ADI YUDHA PRAMONO A14070061
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
ADI YUDHA PRAMONO. Pemantauan Pertumbuhan Padi Menggunakan L-Band SAR Berbasis Teori Dekomposisi: Studi Kasus Subang. Dibawah
bimbingan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO dan DYAH RETNO
PANUJU.
Permasalahan pangan di Indonesia tidak dapat dihindari, walaupun
Indonesia sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian sebagai petani. Kenyataan bahwa masih banyak kekurangan
pangan yang melanda seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, sering
diungkapkan pada berbagai kesempatan. Ketahanan pangan sangat terkait dengan
produksi pangan sebagai salah satu faktor pembangunan. Padi merupakan
makanan pokok yang utama di Indonesia, sehingga pemantauan lahan sawah
merupakan salah satu langkah ekstraksi informasi penting bagi perencanaan
pertanian yang lebih baik. Pemantauan dengan penginderaan jauh optik akan
sangat beresiko untuk kondisi di Indonesia atau wilayah tropik secara umum
mengingat cakupan awan yang tinggi. SAR (Synthetic Aperture Radar)
memberikan alternatif dalam penyediaan data untuk tujuan tersebut, terutama
dengan teknologi polarisasi. Sebagai sistem yang mempunyai sumber energi
sendiri tanpa tergantung dengan sumber energi matahari, SAR dapat beroperasi
siang maupun malam dalam segala kondisi cuaca (karena gelombang mikro dapat
menembus awan, asap dan hujan). Sifat ini sangat bermanfaat untuk aplikasi
penginderaan yang sensitif waktu seperti pertanian tanaman semusim atau
bencana alam.
Berbagai studi yang dilakukan sebelumnya memiliki fokus kajian pada
pemanfaatan data backscatter (hamburan balik) SAR. Pengembangan lebih lanjut
dari teknologi SAR yaitu polarisasi penuh memungkinkan analisis data SAR yang
lebih kompleks dibandingkan dengan analisis berbasis hamburan balik. Prosedur
analisis SAR polarisasi penuh yang saat ini banyak mengundang perhatian adalah
polarimetrik penuh yang kompleks akan dikonversi menjadi tiga unit analisis yang
lebih sederhana yaitu Entropi (H), Sudut Alfa ( ) dan Anisotropi (A). Pada penelitian ini, blok penanaman padi PT. Sang Hyang Seri, Subang yang memiliki
keragaman dalam umur tanaman menjadi informasi lapangan utama dalam
analisis.
Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa Teori dekomposisi Cloude-Pottier
dapat dimanfaatkan untuk menggambarkan karakteristik berbagai tingkat
pertumbuhan padi sawah. Hasil analisis menunjukkan bahwa parameter Entropi
berperan penting dalam membedakan umur tanaman padi. Distribusi nilai Entropi
sesuai untuk menggambarkan berbagai fase pertumbuhan padi. Hal ini disebabkan
oleh adanya keterkaitan antara perubahan pola Entropi dengan variasi umur
tanaman padi. Pertambahan umur tanaman padi cenderung bersesuaian dengan
peningkatan nilai Entropinya. Nilai entropi menjadi kecil pada tanaman padi yang
masih muda, karena rendahnya jumlah daun atau tajuk tanaman sehingga
kontribusi tanah cukup dominan. Meskipun Sudut Alfa ditemukan berguna untuk
menjelaskan jenis hamburan, parameter ini terlihat kurang memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap interpretasi data.
ADI YUDHA PRAMONO. Rice Growth Monitoring Using L-Band SAR Based on Decomposition Theory: A Case Study of Subang. Under supervision of
BAMBANG HENDRO TRISASONGKO and DYAH RETNO PANUJU.
Food problems in Indonesia cannot be avoided, although Indonesia is
often referred to as an agricultural country where predominant livelihood is
farming. As a matter of fact, there are still a lot of food shortages along increasing
number of inhabitants. Rice is the main staple food in Indonesia, therefore
monitoring rice field is important information for better agricultural planning.
Monitoring with optical remote sensing would be on stake for Indonesia or
tropical regions considering high cloud cover. SAR (Synthetic Aperture Radar)
provides an alternative in the provision of data for such purposes, especially with
polarization technology. As a system that has its own energy source, irrespective
to source of solar energy, a SAR system can operate day and night in virtually all
weather conditions, because microwaves can penetrate clouds, smoke and rain.
This property is very useful for time sensitive applications such as sensing of
agricultural crops or natural disasters.
Earlier studies primarily focused on the use of backscatter data. Further
development of the SAR technology allows analysis of fully polarization SAR
data, which are generally more complex than backscattering-based analysis. Fully
polarization SAR analysis procedures that are currently inviting attention is the
polarimetric decomposition.
This study discusses an application of the Cloude-Pottier decomposition
theory in assessment of growth phase of Ciherang rice. Using this theory, a
complex fully polarimetric data can be converted into three units of analysis, i.e.
Entropy (H), Alpha Angle ( ) and Anisotropy (A). In this study, blocks of rice
cultivation owned by PT. Sang Hyang Seri, provided major field information for
detailed analysis.
This research indicated that the Cloude-Pottier decomposition theory was
plants tend to coincide to increasing value of entropy. Entropy became smaller in
young rice plants, because of a decrease in the number of leaves or density of
plant canopy and therefore soil contribution was dominant. Although the alpha
angle was found useful to describe scattering type, this parameter is less visible to
contribute significantly to the interpretation of data.
ADI YUDHA PRAMONO A14070061
Skripsi
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN
Nama Mahasiswa : Adi Yudha Pramono
Nomor Pokok : A14070061
Menyetujui
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc Ir. Dyah R. Panuju, M.Si
NIP. 19700903 200812 1 001 NIP. 19710412 199702 2 005
Mengetahui
Ketua Departemen
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc
NIP. 19621113 198703 1 003
Penulis lahir di Ngawi, Jawa Timur pada tanggal 26 Januari 1989 sebagai
anak kedua dari dua bersaudara pasangan Kasno, M.Pd dan Siti Nining Lestari,
S.Pd. Pedidikan formal yang ditempuh oleh penulis berawal dari SD Negeri
Karangtengah IV Ngawi (1996-2001). Selepas Sekolah Dasar, penulis
melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 2 Ngawi (2001-2004) dan SMA Negeri 2
Ngawi (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada tahun 2007 penulis
diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL).
Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti kegiatan kemahasiswaan
sebagai Hubungan Luar dan Alumni HMIT IPB Divisi Informasi dan Komunikasi
(2008-2009), Divisi Informasi dan Komunikasi AZIMUTH - Soil IPB Adventure
Society (2009-2010). Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah
Geomorfologi dan Analisis Lanskap 2010/2011, mata kuliah Sistem Informasi
Geografis 2010/2011, dan mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
2011/2012. Selain itu juga aktif di beberapa kepanitiaan lain yang
diselenggarakan oleh Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian dan
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (DITSL). Penulis juga menjadi
presentator dalam Seminar Nasional PIT MAPIN XVII Tahun 2011 “Observasi Pertumbuhan Tanaman Padi Menggunakan Parameter Dekomposisi Entropi dan
Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Pemantauan Pertumbuhan Padi Menggunakan
L-Band SAR Berbasis Teori Dekomposisi: Studi Kasus Subang”. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan
kepada:
1. Orang tua tercinta Bapak (Kasno) dan Ibu (Siti Nining Lestari) serta kakak
(Pramudya Baskoro) yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa, restu,
kepercayaan serta dukungan moral dan spiritual sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan.
2. Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc. dan Ir. Dyah R. Panuju, M.Si. selaku
pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan, kritik, saran
dan motivasi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan penulisan karya
ilmiah ini.
3. Dr. Boedi Tjahjono selaku penguji yang telah memberikan saran dan
masukan dalam penyempurnaan karya ilmiah ini.
4. Kantor Regional I Sukamandi PT. Sang Hyang Seri, Subang, yang telah
banyak membantu penulis dalam memberikan data dan informasi yang sangat
dibutuhkan selama pelaksanaan karya ilmiah ini.
5. Pusat Perencanaan, Pengembangan dan Pengkajian Wilayah (P4W) LPPM
IPB atas kesempatan yang telah diberikan untuk memperoleh ilmu dalam
pelaksanaan karya ilmiah ini.
6. Keluarga besar Ngawi yang selalu memberikan nasehat, motivasi dan doanya
selama ini.
7. Setia Wahyu C., Ika Puspita S., Hanna Aditya J., Kriswindya Tasha, Melinda
Rakhmawati, Rhoma Purnanto, Herdianto Eka S., Aulia Bahadhori M., Farid
Ridwan, dan Herdian Priambodo atas saran dan motivasinya.
8. Wiwid Wijayanto, M. Kusumah, Defrey S. Z., Melati N., dan Annisa T.,
10.Seluruh saudara seangkatan mahasiswa MSL 44 atas saran, dukungan, dan
kebersamaannya selama ini.
Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan terima kasih. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam karya
ilmiah ini dan berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2012
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
I. PENDAHULUAN ... 2
1.1. Latar Belakang ... 2
1.2. Tujuan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Pemantauan Padi... 7
2.2. Pemanfaatan Polarisasi Tunggal dan Ganda ... 7
2.3. Pemanfaatan Polarisasi Linier ... 10
2.4. Dekomposisi Cloude-Pottier... 10
III. METODOLOGI ... 17
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 17
3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 18
3.3. Metode Penelitian ... 18
3.3.1. Persiapan ... 18
3.3.2. Pengumpulan Data ... 18
3.3.3. Survei Lapang ... 19
3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data ... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
4.1. Respon Polarimetri pada Tanaman Padi Varietas Ciherang ... 24
4.1.1. Analisis Data Eksploratif ... 24
4.1.2. Keterkaitan Umur Tanaman dengan Entropi dan Sudut Alfa ... 31
4.2. Klasifikasi Fase Tumbuh Tanaman ... 35
4.2.1. Proses Klasifikasi ... 35
4.2.2. Akurasi ... 41
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 44
5.1. Kesimpulan ... 44
5.2. Saran... ... 45
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Interpretasi Zona ... 14
Tabel 2. Permodelan pada parameter Entropi... 32
Tabel 3. Permodelan pada parameter Sudut Alfa ... 32
Tabel 4. Nilai Transformed Divergence (TD) menggunakan data training pada citra PALSAR 2009... 35
Tabel 5. Nilai Transformed Divergence (TD) menggunakan data training pada citra PALSAR 2007... 35
Tabel 6. Luas Hasil Klasifikasi citra PALSAR 2009 dan 2007 ... 41
Tabel 7. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Citra PALSAR 2009 ... 41
Tabel 8. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Citra PALSAR 2007 ... 42
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Segmentasi bidang entropy-alpha (Trisasongko, 2010) ... 12
Gambar 2. Lokasi Penelitian... 17
Gambar 3. Beberapa kondisi pertumbuhan tanaman padi varietas
Ciherang ... 19
Gambar 4. Citra PALSAR yang diakuisisi tahun 2007 (a) dan 2009
(b). Citra © JAXA dan METI ... 21
Gambar 5. Citra PALSAR 2009; Lokasi blok lahan sawah PT Sang
Hyang Seri (a) dan lokasi pengambilan contoh umur
tanaman padi varietas Ciherang (b) ... 22
Gambar 6. Citra PALSAR 2007; Lokasi blok lahan sawah PT Sang
Hyang Seri (a) dan lokasi pengambilan contoh umur
tanaman padi varietas Ciherang (b) ... 22
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian ... 23
Gambar 8. Boxplot nilai Entropi (median) terhadap umur tanaman
padi varietas Ciherang ... 24
Gambar 9. Boxplot nilai Entropi (mean) terhadap umur tanaman
padi varietas Ciherang ... 25
Gambar 10. Boxplot nilai Sudut Alfa (median) terhadap umur
tanaman padi varietas Ciherang ... 27
Gambar 11. Boxplot nilai Sudut Alfa (mean) terhadap umur
tanaman padi varietas Ciherang ... 27
Gambar 12. Sketsa tanaman padi pada fase vegetatif akhir (a) dan
generatif (b)... 28
Gambar 13. kondisi tanaman padi varietas Ciherang yang terserang
tikus ... 29
Gambar 14. Diagram Pencar Cloude-Pottier citra PALSAR 2009 (a)
Gambar 15. Permodelan kuadratik nilai Entropi terhadap umur
tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR
2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d) ... 33
Gambar 16. Hasil permodelan Kuadratik nilai Sudut Alfa terhadap
Umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra
PALSAR 2009 (a dan c) serta 2007 (b dan d) ... 34
Gambar 17. Pohon Keputusan berdasarkan QUEST pada citra
PALSAR 2009 ... 37
Gambar 18. Pohon Keputusan berdasarkan QUEST pada citra
PALSAR 2007 ... 38
Gambar 19. Citra ALOS PALSAR 2009 (a) dan Hasil Klasifikasi
Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra ALOS
PALSAR Blok Penanaman Padi PT. Sang Hyang Seri,
Sukamandi 2009 (b) ... 39
Gambar 20. Citra ALOS PALSAR 2007 (a) dan Hasil Klasifikasi
Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra ALOS
PALSAR Blok Penanaman Padi PT. Sang Hyang Seri,
Sukamandi 2007 (b) ... 40
Lampiran
Gambar Lampiran 1. Satelit ALOS (JAXA, EORC, 1997) ... 51
Gambar Lampiran 2. Instrumen PALSAR (JAXA, EORC, 1997) ... 52
Gambar Lampiran 3. Permodelan linier nilai Entropi terhadap umur
tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR
2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d) ... 54
Gambar Lampiran 4. Permodelan linier nilai Sudut Alfa terhadap
umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra
PALSAR 2009 (a dan c) dan 2007 (b dan d) ... 55
Gambar Lampiran 5. Permodelan Jenuh nilai Entropi terhadap umur
tanaman padi varietas Ciherang pada Citra PALSAR
Gambar Lampiran 6. Permodelan Jenuh nilai Sudut Alfa terhadap
umur tanaman padi varietas Ciherang pada Citra
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permasalahan pangan di Indonesia tidak dapat dihindari, walaupun Indonesia
sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani. Kenyataan bahwa masih banyak kekurangan pangan
yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, sering diungkapkan pada
berbagai kesempatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hingga saat ini
ketahanan pangan di Indonesia masih terbatas.
Ketahanan pangan sangat terkait dengan ketersediaan pangan untuk
mencukupi kebutuhan penduduk, sehingga ketahanan pangan tidak dapat lepas
dari produksi pangan sebagai salah satu faktor pembangunnya. Pemantauan lahan
sawah (padi) merupakan salah satu langkah untuk mengetahui informasi penting
yang dibutuhkan bagi pemenuhan jumlah produksi pangan yang diinginkan.
Pemantauan ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik survei lapang
dan/atau teknologi penginderaan jauh. Teknik survei lapang memiliki beberapa
kekurangan, diantaranya teknik ini memerlukan tenaga dan biaya yang lebih besar
dibandingkan dengan teknik penginderaan jauh. Selain itu survei lapang
membutuhkan waktu yang relatif lebih lama. Namun demikian, teknik ini
memiliki kelebihan karena dapat mengetahui kondisi lapang secara langsung dan
data yang diperoleh mempunyai tingkat kedetilan yang tinggi.
Teknologi penginderaan jauh juga memiliki kelebihan-kelebihan tertentu
dalam beberapa segi. Salah satunya adalah mampu memberikan informasi
mendekati real time dan mencakup wilayah yang sangat luas. Ketersediaan data
penginderaan jauh/citra satelit dalam bentuk digital memungkinkan untuk
dilakukan analisis dengan komputer secara kuantitatif dan konsisten. Selain itu
data penginderaan jauh dapat digunakan sebagai masukan yang independen untuk
verifikasi lapangan. Melalui teknologi penginderaan jauh ini, penjelajahan
lapangan juga dapat dikurangi, sehingga dapat menghemat waktu dan biaya bila
dibandingkan dengan cara terestris.
Dengan demikian, informasi hasil pemantauan dengan teknologi
keputusan dalam mengembangkan areal persawahan. Selain dapat digunakan
untuk pemantauan padi dan pengamatan daerah yang sangat luas, penginderaan
jauh juga dapat memberi informasi mengenai keadaan lahan yang mencakup
topografi/relief, pertumbuhan tanaman/vegetasi dan fenomena alam lainnya. Hal
ini dapat memberikan peluang untuk mengamati, mempelajari pengaruh iklim,
vegetasi, litologi, dan topografi terhadap penyebaran sumberdaya lahan dan lahan
pertanian.
Pemantauan lahan pertanian yang saat ini dilakukan umumnya bergantung
pada citra optik. Penggunaan citra Landsat ETM pada studi Septiana et al. (2011)
dimanfaatkan untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan sawah di
Kabupaten Karawang melalui analisis luasan penggunaan lahannya. Pendugaan
perubahan ini dilakukan untuk mengetahui laju pertumbuhan tanaman padi. Selain
itu, studi lain juga dilakukan oleh Dirgahayu (2011) dengan menggunakan data
EVI MODIS untuk mendeteksi awal tanam padi di lahan sawah. Analisis spasial
pada data ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan waktu awal tanam terhadap
kualitas pertumbuhan tanaman padi. Nilai EVI maksimum saat pertumbuhan
vegetatif tanaman menjelang pembungaan manjadi indikator kualitas
pertumbuhan tanaman padi. Citra optik lain yang juga digunakan dalam bidang
pertanian adalah data satelit SPOT 4 untuk identifikasi lahan sawah di wilayah
Kabupaten Sambas. Data SPOT 4 diolah lebih lanjut dengan bantuan citra satelit
Landsat untuk menghasilkan citra mozaik yang relatif baik dari liputan awan
sehingga analisis yang dilakukan pada citra menghasilkan akurasi yang baik
terhadap liputan lahan sawah (Harsanugraha dan Trisakti, 2011). Pemanfaatan
data optik untuk aplikasi yang sensitif waktu seperti pertanian akan sangat riskan
untuk wilayah Indonesia atau wilayah tropis secara umum, mengingat cakupan
awan di wilayah ini sangat tinggi. Untuk wilayah tersebut, data alternatif atau
komplemen sangat dibutuhkan. Salah satu data yang dapat menyajikan informasi
tersebut adalah data Synthetic Aperture Radar (SAR).
Ari et al. (2005) menyebutkan bahwa suatu sistem SAR monostatik terdiri
dari antena yang berfungsi sebagai Transmitter (Pemancar) dan Receiver
(Penerima), yang disertai dengan sistem elektronis untuk memproses dan
secara kontinyu ke permukaan bumi, kemudian antena penerima akan menerima
hamburan balik (backscatter) yang kemudian direkam atau diproses lebih lanjut.
Sebagai sistem yang mempunyai sumber energi sendiri tanpa tergantung dengan
sumber energi matahari, maka SAR dapat beroperasi pada siang maupun malam
dalam hari segala kondisi cuaca (karena gelombang mikro dapat menembus awan,
asap dan hujan). Sifat-sifat seperti ini sangat bermanfaat untuk aplikasi
penginderaan yang sensitif waktu seperti pertanian tanaman semusim atau
bencana alam. Gelombang mikro dengan panjang gelombang tertentu juga
memiliki kemampuan untuk menembus lapisan permukaan, sebagai contoh
kanopi vegetasi, lebih dalam daripada sensor optik. Radar juga sensitif terhadap
kekasaran permukaan, kelembaban, sifat dielektrik, dan gerakan dalam permukaan
yang diiluminasi. Informasi unik yang diberikan citra SAR seperti ini juga dapat
dimanfaatkan sebagai komplemen citra-citra optik. Instrumen SAR dapat
dirancang untuk mengirimkan gelombang gelombang mikro yang terpolarisasi
linier baik secara horisontal (H) maupun secara vertikal (V). Demikian pula
antena penerimanya dapat dirancang untuk menerima sinyal hambur balik baik
yang terpolarisasi secara horisontal (H) maupun vertikal (V). Dengan demikian
terdapat empat kombinasi polarisasi linier yang memungkinkan, yaitu : HH, VV,
HV, dan VH. Ketika gelombang radar berinteraksi dengan permukaan bumi atau
target, polarisasi tersebut akan termodifikasi sesuai dengan karakteristik
permukaan bumi atau target tersebut yang pada gilirannya akan memberikan efek
yang berbeda-beda pada energi hamburan baliknya.
Citra SAR sangat berguna dalam studi padi karena karakteristik hamburan
spekular yang unik dari sinyal radar pada sawah tergenang. Pada kanal L
(L-band), sinyal radar dapat menembus kanopi padi sehingga menyediakan informasi
struktural, sedangkan indeks vegetasi dari citra optik cenderung jenuh dalam
tahap puncak pertumbuhan padi. Telah ditemukan dalam studi sebelumnya oleh
Shao et al. (2001) bahwa atribut biofisik padi, seperti indeks luas daun (LAI),
biomasa segar, dan tinggi tanaman, secara signifikan berkorelasi dengan
amplitudo hamburan balik SAR. Namun, untuk parameter tertentu, kekuatan
korelasi tidak konsisten dalam studi yang berbeda yang tergantung pada besarnya
pertumbuhan, periode penggenangan, dan budaya aktivitas pertanian. Faktor
sistem (frekuensi, polarisasi, insiden sudut, dan lain-lain) dari sensor SAR secara
dramatis juga menyebabkan perbedaan karakteristik hamburan balik (Brisco and
Brown, 1998).
Berbagai studi yang dilakukan sebelumnya memiliki fokus kajian pada
pemanfaatan data backscatter (hamburan balik) SAR. Wang et al. (2009)
misalnya, menggunakan data SAR ALOS PALSAR polarisasi HH dan HV untuk
pemantauan padi di Cina Tenggara. Analisis hamburan balik yang dilakukan
menunjukkan tinggi tanaman dan banyaknya massa daun merupakan dua
parameter struktural utama yang berkontribusi dalam hamburan balik padi pada
citra PALSAR. hamburan balik HH lebih sensitif terhadap variasi struktural padi,
sementara Hamburan balik VV hampir konstan sepanjang siklus pertumbuhan
padi. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hamburan balik L-HH
multitemporal mungkin lebih berguna dalam pemetaan biofisik padi dan studi
pemodelan. Hamburan balik HV dipengaruhi oleh interaksi beberapa radar sinyal
dan kanopi padi dan tidak dapat secara akurat disimulasikan melalui model
hamburan kanopi orde pertama. Hasil ini juga diperkuat oleh Wu et al. (2011)
yang mencoba menganalisis data hamburan balik data SAR RADARSAT-2
polarisasi linier HV.
Pengembangan lebih lanjut dari teknologi SAR yaitu polarisasi penuh
memungkinkan analisis data SAR yang lebih kompleks dibandingkan dengan
analisis berbasis hamburan balik. Prosedur analisis SAR polarisasi penuh yang
saat ini banyak mengundang perhatian adalah analisis dekomposisi polarimetrik.
Hal ini dikarenakan data polarimetrik penuh memiliki keakuratan yang jauh lebih
baik dibanding polarisasi tunggal, ganda dan quad. Perbedaannya terletak pada
jenis data yang di analisis. Data polarimetrik penuh mampu menggunakan
bilangan kompleks yang terdiri dari nilai amplitudo dan beda fase, untuk
dilakukan analisis. Sedangkan polarisasi tunggal, ganda dan quad hanya
menggunakan nilai amplitudo dalam proses analisisnya. Saat ini terdapat beberapa
teori dekomposisi yang tersedia pada literatur ilmiah, seperti Holm dan Touzi.
Namun demikian, telaah literatur menunjukkan bahwa teori dekomposisi
populer untuk ditelaah. Hal ini dikarenakan dekomposisi Cloude dan Pottier
memiliki dasar matematis yang kuat, walaupun menurut Freeman and Durden
(1998), hal tersebut belum tentu dapat diinterpretasikan dengan mudah.
1.2. Tujuan
1. Mempelajari berbagai fase pertumbuhan padi sawah varietas Ciherang
pada SAR L-band berbasis teori dekomposisi Cloude-Pottier.
2. Menguji beberapa pendekatan model pertumbuhan padi menggunakan
analisis regresi dan klasifikasi berbasis teori dekomposisi dalam
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pemantauan Padi
Kondisi tanah pada wilayah pertanian relatif lebih dinamis dibandingkan dengan
pada wilayah hutan. Oleh karena itu, pengamatan tepat waktu dan periodik
penting dilakukan di bidang pertanian (Ishitsuka, 2007). Selain itu, sistem tanam
padi di Asia yang saat ini sedang mengalami perubahan besar untuk mengatasi
peningkatan demografi dan perubahan iklim, membuat pemantauan padi menjadi
masalah kritis (Bouvet et al., 2009). Di Indonesia, pertanian identik dengan
bercocok tanam padi, sebab mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi nasi
sebagai makanan pokok. Populasi penduduk dan tingkat pertumbuhan penduduk
yang tinggi menjadikan pemantauan tanaman padi sangat diperlukan di Indonesia.
Pemantauan tanaman padi juga perlu dilakukan untuk mengetahui
perubahan-perubahan kondisi lingkungan di sekitar sawah yang secara tidak langsung
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi itu sendiri, mengingat dinamika
spasial suatu bentang lahan berinteraksi dengan proses ekologi (Turner, 1989).
Informasi produksi tanaman melalui pemantauan padi juga penting bagi
kebijakan untuk mengelola dan mengatur distribusi beras dalam suatu negara.
Dengan demikian pemantauan padi dengan teknologi penginderaan jauh dapat
memberikan informasi yang tepat waktu dan akurat, baik mengenai distribusi
tanaman, luas lahan pertanian, maupun produksi yang potensial bagi para pembuat
keputusan.
Estimasi hasil panen dan produksi merupakan topik kepentingan global.
Selain itu manajemen sumberdaya lahan pertanian yang efisien sangat terkait
dengan pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan, terutama penting di
Cina (Shao et al., 2001).
2.2. Pemanfaatan Polarisasi Tunggal dan Ganda untuk Tanaman Padi
Dewasa ini, telah banyak dilakukan berbagai studi terhadap tanaman padi dengan
menggunakan citra SAR. Hal ini dikarenakan citra SAR memiliki karakteristik
hamburan balik sinyal radar yang unik di area sawah tergenang (Kurosu et al.,
menembus kanopi padi dan dengan demikian informasi struktural menjadi
tersedia (Thenkabail et al., 2000).
Kurosu et al. (1997) menyajikan hubungan antara koefisien hamburan
balik radar dan parameter tanaman padi pada data satelit penginderaan jauh Eropa
(ERS-1) C-band SAR data polarisasi VV. Dalam Chakraborty et al. (2005), data
RADARSAT C-Band polarisasi tunggal HH digunakan di India, salah satunya
untuk mengevaluasi efek dari sudut datang, sehingga dataset optimum dapat
dipilih yang mengarah pada pendekatan menjadi lebih baik atau sensitif untuk
telaah parameter pertumbuhan padi. Hasil analisis penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kesalahan estimasi umur dari hamburan balik relatif tinggi,
karena tidak ada hubungan langsung antara umur dengan hamburan balik, dan hal
ini merupakan efek tinggi tanaman atau biomassa. Tinggi tanaman yang berasal
dari C-band SAR mewakili ketinggian di atas permukaan air, dan dengan
demikian peristiwa episodik seperti penggenangan atau pengeringan yang berefek
pada tinggi tanaman tercermin dengan baik dalam perubahan hamburan balik.
Studi ini mencatat bahwa data yang diperoleh selama periode pertumbuhan
tanaman sangat penting karena merupakan hasil awal dalam mencapai akurasi
yang tinggi dari parameter yang diperkirakan. Namun, untuk polarisasi tunggal,
seperti data ERS-1 polarisasi VV dan RADARSAT-1 polarisasi HH, informasi
yang diberikan masih terbatas.
Analisis multi-temporal SAR signatures padi dan kelas penutupan lahan
lainnya dengan menggunakan RADARSAT polarisasi tunggal HH juga telah
dilakukan di Baleshwar dan Bhadrak Orissa, India, dimana berbagai kondisi
pertumbuhan padi telah diamati (Choudhury and Chakraborty, 2006). Analisis
menunjukkan bahwa data multi-temporal SAR berguna untuk memantau perilaku
temporal dari pertumbuhan tanaman selama siklus pertumbuhan dan untuk
mengukur keterpisahan antara pasangan kelas yang berbeda. Uji keterpisahan
telah menunjukkan bahwa padi dapat dipisahkan dari tutupan lahan lain kecuali
untuk awal pertumbuhan padi, yang bercampur dengan lereng bukit (sisi jauh) dan
bayangan bukit. Penelitian lain juga dilakukan Ishitsuka (2007) mengunakan
polarisasi tunggal untuk melakukan pemantauan tanaman padi di Jepang. Studi
Berdasarkan analisis hamburan balik, disimpulkan bahwa pemisahan area yang
berisi air, sawah yang digenangi air, dan area lain sulit dilakukan dengan jelas dari
data hamburan balik. Walaupun hasil penelitian ini menunjukkan tingkat kesulitan
yang cukup tinggi dalam membedakan keadaan tanah dengan polarisasi tunggal.
Klasifikasi masih mungkin untuk dilakukan hanya jika PALSAR dikombinasikan
dengan citra SAR lain dengan panjang gelombang yang berbeda atau dengan
sensor citra optik.
Seiring berkembangnya teknologi, polarisasi ganda mulai diperkenalkan
sebagai alternatif baru. Le Toan et al. (1989) telah melakukan studi mengenai
penggunaan polarisasi ganda (HH dan VV) X-band SAR untuk identifikasi dan
pemantauan vegetasi pertanian. Pemodelan yang dilakukan memberikan hasil
menjanjikan selama periode pertumbuhan padi. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat kemungkinan pemanfaatan data HH dan VV untuk mengidentifikasi
kanopi padi dan untuk memantau perkembangan melalui parameter kanopi seperti
tinggi, nilai kepadatan, atau biomassa. Berkaitan dengan ini, penelitian Wang et
al. (2009) memanfaatkan data SAR ALOS PALSAR polarisasi ganda HH dan HV
multitemporal untuk pemantauan padi di Cina Tenggara. Analisis hamburan balik
yang dilakukan menunjukkan bahwa tinggi tanaman dan banyaknya massa daun
merupakan dua parameter struktural utama yang berkontribusi dalam hamburan
balik padi pada citra PALSAR. Terlepas dari potensi yang tinggi dari hasil
pendekatan pemodelan yang dilakukan pada citra SAR, pemantauan dengan
menggunakan satu tanggal saja menghasilkan analisis yang kurang optimal dalam
penelitian kuantitatif padi. Mengingat pertumbuhannya yang cepat dalam waktu
yang relatif singkat, sifat biofisik padi di berbagai lahan sering bervariasi dalam
satu jenis data satelit. Hamburan balik padi dalam satu tahap juga ditemukan
sangat bias oleh variasi dalam spesies dan aktivitas pengelolaan. Pada citra satelit
multi waktu menunjukkan bahwa variasi temporal dari hamburan balik padi
terkait erat dengan peningkatan pertumbuhan biofisik padi. Oleh karena itu, citra
SAR multitemporal dan model simulasi dapat mengurangi ketidakpastian dalam
2.3. Pemanfaatan Polarisasi Linier
Pemanfaatan polarisasi linear telah banyak dilakukan baik melalui polarisasi
tunggal maupun dengan polarisasi ganda atau polarisasi quad dengan
mengkombinasikan polarisasi linier HH, VV, HV, dan VH.
Bouvet et al. (2009) misalnya, telah memanfaatkan polarisasi linier untuk
studi di wilayah Delta Mekong, Vietnam. Studi tersebut bertujuan melakukan
penilaian penggunaan rasio polarisasi HH/VV yang berasal dari data Advanced
SAR (ASAR) dari satelit ENVISAT untuk produksi petak sawah. Pendekatan
yang dilakukan didasarkan pada pengetahuan masa lalu pada perilaku polarisasi
kanopi padi, yaitu hamburan balik VV jauh lebih rendah dibandingkan HH hampir
sepanjang musim tanam padi, karena redaman gelombang oleh struktur vertikal
tanaman.Metodologi ini dikembangkan untuk Delta Mekong, dimana pola tanam
yang kompleks ditemukan (satu sampai tiga rotasi tanaman padi per tahun).
Pendekatan yang digunakan meliputi analisis statistik dari rasio HH/VV pada
distribusi kelas padi dan non-padi melalui tanggal akuisisi yang berbeda. Hasil
analisis mengkonfirmasi bahwa rasio HH/VV dapat digunakan sebagai
pengklasifikasi dan dapat mengindikasikan kebutuhan yang relevan untuk
penyaringan spekel sebelum klasifikasi.
Telaah lain oleh Wu et al. (2011) mencoba menganalisis data hamburan
balik polarisasi quad SAR RADARSAT-2 pada tanaman padi. Analisis dilakukan
dengan memanfaatkan data time series polarisasi quad yang mencakup siklus
hidup padi pada tahun 2009. Hasil eksperimen menyimpulkan bahwa koefisien
hamburan balik tanaman padi pada keempat polarisasi mempunyai korelasi yang
baik dengan usia padi setelah transplantasi. Tetapi secara khusus, polarisasi linier
HV atau VH menunjukkan hubungan terbaik terhadap usia padi setelah
transplantasi. Selain itu, HV atau VH juga lebih cocok untuk ekstraksi parameter
pertumbuhan padi, seperti tinggi dan biomassa padi. Namun demikian, korelasi
antara koefisien hamburan balik dan parameter padi tidak terlalu tinggi.
2.4. Dekomposisi Cloude-Pottier
Metode dekomposisi untuk memahami karakteristik fisik melalui refleksi objek
telah mulai diperkenalkan dalam analisis radar polarimetrik penuh. Salah satu
menggunakan analisis eigen untuk memperoleh atribut fisik. Salah satu algoritma
dekomposisi yang digunakan secara luas adalah dekomposisi Cloude-Pottier
(Cloude and Pottier, 1997) dari data polarimetrik penuh (berbentuk matriks
kovarian atau koherensi).
Melalui teori dekomposisi Cloude-Pottier, data polarimetrik penuh yang
kompleks akan dikonversi menjadi tiga unit analisis yang lebih sederhana yaitu
Entropy, Alpha angle dan Anisotropy.
; ...(1)
Entropy (H) memiliki kisaran nilai antara 0~1 yang menunjukkan tingkat
keacakan obyek penghambur di permukaan bumi. dapat disebut sebagai
intensitas relatif dari proses hamburan ke-i. Nilai H=0 mengindikasikan obyek yang tunggal dan khas. Di lain pihak, H=1 mengindikasikan proses hamburan
balik yang acak secara penuh dan tidak ditemukan obyek yang dominan dalam
cakupan suatu piksel pengamatan. Sehingga ketika suatu objek di permukaan
bumi bersifat tunggal atau khas maka nilai entropi akan cenderung mendekati nol,
begitu sebaliknya.
...(2)
Parameter penting lainnya adalah Alpha Angle (2), yang menunjukkan
jenis hamburan balik (atau jenis obyek) yang paling dominan dalam piksel yang
diamati. Nilai bervariasi antara 0 dan 90o. Nol derajat mengindikasikan
odd-bounce scattering (hamburan spekular) dari permukaan yang datar. Perwujudan
even-bounce scattering (hamburan balik ganda) dapat diamati di sekitar =90o,
sedangkan =45o mengindikasikan hamburan dipole yang umumnya ditemui pada vegetasi berkayu. Dengan demikian objek yang bersifat tunggal dalam cakupan
piksel akan cenderung memiliki hamburan balik ganda, begitu sebaliknya.
Analisis Entropy dan Alpha angle biasanya dikaji menggunakan suatu
diagram pencar yang khusus. Untuk menyederhanakan interpretasi, ruang
tampilan dibagi dalam sembilan wilayah. Jika ditemukan lebih dari satu obyek
digunakan untuk menambah kemampuan interpretasi obyek. Berikut ini
merupakan diagram pencar Cloude-Pottier.
Gambar 1. Segmentasi bidang entropy-alpha (Trisasongko, 2010)
Semua mekanisme hamburan acak (random scattering) dapat diwakili
dalam klasifikasi H- pada Gambar 1. Klasifikasi tersebut ditunjukkan dalam
sembilan kelas karakteristik zona dasar dari perilaku hamburan balik yang terbagi
dengan garis putus-putus. Batas-batas pembagi tersebut dipilih berdasarkan sifat
umum dari mekanisme hamburan dan tidak tergantung pada satu set data tertentu.
Berikut ini merupakan ringkasan singkat dari karakteristik hamburan fisik
masing-masing zona (Cloude and Pottier, 1997):
Zona 1. Dapat dilihat pada daerah H>0,9 masih dapat dibedakan mekanisme
double bounce pada lingkungan high entropy (entropi tinggi). Mekanisme tersebut
dapat diamati pada aplikasi kehutanan atau hamburan dari vegetasi yang memiliki
cabang berkembang dengan baik dan struktur mahkota.
beberapa jenis permukaan yang bervegetasi dengan elemen hamburan acak
anisotropik yang tinggi.
Zona 3. Zona ini bukan bagian dari daerah yang feasible (layak) dari klasifikasi zona H- . Tidak dapat dibedakannya hamburan permukaan dengan entropi H>0,9 merupakan penyebab sulitnya mengklasifikasikan jenis hamburan dengan
peningkatan entropi.
Zona 4. Meliputi hamburan dihedral dengan entropi sedang. Hal ini terjadi misalnya pada aplikasi kehutanan, di mana mekanisme double bounce terjadi pada
P dan L-band setelah menyebar melalui kanopi. Pengaruh kanopi di sini untuk
meningkatkan entropi dari proses hamburan. Proses penting lainnya dalam
kategori ini adalah daerah perkotaan, yang menghasilkan entropi sedang dengan
didominasi low order multiple scattering.
Zona 5. Pada zona ini terdapat entropi sedang yang didominasi oleh mekanisme jenis hamburan dipol. Peningkatan entropi disebabkan oleh distribusi statistik dari
pusat sudut orientasi.
Zona 6. Mencerminkan peningkatan entropi akibat perubahan kekasaran permukaan dan akibat efek penyebaran kanopi.
Zona 7. Zona ini sesuai dengan peristiwa low entropy double or even bounce scattering. Hal ini ditandai oleh >47,5°.
Zona 8. Pada Zona ini terjadi mekanisme yang berkorelasi kuat dengan besarnya ketidakseimbangan antara amplitudo HH dan VV. Sebuah hamburan dipol akan
muncul dizona ini, seperti hamburan dari vegetasi yang berhubungan kuat dengan
elemen hamburan anisotropik.
Zona 9. Terjadi proses low entropy scattering dengan nilai <42,5°. Bentuk Fisik permukaan seperti air (L dan P-band), laut es (L-band) serta permukaan tanah
Tabel 1. Interpretasi Zona
Zona Deskripsi Contoh
1 High entropy multiple scattering Hutan
2 High entropy vegetation scattering Hutan
3 Non-feasible region
4 Medium entropy multiple scattering Permukiman
5 Medium entropy vegetation scattering Vegetasi rendah
6 Medium entropy vegetation scattering Vegetasi rendah
7 Low entropy multiple scattering Permukiman
8 Low entropy dipole scattering Vegetasi rendah
9 Low entropy surface scattering Air, Es, Wilayah terbuka
Sumber: Trisasongko (2010)
2.5. Klasifikasi Pohon keputusan
Metode Pohon Keputusan adalah teknik klasifikasi terbimbing yang dihasilkan
dari data training dari konteks yang umum menuju cakupan yang spesifik atau
khusus. Status awal dari suatu pohon keputusan adalah tangkai pohon yang
menjadi pangkal bagi pemisahan (disimbolkan dalam cabang pohon) yang
diturunkan dari data training (Apte dan Weiss, 1997). Pohon keputusan yang
menggunakan pemisahan (split) peubah tunggal banyak diimplementasikan
mengingat sifatnya yang mudah dipahami oleh pemakai karena kesederhanaan
representasinya. Namun demikian, batasan-batasan yang diterapkan pada
representasi aturan dan pohon tertentu dapat secara signifikan membatasi bentuk
fungsional dari model. Kelebihan-kelebihan pohon keputusan antara lain adalah
menyediakan hasil yang mudah divisualisasikan sehingga mudah dipahami
pengguna, dibangun berdasarkan aturan yang dapat dimengerti dan dipahami, dan
dapat dimanfaatkan untuk prediksi. Di samping itu, kekurangan dari pohon
keputusan adalah model dapat menjadi sangat kompleks untuk tujuan yang
sederhana pada suatu data tertentu (Kaneko et al., 1999).
Penelitian pendahuluan oleh Panuju dan Trisasongko (2008) menunjukkan
bahwa walaupun perbedaan kinerja algoritma pohon keputusan tidak selalu
signifikan, kinerja algoritma pohon keputusan secara konsisten selalu lebih baik
Berbagai teknik pohon keputusan dapat ditemukan di literatur. Salah satu
teknik yang belum banyak ditelaah adalah QUEST (Quick, Unbiased, Efficient
Statistical Trees). QUEST merupakan algoritma split (pemisahan) biner untuk
keperluan klasifikasi dan data mining. QUEST dapat digunakan dengan
pemisahan univariate atau pemisahan kombinasi linear. Feature unik dari teknik
ini adalah pemilihan seleksi atribut yang mempunyai penyimpangan yang tidak
terlalu penting. Jika semua atribut tidak informatif berhubungan dengan atribut
kelas, maka masing-masing atribut mempunyai perkiraan perubahan yang sama
terpilih untuk split (pemisahan) suatu tangkai pohon (Loh and Shih, 1997).
Model QUEST juga diketahui mampu mengurangi ukuran pohon,
mengembangkan prediksi kelas, dan membangun visualisasi model yang lebih
sederhana. Pengurangan ukuran pohon ini dapat terpenuhi melalui penggunaan
model diskriminan. Hasil analisis pendahuluan juga menyatakan bahwa perolehan
keputusan model ini juga lebih akurat untuk aplikasi penginderaan jauh optik
(Panuju and Trisasongko, 2008).
2.6. Tingkat Keterpisahan (Transformed Divergence)
Pengkajian keterpisahan kelas perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat
keakuratan suatu proses klasifikasi. MetodeTransformed Divergence (D’Urso dan Menenti, 1996) merupakan salah satu metode yang banyak digunakan. Berikut ini
adalah persamaan Transformed Divergence:
...(3)
Dimana = parameter TD dan adalah parameter yang diperoleh dari
persamaan:
...(4)
Parameter adalah nilai rataan vektor kelas ke-i sedangkan adalah
nilai matriks koragam kelas ke-i, sedangkan tanda tr menotasikan fungsi teras
(trace dalam aljabar matriks) dan T menunjukkan fungsi transposisi. Dari
sampai dengan 2. Nilai maksimum diperoleh pada saat nilai sama dengan tak hingga.
Dengan menganalogikan penjelasan pada ukuran keterpisahan JM
sebagaimana disampaikan oleh D’Urso dan Menenti (1996), nilai parameter TD
untuk jumlah kelas dalam klasifikasi lebih dari 2, dapat ditentukan melalui
persamaan berikut:
...(5)
dimana m adalah jumlah kelas.
Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka akan diperoleh selang
nilai keterpisahan antara 0 hingga 2. Kelas yang dibangun disebut terpisah cukup
baik jika nilai (5) mendekati 2 dan sebaliknya, antar kelas yang cenderung
mirip dan tidak terpisah secara baik diindikasikan dengan nilai (5) mendekati
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni
2011.Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar 2).
Wilayah ini dipilih sebagai daerah penelitian karena merupakan salah satu
wilayah sentra produksi padi di Indonesia dengan wilayah penanaman yang
kontinu dan memiliki tingkat produksi yang tinggi. Kabupaten Subang memiliki
areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah Indramayu dan Karawang,
sekaligus merupakan penyumbang produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat.
Secara spesifik, penelitian ini dilakukan di Kantor Regional I Sukamandi PT Sang
Hyang Seri, Subang, Jawa Barat, dengan luas lahan sawah Irigasi Teknis lebih
dari 3.000 Ha. Wilayah kerja PT. Sang Hyang Seri (Persero) Regional Sukamandi
terletak di Kecamatan Ciasem, Blanakan dan Patokbeusi, Kabupaten Subang.
Lokasi blok penanaman padi berada pada ketinggian sekitar 15 mdpl dengan
kemiringan lereng berkisar 0 – 3%.
6 ° 4 0 ' 6 ° 4 0 ' 6 ° 3 0 ' 6 ° 3 0 ' 6 ° 2 0 ' 6 ° 2 0 '
107°40'
107°40'
107°50'
107°50'
106 106 107 107 108 108
-7 -7
-6 -6
50000 0 50000Meter
N
E W
S
6000 0 6000 12000 Meter
Kabupaten Subang Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Jalan
Sungai Legenda:
Pengolahan data dan analisis citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh
dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra ALOS PALSAR
yang diakuisisi pada 25 Maret 2007 dan 30 Maret 2009. Sensor Phased-Array
type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) merupakan pengembangan dari
sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR
adalah suatu sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang
dan malam tanpa terpengaruh oleh kondisi cuaca. Sensor PALSAR memiliki
panjang gelombang 23.5 cm atau frekuensi 1.27 GHz dengan kemampuan
multimoda dan observasi multipolarisasi (Zhang. et al, 2009).
Data spasial tambahan yang dimanfaatkan adalah Peta Blok Lahan Sawah
PT. Sang Hyang Seri, Peta Rupa Bumi Indonesia wilayah Jawa Barat skala
1:25.000 yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL). Adapun peralatan yang digunakan adalah kamera digital,
ArcView GIS 3.3, Envi 4.5, MapReady 2.3 beserta program tambahan Statistica
8, Microsoft Word 2007, dan Microsoft Excel 2007.
3.3. Metode Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap, yaitu 1) Persiapan, 2)
Pengumpulan Data, 3) Survey Lapang, 4) Analisis dan Interpretasi Data.
3.3.1. Persiapan
Pada tahapan ini dilakukan studi pustaka mengenai topik penelitian. Studi pustaka
sangat penting untuk mempelajari sumber-sumber yang terkait atau mendukung
pelaksanaan penelitian dan memahami metode yang telah berkembang dalam
kaitannya dengan penelitian ini. Data penunjang yang dikumpulkan antara lain:
buku teks, berbagai jurnal atau artikel ilmiah, dan prosiding seminar yang terkait
dengan tujuan penelitian.
3.3.2. Pengumpulan Data
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah mengumpulkan data yang
Lahan Sawah PT. Sang Hyang Seri, serta Peta Rupa Bumi lokasi penelitian. Citra
ALOS PALSAR diperoleh dari pihak Japan Aerospace Exploration Agency
(JAXA) dalam rangka penelitian ALOS Pilot Project II. Selain itu, data tambahan
diperoleh dari hasil survei lapang sebelumnya dan dari akses internet.
3.3.3. Survei Lapang
Survei lapang meliputi pengamatan pada lahan sawah PT. Sang Hyang Seri
Regional I Sukamandi pada tanggal 28 Juni 2011. Pengamatan dilakukan pada
beberapa kondisi lahan sawah diantaranya adalah pengamatan fase bera, fase
pembibitan, fase penggenangan untuk awal masa tanam padi, fase vegetatif, dan
fase generatif. Berikut ini adalah beberapa gambar kondisi lapang yang telah
diamati tahun 2011 dan tahun 2009.
Awal masa tanam (2009) Fase vegetatif awal (2011)
Fase vegetatif akhir (2011) Fase vegetatif akhir (2011)
Padi yang tidak tumbuh Fase pematangan atau
[image:33.595.101.499.163.729.2]dengan baik (2011) menjelang panen (2009)
3.3.4. Analisis dan Interpretasi Data
Data PALSAR yang diperoleh dari JAXA direkam dalam format CEOS yang
kemudian dikonversi menggunakan perangkat lunak MapReady 2.3. Perangkat
lunak ini juga memungkinkan pengguna memperoleh data hasil dekomposisi
polarimetrik Entropi-Alfa (Cloude and Pottier, 1996). Dalam proses tersebut, data
polarimetrik penuh akan dikonversi menjadi tiga unit analisis yang lebih
sederhana yaitu Entropi (H), Sudut Alfa ( ) dan Anisotropi (A).
Setelah dilakukan koreksi geometrik dengan perangkat lunak ArcView
GIS 3.3, selanjutnya data tersebut siap untuk diolah dengan menggunakan
perangkat lunak Envi 4.5. Untuk memudahkan pengambilan contoh, citra
komposit dibangun dari kombinasi citra VV, HV dan HH yang masing-masing
dimasukkan dalam kanal merah, hijau dan biru secara berturut-turut. Proses
pengambilan contoh data dilakukan dengan memilih minimum 75 pixel pada
masing-masing umur tanaman padi pada blok sawah PT. Sang Hyang Seri.
Terdapat 9 kelas atau kelompok umur tanaman padi (dalam satuan hari) pada citra
PALSAR diakuisisi tahun 2007, yaitu: Umur 86-90, Umur 96-100, Umur
101-105, Umur 106-110, Umur 111-115, Umur 116-120, Umur 121-125, Umur
126-130, Umur 131-135. Sedangkan pada citra PALSAR yang diakuisisi tahun 2009
juga terdapat 9 kelas atau kelompok umur tanaman padi, yaitu: Umur 75-80,
Umur 81-85, Umur 86-90, Umur 91-95, Umur 96-100, Umur 101-105, Umur
106-110, Umur 111-115, dan Umur 116-120.
Tahap berikutnya adalah mengekstrak nilai dari setiap peubah (Entropi,
Sudut Alfa dan Anisotropi) pada kelompok umur yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam sebuah tabel. Dengan menggunakan nilai median dan mean
sebagai pewakil data yang paling representatif, tahapan selanjutnya adalah
membangun diagram untuk mengetahui distribusi nilai dari masing-masing
peubah. Analisis statistik pertama yang dimanfaatkan adalah analisis boxplot.
Analisis boxplot memuat ringkasan sampel yang disajikan secara grafis yang
menggambarkan bentuk distribusi data. Pola distribusi nilai masing-masing
peubah inilah yang kemudian dapat diinterpretasikan untuk menjelaskan
keterkaitan pola perubahannya terhadap variasi umur tanaman padi. Selanjutnya
dengan berbagai jenis permodelan. Masing-masing permodelan akan memiliki
persamaan, nilai R2, dan Standard Error (SE) yang berbeda. Ketiga hal inilah
yang kemudian menjadi dasar dalam pemilihan permodelan yang sesuai dengan
distribusi nilai pada setiap peubah. Model yang terbaik adalah persamaan yang
menghasilkan nilai R2 terbesar dan SE terkecil.
Gambar 4 menyajikan Citra ALOS PALSAR setelah dilakukan
penyusunan berdasarkan band VV, HV dan HH.
(a) (b)
Gambar 4. Citra PALSAR yang diakuisisi tahun 2007 (a) dan 2009 (b). Citra ©
JAXA dan METI
Klasifikasi kelompok umur tanaman padi merupakan salah satu teknik
pembangunan data spasial yang dapat dikaji dengan menggunakan metode
klasifikasi numerik. Dalam penelitian ini, digunakan algoritma klasifikasi
terbimbing decision tree (pohon keputusan) dengan pendekatan Quick, Unbiased,
Efficient Statistical Trees (QUEST; Loh and Shih, 1997) yang diolah dengan
menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 dengan toolbox tambahan. Telaah
dengan menggunakan pendekatan algoritma ini telah digunakan sebelumnya
[image:35.595.99.502.108.825.2]et al. (2009). Selanjutnya hasil pengolahan pohon keputusan berupa citra hasil
klasifikasi diuji dengan menghitung nilai akurasi. Nilai ini dihitung dengan
memanfaatkan analisis matriks akurasi pada data testing (penguji). Selain itu,
untuk menunjang hasil analisis, dilakukan perhitungan koefisien Kappa (indeks
kesalahan). Berikut ini adalah gambar lokasi pengambilan contoh umur tanaman
pada masing-masing citra.
(a) (b)
Gambar 5. Citra PALSAR 2009, Citra © JAXA dan METI; Lokasi blok lahan
sawah PT Sang Hyang Seri (a) dan lokasi pengambilan contoh umur tanaman padi
varietas Ciherang (b)
(a) (b)
Gambar 6. Citra PALSAR 2007, Citra © JAXA dan METI; Lokasi blok lahan
sawah PT Sang Hyang Seri (a) dan lokasi pengambilan contoh umur tanaman padi
Gambar 7. Diagram Alir Penelitian
Data Raw Citra
PALSAR
Citra PALSAR Geocoded dan
Terkoreksi
Filtering Citra (Lee Filter)
Pengambilan Contoh Data dan Analisis Dekomposisi
Cloude-Pottier
Analisis Statistik Deskriptif
(boxplot)
Analisis Regresi
Klasifikasi Pohon Keputusan (Decision Tree) Algoritma QUEST Analisis
Akurasi Pengumpulan
Data dan Eksplorasi Perangkat Lunak
Blok Lahan Sawah dan Survei lapang Peta Rupa Bumi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Respon Polarimetri pada Tanaman Padi Varietas Ciherang
4.1.1. Analisis Data Eksploratif
Hasil penerapan teori dekomposisi Cloude Pottier pada penelitian ini terwakili
oleh Entropi dan Sudut Alfa. Gambar 8, 9, 10, dan 11 menunjukkan pola
penyebaran nilai Entropi dan Sudut Alfa terhadap umur tanaman padi varietas
Ciherang. Nilai dari masing-masing peubah yang disajikan dalam gambar tersebut
merupakan nilai tengah (median) dan rataan (mean) dari seluruh data training
(masing-masing 75 piksel), dengan pengelompokan umur padi dalam rentang 5
hari. Pengelompokan umur tanaman padi ini bertujuan untuk memperjelas pola
penyebaran masing-masing parameter, sehingga interpretasi data jauh lebih
mudah.
76-80 81-85
86-90 91-95
96-100 101-105
106-110 111-115
115-120 121-125
126-130 131-135
Umur
2007 Outliers Extremes 2009 Outliers Extremes
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8
Entro
pi
Gambar 8. Boxplot nilai Entropi (median) terhadap umur tanaman padi varietas
76-80 81-85
86-90 91-95
96-100 101-105
106-110 111-115
115-120 121-125
126-130 131-135
Umur
2007 Outliers Extremes 2009 Outliers Extremes
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8
Entro
pi
Gambar 9. Boxplot nilai Entropi (mean) terhadap umur tanaman padi varietas
Ciherang
Pada citra PALSAR 2007, peningkatan umur tanaman terlihat sejalan
dengan peningkatan nilai Entropinya. Tanaman Padi dengan umur 86-90 hari
setelah tanam (HST) memiliki nilai Entropi terendah, yaitu sekitar 0,4 hingga 0,5.
Pada umur ini, tanaman padi masih berada pada fase vegetatif (mendekati masa
generatif) dengan kondisi relatif seragam (homogen). Fase ini dicirikan oleh
dominansi bagian tubuh tanaman vegetatif (batang dan daun). Hal ini
menyebabkan proses hamburan tunggal mendominasi pada kisaran umur tersebut.
Ketika pertumbuhan tanaman memasuki fase generatif, kondisi tanaman
cenderung tidak seragam (heterogen) karena mulai terdapat malai, bulir-bulir padi
serta ditandai oleh daun-daun yang telah mengering dan cenderung merunduk.
Pada kondisi ini, tanaman padi memiliki nilai Entropi lebih tinggi yang
mengidentifikasikan adanya dominasi proses hamburan balik yang acak. Dengan
demikian, obyek (scatterer) yang dominan dalam proses hamburan balik dalam
cakupan piksel hanya ditemukan dalam jumlah kecil (minor).
Pada citra PALSAR 2009, nilai Entropi yang ditemukan lebih rendah
dibandingkan pada citra PALSAR 2007. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
terkuantifikasikannya rotasi Faraday. Ketika terjadi interaksi ionosfer dengan
gelombang elektromagnetik, rotasi Faraday menyebabkan distorsi dalam data
PALSAR. Menurut Meyer and Nicoll (2007), dalam SAR L-band, pengaruh
ionosfer pada kualitas gambar radiometrik, geometrik dan polarimetrik menjadi
perhatian utama. Efek ionosfer pada L-band jauh melampai efek ionosfer pada
C-band, sehingga pengaruhnya lebih signifikan dalam gambar PALSAR. Oleh
karena itu, estimasi dan koreksi efek Faraday diperlukan untuk menjamin kualitas
dan konsistensi data yang tinggi.
Potensi penyebab lainnya adalah serangan hama. Pada umur sekitar 90
hari, pertumbuhan tanaman padi mulai memasuki fase generatif. Ketika tanaman
memasuki fase generatif, penggenangan sawah mulai dikurangi sehingga kondisi
lahan pesawahan sedikit kering. Survei lapangan menunjukkan bahwa hal ini
menyebabkan terjadinya serangan tikus yang meluas dan seragam, sehingga
menyebabkan kenampakan yang relatif seragam. Kenampakan ini dapat
menyebabkan nilai Entropi cenderung rendah. Wilayah yang terkena dampak
umumnya langsung disulam oleh petani/penggarap sehingga pada keragaman
kembali meningkat dengan waktu. Kondisi ini terefleksikan oleh peningkatan
kembali nilai Entropi.
Serupa dengan yang ditemukan pada parameter Entropi, pola penyebaran
nilai Sudut Alfa baik pada data median maupun mean terlihat relatif sama
(Gambar 10 dan 11). Terdapat kesesuaian antara pola penyebaran nilai Sudut Alfa
dengan pola penyebaran nilai Entropi, yaitu menginjak umur 91-95 hari, terjadi
76-80 81-85 86-90 91-95 96-100 101-105 106-110 111-115 115-120 121-125 126-130 131-135 Umur
2007 Outliers Extremes 2009 Outliers Extremes
[image:41.595.117.502.81.352.2]30 35 40 45 50 55 60 65 70 Sudut Alf a
Gambar 10. Boxplot nilai Sudut Alfa (median) terhadap umur tanaman padi
varietas Ciherang 76-80 81-85 86-90 91-95 96-100 101-105 106-110 111-115 115-120 121-125 126-130 131-135 Umur
2007 Outliers Extremes 2009 Outliers Extremes
30 35 40 45 50 55 60 65 70 Sudut Alf a
Gambar 11. Boxplot nilai Sudut Alfa (mean) terhadap umur tanaman padi varietas
Ciherang
Pada citra PALSAR 2007, peningkatan umur tanaman padi (mulai
kelompok umur 86-90 HST) berbanding terbalik dengan nilai Sudut Alfa. Dengan
Tanaman dengan umur 86-90 HST memiliki nilai Sudut Alfa sekitar 50°, atau
masih berada dalam kisaran jenis hamburan Volume Scattering (45°). Hal ini
dapat dipahami mengingat penanaman padi pada seluruh blok memiliki jarak
tanam yang relatif dekat sehingga rumpun padi pada akhir fase vegetatif akan
memiliki densitas yang tinggi. Dengan densitas padi yang tinggi tersebut, dapat
terindikasikan bahwa sinyal L-band tidak mampu menembus hingga permukaan
tanah. Penurunan nilai Sudut Alfa erat kaitannya dengan kondisi tanaman padi.
Padi yang telah menua (memasuki fase generatif) akan memiliki bagian non
vegetatif (malai, bulir-bulir padi dan lain-lain) sehingga menyebabkan rumpun
padi semakin rapat dengan komposisi yang beragam (Gambar 12). Hal ini
mengakibatkan hamburan balik cenderung memiliki pola mendekati Odd Bounce
atau spekular walaupun masih tetap berada pada lingkup Volume Scattering.
Sebaliknya, jika densitas tanaman padi rendah, maka hamburan balik akan
cenderung ke pola hamburan balik Even Bounce.
(a) (b)
Gambar 12. Sketsa tanaman padi pada fase vegetatif akhir (a) dan generatif (b)
Fenomena ini cukup jelas terlihat pada citra PALSAR tahun 2009. Ketika
tanaman mengalami serangan hama (terutama tikus seperti terindikasi di
lapangan), kondisi rumpun tanaman menjadi jarang (densitas rendah) sehingga
nilai Sudut Alfa cenderung meningkat mendekati Even Bounce dengan batang
sebagai unsur penghambur utama. Data yang tidak simetris (median tidak berada
di tengah box dan salah satu whisker lebih panjang dari yang lain) dan adanya
outliers (pencilan) pada beberapa data dapat disebabkan adanya perbedaan kondisi
tanaman yang sangat menyolok pada blok penanaman padi sebagai akibat dari
tanaman yang sama, di lapangan banyak ditemukan perbedaan kondisi tanaman
padi dalam satu blok.
Gambar 13. Kondisi tanaman padi varietas Ciherang yang terserang tikus
(diambil tahun 2009)
Panjang box (kotak) bersesuaian dengan IQR (jangkauan antar kuartil
dalam) yang merupakan selisih antara kuartil ketiga (Q3) dengan kuartil pertama
(Q1). IQR menggambarkan ukuran penyebaran atau keragaman data. Semakin
panjang bidang IQR atau box, menunjukkan bahwa data semakin menyebar.
Dalam hal ini, box yang panjang menunjukkan bahwa nilai Entropi atau Sudut
Alfa pada citra memiliki variasi yang besar dibandingkan dengan box yang
pendek.
Berdasarkan hasil penelitian ini, citra PALSAR 2009 memiliki nilai
Entropi dan Sudut Alfa yang lebih beragam dibandingkan citra PALSAR 2007.
Salah satunya dapat dilihat pada kelompok umur 115-120 HST pada citra
PALSAR 2009, dimana bentuk boxplot hanya berupa nilai median. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada kelompok umur tersebut nilai Entropi atau Sudut
Alfa relatif seragam akibat kondisi tanaman yang homogen. Sedangkan letak nilai
median dan panjang whisker (garis perpanjangan dari box) menggambarkan
tingkat kesimetrisan data. Banyak data yang tidak simetris (median tidak berada di
tengah box dan salah satu whisker lebih panjang dari yang lain) baik nilai Entropi
maupun nilai Sudut Alfa. Selain itu, terlihat adanya outliers (pencilan) pada
beberapa data dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi tanaman yang
sangat menyolok pada blok penanaman padi sebagai akibat dari penyulaman
Meskipun Sudut Alfa ditemukan berguna untuk menjelaskan jenis
hamburan, parameter ini tampaknya kurang memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap interpretasi data. Gambar 14 menunjukkan persebaran nilai
Entropi-Sudut Alfa pada diagram pencar Cloude-Pottier. Pada citra PALSAR
2009, hamburan balik lebih menyebar jika dibandingkan pada citra PALSAR
2007 yaitu berada pada zona 4, 5, 7, dan 8. Walaupun nilai Entropi terus
meningkat seiring peningkatan umur tanaman padi, nilai Sudut Alfa cenderung
mengelompok di zona 7, yang merupakan zona low entropy multiple scattering,
yaitu zona yang mencirikan cukup besarnya pengaruh hamburan balik double
bounce. Selain itu, hamburan balik lainnya berada di zona 4 dan 8, yaitu zona
medium entropy multiple scattering dan zona low dipole scattering
(mengindikasikan wilayah dengan vegetasi rendah atau tidak berkayu). Hal ini
menunjukkan bahwa tanaman padi tidak tumbuh dengan baik. Sedangkan zona 9
merupakan zona low entropy surface scattering (mengindikasikan wilayah yang
cenderung terbuka). Walaupun memiliki pola penyebaran yang berbeda, pola
penyebaran citra PALSAR 2007 dan citra PALSAR 2009 masih berada dalam
kisaran jenis hamburan Volume Scattering (45°). Wilayah ini mengindikasikan
hamburan dipole yang umumnya didominasi oleh vegetasi (umumnya adalah
vegetasi berkayu).
(a) (b)
Gambar 14. Diagram Pencar Cloude-Pottier citra PALSAR 2009 (a) dan 2007 (b)
Pada citra 2007, peningkatan umur tanaman padi, cenderung disertai
dengan peningkatan nilai Entropinya. Pada umur 86-90 HST, nilai Entropi yang
dimiliki sebesar 0,4925. Kemudian terus meningkat hingga umur 131-135 HST,
tanaman padi masih berada pada fase vegetatif memiliki kondisi relatif homogen
sehingga nilai Entropi akan cenderung kecil atau lebih rendah. Sedangkan pada
umur yang lebih tua (memasuki fase generatif), kondisi tanaman cenderung
heterogen karena mulai terdapat malai, bulir-bulir padi serta ditandai oleh
daun-daun yang telah mengering dan cenderung merunduk sehingga tanaman padi
memiliki nilai Entropi lebih tinggi yang mengidentifikasikan adanya dominasi
proses hamburan balik yang acak. Sedangkan pada citra PALSAR 2009,
pertambahan umur tidak selalu diikuti oleh peningkatan nilai Entropinya.
Serangan tikus yang meluas menyebabkan kondisi tanaman menjadi relatif
seragam sehingga nilai Entropi cenderung menurun (hamburan tunggal).
Walaupun sumbangannya kurang signifikan, Sudut Alfa masih dapat
dimanfaatkan untuk membedakan tanaman padi sawah yang sehat dan rusak.
Tanaman padi yang tumbuh dengan baik akan berada pada zona medium entropy
vegetation scattering, yaitu zona 5 dan 6. Sedangkan nilai Sudut Alfa yang berada
pada zona 4 menunjukkan tanaman padi sawah yang mengalami gangguan hama
atau penyakit. Kondisi densitas yang tinggi pada padi yang telah menua (fase
generatif) akan memiliki hamburan balik yang cenderung mendekati Odd Bounce.
Sebaliknya, hamburan balik akan cenderung ke pola Even Bounce jika tanaman
padi memiliki densitas yang lebih rendah.
4.1.2. Keterkaitan Umur Tanaman dengan Entropi dan Sudut Alfa
Untuk mengestimasi pola keterkaitan antara umur tanaman padi
(Ciherang) terhadap entropi dan sudut alfa, dilakukan permodelan dengan
persamaan Linier, Kuadratik dan Jenuh. Masing-masing komponen diwakili oleh
nilai rataan (mean) dan nilai tengah (median). Pengujian beberapa permodelan ini
bertujuan untuk mengetahui jenis permodelan yang memiliki pola terbaik
sehingga dapat dimanfaatkan untuk melakukan prediksi.
Tabel 2 dan 3 menyajikan hasil permodelan yang dilakukan pada citra
PALSAR 2009 dan 2007 dalam bentuk persamaan kurva Y yang dilengkapi
dengan nilai R2 dan Standard Error. Berdasarkan hasil permodelan, persamaan
Kuadratik pada peubah Entropi dan Sudut Alfa menunjukkan hasil yang lebih
citra tahun 2009 dan 2007, baik dengan menggunakan rataan maupun nilai tengah,
menunjukkan nilai R2 yang tinggi dengan nilai Standard Error yang rendah.
Tabel 2. Permodelan pada parameter Entropi
Model Persamaan R2 S
Linier
Mean 2009 Y= -0,11141 + 0,00583x 0,8693 0,1285
2007 Y= 0,21751 + 0,0033x 0,9103 0,0623
Median 2009 Y= -0,15175 + 0,00634x 0,8802 0,1324
2007 Y= 0,23548 + 0,00316x 0,9116 0,0593
Kuadratik
Mean 2009 Y= 2,00292 + -0,03807x + 0,00022x2 0,9480 0,0827
2007 Y= -0,44352 + 0,015397x + -0,00005x2 0,9328 0,0543
Median 2009 Y= 1,76907 + -0,03355x + 0,0002x2 0,9366 0,0977
2007 Y= -0,38087 + 0,01444x + -0,00005x2 0,9329 0,0519
Jenuh
Mean 2009 Y= 8,11503exp(-4,22091 + 0,01420x)/(1+exp(-4,22091 + 0,01420x)) 0,8933 0,1168 2007 Y= 0,6667exp(-3,