AKUAKULTUR BERBASIS JENJANG RANTAI MAKANAN
BAMBANG GUNADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Minimalisasi Limbah Nitrogen dalam Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus) dengan Sistem Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai Makanan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
(Clarias gariepinus)culture by application of the trophic level based aquaculture system. Under direction of ENANG HARRIS, EDDY SUPRIYONO, SUKENDA, and TATAG BUDIARDI.
A serial experiment was carried out to analyze feed digestibility, protein digestibility and ammonia excretion of catfish (Clarias gariepinus), ammonia level dynamics in relation to bacteria and alga population in catfish culture, and to analyze the increment of nitrogen absorption efficiency in the trophic level based aquaculture of intensive catfish. Nine concrete tanks of 25 m2 were used in this experiment for three treatments with three replicates. Each tank was divided into two sections. The first section of 10 m2 was stocked with catfish, and the second part of 15 m2was run as heterotrophic partition and stocked with tilapia or tilapia and molluscs (mussels and snails), according to the respective treatments. The water was recirculated from catfish part to the heterotrophic section, and vice versa, by water pump with a flow rate of 0.3 L/s. An aeration system was installed in the heterotrophic section to ensure that disolved oxygen level did not drop below the critical point. The catfish with initial size of 42.5 g were stocked in the first part at a density of 100 fish/m2, whereas tilapia (4.83 g initial size) were stocked in the heterotrophic section. In the relevant treatment, the molluscs (mussels and snails, 5.0 kg each) were also stocked in the heterotrophic section. Commercial floating fish feed with 29.77% protein level was applied to catfish only at a daily rate of 3% of catfish biomass and was given three times per day. The inoculation of commercialBacillus sp. isolate was applied in the first day of the experiment to obtain bacteria density in water of 106 cfu/L. Molases was suplemented to the tanks daily in order to adjust water C/N ratio at a rate of about 91,31% of daily feed ratio. Three treatments were applied in this experiment, i.e.: (a) One trophic level (Catfish only), (b) Two trophic level (Catfish-Tilapia), and (c) Three trophic level (Catfish-Tilapia-Molluscs). Each treatment had three replicates. The experiment was conducted for 6 weeks. The results showed that the total production of catfish culture systems were 81.71±22.39, 67.51±20.63, dan 101.45±19.71, respectively, for one, two and three throphic levels. The nitrogen absorption efficiency (NAE) in the catfish culture was relatively increased as the trophic level was expanded. The calculated NAE for catfish culture with one, two and three throphic levels were 31.84±12.47, 33.95±11.63, and 36.48±11.96, respectively. Consecutively, longer trophic level contributed to the lower nitrogenous waste in the heterotrophic intensive catfish culture. Based on the feed nitrogen level, the nitrogenous waste of the catfish culture decreased from 68.16%, in the single trophic level to 63.52% in the three trophic levels. There were potential feed in the form of bacteria and algae biomass in the wastewater of catfish culture.
BAMBANG GUNADI. Minimalisasi Limbah Nitrogen dalam Budidaya Ikan Lele
(Clarias gariepinus)dengan Sistem Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai Makanan Dibimbing oleh ENANG HARRIS, EDDY SUPRIYONO, SUKENDA, dan TATAG BUDIARDI.
Budidaya ikan lele (C. gariepinus) secara intensif dicirikan oleh padat penebaran tinggi dan pemberian pakan buatan yang berakibat terjadinya penumpukan limbah nitrogen di kolam. Dari seluruh nitrogen dalam pakan yang diberikan kepada ikan, hanya 25%-nya yang digunakan ikan untuk tumbuh, 60%-nya akan dikeluarkan dalam bentuk NH3dan 15%-nya akan dikeluarkan bersama feses. Dengan demikian, potensi pasokan amonia ke dalam air budidaya ikan adalah sebesar 75% dari kadar nitrogen dalam pakan.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis nilai kecernaan pakan dan protein pada ikan lele, tingkat ekskresi amoniak ikan lele, dinamika kadar amoniak dan hubungannya dengan populasi bakteri heterotrofik dan fitoplankton pada pemeliharaan ikan lele, serta peningkatan efisiensi penyerapan limbah nitrogen pada budidaya ikan lele melalui penambahan organisme dengan jenjang rantai makanan yang berbeda. Dari penelitian ini akan diketahui penyerapan dan retensi nitrogen pada berbagai jenjang rantai makanan yang dipadukan dengan pemeliharaan ikan lele secara intensif.
Benih ikan lele dengan bobot rata-rata sekitar 42,5 g/ekor dipelihara dengan kepadatan yang diterapkan adalah 100 ekor/m2. Pada perlakuan terkait, ikan nila yang berukuran sekitar 4-5 g/ekor ditebarkan dengan kepadatan 50 ekor/m2. Pemberian pakan hanya dilakukan untuk ikan lele. Pakan yang diberikan berupa pakan buatan pelet terapung komersial dengan kadar protein kasar sekitar 29,77%. Tingkat pemberian pakan yang diterapkan adalah 3% bobot biomassa ikan per hari. Pemberian pakan dilakukan setidaknya 3 kali per hari. Perlakuan yang diterapkan pada percobaan ini adalah penambahan jenjang rantai makanan, yakni satu jenjang rantai makanan (pemeliharaan ikan lele saja), dua jenjang rantai makanan (pemeliharaan ikan lele dengan ikan nila (Oreochromis niloticus), dan tiga jenjang rantai makanan (pemeliharaan ikan lele (C. gariepinus), ikan nila dan moluska (kijing (Anadontasp.) dan keong (Pomaceasp.)).
Hasil percobaan menunjukkan bahwa protein pakan yang digunakan pada penelitian ini memiliki kualitas yang kurang baik dengan kecernaan yang rendah (61,97 ± 7,24) meskipun nilai kecernaan pakan cukup tinggi (81,48 ± 2,30). Ikan lele berukuran 116,6 g menghasilkan amoniak sebesar 0,008 ± 0,003 mg TAN/g lele/jam, sementara yang berukuran sekitar 40,6 g menghasilkan amoniak sebesar 0,011±0,003 mg TAN/g lele/jam. Dalam kondisi tidak terdapat pemanfaatan bakteri heterotrofik oleh organisme filter feeder, proses pengubahan amoniak menjadi biomassa mikroba berlangsung tidak optimal terutama setelah minggu kelima karena proses regenerasinya berjalan lambat.
kandungan N dalam pakan. Produksi total ikan lele, ikan nila dan moluska pada budidaya ikan lele dengan satu, dua dan tiga jenjang rantai makanan masing-masing sebesar 81,71±22,39, 79,18±1,13, dan 101,45±19,71 kg/25 m2. Sistem budidaya ikan lele dengan tiga jenjang rantai makanan mampu meminimalkan limbah nitrogen dalam bentuk TAN dan nitrit dan masih mengandung bahan pakan potensian dalam bentuk biomassa mikroba dalam jumlah besar yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya unyuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
AKUAKULTUR BERBASIS JENJANG RANTAI MAKANAN
BAMBANG GUNADI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Bambang Gunadi
N I M : C161060111
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. Ketua
Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala karunia, taufik dan hidayahNya sehingga penulisan disertasi berjudul
Minimalisasi Limbah Nitrogen Dalam Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus) Dengan Sistem Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai Makanan
dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor di Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Seiring selesainya penulisan disertasi ini, Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS., Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono, MSc., Bapak Dr. Ir. Sukenda, MSc., dan Bapak Dr.Ir. Tatag Budiardi, MSi., selaku Komisi Pembimbing atas waktu, perhatian, kesabaran, serta bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan.
2. Bapak Dr.Ir. Zafril Imran Azwar, M.S. dan Ibu Dr. Dinamella Wahjuningrum, S.Si., M.Si selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup serta Bapak Dr.Ir. Azam Bachur Zaidy, M.S. dan Bapak Dr.Ir. Nur Bambang P. Utomo, M.Si. selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka yang telah memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini.
3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (d/h Badan Riset Kelautan dan Perikanan) dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya (d/h Pusat Riset Perikanan Budidaya) beserta seluruh jajarannya atas kesempatan dan penyediaan beasiswa sehingga Penulis dapat mengikuti Program S3 di Institut Pertanian Bogor.
4. Ibu Ir. Retna Utami, MSc., Bapak Drs. I Wayan Subamia, M.Si., dan Bapak Imron, PhD., selaku Kepala Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (d/h Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar) yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis serta dukungan dalam pelaksanaan penelitian dalam rangka mengikuti pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. 5. Istriku tercinta Dra. Ely Muflihah dan anak-anakku terkasih: Hanifah, Afifah,
Faishal, Nauroh dan Hasnah, serta seluruh keluarga besar: Bapak dan Ibu, Ayah dan Ibu Mertua, Kakak, Adik atas segala doa dan kasih sayang serta dorongan semangat yang telah diberikan selama mengikuti pendidikan dan penyelesaian disertasi ini.
6. Rekan-rekan Kelompok Penelitian Teknologi Budidaya di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar: Devi D. Suryono, MSi., Rani Hafsaridewi, MSi., Rita Febrianti, SSi., Lamanto, SPi., Hary Krettiawan, MSi., A. Sofyan Suri, Nur Fansuri, M. Oman, Galih Prayitno serta rekan peneliti dan teknisi lain yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tugas-tugas kedinasan.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis dalam bidang ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran, masukan dan kritikan untuk perbaikan penulisan selanjutnya. Bagaimanapun, Penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akuakultur di Indonesia untuk mewujudkan masyarakat perikanan yang lebih maju dan sejahtera.
Bogor, Januari 2012
Penulis dilahirkan di Magetan, Jawa Timur pada tanggal 08 Mei 1965, putra ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Parto Gimin (Alm.) dan Ibu Direm.
Tahun 1983 penulis lulus dari Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Bogor. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) di Institut Pertanian Bogor dan pada tahun 1984 memilih Fakultas Perikanan Jurusan Budidaya Perairan. Penulis lulus sebagai Sarjana Perikanan pada tahun 1987.
Sejak tahun 1992 penulis bekerja sebagai staf peneliti di Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (Badan Litbang Departeman Pertanian) dan terus mengikuti perubahan organisasi kedinasan dengan terbentuknya Departeman Kelautan dan Perikanan (DKP) hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sampai sekarang penulis masih bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan).
Pada tahun 1998 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Asian Institute of Technology (Thailand) melalui beasiswa Agricultural Research and Management Project (ARMP), Departemen Pertanian. Penulis lulus sebagai Master of Science (MSc.) pada Aquaculture and Aquatic Resources Management Program (AARMP) pada tahun 1999.
Pada tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB, program Studi Ilmu Perairan/Ilmu Akuakultur, melalui beasiswa dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Dua artikel karya ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian S3 penulis telah dan sedang dalam proses diterbitkan. Artikel berjudul C/N ratio and nitrogenous waste accumulation in the intensive catfish (Clarias gariepinus)
✁✁✁
✍✎✏✑ ✎✒✑ ✎✓✔ ✕... ✖ ✍✎✏✑ ✎✒✗✎✘✓ ✎✒ ... ✖✁ ✍✎✏✑ ✎✒✕✎✘✙✚ ✒✎✛... ✖✁✁
✜✢ ✙✔✛ ✍✎✣✤✕✤✎✛... 1
1.1. ✥✡✦✡✧ B★☛✡✩✡ ✌✪... 1
1.2. ✫★ ✧✬☞ ✬✭ ✡ ✌✮✡✭✡☛✡ ✯✰✰ ✰✰✰✰ ✰... 5
1.3. ✱✬✲✬✡ ✌✳✡ ✌✮✡ ✌✴✡✡✦... 6
1.4. ✫★ ✧✬☞ ✬✭ ✡ ✌✠✁ ✵✶✦★✭ ✁✭ ✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ ✰✰✰✰ 7 1.5. ✷✁☛✡✁✸★ ✹✡✧✬✡ ✌(Novelty)... 7
✺✢ ✑✚ ✛✻✎✤✎✛✙✤✼✑ ✎✽✎... 9
2.1. ✥✁☞✹✡ ✯✾✩✬✡✩✬☛✦✬✧✿✌✦★✌✭✁✴ ... 9
2.2. ❀✁✩☛ ✬✭ ✷✁✦✧✶✪★✌✳✁ ✳✡☛✡☞✸✶ ☛✡☞ ✿✩✡ ✌ ✰✰ ✰✰✰✰... 10
2.3. ❁★✲✡✧✁ ✌✪✮✡✩✡ ✌✡ ✌❂★ ✧ ✹✡✭ ✁✭❂✡✩✦★ ✧✁ ... 10
2.4. ✱★✩✌✶☛✶✪✁ B✁✶✴☛✶✩✳✡☛✡☞❀✁✭✦★☞ A✩✬✡✩✬☛✦✬✧ ... 13
2.5. A✩✬✡✩✬☛✦✬✧ B★ ✧✹✡✭✁✭ ❁★✌✲✡ ✌✪❃✡ ✌✦✡✁✮✡✩✡ ✌✡ ✌✰✰... 15
✚ ✚ ✚✢✘✔ ✑❄✍✔... ... 17
3.1. ✫★✌★☛✁✦✁✡ ✌ 1: ✸★❅★ ✧✌✡✡ ✌ ✵✡✩✡ ✌ ✳✡ ✌ ✩ ★❅★ ✧✌✡✡ ✌ ✵✧✶✦★✁ ✌ ✵✡✳✡ ✵★☞★☛✁ ✯✡✧✡✡ ✌✁✩✡ ✌☛★☛★... 17
3.2 ✫★✌★☛✁✦✁✡ ✌2:❆✩✭✩ ✧★✭ ✁✡☞✶ ✌✁✡✩✵✡✳✡✵★☞★☛✁ ✯✡✧✡✡ ✌✁✩✡ ✌☛★☛★ ... 19
3.3. ✫★✌★☛✁✦✁✡ ✌3: ✫★☞✡ ✌✴✡✡✦✡ ✌☛✁☞✹✡ ✯✡☞ ✶ ✌✁✡✩ ☞★✌✲✡✳✁ ✹✡✩✦★ ✧✁ ✵✡✳✡ ✵★☞★☛✁ ✯✡✧✡ ✡ ✌✁✩✡ ✌☛★☛★✁ ✌✦★✌✭ ✁✴... 21
3.4. ✫★✌★☛✁✦✁✡ ✌ 4. ✫★✌✪✡✧✬ ✯ ✵★✌✡☞✹✡ ✯✡ ✌ ✶✧✪✡ ✌✁✭ ☞★ ✳★✌✪✡ ✌ ✲★✌✲✡ ✌✪ ✧✡ ✌✦✡✁ ☞✡✩✡ ✌✡ ✌ ✹★ ✧✹★ ✳✡ ✦★ ✧✯✡✳✡ ✵ ✵★✌ ✬✧✬✌✡ ✌ ☛✁☞✹✡ ✯ ✡☞ ✶ ✌✁✡✩ ✳✡ ✌✵★✌✁ ✌✪✩✡✦✡ ✌✧★ ✦★✌✭ ✁ ✌✁✦✧✶✪★✌✵✡✳✡✹✬✳✁✳✡ ❇✡✁✩✡ ✌☛★☛★✁ ✌✦★✌✭✁✴ 22 ✚ ❈. HASIL DAN PEMBAHASAN .... 28
4.1. ✸★❅★ ✧✌✡✡ ✌ ✵✡✩✡ ✌ ✳✡ ✌✩ ★❅★ ✧✌✡✡ ✌ ✵✧✶✦★✁ ✌✵✡✳✡ ✵★☞★☛✁ ✯✡✧✡✡ ✌✁✩✡ ✌ ☛★☛★(Clarias gariepinus) .......
❉ ❊❋
(C. gariepinus)......
33 4.4. ❱❑❖❲❏❲❖▲ ❖ ❘❊▼ ❯▲ ❙ ❖ ❊❳❏◆❨❑❖ ◗▲ ❘▲▼ ❯❲◗ ❊◗▲❩▲ ❊❍▲ ❖ ❘❑❘❑ ◗ ❑❖❨▲ ❖
■❊■❳❑▼▲❍❲▲❍❲❘❳❲❏❯ ❑❏❯▲ ■ ❊■❬❑❖❬▲ ❖❨❏▲ ❖❳▲ ❊▼▲❍ ▲ ❖▲ ❖...
36
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 45 5.1.❭❑■ ❊▼P❲❘▲ ❖❪❪❪ ❪❪❪❪ ❪❪❪❪ ❪❪❪❪ ❪❪❪❪ ❪❪❪❪ ❪❪❪❪ ❪❪❪❪ ❪❪❪❪ ❪...
45 5.2. ❫▲ ❏▲ ❖...
45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
❴❵
1. ♥♦❦❥♦ ♣qrs♦t ♦r ♠ ♣r ✉r ✈ ♠❥❥ ♠ ✇❥ ①❥ ♠ (♣♣✇) ②❥ ♠ ♣qrs♦t ♦r ♠ ♣r ✉r ✈♠❥❥ ♠ ✇✈q③r♦ ♠ (♣♣✇✈q③) ♦ ①❥ ♠ ❦r❦r (C.gariepinus) ④❥ ♠ ⑤ ②♦⑥r ✈♦ ⑦❥ ①❥ ♠ ❥⑦ ⑧ ♠ ⑤ ① q❧r ✈t♦❥❦①❥ ②❥ ✈⑦✈q③r♦ ♠t r⑥ rt❥ ✈ 29,77% ... 28
2. ⑨♦ ♠ ⑤①❥③ r ①t ① ✈rt ♦ ❥❧ q ♠♦❥ ① ⑦ ❥ ②❥ ② ⑧❥ ①r❦ q❧⑦q① ⑧① ⑧✈❥ ♠ ♦ ①❥ ♠ ❦r❦r
t r❦❥❧❥ 6 ⑩❥❧⑦r ♠ ⑤❥❧ ❥③❥ ♠... 30
3. ❶s ♦t ♦r ♠t♦✇r ♠ ④r ✈❥⑦ ❥ ♠♥♦③ ✈q ⑤r ♠(❶ ♥) ⑦❥ ②❥⑥⑧②♦ ②❥④❥♦ ①❥ ♠❦r❦r⑥r ✈⑥ ❥t ♦t ⑩r ♠⑩❥ ♠ ⑤✈❥ ♠③❥♦❧❥ ①❥ ♠❥ ♠... 37
4. ♣r ✈❥ ⑤❥❥ ♠ ⑦ ✈q ②⑧ ①t ♦ ⑥⑧②♦ ②❥ ④❥ ♦ ①❥ ♠ ❦r❦ r ②r ♠ ⑤❥ ♠ t ♦t③r❧ ❥ ①⑧❥ ①⑧❦③ ⑧ ✈ ⑥ r ✈⑥❥t ♦t⑩r ♠⑩❥ ♠ ⑤✈❥ ♠③❥♦❧❥ ①❥ ♠❥ ♠tr❦❥❧ ❥ 6 ❧♦ ♠ ⑤⑤ ⑧⑦r❧ r❦♦❷❥ ✈❥❥ ♠❸❸ ❸❸❸❸ ❸
38
❹ ❺❻
1. ➉➊➋➅ ➈❻➌ ➇➊➍➊➇➅ ➈➎➅➅ ➏➅ ➈➆❻➇ ➐➅ ➑➈❻ ➏➒➓ ➔➊ ➈➍➅→➅ ➐ ➣→❻→ ➅ ↔➅❻➋ ➅ ➈➆➊➆➊ . 4
2. A➆ ➣➒ ➍➊ ➒ ➣➇➣➌ ➅ ➈ ➇ ➅➌➅➆➅ ➑ → ➅➆➅➇ ➍➊ ➈➊➆❻ ➏❻➅ ➈ ➇❻ ➈❻➇➅➆❻➌ ➅➌ ❻ ➆❻➇ ➐➅ ➑
→➅➆➅➇➐ ➣→❻→ ➅ ↔➅❻➋➅ ➈➆➊➆➊❻ ➈ ➏➊ ➈➌ ❻➎➐ ➊ ➒➐ ➅➌❻➌↕➊ ➈↕➅ ➈➔➒➅ ➈ ➏➅❻➇ ➅➋➅ ➈➅ ➈➙ ➙ 8
3. ➛❻ ➔➅ ➍ ➒➓➌ ➊➌ ➇ ❻➋ ➒➓ ➐❻➅➆ ➍➊ ➈➏❻ ➈ ➔ ↔➅ ➈ ➔ ➇ ➊ ➈→ ➓➇ ❻ ➈➅➌❻ ➍➊ ➈ ➔➣➐➅ ➑➅ ➈
➆❻➇➐ ➅ ➑➅➇ ➓ ➈❻➅➋→➅➆➅➇➌ ❻➌ ➏➊➇➐➣→ ❻→➅ ↔➅➋ ➓➆ ➅➇. ... 11
4. ➜ ➒➓➌ ➊➌ ➐➅➋➏➊ ➒❻➓➆➓➔❻➌ → ➅➆➅➇ ➌ ❻➋ ➆ ➣➌ ➈❻ ➏➒➓ ➔➊ ➈→❻ ➋ ➓➆➅➇ ➍➊➇➊➆❻ ➑➅ ➒➅➅ ➈ ➣→ ➅ ➈➔...
12
5. ➝➋➊➇ ➅➞➅→➅ ➑➍➊ ➈➊➆❻ ➏❻➅ ➈➣↕❻➋➊➟➊ ➒ ➈➅➅ ➈➍➅➋➅ ➈... 18
6. ➝➋➊➇ ➅➒➅ ➈➟➅ ➈ ➔➅ ➈➞➅→➅ ➑➍➊ ➈➊➆❻ ➏❻➅ ➈➐ ➣→❻→ ➅ ↔➅❻➋➅ ➈➆➊➆➊❻ ➈ ➏➊ ➈➌ ❻➎ ... 23
7 ➜➊ ➈➔➅➇ ➅ ➏➅ ➈➊➋ ➌➋➒➊➌ ❻ ➅➇ ➓ ➈❻➅➋ ❻➋ ➅ ➈➆➊➆➊ (C. gariepinus) ➐➊ ➒➣➋ ➣ ➒➅➈
116,6➔/➊➋ ➓ ➒→➅ ➈➠➡,0➔/➊➋➓➒➌ ➊➆➅➇ ➅ 6 ↕➅➇...
32
8 ➢❻ ➈➅➇ ❻➋➅ ➅➇ ➓ ➈❻➅➋ (➛➤➥), ➍➓➍➣➆➅➌ ❻ ➇ ❻➋ ➒➓➐ ➅ (VSS) dan fitoplankton (Klorofil-a) pada pemeliharaan ikan lele selama 6
minggu ... 34
9 Aliran nitrogen (N) pada budidaya ikan lele berbasis jenjang rantai makanan dengan satu (a), dua (b), dan tiga (c) jenjang rantai
makanan ... 39
10 Konsentrasi beberapa parameter kualitas air pada akhir periode
➦ ➧ ➨➨
1 ➶➹➘➴ ➷➹➬➹ ➪➮➱ ✃➱ ❐➽ ➪✃➽ ➷➽ ❐➬❐➴ ➘➹ ➨➪✃➽ ❒➽ ❐➬ ➽ ➷➽➬➽ ✃➽ ➪❮➨✃➽ ➪➷➽ ➪❰➹ ❒➹ ❒
(Ï➽ ✃➹➱ÐÑ➨, 1988) ... 52
2 ➶➹➘➴ ➷➹ ➬ ➹ ➪➹ ➪➘➱➽ ➪ ✃ ❐➴ ➚ ➨➱ ➚ ➴✃❒ ➨➷➽ ➬➽ ➷➽ ❒➽➚➬ ➹➾ ❰➹ ❒➹ ❒ ➷➽ ➪ ➬➽ ✃➽ ➪
➨✃➽ ➪ÒÏ➽ ✃➹➱ÐÑ➨, 1988) ... 53
3 ➶➹➘➴ ➷➹ ➬➹ ➪➮➱✃➱❐➽ ➪ ✃➽ ➷➽ ❐ ➽➚➴➪➨➽ ✃ (total ammonia nitrogen,
ÏÓÔ) ➷➹ ➪➮ ➽ ➪ ➼➽ ➪➪➽Õ➴❐➘➽Ö➾➹ÕÑ➴ ➘➴➚ ➹➘➹ ❐ (➼AÔÔA, 2010). ... 54
4 Õ➹ ➪×➨➽➬ ➽ ➪ ➨➪➴✃➱ ➾➽ ➪ Ö➽ ✃➘➹ ❐➨ Bacillus ❒➬Ø ➷➽ ➪ ➬➹❐Ñ➨➘➱➪➮ ➽ ➪ Ù➱ ➚➾➽Ñ
➨➪➴ ✃➱➾➽ ❒ ➨... 55
5 Õ➹ ❐Ñ➨➘➱➪➮➽ ➪ Ù➱➚ ➾➽Ñ ➚➴ ➾➽ ❒➹ ❒ ➚➹ ➪➮ ➨✃➱➘ ➨ ➚➹➘➴➷➹ ÚÐÑ❐×➧➹ ❐ et al.
(2008) ... 56
6 Õ❐➴ ❒➹ ➷➱❐ ➬ ➹ ➪➮ ➱ ✃➱ ❐➽ ➪ ➽ ➚➴➪➨➽ ✃ (total ammonia nitrogen, ÏÓÔ)
❒➹ ❒➱➽ ➨➷➹ ➪➮➽ ➪Ó Õ➼A (2005 ... 57
7 Õ❐➴ ❒➹ ➷➱❐➬ ➹ ➪➮ ➱ ✃➱ ❐➽ ➪ Ö➨➴➚ ➽ ❒ ❒➽ Ö➽ ✃➘➹ ❐ ➨ (volatile suspended solids,
VSS) sesuai dengan APHA (2005) ... 58
8 Prosedur pengukuran biomassa fitoplankton (klorofil-a) sesuai
dengan APHA (2005) ... 59
9. Prosedur pengukuran nitrit (NO2) sesuai dengan APHA (2005) ... 60
10. Prosedur pengukuran nitrat (NO3) sesuai dengan APHA (2005) ... 61
11. Prosedur pengukuran padatan tersuspensi (total suspended solids,
TSS) sesuai dengan APHA (2005) ... 62
12. Prosedur pengukuran alkalinitas ... 63
13. Prosentase NH3 dari amoniak total (TAN) pada berbagai pH dan
temperatur air ... 64
14. Nilai Koefisien Kecernaan Pakan (KKP) ikan lele (C. gariepinus) terhadap pakan apung komersial dengan kadar protein sebesar
29,77% ... 65
15. Nilai Koefisien Kecernaan Protein (KKProt) ikan lele (C. gariepinus) terhadap pakan apung komersial dengan kadar protein
Û ÜÝÝÝ
17 òâæÝ ìâ àâìÝ æÝ æ æäâäÝ æäÝå ä ßçîâóâï àÝ ìâÝ ßôÝ æÝ ßàæÝ ïßàõßç âïâà àÝäçè á ßà
(ö ë, %) ...
68
18. òâæÝ ìâ àâìÝ æÝ ææäâäÝ æäÝåä ßçîâóâï àÝ ìâÝ ïç èó÷åæÝäèä âì(åá ø... 69
19. òâæÝ ìâàâìÝ æÝ ææäâäÝ æäÝåä ßçîâóâï àÝ ìâÝ ßôÝ æÝ ßàæÝïâå â àù%)... 70
20. òâæÝ ìâ àâìÝ æÝ ææäâäÝ æäÝåä ßçîâóâï àÝ ìâÝ ìÝ ãðâîàÝäçè á ßà(%ëïâå âàø... 71
21. úèàæ ßàäç âæÝ ðßðßçâïâ ïâç âã ßä ßç å÷âìÝä âæ âÝç ïâóâ âåîÝç ïßçÝèóß
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Indonesia, ikan lele (ûlarias sp.) merupakan salah satu komoditas
budidaya ikan air tawar yang penting. Usaha budidaya ikan lele tergolong usaha
perikanan yang tumbuh cepat dibandingkan dengan komoditas lainnya. Dalam
kurun waktu 2009-2010, ikan lele merupakan komoditas ikan budidaya air tawar
dengan peningkatan produksi terbesar yakni 88,98%, di atas ikan gurame
(üsphronemus ýþ ÿ ✁✂y ) dengan peningkatan sebesar 61,96% dan ikan mas
(ûyprinus c✁ ✄☎o ) dengan peningkatan sebesar 50,08%. Dalam hal jumlah
produksi pada tahun 2010, ikan lele menempati urutan ketiga terbesar di antara
ikan budidaya air tawar dengan produksi sebesar 273.554 ton dibawah ikan nila
(üreochromis niloticus ) sebesar 469.173 ton dan ikan mas sebesar 374.112 ton
(KKP, 2010).
Seiring dengan peningkatan kebutuhan akan produk ikan akibat
pertambahan penduduk dan tingkat konsumsi ikan, akuakultur dituntut untuk terus
meningkatkan produksinya. Upaya peningkatan produksi akuakultur dapat
dilakukan dengan intensifikasi, yakni peningkatan daya dukung wadah
pemeliharaan dan padat penebaran, atau ekstensifikasi, yakni perluasan kawasan
budidaya. Intensifikasi budidaya ikan lele membawa implikasi penggunaan pakan
buatan kaya protein yang semakin besar untuk mendukung pertumbuhan ikan
yang semakin banyak. Limbah yang dihasilkan oleh sistem budidaya tersebut juga
akan semakin tinggi.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, peningkatan produksi budidaya
ikan harus dikembangkan melalui sistem budidaya ikan yang mempunyai efisiensi
nutrien tinggi agar limbah yang dihasilkan dapat ditekan serendah mungkin atau
bahkan menjadi nol, atau yang dikenal dengan sistem akuakultur nirlimbah (zero
dengan memadukan beberapa subsistem sehingga limbah budidaya ikan dapat
diserap secara maksimum oleh subsistem-subsistem yang ada. Dengan demikian,
limbah yang dilepaskan oleh sistem akuakultur ke lingkungan perairan sekitarnya
menjadi sangat sedikit.
Sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan (trophic level based
aquaculture, TLBA) merupakan sistem budidaya ikan yang memenuhi prinsip
tersebut. Salah satu jenjang rantai makanan yang dapat dipacu untuk
memanfaatkan limbah budidaya ikan, terutama limbah nitrogen dan bahan
organik, adalah jenjang rantai makanan mikrobial. Pada jenjang ini limbah
amoniak diubah menjadi biomassa mikroba (bakteri dan alga) yang merupakan
sumber pakan bagi organisme lain pada jenjang yang lebih tinggi.
Pada umumnya, konversi limbah budidaya ikan terutama
senyawaan-senyawaan nitrogen terjadi melalui proses fotoautotrofik oleh alga dan nitrifikasi
oleh bakteri kemoautotrofik. Menurut Ebeling et al. (2006), fitoplankton dapat
menyerap senyawaan nitrogen di dalam air dalam bentuk amoniak maupun nitrat.
Chlorella sp. dapat menyerap dan menurunkan kandungan nitrat dan fosfat
masing-masing sampai dengan 75% dan 70% dalam waktu 12 jam (Wilujeng dan
Pandebesie, 2005). Secara umum, laju biosorbsi alga terhadap nitrat sebesar
0,35-0,42 g nitrat/g berat kering alga sedangkan terhadap fosfat sebesar 0,073-0,100 g
fosfat/g berat kering alga (Pandebesie dan Wilujeng, 2005). Sementara itu,
bakteri nitrifikasi mengkoversi amoniak menjadi nitrat dalam dua tahap yakni
amoniak menjadi nitrit oleh bakteriNitrosomonassp. dan nitrit menjadi nitrat oleh
bakteri Nitrobacter sp. atau Nitrococcus sp. (Brune et al., 2003). Kedua proses
tersebut yakni fotoautotrofik oleh alga dan nitrifikasi merupakan proses yang
umum terjadi di kolam budidaya ikan, namun regenerasinya membutuhkan waktu
24-48 jam.
Proses konversi senyawaan nitrogen yang berlangsung lebih cepat adalah
dapat mengubah senyawaan amoniak menjadi biomassa bakteri yang potensial
sebagai sumber protein bagi ikan. Kendala utama agar proses ini dapat
berlangsung adalah rendahnya rasio karbon/nitrogen (C/N) di dalam air limbah.
Melalui pemberian suplementasi karbon maka produksi bakteria dapat dipacu
pada sistem akuakultur. Penambahan sodium asetat sebagai sumber karbon
sebanyak 8 g/L dapat meningkatkan produksi protein kasar hingga mencapai 112
g protein/kg pakan, atau meningkat 50% dari sistem biasa (Schneider et al,.
2005b).
Proses mikrobial seperti tersebut di atas dapat dimanfaatkan untuk
mengurangi beban limbah budidaya ikan ke perairan sekitarnya sekaligus
meningkatkan kualitas air. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kandungan
amoniak di dalam air kolam dapat diubah menjadi alga atau bakteri (Avnimelech
et al., 1992; Brune et al., 2003; Liu dan Han, 2004; Ebeling et al., 2006; Metaxa
et al., 2006) untuk kemudian dipanen secara mekanis maupun secara biologis
menggunakan ikan atau organisme pemakan alga atau bakteri (filter feeding fish)
(Brune et al., 2003; Ebeling et al., 2006; Schneider, 2006; Crab et al., 2007).
Mekanisme pemanfaatan limbah N yang berasal dari pakan dalam sistem
budidaya ikan dicantumkan pada Gambar 1.
Pemaduan (integrasi) beberapa spesies biota dengan jenjang rantai makanan
berbeda dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrien yang terkandung di
dalam pakan yang dipasok ke dalam sistem budidaya ikan. Sistem budidaya ikan
seperti ini disebut sistem TLBA. Pada sistem ini nutrien limbah budidaya ikan
dimanfaatkan secara maksimum untuk komoditas akuakultur lain dengan
memadukan sebanyak mungkin jenjang rantai makanan mulai rumput laut,
kekerangan, teripang, ikan detrivora, herbivor dan omnivor (Surawidjaja, 2006).
Sebagai contoh, ikan pemakan plankton (ikan mola, silver carp) dan ikan
pemakan perifiton (ikan nilem) mampu menyerap limbah nitrogen pada budidaya
dan 24,0 g per kg ikan tersebut (Harris, 2005). Beberapa fauna akuatik seperti
kijing (Anadonta sp.), keong gondang (Pila sp.) dan keong mas (Pomacea sp.)
juga dapat dipergunakan sebagai agen remediasi yang dapat meningkatkan
penyerapan nutrien dalam sistem akuakultur sehingga menurunkan kandungan
limbah yang dikeluarkan dari sistem budidaya ikan tersebut (Utamiet al., 2006).
Gambar 1. Mekanisme pemanfaatan limbah nitrogen pada budidaya ikan lele .
Penelitian tentang pemanfaatan limbah nitrogen dari budidaya ikan lele
dengan menerapkan sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan umumnya
dilakukan dengan paling banyak dua jenjang rantai makanan. Rahmiwati (2008)
mengatakan bahwa limbah amoniak budidaya ikan lele dapat diubah menjadi
bakteri heterotrofik dan dimanfaatkan untuk pemeliharaan ikan nila. Bakteri
heterotrofik hasil konversi limbah amoniak dari budidaya ikan lele (C. gariepinus)
juga dapat memanfaatkan untuk pendederan udang galah (Macrobrachium
rossenbergii) (Rohmana, 2009). Sementara itu, Sakdiah (2009) memanfaatkan
limbah nitrogen dari budidaya udang vaname (Litopenaeus vannanei) untuk
pemeliharaan rumput laut (Gracilaria verrucosa) dengan sistem polikultur.
Schneider (2006) melakukan pemanfaatan limbah budidaya ikan lele namun
tidak menerapkan sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan. Limbah
yang berasal dari budidaya ikan lele dikonversi menjadi bakteri heterotrofik di
Ikan Lele
Pakan
Feses
Partikel Pakan
Sisa
Pakan Bakteri
heterotrof
Nitrococcussp
Nitrobacter.sp Fitoplankton
NO3 Bahan
Pakan
Filter Feeder:
Ikan Nila Kijing Keong NO2
NH3 NH4
Nitrosomonas.sp
suatu bioreaktor yang berada di luar wadah budidaya ikan. Massa bioflok yang
dihasilkan kemudian diujicobakan sebagai pakan udang vaname (L. vannamei).
Penelitian lain tentang penumbuhan bakteri heterotrofik dari limbah amoniak yang
berasal dari budidaya ikan pada umumnya dilakukan untuk spesies ikan yang
tergolong filter feeder dan hanya melibatkan satu jenjang rantai makanan yakni
ikan itu sendiri misalnya ikan nila (O niloticus) dan udang vanamei (L. vanamei)
(Crabet al., 2009; Taw, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian budidaya ikan berbasis jenjang rantai
makanan masih terfokus pada penumbuhan dan pemanfaatan bakteri atau
fitoplankton pada ikan pemakan limbah. Pada penelitian ini dilakukan evaluasi
dinamika keseluruhan mikrobial berupa fitoplankton dan bakteri yang selanjutnya
akan dimanfaatkan dalam sistem budidaya dalam tiga jenjang rantai makanan.
Pada penelitian ini, pemanfaatan N dari pakan dilakukan oleh ikan
omnivor-karnivor yakni ikan lele. Selanjutnya, limbah N yang dihasilkan oleh ikan lele
dikonversi menjadi mikroba yakni bakteri dan alga (fitoplankton) untuk kemudian
dimanfaatkan oleh filter- feeder yakni ikan nila (O. niloticus) dan kijing
(Anadontasp.) dandetritus-feederyakni keong (Pomaceasp.).
1.2. Perumusan Masalah
Walaupun dilaksanakan dengan tingkat manajemen yang sangat baik, sistem
budidaya ikan pasti menghasilkan limbah. Misalnya, dengan asumsi tingkat
konversi pakan (FCR) 1,2 maka 1,2 kg pakan yang mengandung 1.080 g bobot
kering (asumsi kadar air 10%) akan diubah menjadi 1 kg ikan bobot basah atau
setara dengan 300 g bobot kering (asumsi kadar air ikan 70%). Dengan demikian
limbah sebanyak 780 g pakan bobot kering (72,22%) termasuk nitrogen di
dalamnya akan terbuang ke perairan. Jika FCR meningkat menjadi 2 maka limbah
yang dihasilkan dari budidaya ikan naik menjadi 83,33% dari pakan yang
diberikan. Semakin tinggi tingkat konversi pakan, semakin besar pula limbah
yang dihasilkan sistem budidaya ikan.
Permasalahan penumpukan limbah berupa senyawa nitrogen (amoniak dan
penyerapan nitrogen di dalam sistem seefisien mungkin. Jika nitrogen dapat
dimanfaatkan secara maksimum di dalam sistem budidaya ikan, limbah yang
dibuang dari sistem tersebut menjadi sedikit.
Limbah nitrogen dalam budidaya ikan berupa amoniak dan turunannya
dapat dikonversi menjadi biomassa bakteri dan fitoplankton. Selanjutnya upaya
pemanfaatan nitrogen secara maksimal di dalam sistem budidaya ikan dapat
dilakukan dengan memperpanjang rantai makanan yang terpadu dalam sistem
tersebut. Rantai makanan yang dapat diterapkan secara terpadu di dalam sistem
budidaya ikan antara lain ikan pemangsa bakteri, kekerangan dan hewan pemakan
detritus seperti siput. Pada sistem seperti ini limbah nitrogen dari ikan lele akan
dimanfaatkan oleh mikroba (bakteri dan fitoplankton). Sementara itu, mikroba
akan dimakan oleh ikan nila. Selanjutnya, limbah ikan nila akan dimanfaatkan
oleh kekerangan. Pada akhirnya limbah atau yang tersisa dari kekerangan akan
dimanfaatkan oleh hewan pemakan detritus yakni siput.
Alur pemikiran dalam perumusan masalah dalam penelitian ini dicantumkan
dalam bagan alir sebagaimana tertera pada Gambar 2.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis mekanisme minimalisasi
limbah budidaya ikan lele berbasis jenjang rantai makanan. Rangkaian penelitian
ini terdiri dari empat kegiatan dengan tujuan masing-masing kegiatan sebagai
berikut:
1. Penelitian 1 bertujuan untuk menganalisis kecernaan pakan dan kecernaan
protein sehingga diketahui proporsi limbah yang berasal dari pemberian
pakan pada ikan lele.
2. Penelitian 2 bertujuan untuk menganalisis ekskresi amoniak pada
pemeliharaan ikan lele.
3. Penelitian 3 bertujuan untuk menganalisis perubahan NH4+menjadi biomassa
4. Penelitian 4 bertujuan untuk menganalisis minimalisasi limbah nitrogen pada
budidaya ikan lele melalui penambahan organisme dengan jenjang rantai
makanan yang berbeda.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah pemahaman yang
mendalam tentang tahapan pemanfaatan limbah amoniak yang dihasilkan oleh
sistem budidaya ikan menjadi bakteri atau alga yang dapat dijadikan bahan pakan
bagi ikan. Apabila penelitian ini berhasil, maka upaya minimalisasi limbah pada
budidaya ikan lele akan menghasilkan jumlah limbah nitrogen yang dibuang ke
perairan sekitarnya menjadi minimum sekaligus akan diperoleh tingkat efisiensi
penyerapan nitrogen (protein) dalam sistem akuakultur yang tinggi.
1.4. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian seperti tersebut di
atas maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
Jika limbah amoniak dalam sistem budidaya ikan lele dapat dikonversi menjadi
biomassa bakteri atau fitoplankton dan selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh ikan
nila, kekerangan dan siput, maka penyerapan amoniak di dalam sistem akuakultur
berbasis jenjang rantai makanan akan lebih maksimal, sehingga limbah yang
dihasilkan oleh sistem akan minimal dan efisiensi nutrien dalam sistem akuakultur
secara keseluruhan akan meningkat.
1.5. Nilai Kebaruan(Novelty)
Penelitian ini mempunyai nilai kebaruan dalam aspek ilmu pengetahuan
tentang konversi amoniak menjadi biomassa di dalam dinamika mikroba (bakteri
dan fitoplankton) pada sistem budidaya ikan lele intensif dengan tiga jenjang
Gambar 2. Alur perumusan masalah dalam penelitian minimalisasi limbah dalam budidaya ikan lele (C. gariepinus) intensif berbasis jenjang rantai makanan.
Jenjang Rantai Makanan
NH3 NH4 Pakan (Prot. 30%) Ikan Lele Feses Sisa Pakan Partikel Pakan Kualitas Air: - pH
- Oksigen terlarut - Temperatur - Amonia - Bahan Organik
NO2
Manajemen Heterofikasi:
- Intensitas Percampuran Air - Tipe sumber karbon organik - Tingkat penambahan karbon Bahan organik (Karbon) NO3 Penambahan molases Bakteri autotrof Bakteri heterotrof (Bioflok) (-) (+) Populasi cukup ? Inokulasi Laju Per-tumbuhan Retensi Nutrien (Efisiensi) Sintasan (-) (-) (+) C/N > 10 ?
(-) NH3,Bahan
Organik Manajemen Pakan
Manajemen Kualitas air
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Akuakultur Intensif
Limbah metabolisme nitrogen (N) yang dikeluarkan ikan merupakan
sumber utama senyawa limbah N terlarut dari suatu sistem akuakultur intensif.
Senyawa-senyawa ini dapat menurunkan produktivitas sistem dan merupakan
sumber pencemaran bagi lingkungan sekitarnya. Pengendalian limbah semacam
ini diyakini merupakan faktor penting untuk mencapai keberlanjutan
(sustainability) sistem akuakultur di masa yang akan datang (Bureau, 2004).
Menurut Brune et al. (2003) dari seluruh nitrogen dalam pakan yang
diberikan kepada ikan, sejumlah 25% digunakan ikan untuk tumbuh, 60%
dikeluarkan dalam bentuk NH3 dan 15% sisanya dikeluarkan bersama feses.
Dengan demikian, potensi pasokan amoniak ke dalam air budidaya ikan adalah
sebesar 75% dari kadar nitrogen dalam pakan, sedangkan dalam budidaya udang
sebesar 90%. Wyk dan Avnimelech (2007) mengatakan bahwa sebanyak 70-80%
nitrogen dalam pakan diubah menjadi amoniak oleh ekskresi langsung maupun
melalui mineralisasi oleh bakteri. Menurut Avnimelech et al. (1992), 33%
nitrogen yang terkandung dalam pakan ikan diekskresikan oleh ikan dan dapat
didaur ulang.
Menurut Thomas dan Piedrahita (1998), produksi harian amoniak pada ikan
white sturgeon (Acipenser transmontatus) berukuran 0,09-3,8 kg adalah berkisar
1,5-27,6 mg TAN/kg ikan per jam. Puncak produksi amoniak yang diukur setiap
jam mencapai 1,4 kali nilai rata-rata harian amoniak dan berlangsung dalam
waktu 2-6 jam setelah ikan makan. Sementara itu, ikan halibut Kalifornia
(Paralichthys californicus, Ayres) yang diberi pakan dengan kandungan protein
43-45% secara terus menerus selama 12 jam pada siang hari menghasilkan
amoniak sebesar 4,3-8,5 mg TAN/g pakan atau setara dengan 91-113 mg TAN/kg
ikan/hari. Puncak ekskresi amoniak pada ikan halibut berukuran 4-20 g
jam setelah periode pemberian pakan berakhir. Pada ikan berukuran 112-199 g,
puncak ekskresi amoniak berlangsung antara 10-12 jam setelah pemberian pakan
dimulai sampai 8-10 jam setelah periode pemberian pakan berakhir (Merinoet al.,
2007).
Tingkat produksi amoniak bergantung pada kadar protein pakan. Pada
pemeliharaan ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) dengan pakan
mengandung 4,85% N, pakan memasok 87,9% masukan nitrogen ke dalam kolam
ikan (Grosset al., 2000).
2.2. Siklus Nitrogen di dalam Kolam Ikan
Empat jalur utama kehilangan N dari kolam adalah pemanenan ikan
(31,5%), denitrifikasi (17,4%), volatilisasi amoniak (12,5%) dan akumulasi di
sedimen dasar (22,6%). Laju nitrifikasi rata-rata 70 mg N/m2/hari sedangkan laju
denitrifikasi rata-rata 38 mg N/m2/hari. Fitoplankton menyerap nitrat (NO3-N)
sebesar 24 mg N/m2/hari. Sementara itu, laju mineralisasi nitrogen pakan menjadi
amoniak rata-rata 59 mg N/m2/hari (Grosset al., 2000).
Ebelinget al.(2006) mengatakan bahwa proses pengubahan nitrogen dalam
sistem akuakultur yang berperan dalam pengurangan kandungan amoniak terdiri
dari tiga proses yakni proses fotoautotrofik oleh alga, proses autotrofik bakterial
yang mengubah amoniak menjadi nitrat, dan proses heterotrofik bakterial yang
mengubah amoniak langsung menjadi biomassa bakteri. Reaksi kimia dan
keragaan ketiga proses tersebut dicantumkan pada Gambar 3. Dalam kondisi
alamiah tidak ada sistem yang murni fotoautotrofik, heterotrofik bakterial
maupun autotrofik bakterial (Wyk dan Avnimelech, 2007).
2.3. Jejaring Makanan Berbasis Bakteri
Montoya dan Velasco (2000) mengatakan bahwa amoniak yang dikeluarkan
PROSES BIOSINTESIS ALGA DAN BAKTERI DI KOLAM
a) Proses biosintesis alga fotoautotrofik
Persamaan reaksi:
(1) Amoniak sebagai sumber nitrogen
16NH4++ 92CO2+ 92H2O + 14HCO3-+ HPO42- C106H263O110N16P + 106O2
(2) Nitrat sebagai sumber nitrogen
16NO3-+124CO2+ 140H2O + HPO42-C106H263O110N16P +138O2+18HCO3
-Stoikiometri metabolisme fotoautotrofik alga terhadap 1 g NH4+-N
Stoikiometri Jumlah (g) Corganik(g) Canorganik(g) N (g)
Bahan
NH4+-N 1,0 - - 1,0
Karbondioksida 18,07 g CO2/g N 18,07 - 4,93
-Alkalinitas 3,13 g alk/g N 3,13 - 0,75
-Hasil
VSSA 15,85 g VSSA/g N 15,85 5,67 - 1,0
O2 15,14 g O2/g N 15,14 - -
-b) Proses biosintesis bakteri autotrofik
Persamaan reaksi:
NH4++ 1,83O2+ 1,97HCO3-0,0244C5H7O2N + 0,976NO3-+2,90H2O + 1,86CO2
Stoikiometri metabolisme bakteri autotrofik terhadap 1 g NH4+-N
Stoikiometri Jumlah (g) Corganik(g) Canorganik(g) N (g)
Bahan
NH4 +
-N 1,0 - - 1,0
Alkalinitas 7,05 g alk/g N 7,05 - 1,69
-Oksigen 4,18 g O2/g N 4,18 - -
-Hasil
VSSA 0,20 g VSSA/g N 0,20 0,106 - 0,025
NO3-N 0,976 g NO3-N/g N 0,976 - - 0,976
CO2 5,85 gCO2/g N 5,85 - 1,59
-c) Proses biosintesis bakteri heterotrofik
Persamaan rekasi:
NH4++ 1,18C6H12O6+ HCO3-+ 2,06O2 C5H7O2N + 6,06H2O + 3,07CO2
Stoikiometri metabolisme bakteri heterotrofik terhadap 1 kg pakan (35% protein) dengan
suplementasi karbon dan 50,4 g NH4+-N
Stoikiometri Jumlah (g) Corganik(g) Canorganik(g) N (g)
Bahan
NH4+-N 50,4 - - 50,4
C6H12O6 15,17 g KH/g N 764,6 305,9 -
-Alkalinitas 3,57 g alk/g N 179,9 - 43,3
-Oksigen 4,71 g O2/g N 237,4 - -
-Hasil
VSSH 8,07 g VSSH/g N 406,7 216 - 50,4
CO2 9,65 g CO2/g N 486,4 - 132,6
Amoniak dalam dalam bentuk ion ammonium akan mengalami proses nitrifikasi
oleh bakteri kemoautotrof menjadi nitrit dan selanjutnya menjadi nitrat. Namun
demikian dengan adanya bahan organik, proses mikrobial yang berlangsung
didominasi oleh bakteri heterotrofik yang lebih cepat menyerap ammonium
menjadi biomassa bakteri. Bakteri ini bisa menyerap sampai 50% dari jumlah
ammonium terlarut dalam air.
Bakteri heterotrofik mempunyai efisiensi produksi sel yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan bakteri nitrifikasi yakni 25-100 kali daripada bakteri
Nitrosomonas sp. dan 10-33 kali daripada bakteri Nitrobacter sp. (Montoya dan
Velasco, 2000). Interaksi proses mikrobial dalam penguraian amoniak di dalam
air pemeliharaan ikan ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses bakteriologis dalam siklus nitrogen di kolam pemeliharaan udang. (Dimodifikasi dari Montoya dan Velasco, 2000)
Populasi Heterotrofik
[image:30.595.113.524.335.699.2]Menurut Schneider et al. (2005b), pemanfaatan limbah budidaya ikan
terutama ditujukan pada senyawaan-senyawaan terlarut. Senyawaan tak terlarut
(particulate waste) seringkali dibuang begitu saja dalam jumlah besar sebagai
bahan yang tak termanfaatkan. Bakteria heterotrofik dapat mengubah
nutrien-nutrien semacam ini menjadi biomassa bakteri yang potensial sebagai bahan
pakan ikan. Apabila hal ini dapat berlangsung baik, maka buangan limbah
budidaya ikan akan berkurang secara drastis. Kendala utama agar proses ini dapat
berlangsung adalah rendahnya rasio karbon/nitrogen (C/N) di dalam air limbah.
Melalui pemberian suplementasi karbon maka produksi bakteria dapat dipacu
pada sistem akuakultur. Penambahan sodium asetat sebagai sumber karbon
sebanyak 8 g/L dapat meningkatkan produksi protein kasar hingga mencapai 112
g protein/kg pakan, atau meningkat 50% dari sistem biasa. Pada pemberian pakan
dengan kadar protein 41%, penambahan sodium asetat menghasilkan produksi
bakteri sebanyak 55 125 g VSS/kg pakan, setara dengan 0.2 0.5 g VSS/g karbon
(Schneider et al., 2006). Secara teoritis, untuk mengubah 1 g amonium
dibutuhkan 20 g karbohidrat (Avnimelech dan Wyk, 2007).
Menurut Brune et al. (2003) proses biosintesis bakteri heterotrofik
berlangsung lebih cepat dibanding dengan proses biosintesis alga maupun proses
bakteri nitrifikasi, yakni waktu regenerasi 10 jam berbanding dengan 24-48 jam.
McGraw (2002) menyatakan selain lebih cepat tumbuh, bakteri heterotrof
merupakan sumber pakan yang baik untuk ikan. Sementara itu, laju pertumbuhan
alga dan bakteri nitrifikasi hampir sama namun koefisien produksi alga hampir 57
kali lebih tinggi dibandingkan dengan bakteri nitrifikasi, yakni 11,4 g alga/g N
berbanding dengan 0,2 g bakteri/g N.
2.4. Teknologi Bioflok dalam Sistem Akuakultur
Komunitas bakteri yang terakumulasi di dalam sistem akuakultur akan
membentuk flok ( gumpalan ) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan
dalam bioflok adalan ikan nila (tilapia). Teknologi Bioflok (BioFloc Technology,
BFT) dalam akuakultur adalah upaya memadukan teknik pembentukan bioflok
tersebut sebagai sumber pakan bagi ikan.
Ikan nila dengan ukuran rata-rata 4,03 g/ekor yang dipelihara dengan padat
penebaran 125 ekor/m2 di bak bakteri heterotrofik dari limbah budidaya ikan lele
(100 ekor/m2) mampu tumbuh menjadi 9,36 g/ekor (atau lebih dari 100%) selama
40 hari (Rachmiwati, 2008). Menurut Azim et al. (2007), ikan nila dapat
memakan komunitas bakteri dalam sistem BFT dan tumbuh baik dengan pakan
berprotein rendah, sehingga terjadi penghematan biaya pakan. Bioflok
menyumbang 43% pertumbuhan ikan nila.
BFT mempunyai keunggulan dibandingkan dengan teknik lainnya karena
teknik ini memadukan penanganan buangan limbah untuk menjaga kualitas air
sekaligus memproduksi pakan ikan secara in situ (Schryver et al., 2008; Crab et
al., 2007). Penelitian lanjut yang perlu dilakukan antara lain manajemen produksi
flok, dinamika flok pada sistem akuakultur intensif, nilai nutrisi flok, pengaruh
flok dalam hal kesehatan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme,
karakteristik mikrobiologis flok, kemungkinan rekayasa komunitas mikrobial dan
kehadiran organisme pre/probiotik di dalam komunitas flok mikrobial (Crabet al.,
2007).
Komposisi mikroba, struktur morfologis dan nilai nutrisi bioflok bagi
akuakultur ditentukan oleh berbagai faktor antara lain intensitas percampuran air
(mixing intensity), kadar oksigen terlarut dalam air, jenis dan jumlah pasokan
bahan organik ke dalam air, temperatur dan pH air (Schryveret al., 2008). Untuk
mendapatkan hasil terbaik konversi nutrien menjadi biomassa bakteri, Schneider
et al.(2006) menyarankan waktu retensi (hydraulic retention time) antara 5-9 jam.
Pada waktu retensi 8 jam, rata-rata produksi biomassa bakteri mencapai 123,8 g
VSS/kg pakan dengan tingkat konversi nitrogen anorganik mencapai 90%.
Menurut Ekasari (2008), penggunaan sumber karbon yang berbeda yakni
kandungan protein kasar dan lemak kasar bioflok. Kadar protein bioflok setelah
masa pemeliharaan 30 hari berkisar antara 22-41% bobot kering, sementara kadar
lemak kasar bioflok berkisar antara 6-9% bobot kering. Namun demikian
penggunaan gliserol sebagai sumber karbon menyebabkan kandungan asam lemak
n-6 PUFA yang lebih tinggi, yakni 17,6 mg/g bobot kering dibandingkan dengan
3,9 mg/g bobot kering di air tawar (0 ppt) dan 16,2 mg/g bobot kering
dibandingkan dengan 14,4 mg/g bobot kering di air laut (30 ppt). Perbedaan
salinitas air media tumbuh bioflok 0 dan 30 ppt juga tidak menyebabkan
perbedaan kandungan protein dan lemak bioflok.
2.5. Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai Makanan
Sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan (trophic level based
aquaculture, TLBA) adalah sistem budidaya ikan dengan memaksimalkan
pemanfaatan jenjang rantai makanan yang mungkin terbentuk atau sengaja
dibentuk dalam sistem tersebut. Semakin banyak jenjang rantai makanan terlibat
dalam sistem budidaya ikan, maka retensi nutrisi dalam sistem tersebut akan
meningkat sehingga sisanya dalam bentuk limbah akan menurun.
Ketika menganalisis alur perubahan nutrien pada sistem akuakultur intensif,
Schneider et al., (2005a) membagi sistem budidaya ikan menjadi 5 modul atau
susbsistem berdasarkan jenjang rantai makanan (trophic level) yakni
Fish-Biomass Converter, Fish-Waste Processor, Phototrophic-Herbivore Converter,
Bacteria-Waste Converter dan atau Detrivorous Converter. Jika hanya subsistem
ikan (Fish-Biomass Converter) yang berlangsung, retensi nitrogen dan fosfor
mencapai masing-masing 20-50% dan 15-65% dari yang terkandung dalam pakan.
Apabila ditambahkan dengan subsistem fototrofik maka retensi N dan P pakan
meningkat sebesar masing-masing 15-50% dan 53%.
Menurut Harris (2005), pemaduan ikan pemakan plankton (ikan mola,silver
carp) dan ikan pemakan perifiton (ikan nilem) pada budidaya ikan mas sistem
masing-masing sebesar 30,4 g dan 24,0 g per kg ikan tersebut. Integrasi proses
mikrobial (BFT) pada akuakultur sistem resirkulasi merupakan salah satu
pendekatan dalam sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan (TLBA).
Menurut Rusliadi (1995) makanan utama kerang air tawar Contradens
asciadimotus di Sungai Indragiri terdiri dari detritus (59,2%), alga Cyanophyceae
(31,2%) dan alga Chlorophyceae (1,9%). Sementara itu kerang kijing
Pilsbryoconcha dari suku Unionidae merupakan plankton feeder dan menyukai
perairan dengan substrat lumpur berpasir (Marwoto, 2006).
Giovanelli et al. (2005) menyatakan bahwa di habitat alami, siput banyak
menghuni perairan yang kaya bahan organik sehingga detritus melimpah dan
mempunyai populasi alga epifit yang tinggi. Menurut Eleutheriadis dan
Lazaridou-Dimitriadou (1996) siput Bithynia graeca betina mampu
mengkonsumsi aufwuchs (perifiton) sebanyak 218,9 g bobot kering/m2 pertahun
dengan produksi feses sebesar 101,8 g bobot kering/m2 pertahun, atau tingkat
efisiensi asimilasi sebesar 53.5%. Semetara itu siput jantan memiliki tingkat
konsumsi perifiton sebesar 227,7 g bobot kering/m2 pertahun, produksi feses
3. METODE
Rangkaian penelitian ini terdiri dari empat tahap penelitian. Seluruh
kegiatan dilakukan dalam kurun waktu tahun 2009 sampai dengan 2011 di Balai
Penelitian Pemuliaan Ikan (d/h Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya
Perikanan Air Tawar) yang berlokasi di Sukamandi, Kabupaten Subang.
3.1. Penelitian 1: Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele.
Penelitian 1 dilaksanakan untuk menganalisis kecernaan pakan dan
kecernaan protein sehingga diketahui proporsi pakan yang dicerna dan feses yang
dihasilkan ikan lele (C. gariepinus). Informasi ini sangat berguna dalam
pendugaan potensi limbah yang dihasilkan pada pemeliharaan ikan lele.
Wadah Penelitian
Wadah penelitian yang digunakan berupa bak fiberglas berukuran 100 liter
dengan dasar berbentuk corong yang dilengkapi pipa pengumpul feses ikan
(Gambar 5). Bak diisi dengan air sebanyak 80 L. Bak ditutup dengan waring
untuk menghindari ikan lele meloncat ke luar.
Pakan Uji
Pakan uji yang digunakan adalah pakan ikan yang akan digunakan dalam
penelitian-penelitian selanjutnya yakni pelet apung komersial dengan kadar
protein 29,77 %. Pakan tersebut digiling ulang, ditambahkan kromium oksida
(Cr2O3) sebagai indikator sebanyak 1%, lalu dicetak kembali (Takeuchi,1988;
Gambar 5. Skema wadah penelitian uji kecernaan pakan.
Prosedur Penelitian
Ikan lele dengan ukuran 43,67±0,83 g/ekor dipelihara di dalam wadah
penelitian dengan kepadatan 20 ekor/bak. Sebelum penelitian, ikan diadaptasikan
dengan pakan uji tersebut selama 3 hari. Ikan diberi pakan uji secara at satiation
pada pagi, siang dan sore hari. Pemberian pakan diberikan sedikit demi sedikit
untuk menghindari adanya pakan yang terbuang atau tidak termakan.
Pengumpulan feses dimulai pada hari keempat dan dilakukan setiap pagi dan sore,
sesaat sebelum pemberian pakan hari tersebut. Penanganan feses mengikuti
metode Takeuchi (1998). Feses yang terkumpul secepatnya diendapkan dengan
sentrifugasi 3000 r.p.m. selama 10 menit. Endapan feses kemudian disimpan
dalam freezeruntuk dikumpulkan dan dianalisis lebih lanjut. Pengumpulan feses
dilakukan selama 5 hari. Pelaksanaan uji kecernaan pakan ini dilakukan dengan 5
ulangan.
Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati adalah kadar protein dan kadar kromium oksida
pada pakan, feses dan ikan (sebelum dan sesudah pengamatan). Pengukuran
kadar protein dan kadar kromium dilakukan mengikuti prosedur yang disarankan
oleh Takeuchi (1998), masing-masing dicantumkan pada Lampiran 1 dan 2.
Wadah pemeliharaan ikan
Koefisien kecernaan pakan uji (KKP) menggambarkan proporsi pakan yang
dicerna oleh ikan yang berarti juga jumlah feses yang dihasilkan oleh ikan. KKP
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
P
F
-P
*
100
(%)
KKP
di mana :
KKP = Koefisien kecernaan Pakan (%)
P=Jumlah pakan yang diberikan (g)
F = Jumlah feses yang terkumpul (g)
Koefisien Kecernaan Protein (KKProt) dalam pakan uji dihitung dengan
rumus Takeuchi (1988) sebagai berikut:
*
C
*
-1
*
100
(%)
KKProt
F
P F PN
N
C
di mana :
KKProt = Koefisien Kecernaan Protein (%)
CP =Kadar kromium dalam pakan (%)
CF = Kadar kromium dalam feses (%)
NP = Kadar protein dalam pakan (%)
NF = Kadar protein dalam feses (%)
3.2. Penelitian 2: Ekskresi amoniak pada pemeliharaan ikan lele
Penelitian 2 dilakukan untuk mennganalisis jumlah amoniak yang
dihasilkan oleh ikan lele. Informasi ini sangat bermanfaat untuk mengetahui
potensi limbah yang dapat dikonversi menjadi biomassa bakteri dan alga sebagai
sumber pakan organismefilter feeder.
Prosedur Penelitian
Penelitian tentang ekskresi amoniak dilakukan di wadah berupa toples
pengamatan, ikan lele dipuasakan selama satu hari. Pada hari berikutnya, ikan lele
diberi makan sampai kenyang dan diberi kesempatan makan selama sekitar 30
menit. Pakan yang diberikan adalah pakan ikan komersial berupa pelet apung
dengan kandungan protein 29,77 %.
Setelah waktu makan selesai, ikan dipindahkan ke dalam toples sebanyak 1
ekor per toples. Ikan yang diamati terdiri dari dua kelompok ukuran yakni
rata-rata 116,6 g dan 40,0 g per ekor. Masing-masing kelompok ukuran terdiri dari
lima ekor, namun pada kelompok 40,6 g hanya tiga ulangan yang digunakan
untuk analisis data. Untuk mengurangi stres, pengukuran bobot ikan dilakukan
pada akhir pengamatan.
Parameter Pengamatan
Pengamatan kadar amoniak dilakukan setiap jam selama 6 jam, yakni jam
ke-0, 1, 2, 3, 4, 5, 6. Pengamatan jam ke-0 dilakukan terhadap stok air sesaat
sebelum dimasukkan ke dalam toples. Pengukuran kadar amoniak dilakukan
dengan menggunakan Hanna Portable Photometer (HANNA, 2010) sebagaimana
tercantum pada Lampiran 3.
Laju ekskresi amoniak dihitung dengan menentukan kadar amoniak pada
setiap wadah pengamatan pada setiap jam pengamatan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut (Almendras, 1994; Sakdiah, 2009):
A= [(N6-N0) x V]/W/T
di mana:
A = tingkat ekskresi amoniak (mg TAN/g ikan/jam);
N6= konsentrasi TAN pada jam ke-6 (mg TAN/L);
N0= konsentrasi TAN pada jam ke-0 (mg TAN/L);
V= volume air media (8 L);
W = bobot ikan (g); dan
3.3. Penelitian 3: Pemanfaatan limbah amoniak menjadi mikroba pada pemeliharaan ikan lele intensif
Penelitian 3 dilaksanakan untuk menganalisis perubahan amonium (NH4+)
menjadi biomassa mikroba (bakteri dan fitoplankton) pada budidaya ikan lele
intensif. Dari penelitian ini akan diketahui dinamika kadar amoniak di dalam air
kolam ikan lele dan hubungannya dengan dinamika mikroba.
Wadah Penelitian
Penelitian dilakukan pada wadah berupa bak beton seluas 25 m2 (5 x 5
meter) yang disekat menjadi dua bagian yakni bagian pertama seluas 10 m2 untuk
pemeliharaan ikan lele, dan bagian kedua seluas 15 m2 dimaksudkan sebagai
ruang pemacuan pertumbuhan populasi mikroba. Penelitian dilakukan dalam tiga
ulangan.
Kedalaman air di dalam bak dipertahankan setinggi 80 cm. Penambahan
air dilakukan jika penurunan air akibat penguapan sudah mencapai 5 cm. Untuk
menjamin agar air mengalami sirkulasi, pompa celup dengan debit sekitar 0,3
L/detik dipasang pada bagian pertama (ikan lele) dan mengalirkan air dari bagian
pertama ke bagian kedua. Sementara air dari bagian kedua mengalir kembali ke
bagian pertama secara gravitasi.
Instalasi aerasi dipasang di bagian kedua sebanyak 8 titik untuk
menjamin kadar oksigen terlarut selalu lebih dari 2 mg/L (Schneider et al., 2006).
Inokulasi bakteri Bacillus sp. diberikan sekali di bagian kedua pada awal
penelitian. Penyiapan inokulan bakteri dan perhitungan jumlah inokulan bakteri
disajikan pada Lampiran 4. Molases diberikan setiap hari di bagian kedua dengan
dosis 91,31% pakan yang diberikan pada hari tersebut. Perhitungan jumlah
Pemeliharaan Ikan
Benih ikan lele dengan bobot rata-rata sekitar 42,5 g/ekor dipelihara di
bagian pertama. Kepadatan yang diterapkan adalah 100 ekor/m2. Pakan yang
diberikan berupa pakan buatan pelet terapung komersial dengan kadar protein
kasar 29,77 %. Tingkat pemberian pakan yang diterapkan adalah 3% bobot
biomassa ikan per hari. Pemberian pakan dilakukan setidaknya 3 kali per hari.
Pemeliharaan ikan dilaksanakan selama 6 minggu.
Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati adalah kadar amoniak (dalam bentuk total
ammonia nitrogen, TAN), biomassa bakteri (dalam bentuk volatile suspended
solids, VSS) dan biomassa fitoplankton (dalam bentuk klorofil-a). Pengamatan
dilakukan setiap minggu, dengan mengacu metode APHA (2005). Prosedur
pengukuran TAN, VSS dan klorofil-a masing-masing dicantumkan pada
Lampiran 6, 7 dan 8. Hasil pengamatan parameter dianalis secara diskriptif.
3.4. Penelitian 4: Pengaruh penambahan organisme dengan jenjang rantai makanan berbeda terhadap penurunan limbah amoniak dan peningkatan retensi nitrogen pada budidaya ikan lele intensif.
Penelitian 4 dilaksanakan untuk menganalisis peningkatan efisiensi
penyerapan limbah nitrogen dengan menambah jenjang rantai makanan yang
dipadukan pada budidaya ikan lele. Dari penelitian ini akan diketahui penyerapan
dan retensi nutrien pada berbagai jenjang rantai makanan yang dipadukan dengan
pemeliharaan ikan lele secara intensif.
Wadah Penelitian
Wadah yang digunakan berupa bak beton berukuran 5 x 5 m yang disekat
lele, dan bagian kedua seluas 15 m2untuk pemeliharaan sebagai organisme filter
feeder yakni ikan nila dan moluska (Gambar 6).
Gambar 6. Skema rancangan wadah penelitian budidaya ikan lele intensif.
Kedalaman air di dalam bak dipertahankan setinggi 80 cm. Penambahan
air dilakukan jika penurunan air akibat penguapan sudah mencapai 5 cm. Untuk
menjamin agar air mengalami sirkulasi, pompa celup dengan debit sekitar 0,3
L/detik dipasang pada bagian pertama dan mengalirkan air dari bagian pertama
ke bagian kedua.
Pada bagian kedua dipasang aerasi sebanyak 6 titik untuk menjamin kadar
oksigen terlarut selalu lebih dari 2 mg/L (Schneider et al., 2006). Untuk
mendapatkan kepadatan bakteri di air kolam sebesar 106 cfu/mL dilakukan
inokulasi bakteri yang diberikan sekali di bagian kedua pada awal penelitian.
Prosedur penyiapan inokulan dan perhitungan jumlah inokulan yang diberikan
dicantumkan pada Lampiran 4. Untuk memacu pertumbuhan bakteri heterotrofik,
molases sebagai sumber karbon organik diberikan setiap hari di bagian kedua
dengan dosis 91,31% dari jumlah pakan yang diberikan pada hari tersebut
(Lampiran 5).
Ikan Lele
Ikan Nila,
Kijing, Keong
Pompa
Pemeliharaan ikan
Benih ikan lele dengan bobot rata-rata sekitar 42,5 g/ekor dipelihara di
bagian pertama. Kepadatan yang diterapkan adalah 100 ekor/m2. Pada perlakuan
terkait, ikan nila (O. niloticus) yang berukuran sekitar 4,83 g/ekor ditebarkan pada
bagian kedua dengan kepadatan 50 ekor/m2. Pada perlakuan moluska, pada bagian
kedua ditebar juga kijing (Anadonta sp.) dan keong (Pomacea sp.)
masing-masing sebanyak 5 kg.
Pemberian pakan hanya dilakukan untuk ikan lele. Pakan yang diberikan
berupa pakan buatan pelet terapung komersial dengan kadar protein kasar sekitar
29,77%. Tingkat pemberian pakan yang diterapkan adalah 3% bobot biomassa
ikan per hari. Pemberian pakan dilakukan setidaknya 3 kali per hari. Pemeliharaan
ikan dilaksanakan selama 6 minggu.
Perlakuan
Percobaan ini mempunyai tiga perlakuan dan masing-masing terdiri dari
tiga ulangan. Perlakuan yang diterapkan pada penelitian ini adalah penambahan
organisme dengan jenjang rantai makanan berbeda yakni ikan lele (C. gariepinus),
ikan nila (O. niloticus), kijing (Anadonta sp.) dan keong (Pomacea sp.) dengan
rancangan sebagai berikut:
1. Pemeliharaan ikan lele dengan Satu Jenjang Rantai Makanan (Ikan Lele)
2. Pemeliharaan ikan lele dengan Dua Jenjang Rantai Makanan (Ikan Lele
-Ikan Nila)
3. Pemeliharaan ikan lele dengan Tiga Jenjang Rantai Makanan (Ikan Lele
-Ikan Nila Moluska (kijing dan keong)).
Pengamatan Parameter
Pertumbuhan ikan lele dan ikan nila diukur setiap minggu dengan
mengambil sampel sebanyak 5 kali setiap kolam untuk ditimbang dan dihitung
jumlah individu ikan untuk mendapatkan rata-rata bobot individu ikan. Ikan yang
mati diamati setiap hari, dihitung dan ditimbang. Kadar nitrogen (N) pada ikan
Parameter kualitas air yang diukur meliputi kadar oksigen terlarut, pH,
temperatur air, amoniak total (TAN), nitrit, nitrat, alkalinitas, kekeruhan, padatan
tersuspensi (TSS), biomassa mikroba (VSS) dan biomassa fitoplankton
(klorofil-a). Pengukuran kualitas air dilakukan setiap minggu. Oksigen terlarut diukur
dengan menggunakan DO-meter. pH dan temperatur air diukur dengan
menggunakan pH-meter. Amoniak, nitrit, nitrat, TSS, VSS dan klorofil-a diukur
dengan prosedur sesuai APHA (2005) sebagaimana tercantum pada Lampiran 6,
7, 8, 9, 10 dan 11). Kekeruhan diukur dengan Turbiditimeter, sedangkan
alkalinitas diukur dengan metode titrasi (Lampiran 12). Nilai NH3 dihitung
berdasarkan proporsi dari TAN sesuai dengan pH dan temperatur yang diukur
(Lampiran 13).
Pada akhir penelitian, ikan ditimbang secara keseluruhan untuk
mengetahui jumlah produksi total.
Efisiensi Pakan (EP) dihitung dengan menggunakan rumus:
(PTot+ BM) B0
EP = _--- x 100% F
di mana:
EP = Efisiensi Pakan (%)
PTot = Produksi akhir total (ikan lele, nila, moluska) (kg)
BM = Biomassa mati (ikan lele, nila, moluska) (kg)
B0 = Biomassa saat tebar (ikan lele, nila, moluska) (kg)
F = Jumlah pakan yang diberikan (kg)
Parameter Efisiensi Penyerapan Nitrogen (EN) dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
EN = NL+ NN+ NK+ NS
NP
x 100%
di mana :EN = Efisiensi Penyerapan Nitrogen (%)
NL= akumulasi N pada ikan lele (g)
NN= akumulasi N pada ikan nila (g)
NS= akumulasi N pada siput/keong (g)
NP = jumlah akumulasi N pada pakan yang diberikan (g)
Limbah nitrogen dihitung dengan rumus sebagai berikut:
NW= 100% - EN
di mana:
NW = Limbah nitrogen (N) (% pakan)
EN = Efisiensi Nitrogen (%)
Pertumbuhan ikan lele dan nila dihitung berdasarkan rumus Metaxaet al.
(2006) sebagai berikut:
=
x 100%
di mana : = laju pertumbuhan harian (%)Wt = bobot rata-rata ikan pada akhir pemeliharaan (g)
Wo = bobot rata-rata ikan pada awal pemeliharaan (g)
t = lama pemeliharaan (hari)
Kelangsungan hidup ikan lele dan ikan nila dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
KH =
x 100%
di mana: KH = kelangsungan hidup ikan (%)
No = jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor)
Nm = jumlah ikan yang mati (ekor)
Analisis Data
Nilai parameter Efisiensi Penyerapan Nitrogen (EN), pertumbuhan ikan lele
dan nila, nilai kelangsungan hidup dan produksi ikan dianalisis dalam Analisis
Sidik Ragam satu arah (One Way ANOVA). Jika terdapat perbedaan antar
Keragaan kualitas air ditampilkan secara deskriptif dalam bentuk tabulasi
dengan menampilkan nilai rata-rata total diikuti dengan kisaran nilai terendah
sampai dengan yang tertinggi. Nilai rata-rata total merupakan nilai rata-rata dari
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kecernaan pakan dan kecernaan protein pada pemeliharaan ikan lele
(Clarias gariepinus)
Koefisien Kecernaan Pakan (KKP) dan Koefisien Kecernaan Protein
(KKProt) menggambarkan seberapa besar bagian pakan dan protein yang dicerna
oleh ikan. Dalam arti yang sebaliknya, nilai KKP atau KKProt juga
mengindikasikan bagian pakan atau protein yang dikeluarkan oleh ikan bersama
feses. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai KKP dan
KKProt masing-masing sebesar 81,48±2,30 % dan 61,97±7,24 % (Tabel 1,
Lampiran 14 dan 15). Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan
ikan komersial berupa pelet apung dengan kadar protein sebesar 29,77%. Namun
demikian, dalam pelaksanaan uji kecernaan ini, pakan tersebut digiling dan
dicetak ulang yang mengakibatkan sifat keterapungannya menjadi hilang.
Tabel 1. Nilai Koefisien Kecernaan Pakan (KKP) dan Koefisien Kecernaan Protein (KKProt) ikan lele (C. gariepinus) yang diberi pakan apung komersial kadar protein sebesar 29,77% (N=5)
Parameter Nilai
Koefisien Kecernaan Pakan (KKP) (%) 81,48 ± 2,30
Koefisien Kecernaan Protein (KKProt) (%) 61,97 ± 7,24
Nilai KKP sebesar 81,48±2,30 % menunjukkan bahwa sebagian besar
pakan yang diberikan dapat dicerna oleh ikan lele.