• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat di Banjarmasin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat di Banjarmasin"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI

DAN KESEHATAN LANSIA PEREMPUAN PADA PANTI SOSIAL DAN

LEMBAGA SOSIAL MASYARAKAT DI BANJARMASIN

NORHASANAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat di Banjarmasin” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Norhasanah

(4)

NORHASANAH. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat di Banjarmasin. Dibimbing oleh HADI RIYADI dan DADANG SUKANDAR.

Penduduk lansia Tahun 2010 mencapai 23.9 juta (9.8%) dan perkiraan pada tahun 2020 mencapai 28.8 juta (11.34%) (Depsos 2007). Menurut data statistik Indonesia tahun 2013 angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 67.8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73.6 tahun pada periode 2020-2025. Semakin meningkatnya usia harapan hidup penduduk, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun. Proyeksi angka harapan hidup di Kalimantan Selatan pada periode 2010-2015 adalah 69.2 tahun dan pada periode 2020-2025 di proyeksikan meningkat menjadi 72.1 tahun (BPS 2013). Pada kenyataannya, jika dilihat dari jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial pada kelompok lansia terlantar di Kalimantan Selatan pada tahun 2010 sebesar 18 815 lansia dan mengalami peningkatan pada tahun 2011 menjadi 30 291 lansia. Di Banjarmasin angka tersebut juga mengalami peningkatan dari 380 lansia pada tahun 2010 menjadi 458 lansia pada tahun 2011 (BPS Kalsel 2011). Meningkatnya jumlah lansia, menuntut perhatian yang juga semakin besar terhadap kelompok ini, salah satunya terkait dengan masalah gizi. Peran dan fungsi dari lembaga masyarakat atau swasta yang perduli terhadap lansia sangat diperlukan, agar secara bersama-sama dapat membantu pemerintah menangani masalah kesejahteraan sosial yang akan berdampak pada peningkatan gizi dan kesehatan lansia. Menurut Sharkey et al. (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial bagi kesehatan populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental, dengan keadaan gizi yang baik diharapkan para lansia akan tetap sehat, segar dan bersemangat dalam berkarya. Selain itu, usia produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Fatmah 2010).

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) di Banjarmasin. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia pada Panti Sosial Tresna Werha (PSTW) dan Karang Lansia Sejahtera (KL); 2) menganalisis perbedaan antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia pada PSTW dan KL; 3) menganalisis pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik terhadap status gizi lansia pada PSTW dan KL.

(5)

Data primer meliputi data karakteristik responden (nama, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, status tempat tinggal, keinginan masuk panti, frekuensi dijenguk oleh keluarga, kebiasaan olahraga, jenis kegiatan olahraga); data dukungan sosial terkait dukungan emosi, instrumen, informasi, dan kepercayaan diri, termasuk ada tidaknya upaya untuk peningkatan produktivitas; data aspek psikososial terkait dengan tingkat depresi dan kepuasan hidup; data nafsu makan; data konsumsi pangan (tingkat konsumsi energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral); data aktivitas fisik; data status kesehatan (terkait dengan riwayat penyakit lansia meliputi: jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit); data faktor genetik (umur hidup orang tua); serta data antropometri (tinggi badan, berat badan, dan panjang depa). Data sekunder meliputi data gambaran umum masing-masing lembaga termasuk jadwal kegiatan lansia dimasing-masing lembaga.

Analisis data menggunakan Microsoft Excel 2013, SPSS version 16.0 for Windows dan SAS version 9.1 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan yaitu uji beda Independent Sampel T-test, korelasi pearson, dan regresi linear. Tahapan analisis multivariat dengan uji regresi linear menggunakan metode forward yaitu: 1) seluruh variabel yang memiliki tingkat kemaknaan p<0.25 masuk kedalam pemodelan analisis regresi sebagai variabel kandidat 2) variabel yang memiliki tingkat kemaknaan p<0.05 merupakan variabel dominan yang berpengaruh terhadap variabel dependen.

Penelitian ini menunjukkan bahwa Lansia di PSTW lebih baik dalam hal konsumsi sedangkan lansia di KL lebih baik dalam hal aspek psikologis (depresi dan kepuasan hidup). Dukungan harga diri lebih banyak didapatkan oleh lansia di KL dibandingkan PSTW, namun dukungan instrumen dan dukungan informasi lebih banyak didapatkan oleh lansia di PSTW dibandingkan KL. Mengenai status gizi lansia yang termasuk kategori lebih dari normal, lebih banyak dialami oleh lansia di PSTW dibandingkan KL dan untuk status gizi yang kurang dari normal lebih banyak dialami lansia di KL dibandingkan PSTW. Terkait aktivitas fisik yang termasuk kategori ringan lebih banyak terdapat pada lansia di PSTW dibandingkan KL. Terdapat hubungan antara dukungan emosi, dukungan penghargaan diri, nafsu makan, tingkat kecukupan karbohidrat dan status kesehatan dengan status gizi lansia berdasarkan hasil uji korelasi Pearson. Berdasarkan hasil uji regresi variabel dominan yang berpengaruh terhadap status gizi yaitu tipe lembaga, dukungan emosi, nafsu makan, dan tingkat kecukupan karbohidrat.

(6)

NORHASANAH. Analysis of Factors Affecting Nutritional Status and Health Status of Female Elderly at State Nursing Home and Non-Governmental Organization in Banjarmasin. Supervised by HADI RIYADI and DADANG SUKANDAR.

Elderly population in 2010 reached 23.9 million people (9.8%) and estimated in 2020 will stretch to 28.8 million (11.34%) (Depsos 2007). According to statistical data of Indonesia in 2013 the life expectancy of the Indonesian population (men and women) rose from 67.8 years old in the period 2000-2005 to 73.6 years old in the period of 2020-2025. The increasing life expectancy of the population causing the number of elderly people is increasing from year to year. Projected life expectancy in South Kalimantan in the period of 2010-2015 is 69.2 years old and in the period of 2020-2025 is projected to increase to 72.1 years old (BPS 2013). In fact, judging from the number of social welfare issues in a group of abandoned elderly in South Kalimantan in 2010 range from 18 815 elderly and increased in 2011 to 30 291 elderly. In Banjarmasin these numbers also increased from 380 elderly people in 2010 to 458 elderly in 2011 (BPS Kalsel 2011). The increasing number of elderly, which also requires greater attention to these groups, one of which related to nutritional problems. The role and function of NGO that care for the elderly is necessary, so that together could help the government deal with social welfare issues that will have an impact on improving the nutrition and health of the elderly. Nutrients deficiency pose a potential threat to the health of the elderly population (Sharkey et al. 2002). Increasing age raises some changes both physically and mentally, with good nutritional status of the elderly is expected to remain healthy, fresh and passionate in the work. In addition, productive age can be improved so that they are still actively involved in the development (Fatmah, 2010).

The main objective of this study was to analyze of factors affecting nutritional status and health status of elderly at State Nursing Home and Non-Governmental Organization (NGO) in Banjarmasin. Specifically, it was aimed to: 1) identify social support, psychosocial aspects, appetite, food intake, physical activity, health status, genetic factors and nutritional status of the elderly in State Nursing Home Budi Sejahter (PSTW) and NGO Karang Lansia Sejahtera (KL); 2) analyze the differences between social support, psychosocial aspects, appetite, food intake, physical activity, health status, genetic factors and nutritional status of the elderly in PSTW and KL; 3) analyze the effect of social support, psychosocial aspects, appetite, food intake, physical activity, health status, genetic factors on the nutritional status of the elderly in PSTW and KL.

(7)

productivity; psychosocial aspects data associated with the level of depression and life satisfaction; appetite data; food consumption data (level of energy consumption, protein, fat, carbohydrates, vitamins, and minerals); physical activity data; health status data (related to the ailment history of the elderly include: the type of disease, pain frequency, and duration of illness); data of genetic factors (parent’s lifespan); as well as anthropometric data (height, weight, and length fathoms). Secondary data includes data of a general overview of each institution, including the schedule of the elderly in the respective institutions.

Data was analyzed using Microsoft Excel 2013, SPSS version 16.0 for Windows and SAS version 9.1 for Windows. Statistical analysis was done with different test of Independent Samples T-test, Pearson correlation and linear regression. Stages of multivariate analysis with linear regression using forward method, namely: 1) the variables have a significance level of p <0.25 into modeling regression analysis as candidate variables 2) variables with a significance level of p <0.05 is the dominant variable affecting the dependent variable.

This study showed that the elderly in PSTW better in terms of consumption, while the elderly in KL better in terms of the psychological aspects (depression and life satisfaction). Self esteem support more is obtained by the elderly in KL than PSTW, but the instrumental support and information support more is obtained by the elderly in PSTW than KL. Regarding the nutritional status of elderly more than the normal category, more experienced by the elderly in PSTW compared to KL, and for nutritional status is less than normal, more experienced elderly in KL than PSTW. Related physical activity which includes mild category more numerous in the elderly in PSTW than KL. There is a relationship between emotional support, self support esteem, appetite, carbohydrate adequacy and health status on nutritional status of elderly based on the Pearson correlation test. Based on the results of the regression test, the dominant variable affecting the nutritional status that is the type of institution, emotional support, appetite, and the adequacy of carbohydrates.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

LEMBAGA SOSIAL MASYARAKAT DI BANJARMASIN

NORHASANAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Nama : Norhasanah NRP : I151120021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Hadi Riyadi, MS Ketua

Prof Dr Dadang Sukandar, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Tanggal Ujian:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul

“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Kesehatan Lansia Perempuan pada Panti Sosial dan Lembaga Sosial Masyarakat di Banjarmasin” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr Ir Hadi Riyadi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Dadang Sukandar, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, saran, kritik yang membangun serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

2. Bapak Prof Dr Ir Ali Khomsan, MSselaku dosen penguji luar komisi dan ibu Dr Ir Sri Anna Marliyati, MS selaku moderator dalam ujian tesis yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

3. Dirjen Dikti selaku penyelenggara program beasiswa pascasarjana (BPPS) atas beasiswa yang telah diberikan kepada penulis selama dua tahun perkuliahan.

4. Orang tua ku Ibu Yurni Tasrifien, Ibu Hj. Nur Asipah dan Bapak H. Khazairin, Kakak-kakakku Abang Romy, Abang Ijay, Kak Jijim, Kak Inuy, Kak Ipat, dan Adikku Wiwi serta Suamiku Nur Adha Yuda terimakasih atas do’a, kasih sayang, semangat, dukungan, motivasi, dan kesabaran yang diberikan.

5. Kepala Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera dan Ketua Lembaga Sosial Masyarakat Karang Lansia Sejahtera beserta para staf dan para lansia yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

6. Seluruh teman kelas GMS 2012 atas kebersamaan, kekompakan, persahabatan, motivasi, dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan studi baik pada saat perkuliahan maupun melakukan penelitian di sekolah Pascasarjana IPB.

7. Semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini sehingga usulan ataupun penelitian-penelitian serupa lainnya yang lebih mendalam diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2015

(13)

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan 3

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pikir 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Lanjut Usia 6

Dukungan Sosial 7

Tingkat Depresi 8

Kepuasan Hidup 9

Nafsu Makan 11

Konsumsi Pangan 11

Aktivitas Fisik 15

Status Kesehatan 16

Status Gizi 17

Faktor Genetik 20

3 METODE PENELITIAN 21

Desain dan Lokasi Penelitian 21

Populasi dan Contoh Penelitian 21

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 22

Pengolahan dan Analisis Data 23

Definisi Operasional 29

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 30

Karakteristik Lansia di PSTW dan KL 31

Tingkat Depresi Lansia di PSTW dan KL 33

Kepuasan Hidup Lansia di PSTW dan KL 35

Dukungan Sosial Lansia di PSTW dan KL 38

Aktivitas Fisik Lansia di PSTW dan KL 40

Nafsu Makan Lansia di PSTW dan KL 41

Tingkat Kecukupan Energi Lansia di PSTW dan KL 41

Tingkat Kecukupan Protein Lansia di PSTW dan KL 42

Tingkat Kecukupan Lemak Lansia di PSTW dan KL 43

(14)

Status Kesehatan Lansia di PSTW dan KL 46

Status Gizi Lansia di PSTW dan KL 47

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia 48

5 SIMPULAN DAN SARAN 57

Simpulan 57

Saran 57

DAFTAR PUSTAKA 58

LAMPIRAN 64

(15)

1 Ambang batas IMT orang Dewasa untuk Indonesia 19 2 Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk lansia perempuan per orang

per hari 25

3 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan kelompok usia 31 4 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan riwayat pendidikan 32 5 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan usia hidup ayah 32 6 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan usia hidup ibu 33 7 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat depresi 33 8 Sebaran jawaban responden di PSTW dan KL terkait dengan tingkat depresi 34 9 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kepuasan hidup 36 10 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan dukungan sosial 39 11 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan aktivitas fisik 40 12 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan nafsu makan 41 13 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan energi 41 14 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan protein 42 15 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan lemak 43 16 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat 44 17 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan Ca 44 18 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan Fe 45 19 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan vit. A 45 20 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan tingkat kecukupan vit. C 46 21 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan status kesehatan

(skor morbiditas) 47

22 Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan status gizi (IMT) 47 23 Hasil analisis korelasi antara tipe lembaga, usia hidup orang tua,

tingkat depresi, kepuasan hidup, dukungan sosial, aktivitas fisik, nafsu makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta

status kesehatan dengan status gizi (IMT) 49

24 Variabel dominan yang berpengaruh terhadap status gizi (IMT) 54 25 Hasil analisis korelasi antara tipe lembaga, usia hidup orang tua,

tingkat depresi, kepuasan hidup, dukungan sosial, aktivitas fisik, nafsu makan, tingkat kecukupan energi dan zat gizi dengan

(16)

1 Kerangka pikir faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

dan status kesehatan lansia 5

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi (IMT) 64 2 Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan

(skor morbiditas) 68

3 Kuesioner karakteristik lansia 72

4 Kuesioner karakteristik keluarga lansia 73

5 Kuesioner dukungan sosial 74

6 Kuesioner tingkat depresi 75

7 Kuesioner kepuasan hidup 76

8 Kuesioner nafsu makan 77

9 Kuesioner recall 24 jam 78

10 Kuesioner aktivitas fisik 79

11 Kuesioner status kesehatan 80

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penduduk lansia Tahun 2010 mencapai 23.9 juta (9.8%) dan perkiraan pada tahun 2020 mencapai 28.8 juta (11.34%) (Depsos 2007). Menurut data statistik Indonesia tahun 2013 angka harapan hidup penduduk Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 67.8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73.6 tahun pada periode 2020-2025. Semakin meningkatnya usia harapan hidup, menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Proyeksi angka harapan hidup di Kalimantan Selatan pada periode 2010-2015 adalah 69.2 tahun dan pada periode 2020-2025 di proyeksikan meningkat menjadi 72.1 tahun (BPS 2013). Pada kenyataannya, jika dilihat dari jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial pada kelompok lansia terlantar di Kalimantan Selatan pada tahun 2010 sebesar 18 815 lansia dan mengalami peningkatan pada tahun 2011 menjadi 30 291 lansia. Di Banjarmasin angka tersebut juga mengalami peningkatan dari 380 lansia pada tahun 2010 menjadi 458 lansia pada tahun 2011 (BPS Kalsel 2011).

Meningkatnya jumlah lansia di Indonesia, menuntut perhatian yang juga semakin besar terhadap kelompok lansia, salah satunya terkait dengan masalah gizi. Peran dan fungsi dari lembaga masyarakat atau swasta yang perduli terhadap lansia sangat diperlukan, agar secara bersama-sama dapat membantu pemerintah menangani masalah kesejahteraan sosial yang akan berdampak pada peningkatan gizi dan kesehatan lansia.

Menurut Sharkey et al. (2002) kekurangan zat gizi menunjukkan sebuah ancaman potensial bagi kesehatan pada seluruh populasi lansia. Penambahan usia menimbulkan beberapa perubahan baik secara fisik maupun mental, dengan keadaan gizi yang baik diharapkan para lansia akan tetap sehat, segar dan bersemangat dalam berkarya. Melalui gizi yang baik, usia produktif mereka dapat ditingkatkan sehingga tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Fatmah 2010).

(18)

Latihan fisik pada lansia penting untuk memperbaiki kondisi faali, psikologi serta pengontrolan berat badan dan pola makannya. Aktivitas fisik rutin seperti jalan santai, kegiatan berkebun, dan membantu pekerjaan rumah pada lansia terbukti dapat mencegah kegagalan atau kelemahan fisik lansia terkait dengan meningkatnya kesehatan, terhambatnya penuaan (aging) serta mempertahankan komposisi tubuh (Petterson et al. 2009). Aktivitas fisik kurang disertai dengan IMT berlebih dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Arbab Zadeh et al. (2004) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang tidak aktif berhubungan dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler, IMT berlebih berkaitan dengan disabilitas (Groessl et al. 2004).

Pengaruh faktor genetik terhadap status kesehatan sesuai dengan teori blum (1974) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan seseorang adalah faktor keturunan (genetik). Status gizi dan status kesehatan sangat ditentukan oleh kondisi yang dialami oleh lanjut usia. Status gizi dan status kesehatan yang baik akan membawa seseorang kepada umur panjang yang sehat dan produktif (Arisman 2009). Status kesehatan merupakan gambaran kondisi kesehatan fisik seseorang terkait dengan jenis penyakit yang diderita, frekuensi munculnya penyakit tersebut, dan lamanya hari sakit. Kondisi kesehatan ini erat kaitannya dengan status gizi karena seseorang yang menderita sakit, apalagi dalam waktu lama dan dengan frekuensi sakit yang sering cenderung mengalami penurunan status gizi. Dampak dari status kesehatan yang baik adalah tercapainya status gizi yang optimal. Ketika seseorang berada pada status gizi yang optimal, maka orang tersebut tidak mudah terserang penyakit sehingga status kesehatannya juga baik.

Perubahan-perubahan pada tingkat demografi, lingkungan fisik serta sosial dapat menempatkan lansia pada posisi yang sulit sehingga memungkinkan lansia mengalami gejala depresi. Berdasarkan penelitian Rusilanti dkk. (2006) tingkat depresi berkorelasi dengan dengan kondisi psikososial, dimana semakin rendah tingkat depresi, semakin baik kondisi psikososial lansia. Harris (2004) menyatakan bahwa depresi dapat mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat badan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Selain itu kondisi psikososial juga berkorelasi dengan tingkat kepuasan hidup, dimana semakin tinggi tingkat kepuasan hidup maka semakin baik kondisi psikososial lansia. Kepuasan hidup lansia terkait dengan rasa bahagia yang dialami lansia yang erat kaitannya dengan peran atau dukungan sosial baik dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah.

(19)

lembaga terkait dengan peningkatan produktivitas lansia lebih terlihat pada lembaga KL dibandingkan PSTW.

Penelitian ini ingin mempelajari lebih dalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi lansia termasuk peran dukungan sosial dari panti atau lembaga sosial masyarakat terutama terkait dengan peningkatan produktivitas lansia yang berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan lansia.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia perempuan pada panti sosial dan LSM di Banjarmasin.

2. Apakah terdapat perbedaan antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia perempuan pada panti sosial dan LSM di Banjarmasin.

3. Apakah terdapat pengaruh dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik terhadap status gizi lansia perempuan pada panti sosial dan LSM di Banjarmasin.

Tujuan

Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia perempuan pada panti sosial dan LSM di Banjarmasin.

Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia perempuan pada panti sosial Budi Sejahtera dan LSM Karang Lansia Sejahtera di Banjarmasin.

2. Menganalisis perbedaan antara dukungan sosial, aspek psikososial, nafsu makan, konsumsi pangan, aktivitas fisik, status kesehatan, faktor genetik dan status gizi lansia perempuan pada panti sosial Budi Sejahtera dan LSM Karang Lansia Sejahtera di Banjarmasin.

(20)

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menjadi salah satu bahan kajian untuk menambah wawasan pengetahuan terutama terkait dengan kondisi gizi dan kesehatan lansia beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bagi panti sosial atau lembaga sosial masyarakat penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan menuju pengelolaan kelembagaan yang lebih baik, jika terdapat kondisi yang masih belum sesuai dan ternyata perlu diperbaiki terutama terkait dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan lansia. Selain itu, dapat digunakan sebagai data dasar dalam melakukan intervensi agar dapat mencapai status gizi dan kesehatan lansia yang lebih baik, sehingga dapat mengoptimalkan peran dan fungsi panti sosial dan lembaga sosial masyarakat dalam penanggulangan masalah kesejahteraan lansia yang berkaitan dengan status gizi dan kesehatan lansia.

Kerangka Pikir

Kondisi lansia erat kaitannya dengan penurunan berbagai fungsi indera seperti menurunnya fungsi indera penciuman, indera perasa, dan juga menurunnya fungsi gigi geligi. Kehilangan gigi menimbulkan kurangnya kenyamanan atau munculnya rasa sakit saat mengunyah makanan. Kehilangan indera perasa dan penciuman menyebabkan turunnya nafsu makan dan juga sensitivitas rasa manis dan asin berkurang. Perubahan nafsu makan akan mempengaruhi pola konsumsi. Selanjutnya, perubahan pola konsumsi ini akan mempengaruhi tingkat konsumsi lansia.

Perubahan nafsu makan juga berkaitan dengan aspek psikososial lansia yang dapat diukur melalui tingkat depresi dan kepuasan hidup lansia. Ketika lansia merasa puas dengan kehidupannya disertai tanpa adanya depresi maka rasa bahagia akan muncul. Rasa bahagia yang dialami lansia akan berdampak terhadap nafsu makan yang baik, sehingga asupan makan lansia meningkat dan pada akhirnya status gizi dan kesehatan lansia juga akan menjadi baik. Depresi dan kepuasan hidup berkaitan dengan dukungan sosial yang dapat berasal dari keluarga, teman, ataupun institusi formal maupun non formal yang memberikan dukungan dalam bentuk bantuan fisik maupun psikologis.

Agar dapat beraktivitas dengan baik, diperlukan konsumsi makan yang cukup. Semakin tinggi aktivitas maka kebutuhan akan energi dan zat gizi yang berasal dari konsumsi makanan juga akan meningkat. Tingkat konsumsi dan aktivitas fisik berpengaruh terhadap status kesehatan. Konsumsi makanan yang tidak seimbang dengan aktivitas fisik dalam artian konsumsi makan berlebih namun aktivitas fisik kurang atau konsumsi makan kurang namun aktivitas fisik berlebih akan berdampak negatif terhadap status kesehatan dan juga status gizi.

(21)

Status kesehatan yang baik akan berdampak pada status gizi yang baik pula. Status kesehatan yang buruk dapat mempengaruhi status gizi diantaranya melalui terganggunya asupan makan lansia, terganggunya penyerapan dan pemanfaatan zat gizi dalam jaringan tubuh dan juga berkaitan dengan obat-obatan yang dikonsumsi oleh lansia akibat penyakit yang diderita lansia.

SA

Keterangan:

: hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pikir faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dan status kesehatan lansia

Tingkat Konsumsi:  Energi

 Protein  Lemak  Karbohidrat  Vitamin A  Vitamin C  Fe  Ca

Aktivitas Fisik:

Status Gizi Status Kesehatan: - Jenis penyakit - Frekuensi penyakit - Lamanya hari sakit

Faktor Genetik: - Usia hidup

orang tua Pola Konsumsi:

 Makanan pokok  Lauk hewani  Lauk nabati  Sayuran  Buah-buahan  Minyak dan lemak

 Gula Nafsu Makan

Penurunan Fungsi: - Indera penciuman - Indera perasa

- Gigi geligi Aspek Psikososial - Tingkat depresi - Kepuasan hidup

Dukungan sosial: - Dukungan emosional - Dukungan instrumen - Dukungan informasi - Dukungan penghargaan

(22)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lanjut Usia

Pertumbuhan dan perkembangan manusia terdiri dari serangkaian proses perubahan yang rumit dan panjang, dimulai dari pembuahan sel telur dan berlanjut sampai berakhirnya kehidupan. Secara garis besar, perkembangan manusia terdiri dari beberapa tahap, yaitu meliputi kehidupan sebelum lahir, sewaktu bayi, masa kanak-kanak, remaja, masa dewasa dan masa usia lanjut (Fatmah 2010).

Pengertian usia lanjut dapat dibedakan atas dua macam, yaitu usia lanjut kronoligis atau usia kalender dan usia lanjut biologis. Usia kronoligis mudah diketahui dan dihitung, yaitu saat seseorang merayakan ulang tahunnya. Sebaliknya usia biologis adalah usia yang sesungguhnya dimiliki seseorang. Usia biologis menunjukkan kondisi jaringan yang sebenarnya. Terlepas dari beberapa usia kronoligis seseorang, banyaknya kemunduran jaringan yang terjadi akan menyebabkan meningkatnya usia biologis orang yang bersangkutan. Usia biologis inilah yang sesungguhnya dapat diupayakan agar tidak terlalu cepat bertambah (Almatsier dkk. 2011).

Usia lanjut dapat memberi persepsi yang berbeda, tergantung dari siapa yang menyebutnya dan untuk apa. Pada umumnya usia lanjut diartikan sebagai usia saat memasuki masa pensiun yaitu di atas 55 tahun (Muis dkk. 1992). Namun, batasan lansia menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, adalah 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut WHO dalam Notoatmojo (2007), mengklasifikasikan golongan usia sebagai berikut: usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly), antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old), antara 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.

Proses menua merupakan proses yang kompleks karena melibatkan perubahan-perubahan fisik, psikologik, fungsi dan sosial ekonomi sekelompok penduduk. Dari segi fisik penuaan sel-sel dapat berakibat pada penurunan cadangan faali berbagai fungsi, seperti ginjal, jantung dan sebagainya; kegagalan mempertahankan mekanisme homeostatik, misalnya gangguan pengontrolan tekanan darah; dan kegagalan sistem imunitas dengan akibat pada peningkatan penyakit keganasan dan autoimun. Perubahan fisik yang berkelanjutan dengan gangguan fungsi akan berhubungan dengan gangguan masukan zat gizi dan energi yang terjadi mulai dari alat penguyah, pengecap, pencernaan dan penyerapan. Intoleransi terhadap beberapa makanan dan obstipasi sering menjadi bagian dari keluhan para lanjut usia (Muis dkk. 1992).

(23)

Dukungan Sosial

Konsep dukungan sosial didasarkan pada asumsi bahwa semua individu hidup saling bergantung satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu. Dukungan sosial adalah sikap tanggap seseorang atas kebutuhan orang lain yang muncul dari peristiwa yang merugikan kehidupan seseorang. Bentuk dukungan sosial dapat berupa bersikap peduli dengan mengakui keberadaan orang lain baik secara nilai yang dianut, perasaan, maupun tindakan yang dilakukan, dan memfasilitasi seseorang untuk mengatasi masalah yang dialami olehnya melalui penyediaan informasi, bantuan, atau sumberdaya fisik (Cutrona 1996). Dukungan sosial dapat juga diberikan melalui pemberian ikatan emosional antara satu sama lain, dan berfungsi sebagai penghubung informasi untuk setiap individu (Lou 2009).

Dukungan sosial juga dapat diartikan sebagai salah satu cara individu membantu individu lain untuk mengatasi kesulitan yang dialami, dan membuat seseorang merasa aman berada di dalam lingkungannya (Devoldre et al. 2010).

Cutrona (1996) melihat dukungan sosial berdasarkan empat aspek, yaitu: 1) dukungan emosional, mencakup ungkapan cinta, empati, dan perhatian yang diberikan oleh orang lain untuk membuat seseorang merasa nyaman, dihargai, dan dicintai; 2) dukungan instrumen, merupakan bentuk dukungan yang diberikan melalui bantuan sumberdaya fisik seperti uang, tempat tinggal, atau berupa bantuan fisik lainnya; 3) dukungan informasi, mencakup saran, petunjuk, atau berupa nasehat yang diberikan untuk membantu seseorang memenuhi kebutuhannya atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya; 4) dukungan self-esteem, bantuan yang diberikan melalui penghargaan yang diberikan terhadap kualitas yang dimiliki seseorang, percaya dengan kemampuan seseorang, dan juga memberikan persetujuan terhadap gagasan, perasaan, dan apa yang dilakukan oleh orang tersebut.

Menurut Lubben & Gironda (2003) dalam Lou (2009), dukungan sosial dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu: 1) Keluarga, seperti pasangan hidup, anak, cucu, saudara kandung atau kerabat lain yang memiliki hubungan dekat dan harmonis; 2) Teman, yaitu bisa berupa rekan kerja yang juga ikut berperan dalam karir atau kehidupan seseorang; 3) Sumber lain yang terpercaya, seperti institusi-institusi formal maupun non formal yang memberikan dukungan dalam bentuk bantuan fisik maupun psikologis, atau juga bisa di dapatkan dari lingkungan sekitar seperti tetangga.

Kemunduran fungsi tubuh dan berkurangnya peran di masyarakat bagi lansia dapat membuat emosi yang labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan dan tidak berguna. Lansia dengan problem tersebut menjadi rentan terhadap gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan obat (Akhmadi 2006). Ketidakmampuan keluarga lansia dalam mengatasi masalah–masalah yang dihadapai para lansia, dapat menyebabkan para lansia dititipkan ke panti jompo.

(24)

pengembangan potensi diri, para lansia juga dilatih untuk memiliki berbagai keterampilan seperti membuat berbagai kerajinan dari botol plastik bekas yang dibuat menjadi tas, tempat tisu, vas bunga dan hiasan dinding. Selain itu kerajinan berupa anyaman purun (sejenis tanaman yang digunakan untuk membuat tikar, dan lain-lain) yang dibuat menjadi tikar, tas, juga bungkus makanan. Hasilnya sederhana, tetapi terlihat indah karena anyaman mereka mampu membentuk beragam barang dengan beragam variasinya.

Tingkat Depresi

Salah satu masalah mental yang dialami lansia adalah depresi (Mezey et al. 1993). Depresi adalah istilah yang akrab digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Depresi adalah penyakit medis yang ditandai dengan kesedihan terus menerus, kekecewaan dan hilangnya harga diri. Depresi mungkin disertai dengan menurunnya energi dan konsentrasi, masalah tidur (insomnia), menurunnya nafsu makan, kehilangan berat badan, dan sakit jasmani (Medical Encyclopedia 2010).

Depresi bukanlah bagian normal dari penuaan. Depresi merupakan sakit yang dapat menimbulkan dampak serius jika tidak dikenali dan diobati. Depresi merupakan masalah yang meluas di antara lansia, namun seringkali tidak dapat secara baik dikenali atau dideteksi pada lansia. Gejala seperti rasa sedih, gangguan tidur dan nafsu makan atau perubahan suasana hati mungkin dianggap sebagai bagian normal pada lansia. Orang-orang terakadang menganggap bahwa masalah dengan ingatan atau konsentrasi disebabkan oleh perubahan berpikir terkait penuaan dibandingkan karena depresi. Lansia mengalami kesulitan untuk berbicara mengenai perasaan sedih atau depresi (Better Health Channel 2010).

Smith (2010) menyebutkan beberapa faktor risiko yang dapat memicu depresi, namun tidak semua depresi dapat ditelusuri penyebabnya. Faktor risiko depresi pada lansia diantaranya:

1. Kesepian dan isolasi. Tinggal sendirian, berkurangnya aktivitas sosial, berkurangnya mobilitas karena sakit

2. Hilangnya tujuan hidup. Perasaan hilangnya tujuan hidup atau identitas diri karena masa pensiun atau keterbatasan aktivitas fisik

3. Masalah kesehatan. Sakit, disabilitas, penyakit kronis, menurunnya fungsi kognitif, serta berbagai penyakit lain yang mengakibatkan perubahan tubuh 4. Pengobatan. Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan risiko terkena

depresi

5. Takut. Rasa takut akan kematian atau kekhwatiran tentang masalah keuangan serta kesehatan

6. Kehilangan mendadak. Kehilangan pasangan hidup, teman, keluarga bahkan binatang peliharaan dapat memicu rasa tertekan pada lansia

(25)

bahwa secara tidak langsung, buruknya kondisi kejiwaan seperti depresi akan menimbulkan sifat apatis lansia terhadap makanan.

Perasaan depresi mencerminkan ketidakbahagiaan hidup seseorang yang pada lansia sering disebabkan karena lansia merasa sendiri, tidak dihargai, dan hanya menjadi beban bagi orang lain. Berdasarkan penelitian Patriasih et al. (2013) lansia yang tinggal dipanti sosial di Bandung yang merasakan depresi akibat merasa sendiri (feeling lonely) sebanyak 45%.

Depresi merupakan akumulasi dari stres berkepanjangan. Stress merupakan ketidakmampuan menyelesikan masalah yang dihadapi, adanya tekanan, penyebabnya banyak, bisa berupa konflik dan lain-lain. Stres termasuk tahap pertama sebelum adanya frustrasi yang merupakan tahap kedua dan tahap ketiga baru disebut depresi. Depresi merupakan gejala abnormal yang dialami seseorang apabila tidak mampu mengatasi stressnya secara baik dan benar.

Stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem fisik tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Hubungan antara rasa stres dengan sakit ditandai dengan proses pelepasan hormon, khususnya hormon catecholamins dan corticostreroids yang dilepas oleh rangsangan sistem kardiovaskuler. Jika pelepasan hormon ini sangat tinggi, maka dapat menyebabkan jantung berdebar-debar sangat kencang sehingga dapat menyebabkan kematian. Perasaan stres juga dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan fisiologis seperti asma, penyakit kepala kronis, arthritis (rematik), beberapa penyakit kulit, hipertensi, CHD (Chronic Heart Disease), dan juga kanker (Smet 1994).

Skala Depresi Geriatrik

Skala depresi dapat bermanfaat untuk memeriksa depresi atau distres psikologi menyeluruh. Skala Depresi Geriatrik (SDG) didisain sebagai alat tes skrining depresi pada lansia. Konsep dasar dari SDG adalah depresi pada lansia sama halnya seperti pada orang muda (gangguan tidur, hilangnya berat badan, pesimis akan masa depan) sebagai efek penuaan atau karena sakit jasmani. Skala depresi geriatrik (SDG) didisain secara sederhana, jelas, dan merupakan skala pelaporan sendiri. Meskipun secara normal SDG didisain sebagai skala pelaporan sendiri, SDG juga dapat dibacakan oleh pewawancara dan wawancara dapat dilakukan melalui telepon Yesavage (1988).

Yesavage (1988) mengusulkan bentuk singkat dari SDG. Hal ini ditujukan untuk mengurangi masalah kelelahan terutama pada responden dengan sakit fisik atau demensia. Bentuk singkat SDG hanya berisi 15 pertanyaan terpilih. Skala depresi geriatrik (SDG) fokus pada aspek perasaan dari depresi. Skala ini mudah digunakan dan dilaporkan secara cepat. Skala depresi geriatrik (SDG) telah digunakan baik pada contoh komunitas ataupun pasien, dan hasilnya memiliki reliabilitas dan sensitivitas yang tinggi diantara lansia. Selain itu, SDG versi pendek telah divalidasi untuk kebutuhan klinis dan penelitian.

Kepuasan Hidup

(26)

besar, dan sebaliknya perasaan menyesal hanya dirasakan sedikit. Selain itu, orang yang merasa puas dengan hidupnya juga memiliki sikap positif tentang masa lalu dan masa depan (Turner et al. 1990). Neugarten et al. dalam Barrett dan Murk (2006) menambahkan, seseorang yang merasa puas dengan hidupnya dicirikan dengan perasaan penuh optimis, konsep diri yang positif, dan juga merasa senang dengan aktivitas yang dijalaninya.

Kepuasan hidup adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau kepuasan hidup yang dirasakan oleh seseorang secara keseluruhan (Santrock 2002). Menurut Korff (2006), seseorang yang puas dengan hidupnya memandang masa depan dengan penuh kebahagiaan. Berg (2008) mengemukakan bahwa kepuasan hidup dicerminkan dengan kondisi kehidupan yang baik, sementara itu Sousa dan Lyubomirsky (2001) menggambarkan kepuasan hidup sebagai kondisi saat seseorang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan hidup, serta mampu menerima kondisi hidupnya secara keseluruhan.

Santrock (2002) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan hidup lansia salah satunya adalah aktivitas yang dijalani oleh lansia. Lansia yang banyak melakukan aktivitas di luar rumah lebih merasa puas dengan hidupnya dibandingkan dengan lansia yang hanya berdiam diri di rumah. Senada dengan Santrock, Neugarten dalam Santrock (2002) menyatakan bahwa ketika seseorang yang terus hidup produktif, aktif, dan energik saat menginjak masa tua, kepuasan hidup orang tersebut tidak akan menurun. Sementara itu Sousa dan Lyubomirsky (2001) berpendapat bahwa kepribadian merupakan salah satu faktor yang memainkan peran penting dalam menentukan kepuasan hidup. Aspek-aspek kepribadian seperti ketahanan psikologis, empati, dan terbuka dengan pengalaman memiliki hubungan dengan kepuasan hidup.

Neugarten et al. (1961) melihat kepuasan hidup dari lima aspek, yaitu: 1. Merasa senang dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Aspek ini

menjelaskan bahwa seseorang yang menggunakan lebih banyak energinya untuk beraktivitas, baik itu aktivitas yang melibatkan fisik maupun logika memiliki kepuasan hidup yang lebih besar.

2. Menganggap hidup penuh arti dan menerima dengan tulus kondisi kehidupan yaitu berhubungan dengan bagaimana seseorang aktif menerima tanggung jawab yang ada dalam hidupnya daripada pasif menerima atau memaafkan apa yang telah terjadi. Hal ini terkait dengan integritas Erikson, yaitu konsep yang berhubungan dengan kebermaknaan hidup dan kurangnya rasa takut akan kematian.

3. Merasa telah berhasil mencapai cita-cita atau sebagian besar tujuan hidup, hal ini berhubungan dengan keinginan dan pencapaian tujuan yang menyebabkan seseorang merasa puas atau tidak puas dengan hidupnya.

4. Berpegang teguh pada gambaran diri positif, hal ini didasarkan pada aspek fisik, emosi, dan dimensi intelektual seseorang. Seseorang yang tidak merasa tua dan menganggap dirinya bijaksana atau kompeten, cenderung memiliki kepuasan hidup yang lebih besar. Kehidupan sukses di masa lalu merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan seseorang memiliki gambaran diri positif.

(27)

membuat seseorang tidak merasa puas dengan hidupnya. Aspek ini menjelaskan bahwa seseorang yang merasa bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya sekarang akan merasa jauh lebih puas dengan hidupnya di masa depan.

Nafsu Makan

Banyaknya kuantitas konsumsi pangan seseorang per hari dipengaruhi oleh dua hal pokok, yaitu ukuran saji makanan dan frekuensi konsumsi pangan. Kedua variable ini diatur oleh mekanisme yang jelas. Lapar diartikan sebagai sensasi yang dirasakan oleh seseorang yang mendorong dia untuk mencari dan mengonsumsi pangan. Sensasi ini muncul beberapa saat setelah terjadi penyerapan makanan/zat gizi dari pangan yang dikonsumsi sebelumnya. Pada masa ini timbul keinginan untuk makan (Siagian 2006).

Tingkat keinginan untuk makan dinyatakan dengan skor nafsu makan. Walaupun mekanismenya belum dapat dipahami secara jelas, di duga salah satu penyebabnya adalah turunnya kadar glukosa darah. Setelah mengonsumsi pangan dengan kuantitas tertentu, terjadi penekanan rasa lapar dan pada akhirnya mengarah ke penghentian asupan pangan. Proses ini dikenal sebagai kekenyangan (satiation). Perasaan kenyang akan diikuti oleh suatu masa (periode waktu) di mana perasaan lapar tidak hadir disebut sebagai satiety (Jequier dan Tappy 1999).

Berdasarkan cara pengukurannya, nafsu makan digolongkan menjadi dua, yaitu nafsu makan objektif (objective appetite) dan nafsu makan subjektif (subjective appetite). Nafsu makan objektif diukur dengan mendeteksi hormon-hormon yang berkaitan dengan rasa lapar/kenyang, seperti leptin. Sedangkan nafsu makan subjektif diukur dengan cara meminta subjek mengungkapkan perasaan laparnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan tanda pada suatu garis rentang skala mulai sangat tidak kenyang sampai sangat kenyang. Interpretasi rasa kenyang dinyatakan dengan skor nafsu makan.

Menurut Fatmah (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan selera makan lansia antara lain: kehilangan gigi, yang menimbulkan kurangnya kenyamanan atau munculnya rasa sakit saat mengunyah makanan; kehilangan indera perasa dan penciuman, yang menyebabkan turunnya nafsu makan dan juga sensitivitas rasa manis dan asin berkurang; berkurangnya cairan saluran cerna (sekresi pepsin), dan enzim-enzim pencernaan proteolitik, yang mengakibatkan penyerapan protein tidak berjalan efisien; berkurangnya sekresi saliva, yang dapat menimbulkan kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi; serta penurunan motilitas usus, sehingga memperpanjang waktu singgah (transit time) dalam saluran gastrointestinal mengakibatkan pembesaran perut dan konstipasi.

Konsumsi Pangan

(28)

tahan tubuh terhadap penyakit. Sedang jumlah yang kecil yang tercermin dari nilai energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia.

Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi bagi lansia tetap sama seperti yang dibutuhkan oleh orang-orang dengan usia yang lebih muda, yang berubah hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya dikurangi, disesuaikan dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi makanan sumber protein, vitamin dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi jumlah maupun mutunya. Sayuran dan buah-buahan sebaiknya dikonsumsi dalam jumlah yang cukup secara teratur dan bervariasi. Selain sebagai sumber vitamin dan mineral, sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber serat yang baik. Hal ini sangat perlu mengingat kelompok lansia sering mendapatkan kesulitan dalam buang air besar. Dengan adanya serat yang cukup, kesulitan tersebut dapat di atasi dengan mudah (Astawan dan Wahyuni 1988).

Pola konsumsi pangan lansia dapat dipengaruhi oleh perubahan akibat proses menua yang terjadi pada lansia sehingga penyajian dan pengolahan makanan pada lansia perlu mendapat perhatian khusus (Depkes 1998). Perubahan-perubahan tersebut misalnya berkurangnya sensitifitas indera penciuman dan perasa pada lansia mengakibatkan selera makan menurun. Lansia sering mengalami gangguan pada gigi yang mengakibatkan lansia mengalami hambatan dalam proses pengunyahan dan membatasi jenis makanan yang dikonsumsi (Wirakusumah 2000).

Bagi lansia, pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang umur. Kebutuhan kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar dari kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya: untuk jantung, usus, pernapasan dan ginjal.

Penilaian konsumsi pangan dapat menggambarkan kualitas dan kuantitas asupan dan pola makan lansia melalui pengumpulan data dalam survei konsumsi makanan. Metode yang umum digunakan dalam survei konsumsi makanan terdiri dari jangka pendek (24 hours food recall, dietary record) dan jangka panjang (Food Frequency Quesioner) (Fatmah 2010). Dalam mengkaji asupan makanan ada tiga tingkat kegiatan, yaitu 1) perhitungan asupan makanan; 2) perhitungan kebutuhan zat gizi, dan 3) membandingkan asupan zat gizi dengan kebutuhan gizi (Depkes 2006).

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Lansia

(29)

Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas fisik, usia, jenis kelamin dan faktor yang bersifat relatif, di antaranya yakni gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serap (absorption), tingkat penggunaan (utilization), perbedaan pengeluaran (excretion) dan pengahancuran (destruction) zat tersebut di dalam tubuh (Supariasa dkk. 2001).

Energi

Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi yang dibutuhkan lansia berbeda dengan energi yang dibutuhkan oleh orang dewasa karena perbedaan aktivitas fisik yang dilakukan. Selain itu, energi juga dibutuhkan oleh lansia untuk menjaga sel-sel maupun organ-organ dalam tubuh agar bisa tetap berfungsi dengan baik walaupun fungsinya tidak sebaik seperti saat masih muda (Fatmah 2010). Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia pada periode lansia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Harris 2004).

Energi metabolisme basal adalah energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan aktivitas metabolisme sel dan jaringan, selain itu untuk mengatur proses sirkulasi darah, pernafasan, pencernaan dan sistem urinari. Kebutuhan energi setiap individu merupakan tingkat asupan energi yang didapat dari makanan yang akan menyeimbangkan pengeluaran energi yang sesuai dengan ukuran dan komposisi tubuh serta tingkat aktivitas fisik. Berat badan merupakan indikator kecukupan energi karena tubuh secara unik memiliki kemampuan mengubah karbohidrat, protein, dan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi. Oleh karena itu mengonsumsi makanan terlalu banyak atau sedikit secara terus menerus akan berdampak pada perubahan berat badan (Frary dan Johnson 2000).

Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada di dalam makanan. Sumber energi dengan konsentrasi tinggi adalah bahan makanan sumber lemak seperti minyak, kacang-kacangan dan biji-bijian, sedangkan padi-padian, umbi-umbian dan gula murni merupakan bahan makanan sumber karbohidrat lainnya (Almatsier 2001).

Protein

Protein adalah suatu substansi kimia dalam makanan yang terbentuk dari serangkaian atau rantai-rantai asam amino. Protein dalam makanan di dalam tubuh akan berubah menjadi asam amino yang sangat berguna bagi tubuh yaitu untuk membangun dan memelihara sel, seperti sel otot, tulang, enzim, dan sel darah merah (Fatmah 2010).

Rekomendasi asupan protein pada lansia tidak berubah, beberapa studi menunjukkan bahwa asupan protein 1g/kg berat badan dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh. Akan tetapi konsumsi protein 1-1,25g/kg berat badan secara umum aman untuk lansia. Kebutuhan akan protein akan meningkat sejalan dengan adanya penyakit akut dan kronis (Harris 2004).

(30)

Vitamin

Kebutuhan energi yang menurun tidak seiring dengan penurunan kebutuhan vitamin dan mineral, bahkan kebutuhan vitamin dan mineral cenderung sama atau meningkat. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan Seiring berlangsungnya proses penuaan, maka kepadatan zat gizi dalam makanan menjadi hal yang lebih diperhatikan. Makanan yang disediakan harus memiliki cukup vitamin maupun mineral (Harris 2004).

Vitamin merupakan senyawa kimia yang sangat esensial bagi tubuh walau ketersediaanya di dalam tubuh dalam jumlah sedemikian kecil dan diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh yang normal. Terdapat beberapa jenis vitamin yang bermanfaat bagi sistem imunitas tubuh dan mencegah timbulnya radikal bebas pada lansia, misalnya vitamin A dan vitamin C (Fatmah 2010).

Vitamin A berperan dalam berbagai fungsi tubuh seperti penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit jantung (Watson 2009). Sumber vitamin A terdapat pada pangan hewani seperti hati, minyak hati ikan, kuning telur sebagai sumber utama. Sayuran, terutama sayuran berdaun hijau dan buah berwarna kuning-jingga mengandung karotenoid provitamin A (Gibson 2005).

Kekurangan atau kelebihan vitamin A akan menimbulkan efek samping atau penyakit. Kelebihan vitamin A akan menyebabkan toksisitas dan jarang terjadi pada usia lanjut; sedangkan kekurangan vitamin A akan menyebabkan respons kekebalan yang menurun (sering terkena penyakit infeksi), terhambatnya perkembangan mental dan yang lebih parah adalah terjadinya xeroftalmia.

Vitamin C mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh, sebagai koenzim atau kofaktor. Pada lansia, vitamin C bermanfaat menghambat berbagai penyakit. Fungsinya antara lain meningkatkan kekebalan tubuh, melndungi dari serangan kanker, melindungi arteri, meremajakan dan memproduksi sel darah putih, mencegah katarak, memperbaiki kualitas sperma, dan mencegah penyakit gusi. Vitamin C merupakan komponen penting dalam pemecahan kolesterol dalam tubuh. Kolesterol sulit dikeluarkan jika vitamin ini berada dalam jumlah sedikit dalam diet, yang dapat menimbulkan kadar kolesterol darah yang meningkat. Vitamin C yang berasal dari buah-buahan dan sayuran dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL dan menurunkan LDL (Fatmah 2010).

Kandungan vitamin C serum pada lansia lebih rendah jika dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Dukungan melalui konsumsi pangan tinggi vitamin C lebih efektif dalam meningkatkan status vitamin C pada lansia (Harris 2004). Sayur dan buah merupakan sumber vitamin C yang baik untuk dikonsumsi (Almatsier 2001).

Mineral

Secara umum, fungsi kalsium bagi lansia adalah sebagai komponen utama tulang dan gigi, berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot, fungsi saraf, proses penggumpalan darah, menjaga tekanan darah agar tetap normal serta sistem imunitas tubuh (Fatmah 2010).

(31)

mg atau lebih) dapat mempengaruhi absorpsi lemak dan kolesterol. Kalsium dan magnesium berkompetisi di dalam usus untuk di absorpsi, dan jika asupan diet dari salah satu mineral tersebut meningkat, maka dapat mempengaruhi absorpsi mineral lainnya (Fatmah 2010).

Sumber utama kalsium adalah susu dan produk olahan susu, seperti keju. Ikan dimakan dengan tulang termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia, kacang-kacangan dan produk olahan kacang-kacangan seperti tahu dan tempe, serta sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini mengandung zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat fitat dan oksalat (Almatsier 2001).

Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu sebanyak 3-5 gram. Zat besi memiliki beberapa fungsi esensial di dalam tubuh seperti alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian dari berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk zat besi-hem seperti terdapat dalam besi-hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan zat besi non-hem dalam makanan nabati (Almatsier 2001).

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Untuk menilai tingkat kecukupan makanan (energi dan zat gizi), diperlukan suatu standar kecukupan yang dianjurkan atau Recomended Dietary Allowance (RDA) untuk populasi yang diteliti. Untuk Indonesia, Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Dasar pengajian Angka Kecukupan Gizi (AKG) didasarkan pada kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, aktivitas, kondisi khusus (hamil dan menyusui) (Supariasa dkk. 2001).

Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan antara konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan kebutuhan zat gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian dinyatakan dalam persen (%).

Menurut Hardinsyah dkk (2002) rumus perhitungan tingkat kecukupan secara umum adalah TKG i = (Ki/AKGi) x100%. Depkes (1996) mengkategorikan tingkat kecukupan ke dalam kategori defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%) dan lebih (≥120%). Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan

mineral dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77%) dan cukup (≥77%)

(Gibson 2005).

Aktivitas Fisik

(32)

Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik dan mental, serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari. Aktivitas fisik sangat penting bagi lansia. Dengan melakukan aktivitas fisik, maka lansia tersebut dapat mempertahankan bahkan meningkatkan derajat kesehatannya. Ada beberapa jenis aktivitas fisik yang sesuai bagi lansia di Indonesia, di antaranya ketahanan (endurance), kelenturan (flexibility) dan kekuatan (strength) (Fatmah 2010).

Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan dapat membantu jantung, paru-paru, otot dan sistem sirkulasi darah agar tetap sehat dan membuat kita lebih bertenaga, contoh: berjalan kaki, lari ringan, senam dan berkebun. Aktivitas yang bersifat kelenturan dapat membantu pergerakan menjadi lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur), dan membuat sendi berfungsi dengan baik, contoh: peregangan, senam taichi/yoga, mencuci pakaian dan mengepel lantai. Aktivitas yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan suatu beban yang diterima, menjaga tulang tetap kuat dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis, contoh: push up, naik turun tangga, membawa belanjaan dan senam terstruktur dan terukur (fitness) (Fatmah 2010).

Aktivitas fisik utama yang penting dalam meningkatkan kesehatan lansia adalah olahraga (Almatsier dkk. 2011). Sebaiknya olahraga dilakukan dengan seimbang, baik dari lamanya berolahraga, intensitas (seberapa keras dilakukan), maupun seringnya (frekuensi) berolahraga. Intensitas akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya kekuatan tubuh, sedangkan lama dan seringnya berolahraga sebaiknya dijaga selalu konstan ketika tingkat yang baik sudah tercapai (Fatmah 2010).

Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan risiko kegemukan, diabetes melitus tipe II, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, osteoporosis, beberapa jenis kanker dan depresi. Aktivitas juga dapat memperpaiki kualitas hidup seseorang melalui peningkatan kebugaran dan perbaikan rasa sehat. Elemen/unsur program gerak badan yang baik seperti aerobik 3-5 kali dalam seminggu selama 30-60 menit, latihan angkat beban ringan, kelenturan latihan keseimbangan dan pelemasan otot untuk mempertahankan kelenturan tubuh (Komnas Lansia 2010).

Status Kesehatan

(33)

merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan (Depkes 2007). Menurut Sediaoetama (2006) salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai keadaan kesehatan gizi masyarakat secara tidak langsung yaitu morbiditas (angka sakit), mortalitas dan berat lahir bayi yang rendah.

Seiring dengan peningkatan usia, timbul masalah-masalah yang tidak dijumpai pada usia muda seperti gangguan kesehatan, gangguan kejiwaan dan gangguan adaptasi sosial. Hal ini disebabkan oleh proses menua sebagai akibat berubahnya kualitas kebutuhan pokok sebagai manusia yang berjalan kurang seimbang. Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang dan penyakit yang diderita. (Astawan dan Wahyuni 1988).

Jenis-jenis penyakit yang umum diderita lansia Indonesia adalah penyakit kardiovaskuler, TBC paru, gangguan pernapasan dan penyakit yang timbul karena infeksi. Pada masa yang akan datang, penyakit lansia akan berubah dari infeksi menjadi penyakit degeneratif yang memerlukan pelayanan kesehatan yang sempurna dan biaya mahal (Patmonodewo, dkk 2001). Namun, menurut Muis, dkk (1992) penyakit yang umum diderita oleh lansia yaitu penyakit jantung dan pembuluh darah, sendi dan tulang serta endokrin dan metabolik.

Depkes (2003) menambahkan bahwa penyakit atau gangguan kesehatan pada usia lanjut umumnya berupa penyakit-penyakit kronik-menahun dan degeneratif, seperti penyakit hipertensi, diabates melitus, osteoporosis, demensia, gangguan jantung, gangguan pencernaan, gangguan pernapasan, gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, gangguan pengunyahan dan sebagiannya. Selain itu, pada usia lanjut di Indonesia penyakit-penyakit infeksi akut juga masih sering terjadi, misalnya infeksi saluran pernapasan atas (radang tenggorokan, influenza) atau infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia, TBC), infeksi saluran kemih, infeksi kulit. Penelitian epidemiologik berhasil mengidentifikasi berbagai faktor risiko bagi kejadian penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar faktor risiko tersebut berasal dari pola konsumsi bahan-bahan makanan tertentu oleh segment penduduk, maupun bangsa tertentu pula (Muis dkk. 1992).

Status gizi berhubungan langsung dengan status kesehatan, khususnya keberadaan penyakit, terutama penyakit infeksi. hal ini sesuai dengan kerangka pikir UNICEF. Hasil penelitian Puspitasari (2011) pada lansia peserta home care dan bukan home care yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dan status kesehatan (r=-0,289; p<0,05). Penyakit salah gizi merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian untuk banyak penyakit infeksi primer. Namun, di sisi lain keberadaan penyakit akan meningkatkan kebutuhan tubuh terhadap zat gizi. Seseorang yang mengalami penyakit akan kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi (Soehardjo 2008).

Status Gizi

(34)

kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasi malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan pada seseorang (Depkes 2003).

Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan serta sumber lain (Arisman 2009).

Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga, yaitu survei konsumsi pangan, statistika vital dan faktor ekologi (Supariasa dkk. 2001). Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LILA) dan tebal lemak di bawah kulit dan khusus pada lansia adalah pola distribusi lemak (Muis 2006).

Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh, yaitu berat badan dan tinggi badan. Namun, pada usia lanjut terjadi penurunan tinggi badan karena kompresi vertebrata, kifosis dan osteoporosis. Pengukuran tinggi badan pada usia lanjut harus dilakukan dengan teliti dalam posisi berdiri tegak. Bila hal ini tidak dapat dilakukan maka dapat digantikan dengan pengukuran tinggi lutut atau pengukuran rentang lengan (Muis 2006).

Tinggi lutut memiliki korelasi yang tinggi dengan tinggi badan dan mungkin digunakan untuk memprediksi tinggi badan seseorang dengan kifosis atau seseorang yang tidak mampu berdiri (Gibson 2005). Tinggi lutut direkomendasikan oleh WHO (1995) dalam Fatmah (2010) untuk digunakan sebagai predikor tinggi badan pada seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Alat pengukuran tinggi lutut yaitu penggaris kayu/stainless steel dengan mata pisau menempel pada sudut 900 dan segitiga kayu untuk membentuk sudut 900

pada kaki kiri. Cara pengukuran yaitu:

1) lansia diukur dalam posisi duduk atau berbaring diatas lantai atau kasur dengan permukaan rafa tanpa menggunakan bantal atau alas kepala; 2) segitiga kayu diletakkan pada kaki kiri antara tulang kering dengan tulang paha membentuk sudut 900; 3) penggaris kayu/stainless steel ditempatkan diantara tumit sampai bagian terrtinggi dari tulang lutut. Pembacaan dilakukan pada alat ukur dengan ketelitian 0.1 cm.

(35)

Kondisi/syarat pengukuran panjang depa dalam Fatmah (2010) yaitu: 1) lansia yang diukur harus memiliki kedua taangan yang dapat direntangkan sepanjang mungkin dalam posisi lurus mendatar/horizontal dan tidak dikepal; 2) panjang depa tidak dianjurkan diukur dalam posisi berbaring atau telentang karena dapat mengurangi tingkat ketelitian hasil pengukuran sehingga hasilnya kurang akurat (WHO 1995). Alat pengukuran panjang depa menggunakan mistar kayu sepanjang 2 meter. Cara pengukuran: 1) lansia berdiri dengan bahu dan kaki menempel membelakangi tembok sepanjang pita pengukuran yang ditempel ditembok; 2) bagian atas kedua lengan hingga ujung telapak tangan menempel erat di dinding sepanjang mungkin; 3) pembacaan dilakukan dengan ketelitian 0.1 cm mulai dari bagian ujung jari tengah tangan kanan hingga ujung jari tengah tangan kiri.

Indeks masa tubuh (IMT) merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya berlaku bagi orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil, dan olahragawan. Selain itu, IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema, asites dan hepatomegalia (Supariasa dkk. 2001). Nilai IMT diperoleh dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT untuk orang dewasa di Indonesia (Kurniasih dkk. 2010) dapat dilihat pada Tabel 2. Sama seperti orang dewasa, salah satu cara menentukan status gizi lansia adalah berdasarkan IMT.

Tabel 1 Ambang batas IMT Orang Dewasa untuk Indonesia

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Sangat kurus Kurus Normal

Kelebihan berat badan/overweight Gemuk

Sangat gemuk

<17 17.0-18.4 18.5-24.9 25.0-26.9

≥27-28.9

≥29

Sumber: Depkes RI dalam Kurniasih et al. (2010)

Lansia merupakan golongan yang rawan mengalami malnutrisi. Malnutrisi secara nyata dapat mempengaruhi kesejahteraan lansia, menyebabkan penurunan status fungsional dan membuat masalah medis semakin buruk. Beberapa data juga menunjukkan bahwa lebih daripada 28% usia lanjut yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) di Jakarta mempunyai Indeks Massa Tubuh (IMT) di bawah normal (Depkes 2003).

Gambar

Gambar 1  Kerangka pikir faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
Tabel 1  Ambang batas IMT Orang Dewasa untuk Indonesia
Tabel 2  Angka kecukupan energi dan zat gizi untuk lansia perempuan per orang     per hari
Tabel 6  Sebaran lansia di PSTW dan KL berdasarkan usia hidup ibu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apnoe setting dipilih pressure sentuh Accept Accept jika tidak dirubah rate &amp; insp pressure, jika tidak dirubah rate &amp; insp pressure, apabila nanti pasien apnoe

Menurut opini kami, laporan keuangan terlampir menyajikan secnra wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan Reksa Dana Panin Dana Teladan tanggal 31

PCA menghitung satu vector yang disebut PC pertama, yaitu satu garis regresi orthogonal yang melalui data di dalam ruangan yang berjarak X yang merupakan

Teknik analisis data yang digunakan adalah : (1) Menghitung ukuran perusahaan dengan menggunakan rasio penjualan bersih dibagi dengan total aktiva, (2) Menghitung

prestasi manajemen yang bertanggungjawab atas kegiatan tersebut serta dapat digunakan untuk mencari sebab teijadinya penyimpangan apabila hasil dicapai tidak sesuai dengan apa

Hasil dari penelitian Hartanto adalah dengan adanya sistem informasi pengolahan nilai raport berbasis web maka keseluruhan proses manual dalam melakukan input data dan nilai dapat

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA secara bersama-sama telah bersepakat mengikatkan diri dalam suatu Kontrak Penelitian/mengadakan Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Program Penelitian

Tidak lama kemudian, Franz datang menghampiri Novi dan menyuruh Novi menelpon Marlina untuk pulang dan mengembalikan kepala Markus.. Sesampainya di halaman rumah Marlina, Novi