• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih ( R(/ I Ius non-cgicus) Pasca Pem berian Aromaterapi Min yak A tsiri Jahe (Zingihcr o!Jicinole)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih ( R(/ I Ius non-cgicus) Pasca Pem berian Aromaterapi Min yak A tsiri Jahe (Zingihcr o!Jicinole)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN HISTOPATOLOGI SINUS HIDUNG DAN

PARU-PARU TIKUS PUTIH (

Rattus

norvegicus

) PASCA PEMBERIAN

AROMATERAPI MINYAK ATSIRI JAHE (

Zingiber officinale)

RISNA ANGGRAENI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pasca Pemberian Aromaterapi Minyak Atsiri Jahe (Zingiber officinale) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Risna Anggraeni

(4)

ABSTRAK

RISNA ANGGRAENI. Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih (Rattus norvegicus) Pasca Pemberian Aromaterapi Minyak Atsiri Jahe (Zingiber officinale). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan SITI SA’DIAH.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi minyak atsiri jahe (Zingiber officinale) terhadap gambaran histopatologi sinus hidung dan paru-paru tikus putih (Rattus norvegicus). Enam ekor tikus dengan asumsi sehat sistem pernafasannya dibagi menjadi dua kelompok, kelompok perlakuan (P) diberi inhalasi minyak atsiri jahe selama lima minggu, sedangkan kelompok kontrol (K) tidak diberi apa-apa. Secara umum, sinus hidung tikus kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami sinusitis suppuratif akut dan paru-parunya mengalami pneumonia interstisialis. Berdasarkan perubahan histopatologi dapat disimpulkan bahwa minyak atsiri jahe tidak memperbaiki kerusakan pada rongga sinus hidung maupun paru-paru tikus.

Kata kunci: aromaterapi, minyak atsiri jahe, paru-paru, sinus hidung, tikus

ABSTRACT

(Rattus norvegicus) histopathology. Six rats were assumed has healthy respiratory tracts divided into two groups. The treatment group were treated by ginger essential oil via inhalation for 5 weeks where the control group were not. The histopathological study of rat nasal sinuses showed acute suppurative sinusitis and those lungs showed interstitial pneumonia. Based on histopathological changes, can be concluded that the ginger essential oil does not repair any damage on rat nasal sinuses and lungs.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

GAMBARAN HISTOPATOLOGI SINUS HIDUNG DAN

PARU-PARU TIKUS PUTIH (

Rattus

norvegicus

) PASCA PEMBERIAN

AROMATERAPI MINYAK ATSIRI JAHE (

Zingiber officinale

)

RISNA ANGGRAENI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Yc!��JI Skripsi : Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru Tikus Putih ( R(/ I Ius non-cgicus) Pasca Pem berian Aromaterapi Min yak A tsiri

Jahe (Zingihcr oJicinole)

\nma : Risna Anggraeni

\ :\11 : 804090 l 8 5

'

Disetujui oleh

Dr Drh Eva APVet

Pembimbing l

03 JUL 2015

Tanggal Lulus:

__ ,

MSi

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini adalah Gambaran Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru TikusPutih(Rattusnorvegicus) Pasca Pemberian Aromaterapi Minyak Atsiri Jahe (Zingiber officinale).

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda, Ibunda, kedua kakak tersayang Aries Wiratama dan Rizki Stiabudie, dan seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr Drh Eva Harlina, MSi, APVet dan Ibu Siti Sa’diah, SSi Apt MSi selaku dosen pembimbing yang selalu bersabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Pusat Studi Biofarmaka yang telah mendukung penelitian ini. Penulis berterima kasih kepada Bapak Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP, Msi, dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menjalani studi. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak Kasnadi dan Bapak Sholeh, staf penunjang di Bagian Patologi FKH IPB yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Keluarga besar Geochelone FKH 46, Himpro HKSA, IMAKAHI, dan teman-teman BEM TPB 2009 atas segala kerja sama dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis terbuka menerima saran yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Bahan dan Alat 3

Rancangan Percobaan 3

Dekalsifikasi Organ Sinus Hidung 4

Pembuatan Preparat Histopatologi Sinus Hidung dan Paru-paru 4

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin 4

Evaluasi Histopatologi 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

SIMPULAN 12

DAFTAR PUSTAKA 13

(11)

DAFTAR TABEL

1 Sinusitis akut dan bronkhopneumonia pada tikus yang diberi inhalasi

minyak atsiri jahe selama lima minggu 5

DAFTAR GAMBAR

1 Rongga sinus paranasal kelompok kontrol (K). Silia dan epitel mukosa utuh, lamina propria bersih, tidak diinfiltrasi sel radang 7 2 Sinusitis suppuratif (++) pada rongga sinus paranasal tikus kontrol (K).

Mukosa dan rongga sinus dipenuhi sel radang neutrofil 7 3 Sinusitis suppuratif berat (+++) pada sinus paranasal tikus kontrol (K).

Mukosa edema, akumulasi neutrofil, deskuamasi epitel mukosa dan

akumulasi neutrofil di lumen sinus 8

4 Sinusitis suppuratif berat (+++) pada sinus paranasal tikus kelompok perlakuan (P). Mukosa edema, deskuamasi epitel mukosa dan

akumulasi neutrofil di lumen sinus 8

5 Pneumonia interstisialis pada paru-paru kontrol. Dinding alveol menebal, lumen alveol menyempit, dan ditemukan fokus-fokus yang

berisi sel-sel limfosit 10

6 Pneumonia interstisialis pada paru-paru perlakuan. Dinding alveol menebal, akumulasi eksudat di bronkhioulus, dan emfisema 11 7 Peningkatan jumlah folikel limfoid (BALT) paru-paru kelompok

kontrol dan hiperplasi epitel bronkhus 11

8 Peningkatan jumlah folikel limfoid (BALT) paru-paru kelompok perlakuan, deskuamasi epitel bronkhus yang bersatu dengan eksudat

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini masyarakat cenderung untuk kembali menggunakan obat tradisional atau obat herbal dalam memelihara kesehatan tubuh. Kecenderungan ini didasari bahwa obat tradisional memiliki bahan yang aman digunakan dan mudah didapat. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sudah lama mengenal dan menggunakan obat tradisional. Persentase penduduk Indonesia yang menggunakan obat tradisional untuk pengobatan dalam kurun waktu 2009-2013, rata-rata sekitar 24,82% (BPS 2014).

Berdasarkan berbagai hasil penelitian ilmiah, sebagian besar obat herbal mengandung dua komponen penting, yaitu imunomodulator dan antioksidan (Sampurno 2011). Komponen imunomodulator bermanfaat untuk menjaga kesehatan tubuh karena dapat mempertahankan imunitas agar berfungsi dengan baik sehingga tubuh tidak mudah sakit. Antioksidan bermanfaat mencegah atau menghambat kerusakan sel terutama melalui pembentukan radikal bebas (Lobo et al. 2010).

Jahe (Zingiber officinale) sudah dikenal sejak lama di Indonesia dan sejauh ini penggunaannya lebih banyak sebagai bahan baku obat herbal. Tanaman jahe memiliki rimpang (umbi) yang mengandung komponen bioaktif meliputi minyak atsiri, oleoresin, dan gingerol. Oleoresin jahe memberikan rasa hangat, sedangkan minyak atsirinya (volatile oil) memberikan rasa hangat dan aromaterapi yang menyegarkan. Gingerol jahe merupakan senyawa aktif yang dapat menurunkan kolesterol (Witantri et al. 2013). Secara tradisional, jahe memiliki kegunaan menyembuhkan beberapa penyakit seperti rematik, sakit gigi, malaria, flu, batuk, penyakit yang disebabkan infeksi, dan lain-lain. Minyak jahe bersifat analgesik, antioksidan, antiseptik, stimulan, dan anti bakteri, serta banyak dipakai dalam aromaterapi (Ma’mun dan Suhirman 2009).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian minyak atsiri jahe secara perinhalasi selama 5 minggu berturut-turut pada tikus putih mampu menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, dan LDL, serta mampu meningkatkan kadar kolesterol HDL (Cahyaji 2012). Hingga saat ini belum diketahui aspek keamanan dan dampak pemberian minyak atsiri jahe tersebut terhadap sistem pernafasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi minyak atsiri jahe terhadap organ sistem pernafasan melalui gambaran histopatologi sinus hidung dan paru-paru tikus putih.

Tujuan Penelitian

(14)

2

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mengetahui potensi minyak atsiri jahe (Zingiber officinale) terhadap sinus hidung dan paru-paru tikus putih (Rattus norvegicus) sehingga masyarakat dapat mengaplikasikannya sebagai bahan baku aromaterapi baik pada manusia maupun hewan.

TINJAUAN PUSTAKA

Aromaterapi dan Minyak Atsiri

Aromaterapi merupakan tindakan terapeutik menggunakan minyak essensial yang bermanfaat untuk meningkatkan keadaan fisik dan psikologi seseorang sehingga menjadi lebih baik (Santi 2013). Aromaterapi dilakukan dengan menghirup uap dari tetesan minyak tumbuh-tumbuhan yang dipanaskan (Anna 2012). Menurut Daniel (2000), aroma yang dihasilkan oleh tanaman yang memiliki potensi sebagai obat dapat diaplikasikan dengan cara menghirupnya, kemudian efeknya akan mempengaruhi sistem saraf pusat. Setiap aroma minyak tumbuhan memiliki khasiat masing-masing (Anna 2012) dan setiap minyak essensial memiliki efek farmakologis yang unik, seperti antibakteri, antivirus, diuretik, vasodilatator, penenang, dan perangsang adrenal (Santi 2013).

Minyak atsiri atau minyak esensial yang digunakan dalam aromaterapi adalah ekstrak tanaman yang memiliki bau yang khas dan sifatnya mudah menguap sehingga mudah dihirup (Daniel 2000). Minyak ini diperoleh dari hasil ekstraksi batang, daun, bunga, kulit buah, kulit kayu, biji, atau tangkai tumbuhan yang dapat menghasilkan unsur aroma tertentu (Primadiati 2002). Minyak atsiri merupakan hasil proses metabolisme tumbuhan yang memberikan aroma pada tumbuhan tersebut (Rusli 2010), bahan yang sangat mudah menguap sehingga disebut volatile oil (Primadiati 2002), dan umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air (Ketaren 2006).

Minyak Atsiri Jahe

Senyawa kimia jahe terdiri atas minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap (non-volatile oil), dan pati. Kandungan minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu komponen yang memberikan rasa pahit dan pedas (Tim Lentera 2004). Komponen utama dari minyak atsiri jahe adalah camphene, p-cineole,α-terpineol, zingiberen, dan asam pentadekanoik. Kandungan volatile dan

non-volatile memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi atau sifat penghambatan yang baik terhadap radikal bebas (El-Ghorab et al. 2010).

(15)

3 Minyak atsiri jahe merupakan senyawa yang memberikan aroma yang khas pada jahe, umumnya berwarna kuning pucat dengan konsentrasi 1-4% tergantung pada varietasnya (El-Ghorab et al. 2010). Besarnya kandungan minyak atsiri dipengaruhi oleh umur tanaman. Artinya, semakin tua umur jahe maka semakin tinggi kandungan minyak atsirinya. Namun selama dan sesudah pembungaan, persentase kandungan minyak atsiri berkurang sehingga dianjurkan tidak melakukan pemanenan pada saat tersebut (Tim Lentera 2004).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan September-November 2013. Perlakuan aplikasi minyak atsiri jahe pada tikus dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB (PSB-LPPM IPB) (Cahyaji 2012), sedangkan pembuatan preparat histopatologi dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, FKH IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu enam buah organ sinus hidung dan paru-paru tikus putih dewasa (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley, Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, asam nitrat 5%, litium, alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%, alkohol absolut), xylol, paraffin, akuades, pewarna jaringan Hematoksilin-Eosin, dan minyak atsiri jahe 1% (b/v) yang diperoleh dari PSB-LPPM IPB.

Alat yang digunakan yaitu seperangkat alat nekropsi, tissue cassette,

automatictissueprocessor, tissue embedding console, mikrotom, kaca objek, kaca penutup, mikroskop cahaya, dan Webcam digital eyepiece camera.

Metode Penelitian

RancanganPercobaan (Cahyaji 2012)

(16)

4

DekalsifikasiOrganSinus Hidung

Dekalsifikasi yaitu perendaman jaringan tulang dalam larutan dekalsifikasi yang berfungsi untuk menghilangkan garam-garam kalsium sehingga tulang menjadi lunak dan mudah dipotong (Muntiha 2001). Jaringan tulang hidung direndam dalam larutan asam nitrat 5% selama 48 jam, kemudian dilanjutkan perendaman dalam larutan litium selama 48 jam. Setelah jaringan tulang menjadi lunak, siap dipotong untuk dibuat sediaan histopatologi.

PembuatanPreparatHistopatologiSinus Hidung danParu-paru

Sinus hidung dan paru-paru tikus difiksasi dalam larutan BNF 10% selama 48 jam. Kemudian jaringan dipotong-potong, dimasukkan ke dalam tissue cassete, selanjutnya didehidrasi dengan alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%, alkohol absolut), dijernihkan dengan xylol, dan diinfiltrasi parafin cair suhu 56 °C selama 30 menit. Selanjutnya yaitu embedding, penanaman jaringan ke dalam cetakan yang berisi parafin cair. Setelah mengeras, parafin disimpan dalam refrigerator

suhu 4-6 °C beberapa saat, dipotong dengan mikrotom setebal 4-5 µm, kemudian hasil potongan dimasukkan ke dalam air hangat suhu 45 °C untuk menghilangkan lipatan-lipatan potongan. Selanjutnya sediaan diletakkan di atas kaca objek, kemudian dikeringkan dalam inkubator suhu 60 °C dan siap diwarnai.

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin

Sebelum diwarnai, sediaan dideparafinasi menggunakan xylol I dan II masing-masing selama 2 menit, direhidrasi dengan alkohol absolut, 96%, dan 80% masing-masing selama 2 menit, dan dicuci dengan air mengalir. Kemudian sediaan dimasukkan ke dalam larutan pewarna Mayer’s Hematoksilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dimasukkan ke dalam larutan litium karbonat selama 15-30 detik dan kembali dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya, sediaan diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2-3 menit, dibilas dengan air mengalir, dicelupkan ke dalam larutan alkohol 90% sebanyak 10 kali, alkohol absolut I sebanyak 10 kali, alkohol absolut II selama 2 menit, serta xylol I dan xylol II masing-masing selama 1 menit. Terakhir, sediaan dikeringkan, diberi perekat permount kemudian ditutup dengan kaca penutup dan siap diamati di bawah mikroskop jika sudah mengering.

Evaluasi Histopatologi

(17)

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian Cahyaji (2012), tikus mendatangi sumber air minum dan sengaja mendatangi sumber minyak atsiri sebanyak 36 kali dalam waktu 4 jam pengamatan. Aroma minyak atsiri jahe menjadi sumber ketertarikan tikus yang ditandai dengan mendekati dan mencium sumber minyak atsiri tersebut.

Hasil pengamatan histopatologi organ sinus dan paru-paru tikus ditemukan kelainan berupa radang sinus akut (sinusitis suppuratif) dan radang paru-paru kronis berupa bronkhopneumonia. Hasil evaluasi histologi organ sinus dan paru-paru tikus penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Sinusitis suppuratif dan bronkhopneumonia pada tikus yang diberi inhalasi minyak atsiri jahe selama lima minggu

Kelompok Sinusitis akut Bronkhopneumonia

Keterangan: +: ringan; ++: sedang; +++: berat

Sinus hidung tikus kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami peradangan akut dengan tingkatan ringan hingga berat. Peradangan ringan ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang neutrofil sedikit dan deskuamasi epitel hingga peradangan berat yang ditandai dengan penebalan mukosa karena edema, infiltrasi sel radang neutrofil yang sangat banyak pada mukosa hingga ke lumen sinus, serta deskuamasi epitel hebat. Peradangan pada salah satu rongga sinus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan disajikan pada Gambar 2, 3, dan 4. Pada Gambar 3 tampak akumulasi neutrofil tidak hanya pada lamina propria mukosa namun juga memenuhi lumen sinus. Selain banyaknya sel radang neutrofil, ditemukan juga hiperemi dan penebalan mukosa akibat adanya edema.

Seperti diketahui neutrofil bersifat proteolitik (Eggers et al. 2004). Banyaknya infiltrasi neutrofil pada jaringan menyebabkan jaringan tersebut rusak sehingga neutrofil dapat keluar menuju lumen rongga sinus. Menurut Tate et al.

(2008), meskipun sel radang neutrofil dianggap sebagai sel efektor utama terhadap infeksi bakteri, neutrofil juga merupakan komponen respon peradangan utama yang disebabkan oleh infeksi virus.

(18)

6

Sinusitis juga sering terjadi karena infeksi pada lokasi lain dari saluran pernafasan karena sinus paranasal berdekatan dan berhubungan dengan saluran pernafasan bagian atas.

Sinusitis terjadi apabila bakteri, virus, atau reaksi alergi berkembang di dalam rongga sinus sehingga menyebabkan infeksi (Fried 2013). Menurut

Committee on Infectious Disease of Mice and Rats (1991), terdapat 14 agen penyakit yang sering menginfeksi saluran pernafasan tikus, yaitu cilia associated respiratory (CAR bacillus), Streptococcus pneumoniae, Corynebacterium kutscheri, RAT coronavirus, sialodacryoadenitis virus (coronavirus), pneumonia virus of mice, Klebsiella pneumonia, Mycoplasma collis, Pasteurella pneumotropica, Bordetella bronchiseptica, adenovirus, dan diantaranya yang terpenting adalah bakteri Mycoplasma pulmonis dan virus Sendai. Lingkungan kandang yang kurang baik atau sanitasi buruk merupakan faktor utama yang memudahkan hewan terinfeksi agen-agen penyakit tersebut. Kadar amoniak yang tinggi dari litter dapat merusak silia saluran pernafasan atas. Rusaknya silia epitel mukosa mengakibatkan agen penyakit mudah melekat, tumbuh dan berkembang biak di saluan pernafasan atas. Menurut Fried (2013), sinusitis dibagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu akut (berlangsung selama kurang dari 30 hari), sub akut (berlangsung selama 30 sampai 90 hari), dan kronis (berlangsung selama lebih dari 90 hari).

Hasil pengamatan histopatologi sinus hidung kelompok perlakuan yang diberi aromaterapi minyak atsiri jahe selama lima minggu disajikan pada Tabel 1. Pada mukosa dan lumen rongga sinus tikus P1 dan P3 tidak ditemukan tanda-tanda peradangan. Epitel silindris sebaris bersilia utuh dan tidak ditemukan infiltrasi sel radang di lamina propria mukosa sinus maupun di rongga sinus.

(19)

7

Gambar 2 Sinusitis suppuratif (++) pada rongga sinus paranasal tikus kontrol (K). Mukosa dan rongga sinus dipenuhi sel radang neutrofil (panah). Pewarnaan HE, bar: 50 µ m

(20)

8

Gambar 3 Sinusitis suppuratif berat (+++) pada sinus paranasal tikus kontrol (K). Mukosa edema, akumulasi neutrofil, deskuamasi epitel mukosa (panah merah) dan akumulasi neutrofil di lumen sinus (panah hitam). Pewarnaan HE, bar: 50 µm

(21)

9 Paru-paru sebagai organ yang berhubungan dengan dunia luar sangat mudah terpapar agen infeksius atau non-infeksius melalui rute aerogenous. Permukaan respirasi paru-paru selalu berkontak terus-menerus dengan udara di sekitarnya sehingga mudah terancam serangan mikroorganisme, debu, dan partikel-partikel yang terhirup. Selain itu, paru-paru juga merupakan organ dengan pembuluh darah kapiler terbanyak sehingga mudah terserang agen infeksius atau non-infeksius yang menyebar secara hematogenous (Aughey dan Frye 2001). Agen infeksius atau non-infeksius yang telah sampai ke alveol tidak dapat disingkirkan oleh pergerakan silia, namun sebagai gantinya disingkirkan oleh sel makrofag alveolar, yang secara aktif memfagosit benda benda halus dan mikroorganisme yang masuk dari rongga hidung maupun melalui jalur hematogen. Menurut Geneser (1994), dinding alveoli terdiri atas selapis jaringan ikat yang pada kedua sisinya menghadap ke ruang alveolus berisi udara dan dibatasi oleh epitel. Jaringan ikat ini berisi fibroblas, makrofag, sel mast, limfosit, dan sel plasma.

Hasil pengamatan histopatologi organ paru-paru tikus kelompok kontrol dan perlakuan semua mengalami pneumonia interstisialis. Pneumonia interstisialis merupakan peradangan yang terjadi pada bagian interstisial alveol yang meliputi jaringan interstisial dan parenkim alveolar. Penebalan jaringan interstisial paru-paru tersebut terjadi karena proliferasi sel pneumosit tipe II, makrofag, dan infiltrasi sel limfosit (Widodo et al. 2007). Infiltrasi sel radang limfosit pada intertisial paru-paru disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya infeksi kronis oleh agen infeksius, neoplasia, dan kondisi stress (Cheville 1999). Peradangan paru-paru dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, fungi, benda asing, dan bahan toksik. Virus penyebab pneumonia pada tikus diantaranya coronavirus dan famili paramyxoviridae, termasuk parainfluenza 1 (Booth 2007). Transmisi virus melalui aerosol dan kontak paparan pada saluran pernafasan. Infeksi intranasal mengakibatkan rhinitis ringan dan pneumonia interstisialis (Baker 1998). Selain penebalan interstisium, terdapat fokus-fokus limfosit dan eksudat di lumen bronkhiolus (Gambar 5 dan Gambar 6). Hampir seluruh lumen alveoli paru-paru tikus kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami penyempitan. Selain penyempitan, ditemukan juga emfisema pada paru-paru tikus. Emfisema adalah perluasan rongga udara yang disertai dengan kerusakan dinding alveolar (Mc Gavin dan Zachary 2007). Pneumonia dapat memicu terjadinya emfisema dan atelektasis (Lutfiyya et al. 2006).

(22)

10

bronkhitis. Deskuamasi epitel bronkhus ditemukan di dalam lumen yang bercampur dengan eksudat dan sel radang limfosit. Pada kelompok kontrol ditemukan perubahan histopatologi berupa hiperplasia epitel bronkhus yang merupakan salah satu ciri respon peradangan (Gambar 7). Pada kelompok perlakuan, ditemukan perubahan histopatologi berupa deskuamasi epitel bronkhus dan akumulasi sel radang pada bagian lumennya (Gambar 8). Menurut Chauhan (2002), bronkhitis ditandai dengan adanya eksudat disertai infiltrasi sel radang dalam lumen bronkhus, hiperplasia dan/atau nekrosis epitel bronkhial, dan akumulasi sel mononuklear pada mukosa bronkhial dan area peribronkhial. Berdasarkan perubahan histopatologi dapat disebutkan bahwa paru-paru tikus mengalami bronkhopneumonia. Menurut Chauhan (2002), bronkhopneumonia adalah peradangan paru-paru yang melibatkan bronkhus atau bronkhiolus bersama dengan alveol.

(23)

11

Gambar 7 Peningkatan jumlah folikel limfoid (BALT) paru-paru kelompok kontrol (K) dan hiperplasi epitel bronkhus (panah). Pewarnaan HE, bar: 50 µm

(24)

12

SIMPULAN

Simpulan

Sinus hidung tikus kelompok kontrol maupun perlakuan mengalami sinusitis suppuratif akut dan paru-paru tikus semua kelompok mengalami bronkhopneumonia dengan BALT yang sangat aktif. Pemberian minyak atsiri jahe tidak memperbaiki peradangan pada sinus hidung dan paru-paru, disebabkan sinus hingga ke rongga hidung dipenuhi oleh eksudat sehingga menghambat inspirasi minyak atsiri jahe. BALT yang sangat aktif mengindikasikan paru-paru terstimulasi oleh suatu antigen/bahan toksik yang memicu peradangan kronis.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan hewan coba yang benar-benar sehat sistem pernafasannya.

2. Perlu dilakukan percobaan dengan menggunakan minyak atsiri jahe dengan konsentrasi yang lebih tinggi.

3. Perlu dilakukan percobaan menggunakan chamber yang tertutup sehingga tikus dan aromaterapi benar-benar berkontak dengan satuan waktu tertentu.

(25)

13

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Persentase Penduduk yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Penggunaan Obat menurut Provinsi dan Jenis Kelamin 2009-2013. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. [Committee on Infectious Disease of Mice and Rats]. 1991. Infectious Disease of

Mice and Rats. Washington DC (NY): National Academy Pr.

Aughey E, Frye FL. 2001. Comparative Veterinary Histology: with Clinical Correlates. London (GB): Manson Publishing. hlm 247.

Baker DG. 1998. Natural pathogens of laboratory mice, rats, and rabbits and their effects on research. Clin Microbiol Rev. 11(2):231.

Booth CJ. 2007. Pneumonia [internet]. [diunduh 2014 Agustus 13]. Tersedia pada: http://www.afrma.org/med_pneum.htm.

Cahyaji AA. 2012. Pengaruh aromaterapi minyak atsiri jahe terhadap kadar trigliserida dan kolesterol darah tikus yang diberi pakan tinggi lemak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Chauhan RS. 2002. Illustrated Veterinary Pathology (General & Systemic Pathology). India (IN): International Book Distributing Company.

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Iowa (US): Iowa State University Pr. (2):101-154.

Eggers CT, Murray IA, Delmar VA, Day AG, Craik CS. 2004. The periplasmic serine protease inhibitor ecotin protects bacteria against neutrophil elastase.

Biochem J. 379: 107-118.

Fried MP. 2013. Sinusitis: nose and paranasal disorders [internet]. [diunduh 2014 Mei 15]. Tersedia pada: http://www.merckmanuals.com/professional/ ear_nose_and_throat_disorders/nose_and_paranasal_sinus_disorders/sinusit is.html.

Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi. Gunawijaya FA, penerjemah. Jakarta (ID): Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Textbook of Histology.

Lobo V, Patil A, Phatak A, Chandra N. 2010. Free radicals, antioxidants and functional foods: Impact on human health. Pharmacogn Rev. 4(8): 118-126. Liu C, Dasaraju PV. 1996. Medical Microbiology. 4th Ed. Galveston (TX): The

University of Texas Medical Branch.

Lutfiyya MN, Henley E, Chang LF. 2006. Diagnosis and treatment of community acquired pneumonia. Am Fam Physician. 73(3):442-450.

Ma’mun, Suhirman S. 2009. Karakteristik minyak atsiri potensial [internet]. [diunduh 2013 Okt 31]. Tersedia pada: http://www.litbang.deptan.go.id/ berita/one/776/.

Mc Gavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basic of Veterinary Disease. Missouri (US): Mosby Elsevier.

Moreno JR, Hartson L, Navvaro C, Selman M, Troy DR. 2006. Inducible bronchus associated lymphoid tissue in patients with pulmonary complications of rheumatoid arthritis. J Clin Invest. 116:3183-3194.

(26)

14

Sampurno. 2011. Obat herbal dalam prespektif medik dan bisnis [internet]. [diunduh 2013 Okt 31]. Tersedia pada: http://mot.farmasi.ugm.ac.id/artikel-53-obat-herbal---dalam-prespektif-medik-dan-bisnis.html.

Tate MD, Brooks AG, Reading PC. 2008. The role of neutrophils in the upper and lower respiratory tract during influenza virus infection of mice. Respir Res. 9(1):57.

Widodo E et al. 2007. Effect of clove cigarette exposure on white rat : special emphasis on the histopathology of respiratory tract. Med J Indones. 16(4): 212-218).

(27)

15

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Oktober 1991 di Makassar, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Sunaryo dan Ibu Rosnayati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 3 Cibinong pada tahun 2003, pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2006 di SMPN 1 Cibinong, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2009 di SMAN 1 Cirebon. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN).

Gambar

Tabel 1 Sinusitis suppuratif dan bronkhopneumonia pada tikus yang diberi inhalasi minyak atsiri jahe selama lima minggu
Gambar 1 Rongga sinus paranasal kelompok kontrol (K). Silia dan epitel
Gambar 4 Sinusitis suppuratif berat (+++) pada sinus paranasal tikus kelompok perlakuan (P)
Gambar 5 Pneumonia interstisialis pada paru-paru kontrol (K). Dinding alveol  menebal, lumen alveol menyempit, dan ditemukan fokus-fokus yang berisi sel-sel limfosit (panah)
+3

Referensi

Dokumen terkait