• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Faktor Reduksi U (Shear Lag Factor) Pada Komponen Struktur yang Memikul Gaya Aksial ” (Studi Literatur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Faktor Reduksi U (Shear Lag Factor) Pada Komponen Struktur yang Memikul Gaya Aksial ” (Studi Literatur)"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN FAKTOR REDUKSI U (SHEAR LAG FACTOR) PADA

KOMPONEN STRUKTUR YANG MEMIKUL GAYA AKSIAL

(Studi Literatur)

TUGAS AKHIR

040404048

RANGGA PUTRA ANGKOLA SIAGIAN

BIDANG STUDI STRUKTUR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

(2)

ABSTRAK

Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam prosedur konstruksinya.

Kajian faktor reduksi U (Shear Lag Factor) yang dilakukan pada tugas akhir ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar nilainya berpengaruh terhadap perencanaan kuat tarik rencana pada struktur baja sederhana yang mengalami gaya tarik aksial. Kemudian dianalisa perbandingan perhitungan menggunakan rumusan faktor U yang telah ditetapkan pada peraturan SNI 03-1729-2002 dengan perhitungan menggunakan rumusan faktor UL yang

merupakan hasil analisa dari Howard I. Epstein dan Christopher L. D Auito yang dinilai lebih konservatif.

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan tugas akhir ini. Tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam

ujian Sarjana Teknik Sipil Bidang studi Struktur pada Fakultas Teknik Universitas

Sumatera Utara.

Adapun judul dari tugas akhir ini adalah : “ Kajian Faktor Reduksi U (Shear Lag Factor) Pada Komponen Struktur yang Memikul Gaya Aksial ” (Studi Literatur). Penulis berusaha menyelesaikan tulisan ini sebaik mungkin, namun penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangannya.

Keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan penyebab dari

ketidaksempurnaan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu penulis, mengharapkan kritik

dan saran dari Bapak dan Ibu dosen serta rekan-rekan Mahasiswa.

Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang

diberikan untuk terselesainya tugas akhir ini kepada :

1. Bapak Ir. Robert Panjaitan, sebagai pembimbing tugas akhir.

2. Bapak dosen penguji tugas akhir.

3. Bapak Prof. DR. Ing. Johannes Tarigan, sebagai Ketua Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, sebagai Sekretaris Departemen Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Ir. Sanci Barus,MT, sebagai Koordinator sub jurusan Struktur

(4)

6. Bapak dan Ibu Staf Dosen dan Pengajar di Departemen Teknik Sipil Fakultas

Teknik Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak, Ibu, Abang dan Kakak pegawai Departemen Teknik Sipil Fakultas

Teknik Universitas Sumatera Utara (Kak Lince, Kak Dina, Bang Zul, Bang Edi

dan Bang Amin).

8. Kepada keluarga besarku, kedua orangtuaku, Ayahanda Suharjo Siagian dan

Ibunda Edip Hanum, yang selama ini selalu berusaha memberikan segala yang

terbaik kepada anak-anaknya sehingga bisa seperti sekarang ini, kakakku Ermi

Arlini Siagian dan adik-adikku Muhammad Armado Siagian dan Pagar Alam

Siagian terima kasih untuk perhatian, nasehat, semangat, bantuan, dan dorongan

serta kesabaran yang telah diberikan.

9. Rekan-rekan seperjuanganku di Stambuk 2004 Teknik Sipil, Dzi, Salma, Freedi,

Aswin, Dini, Andi, Gafur, Erwin, Joko, Amex, Acha, Erick, Joko S, Budiman,

Emir, Ical, Pepeng, Mario, Rizal, Rinal, Royhan, Roy, Ela, Oki, Topan, Dody

dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Abang-abang

stambuk 2003 dan adik-adik stambuk 2005, 2006, 2007 ,2008 dan 2009.

Pengurus IMS FT USU terutama adinda Joseph yang telah banyak membantu

menyelesaikan persoalan di kampus, terima kasih atas support dan do’anya

sehingga dapat menyelesaikan semua ini dengan baik. Teman-teman

seperjuangan di HMI Komisariat FT USU, Iskandar, Ronny, Varo, Windi, Zuna,

Asrul, Rio yang sama-sama berjuang di kala susah maupun senang. Adik-adikku

tercinta Rora, Ratih, Andi, Mora, Yuda, Habibi, Fandi, Asrul, Haikal, Asril,

Bayu, Budi, Rina, Toni, Vina, Irsyad, Ikhwan, Andika, Armi, Ari, Robi, Galih,

Syafi’i, Riza, Trisnal, Andre, Hadi, Marlin serta adik-adik stambuk 2005 hingga

(5)

perjuangan kita tetap berlanjut dan masa depan yang cerah menjadi tujuan akhir

hidup kita. Teman-teman di kepengurusan HMI Cabang Medan, Kakanda

senioran Bang Khalid, Bang Riki, Bang Bayu, Kak Qotul, Kak Ria, Bang Aidil,

Bang Iwan, Kak Desi, Bang Hafis yang telah bersama-sama mewujudkan jannah

di dunia beserta dengan warga lainnya yang tidak dapat diungkap satu-persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga tugas akhir ini dapat berguna bagi kita

semua. Amin.

Medan, Desember 2010

Hormat Saya,

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……… ….. i

KATA PENGANTAR ……….. ….. ii

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR NOTASI ………. viii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ……….. xii

BAB I : PENDAHULUAN ………. 1

I.1 Latar Belakang ……… 1

I.2 Permasalahan ……….. 3

I.3 Manfaat dan Tujuan ……… 6

I.4 Pembatasan Masalah ……… 7

I.5 Metodologi ……….. 8

I.6 Sistematika Penulisan ………... 8

BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN ……….. 9

II. 1 PENGENALAN DESAIN STRUKTUR BAJA ………... 9

II. 1. 1 Desain Konstruksi ………. 9

II. 1. 2 Kerangka Perencanaan Struktur ... 10

II. 1. 3 Keunggulan Baja Sebagai Material Konstruksi ………. 10

1.3.1 Kekuatan tinggi (High Strength) ………... 10

1.3.2 Keseragaman (Uniformity) ……… 11

1.3.3 Elastisitas (Elasticity) ……… 11

1.3.4 Daktilitas (Ductility) ……….. 11

1.3.5 Kuat Patah/Rekah (Fracture Toughness) ……….. 12

II. 1. 4 Kelemahan Baja Sebagai Material Konstruksi ……….. 12

1.4.1 Biaya Perawatan (Maintenance Cost) ……… 12

1.4.2 Biaya Penahan Api (Fire Proofing Cost) ………... 12

1.4.3 Kelelahan (Fatigue) ……… 12

(7)

II. 1. 5 Sifat-Sifat Mekanis Baja Struktural ………... 13

1.5.1 Tegangan Leleh (Yielding Stress) ……….. 13

1.5.2 Tegangan Putus (Ultimate Stress) ……….. 13

1.5.3 Sifat-Sifat Mekanis Lainnya ……….. 14

II. 1. 6 Jenis-Jenis Baja Struktural yang Umum Digunakan ……….. 14

1.6.1 Profil Baja Giling (Rolled Steel Shapes) ……… 14

1.6.2 Profil Baja yang Dibentuk Dalam Keadaan Dingin ……… 15

II. 1. 7 Hubungan Antara Tegangan dan Regangan pada Konstruksi Baja ………. 16

II. 1. 8 Metode ASD (Allowable Stress Design) ………... 18

II. 1. 9 Metode LRFD (Load Resistance Factor Design) ……….. 19

II. 1. 10 Hubungan Metode ASD dan LRFD ……….. 21

II. 2 KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA AKSIAL ... 22

II. 2. 1 Kuat Tarik Rencana ……… 22

II. 2. 2 Komponen Struktur Tarik ……….. 23

II. 2. 3 Luas Penampang Efektif ( Effective Area) ……… 24

II. 3 SAMBUNGAN BAJA ... 24

II. 3. 1 Klasifikasi Sambungan ... 24

3.1.1 Sambungan Kaku ... 24

3.1.2 Sambungan Semi Kaku ... 25

3.1.3 Sambungan Sendi ... 26

II. 3. 2 Jenis alat penyambung ………. 26

3.2.1 Baut (Bolt) ………. 26

3.2.2 Las ………. 35

II. 3. 3 Perencanaan Sambungan ... 43

(8)

BAB III : PEMBAHASAN MASALAH ………. 47

III. 1 DESAIN KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA TARIK AKSIAL ………. 47

III. 1. 1 Konsep dasar ……….. 47

1.1.1 Tegangan ……….. 47

1.1.2 Pembebanan ………. 48

1.1.3 Tahanan Nominal/Kuat tarik rencana ……….. 49

1.1.3.a Kondisi leleh dari luas penampang kotor ………. 50

1.1.3.b Kondisi fraktur dari luas penampang Efektif pada sambungan …………...……… 50

1.1.4 Luas Neto (Net Area) ………... 51

1.1.4.a Luas Neto akibat Lubang Selang-seling ... 52

1.1.5 Luas Neto Efektif (Nett Effective Area) ………. 55

1.1.6 Luas Netto Efektif (Nett Effective Area) pada sambungan las ... 58

1.1.7 Geser Eksentris ... 64

III. 2 FAKTOR REDUKSI U (SHEAR LAG FACTOR) ... 65

III. 2. 1 Penelitian fenomena kelambanan sesar (Shear Lag) yang menyebabkan adanya faktor reduksi U ... 67

III. 2. 2 Pembatasan pada penelitian fenomena kelambanan sesar (shear lag)……….. 70

III. 3 FENOMENA BLOK GESER (SHEAR BLOCK) ……….. 77

III. 4 EFEK MOMEN PADA BATANG TARIK PROFIL T-BEAM ……….. 80

BAB IV : APLIKASI ……….. 91

IV. 1 PROFIL BAJA YANG DIGUNAKAN ………... 91

IV. 2 ALAT PENYAMBUNG YANG DIGUNAKAN ………. 92

IV. 3 PEMODELAN STRUKTUR ……….. 93

IV. 4 PERBANDINGAN RUMUS PERHITUNGAN YANG DIGUNAKAN ………... 94

(9)

IV.5. 1 APLIKASI PERHITUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN

BERBAGAI JENIS PROFIL BAJA ……… 128

IV. 5. 1. 1 PROFIL BAJA IWF ……… 128

IV. 5. 1. 2 PROFIL BAJA SIKU ……….. 140

IV. 5. 1. 3 PROFIL BAJA C (KANAL)……… 152

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………... 164

V. 1 KESIMPULAN ………... 164

V. 2 SARAN ……….. 166

(10)

DAFTAR NOTASI Ae = luas neto efektif

Ag= luas penampang efektif neto

Agv = luas penampang bruto yang berhubungan dengan geser

Agt = luas penampang bruto yang berhubungan dengan tarik

Anv= luas neto penampang yang berhubungan dengan geser

Ant = luas neto penampang yang berhubungan dengan tarik

An= luas neto penampang

U = faktor reduksi (Shear Lag Factor)

UL = faktor reduksi (Shear Lag Factor) hasil analisa pada profil T beam

= jarak dari titik berat panampang yang tersambung secara eksentris ke bidang pemindahan beban.

l = panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua buah baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las dalam arah gaya tarik.

Ω = Faktor resistensi / tahanan pada ASD

Rn = Tegangan nominal bahan (kg/cm2)

Ø = Faktor resistensi / tahanan

fn = Kekuatan nominal bahan MPa / (kg/cm2)

(11)

fu = tegangan tarik putus, MPa / (kg/cm2)

Pa = kekuatan yang didapatkan dengan metode LRFD. (N)

Pb = kekuatan yang didapatkan dengan metode ASD (N)

F = faktor geser permukaan

Φ = faktor keamanan = 1,4

N0= pembebanan tarik awal (proof load)

n = jumlah bidang geser

T = gaya aksial tarik yang bekerja pada sambungan baut

D = beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen termasuk dinding

lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga dan peralatan layan tetap.

L = beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi

tidak termasuk beban lingkungan seperit angin, hujan dan lain-lain.

La = beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan,

dan material atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak.

H = beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air.

W = beban angin

E = beban gempa, yang ditentukan menurut SNNI 03-1726-1989, atau penggantinya.

E = modulus elastisitas,

(12)

L = panjang keseluruhan dari penampang.

G = modulus geser penampang,

H = panjang profil arah vertical/tinggi profil,

tw = ketebalan dari penampang profil,

Kθ = perputaran kekakuan dari sambungan,

Nu = gaya aksial terfaktor,

Mu = momen lentur nominal penampang komponen struktur,

Øb = faktor reduksi kekuatan untuk komponen struktur lentur = 0,90 dan ini berlaku

apabila merupakan sambungan gaya tarik dan tidak ditemukan ketidakstabilan

lateral.

Øt = faktor reduksi kekuatan untuk komponen struktur tarik = 0,75 (butir 10.1.1-2.b

SNI 03-1729-2002).

Z = modulus penampang plastis

Mp = Kapasitas momen dalam keadaan plastis

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Faktor penentu nilai tahanan nominal

komponen struktur tarik ……… 2

Gambar 1.2 Penentuan letak nilai x ……….. 4

Gambar 1.3 Blok Geser ………. 5

Gambar 2.1 Profil baja giling ……….. 15

Gambar 2.2 Profil yang dibentuk dalam keadaan dingin ……… 15

Gambar 2.3 Grafik hubungan tegangan-regangan ……… 16

Gambar 2.4 Grafik hubungan tegangan-regangan yang telah dinormalisasi……….. 18

Gambar 2.5 Sambungan kaku……… 25

Gambar 2.6 Sambungan semi kaku……… 25

Gambar 2.7 Sambungan sendi ………... 26

Gambar 2. 8 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh panjang ulir di dalam elemen pelat ………. 31

Gambar 2. 9 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh putaran kunci ………. 32

Gambar 2. 10 Hubungan Tegangan vs Perpanjangan A490 bolt & A325 bolt ... 32

Gambar 2. 11 Tipe-tipe las ... 37

Gambar 2. 12 Tipe-tipe las Groove ………. 38

Gambar 2. 13 Penggunaan las Groove pada sambungan T ... 38

Gambar 2.14 Kegunaan tipikal las fillet ... 39

Gambar 2.15 Lasslot dan las plug dengan kombinasi las fillet ... 40

Gambar 2.16 Tebal las ………. 40

Gambar 2.16 Gaya P yang membentuk sudut α terhadap bidang retak las ……… 41

Gambar 2.16 Gaya P izin yang dapat dipikul beberapa jenis sambungan las …… 43

Gambar 3.1 Contoh komponen struktur tarik ... 47

Gambar 3.2 Distribusi tegangan akibat adanya lubang pada penampang ... 51

Gambar 3.3 lubang baut pada pelat ... 52

Gambar 3.4 Lubang selang-seling ………... 53

(14)

Gambar 3.7 Sambungan las ……… 58

Gambar 3.8 Sambungan las pada dua sisi ……….. 58

Gambar 3.9 Contoh sambungan geser eksentris …...……….. 64

Gambar 3.10 Kombinasi Momen dan Geser ………64

Gambar 3.11 Sambungan antara rangka baja dan plat buhul (Gusset Plate)... 65

Gambar 3.12 Distribusi tekanan memanjang normal pada penampang…………. 66

Gambar 3.13 Definisi dari aspek rasio ………... 71

Gambar 3.14 Gambaran dari profil baja yang menggunakan aspek rasio ……… 73

Gambar 3.15 Tipikal mekanisme keruntuhan blok geser ……… 77

Gambar 3.16 Cara menentukan keruntuhan blok geser pada profil T-beam…….. 81

Gambar 3.17 Momen pada batang tarik yang dibebankan secara eksentris ……... 83

Gambar 3.18 Bentuk perlawanan Momen yang disederhanakan ……… 84

Gambar 3.19 Perpindahan Elastis ……….. 84

Gambar 3.20 Penyebaran gaya tarik geser pada sambungan dan pola lengkungannya ……….. 86

Gambar 3.21 Perbandingan cara analitis dan metode elemen hingga pada reaksi non-dimensional versus panjang sambungan non-dimensional……. 87

Gambar 4.1 Profil T-Beam ……….. 91

Gambar 4.2 Tampak depan Profil T-Beam yang disambung dengan baut... 93

Gambar 4.3 Tampak samping Profil T-Beam yang disambung dengan baut ... 93

Gambar 4.4 Spesifikasi Profil T 400 x 200 ... 97

Gambar 4.5 Spesifikasi Profil T 300 x 200 ...107

Gambar 4.6 Spesifikasi Profil T 200 x 200 ... 118

Gambar 4.7 Spesifikasi Profil IWF 400 x 400... 129

Gambar 4.8 Spesifikasi Profil Siku 100x100x10.... 141

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat mekanis baja struktural ………. 13

Tabel 2.2 Sifat-sifat baja ……… 27

Tabel 2.3 Harga faktor geser permukaan ……….. 34

Tabel 2.4 Analisa kimia ideal dari baja karbon untuk kemampuan dilas yang baik ……… 36

Tabel 2.5 Harga c untuk beberapa α ………. 42

Tabel 3.1 Faktor Reduksi U untuk sambungan pada batang tarik ……… 57

Tabel 3.2 Bentuk-bentuk profil baja yang diujicoba ……….. 74

Tabel 3.3 Aspek Rasio pada profil baja yang diujicoba ……… 75

Tabel 3.4 Dimensi profil baja yang diujicoba ……… 76

Tabel 4.1 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi... 91

Tabel 4.2 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 400 x 200 ... 107

Tabel 4.3Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 300 x 200... 117

Tabel 4.4 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 200 x 200 ... 127

Tabel 4.5 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...128

Tabel 4.6 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil IWF 400 x 400 ... 139

Tabel 4.7 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...140

Tabel 4.8 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil Siku 100 x 100 x 10 ... 151

Tabel 4.9 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...152

(16)

ABSTRAK

Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam prosedur konstruksinya.

Kajian faktor reduksi U (Shear Lag Factor) yang dilakukan pada tugas akhir ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar nilainya berpengaruh terhadap perencanaan kuat tarik rencana pada struktur baja sederhana yang mengalami gaya tarik aksial. Kemudian dianalisa perbandingan perhitungan menggunakan rumusan faktor U yang telah ditetapkan pada peraturan SNI 03-1729-2002 dengan perhitungan menggunakan rumusan faktor UL yang

merupakan hasil analisa dari Howard I. Epstein dan Christopher L. D Auito yang dinilai lebih konservatif.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 LATAR BELAKANG

Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki

kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama

umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja

harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang

diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki

kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan

kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi

balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan

yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam

prosedur konstruksinya.

Dalam merencanakan suatu struktur baja untuk bangunan gedung, SNI

03-1729-2002 telah menjadi standar Indonesia dalam perencanaan saat ini.

Dalam perencanaan struktur baja, ada tiga cara yang dapat digunakan.

1. Metode elastis (ASD = Allowable Stress Design)

2. Metode plastis (PD = Plastic Design)

3. Metode LRFD (Load and Resistance Factor Design)

Di Indonesia, kebanyakan desain masih dilakukan dengan desain

tegangan ijin menurut metode ASD (Allowable Stress Design). Metode ASD

menitik beratkan pada beban layanan (beban kerja) dan tegangan yang dihitung

secara elastis dengan cara membandingkan tegangan terhadap harga batas yang

(18)

Peraturan SNI 03-1729-2002 yang kita gunakan, yang sebelumnya

menggunakan desain tegangan izin seperti metode ASD pada Peraturan

Pembebanan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI 1983) terlihat memperbaharui

metodenya dengan mengacu pada LRFD. Komponen struktur dengan rangka dua

dimensi dan tiga dimensi hampir setengahnya merupakan komponen struktur

tarik. Komponen struktur tarik juga dapat dilihat pada hubungan atau pada

struktur yang tergantung. Komponen struktur tarik juga terlihat pada elemen

pengaku yang menahan pengaruh gempa dan angin.

Komponen struktur tarik baja didesain dengan memperhitungkan

kemungkinan model kegagalan yang terjadi serta menggunakan kriteria beban

yang sesuai agar aman digunakan. Tahanan nominal komponen struktur tarik

dapat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

(a) Leleh penampang pada daerah yang jauh dari hubungan (las)

(b) Fraktur pada penampang efektif neto pada lubang-lubang baut di hubungan

(las)

(c) Keruntuhan blok geser (Shear Block) pada lubang-lubang baut di hubungan

(las)

Gambar 1.1 Faktor penentu nilai tahanan nominal komponen struktur tarik

a b

(19)

I. 2 PERMASALAHAN

Untuk kasus (a) berlaku tahanan tarik nominal

di mana Fyadalah kuat leleh (MPa/(Kg/Cm2))

Agadalah luas penampang bruto (Cm2)

Untuk kasus (b) pada hubungan yang menggunakan baut maka senantiasa

terjadi konsentrasi tegangan di sekitar lubang baut. Pada kasus (b) yang mana

leleh terjadi secara lokal menyebabkan terjadinya fraktur pada luas penampang

neto sehingga tahanan nominalnya adalah

di mana Fuadalah kuat tarik (MPa/(Kg/Cm2))

Aeadalah luas penampang efektif (Cm2)

Aeadalah luas penampang efektif yang diperoleh dengan sebelumya mengalikan

luas neto penampang dengan faktor reduksi U akibat adanya eksentrisitas pada sambungan, sedemikian hingga didapat :

di mana Ae adalah luas penampang efektif (Cm2)

U adalah faktor reduksi (Shear Lag Factor) Anadalah luas neto penampang (Cm2)

Koefisien reduksi U untuk hubungan yang menggunakan baut atau paku keling diperoleh dari persamaan berikut:

di mana adalah jarak dari titik berat panampang yang tersambung secara

eksentris ke bidang pemindahan beban.

l adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua buah baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las

(20)

Gambar 1.2Penentuan letak nilai x Untuk hubungan dengan las.

1. Bila komponen struktur tarik dilas kepada pelat menggunakan las

longitudinal di kedua sisinya,

2. Bila komponen struktur tarik dihubungkan menggunakan las transversal saja,

3. Bila komponen struktur tarik dihubungkan kepada baja bukan pelat

menggunakan las longitudinal/transversal.

Yang menjadi permasalahan pada tugas akhir ini adalah pada kasus (c)

saat terjadinya suatu keruntuhan dimana mekanisme keruntuhannya merupakan

kombinasi geser dan tarik, dan terjadi melewati lubang-lubang baut pada

komponen struktur tarik dikenal dengan sebutan keruntuhan blok geser (Shear

(21)

Keruntuhan jenis ini sering terjadi pada sambungan dengan baut terhadap

pelat badan yang tipis pada komponen struktur tarik. Keruntuhan tersebut juga

umum dijumpai pada sambungan pendek, yaitu sambungan yang menggunakan

dua baut atau kurang pada garis searah dengan bekerjanya gaya.

Gambar 1.3 Blok Geser

Pengujian menunjukkan bahwa keruntuhan geser blok dapat dihitung

dengan menjumlahkan tarik leleh (atau tarik fraktur) pada suatu irisan dengan

tahanan geser fraktur (atau geser leleh) pada bidang lainnya yang saling tegak

lurus. Tahanan tarik blok geser nominal ditentukan oleh persamaan berikut ini,

dengan fraktur mendahului leleh atau rasio fraktur/leleh terbesar.

…………(a)

Dimana (fraktur) ≥ (leleh)

………….(b)

Dimana (leleh) > (fraktur)

Nilai Ø = 0.75

Agv adalah luas penampang yang berhubungan dengan geser

Agt adalah luas penampang yang berhubungan dengan tarik

Anv adalah luas neto penampang yang berhubungan dengan geser

(22)

Madugula dan Mohan (1999) memperlihatkan hasil percobaan yang

dilakukan pada sudut sebuah batang tarik eksentris. Mereka memperlihatkan 13

kegagalan blok geser dari 61 sudut yang di uji coba. Mereka menyimpulkan

bahwa kegagalan blok geser terjadi pada sudut batang tarik yang eksentris. Pada

tahun 1990-1992 sebuah hasil penelitian dipublikasikan dari percobaan untuk

sambungan baut dengan gaya tarik pada sudut struktural (Adidam,1990; Epstein

and Adidam,1991; Eipstein, 1992). Mereka menyimpulkan bahwa faktor

keamanan pada AISC ASD dan LRFD yang ada tidak cukup memadai untuk

kegagalan blok geser pada struktur. Kemudian, dengan semakin bertambah

luasnya daerah kaki sambungan, maka besarnya eksentrisitas akan bertambah dan

mengurangi kekuatan dari komponen tersebut. Howard I. Epstein dan

Christopher L. D Auito juga menawarkan sebuah persamaan analitis yang dapat digunakan dalam perhitungan komponen struktur baja yang mengalami gaya tarik

aksial, dan dinilai lebih konservatif.

Dengan demikian, melalui tugas akhir ini dapat dilakukan kajian terhadap

faktor reduksi U dengan memperhitungkan komponen komponen lainnya yang berperan dalam menghasilkan perhitungan blok geser yang dapat lebih efektif

digunakan dalam perencanaan struktur baja terutama pada sambungan.

I. 3 MANFAAT DAN TUJUAN

Dalam tugas akhir ini, penulis bertujuan untuk melakukan kajian terhadap

faktor reduksi U yang terdapat pada peraturan SNI 03-1729-2002 khususnya pada pembahasan komponen struktur yang mengalami gaya tarik aksial pada

kondisi blok geser (Shear Block). Sehingga nantinya diharapkan mendapat

(23)

dalam perhitungan kuat tarik rencana pada komponen struktur yang mengalami

kegagalan pada kondisi blok geser (Shear Block).

I. 4 PEMBATASAN MASALAH

Adapun pembatasan masalah yang diambil untuk pengerjaan tugas akhir

ini adalah:

1. Kajian faktor U yang dilakukan adalah pada saat komponen struktur baja mengalami keadaan keruntuhan blok geser (Shear Block).

2. Menggunakan peraturan SNI 03-1729-2002 Tata cara perencanaan

struktur baja untuk bangunan gedung dan Peraturan Perencanaan

Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) tahun 1983.

3. Perhitungan yang dilakukan menggunakan model struktur sebagai

berikut:

4. Penampang adalah profil T-beam dengan perbandingan tertentu antara

tinggi dan lebar profil dan tebal badan dan tebal sayap profil

5. Baut yang digunakan adalah baut mutu tinggi untuk sambungan pelat.

6. Analisa regangan tidak ditinjau

7. Pengaruh komposisi bahan, temperatur, kecepatan regang bahan dan

residual stress tidak ditinjau

(24)

I. 5 METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penyelesaian tugas akhir ini adalah dengan

studi literatur yang berasal dari berbagai sumber seperti buku, jurnal-jurnal

ilmiah. Selain itu juga akan dilakukan perhitungan secara analitis.

I. 6 SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memberikan gambaran garis besar penulisan tugas akhir ini, maka

isi dari tugas akhir ini dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, terdiri dari latar belakang, permasalahan,

manfaat dan tujuan, metodologi penulisan dan sistermatika

penulisan.

BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN, terdiri dari penjelasan umum

mengenai struktur baja, komponen yang mengalami gaya tarik

aksial, sambungan baja.

BAB III : PEMBAHASAN MASALAH, terdiri dari prinsip umum terjadinya

shear block (blok geser), kajian mengenai faktor U beserta faktor-faktor yang mempengaruhi adanya nilai faktor-faktor U yang terdapat pada peraturan yang digunakan.

BAB IV : APLIKASI

(25)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN II. 1 PENGENALAN DESAIN STRUKTUR BAJA II. 1. 1 Desain Konstruksi

Desain konstruksi dapat didefenisikan sebagai kombinasi antara seni

(artistik/keindahan) dan ilmu pengetahuan (science) yang menggabungkan

intuisi para ahli struktur mengenai prilaku struktur dengan pengetahuan

prinsip-prinsip statika, dinamika, mekanika bahan dan analisis struktur untuk

menghasilkan suatu struktur yang aman dan ekonomis serta memenuhi fungsi

tertentu dan persyaratan estetika selama masa layannya. Metode perhitungan

yang berdasarkan keilmuan harus menjadi pedoman dalam proses

pengambilan keputusan. Kemampuan intuisi yang dirasionalkan oleh

hasil-hasil perhitungan dapat menjadi dasar proses pengambilan keputusan yang

baik.

Struktur optimum dicirikan sebagai berikut:

a. Biaya minimum

b. Bobot minimum

c. Periode pekerjaan konstruksi minimum

d. Kebutuhan tenaga kerja minimum

e. Biaya manufaktur minimum

f. Manfaat maksimum pada saat layan

Untuk mencapai tujuan, diharapkan dalam menghasilkan sebuah

struktur yang berkemampuan optimum seorang desainer/perancang struktur

(26)

1. Sifat-sifat fisis material.

2. Sifat-sifat mekanis material.

3. Analisa struktur.

4. Hubungan antara fungsi rancangan dan fungsi struktur.

II. 1. 2 Kerangka Perencanaan Struktur

Kerangka perencanaan struktur adalah proses penentuan jenis struktur

dan pendimensian komponen struktur sedemikian hingga beban kerja dapat

dipikul secara aman, dan perpindahan yang terjadi dapat ditolerir oleh

syarat-syarat yang berlaku. Prosedur perencanaan struktur secara iterasi dapat

dilakukan sebagai berikut:

1. Perancangan, terdiri dari pemilihan tipe dan rancangan struktur sesuai

fungsi dan kriteria keberhasilan yang optimum.

2. Penentuan besarnya beban-beban yang bekerja pada struktur.

3. Menentukan gaya-gaya dalam dan momen yang terjadi pada struktur.

4. Pemilihan komponen-komponen struktur beserta sambungannya yang

memenuhi kriteria kekuatan, kekakuan, dan ekonomis.

5. Pemeriksaan ketahanan struktur akibat beban kerja.

6. Perbaikan akhir.

II. 1. 3 Keunggulan Baja Sebagai Material Konstruksi

1.3.1

Baja struktural umumnya mempunyai daya tarikan (tensile strength)

antara 400 s/d 900 MPa. Hal ini sangat berguna untuk dipakai pada jembatan

berbentang panjang, bangunan tinggi, dan struktur tanah lunak. Sedangkan

(27)

dipikulnya berasal dari berat sendirinya. Struktur kayu sebenarnya juga cukup

ringan, namun kelemahannya terletak pada kekuatan dan keawetannya.

1.3.2

Sifat-sifat baja tidak berubah karena waktu, berbeda dengan beton dan

kayu yang tergantung waktu. Hampir seluruh bagian baja memiliki sifat-sifat

yang sama sehingga cukup menjamin kekuatannya. Pada beton dapat terjadi

perbedaan sifat pada bagian yang berbeda meskipun waktu pembuatan dan

mutu betonnya sama. Begitu pula dengan kayu yang ditandai dengan adanya

mata kayu dan ketidakseragaman dimensi penampang. Keseragaman (Uniformity)

1.3.3

Baja mendekati perilaku seperti asumsi yang dibuat dalam

perencanaan, karena mengikuti hukum Hooke, walaupun telah mencapai

tegangan yang cukup tinggi. Modulus elastisitasnya sama untuk tarik dan

tekan. Pada beton, tegangan tarik, tekan, dan modulus elastisitasnya berbeda.

Demikian juga pada kayu, dibedakan tegangan searah serat dengan tegak

lurus serat.

Elastisitas (Elasticity)

1.3.4

Daktilitas adalah kemampuan struktur atau komponennya untuk

melakukan deformasi inelastik bolak-balik berulang diluar batas titik leleh

pertama, sambil mempertahankan sejumlah besar kemampuan daya dukung

bebannya. Manfaat daktilitas ini bagi kinerja struktural adalah pada saat baja

mengalami pembebanan yang melebihi kekuatannya, baja tidak langsung

hancur tetapi akan meregang sampai batas daktilitasnya sebelum runtuh.

Demikian juga pada beban siklik, daktilitas yang tinggi ini menyebabkan baja

(28)

1.3.5

Baja adalah material yang sangat ulet sehingga dapat memikul

pembebanan yang berulang-ulang. Komponen struktur baja yang dibebani

sampai mengalami deformasi besar, masih mampu menahan gaya-gaya yang

cukup besar tanpa mengalami fraktur. Keuletan ini dibutuhkan jika terjadi

konsentrasi tegangan walaupun tegangan yang masih di bawah batas yang

diizinkan. Pada bahan yang tidak mempunyai keuletan, keruntuhan dapat

terjadi pada tegangan yang rendah dan akan bersifat getas (keruntuhan secara

langsung).

Kuat Patah/Rekah (Fracture Toughness)

II. 1. 4 Kelemahan Baja Sebagai Material Konstruksi

1.4.1

Baja bisa berkarat karena berhubungan dengan air dan udara. Oleh

sebab itu, baja harus dicat secara berkala. Biaya Perawatan (Maintenance Cost)

1.4.2

Kekuatan baja berkurang drastis pada temperatur tinggi. Untuk

mengatasi masalah ini, baja struktural harus dilindungi dengan bahan

insulasi/penahan panas.

Biaya Penahan Api (Fire Proofing Cost)

1.4.3

Kelelahan pada baja tidak selalu dimulai dengan yielding (leleh) atau

deformasi yang sangat besar, tetapi dapat juga disebabkan beban siklik

ataupun pembebanan yang berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama.

Kejadian ini sering terjadi pada struktur yang berbentuk jembatan,

dikarenakan adanya pembebanan berulang melalui lalu lintas harian rata-rata

(29)

1.4.4

Struktur baja ada kalanya tiba-tiba runtuh tanpa menunjukkan

tanda-tanda deformasi yang membesar. Kegagalan ini sangat berbahaya dan harus

dihindari. Berbeda dengan kelelahan, rekah kerapuhan disebabkan oleh beban

statik.

Rekah Kerapuhan (Brittle Fracture)

II. 1. 5 Sifat-Sifat Mekanis Baja Struktural

Menurut SNI 03-1729-2002, sifat mekanis baja struktural yang

digunakan dalam perencanaan harus memenuhi persyaratan minimum yang

diberikan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sifat mekanis baja struktural Jenis

Baja

Tegangan Putus

Minimum, fu (MPa)

Tegangan Leleh

Minimum, fy (MPa)

Peregangan Minimum (%) BJ 34 BJ 37 BJ 41 BJ 50 BJ 55 340 370 410 500 550 210 240 250 290 410 22 20 18 16 13 1.5.1

Tegangan leleh untuk perencanaan (fy) tidak boleh diambil melebihi

nilai yang diberikan pada tabel 1.1. Tegangan Leleh (Yielding Stress)

1.5.2

Tegangan putus untuk perencanaan (fu) tidak boleh diambil melebihi

(30)

1.5.3

 Modulus Elastisitas : E = 200.000 MPa Sifat-Sifat Mekanis Lainnya

Sifat-sifat mekanis lain baja struktural untuk maksud perencanaan

ditetapkan sebagai berikut:

 Modulus Geser : G = 80.000 MPa

 Angka Poisson : μ = 0,3

 Koefisien Pemuaian : α = 12 x 10-6

/ 0C

II. 1. 6 Jenis-Jenis Baja Struktural yang Umum Digunakan

Fungsi struktur merupakan faktor utama dalam menentukan

konfigurasi struktur. Berdasarkan konfigurasi struktur dan beban rencana,

setiap elemen atau komponen dipilih untuk menyanggah dan menyalurkan

beban pada keseluruhan struktur dengan baik. Adapun jenis-jenis baja

struktural yang umum digunakan adalah profil baja giling (rolled steel

shapes) dan profil baja yang dibentuk dalam keadaan dingin (cold formed

steel shapes).

1.6.1 Profil Baja Giling (Rolled Steel Shapes)

Baja struktural dapat dibuat dalam berbagai ukuran dan bentuk tanpa

merubah sifat-sifat fisisnya. Profil baja giling dibentuk dengan cara blok-blok

baja yang panas diproses melalui rol-rol dalam pabrik. Profil baja giling ini

mengandung tegangan residu (residual stress) yaitu tegangan yang timbul

sebagai akibat proses pendinginan baja. Jadi, sebelum batang dibebani sudah

ada residual stress yang berasal dari pabrik. Bentuk tipikal dari profil baja

(31)

(b) Profil Z

(a) Kanal C (c) Kanal ganda berbentuk I

[image:31.595.125.532.52.271.2]

(d) Profil Siku (e) Penampang topi

Gambar 2.1 Profil baja giling 1.6.2

Selain profil baja giling, ada juga penampang baja yang dibentuk dari

baja lembaran tipis yang dinamakan profil baja yang dibentuk dalam keadaan

dingin (cold formed steel shapes). Profil semacam ini dibentuk dari

pelat-pelat yang sudah jadi menjadi profil baja dalam temperatur atmosfir (dalam

keadaan dingin). Bentuk tipikal profil baja yang dibentuk dalam keadaan

dingin dapat ditunjukkan pada gambar 3.2.

Profil Baja yang Dibentuk Dalam Keadaan Dingin

Gambar 2.2 Profil yang dibentuk dalam keadaan dingin

(e) Profil T (d) Profil siku

(a) Profil sayap lebar (b) Balok standar Amerika (c) Profil kanal

[image:31.595.130.535.490.694.2]
(32)

F

II. 1. 7 Hubungan Antara Tegangan dan Regangan pada Konstruksi Baja

Dalam peraturan AISC 2005, perhitungan rumus kekuatan nominal

(RN) menggunakan tegangan leleh (fy) maupun tegangan ultimate (fu),

pemilihan tegangan baik itu fu maupun fy didasarkan atas kemampuan

struktur mempertahankan stabilitasnya setelah beban maximum diberikan.

Oleh sebab itu sebaiknya terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang

pengertian tegangan ultimate dan tegangan luluh berdasarkan grafik

hubungan tegangan-regangan sebagai berikut:

Gambar 2.3 Grafik hubungan tegangan-regangan

Grafik diatas menunjukkan hasil pengukuran hubungan

tegangan-regangan dalam percobaan tarik baja. Tipikal grafik seperti diatas hanya

dapat dijumpai pada percobaan tarik baja lunak (mild).

Benda uji baja diberikan beban tarik sehingga tegangan baja

meningkat dari titik O sampai ke titik A. Ordinat titik A disebut tegangan

proposional (fp). Hubungan tegangan-regangan dari titik awal sampai ke titik

A masih linear. Daerah antara titik O dan A disebut juga daerah elastis yang

(33)

apabila beban dilepaskan, maka baja masih dapat kembali ke bentuk atau

panjang semula.

Ketika beban diperbesar sehingga tegangan baja sampai ke titik B,

maka hubungan tegangan-regangan tidak linear lagi. Titik B merupakan titik

leleh (fy) dari baja yang ditandai dengan tegangan yang relatif tidak naik dan

regangan yang meningkat. Daerah antara titik A ke C merupakan daerah

plastis, dimana jika suatu batang baja mengalami tegangan sampai melewati

titik A (masuk ke daerah A-C) dan beban dilepaskan, maka baja tidak akan

kembali ke panjang semula. Dengan demikian terdapat regangan residu yang

disebabkan karena inelastis dari bahan tersebut.

Apabila beban diperbesar lagi maka yang terjadi adalah regangan

akan terus meningkat tanpa disertai tegangan sampai ke titik C, yang disebut

titik pengerasan regangan. Pada titik C, terdapat kenaikan tegangan yang

disebabkan karena regangan bahan sudah hampir mencapai maximum. Bahan

masih mampu menahan tegangan tambahan sampai ke titik D yang disebut

tegangan ultimate (fu). Daerah antara titik C ke D merupakan daerah strain

hardening yang ditandai dengan peningkatan tegangan dan regangan setelah

melewati batas plastis.

Jika beban ditambah sampai tegangan baja melewati tegangan

ultimate, maka baja akan mengalami kegagalan putus leleh yang ditandai

dengan penurunan tegangan dan regangan yang terus bertambah sampai

(34)
[image:34.595.126.527.92.309.2]

Gambar 2.4 Grafik hubungan tegangan-regangan yang telah dinormalisasi Grafik gambar 2.3 dapat dinormalisasi menjadi seperti pada gambar

2.4. Tegangan leleh berada pada titik A dan daerah antara titik O dan titik A

adalah daerah elastis sedangkan daerah antara titik A dan B adalah daerah

plastis.

II. 1. 8 Metode ASD (Allowable Stress Design)

Metode ASD (Allowable Stress Design) merupakan metode yang

paing konvensional yang digunakan dalam perencanaan konstruksi. Metode

ini menggunakan beban servis (service load) sebagai beban yang harus dapat

ditahan oleh material (bahan). Agar konstruksi aman maka harus

direncanakan bentuk dan kekuatan bahan yang mampu menahan beban

tersebut. Tegangan maksimum yang diizinkan terjadi pada suatu bahan pada

saat beban servis bekerja harus lebih kecil atau sama dengan tegangan leleh

(fy). Untuk memastikan bahwa tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan

(35)

leleh (fy) maka diberikan faktor keamanan terhadap tegangan izin maksimum

yang boleh terjadi.

Besaran faktor keamanan yang diberikan lebih kurang sama dengan

1,5; sehingga boleh dipastikan bahwa kekuatan maksimum yang diizinkan

terjadi adalah 2/3 fu yang berarti juga akan terletak pada daerah elastis.

Perencanaan dengan memakai ASD akan memberikan penampang yang lebih

konvensional.

II. 1. 9 Metode LRFD (Load Resistance Factor Design)

LRFD (Load Resistance Factor Design) adalah suatu metode

perencanaan yang sekarang ini digunakan dalam peraturan konstruksi baja

Amerika yang bernama AISC-LRFD. Peraturan kita yakni SNI, yang

sebelumnya menggunakan desain tegangan ijin seperti pada metode ASD

terlihat memperbaharui metodenya dengan mengacu kepada AISC-LRFD.

Metode LRFD lebih mementingkan perilaku bahan atau penampang pada

saat terjadinya keruntuhan. Seperti yang kita ketahui bahwa suatu bahan

(khususnya baja) tidak akan segera runtuh ketika tegangan terjadi melebihi

tegangan leleh (fy), namun akan terjadi regangan plastis pada bahan tersebut.

Apabila regangan yang terjadi sudah sangat besar maka akan terjadi strain

hardening yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tegangan sampai ke

tegangan runtuh (fu) yang lebih sering disebut tegangan ultimate.

u

f

n

f

Ω

u

f

f

dimana: fu = Tegangan yang dibutuhkan (MPa)

Ω = Faktor resistensi / tahanan

(36)

n

u

f

f

φ

Pada saat tegangan ultimate dilampaui maka akan terjadi keruntuhan

bahan. Metode LRFD pada umumnya menggunakan perhitungan dengan

menggunakan tegangan ultimate (fu) menjadi tegangan izin, namun tidak

semua perhitungan menggunakan fu, ada juga yang masih menggunakan fy,

terutama pada perhitungan kekuatan dimana deformasi yang besar akan

mengakibatkan ketidakstabilan konstruksi.

Metode LRFD menggunakan beban terfaktor sebagai beban

maksimum pada saat terjadi keruntuhan. Beban servis akan dikalikan dengan

faktor amplikasi yang tentunya lebih besar dari 1 dan selanjutnya akan

menjadi beban terfaktor. Selain itu kekuatan nominal (kekuatan yang dapat

ditahan bahan) akan diberikan faktor resistansi juga sebagai faktor reduksi

akibat dari ketidak sempurnanya pelaksanaan dilapangan maupun pabrik.

Besaran faktor resistansi berbeda-beda untuk setiap perhitungan

kekuatan yang ditinjau, misalnya: untuk kekuatan tarik digunakan faktor 0,9

dan untuk kekuatan geser digunakan 0,75 dan lain sebagainya. Penentuan

besaran faktor resistansi didapatkan dengan cara statistik baik yang

didapatkan dari percobaan laboratorium maupun kejadian di lapangan. Dapat

dilihat bahwa untuk penampang yang sama hasil kekuatan nominal yang

didapatkan dengan metode LRFD akan lebih tinggi daripada yang dihasilkan

dengan metode ASD.

dimana: fu = Tegangan yang dibutuhkan (MPa)

Ø = Faktor resistensi / tahanan

(37)

φ

3

2

1

=

y a

A f

P

=

φ

=

y b

A f

P

y

b

A f

P

=

2/3

a

b

P

P

=

2/3

II. 1. 10 Hubungan Metode ASD dan LRFD

Dalam buku peraturan AISC 2005 kedua metode menggunakan rumus

yang sama namun faktor yang diberikan berbeda. Safety factor (faktor

keamanan) untuk metode ASD diberi lambang Ω sedangkan Resistance

factor (faktor resistansi) untuk metode LRFD diberi lambang Ø. Kesimpulan

dapat ditarik dari peraturan AISC 2005 bahwa hubungan antara Ω dan Ø

adalah sebagai berikut:

Dari hubungan diatas, terlihat bahwa perhitungan kekuatan nominal

dengan metode ASD menggunakan tegangan yang lebih kecil, yaitu: berkisar

2/3 dari tegangan yang digunakan pada metode LRFD. Kekuatan nominal

adalah kekuatan yang dimiliki bahan. Akibat dari penggunaan tegangan yang

lebih kecil maka pada umumnya kekuatan nominal yang dihitung dengan

metode ASD akan lebih kecil dibandingkan dengan metode LRFD.

Hubungan ini dapat didefinisikan sebagai berikut:

karena 1/Ω = 2/3 Ø, maka:

(LRFD)

(ASD)

dimana: Pa = kekuatan yang didapatkan dengan metode LRFD. (N)

Pb = kekuatan yang didapatkan dengan metode ASD (N)

fy = tegangan leleh baja. (MPa)

(38)

A

P

f

f

A

P

f

a

=

a

atau

φ

y

A

P

f

f

A

P

f

b b y

=

atau

a b y b y b y a

f

f

f

f

f

f

f

f

3

2

3

2

=

=

=

=

φ

φ

Apabila hubungan diatas kita lihat dari sudut pandang tegangan yang

terjadi (f) maka:

II. 2 KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA TARIK AKSIAL

II. 2. 1 Kuat Tarik Rencana

Komponen struktur yang memikul gaya aksial terfaktor Nu harus

memenuhi:

Nu ≤ Ø Nn

dengan Ø Nnadalah kuat tarik rencana yang besarnya diambil sebagai

nilai terendah di antara dua perhitungan menggunakan harga-harga Ø dan Nn

di bawah ini:

Ø = 0,9 Nn = Ag fy

dimana: fa = tegangan terjadi yang didapatkan dengan metode LRFD. (MPa)

fb = tegangan terjadi yang didapatkan dengan metode ASD. (MPa)

= tegangan izin (MPa)

P = gaya aksial yang diberikan. (N)

A = luas penampang nominal. (mm2)

(LRFD)

(39)

Dan

Ø = 0,75 Nn = Ae fu

Keterangan:

Agadalah luas penampang bruto, mm2

Aeadalah luas penampang efektif, mm2

fy adalah tegangan leleh, MPa / (kg/cm2)

fu adalah tegangan tarik putus, MPa / (kg/cm2)

II. 2. 2 Komponen Struktur Tarik

Batang tarik dapat terbuat dari profil bulat ( 0 ), pelat ( ), siku (

), dobel siku ( ), siku bintang ( ), kanal tunggal/dobel ( [ / ][ ), dan lain-lain.

Tahanan nominal komponen struktur tarik dapat ditentukan oleh

beberapa faktor, yaitu:

(d)Leleh penampang pada daerah yang jauh dari hubungan (las).

(e) Fraktur pada penampang efektif neto pada lubang-lubang baut di

hubungan (las).

(f) Keruntuhan blok geser (Shear Block) pada lubang-lubang baut di

hubungan (las).

Adapun kriteria kelangsingan komponen struktur tarik, λ = L/r,

dibatasi sebesar 240 untuk batang tarik utama, dan 300 untuk batang tarik

(40)

II. 2. 3 Luas Penampang Efektif ( Effective Area)

Luas penampang efektif komponen struktur yang mengalami gaya

tarik ditentukan sebagai berikut:

Ae = AU

Keterangan :

Aadalah luas penampang, mm2

Uadalah faktor reduksi dikenal juga dengan nama Shear Lag Factor

Dimana :

xadalah eksentrisitas sambungan, jarak tegak lurus arah gaya tarik, antara

titik berat penampang komponen yang disambung dengan bidang

sambungan, mm

l adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua

baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las dalam arah gaya

tarik, mm.

II. 3 SAMBUNGAN BAJA II. 3. 1 Klasifikasi Sambungan

3.1.1

Pada sambungan kaku, sambungan dianggap memiliki kekakuan yang

cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen

struktur yang disambung. Deformasi titik kumpul harus sedemikian rupa

sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap distribusi gaya maupun terhadap

(41)

Gambar 2.5 Sambungan kaku 3.1.2

Sambungan semi kaku tidak memiliki kekakuan yang cukup untuk

mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen struktur yang

disambung, namun harus dianggap memiliki kapasitas yang cukup untuk

memberikan kekangan yang dapat diukur terhadap perubahan sudut-sudut

tersebut. Perhitungan kekakuan, penyebaran gaya, dan deformasinya harus

menggunakan analisis mekanika yang hasilnya didukung oleh percobaan

eksperimental.

Sambungan Semi Kaku

(42)

3.1.3

Sambungan sendi dianggap tidak ada momen pada kedua ujung yang

disambung. Sambungan sendi harus dapat berubah bentuk agar memberikan

rotasi yang diperlukan pada sambungan. Sambungan tidak boleh

mengakibatkan momen lentur terhadap komponen struktur yang disambung.

Detail sambungan harus mempunyai kemampuan rotasi yang cukup.

Sambungan harus bisa memikul gaya reaksi yang bekerja pada eksentrisitas

[image:42.595.201.440.291.562.2]

yang sesuai dengan detail sambungannya. Sambungan Sendi

Gambar 2.7 Sambungan sendi II. 3. 2 Jenis alat penyambung

3.2.1 Baut (Bolt)

Baut merupakan elemen penyambung yang paling vital untuk

diperhitungkan, hal ini dikarenakan baut merupakan alat sambung yang

paling sering dan umum digunakan. Ada dua jenis utama baut kekuatan

(43)

Sifat bahan dari baut ini diringkas dalam tabel 2.2. Baut jenis ini

memiliki kepala segi enam yang tebal dan digunakan dengan mur segi enam

yang setengah halus (semi finished), bagian berulirnya lebih pendek dari baut

non struktural dan dapat dipotong atau digiling (rolled). Baut A325 terbuat

dari baja karbon sedang yang diberi perlakuan panas dengan kekuatan leleh

sekitar 81 sampai 92 ksi (558 sampai 634 Mpa) yang tergantung pada

diameternya. Baut A490 juga diberi perlakuan panas tetapi terbuat dari baja

paduan (alloy) dengan kekuatan leleh sekitar 115 sampai 130 ksi (793 sampai

896 Mpa) yang tergantung juga pada diameternya.

Baut A490 terkadang digunakan bila diameter yang diperlukan

berkisar antara 1 ½ sampai 3 inchi dan juga untuk baut angkur serta batang

[image:43.595.78.548.419.764.2]

bulat berulir.

Tabel 2.2 Sifat-sifat baja

Identifikasi

ANSI / ASTM

Diameter

Inchi

(mm)

Beban leleh 1) Beban leleh 1)

Kekuatan

Tarik

Minimum

Metode

Pengukuran

Panjang 2)

Metode

Kekuatan

Leleh 3) Ksi (MPa) Ksi

(MPa)

Ksi

(MPa)

A307 4), baja karbon rendah

Mutu A dan B

¼ s/d 4

(6,35 – 10,4) - - 60

A325 5), baja berkekuatan

tinggi

Tipe 1, 2 dan 3

Tipe 1, 2 dan 3

½ s/d 1

(12,7 – 25,40)

1 1/8 s/d 1 ½

(28,6 – 38,1)

(44)

A449 6), baja berkekuatan

tinggi

(catatan: pemakaiannya

dibatasi oleh AISC hanya

untuk baut yang lebih besar

dari 1 ½ inchi sea untuk

batang berulir dan baut

angkur)

¼ s/d 1

(6,35 – 25,4)

1 1/8 s/d 1 ½

(28,6 – 38,1)

1 ¾ s/d 3

(6,35 – 76,2)

85 (585) 74 (510) 55 (380) 92 (635) 81 (560) 58 (400) 120 (825) 105 (725) 90 (620)

A449 6), baja paduan yang

diberi perlakuan panas

½ s/d 1 ½

(12,7 – 38,1)

120 (825) 130 (895) 150 (1035)

Sumber: Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid I, Edisi ke-3, Penerbit Erlangga.

1996

1) Beban leleh (prof load) dan beban tarik sesungguhnya yang diperoleh

dengan mengalikan harga tegangan tertentu dan luas tegangan tarik As;

As = 0,7584 [D – (0,9743/n)]2, dengan As = luas tegangan dalam inchi2,

D = diameter baut nominal dalam inchi dan n = jumlah ulir per inchi.

2) Perpanjangan 0,5 % akibat beban.

3) Nilai pada regangan tetap 0,2 %.

4) ANSI/ASTM A307 – 78

5) ANSI/ASTM A325 – 78a

6) ANSI/ASTM A449 – 78a

7) ANSI/ASTM A490 – 78

Baut kekuatan tinggi dikencangkan (tightened) untuk menimbulkan

tegangan tarik yang ditetapkan pada baut sehingga terjadi gaya jepit (klem /

clamping force ) pada sambungan. Oleh karena itu, pemindahan beban kerja

yang sesungguhnya pada sambungan terjadi akibat adanya gaya gesekan

(45)

tinggi dapat direncanakan sebagai tipe geser (friction type), bila daya tahan

gelincir yang tinggi tidak dibutuhkan.

Selain baut kekuatan tinggi, juga ada jenis baut lain yang digunakan

sebagai alat penyambung. Adapun jenis baut yang dimaksud antara lain:

a) Baut hitam

Baut ini dibuat dari baja karbon rendah yang diidentifikasi

sebagai ASTM A307 dan merupakan jenis baut yang paling murah.

Namun, baut ini belum tentu menghasilkan sambungan yang paling murah,

karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada suatu sambungan.

Pemakaiannya terutama pada struktur yang ringan, batang sekunder atau

pengaku, anjungan (platform), jalan haluan (catwalk), gording, rusuk

dinding, rangka batang yang kecil dan lain-lain yang bebannya kecil dan

bersifat statis. Baut ini juga digunakan sebagai alat penyambung sementara

pada sambungan yang menggunakan baut kekuataa tinggi, paku keeling

atau las. Baut hitam (yang tidak dihaluskan) kadang-kadang disebut baut

biasa, baut mesin atau baut kasar, serta kepala dan murnya dapat berbentuk

bujur sangkar.

b) Baut sekrup (turned bolt)

Baut yang secara praktis sudah ditinggalkan ini dibuat dengan

mesin dari bahan berbentuk segi enam dengan toleransi yang lebih kecil

(sekitar 1/50 inchi) bila dibandingkan baut biasa. Jenis baut ini terutama

digunakan bila sambungan memerlukan baut yang pas dengan lubang yang

dibor. Kadang-kadang baut ini bermanfaat dalam mensejajarkan peralatan

(46)

sekrup jarang sekali digunakan pada sambungan struktural, karena baut

dengan kekuatan mutu tinggi lebih baik dan lebih murah.

c) Baut bersisip (ribbed bolt)

Baut ini terbuat dari baja paku keling biasa dan berkepala bundar

dengan tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Baut bersirip telah

lama dipakai sebagai alternatif dari paku keling. Diameter yang

sesungguhnya pada baut bersirip dengan ukuran tertentu sedikit lebih besar

dari lubang tempat baut tersebut. Dalam pemasangan baut bersirip, baut

memotong tepi keliling lubang sehingga diperoleh cengkeraman yang

relatif erat. Jenis baut ini terutama bermanfaat pada sambungan tumpu

(bearing) dan pada sambungan yang mengalami tegangan berganti

(bolak-balik).

Variasi moderen dari baut bersirip adalah baut dengan tangkai

bergigi (interference-body bolt) yang terbuat dari baja baut A325, sebagai

pengganti sirip longitudinal. Baut ini memiliki gerigi keliling dan sirip

sejajar tangkainya. Karena gerigi sekeliling tangkai memotong sirip

sejajar, baut ini kadang-kadang disebut bersirip terputus (interrupted-rib).

Baut kekuatan tinggi A325 dengan tangkai bergerigi yang sekarang juga

sukar dimasukkan ke dalam lubang yang melalui sejumlah pelat, namun

baut ini dapat digunakan bila hendak memperoleh baut yang

bercengkeraman erat pada lubangnya. Selain itu pada saat pengencangan

mur, kepala baut tidak perlu dipegang seperti pada umumnya dilakukan

(47)

Dari hasil penelitian oleh Hertwig dan Petermann menyatakan

bila jumlah baut dalam satu baris maksimum 5 (lima) buah baut, maka

perencanaan sambungan dengan asumsi setiap baut dapat menerima beban

sama besar dapat diterima.

Namun, jika dalam satu baris dipakai lebih dari 6 (enam) buah

baut maka baut yang paling akhir, memikul 65 % beban yang diterima

sambungan. Dari penyelidikan di laboratorium terhadap baut mutu tinggi

diperoleh grafik hubungan tegangan baut terhadap perpanjangan batang

baut, dapat dilihat pada gambar 2.17 di bawah ini. Baut yang digunakan

adalah baut A325.

[image:47.595.174.463.347.588.2]
(48)
[image:48.595.177.468.69.299.2]

Gambar 2. 9 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh putaran kunci

Gambar 2. 10 Hubungan Tegangan vs Perpanjangan A490 bolt & A325 bolt Harga proof load (beban tarik awal) N0 dapat dihitung dengan

persamaan:

N0 = 0.75 x σe x Ae

Dimana :

Ae = luas efektif baut, yakni luas pada bagian yang berulir

[image:48.595.198.492.346.548.2]
(49)

Adapun definisi harga proof load pada baut mutu tinggi adalah

tegangan yang diberikan pada baut mutu tinggi pada waktu pemasangan

baut. Untuk mendapatkan perencanaan yang efektif, hendaklah dipakai

baut dengan kekuatan tarik minimum (tensile strength) 8000 kg/cm2 dan

faktor geser minimum 0,35 bila baut mutu tinggi pada pemasangan

mengalami over strained, maka baut tersebut harus diganti dengan baut

mutu tinggi yang baru.

Untuk baut mutu tinggi tipe geser, kekuatan sebuah baut terhadap

geser dihitung dengan persamaan:

Ng = ( F/Φ ) x n x N0

Kekuatan sebuah baut terhadap gaya aksial tarik dihitung dengan

persamaan :

Untuk beban statis : Nt = 0,6 x N0

Untuk beban bolak-balik : Nt = 0,5 x N0

Kekuatan terhadap kombinasi pembebanan tarik dan geser, maka :

Ng = ( F/Φ ) x n x ( N0 – 1,7 T )

Dimana :

F = faktor geser permukaan

Φ = faktor keamanan = 1,4

N0 = pembebanan tarik awal (proof load)

n = jumlah bidang geser

(50)

Tabel 2.3 Harga faktor geser permukaan

Keadaan permukaan F

Bersih

Digalvanis

Dicat

Berkarat, dengan karat lepas dihilangkan

Disemprotkan pasir

0,35

0,16 – 0,26

0,07 – 0,10

0,45 – 0,70

0,40 – 0,70

Sumber: Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) 1983

Untuk baut mutu tinggi tipe tumpu, tegangan-tegangan yang

diizinkan dalam menghitung kekuatan baut adalah:

• Tegangan geser yang diizinkan :

• Tegangan tarik yang diizinkan :

• Tegangan tumpu yang diizinkan :

Untuk S1≥ 2d, σ tu = 1,5 σ

Untuk 1,5d ≤ S1≤ 2d, σ tu = 1,2 σ

Untuk persamaan tegangan geser dan tegangan tarik

menggunakan tegangan dasar bahan baut dan untuk persamaan tegangan

tumpu menggunakan tegangan dasar yang terkecil antara bahan baut dengan

bahan batang yang akan disambung. Pada waktu pemasangan baut, ring harus

dipasang pada bagian bawah kepala baut dan bagian bawah mur.

τ

= 0,7

σ

(51)

3.2.2

Proses pengelasan adalah proses penyambungan bahan yang

menghasilkan menghasilkan peleburan bahan dengan memanasinya hingga

suhu yang tepat dengan atau tanpa pemberian tekanan dan dengan atau tanpa

pemakaian bahan pengisi. Energi pembangkit panas dapat dibedakan menurut

sumbernya: listrik, kimiawi, optis, mekanis dan bahan semi konduktor. Panas

digunakan untuk mencairkan logam dasar dan bahan pengisi agar terjadi

aliran bahan (terjadi peleburan). Selain itu panas dipakai untuk menaikkan

daktailitas (ductility) sehingga aliran plastis dapat terjadi meskipun jika bahan

tidak mencair. Lebih jauh lagi pemanasan dapat membantu menghilangkan

kotoran pada bahan. Las

Proses pengelasan yang paling umum terutama untuk mengelas baja

struktural memakai energi listrik sebagai sumber panas, yang paling banyak

digunakan adalah busur listrik (nyala). Busur nyala adalah pancaran arus

listrik yang relatif besar antara elektroda dan bahan dasar yang dialirkan

melalui kolom gas ion hasil pemanasan, kolom gas ini disebut plasma. Pada

pengelasan busur nyala, peleburan terjadi akibat aliran bahan yang melintasi

busur dengan tanpa diberi tekanan.

Beberapa proses pengelasan dipakai khusus untuk logam dengan

ketebalan tertentu. Pembahasan dalam bagian ini ditekankan pada proses

yang digunakan dalam pengelasan baja karbon dan baja paduan rendah untuk

gedung dan jembatan. Pengelasan busur nyala merupakan kategori proses

yang terutama dibahas, untuk profil baja ringan (light gage) pengelasan yang

(52)

Kebanyakan baja konstruksi dalam spesifikasi ASTM dapat dilas

tanpa prosedur khusus atau perlakuan khusus. Kemampuan dilas (weldability)

dari baja adalah ukuran kemudahan menghasilkan sambungan struktural yang

teguh tanpa retak. Beberapa baja struktural lebih sesuai dilas daripada yang

lain. Prosedur pengelasan sebaiknya didasarkan pada kimiawi baja, bukan

pada kandungan paduan maksimum yang ditetapkan. Karena kebanyakan

hasil pabrik berada dibawah dalam batas ini, sedangkan baja yang

berkekuatan lebih tinggi dapat melampaui analisa ideal yang ditunjukkan

dalam tabel 2.4.

Tabel 2.4 Analisa kimia ideal dari baja karbon untuk kemampuan dilas yang baik Unsur Batas Nominal (%) Persen yang memerlukan perlakuan khusus

Karbon

Mangan

Silicon

Sulfur

fosfor

0,06 – 0,25

0,35 – 0,80

0,10 maks 0,035 maks 0,030 maks 0,350 1,400 0,300 0,050 0,040

Dalam pekerjaan konstruksi, ada empat tipe pengelasan yakni:

Groove, fillet, slot dan plug seperti terlihat dalam Gambar 2.18 di bawah ini.

Masing-masing tipe las memiliki kelebihannya sendiri yang menentukan

rentang penggunaannya. Secara kasar keempat tipe terrsebut mewakili

persentase konstruksi las berikut ini: las groove (las tumpul) 15 %, fillet (las

(53)
[image:53.595.133.528.85.370.2]

Gambar 2. 11 Tipe-tipe las a). Las Groove

Kegunaan umum las groove adalah untuk menghubungkan

batang-batang struktur yang dipasangkan pada bidang yang sama. Karena las

groove biasanya dimaksudkan untuk mentransmisikan beban penuh

batang-batang yang dihubungkannya, las tersebut harus memiliki kekuatan

yang sama dengan batang-batang yang digabungkan. Las groove seperti ini

disebut sebagai las groove dengan penetrasi sambungan yang lengkap. Bila

sambungan didesain sedemikian rupa sehingga las groove tidak

sepenuhnya menjangkau ketebalan bagian-bagian yang digabungkan, las

demikian disebut sebagai las groove dengan penetrasi sambungan

sebagian. Untuk ini berlaku persyaratan-persyaratan desain yang khusus.

Ada banyak variasi las groove dan masing-masing diklasifikasikan

menurut bentuknya yang khusus. Kebanyakan las groove membutuhkan

a. Las Fillet b. Las Groove

c. Las Plug Ujung-ujung harus berbentuk

setengah lingkaran atau memiliki

sudut-sudut yang dibundarkan

dengan jari-jari tidak kurang

dari ketebalan bagian pelat yang

berisi slot

(54)

persiapan pinggiran yang khusus dan diberi nama menurut persiapannya.

Gambar 2. 12 menunjukkan beberapa tipe las groove dan menunjukkan

persiapan groove yang dibutuhkan. Pemilihan las groove yang tepat

tergantung pada proses pengelasan yang digunakan, biaya persiapan

pinggiran dan biaya pembuatan las. las groove dapat juga digunakan pada

sambungan T (gambar 2. 13).

Gambar 2. 12 Tipe-tipe las Groove

Gambar 2. 13 Penggunaan las Groove pada sambungan T b). Las Fillet

las sudut (fillet weld) merupakan jenis las yang paling banyak

digunakan, hal ini dikarenakan las jenis ini adalah jenis las yang hemat,

mudah dipabrikasi dan adaptibilitasnya baik. Dalam gambar 2.14

diperlihatkan beberapa kegunaan las fillet. Pada umumnya jenis las ini

kurang membutuhkan presisi pada pengepasannya karena masing-masing

(55)

Sedangkan las groove membutuhkan pengepasan yang teliti dengan

celah alur bukaan tertentu (bukaan akar) di antara bagian-bagiannya. Las

fillet secara khusus berguna bagi pengelasan di lapangan. Pengepasan

kembali batang-batang ataupun pada sambungan-sambungan yang

dipabrikasi dengan toleransi yang masih dapat diterima namun mungkin

tidak dipasang pas seperti yang dikehendaki. Lagipula pinggiran

bagian-bagian yang disambungkan jarang membutuhkan persiapan khusus seperti

pemotongan miring atau pengirisan tegak, karena kondisi pinggiran hasil

pemotongan dengan api atau pengirisan pun sudah memadai.

Gambar 2.14 kegunaan tipikal las fillet c). Las Slot dan Plug

las slot dan plug dapat digunakan secara eksklusif hanya dalam

sambungan seperti gambar 2.15 atau dalam kombinasi dengan las fillet

seperti gambar 2.14. Kegunaan utama las slot dan plug adalah untuk

mentransmisikan geser pada sembungan impit bila ukuran sambungan

tersebut tidak cukup untuk las fillet atau las pinggir lainnya. Las slot dan

plug berguna untuk mencegah agar bagian-bagian yang saling tumpang

tindih tidak mengalami tekuk.

Sambungan T Konsol Pelat pemikul Balok

Penampang Built Up

(56)

Gambar 2.15 Lasslot dan las plug dengan kombinasi las fillet

Untuk mendapatkan sambungan las yang memuaskan, diperlukan

kombinasi dari banyak keterampilan individu yang dimulai dengan desain

sebenarnya dari las tersebut dan diakhiri dengan operasi pengelasan.

Panjang las netto tidak boleh kurang dari 40 mm atau 8a sampai 10a dan

tidak boleh lebih dari 40a (a= tebal las). Dapat ditulis dengan 40 mm

(8-10a) ≤ Ln ≤ 40a. Panjang netto las dapat dihitung dengan menggunakan

rumus: Ln = Lbruto – 3a.

Dimana a = tebal las

Gambar 2.16 Tebal las

Untuk tebal las sudut tidak boleh kurang dari ½ t√2, dimana t adalah

tebal terkecil pelat yang dilas.

Ujung-ujungnya

(57)

Apabila gaya P yang dita

Gambar

Gambar 2.1  Profil baja giling
Gambar 2.4  Grafik hubungan tegangan-regangan yang telah dinormalisasi
Gambar 2.7 Sambungan sendi
Tabel 2.2 Sifat-sifat baja
+7

Referensi

Dokumen terkait