TUGAS AKHIR
KAJIAN PENGARUH DILATASI PADA BANGUNAN PABRIK PT.
AGRI FIRST FLOUR MEDAN
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian Pendidikan sarjana Teknik Sipil
Handiman
08 0404 070
Dosen Pembimbing :
Ir. BESMAN SURBAKTI, MT
19541012 198003 1 004
BIDANG STUDI STRUKTUR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
KAJIAN PENGARUH DILATASI PADA BANGUNAN PABRIK PT. AGRI FIRST FLOUR MEDAN
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam menempuh Colloqium Doctum/ Ujian Sarjana Teknik Sipil
Dikerjakan oleh:
HANDIMAN 08 0404 070
Pembimbing
Ir. Besman Surbakti, MT NIP:19541012 198003 1 004
Penguji I Penguji II Penguji III
Prof.Dr.Ing. Johannes Tarigan Ir. Daniel Rumbi Teruna,MT Ir. Chainul Mahni NIP: 19561224 198103 1 002 NIP:19590707 198710 1 001 NIP:19500714 198003 1 002
Mengesahkan:
Ketua Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara
Prof.Dr.Ing. Johannes Tarigan NIP: 19561224 198103 1 002
BIDANG STUDI STRUKTUR DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan anugrah, berkat dan karunia-Nya hingga terselesaikannya tugas akhir ini
dengan judul “Kajian Pengaruh Dilatasi pada Bangunan Pabrik PT. Agri First
Flour Medan”.
Tugas akhir ini disusun untuk diajukan sebagai syarat dalam ujian sarjana
teknik sipil bidang studi struktur pada fakultas teknik Universitas Sumatera Utara
Medan. Penulis menyadari bahwa isi dari tugas akhir ini masih banyak
kekurangannya. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kurangnya
pemahaman penulis. Untuk penyempurnaannya, saran dan kritik dari bapak dan ibu
dosen serta rekan mahasiswa sangatlah penulis harapkan.
Penulis juga menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak, tugas akhir ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang senantiasa penulis cintai yang dalam
keadaan sulit telah memperjuangkan hingga penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan ini.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ing. Johannes Tarigan selaku ketua Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik USU serta selaku dosen pembanding yang telah memberikan
kritikan dan nasehat yang membangun.
2. Bapak Ir. Syahrizal, MT selaku sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas
3. Bapak Ir. Besman Surbakti, MT selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan saran
kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
4. Bapak Ir. Daniel Rumbi Teruna, MT selaku dosen pembanding yang telah
memberikan kritikan dan nasehat yang membangun.
5. Ibu Ir. Chainul Mahni selaku dosen pembanding yang telah memberikan kritikan
dan nasehat yang membangun.
6. Bapak/Ibu Dosen Staf Pengajar Jurusan teknik Sipil Universitas Sumatera Utara.
7. Kedua orang tua penulis yang turut mendukung segala kegiatan akademis
penulis dan selalu memberikan semangat kepada penulis.
8. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan dan semangat kepada
penulis, stambuk 02, Herman, stambuk 04, Erwin, stambuk 06, Alexander,
Subroto, Diana, stambuk 07, Darwin, Ivan, Coandra, Effendy, stambuk 08,
Felix yang paling menginspirasi, Agus, Wira, Hendry, Edward, Randy, Iskandar,
Astri, Nurul, Dany, Jevri, Artur, Rosiva, David, dan teman – teman lain yang
tidak dapat disebutkan satu persatu semuanya, serta senior-senior dan adik-adik
yang memberikan dukungan serta info mengenai kegiatan sipil.
9. Seluruh pegawai administrasi yang telah memberikan bantuan dan kemudahan
Walaupun dalam menyusun Tugas akhir ini penulis telah berusaha untuk
mengkaji dan menyampaikan materi secara sistematis dan terstruktur, tetapi tentunya
Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran yang membangun
tentulah sangat penulis harapkan di kemudian hari.
Medan, Mei 2012
ΑΒSTRAK
Pada umumnya bangunan yang memiliki perbedaan panjang dengan lebar yang besar atau bentuk yang tidak beraturan seperti bentuk L, T, dan lain – lain, selalu dipakai pemisah atau dilatasi pada pertemuan bagian yang tidak beraturan.
Pada tugas akhir ini, penulis melakukan kajian tentang pengaruh dari sebuah bangunan pabrik PT. Agri First Flour Medan yang memakai dilatasi diubah menjadi bangunan yang tidak memakai dilatasi.
Dari kajian tersebut diperoleh bahwa bangunan yang tidak memakai dilatasi memiliki gaya – gaya dalam yang lebih besar terutama gaya geser, tulangan yang lebih besar terutama tulangan geser, gaya geser dasar yang lebih besar, dan memiliki drift antar tingkat yang lebih kecil, tetapi tidak memenuhi syarat dalam kondisi batas ultimit jika dibandingkan dengan bangunan yang memakai dilatasi, di mana hal tersebut diakibatkan oleh timbulnya torsi pada bangunan sebagai akibat bentuk bangunan yang tidak beraturan.
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ... ii
Kata Pengantar ... iii
Abstrak ... vi
Daftar Isi ... vii
Daftar Tabel ... x
Daftar Gambar ... xiii
Daftar Notasi ... xvii
Daftar Grafik ... xx
BAB I PENDAHULUAN ... 1
I.1. Umum ... 1
I.2. Latar Belakang Masalah ... 5
I.3. Maksud dan Tujuan ... 5
I.4. Pembatasan Masalah ... 5
I.5. Metologi Penulisan ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
II.1. Struktur Bangunan gedung ... 7
II.2. Perencanaan Struktur Beton Bertulang ... 10
II.3. Kuat rencana... 19
II.4. Konsep Perencanaan Bangunan Terhadap Pengaruh Gaya Gempa ... 21
II.4.1. Pemakaian gaya horizontal akibat gaya gempa ... 21
II.4.2. Analisis beban ekivalen ... 22
II.4.4. Analisis gempa secara dinamik ... 34
II.4.5. Eksentrisitas rencana ... 34
II.4.6. Pembatasan penyimpangan lateral ... 35
II.5. Konsep Strong Column Weak Beam ... 36
II.6. Pendetailan kolom dn balok yang baik ... 37
II.7. Program finite element method... 42
II.7.1. Sistem sumbu koordinat ... 42
II.7.2. Metode matrik kekakuan ... 44
II.7.3. D.O.F ( Degree of Freedom ) ... 45
II.7.4. Element frame pada program finite element method 46 II.7.5. Element shell ... 53
BAB III APLIKASI ... 54
III.1. Data bangunan ... 54
III.2 Data beban – beban struktur ... 66
III.3 Kombinasi pembebanan ... 67
III.4 Analisa struktur ... 68
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 84
IV.1 Hasil Aplikasi ... 84
IV.1.1.Waktu getar alami struktur ... 86
IV.1.2.Gaya geser dasar ... 87
IV.1.3.Partisipasi massa ... 88
IV.1.4.Metode Penjumlahan respon ragam ... 89
IV.1.5.Simpangan struktur ... 91
IV.3 Perbandingan drift antar tingkatdan gaya geser dasar... 121
IV.4 Checking beam column joint terhadap geser ... 123
IV.5 Perbandingan gaya dalam kolom pada daerah dilatasi ... 125
IV.6 Analisa dan pembahasan ... 143
BAB V Kesimpulan dan Saran ... 145
V.1 Kesimpulan ... 145
V.2 Saran ... 146
Daftar Pustaka ... xxi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Lendutan izin maksimum……….………... 17
Tabel 2.2 Jenis-jenis tanah ……….……… 28
Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan ….. 31
Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum, faktor tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa jenis sistem dan subsistem bangunan gedung ……….…………... 32
Tabel 3.1 Penampang balok dan kolom ………..……….. 70
Tabel 3.2 Area Section ………... 71
Tabel 3.3 Data sondir pada titik pertama ………..…….………….... 73
Tabel 3.4 Data sondir pada titik kedua ………....……….…. 74
Tabel 3.5 Data sondir pada titik ketiga ……….………...….. 75
Tabel 3.6 Nilai �� dari ketiga titik penyondiran ………..…. 76
Tabel 3.7 Spektrum respon ……….……... 77
Tabel 4.1 Waktu getar alami struktur ………... 86
Tabel 4.2 Modal participating mass ratio ………... 88
Tabel 4.3 Selisih Periode Antar Mode yang Berdekatan ……….…..…….... 90
Tabel 4.4 Analisa Δs akibat arah gempa x pada bangunan Cleaning ……..….…. 92
Tabel 4.5 Analisa Δs akibat arah gempa y pada bangunan Cleaning ………..….. 93
Tabel 4.6 Analisa Δs akibat arah gempa x pada bangunan Mill ………….…..…. 94
Tabel 4.7 Analisa Δs akibat arah gempa y pada bangunan Mill ………….……... 96
Tabel 4.8 Analisa Δs akibat arah gempa x pada bangunan Finishing product…... 97
Tabel 4.10 Simpangan maksimum antar tingkat arah x pada bangunan Cleaning.. 100 Tabel 4.11 Simpangan maksimum antar tingkat arah y pada bangunan Cleaning.. 101 Tabel 4.12 Simpangan maksimum antar tingkat arah x pada bangunan Mill ..…... 102 Tabel 4.13 Simpangan maksimum antar tingkat arah y pada bangunan Mill ..…... 103 Tabel 4.14 Simpangan maksimum antar tingkat arah x pada bangunan Finishing
product ……….. 104
Tabel 4.15 Simpangan maksimum antar tingkat arah y pada bangunan Finishing
product ……….. 105
Tabel 4.16 Penulangan kolom bangunan gedung dengan dilatasi.………...……... 107
Tabel 4.17 Tulangan longitudinal kolom pada bangunan tanpa dilatasi…………..109
Tabel 4.18 Tulangan sengkang kolom pada bangunan tanpa dilatasi……….. 110
Tabel 4.19 Perbedaan antara berat dari tulangan sengkang kolom bangunan dengan
dilatasi dibandingkan bangunan tanpa dilatasi ………..112
Tabel 4.20 Penulangan balok pada bangunan gedung dengan dilatasi …….……...113
Tabel 4.21 Tulangan longitudinal balok pada bangunan tanpa dilatasi …………...116
Tabel 4.22 Tulangan sengkang balok pada bangunan tanpa dilatasi ……....……...117
Tabel 4.23 Perbedaan antara berat dari tulangan sengkang balok bangunan dengan
dilatasi dibandingkan bangunan tanpa dilatasi………....……...120
Tabel 4.24 Perbedaan Drift Δs antar tingkat bangunan dengan dilatasi dibandingkan bangunan tanpa dilatasi dalam kondisi Kinerja Batas Layan……..…. 121
Tabel 4.25 Perbedaan Drift Δm antar tingkat bangunan dengan dilatasi dibandingkan bangunan tanpa dilatasi dalam kondisi Kinerja Batas Ultimit……..…. 122
Tabel 4.26 Gaya – gaya dalam kolom pada daerah dilatasi 1 dan tanpa dilatasi 1..127
Tabel 4.28 Gaya – gaya dalam kolom pada daerah dilatasi 3 dan tanpa dilatasi 3...137
Tabel 4.29 Gaya dalam maksimum kolom pada daerah dilatasi ……….142
Tabel 4.30 Gaya dalam kolom maksimum pada daerah tanpa dilatasi ……..…….142
Tabel 4.31 Persen kenaikan gaya – gaya dalam bangunan yang tidak memakai
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Denah bangunan ... 3
Gambar 1.2 Potongan C – C bangunan ... 4
Gambar 2.1 Denah struktur bangunan tidak simetris ... 9
Gambar 2.2 Struktur SDOF dengan beban gempa ... 21
Gambar 2.3 Beban horizontal ekivalen ... 22
Gambar 2.4 Gaya geser dasar ... 24
Gambar 2.5 Peta wilayah gempa berdasarkan program Spektra Indo v1.0 beta .. 27
Gambar 2.6 Penulangan daktalitas pada kolom ... 41
Gambar 2.7 Deformasi pada nodal ... 45
Gambar 2.8 Tumpuan sebagai nodal dengan d.o.f ditahan ... 46
Gambar 2.9 D.O.F truss element ... 47
Gambar 2.10 D.O.F beam element ... 47
Gambar 2.11 D.O.F plane frame element... 49
Gambar 2.12 D.O.F grid element ... 50
Gambar 2.13 D.O.F space frame element ... 51
Gambar 3.1 Denah bangunan ... 56
Gambar 3.2 Potongan C-C ( kolom )... 57
Gambar 3.3 Potongan E-E ( kolom ) ... 58
Gambar 3.4 Potongan A-A ( kolom ) ... 59
Gambar 3.5 Potongan 1-1 ( kolom ) ... 59
Gambar 3.6 Potongan 3-3 ( kolom ) ... 59
Gambar 3.7 Potongan 5-5 ( kolom ) ... 59
Gambar 3.9 Potongan 11-11 ( kolom ) ... 60
Gambar 3.10 Potongan 13-13 ( kolom ) ... 61
Gambar 3.11 Potongan 14-14 ( kolom ) ... 61
Gambar 3.12 Potongan 16-16 ( kolom ) ... 61
Gambar 3.13 Potongan C-C ( balok ) ... 62
Gambar 3.14 Potongan A-A ( balok ) ... 63
Gambar 3.15 Potongan 1-1 ( balok ) ... 63
Gambar 3.16 Potongan 3-3 ( balok ) ... 63
Gambar 3.17 Potongan 5-5 ( balok ) ... 64
Gambar 3.18 Potongan 9-9 ( balok ) ... 64
Gambar 3.19 Potongan 11-11 ( balok ) ... 64
Gambar 3.20 Potongan 13-13 ( balok ) ... 65
Gambar 3.21 Potongan 14-14 ( balok ) ... 65
Gambar 3.22 Potongan 16-16 ( balok ) ... 65
Gambar 3.23 Respon spectrum rencana ... 76
Gambar 3.24 Pemodelan struktur SDOF ... 78
Gambar 3.25 Struktur 3 DOF, Model matematik, dan free body diagram ... 79
Gambar 4.1 Denah struktur bangunan pada program finite element method ... 84
Gambar 4.2 Gambar potongan memanjang bangunan pada program finite element method ... 85
Gambar 4.3 Gambar potongan memanjang bangunan pada program finite element method ... 85
Gambar 4.5 Potongan bangunan yang memakai dilatasi ( kolom ) ... 108
Gambar 4.6 Potongan bangunan yang tanpa dilatasi ( kolom ) ... 111
Gambar 4.7 Potongan memanjang bangunan yang memakai dilatasi ( balok ) ... 114
Gambar 4.8 Potongan melintang bangunan yang memakai dilatasi ( balok ) ... 115
Gambar 4.9 Potongan memanjang bangunan yang tanpa dilatasi ( balok ) ... 118
Gambar 4.10 Potongan melintang bangunan yang tanpa dilatasi ( balok ) ... 119
Gambar 4.11 Analisa geser dari HBK kolom tengah B3A pada grid 12E elevasi 4.50 m ... 123
Gambar 4.12 Potongan bangunan yang memakai dilatasi ... 125
Gambar 4.13 Potongan bangunan yang tanpa dilatasi ... 126
Gambar 4.14 Gambar momen pada bagian dilatasi 1 ( kN m ) ... 128
Gambar 4.15 Gambar momen pada bagian tanpa dilatasi 1 ( kN m ) ... 128
Gambar 4.16 Gambar lintang pada bagian dilatasi 1 ( kN ) ... 129
Gambar 4.17 Gambar lintang pada bagian tanpa dilatasi 1 ( kN ) ... 129
Gambar 4.18 Gambar normal pada bagian dilatasi 1 ( kN ) ... 130
Gambar 4.19 Gambar normal pada bagian tanpa dilatasi 1 ( kN ) ... 130
Gambar 4.20 Gambar torsi pada bagian dilatasi 1 ( kN m ) ... 131
Gambar 4.21 Gambar torsi pada bagian tanpa dilatasi 1 ( kN m ) ... 131
Gambar 4.22 Gambar momen pada bagian dilatasi 2 ( kN m ) ... 133
Gambar 4.23 Gambar momen pada bagian tanpa dilatasi 2 ( kN m ) ... 133
Gambar 4.24 Gambar lintang pada bagian dilatasi 2 ( kN ) ... 134
Gambar 4.25 Gambar lintang pada bagian tanpa dilatasi 2 ( kN ) ... 134
Gambar 4.26 Gambar normal pada bagian dilatasi 2 ( kN ) ... 135
Gambar 4.28 Gambar torsi pada bagian dilatasi 2 ( kN m ) ... 136
Gambar 4.29 Gambar torsi pada bagian tanpa dilatasi 2 ( kN m ) ... 136
Gambar 4.30 Gambar momen pada bagian dilatasi 3 ( kN m ) ... 138
Gambar 4.31 Gambar momen pada bagian tanpa dilatasi 3 ( kN m ) ... 138
Gambar 4.32 Gambar lintang pada bagian dilatasi 3 ( kN ) ... 139
Gambar 4.33 Gambar lintang pada bagian tanpa dilatasi 3 ( kN ) ... 139
Gambar 4.34 Gambar normal pada bagian dilatasi 3 ( kN ) ... 140
Gambar 4.35 Gambar normal pada bagian tanpa dilatasi 3 ( kN ) ... 140
Gambar 4.36 Gambar torsi pada bagian dilatasi 3 ( kN m ) ... 141
DAFTAR NOTASI
f’c = Kuat tekan beton ( MPa )
Ec = Modulus elastis pada beton ( MPa )
Ecs = Modulus elastis pada baja ( MPa )
h = Tebal pelat (cm, mm )
ln = Panjang bentang bersih balok dalam arah melintang ( cm, mm )
β = Perbandingan antara bentang bersih dalam arah memanjang terhadap arah
melintang dari pelat dua arah
αm = Nilai rata-rata dari α
α = Rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap kekakuan lentur pelat dengan lebar yang dibatasi secara lateral oleh garis-garis sumbu tengah dari
panel-panel yang bersebelahan pada tiap sisi balok
fy = Kuat leleh baja ( MPa )
l = Panjang balok ( cm, mm )
δ = Lendutan ( cm, mm )
M = Momen ( N mm )
EI = Kekakuan lentur komponen struktur ( N mm2 )
w = Beban terbagi rata ( N/mm )
c = Koefisien lendutan
Ø = Koefisien reduksi
h = tebal total komponen struktur ( cm, mm )
d = Jarak dari serat tekan terluar ke pusat tulangan tekan ( cm, mm )
Pb = Kuat aksial nominal pada kondisi rengangan seimbang ( N )
R = Faktor reduksi gempa
s
v = Kecepatan rambat gelombang geser rata – rata ( m/det )
N = Nilai hasil Test Penetrasi Standar rata - rata
u
S = Kuat geser niralir rata – rata ( kPa ) ti = Tebal lapisan tanah ke-I (cm )
Ni = Nilai hasil test penetrasi standart ke-i
qc = Perlawanan penetrasi konus ( kg/cm2 )
µ = Nilai faktor daktalitas struktur bangunan gedung
µm = Nilai faktor daktalitas maksimum struktur bangunan gedung �� = adalah faktor reduksi gempa maksimum
f1 = Faktor tahanan lebih beban dan bahan yang terkandung dalam struktur
gedung
ed = Eksentrisitas rencana ed ( cm, mm )
e = Eksentrisitas teoritis ( cm, mm )
hi = tinggi pada lantai ke I ( cm, mm )
qc = Tahanan lekat pada sondir ( kg/cm2 )
ex = Eksentrisitas terhadap sumbu x ( cm, mm )
ey = Eksentrisitas terhadap sumbu y ( cm, mm )
ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung yang membatasi waktu getar alami
H = Tinggi stuktur ( cm, mm )
T1 = Waktu getar alami ( detik )
C = Nilai faktor respon spectrum
I = Faktor keutamaan bangunan
R = Faktor redusi gempa Wt = Berat bangunan total ( kN )
Δs = Kinerja Batas Layan ( cm, mm )
Δm = Kinerja Batas Ultimit ( cm, mm ) bw = Lebar badan balok ( cm, mm )
d = Tinggi efektif penampang ( cm, mm )
db = Diameter nominal batang tulangan ( cm, mm )
s = Spasi tulangan tranversal diukur sepanjang sumbu longitudinal komponen
struktur ( cm, mm )
s0 = Spasi maksimum tulangan tranversal ( cm, mm )
Ac = Luas inti komponen struktur tekan yang ditulangi tulangan spiral diukur
hingga diameter luar dari spiral ( mm2 )
ρs = Rasio volume tulangan spiral terhadap volume inti beton yang terkekang
oleh tulangan spiral (diukur dari sisi luar tulangan spiral)
Ash = Luas penampang total tulangan tranversal dalam rentang spasi s ( mm2 )
hc = Dimensi penampang inti kolom diukur dari sumbu ke sumbu tulangan pengekang ( cm, mm )
Ø = Diameter tulangan ( cm, mm )
qt = Jumlah hambatan lekat ( kg/cm2 )
Ux = Perpindahan arah x ( cm, mm )
Uy = Perpindahan arah y ( cm, mm )
DAFTAR GRAFIK
ΑΒSTRAK
Pada umumnya bangunan yang memiliki perbedaan panjang dengan lebar yang besar atau bentuk yang tidak beraturan seperti bentuk L, T, dan lain – lain, selalu dipakai pemisah atau dilatasi pada pertemuan bagian yang tidak beraturan.
Pada tugas akhir ini, penulis melakukan kajian tentang pengaruh dari sebuah bangunan pabrik PT. Agri First Flour Medan yang memakai dilatasi diubah menjadi bangunan yang tidak memakai dilatasi.
Dari kajian tersebut diperoleh bahwa bangunan yang tidak memakai dilatasi memiliki gaya – gaya dalam yang lebih besar terutama gaya geser, tulangan yang lebih besar terutama tulangan geser, gaya geser dasar yang lebih besar, dan memiliki drift antar tingkat yang lebih kecil, tetapi tidak memenuhi syarat dalam kondisi batas ultimit jika dibandingkan dengan bangunan yang memakai dilatasi, di mana hal tersebut diakibatkan oleh timbulnya torsi pada bangunan sebagai akibat bentuk bangunan yang tidak beraturan.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Umum
Setiap bangunan yang dibangun memiliki bentuk struktur yang
berbeda – beda disebabkan oleh keinginan dari pemilik dari bangunan tersebut.
Ada bangunan yang berbentuk L, T, ada juga bangunan yang sebagian
strukturnya lebih tinggi dibandingkan dengan strukturnya yang lain, dan bentuk
bangunan yang tidak beraturan lainnya yang banyak dijumpai dalam kehidupan
sehari – hari. Dalam perencanaan struktur untuk bangunan yang memiliki
geometri yang tidak beraturan di sarankan untuk dilakukan pemisahan
bangunan dan analisis gempa yang digunakan minimum adalah analisis respon
spektrum. Dalam tugas akhir ini penulis akan mengkaji bangunan yang
memakai dilatasi diubah menjadi bangunan yang tanpa dilatasi, kemudian akan
dilihat penyebab di dalam peraturan disarankan untuk bangunan yang tidak
beraturan dipakai dilatasi.
Seorang perencana struktur beton harus merencanakan bangunan
gedung yang kuat, mampu menahan beban rencana, ekonomis dan memiliki
ketahanan terhadap gempa yang terjadi. Di Indonesia, seorang perencana
dituntut mengikuti pedoman dalam merencanakan bangunan gedung sesuai
Standard Nasional Indonesia ( SNI ). Di mana untuk bangunan gedung dengan
struktur beton diatur dalam SNI 03 – 2847 – 2002 dan untuk perencanaan
Di negara Indonesia ada 3 jenis sistem rangka pemikul momen yang
digunakan yaitu:
1. Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa ( SRPMB ), metode ini digunakan
untuk perhitungan struktur gedung yang termasuk dalam zona gempa 1
dan 2 yaitu wilayah dengan tingkat gempa rendah.
2. Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah ( SRPMM ), metode ini
digunakan untuk perhitungan struktur gedung yang termasuk dalam zona
gempa 3 dan 4 yaitu wilayah dengan tingkat gempa sedang.
3. Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus ( SRPMK ), metode ini
digunakan untuk perhitungan struktur gedung yag termasuk dalam zona
gempa 5 dan 6 yaitu wilayah dengan tingkat gempaan tinggi atau
diaplikasikan dalam perencanaan High Rise Building.
Bangunan gedung yang akan dikaji oleh penulis dalam tugas akhir ini
adalah bangunan gedung pabrik PT.Agri First Flour Medan yang strukturnya
terbuat dari beton bertulang. Bangunan gedung tersebut terletak di kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara, di mana berdasarkan peta wilayah gempa
Indonesia bangunan gedung pabrik tersebut termasuk dalam wilayah gempa 3.
Oleh karena itu bangunan gedung pabrik tersebut direncanakan berdasarkan
Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah ( SRPMM ). Bangunan gedung
pabrik PT. Agri First Flour Medan ini terdiri dari tiga bagian yaitu bangunan
cleaning, bangunan mill, dan bangunan finishing products, di mana bangunan – bangunan tersebut dipisahkan oleh tiga buah dilatasi. Ketiga bangunan tersebut
I.2. Latar Belakang Masalah
Di dalam peraturan perencanaan, untuk bangunan yang memiliki
panjang bangunan yang terlalu panjang atau memiliki bentuk yang tidak
simetris seperti bentuk L, bentuk T, dan bentuk – bentuk lain yang tidak
beraturan akan menyebabkan distribusi massa, kekakuan, dan kekuatan yang
tidak merata, serta timbulnya momen torsi pada bangunan itu sendiri sehingga
pada bangunan yang tidak beraturan seperti ini selalu dianjurkan untuk
dilakukan dilatasi. Dalam tugas akhir ini penulis ingin mengkaji pengaruh dari
bangunan memakai dilatasi diubah menjadi bangunan yang tidak memakai
dilatasi.
I.3. Maksud dan Tujuan
Dalam tugas akhir ini penulis mempunyai maksud dan tujuan sebagai
berikut :
“ Mengkaji perbedaan bangunan yang menggunakan dilatasi dengan tanpa
dilatasi sesuai SNI 03 – 2847 -2002 dan SNI – 1726 – 2002”.
I.4. Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah yang diambil dalam penulisan tugas
akhir ini, yakni :
a. Perencanaan bangunan gedung tanpa dilatasi dilakukan dengan
b. Analisis akibat beban gempa menggunakan analisis dinamik dengan metode
respon spektrum
c. Peraturan yang digunakan mengacu pada SNI 03 – 2847 – 2002 dan SNI –
1726 – 2002
d. Peraturan pembebanan yang digunakan mengacu pada Tata Cara
Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung tahun 1983.
e. Perbedaan yang akan ditinjau adalah tulangan balok, tulangan kolom, drift
antar tingkat, dan gaya geser dasar,pada masing – masing bangunan yang
memakai dilatasi dan bangunan yang tidak memakai dilatasi, serta gaya –
gaya dalam kolom pada daerah yang diubah dari memakai dilatasi menjadi
tidak memakai dilatasi.
I.5. Metodologi Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah
mengumpulkan teori dan rumus – rumus untuk perhitungan dari buku-buku dan
peraturan yang berhubungan dengan pembahasan pada tugas akhir ini, serta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Struktur Bangunan Gedung
Setiap bangunan gedung memiliki struktur yang berbeda – beda dikarenakan
oleh beberapa faktor antara lain : fungsi bangunan yang berbeda – beda, tampilan
arsitektur yang bervariasi, dan juga lokasi yang tersedia. Dalam peraturan SNI –
1726 – 2002 disebutkan struktur gedung ada dua yaitu struktur gedung beraturan dan
struktur gedung yang tidak beraturan. Struktur gedung ditetapkan sebagai struktur
gedung beraturan, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
- Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10
tingkat atau 40 m.
- Denah struktur gedung adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun
mempunyai tonjolan, panjag tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari
ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut.
- Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun
mempunyai coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut tidak lebih dari 15%
dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut.
- Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban
lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu – sumbu
utama orthogonal denah struktur gedung secara keseluruhan.
- Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan
kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur
dari 75% dari ukuran terbesar denah struktur bagian gedung sebelah
bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih dari
2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang muka.
- Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa
adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu
tingkat, di mana kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan
lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata – rata 3
tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral
suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan
satu simpangan antar tingkat.
- Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya
setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak boleh lebih dari 150% dari
berat lantai tingkat di atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau rumah atap
tidak perlu memenuhi ketentuan ini.
- Sistem struktur gedung memiliki unsur – unsur vertical dari sistem penahan
beban lateral menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila
perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsure dalam arah
perpindahan tersebut.
- Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang
atau bukaan yang luasanya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat.
Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya
tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.
Apabila struktur gedung yang akan direncanakan tidak sesuai dengan
dikategorikan ke dalam struktur gedung tidak beraturan. Selain tidak
memenuhi syarat dari struktur gedung beraturan menurut SNI – 1726 – 2002,
suatu bangunan gedung dikategorikan juga sebagai struktur bangunan gedung
tidak beraturan apabila konfigurasi atau bentuk bangunan gedung tersebut
berbentuk L, T, dan bentuk – bentuk lain yang tidak simetris, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Denah struktur bangunan tidak simetris
Struktur bangunan gedung tidak beraturan seharusnya di desain secara
terpisah yaitu dengan melakukan dilatasi pada bangunan. Di mana dilatasi adalah
suatu garis pemisah antar dua bangunan yang memiliki massa yang berbeda dan
bentuk konfigurasi bangunan yang tidak simetris. Menurut jurnal “Pelajaran dari
gempa; Tinjauan kerusakan Bangunan akibat Pengaruh Torsional dan Soft/Weak
Story”, oleh Daniel Rumbi Teruna dan Robert Panjaitan, pengaruh tidak regular
bangunan akan menimbulkan peningkatan gaya geser pada komponen pemikul gaya
lateral seperti kolom, sehingga bila kolom tidak memiliki kekuatan yang memadai
serta tidak dikekang dengan baik akan menimbulkan kerusakan dan bahkan dapat
beraturan baik dalam arah horizontal maupun arah vertikal agar memiliki respons
yang mudah diprediksi akibat gaya gempa.
II.2 Perencanaan Struktur Beton Bertulang
Menurut buku “ Struktur Beton Bertulang “ karangan Istimawan Dipohusodo
, beton didapat dari pencampuran bahan-bahan agregat halus dan kasar yaitu pasir,
batu, batu pecah atau bahan semacam lainnya, dengan menambahkan secukupnya
bahan perekat semen, dan air sebagai bahan pembantu guna keperluan reaksi kimia
selama proses pengerasan dan perawatan beton berlangsung. Agregat halus dan
kasar, disebut sebagai bahan susun kasar campuran, merupakan komponen utama
beton. Nilai kekuatan serta daya tahan ( durability ) beton merupakan fungsi dari
banyak faktor, di antaranya adalah nilai banding campuran dan mutu bahan susun,
metode pelaksanaan pengecoran, pelaksanaan finishing, temperature, dan kondisi
perawatan pengerasannya.
Nilai kuat tekan beton relatif tinggi dibandingkan dengan kuat tariknya, dan
beton merupakan bahan yang bersifat getas. Nilai kuat tariknya hanya berkisar 9% -
15% dari kuat tekannya. Pada umumnya sebagai komponen dari sebuah struktur
bangunan, beton diperkuat dengan tulangan baja sebagai bahan yang dapat bekerja
sama dan mampu membantu kelemehan beton dalam menahan gaya tarik. Dengan
demikian terjadi sebuah pembagian tugas, di mana tulangan baja bertugas menahan
gaya tarik, sedangkan beton hanya diperhitungkan menahan gaya tekan. Komponen
struktur beton dengan kerja sama seperti itu disebut sebagai struktur beton bertulang.
Beton dan baja tulangan dapat bekerja sama dengan didasarkan pada
a. lekatan sempurna antara batang tulangan baja dengan beton yang
membungkusnya sehingga tidak terjadi penggilinciran di antara
keduanya;
b. beton yang mengelilingi tulangan baja bersifat kedap sehingga mampu
melindungi dan mencegah terjadinya karat baja;
c. angka muai kedua bahan hampir sama.
Dalam perencanaan struktur beton bertulang, hal yang harus diperhatikan
adalah perilaku komponen struktur beton bertulang pada waktu menahan berbagai
beban diantaranya adalah gaya aksial, lenturan, geser, puntiran, ataupun merupakan
gabungan dari gaya-gaya tersebut. Secara umum dapat dipahami bahwa perilaku
tersebut tergantung pada hubungan regangan-tegangan yang terjadi di dalam beton
dan juga jenis tegangan yang dapat ditahan. Karena sifat beton yang mempunyai
nilai kuat tarik yang relatif rendah, maka pada umumnya hanya diperhitungkan kuat
desak yang bekerja pada daerah tekan pada penampangnya, dan hubungan
tegangan-regangan yang timbul karena pengaruh gaya tekan tersebut digunakan sebagai bahan
pertimbangan. Menurut SNI – 03 – 2847 – 2002, Modulus elastisitas beton Ec =
4700 x f'c dan menurut SNI – 03 – 1726 – 2002, modulus elastisitas baja Ecs =
200 GPa.
Adapun struktur pendukung untuk rumah dan gedung adalah sebagai berikut :
1. Plat
Plat lantai menerima beban yang bekerja tegak lurus terhadap permukaan
plat. Berdasarkan kemampuannya untuk menyalurkan gaya akibat beban, pelat lantai
a. plat satu arah yaitu plat yang didukung pada kedua tepi sisi yang
berhadapan sehingga lenturan timbul pada arah tegak lurus terhadap arah
dukungan tepi;
b. plat dua arah yaitu plat yang didukung pada keempat sisinya yang
dibatasi oleh dua balok induk pada sisi pendeknya dan dua balok anak
pada sisi panjangnya.
Plat lantai yang dirancang adalah plat lantai dua arah yang didukung pada keempat
sisinya. Untuk memudahkan perancangan akan digunakan tabel dari grafik dan
hitungan beton bertulang berdasarkan SNI – 03 – 2847 - 2002.
Menurut SNI-03-2847-2002 ayat 11.5.3.3 , tebal pelat lantai adalah :
a) Tidak boleh kurang dari nilai
ℎ=
�� �0,8 + 1500�� �
36 + 5�(�� −0,2)
atau
ℎ=
�� �0,8 +1500�� �
36 + 9�
b) Tetapi tidak boleh lebih dari (SK SNI T-15-1991-03 ayat 3.2.5 butir 3):
ℎ=
�� �0,8 + ��
1500�
36
dimana: h = tebal pelat
ln = panjang bentang bersih balok dalam arah melintang
β = perbandingan antara bentang bersih dalam arah memanjang
αm = nilai rata-rata dari α
α = Ecb . Lb Ecs . Ls
Ecb = modulus elastis pada beton
Ecs = modulus elastis pada pelat.
Dalam segala hal tebal pelat minimum tidak boleh kurang dari nilai berikut :
• αm < 2, tebal pelat minimum 120 mm
• αm ≥ 2, tebal pelat minimum 90 mm. 2. Balok
Bentangan plat tidak dapat panjang karena ada ketebalan tertentu (termasuk
berat sendiri), karena akan menghasilkan struktur yang tidak hemat dan praktis. Oleh
karena itu banyak dikembangkan jenis sistem struktur plat yang bertujan untuk
mendapatkan bentang sepanjang mungkin. Salah satunya adalah sistem balok anak
dan balok induk serta kolom sebagai penopang struktur keseluruhan.
Analisis dan perencanaan balok yang dicetak menjadi satu kesatuan monolit
dengan pelat lantai atau atap didasarkan pada anggapan bahwa antara pelat dengan
balok terjadi interakasi saat menahan momen lentur positif yang bekerja pada balok.
Interaksi antara plat dan balok yang menjadi satu kesatuan pada penampangnya
membentuk huruf T sehingga dinamakan sebagai balok T. plat akan berlaku sebagai
lapis sayap (flens). Flens juga harus direncanakan dan diperhitungkan tersendiri
terhadap balok pendukungnya.
3. Kolom
Menurut pasal 10.8 SNI-03-2847-2002, kolom adalah salah satu komponen
suatu bentang terdekat dari lantai atau atap yang ditinjau. Sebagai bagian dari suatu
kerangka bangunan, kolom menempati posisi penting didalam sistem struktur
bangunan. Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen
struktur lain yang berhubungan dengannya atau bahkan merupakan batas runtuh total
keseluruhan bangunan.
Pada umumnya keruntuhan atau kegagalan kolom sebagai komponen tekan
tidak diawali dengan tanda peringatan yang jelas, bersifat mendadak. Oleh karena
itu, dalam merencanakan struktur kolom harus memperhitungkan secara cermat
dengan memberikan kekuatan lebih tinggi daripada komponen struktur lainnya.
Dalam prakteknya kolom tidak hanya bertugas menahan beban aksial vertikal,
definisi kolom diperluas mencakup untuk menahan kombinasi beban aksial dan
momen lentur,dengan kata lain kolom juga diperhitungkan untuk menyangga beban
aksial tekan dengan eksentrisitas tertentu.
4. Momen
Berdasarkan kondisi dilapangan serta beban yang menyebabkan terjadinya,
momen dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Momen Lentur
Beban yang bekerja pada struktur, baik yang berupa beban gravitasi,
beban hidup, beban angin, berat sendiri dari struktur tersebut maupun
beban-beban yang lain menyebabkan terjadinya lentur dan deformasi pada elemen
struktur. Lentur pada balok merupakan akibat dari regangan yang timbul
karena adanya beban. Apabila bebannya bertambah maka akan terjadi
regangan tambahan yang menyebabkan timbulnya retak lentur disepanjang
Momen merupakan beban yang berbanding lurus dengan jarak. Akibat
adanya momen, balok mengalami lenturan pada balok dan mengakibatkan
retak pada balok. Mengingat sifat beton hanya tahan terhadap gaya tekan
saja, maka diperlukan adanya tulangan baja untuk dapat menahan tegangan
tarik yang terjadi.
b. Momen Torsi (puntir)
Gaya torsi terjadi pada saat suatu komponen memikul beban gaya
sedemikian sehingga terpuntir terhadap sumbu memanjangnya. Momen
puntir ini sering menyebabkan tegangan geser yang cukup besar. Gaya torsi
cendrung terjadi pada batang yang berpenampang bukan bulat. Gaya torsi
yang timbul mengakibatkan retak tarik diagonal seperti yang diakibatkan oleh
gaya geser lentur.
Selain terjadi pada elemen struktur beton bertulang seperti pada
balok, momen putir juga terjadi pada bangunan itu sendiri. Pada balok, untuk
mengurangi resiko akibat momen torsi, diperlukan tulangan baja yang
dipasang melintang dengan arah retakan, umumnya dipasang pada arah
memanjang balok. Pada bangunan, untuk menghindari terjadinya torsi maka
harus menjaga agar pusat rotasi dan pusat massanya berhimpit dan sebaiknya
menghindari bentuk struktur bangunan yang tidak beraturan seperti yang
disebutkan dalam SNI – 03 - 1726 – 2002 pasal 4.2 dan juga menghindari
konfigurasi bangunan yang tidak beraturan seperti gambar 2.1.
5. Gaya Lintang
Gaya lintang merupakan gaya yang tegak lurus sumbu bagian konstruksi
terjadinya lenturan, balok juga menahan gaya geser. Dalam konsep beton bertulang,
apabila gaya geser yang bekerja sangat besar sehingga beton tidak mampu
menahanya, maka diperlukan tulangan tambahan untuk dapat menahan gaya yang
tejadi.
Tegangan geser dan lentur akan timbul disepanjang komponen struktur
tempat bekerjanya gaya geser dan momen lentur. Terjadinya lentur ditahan oleh
tulangan longitudinal sedangkan untuk gaya geser, ditahan oleh tulangan tambahan
berupa sengkang. Adapun mekanisme perlawanan geser sebagai berikut:
a. adanya perlawanan geser beton sebelum terjadi retak;
b. adanya gaya ikatan antar agregat;
c. timbulya aksi pasak tulangan longitudinal sebagai perlawanan terhadap
gaya transversal yang harus ditahan;
d. terjadinya perlengkungan pada balok yang relatif tinggi;
e. adanya perlawanan penulangan geser yang berupa sengkang vertikal
ataupun miring (untuk balok bertulangan geser).
6. Gaya Normal
Gaya normal merupakan gaya yang sejajar sumbu konstruksi yang ditinjau.
Pada stuktur bangunan, yang mengalami gaya normal atau aksial paling besar adalah
kolom. Pada kolom gaya aksial sangat dominan sehingga keruntuhan sangat sulit
dihindari. Apabila beban ditambah, maka retak akan terjadi diseluruh badan kolom
tersebut dan apabila bebannya terus bertambah, maka akan terjadi tekuk (buckling)
yang ditandai dengan lepas atau hancurnya selimut beton kemudian diikuti dengan
kolom diusahakan tidak terlalu panjang/tinggi dan penulangan kolom harus sangat
diperhatikan, baik tulangan memanjang maupun sengkangnya.
7. Lendutan
Komponen struktur beton bertulang yang mengalami lentur harus
direncanakan agar mempunyai kekakuan yang cukup untuk membatasi lendutan atau
deformasi apapun yang dapat memperlemah kekuatan ataupun mengurangi
kemampuan layan struktur pada beban kerja.
Besar lendutan yang terjadi dapat diatasi dengan meningkatkan inersia
tampang tersebut. Untuk konstruksi dua arah, semua lendutan yang dihitung dengan
menggunakan formula standar atau cara lain tidak boleh melebihi nilai lendutan izin
maksimum yang ditetapkan dalam tabel 2.1 yang sesuai dengan peratuan SNI
03-2847-2002.
Tabel 2.1 Lendutan izin maksimum [ BSN, SNI-03-2847, 2002 ]
Jenis komponen struktur Lendutan yang
diperhitungkan Batas Lendutan Atap datar yang tidak
menahan atau tidak disatukan dengan komponen nonstruktural
yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar
Lendutan seketika akibat
beban hidup ( L ) 180
a
l
Lantai yang tidak menahan atau tidak disatukan dengan komponen nonstruktural
yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar
Lendutan seketika akibat
beban hidup ( L ) 360
l
Konstruksi atap atau lantai yang menahan atau disatukan dengan komponen nonstruktural
yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar
Bagian dari lendutan total yang terjadi setelah pemasangan komponen nonstruktural ( jumlah dari lendutan jangka panjang,
akibat semua beban tetap 480
b
Konstruksi atap atau lantai yang menahan atau disatukan dengan komponen nonstruktural
yang mungkin tidak akan rusak oleh lendutan yang besar
yang bekerja, dan lendutan
seketika, akibat penambahan beban hidup )
c
240 d
l
a Batasan ini tidak dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan penggenangan air. Kemungkinan penggenangan air harus diperiksa dengan melakukan perhitungan lendutan, termasuk lendutan tambahan akibat adanya penggenangan air tersebut, dan mempertimbangkan pengaruh jangka panjang dari beban yang selalu bekerja, lawan lendut, toleransi konstruksi dan keandalan sistem drainase.
b Batas lendutan boleh dilampaui bila langkah pencegahan kerusakan terhadap komponen yang ditumpu atau yang disatukan telah dilakukan.
c Lendutan jangka panjang harus dihitung berdasarkan ketentuan, tetapi boleh dikurangi dengan nilai lendutan yang terjadi sebelum penambahan komponen non-struktural. Besarnya nilai lendutan ini harus ditentukan berdasarkan data teknis yang dapat diterima berkenaan dengan karakteristik hubungan waktu dan lendutan dari komponen struktur yang serupa dengan struktur yang ditinjau.
d Tetapi tidak boleh lebih besar dari toleransi yang disediakan untuk komponen non-struktur. Batasan ini boleh dilampaui bila ada lawan lendut yang disediakan sedemikian hingga lendutan total dikurangi lawan lendut tidak melebihi batas lendutan yang ada.
Rumus-rumus standar untuk untuk perhitungan lendutan diberikan dalam
buku-buku mekanika teknik. Rumus lendutan δ untuk tengah-tengah bentang sebuah balok tertumpu bebas dengan panjang l dan EI konstan, serta letak beban terpusat ditengah bentang adalah
δ= M . l² 12 EI
Untuk balok yang mendapatkan beban terbagi rata sepanjang balok, lendutan
di tengah-tengah bentang adalah
δ=5M .l²
48 EI
Sedangkan lendutan dari pelat pada umumnya dapat dihitung dengan rumus
δ=c .M .l
2
EI
atau
δ= c . w . l
4
EI
II.3 Kuat rencana
Menurut SNI – 03 – 2847 – 2002, kuat rencana suatu komponen struktur,
sambungannya dengan komponen struktur lain, dan penampanganya, sehubungan
dengan perilaku lentur, beban normal geser dan torsi harus diambil sebagai hasil kali
kuat nominal, yang dihitung berdasarkan peraturan.
Faktor reduksi kekuatan
φ
sesuai peraturan SNI – 03 – 2847 – 2002 adalahsebagai berikut :
1. Lentur, tanpa beban aksial
φ
= 0,82. Beban aksial, dan beban aksial dengan lentur
a. Aksial tarik dan aksial tekan dengan lentur,
φ
= 0,8b. Aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur
• Komponen struktur dengan tulangan spiral,
φ
= 0,7• Komponen struktur lainnya,
φ
= 0,65• Kecuali untuk nilai aksial tekan yang rencah, nilai
φ
bolehditingkatkan berdasarkan aturan berikut :
Untuk komponen struktur di mana fy tidak melampaui 400 MPa,
kurang dari 0,70, maka nilai
φ
boleh ditingkatkan secara linearmenjadi 0,80 seiring dengan berkurangnya nilai
φ
Pn dari 0,10 fc’Ag ke nol. Untuk komponen struktur beton bertulang yang lain,
nilai
φ
boleh ditingkatkan secara linear menjadi 0,80 seiringdengan berkurangnya nilai
φ
Pn dari nilai terkecil antara 0,10 fc’Ag dan Pb ke nilai nol.
3. Geser dan torsi,
φ
= 0,75Kecuali pada struktur yang bergantung pada sistem rangka pemikul momen
khusus atau sistem dinding khusus untuk menahan pengaruh gempa:
a. Faktor reduksi untuk geser pada komponen struktur penahan gempa
yang kuat geser nominalnya lebih kecil dari pada gaya geser yang
timbul sehubungan dengan pengembangan kuat lentur nominalnya,
φ
= 0,55.
b. Faktor reduksi untuk geser pada diafragma tidak boleh melebihi faktor
reduksi minimum untuk geser yang digunakan pada komponen
vertikal dari sistem pemikul beban lateral.
c. Geser pada hubungan balok – kolom perangkai yang diberi tulangan
longitudinal,
φ
= 0,80.4. Tumpuan pada beton kecuali unutk daerah pengangkuran pasca tarik,
φ
=0,65
6. Penampang lentur tanpa beban aksial pada komponen struktur pratarik di
mana panjang penanaman strand-nya kurang dari panjang penyaluran yang
ditetapkan,
φ
= 0,757. Perhitungan panjang penyaluran sesuai dengan pasal 14 tidak memerlukan
faktor reduksi
φ
8. Faktor reduksi kekuatan
φ
untuk lentur, tekan, geser, dan tumpu pada betonpolos structural ( Pasal 24 ) harus diambil sebesar 0,55
II.4 Konsep Perencanaan Bangunan Terhadap Pengaruh Gaya Gempa
II.4.1 Pemakaian gaya horizontal akibat gaya gempa
Ketika gempa bumi terjadi tanah akan bergetar dan bangunan akan
bergoyang. Setelah mengalami sejarah yang panjang, goyangan massa bangunan
kemudian dianalogikan sebagai akibat dari adanya beban horizontal dinamik yang
bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
2.2 dan gambar 2.3 di mana m = massa bangunan, W = berat bangunan, k =
kekakuan, H = gaya horizontal, dan V = gaya geser. Prinsip ini sudah diketahui
sejak awal abad ke-20 tepatnya setelah gempa San Fransisco USA (1906) dan gempa
Messina-Regio Italia (1908).
Gambar 2.2 Struktur SDOF dengan beban gempa
m
k
W
g
Gambar 2.3 Beban horizontal Ekuivalen
Pada saat itu efek beban dinamik pada struktur bangunan belum sepenuhnya
dikuasai terutama secara analitik. Suatu komisi yang terdiri para ahli yang bertugas
mempelajari perilaku bangunan gedung tahan gempa yang pada akhirnya
menghasilkan dua rekomendasi yang berbeda yaitu bangunan diisolasi terhadap
tanah dengan dukungan roll sementara rekomendasi yang lain bangunan disatukan
secara rigid dengan fondasi,yang pada akhirnya rekomendasi kedua inilah yang
diambil sebagai keputusan akhir. Efek beban dinamik terhadap bangunan kemudian
disederhanakan yaitu menjadi beban ekivalen statik yang bekerja pada massa
bangunan yang bersangkutan. Kemudian pada tahun 1909 disetujui bahwa suatu
bangunan harus didisain dengan beban horisontal paling tidak 1/12 dari berat total
bangunan. [ UII Press, Respons Dinamik Struktut Elastis, 2001 ]
II.4.2 Analisis beban ekivalen
Perkembangan beban yang berkaitan dengan gempa bumi terus mengalami
banyak perubahan, kemudian banyak gempa besar terjadi misalnya gempa El Centro
1994, gempa Taft 1952, gempa Perlu 1940, gempa Chile 1943, yang mendorong
untuk memperbaiki konsep beban horisontal akibat gempa.
m
k
W H
Beban ekivalen statik adalah suatu representasi dari beban gempa setelah
disederhanakan dan dimodifikasi, yang mana gaya inersia yang bekerja pada suatu
massa akibat gempa disederhanakan menjadi ekivalen beban statik. Jadi beban statik
ekuivalen adalah beban yang ekuivalen dengan beban gempa yang membebani
bangunan dalam batas-batas tertentu sehingga tidak terjadi overstresspada bangunan
yang bersangkutan. Sedangkan untuk tujuan pembebanan yang lebih teliti guna
memperoleh jaminan yang lebih besar, maka harus dipakai konsep beban yang lain,
misalnya dengan cara dinamik analisis. [ UII Press, Respons Dinamik Struktut
Elastis, 2001 ]
Bergetarnya bangunan akibat gempa kemudian disederhanakan seolah-olah
terdapat gaya horisontal yang bekerja pada massa bangunan. Apabila bangunan
mempunyai banyak massa maka terdapat banyak gaya horisontal yang
masing-masing bekerja pada massa-massa tersebut. Sesuai dengan prinsip keseimbangan
maka dapat dianalogikan seperti adanya gaya horisontal yang bekerja pada dasar
bangunan yang kemudian disebut Gaya Geser Dasar V. Gaya geser dasar ini secara
keseluruhan membentuk keseimbangan dengan gaya horisontal yang bekerja pada
tiap-tiap massa bangunan tersebut.
Beban geser nominal, V yang bekerja pada bangunan menurut SNI - 03 –
1726 - 2002 dapat dihitung dengan :
V =
C1 IR
W
tDimana : V = Beban geser nominal static ekivalen
C1= Nilai faktor respon spectrum
I = Faktor keutamaan bangunan
R = Faktor reduksi gempa
Dinamik karakteristik bangunan adalah massa, kekakuan, dan redaman.
Dalam konsep ekivalen statik hanya massa yang diperhitungkan, dan inilah yang
menjadi perbedaan utama antara konsep statik dan konsep dinamik. Apabila terdapat
simpangan horisontal akibat gempa maka simpangan horisontal y tersebut
seolah-olah adalah akibat dari adanya gaya horisontal H. Konsep adanya gaya horizontal H
akibat gempa kemudian menjadi lebih jelas pada stick model pada gambar 2.4
sehingga terdapat keseimbangan antara gaya geser dasar V dengan gaya horisontal H
yang bekerja pada massa.
Gambar 2.4 Gaya geser dasar
Di setiap tempat lokal maupun global biasanya mempunyai kondisi geologi,
topografi dan kondisi tanah yang berbeda. Pada tempat-tempat tersebut juga
mempunyai frekuensi kejadian, mekanisme kejadian, ukuran gempa, dan
kemungkinan daya rusak gempa yang berbeda-beda. Faktor pertama yang
mempengaruhi koefisien gempa dasar C yaitu apabila terjadi gempa, maka daerah
tersebut akan mempunyai respon dan juga resiko gempa yang berbeda pula. Faktor
yang kedua adalah berhubungan dengan kondisi tanah setempat (tanah lokal).
m
EI k
EI k
h
y
EI
M1 M2
h M1
h M2
h M1
h M2
y
Pengalaman dari beberapa kejadian gempa bumi menunjukkan bahwa kondisi tanah
local yang ditunjukkan oleh jenis, properti dan tebal lapisan tanah berpengaruh
terhadap respon tanah dan kerusakan bangunan. Jenis tanah menurut SNI
03-1726-2002 adalah tanah keras, tanah sedang, dan tanah lunak. Untuk semua daerah gempa,
ketiga jenis tanah tersebut akan berpengaruh terhadap nilai koefisien gempa dasar C.
Faktor ketiga yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C adalah periode getar T
struktur. Dengan demikian untuk memperoleh koefisien gempa dasar C umumnya
terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab yaitu dimana bangunan akan dibangun,
jenis tanah dimana bangunan akan didirikan, dan periode getar struktur.
Agar perencanaan struktur beton dapat dilakukan dengan cara yang sederhana
(analisis statis ekivalen) tanpa melakukan analisis yang rumit (analisis dinamik) dan
prilaku struktur diharapkan sangat baik bila dilanda gempa, maka tata letak struktur
sangat penting untuk diatur. Tentunya tidak ada suatu bentuk struktur yang sangat
ideal memenuhi semua syarat-syarat yang diijinkan tetapi beberapa pedoman dasar
dibawah ini dapat dipakai sebagai acuan dalam merencanakan tata letak struktur
antar lain :
1. bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana;
2. bentuk yang simetris;
3. tidak terlalu langsing baik pada denahnya maupun potongannya;
4. distribusi kekuatan sepanjang tinggi bangunan seragam dan menerus;
5. kekakuan yang cukup;
6. terbentuknya sendi plastis harus terjadi pada elemen-elemen horisontal
Indonesia merupakan zona patahan lempeng bumi, dimana lempeng tersebut
sering terjadi patahan, lipatan, yang mengakibatkan terjadinya getaran sehingga
menjadikan Indonesia daerah yang rawan gempa. Namun tidak semua daerah
Indonesia memiliki kekuatan getaran gempa yang sama. Oleh karena itu, SNI – 02 –
1726 – 2002 membagi Indonesia menjadi enam wilayah gempa yaitu mulai dari
wilayah yang gempa paling rendah hingga wilayah gempa yang paling tinggi. Peta
gempa setiap saat dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu, dalam
perkembangannya terdapat peta wilayah gempa yang dikembangkan oleh Tim Revisi
Peta Hazard Gempa dan Tim Pengembangan Peta Gerak Tanah Gempa Resiko
Tertarget untuk Indonesia. Kemudian dalam menentukan grafik respon spectra, peta
tersebut kemudian dikembangkan oleh Wayan Sengara, Andri Mulia, Masyhur
Irsyam, M. Asrurifak, dan Kelompok Keahlian Geoteknik - Fakultas Teknik Sipil
dan Lingkungan dan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana) Institut Teknologi Bandung
Gambar 2.5 Peta wilayah gempa berdasarkan program Spektra Indo v1.0 beta
II.4.3 Kondisi tanah
Indonesia terletak pada daerah patahan aktif, akibat terjadnya patahan pada
lempeng bumi Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempa. Tiap-tiap wilayah
gempa mempunyai spektrum respons sendiri-sendiri. Dengan menggunakan software
Spektra Indo v1.0 beta, grafik respon spektrum untuk setiap wilayah Indonesia dapat
ditentukan berdasarkan koordinat wilayah masing – masing pada peta wilayah gempa
2011 yang telah dikembangkan oleh Tim Revisi Peta Hazard Gempa dan Tim
Pengembangan Peta Gerak Tanah Gempa Resiko Tertarget untuk Indonesia.
Berdasarkan SNI - 03 - 1726 - 2002 jenis tanah ditetapkan sebagai tanah
keras, tanah sedang dan tanah lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m
paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam tabel 2.2 antara lain
kecepatan rambat gelombang geser rata- rata, nilai penetrasi standar rata- rata, dan
kuat geser niralir rata - rata.
Tabel 2.2 Jenis-jenis tanah [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]
Jenis tanah Kecepatan rambat
gelombang geser
rata-rata, Vs ( m/det )
Nilai hasil Test
Penetrasi Standar
rata-rata N
Kuat geser niralir
rata-rata Su ( kPa )
Tanah keras ≥350
s
V N ≥50 Su ≥100
Tanah sedang 175≤ <350
s
V 15≤ N <50 50≤Su <100
Tanah lunak <175
s
V N <15 Su <50
Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih dari 3 m
dengan PI > 20, Wn ≥ 40% dan Su < 25 kPa
Dimana untuk menentukan N� = ∑ ti m i=1
∑ ti
Ni
�
m i=1
Dengan : ti = tebal lapisan tanah ke-i
Ni = nilai hasil test penetrasi standart ke-i
Nilai N didapat dari tes penetrasi standar. Berbeda dengan Amerika Serikat
yang menggunakan SPT (Standart Penetration Test) untuk mendapatkan nilai
perlawanan tanah, di Indonesia percobaan SPT jarang digunakan, umumnya yang
digunakan adalah alat Sondir (Dutch Penetrometer Test), karena lebih sesui dengan
kondisi tanah di Indonesia dan juga hasilnya lebih dapat dipercaya. Untuk itu,
diperlukan adanya suatu konversi dari nilai hasil sondir ke N-SPT. Menurut prof.
weasley dalam bukunya yang berjudul mekanika tanah seperti pada grafik 2.1,
dinyatakan bahwa nilai N-SPT = qc/4, dimana qc = perlawanan penetrasi konus (nilai
sondir), di mana absis pada grafik 2.1 adalah lebar pondasi ( meter ) dan ordinatnya
menyatakan tekanan yang diperbolehkan ( kg/cm2 ). Untuk nilai p = qc = 40, maka
nilai N – SPT = qc/4 = 40/4 = 10 kg/cm2
Berdasarkan SKBI-1.3.53.1987 menyebutkan bahwa untuk pemakaian
pedoman ini suatu struktur gedung harus dianggap berdiri di atas tanah bawah yang
lunak, apabila struktur gedung tersebut terletak di atas endapan-endapan tanah
dengan kedalaman-kedalaman yang melampaui nilai-nilai yang disebut dibawah ini :
a. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata
tidak lebih dari 0,5 kg/cm2 : 6 m
b. Untuk setiap tempat dimana lapisan yang menutupinya terdiri dari tanah
kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap ratarata tidak lebih dari 1
kg/cm2 atau terdiri dari tanah butiran yang sangat padat : 9 m
c. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata
tidak lebih dari 2 kg/cm2 : 12 m
d. Untuk tanah butiran terikat yang sangat padat : 20 m
Kedalaman harus diukur dari tingkat dimana tanah mulai memberikan
penjepitan lateral yang efektif kepada struktur gedung. Tanah bawah yang lebih
dangkal dari pembatasan-pembatasan di atas harus dianggap sebagai tanah keras.
Analisis beban statik ekivalen juga dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu sebagai
berikut :
1). Faktor Keutamaan Bangunan (I)
Setiap bangunan umumnya didirikan dengan maksud pemakaian tertentu.
Pada tiap-tiap jenis pemakaian, suatu bangunan harus mempunyai kemampuan
minimum untuk melindungi pemakainya. Mengingat hal tersebut, maka
pengamanan bangunan dengan cara mengurangi resiko terhadap kerusakan
bangunan merupakan sesuatu yang penting. Pengamanan bangunan tersebut
keutamaan bangunan I untuk berbagai jenis bangunan dapat dilihat pada tabel
2.3
Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
[ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]
Kategori gedung Faktor Keutamaan
1
I I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan
perkantoran 1,0 1,0 1,0
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi
1,4 1,0 1,4
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas,
produk minyak bumi, asam, bahan beracun 1,6 1,0 1,6
Cerobong, tangki di atas menara 1,5 1,0 1,5
Dalam tugas akhir ini faktor I digunakan sebesar 1,0
2). Faktor Reduksi Gempa (R)
Faktor reduksi gempa adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut
menjadi beban gempa nominal sesuai dengan faktor daktalitas yang dipilih untuk
struktur bangunan tersebut. Adapun persamaan faktor reduksi gempa sebagai
berikut:
2,2 ≤ R = µ . �1≤��
Dalam persamaan diatas, R = 2,2 adalah faktor reduksi gempa untuk bangunan gedung yang berprilaku elastik, sedangkan �� adalah faktor reduksi
gempa maksimum yang terdapat dalam tabel 2.3.
Nilai �1≈ 1,6
Dimana �1 adalah faktor tahanan lebih beban dan bahan yang terkandung dalam
bangunan gedung. Dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat dipilih
menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil melebihi nilai factor daktalitas
maksimum �� yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau
subsistem struktur bangunan gedung seperti yang dijelaskan dalam tabel 2.4
Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum, faktor
tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa jenis sistem dan
subsistem bangunan gedung. [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ]
Sistem dan subsistem
struktur gedung Uraian sistem pemikul beban gempa µm Rm F
1.Sistem dinding penumpu ( Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing )
1.Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8
2.Dinding penumpu dengan rangka baja
ringan dan bresing tarik 1,8 2,8 2,2
3.Rangka bresing di mana bresingnya memikul beban gravitasi
a. Baja 2,8 4,4 2,2
b. Beton bertulang ( tidak untuk wilayah 5 & 6 )
1,8 2,8 2,2
2.Sistem rangka gedung ( Sistem struktur yang pada dasarnya memiki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing )
1. Rangka bresing eksentris baja ( RBE ) 4,3 7,0 2,8
2.Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8
3.Rangka bresing biasa
a. Baja 3,6 5,6 2,2
b. Beton bertulang ( tidak untuk
wilayah 5 & 6 ) 3,6 5,6 2,2
4.Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja 4,1 6,4 2,2
5.Dinding geser beton bertulang
berangkai daktail 4,0 6,5 2,8
6.Dinding geser beton bertulang
kantilever daktail penuh 3,6 6,0 2,8
7.Dinding geser beton bertulang
kantilever daktail parsia 3,3 5,5 2,8
3.Sistem rangka pemikul momen ( Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban
lateral dipikul rangka
1. Rangka pemikul momen khusus ( SRPMK )
a. Baja 5,2 8,5 2,8
b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
2.Rangka pemikul momen menengah
beton ( SPRMM ) 3,3 5,5 2,8
pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur )
SPRMB )
a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4.Rangka batang baja pemikul momen
khusus ( SRBPMK ) 4,0 6,5 2,8
4.Sistem ganda ( Terdiri dari : 1) rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi; 2) pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral; 3) kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama –
sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi/sistem ganda)
1.Diding geser
a.Beton bertulang dengan SRPMK
beton bertulang 5,2 8,5 2,8
b.Beton bertulang dengan SPRMB baja 2,6 4,2 2,8 c.Beton bertulang dengan SRPMM
beton bertulang 4,0 6,5 2,8
2.RBE baja
a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
3.Rangka bresing biasa
a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
c. Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang (tidak untuk wilayah 5 & 6 )
4,0 6,5 2,8
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang (tidak untuk wilayah 5 & 6 )
2,6 4,2 2,8
4.Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
5.Sistem struktur gedung kolom kantilever ( Sistem
struktur yang memanfaatkan kolom
kantilever untuk memikul beban lateral )
Sistem struktur kolom kantilever
1,4 2,2 2
6.Sistem interaksi dinding geser dengan rangka
Beton bertulang biasa ( tidak untuk
wilayah 3,4,5 & 6 ) 3,4 5,5 2,8
7.Subsistem tunggal ( Subsistem struktur bidang yang membentuk struktur
gedung secara keseluruhan )
1.Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
2.Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
3.Rangka terbuka beton bertulang dengan balok beton pratekan ( bergantung pada indeks baja total )
3,3 5,5 2,8
4.Dinding geser beton bertulang
berangka daktail penuh ) 4,0 6,5 2,8
5.Dinding geser beton bertulang
kantilever daktail parsial 3,3 5,5 2,8
Dalam tugas akhir ini struktur bangunan termasuk dalam sistem rangka pemikul
momen menengah yaitu pada bagian 3.2 pada tabel 2.4 sehingga Rm yang dipakai
II.4.4 Analisis gempa secara dinamik
Untuk gedung yang bentuk konfigurasi bangunannya tidak simetris dan yang
tidak memenuhi syarat struktur gedung beraturan menurut SNI 03 – 1726 - 2002 ,
maka perencanaan gaya gempanya harus dilakukan secara analisis dinamik. Analis
dinamik ada dua jenis yaitu :
1. Analisis Ragam Spektrum respons
Metode analisis ini merupakan penyederhanaan dari analisis respon
dinamik waktu, di mana kita menggunakan spectrum respons gempa rencana
sebagai dasar untuk menentukan responsnya. Dalam hal ini, analisis respons
spektrum hanya dipakai unutk menentukan gaya geser tingkat nominal
dinamik akibat pengaruh gempa rencana. Gaya-gaya internal dalam unsur
struktur gedung didapat dari analisis 3 dimensi biasa berdasarkan
beban-beban gempa statik ekuivalen.
2. Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu
Dalam analisis ini, faktor I adalah untuk memperhitungkan kategori
gedung yang ada, sedangkan faktor R adalah untuk menjadikan pembebanan
gempa tersebut menjadi pembebanan gempa nominal. Yang lebih ditekankan
pada percepatan tanah yang disimulasikan sebagai gerakan gempa.
II.4.5 Eksentrisitas rencana
Pusat massa lantai tingkat suatu struktur merupakan titik tangkap resultan
beban-beban yang bekerja pada lantai tingkat struktur tesebut. Pusat rotasi lantai
tingkat suatu struktur adalah suatu titik pada lantai tingkat tersebut yang bila terjadi
Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu
eksentrisitas rencana ed. apabila ukuran horizontal terbesar denah struktur gedung
pada lantai tingkat itu diukur tegak lurus arah pembebanan gempa, dinyatakan
dengan b, maka eksentrisitas rencana ed harus ditentukan sebagai berikut :
1. Untuk 0 < e ≤ 0,3 b
ed = 1,5 e + 0,005 b
atau
ed = e – 0,05 b
dan pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk
unsure subsistem struktur gedung yang ditinjau.
2. Untuk e > 0,3 b
ed = 1,33 e + 0,1 b
atau
ed = 1,17 e – 0,1 b
serta pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur
subsistem struktur gedung yang ditinjau.
II.4.6 Pembatasan penyimpangan lateral
Menurut SNI 03 1726 – 2002 pasal 8, simpangan antar tingkat pengaruh
gempa nominal dibedakan menjadi dua macam yaitu :
- Kinerja Batas Layan ( KBL ) struktur gedung yang besarnya dibatasi
hi R
03 , 0
≤ atau ≤ 30 mm. Pembatasan ini bertujuan unutk mencegah
terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan di samping
- Kinerja Batas Ultimit ( KBU ) struktur gedung akibat gempa rencana untuk
struktur gedung beraturan dibatasi sebesar ≤0,7 R x ( KBL ) atau ≤ 0,02 hi. ,
sedangkan untuk struktur gedung tidak beraturan dibatasi sebesar ≤0,7 R x (
KBL ) dibagi faktor skala atau ≤ 0,02 hi, di mana faktor skala = 0.8 Vek/Vs
.Pembatasan ini bertujuan untuk membatasi kemungkinan terjadi keruntuhan
struktur yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah
benturan berbahaya antar gedung.
II.5 Konsep Strong Column Weak Beam
Dalam perencanaan struktur beban di daerah gempa perencanaan Limit States designnya disebut capacity design yang berarti bahwa ragam keruntuhan struktur akibat beban gempa yang besar ditentukan lebih dahulu dengan elemen-elemen
kritisnya dipilih sedemikian rupa agar mekanisme keruntuhannnya dapat
memencarkan energi yang sebesar-besarnya.
Agar elemen-elemen kritis dapat dijamin pembentukannya secara sempurna
maka elemen-elemen lainnya harus direncanakan khusus, agar lebih kuat
dibandingkan elemen-elemen kritis. Salah satu filsafat yang dikenal dalam
perencanaan capacity disebut Strong Column Weak Beam atau kolom kuat balok lem