Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Husnul Abrar
NIM.1110044100086
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ISTRI HAMIL DENGAN PRIA LAIN (Analisis Putusan Nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Husnul Abrar
NIM. 1110044100086
Di Bawah Bimbingan:
Dr.H.M. Nurul Irfan, MA.
NIP. 197308022003121001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(Analisis Putusan Nomor: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs)” telah diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah Dan Hukum Prodi Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi
Hukum Keluarga Islam.
Jakarta, 7 April 2015 Mengesahkan
Dekan,
Dr. Asep Saefuddin Jahar, M.A. NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Kamarusdiana, S.HI., M.H (……….)
NIP. 197202241998031003
2. Sekertaris : Sri Hidayati, M.Ag (……….)
NIP. 197102151997032002
3. Pembimbing : Dr.H.M. Nurul Irfan, M.A (……….) NIP. 197308022003121001
4. Penguji 1 : Dr. KH.A. Juaini Syukri, Lc, M.A (……….)
NIP. 195507061995031001
5. Penguji 2 : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A (……….)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memproleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah
Jakarta.
Jakarta, 30 Maret 2015
v
Husnul Abrar. NIM : 1110044100086. PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT ISTRI
HAMIL DENGAN PRIA LAIN (Analisa Putusan Nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs).
Program Studi Hukum Keluarga, Kosentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. viii + 58 halaman 5
lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat yang sangat minim atau
belum mengetahui lebih dalam prihal pembatalan perkawinan, dan memberi pemahaman
yang lebih luas tentang pembatalan perkawinan.
Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan jenis penelitian data kualitatif,
dalam teknik pengumpulan data penulis melakukan wawancara Hakim yang menangani
Putusan Perkara Nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah, ada dua macam kawin hamil yaitu kawin hamil
akibat zina dan kawin hamil dalam massa iddah, Nomor: 1500/pdt.G/2013/PA.Tgrs, Ulama
sepakat dengan keharaman menikahi wanita yang hamil akibat zina kecuali laki-laki yang
menghamilinya. Pembatalan perkawinan dapat diajukan apabila terdapat cacat atau salah
sangka terhadap suami atau istri, akan tetapi bila salah satu diantara mereka mengetahui dan
menerima atau menunjukan tanda-tanda menerima maka hilang haknya untuk mengajukan
pembatalan perkawinan. Dalam skripsi ini terjadi perkawinan terhadap wanita hamil, setelah
suami mengetahui awalnya suami menerima akan tetapi dikarenakan adanya percekcokan
suami mengajukan pembatalan perkawinan, yang seharusnya kasus ini menjadi cerai talak
ternyata hakim menjatuhkan dengan pembatalan perkawinan dengan alasan hakim hanya
memutuskan sesuai dengan permintaan pemohon yaitu pembatalan perkawinan.
Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, MA.
vi
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang memberi petunjuk, kelancaran dan kemudahan sehingga
berkat Ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta Salam
tak lupa selalu tercurah kepada Baginda Muhammad saw, beserta Keluarga,
Sahabat dan UmatNya.
Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi persyaratan dalam
meraih gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Kosentrasi Peradilan Agama, Fakultas
Syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penyusunan skripsi ini, penulis tidak akan dapat menyelesaikan jika tanpa
dukungan, bantuan dan saran dari berbagai pihak, terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya penulis sampaikan dengan tulus kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saefuddin Jahar, M.A., P.hd selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Kamarusdiana, S.HI., M.H., Ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Sekertaris Program Studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Nurul Irfan, M.A., Dosen Pembimbing Skripsi yang
tidak pernah lelah dalam membimbing, mengarahkan dan memotivasi
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak DR. KHA. Juaini Syukri, Lc, M.A dan bapak Drs. H.A. Basiq
Djalil, SH, MA selaku penguji skripsi.
5. Ibu Maskufa, M.A sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang
mengarahkan penulis sejak awal masuk perkuliahan.
6. Ibunda dan ayahanda tercinta, Yusmanidar dan yurizal serta
kakak-kakakku Fitri Yulidar, Nofria Alamsyah, Mega Yozalini, adikku
vii
staf/Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang membantu proses administrasi penulis, terima kasih atas
bantuannya. .
8. kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberi kemudahan
dalam mengumpulkan refrensi kepada penulis.
9. Ketua dan seluruh staf Pengadilan Agama Tigaraksa, khususnya
kepada bapak-bapak Hakim PA Tigaraksa bapak H. Antung Jumberi,
S.H., M.H dan bapak Drs. H. Syaifullah yang banyak membantu dan
mendukung hingga penelitian karya ilmiah ini berjalan lancar.
10.Sahabat-sahabatku yang sudah seperti saudara sendiri Ibrahim Nalo,
Anas Kudus, Ubaydillah, dan seluruh mahasiswa baik PA-A maupun
PA-B yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.
Jakarta, 16 Maret 2015
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………...i
PERSETUJUAN PEMBIMBING …...ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...…...iii
LEMBAR PERNYATAAN …………...iv
ABSTRAK …………...v
KATA PENGANTAR ………...vi
DAFTAR ISI ………...viii
BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ...1
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ……...5
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian …...6
D.Review Studi Terdahulu …...7
E.Metode Penelitian …………...9
F. Sistematika Penulisan ……...12
BAB II: PEMBATALAN PERKAWINAN A.Pembatalan perkawinan menurut perspektif Fikih ……...14
ix
BAB III: STATUS HUKUM KAWIN HAMIL
A. Kawin hamil menurut perspektif Fikih …...29
B. Kawin hamil dalam perspektif KHI dan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 ………..35
BAB IV: ANALISIS PERKARA PEMBATALAN PERKAWINAN (No: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs)
A. Deskripsi kasus perkara No: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs ...39
B. Analisis Putusan No: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam ………....………...51
C. Analisis penulis terhadap Putusan
No: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs ...………...…..53
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ………...56
B. Saran-Saran ………...57
DAFTAR PUSTAKA ………...59
x
1. Surat Permohonan Data/Wawancara ….……….………60
2. Hasil Wawancara Hakim ………..………..61
3. Data Laporan Tahunan 2013 tentang Perkara Yang Diterima ...………62
4. Data Laporan Tahunan 2013 tentang Perkara Yang Diputus ………….63
5. Putusan Perkara Pembatalan Perkawinan No. 1500/Pdt.G/2013/PA.
1
Allah menciptakan manusia sebagai mahluk yang tidak dapat hidup sendiri,
karena itulah allah swt mentakdirkan manusia hidup berpasang-pasangan
sebagaimana tertulis dalam alqur’an yang berbunyi, “hai sekalian manusia
bertakwalah kepada tuhanmu yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan
Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dan dari dirinya, dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak bertakwalah kepada
Allah dengan mempergunakan namanya kamu meminta satu sama lain dan
peliharalah hubungan silaturrahim sesunguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasimu.”(QS. Annisa; 01).
Ayat tersebut mengandung makna berpasang-pasangan dapat diartikan
sebagai sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan. kawin menurut kamus
besar bahasa Indonesia adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh1. Perkawinan menurut Undang-Undang
perkawinan tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang laki laki dan
perempuan sebagai suami istri yang bertujuan membentuk kehidupan yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Dalam falsafah hukum Islam bahwa
perkawinan adalah ikatan berencana antara seorang laki-laki dan perempuan yang
1
2
telah dewasa atas dasar suka sama suka tanpa paksaan untuk membina rumah tangga
yang sehat.2 sedangkan menurut Abu yahya zakaria al anshori mendefinisikan bawa
nikah menurut istilah syara’ perkawinan adalah akad yang mengandung ketentuan
hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata- kata yang
semakna dengannya3. Sayyid bin sabiq, lebih lanjut mengomentari: perkawinan
merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku bagi semua mahluk tuhan, baik pada
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan acara yang
dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak, berkembang biak, dan
melestarikan hidupnya setelah masig-masing pasangan siap melakukan perannya
yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia
seprti mahluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara
anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia,
Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara
laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridoi,
dengan upacara ijab qabul sebagai lambang adanya rasa ridho meridhoi dan dengan
dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu
telah saling terikat. Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada
naluri seks, memelihara keturan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar
tidak laksana rumpun yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya.
2
Fuad m fahruddin, filsafat dan hukum syariat islam, (jakarta:bulam bintang,1981),cet.ke-3, jilid 1,hal.160
3
Pergaulan suami istri menurut ajaran Islam diletakkan dibawah naluri keibuan dan
kebapakan sebagaimana ladang yang baik yang nantinya menumbuhkan
tumbuhan-tumbuhan yang baik dan menghasilkan buah yang baik pula.4
Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang di sunnahkan kepada seluruh
ummat muslim sebagaimana yang dianjurkan rasulullah SAW untuk menjalin
silaturrahmi yang bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinnah mawaddah
warahmah yang pada akhirnya menciptakan masyarakat yang damai dan tentram
Pernikahan telah dinyatakan sah apabila telah memenuhi sarat sahnya dan
rukun perkawinan tersebut serta ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila
perkawinan yang semacam itu telah terlaksana maka dapat dibatalkan sesuai
ketentuan undang undang yang berlaku5. Adapun undang-undang yang mengatur
pembatalan perkawinan yakni undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 22 sampai dengan pasal 28, sedangkan dalam KHI pembatalan
perkawinan terdapat dalam pasal 70 sampai dengan 76. Salah satu penyebab
perkawinan dapat dibatalkan ialah apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan
terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.6
Sebelum melangsungkan perkawinan hendaknya diawali dengan ta’aruf
(pengenalan) antara kedua pihak agar saling mengenal lebih dalam hingga dapat
4
Sayyid Sabiq,Fiqh al-sunnah,(Beirut:Dar al-Fikr,1983), Cet.ke-4,jilid 2,h.5
5
Abdurrahman, Kompilasi hukum islam, Jakarta: Akademika Presindo), ha, 129-131.
6
4
menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, hal ini bertujuan untuk
menghindari salah sangka atau penipuan yang dapat merugikan salah satu pihak
hingga berakhir pada perceraian atau pembatalan pernikahan.
Dalam kasus pembatalan pernikahan yang terjadi di Pengadilan Agama
Tigaraksa bahwasanya setelah berlangsungnya pernikahan dalam kurun waktu dua
hari si istri dinyatakan telah hamil dua bulan dengan pria lain (bukan suami sahnya),
mengetahui si istri dalam keadaan hamil dengan pria lain maka suami tidak dapat
menerima kenyataaan yang terjadi, oleh sebab itu suami mengajukan pembatalan
pernikahan karena istri dianggap tidak jujur kepada pihak suami sebelum
melangsungkan pernikahan. Untuk menjaga nilai-nilai perkawinan dalam islam dan
kemashlahatan antara keduabelah pihak agar tidak ada yang dirugikan antara
keduanya maupun salah satunya, maka Pengadilan Agama Tigaraksa memutuskan
agar pernikahan ini di fasakh (batal).
Melihat dan mengamati lebih dalam dari kasus yang terjadi diatas,
maka penulis berinisiatif untuk mengangkat permasalahan yang telah dikemukakan di
atas untuk diketahui lebih lanjut serta mengetahui apa saja hal-hal yang menjadi
pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut, dengan menjadikannya sebuah
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Adapun yang menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini agar lebih
terarah maka penulis memfokuskan pada:
a. Pembatalan Perkawinan yang di sebabkan istri dalam keadaan hamil
dengan pria lain.
b. Pengadilan Agama yang dimaksudkan dalam skripsi ini adalah
Pengadilan Agama Tigaraksa.
2. Perumusan Masalah
Pada hakikatnya suatu perkawinan dapat dibatalkan karena tidak memenuhi
syarat-sahnya sebuah perkawinan hingga dikhawatirkan terjadinya cacat
hukum baik dari segi agama maupun negara sebagai akibat dari suatu
kebohongan dan kekeliruan atau karena adanya paksaan. Begitupun halnya
yang terjadi dalam kasus ini, bahwasanya si istri yang pernah melakukan
hubungan seksual dengan pria lain sebelum melangsungkan perkawinan
dengan suaminya sekarang hingga akhirnya si suami mengetahui bahwa
istrinya telah hamil dengan pria tersebut dan hal ini di sebabkan karena
ketidak jujuran istri sebelum melangsungkan perkawinan hingga pada
akhirnya suami memutuskan untuk mengajukan pembatalan perkawinan ke
Pengadilan Agama Tigaraksa. Menurut KHI pembatalan perkawinan dapat
6
istri, kenyataannya dalam kasus ini tidak ada memiliki cacat akantetapi
pengadilan memutuskan perkara ini dengan pembatalan perkawinan.
Sehubung dengan permasalahan di atas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hukum menikahi wanita yang telah hamil dengan orang lain?
2. Apa dasar-dasar hukum yang berhubangan dengan pembatalan
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
3. Apa yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
dalam memutuskan perkara Pembatalan Perkawinan Nomor
1500/Pdt.G/2013/PA. Tgrs?
C. Tujuan dan manfaat penelitian 1. Tujuan penelitan
Adapun tujuan penulis dalam membuat skripsi ini adalah:
a. Mengetahui bagaimana hukum menikahi wanita yang telah hamil
dengan pria lain (bukan dengan suaminya)
b. Mengetahui dasar-dasar hukum yang berhubangan dengan pembatalan
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
2. Manfaat penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, terkandung beberapa manfaat baik dari segi
dari teoritis maupun praktis diantaranya adalah:
a. Manfaat teoritis
Dapat memberikan wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya ilmu hukum islam, tentang pembatalan perkawinan akibat
istri hamil dengan pria lain.
b. Manfaat praktis
Sebagai bahan pertimbangan bagi pencari keadilan dan menambah
pengetahuan untuk dijadikan sumber referensi bagi masyarakat umum
yang masih minim pengetahuan dalam khazanah hukum islam
khususnya tentang ketentuan hukum dan undang-undang yang
mengatur pembatalan perkawinan.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam review studi terdahulu penulis menemukan beberapa buku dan
judul skripsi yang hampir sama dengan penulis buat. Disini penulis
akan memaparkan persamaan dan perbedaan dari beberapa buku dan
judul skripsi terdahulu, antara lain:
1. status anak akibat pembatalan perkawinan (analisa putusan
8
tahun 2011 yang ditulis oleh Ahmad Syadhali (107044101992)
Skripsi ini membahas kedudukan status nasab anak sewaktu kedua
orang tuanya mengajukan pembatalan perkawinan untuk
selama-lamanya karena kedua orang tua si anak memiliki hubungan nasab
seibu. Perbedaannya dengan skripsi yang ditulis oeh penulis
adalah, bahwasannya skripsi yang ditulis membahas mengenai
pembatalan perkawinan dengan alasan istri telah hamil dengan
orang lain yang diketahui pihak suami setelah dua hari pernikahan,
kemudian penulis juga membahas mengenai hukum menikahi
wanita hamil serta mengetahui dasar-dasar hukum dan
pertimbangan hakim tentang perkara pembatalan nikah tersebut.
2. pembatalan perkawinan karena kawin paksa (analisis putusan
hakim pengadilan agama Jakarta Timur Nomor
530/Pdt.G/2008/PA.Jt) Tahun 2011. Yang ditulis oleh Kumala
(107044102127). Skripsi ini membahas pembatalan perkawinan
karena kawin paksa dari pihak perempuan terhadap pihak laki-laki
serta argumentasi yang dikemukakan hakim dalam perkara ini.
Perbedaannya dengan skripsi yang ditulis oeh penulis adalah,
bahwasannya skripsi yang ditulis membahas mengenai pembatalan
perkawinan dengan alasan istri telah hamil dengan orang lain yang
diketahui pihak suami setelah dua hari pernikahan, kemudian
serta mengetahui dasar-dasar hukum dan pertimbangan hakim
tentang perkara pembatalan nikah tersebut.
3. pembatalan perkawinan dengan alasan ketidak gadisan (analisa
Putusan Nomor 019/Pdt. G /2007/PA.Bks) Tahun 2011. Yang
ditulis oleh Laila Wahdah (107044100297). Skripsi ini membahas
tentang pembatalan perkawinan dikarenakan si istri yang baru
dinikahi tidak perawan lagi (sudah pernah melakukan hubungan
sex dengan kekasihnya terdahulu) sehingga majelis hakim
memutuskan perkara ini agar menghindari terjadinya cacat hukum
yang disebabkan kebohongan dari salah satu pihak. Perbedaannya
dengan skripsi yang ditulis oeh penulis adalah, bahwasannya
skripsi yang ditulis membahas mengenai pembatalan perkawinan
dengan alasan istri telah hamil dengan orang lain yang diketahui
pihak suami setelah dua hari pernikahan, kemudian penulis juga
membahas mengenai hukum menikahi wanita hamil serta
mengetahui dasar-dasar hukum dan pertimbangan hakim tentang
perkara pembatalan nikah tersebut.
E. Metode Penelitian
Metode dalam sebuah penelitian merupakan hal yang penting dan
10
secara ilmiah. Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan
terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.
Dalam penyusunan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu
mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
praktik hukum. terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus lalu
dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi
penormaan dalam aturan hukum dalam praktik hukum.
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian yang menggunakan kualitas sesuai dengan pemahaman
deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus berkenaan dengan
pembatalan perkawinan akibat istri hamil ini termasuk penelitian hukum
normatif. Yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder.7 Sedangkan jenis data yang digunakan
yaitu kualitatif.
2. Sumber Data
a. sumber data primer bersumber dari Putusan Pengadilan Agama
Tigaraksa Nomor Perkara 1500/Pdt.G/2013/PA. Tgrs. Tentang
7
pembatalan perkawinankarea istri hamil dengan orang lain, Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, dan hasil wawancara hakim yang menyelesaikan perkara nomor
1500/Pdt.G/2013/PA. Tgrs.
b. Data sekunder yang bersumber dari buku-buku limiah, makalah,
peraturan perundang-undangan yang terkait.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Observasi, untuk mendapatkan data tentang pembatalan perkawinan karena istri telah hamil dengan pria lain. Observasi dilakukan dengan
langsung datang ke Pengadilan Agama.
b. Wawancara mendalam (indept interview), yaitu teknik pengumpulan data untuk mendapat informasi dengan cara mengajukan
pertanyaan dan meminta penjelasan kepada hakim yang memutus perkara
tersebut. Wawancara ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang
pembatalan perkawinan akibat istri telah hamil dengan pria lain.
c. Dokumentasi, yaitu menelaah bahan-bahan yang diambil dari dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang pemeriksaan putusan
pembatalan perkawinan serta putusan hakim yang menyangkut
12
d. Analisis Data
Bahan yang diperoleh, lalu dianalisis secara kualitatif yang
dilakukan terhadap data yang diolah dengan menggunakan uraian-uraian
untuk memberi gambaran, sehingga menjadi sistematis dan menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Data yang ada dianalisis sehingga
dapat membantu sebagai dasar aturan dan pertimbangan hukum yang
berguna dalam pengambilan putusan pelimpahan hak asuh anak kepada
bapak.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab Pertama berisi pembahasan tentang latar belakang masalah,
batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
review studi terdahulu, metodelogi penulisan dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi pembahasan pembatalan perkawinan dalam
islam yang meliputi tentang pengertian fasakh, sebab jatuhnya fasakh,
hukum menikahi wanita yang telah hamil dengan orang lain, pengertian
pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan KHI , alasan pembatalan perkawinan menurut
KHI dan Undang-undang No. 1 tahun 1974, dan akibat pembatalan
Bab ketiga berisikan profil Pengadilan Agama Tigaraksa yaitu
sejarah singkat berdirinya, struktur organisasi, dan tugas dan fungsi.
Bab keempat berisi dalam bab ini yaitu mengenai analisis Putusan
Pengadilan Agama Tigaraksa tentang perkara pembatalan perkawinan
akibat istri telah hamil dengan orang lain yang berisi duduk perkara,
pertimbangan hukum hakim, dan analisis penulis terhadap Putusan
Pengadilan Agama Tigaraksa nomor perkara 1500/Pdt.G/2013/PA. Tgrs.
Bab kelima berisi dalam bab ini membahas tentang kesimpulan,
gambaran umum dari seluruh pembahasan serta saran-saran dari penelitian
14 BAB II
PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pembatalan Perkawinan menurut perspektif Fikih 1. Pengertian Fasakh dalam perkawinan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pembatalan berasal dari kata
batal, yang artinya menganggap tidak berlaku, menganggap tidak sah,
menganggap tidak pernah ada.1
Dalam kamus hukum, fasakh berarti perkawinan itu
diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim
pengadilan agama.2
Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua
suami-istri merasa dirugikan oleh pihak yang lain dalam perkawinannya karena ia
tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara‟ sebagai
seorang suami atau sebagai seorang istri. Akibatnya salah seorang atau
kedua suami-istri itu tidak sanggup lagi melanjutkan perkawinannya atau
kalaupun perkawinan itu dilanjutkan juga keadaan kehidupan rumah tangga
diduga akan bertambah buruk, pihak yang dirugikan bertambah buruk
keadaannya sedang Allah tidak menginginkan terjadinya keadaan yang
demikian. 3
1
Departemen pendidikan nasional, kamus besar bahasa indonesia pusat bahasa,(jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008) cet. Ke-1, edisi ke IV, hal. 145
2
Setiawan Widagdo, kamus Hukum, (jakarta:prestasi pustaka, 2012), cet ke-1, hal. 161 3
Didalam ilmu fikih, batalnya perkawinan disebut juga dengan
fasakh.yang dimaksud dengan fasakh, secara etimologi atau menurut
bahasa yang dikemukakan oleh Al-Abu Luwis Ma‟lufi:
ِزْم ْلأا ُضْقَوٌَُُ ُخْسَفْنَا دْقَعْنا ََِا
4
“fasakhadalah merusak pekerjaan atau akad”
Sedangkan secara terminologi atau istilah syar‟i, fasakh adalah pembatalan
akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami
dan istri.5
ِهْيَجََْشنا َهْيَب ُطُبْزَت ِّتّنا ِتَطِبَزنا ُمَح ََ ًُُضْقَو ِدْقَعْنَا ُخْسَف 6
“fasakh akad (perkawinan) adalah membatalkan akad perkawinan dan memutuskan
tali perhubungan yang mengikat antara suami istri.”
Dalam kitab fikih tradisional terdapat istilah nikahul fasid, nikahul fasid
terdiri dari dua kata yaitu nikah dan fasid, seara harfiah sebagaimana dituliskan
dalam fikih syafi‟i, nikah adalah berkumpul atau bercampur tetapi menurut para
fuqoha, arti nikah secara majazi adalah akad, sedangkan pengertian fasid adalah
yang rusak. Dengan demikian, nikah fasid ialah pernikahan yang rusak.7
4
Firdaweri Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidak Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya , (jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet Ke-1, hal.52
5
Sayyid Sabiq, fiqih sunnah, (Beirut: Daarul Fikr, 1983), Cet Ke-37, hal. 268
6
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawunan Karena Ketidak Mampuan Suami Menunaikan Kewajibannya, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya), hal 52
7
16
Para fuqoha juga membedakan pengertian nikah fasid dengan nikah bathil,
menurut al-jaziri, yang dimaksud dengan nikah fasid ialah, nikah tidak memenuhi
syarat-syarat sahnya untuk melaksanakan pernikahan, sedangkan nikah bathi
adalah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah ditetapkan oleh syara‟.
Menurut ash-shan‟ani mengemukakan bahwa nikah fasid itu tidak ada
dalam al-quran dan hadist. lebih lanjut Ash-shan‟ani mengemukakan bahwa pada
dasarnya dalam syari‟at Islam hanya ada nikah yang sah dan nikah yang bathil
saja. Meskipun kedua hal ini menjadi ikhtilaf para ulama dan para ahli hukum
islam, akan tetapi kedua hal ini nuansanya tidak bisa dipisahkan dan sangat sulit
dibedakan. Nikahul bathil adalah pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang
laki-laki dengan seorang wanita tetapi rukun nikah yang ditetapkan syara‟ tidak
terpenuhi, sedangkan nikahul fasid adalah nikah yang dilaksanakan oleh seorang
laki-laki dengan wanita tetapi syarat-syarat yang ditetapkan oleh syara‟ tidak
terpenuhi.
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab karangannya fikih sunnah mengatakan,
bahwa di dalam memfasakh akad nikah adalah membatalkan dan melepaskan
ikatan pertalian antara suami dan istri, fasakh bisa terjadi karena syarat syarat yang
tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena pada hal hal lain yang datang
membatalkan kelangsungan perkawinan.8
8
Ali Hasabillah dalam bukunya al-furqah baina zaujani, mendefinisikan
fasakh secara terminologi adalah suatu yang merusak akad (perkawinan) dan dia
tidak dinamakan talaq.9
Para ulama berpandapat bahwa fasakh dilakukan apabila di antara salah
satu pasangan baik itu suami maupun istri terdapat aib, akan tetapi apabila salah
satu pihak telah mengetahui sebelum akad berlangsung ia sudah rela secara tegas
atau menunjukan tanda-tanda kerelaan pada dirinya maka ia tidak memiliki hak
meminta fasakh dengan alasan aib tersebut.
Menurut mazhab Hanafi, nikah fasid adalah nikah yang tidak lengkap
syarat-syarat sahnya. Berbeda dengan nikah bathil, nikah yang letak kecacatannya
terdapat dalam asas akad yang berupa rukun suatu perbuatan.
Menurut madzhab Maliki, istilah fasid dan batil mempunyai makna yang
sama. Oleh karena itu, nikah fasid atau batil adalah nikah yang di dalamnya
terdapat unsur cacat, baik menyangkut rukun maupun syaratnya.
Menurut madzhab Syafi‟i, pengertian nikah fasid adalah suatu akad yang
cacat syaratnya. Sedangkan nikah batil adalah nikah yang cacat rukunnya.
Setidaknya terdapat sembilan jenis nikah fasid atau batil atas dasar adanya
larangan untuk melaksanakannya, yaitu sebagai berikut:
1. Nikah syigar
2. Nikah mut‟ah
9
18
3. Nikahnya orang yang sedang berihram, baik ihram haji maupun ihram
umrah, dalam hal ini mengakad nikahkan juga tidak diperbolehkan
4. Poliandri atau sedikitnya bersuami dua
5. Nikah dengan wanita yang masih dalam masa „iddah atau istibra‟
6. Nikah dengan wanita yang dimungkinkan sedang hamil yang sah, bukan
hamil di luar nikah sampai habis masa „iddah, yaitu melahirkan
7. Nikah dengan wanita bukan ahlul kitab seperti penyembah berhala atau
beragama Majusi
8. Nikah dengan wanita yang berpindah-pindah agama
9. Menikahkan anak wanitanya dengan lelaki kafir atau menikah dengan
wanita murtad.10
Menurut madzhab Hanbali, nikah fasid adalah nikah yang cacat
syarat-syaratnya. Ada dua jenis nikah fasid yaitu:
1. Nikah yang bisa batal dengan sendirinya
2. Nikah yang bisa sah kalo tidak disertai syarat-syarat tertentu, seperti adanya
syarat untuk tidak berhubungan badan, atau pihak suami tidak memberi
mahar atau nafkah. Nikah seperti ini menurut mazhab hambali dianggap
sebagai nikah fasid.11
a. Dasar Hukum Fasakh
10
Nurul Irfan, Nasab Dan Status Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta:Amzah), Cet ke-1 hal. 72 yang mengutip Wahbah zuhaili, Al-Fiqh Al- Islam Wa Adillatuhu, jilid 7, hal. 118-120
11
Adapun dasar mengenai fasakh atau batalnya perkawinan
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menikah dengan seorang
perempuan dari Bani Ghifar. Ketika dia memasuki (bilik) nabi, beliau melihat disebalah rusuknya ada warna putih (penyakit sopak atau penyakit kulit berwarna putih belang belang), kemudian beliau menolak (mengembalikan) dia kepada keluarganya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Kastir).
Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Hakim tentang fasakh
perkawinan: berkata: Rasulallah SAW mengawini seorang wanita dari bani Ghoffar. Ketika Rasul hendak bersetubuh dengannya, wanita itu membuka pakaiannya. Rasul melihat warna putih dirusuknya. Lantas rasul berkata: pakailah pakaianmu dan pergilah kerumah orang tuamu, dan rasul memberinyamahar.” (HR Hakim).
Hadis ini tidak menerangkan fasakh perkawinan secara tegas,
namun demikian dengan seiring hadis ini Ibnu Katsir meriwayatkan:
12
Abi Abdullah al-Hakim, al- Mustadrak „ala ash- Shohihaini Jilid 4, (Mesir: Jami‟ al- Sunnah, 1427 H) Cet. Ke-1 Hal. 34 No. Hadist 6810.
13
20
Artinya: “Sesungguhnya diriwayatkan hadis ini oleh Ibnu Katsir dengan lafadz: bahwa Rasulullah SAW mengawini wanita dari bani Ghoffar, ketika ia ingin bersetubuh dengannya, rasul melihat warna putih dirusuknya, rasul mengembalikannya pada keluarganya, dan beliau bersabda: kamu telah menipuku.” (HR Ibnu Katsir)
Ibnu katsir menyebutkan ini di dalam Bab al-Khiyar, berarti
berdasarkan hadis ini dapat dijadikan alasan, apabila cacat itu terdapat pada
suami si istri berhak meminta fasakh dan begitu pula sebaliknya.
b. Sebab sebab batalnya perkawinan
Adapun sebab-sebab batalnya perkawinan adalah:
1. Karena tidak terpenuhinya rukun atau syarat-syarat sahnya perkawinan,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Abu Hanifah, antara lain:15
a. Nikah tanpa saksi
b. menikah dengan lima orang sekaligus dalam satu kali akad
c. menikahi perempuan dan saudari atau bibinya
d. menikahi istri orang lain dan mengetahui bahwa ia telah menikah
e. menikahi mahramnya
14
Ahmad bin Hasan bin Ali bin Musa al-Khusraujirdy al- Khurasany dan Abu Bakar Al-Baihaqy, al- Sunan Al- Kubra Jilid 7, (Lebanon(Beirut), Daar al-Kutub al- Ilmiyah, 1424 H) Hal. 348 No. Hadis 14. 219.
15
2. Karena kecacatan baik itu dari suami maupun istri, imam syafi‟i
menjelaskan kecacatan yang membolehkan fasakhnya suatu
perkawinan, antara lain:16
a. Terputusnya kemaluan suami
b. Suami impoten
c. Tumbuh daging pada kemaluan istri atau tulang yang menutup
lubang faraj
d. Suami atau istri gila
e. Penyakit kusta
f. Penyakit sopak . Sopak (Barash) adalah penyakit yang ditandai bercak putih pada bagian luar kulit hingga selanjutnya dapat berakibat belang kulit serta menghilangkan kemampuan peredaran darah dalam kulit. Dan biasanya rambut yang tumbuh pada organ tubuh yang terjangkit akan berwarna putih. Jenis inilah yang biasa diistilahkan dengan kusta kering.17
c. Akibat pembatalan perkawinan
Adapun implikasi/akibat dari pembatalan perkawinan sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh pendapat imam madzhab antara lain adalah:
1. Jika pembatalan perkawinan terjadi setelah jimak(hubungan intim)
maka, suami wajib membayar mahar, tetapnya nasab anak kepada
mantan suami (jika ada anak hasil perkawinan tersebut sebelum
dibatalkan), wajib iddah atas wanita tersebut. Pendapat ini di
16
Musthafa al-khin, musthafa al-bugho, Ali As-Syarbaji, Kitab Fikih Madzhab Syafie, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005), hal. 852.
17
22
kemukakan oleh imam hanafi dan maliki. Sedangkan menurut Syafi‟i
wanita tersebut tidak wajib iddah namun tetap mendapat mahar mitsil.18
2. Jika pembatalan terjadi sebelum jimak (hubungan intim) maka, ulama
sepakat bahwa istri tidak berhak atas mahar suami dan tidak ada masa
iddah.19
B. Pembatalan perkawinan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974
Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 Bab IV pasal 22 tentang
batalnya perkawinan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam pasal 6 UU No. 1 tahun 1974).20
Dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal
atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing
tidak menentukan lain. Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti
dapat difasidkanmenjadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat
dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan aturan tertentu.21
Pada dasarnya pembatalan perkawian itu dapat terjadi disebabkan oleh dua
kemungkinan. Yang pertama karena adanya pelanggaran terhadap prosedural
18
Wahbah zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid:9 (Jakarta:Gema Insani dan Darul Fikir, 2011). Cet, ke- 1. Hal 107-111.
19
Musthafa al-khin, musthafa al-bugho, Ali As-Syarbaji, Kitab Fikih Madzhab Syafie, (Kuala Lumpur: Pustaka Salam SDN BHD, 2005), hal.857.
20Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
21Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan. Misalnya, tidak terpenuhinya syarat- syarat perkawinan, tidak dihadiri
oleh para saksi atau tidak dihadiri oleh wali nikah dan lain-lain. Yang kedua
adanya pelanggaran terhadap materi perkawinan. Misalnya perkawinan di lakukan
di bawah ancaman, tejadi salah sangka mengenai calon suami istri (pasal 27 UU
No. 1 Tahun 1974). 22
a. Sebab-sebab pembatalan perkawinan, seperti yang terdapat di dalam
UUP antara lain:23
Pasal 22, perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 24, barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan pasl 3 ayat 2 dan pasal 4 UU ini.
Pasal 26 (1), perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah
atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri dua orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.
22
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Grub, Juli 2006), cet.ke-3.h.107
23
24
Pasal 26 (2), hak utuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat 1 pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama
sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbarui supaya sah.
Pasal 27 (1), seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman yang melanggar hukum.
Pasal 27 (2), seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka menganai diri suami atau istri.
b. Pihak-pihak yang berkualitas sebagai penggugat dalam perkara
pembatalan perkawinan adalah:24
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
istri;
2. Suami atau istri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 pasal 16 UU ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus.
24
C. PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF KHI
Pembatalan perkwinan didalam KHI telah diatur dalam pasal 70 sampai
dengan 76. Di dalam pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal demi hukum
apabila : 25
a) Suami melakukan perkawinan sedangkan ia tidak berhak melakukan
akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun
salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj‟i
b) Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili‟annya
c) Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bekas istrnya tersebut pernah manikah dengan pria
lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dukhul dari pria tersebut dan
telah habis masa iddahnya
d) Perkawinan dilakukan antara orang yang mempunyai hubungan
darah, semendak dan sesusuan sampai derajat tertentu yang
menghalangi perkawinan menurut pasal delapan UU No1 tahun
1974, yaitu:
1. Berhubungan darah dalam garis lurus ke bawah atau ke atas
2. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua
dan atara seorang dengan saudara neneknya
25
26
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua anak tiri menantu dan ibu
dan ayah tiri
4. Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan anak sesusuan
dan bibi atau paman sesusuan.
e) Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri atau istri isrinya.
Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat
dibatalkan apabila:26
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin
Pengadilan Agama
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui
masih menjadi istri pria yang mafqud
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah
dari suami lain
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan,
sebagaimana ditetapkan pasal 7 UU No1 tahun 1974
e. Perkawinan dilangsugkan tanpa wali atau dilaksanakan
oleh wali yang tidak berhak
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
26
Dalam penjelasan pasal 72 ayat 1 berbunyi, bahwa seorang suami
atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawia apabila
perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar
hukum. Ayat 2 seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai suami atau
istri.
a. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut
KHI pasal 73 di antaranya yakni:27
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atau istri
2. Suami atau istri
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanan perkawinan
menurut undang- undang
4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat
dalam rukun dan syarat perkawinan mnurut hukum islam dan
peraturan perundang undangan sebgaimana tersebut dalam pasal 67.
27
29
BAB III
STATUS HUKUM KAWIN HAMIL A. Kawin Hamil menurut Perspektif Fiqih
1. Pengertian kawin Hamil
Perkawinan wanita hamil adalah seorang wanita yang hamil
sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang
menghamilinya.1
Ada dua macam kategori kawin hamil yakni, kawin hamil yang
dilakukan oleh wanita hamil akibat perzinaan serta kawin hamil yang
dilakukan oleh wanita hamil yang berada dalam masa iddah. Allah swt
berfirman dalam surah Ath-Thalaq ayat 4 yang berbunyi:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya.”(QS. Ath-Thalaq:4)
Menurut fuqoha perkawinan antara pria dan wanita yang sedang
hamil terjadi karena dua kemungkinan yakni, bisa jadi pria tersebut adalah
pria yang menghamili wanita tersebut dan bisa juga pria tersebut bukanlah
orang yang menghamili wanita tersebut.2
1
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:Sinar Grafika, 2006) cet. Ke-2 hal. 45
2
2. Pendapat ulama tentang kawin hamil
Beberapa ulama berbeda pendapat dalam memandang pernikahan
wanita dalam keadaan hamil zina, baik pernikahan itu kepada laki-laki
yang menghamilinya maupun kepada laki-laki yang bukan
menghamilinya. Dalam kasus wanita yang hamil karena zina dan menikah
dengan laki-laki yang menghamilinya para ulama fiqh sepakat
memperbolehkan pernikahan tersebut, sedangkan wanita hamil akibat zina
yang menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya ulama fiqh
memiliki beberapa pendapat, yakni:3
a. Menurut Imam Syafi‟i, wanita yang hamil boleh menikah dengan
orang yang bukan menghamilinya, walau ia sedang dalam keadaan
hamil.
b. Imam malik berpendapat bahwa wanita yang zina tidak boleh dinikahi
kecuali ia telah menyelesaikan iddahnya yaitu hingga lahir anak yang
dikandungnya .
c. Mazhab Imam Hanafi, jika perempuan yang dizinahi tidak hamil,
maka sah akad perkawinannya dari laki-laki yang tidak melakukan
zina kepadanya. Begitu juga jika dia hamil akibat perbuatan zina
tersebut maka dia boleh dinikahi, menurut abu hanifah dan
Muhammad. Akan tetapi, dia tidak digauli sampai dia melahirkan
anaknya.
3
31
d. Menurut pendapat Yusuf dan Zufar, tidak boleh melaksanakan akad
nikah terhadap perempuan yang tengah hamil akibat hubungan zina,
karena kehamilan ini mencegah persetubuhan, maka dilarang juga
pelaksanaan akad, sebagaimana kehamilan juga mencegah penetapan
nasab. Maksudnya sebagaimana tidak sah dilaksakan akad terhadap
perempuan yang hamil yang bukan karena hubungan zina, maka tidak
sah dilaksanakan akad terhadap perempuan yang hamil akibat
perbuatan zina.
e. Mazhab Maliki berpendapat, tidak boleh dilaksanakan akad terhadap
perempuan yang melakukan perbuatan zina sebelum dia dibebaskan
dari zina dengan tiga kali haid, atau setelah lewat tiga bulan. Jika
dilaksanakan akad pernikahan kepadanya sebelu dia dibebaskan dari
zina, maka akad pernikahannya adalah sebuah akad yang fasid. Akad
ini harus dibatalkan, baik muncul kehamilan ataupun tidak.
Dari berbagai perbedaan pendapat ulama di atas tentang
mengawini wanita hamil karena zina, jumhur ulama sepakat bahwa,
wanita yang pernah melakukan zina baik dalam keadaan hamil dari zina
maupun tidak, boleh dan sah dinikahi oleh pria yang menzinahinya. Hal
ini telah disepakati oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat seperti Ali
bin Abi Thalib, ibnu Abbas, ibnu Musayyab, „Urwah dan Zuhri, maupun
dari kalangan ulama generasi sesudahnya seperti Imam Malik, Imam
282).4
3. Fatwa MUI Propinsi DKI Jakarta mengenai Kawin Hamil5
Dari berbagai perbedaan pendapat yang telah dikemukakan
mengenai kawin hamil akibat zina, ulama MUI sepakat menggunakan
pendapat zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak
menzinahinya seta sesudah akad nikah mereka boleh melakukan hubungan
suami istri dengan pertimbangan-pertimbangan sebagi berikut:
a. Argumentasi dan dalil-dalil yang dikemukakan imam Syafi‟i lebih
kuat dan lebih sesuai dengan kemashlahatan.
b. Menurut ilmu biologi, sperma yang masuk pada Rahim wanita
yang telah hamil tidak akan mempengaruhi janin yang sudah jadi.
Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya
percampur-adukan antara sperma laki-laki yang menzinahinya
dengan sperma laki-laki yang menikahinya dengan sah.
c. Jika wanita yang sedang hamil dari zina tidak boleh dan tidak sah
dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinahinya, maka akan
menyulitkan wanita tersebut atau keluarganya, manakala laki-laki
yang menghamilinya tidak bertanggung jawab. Hal ini tentu akan
menimbulkan rasa malu dan gangguan psikologis bagi wanita
tersebut dan keluarganya.
4
Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-fatwa aktual,(Jakarta: PT. AL Mawardi Prima, 2003), cet ke-1 hal. 184
5
33
4. Dasar Hukum
Dalam Alqur‟an, Allah SWT memberi keterangan hukum menikahi
wanita yang berzina dalam surah An-Nur [24]:3
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”(QS. An-Nur:3)
Ayat tersebut menggambarkan kepada kita bahwa laki-laki yang berzina
boleh nikah dengan perempuan yang berzina atau yang musyrik. Demikian pula
sebaliknya, perempuan yang berzina boleh dinikahi oleh laki-laki yang berzina
atau musyrik. Mengenai masalah ini para ulama sepakat. Namun mereka berbeda
pendapat tentang laki-laki yang tidak berzina menikahi perempuan yang berzina.
Menurut Ali, Al-Barrai, Siti Aisyah dan Ibn Mas‟ud hukumnya haram,
berdasarkan pada firman Allah di atas.
Sedangkan Abu Bakar, Umar, Ibn Abbas dan jumhur ulama menyatakan
boleh. Mereka mengatakan bahwa zina itu haram, sedangkan nikah itu halal.
ُوُلَوَّا
Artinya: “Permulaannya perzinaan, tetapi akhirnya adalah pernikahan. Dan yang
haram itu tidak mengharamkan yang halal.”
Maksud dari hadis di atas adalah walaupun zina itu diharamkan, tetapi
tidak dapat menhalangi kebolehan nikah yang hukumnya halal.
Di antara jumhur ulama ada yang menyatakan bahwa ayat di atas telah di
nasakh oleh QS. An-Nur [24]:32, yang berbunyi:
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, allah akan memampukan mereka dengan karunianya. Dan Allah maha luas (pemberianNya)
lagi maha mengetahui.”(QS. An-Nur [24]: 32)
Sedangkan perempuan-perempuan yang berzina itu termasuk kategori
yang tidak bersuami. Larangan terhadap beberapa jenis pernikahan sebagaimana
disebutkan di atas sejalan dengan tujuan mulia pernikahan dalam Islam, yakni
upaya mengangkat harkat dan martabat manusia bahwa manusia berbeda dengan
binatang. Manusia adalah makhluk yang bermoral, pergaulannya diatur oleh
norma dan undang-undang.7
Bagi mayoritas ulama hadis yang diriwayatkan oleh Jabir ini menerangkan
tentang tidak bolehnya seorang laki-laki nikah dengan wanita yang hamil,
6
Ali Bin Umar Abu Hasan Ad-Daruquthni Al-Bughdadi, Al-Sunan Ad-Daruquthni Jilid 4, (Lebanon(Beirut), Darul Ma‟rifah, 1996), Hal. 368 No. Hadis 3681.
7Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga
35
sementara dia bukan yang menghamilinya. Karena, akibat hukum yang
ditimbulkan seakan-akan kebolehan tersebut memberi peluang kepada
orang-orang yang kurang atau tidak kokoh keberagamaannya, akan dengan gampang
menyalurkan kebutuhan seksualnya di luar nikah.
B. Kawin hamil dalam perspektif KHI dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974
Status perkawinan wanita hamil telah dijelaskan dalam BAB VIII
Kompilasi Hukum Islam pasal 53 yaitu:
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.8
Dengan melihat rumusan pasal 53 ayat(1) dapat dimaknai bahwa
wanita hamil dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya dan
dapat pula tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Inilah
konsekuensi dari kata “dapat”. Kata ini juga digunakan dalam pasal 2
ayat(2) Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi. Di sana disebutkan bahwa dalam tindak hal pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
8Kompilasi Hukum Islam
pidana mati dapat dijatuhkan. Oleh karena dalam pasal ini juga digunakan
kata “dapat”, maka walaupun korupsi diadakan dalam keadaan tertentu
seperti dimaksudkan oleh pasal 2 ayat(2) ini, pidana mati dapat pula tidak
dijatuhkan. Sehingga sampai hari ini tidak ada seorang koruptor pun di
Indonesia yang pernah dijatuhi hukuman mati. Inilah konsekuensi dari
pemakaian kata dapat.
Disinilah sebab tim perumus KHI menggunakan kata “dapat” pada
rumusan pasal 53 ayat(1) ini tujuan adalah sebagai langkah antisipatif.
Sebab dalam kasus hamil di luar nikah, bisa saja terjadi kehamilan akibat
perkosaan dalam kasus hamil karena perkosaan, sudah barang tentu wanita
korban perkosaan itu tidak akan pernah dikawinkan dengan pria
pemerkosa. Sehingga rumusan pasal ini bisa berbunyi seorang wanita
hamil di luar nikah dapat tidak dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.9
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal(1) dinyatakan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
Maha Esa. Kemudian pasal(2) dijelaskan bahwa, perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa
perkawinan wanita hamil itu sah hukumnya jika dilakukan menurut agama
9
37
dan kepercayaannya masing-masing. Karena lazimnya perkawinan itu
adalah sebuah ikatan suci yang dapat menghalalkan hubungan suami istri.
Namun perlu digarisbawahi hubungan suami istri yang dilakukan sebelum
terjadinya perkawinan itulah yang dianggap tidak benar dan tidak disah
kan baik itu menurut hukum agama maupun hukum positif yang ada.
Kemudian dilihat dari anak yang dikandung oleh wanita hamil
tersebut, dalam pasal 42 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dijelaskan
yaitu, bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 ayat(1) menyatakan, anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ayat(2) kedudukan anak tersebut
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat(1) selanjutnya akan di atur
dalam peraturan pemerintah. Dari pasal 42 di atas dapat disimpulkan
bahwa, apabila wanita hamil tersebut menikah dengan pria yang
menghamilinya ataupun pria yang bukan menghamilinya sebelum anak
yang dikandungnya itu lahir maka anak tersebut merupakan anak yang sah
dari pasangan suami istri tersebut meskipun suami bukanlah merupakan
bapak biologis dari anak tersebut. Kemudian dari pasal 43 ayat(1) UU No.
1 tahun 1974 dapat disimpulkan, apabila wanita hamil tersebut tidak
menikah sampai anak yang dikandungnya lahir, maka status keperdataan
39
A. Deskripsi Kasus Perkara No:1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs 1. Pihak-pihak yang berperkara
Pengadilan Agama Tigaraksa yang memeriksa dan mengadili
perkara perdata dalam tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam
perkara pembatalan perkawinan antara:
MS bin Suwignyo, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan S.2,
pekerjaan PNS, tempat tinggal di Permata Medang Cluster Barleria B1/E1
RT.03 RW.16 Kelurahan Medang, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten
Tangerang. Selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
BA binti Syahbudin, umur 25 tahun, agama Islam, pendidikan S.1,
tempat tinggal di Dasana Indah UD 6/10B RT.002 RW. 28, Kelurahan
Bojong Nangka, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang.
Selanjutnya disebut sebagai Termohon.
2. Duduk Perkara
Pemohon dalam surat permohonannya pada tanggal 18 Juni 2013
yang telah didaftarkan di kepanitraan Pengadilan Agama Tigaraksa dengan
Nomor Registrasi: 1500/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dengan alasan-alasan sebagai
40
a. Bahwa pada tanggal 13 April 2013, Pemohon dengan Termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok, Kabupaten
Tangerang sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah
Nomor: 319/53/IV/2013 tanggal 15 April 2013;
b. Bahwa setelah menikah Pemohon dan Termohon hidup berumah
tangga terakhir tinggal di alamat Termohon di atas;
c. Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah ini
dengan alasan sebagai berikut: Penipuan oleh pihak Termohon,
yaitu Termohon ternyata sudah dalam kondisi hamil 2 bulan
dengan orang lain (bukan suaminya sendiri) dan sudah ada
pengakuan dari pihak dan keluarga Termohon;
d. Bahwa untuk menjaga kepastian hukum dan untuk menghindari
penyalahgunaan hukum, maka Pemohon dan Termohon patut
diperintahkan untuk menyerahkan Kutipan Akta Nikah Nomor
319/53/IV/2013 tanggal 15 April 2013 yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang
kepada Pengadilan Agama Tigaraksa, dan Kepala KUA
Kecamatan Legok diperintahkan untuk mencoret Buku Kutipan
Akta Nikah tersebut dari Register Akta nikah;
Bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan Pemohon dan Termohon
secara pribadi (in person) telah hadir di depan persidangan, selanjutnya untuk
dilanjutkan terlebih dahulu diadakan mediasi dengan hakim mediator H. Rosmani
Daud, S.Ag. Dan menurut laporan mediator bahwa mediasi dinyatakan tidak
berhasil;
Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon, Termohon telah mengajukan
jawaban secara tertulis dan penjelasan di depan persidangan yang secara rinci
sebagaimana tertuang dalam berita acara perkara ini yang untuk mempersingkat
putusan pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a. Bahwa benar pada tanggal 13 April 2013 Termohon dan
Pemohon melangsungkan pernikahan, namun Termohon tidak
benar melakukan penipuan kepada Pemohon karena Termohon
benar-benar tidak mengetahui pada saat menikah dengan
Pemohon dalam keadaan hamil. Orang tua Termohon pun tidak
mengetahui kondisi kehamilan Termohon. Sebelum Pemohon
hadir dalam kehidupan Termohon, Termohon sudah terlebih
dahulu menjalin hubungan dengan pria lain bernama H, umur 50
tahun, PNS pada Pemkab Tangerang tanpa sepengetahuan orang
tua Termohon (backstreet), dan Termohon telah berhubungan
sex dengan pria tersebut sekali dan memang benar sewaktu
menikah dengan Pemohon, Termohon sedang terlambat haid
setelah berhubungan sex dengan pria lain;
b. Bahwa benar setelah menikah Termohon dan Pemohon tinggal di
rumah kontrakan selama satu minggu, Pemohon dan Termohon
42
datang bulan, maka pada tanggal 15 April 2013 Termohon
meminta izin kepada Pemohon untuk memeriksakan diri ke
dokter. Berdasarkan keterangan dokter, Termohon hamil kosong
(hamil anggur), lalu Termohon memeriksakan diri ke dokter
yang lain, dan hasilnya Termohon positif hamil. Pada waktu itu,
baru lah Termohon mengetahui dan yakin sedang dalam keadaan
hamil;
c. Bahwa pada Sabtu sore, tanggal 20 April 2013, Pemohon
mengajak Termohon ke hotel. Di hotel itu, Pemohon
menanyakan sikap Termohon yang tidak seperti layaknya
pasangan pengantin baru. Lalu di sana Termohon menjelaskan
bahwa Termohon telah hamil oleh perbuatan pria lain, Termohon
meminta maaf kepada Pemohon dan menyerahkan segalanya
keputusan kepada Pemohon, pada saat itu Pemohon memeluk
dan memaafkan Termohon serta menyatakan Pemohon bersedia
menerima Termohon apa adanya. Lalu Pemohon ingin
menggauli Termohon, namun Termohon menolaknya karena
Termohon sedang hamil karena pria lain, maka Pemohon
kecewa. Termohon tidur di lantai lalu sakit perut dan pingsan
kemudian dirawat di rumah sakit selama dua hari yang selalu
dijaga oleh Pemohon;
d. Bahwa setelah Termohon sembuh, Pemohon mengantarkan
Pemohon akan menceritakan perihal kehamilan Termohon
kepada ibu Pemohon, namun ternyata ibu Pemohon marah dan
tidak mau menerima Termohon. Lalu diadakan musyawarah
keluarga dan dengan menghadirkan ustaz. Hasil musyawarah,
Pemohon memilih untuk dipisahkan sementara. Setelah dua
bulan dipisahkan kenapa tiba-tiba Pemohon berubah pikiran
dengan mengatakan Termohon telah melakukan penipuan,
bahkan mengajukan pembatalan perkawinan ke Pengadilan
Agama Tigaraksa. Kalau mau menipu kenapa Pemohon yang
Termohon pilih, yang rumah saja masih kontarakan;
e. Bahwa Pemohon mengambil kembali mahar Termohon berupa
cincin kawin, ketika Termohon memintanya, Pemohon
menyatakan nanti di pengadilan;
3. Pertimbangan Hukum
Bahwa berdasarkan posita permohonan, Pemohon telah mengajukan
permohonan pembatalan nikah dan dengan didasarkan kepada dalil Pemohon
sendiri tentang domisili Pemohon dan Termohon yang berada di wilayah hukum
Pengadilan Agama Tigaraksa, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1)
huruf a dan penjelasan pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Perubahan Kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Pengadilan
Agama Tigaraksa secara formal dinilai berwenang untuk menerima, memeriksa,
44
Menimbang, bahwa pada persidangan yang telah ditentukan Pemohon dan Termohon telah menghadap sendiri (in person) di muka persidangan. Majelis
Hakim telah berupaya mendamaikan Pemohon dan Termohon agar menyelesaikan
permasalahannya secara kekeluargaan dan kembali membina rumah tangga, namun
tidak berhasil. Demikian pula upaya mediasi sebagaimana kehendak PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 tentag mediasi telah dilaksanakan, namun tetap tidak
berhasil. Maka, ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR dan PERMA Nomor 1 Tahun
2008 telah terpenuhi.
Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti T.2 (Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Termohon) merupakan akta otentik, oleh karenanya secara
formil dinyatakan dapat diterima, dan berdasarkan alat bukti a quo telah terbukti
secara meyakinkan Termohon berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Agama
Tigaraksa. Dengan demikian pemeriksaan dapat dilanjutkan.
Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon dalam mengajukan pembatalan nikah telah mendalilkan suatu alasan bahwa Pemohon dan Termohon
telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 13 April 2013 di Kecamatan Legok,
Kabupaten Tangerang dengan status Pemohon sebagai seorang jejaka dan
Termohon sebagai seorang perawan dan juga telah hidup bersama sebagai suami
isteri. Namun Termohon sewaktu menikah dengan Pemohon tenyata dalam
keadaan hamil dua bulan, sedangkan Termohon tidak pernah memberitahukan
kepada Pemohon tentang kehamilannya sebelum perkawinan, maka sesuai dengan
Hukum Islam tentang perkawinan, secara formal perkara ini dapat diterima untuk
diperiksa lebih lanjut.
Menimbang, bahwa berdasarkan Foto Kopi Kutipan Buku Nikah atas
nama Pemohon dan Termohon yang telah melangsungkan pernikahannya pada
tanggal 13 April 2013 dengan Nomor : 319/53/IV/2013 yang telah dikeluarkan
oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang pada
tanggal 15 April 2013, sebagaimana bukti P.1 dan T.1, bahwa Pemohon dan
Termohon telah terbukti sebagai suami isteri, maka berdasarkan pasal 2 ayat
(1)dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapatlah
dinyatakan bahwa Pemohon dan Termohon telah terikat dalam perkawinan yang
sah.
Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon dan Termohon sebagai suami isteri yang telah terikat dalam suatu perkawinan yang sah, maka Pemohon dan
Termohon dinilai sebagai pihak yang tepat dalam perkara ini (legitima standi in
judicio).
Menimbang, bahwa pada persidangan pertama Pemohon telah
mengajukan penambahan permohonan tentang tuntutan ganti rugi terhadap seluruh
biaya prosesi acara pernikahan antara Pemohon dengan Termohon sampai pesta
perkawinan beserta seluruh biaya rumah sakit Termohon. Hal ini dinilai oleh
Pemohon ada unsur penipuan. Maka, berdasarkan pasal 49 ayat (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-undang Nomor 50