak diberi notasi gen FedF, sedangkan untuk gen pembawa sifat

jumlah anak sedikit diberi notasi gen Fed' (Elsen et

a/.,

1991).

Pada tahun 1993 Dr. J. Hetzel dari CSlRO Australia, tertarik untuk

mempetajari hubungan antara gen FecJ dengan gen FecB dari Booroola Merino, sehingga dilakukanlah kerjasama penelitian untuk mencari metoda yang tepat

untuk mendeteksi gen F e d ini. Hal ini dilakukan dengan cara mengawinkan

betina-betina dengan genotipe FecJ'FecJ* dengan pejantan FecJFFec4+ dan

betina-betina dengan genotipe ~ e c J ~ F e c ~ + dengan pejantan FecJ'FecJ',

kemudian diambil contoh darah dari hasii perkawinan ini dan juga dari tetuanya.

Penentuan genotipe keturunannya dilakukan dengan teknik laparoskopi sebanyak

empat kali, dengan kriteria yang sama seperti yang diajukan oleh Bradford

ef a/.

(1991). Hasil sementara dari analisis DNA dengan menggunakan metode yang

sama seperti yang dilakukan pada gen FecB, didapatkan adanya keterkaitan

antara penciri OarHH55 dengan FecJF, seperti halnya pada gen FecB

(35)

dalam tahap penyempurnaan metode yang tepat untuk mendeteksi gen F e d .

Apabila metode ini telah berhasil dengan baik maka untuk mendeteksi pqantan

karier gen FedF akan dapat dilakukan dengan mudah.

Keragaan Reproduksl

Batas atas keragaan reproduksi adalah jumlah sel telur yang dihasilkan

oleh seekor induk per satu siklus birahi, yang diamati dengan cara menghitung

jumlah "corpus luteum" (badan kuning) dari kedua indung tetur pada hari ke S t 0

setelah birahi. Faktor lingkungan merupakan faktor pendukung apakah batas

atas tersebut dapat dicapai.

Laju 0 W I ~ S I * dan JumIah Anak Sskelahlran: Laju ovulasi adatah rataan

jumlah sel tdur yang dihasilkan oleh seekor induk setiap siklus birahi. Di dunia

ini ada beberapa bangsa domba yang sangat prolifik, ditandai dengan laju owlasi

(36)

8 'Tabel 1 . Domba-domba proiifik di dunia'

1 : Bindon dan Piper (1 986).

i!.

Bradford el

a/.

(1 986).

Dari sekian banyak bangsa-bangsa dornba yang prolifik ini baru domba

Booroola Merino dan Domba Jawa (Priangan. Ekor Gemuk, dan lokal dari

Semarang) yang telah diteliti secara intensif penyebab tingginya laju ovulasi ini.

Pada dornba Booroola Merino dan Domba Jawa, temyata ada gen tunggal.

masing-masing gen FecB dan gen F e d F secara berturut-turut, yang

nlempengaruhi la@ ovulasi. Penemuan akan adanya gen tunggal ini

memudahkan kita untuk rneningkatkan penanganan ternak. Sehingga

perneliharan ternak dapat dilakukan berdasarkan genotipenya. Hal ini penting

karena pada ternak-ternak dengan prolifikasi tinggi diperlukan banyak pakan

tambahan untuk meningkatkan daya hidup anak. Apabila jurnlah pakan yang

siima diberikan pada domba non-karier, ha1 ini merupakan pernborosan yang

akan menurunkan keuntungan.

Dari beberapa pubtikasi (Hohenboken dan Clarke. 1981 ; Bradford, 1985) Jumlah anak

sekelahiran

Rataan Kisaran

2.6 1 -7

2.6

1-5

2.1

3-6

2.5 1 -7

2.6 1 -8

1.8 1-5

Bangsa

I

Laju Ovulasi

Finnsheep Romanov D'Man

Booroola Merino Cambridge Priangan2

Rataan Kisaran

3.5 1 -9

3.4 1-7

2.8 1 -8

4.2 1-1 1

4.0 1-13

(37)

diketahui bahwa peningkatan jumlah anak sekelahiran secara ekonomis

menguntungkan dibandingkan induk yang menghasitkan satu ekor anak saja

setiap kelahirannya. Bindon et

at.

(1984) mefaporkan bahwa kenaikan jumlah

anak saat lahir 0.77 ekor per induk beranak, menghasilkan kelebihan keuntungan

sebesar 24%. Hal ini disebabkan total bobot liter anak saat sapih lebih tinggi

pada induk yang beranak kembar dibandingkan induk yang beranak tunggat.

lnounu et

d.

(I 993) melaporkan bahwa rataan bobot sapih dari induk yang

melahirkan tunggal, kembar dua dan tiga addah sebesar 10.5. 12.3 dan 13.1 kg

per induk secara berturut-turut pada kondisi lingkungan yang normal. Hal ini

belum memperfihatkan keunggulan dari induk-induk yang beranak kembar &lam

produksi anak sampai disapih. Namun, dengan peningkatan kondisi lingkungan

(peningkatan kualitas dan kuantitas pakan), bobot sapih tersebut meningkat

secara berturut-turut menjadi 15.2, 20.1 dan 24.4 kg per induk yang beranak

tunggal, kembar 2 dan 3. Pada kondisi dernikian baru terlihat keistirnewaan dari

induk-induk yang beranak banyak. Namun, keistimewaan dari domba Indonesia

tersebut belum banyak dipelajari dari segi ekonomi, sehingga belum merangsang

pengusaha untuk bergerak dalarn bidang usaha ternak domba. Penyebab lain

adalah rendahnya harga karkas, karena kuatitas karkas masih di bawah kualitas

karkas domba irnpor. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot

badan dan kualitas karkas pada ternak domba adalah faktor genetik.

Untuk menangani ha1 tersebut di atas telah dilakukan persilangan betina

(38)

10

kualitas karkas yang tinggi sekaligus dengan jumlah anak yang banyak (Inounu

et al.. 1 995).

Kondlsi Temaic Untuk Pasar Non-Tradislonal Dan Ekspor

Pada Tabel 2 di bawah ini terlihat pertumbuhan domba Jawa (Inounu

et

al., 1993) dan target pertumbuhan untuk mencapai bobot ternak yang secara komersil diterima di pasar non-tradisional dan ekspor. Pada pasaran tersebut

yang dikehendaki adalah ternak domba dengan bobot badan 35 kg.

Tabef 2. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) pada domba Jawa dan

target untuk rnencapai bobot ternak kornersil.

umber:

lnounu et

at.

(1993). Bobot sapih pada umur 3 bulan. Karakter

Dari Tabei 2 di atas jelas terlihat bahwa untuk ternak-ternak yang

dilahirkan tunggal, tidak ada hambatan untuk mencapai target produksi tersebut,

karena pertambahan bobot badan harian (PBBH) sebesar itu banyak dilaporkan.

Masdah mulai timbul jika ternak dilahirkan lebih dari satu ekor per induk, karena Tipe Kebahiran

Tu nggal Kern bar Triplet

Bobot Lahir'

(Kg):

Bobot Sapih' (Kg): PBBH 0-3 bulan' (g):

Standar Bobot jual, 9 bulan (Kg):

I

Target PBBH 3-9 bulan

(9):

2.60 1.83 1.43

15.20 10.50 8.1 0

140 96 74

35 35 35

(39)

pertumbuhan sebesar 134 dan 147 glhari untuk ternak kembar dan ternak triplet

akan sukar dicapai. Kalaupun dapat dicapai dengan pemberian pakan yang

bermutu tinggi akan sangat tidak ekonomis. Salah satu cara untuk pemecahan

masalah yang telah dilakukan adalah dengan mernperbaiki mutu genetiknya, yaitu

dengan

cross

breeding (terminal

sire).

Faktor-faktor Yang Wmpengaruhi Bobot Lahir

Hansard dan Berry (1969) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi bobot lahir seekor ternak adalah: intra-uterin (lingkungan fetus),

genotip induk, lingkungan induk, genotip anak, paritas, nutrisi, jenis kelamin, dan

umur induk.

Faknor

in-utetfn (lingkungan fetus> Pada spesies

pofytocous

(beranak

banyak dafam satu kelahiran), peningkatan jumlah anak sekelahiran diiringi

dengan menurunnya laju pertumbuhan prenatal karena variasi dalam fungsi

plasenta dan lamanya kebuntingan. Keterlambatan pertumbuhan fetus pada

ternak yang berasal dari jumlah anak sekelahiran yang banyak semakin jelas

dengan bertambahnya umur kebuntingan. Untuk beberapa alasan yang tak jelas.

pengaruh jumlah anak sekelahiran pada bobot fetus tebih terfihat pada hewan

rodensia laboratorium dibandingkan pada babi. Lambatnya pertumbuhan pre-

natal tidak disebabkan ofeh pengaruh mekanik dari banyaknya fetus dalam satu

(40)

12

gizi darah dari induk. Namun, peningkatan konsumsi kalori pada induk tidak

mengakibatkan peningkatan yang nyata pada bobot fetus di atas batas normal

yang disebabkan oleh genotip fetus.

Pada tahap awal dari perkembangan fetus, pasokan nutrisi selalu cukup.

tetapi kemudian, saat fetus rnenjadi lebih besar dan tumbuh setiap hari, nutrisi

merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi pertumbuhan. Secara

umum dapat dikatakan bahwa jumlah pasokan darah induk dengan semua

kandungan gizinya yang mencapai fetus inilah yang menentukan laju

pertumbuhan fetus. Setelah lahir, bila makanan cukup, pengaruh genetik dari

bapak mulai tampak perannya, tetapi pada saat yang sama, karena lambatnya

laju pertumbuhan pada tahap akhir kebuntingan, nafsu makan akan diatur pada

tingkat yang sesuai dengan ukuran dan laju pertumbuhan seperti sebelum lahir

saat pusat nafsu makan (appetite centre) di hypothalamus sedang dikembangkan

(Widdowson dan McCane, 1975) dikutip oleh Widdowson (1980).

Plasenta adalah tempat fetus tumbuh dan berkembang sebelum

kelahirannya. Plasenta sering dihubungkan sebagai organ fetus. Karena semua

gizi yang rnencapai fetus diangkut oleh plasenta, sering diasumsikan bahwa

pertumbuhan prenatal ditentukan oleh plasenta, dan plasenta yang kecil

rnenghambat pertumbuhan prenatal. Namun mungkin pula bahwa fetus yang

kecil te jadi karena secara genetis mempunyai potensi pertumbuhan yang rendah

atau kemungkinan lain adalah pasakan makanan yang buruk dari induk akan

(41)

yang menjadi kecil karena buruknya pasokan makanan induk (Gruenwald, 1967).

Aherne (1966) melaporkan bahwa pada manusia ada hubungan alometrik

antara bobot plasenta dengan bobot fetus. Besar plasenta dapat dibatasi oleh

berbagai macam proses-proses maternal, dan kemudian keterbatasan plasenta

akan menghambat pertumbuhan fetus. Pengaruh maternal yang secara tidak

langsung ini diperantarai oleh plasenta. Pada spesies tertentu terdapat hubungan

yang erat antara ukuran pfasenta dengan bobot fetus. Pertumbuhan anak yang

kerdil, yang sering terlihat pada anak babi yang berasaf dari jumlah anak

sekelahiran yang tinggi, erat hubungannya dengan ukuran pfasenta yang kecil.

Secara anatomi plasenta bertindak sebagai sumber cadangan darah dalam

sirkulasi maternal. Aliran darah pada arteri uterin dapat rnenjadi rendah jika

terdapat banyak plasenta dalam satu tanduk uterin dibandingkan jika hanya satu

plasenta saja. Penurunan aliran darah &pat menyebabkan menurunnya pasokan

oksigen terutama pada piasenta-plasenta yang terletak lebih jauh jaraknya.

KeabnorrnaIan vaskuler plasenta tersebut seperti i n t r a ~ t e ~ n e transfusion

syndrome mempengaruhi secara nyata pertumbuhan prenatal.

Faktorgenerik Besarnya fetus banyak dipengaruhi ofeh genotip fetus dan

induk, dan fetus lain yang berada dalam uterus tersebut. Kontribusi maternal

terhadap keragaman ukuran fetus febih besar dibandingkan kontribusi paternal.

McCallum (1 898) dan Montgomery (1 962) yang dikutip oleh Widdowson

(42)

serat otot secara penuh. Pertumbuhan otot setelah lahir semata-mata

disebabkan oleh pembesaran (hypertrophy) dari serat-serat yang telah ada sejak

lahir. Penelitian yang serupa pada babi yang dilaporkan oleh Stickland,

Widdowson dan Goldspink (1975) yang dikutip oleh Widdowson (1980)

menunjukkan bahwa jumIah serat-serat dalam otot indikator pada kaki depan

(musculus flexor digiti minimi brevis) mempunyai jumlah yang sama antara

individu an&-anak sekelahiran, tetapi berbeda antara anggota anak sekelahiran

yang satu dengan anak sekdahiran lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah

serat-serat otot ditentukan secara genetik, tetapi kita tahu pula bahwa ukuran dari

serat-serat otot tergantung dari makanan dan besar dari individu tersebut, dan

berapa banyak otot itu bekerja.

Pada domba ada kecenderungan bahwa pejantan tipe besar berasal dari

tipe kelahiran tunggal, sehingga secara genotip diduga domba tersebut termasuk

ternak non-karier (normaf) untuk gen prolifik. Apabila seleksi dilakukan hanya

berdasarkan bobot badan, ha1 ini akan berakibat menurunnya rataan jumlah anak

lahir pada peternakan tersebut. Untuk memecahkan masalah tersebut perlu

dilakukan tiga pola perkawinan, yaitu pada satu kelompok khusus untuk

mengembangkan ternak homozigot prolifik (FecdFFecJp, satu kelompok lagi khusus bagi pengembangan ternak hornozigot non-prolifik (FecJ'FecJ*), yang

ketiga adalah persilangannya, yakni ternak heterozigot ( F d F F e d + ) . Betina-

betina heterozigot inilah yang digunakan sebagai usaha ternak kornersil yakni

(43)

sehingga akan didapatkan jumlah anak seketahiran yang relatif banyak (2.1 1 ekor

per induk) dan mempunyai daya tumbuh yang tinggi, sehingga kombinasi dari

keduanya dapat mendukung tujuan usaha penggemukan (Bradford, 1993).

Selain itu, perturnbuhan prenatal yang besar erat hubungannya dengan

ukuran tubuh induk yang besar. lnounu et at. (1993) rnenganjurkan untuk

memilih calon induk dengan bobot minimal 23 kg pada

saat

perkawinan pertama

untuk domba ekor tipis. Sifat genetik dari bapaknya menentukan batas atas dari

ukuran anak saat lahir bila induknya besar, tetapi ukuran plasenta merupakan

faktor pembatas ukuran anak saat lahir apabila induknya kecil. Hal ini

disebabkan oleh nutrisi maternal dan bukan disebabkan oleh inherifan

sitoptasmik, ha1 ini terlihat dari penelitian dengan cara embrio transfer (Hafez,

1969~1). Hunter (1 956) mefakukan penelitian persilangan resiprokalantaradomba

bangsa besar Border Leicester dengan domba bangsa kecil Welsh. Hasilnya

terlihat adanya pengaruh maternal pada penyitangan resiprokal: anak domba

persilangan dengan induk besar fampak tebih berat dari anak domba persilangan

dan bangsa induk kecil. Perbandingan antara persilangan dan bangsa murninya

dari induk berbangsa besar dan kecil secara berturut-turut, menunjukkan bahwa

pejantan yang kecil sedikit pengaruhnya pada bobot lahir dibandingkan dari

pejantan yang besar yang dikawinkan dengan induk yang kecil.

Permanen atau tidaknya pengaruh maternal pada perbedaan ukuran-

ukuran tubuh anak dikemudian hari ditentukan oieh tingkat perkembangan fetus

(44)

16 secara penuh pada saat lahir, pengaruh maternal pada ukuran tubuh akan

rnenghiiang dengan bertarnbahnya urnur, walaupun perbedaan bobot masih

tarnpak sarnpai pada urnur beberapa bufan (Hunter, 1 956).

FBktor nutrlsl

nzaQemaI: Fetus sangat mengagumkan ditinjau dari segi nutrisi.

Walaupun pada kondisi induk yang sangat kekurangan gizi, fetus tetap saja

turnbuh dan akan mencapai bobot fahir harnpir normal. Pada situasi yang

tertentu bobot fetus proporsional terhadap konsumsi kalori dari induk. Pada

dornba, kadar zat gizi pada akhir kebuntingan rnernpunyai pengaruh yang nyata

terhadap bobot lahir. Bila induk mengalami kekurangan gizi selarna sepetiiga

akhir kebuntingan, ia akan mernproduksi anak yang kerdil walaupun ia rnendapat

rnakanan yang baik selarna awal kebuntingannya. Sebaliknya kadar zat gizi yang tinggi pada akhir kebuntingan rnenghasilkan anak dengan ukuran yang normal

(Wallace, 1948). Pada sepertiga akhir kebuntingan variasi dalarn bobat fetus

rnenggarnbarkan perbedaan dari faktor genetik, jurnlah anak sekelahiran, status

gizi dan kesehatan dari induk. Bila induk rnendapatkan cukup rnakanan, bobot

tahir cenderung untuk mencapai batas atas dari kemarnpuan genetiknya. Ebbot

lahir dari anak tunggal dari induk domba yang diberi rnakanan tingkat tinggi pada

setengah akhir kebuntingan tidak lebih besar dari anak tunggal yang induknya

rnendapat kadar gizi yang sedang. Anak dornba jantan turnbuh lebih cepat

(45)

lebih tinggi (1 6% vs. 20%) pada sepertiga akhir kebuntingan rnenghasilkan anak

dengan bobot Iahir lebih tinggi terutama pada tipe kelahiran kernbar, demikian

pula dengan daya hidupnya. Gizi induk yang buruk selama akhir kebuntingan

akan rnenyebabkan rnenurunnya kandungan glikogen dalam otot fetus dan

terutarna hati dari fetus. Glikogen fetus yang disimpan secara normal &an

rneningkat pada akhir kebuntingan dan bertindak sebagai surnber energi segera

setelah lahir, sehingga gizi induk yang buruk dapat meningkatkan mortalitas

neonatal. Organ tubuh sangat rnudah terpengaruh oleh cekaman yang

diakibatkan oleh gizi saat laju pernbelahan sel rnencapai puncaknya. Organ yang

masak dini seperti otak dan sistern syaraf pusat (Central Nervous System) akan

sangat mudah terserang cekarnan gizi pada tahap awal kehidupan (Hafez, 1969).

lnounu

eta/.

(1 993) mdaporkan bahwa tidak ada keuntungan dari induk-

induk yang melahirkan anak banyak, apabila tidak diiringi dengan peningkatan

kualitas dan kuantitas pakan. Dengan perbaikan pakan diharapkan bobot saat

lahir akan meningkat, yang pada gilirannya akan rneningkatkan daya hidup dan

dengan rneningkatnya daya hidup rnaka &an rneningkat pula produksi induk saat

sapih.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bobot Sapih

Bibit memegang peranan penting dalarn suatu usaha peternakan. Bibit

yang unggul secara genetik terkadang belurn tentu unggul pula secara ekonomis

(46)

18 yang diperlukan oleh suatu perusahaan peternakan adalah suatu program

pemuliaan yang mengarah kepada sifat-sifat yang secsra genetik unggul namun

tetap rnenguntungkan secara ekonornis. lnounu

ef

a/.

(1993) melaporkan adanya

sifat unggul dalarn produksi anak pada domba yang berasal dari Pulau Jawa.

Dornba-dornba ini mempunyai sifat beranak &ngan tipe kdahiran yang berbeda.

Namun daiam kondisi normal. total produksi b o h t sapih anak per induk tidak

berbeda. Hal ini terutama disebabkan oleh kenaikan jumlah anak sekelahiran

yang selafu disertai dengan semakin rendahnya rataan bobot lahir per individu

anak (2.60, 1 -83 dan 1.50 kg secara berturut-turut untuk tipe kelahiran 1, 2 dan 3). Menurunnya bobot lahir anak menyebabkan lemahnya kondisi anak yang

diperburuk pula oleh kondisi tubuh induk yang buruk, pertambahan bobot badan

(PBB) induk dilaporkan kian rendah dengan meningkatnya jumlah anak

sekelahiran.

Menurunnya kondisi induk erat kaitannya dengan rendahnya produksi

susu, sehingga keunggulan induk yang prolifik tidak tampak karena secara urnum

produksi induk sampai saat sapih adalah sama untuk ketiga t i p kelahiran (sekitar

10 kg). Pertumbuhan pascanatal menurun karena terhambatnya perturnbuhan

prenatal, selanjutnya ternak yang mengalami keterlarnbatan perhrrnbuhan

prenatal mempunyai efisiensi penggunaan makanan yang buruk pada saat

pertu mbuhan pascanatal.

Hal ini menunjukkan perlunya manajemen pernberian pakan yang khusus

(47)

dan kuantitas pakan pada akhir kebuntingan, terutarna pada induk-induk yang

membawa anak kembar. Usaha ini telah menghasilkan anak dengan bobot lahir

yang lebih baik dengan daya hidup yang tinggi pula (Inounu et a/., 1993).

Kombinasi antara daya hidup dan bobot lahir inilah yang pada akhirnya akan

menentukan produksi akhir seekor induk pada saat sapih. Bagaimana

rnemperbaiki bobot tahir an& dari tipe kelahiran tinggi agar daya hidupnya tinggi beturn banyak dipelajari.

Pertumbuhan Pasca Sapih

Masalah yang dihadapi oleh usaha penggemukan adalah sangat

bervariasinya bobot ternak bakalan. Seperti telah diterangkan di atas,

bervariasinya bobot sapih ternak disebabkan oleh jumlah anak sekelahiran dan

bobot Iahir. Usaha untuk mendapatkan bobot akhir yang sama dari ternak

bakalan yang berumur sama namun berbeda tipe kelahiran dan bobot awalnya

telah dilakukan oleh Yulistiani et a/. (1 990) yang meneliti anak domba sapihan (90 hari) dari tip kelahiran tunggal disapih sebagai tunggal dan kembar dua disapih

sebagai kernbar dua. Dombadomba tersebut dikelornpokkan berdasarkan dua

golongan berat sapih, yaitu besar dan kecil. Dengan pemberian makanan secara

"ad libitum" didapatkan konsurnsi hijauan sebesar 16% dan konsentrat 84% dari

total bahan kering yang dikonsumsi dan dilaporkan bahwa perbedaan bobot

sapih yang terlihat pada awal percobaan juga terlihat pada akhir percobaan.

(48)

20 umumnya menghasilkan tubuh yang kecil saat dewasa, namun kurang gizi pada

fase lanjut dari periumbuhan yang kemudian diikuti dengan rehabilitasi dapat

menghasilkan tubuh yang normat. Hewan dan an*-anak yang kurang gizi

sesudah lewat periode awal yang kritis akan selalu lapar, mereka akan makan

dengan banyak apabila makanannya tersedia, bobot dan panjang tubuhnya akan

tumbuh dengan cepat sampai mendekati kurva perturnbuhan yang normal

sebelum fase kekurangan gizi. Kernudian mereka akan mengurangi makannya

dan laju pertumbuhannya mulai menurun. Ashworth (1969) tdah mdakukan studi

khusus tentang ini pada anakanak yang dipulihkan dari kekurangan protein-

kalori, demikian pula Harris (1 979) yang keduanya dikutip oleh Widdowson (1980)

melakukan hal yang sama pada tikus. Keduanya mendapatkan bahwa konsumsi

(intake) makanan yang sangat tinggi dan laju pertumbuhan selama periode

pemulihan berkorelasi tidak saja dengan perfumbuhan yang cepat tetapi juga

dengan peningkatan persentase Iemak tubuh di atas normal. Jika kekurangan

gizi ini demikian buruk dan berkepanjangan, seperti pada babi yang dipelihara

agar bobot tubuhnya tetap sekitar 5 1 0 kg untuk sdama 1.2 atau 3 tahun, maka

pemulihannya tidak lengkap dan apabila lebih lama lagi masa kurang gizi

tersebut, akan kian kurang komplit pemulihannya (Widdowson, 1973). Namun,

ditemukan pula bahwa makin panjang masa kurang gizi dan makin kurang komplit

pernulihan pertumbuhannya, ternak akan rnenjadi makin gemuk oleh lemak pada

saat pemulihannya.

(49)

telah ditentukan dalam empat organ-organ pada tikus hasil seleksi dan kontrol.

Ukuran dan jumlah sel meningkat pada gaiur b a r dan menurun pada gdur kecil

pada umur 6 minggu. Dengan menunda saat pengeluaran ternak ketahiran

kembar beberapa bulan lebih lama agar mencapai bobot tertentu yang s e r a

dengan ternak kelahiran tunggal, diduga kelebihan penerimaan dari biaya

produksi masih dapat terlihat. Hanya saja seberapa jauh hal ini masih menguntungkan bila ditinjau dari suatu sistem usaha ternak, masih perlu diuji di

lapangan, karena tujuan dari penggemukan tidak hanya untuk mendapatkan

bobot yang diinginkan, kuaIitas karkas tetapi juga perbedaan antara input dan

output. Konsumen tentu saja tidak menginginkan karkas yang mengandung

terlalu banyak lemak.

Analisis EkonomE

Dalam usaha peternakan domba ada beberapa faktor yang rnempengaruhi

keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor alam yang

sesuai dengan habitat ternak yang dipelihara rnerupakan faktor yang secara tidak

langsung meningkatkan produktivitas ternak, yang pada gilirannya juga

merupakan faktor yang akan meningkatkan keuntungan. Bibit yang unggul dan

tidak terlalu mahal harganya juga akan menentukan besar keoilnya keuntungan

yang didapat. Faktor lain adalah ketersediaan serta harga pakan tambahan.

Apabila pakan tambahan sukar didapat dm mahal harganya maka sebaiknya

(50)

22

sejalan dengan hukurn ekonorni yang rnenuntut penggunaan input produksi

serninirnal rnungkin dengan pertarnbahan output yang rnaksirnal.

Anafisis ekonorni setiap usaha selatu rnemperhatikan parameter-parameter

yang terrnasuk di dalarn kelornpok penerirnaan dan pengetuaran. Dickerson

(1 970) rnenyatakan bahwa pengeluaran utama dari usaha peternakan sangat

tergantung dari tiga parameter biologis, yaitu produksi induk, reproduksi dan

perturnbuhan anak. Penerirnaan dari produksi induk per tahun salah satunya

dapat ditingkatkan rnelalui pernilihan bibit ternak yang tepat dengan lokasi usaha

atau dengan perbaikan mutu genetik ternak apabila pasar menuntut kualitas yang

tinggi. Dinyatakan bahwa produksi induk rnerupakan hasil multiplikasi dari jurnlah

induk, volume produksi per induk dan per unit nilai produk tersebut, sehingga,

penerirnaan ini dapat ditingkatkan melalui upaya peningkatan volume produksi per

induk sebagai akibat perbaikan rnutu genetik ternak.

Hubungan penerimaan dan pengeluaran rnerupakan suatu hubungan

antara ketuaran yang dihasilkan dengan suatu parameter faktor produksi. Sifat

hubungan antara satu penerirnaan dan pengeluaran ini bisa tetap, rneningkatkan

atau rnenurunkan produktivitas rnarjinal. Soedjana (1993) rnelaporkan bahwa

fungsi keuntungan usaha peternakan dornba dipengaruhi oleh suatu besaran

sifat-sifat biologis yang rnenentukan kuantitas bobot badan ternak seperti rataan

pertarnbahan bobot badan harian, bobot sapi h dan konsurnsi pakan. Dinyatakan

bahwa produktivitas rnarjinal rataan tarnbahan bobot badan harian ternak dornba

(51)

2.152,00 per ekor. Hal ini berkaitan dengan pengaturan panjang optimum

periode pemberian m a n . Produktivitas marjinal rataan botmt sapih yang

diperoleh adalah sebesar 19.46 kg, sehingga keuntungan maksimum yang

diperoleh adalah Rp.42.813.00. Hal ini rnenunjukkan bahwa penggunaan masing

masing tambahan unit pakan menghasilkan kenaikan bobot badan yang relatif

lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan masukkan pakan sebslumnya.

Keberhasilan pengembangan peternakan domba di Indonesia akan sangat

ditentukan oleh potensi biologis dan ekonomi dari ternak itu sendiri, dan harus

ditunjang oleh faktor sumber daya alam yang memadai serta faktor sosial seperti

persepsi masyarakat terhadap usaha ternak yang bersangkutan. Hal ini erat

kaitannya dengan pengembangan konsep teknologi tepat guna untuk

(52)

MATERI DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Stasiun Pemuliaan Ternak. Cicadas, Gunung Puteri,

28 km dari Bagor kearah Jakarta, dengan rataan suhu udara 33' C dan rataan

curah hujan 31 12 mm per tahun. Sarana yang tersedia adalah satu buah

kandang berukuran 8x30 mZ, dan dua buah kandang berukuran 8 x 15 m2,

dengan luas lahan 5.8 Ha, dengan fegetasi rumput gajah. Ternak

dikelornpokkan ke dalam ruang kandang berukuran 3x3 m2 dengan kepadatan

ternak 6-8 ekor per ruang. Sqak bulan Agustus 1990, lokasi ternak dipindahkan

ke Stasiun Penelitian Ternak Bogor, dengan rataan suhu udara 25" C dan rataan

curah hujan 4230 mm per tahun. Hal ini dilakukan karena sulitnya pengontrolan

ternak, adanya kendala jarak, serta sulitnya jalan masuk

ke

dalam lokasi

penditian, yang berakibat seringnya terjadi ketelfambatan penyediaan pakan

tambahan. Pada lokasi Bogor, fasilitas yang tersedia relatif sama dengan Iokasi

Cicadas, dengan tuas kebun 1.8 Ha dengan vegetasi rumput raja dan lokasinya

sangat mudah dicapai, sehingga keterlambatan penyediaan pakan tambahan

dapat dikatakan tidak pernah terjadi.

Temak

Ternak

domba yang diamati pada penetitian ini bemsal dari Garut (Jawa
(53)

tahun 1981 di Stasiun Pemuiiaan Ternak Cicadas, Bogor, kemudian ternak-ternak

ini dipindahkan ke Bogor pada tahun t 990.

Sejak tahun 1 983, perkawinan diarahkan untuk pernbentukan galur

prolifikasi, dengan menggunakan pejantanpejantan dari Garut. Bradford et

a/.

(1991) mengklasifikasikan ternak-ternak ini kedalam kelompok genotipe

berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:

FecJ'FecJ' (prolifikasi rendeh): induk-induk yang tidak pernah mempunyai catatan menghasilkan

"corpus

lutwrn" (CL) atau jurnlah anak sekelahiran (JAS)

> 2. Pada jumlah pengamatan 23 kali, rataan CL atau JAS I 1.7.

F ~ C J ~ F ~ ~ J ' (proliflkssi medium): induk-induk yang minimum mempunyai satu kali pengamatan menghasifkan CL atau JAS = 3 , atau mempunyai frekuensi

catatan CL atau JAS=2 yang tinggi. Pada jumlah pengarnatan 23 kaii, rataan CL

atau JAS s 1.7.

FecJFFec.JF Iproltflkasi tinggl): induk-induk yang minimum mempunyai satu kaJi pengamatan menghasiikan CL atau JAS = 4.

Kelompok ternak berdasarkan gaiur ini sering pula disebut sebagai

kelompok prolifikasi tinggi (FecJFFec8), sedang (FecJFFecJ+), dan rendah (Fd+FecJ*). Pencatatan jumlah CL dilakukan dengan teknik "taparoskopi"

secara periodik pacta hari ke 3

-

10 setelah induk menampakkan birahi.

Berdasarkan kriteria tersebut di atas ternak dikelompokkan kedalam masing-

masing kelompok genotipe, untuk kemudian dikawinkan dalam masing-masing

(54)

26

Perkawinan ternak:

Sebelum tahun 1983 perkawinan ternak dilakukan secara kontinyu, untuk

mendapatkan sefang beranak 8 bulan, dengan demikian kelahiran ternak tersebar

dad bulan Januari sampai bulan Desember. Mulai pada tahun 1983, untuk

rnemudahkan pengumpulan data, dilakukan penyerentakan birahi dengan

rnenggunakan spons intra vaginal

Chronogesf

atau Repromap, yang dirnasukkan

ke dalam saluran vagina dan dibiarkan setama 14 hari. Pengecekan birahi

dimulai pada hari pencabutan spons. Ternak betina yang menunjukkan birahi

dapat diketahui dengan mempergunakan pejantan vasektomi. Setelah birahi

terdeteksi, ternak dikawinkan dengan pejantan yang telah ditetapkan, 3-1 0 hari

kemudian dilakukan pencatatan jurnlah CL dengan teknik laparoskopi untuk

mendapatkan angka laju ovulasi (LO). Setelah dilakukan perkawinan secara

individual selama dua rninggu, pejantan ditinggal di datam masing-masing

kandang selama dua minggu lagi untuk memberi kesempatan kawin bagi ternak-

ternak yang kembali birahi ataupun yang belum kawin. Ternak betina dijaga agar

tetap berada didalam kelompok yang sama seperti pada saat perkawinan sampai

beranak dan menyapih anaknya, ha1 ini dimaksudkan agar identifikasi nomor

pejantan tidak tertukar. Pada saat perkawinan ditakukan pencatatan nomor betina, nomor pejantan, tanggal kawin, dan bobot kawin (BK).

Untuk menghindari terjadinya perkawinan sekerabat {inbreeding)

perkawinan dilakukan dengan rnernperhatikan catatan tetua baik dari betina

(55)

komputer "R:BASEW, dengan program ini betina-betina yang mempunyai tetua yang sama dengan pejantan yang akan rnengawininya dapat dengan mudah

dideteksi, dengan demikian penempatan pejantan dapat dipertimbangkan kembali

agar tidak terjadi perkawinan sekerabat.

Sebelum dikawinkan ternak dicukur, dipotong kukunya dan diberi obat

cacing, ha1 yang sama dilakukan kembali pada saat kelahiran.

Kelahiran Anak

Pada saat kelahiran, induk dan anaknya dimasukkan kedalam sekat 1 x

1 m2, dan dibiarkan selama satu sampai tiga hari agar induk dan anak dapat

sding mengenal. Dalam kurun waktu tersebut, anak yang dilahirkan diidentifikasi

(diberi kalung nomor), dicatat polawarna tubuh, tipe telinga dan jenis kelaminnya,

serta ditimbang berat lahir individu yang kemudian dijumlahkan dengan bobot

lahir individu saudara sekelahirannya menjadi bobot lahir total (8L), dan dicatat juga berat induk (BB). lnformasi lain yang dicatat adalah jumlah anak lahir hidup (JAS) dan juga jumlah anak yang mati untuk mendapatkan daya hidup anak

(DHA). Ternak yang baru lahir diberi nomor identifikasi 5 digit, dua digit pertama menunjukkan tahun lahirnya, sdanjutnya merupakan nomor urut kelahirannya.

Sebagai contoh individu dengan nomor 96001 adalah ternak yang lahir pada

tahun 1996 dengan urutan lahir pertama Selanjutnya anak ditimbang setiap dua

minggu sekall, sampai urnur sapih dan dicaiat bobot sapih individu dan jumlah

(56)

Pada saat di sapih ternak-ternak ini diberi obat cacing.

Tatalaksana Pemelharaan

Di lokasi Stasiun Pemuliaan Ternak di Cicadas, 1 9 8 7 -1 989, ternak diberi

pakan konsentrat sebanyak 0-300 g/ekor/hari, dengan kualitas yang berbeda-

b?da (kisaran protein kasar 10-1 3%) tergantung dari ketersediaan dana pada saat

itu. Hal ini kemudian tercermin pada hasil penditian dari waktu ke waktu.

Hijauan rumput gajah diberikan sebanyak 2-3 kg/ekor/hari. Peningkatan jumlah

pakan penguat dilakukan pada saat rnengawinkan betina, dan saat akan beranak

sampai masa penyapihan (90 hari seteiah kelahiran), pada saat-saat demikian

jumlah pakan penguat yang diberikan adalah 400-500 g/ekor/hari.

Di tokasi Bogor. 1990-1 993, ternak mendapatkan hijauan rumput raja yang

telah dirajang, jumlah hijauan yang diberikan adalah 3 4 kglekorlhari, sedangkan

konsentrat komersial "GT 03" yang mengandung 16% protein kasar dan 68 %

TDN diberikan sebanyak 2.2

YO

dari total berat badan betina di dalam

k~?lornpoknya. Perubahan jumlah konsentrat yang diberikan dilakokan pada saat

kebuntingan mencapai minggu ke 14, yaitu dengan meningkatkan sebanyak 110

gr/ekor/hari, berdasarkan asumsi induk akan turnbuh paling tidak sebanyak 5 kg

ssimpai dengan beranak. Pada minggu ke 4 setelah kelahiran, jumlah pakan kc~nsentrat induk ditingkatkan menjadi 2.5% dari b r a t badan. Haf ini dilakukan

urituk meningkatkan kondisi tubuh induk

agar

produksi susu tetap terjaga. Pada
(57)

Data

Data yang digunakan untuk penelitian ini diambil dari catatan produksi

mutai dari tahun 1987 sampai tahun 1993; dari lokasi Stasiun Pemuliaan Ternak

lokasi Cicadas, Kabupaten Bogor (1 981 -1 989) dan Stasiun Bogor (1 990-1 993).

Data tersebut meliputi data produktivitas induk mulai saat dikawinkan sampai

menyapih anak (90 hari setelah kelahiran), yang meliputi: laju owlasi (LO) yang

diamati dengan cara menghitung jumlah "corpus luteurn" dari kedua buah indung

telur dengan menggunakan teknik taparoskopi pada ternak-ternak betina sekitar

3-10 hari setelah siklus birahi dan Jumlah anak sekefahiran (JAS). Dari kedua

pengarnatan tadi dapat dilakukan perhitungan terhadap daya hidup embryo

(DHE). Daya hidup embryo (DHE) didefinisikan sebagai perbandingan jumlah

anak yang lahir dibagi dengan jumlah "corpus luteum" dari kedua indung telur

yang dicatat pada masa perkawinan dikalikan dengan 100 persen, dan hanya

terbatas pada induk-induk dengan laju owlasi febih besar dari satu. Hal ini

disebabkan pada ternak dengan LO satu buah tidak diketahui apakah pada saat

ternak melontarkan sel

Gambar

Tabel 3. Model dan peubah yang digunakan.
Tabel 4. Peubah yang digunakan untuk menduga komponen
Tabel 4. Peubah yang digunakan untuk menduga komponen
Tabel 5. Analisis Peragarn Saudara tin seinduk.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Usulan Perbaikan Kualitas Produksi Kemasan Primer Obat Injeksi Dengan Menggunakan Metode DMAIC Dan Alat Statistik Seven Tools (Studi Kasus Di PT. Penelitian ini tentang

Kelemahan metode pemberian tugas : (1) Tugas dirasa menyulitkan dan membebani peserta didik, (2) Tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan guru, (3) Tugas

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

S.Batahan 1.A.Situakan 2.A.Sitadung 3.A.Tanjung Balai 4.A.Rantau Panjang 5.B.Lubung 6.A.Bangko 7.A.Tira Teras 8.A.Pisusuk 9.A.Danau Bigo 10.A.Kota Puat Ketek 11.A.Kota Puat

Nilai p lebih kecil dari 0,05 mengindikasikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku Eksternal Douching dengan kejadian keputihan ibu rumah tangga di

Selain dari utang bank, pembiayaan musyarakah dan Al- Musyarakah, utang sewa pembiayaan, utang pembiayaan konsumen dan utang tidak lancar lainnya, seluruh jumlah tercatat aset

Pembelajaran dengan pendekatan konferensi dimaksudkan agar mahasiswa didik dapat mempelajari lebih dalam tentang kasusnya, namun metode pembelajaran ini sering