• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dog Ticks Infestation and Its Correlation to Tick-Borne Diseases.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dog Ticks Infestation and Its Correlation to Tick-Borne Diseases."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

INFESTASI CAPLAK ANJING DAN KAITANNYA DENGAN

PENYAKIT YANG DITULARKANNYA

IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Infestasi Caplak Anjing dan Kaitannya dengan Penyakit yang ditularkannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO. Infestasi Caplak Anjing dan Kaitannya dengan Penyakit yang ditularkannya. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UPIK KESUMAWATI HADI.

Infestasi caplak pada anjing menimbulkan gangguan baik berupa kegatalan, anemia, kelainan kulit, juga tick-borne disease, seperti Ehrlichiosis, Babesiosis, Anaplasmosis dan Rocky Mountain Spotted Fever. Selain pada anjing, Ehrlichiosis diketahui bersifat zoonosis. Siklus hidup stadium pradewasa caplak yang berada di luar inangnya, seringkali meningkatkan kontak caplak dengan manusia. Studi tentang infestasi caplak anjing dan penyakit yang ditularkannya pada anjing perlu dilakukan, karena belum banyak informasi tentang ragam jenis, prevalensi dan derajat infestasi caplak di Indonesia.

Survei infestasi, koleksi sampel caplak serta pemeriksaan darah anjing dilaksanakan di Direktorat Polisi Satwa Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri dan TNI AU Atang Sendjaja (ATS). Adapun koleksi sampel caplak anjing serta data kasus infestasi dan penyakit yang ditularkan diperoleh dari 21 klinik hewan di Bogor, Jakarta dan Bandung. Semua sampel caplak dimasukkan dalam botol berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi. Pemeriksaan darah dilakukan untuk diagnosis Ehrlichiosis, Babesiosis dan Anaplasmosis.

Hasil identifikasi terhadap 950 sampel caplak yang diperoleh dari 97 anjing Baharkam, ATS dan klinik hewan di Bogor, Jakarta dan Bandung, menunjukkan hanya satu jenis caplak yaitu Rhipicephalus sanguineus. Caplak ini termasuk caplak berumah tiga (three-host tick) yang membutuhkan tiga inang untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Setiap stadium caplak membutuhkan inang, baik anjing yang sama (jika pada tempat tersebut hanya terdapat satu atau sedikit anjing), maupun anjing yang berbeda.

Penelitian di Baharkam dilakukan terhadap 81 anjing (jantan 53 dan betina 28 ekor). Prevalensi anjing yang terinfestasi caplak adalah 67.90%. Adapun persentase anjing jantan yang terserang caplak lebih besar (69.81%) daripada anjing betina (64.29%). Berdasarkan uji Chi-Square tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan ras anjing dengan derajat infestasi caplak. Pada umumnya anjing terinfestasi dengan kategori infestasi ringan (41.98%), sementara itu kategori sedang sebesar 18.52%, tinggi 2.47% dan sangat tinggi 4.94%. Regio anjing yang paling banyak terserang R. sanguineus adalah punggung. Caplak menyukai regio tersebut dikarenakan daerah itu sedikit sulit bagi anjing menggunakan kakinya untuk menyingkirkan caplak.

Pengambilan caplak dengan tick-drag di lapangan rumput Baharkam menunjukkan hasil positif pada lapangan yang sering digunakan anjing berlatih. Stadium caplak yang ditemukan di lapangan seluruhnya adalah larva dengan kepadatan 152 ekor pada luasan lapangan 215m2. Pada kandang anjing diperoleh caplak stadium dewasa dan beberapa betina dewasa yang meletakkan telur pada dinding kandang.

(5)

rumput di ATS tidak ditemukan adanya caplak, namun pada kandang anjing hasilnya positif. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan akibat anjing yang jarang dikeluarkan dari kandang, sehingga caplak melakukan drop-off di dalam kandang.

Total kasus infestasi caplak anjing dari tahun 2008 sampai Juni 2013 di klinik hewan Bogor, Jakarta dan Bandung adalah sebanyak 731 kasus. Secara umum, terjadi peningkatan prevalensi infestasi caplak di ketiga kota pada rentang tahun tersebut. Anjing jenis ras dan jantan di Bogor, Jakarta dan Bandung lebih banyak terinfestasi caplak dibandingkan jenis campuran dan lokal serta anjing betina.

Hasil pemeriksaan sampel serum anjing Baharkam ditemukan 12% positif mengandung E. canis. Sampel serum anjing yang positif terutama berasal dari anjing-anjing dengan kategori infestasi sedang (40%) dan bebas caplak (12.5%). Adapun serum anjing ATS yang positif E. canis sebanyak 40% dengan kategori infestasi caplak sedang dan tinggi. Bersumber pada uji Chi-Square, tidak ada hubungan antara derajat infestasi caplak dengan infeksi E. canis. Pemeriksaan ulas darah menunjukkan hasil positif hanya pada anjing Baharkam, yaitu Babesia 8% serta campuran Babesia dan Anaplasma sebesar 16%. Tidak ada hubungan antara derajat infestasi caplak dengan infeksi Babesia dan Anaplasma.

(6)

SUMMARY

IGNASIUS RESA CHRISTANTO PRATOMO. Dog Ticks Infestation and Its Correlation to Tick-Borne Diseases. Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI.

Ticks infestation on dog could lead to itchiness, anemia, skin disorders, and tick-borne diseases, such as Ehrlichiosis, Babesiosis, Anaplasmosis and Rocky Mountain Spotted Fever. Besides dogs, Ehrlichiosis were known to be zoonotic. Pre-mature stage tick life cycle that occur outside its host, will enhance contacts between ticks and human. The study of ticks infestation and tick-borne diseases on the dog is necessary, because it has not a lot of information about the diversity, prevalence and degree of ticks infestation in Indonesia.

Ticks survey, included ticks sampling and dogs blood test were performed at Animal Police Directorate Security Agency (Baharkam) and Atang Sendjaja Air Force (ATS). Meanwhile ticks sampling also data of cases of ticks infestation and diseases transmitted obtained from 21 veterinary clinics in Bogor, Jakarta and Bandung. All ticks samples stored in bottles containing 70% alcohol for identification. Blood tests performed for Ehrlichiosis, Babesiosis and Anaplasmosis diagnosis.

The identification results of the 950 ticks samples that obtained from 97 dogs of Baharkam, ATS and veterinary clinics in Bogor, Jakarta and Bandung, showed only one ticks species, Rhipicephalus sanguineus. This ticks belong to three-host tick, which require three hosts to complete its life cycle. Each ticks stage need a host, either same dog (if it is in place there is only one or a few dogs), as well as different dogs.

Research in Baharkam conducted on 81 dogs (53 males and 28 females). The prevalence of dogs infested by ticks was 67.90%. The percentage of male dogs that infested by ticks are larger (69.81%) than female (64.29%). Based on Chi-Square test, there was no relationship between sex and breed of dog with degree of ticks infestation. Generally dogs infested with mild infestation category (41.98%), meanwhile moderate category was 18.52%, 2.47% high and 4.94% very high. The dog’s body region that the most infested by R. sanguineus was dog's back. Probably these body regions were be preferred because they are less accessible for the dog to remove them with its paws.

Collection of ticks with tick-drag on Baharkam grass field showed positive results on the field that was more often used to practice by dogs. The samples that obtained was larvae stage ticks with density 152 larvae on 215m2 area of the field. Adult stage ticks and several adult females which laying eggs on the cage wall were obtained in the dog kennels.

(7)

The total cases of ticks infestation of dogs at Bogor, Jakarta and Bandung veterinary clinics in 2008 until June 2013 as many as 731 cases. In general, there was an increases of the ticks infestation prevalence at three cities in that range of year. Purebreed and male dogs in Bogor, Jakarta and Bandung were more infested than mixed, local and female dogs.

The results of Baharkam dog serum samples examination that positively E. canis was 12%. There were mainly come from the dogs with moderate tick infestation category (40%) and without ticks (12.5%). While ATS dog sera that E. canis positive were 40% with moderate and high degree of tick infestation. Based on Chi-Square test, there was no relationship between degree of ticks infestation to E. canis infection. Examination of the blood smear showed positive results only from Baharkam dogs, i.e 8% Babesia also 16% Babesia and Anaplasma mix infection. The degree of ticks infestation showed no association with Babesia and Anaplasma infection.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

INFESTASI CAPLAK ANJING DAN KAITANNYA DENGAN

PENYAKIT YANG DITULARKANNYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Infestasi Caplak Anjing dan Kaitannya dengan Penyakit yang ditularkannya

Nama : Ignasius Resa Christanto Pratomo NIM : B252110031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr drh Susi Soviana, MSi Ketua

Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Februari 2014

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah caplak anjing dan tick-borne disease, dengan judul Infestasi Caplak Anjing dan Kaitannya dengan Penyakit yang ditularkannya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Susi Soviana, MSi dan Ibu Prof Dr drh Upik Kesumawati Hadi, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak drh Chaindra Prasto Saleh dan Bapak drh Adi Purnomo dari Direktorat Polisi Satwa Baharkam Polri, Bapak drh Mawar Subangkit sebagai dokter hewan di klinik hewan TNI AU Atang Sendjaja. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kepada Bapak Prof Dr drh Singgih Harsojo Sigit, MSc, Bapak Dr drh FX. Koesharto, MSc, Ibu Dr drh Dwi Jayanti Gunandini, MSi, Bapak Dr drh Ahmad Arif Amin, MSc yang selama ini telah memberikan ilmunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staf di Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju, Bapak Heri, Ibu Een serta teman-teman mahasiswa PEK yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus 2

Ehrlichiosis 4

Babesiosis 6

Anaplasmosis 7

3 METODE 8

Lokasi dan Waktu Penelitian 8

Pengamatan Infestasi Caplak 9

Preservasi Spesimen dan Identifikasi Caplak 9

Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing 10

Analisis Data 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Identifikasi Caplak 11

Pengamatan Infestasi Caplak 13

Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing 20

5 SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 22

LAMPIRAN 29

(14)

DAFTAR TABEL

1 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi R. sanguineus berdasarkan

ras anjing 13

2 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing Baharkam

Polri berdasarkan jenis kelamin 14

3 Kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing Baharkam Polri berdasarkan regio tubuh masing-masing ras anjing 15 4 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing TNI AU

Atang Sendjaja berdasarkan jenis kelamin 17

5 Kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing TNI AU Atang Sendjaja berdasarkan regio tubuh masing-masing ras anjing 17 6 Rata-rata prevalensi anjing terinfestasi caplak di Bogor, Jakarta dan

Bandung tahun 2008 sampai Juni 2013 19

7 Prevalensi anjing terinfestasi caplak berdasarkan jenis anjing, jenis kelamin dan umur di Bogor, Jakarta dan Bandung tahun 2008 sampai

Juni 2013 19

8 Hasil pemeriksaan E. canis, Babesia dan Anaplasma terhadap kategori derajat infestasi caplak anjing Baharkam Polri dan TNI AU Atang

Sendjaja 20

9 Kepadatan Babesia yang menginfeksi anjing Baharkam Polri terhadap

kategori derajat infestasi caplak 21

DAFTAR GAMBAR

1 Bagian tubuh caplak R. sanguineus jantan (Walker et al. 2013) 2 2 Bagian tubuh caplak R. sanguineus betina (Walker et al. 2013) 3

3 Bagian tubuh R. sanguineus jantan 12

4 R. sanguineus jantan; A: dorsal; B: ventral 12

5 R. sanguineus betina; A: dorsal; B: ventral 12

6 Denah Baharkam Polri: lapangan rumput (I-VI), kandang anjing (A-F) 16 7 A: larva R. sanguineus pada tick-drag; B: slide preparat larva caplak 16 8 Denah TNI AU Atang Sendjaja: lapangan rumput (I-III), kandang anjing 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data anjing Baharkam Polri yang terinfestasi dan bebas caplak 29 2 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi caplak berdasarkan ras 29 3 Uji Pearson Chi-Square antara jenis kelamin anjing Baharkam Polri

dengan derajat infestasi caplak 29

4 Uji Pearson Chi-Square antara jenis anjing Baharkam Polri dengan

derajat infestasi caplak 30

5 Jumlah larva R. sanguineus yang diperoleh di lapangan rumput

(15)

1

PENDAHULUAN

Anjing merupakan hewan kesayangan yang paling banyak diminati selain kucing. Hal ini berkaitan dengan hubungan sosial yang erat antara anjing dengan manusia. Anjing memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi di antara mamalia lain dan juga memiliki sifat sangat setia pada majikan. Tujuan pemeliharaan anjing bukan hanya sebagai sahabat dan teman bermain, namun juga untuk berburu dan sebagai penjaga rumah yang diandalkan.

Anjing dapat terserang oleh ektoparasit seperti caplak dan menderita penyakit yang ditularkan oleh vektor tersebut. Caplak menempel di permukaan kulit dan mengisap darah inangnya melalui pembuluh darah perifer. Ektoparasit ini mudah ditemukan karena ukurannya yang cukup besar dan melekat pada kulit inangnya. Predileksi yang paling disukai caplak adalah leher, sela-sela jari dan bagian dalam telinga (Hadi dan Soviana 2010).

Genus caplak yang dapat menyerang anjing adalah Ixodes, Rhipicephalus, Haemaphysalis, Dermacentor dan Amblyomma (Soulsby 1982). Berdasarkan laporan infestasi caplak anjing di 6 Kecamatan Kota Bogor diketahui hanya satu spesies yaitu Rhipicephalus sanguineus (Hadi dan Rusli 2006). Adapun di Sabah-Malaysia ada 5 jenis caplak yang menginfestasi anjing yakni R. sanguineus, Haemaphysalis bispinosa, Haemaphysalis cornigera, Haemaphysalis koenigsbergi dan Haemaphysalis semermis (Wells et al. 2012). Sesuai dengan laporan kasus infestasi caplak di Makurdi-Nigeria, sebanyak 533 caplak yang dikoleksi jenis terbanyak adalah R. sanguineus (80.5%), Boophilus annulatus (14.6%) dan Hyalomma truncatum (4.9%) (Amuta et al. 2010). Di Burgenland-Austria, prevalensi dan spesies caplak pada 90 anjing adalah I. ricinus (76%), D. reticulatus (15,29%), Haemaphysalis concinna (7.71%), I. hexagonus (0.43%), dan I. canisuga (0.57%) dari 700 caplak (Duscher et al. 2013).

Caplak dapat memindahkan patogen secara transtadial yaitu patogen dipindahkan ke setiap stadium caplak (larva, nimfa dan dewasa) dan secara transovarial yaitu caplak dewasa betina terinfeksi akan memindahkan patogen ke generasi berikutnya melalui telur. Infestasi caplak berpotensi dalam penyebaran penyakit yang lebih luas karena potensi reproduksinya tinggi berupa telur dalam jumlah yang sangat banyak (1500 – 4000 butir), juga karena caplak memiliki kisaran inang yang luas baik dari mamalia, rodensia dan unggas. Infestasi caplak yang tinggi akan menimbulkan anemia, kelainan kulit dan tick-borne diseases. Contoh tick-borne diseases adalah Ehrlichiosis yang disebabkan Ehrlichia canis; Anaplasmosis yang disebabkan Anaplasma phagocytophilum dan A. platys; Rocky Mountain Spotted Fever (RMSF) yang disebabkan Rickettsia rickettsii dan Babesiosis yang disebabkan Babesia canis, B. gibsoni dan B. vogeli (Harwood and James 1979; Shaw 2001).

(16)

2

manusia pernah terjadi di Amerika Serikat (Dawson et al. 1991), Lara-Venezuela (Perez et al. 2006) dan Afrika Selatan (Maggi et al. 2013).

Studi tentang infestasi caplak anjing dan penyakit yang ditularkannya pada anjing perlu dilakukan karena belum banyak informasi tentang ragam jenis caplak, prevalensi dan derajat infestasi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman spesies caplak pada anjing, prevalensi dan hubungannya terhadap penyakit tular vektor. Penelitian ini diharapkan memberikan data terbaru khususnya tentang prevalensi caplak anjing dan penyakit yang ditularkan di Kota Bogor, Jakarta dan Bandung.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Caplak Anjing Rhipicephalus sanguineus

Caplak merupakan kelompok vektor penting dalam filum Arthropoda yang berperan dalam transmisi dan maintenance beberapa patogen seperti bakteri, cacing, protozoa dan virus yang menginfeksi hewan domestik dan manusia. R. sanguineus (brown dog tick) adalah caplak yang penyebarannya luas di seluruh dunia. Caplak yang sering juga disebut sengkenit terdiri atas dua famili yaitu Ixodidaedan Argasidae. Rhipicephalus termasuk dalam famili Ixodidae (Jongejan and Uilenberg 2004).

Tubuh caplak terbagi atas dua bagian, yaitu gnatosoma dan idiosoma. Pada bagian gnatosoma atau kapitulum terdapat bagian-bagian mulut dan basis kapituli (Gambar 1). Bagian mulut terdiri dari kelisera, hipostom dan pedipalpus. Kelisera terdiri dari dua ruas yang ujungnya terdapat kait yang dapat digerakkan. Kait tersebut untuk membuat sayatan pada kulit inang. Hipostom memiliki barisan gigi yang mengarah ke basis kapituli. Fungsi organ ini untuk memperkokoh pertautan

Gambar 1 Bagian tubuh caplak R. sanguineus jantan

(17)

3

caplak pada inang. Pedipalpus terdiri atas 4 segmen yang terletak di sisi hipostom. Segmen ke empat berukuran kecil dan memiliki sensori untuk membantu proses makan caplak. Pedipalpus akan direntangkan di permukaan kulit inang saat kelisera dan hipostom melakukan penetrasi. Bagian dasar gnatosoma adalah basis kapituli yang berhubungan dengan bagian idosoma (Goddard and Layton 2006; Walker et al. 2013).

Idiosoma adalah bagian posterior tubuh caplak setelah cephalothorax/ gnatosoma. Idiosoma dibagi menjadi podosoma (daerah tempat melekatnya tungkai) dan opistosoma (daerah di belakang pasangan tungkai ke empat). Jumlah tungkai pada nimfa dan caplak dewasa sebanyak 4 pasang sedangkan larva 3 pasang. Pasangan tungkai pertama caplak terdapat sebuah organ Haller yang berfungsi sebagai reseptor kelembaban, kimia dan mekanis. Organ ini membantu caplak mendeteksi adanya inang yang sesuai dan feromon yang dihasilkan caplak lain. Seluruh permukaan dorsal idiosoma caplak jantan tertutup skutum, sedangkan pada betina skutum hanya menutupi sepertiga bagian anterior idiosoma (Gambar 2). Pada batas posterior tubuh caplak dapat ditemukan legokan-legokan yang dinamakan festoon. Lubang kelamin caplak jantan maupun betina terletak pada bidang ventral diantara koksa I dan II. Adapun lubang anus terdapat di ventral dibagian subterminal. Keping adanal dan keping adanal tambahan berada dekat lubang anus caplak jantan. Spirakel R. sanguineus jantan dan betina berbentuk seperti koma (Hadi dan Soviana 2010;Harwood and James 1979).

R. sanguineus bersifat endofilik (beradaptasi hidup dalam ruangan) dan monotropik (semua stadium perkembangan caplak mengisap darah pada spesies inang yang sama). R. sanguineus termasuk caplak berumah tiga (three-host tick), yang menunjukkan bahwa caplak membutuhkan tiga inang untuk menyelesaikan siklus hidupnya. Setiap stadium caplak membutuhkan inang, baik anjing yang sama (jika pada tempat tersebut hanya terdapat satu atau sedikit anjing), maupun anjing yang berbeda (Dantas-Torres 2010; Lord 2011).

Proses caplak menempel pada tubuh inang diawali dengan caplak menunggu datangnya inang di ujung vegetasi atau dengan berburu (host-seeking behaviour). Saat caplak telah melekat di inang, caplak akan menggunakan kelisera untuk menyayat kulit lalu menusukkan kelisera dan hipostom. Kelisera juga digunakan untuk merobek pembuluh darah kapiler, yang kemudian terjadi hemoragi dan

(18)

4

membentuk feeding pool, selanjutnya caplak mulai mengisap darah (telmofagi) (Szabó and Bechara 1999; Mans and Neitz 2003).

Siklus hidup R. sanguineus dimulai saat stadium larva mengisap darah anjing yang membutuhkan waktu sampai kenyang (engorged) selama 3 - 7 hari, sedangkan nimfa 5 - 10 hari dan betina dewasa ±14 hari. Larva dan nimfa caplak yang telah kenyang akan drop-off (lepas dari inang) untuk moulting selama 14 hari. Caplak betina yang telah kenyang darah dan mating juga akan drop-off lalu mencari tempat tersembunyi untuk bertelur selama 4 - 15 hari kemudian caplak mati. Adapun telur tersebut akan menetas setelah 14 - 35 hari (Lord 2011).

Peran R. sanguineus terhadap inang selain dapat menimbulkan anemia dan kelainan kulit (dermatitis, keropeng dan alopecia), juga sebagai vektor beberapa jenis penyakit seperti Ehrlichiosis, Babesiosis, Anaplasmosis, Hepatozoonosis, Boutonneuse fever dan RMSF (Shaw 2001).

Ehrlichiosis

Ehrlichia canis adalah bakteri obligat intraseluler gram negatif yang termasuk dalam famili Anaplasmataceae, ordo Rickettsiales. Spesies Ehrlichia lain seperti E. ewingii dan E. chaffeensis dapat menunjukkan gejala klinis yang serupa dengan E. canis, namun E. canis merupakan penyebab utama Ehrlichiosis pada anjing. Kejadian penyakit ini kali pertama terjadi pada tahun 1935 di Algeria. Ehrlichiosis disebut juga Canine Monocytic Ehrlichiosis (CME), karena E. canis bereplikasi di sel monosit anjing. E. canis juga dapat menyebabkan Human Ehrlichiosis (Rikihisa et al. 1992; Dumler et al. 2001).

Siklus perkembangan Ehrlichia dimulai saat caplak stadium larva mengisap darah anjing yang menderita Ehrlichiosis lalu patogen akan masuk dan bereplikasi di dalam usus caplak. Larva caplak yang telah kenyang darah akan drop-off dan moulting menjadi nimfa, adapun Ehrlichia akan tetap di usus caplak dan terbawa dalam proses moulting tersebut. Ehrlichia akan bermigrasi ke kelenjar saliva ketika nimfa caplak siap untuk mengisap darah. Diketahui bahwa perpindahan Ehrlichia pada caplak hanya terjadi secara transtadial. Pada saat caplak mengisap darah, Ehrlichia akan masuk ke dalam tubuh anjing bersamaan dengan keluarnya saliva caplak. Saliva tersebut berperan dalam antikoagulasi darah inang. Ehrlichia yang telah masuk ke inang akan menuju target sel (monosit) dan bereplikasi (Rikihisa 2010).

Gejala klinis anjing yang mengalami Ehrlichiosis dibagi menjadi tiga fase yakni akut, subklinis dan kronis. Gejala akut berlangsung selama 1 sampai 4 minggu, pada fase ini Ehrlichia mulai bereplikasi di dalam monosit dan jumlah platelet akan turun serta terjadi immune-mediated platelet destruction. Gejala akut dapat bersifat ringan sampai parah, seperti demam, lesu, anoreksia, limfadenofati, splenomegali dan penurunan berat badan. Gejala dapat diikuti dengan muntah, diare, kepincangan dan edema pada ekstremitas, dispneu, lendir pada oculonasal serta hemoragi subretina yang dapat menyebabkan kebutaan (McQuiston 2012; Skotarczak 2003).

(19)

5 anjing akan menunjukkan gejala arthritis, gagal ginjal, pneumonia, polimiositis kelemahan, depresi serta edema pada kaki, ekor dan scrotum. Gejala gangguan perdarahan terlihat pada membran mukosa yang pucat, ptechiae, ecchymosa, epistaksis, hematuria atau melena. Gangguan reproduksi yang timbul seperti perdarahan panjang saat estrus, kematian fetus dan neonatal. Anjing dapat mati karena perdarahan atau infeksi sekunder (Skotarczak 2003).

Diagnosis serologis gold standard terhadap Canine Ehrlichiosis dengan menggunakan tes indirect immunofluorescent antibody (IFA). Tes tersebut untuk melihat adanya E. canis dengan bantuan label flourescent sehingga sitoplasma patogen akan tampak bercahaya saat diperiksa dengan mikroskop flourescent (Oriá et al. 2008). Diagnosis juga dapat dilakukan dengan mendeteksi antibodi terhadap Ehrlichia menggunakan enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) maupun dengan rapid test (Bélanger et al. 2002). Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode yang sesuai untuk mendiagnosis Ehrlichiosis fase akut. Metode ini lebih sensitif dan spesifik karena dapat mengidentifikasi secara tingkat molekuler spesies Ehrlichia yang menginfeksi anjing (Nazari et al. 2013).

Penelitian tentang perkembangan kasus Ehrlichiosis dengan berbagai metode pendeteksian telah dilakukan beberapa tahun terakhir. Studi di Brasil menunjukkan adanya korelasi antara 51 anjing yang mengalami uveitis terhadap keberadaan E. canis serta penurunan jumlah eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan serologis menggunakan IFA dan dot-blot linked immunoassay (DBELIA). Hasil tersebut juga memperlihatkan bahwa DBELIA (86.27%) lebih sensitif dari pada IFA (66.67%) dalam mendeteksi Ehrlichia (Oriá et al. 2008). Pemeriksaan serologis pada 224 anjing di Turki dengan IFA didapatkan bahwa, sebanyak 81 anjing (36.2%) positif terinfeksi E. canis. Adapun dari 81 anjing tersebut, sejumlah 69 anjing mengalami trombositopenia. Hasil ini menunjukkan adanya korelasi gejala trombositopenia dengan infeksi Ehrlichia (Tuna and Ulutas 2009).

Pemeriksaan adanya infeksi E. canis pada anjing militer dan di klinik hewan juga dilakukan di Kota Manila, Filipina. Seratus enam puluh satu (95.3%) dari 169 sampel, positif terhadap antibodi E. canis yang diperiksa dengan ELISA (Baticados and Baticados 2011). Hal sebaliknya di Amerika Utara, dari 8662 anjing yang positif E. canis hanya sebesar 0.8%, jauh lebih sedikit dari yang positif E. ewingii (5.1%) dan E. chaffeensis (2.8%). Sampel darah tersebut diperoleh dari 14 kampus kedokteran hewan, 6 klinik hewan dan 4 laboratorium klinik (Beall et al. 2012).

(20)

6

Babesiosis

Spesies protozoa seperti Babesia canis, B. vogeli dan B. gibsoni dapat menyebabkan Babesiosis pada anjing (Canine Babesiosis). B. canis dan B. vogeli termasuk dalam Babesia besar (tropozoit berukuran 2.5 - 5.0 µm), sedangkan B. gibsoni adalah Babesia kecil (tropozoit berukuran 1.0 - 2.5 µm). Protozoa stadium tropozoit bereplikasi di eritrosit inang, adapun stadium gametosit di dalam tubuh caplak. Perpindahan Babesia pada caplak dapat terjadi secara transtadial dan transovarial (Levine 1994; Homer et al. 2000).

Proses penularan Babesia melalui vektor R. sanguineus. Infeksi dimulai saat caplak betina mengisap darah anjing yang menderita Babesiosis. Sejumlah Babesia pregametosit di dalam usus caplak, akan berubah menjadi gamet jantan dan betina kemudian gamet berfusi menghasilkan zigot. Zigot lalu akan membentuk ookinet/kinet yang akan melakukan penetrasi ke dinding divertikula dan masuk ke rongga tubuh untuk menuju ke ovarium. Ookinet/kinet yang telah menginvasi ovum akan menjadi sporozoit dan sebagai sumber penularan transovarial ketika telur menetas menjadi larva. Babesia juga dapat berpindah dari stadium larva ke nimfa dan nimfa ke dewasa (transtadial). Pada proses transtadial, Babesia akan melakukan multiplikasi di sel subkutikular lalu masuk ke jaringan otot untuk dorman saat caplak moulting. Parasit akan motil kembali menuju kelenjar ludah dan bermutiplikasi di sel asinar ketika caplak memulai mengisap darah inang (Soulsby 1982; Chauvin et al. 2009).

Babesia bentuk sporozoit yang masuk tubuh inang akan langsung menginfeksi eritrosit. Sporozoit dalam beberapa hari berubah menjadi tropozoit dan kemudian tropozoit membentuk badan yang berinti banyak disebut skizon. Perkembangan selanjutnya di dalam skizon terbentuk merozoit, yang ketika jumlah merozoit semakin banyak maka akan menyebabkan skizon pecah. Sebagian merozoit yang telah keluar dari skizon selain ada yang kembali menginfeksi eritrosit juga ada yang membentuk stadium pregametosit. Perkembangan pregametosit menjadi gamet akan terjadi di dalam usus caplak ketika Babesia terisap oleh vektor (Uilenberg 2006).

Babesia dapat menyerang segala umur anjing dengan periode inkubasi antara 10 sampai 28 hari. Tingkat keparahan penyakit tergantung pada spesies Babesia yang menginfeksi, keberadaan infeksi sekunder serta umur dan status imun inang. Fase penyakit bervariasi dari akut sampai kronis. Gejala klinis bentuk akut memperlihatkan adanya demam, hemoglobinuria, ikterus, splenomegali, anemia dan kematian. Anemia terjadi karena parasit yang menginvasi eritrosit menyebabkan kelainan pada bentuk eritrosit berupa permukaan yang tidak teratur. Eritrosit yang tidak teratur ini lalu dikeluarkan dari sirkulasi oleh limpa. Adanya infeksi parasit juga dapat menimbulkan terjadinya hemolisis yang kemudian menyebabkan anemia. Infeksi kronis lebih sering bersifat asimptomatik dan terkadang infeksi dapat berkembang kembali saat stres atau terjadi imunosupresi (Schoeman 2009; Homer et al. 2000; Irwin 2010).

(21)

7 endemis, namun terkadang parasit tidak dapat ditemukan pada saat parasitemia rendah. Diagnosis molekuler menggunakan PCR dan pemeriksaan serologis dengan IFA, ELISA dan immunochromatographic test (ICT) dapat mendeteksi adanya parasit meskipun tingkat parasitemia anjing rendah (Irwin 2009; Cruz-Flores et al. 2008).

Pemeriksaan Babesiosis pada anjing telah banyak dilakukan di beberapa negara. Di Kota Lahore-Pakistan, dilaporkan sebesar 2.62% dari 6204 anjing positif Babesiosis. Anjing tersebut dikelompokkan berdasarkan umur, kelamin, jenis anjing. Hasilnya, anjing jantan (3.39%) lebih banyak terinfeksi Babesia dibandingkan betina (1.32%) serta persentase Babesiosis lebih besar pada anjing muda (6.9%) daripada yang tua. Jenis crossbreed (10.9%) juga rentan terhadap Babesia dibandingkan purebred. Jumlah caplak yang dikoleksi dari 100 anjing adalah sebanyak 507 yang terdiri atas Rhipicephalus (491 ekor), Dermacentor (14 ekor) dan Haemaphysalis (2 ekor) (Bashir et al. 2009).

Penelitian Canine Babesiosis pada 45 anjing di utara Portugal menunjukkan bahwa 98% terinfeksi B. canis dan 2% B. vogeli serta adanya infeksi sekunder E. canis, Hepatozoon canis dan Leishmania infantum. Sebanyak 50% dari 44 anjing yang positif B. canis, terinfestasi caplak Dermacentor, Ixodes dan R. sanguineus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan ulas darah, PCR dan DNA nucleotide sequencing (Cardoso et al. 2010).

Pendeteksian Babesiosis menggunakan ICT terhadap 46 anjing stray di Filipina, hasilnya sebanyak 28% anjing positif B. gibsoni. Adapun sebesar 80.4% anjing terinfestasi caplak genus Rhipicephalus dan Boophilus. Diantara 33 anjing yang negatif B. gibsoni, ternyata 48.5% terinfestasi Rhipicephalus dan 12.1% Boophilus, serta campuran antara Rhipicephalus dan Boophilus 12.1%. Anjing yang tidak terinfestasi caplak sebanyak 19.6% (Cruz-Flores et al. 2008). Berdasarkan tes PCR terhadap dua isolat Jepang dan masing-masing satu isolat dari Malaysia, Sri Lanka, California dan Spanyol, didapatkan bahwa spesies Babesia yang ada di negara-negara itu adalah B. gibsoni. Isolat dari Jepang termasuk B. gibsoni genotipe Asia 1, Malaysia dan Sri Lanka termasuk genotipe Asia 2 sedangkan isolat California dan Spanyol berbeda dari lainnya (Zahler 2001).

Anaplasmosis

(22)

8

musim gugur (September). Spesies caplak di Amerika Serikat yang berperan sebagai vektor adalah Ixodes scapularis dan I. pacificus sedangkan di Eropa adalah I. ricinus (Alleman and Wamsley 2008). Fase klinis Anaplasmosis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari sedangkan fase subklinis dan kronis tidak pernah dilaporkan. Target sel A. phagocytophilum pada inang adalah neutrofil (McQuiston 2012).

Anaplasmosis yang disebabkan A. platys pertama kali dilaporkan tahun 1978 di Florida. Kejadian penyakit ini menyebar ke Eropa, Asia dan Amerika Selatan. Patogen ini menginfeksi trombosit inang, yang pada sediaan ulas darah terlihat berupa morula atau inclusion bodies (Arraga-Alvarado et al. 2003). Anjing merupakan inang utama A. platys meskipun pernah dilaporkan pada kucing, kambing dan impala (Lima et al. 2010; Du Plessis et al. 1997).

Anjing yang terinfeksi Anaplasma menunjukkan gejala klinis berupa demam, kelemahan, membran mukosa pucat, ptechiae, epistaksis dan limfadenofati. Anaplasmosis juga dapat menimbulkan gejala poliarthritis, muntah, diare, batuk dan sulit bernafas, kemudian mengakibatkan meningitis, seizure dan ataksia. Diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan ulas darah dengan melihat adanya morula A. phagocytophilum pada neutrofil atau cairan sinovial inang sedangkan A. platys terlihat pada trombosit. Adapun perkembangan gamet Anaplasma terjadi di dalam tubuh caplak, namun perpindahan patogen pada caplak hanya secara transtadial (McQuiston 2012; Dyachenko et al. 2012).

Diagnosis infeksi Anaplasma dapat dilakukan dengan pemeriksaan ELISA, IFA dan PCR. Seperti pemeriksaan dengan PCR pada 43 anjing militer di Venezuela, diketahui sebesar 16% positif terinfeksi A. platys. Sebaliknya, pada 12 caplak R. sanguineus yang didapat dari anjing tersebut, hasilnya negatif (Huang et al. 2005). Adapun di Minnesota, hasil penelitian menunjukkan sebesar 25% dari 731 anjing terinfeksi A. phagocytophilum dan Borrelia burgdorferi. Anaplasmosis sering terjadi pada anjing jenis Golden Retriever dan Labrador, namun belum diketahui pengaruh kerentanan jenis anjing terhadap infeksi A. phagocytophilum (Beall et al. 2008). Lebih lanjut, deteksi adanya Anaplasma di dalam tubuh caplak juga dilakukan di beberapa tempat seperti di Jepang dan Slovenia (Inokuma et al. 2000; Smrdel et al. 2010).

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Koleksi sampel caplak dan pemeriksaan darah anjing dilaksanakan di dua tempat yaitu Direktorat Polisi Satwa Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam) Polri dan TNI AU Atang Sendjaja (ATS). Baharkam berada di daerah Kelapa Dua, Depok sedangkan ATS terletak di Desa Semplak, Kecamatan Kemang, Bogor Barat. Anjing yang termasuk dalam unit satwa ini memberikan bantuan pelaksanaan tugas keamanan (POLRI 2009; TNI AU 2010).

(23)

9 Pengamatan Infestasi Caplak

Infestasi Caplak pada Anjing dan Lingkungan

Sampel caplak diambil dari seluruh populasi anjing di Baharkam dan ATS. Pengamatan dengan menghitung jumlah caplak pada kelima regio tubuh anjing, yaitu (a) kepala - leher, (b) punggung, (c) abdomen, (d) kaki dan (e) ekor. Pengambilan sampel caplak dilakukan secara manual menggunakan pinset selama 5 menit. Caplak kemudian dimasukkan ke dalam wadah berisi alkohol 70% untuk keperluan identifikasi. Kepadatan caplak pada tiap regio tubuh anjing ditentukan berdasarkan derajat infestasi caplak yang terbagi atas kategori tanpa caplak, infestasi ringan, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Hadi dan Rusli 2001).

Pengambilan sampel larva caplak di Baharkam dan ATS dengan menggunakan metode tick-drag dilakukan di lapangan rumput tempat anjing berlatih. Alat yang digunakan berupa kain putih berukuran 40 x 40 cm yang permukaannya kasar sehingga caplak mudah menempel pada kain. Kain tersebut lalu ditarik di atas vegetasi sepanjang 5 sampai 10 m selama 30 detik, kemudian diulangi pada seluruh permukaan lapangan (Walker et al. 2013). Larva caplak yang menempel pada kain diambil menggunakan pinset. Pengamatan dan pengambilan sampel caplak juga dilakukan di kandang anjing. Semua sampel caplak yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah berisi alkohol 70%.

Kasus Infestasi Caplak Anjing dan Penyakit yang ditularkannya

Data sekunder ini diambil dari rekam medis pasien anjing di klinik hewan di Bogor, Jakarta dan Bandung yang terdiagnosis secara klinis dan laboratorium. Data dikumpulkan dari tahun 2008, lalu dikelompokkan berdasarkan jenis anjing, umur dan jenis kelamin. Koleksi sampel caplak pada anjing di klinik hewan dilakukan oleh dokter hewan penanggung jawab setiap klinik. Caplak dari pasien anjing yang datang dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70%.

Preservasi Spesimen dan Identifikasi Caplak

Proses pembuatan slide preparat dilakukan dengan metode Hadi dan Soviana (2010). Koleksi caplak yang telah dikumpulkan dalam alkohol 70% dibilas dengan aquades lalu caplak dipindahkan ke tabung reaksi yang berisi KOH 10%. Tabung dipanaskan dengan pembakar api bunsen, tetapi tidak sampai mendidih. Perlakuan ini bertujuan agar lapisan chitine caplak menipis. Caplak tersebut lalu dibilas dengan air sampai bersih. Jika abdomen menggembung maka bagian tersebut ditusuk dengan jarum atau ditekan perlahan supaya isi abdomen dapat dikeluarkan.

(24)

10

inkubator atau dibiarkan pada suhu kamar selama 7 sampai 10 hari untuk proses pengerasan canada balsam. Identifikasi caplak menggunakan kunci identifikasi dari Goddard and Layton (2006) dan Walker et al. (2013).

Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing Ehrlichiosis

Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui dan menentukan adanya infeksi Ehrlichia pada anjing Baharkam dan ATS. Sampel darah diambil dari masing-masing 30% jumlah anjing pada setiap 5 kategori derajat infestasi caplak. Pengambilan darah sebanyak 3 ml melalui vena cephalica antibrachii lateralis. Darah diambil menggunakan spuit lalu ditampung dalam gel and clot activator vacutainer kemudian disentrifugasi 1700 g selama 10 menit untuk memisahkan serum. Serum tersebut dipindahkan ke dalam microtube lalu dimasukkan dalam cooler box (4 - 7 °C) untuk dibawa ke laboratorium. Microtube berisi serum itu selanjutnya disimpan dalam freezer bersuhu -20 °C sampai digunakan untuk pengujian lebih lanjut (Tsachev et al. 2006).

Sampel serum anjing diperiksa menggunakan rapid test kit Ehrlichia (Synbiotics Corporation) untuk mendeteksi antibodi terhadap E. canis berdasarkan instruksi pada label. Satu rapid test kit Ehrlichia terdiri dari lima alat tes (test device), satu botol larutan buffer (2 ml) dan lima pipet. Alat tes diletakkan pada permukaan yang horisontal kemudian diteteskan sampel serum secara vertikal sebanyak satu tetes. Sampel serum akan penetrasi ke dalam membran alat tes. Larutan buffer ditambahkan sebanyak tiga tetes. Dalam waktu 10 menit, kompleks larutan akan bereaksi positif dengan menunjukkan pita warna merah muda atau ungu (Synbiotics 2004).

Babesiosis dan Anaplasmosis

Pemeriksaan ini untuk melihat adanya Babesia dan Anaplasma yang menginfeksi anjing. Sampel ulas darah juga diambil sebanyak 30% dari masing-masing kategori derajat infestasi caplak anjing Baharkam dan ATS. Pewarnaan ulas darah dilakukan dengan metode Giemsa. Darah yang telah disiapkan diteteskan ke atas object glass kemudian ditempelkan ujung object glass yang lain dengan membentuk sudut kurang lebih 45°, setelah itu object glass didorong dengan kecepatan konstan sehingga didapatkan ulasan yang tidak terlalu tebal.

(25)

11 Analisis Data

Kategori Derajat Infestasi Caplak

Derajat infestasi dikategorikan sebagai (-) = tanpa caplak, (+) = 1 - 5 ekor caplak (ringan), (++) = 6 - 10 ekor caplak (sedang), (+++) = 11 - 20 ekor caplak (tinggi), dan (++++) = > 20 ekor caplak (sangat tinggi) (Hadi dan Rusli 2001). Prevalensi Caplak pada Anjing dan di Lingkungan

Prevalensi caplak pada anjing diukur berdasarkan jumlah anjing yang positif terinfestasi caplak dibagi total populasi anjing yang diperiksa. Prevalensi caplak di lapangan rumput Baharkam dan ATS, dihitung berdasar hasil tick-drag yang dinyatakan dalam jumlah caplak satuan luas lapangan (m2). Pemeriksaan caplak di dalam kandang (celah, retakan, pojok kandang serta tempat-tempat yang terlindung) berupa pengamatan ada atau tidaknya caplak. Kandang yang digunakan untuk pemeriksaan caplak adalah kandang yang ditempati anjing yang termasuk dalam perhitungan 30% sampel pemeriksaan darah.

Prevalensi Kasus Infestasi Caplak dan Penyakit yang ditularkannya

Data sekunder yang diperoleh dari klinik hewan di Bogor, Jakarta dan Bandung dianalisis secara deskriptif menggunakan statistika deskriptif. Hasil analisis memperlihatkan prevalensi infestasi caplak dan kasus penyakit berdasarkan faktor jenis, umur dan jenis kelamin anjing.

Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing

Pemeriksaan ini akan menunjukkan prevalensi sampel yang positif adanya E. canis, Babesia dan Anaplasma. Penghitungan persentase eritrosit berparasit Babesia menggunakan rumus (Jumlah parasit/400 eritrosit) x 100% (Almazán et al.

2008). Hasil pemeriksaan akan dianalisis menggunakan Pearson Chi-Square program SPSS versi 19, untuk mengetahui hubungan derajat infestasi caplak terhadap Ehrlichiosis, Babesiosis dan Anaplasmosis.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Caplak

(26)

12

pada saat caplak bertelur. Substansi tersebut berfungsi untuk melindungi telur (waterproofing).

Di Indonesia, Hadi dan Rusli (2006) melaporkan caplak yang menginfestasi 28 anjing di 6 kecamatan Kota Bogor diketahui hanya satu spesies yaitu Rhipicephalus sanguineus. Hal yang serupa dilaporkan di Filipina bahwa, spesies caplak yang menyerang anjing adalah R. sanguineus (Baticados and Baticados 2011). Survei caplak anjing di empat kota di India (Mumbai, Delhi, Sikkim dan Ladakh) menunjukkan genus caplak yang ditemukan adalah Rhipicephalus dan

Gambar 3 Bagian tubuh R. sanguineus jantan

Gambar 4 R. sanguineus jantan; A: dorsal; B: ventral

(27)

13 Haemaphysalis (Rani et al. 2011). Kejadian sebaliknya pada survei koleksi caplak menggunakan tick-drag di pulau Jeju-Korea Selatan, R. sanguineus tidak pernah ditemukan. Jenis caplak yang ditemukan adalah Haemaphysalis longicornis, H. flava, H. phasiana, Ixodes nipponensis, I. turdus dan Amblyomma testudinarium (Ko et al. 2010).

Pengamatan Infestasi Caplak Infestasi Caplak pada Anjing dan Lingkungan

Baharkam Polri

Pengukuran infestasi caplak dilakukan terhadap seluruh anjing yang berjumlah 81 ekor (53 jantan dan 28 betina). Persentase anjing Baharkam yang terinfestasi caplak adalah 67.90% (55 ekor). Jenis anjing yang ada di lokasi ini sebanyak sembilan, yaitu Beagle, Doberman, Dutch Shepherd, German Pointer, German Shepherd, Golden Retriever, Labrador, Malinois dan Rottweiler. Sebagian besar ras anjing tersebut adalah Labrador (30.86%) dan Malinois (29.63%) sebaliknya yang paling sedikit adalah Golden Retriever (1.24%). Ras Golden Retriever satu-satunya jenis anjing yang tidak terinfestasi caplak dibandingkan delapan ras lain yang prevalensinya diatas 50%. Jenis anjing yang terinfestasi caplak adalah Beagle 50%, Doberman 100%, Dutch Shepherd 70%, GermanPointer 75%, GermanShepherd 100%, Labrador 56%, Malinois 70.83% dan Rottweiler 66.67% (Tabel 1). Diketahui bahwa anjing Golden Retriever tersebut jarang beraktivitas di lapangan sehingga peluang anjing untuk kontak dengan sumber penularan caplak menjadi kecil. Berdasarkan uji Pearson Chi-Square, tidak terdapat hubungan antara jenis anjing dengan derajat infestasi caplak (p > 0.05). Hal ini seperti hasil penelitian di Ashton Court Estate-Inggris, bahwa faktor jenis anjing tidak mempengaruhi infestasi caplak (Jennett et al. 2013).

Tabel 1 Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi R. sanguineus berdasarkan ras anjing

(28)

14

Persentase anjing jantan yang terserang caplak lebih besar (69.81% atau 37 ekor) daripada anjing betina (64.29% atau 18 ekor), namun berdasarkan uji Pearson Chi-Square, tidak ada hubungan antara jenis kelamin anjing dengan derajat infestasi caplak (p > 0.05). Penelitian di Algeria dan Meksiko juga menunjukkan hasil yang serupa dengan uji ini (Vazquez et al. 1998; Matallah et al. 2012). Hal tersebut karena pengaruh kegiatan latihan atau tugas penjagaan tidak dibedakan antara anjing jantan dan betina, sehingga kedua anjing memiliki kesempatan yang sama untuk terinfestasi caplak.

Derajat infestasi caplak pada anjing sebagian besar dengan kategori ringan (41.98%), sementara itu kategori sedang sebesar 18.52%, tinggi 2.47% dan sangat tinggi 4.94% (Tabel 2). Berdasarkan informasi dari dokter hewan dan pawang, anjing yang berada di tempat ini cukup rutin dimandikan meskipun hanya pada beberapa anjing. Keterangan tersebut mengindikasikan anjing yang belum bersih dapat menjadi sumber penularan, terutama melalui lingkungan. Sampel caplak yang diperoleh dari tubuh anjing adalah stadium nimfa dan dewasa.

Berdasarkan Tabel 3, seluruh regio anjing Baharkam dapat terserang R. sanguineus dengan kategori yang berbeda. Hasil pemeriksaan derajat infestasi di regio punggung anjing menunjukkan infestasi sangat tinggi. Caplak ditemukan terutama di daerah ini akibat sulit bagi anjing menggunakan kakinya untuk menyingkirkan caplak (Tinoco-Gracia et al. 2009). Perilaku anjing yang terserang caplak terlihat sering menggaruk-garuk tubuhnya terutama bagian abdomen dan kepala - leher pada saat latihan maupun di dalam kandang. Hal ini karena dampak infestasi caplak yang ditimbulkan berupa kegatalan.

Lapangan berumput dicurigai sebagai tempat utama penularan caplak, dikarenakan anjing yang terinfestasi caplak maupun tidak terinfestasi, berlatih di lapangan yang sama. Caplak yang menginfestasi anjing ketika berada di lapangan rumput, dapat berpindah tempat saat anjing dimasukkan kandang. Lapangan dan kandang adalah lokasi yang sesuai bagi larva dan nimfa caplak untuk drop-off melakukan moulting. Drop-off juga bertujuan meletakkan telur bagi caplak betina dewasa dan bersembunyi (Dantas-Torres 2010). Betina dewasa akan meletakkan telur di tempat tersembunyi seperti celah dan retakan dinding, batu dan tanah untuk melindungi diri dan keturunannya dari predator seperti laba-laba (Sautet 1936), burung (Guglielmone and Mosa 1991) dan tawon (Coronado 2006).

(29)

15

Caplak akan menginfestasi anjing tidak dengan cara melompat atau menjatuhkan diri dari pohon ke tubuh inang. Sebaliknya, caplak secara pasif akan berada di ujung vegetasi seperti ilalang, rumput dan semak lalu menjulurkan sepasang kaki depannya yang memiliki organ Haller dan menunggu inang yang datang. Organ Haller berfungsi sebagai reseptor kelembaban, kimia dan mekanis (Harwood and James 1979). Pada saat inang melewati vegetasi maka dengan cepat caplak akan menempel kepada inang (Blagburn and Dryden 2009).

Lingkungan bagian dalam Baharkam didominasi oleh lahan berumput lalu terdapat kantor, kandang anjing, lapangan pasir untuk latihan kuda, klinik hewan, ruang rawat inap anjing dan kandang kuda. Baharkam memiliki enam lapangan rumput tempat anjing berlatih (I - VI) dan enam kandang (A - F) (Gambar 6). Pengambilan caplak dengan tick-drag pada lapangan rumput menunjukkan hasil positif pada lapangan I, II dan IV, seluruh sampel yang diperoleh adalah caplak stadium larva (Gambar 7).

Jumlah larva R. sanguineus paling banyak didapatkan dari lapangan IV, yaitu 139 ekor per 45m2 luas lapangan. Larva yang diperoleh dari lapangan I dan II, masing-masing sebanyak 2 ekor per 70m2 dan 11 ekor per 100m2. Ketiga lapangan tersebut positif karena sering digunakan untuk berlatih dibandingkan lapangan III, V dan VI. Jumlah larva pada lapangan I dan II tidak banyak, karena lebih sering dilakukan pemotongan rumput sehingga mempengaruhi jumlah caplak.

Larva ditemukan pada beberapa lapangan rumput menunjukkan bahwa, caplak dapat kembali menginfestasi anjing yang telah bebas caplak. Oleh karena anjing yang tinggal di luar ruangan, area pedesaan dan dekat dengan hewan ternak memiliki tingkat infestasi caplak lebih tinggi dibandingkan anjing yang tinggal di dalam ruangan (Papazahariadou et al. 2003; Amuta et al. 2008). Menurut Stafford (2007) pemberian akarisida, pemotongan rumput, pembersihan sampah dedaunan, Tabel 3 Kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing Baharkam Polri

berdasarkan regio tubuh masing-masing ras anjing

Keterangan: Bea.= Beagle ; Dob.= Doberman ; D. Shep.= Dutch Shepherd ; G. Poin.= German Pointer ; G. Shep.= German Shepherd ; Lab.= Labrador ; Mal.= Malinois ; Rot.= Rottweiler ; (-) = tanpa caplak ; (+) = ringan ; (++) =

(30)

16

semak dan ilalang dapat mengontrol dan mengurangi jumlah caplak di lingkungan.

Pada kandang A sampai F juga dilakukan pemeriksaan yang hasilnya banyak diperoleh caplak stadium dewasa dan beberapa betina yang meletakkan telur pada dinding kandang. Jumlah keseluruhan caplak yang diperoleh sebanyak 82 dari kandang C, D, E dan F. Hasil pengukuran suhu di lokasi Baharkam berkisar 26 °C - 35 °C dengan kelembaban 66% - 85%, kondisi tersebut optimal bagi caplak untuk berkembang biak. Penelitian di Ibadan-Nigeria memperlihatkan kemampuan bertelur caplak R. sanguineus betina dan menetasnya telur pada suhu 15 °C, 20 °C, 25 °C, 30°C dan 37 °C serta kelembaban 85%. Hasil penelitian menunjukkan pada kelima suhu itu R. sanguineus mampu bertelur sebanyak 1000 - 1600 butir dengan durasi oviposisi 4 - 14 hari. Adapun pada suhu-suhu tersebut, telur R. sanguineus masih dapat menetas dalam jangka waktu 4 - 10 hari (Adejinmi and Akinboade 2011).

TNI AU Atang Sendjaja (ATS)

Pengukuran infestasi caplak dilakukan pada 14 anjing dengan perbandingan 10 jantan dan 4 betina, yang hanya terdapat dua ras yaitu Golden Retriever dan Rottweiler, menunjukkan seluruh anjing terinfestasi caplak. Anjing dengan kategori sangat tinggi berjumlah paling banyak yaitu 64.29% dibandingkan dengan kategori tinggi (21.43%) dan sedang (14.29%). Seluruh anjing betina

Gambar 6 Denah Baharkam Polri: lapangan rumput (I-VI), kandang anjing (A-F)

(31)

17

memiliki kategori derajat infestasi sangat tinggi. Pengukuran derajat infestasi caplak disajikan pada Tabel 4.

Pengobatan Ivermectin telah dilakukan untuk mengurangi infestasi, namun saat ini belum diketahui tingginya infestasi caplak pada anjing di ATS. Beberapa faktor yang mungkin dapat mempengaruhi, seperti penggunaan akarisida yang tidak sesuai aturan dan lingkungan di sekitar anjing yang tidak bersih dari caplak sehingga reinfestasi dapat terjadi. Menurut Purnamaningsih dan Tjahajati (2002), pemberian Ivermectin dan Fipronil dapat mengeliminasi caplak pada anjing, namun Leschnik et al. (2013) menambahkan, kasus infestasi caplak akan tetap ada jika penggunaan akarisida tidak berkelanjutan dan menyeluruh.

Predileksi caplak terutama pada regio kepala - leher dan punggung, dengan derajat infestasi sangat tinggi. Sedangkan derajat infestasi pada regio abdomen, kaki dan ekor adalah ringan (Tabel 5). Regio kepala - leher dan punggung merupakan predileksi R. sanguineus pada anjing yang umum ditemukan di tempat lain (Amuta et al. 2010; Ul-Hasan et al. 2012). Menurut Ekanem et al. (2010), kepala dan kaki merupakan regio yang pertama kali kontak dengan vegetasi, sehingga caplak menempel di daerah tersebut.

Lokasi ATS merupakan kompleks yang terdiri atas kantor, lapangan terbang, hanggar pesawat dan helikopter, klinik hewan, lapangan rumput tempat berlatih anjing dan kandang anjing. Gambar 8 merupakan denah salah satu bagian ATS yang terdapat kandang anjing, lapangan rumput dan klinik hewan. Tabel 4 Persentase kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing TNI AU

Atang Sendjaja berdasarkan jenis kelamin

Keterangan: ringan = 1-5 ekor caplak ; sedang = 6-10 ekor caplak ; tinggi = 11-20 ekor caplak dan sangat tinggi = > 20 ekor caplak

Tabel 5 Kategori derajat infestasi R. sanguineus pada anjing TNI AU Atang Sendjaja berdasarkan regio tubuh masing-masing ras anjing

(32)

18

Berdasarkan pengamatan, di lapangan rumput I, II dan III tidak didapatkan caplak, meskipun lapangan tidak diberi perlakuan akarisida sebelum tick-dragging.

Pemeriksaan juga dilakukan di kandang anjing yang hasilnya positif terdapat caplak. Stadium caplak yang didapat adalah nimfa dan dewasa dari empat kandang. Jumlah caplak di kandang pertama sampai keempat yaitu 17, 13, 13 dan 10. Hal tersebut terjadi kemungkinan akibat anjing yang jarang dikeluarkan dari kandang, sehingga caplak melakukan drop-off di dalam kandang. Caplak yang ada di dalam satu kandang dapat pindah ke kandang lain melalui dinding, kemudian terjadi infestasi antar anjing (Little et al. 2007).

Kasus Infestasi Caplak Anjing di Klinik Hewan

Data kasus diperoleh dari 21 klinik hewan di Bogor (6), Jakarta (8) dan Bandung (8) berdasarkan rekam medis pasien anjing yang positif terinfestasi caplak. Di Bogor, tempat diperoleh data tersebar di Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Utara, Tanah Sareal dan Babakan Madang, sedangkan di Jakarta terbatas di Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Adapun di Bandung klinik hewan berada di Bandung Kulon, Bojongloa Kaler, Buahbatu, Cicendo, Banjaran dan Cimahi.

Total kasus infestasi caplak anjing di Bogor, Jakarta dan Bandung sebanyak 731 kasus. Berdasarkan rata-rata prevalensi, terjadi peningkatan infestasi caplak dari tahun 2008 sampai Juni 2013 (Tabel 6). Hal ini menggambarkan kasus infestasi memang meningkat atau adanya kesadaran dari pemilik untuk memeriksakan anjing ke klinik hewan pada kasus infestasi caplak. Pada tahun 2008-2011 dan dari bulan Januari sampai Juni 2013, rata-rata prevalensi infestasi caplak di Bogor lebih tinggi dibandingkan Jakarta dan Bandung.

Data kasus infestasi caplak yang telah dikelompokkan menurut jenis anjing, kelamin dan umur disajikan pada Tabel 7. Anjing jenis ras di Bogor (84.91%),

(33)

19

Jakarta (70%) dan Bandung (59.5%) lebih banyak terinfestasi caplak. Berdasarkan jenis kelamin, anjing jantan lebih banyak yang terinfestasi caplak dengan persentase 60.13% di Bogor, 60.43% di Jakarta dan 62.69% di Bandung.

Persentase anjing ras terinfestasi caplak lebih besar karena mungkin anjing ini lebih diperhatikan dan dibawa ke klinik untuk diperiksa kesehatannya oleh pemilik. Menurut Dantas-Torres (2010) caplak dapat aktif mencari anjing berorientasi pada substansi yang dihasilkan inang (kairomon dan CO2). Saat ini

belum diketahui substansi yang dapat mempengaruhi caplak untuk mendekati inang atau membuat caplak menghindari inang tersebut. Papazahariadou et al. (2003) melaporkan bahwa infestasi caplak anjing bervariasi antar ras. Kelompok anjing purebred lebih banyak terinfestasi oleh caplak yaitu 41.78%, sedangkan pada crossbred 18.9% dan mongrel 39.4%.

Pembagian umur anjing menjadi tiga kelompok (anakan: di bawah 1 tahun, dewasa: antara 1 sampai 5 tahun dan tua: di atas 5 tahun) sebagaimana Hadi dan Rusli (2006) dan VCA (2014). Anjing berumur di bawah 1 tahun di Bogor dan Bandung, lebih banyak yang terinfestasi caplak daripada umur antara 1-5 tahun dan di atas 5 tahun. Hasil yang berbeda pada klinik hewan di Jakarta, persentase anjing berumur 1-5 tahun yang paling banyak terinfestasi. Penelitian di Ibadan-Nigeria menerangkan bahwa anjing tidak memiliki resistensi terhadap infestasi caplak R. sanguineus. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan periode mengisap darah, berat dan dimensi tubuh caplak maupun berat telur caplak dari infestasi ulangan pertama sampai ketiga (Adejinmi and Akinboade 2007). Szabó et al. (1995) menambahkan, saliva caplak yang disekresikan ke anjing tidak bersifat imunogenik sehingga anjing tidak membentuk reaksi imun terhadap caplak.

Tabel 6 Rata-rata prevalensi anjing terinfestasi caplak di Bogor, Jakarta dan Bandung tahun 2008 sampai Juni 2013

(34)

20

Pemeriksaan Darah dan Serum Anjing Ehrlichiosis

Sampel darah dan serum yang digunakan dari anjing Baharkam sebanyak 25 dan ATS 5 sampel. Pengambilan sampel sebesar 30% dari masing-masing kategori derajat infestasi caplak dan dilakukan secara acak. Serum anjing Baharkam yang positif E. canis adalah 12%, terdiri atas kategori tanpa caplak 12.5% dan kategori infestasi sedang 40%. Adapun serum anjing ATS yang positif E. canis sebesar 40% dengan kategori sedang dan tinggi (Tabel 8). Jumlah anjing Baharkam dan ATS yang mengalami Ehrlichiosis memang tidak besar namun karena kasus infestasi caplak banyak terjadi maka peluang penyebaran penyakit juga akan besar. Berdasarkan uji Pearson Chi-Square, tidak ada pengaruh antara derajat infestasi caplak dengan infeksi E. canis (p > 0.05). Serum positif E. canis berasal dari anjing Baharkam dan ATS dengan umur berkisar antara 1 sampai 3 tahun dan tanpa gejala klinis.

Satu-satunya data rekam medis yang mencantumkan kejadian Ehlichiosis berasal dari satu klinik hewan Jakarta saja. Menurut data tersebut diketahui bahwa, kasus Ehrlichiosis pada tahun 2012 sebesar 0.28% dari 1080 anjing. Diagnosis Ehrlichiosis tersebut menggunakan rapid test terhadap anjing bercaplak dan menunjukkan gejala klinis epistaksis.

Kejadian tentang Ehrlichiosis juga dilaporkan di negara lain, seperti di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa, 0.6% dari 982336 anjing mengalami Ehrlichiosis (Bowman et al. 2009). Selanjutnya di Turki, pemeriksaan dengan IFA terhadap 224 anjing hasilnya sebesar 36.2% anjing positif E. canis (Tuna and Ulutas 2009). Uji Chi-Square pada penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan survei di Tunisia, yaitu derajat infestasi caplak tidak berpengaruh terhadap infeksi E. canis (M’Ghirbi et al. 2009). Harrus et al. (1999) menambahkan bahwa faktor umur, kelamin dan jenis anjing tidak berdampak pada Ehrlichiosis.

Berdasarkan pemeriksaan, anjing yang positif E. canis tidak memperlihatkan gejala klinis. Hal ini dapat terjadi pada anjing yang terinfeksi Ehrlichia tahap subklinis. Cardoso et al. (2012) di Portugal melaporkan bahwa Tabel 8 Hasil pemeriksaan E. canis, Babesia dan Anaplasma terhadap kategori

derajat infestasi caplak anjing Baharkam Polri dan TNI AU Atang Sendjaja

(35)

21 4.1% dari 557 anjing sehat ternyata terdeteksi adanya antibodi terhadap E. canis. Antibodi ini dapat bertahan dalam waktu yang lama di tubuh anjing dan dapat tampak pada infeksi subklinis (Tornquist 2012). Gejala hemoragi seperti epistaksis umumnya terlihat pada infeksi E. canis meskipun kejadian Ehrlichiosis pada anjing di Brasil tidak menampakkan gejala tersebut (Nakaghi et al. 2008; Rahman et al. 2010; Oriá et al. 2008). Pada studi infeksi Ehrlichia dan protozoa terhadap 560 anjing di Afrika Selatan, dilaporkan terjadi infeksi campuran, yaitu E. canis dengan Babesia (3.57%) dan E. canis dengan Theileria (0.5%) (Matjila et al. 2008).

Babesiosis dan Anaplasmosis

Pemeriksaan ulas darah anjing Baharkam yang menunjukkan hasil positif Babesia sebesar 8% serta positif campuran Babesia dan Anaplasma 16%, sedangkan sampel dari ATS semuanya negatif (Tabel 8). Jumlah sampel Baharkam yang terdapat Babesia berasal dari derajat infestasi sedang 20% dan tinggi 100%. Enam belas persen sampel Baharkam yang positif Babesia dan Anaplasma terdiri dari kategori tanpa caplak yaitu 25%, sedang 20% dan sangat tinggi 100%. Hasil uji Pearson Chi-Square menerangkan bahwa derajat infestasi caplak tidak berhubungan dengan infeksi Babesia dan Anaplasma (p > 0.05). Persentase kepadatan Babesia sebesar 0.4% pada kategori infestasi sedang dan 0.2% pada kategori tinggi (Tabel 9).

Pemeriksaan parasit darah yang dilakukan oleh satu klinik hewan Jakarta pada tahun 2008 – Juni 2013 menunjukkan bahwa, sebesar 0.29% dari 27730 anjing positif terinfeksi parasit darah. Genus parasit tersebut adalah Babesia (90%), Haemobartonella (7.5%) serta Trypanosoma (1.25%).

Deteksi Babesia dan Anaplasma di Australia menunjukkan dari total 215 anjing, 32% positif Anaplasma platys, 10% Babesia canis serta 11% infeksi campuran A. platys dan B. canis (Brown et al. 2006). Survei di Algeria memiliki hasil yang sama dengan uji Chi-Square yakni tidak ada hubungan antara keberadaan caplak pada anjing dengan infeksi Babesia (Matallah et al. 2012). Anjing Baharkam yang positif Babesia dan Anaplasma tidak menunjukkan gejala klinis hal ini mungkin terjadi karena persentase patogen di dalam inang tidak terlalu besar. Hal serupa dengan penelitian Kelly et al. (2013) di kepulauan Karibia, hanya 13% anjing terinfeksi Ehrlichia, Babesia, Anaplasma dan Hepatozoon yang menunjukkan gejala klinis dan 38% yang memiliki

(36)

22

abnormalitas pada pemeriksaan hematologi. Berdasarkan pemeriksaan PCR dari 372 anjing, sebesar 24% terinfeksi Babesia dan dari 157 anjing, 11% positif A. platys. Adapun dari 170 anjing, 27% positif E. canis dan 6% H. canis dari 266 anjing.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui spesies caplak yang menginfestasi anjing hanya satu jenis yaitu Rhipicephalus sanguineus. Predileksi R. sanguineus lebih banyak pada regio punggung dan kepala - leher anjing. Lapangan rumput dan kandang dapat menjadi sumber penularan caplak sehingga infestasi caplak terjadi berulang. Serum anjing Baharkam yang positif Ehrlichiosis sebesar 12% dan ATS sebesar 40%. Pemeriksaan ulas darah anjing Baharkam menunjukkan hasil positif Babesia 8% serta campuran Babesia dan Anaplasma 16%. Tidak ada hubungan antara derajat infestasi caplak dengan infeksi E. canis, Babesia dan Anaplasma (p > 0.05).

Saran

Untuk mendapatkan informasi yang lebih mewakili kondisi Indonesia, penelitian yang sama dapat dilakukan pada kota-kota besar lainnya. Diagnosis Ehrlichiosis, Babesiosis dan Anaplasmosis yang lebih akurat dapat dikombinasi dengan uji IFA atau PCR.

DAFTAR PUSTAKA

Adejinmi JO, Akinboade OA. 2007. Resistance of Dogs to Rhipicephalus sanguineus and Haemaphysalis leachi leachi. Vet Arhiv. 77:313-318.

Adejinmi JO, Akinboade OA. 2011. Effect of Temperature on The Oviposition Capacity of Engorged Adult Females and Hatchability of Eggs of Dog Ticks: Rhipicephalus sanguineus and Heamaphysalis leachi leachi (Acari: Ixodidae). Afr J Biomed Res. 14:35-42.

Alleman AR, Wamsley HL. 2008. An Update on Anaplasmosis in Dogs [internet]. [diacu 2013 Maret 11] Tersedia dari: http://veterinarymedicine.dvm360.com/ vetmed/article/articleDetail.jsp?id=506867&sk=&date=&pageID=3.

Almazán C, Medrano C, Ortiz M, de la Fuente J. 2008. Genetic Diversity of Anaplasma marginale Strains from an Outbreak of Bovine Anaplasmosis in an Endemic Area. Vet Parasitol. 158:103–109.

(37)

23 [internet]. [diacu 2013 Oktober 23]. Internet J Parasitic Dis. 4(1). Tersedia dari: http://ispub.com/IJPD/4/1/12393.

Amuta EU, Houmsou RS, Agabiela M. 2010. Tick Infestation of Dogs in Makurdi Metropolis, Benue State-Nigeria. Internet J Vet Med. 7(2):1-8.doi:10.5580/1766.

Arraga-Alvarado C, Palmar M, Parra O, Salas P. 2003. Ehrlichia platys (Anaplasma platys) in Dogs from Maracaibo, Venezuela: an Ultrastructural Study of Experimental and Natural Infections. Vet Pathol. 40:149-156.doi:10.1354/vp.40-2-149.

Bashir IN, Chaudhry ZI, Ahmed S, Saeed MA. 2009. Epidemiological and Vector Identification Studies on Canine Babesiosis. Pakistan Vet J. 29(2):51-54. Baticados AM, Baticados WN. 2011. Serological Evidence for Ehrlichia canis

Exposure in Military Dogs and Other Canines in Metropolitan Manila, Philippines. Israel J Vet Med. 66(4):151-156.

Beall MJ, Alleman AR, Breitschwerdt EB, Cohn LA, Couto CG, Dryden MW, Guptill LC, Iazbik C, Kania SA, Lathan P et al. 2012. Seroprevalence of Ehrlichia canis, Ehrlichia chaffeensis and Ehrlichia ewingii in Dogs in North America. Par & Vect. 5(29):1-11.doi:10.1186/1756-3305-5-29.

Beall MJ, Chandrashekar R, Eberts MD, Cyr KE, Diniz PP, Mainville C, Hegarty BC, Crawford JM, Breitschwerdt EB. 2008. Serological and Molecular Prevalence of Borrelia burgdorferi, Anaplasma phagocytophilum, and Ehrlichia Species in Dogs from Minnesota. Vector Borne Zoon Dis. 8(4):455-464.doi:10.1089/vbz.2007.0236.

Bélanger M, Sorenson HL, France MK, Bowie MV, Barbet AF, Breitschwerdt EB and Alleman AR. 2002. Comparison of Serological Detection Methods for Diagnosis of Ehrlichia canis Infections in Dogs. J Clin Microbiol. 40(9):3506-3508.doi:10.1128/JCM.40.9.3506–3508.2002.

Blagburn BL, Dryden MW. 2009. Biology, Treatment and Control of Flea and Tick Infestations. Vet Clin Small Anim. 39:1173-1200.doi:10.1016/j.cvsm.2009.07.001.

Bowman D, Little SE, Lorentzen L, Shields J, Sullivan MP, Carlin EP. 2009. Prevalence and Geographic Distribution of Dirofilaria immitis, Borrelia burgdorferi, Ehrlichia canis and Anaplasma phagocytophilum in Dogs in The United States: Results of a National Clinic-Based Serologic Survey. Vet Parasitol. 160:138–148.doi:10.1016/j.vetpar.2008.10.093.

Brooks WC. 2009. Ehrlichia Infection in Dogs [internet]. [diacu 2013 Januari 31]. Veterinary Information Network, Inc. Tersedia dari: www.VeterinaryPartner. com/Content.plx?P=A&A=2103.

Brown GK, Canfield PJ, Dunstan RH, Roberts TK, Martin AR, Brown CS, Irving R. 2006. Detection of Anaplasma platys and Babesia canis vogeli and Their Impact on Platelet Numbers in Free-Roaming Dogs Associated with Remote Aboriginal Communities in Australia. Aust Vet J. 84(9):321–325.

Gambar

Gambar 1  Bagian tubuh caplak R. sanguineus jantan (Walker et al. 2013)
Gambar 2  Bagian tubuh caplak R. sanguineus betina
Gambar 3  Bagian tubuh R. sanguineus jantan
Tabel 1  Prevalensi anjing Baharkam Polri terinfestasi R. sanguineus berdasarkan ras anjing
+4

Referensi

Dokumen terkait