• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelimpahan dan keanekaragaman kumpanh tinja (coleopteral scarabaeidae) di kawasan taman wisata pulau situ Gintung Tangerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelimpahan dan keanekaragaman kumpanh tinja (coleopteral scarabaeidae) di kawasan taman wisata pulau situ Gintung Tangerang Selatan"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI KAWASAN TAMAN WISATA

PULAU SITU GINTUNG TANGERANG BANTEN

MAWARSIH

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI KAWASAN TAMAN WISATA

PULAU SITU GINTUNG TANGERANG BANTEN

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

MAWARSIH 104095003060

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

ABSTRAK

MAWARSIH. Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang Banten. Dibimbing oleh: Narti Fitriana dan Fahma Wijayanti.

Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti dari konservasi biologi. Kerusakan bendungan di kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Salah satu bioindikator stabilnya ekosistem suatu tempat adalah kumbang tinja (dung beetle) atau kumbang koprofagus yang termasuk famili Scarabaeidae. Penelitian ini dilakukan di lahan hijau kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menggunakan metode survei. Sampel menggunakan baited pitfall trap yaitu perangkap dengan kotoran kuda dan sapi, yang dipasang secara acak dan dibiarkan selama 5 hari. Spesimen yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan morfologinya kemudian diidentifikasi. Sebanyak 438 individu kumbang tinja diperoleh pada penelitian ini, terdiri dari genus Aphodius dan Onthophagus serta kumbang dari famili lainnya yaitu famili Carabidae, Chysomalidae, Colydidae dan Siphidae. Onthophagus merupakan genus dominan yang terdiri dari 5 spesies. Berdasarkan nilai indeks keragaman Shannon Wiener diperoleh nilai yang tergolong rendah yaitu 0,544 pada tinja kuda dan 0,697 pada tinja sapi. Nilai keseragaman pada tinja kuda yaitu 0,338 dan pada tinja sapi 0,433. Berdasarkan perhitungan kesamaan Sorensen pada jenis kumbang tinja diperoleh nilai kesamaan yaitu 0,8. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan taman wisata pulau Situ Gintung memiliki keanekaragaman kumbang tinja yang rendah karena kerusakan bendungan mengakibatkan tidak stabilnya ekosistem di kawasan ini.

Kata Kunci: Scarabaeidae, Tinja kuda, Tinja sapi, Nilai keragaman, Taman Wisata Pulau Situ Gintung.

ABSTRACT

MAWARSIH. The Abundance and Diversity of Dung Beetle (Coleoptera: Scarabaeidae) in The Theme Park Situ Gintung Island Tangerang Banten. Advisor Narti Fitriana and Fahma Wijayanti.

(4)

ABSTRAK

MAWARSIH. Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang Banten. Dibimbing oleh: Narti Fitriana dan Fahma Wijayanti.

Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti dari konservasi biologi. Kerusakan bendungan di kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Salah satu bioindikator stabilnya ekosistem suatu tempat adalah kumbang tinja (dung beetle) atau kumbang koprofagus yang termasuk famili Scarabaeidae. Penelitian ini dilakukan di lahan hijau kawasan taman wisata pulau Situ Gintung menggunakan metode survei. Sampel menggunakan baited pitfall trap yaitu perangkap dengan kotoran kuda dan sapi, yang dipasang secara acak dan dibiarkan selama 5 hari. Spesimen yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan morfologinya kemudian diidentifikasi. Sebanyak 438 individu kumbang tinja diperoleh pada penelitian ini, terdiri dari genus Aphodius dan Onthophagus serta kumbang dari famili lainnya yaitu famili Carabidae, Chysomalidae, Colydidae dan Siphidae. Onthophagus merupakan genus dominan yang terdiri dari 5 spesies. Berdasarkan nilai indeks keragaman Shannon Wiener diperoleh nilai yang tergolong rendah yaitu 0,544 pada tinja kuda dan 0,697 pada tinja sapi. Nilai keseragaman pada tinja kuda yaitu 0,338 dan pada tinja sapi 0,433. Berdasarkan perhitungan kesamaan Sorensen pada jenis kumbang tinja diperoleh nilai kesamaan yaitu 0,8. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan taman wisata pulau Situ Gintung memiliki keanekaragaman kumbang tinja yang rendah karena kerusakan bendungan mengakibatkan tidak stabilnya ekosistem di kawasan ini.

(5)

ABSTRACT

MAWARSIH. The Abundance and Diversity of Dung Beetle (Coleoptera: Scarabaeidae) in The Theme Park Situ Gintung Island Tangerang Banten. Advisor Narti Fitriana and Fahma Wijayanti.

Biodiversity can be defined as the core of conservation biology. The dam damaged in the theme park Situ Gintung island caused a decline in biodiversity. One bioindicator stable ecosystem is a place of dung beetle or beetles belonging to the family Scrabaeidae koprofagus. The research has been conducted to determine the abundance and diversity of beetles Scarabaeidae in Situ Gintung island, and the different types of beetles Scarabaeidae in horse and cow feses which determined by survey methods. Samples used the usual pitfaill trap that was a trap baited with horse and cow feces which was set at random and left for 5 days. Obtained speciments grouped by morphology and then identified. A total of 438 individuals dung beetle obtained in this study, consisting of the genus Aphodius, Onthophagus and other beetles from the family of the Carabidae, Chysomalidae, Colydidae and Siphidae. Onthophagus is the dominant genus of 5 species. According to the Shannon Wiener diversity index, the result showed that the value was relatively low at 0.544 in horse feces and 0.697 in cow feces. The value of uniformity in the feces of horse at 0.338 and 0.43 in cow feces, whereas the similarity value according to the Sorensen similarity calculation on the type of bettle feces was 0.8. Based on this research, the theme park Situ Gintung island has a low diversity of dung bettle due to the dam damage causing the ecosystem in this region becomes unstable.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., sehingga atas limpahan rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kelimpahan dan Keanekaragaman Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di KawasanTaman Wisata Pulau Situ Gintung Tangerang Banten”. Namun semua ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan

dari berbagai pihak, karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Kedua orangtua (H. Mukri dan Hj. Sumarti) atas kasih sayang, nasihat dan

do’a tulus yang selalu dipanjatkan yang mengiringi perjalanan hidup

penulis. Saudara-saudaraku (Erni Zulianti, Kak Hariadi, Kak Kasuwan, Kak Sutikno, Mbak Sus, Mbak Srimonah, Mbak Kastiyam, Dewi L, dan Zeni) yang selalu memberikan nasihat, motivasi, dan bantuan kepada penulis.

2. Narti Fitriana, M.Si selaku pembimbing I dan Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku pembimbing II yang sangat baik, selalu memberikan arahan, nasihat dan masukan materi selama pelaksanaan penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

3. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi.

(7)

6. Dr.Lily Surayya E.P, M. Env. Stud dan Dini Fardila M.Si., Penguji Munaqosah I danII yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Lilik Kundar Setiadi, S.Si yang telah memberikan nasihat, saran dan pinjaman literatur selama penyusunan skripsi ini.

8. Heru Prasetyanto selaku manajer Taman Wisata Pulau Situ Gintung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di area Situ Gintung.

9. Sahabatku Fitriyah S.Si dan Zulfanah S.Si (MTV) yang telah memberikan semangat dan keceriaanya dalam kehidupanku.

10.Teman-teman terbaikku Neni N S.Si, Sarah M S.Si, Khoirul Bariyah S.Si, Mutiara RSDG S.Si dan semua teman Biologi angkatan 2004 atas kebersamaan selama kuliah.

11.Teman-teman D’kosan (Sofiah R, S.Si, Khayu W, S.Si, dan Novi P, S.Si, dan Nely S.Kom) yang telah membantu penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini.

12.Farida Ahmad, S.Si yang telah sabar menghadapi penulis selama penelitian di laboratorium.

13.Semua dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi, terima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan.

14.Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

(8)

dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya pada bidang biologi.

(9)

DAFTAR ISI

(10)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

3. 2. Bahan dan Alat ... 23

3. 3. Cara Kerja ... 24

3. 3. 1. Metode Penelitian ... 24

3. 3. 2. Pengambilan Sampel ... 25

3. 3. 3. Identifikasi Serangga di Laboratorium ... 26

3. 3. 4. Analisis Data ... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelimpahan Kumbang Tinja ... 29

4.2. Jenis Kumbang Tinja Berdasarkan Jenis Tinja ... 34

4.3. Deskripsi Kumbang Tinja yang Ditemukan Di Taman Wisata Pulau Situ Gintung ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1. Kesimpulan ... 41

5. 2. Saran ... 41

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagian-Bagian Tubuh Kumbang (Maria, 1996) ... 9

Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Amir dan Sihkahona, 2003) ... 11

Gambar 3. Kumbang Tinja Menggelinding Kotoran ... 18

Gambar 4. Denah Posisi Pemasangan Perangkap di Taman Wisata Pulau Situ Gintung ... 23

Gambar 5. Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung ... 25

Gambar 6. Perangkap Baited Pitfall Trap ... 26

Gambar 7. Keanekaragaman Kumbang Tinja Berdasarkan Indeks Shannon-Wienner(H') dan Evennes (E) pada tinja kuda dan sapi . 34 Gambar 8. Aphodius marginellus ... 36

Gambar 9. Onthopagus collfsi ... 37

Gambar 10. Onthopagus liliputanus ... 38

Gambar 11. Onthopagus luridipennis ... 38

Gambar 12. Onthopagus trituber ... 39

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Jenis-jenis tinja yang ditemukan disekitar kawasan taman pulau

Situ Gintung ... 29 Tabel 2. Jumlah Spesies (s), jumlah individu (N), Indeks Keragaman

Shannon Winner (H’) dan Evennes (E) Indeks Kesamaan Sorensen

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Tabel Keragaman Kumbang Tinja Scarabaeidae pada

Tinja Kuda ... 46 Lampiran 2. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Sapi ... 46 Lampiran 3. Faktor Abiotik ... 47 Lampiran 4. Tabel distribusi kumbang tinja di wilayah Indonesia dari

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai inti konservasi biologi yang melibatkan keanekaragaman habitat sebagai hidup semua organisme di bumi. Keanekaragaman merupakan sifat komunitas yang menunjukkan tingkat keragaman antara anggota-anggota komunitas yang ada di dalamnya. Kenekaragaman hayati dapat diidentifikasi dengan jalan mengklasifikasikan secara morfologi, fisiologi, perilaku maupun ciri-ciri lainnya. Dengan adanya klasifikasi maka dapat diketahui adanya peran dan manfaat setiap spesies dalam suatu komunitas. Tujuan penelitian kenekaragaman itu sendiri adalah untuk menemukan keseimbangan optimal antara konservasi keanekaragaman hayati dengan kehidupan manusia yang berkelanjutan (Noonan, 2007).

Keanekaragaman hayati dapat menyusut akibat adanya aktivitas manusia dalam memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa hal yang ikut berperan dalam menurunkan keanekaragaman hayati antara lain hilangnya habitat akibat alih fungsi lahan, masuknya spesies baru, perubahan iklim global, pencemaran lingkungan dan pembangunan. Seluruh aktivitas ini banyak menghambat regenerasi alami sehingga dapat mengakibatkan kepunahan jenis dan mengancam lingkungan alami (Samways, 1994).

(15)

menghuninya. Salah satu penyebab penurunan keanekaragaman spesies yang paling utama adalah aktivitas manusia. Selain itu perubahan lahan alami menjadi lahan buatan seperti pertanian dan pemukiman penduduk juga mempengaruhi keanekaragaman spesies.

Situ Gintung merupakan kawasan wisata alam yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan dengan luas daratan sebesar 5 hektar dengan vegetasi meliputi pepohonan dan rumput-rumputan. Seiring berkembangnya pembangunan

kota, daerah di sekeliling Taman Wisata Pulau Situ Gintung yang semula

merupakan perkebunan palawija dan sawah telah berubah menjadi pemukiman

penduduk dan tempat rekreasi wisata alami, Sedangkan lahan pertanian hanya

beberapa meter saja yang masih dipertahankan oleh penduduk. Saat ini Taman Wisata Pulau Situ Gintung masih dalam kondisi yang tidak stabil dikarenakan terjadinya kerusakan bendungan sehingga menyebabkan perubahan pada kondisi danau. Kawasan yang dahulunya didominasi oleh perairan sekarang menjadi lahan hijau yang didominasi rumput-rumputan. Perubahan ini diperkirakan merupakan

penyebab terjadinya penurunan keanekaragaman hayati di Situ Gintung.

Di dalam suatu ekosistem, serangga banyak bertindak sebagai penyangga

keanekaragaman. Salah satu kelompok Coleoptera yang berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan suatu ekosistem adalah kumbang tinja (dung

(16)

dan penyebaran biji-biji tumbuhan yang terbawa melalui kotoran. Dengan demikian, kumbang tinja merupakan bagian yang penting dalam ekosistem untuk mempertahankan keseimbangan alam dan rantai makanan. Kumbang koprofagus juga sering digunakan sebagai bioindikator tingkat kerusakan suatu habitat pada umumnya karena struktur komunitas dan distribusi kumbang koprofagus sangat dipengaruhi oleh tipe vegetasi, tipe tanah, jenis kotoran dan musim (Doube, 1991; Davis et al., 2001).

Kumbang koprofagus memiliki hubungan yang erat dengan mamalia (Estrada, 1998). Tinja mamalia merupakan makanan dan media peletakan telur kumbang Scarabaeidae dan hubungan keduanya menunjukkan distribusi dari kumbang tinja. Kotoran yang dikeluarkan oleh hewan mamalia memiliki bentuk dan ukuran yang bermacam-macam. Kotoran karnivora memiliki ciri-ciri ujung kerucut dan pangkal bulat sedangkan pada herbivora memiliki ciri-ciri bentuk bulat menyerupai kue. Kotoran kaya akan nutrien seperti protein, lemak, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Kotoran pada hewan dihinggapi beberapa macam serangga. Menurut Hanski dan Cambefort (1991), kumbang tinja banyak ditemukan di kotoran hewan mamalia dari golongan herbivora.

(17)

penelitian ini, kumbang tinja dicuplik dengan perangkap yang diberi umpan kotoran hewan herbivora yang berbeda.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kelimpahan dan keanekaragaman jenis kumbang tinja Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung.

2. Bagaimanakah perbedaan jenis kumbang Scarabaeidae di tinja kuda dan tinja sapi.

1.3. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis kumbang tinja Scarabaeide di Taman Wisata Pulau Situ Gintung tinggi.

2. Terdapat perbedaan jenis kumbang tinja Scarabaeidae di tinja kuda dan tinja sapi.

1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman kumbang Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung.

(18)

1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

1. Dapat memberikan informasi tentang kondisi ekosistem di Taman Wisata Pulau Situ Gintung.

(19)

1.6. Kerangka berfikir

Kotoran

Keanekaragama n hayati

Kumbang koprofagus Scarabaeidae Aktivitas manusia

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kumbang Tinja 2.1.1. Klasifikasi

Coleoptera merupakan salah satu ordo dari kelas Insekta yang mudah dibedakan dari ordo lainnya. Dalam bahasa sehari-hari Coleoptera biasa disebut kumbang. Karakter khas dari kumbang adalah memiliki sepasang sayap depan yang keras (elytra) yang berfungsi sebagai pelindung bagi sepasang sayap belakang yang tipis dan lunak. Kumbang (Coleoptera) menyusun kelompok terbesar sekisar 40% dari seluruh jenis serangga. Anggotanya diperkirakan lebih dari 350.000 spesies yang sudah diketahui namanya, dengan 30.000 spesies diantaranya ada di Amerika Serikat dan Kanada (Borror et al., 1992), 30.000 spesies di Australia (Amir dan Kahono, 2003), dan di perkirakan sekitar 10% dari jumlah jenis kumbang dunia terdapat di Indonesia.

Menurut Borror et al., (1992) kumbang diklasifikasikan dalam Filum; Arthropoda, Subfilum Mandibulata, Kelas Insecta dan Ordo Coleoptera. Kumbang dibagi manjadi 4 Subordo, yaitu Achostemata, Myxophaga, Adephaga dan Polyphaga. Subordo Polyphaga merupakan subordo dengan anggota sekitar 138 famili yang mencakup 90% dari semua Coleoptera, salah satunya Scarabaeidae.

Beberapa jenis kumbang Scarabaeidae, yang telah diketahui sebagai perombak kotoran mamalia terbagi dalam dua genus, yaitu genus Onthophagus dan genus Copris. Genus Onthophagus terdiri dari Onthophagus gazella, O.

(21)

depressus, O. compositus, O. Dunningi. Genus Copris terdiri dari Copris incertus dan C. ribbei (Setiadi, 2004).

Di Afrika, telah diketahui sekitar 2.000 spesies kumbang yang hidup pada tinja hewan, tetapi baru beberapa jenis saja yang telah diketahui biologinya (Waterhouse, 1974). Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 1000 spesies kumbang Scarabaeidae (Noerdjito, 2003). Kumbang yang memakan kotoran hewan terdiri dari beberapa famili yaitu Scarabaeidae, Histeridae, Staphylinidae, Hydrophilidae dan Silphidae (Britton, 1970).

2.1.2. Morfologi

Kumbang mempunyai tubuh yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu caput (kepala), toraks (dada) dan abdomen (perut). Pada kepala terdapat antena, mata dan mulut. Antena pada Coleoptera mempunyai ruas yang bervariasi, pada kumbang jantan antena kadang-kadang mempunyai ruas ganda dan lebih besar daripada betina. Tipe mulut kumbang adalah penggigit dan pengunyah. Mandibula berkembang dengan baik (Borror et al., 1992).

(22)

Abdomen pada Coleoptera terdiri dari 10 segmen pada jantan dan 9 segmen pada betina. Pada segmen pertama terdapat alat pendengaran (membrane

tympanum) . Pada setiap segmen juga terdapat juga spirakel yaitu lubang tempat masuknya udara. Pada beberapa jenis kumbang segmen terakhir pada betina menjadi ovipositor atau alat untuk meletakkan telur.

Kumbang tinja (dungbeetles) dikenal dengan istilah koprofagus. Istilah ini biasanya digunakan pada serangga yang memakan tinja hewan (Fincher et al., 1971). Kumbang-kumbang ini mudah dikenali dengan bentuk tubuhnya yang cembung, bulat telur atau memanjang dengan tungkai bertarsi 5 ruas dan sungut 8-11 ruas dan berlembar. Tiga sampai tujuh ruas terakhir antena umumnya meluas menjadi struktur-struktur seperti lempeng yang dibentangkan sangat lebar atau bersatu membentuk satu gada ujung yang padat. Tibia tungkai depan membesar dengan tepi luar bergeligi atau berlekuk. Pada kelompok kumbang pemakan tinja bentuk kaki ini khas sebagai kaki penggali (Borror et al., 1992).

Gambar 1. Bagian-bagian Tubuh Kumbang Tinja (Maria, 1996)

2.1.3 Siklus Hidup

Kumbang mengalami metamorfosis sempurna (holometabola). Perkembangan lingkaran hidupnya dimulai dari telur, kemudian menetas menjadi

(23)

larva. Larva berkembang dan setelah mengalami beberapa kali ganti kulit kemudian menjadi pupa. Pupa selanjutnya mengalami perkembangan menjadi kumbang dewasa (Amir dan Kahono, 2003).

Siklus hidup kumbang Scarabaeidae ini dapat dilihat pada Gambar 2. Kumbang dewasa bewarna coklat kehitaman. Kumbang dewasa meletakkan telurnya ke dalam tanah yang berukuran kecil berwarna putih bening dengan kedalaman 5 – 20 cm. Kumbang juga meletakkan telurnya di tempat yang sesuai dengan kebutuhan larva, agar larva dapat berkembang dengan baik. Tempat yang baik untuk perkembangan larva yaitu tempat yang banyak mengandung bahan organik seperti pada serasah dan tanah yang subur. Setelah 1 – 2 minggu telur menetas menjadi larva, larva kecil mulai aktif memakan bahan organik atau serasah, setelah cukup umur larva berada di tanah dengan kedalaman kurang lebih 10 – 30 cm. Lamanya larva di dalam tanah berkisar 4 – 6 bulan. Apabila situasi tidak menguntungkan misalnya suhu tidak sesuai atau sangat kering, larva dapat mengalami proses inaktif yang disebut diapause.

(24)

Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Amir dan Kahono, 2003)

Larva kumbang memiliki bentuk yang bermacam-macam, diantaranya: 1. Scarabaeiform (tipe C), tubuh lunak, melengkung membentuk huruf C,

biasanya larva tidak aktif atau lambat setelah menjadi besar, misalnya larva Scarabidae.

2. Campodeiform, larva kumbang berwarna perak, tubuh memanjang, pipih serta bergerak sangat aktif, misalnya pada kumbang Carabidae.

3. Elateriform, larva yang mirip ulat kawat, kulit badan keras, kaki-kaki pada toraks sangat pendek, misalnya pada kumbang Elateridae.

4. Eruciform, larva kumbang mirip ulat tidak mempunyai kaki abdomen, hidup pada habitat terbuka sebagai pemakan daun atau bunga, misalnya Chrysomelidae (Borror et al., 1992).

Dewasa

Telur Larva 3

Pupa

Larva 2

(25)

2.1.4. Ekologi

Anggota Coleoptera (kumbang) pada umumnya dapat hidup hampir di semua habitat dan memakan berbagai jenis bahan tanaman dan hewan, baik yang masih hidup atau mati. Banyak jenis kumbang yang hidup pada permukaan atau di dalam tanah, air, pada cendawan, bagian tanaman yang sehat atau busuk, kotoran hewan atau bangkai (Borror et al., 1992). Semua kumbang tinja adalah scarab tetapi tidak semua scarab merupakan kumbang tinja. Dari berbagai spesies kumbang yang sering ditemukan pada kotoran hewan, yang termasuk kumbang tinja sejati adalah dari superfamili Scarabaeoidea famili Scarabaeidae, Aphodiidae dan Geotrupidae (Cambefort, 1991).

(26)

2.1.5. Peran Kumbang Tinja dalam Ekosistem

Kumbang memiliki peranan penting dalam suatu ekosistem, keberadaan kumbang dapat memberikan informasi yang sangat penting dalam studi lingkungan. Dengan perilaku makan dan reproduksi yang dilakukan di sekitar tinja maka kumbang tinja sangat membantu penyebaran dan menguraikan tinja sehingga tidak menumpuk di suatu tempat. Aktifitas ini secara umum berpengaruh terhadap struktur tanah dan siklus hara sehingga juga berpengaruh terhadap tumbuhan di sekitarnya. Dengan membenamkan tinja, kumbang dapat memperbaiki kesuburan dan aerasi tanah, serta meningkatkan laju siklus nutrisi (Andresen, 2001). Kumbang tinja juga sangat berperan dalam mencegah pencemaran tanah pada padang rumput (Gittings et al., 1994).

Di Australia kumbang tinja merupakan agen pengendalian hayati yang sangat efektif dalam mengontrol populasi lalat yang banyak berkumpul pada kotoran sapi. Dengan menguraikan kotoran ternak secara cepat dari permukaan tanah maka kumbang tinja mengurangi perkembangbiakan vektor (perantara) berbagai jenis penyakit (Thomas, 2001).

(27)

komunitas dan distribusi kumbang tinja sangat dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik (Bornemissza, 1970).

Sebagian anggota kumbang bersifat menguntungkan bagi manusia, antara lain:

1. Sebagai predator (untuk pengendalian hama) 2. Sebagai penyerbuk

3. Pemakan bahan buangan seperti tinja dan bangkai

4. Mempunyai nilai artistik atau keindahan yang dapat digunakan sebagai hiasan dinding, meja, motif tekstil dan lain-lain (Bima, 2007).

Mengingat perannya yang sangat kompleks dan penting dalam ekosistem dan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan manusia, maka penurunan keragaman spesies kumbang tinja akibat kegiatan manusia yang tidak mempertimbangkan kelestarian ekosistem akan menyebabkan kerugian yang luas. Tidak adanya kumbang Scarabaeidae akan menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem misalnya, timbuhan tinja dapat menyebabkan musnahnya padang rumput karena tidak ada yang merombaknya.

2.1.6. Aktivitas Kumbang Tinja

(28)

Pada malam hari kumbang tinja juga menggunakan sinar bulan untuk menentukan arah. Kumbang tinja mampu menggunakan polarisasi yang tercipta ketika sinar bulan menerpa partikel-partikel kecil di atmosfer untuk menentukan posisinya dan berjalan pada garis lurus. Berkat kemampuan navigasi tersebut, kumbang tinja bisa dengan cepat menggulung dan menggelindingkan kotoran hewan ke sarangnya sehingga terhindar dari pembajakan oleh kumbang lain.

Namun demikian saat tidak ada sinar bulan, kumbang tinja tidak bisa menjaga kelurusan jalannya. Hal ini menunjukkan bahwa kumbang menggunakan polarisasi sinar, yang juga berarti bahwa kumbang memiliki banyak waktu untuk mencari makan. Sistem navigasi polarisasi sinar bulan hanya cocok pada kumbang tinja yang hidup di tempat terbuka seperti padang rumput savana (Naifian, 2006).

2.2. Hubungan Kumbang dengan Kotoran

(29)

Kumbang tinja (Scarabaeidae) memiliki prilaku yang khas yaitu membuat bola-bola tinja kemudian menggiringnya ke sarang dan membuat terowongan untuk menyimpan bola-bola kotoran tersebut (Sato, 1997). Kumbang tinja (Scarabaeidae) biasanya mulai berburu kotoran segar ketika matahari mulai terbenam. Saat menemukan kotoran kumbang akan membentuknya menjadi bola lalu menggelindingkannya ke sarang menggunakan kaki belakang dalam arah lurus.

Berbagai spesies kumbang koprofagus menggunakan kotoran mamalia dengan cara berbeda-beda. Kebanyakan spesies menggali terowongan dalam tanah atau secara langsung di sekitar timbunan kotoran. Kumbang tersebut membawa kotoran ke dalam terowongan, kemudian membentuknya menjadi bulatan-bulatan seperti bola. Jumlah bola yang dibentuknya dapat mencapai 40, kumbang betina lalu meletakkan telur di dalamnya. Bila telur menetas, selama perkembangan larva berada dalam bulatan tinja dan memakan bagian dalam bulatan kotoran dan merombak bagian dalam bulatan tersebut. Setelah sampai fase pupa kemudian kumbang membuat jalan keluar menuju permukaan tanah (Bornemissza, 1970)

Beberapa kumbang koprofagus tertarik pada kotoran dan bangkai tetapi belum diketahui apakah mereka hanya datang untuk memakan bangkai atau sebagai tempat untuk melangsungkan perkawinan (Hanski dan Cambefort, 1991). Kumbang kotoran ini mudah menyesuaikan diri dalam hal pemilihan habitat dan makanan (Barbero et al., 1999).

(30)

kelompok telekoprid atau penetap (dwellers), dan kelompok pembuat sarang (nester), (ii) kelompok parakoprid atau pembuat terowongan (tunnelers), dan (iii) kelompok endokoprid atau penggulung kotoran (rollers) serta (iv) kelompok kleptokoprid (Doube, 1990;Westerwalbeslohl et al., 2004).

Kelompok penetap yang banyak ditemukan di daerah empat musim memakan langsung kotoran yang ditemukannya dan umumnya meletakkan telur di kotoran tersebut tanpa membentuk sarang. Kelompok pembuat terowongan yang didominasi oleh Scarabaeinae dan Geotrupinae menggali terowongan di bawah kotoran yang ditemukannya, membawa kotoran ke tempat tersebut dan memanfaatkannya sebagai makanan dan tempat berbiak. Kelompok penggulung kotoran memiliki kemampuan untuk membuat bola tinja sebagai suatu sumber daya yang dapat dipindahkan, dibawa ke tempat lain sebelum dibenamkan ke dalam tanah. Kelompok kleptoparasit menggunakan kotoran yang telah dimonopoli oleh jenis telekoprid atau parakoprid (Hanski dan Cambefort, 1991; Westerwalbeslohl et al., 2004)

(31)

2.3 Perbedaan Sistem Pencernaan Sapi dan Kuda

Pola sistem pencernaan pada hewan umumnya sama dengan manusia, yaitu terdiri atas mulut, faring, esofagus, lambung, dan usus. Namun demikian, struktur alat pencernaan kadang-kadang berbeda antara hewan yang satu dengan hewan yang lain. Jika dibandingkan dengan kuda, faring pada sapi lebih pendek. Esofagus (kerongkongan) pada sapi sangat pendek dan lebar serta lebih mampu berdilatasi (mernbesar). Esofagus berdinding tipis dan panjangnya bervariasi diperkirakan sekitar 5 cm (Djuhanda, 1984).

Pada beberapa herbivora (kuda dan kelinci) lambungnya relatif sederhana dan dapat disamakan dengan lambung karnivora sedangkan usus besarnya, terutama sekum lebih luas dan rumit dari yang dimiliki karnivora. Sebaliknya pada herbivora lain (sapi, kambing, domba), lambungnya (sistem berlambung majemuk) adalah besar dan rumit, sedangkan usus besarnya panjang akan tetapi kurang berfungsi (Djuhanda, 1984).

(32)

proses fermentasi atau pembusukan. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8%, dan abomasum 7-8%. Pembagian ini terlihat dari bentuk tonjolan pada saat otot sfinkter berkontraksi (Campbell et al., 2002).

Makanan dari kerongkongan akan masuk rumen yang berfungsi sebagai gudang sementara bagi makanan yang tertelan. Di rumen terjadi pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi selulosa oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan jenis protozoa tertentu. Dari rumen, makanan akan diteruskan ke retikulum dan di tempat ini makanan akan dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar (disebut bolus). Bolus akan dimuntahkan kembali ke mulut untuk dimamah kedua kali. Dari mulut makanan akan ditelan kembali untuk diteruskan ke omasum (perut bulu). Pada omasum terdapat kelenjar yang memproduksi enzim yang akan bercampur dengan bolus. Akhirnya bolus akan diteruskan ke abomasum (perut sejati), yaitu perut yang sebenarnya dan di tempat ini masih terjadi proses pencernaan bolus secara kimiawi oleh enzim (Campbell et

al., 2002).

(33)

sumber energi alternatif. Tidak tertutup kemungkinan bakteri yang ada di sekum akan keluar dari tubuh organisme bersama feses, sehingga di dalam feses (tinja) hewan yang mengandung bahan organik akan diuraikan dan dapat melepaskan gas CH4 (gas bio) (Ville, 1988).

Hewan seperti kuda, kelinci, dan marmut tidak mempunyai struktur lambung seperti pada sapi untuk fermentasi selulosa. Proses fermentasi atau pembusukan yang dilaksanakan oleh bakteri terjadi pada sekum yang banyak mengandung bakteri. Proses fermentasi pada sekum tidak seefektif fermentasi yang terjadi di lambung. Akibatnya kotoran kuda, kelinci, dan marmut lebih kasar karena proses pencernaan selulosa hanya terjadi satu kali, yakni pada sekum. Sedangkan pada sapi proses pencernaan terjadi dua kali, yakni pada lambung dan sekum yang kedua-duanya dilakukan oleh bakteri dan protozoa tertentu (Campbell et al., 2002).

2.4 Penurunan Keanekaragaman Kumbang Akibat Perubahan Lahan

(34)

Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ekonomi dan lahan pertanian pada akhirnya ekosistem alami diubah menjadi perkebunan atau ladang dan wisata alam (Fardila, 2008).

(35)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di kawasan wisata Pulau Situ Gintung, Ciputat Timur Tangerang, Banten pada bulan Februari 2010 sampai bulan Maret 2010. Secara geografis, Taman Wisata Pulau Situ Gintung terletak pada koordinat 6o18’ 24,59’LS dan 106o 45’ 22,05’ BT.

Kawasan terbuka hijau Situ Gintung, meliputi bagian depan kawasan terbuka yang terdiri dari tempat outbond, mushola dan pendopo dengan vegetasi seperti akasia (Acacia mangium), merak (Caesalpinia pulcherrima) dan kelapa (Cocos nucifera). Bagian tengah terdiri dari lapangan tenis, arena bermain anak-anak dengan vegetasinya antara lain akasia (Acacia mangium), nangka (Arthocavpus integra), ketapang (Terminalia catappa), petai cina (Leucaena

leucocephala), palem botol (Hyophorbe lagenicaulis), rambutan (Nephelium lappaceum), saga (Adenanthera pavonina) dan waru (Hibiscus tiliaceus). Di bagian belakang terdiri dari vegetasi seperti akasia (Acacia mangium), nangka

(Arthocaprus integra), ketapang (Terminalia catappa), petai cina (Leucaena leucocephala), saga (Adenanthera pavonina) dan waru (Hibiscus tiliaceus).

(36)

Gambar 4. Denah posisi pemasangan perangkap di Taman Wisata Pulau Situ Gintung.

Keterangan : ∆ : Plot tinja kuda; O : Plot tinja sapi; A : Loket; B : Rumah Singgah; C : WC Umum; D : Gudang; E : Kantin; F : Pendopo; G : Musholla; H : Lap. Tenis

3.2. Bahan dan Alat

(37)

perangkap, kapur barus (nafthalen), alkohol 70% dan lem digunakan sebagai pengawet sampel yang sudah didapat.

Alat yang digunakan antara lain: gelas plastik ukuran 500 ml, kantong plastik 1 kg sebagai tempat spesimen yang diperoleh, kain kasa untuk membungkus kotoran yang digunakan sebagai umpan, kayu kecil (ranting) berukuran 30 cm digunakan untuk mengantung umpan, nampan, kertas label, botol film, gunting, pinset, kuas, mikroskop stereo, jarum mouting, kotak serangga, termometer, oven, kamera digital, lux meter, anemometer, higrometer, jangka sorong, alat tulis, kuas dan skrop.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Metode Penelitian

(38)

Gambar 5. Kawasan Taman Wisata Pulau Situ Gintung

3.3.2. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel kumbang tinja dilakukan dengan perangkap baited

(39)

Kumbang tinja yang terperangkap dimasukkan ke dalam kantung plastik beserta cairan dalam gelas plastik. Selanjutnya dipindahkan ke dalam botol film yang berisi alkohol 70% untuk pengawetan sementara dan dilakukan pengawetan spesimen di Laboratorium Ekologi Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk diidentifikasi.

Gambar 6. Perangkap Baited pitfall trap

3.3.3. Identifikasi Serangga di Laboratorium

(40)

Cibinong, Jawa Barat dan Museum Serangga Taman Kupu-kupu (MSTK), Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Pengawetan kumbang tinja (Coleoptera) dilakukan dengan pengawetan kering. Kumbang tinja (Coleoptera) dikeringkan di dalam oven pada suhu 40oC selama 7 hari atau sampai kering. Masing-masing sampel diberi label, nomor dan dimasukkan ke dalam kotak serangga yang sudah diberi kapur barus.

3.3.4. Analisis Data

Analisis data keanekaragaman kumbang tinja meliputi analisis keanekaragaman α (keanekaragaman dalam suatu habitat) dengan menghitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Jumlah H' berkisar antara1,5-3,5. Nilai H'<1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah. Jumlah H' diantara 1,5-3,5 menunjukkan keanekaragaman sedang dan jumlah H'>3,5 menunjukkan keanekaragaman tinggi. Selain itu dihitung nilai Evennes (Odum, 1994) dan keanekaragaman β (keanekaragaman antar habitat) dengan menghitung indeks kesamaan jenis menggunakan Sorensen.

(41)

Menentukan Indeks Keseragaman dilakukan menggunakan: E =

Ket: E = Nilai keseimbangan antara jenis S = Jumlah jenis yang ditemukan

Menentukan Indeks Kesamaan Jenis dilakukan dengan menggunakan rumus: IS =

Ket: IS = Indeks Kesamaan Sorensen A = Jumlah spesies di tinja kuda B = Jumlah spesies di tinja sapi

C = Jumlah spesies yang sama pada kedua sama pada kedua sampel H'

ln S

(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelimpahan Kumbang Tinja

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Taman Wisata Pulau Situ Gintung didapatkan hasil 453 individu dan terdiri dari lima famili kumbang Coleoptera yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis-jenis kumbang tinja yang ditemukan di sekitar Taman Wisata Pulau Situ Gintung

Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 438 individu kumbang tinja yang tergolong famili Scarabaeidae, terdiri dari dua genus yaitu Aphodius dan

Onthophagus. Jumlah individu kumbang tinja yang ditemukan pada setiap umpan bervariasi, kumbang yang ditemukan pada tinja sapi (272 individu) lebih banyak dari pada tinja kuda (166 individu). Hal ini dapat disebabkan karena kumbang lebih tertarik pada tinja sapi yang memiliki tekstur halus dan lebih aromatis karena banyaknya mikroba dan nematoda yang terkandung didalamnya (Vulinuc, 2000).

(43)

Kelimpahan individu kumbang tinja Scarabeidae yang tertinggi adalah

Onthophagus variolaris yaitu sebanyak 329 individu dan yang paling sedikit adalah Onthopagus luridipennis terdapat 2 individu. Onthophagus variolaris lebih banyak ditemukan di tinja sapi, sebaliknya O.luridipennis hanya terdapat di tinja kuda saja, kemungkinan O. luridipennis lebih menyukai tinja yang kasar berserat (non ruminasia), Sedangkan O.liliputanus tidak ditumukam di tinja kuda. Genus

Aphodius di temukan 1 spesies saja yaitu Aphodius marginellus dengan 5 individu, jenis ini juga lebih banyak ditemukan di tinja sapi dibandingkan di tinja kuda.

Tinja sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi yaitu 22,59%, 18,32% hemiselulosa, 10,20% lignin, 34,72% karbon organik, 1,26% total nitrogen, ratio C:N 0,73% P dan 0, 68% K (Lingaiah, 1986). Dengan komposisi senyawa di atas, mikroba-mikroba yang terkandung di dalam tinja sapi tersebut akan memfermentasikan kandungan selulosanya sehingga akan menghasilkan gas metan yang lebih tinggi dibanding tinja kuda. Hal itu menyebabkan tinja sapi lebih aromatis sehingga banyak kumbang tinja yang mendekatinya.

(44)

Hal ini menyebabkan jumlah mikroba didalamnya akan lebih banyak sehingga dapat meningkatkan proses fermentasi. Semakin tinggi fermentasi di tinja tersebut, maka gas metan yang dihasilkan akan lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tinja sapi lebih menarik kumbang Scarabaeidae sehingga lebih mudah habis atau terurai.

Tidak hanya famili Scarabaeidae saja yang ditemukan di tinja kuda dan sapi, kumbang lain yang tergolong dalam famili Carabidae, Chysomalidae, Colydidae dan Silphidae juga terdapat dalam perangkap yang dipasang. Diduga keberadaan kumbang tersebut dapat terbawa oleh angin tau memang tertarik dengan aroma yang dikeluarkan oleh tinja kuda dan sapi.

(45)

Kombinasi suhu yang tidak teratur setiap harinya di Taman Wisata Pulau

Situ Gintung mempengaruhi kualitas tinja. Hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada lampiran 3, Kondisi cuaca pada saat pengambilan sampel selalu berubah-ubah, dimana pada siang hari cuaca sangat cerah dan panas, lalu sore harinya turun hujan. Pada minggu kelima, kondisi cuaca di Taman Wisata Pulau Situ Gintung hujan deras, sehingga suhu udara cukup rendah dan kelembaban udara menjadi lebih tinggi. Pada kondisi lingkungan seperti ini kualitas tinja lebih bagus dibanding saat cuaca panas. Hal ini mengakibatkan banyak kumbang tinja yang menghampiri perangkap, terutama dari genus Onthophagus. Spesies ini paling banyak ditemukan di kedua jenis tinja, khususnya O. variolaris. Spesies ini ditemukan paling banyak di tinja yang segar dengan kadar air yang tinggi.

Menurut Barbero et al., (1999) dan Errouissi et al., (2004), kondisi mikroklimat

terutama suhu dan kelembaban udara serta kandungan tinja merupakan faktor yang sangat menentukan komposisi spesies kumbang tinja. Dari penjelasan sebelumnya

bahwa tinja sapi memiliki kadar air dan ratio C/N yang lebih, menyebabkan tinja sapi lebih lembab jika dibandingkan tinja kuda, sehingga O. variolaris lebih banyak ditemukan di tinja sapi. Kadar air dalam tinja sapi lebih bertahan lama karena teksturnya yang halus walaupun sudah beberapa hari sehingga kondisinya tetap lembab dan selalu menarik O. variolaris untuk menghampirinya.

(46)

jenis tinja semua berkontribusi pada kumbang tinja himpunan area tertentu (Halffter dan

Matthews 1966; Nealis 1977; Fincher 1973).

Genus Onthophagus lebih menyukai tanah berpasir sehingga sebagian

besar hidup di daerah berpasir dengan vegetasi jarang (Halffter dan Matthews 1966).

Pada saat pengambilan sampel, perangkap yang paling banyak ditemukan

O. variolaris adalah yang dipasang di tempat yang vegetasinya sedikit dengan kondisi tanah yang gembur dan banyak rumput, yaitu pada plot 3 yang berisi tinja sapi.

Kumbang tinja jenis lain mungkin akan menghampiri perangkap pada hari berbeda-beda. Hal ini menunjukkan spesifikasi tertentu dari masing-masing tinja yang disukai oleh beberapa spesies, seperti tekstur tinja, kesegaran tinja, atau kandungan serat pada tinja. Spesies yang lainnya yang ditemukan adalah dari genus

(47)

4.2 Jenis Kumbang Tinja Berdasarkan Jenis Tinja

Tingkat kelimpahan jenis merupakan salah satu ukuran penting keanekaragaman yang dihitung berdasarkan kelimpahan individunya, hal tersebut dapat dilihat dari nilai indeks keragaman Shannon-Winner (H')

Tabel 2. Jumlah Spesies (S), Jumlah Individu (N), Indeks Keragaman Shannon-Winner (H') dan Evennes (E) Indek Kesamaan (IS) Sorensen Kumbang Tinja di Taman Wisata Pulau Situ Gintung

Jenis Tinja

Hasil perhitungan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada jenis tinja sapi dan kuda dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Keragaman Kumbang tinja berdasarkan indeks Shannon-Winner (H’) dan Evennes-nya (E) pada tinja kuda dan sapi

(48)

Berdasarkan dari hasil perhitungan nilai keragaman jenis kumbang tinja pada jenis tinja tercantum pada tabel 2 dan gambar 7, keduanya sama-sama memiliki nilai keragaman jenis yang rendah, yaitu 0,544 untuk kuda dan 0,697 untuk sapi dengan jumlah 5 jenis. Menurut Magurran, (1988) indeks keanekaragaman jenis (H') berkisar antara 1,5-3,5. Nilai H'<1,5 menunjukkan keanekaragaman rendah. Nilai H' diantara 1,5-3,5 menunjukkan keanekaragaman sedang dan jumlah H'>3,5 menunjukkan keanekaragaman tinggi. Bila keanekaragaman Scarabaeidae ini menunjukkan kualitas yang rendah, maka keberadaan Scarabaeidae di dalam suatu ekosistem merupakan terutama salah satu kunci di dalam daur bahan.

Jumlah Scarabaidae yang sedikit menunjukkan lambatnya daur bahan di ekosistem tersebut, karena organisme yang pendaur tidak banyak keberadaannya di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Hasil analisis data dengan menggunakan indeks keragaman Shanon Winner menunjukan adanya perbedaan tingkat keragaman dan Evennes pada masing-masing jenis tinja.

(49)

4.3. Deskripsi Kumbang Tinja yang ditemukan di Taman Wisata Pulau Situ Gintung

Dari hasil sampel yang ditemukan jenis kumbang tinja terdiri dari 6 jenis yaitu sebagai berikut:

1. .Aphodius marginellus

Aphodius marginellus yang ditemukan pada penelitian ini memiliki pronotum berwarna hitam kecoklatan berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus, elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam kecoklatan mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus. Pada bagian abdomen memiliki 5-6 segmen gabungan dan ukuran tubuhnya rata-rata 4,9 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong.

Gambar 8. Aphodius marginellus 2. Onthophagus collfsi

(50)

tubuh 7,8 mm Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong.

Gambar 9. Onthophagus collfsi

3. Onthophagus liliputanus

(51)

Gambar 10. Onthophagus liliputanus 4. Onthophagus luridipennis

Onthophagus luridipennis ditemukan pada penelitian ini memiliki

pronotum berwarna hitam kusam berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus,

pada bagian Kepala terdapat 2 tanduk. Elytra keras bergaris-garis vertikal

berwarna hitam mengkilat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus,

tarsus dan tibia memiliki 5 ruas dan ukuran tubuhnya sekitar 6,7 mm. Spesies ini

sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI

Cibinong.

(52)

5. Onthophagus trituber

Onthophagus trituber ditemukan pada penelitian ini memiliki antena meluas menjadi struktur seperti kepingan yang dapat dibentangkan secara lebar (phyllophaga), di kepala terdapat 2 tanduk. Pronotum berwarna hitam mengkilat berlubang-lubang kecil terdapat bulu halus dan terdapat 3 tonjolan. Bagian elytra keras bergaris-garis vertikal berwarna hitam belang-belang coklat menpunyai lubang-lubang kecil dan berbulu halus. Abdomen memiliki 5-6 segmen gabungan, tarsus dan tibia memiliki 5 ruas dan ukuran tubuhnya 6,7 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong.

Gambar 12. Onthophagus tritube 6. Onthophagus variolaris

(53)

5 ruas, tetapi di bagian tarsus terdapat koksa dan ukuran tubuhnya sekitar 4,6 mm. Spesies ini sudah dibandingkan dengan yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong.

(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Keanekaragaman kumbang tinja Scarabaeidae di kawasan Kaman Wisata Pelau Situ Gintung adalah 438 individu, 2 genus dan 6 jenis yaitu

Aphodius marginellus, Onthohpagus collfsi, O.liliputanus, O.ludipennis, O.trituber, O.variolaris. kelimpahan individu kumbang tinjaScarabaeidae pada setiap genus yang tinggiadalah pada Onthophagus variolaris adalah 329 individu.

2. Keanekaragaman kumbang tinja Scarabaeidae yang ditemukan di tinja sapi dan kuda cenderung sama.

5.2. Saran

Penelitian ini merupakan studi awal tentang keragaman jenis kumbang tinja Scarabaeidae di Taman Wisata Pulau Situ Gintung. Hasil yang diperoleh masih dibutuhkan kajian dan penelitian lebih lanjut sehingga dapat memonitor keberadaan dan keberlangsungan hidap kumbang tinja Scarabaeidae.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, M dan S. Kahono. 2003. Serangga Tanaman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat (Edisi I). Biodiversity Conservation Project. LIPI. Bogor. Andresen, E. 2001. Effect Of Dung Presence, Dung Amonunt And Secondary Dispersal By Dung Beetles On The Fate Of Micropholis Guyanensis (Sapotaceae) Seeds In Central Amazonia. Journal of Tropical Ecology 17:61-78. habitat and resource selection (Coleoptera: Scarabaeoidea) Journal of Insect Conservation 3: 75-84.

Bima. 2007. Penangkaran Kupu-kupu di Kepulauan Seribu. http://www.pulauseribu.net. Akses tanggal 14 Februari 2009.

Bornemissza, G. F. 1970. Insectary Studies On The Control Of Dung Breedingflies by the Activity Of The Dungg Beetle. CSIRO Camberra. Pedobilogoa.

Borror, D. J., C. A. Triplehorn dan N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke 6. Diterjemahkan oleh Soeriyono Partospoedjono. UGM Press. Yogjakarta.

Britton, E.B. 1970. Coleoptera. The Insects of Australia, Division of Entomology, CSIRO Canberra. 30 : 495-621.

Campbell, N.A., Reece, J. B., Mitchell, L. G. 2002. Biolog edisi Kelima.Penerbit Erlangga. Jakarta

Collins, S. L. dan Glenn, S. M. 1997. Intermediate Distrubance and its Relationship to within - and between – patch dynamics. New Zealand Journal of Ecology21 (1): 103 – 110.

Comignan, J.1928 Note Preliminarie sur le rÏle de l'olfaction chez (Scarabaeus semipunctatus) L. Journal Bulletin de la Societe Entomologique de France 14 214-216.

(56)

Davis, A. J. Holloway, J. D. Huijbregts, H. Krikken. J, Sutton. 2001. Dung Beetles As Indicators of Change in the Forests of Northen Borneo. Journal of Aplied Ecology. 38:593-616.

Djuhanda, Tatang.1984.Analisa Struktur Vertebrata Jilid 2. Armico.Bandung Dormont, L., G. Epinat and J.-P. Lumaret. 2004. Trophic Preferences Mediated by

olfactory cues in dung beetles colonizing cattle and horse dung. Environ. Lingkungan. Entomol. Entomol. 33 33 (2): 370-377

Doube, B.M. 1991. Dung Beetle of Southern Afrika. Princeton University Press. Pp. 133-155.

Double, B. M. 1983. The Habitat Prefernce Of Some Bovine Dung Beetle (Coleoptera: Scarabaeidae). In Hluhluwe Game Reserve, South Africa. Bull.ent. Res. 73(3):357/371.

Errouissi, F.S.Haloti.P.J.Robert, A.J. Idrissi,and J.P. Lumaret. 2004. Effect of the attictiveneess For dung beetles Of dung pat Origin and size alog climaticgradient. Environ mental.Entomology 33(1):45-53.

Estrada A, G Halffer, R Coates-Estrada, DA Merrit. 1998. Dung Bettles attracted to Mammalia Herbivor (Alouatta palliata) and Omnivora (Nasua marica) Dung in the Tropical Rain Forest Of Los Tuxtlas, Mexico., Journal Of Trofical Ecology.

Fardila, D. 2008. Pengaruh Tipe Lahan Terhadap Komunitas Burung di Kawasan Bandung Bagian Barat. Tesis. ITB. Bandung.

Ferianita, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Fincher, G. T., Robert and T. B. Stewart. 1971. Flight Activity Of Coprophagous Beetle On Swine Pasture. Ann. Ent. Soc. America64(4):855-857.

Gittings, T., P.S. Giller, and G. Stakelum. 1994. Dung Decomposition In Contrasting Temperate Pastures In Relation To Dung Beetle And Earthworth Activity. Pedobiologia38: 455-474.

Halffter, G., and E. G. Matthews 1966. The natural history of dung beetles of the subfamily Scarabaeinae (Coleoptera: Scarabaeidae). Fol. Entomol. Mex. 12-14: 1-312.

Haski I, and Y. Cambefort. 1991. Dung Beetle Ecology. Princeton, New Jerrsey. Princeton University Press.

(57)

Maria. 1996. Pesona Dunia Kumbang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Magurran A.E. 1988. Ecological diversity and its measurements. London:

Croom Helm Limited. London.

Maulinda, D. 2003. Keragaman kumbang (Coleoptera: insecta) di Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi. IPB. Bogor.

Naifian. 2006. Kumbang Gunakan Sinar Bulan untuk Menentukan Arah. naifian.blogspot.com akses 20 Juli 2009

Noerdjito, W.A. 2003. Keragaman Kumbang (Coleoptera). Dalam : Amir, M. dan S. Kahono. (ed). Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor: JICA Biodiversity Conservation Project.

Noonan, K. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati : Praktek Unggulan Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk industri pertambangan Terjemahan Oleh: Global Village Translations Pty Ltd. Commonwealth Copyright Administration, Intellectual Property Branch, Department of Communications, Information Technology and the Arts, GPO Box 2154, Canberra ACT 2601. http://www.dcita.gov.au/cca. Akses 17 Juli 2009. Odum, E. P. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Samways, M, J. 1994. Insect Conservation Biology. Chapman dan Hall. New York.

Sato, H. 1997. Two Nesting Behaviors And Life History Of Subsocial African Dung-Rolling Beetle, Scarabaeus catenatus (Coleoptera: Scarabaeidae). Journal of Natural History31:457-469.

Setiadi, L. K. 2004. Kenekaragaman dan Distribusi Kumbang Tinja (Scarabaidae: Choleptera) di Taman Nasional Gunung Pangrango Jawa Barat. Skripsi. Biologi Universitas Nusa Bangsa. Bogor.

Shahabuddin. 2007. Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap Keanekaragaman Kumbang Koprofagus (Coleoptera: Scarabaeidae) dan Dekomposisi Kotoran Hewan: Studi Khusus pada Pinggiran Hutan di Taman Nasional Lorelindu, Sulawesi Tengah. Tesis. IPB. Bogor.

Thomas, M. L. 2001. Dung Beetle Benefits in the Pasture Ecosystem. NCTA Agriculture intern. www.Attra.Org/attra-pub/PDF/dung beetle.Pdf. Akses 17 Juli 2009.

(58)

Vulinuc, K. 2000. Dung beetles (Coleoptera:Scarabaeidae), monkrys and conservation in Amazonia. Florida Entomologist 83 (3):229-241.

Waterhouse, D. F. 1974. The Biological Control Of Dung. In Thomas Eisner And Edward. Wilson Fransisco.

(59)

Lampiran

Lampiran 1. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Kuda No Nama Spesies ni (ni/N)Pi Pi ln Pi

H' (0,338) < 1,5 jadi nilai keragamannya rendah

Lampiran 2. Tabel Keragaman Kumbang Scarabaeidae pada Tinja Sapi

(60)

Lampiran 4. Tabel Distribusi Kumbang Tinja di Wilayah Indonesia dari Koleksi Ilmiah MZB, P2B-LIPI

No Jenis Lokasi

1 Phacosoma punctatus Jawa Barat

2 Paragymnopleurus sparsus sharp Kalimantan Timur 3 Paragymnopleurus sparsus sharp Kalimatan

4 Paragymnopleurus sparsus sharp Jawa Timur

5 Paragymnopleurus molosus Sumatera Aceh TN Leuser 6 Paragymnopleurus molosus Sulawesi

7 Paragymnopleurus molosus Kalimantan Timur 8 Paragymnopleurus molosus Kalimantan Barat 9 Paragymnopleurus molosus Jawa Timur 10 Paragymnopleurus molosus Jawa Tengah 11 Paragymnopleurus molosus Belitung

12 Onthophagus waterstradli Bouc Kalimantan Timur

13 O. variolaris Papua

14 O. variolaris Kalimantan Timur

15 O. valiolaris Jawa Timur

16 O. tricornis Sulawesi

17 O. tricornis Jawa Timur

18 O. tricornis Jawa Tengah

19 O. sumatranus Sumatera Aceh TN Leuser

20 O. sumatranus Kalimantan Timur

21 O. sumatranus Kalimantan Barat

22 O. sumatranus Jawa Tengah

29 O. pacificus Sumatera Aceh TN Leuser

30 O. pacificus Kalimantan Timur

31 O. pacificus Kalimantan Barat

32 O. melangensis Jawa Barat

33 O. leavis Har Kalimantan Timur

34 O. javanensis Papua

35 O. incisus Sumatera Aceh TN Leuser

36 O. incisus Kalimantan Timur

37 O. incisus Kalimantan Barat

38 O. hanskins sp Kalimantan Timur

49 O. foedus Jawa Barat

40 O. dresceru JawaBarat

41 O. diabolicus Sulawesi

42 O. diabolicus Kalimantan Timur

(61)

44 O. diabolicus Jawa Tengah G Slamet

45 O. diabolicus Sumatera Aceh TN Leuser

46 O. diabolicus Jawa Timur G Raung

47 O. diabolicus Jawa Tengah G Slamet

48 O. avoceta Arrow Kalimantan Timur

49 O. aurifex Har Sumatera Aceh TN Leuser

50 O. aurifex Har Kalimantan Barat

51 O. angustatus Bouc Sumatera Aceh TN Leuser

52 O. angustatus Bouc Kalimantan Timur

53 O. angustatus Bouc Kalimantan Barat

54 Copris synopsis Bates Jawa Barat

55 Copris punctulatus Sumatera Barat

56 Copris punctulatus Sulawesi

57 Copris punctulatus Jawa Timur

58 Copris punctulatus Jawa Tengah

59 Copris agnus Sharp Kalimantan Timur

60 Copris agnus Sharp Kalimantan Barat

61 Catarsius molosus Sumatera Aceh TN Leuser

62 Catarsius molosus Kalimantan Timur

63 Catarsius molosus Jawa Timur

(62)

Gambar

Tabel 1. Jenis-jenis tinja yang ditemukan disekitar kawasan taman pulau
Gambar 1. Bagian-bagian Tubuh Kumbang Tinja (Maria, 1996)
Gambar 2. Siklus Hidup Coleoptera (Amir dan Kahono, 2003)
Gambar 3. Kumbang Tinja Menggelinding Kotoran (Naifian, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait