KAJIAN FAKTOR REDUKSI U (SHEAR LAG FACTOR) PADA
KOMPONEN STRUKTUR YANG MEMIKUL GAYA AKSIAL
(Studi Literatur)
TUGAS AKHIR
040404048
RANGGA PUTRA ANGKOLA SIAGIAN
BIDANG STUDI STRUKTUR
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
ABSTRAK
Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam prosedur konstruksinya.
Kajian faktor reduksi U (Shear Lag Factor) yang dilakukan pada tugas akhir ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar nilainya berpengaruh terhadap perencanaan kuat tarik rencana pada struktur baja sederhana yang mengalami gaya tarik aksial. Kemudian dianalisa perbandingan perhitungan menggunakan rumusan faktor U yang telah ditetapkan pada peraturan SNI 03-1729-2002 dengan perhitungan menggunakan rumusan faktor UL yang
merupakan hasil analisa dari Howard I. Epstein dan Christopher L. D Auito yang dinilai lebih konservatif.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan tugas akhir ini. Tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam
ujian Sarjana Teknik Sipil Bidang studi Struktur pada Fakultas Teknik Universitas
Sumatera Utara.
Adapun judul dari tugas akhir ini adalah : “ Kajian Faktor Reduksi U (Shear Lag Factor) Pada Komponen Struktur yang Memikul Gaya Aksial ” (Studi Literatur). Penulis berusaha menyelesaikan tulisan ini sebaik mungkin, namun penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangannya.
Keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan penyebab dari
ketidaksempurnaan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu penulis, mengharapkan kritik
dan saran dari Bapak dan Ibu dosen serta rekan-rekan Mahasiswa.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan yang
diberikan untuk terselesainya tugas akhir ini kepada :
1. Bapak Ir. Robert Panjaitan, sebagai pembimbing tugas akhir.
2. Bapak dosen penguji tugas akhir.
3. Bapak Prof. DR. Ing. Johannes Tarigan, sebagai Ketua Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Ir. Teruna Jaya, M.Sc, sebagai Sekretaris Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Ir. Sanci Barus,MT, sebagai Koordinator sub jurusan Struktur
6. Bapak dan Ibu Staf Dosen dan Pengajar di Departemen Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak, Ibu, Abang dan Kakak pegawai Departemen Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Sumatera Utara (Kak Lince, Kak Dina, Bang Zul, Bang Edi
dan Bang Amin).
8. Kepada keluarga besarku, kedua orangtuaku, Ayahanda Suharjo Siagian dan
Ibunda Edip Hanum, yang selama ini selalu berusaha memberikan segala yang
terbaik kepada anak-anaknya sehingga bisa seperti sekarang ini, kakakku Ermi
Arlini Siagian dan adik-adikku Muhammad Armado Siagian dan Pagar Alam
Siagian terima kasih untuk perhatian, nasehat, semangat, bantuan, dan dorongan
serta kesabaran yang telah diberikan.
9. Rekan-rekan seperjuanganku di Stambuk 2004 Teknik Sipil, Dzi, Salma, Freedi,
Aswin, Dini, Andi, Gafur, Erwin, Joko, Amex, Acha, Erick, Joko S, Budiman,
Emir, Ical, Pepeng, Mario, Rizal, Rinal, Royhan, Roy, Ela, Oki, Topan, Dody
dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Abang-abang
stambuk 2003 dan adik-adik stambuk 2005, 2006, 2007 ,2008 dan 2009.
Pengurus IMS FT USU terutama adinda Joseph yang telah banyak membantu
menyelesaikan persoalan di kampus, terima kasih atas support dan do’anya
sehingga dapat menyelesaikan semua ini dengan baik. Teman-teman
seperjuangan di HMI Komisariat FT USU, Iskandar, Ronny, Varo, Windi, Zuna,
Asrul, Rio yang sama-sama berjuang di kala susah maupun senang. Adik-adikku
tercinta Rora, Ratih, Andi, Mora, Yuda, Habibi, Fandi, Asrul, Haikal, Asril,
Bayu, Budi, Rina, Toni, Vina, Irsyad, Ikhwan, Andika, Armi, Ari, Robi, Galih,
Syafi’i, Riza, Trisnal, Andre, Hadi, Marlin serta adik-adik stambuk 2005 hingga
perjuangan kita tetap berlanjut dan masa depan yang cerah menjadi tujuan akhir
hidup kita. Teman-teman di kepengurusan HMI Cabang Medan, Kakanda
senioran Bang Khalid, Bang Riki, Bang Bayu, Kak Qotul, Kak Ria, Bang Aidil,
Bang Iwan, Kak Desi, Bang Hafis yang telah bersama-sama mewujudkan jannah
di dunia beserta dengan warga lainnya yang tidak dapat diungkap satu-persatu.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga tugas akhir ini dapat berguna bagi kita
semua. Amin.
Medan, Desember 2010
Hormat Saya,
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……… ….. i
KATA PENGANTAR ……….. ….. ii
DAFTAR ISI ………... iv
DAFTAR NOTASI ………. viii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ……….. xii
BAB I : PENDAHULUAN ………. 1
I.1 Latar Belakang ……… 1
I.2 Permasalahan ……….. 3
I.3 Manfaat dan Tujuan ……… 6
I.4 Pembatasan Masalah ……… 7
I.5 Metodologi ……….. 8
I.6 Sistematika Penulisan ………... 8
BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN ……….. 9
II. 1 PENGENALAN DESAIN STRUKTUR BAJA ………... 9
II. 1. 1 Desain Konstruksi ………. 9
II. 1. 2 Kerangka Perencanaan Struktur ... 10
II. 1. 3 Keunggulan Baja Sebagai Material Konstruksi ………. 10
1.3.1 Kekuatan tinggi (High Strength) ………... 10
1.3.2 Keseragaman (Uniformity) ……… 11
1.3.3 Elastisitas (Elasticity) ……… 11
1.3.4 Daktilitas (Ductility) ……….. 11
1.3.5 Kuat Patah/Rekah (Fracture Toughness) ……….. 12
II. 1. 4 Kelemahan Baja Sebagai Material Konstruksi ……….. 12
1.4.1 Biaya Perawatan (Maintenance Cost) ……… 12
1.4.2 Biaya Penahan Api (Fire Proofing Cost) ………... 12
1.4.3 Kelelahan (Fatigue) ……… 12
II. 1. 5 Sifat-Sifat Mekanis Baja Struktural ………... 13
1.5.1 Tegangan Leleh (Yielding Stress) ……….. 13
1.5.2 Tegangan Putus (Ultimate Stress) ……….. 13
1.5.3 Sifat-Sifat Mekanis Lainnya ……….. 14
II. 1. 6 Jenis-Jenis Baja Struktural yang Umum Digunakan ……….. 14
1.6.1 Profil Baja Giling (Rolled Steel Shapes) ……… 14
1.6.2 Profil Baja yang Dibentuk Dalam Keadaan Dingin ……… 15
II. 1. 7 Hubungan Antara Tegangan dan Regangan pada Konstruksi Baja ………. 16
II. 1. 8 Metode ASD (Allowable Stress Design) ………... 18
II. 1. 9 Metode LRFD (Load Resistance Factor Design) ……….. 19
II. 1. 10 Hubungan Metode ASD dan LRFD ……….. 21
II. 2 KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA AKSIAL ... 22
II. 2. 1 Kuat Tarik Rencana ……… 22
II. 2. 2 Komponen Struktur Tarik ……….. 23
II. 2. 3 Luas Penampang Efektif ( Effective Area) ……… 24
II. 3 SAMBUNGAN BAJA ... 24
II. 3. 1 Klasifikasi Sambungan ... 24
3.1.1 Sambungan Kaku ... 24
3.1.2 Sambungan Semi Kaku ... 25
3.1.3 Sambungan Sendi ... 26
II. 3. 2 Jenis alat penyambung ………. 26
3.2.1 Baut (Bolt) ………. 26
3.2.2 Las ………. 35
II. 3. 3 Perencanaan Sambungan ... 43
BAB III : PEMBAHASAN MASALAH ………. 47
III. 1 DESAIN KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA TARIK AKSIAL ………. 47
III. 1. 1 Konsep dasar ……….. 47
1.1.1 Tegangan ……….. 47
1.1.2 Pembebanan ………. 48
1.1.3 Tahanan Nominal/Kuat tarik rencana ……….. 49
1.1.3.a Kondisi leleh dari luas penampang kotor ………. 50
1.1.3.b Kondisi fraktur dari luas penampang Efektif pada sambungan …………...……… 50
1.1.4 Luas Neto (Net Area) ………... 51
1.1.4.a Luas Neto akibat Lubang Selang-seling ... 52
1.1.5 Luas Neto Efektif (Nett Effective Area) ………. 55
1.1.6 Luas Netto Efektif (Nett Effective Area) pada sambungan las ... 58
1.1.7 Geser Eksentris ... 64
III. 2 FAKTOR REDUKSI U (SHEAR LAG FACTOR) ... 65
III. 2. 1 Penelitian fenomena kelambanan sesar (Shear Lag) yang menyebabkan adanya faktor reduksi U ... 67
III. 2. 2 Pembatasan pada penelitian fenomena kelambanan sesar (shear lag)……….. 70
III. 3 FENOMENA BLOK GESER (SHEAR BLOCK) ……….. 77
III. 4 EFEK MOMEN PADA BATANG TARIK PROFIL T-BEAM ……….. 80
BAB IV : APLIKASI ……….. 91
IV. 1 PROFIL BAJA YANG DIGUNAKAN ………... 91
IV. 2 ALAT PENYAMBUNG YANG DIGUNAKAN ………. 92
IV. 3 PEMODELAN STRUKTUR ……….. 93
IV. 4 PERBANDINGAN RUMUS PERHITUNGAN YANG DIGUNAKAN ………... 94
IV.5. 1 APLIKASI PERHITUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN
BERBAGAI JENIS PROFIL BAJA ……… 128
IV. 5. 1. 1 PROFIL BAJA IWF ……… 128
IV. 5. 1. 2 PROFIL BAJA SIKU ……….. 140
IV. 5. 1. 3 PROFIL BAJA C (KANAL)……… 152
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………... 164
V. 1 KESIMPULAN ………... 164
V. 2 SARAN ……….. 166
DAFTAR NOTASI Ae = luas neto efektif
Ag= luas penampang efektif neto
Agv = luas penampang bruto yang berhubungan dengan geser
Agt = luas penampang bruto yang berhubungan dengan tarik
Anv= luas neto penampang yang berhubungan dengan geser
Ant = luas neto penampang yang berhubungan dengan tarik
An= luas neto penampang
U = faktor reduksi (Shear Lag Factor)
UL = faktor reduksi (Shear Lag Factor) hasil analisa pada profil T beam
= jarak dari titik berat panampang yang tersambung secara eksentris ke bidang pemindahan beban.
l = panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua buah baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las dalam arah gaya tarik.
Ω = Faktor resistensi / tahanan pada ASD
Rn = Tegangan nominal bahan (kg/cm2)
Ø = Faktor resistensi / tahanan
fn = Kekuatan nominal bahan MPa / (kg/cm2)
fu = tegangan tarik putus, MPa / (kg/cm2)
Pa = kekuatan yang didapatkan dengan metode LRFD. (N)
Pb = kekuatan yang didapatkan dengan metode ASD (N)
F = faktor geser permukaan
Φ = faktor keamanan = 1,4
N0= pembebanan tarik awal (proof load)
n = jumlah bidang geser
T = gaya aksial tarik yang bekerja pada sambungan baut
D = beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen termasuk dinding
lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga dan peralatan layan tetap.
L = beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi
tidak termasuk beban lingkungan seperit angin, hujan dan lain-lain.
La = beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh pekerja, peralatan,
dan material atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak.
H = beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air.
W = beban angin
E = beban gempa, yang ditentukan menurut SNNI 03-1726-1989, atau penggantinya.
E = modulus elastisitas,
L = panjang keseluruhan dari penampang.
G = modulus geser penampang,
H = panjang profil arah vertical/tinggi profil,
tw = ketebalan dari penampang profil,
Kθ = perputaran kekakuan dari sambungan,
Nu = gaya aksial terfaktor,
Mu = momen lentur nominal penampang komponen struktur,
Øb = faktor reduksi kekuatan untuk komponen struktur lentur = 0,90 dan ini berlaku
apabila merupakan sambungan gaya tarik dan tidak ditemukan ketidakstabilan
lateral.
Øt = faktor reduksi kekuatan untuk komponen struktur tarik = 0,75 (butir 10.1.1-2.b
SNI 03-1729-2002).
Z = modulus penampang plastis
Mp = Kapasitas momen dalam keadaan plastis
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Faktor penentu nilai tahanan nominal
komponen struktur tarik ……… 2
Gambar 1.2 Penentuan letak nilai x ……….. 4
Gambar 1.3 Blok Geser ………. 5
Gambar 2.1 Profil baja giling ……….. 15
Gambar 2.2 Profil yang dibentuk dalam keadaan dingin ……… 15
Gambar 2.3 Grafik hubungan tegangan-regangan ……… 16
Gambar 2.4 Grafik hubungan tegangan-regangan yang telah dinormalisasi……….. 18
Gambar 2.5 Sambungan kaku……… 25
Gambar 2.6 Sambungan semi kaku……… 25
Gambar 2.7 Sambungan sendi ………... 26
Gambar 2. 8 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh panjang ulir di dalam elemen pelat ………. 31
Gambar 2. 9 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh putaran kunci ………. 32
Gambar 2. 10 Hubungan Tegangan vs Perpanjangan A490 bolt & A325 bolt ... 32
Gambar 2. 11 Tipe-tipe las ... 37
Gambar 2. 12 Tipe-tipe las Groove ………. 38
Gambar 2. 13 Penggunaan las Groove pada sambungan T ... 38
Gambar 2.14 Kegunaan tipikal las fillet ... 39
Gambar 2.15 Lasslot dan las plug dengan kombinasi las fillet ... 40
Gambar 2.16 Tebal las ………. 40
Gambar 2.16 Gaya P yang membentuk sudut α terhadap bidang retak las ……… 41
Gambar 2.16 Gaya P izin yang dapat dipikul beberapa jenis sambungan las …… 43
Gambar 3.1 Contoh komponen struktur tarik ... 47
Gambar 3.2 Distribusi tegangan akibat adanya lubang pada penampang ... 51
Gambar 3.3 lubang baut pada pelat ... 52
Gambar 3.4 Lubang selang-seling ………... 53
Gambar 3.7 Sambungan las ……… 58
Gambar 3.8 Sambungan las pada dua sisi ……….. 58
Gambar 3.9 Contoh sambungan geser eksentris …...……….. 64
Gambar 3.10 Kombinasi Momen dan Geser ………64
Gambar 3.11 Sambungan antara rangka baja dan plat buhul (Gusset Plate)... 65
Gambar 3.12 Distribusi tekanan memanjang normal pada penampang…………. 66
Gambar 3.13 Definisi dari aspek rasio ………... 71
Gambar 3.14 Gambaran dari profil baja yang menggunakan aspek rasio ……… 73
Gambar 3.15 Tipikal mekanisme keruntuhan blok geser ……… 77
Gambar 3.16 Cara menentukan keruntuhan blok geser pada profil T-beam…….. 81
Gambar 3.17 Momen pada batang tarik yang dibebankan secara eksentris ……... 83
Gambar 3.18 Bentuk perlawanan Momen yang disederhanakan ……… 84
Gambar 3.19 Perpindahan Elastis ……….. 84
Gambar 3.20 Penyebaran gaya tarik geser pada sambungan dan pola lengkungannya ……….. 86
Gambar 3.21 Perbandingan cara analitis dan metode elemen hingga pada reaksi non-dimensional versus panjang sambungan non-dimensional……. 87
Gambar 4.1 Profil T-Beam ……….. 91
Gambar 4.2 Tampak depan Profil T-Beam yang disambung dengan baut... 93
Gambar 4.3 Tampak samping Profil T-Beam yang disambung dengan baut ... 93
Gambar 4.4 Spesifikasi Profil T 400 x 200 ... 97
Gambar 4.5 Spesifikasi Profil T 300 x 200 ...107
Gambar 4.6 Spesifikasi Profil T 200 x 200 ... 118
Gambar 4.7 Spesifikasi Profil IWF 400 x 400... 129
Gambar 4.8 Spesifikasi Profil Siku 100x100x10.... 141
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sifat mekanis baja struktural ………. 13
Tabel 2.2 Sifat-sifat baja ……… 27
Tabel 2.3 Harga faktor geser permukaan ……….. 34
Tabel 2.4 Analisa kimia ideal dari baja karbon untuk kemampuan dilas yang baik ……… 36
Tabel 2.5 Harga c untuk beberapa α ………. 42
Tabel 3.1 Faktor Reduksi U untuk sambungan pada batang tarik ……… 57
Tabel 3.2 Bentuk-bentuk profil baja yang diujicoba ……….. 74
Tabel 3.3 Aspek Rasio pada profil baja yang diujicoba ……… 75
Tabel 3.4 Dimensi profil baja yang diujicoba ……… 76
Tabel 4.1 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi... 91
Tabel 4.2 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 400 x 200 ... 107
Tabel 4.3Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 300 x 200... 117
Tabel 4.4 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil T 200 x 200 ... 127
Tabel 4.5 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...128
Tabel 4.6 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil IWF 400 x 400 ... 139
Tabel 4.7 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...140
Tabel 4.8 Pengaruh panjang sambungan (l) terhadap Kuat Tarik Rencana (NU) pada profil Siku 100 x 100 x 10 ... 151
Tabel 4.9 Spesifikasi Profil yang akan digunakan pada aplikasi...152
ABSTRAK
Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam prosedur konstruksinya.
Kajian faktor reduksi U (Shear Lag Factor) yang dilakukan pada tugas akhir ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar nilainya berpengaruh terhadap perencanaan kuat tarik rencana pada struktur baja sederhana yang mengalami gaya tarik aksial. Kemudian dianalisa perbandingan perhitungan menggunakan rumusan faktor U yang telah ditetapkan pada peraturan SNI 03-1729-2002 dengan perhitungan menggunakan rumusan faktor UL yang
merupakan hasil analisa dari Howard I. Epstein dan Christopher L. D Auito yang dinilai lebih konservatif.
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1 LATAR BELAKANG
Batang-batang struktur baik kolom maupun balok harus memiliki
kekuatan, kekakuan dan ketahanan yang cukup sehingga dapat berfungsi selama
umur layanan struktur tersebut. Dalam mendesain batang tarik yaitu balok baja
harus memberikan keamanan dan menyediakan cadangan kekuatan yang
diperlukan untuk menanggung beban layanan, yaitu balok harus memiliki
kemampuan terhadap kemungkinan kelebihan beban (overload) atau kekurangan
kekuatan (understrength). Kelebihan beban dapat terjadi akibat perubahan fungsi
balok, terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan
yang berlebihan dalam analisis strukturnya, dan akibat variasi-variasi dalam
prosedur konstruksinya.
Dalam merencanakan suatu struktur baja untuk bangunan gedung, SNI
03-1729-2002 telah menjadi standar Indonesia dalam perencanaan saat ini.
Dalam perencanaan struktur baja, ada tiga cara yang dapat digunakan.
1. Metode elastis (ASD = Allowable Stress Design)
2. Metode plastis (PD = Plastic Design)
3. Metode LRFD (Load and Resistance Factor Design)
Di Indonesia, kebanyakan desain masih dilakukan dengan desain
tegangan ijin menurut metode ASD (Allowable Stress Design). Metode ASD
menitik beratkan pada beban layanan (beban kerja) dan tegangan yang dihitung
secara elastis dengan cara membandingkan tegangan terhadap harga batas yang
Peraturan SNI 03-1729-2002 yang kita gunakan, yang sebelumnya
menggunakan desain tegangan izin seperti metode ASD pada Peraturan
Pembebanan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI 1983) terlihat memperbaharui
metodenya dengan mengacu pada LRFD. Komponen struktur dengan rangka dua
dimensi dan tiga dimensi hampir setengahnya merupakan komponen struktur
tarik. Komponen struktur tarik juga dapat dilihat pada hubungan atau pada
struktur yang tergantung. Komponen struktur tarik juga terlihat pada elemen
pengaku yang menahan pengaruh gempa dan angin.
Komponen struktur tarik baja didesain dengan memperhitungkan
kemungkinan model kegagalan yang terjadi serta menggunakan kriteria beban
yang sesuai agar aman digunakan. Tahanan nominal komponen struktur tarik
dapat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
(a) Leleh penampang pada daerah yang jauh dari hubungan (las)
(b) Fraktur pada penampang efektif neto pada lubang-lubang baut di hubungan
(las)
(c) Keruntuhan blok geser (Shear Block) pada lubang-lubang baut di hubungan
(las)
Gambar 1.1 Faktor penentu nilai tahanan nominal komponen struktur tarik
a b
I. 2 PERMASALAHAN
Untuk kasus (a) berlaku tahanan tarik nominal
di mana Fyadalah kuat leleh (MPa/(Kg/Cm2))
Agadalah luas penampang bruto (Cm2)
Untuk kasus (b) pada hubungan yang menggunakan baut maka senantiasa
terjadi konsentrasi tegangan di sekitar lubang baut. Pada kasus (b) yang mana
leleh terjadi secara lokal menyebabkan terjadinya fraktur pada luas penampang
neto sehingga tahanan nominalnya adalah
di mana Fuadalah kuat tarik (MPa/(Kg/Cm2))
Aeadalah luas penampang efektif (Cm2)
Aeadalah luas penampang efektif yang diperoleh dengan sebelumya mengalikan
luas neto penampang dengan faktor reduksi U akibat adanya eksentrisitas pada sambungan, sedemikian hingga didapat :
di mana Ae adalah luas penampang efektif (Cm2)
U adalah faktor reduksi (Shear Lag Factor) Anadalah luas neto penampang (Cm2)
Koefisien reduksi U untuk hubungan yang menggunakan baut atau paku keling diperoleh dari persamaan berikut:
di mana adalah jarak dari titik berat panampang yang tersambung secara
eksentris ke bidang pemindahan beban.
l adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua buah baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las
Gambar 1.2Penentuan letak nilai x Untuk hubungan dengan las.
1. Bila komponen struktur tarik dilas kepada pelat menggunakan las
longitudinal di kedua sisinya,
2. Bila komponen struktur tarik dihubungkan menggunakan las transversal saja,
3. Bila komponen struktur tarik dihubungkan kepada baja bukan pelat
menggunakan las longitudinal/transversal.
Yang menjadi permasalahan pada tugas akhir ini adalah pada kasus (c)
saat terjadinya suatu keruntuhan dimana mekanisme keruntuhannya merupakan
kombinasi geser dan tarik, dan terjadi melewati lubang-lubang baut pada
komponen struktur tarik dikenal dengan sebutan keruntuhan blok geser (Shear
Keruntuhan jenis ini sering terjadi pada sambungan dengan baut terhadap
pelat badan yang tipis pada komponen struktur tarik. Keruntuhan tersebut juga
umum dijumpai pada sambungan pendek, yaitu sambungan yang menggunakan
dua baut atau kurang pada garis searah dengan bekerjanya gaya.
Gambar 1.3 Blok Geser
Pengujian menunjukkan bahwa keruntuhan geser blok dapat dihitung
dengan menjumlahkan tarik leleh (atau tarik fraktur) pada suatu irisan dengan
tahanan geser fraktur (atau geser leleh) pada bidang lainnya yang saling tegak
lurus. Tahanan tarik blok geser nominal ditentukan oleh persamaan berikut ini,
dengan fraktur mendahului leleh atau rasio fraktur/leleh terbesar.
…………(a)
Dimana (fraktur) ≥ (leleh)
………….(b)
Dimana (leleh) > (fraktur)
Nilai Ø = 0.75
Agv adalah luas penampang yang berhubungan dengan geser
Agt adalah luas penampang yang berhubungan dengan tarik
Anv adalah luas neto penampang yang berhubungan dengan geser
Madugula dan Mohan (1999) memperlihatkan hasil percobaan yang
dilakukan pada sudut sebuah batang tarik eksentris. Mereka memperlihatkan 13
kegagalan blok geser dari 61 sudut yang di uji coba. Mereka menyimpulkan
bahwa kegagalan blok geser terjadi pada sudut batang tarik yang eksentris. Pada
tahun 1990-1992 sebuah hasil penelitian dipublikasikan dari percobaan untuk
sambungan baut dengan gaya tarik pada sudut struktural (Adidam,1990; Epstein
and Adidam,1991; Eipstein, 1992). Mereka menyimpulkan bahwa faktor
keamanan pada AISC ASD dan LRFD yang ada tidak cukup memadai untuk
kegagalan blok geser pada struktur. Kemudian, dengan semakin bertambah
luasnya daerah kaki sambungan, maka besarnya eksentrisitas akan bertambah dan
mengurangi kekuatan dari komponen tersebut. Howard I. Epstein dan
Christopher L. D Auito juga menawarkan sebuah persamaan analitis yang dapat digunakan dalam perhitungan komponen struktur baja yang mengalami gaya tarik
aksial, dan dinilai lebih konservatif.
Dengan demikian, melalui tugas akhir ini dapat dilakukan kajian terhadap
faktor reduksi U dengan memperhitungkan komponen komponen lainnya yang berperan dalam menghasilkan perhitungan blok geser yang dapat lebih efektif
digunakan dalam perencanaan struktur baja terutama pada sambungan.
I. 3 MANFAAT DAN TUJUAN
Dalam tugas akhir ini, penulis bertujuan untuk melakukan kajian terhadap
faktor reduksi U yang terdapat pada peraturan SNI 03-1729-2002 khususnya pada pembahasan komponen struktur yang mengalami gaya tarik aksial pada
kondisi blok geser (Shear Block). Sehingga nantinya diharapkan mendapat
dalam perhitungan kuat tarik rencana pada komponen struktur yang mengalami
kegagalan pada kondisi blok geser (Shear Block).
I. 4 PEMBATASAN MASALAH
Adapun pembatasan masalah yang diambil untuk pengerjaan tugas akhir
ini adalah:
1. Kajian faktor U yang dilakukan adalah pada saat komponen struktur baja mengalami keadaan keruntuhan blok geser (Shear Block).
2. Menggunakan peraturan SNI 03-1729-2002 Tata cara perencanaan
struktur baja untuk bangunan gedung dan Peraturan Perencanaan
Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) tahun 1983.
3. Perhitungan yang dilakukan menggunakan model struktur sebagai
berikut:
4. Penampang adalah profil T-beam dengan perbandingan tertentu antara
tinggi dan lebar profil dan tebal badan dan tebal sayap profil
5. Baut yang digunakan adalah baut mutu tinggi untuk sambungan pelat.
6. Analisa regangan tidak ditinjau
7. Pengaruh komposisi bahan, temperatur, kecepatan regang bahan dan
residual stress tidak ditinjau
I. 5 METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penyelesaian tugas akhir ini adalah dengan
studi literatur yang berasal dari berbagai sumber seperti buku, jurnal-jurnal
ilmiah. Selain itu juga akan dilakukan perhitungan secara analitis.
I. 6 SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memberikan gambaran garis besar penulisan tugas akhir ini, maka
isi dari tugas akhir ini dapat diuraikan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN, terdiri dari latar belakang, permasalahan,
manfaat dan tujuan, metodologi penulisan dan sistermatika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN KEPUSTAKAAN, terdiri dari penjelasan umum
mengenai struktur baja, komponen yang mengalami gaya tarik
aksial, sambungan baja.
BAB III : PEMBAHASAN MASALAH, terdiri dari prinsip umum terjadinya
shear block (blok geser), kajian mengenai faktor U beserta faktor-faktor yang mempengaruhi adanya nilai faktor-faktor U yang terdapat pada peraturan yang digunakan.
BAB IV : APLIKASI
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN II. 1 PENGENALAN DESAIN STRUKTUR BAJA II. 1. 1 Desain Konstruksi
Desain konstruksi dapat didefenisikan sebagai kombinasi antara seni
(artistik/keindahan) dan ilmu pengetahuan (science) yang menggabungkan
intuisi para ahli struktur mengenai prilaku struktur dengan pengetahuan
prinsip-prinsip statika, dinamika, mekanika bahan dan analisis struktur untuk
menghasilkan suatu struktur yang aman dan ekonomis serta memenuhi fungsi
tertentu dan persyaratan estetika selama masa layannya. Metode perhitungan
yang berdasarkan keilmuan harus menjadi pedoman dalam proses
pengambilan keputusan. Kemampuan intuisi yang dirasionalkan oleh
hasil-hasil perhitungan dapat menjadi dasar proses pengambilan keputusan yang
baik.
Struktur optimum dicirikan sebagai berikut:
a. Biaya minimum
b. Bobot minimum
c. Periode pekerjaan konstruksi minimum
d. Kebutuhan tenaga kerja minimum
e. Biaya manufaktur minimum
f. Manfaat maksimum pada saat layan
Untuk mencapai tujuan, diharapkan dalam menghasilkan sebuah
struktur yang berkemampuan optimum seorang desainer/perancang struktur
1. Sifat-sifat fisis material.
2. Sifat-sifat mekanis material.
3. Analisa struktur.
4. Hubungan antara fungsi rancangan dan fungsi struktur.
II. 1. 2 Kerangka Perencanaan Struktur
Kerangka perencanaan struktur adalah proses penentuan jenis struktur
dan pendimensian komponen struktur sedemikian hingga beban kerja dapat
dipikul secara aman, dan perpindahan yang terjadi dapat ditolerir oleh
syarat-syarat yang berlaku. Prosedur perencanaan struktur secara iterasi dapat
dilakukan sebagai berikut:
1. Perancangan, terdiri dari pemilihan tipe dan rancangan struktur sesuai
fungsi dan kriteria keberhasilan yang optimum.
2. Penentuan besarnya beban-beban yang bekerja pada struktur.
3. Menentukan gaya-gaya dalam dan momen yang terjadi pada struktur.
4. Pemilihan komponen-komponen struktur beserta sambungannya yang
memenuhi kriteria kekuatan, kekakuan, dan ekonomis.
5. Pemeriksaan ketahanan struktur akibat beban kerja.
6. Perbaikan akhir.
II. 1. 3 Keunggulan Baja Sebagai Material Konstruksi
1.3.1
Baja struktural umumnya mempunyai daya tarikan (tensile strength)
antara 400 s/d 900 MPa. Hal ini sangat berguna untuk dipakai pada jembatan
berbentang panjang, bangunan tinggi, dan struktur tanah lunak. Sedangkan
dipikulnya berasal dari berat sendirinya. Struktur kayu sebenarnya juga cukup
ringan, namun kelemahannya terletak pada kekuatan dan keawetannya.
1.3.2
Sifat-sifat baja tidak berubah karena waktu, berbeda dengan beton dan
kayu yang tergantung waktu. Hampir seluruh bagian baja memiliki sifat-sifat
yang sama sehingga cukup menjamin kekuatannya. Pada beton dapat terjadi
perbedaan sifat pada bagian yang berbeda meskipun waktu pembuatan dan
mutu betonnya sama. Begitu pula dengan kayu yang ditandai dengan adanya
mata kayu dan ketidakseragaman dimensi penampang. Keseragaman (Uniformity)
1.3.3
Baja mendekati perilaku seperti asumsi yang dibuat dalam
perencanaan, karena mengikuti hukum Hooke, walaupun telah mencapai
tegangan yang cukup tinggi. Modulus elastisitasnya sama untuk tarik dan
tekan. Pada beton, tegangan tarik, tekan, dan modulus elastisitasnya berbeda.
Demikian juga pada kayu, dibedakan tegangan searah serat dengan tegak
lurus serat.
Elastisitas (Elasticity)
1.3.4
Daktilitas adalah kemampuan struktur atau komponennya untuk
melakukan deformasi inelastik bolak-balik berulang diluar batas titik leleh
pertama, sambil mempertahankan sejumlah besar kemampuan daya dukung
bebannya. Manfaat daktilitas ini bagi kinerja struktural adalah pada saat baja
mengalami pembebanan yang melebihi kekuatannya, baja tidak langsung
hancur tetapi akan meregang sampai batas daktilitasnya sebelum runtuh.
Demikian juga pada beban siklik, daktilitas yang tinggi ini menyebabkan baja
1.3.5
Baja adalah material yang sangat ulet sehingga dapat memikul
pembebanan yang berulang-ulang. Komponen struktur baja yang dibebani
sampai mengalami deformasi besar, masih mampu menahan gaya-gaya yang
cukup besar tanpa mengalami fraktur. Keuletan ini dibutuhkan jika terjadi
konsentrasi tegangan walaupun tegangan yang masih di bawah batas yang
diizinkan. Pada bahan yang tidak mempunyai keuletan, keruntuhan dapat
terjadi pada tegangan yang rendah dan akan bersifat getas (keruntuhan secara
langsung).
Kuat Patah/Rekah (Fracture Toughness)
II. 1. 4 Kelemahan Baja Sebagai Material Konstruksi
1.4.1
Baja bisa berkarat karena berhubungan dengan air dan udara. Oleh
sebab itu, baja harus dicat secara berkala. Biaya Perawatan (Maintenance Cost)
1.4.2
Kekuatan baja berkurang drastis pada temperatur tinggi. Untuk
mengatasi masalah ini, baja struktural harus dilindungi dengan bahan
insulasi/penahan panas.
Biaya Penahan Api (Fire Proofing Cost)
1.4.3
Kelelahan pada baja tidak selalu dimulai dengan yielding (leleh) atau
deformasi yang sangat besar, tetapi dapat juga disebabkan beban siklik
ataupun pembebanan yang berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama.
Kejadian ini sering terjadi pada struktur yang berbentuk jembatan,
dikarenakan adanya pembebanan berulang melalui lalu lintas harian rata-rata
1.4.4
Struktur baja ada kalanya tiba-tiba runtuh tanpa menunjukkan
tanda-tanda deformasi yang membesar. Kegagalan ini sangat berbahaya dan harus
dihindari. Berbeda dengan kelelahan, rekah kerapuhan disebabkan oleh beban
statik.
Rekah Kerapuhan (Brittle Fracture)
II. 1. 5 Sifat-Sifat Mekanis Baja Struktural
Menurut SNI 03-1729-2002, sifat mekanis baja struktural yang
digunakan dalam perencanaan harus memenuhi persyaratan minimum yang
diberikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sifat mekanis baja struktural Jenis
Baja
Tegangan Putus
Minimum, fu (MPa)
Tegangan Leleh
Minimum, fy (MPa)
Peregangan Minimum (%) BJ 34 BJ 37 BJ 41 BJ 50 BJ 55 340 370 410 500 550 210 240 250 290 410 22 20 18 16 13 1.5.1
Tegangan leleh untuk perencanaan (fy) tidak boleh diambil melebihi
nilai yang diberikan pada tabel 1.1. Tegangan Leleh (Yielding Stress)
1.5.2
Tegangan putus untuk perencanaan (fu) tidak boleh diambil melebihi
1.5.3
Modulus Elastisitas : E = 200.000 MPa Sifat-Sifat Mekanis Lainnya
Sifat-sifat mekanis lain baja struktural untuk maksud perencanaan
ditetapkan sebagai berikut:
Modulus Geser : G = 80.000 MPa
Angka Poisson : μ = 0,3
Koefisien Pemuaian : α = 12 x 10-6
/ 0C
II. 1. 6 Jenis-Jenis Baja Struktural yang Umum Digunakan
Fungsi struktur merupakan faktor utama dalam menentukan
konfigurasi struktur. Berdasarkan konfigurasi struktur dan beban rencana,
setiap elemen atau komponen dipilih untuk menyanggah dan menyalurkan
beban pada keseluruhan struktur dengan baik. Adapun jenis-jenis baja
struktural yang umum digunakan adalah profil baja giling (rolled steel
shapes) dan profil baja yang dibentuk dalam keadaan dingin (cold formed
steel shapes).
1.6.1 Profil Baja Giling (Rolled Steel Shapes)
Baja struktural dapat dibuat dalam berbagai ukuran dan bentuk tanpa
merubah sifat-sifat fisisnya. Profil baja giling dibentuk dengan cara blok-blok
baja yang panas diproses melalui rol-rol dalam pabrik. Profil baja giling ini
mengandung tegangan residu (residual stress) yaitu tegangan yang timbul
sebagai akibat proses pendinginan baja. Jadi, sebelum batang dibebani sudah
ada residual stress yang berasal dari pabrik. Bentuk tipikal dari profil baja
(b) Profil Z
(a) Kanal C (c) Kanal ganda berbentuk I
[image:31.595.125.532.52.271.2](d) Profil Siku (e) Penampang topi
Gambar 2.1 Profil baja giling 1.6.2
Selain profil baja giling, ada juga penampang baja yang dibentuk dari
baja lembaran tipis yang dinamakan profil baja yang dibentuk dalam keadaan
dingin (cold formed steel shapes). Profil semacam ini dibentuk dari
pelat-pelat yang sudah jadi menjadi profil baja dalam temperatur atmosfir (dalam
keadaan dingin). Bentuk tipikal profil baja yang dibentuk dalam keadaan
dingin dapat ditunjukkan pada gambar 3.2.
Profil Baja yang Dibentuk Dalam Keadaan Dingin
Gambar 2.2 Profil yang dibentuk dalam keadaan dingin
(e) Profil T (d) Profil siku
(a) Profil sayap lebar (b) Balok standar Amerika (c) Profil kanal
[image:31.595.130.535.490.694.2]F
II. 1. 7 Hubungan Antara Tegangan dan Regangan pada Konstruksi Baja
Dalam peraturan AISC 2005, perhitungan rumus kekuatan nominal
(RN) menggunakan tegangan leleh (fy) maupun tegangan ultimate (fu),
pemilihan tegangan baik itu fu maupun fy didasarkan atas kemampuan
struktur mempertahankan stabilitasnya setelah beban maximum diberikan.
Oleh sebab itu sebaiknya terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang
pengertian tegangan ultimate dan tegangan luluh berdasarkan grafik
hubungan tegangan-regangan sebagai berikut:
Gambar 2.3 Grafik hubungan tegangan-regangan
Grafik diatas menunjukkan hasil pengukuran hubungan
tegangan-regangan dalam percobaan tarik baja. Tipikal grafik seperti diatas hanya
dapat dijumpai pada percobaan tarik baja lunak (mild).
Benda uji baja diberikan beban tarik sehingga tegangan baja
meningkat dari titik O sampai ke titik A. Ordinat titik A disebut tegangan
proposional (fp). Hubungan tegangan-regangan dari titik awal sampai ke titik
A masih linear. Daerah antara titik O dan A disebut juga daerah elastis yang
apabila beban dilepaskan, maka baja masih dapat kembali ke bentuk atau
panjang semula.
Ketika beban diperbesar sehingga tegangan baja sampai ke titik B,
maka hubungan tegangan-regangan tidak linear lagi. Titik B merupakan titik
leleh (fy) dari baja yang ditandai dengan tegangan yang relatif tidak naik dan
regangan yang meningkat. Daerah antara titik A ke C merupakan daerah
plastis, dimana jika suatu batang baja mengalami tegangan sampai melewati
titik A (masuk ke daerah A-C) dan beban dilepaskan, maka baja tidak akan
kembali ke panjang semula. Dengan demikian terdapat regangan residu yang
disebabkan karena inelastis dari bahan tersebut.
Apabila beban diperbesar lagi maka yang terjadi adalah regangan
akan terus meningkat tanpa disertai tegangan sampai ke titik C, yang disebut
titik pengerasan regangan. Pada titik C, terdapat kenaikan tegangan yang
disebabkan karena regangan bahan sudah hampir mencapai maximum. Bahan
masih mampu menahan tegangan tambahan sampai ke titik D yang disebut
tegangan ultimate (fu). Daerah antara titik C ke D merupakan daerah strain
hardening yang ditandai dengan peningkatan tegangan dan regangan setelah
melewati batas plastis.
Jika beban ditambah sampai tegangan baja melewati tegangan
ultimate, maka baja akan mengalami kegagalan putus leleh yang ditandai
dengan penurunan tegangan dan regangan yang terus bertambah sampai
Gambar 2.4 Grafik hubungan tegangan-regangan yang telah dinormalisasi Grafik gambar 2.3 dapat dinormalisasi menjadi seperti pada gambar
2.4. Tegangan leleh berada pada titik A dan daerah antara titik O dan titik A
adalah daerah elastis sedangkan daerah antara titik A dan B adalah daerah
plastis.
II. 1. 8 Metode ASD (Allowable Stress Design)
Metode ASD (Allowable Stress Design) merupakan metode yang
paing konvensional yang digunakan dalam perencanaan konstruksi. Metode
ini menggunakan beban servis (service load) sebagai beban yang harus dapat
ditahan oleh material (bahan). Agar konstruksi aman maka harus
direncanakan bentuk dan kekuatan bahan yang mampu menahan beban
tersebut. Tegangan maksimum yang diizinkan terjadi pada suatu bahan pada
saat beban servis bekerja harus lebih kecil atau sama dengan tegangan leleh
(fy). Untuk memastikan bahwa tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan
leleh (fy) maka diberikan faktor keamanan terhadap tegangan izin maksimum
yang boleh terjadi.
Besaran faktor keamanan yang diberikan lebih kurang sama dengan
1,5; sehingga boleh dipastikan bahwa kekuatan maksimum yang diizinkan
terjadi adalah 2/3 fu yang berarti juga akan terletak pada daerah elastis.
Perencanaan dengan memakai ASD akan memberikan penampang yang lebih
konvensional.
II. 1. 9 Metode LRFD (Load Resistance Factor Design)
LRFD (Load Resistance Factor Design) adalah suatu metode
perencanaan yang sekarang ini digunakan dalam peraturan konstruksi baja
Amerika yang bernama AISC-LRFD. Peraturan kita yakni SNI, yang
sebelumnya menggunakan desain tegangan ijin seperti pada metode ASD
terlihat memperbaharui metodenya dengan mengacu kepada AISC-LRFD.
Metode LRFD lebih mementingkan perilaku bahan atau penampang pada
saat terjadinya keruntuhan. Seperti yang kita ketahui bahwa suatu bahan
(khususnya baja) tidak akan segera runtuh ketika tegangan terjadi melebihi
tegangan leleh (fy), namun akan terjadi regangan plastis pada bahan tersebut.
Apabila regangan yang terjadi sudah sangat besar maka akan terjadi strain
hardening yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tegangan sampai ke
tegangan runtuh (fu) yang lebih sering disebut tegangan ultimate.
u
f
n
f
≥
Ω
u
f
f
≥
dimana: fu = Tegangan yang dibutuhkan (MPa)Ω = Faktor resistensi / tahanan
n
u
f
f
≤
φ
Pada saat tegangan ultimate dilampaui maka akan terjadi keruntuhan
bahan. Metode LRFD pada umumnya menggunakan perhitungan dengan
menggunakan tegangan ultimate (fu) menjadi tegangan izin, namun tidak
semua perhitungan menggunakan fu, ada juga yang masih menggunakan fy,
terutama pada perhitungan kekuatan dimana deformasi yang besar akan
mengakibatkan ketidakstabilan konstruksi.
Metode LRFD menggunakan beban terfaktor sebagai beban
maksimum pada saat terjadi keruntuhan. Beban servis akan dikalikan dengan
faktor amplikasi yang tentunya lebih besar dari 1 dan selanjutnya akan
menjadi beban terfaktor. Selain itu kekuatan nominal (kekuatan yang dapat
ditahan bahan) akan diberikan faktor resistansi juga sebagai faktor reduksi
akibat dari ketidak sempurnanya pelaksanaan dilapangan maupun pabrik.
Besaran faktor resistansi berbeda-beda untuk setiap perhitungan
kekuatan yang ditinjau, misalnya: untuk kekuatan tarik digunakan faktor 0,9
dan untuk kekuatan geser digunakan 0,75 dan lain sebagainya. Penentuan
besaran faktor resistansi didapatkan dengan cara statistik baik yang
didapatkan dari percobaan laboratorium maupun kejadian di lapangan. Dapat
dilihat bahwa untuk penampang yang sama hasil kekuatan nominal yang
didapatkan dengan metode LRFD akan lebih tinggi daripada yang dihasilkan
dengan metode ASD.
dimana: fu = Tegangan yang dibutuhkan (MPa)
Ø = Faktor resistensi / tahanan
φ
3
2
1
=
Ω
y aA f
P
=
φ
Ω
=
y bA f
P
yb
A f
P
=
2/3
a
b
P
P
=
2/3
II. 1. 10 Hubungan Metode ASD dan LRFD
Dalam buku peraturan AISC 2005 kedua metode menggunakan rumus
yang sama namun faktor yang diberikan berbeda. Safety factor (faktor
keamanan) untuk metode ASD diberi lambang Ω sedangkan Resistance
factor (faktor resistansi) untuk metode LRFD diberi lambang Ø. Kesimpulan
dapat ditarik dari peraturan AISC 2005 bahwa hubungan antara Ω dan Ø
adalah sebagai berikut:
Dari hubungan diatas, terlihat bahwa perhitungan kekuatan nominal
dengan metode ASD menggunakan tegangan yang lebih kecil, yaitu: berkisar
2/3 dari tegangan yang digunakan pada metode LRFD. Kekuatan nominal
adalah kekuatan yang dimiliki bahan. Akibat dari penggunaan tegangan yang
lebih kecil maka pada umumnya kekuatan nominal yang dihitung dengan
metode ASD akan lebih kecil dibandingkan dengan metode LRFD.
Hubungan ini dapat didefinisikan sebagai berikut:
karena 1/Ω = 2/3 Ø, maka:
(LRFD)
(ASD)
dimana: Pa = kekuatan yang didapatkan dengan metode LRFD. (N)
Pb = kekuatan yang didapatkan dengan metode ASD (N)
fy = tegangan leleh baja. (MPa)
A
P
f
f
A
P
f
a=
≤
aatau
φ
y≥
A
P
f
f
A
P
f
b b y≥
Ω
≤
=
atau
a b y b y b y a
f
f
f
f
f
f
f
f
3
2
3
2
=
=
Ω
=
=
φ
φ
Apabila hubungan diatas kita lihat dari sudut pandang tegangan yang
terjadi (f) maka:
II. 2 KOMPONEN STRUKTUR YANG MENGALAMI GAYA TARIK AKSIAL
II. 2. 1 Kuat Tarik Rencana
Komponen struktur yang memikul gaya aksial terfaktor Nu harus
memenuhi:
Nu ≤ Ø Nn
dengan Ø Nnadalah kuat tarik rencana yang besarnya diambil sebagai
nilai terendah di antara dua perhitungan menggunakan harga-harga Ø dan Nn
di bawah ini:
Ø = 0,9 Nn = Ag fy
dimana: fa = tegangan terjadi yang didapatkan dengan metode LRFD. (MPa)
fb = tegangan terjadi yang didapatkan dengan metode ASD. (MPa)
= tegangan izin (MPa)
P = gaya aksial yang diberikan. (N)
A = luas penampang nominal. (mm2)
(LRFD)
Dan
Ø = 0,75 Nn = Ae fu
Keterangan:
Agadalah luas penampang bruto, mm2
Aeadalah luas penampang efektif, mm2
fy adalah tegangan leleh, MPa / (kg/cm2)
fu adalah tegangan tarik putus, MPa / (kg/cm2)
II. 2. 2 Komponen Struktur Tarik
Batang tarik dapat terbuat dari profil bulat ( 0 ), pelat ( ), siku (
), dobel siku ( ), siku bintang ( ), kanal tunggal/dobel ( [ / ][ ), dan lain-lain.
Tahanan nominal komponen struktur tarik dapat ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu:
(d)Leleh penampang pada daerah yang jauh dari hubungan (las).
(e) Fraktur pada penampang efektif neto pada lubang-lubang baut di
hubungan (las).
(f) Keruntuhan blok geser (Shear Block) pada lubang-lubang baut di
hubungan (las).
Adapun kriteria kelangsingan komponen struktur tarik, λ = L/r,
dibatasi sebesar 240 untuk batang tarik utama, dan 300 untuk batang tarik
II. 2. 3 Luas Penampang Efektif ( Effective Area)
Luas penampang efektif komponen struktur yang mengalami gaya
tarik ditentukan sebagai berikut:
Ae = AU
Keterangan :
Aadalah luas penampang, mm2
Uadalah faktor reduksi dikenal juga dengan nama Shear Lag Factor
Dimana :
xadalah eksentrisitas sambungan, jarak tegak lurus arah gaya tarik, antara
titik berat penampang komponen yang disambung dengan bidang
sambungan, mm
l adalah panjang sambungan dalam arah gaya tarik, yaitu jarak antara dua
baut yang terjauh pada suatu sambungan atau panjang las dalam arah gaya
tarik, mm.
II. 3 SAMBUNGAN BAJA II. 3. 1 Klasifikasi Sambungan
3.1.1
Pada sambungan kaku, sambungan dianggap memiliki kekakuan yang
cukup untuk mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen
struktur yang disambung. Deformasi titik kumpul harus sedemikian rupa
sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap distribusi gaya maupun terhadap
Gambar 2.5 Sambungan kaku 3.1.2
Sambungan semi kaku tidak memiliki kekakuan yang cukup untuk
mempertahankan sudut-sudut diantara komponen-komponen struktur yang
disambung, namun harus dianggap memiliki kapasitas yang cukup untuk
memberikan kekangan yang dapat diukur terhadap perubahan sudut-sudut
tersebut. Perhitungan kekakuan, penyebaran gaya, dan deformasinya harus
menggunakan analisis mekanika yang hasilnya didukung oleh percobaan
eksperimental.
Sambungan Semi Kaku
3.1.3
Sambungan sendi dianggap tidak ada momen pada kedua ujung yang
disambung. Sambungan sendi harus dapat berubah bentuk agar memberikan
rotasi yang diperlukan pada sambungan. Sambungan tidak boleh
mengakibatkan momen lentur terhadap komponen struktur yang disambung.
Detail sambungan harus mempunyai kemampuan rotasi yang cukup.
Sambungan harus bisa memikul gaya reaksi yang bekerja pada eksentrisitas
[image:42.595.201.440.291.562.2]yang sesuai dengan detail sambungannya. Sambungan Sendi
Gambar 2.7 Sambungan sendi II. 3. 2 Jenis alat penyambung
3.2.1 Baut (Bolt)
Baut merupakan elemen penyambung yang paling vital untuk
diperhitungkan, hal ini dikarenakan baut merupakan alat sambung yang
paling sering dan umum digunakan. Ada dua jenis utama baut kekuatan
Sifat bahan dari baut ini diringkas dalam tabel 2.2. Baut jenis ini
memiliki kepala segi enam yang tebal dan digunakan dengan mur segi enam
yang setengah halus (semi finished), bagian berulirnya lebih pendek dari baut
non struktural dan dapat dipotong atau digiling (rolled). Baut A325 terbuat
dari baja karbon sedang yang diberi perlakuan panas dengan kekuatan leleh
sekitar 81 sampai 92 ksi (558 sampai 634 Mpa) yang tergantung pada
diameternya. Baut A490 juga diberi perlakuan panas tetapi terbuat dari baja
paduan (alloy) dengan kekuatan leleh sekitar 115 sampai 130 ksi (793 sampai
896 Mpa) yang tergantung juga pada diameternya.
Baut A490 terkadang digunakan bila diameter yang diperlukan
berkisar antara 1 ½ sampai 3 inchi dan juga untuk baut angkur serta batang
[image:43.595.78.548.419.764.2]bulat berulir.
Tabel 2.2 Sifat-sifat baja
Identifikasi
ANSI / ASTM
Diameter
Inchi
(mm)
Beban leleh 1) Beban leleh 1)
Kekuatan
Tarik
Minimum
Metode
Pengukuran
Panjang 2)
Metode
Kekuatan
Leleh 3) Ksi (MPa) Ksi
(MPa)
Ksi
(MPa)
A307 4), baja karbon rendah
Mutu A dan B
¼ s/d 4
(6,35 – 10,4) - - 60
A325 5), baja berkekuatan
tinggi
Tipe 1, 2 dan 3
Tipe 1, 2 dan 3
½ s/d 1
(12,7 – 25,40)
1 1/8 s/d 1 ½
(28,6 – 38,1)
A449 6), baja berkekuatan
tinggi
(catatan: pemakaiannya
dibatasi oleh AISC hanya
untuk baut yang lebih besar
dari 1 ½ inchi sea untuk
batang berulir dan baut
angkur)
¼ s/d 1
(6,35 – 25,4)
1 1/8 s/d 1 ½
(28,6 – 38,1)
1 ¾ s/d 3
(6,35 – 76,2)
85 (585) 74 (510) 55 (380) 92 (635) 81 (560) 58 (400) 120 (825) 105 (725) 90 (620)
A449 6), baja paduan yang
diberi perlakuan panas
½ s/d 1 ½
(12,7 – 38,1)
120 (825) 130 (895) 150 (1035)
Sumber: Struktur Baja Desain dan Perilaku Jilid I, Edisi ke-3, Penerbit Erlangga.
1996
1) Beban leleh (prof load) dan beban tarik sesungguhnya yang diperoleh
dengan mengalikan harga tegangan tertentu dan luas tegangan tarik As;
As = 0,7584 [D – (0,9743/n)]2, dengan As = luas tegangan dalam inchi2,
D = diameter baut nominal dalam inchi dan n = jumlah ulir per inchi.
2) Perpanjangan 0,5 % akibat beban.
3) Nilai pada regangan tetap 0,2 %.
4) ANSI/ASTM A307 – 78
5) ANSI/ASTM A325 – 78a
6) ANSI/ASTM A449 – 78a
7) ANSI/ASTM A490 – 78
Baut kekuatan tinggi dikencangkan (tightened) untuk menimbulkan
tegangan tarik yang ditetapkan pada baut sehingga terjadi gaya jepit (klem /
clamping force ) pada sambungan. Oleh karena itu, pemindahan beban kerja
yang sesungguhnya pada sambungan terjadi akibat adanya gaya gesekan
tinggi dapat direncanakan sebagai tipe geser (friction type), bila daya tahan
gelincir yang tinggi tidak dibutuhkan.
Selain baut kekuatan tinggi, juga ada jenis baut lain yang digunakan
sebagai alat penyambung. Adapun jenis baut yang dimaksud antara lain:
a) Baut hitam
Baut ini dibuat dari baja karbon rendah yang diidentifikasi
sebagai ASTM A307 dan merupakan jenis baut yang paling murah.
Namun, baut ini belum tentu menghasilkan sambungan yang paling murah,
karena banyaknya jumlah baut yang dibutuhkan pada suatu sambungan.
Pemakaiannya terutama pada struktur yang ringan, batang sekunder atau
pengaku, anjungan (platform), jalan haluan (catwalk), gording, rusuk
dinding, rangka batang yang kecil dan lain-lain yang bebannya kecil dan
bersifat statis. Baut ini juga digunakan sebagai alat penyambung sementara
pada sambungan yang menggunakan baut kekuataa tinggi, paku keeling
atau las. Baut hitam (yang tidak dihaluskan) kadang-kadang disebut baut
biasa, baut mesin atau baut kasar, serta kepala dan murnya dapat berbentuk
bujur sangkar.
b) Baut sekrup (turned bolt)
Baut yang secara praktis sudah ditinggalkan ini dibuat dengan
mesin dari bahan berbentuk segi enam dengan toleransi yang lebih kecil
(sekitar 1/50 inchi) bila dibandingkan baut biasa. Jenis baut ini terutama
digunakan bila sambungan memerlukan baut yang pas dengan lubang yang
dibor. Kadang-kadang baut ini bermanfaat dalam mensejajarkan peralatan
sekrup jarang sekali digunakan pada sambungan struktural, karena baut
dengan kekuatan mutu tinggi lebih baik dan lebih murah.
c) Baut bersisip (ribbed bolt)
Baut ini terbuat dari baja paku keling biasa dan berkepala bundar
dengan tonjolan sirip-sirip yang sejajar tangkainya. Baut bersirip telah
lama dipakai sebagai alternatif dari paku keling. Diameter yang
sesungguhnya pada baut bersirip dengan ukuran tertentu sedikit lebih besar
dari lubang tempat baut tersebut. Dalam pemasangan baut bersirip, baut
memotong tepi keliling lubang sehingga diperoleh cengkeraman yang
relatif erat. Jenis baut ini terutama bermanfaat pada sambungan tumpu
(bearing) dan pada sambungan yang mengalami tegangan berganti
(bolak-balik).
Variasi moderen dari baut bersirip adalah baut dengan tangkai
bergigi (interference-body bolt) yang terbuat dari baja baut A325, sebagai
pengganti sirip longitudinal. Baut ini memiliki gerigi keliling dan sirip
sejajar tangkainya. Karena gerigi sekeliling tangkai memotong sirip
sejajar, baut ini kadang-kadang disebut bersirip terputus (interrupted-rib).
Baut kekuatan tinggi A325 dengan tangkai bergerigi yang sekarang juga
sukar dimasukkan ke dalam lubang yang melalui sejumlah pelat, namun
baut ini dapat digunakan bila hendak memperoleh baut yang
bercengkeraman erat pada lubangnya. Selain itu pada saat pengencangan
mur, kepala baut tidak perlu dipegang seperti pada umumnya dilakukan
Dari hasil penelitian oleh Hertwig dan Petermann menyatakan
bila jumlah baut dalam satu baris maksimum 5 (lima) buah baut, maka
perencanaan sambungan dengan asumsi setiap baut dapat menerima beban
sama besar dapat diterima.
Namun, jika dalam satu baris dipakai lebih dari 6 (enam) buah
baut maka baut yang paling akhir, memikul 65 % beban yang diterima
sambungan. Dari penyelidikan di laboratorium terhadap baut mutu tinggi
diperoleh grafik hubungan tegangan baut terhadap perpanjangan batang
baut, dapat dilihat pada gambar 2.17 di bawah ini. Baut yang digunakan
adalah baut A325.
[image:47.595.174.463.347.588.2]
Gambar 2. 9 Grafik Hubungan Tegangan vs Perpanjangan pengaruh putaran kunci
Gambar 2. 10 Hubungan Tegangan vs Perpanjangan A490 bolt & A325 bolt Harga proof load (beban tarik awal) N0 dapat dihitung dengan
persamaan:
N0 = 0.75 x σe x Ae
Dimana :
Ae = luas efektif baut, yakni luas pada bagian yang berulir
[image:48.595.198.492.346.548.2]Adapun definisi harga proof load pada baut mutu tinggi adalah
tegangan yang diberikan pada baut mutu tinggi pada waktu pemasangan
baut. Untuk mendapatkan perencanaan yang efektif, hendaklah dipakai
baut dengan kekuatan tarik minimum (tensile strength) 8000 kg/cm2 dan
faktor geser minimum 0,35 bila baut mutu tinggi pada pemasangan
mengalami over strained, maka baut tersebut harus diganti dengan baut
mutu tinggi yang baru.
Untuk baut mutu tinggi tipe geser, kekuatan sebuah baut terhadap
geser dihitung dengan persamaan:
Ng = ( F/Φ ) x n x N0
Kekuatan sebuah baut terhadap gaya aksial tarik dihitung dengan
persamaan :
Untuk beban statis : Nt = 0,6 x N0
Untuk beban bolak-balik : Nt = 0,5 x N0
Kekuatan terhadap kombinasi pembebanan tarik dan geser, maka :
Ng = ( F/Φ ) x n x ( N0 – 1,7 T )
Dimana :
F = faktor geser permukaan
Φ = faktor keamanan = 1,4
N0 = pembebanan tarik awal (proof load)
n = jumlah bidang geser
Tabel 2.3 Harga faktor geser permukaan
Keadaan permukaan F
Bersih
Digalvanis
Dicat
Berkarat, dengan karat lepas dihilangkan
Disemprotkan pasir
0,35
0,16 – 0,26
0,07 – 0,10
0,45 – 0,70
0,40 – 0,70
Sumber: Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) 1983
Untuk baut mutu tinggi tipe tumpu, tegangan-tegangan yang
diizinkan dalam menghitung kekuatan baut adalah:
• Tegangan geser yang diizinkan :
• Tegangan tarik yang diizinkan :
• Tegangan tumpu yang diizinkan :
Untuk S1≥ 2d, σ tu = 1,5 σ
Untuk 1,5d ≤ S1≤ 2d, σ tu = 1,2 σ
Untuk persamaan tegangan geser dan tegangan tarik
menggunakan tegangan dasar bahan baut dan untuk persamaan tegangan
tumpu menggunakan tegangan dasar yang terkecil antara bahan baut dengan
bahan batang yang akan disambung. Pada waktu pemasangan baut, ring harus
dipasang pada bagian bawah kepala baut dan bagian bawah mur.
τ
= 0,7σ
3.2.2
Proses pengelasan adalah proses penyambungan bahan yang
menghasilkan menghasilkan peleburan bahan dengan memanasinya hingga
suhu yang tepat dengan atau tanpa pemberian tekanan dan dengan atau tanpa
pemakaian bahan pengisi. Energi pembangkit panas dapat dibedakan menurut
sumbernya: listrik, kimiawi, optis, mekanis dan bahan semi konduktor. Panas
digunakan untuk mencairkan logam dasar dan bahan pengisi agar terjadi
aliran bahan (terjadi peleburan). Selain itu panas dipakai untuk menaikkan
daktailitas (ductility) sehingga aliran plastis dapat terjadi meskipun jika bahan
tidak mencair. Lebih jauh lagi pemanasan dapat membantu menghilangkan
kotoran pada bahan. Las
Proses pengelasan yang paling umum terutama untuk mengelas baja
struktural memakai energi listrik sebagai sumber panas, yang paling banyak
digunakan adalah busur listrik (nyala). Busur nyala adalah pancaran arus
listrik yang relatif besar antara elektroda dan bahan dasar yang dialirkan
melalui kolom gas ion hasil pemanasan, kolom gas ini disebut plasma. Pada
pengelasan busur nyala, peleburan terjadi akibat aliran bahan yang melintasi
busur dengan tanpa diberi tekanan.
Beberapa proses pengelasan dipakai khusus untuk logam dengan
ketebalan tertentu. Pembahasan dalam bagian ini ditekankan pada proses
yang digunakan dalam pengelasan baja karbon dan baja paduan rendah untuk
gedung dan jembatan. Pengelasan busur nyala merupakan kategori proses
yang terutama dibahas, untuk profil baja ringan (light gage) pengelasan yang
Kebanyakan baja konstruksi dalam spesifikasi ASTM dapat dilas
tanpa prosedur khusus atau perlakuan khusus. Kemampuan dilas (weldability)
dari baja adalah ukuran kemudahan menghasilkan sambungan struktural yang
teguh tanpa retak. Beberapa baja struktural lebih sesuai dilas daripada yang
lain. Prosedur pengelasan sebaiknya didasarkan pada kimiawi baja, bukan
pada kandungan paduan maksimum yang ditetapkan. Karena kebanyakan
hasil pabrik berada dibawah dalam batas ini, sedangkan baja yang
berkekuatan lebih tinggi dapat melampaui analisa ideal yang ditunjukkan
dalam tabel 2.4.
Tabel 2.4 Analisa kimia ideal dari baja karbon untuk kemampuan dilas yang baik Unsur Batas Nominal (%) Persen yang memerlukan perlakuan khusus
Karbon
Mangan
Silicon
Sulfur
fosfor
0,06 – 0,25
0,35 – 0,80
0,10 maks 0,035 maks 0,030 maks 0,350 1,400 0,300 0,050 0,040
Dalam pekerjaan konstruksi, ada empat tipe pengelasan yakni:
Groove, fillet, slot dan plug seperti terlihat dalam Gambar 2.18 di bawah ini.
Masing-masing tipe las memiliki kelebihannya sendiri yang menentukan
rentang penggunaannya. Secara kasar keempat tipe terrsebut mewakili
persentase konstruksi las berikut ini: las groove (las tumpul) 15 %, fillet (las
Gambar 2. 11 Tipe-tipe las a). Las Groove
Kegunaan umum las groove adalah untuk menghubungkan
batang-batang struktur yang dipasangkan pada bidang yang sama. Karena las
groove biasanya dimaksudkan untuk mentransmisikan beban penuh
batang-batang yang dihubungkannya, las tersebut harus memiliki kekuatan
yang sama dengan batang-batang yang digabungkan. Las groove seperti ini
disebut sebagai las groove dengan penetrasi sambungan yang lengkap. Bila
sambungan didesain sedemikian rupa sehingga las groove tidak
sepenuhnya menjangkau ketebalan bagian-bagian yang digabungkan, las
demikian disebut sebagai las groove dengan penetrasi sambungan
sebagian. Untuk ini berlaku persyaratan-persyaratan desain yang khusus.
Ada banyak variasi las groove dan masing-masing diklasifikasikan
menurut bentuknya yang khusus. Kebanyakan las groove membutuhkan
a. Las Fillet b. Las Groove
c. Las Plug Ujung-ujung harus berbentuk
setengah lingkaran atau memiliki
sudut-sudut yang dibundarkan
dengan jari-jari tidak kurang
dari ketebalan bagian pelat yang
berisi slot
persiapan pinggiran yang khusus dan diberi nama menurut persiapannya.
Gambar 2. 12 menunjukkan beberapa tipe las groove dan menunjukkan
persiapan groove yang dibutuhkan. Pemilihan las groove yang tepat
tergantung pada proses pengelasan yang digunakan, biaya persiapan
pinggiran dan biaya pembuatan las. las groove dapat juga digunakan pada
sambungan T (gambar 2. 13).
Gambar 2. 12 Tipe-tipe las Groove
Gambar 2. 13 Penggunaan las Groove pada sambungan T b). Las Fillet
las sudut (fillet weld) merupakan jenis las yang paling banyak
digunakan, hal ini dikarenakan las jenis ini adalah jenis las yang hemat,
mudah dipabrikasi dan adaptibilitasnya baik. Dalam gambar 2.14
diperlihatkan beberapa kegunaan las fillet. Pada umumnya jenis las ini
kurang membutuhkan presisi pada pengepasannya karena masing-masing
Sedangkan las groove membutuhkan pengepasan yang teliti dengan
celah alur bukaan tertentu (bukaan akar) di antara bagian-bagiannya. Las
fillet secara khusus berguna bagi pengelasan di lapangan. Pengepasan
kembali batang-batang ataupun pada sambungan-sambungan yang
dipabrikasi dengan toleransi yang masih dapat diterima namun mungkin
tidak dipasang pas seperti yang dikehendaki. Lagipula pinggiran
bagian-bagian yang disambungkan jarang membutuhkan persiapan khusus seperti
pemotongan miring atau pengirisan tegak, karena kondisi pinggiran hasil
pemotongan dengan api atau pengirisan pun sudah memadai.
Gambar 2.14 kegunaan tipikal las fillet c). Las Slot dan Plug
las slot dan plug dapat digunakan secara eksklusif hanya dalam
sambungan seperti gambar 2.15 atau dalam kombinasi dengan las fillet
seperti gambar 2.14. Kegunaan utama las slot dan plug adalah untuk
mentransmisikan geser pada sembungan impit bila ukuran sambungan
tersebut tidak cukup untuk las fillet atau las pinggir lainnya. Las slot dan
plug berguna untuk mencegah agar bagian-bagian yang saling tumpang
tindih tidak mengalami tekuk.
Sambungan T Konsol Pelat pemikul Balok
Penampang Built Up
Gambar 2.15 Lasslot dan las plug dengan kombinasi las fillet
Untuk mendapatkan sambungan las yang memuaskan, diperlukan
kombinasi dari banyak keterampilan individu yang dimulai dengan desain
sebenarnya dari las tersebut dan diakhiri dengan operasi pengelasan.
Panjang las netto tidak boleh kurang dari 40 mm atau 8a sampai 10a dan
tidak boleh lebih dari 40a (a= tebal las). Dapat ditulis dengan 40 mm
(8-10a) ≤ Ln ≤ 40a. Panjang netto las dapat dihitung dengan menggunakan
rumus: Ln = Lbruto – 3a.
Dimana a = tebal las
Gambar 2.16 Tebal las
Untuk tebal las sudut tidak boleh kurang dari ½ t√2, dimana t adalah
tebal terkecil pelat yang dilas.
Ujung-ujungnya
Apabila gaya P yang dita