• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Fungsi Dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur Dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa Di Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Fungsi Dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur Dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa Di Medan"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA TRADISI PENGHORMATAN LELUHUR DALAM SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

SKRIPSI

Oleh

RENY SYAFRIDA

080710003

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA TRADISI PENGHORMATAN LELUHUR DALAM SISTEM KEPERCAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

SKRIPSI

Skripsi ini ditujukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu

syarat Ujian Sarjana dalam bidang ilmu Sastra Cina

Oleh:

RENY SYAFRIDA

080710003

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang fungsi dan makna penghormatan leluhur oleh masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Untuk mengkaji fungsi dan makna digunakan teori semiotik (Barthes). Untuk menganalisis fungsi penghormatan leluhur dalam konteks tersebut digunakan teori fungsionalismenya Malinowski dan Radcliffe-Brown. Metode dan teknik yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dengan berdasar kepada penelitian lapangan, wawancara, observasi, pengamatan terlibat (participant observer), dan menggunakan informan kunci yang dipandang menguasai penghormatan leluhur. Temuan saintifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: makna (a) adanya kecenderungan bergesernya nilai-nilai religius pada generasi muda saat ini serta pengetahuan kaum muda Tionghoa yang masih memelihara abu leluhur sangat kurang. Mereka sudah tidak lagi menaruh perhatian secara khusus terhadap penghormatan leluhur. Upacara-upacara penghormatan mereka lakukan tanpa mengetahui dan memahaminya secara mendalam. Fungsi (b) Secara keseluruhan upacara religi ini mempunyai fungsi sosial mengintensifikasikan dan mendorong solidaritas di antara para anggota suatu keluarga atau Klen yang mengingatkan mereka bahwa mereka sebenarnya adalah kerabat yang berasal dari leluhur yang sama.

(4)

ABSTRACT

This thesis aims to analyze of form, meaning, and function of ancestor worship in Tionghoa Medan City culture. To analyze form and meaning of ancestor worship I use semiotic theory (Barthes). Then, to analyze ancestor worship functions in context, I use functionalism theory both from Malinowski and Radcliffe-Brown. I use research method and technique qualitative, based on filed work, interview, observation, participant observer, and choose key informants who know very much about Tionghoa Ancestor worship. The scientific conclussions are: (a) meaning of the tendency shifting religious values in young people today. Knowledge of Chinese young people who still maintain ancestral ashes is less. They are no longer paying attention in particular to honor ancestors. Ceremonies of respect they do without knowing it and understand it in depth. (b) Overall the functions it has a religious ceremony intensify social functions and promote solidarity among the members of a family or clan who reminds them that they actually are relatives who came from a common ancestor.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah

Subhana Wataala atas segala limpah karunia-Nya, atas selesainya penulis

belajar secara formal di Departemen Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya

(FIB), Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Selepas itu selawat dan

salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad Shalallahu Alaihi

Wassalam, yang telah menuntun penulis dengan Islam dan iman, semoga

syafaat beliau kelak penulis dapatkan di yaumil jaza’.

Tujuan tulisan dalam bentuk skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu di departemen Sastra Cina

FIB USU Medan. Skripsi ini berjudul Kajian Fungsi dan Makna Tradisi

Penghormatan Leluhur Dalam Sistem Kepercaayaan Masyarakat Tionghoa

di Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya tercinta, yaitu Ayahanda Bapak

Syafri Darwis dan Ibunda Dahlinar (Almh). Keduanya telah bersusah payah

membesarkan, mendidik, dan menyekolahkan saya sampai jenjang yang

lebih tinggi, khususnya di tingkat strata satu ini. Semua yang ayah dan ibu

berikan tidak mampu saya balas dengan apapun. Hanya skripsi inilah yang

(6)

lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada kakak saya tersayang, Rina

Evianty Spd.M.hum yang selama ini secara penuh memberikan dukungan,

doa, semangat dan nasehat agar tidak pernah menyerah dalam penyusunan

skripsi ini.

Secara akademis, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dekan

Fakultas Ilmu Budaya, USU, yaitu Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. dan

segenap jajarannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada Ketua Departemen Sastra Cina FIB USU, Dr. T.Thyrhaya

Zein,M.A dan Sekretaris Departemen Sastra Cina FIB USU, Dra. Nur

Cahaya Bangun, M.Si.

Kepada Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D , yang

merupakan Dosen Pembimbing I yang sudah banyak membantu saya dalam

hal apapun dan lain-lainnya. Juga terima kasih kepada Chen Laoshi, yang

juga banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi Cina ini. Kepada

Bapak Drs. Fadlin, M.A , yang juga banyak membantu dalam memberikan

masukan-masukan sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada semua dosen dan jajarannya di Sastra

Cina atas segala ilmu yang telah diberikan selama ini.

Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

sahabatku yaitu: Ely ’anak Bagan jaya’ Sovita, Yoan ‘Minqing’ Silviana,

(7)

penulis semangat. Canda dan tawa yang kalian berikan merupakan

penyemangat dalam penyelesaian skripsi. Buat “Jack” yang turut serta

menemani penulis, menghantarkan kesana kemari, walau hujan, panas,

badai namun tetap setia mendampingi. Buat AR.KOST yang menjadi tempat

yang sangat teduh dan mendatangkan berbagai inspirasi dalam penulisan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu

dapat menjadi sumbangan untuk ilmu pengetahuan, khususnya dalam

bidang Sastra Cina.

Oleh sebab itu, kepada semua pihak penulis sangat mengharapkan

saran dan kritik yang bersifat membangun, demi perbaikan skripsi ini.

Medan, 30 JULI 2012

Penulis,

Reny Syafrida

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 8

1.3 Tujuan 9

1.4 Manfaat 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP , LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 11

2.1 Kajian Pustaka 11 2.1.1 Konsep 11 2.1.1.1 Penghormatan Leluhur 11 2.1.1.2 Kepercayaan 13 2.1.1.3 Masyarakat Tionghoa 13 2.1.2 Landasan Teori 16 2.1.2.1 Teori Fungsionalisme 16 2.1.2.2 Teori Semiotik 16 2.1.3 Tinjauan Pustaka 18 2.1.3.1 Penelitian Terdahulu 18 BAB III METODE PENELITIAN 20 3.1 Metode Penelitian Kualitatif 20

3.2 Teknik Pengumpulan Data 23

3.2.1 Wawancara 24

3.2.2 Observasi 24

3.2.3 Studi Kepustakaan 25

3.3 Data dan Sumber Data 25

3.4 Teknik analisis Data 26

3.4.1 Lokasi Penelitian 27

4.5 Etnografi Masyarakat Tionghoa di Kota Medan 38

4.5.1 Tinjauan Historis Masyarakat Tionghoa di Medan 38

4.5.2 Bahasa 42

4.5.3 Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa 42

BAB V FUNGSI, MAKNA, DAN DESKRIPSI UPACARA PENGHORMATAN LELUHUR DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA TERMASUK DIKOTA MEDAN 45

5.1 Latar Belakang Pemikiran Penghormatan Leluhur 52

5.1.1 Konsep Supranatural 45

(9)

5.2. Fungsi Penghormatan Leluhur 52

5.2.1 Kelangsungan Garis Keturunan 52

5.2.2 Fungsi Saling Ketergantungan Leluhur dan Keturunan 55 5.2.3 Fungsi Solidaritas Keluarga 57

5.3. Pelaksanaan Upacara Penghormatan Leluhur 58

5.3.1 Upacara Penghormatan Leluhur Secara Umum 58

5.3.2.Sembahyang Ce it Cap Go 58

5.3.2.1 Tempat Upacara 61

5.3.2.2 Peralatan Upacara 61

5.3.2.3 Jalannya Upacara 62

5.4. Sembahyang Tahun Baru 63

5.4.1 Tempat Upacara 64

5.4.2 Peralatan Upacara 64

5.4.3 Jalannya Upacara 65

5.4.4 Pelaku Upacara 67

5.5 Sembahyang Ceng Beng 67

5.6 Makna Penghormatan Leluhur 68

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 71

5.1 Kesimpulan 71

5.2 Saran 73

Daftar Pustaka 74

Buku dan artikel 74

Internet 74

(10)

ABSTRAK

Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis tentang fungsi dan makna penghormatan leluhur oleh masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Untuk mengkaji fungsi dan makna digunakan teori semiotik (Barthes). Untuk menganalisis fungsi penghormatan leluhur dalam konteks tersebut digunakan teori fungsionalismenya Malinowski dan Radcliffe-Brown. Metode dan teknik yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dengan berdasar kepada penelitian lapangan, wawancara, observasi, pengamatan terlibat (participant observer), dan menggunakan informan kunci yang dipandang menguasai penghormatan leluhur. Temuan saintifik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: makna (a) adanya kecenderungan bergesernya nilai-nilai religius pada generasi muda saat ini serta pengetahuan kaum muda Tionghoa yang masih memelihara abu leluhur sangat kurang. Mereka sudah tidak lagi menaruh perhatian secara khusus terhadap penghormatan leluhur. Upacara-upacara penghormatan mereka lakukan tanpa mengetahui dan memahaminya secara mendalam. Fungsi (b) Secara keseluruhan upacara religi ini mempunyai fungsi sosial mengintensifikasikan dan mendorong solidaritas di antara para anggota suatu keluarga atau Klen yang mengingatkan mereka bahwa mereka sebenarnya adalah kerabat yang berasal dari leluhur yang sama.

(11)

ABSTRACT

This thesis aims to analyze of form, meaning, and function of ancestor worship in Tionghoa Medan City culture. To analyze form and meaning of ancestor worship I use semiotic theory (Barthes). Then, to analyze ancestor worship functions in context, I use functionalism theory both from Malinowski and Radcliffe-Brown. I use research method and technique qualitative, based on filed work, interview, observation, participant observer, and choose key informants who know very much about Tionghoa Ancestor worship. The scientific conclussions are: (a) meaning of the tendency shifting religious values in young people today. Knowledge of Chinese young people who still maintain ancestral ashes is less. They are no longer paying attention in particular to honor ancestors. Ceremonies of respect they do without knowing it and understand it in depth. (b) Overall the functions it has a religious ceremony intensify social functions and promote solidarity among the members of a family or clan who reminds them that they actually are relatives who came from a common ancestor.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya atau kebudayaan berasal dari

buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia

(Koentjaraningrat, 1982:9). Dalam

culture, yang berasal dari kata colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata

culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem, dimana

sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran.

Dan hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, di mana

pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan

menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan

masyarakat.

Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang sangat kaya dengan

beraneka ragam budaya yang menjadi bagian dari suku bangsa atau subsuku

bangsa tersebut. Kemajemukan kebudayaan tersebut tentunya akan

(13)

kebudayaan bagi masyarakat adalah sebagai sumber nilai yang menjadi

objek orientasi (Bangun 1981:12).

Setiap kebudayaan memiliki sistem religi atau sistem kepercayaan,

termasuk dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa. Mereka selalu

melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu, masyarakat

mengembangkan dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinan

terhadap sesuatu. Sistem keyakinan mempengaruhi dalam kebiasaan

bagaimana memandang hidup dan kehidupan. Termasuk di dalamnya adalah

menghormati leluhur atau moyangnya.

Penghormatan kepada leluhur ini merupakan fenomena budaya yang

universal yang terdapat dalam sebahagian besar masyarakat di dunia,

termasuk masyarakat Tionghoa (Cina). dalam masyarakat Batak Toba

penghormatan kepada leluhur dilakukan dengan cara membuat tugu-tugu

bagi para leluhurnya. Dalam masyarakat Jawa penghormatan kepada nenek

moyangnya melakukan doa dan disertai dengan sesajian berbagai makanan

seperti apem dan lain-lainnya. Begitu juga dengan pembangunan makam

dengan bahan-bahan semen, keramik, batu-batuan, nisan, dan lainnya.

Dalam kebudayaan Karo, penghormatan kepada leluhur ini, setelah dikubur

dalam periode tertentu, maka tulang belulang leluhur dipindahkan ke

(14)

kepada leluhurnya dengan cara mengangkat jenazah leluhurnya ke kawasan

pegunungan yang tinggi, dengan melibatkan upacara dan pemotongan

kerbau.

Wujud penghormatan kepada leluhur, selain dengan cara upacara,

juga menyertakan nama-nama leluhur ke dalam nama seseorang. Misalnya

orang Tionghoa dan Korea memakai nama marga di depan namanya.

Misalnya di Korea nama Park Jo Bong, berarti ia keturunan marga Park

yang diturunkan secara patrialineal (pihak ayah). Begitu juga nama

Tionghoa Lim Swie King, berarti ia adalah keturunan marga Lim yang

diturunkan secara patrilineal. Demikian juga orang Arab yang selalu

menggunakan nama leluhurnya dengan cara memakai bin atau binti.

Misalnya Abdullah bin Hasyim bin Amru. Berarti Abdullah adalah anak

laki-laki dari Hasyim, dan cucu dari Amru. Dalam masyarakat Minangkabau

yang matrilineal pun, penghormatan leluhur ini salah satu caranya adalah

menyertakan nama klen atau marga yang ditarik secara matrilineal.

Misalnya Hajizar Koto, berarti ia adalah anak dari seorang ibu yang

bermarga Koto.

Demikian pentingnya penghormatan kepada leluhur ini,

sampai-sampai agama pun menganjurkan untuk menghormati kedua orang tua.

Dalam agama Islam misalnya diajarkan agar seorang anak menghormati

(15)

yaitu bahwa surga di bawah telapak kaki ibu. Kemudian seorang wanita pun

harus menghargai suaminya, bahwa surga seorang isteri terletak pada

keridhaan dan keikhlasan seorang suami. Artinya pihak ayah dan ibu

haruslah dihormati. Demikian juga yang terjadi dalam masyarakat

Tionghoa.

Implementasi budaya khas Tionghoa adalah suatu konsekuensi logis,

karena orang Tionghoa memposisikan diri sebagai etnik yang mempunyai

budaya, kebiasaan dan tradisi sendiri. Apabila kita melihat suatu ekspresi

kegiatan budaya di kalangan masyarakat Tionghoa, kita sulit memisahkan

dan membedakan dengan jelas apakah itu ekspresi tradisi, agama, atau

kepercayaan.

Dalam Bahasa Mandarin, kepercayaan disebut sebagai Xin Yang dan agama disebut sebagai Zong Jiau. Kepercayaan tradisional adalah Tri-Dharma yang merupakan gabungan antara Taoisme, Konfusianisme, dan

Budhisme. Namun seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat

Tionghoa pun telah menganut berbagai agama lainnya seperti Islam yang

banyak dianut di kawasan Provinsi Xinjiang republik Rakyat China (RRC).

Begitu juga agama Kristen Protestan terutama Methodist dan Katholik,

banyak dianut masyarakat Tionghoa di China, Hongkong, Makao, Taiwan

(16)

Kepercayaan tradisional yakni hal yang telah ada jauh sebelum

agama eksis dan juga bagian dari budaya (sinkretisme budaya).

Kepercayaan ini malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga

agama tadi dalam batas-batas tertentu.

Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa,

mereka tetap memegang teguh kepercayaan tradisional ini. Dalam

kepercayaan tradisional ini dikenal konsep tiga alam sebagai inti dari

kepercayaan tradisional Tionghoa.

Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa, tiga alam ini mempunyai

peranannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta.

Ketiga alam tersebut tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua

alam lainnya. Ketiga alam ini terdiri atas Alam Langit, Alam Bumi, dan

Alam Baka.

Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa

mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal lebih kurang sama

dengan kehidupan manusia di dunia ini. Dalam perkembangannya,

kepercayaan mengenai Alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep

reinkarnasi dari Budha. Ini ditandai dengan kepercayaan roh yang hidup di

Alam Baka dan akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia tapi mereka

lupa dengan kehidupan sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah

(17)

kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya. Tiga alam ini

mempunyai hubungan antar satu sama lain dan dapat berinteraksi.

(www.wikipedia.com)

Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan

ritual penghormatan leluhur yaitu penghormatan kepada nenek moyang

merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Hal ini

dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti

kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Leluhur orang Tionghoa sebelum

mengenal agama dan filsafat telah terlebih dahulu mengenal penghormatan

pada leluhur. Penghormatan leluhur ini kemudian menjadi titik tolak dan

dasar daripada kepercayaan tradisional Tionghoa yang muncul lebih dulu

daripada semua agama yang ada di Tiongkok.

Evolusi kepercayaan tradisional Tionghoa ini kemudian

mempercayai bahwa manusia setelah meninggal akan menuju ke alam baka,

namun bagi manusia yang dianggap mempunyai kontribusi dan jasa besar

bagi masyarakat dapat pengecualian untuk berdomisili di Alam Langit.

Alam langit, alam baka juga dipercaya mempunyai pemerintahan,

kehidupan interaksi masyarakat yang mirip dengan alam manusia. Atas

dasar kepercayaan inilah, uang emas dan uang perak diciptakan. Uang emas

(18)

diperuntukkan bagi roh manusia yang gentanyangan di alam manusia

(hantu).

Bangsa Tionghoa merupakan suatu bangsa yang memiliki

kebudayaan yang sangat tinggi. Mereka telah mengenal peradaban sejak

beberapa ribu tahun sebelum masehi. Kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi

tetap mereka pelihara. Hal-hal tersebut bahkan dapat kita lihat pada

orang-orang Tionghoa yang telah menetap di Indonesia pada saat ini.

Jika kita mengunjungi rumah keluarga Tionghoa tradisional, diruang

tamunya akan terlihat sebuah meja khusus yang diatasnya terletak berbagai

jenis peralatan sembahyang serta foto-foto anggota keluarga yang telah

meninggal. Dengan menyaksikan benda-benda tersebut akan langsung

terpikir oleh kita betapa orang tua serta leluhur yang telah meninggal sangat

dihormati dan dihargai oleh keluarga yang masih hidup. Religi tradisional

yang merupakan salah satu unsur kebudayaan Tionghoa tetap dipegang

hingga saat ini adalah penghormatan leluhur.

Penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa

merupakan suatu bentuk religi yang menekankan pada pengaruh roh leluhur

terhadap kehidupan nyata. Suatu bentuk religi yang merupakan

perkembangan dari animisme di mana manusia percaya bahwa

mahluk-mahluk halus menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia.

(19)

pancaindra manusia, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat

diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam

kehidupan manusia sehingga menjadi obyek dari penghormatan dan

penyembahannya, dengan berbagai upacara berupa doa, sajian atau korban.

Penghormatan leluhur pada masyarakat etnik Tionghoa dilakukan

berdasarkan beberapa tujuan yaitu:

(a) Kelestarian dengan masa lampau.

(b) Penghormatan terhadap kebijaksanaan orang-orang tua.

(c) Harapan akan berkat yang diberikan oleh orang-orang yang telah

meninggal.

(d) Meredakan kesedihan, dengan cara merawat dan memelihara roh

leluhur dengan memberikan sesajian dan doa bagi kebahagiaan

mereka.

(e) Ketakutan akan kutukan roh jahat.

Prinsip dasar dari hal-hal tersebut diatas adalah:

(1) Roh atau jiwa dari orang yang telah meninggal tetap memperhatikan

dan tetap mengasihi orang-orang yang masih hidup.

(2) Adanya rasa ketidaktentraman dan ketakutan akan orang yang telah

meninggal, oleh karena itu mereka berusaha menentramkan roh-roh

(20)

Praktik penghormatan leluhur di China kemungkinan besar sudah

berlangsung sejak zaman Huang Di ( 皇 帝 ) dan terus mengalami

perkembangan sampai sekarang. Penghormatan leluhur dilakukan dengan

kepercayaan akan kelangsungan keluarga dan penghormatan terhadap

orangtua yang sudah meninggal. Penghormatan leluhur ini merupakan salah

satu kewajiban keluarga yang tidak dapat dipisahkan dari praktek pemberian

sesaji, tata ibadah upacara dan doa yang dilakukan dihadapan papan tempat

arwah leluhur atau shen wei (神 位)dirumah rumah, kelenteng dan di perkuburan.

Dilihat dari segi tata kehidupan moral dalam masyarakat Tionghoa,

penghormatan leluhur merupakan suatu bentuk manifestasi dari ‘bakti’ atau

xiao (孝) , penghormatan bagi orang tua “xiao jing fu mu” ( 孝经父母) sebagai ajaran yang ditanamkan Konfusius. Menurut Konfusius, kewajiban dari

seorang anak adalah menghormati orang tua, “ketika orangtua masih hidup

layani mereka menurut tata cara kesopanan, ketika meninggal kuburkan

mereka dengan tata cara kesopanan, dan berikan mereka upacara korban

menurut tata cara kesopanan.” Dengan demikian konfusius menanamkan

laku bakti anak terhadap orang tua secara terus menerus walaupun orang tua

telah meninggal.

Kepercayaan masyarakat Tionghoa tentang kehidupan setelah

(21)

hal-hal yang sama sebagaimana manusia di dunia ini. Segala kebutuhan

tersebut hanya bisa diperoleh dari sanak keluarga yang masih hidup.

Demikian sekilas tentang keberadaan penghormatan leluhur pada

masyarakat Tionghoa secara umum. Seperti difahami bahwa orang-orang

Tionghoa negeri asalnya adalah Daratan Tiongkok, yang kini menjadi

negara bangsa yang disebut Dengan Republik Rakyat China (RRC). Selain

itu terdapat juga kawasan budaya Tionghoa seperti Hongkong, Makao,

Taiwan, dan lainnya. Pada masa sekarang orang-orang Tionghoa juga

melakukan migrasi ke seluruh dunia yang disebut sebagai diaspora China

(Tionghoa). Termasuk juga keberadaan mereka di Indonesia, dan khususnya

kota Medan seperti yang menjadi fokus kajian penulis dalam skripsi ini.

Masyarakat Tionghoa di Kota Medan memiliki strategi dalam

mempertahankan kebudayaannya, termasuk dalam upacara penghormatan

leluhur mereka. Bagaimanapun sedikit banyaknya upacara ini mengalami

perkembangan yang disesuaikan dengan kebudayaan di Kota Medan yang

heterogen.

Sejauh penelitian penulis, perubahan tentang upacara penghormatan

kepada leluhur di dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa di Medan adalah

sudah semakin berkurangnya pemahaman dan penghayatan nilai-nilai ini di

kalangan generasi muda. Menurut penjelasan para informan, kegiatan

(22)

nilai-nilainya oleh para generasi relatif tua saja. Tidak demikian yang terjadi

dalam generasi mudanya.

Dari latar belakang di atas, untuk mengetahui lebih dalam penulis

tertarik untuk memfokuskan tentang kebudayaan Tionghoa khususnya religi

tradisional ini, yaitu penghormatan kepada leluhur. Dengan demikian

penulis membuat judul penelitian ini: Kajian Fungsi dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur Dalam Kepercayaan Masyarakat Tionghoa di Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang dikemukakan penulis diatas, beberapa

masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah untuk memfokuskan

pembahasan masalah pada:

1. Bagaimana fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan leluhur pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan? Pokok masalah ini nantinya akan dijawab oleh penjelasan-penjelasan seputar fungsi sosial dan

budaya penghormatan leluhur dalam budaya masyarakat Tionghoa

di Kota Medantropologi. Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya ini

penulis menggunakan teori fungsionalisme yang lazim digunakan

(23)

2. Apa saja makna (budaya) tradisi penghormatan leluhur pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan? Pokok masalah ini nantinya akan dijawab dengan menguraikan makna-makna budaya yang

terkandung di dalam upacara penghormatan kepada leluhur.

Makna-makna yang akan penulis uraikan adalah mencakup Makna-makna perilaku

budaya, makna benda dan peralatan upacara, makna waktu upcara,

dan hal-hal sejenis.

Untuk memperkuat dua pokok masalah penelitian di atas,

maka penulis juga akan mendeksripsikan bagaimana tata cara

pelaksanaan tradisi penghormatan kepada leluhur? Deskripsi ini

akan berisi persiapan, pelaksanaan upacara, dan pasca pelaksanaan

upacara. Ini penting untuk memberikan dimensi umum bagaimana

pelaksanaan upacara penghormatan leluhur dalam kebudayaan

masyarakat Tionghoa di Kota Medan. Ini diperlukan untuk dapat

memahami lebih jauh apa yang melatarbelakangi upacara yang

dilakukan seperti itu.

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin

(24)

1. Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan kepada

leluhur pada masyarakat Tionghoa.

2. Untuk mengetahui makna tradisi penghormatan kepada leluhur pada

masyarakat Tionghoa.

Untuk menambah tujuan utama di atas, penelitian ini juga bertujuan

untuk mengetahui tata cara pelaksanaan tradisi penghormatan kepada

leluhur. Juga untuk mengetahui nilai religius dan budaya yang terdapat pada

tradisi penghormatan kepercayaan masyarakat Tionghoa.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun

memberikan informasi bagi masyarakat secara umum tentang upacara religi

tradisional ini. Secara keilmuan, penelitian ini akan menyumbangkan

data-data etnografis yang dapat digunakan dalam rangka mengembangkan

metode teori terhadap ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebudayaan

masyarakat Tionghoa, termasuk di Program Sastra Cina, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini juga akan mengungkap

makna-makna sosiobudaya yang dapat dijadikan dasar dalam kebijakan

pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan masyarakat Tionghoa.

Bagaimana pun dalam kegiatan yang penuh makna budaya ini juga

(25)

berguna dalam mengungkapkan sistem alam (kosmologi) dalam

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kajian Pustaka 2.1.1 Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk

menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang

menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Poerwadarminta sebagai editor (1995:456) dikatakan bahwa, konsep diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang

diabstrakkan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek apapun

yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal

hal lain

Dalam hal ini, defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah

yang digunakan secara mendasar. Selain itu adalah untuk menyamakan

persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian

(27)

2.1.1.1 Penghormatan Leluhur

Semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi didasarkan

atas suatu getaran jiwa yang biasanya disebut dengan emosi keagamaan.

Emosi keagamaan ini biasanya dialami setiap manusia, walaupun getaran

emosi itu hanya berlangsung beberapa detik saja, untuk kemudian

menghilang kembali. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang

melakukan tindakan-tindakan bersifat religi.

Sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri

khusus untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu di antara

pengikut pengikutnya. Dengan demikian emosi keagamaan merupakan

unsur-unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain

yaitu: sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang

menganut religi itu.

Penghormatan leluhur dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa

merupakan suatu sistem religi, oleh karena selain memiliki emosi

keagamaan, juga memiliki unsur-unsur sistem keyakinan, yang

memusatkan perhatian kepada konsep tentang roh-roh leluhur; sistem

upacara keagamaan, suatu umat yang menganut religi tersebut.

Sistem upacara mengandung empat aspek yang menjadi perhatian

khusus yaitu: (1) tempat upacara keagamaan; (2) saat saat upacara

(28)

upacara. Keempat unsur upacara ini disusun oleh dua dimensi yaitu waktu

(saat upacara) dan ruang (mencakup tempat, benda dan alat, serta pelaku)

upacara.

Penghormatan leluhur merupakan suatu bentuk religi yang

menekankan pada pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan nyata. Suatu

bentuk religi yang merupakan perkembangan dari animisme dimana

manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus menempati alam sekeliling

manusia.

Kepercayaan terhadap roh leluhur dalam religi suku bangsa

Tionghoa sudah sangat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia

yang tertua, yang kemudian terdesak kebelakang oleh keyakinan kepada

mahluk-mahluk halus lain seperti dewa dewa alam, roh nenek moyang,

hantu dan lain-lain. Penghormatan leluhur dilakukan pada tempat tempat

tertentu yaitu dirumah abu, kelenteng, vihara dan dirumah tempat tinggal

keluarga serta kuburan-kuburan.

2.1.1.2 Kepercayaan

Kepercayaan dalam bahasa inggris dinamakan trust atau believe ini merupakan suatu bentuk nyata dalam kehidupan dimana menjadi bagian

yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Sedangkan kepercayaan

(29)

bagian dari hidup mereka dan secara turun temurun masih dijalankan dari

generasi ke generasi.

Dalamkehidupan orang Tionghoa, ada tiga ajaran yang mereka anut

yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddha. Ketiga ajaran ini sudah saling

menyatu (sinkretisme) dan dikenal dengan nama San Jiao atau Sam Kauw

(dialek Hokkian). Dalam kehidupannya, orang Tionghoa memang sangat

toleran terhadap soal-soal agama. Setiap agama dianggap baik dan

bermanfaat, begitu pula dengan ajaran Taoisme, Konfusianisme, dan

Buddha yang mempunyai banyak kesamaan-kesamaan pandangan dan

saling membutuhkan sehingga ketiga ajaran tersebut berpadu menjadi satu.

2.1.1.3 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan

bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu,

dimana setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama

(Koentjaningrat, 1985:60). Masyarakat manusia juga merupakan sistem

hubungan sosial (social relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan manusia. Untuk mencapai persatuan dan

integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu belajar dan

memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh

(30)

Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang di

Indonesia berasal dari kata zhinghuo dalam Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa di

Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara

periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan

literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan kerajaan kuno di Nusantara

telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok.

Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas

barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

2.1.2 Landasan Teori

Teori merupakan yang alat terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa

teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak

akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973:10). Teori adalah

landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Teori

adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian didalam ilmu

pengetahuan.

Sebagai pedomaan dalam menyelesaikan tulisan ini penulis

menggunakan teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan

yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun teori yang penulis pergunakan

(31)

2.1.2.1Teori Fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi sosiobudaya tradisi penghormatan leluhur

dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa ini, peneliti menggunakan teori

fungsionalisme yang ditawarkan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme

adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang

menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi

(pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi

menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh

fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi,

yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia,

sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah gurubesar

dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski

memproleh pendidikan yang kelak memberikannnya suatu karier akademik

juga. Tahun1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas

Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai

folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada

ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di

(32)

Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk

menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori

fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika

ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang

tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru

yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan

menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).

Selanjutnya Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah

orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau

berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di

mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme

terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang

sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan

bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi

mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski,

fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi

beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari

kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu

masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi

(33)

kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan

memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan

dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.

Dari teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh malinowski itu,

penulis berasumsi bahwa tradisi penghormatan leluhur dalam kebudayaan

masyarakat Tionghoa pastilah berfungsi, kalau tidak kegiatan atau lembaga

sosiobudaya ini pastilah mati atau menjelma dalam bentuk yang lainnya.

Kegiatan sosiobudaya menghormati leluhur ini memainkan peran dalam

konteks kesinambungan dan integrasi kebudayaan Tionghoa secara umum.

2.1.2.2 Teori Semiotik

Dalam membahas makna-makna yang terkandung dalam

penghormatan leluhur dan pada masyarakat etnik Tionghoa, secara lebih

mendetail, penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh

Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan

memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu

objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan dengan

bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah

(34)

semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana

istilah itu popular (Endaswara, 2008:64)

Menurut Barthes dalam (Kusumarini, 2006), “denotasi adalah

tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada

realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah

tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang

di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan

tidak pasti.”

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure tertarik pada cara

kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat

menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat

yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang

berbeda situasinya.

Berthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan

interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural

penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang

dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal

dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan

personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes

(35)

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang

menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat

kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki

pertanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang

memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi,

maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

2.1.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah

menyelidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:912). Pustaka adalah

kitab-kitab; buku; buku primbon (KBBI,2003:912).

2.1.3.1 Penelitian Terdahulu

Laya Pirevia Maengkom, skripsi (1987): Suatu Tradisi dalam

Keluarga Cina. Skripsi ini menjelaskan tentang tata cara penghormatan

leluhur pada Suatu keluarga Etnik Tionghoa yang merupakan unit sosial

dasar dimana setiap anggotanya ikut ambil bagian dalam pemeliharaan religi

tradisional tersebut. Dalam penghormatan leluhur ini penulisnya juga

(36)

atau religi saja tetapi juga mempunyai fungsi sosial dan turut berperan

dalam kehidupan keluarga.

Dari uraian di atas, peneliti lebih mengarah pada aspek antropologi

budaya. Dalam hal ini maksudnya penulis menekankan hasil pengamatan

melalui ilmu-ilmu budaya, terutama pada pelaksanaan upacara dan peran

penghormatan leluhur pada satu keluarga Tionghoa.

Tedy Jusuf (2000) dalam tulisannya yang berjudul Sekilas Budaya Tionghoa Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang budaya dan adat istiadat Tionghoa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Isi

buku ini merupakan sublimasi dari budaya berbagai subetnik Tionghoa, dan

dicoba ditulis dalam kaidah-kaidah yang mungkin dapat disepakati. Selain

itu buku ini dibuat untuk menginventarisasikan budaya Tionghoa Indonesia

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Kualitatif

Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu frase penelitian kualitatif di

Kota Medan, maka sepenuhnya penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam

penelitian analisis fungsi dan makna tradisi penghormatan kepada leluhur

dalam etnik Tionghoa melalui antropologi budaya dengan metode deskriptif

dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan

menjelaskan secara tepat sifat sifat individu, keadaan gejala atau kelompok

tertentu atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara

suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat. Dalam hal ini

mungkin sudah ada hipotesis-hipotesis, mungkin juga belum, tergantung

dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah bersangkutan

(Koentjaningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian

yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data

atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam

kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak

mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian

(38)

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk

menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena

secara sistematis dan akurat mengenai fakta dari makna penghormatan

leluhur dan pada masyarakat Tionghoa. Denzin dan Lincoln menyatakan

secara eksplisit tentang penyelidikan kualitatif sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1995:1).

Menurut Denzin dan Lincoln seperti kutipan di atas, yang dimaksud

dengan penelitian kualitatif adalah suatu metode yang telah lama

dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu

sosiologi karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para

ilmuwan dari Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920an dan

1930an. Hasil penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia

dalam kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang

sama, para ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan

meneliti adat istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti,

(39)

dengan menggunakan lintas disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian.

Peristilahan yang digunakan dalam pendekatan penelitian ini juga

melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang kompleks dan saling

terjalin.

Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian

kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah

seperti yang diuraikan berikut ini.

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).

Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas,

penelitian kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin,

transdisiplin, dan kadangkala kounterdisiplin,. Pendekatannya selalu

melibatkan ilmu-ilmu kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif

melibatkan berbagai bahan kajian pada saat yang sama. Penelitian ini

menggunakan multiparadigmatik. Para pendukung metode ini sangat peka

terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat yang diteliti, serta berbagai

(40)

atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan menafsirkan apa yang terjadi

dalam pengalaman manusia. Kadangkala penelitian kualitatif ini inheren

dengan politik yang dibentuk oleh berbagai posisi etika dan politik.

Dalam rangka penelitian terhadap fungsi dan makna penghormatan

leluhur pada kebudayaan masyarakat Tionghoa di Kota Medan ini, maka

metode penelitian yang penulis pergunakan adalah metode kualitatif, yaitu

dengan cara mengkaji kegiatan ritual (upacara) ini apa adanya. Kemudian

menginterpretasikan kegiatan tersebut berdasarkan etika penelitian yang

didasari oleh multidisiplin ilmu. Dalam hal ini ilmu yang digunakan adalah

mencakup ilmu kemanusiaan (antropologi, sosiologi, filsafat, dan budaya),

juga ilmu-ilmu bantu lainnya.

Untuk menginterpretasikan makna-makna yang terjadi, maka penulis

melakukan pendekatan wawancara kepada informan kunci. Selanjutnya

untuk menguraikan fungsi sosiobudaya penulis merenungkan dan mengkaji

dalam perspektif holistik dan mendalam. Dengan demikian, diharapkan

penelitian ini akan mengungkapkan kebenaran realita yang ada serta hal-hal

(41)

3.2Teknik Pengumpulan Data

Langkah dalam tehnik pengumpulan data ini dilakukan dengan

mengumpulkan data: Wawancara, Observasi Lapangan dan Studi

kepustakaan.

Sebelum tehnik wawancara dilakukan, peneliti membuat pedoman

sesuai wawancara yang diberikan kepada beberapa tokoh masyarakat

Tionghoa. Untuk mengumpulkan data pertama penulis menemui informan

yaitu seorang pengusaha Ban. Penulis datang dan bertanya langsung tentang

religi tradisional ini. Kemudian sang informan menjelaskan secara

keseluruhan tentang religi tradisonal ini. Dari hasil wawancara ini diperoleh

keterangan tentang religi tradisional budaya Tionghoa.

Penulis juga menemui seorang pengurus rumah abu leluhur yang

bernama Bapak Aweng yang merupakan salah satu keturunan etnik

Tionghoa. Secara langsung penulis mengajukan pertanyaan pertanyaan yang

sesuai dengan objek penelitian penulis. Akan tetapi penulis mendapatkan

data yang sangat sedikit dari Bapak Aweng ini.

Maka untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian

skripsi ini penulis mengunjungi ke Vihara Maitreya Jln. Boulevard Utara

No.8 Kompleks Cemara Asri Medan. Penulis bertemu dengan Bapak

Hendra, salah seorang pengurus Vihara. Melalui wawancara dengan

(42)

Tionghoa. Bapak Hendra dengan senang hati menceritakan religi-religi

tersebut, daan mereka sangat senang saat penulis menanyakan tentang

kebudayaan mereka, karena bagi mereka kebudayaan Khas Tionghoa adalah

kebudayaan yang sangat tua, dan hingga kini masih banyak orang yang

ingin mengetahui tentang kebudayaan Tionghoa.

3.2.1 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah tehnik

wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung

kepada subjek penelitian. Sebagai modal awal penulis berpedoman pada

pendapat Koentjaraningrat (1981:136) yang mengatakan, “…kegiatan

wawancara secara umum dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

persiapan wawancara, tehnik bertanya dan pencatat data hasil wawancara.”

Dalam studi ini penulis melakukan penelitian terhadap beberapa

rumah pada keluarga etnik Tionghoa, Rumah Abu, dan Vihara yang ada

dikota Medan. Penulis menggunakan metode wawancara terutama dengan

informan kunci yaitu orang yang banyak mengetahui dan mengerti tentang

penghormatan leluhur. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memiliki

dan mengurus meja abu.

(43)

1. Wawancara tak berencana atau unstandardized interview. Walaupun

dalam wawancara masalah-masalah yang dipertanyakan tidak

menggunakan daftar pertanyaan, namun penulis menggunakan suatu

pedoman yang berisikan garis besar pokok masalah yang ingin

penulis peroleh informasinya.

2. Wawancara sambil lalu atau Casual Interview. Bentuk wawancara

ini penulis gunakan juga terhadap beberapa pengurus kelenteng yang

masih memelihara meja abu.

3.2.2 Observasi

Observasi atau pengamatan, dapat berarti setiap kegiatan untuk

melakukan pengukuran dengan menggunakan indera penglihatan yang juga

berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono, 1955:69).

Dalam mengumpulkan data salah satu tehnik yang cukup baik untuk

diterapkan adalah pengamatan secara langsung/observasi terhadap subyek

yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini penulis hanya mengadakan dua kali

pengamatan/observasi secara langsung terhadap ritual penghormatan leluhur

(44)

3.2.3 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, sebagai kerangka

landasan berfikir dalam tulisan ini, adapun yang dilakukan adalah studi

kepustakaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau

sumber bacaan, guna melengkapi apa yang dibutuhkan dalam penulisan

dan penyesuaian data dari hasil wawancara. Sumber bacaan atau literatur

ini dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya

dalam bentuk skripsi. Selain itu sumber bacaan yang menjadi tulisan

pendukung dalam penelitian penulis yaitu berupa buku, jurnal, makalah,

artikel dan berita-berita dari situs internet.

3.3Data dan Sumber Data

Di dalam setiap penelitian, data menjadi patokan yang sangat

penting bagi setiap penulis untuk menganalisis masalah yang dikemukakan.

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data yang dipakai

pada upacara-upacara keagamaan budaya khas masyarakat Tionghoa di kota

Medan. Data-data yang digunakan diperoleh dari sumber data primer dan

sumber data sekunder. Sumber data primer adalah berasal dari informan

kunci sebagai berikut:

Sumber Data Primer : A Shin

(45)

Alamat : Jln. Ir.H.Juanda Baru no 89 Medan

Sumber Data Primer : Bapak Aweng

Profesi : Pengurus Rumah Abu

Alamat : Medan

Yang dimaksud dengan informan kunci atau informan pangkal, juga

disebut narasumber kunci (key informant) adalah seorang pemberi data, yang memiliki kapasitas dan kapabilitas terhadap permasalah yang diajukan

dalam penelitian. Data yang diperoleh informan kunci inilah yang menjadi

bahan kajian utama dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian, penelitian

kualitatif sangat bergantung dari data yang diperoleh dari informan kunci.

Selanjutnya sumber data sekunder adalah sebagai berikut.

Sumber data sekunder: Sekilas Budaya Tionghoa

Halaman : 106

Percetakan : Bhuana Ilmu Populer Jakarta

Penerbit : PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok

(46)

3.4Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk

memperdalam atau menginterpretasikan secara spesifik dalam rangka

menjawab seluruh pertanyaan.

Adapun proses yang dilakukan adalah:

1. Mewawancarai beberapa keluarga Tionghoa dan beberapa tokoh

masyarakat Tionghoa, untuk memudahkan penulis untuk

mengerjakan tulisan ini, serta mendapatkan informasi tentang tradisi

penghormatan leluhur .

2. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang diharapkan dapat

mendukung tulisan ini kemudian memilih data yang dianggap paling

penting dan penyusunannya secara sistematis.

3. Berdasarkan data-data yang diambil, lalu penulis dapat membuat

kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya membuat

penelitian ini.

3.4.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di beberapa tempat di Kota Medan

khususnya di jalan Ir. H. Juanda Baru dan Jl. Boulevard Utara No.8

Komplek Vihara Cemara Asri Medan. Pemilihan lokasi penelitian ini,

(47)

penghormatan leluhur, sehingga penulis lebih mudah untuk mewawancarai

(48)

BAB IV

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA MEDAN DALAM KONTEKS MASYARAKAT TIONGHOA DUNIA

Pada Bab IV ini penulis akan mendeskripsikan gambaran umum

masyarakat Tionghoa di Kota Medan dalam konteks masyarakat Tionghoa

di seluruh dunia, khususnya negeri asalnya Daratan Cina. Ini dilakukan

dalam rangka mengungkapkan fenomena di balik perilaku sosiobudaya

yaitu penghormatan leluhur. Adanya aktivitas budaya bagaimanapun

haruslah didukung oleh ide-ide atau gagasan budaya yang diwariskan secara

turun-temurun.

Kerja keilmuan seperti ini adalah lazim digunakan dalam disiplin

antropologi. Disiplin ini adalah mengkaji manusia dengan kebudayaannya

yang mengandung unsur-unsur: agama, bahasa, teknologi, ekonomi,

pendidikan, organisasi sosial, dan kesenian. Dalam tulisan ini berarti bahwa

mengkaji perilaku penghormatan kepada leluhur, tidak bisa dilepaskan

bahkan harus dilihat secara holistic bersama-sama dengan unsur kebudayaan

lainnya. Kerja seperti ini dalam antropologi lazim disebut sebagai studi

etnografi.

(49)

adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung

bahan-bahan kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap

kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini

ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa

ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlah relatif besar,

berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog yang membuat karya etnografi

tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini.

Oleh karena itu, untuk mengkaji budaya Minangkabau misalnya, maka

seorang antropolog boleh saja memilih etnografi masyarakat Minangkabau

Desa Sungai Puar, atau lebih besar sedikit, masyarakat Minangkabau

Kabupaten Lima Puluh Koto, atau masyarakat Minangkabau Pasisie, atau Minangkabau rantau termasuk di Negeri Sembilan Malaysia, dan

seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi.

Arti etnologi berbeda dengan etnografi. Istilah etnologi adalah

dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu

yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama

maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang hari oleh

para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia.

Jadi pendekatan etnografi melihat manusia dengan kebudayaan yang

dihasilkannya secara meluas. Demikian pula yang penulis lakukan dalam

(50)

4.1 Latar Belakang Sosial Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa di Indonesia memiliki kebudayaan yang

berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan etnik dan ras lainnya. Namun

demikian, di kalangan masyarakat Tionghoa dan etnik-etnik di Indonesia

juga setuju bahwa orang Tionghoa memiliki asal-usul tempat budayanya

yang kemudian migrasi ke Indonesia beberapa abad yang lalu. Tempat asal

atau wilayah budaya awal mereka adalah daratan Cina.

Secara umum Etnik Tionghoa di Indonesia membuat lingkungannya

sendiri untuk dapat hidup secara ekslusif dengan tetap mempertahankan

kebudayaan atau tradisi leluhur. Ong Hok Khan (dalam Ning, 1992)

menyatakan bahwa ekslusivisme orang Tionghoa itu disebabkan oleh

kehendak mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan

oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas.

Etnik Tionghoa adalah salah satu kelompok masyarakat nonpribumi

yang berimigrasi ke Indonesia. Selain prang Tionghoa, ada juga masyarakat

Tamil, Sikh, Hindustan, Arab, dan Eropa, yang datang dengan berbagai

kepentingan sosial ke Indonesia ini, baik dari masa sebelum Indonesia

merdeka atau sesudahnya.

Etnik Tionghoa ini memasuki Indonesia melalui

gelombang-gelombang migrasi yang besar baik dari Malaysia (Malaya) ataupun Dataran

(51)

dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh

pemerintah kolonial Belanda di abad ke-19. Seperti diketahui Sumatera

Utara memiliki tembakau Deli yang dikelola oleh pengusaha Belanda yang

diketuai oleh Jacobus Nienhuijs. Sebahagian orang Tionghoa ada yang

beradaptasi dengan masyarakat setempat. Namun ada pula yang berperilaku

eksklusif, yang mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok

masyarakat pribumi.

4.2 Latar Belakang Budaya Masyarakat Tionghoa

Budaya Tionghoa telah masuk ke Indonesia lebih dari seribu tahun

yang lalu, melalui arus perpindahan penduduk dan perdagangan orang-orang

Tionghoa yang berasal dari China Selatan. Orang-orang Tionghoa yang

masuk mulai mendirikan pemukiman. Adat istiadat, agama, budaya

masyarakat Tionghoa yang mereka bawa kemudian terserap ke dalam

budaya dan kepercayaan penduduk asli.

Selain itu masyarakat Tionghoa melakukan akulturasi dan

beradaptasi dengan masyarakat Indonesia. Mereka berhasil dalam berbisnis

serta mempertahankan identitas budayanya, termasuk bahasa dan keyakinan

terhadap agama mereka. Begitu juga tradisi menghormati leluhurnya, yang

(52)

4.3 Struktur Kekerabatan Masyarakat Tionghoa

Dalam proses interaksi sosial dan mempertahankan keberadaan diri

dan keturunannya, masyarakat Tionghoa menggunakan sistem

kekerabatannya yang khas. Saat kehidupan etnik Tionghoa sudah menetap,

mereka membentuk perkampungan yang mula-mula terdiri dari garis

keturunan ayah. Mulai dari semua saudara laki ayah dengan anak

laki-lakinya dan keluarga kakek dengan saudara laki-laki-lakinya. Hal ini yang

kemudian menjadi dasar pengelompokan sistem kekluargaan patrilineal.

Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga batin melainkan keluarga

luas yang viriolokal.

Dalam sistem keluarga inti yang memegang peranan penting adalah

sang ayah dan semua anak laki-lakinya. Saat ayah meninggal dunia, putra

tertuanya yang akan menggantikan posisi sang ayah di dalam keluarganya.

Jikalau anak laki-laki dari etnik Tionghoa menjadi anak angkat dari marga

lain, maka hubungannya dengan garis keturunan ayahnya akan terputus. Si

anak ini akan mengikuti garis keturunan ayah angkatnya. Dengan sistem

seperti itu, maka kedekatan dengan kerabat ayah diutamakan, tetapi dalam

perkembangannya kedekatan dengan kerabat ibu juga tidak memiliki

(53)

4.4 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan dalam Konteks Indonesia 4.4.1 Asal-Usul Masyarakat Tionghoa di Indonesia

Para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia, sebahagian

besarnya berasal dari kelompok etnik Han. Daerah budaya mereka ini

adalah di daerah yang sekarang merupakan Provinsi Fujian dan Guangdong

di Cina Selatan, daerah ini dikenal dengan keragaman wilayahnya

(Suryadinata, 2008:12). Sejumlah besar etnik Han, yakni juga kelompok

etnik terbesar di dunia, tinggal di Asia Tenggara (Skinner, 1963:101).

Sebahagian besar orang Tionghoa Indonesia, baik yang merupakan

keturunan patrilineal dari para imigran awal maupun para imigran baru,

lahir di Cina daratan (Gernet, 1996:6).

Sebagai kelompok pertama orang Tionghoa yang menetap dalam

jumlah yang besar, bangsa Hokkien dari Fujian Selatan merupakan

kelompok imigran yang mendominasi hingga pertengahan abad ke-19.

Kebudayaan maritim sambil berdagang mereka dipercaya muncul dari

kegiatan berdagang mereka sewaktu di Indonesia. Keturunan suku Hokkien

adalah kelompok etnik yang dominan di Indonesia Timur, Jawa Tengah,

Jawa Timur, dan pantai barat Sumatera.

Selain itu ada juga suku Tiochiu, bangsa yang menetap di sebelah

selatan daerah Hokkien, dapat dijumpai di seluruh pantai timur Sumatera,

(54)

sebagai buruh perkebunan di Sumatera, tetapi kemudian menjadi pedagang

di daerah dimana tidak terdapatnya bangsa Hokkien (Skinner, 1963:97).

Selanjutnya Bangsa Hakka. Tidak seperti bangsa Hokkien dan

Tiochiu, bangsa Hakka berasal dari daerah pedalaman Pegunungan

Guangdong dan tidak mengenal budaya maritim (Skinner, 1963:97).

Dikarenakan daerahnya yang sangat tidak produktif dalam menghasilkan

sumber daya alam di daerah asal mereka, bangsa Hakka memutuskan untuk

hijrah keluar dari daerah mereka akibat desakan ekonomi. Gelombang

migrasi mereka terjadi di sekitar tahun 1850 hingga 1930 dan merupakan

yang paling miskin di antara kelompok imigran Tionghoa. Meskipun pada

awalnya mereka menetap di pusat pertambangan di Kalimantan Barat dan

Pulau Bangka, bangsa Hakka kemudian didapati bertumbuh dengan pesat di

daerah Batavia dan Jawa Barat pada akhir abad ke-19 (Skinner, 1963:102).

Yang terakhir adalah suku bangsa Kanton. Seperti halnya bangsa

Hakka, orang-orang Kanton terkenal sebagai pekerja tambang di seluruh

Asia Tenggara. Migrasi mereka di abad ke-19 sebagian besar langsung

diarahkan menuju daerah tambang timah di Bangka, lepas pantai timur

Sumatera. Mereka juga terkenal sebagai pengrajin tradisional yang sangat

terampil. Bangsa Kanton mendapatkan keuntungan yakni pengetahuan

tentang kesuksesan mesin dan industri dari bangsa Eropa ketika mereka di

(55)

dengan bangsa Hakka, namun untuk tujuan yang berbeda. Di kota-kota di

Indonesia mereka berprofesi sebagai pengrajin, pekerja mesin, dan memiliki

usaha kecil seperti restoran dan hotel. Orang-orang Kanton tersebar merata

di seluruh Nusantara namun jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang jumlah

orang-orang Hokkien atau Hakka. Kepentingan peran mereka kemudian

dinilai sebagai kepentingan sekunder di dalam komunitas Tionghoa

(Skinner, 1963:102).

4.4.2 Awal Kedatangan Bangsa Tionghoa ke Indonesia

Migrasi awal suku bangsa Tionghoa ke Indonesia diperkirakan

ketika kedatangan bangsa Mongolia di bawah arahan Kubilai Khan masuk

melalui daerah maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol

kemudian memperkenalkan kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat

itu mencakup teknologi pembuatan kapal dan dalam hal alat tukar, yakni

uang berbentuk koin. Kedatangan mereka diyakini memicu timbulnya

kerajaan baru, yakni Majapahit (Reid, 2001:17). Beberapa sumber

mengindikasikan bahwa para pedagang Tionghoa pertama kali tiba di

daerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku untuk membeli cengkeh,

namun kemudian mereka diusir keluar oleh para pedagang Jawa seiring

berkembangnya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit (Reid,

(56)

Kemudian di abad ke-15, para pedagang Muslim Tionghoa dari

pantai timur Cina tiba di daerah-daerah pesisir Indonesia dan Malaysia. Para

pedagang-pedagang ini dipimpin oleh Laksamana Mahmmud Cheng Ho

(yang beragama Islam), yang mengepalai berbagai ekspedisi di Asia

Tenggara sekitar tahun 1405-1430. Dalam buku The Overall Survey of the Ocean's Shores (瀛涯勝覽), Ma Huan mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pedagang Muslim Tionghoa di Nusantara dan

peninggalan yang diwarisi oleh Cheng Ho dan anak buahnya (Ma, 2005:

113-124). Para pedagang ini bermukim di sepanjang pesisir pantai Jawa,

namun kemudian tidak ada data yang mendokumentasikan keberadaan para

pedagang ini setelah abad ke-16. Para Muslim Tionghoa ini diperkirakan

telah melebur ke dalam polulasi Muslim di Asia Tenggara (Tan, 2005: 796).

Dari tahun 1450 hingga 1520, ketertarikan Kerajaan Ming terhadap

Asia Tenggara mencapai titik yang rendah. Perdagangan yang dilakukan,

baik secara legal maupun ilegal, jarang yang mencapai kepulauan ini (Reid,

1999: 52). Bangsa Portugis juga tidak menyebutkan adanya kependudukan

orang Tionghoa ketika mereka tiba di Indonesia pada awal abad ke-16

(Reid, 2001:33). Kegiatan perdagangan dari utara mulai kembali terjadi

ketika pemerintah Cina melegalkan perdagangan swasta di tahun 1567 dan

mulai mengizinkan lima puluh kapal yang berlayar per tahun. Beberapa

(57)

Meksiko, dan Eropa, dan kegiatan perdagangan mulai berkembang lagi.

Koloni Cina yang berbeda-beda berdatangan ke ratusan pelabuhan di Asia

Tenggara, termasuk juga ke pelabuhan lada di Banten (Reid, 1999: 52).

Para pedagang Tionghoa kemudian memboikot para pedagang

Portugis ketika Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis. Di tahun 1511, para

pedagang Muslim membantu etnik Tionghoa di Jawa dalam rangka

menduduki kembali daerah kota dengan menggunakan kapal. Partisipasi

orang Tionghoa-Jawa dalam mengambil alih Malaka dicatat dalam buku

“The Malay Annals of Semarang and Cirebon” (Guillot, Lombard & Ptak, 1998: 179). Pedagang Tionghoa memilih untuk terlibat kerja sama dalam

bisnis dengan orang Melayu dan Jawa ketimbang dengan orang Portugis

(Borschberg, 2004:12).

4.4.3 Kedudukan Masyarakat Tionghoa di Masa Penjajahan Belanda

Sejalan dengan kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia di awal

abad ke-17, mayoritas masyarakat Tionghoa bermukim di sepanjang pantai

timur Jawa. Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang, namun mereka

juga melakukan kegiatan bercocok tanam. Pemerintah kolonial mengontrak

banyak dari mereka sebagai pengrajin yang terampil dalam pembangunan

(58)

Satu pelabuhan buatan dipilih oleh pemerintah Belanda sebagai

markas baru bagi Pemerintah Hindia Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, VOC) di tahun 1609 oleh Jan Pieterszoon Coen. Daerah ini menjadi pusat utama untuk perdagangan dengan masyarakat Tionghoa dan

India. Daerah Batavia menjadi rumah terbesar bagi komunitas Tionghoa di

Nusantara hingga saat ini (Heidhues, 1999:152). Coen dan para gubernur

jenderal lainnya mempromosikan masuknya para imigran Tionghoa ke

pemukiman yang baru “untuk kepentingan kedua negara tersebut dan untuk

tujuan mengumpulkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala” (Phoa,

1992:9). Jumlah penduduk di pelabuhan tempat masyarakat Tionghoa

bermukim berkembang pesat dari 300-400 jiwa di tahun 1619 menjadi

setidaknya 10.000 jiwa di tahun 1740 (Phoa, 1992:7). Walau begitu,

pemerintah Belanda juga menerapkan sistem klasifikasi rasial yang

memisahkan penduduk keturunan Tionghoa dari mereka yang merupakan

pribumi (Chang, 2010:2).

Mayoritas dari masyarakat Tionghoa yang menetap di Nusantara

telah memutuskan hubungan dengan daerah asal mereka, yakni Cina, dan

menyambut dengan baik perlakuan yang menyenangkan serta perlindungan

yang ditawarkan oleh pihak Belanda (Phoa, 1992:8). Beberapa dari mereka

(59)

VOC, ditugaskan untuk mengutip pajak ekspor-impor, mengatur penjualan

tanah, dan mengatur kegiatan panen sumber daya alam (Phoa, 1992:10).

Sesudah meletusnya peristiwa pembantaian besar-besaran di Batavia

pada tahun 1740 dan kemudian diikuti dengan meletusnya perang,

pemerintah Belanda terpaksa membatasi kuota jumlah populasi etnik

Tionghoa yang ingin masuk ke Indonesia. Amoy yang merupakan

pelabuhan di Provinsi Fujian, Cina Selatan, dijadikan satu-satunya

pelabuhan untuk bermigrasi ke Nusantara, dan jumlah kru serta penumpang

dari kapal-kapal yang hendak berlayara dibatasi sesuai dengan ukuran kapal.

Penetapan kuota ini ditetapkan pada waktu itu untuk pemenuhan keperluan

akan pekerja, seperti pada saat di bulan Juli 1802, ketika pabrik gula dekat

Batavia sangat membutuhkan kehadiran tenaga kerja (Hellwig dan

Tagliacozzo, 2009: 168).

Ketika VOC dinasionalisasikan oleh Pemerintah Belanda pada 31

Desember 1799, kebebasan yang sebelumnya dirasakan etnik Tionghoa di

bawah kerjasama dengan pihak koloni dihapuskan oleh pemerintah Belanda.

Salah satu bentuk penghapusan yang didapatkan adalah pemerintah VOC

mengubah monopoli ya

Gambar

Tabel 1:

Referensi

Dokumen terkait

Segala biaya yang timbul sebagai akibat ditetapkannya Keputusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lombok Barat pada Dinas Pemuda

PEJABAT PENGADAAN BARANG/ JASA BIDANG BINA M ARGA. DINAS PEKERJAAN UM UM KABUPATEN KLATEN

Dinas Peker jaan Umum Kabupaten Klaten Tahun 2013, untuk Peker jaan :. Perbaikan

[r]

PT Bina Kerja Cemerlang Gugur - Daftar Kuantitas dan Harga tidak sesuai dengan Dokumen Pengadaan yaitu pada harga satuan tunjangan tetap komandan regu/anggota dan

[r]

Pembuluh darah yang mengalirkan darah dari jantung menuju seluruh tubuh disebut …..

KBSN-29/II/BSN-2015 Tanggal 20 Februari 2015, dengan ini menetapkan calon pemenang e-Lelang Pemilihan Langsung Penyedia Jasa Konstruksi Pekerjaan Pembangunan Gedung Lantai