• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akulturasi budaya Betawi dengan Tionghoa : studi komunikasi antarbudaya pada kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akulturasi budaya Betawi dengan Tionghoa : studi komunikasi antarbudaya pada kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

AKULTURASI BUDAYA BETAWI DENGAN TIONGHOA

(Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang

Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan

Srengseng Sawah)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh

Ali Abdul Rodzik

NIM: 104051001817

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

AKULTURASI BUDAYA BETAWI DENGAN TIONGHOA

(Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang

Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan

Srengseng Sawah)

Oleh

Ali Abdul Rodzik

NIM: 104051001817

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

AKULTURASI BUDAYA BETAWI DENGAN TIONGHOA

(Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang

Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan

Srengseng Sawah)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Meraih

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam

Oleh

Ali Abdul Rodzik

NIM: 10405101817

Di Bawah Bimbingan,

Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti NIP. 150 236 319

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa

(Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang

Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan

Srengseng Sawah)”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Juli 2008 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sosial Islam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 31 Juli 2008

Panitia Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Murodi, M.A. Umi Musyarofah, M.A.

NIP. 150 254 102 NIP. 150 281 980

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Arief Subhan, M.A. Drs.Wahidin Saputra, M.A.

NIP. 150 262 442 NIP. 150 276 299

Pembimbing

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Agustus 2008

(6)

ABSTRAK

ALI ABDUL RODZIK

Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi

Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Serengseng Sawah.

Akulturasi merupakan perpaduan antarabudaya yang telah terjadi pada ratusan tahun yang lalu. Akulturasi atau acculturation atau culture contact diartikan oleh para sarjana antropologi mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Akulturasi ini telah terjadi pada budaya Betawi dengan Tionghoa sehingga menghasilkan kesenian Gambang Kromong.

Alasan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui proses akulturasi budaya yang terjadi pada Etnis Betawi dengan Tionghoa melalui beberapa variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi.

Adapun identifikasian dan rumusan masalah ini lebih terfokus pada variabel komunikasi dalam akulturasi sebagai cara pembuktian perpaduan pada alat-alat kesenian Gambang Kromong dilihat dari bagaimana komunikasi pribadi terbentuk antara kedua etnik tersebut? Bagaimana komunikasi sosial terbentuk antar kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong? Dan bagaimana lingkungan komunikasi memengaruhi kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong?

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi untuk menganalisa studi kesenian Gambang Kromong.

Dalam pendekatan kualitatif, peneliti melakukan pencarian melalui dokumentasi berupa data-data yang bersifat teoritis berupa buku-buku, data-data dari dokumen yang berupa catatan formal, jurnal, internet dan sebagainya yang bersangkutan dengan judul. Peneliti juga melakukan observasi dengan mendatangi langsung Perkampungan Budaya Betawi sebagi lokasi studi penelitian. Peneliti juga melakukan wawancara kebeberapa narasumber yang dianggap tepat dalam memberikan informasi.

(7)

semua proses komunikasi tersebut maka lingkungan komunikasi sangat mendukung ini juga terbukti dari tempat pemukiman orang-orang Tionghoa dan Betawi yang berdekatan.

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillahirabbil ‘aalamin, dengan penuh rasa syukur ke hadirat Allah SWT tiada kalimat yang lebih pantas diucapkan kepada-Nya, karena Dia adalah Dzat yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya serta memberikan banyak nikmat serta rizki kepada penulis, sehingga dengan izin Allah peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa, (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang

Kromong, Kelurahan Srengseng Sawah”.

Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada sosok manusia yang terjaga dari perbuatan buruk Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat-sahabatnya, dan seluruh umatnya hingga hari akhir nanti.

Terselesaikannya skripsi ini mulai dari penelitian sampai pada penyusunannya, banyak sekali pihak-pihak yang membantu, sehingga penulis memberikan penghargaan yang tinggi dengan ucapan terima kasih yang tiada tara kepada:

1. Bapak Dr. Murodi, M.A., selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(8)

3. Bapak Drs. Wahidin Saputra, MA., selaku ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Ibu Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretarsis Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang memberikan banyak informasi dan pengarahan kepada penulis.

4. Bapak Prof. Dr. Andi M. Faisal Bakti, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktu, memberikan banyak ilmu baru dan memberikan petunjuk dalam membimbing penulis sampai terselesaikannya skripsi ini.

5. Bapak Drs. Suhaimi, M.Si., selaku Penasehat Akademik yang banyak memberikan masukan kepada penulis.

6. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan baru mulai semester I sampai semester VIII, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

7. Seluruh staf Lembaga Kebudayaan Betawi, khususnya Drs. Yahya Andi Saputra yang telah banyak meluangkan waktu dan kesempatan dalam memberikan informasi selama Penyusunan Skripsi.

8. Seluruh staf Pengelolah Perkampungan Budaya Betawi, khususnya Bang Indra Sutisna yang telah banyak meluangkan waktu dan kesempatan dalam memberikan informasi selama Penyusunan Skripsi.

9. Mpok Nori selaku pelaku seni yang telah bersedia untuk diwawancarai. 10.Kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta Haji Kurnain(alm) dan Ibunda

(9)

kepada penulis. Semoga ibunda selalu diberikan kesehatan oleh Allah SWT. Amin

11.My Brother KH. Abdul Muthi, Dr. H. Suryadinata, MA., H. Dani Ramdani, MA., Wawan Munjiani, MM., M. Sarwani, SE, Chaider S. Bamualim, MA., Iwan Setiawan, Ibnu Djarir, S.Ag, Iwan Dardiri, Ahmad Nabawi, Dzul Fikor Ali Akbar, Nuris Setiawan. To My Sister Hj. Marhani, Hj. Lilik Nurmaliha, Hanimah, Rusmiyati, Ika, Etty Kurniawati, Mila, Robiatu Adawiyah, Fitri, Icha, Khotimatu Sa’diyah, dan adikku tercinta Sakinatunnajah. yang telah banyak memberikan suport kepada penulis dan terutama kakanda Chaider S. Bamualim yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingannya kepada penulis.

12.Seluruh teman-teman jurusan KPI angkatan 2004, terutama kelas KPI-C, Dzikril, Willy, Kery, Badru, Ade, Bule, Hayus, Ray, Renal, Jaka, Lutfi, Adnan, Hilmi, Yusuf, Eko, Nia, Ety, Lilis, Intan, Dama, Kartika, Syukriah, Masyitoh, Emma, Eriz., yang selalu membantu penulis dalam berbagi pengalaman, bertukar fikiran, dan motivasinya. Semoga persahabatan ini akan terus berlanjut.

(10)

Akhirnya penulis berdoa kepada Allah Yang Maha Sempurna agar bantuan, dorongan, dan masukan dari semua pihak dapat dijadikan amal ibadah dan mereka mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Amin

Dengan demikian penulis menyadari betul masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karenanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan skripsi ini bisa memberikan ilmu baru yang bermanfaat.

Jakarta, 31 Juli 2008

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... . i

ABSTRAK ... . ii

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Ruang Lingkup Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metodologi dan Bingkai Penelitian... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II : AKULTURASI BUDAYA DALAM ILMU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ……….……….… 16

A. Akulturasi dan Asimilasi (Pembauran) ... 16

1. Akulturasi ... 18

2. Asimilasi (Pembauran) ... 18

B. Komunikasi Antarbudaya ... 18

1. Komunikasi ... 28

2. Kebudayaan ... 20

3. Komunikasi Antarbudaya ... 22

C. Variabel Komunikasi dalam Akulturasi ... 24

1. Komunikasi Persona ... 24

(12)

b. Citra Diri Imigran ...……….. 26

c. Motivasi Akulturasi ... 26

2. Komunikasi Sosial ... 27

3. Situasi dan Kondisi Komunikasi ... 28

BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SERENGSENG SAWAH………... 30

A. Gambaran Umum Masyarakat Serengseng Sawah ... 30

B. Sejarah Singkat Etnis Betawi ... 31

C. Sejarah Singkat Etnis Tionghoa ... 36

D. Asal-usul Kesenian Gambang Kromong ... 41

E. Alat-alat (Instrumen) Kesenian Gambang Kromong ... 45

BAB IV : BETAWI DAN TIONGHOA DALAM AKULTURASI... 48

A. Komunikasi Pribadi dalam Akulturasi pada Kesenian Gambang Kromong... 48

1. Kerumitan Kognitif Imigran ... 49

2. Gambaran Diri ………... 52

3. Dorongan Akulturasi ... 54

B. Komunikasi Sosial dalam Akulturasi pada Kesenian Gambang Kromong ... 56

C. Lingkungan Komunikasi dalam Akulturasi pada Kesenian GambangKromong ... 62

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 67

B. Saran-Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1...Su

rat Keterangan Izin Penelitian di Perkampungan Budaya Betawi.

2...Ga

mbarab Umum Masyarakat Serengseng Sawah

3....Ha sil Wawancara dengan Budayawan Betawi menjabat Sub. Bidang

Pertunjukan.

4....Ha sil Wawancara dengan Seorang Pemerhati Budaya Cina Indonesia.

5....Ha sil Wawancara dengan Pengelola Perkampungan Budaya Betawi

6....Ha sil Wawancara dengan Pelaku Seni Betawi

7...Su

rat Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

8...Fo

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akulturasi atau acculturation atau culture contact diartikan oleh para sarjana antropologi mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.1 Hal ini dapat dilihat dari beberapa seni budaya yang hingga saat ini masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Betawi khususnya. Contohnya pada kesenian Gambang Kromong.

Untuk dapat menghasilkan sebuah akulturasi yang baik maka perlu adanya proses sosial. Proses sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia yaitu ditandai oleh dinamika komunikasi. Hal ini jelas terjadi pada seluruh umat manusia di dunia, mereka benar-benar menyadari bahwa semua kebutuhan hidupnya hanya dapat dipenuhi jika berkomunikasi dengan orang lain. Karena itu jika berhasil berkomunikasi secara efektif maka seluruh kebutuhannya dapat dia capai. Setiap hari, kita pasti selalu berkomunikasi. Kita saling bertukar informasi dan pengalaman. Kita berdiskusi dan berdialog panjang tentang sesuatu hal adalah untuk mencari sebuah keputusan dan hasil yang diinginkan bersama.

1

(15)

Semua tidak terlepas dari adanya pertukaran inforamasi baik dari tetangga dan kenalan. Informasi yang didapat juga bias dari membaca majalah atau surat kabar dan mendengarkan radio atau menonton TV. Dari pagi hingga petang manusia berkomunikasi, manusia tidak mungkin tidak berkomunikasi atau manusia tidak dapat mengelak dari komunikasi. Artinya, tiada hari tanpa komunikasi. Komunikasi telah ada sejak manusia lahir, dan akan terus ada sepanjang manusia lahir, dan akan terus ada sepanjang manusia hidup.2

Seseorang tidak dapat lepas dari komunikasi, begitu juga dengan budaya dan komunikasi yang tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan.3 Komunikasi adalah alat yang manusia miliki untuk mengatur, menstabilkan, dan memodifikasi kehidupan sosial.4

Budaya sebagai cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.5 Manusia belajar, berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.

Bila melihat Betawi secara umum maka yang terlihat adalah merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian,

2

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta, LKiS, 2003), h. 2-3.

3

Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 19.

4

Ibid, h. 137. 5

(16)

misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana atau marawis yang berakar pada tradisi musik Arab, Musik Keroncong Tugu yang muncul sebagai sebuah hasil kebudayaan betawi merupakan perpaduan unik dengan latar belakang Portugis-Arab, sedangkan kesenian Tanjidor lebih berlatar belakang ke-Belanda-an.6

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antar etnis dan bangsa di masa lalu.7 Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah merupakan tempat tinggal sebagian kecil masyarakat Betawi dan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan-kegiatan. Salah satunya adalah kegiatan kesenian Gambang Kromong.

Gambang kromong bila diartikan dalam Kamus Kesar Bahasa Indonesia, Gambang merupakan alat musik pukul tradisional (bagian dari perangkat gamelan) yang dibuat dari bilah kayu (16-25 bilah) yang panjang dan besarnya tidak sama dimainkan dengan alat pukul. Sedangkan kromong diartikan sebagai gamelan khas betawi untuk mengiringi drama rakyat betawi (lenong dan cokek).8

Gambang Kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur Pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong, sedangkan alat musik

6

Samurai, Musik Tradisional, artikel diakses pada 2 Juni 2008, dari http://Musuk Tradisional by Samurai On Blogster.htm

7

Sekilas Tentang Masyarakat Betawi, Artikel Bamus Betawi diakses pada 1 Juni 2008 dari http://betawi.blogsome/htm.

8

(17)

lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong merupakan unsur Pribumi.9

Dari akulturasi yang telah terjadi, penulis melihat perlu adanya kejelasan proses akulturasi tersebut untuk dapat mengetahui apa saja yang terjadi? dan melalui apa saja?. Aklturasi ini jelas sekali telah menghasilkan sebuah kesenian Gambang Kromong. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi: "Akulturasi Budaya Betawi dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di

Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta

Selatan)."

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi masalah

Dalam pengidentifikasian masalah ini, peneliti ingin membukti dengan jelas mengenai perpaduan yang serasi antara unsur-unsur Pribumi dengan unsur Tionghoa. Hal tersebut terlihat dari orang-orang Tionghoa yang sejak lama tinggal di Indonesia dan melakukan perkawinan dengan orang-orang Pribumi, sehingga perpaduan itu bukan saja pada alat musik Gambang Kromong, tetapi juga dari sisi ekomomi, politik, dan lain sebagainya. Pengindetifikasian masalah ini lebih terfokus variabel komunikasi dalam akulturasi dan sebagai bukti perpaduan pada alat-alat kesenian Gambang Kromong.

9

(18)

2. Pembatasan Masalah

Dalam penyusunan skripsi ini, pembatasan masalah pada kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan yang kegiatan latihanya setiap hari sabtu pada pukul 09.00 – 13.00 WIB, hanya pada bulan Mei sampai dengan Juli 2008.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang ada maka peneliti merumuskan masalah utama sebagai berikut :

Bagaimana akulturasi budaya antara etnik Betawi dan Tionghoa terbentuk melalui Komunikasi Persona dan Sosial dalam kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah?

Berdasarkan masalah di atas, maka pertanyaan turunannya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana komunikasi persona terbentuk antara kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong?

2. Bagaimana komunikasi Sosial terbentuk antara kedua etnik tersebut dalam kesenian Gambang Kromong?

(19)

C. Ruang Lingkup, Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini merupakan akulturasi yang terjadi pada kesenian Gambang Kromong berupa alat-alat musik yang digunakannya. Gambang kromong adalah sebuah seni tradisi masyarakat betawi. Musik tradisi ini terdiri dari instrumen :

a. Gambang (silofon) dengan 18 nada yang dilaras/tangga nada pentatonic dengan panjang tiga setengah oktaf

b. Kromong berbentuk mirip dengan bonang, terdiri dari sepuluh buah gong kettle kecil (Pencong) yang dilaras pentatonic sepanjang 2 oktaf

c. Kongahyan, tehyan, dan sukong adalah alat musik yang berasal dari Tionghoa yang cara memainkannya digesek.

d. Sebuah flute/seruling yang berasal dari Tionghoa

e. 2 buah gong gantung (kempul dan gong), gendang, dan kecrek, instrumen tersebut adalah asli Indonesia.10

Masyarakat pemilik/pendukung kesenian ini adalah masyarakat Tionghoa keturunan dari perkawinan campur Tionghoa-Pribumi, dan milik masyarakat Betawi asli.

2. Tujuan

a. Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui proses akulturasi budaya antara etnik Betawi dan Tionghoa terbentuk melalui variabel-variabel komunikasi dalam

10

(20)

akulturasi yang diantaranya: Komunikasi Persona, Komunikasi Sosial, dan Lingkungan Komunikasi dalam kesenian Gambang Kromong. 2) Untuk dapat memperkirakan realitas akulturasi pada suatu saat tertentu

dan juga meramalkan tahap akulturasi selanjutnya dalam komunikasi antarbudaya.

b. Tujuan Umum

Penelitian ini dibuat dengan sedikit memberikan usulan yaitu perlu adanya penelitian-penelitian yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya selanjutnya agar dapat lebih menambah kazanah ilmu pengetahuan dalam bidang komunikasi.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Dari penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penelitian selanjutnya dalam studi komunikasi antarbudaya dan memberikan kontribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri.

b. Manfaat praktis

(21)

D. Metodologi dan Bingkai Penelitian

1. Pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Di mana data-data yang telah diperoleh dideskripsikan terlebih dahulu dan kemudian dianalisis. Hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Metode deskriptif ialah menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (naturalistis setting). Dengan suasana alamiah dimaksudkan bahwa peneliti terjun ke lapangan. Ia tidak berusaha untuk memanipulasi variabel.11

Metode di atas dimaksudkan agar penulis lebih leluasa dalam penelitian studi kesenian Gambang Kromong, sehingga dalam penelitian ini penulis dapat menggunakan dan mengembangkannya secara alamiah. Metode deskriptif tersebut dengan menggunakan variabel-variabel komunikasi dalam akulturasi sebagai berikut :

A. Komunikasi Persona merupakan sebuah proses pengaturan diri yang dilakukan individu pada dirinya (imigran) dan dengan sosial-budayanya, dimaksudkan orang tersebut dapat mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, dan merespon lingkungannya. Hal di atas erat kaitanya dengan yang tertera di bawah ini :

11

(22)

1) Kompleksitas kognitif imigran lebih menitikberatkan pada pedoman dan aturan-aturan sistem komunikasi Pribumi. Dengan demikian persepsi imigran terhadap lingkungannya lambatlaun akan menjadi lebih baik dan memungkinkannya menemukan banyak variasi dalam lingkungan Pribumi.

2) Citra Diri (Self Image) artinya gambaran diri seorang imigran yang berhubungan dengan gambarannya tentang masyarakat Pribumi dan budaya aslinya, dengan cara menceritakan realitas akulturasinya sesuai dengan apa yang ia rasakan.

3) Motivasi akulturasi di sini mengarah kepada keinginan imigran untuk mengetahui, berpartisipasi, dan pastinya lebih diarahkan pada sistem sosio-budaya Pribumi.

B. Komunikasi Sosial adalah suatu proses berkomunikasi yang lebih umum, yang dilakukan individu-individu untuk berinteraksi dengan lingkungan sosio-budayanya, tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan individu-individu lainnya. Dan yang terpenting pada fase awal proses akulturasi seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya Pribumi. C. Situasi dan kondisi komunikasi merupakan hal terpenting dalam

(23)

sebagai buruh pabrik atau eksekutif. Semua itu merupakan kondisi lingkungan yang mungkin secara signifikan mempengaruhi perkembangan sosio-budaya yang akan dicapai imigran tanpa melupakan komunitas etniknya di daerah setempat.

2.

Sumber Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, di sini peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.

a) Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden berupa hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan pihak instansi yang bersangkutan dalam hal ini ialah Kelurahan setempat serta warga masyarakat Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

b) Data sekunder akan diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat dalam buku, Jurnal, Kutipan-kutipan, dokumentasi atau arsip-arsip (kelurahan) dan literatur lain yang berkaitan dengan penelitian mengenai akulturasi budaya pada kesenian Gambang Kromong.

3. Tempat Penelitian

(24)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti untuk mengetahui kegiatan Kesenian dalam perspektif komunikasi antarbudaya di Perkampungan Budaya Betawi adalah :

1. Observasi

Pengamatan langsung mengenai objek yang diteliti yaitu kesenian Gambang Kromong dengan observasi langsung ke Perkampungan Budaya Betawi di Srengseng Sawah. Dan sekaligus turut langsung dalam pelaksanaan kegiatan latihan yang dilakukan setiap hari minggu, dimulai pada pukul 9.00 WIB, dan acara-acara pagelaran seni Budaya Betawi di aula serbaguna Perkampungan Budaya Betawi.

(25)

2. Interview

Mewawancarai pada pihak-pihak yang memiliki perhatian, pengetahuan sejarah, serta perannya dalam perkembangan kesenian Gambang Kromong. Melakukan wawancara seputar awal terjadinya akulturasi, nilai-nilai, sejarah serta hal-hal yang berkaitan dengan kesenian Gambang Kromong yaitu kepada Budayawan Betawi dan Sub. Bidang Pertunjukan di LKB oleh Drs. Yahya Andi Saputra, Pemerhati Budaya Cina Indonesia oleh David Kwa, Pengelolah Perkampungan Budaya Betawi oleh Indra Sutisna, serta mewawancarai Mpok Nori selaku Pelaku Kesenian Budaya Betawi untuk dapat mengetahui perkembangan kesenian Gambang Kromong.

3. Dokumentasi

Penulis menghimpun data-data yang terkumpul berupa; dokumen, foto-foto, buku-buku, catatan formal, jurnal, internet dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah peneltian sebagai bahan penunjang penelitian. Kemudian penulis menggunakan analisa deskriptif, artinya dari data yang terkumpul penulis menjabarkan dengan memberikan analisa-analisa untuk kemudian diambil kesimpulan akhir.

5. Pengolahan Dan Analisis Data

(26)

sehingga keseluruhan berkas itu dapat diketahui dan dapat dinyatakan baik agar dapat dipersiapkan proses selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

Dari pengamatan peneliti di lingkungan UIN Jakarta, peneliti belum pernah menemukan penelitian tentang "Akulturasi Budaya Betawi Islam Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya Pada Kesenian Gambang Kromong Di

Setu Babakan, Kelurahan Jagakarsa)". Peneliti hanya menemukan satu penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syukru, S.Sos.I, Fakultas Dawah dan Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah, dengan judul penelitian, "Komunikasi Antarbudaya (Studi Pada Pola Komunikasi Masyarakat Suku Betawi Dengan Madura Di Kelurahan Condet Batu Ampar)", penelitian ini dilakukan pada tahun 2006, dan hasil penelitian ini menekankan pola lain dari komunikasi antarbudaya masyarakat suku betawi dengan madura, mengambil bentuk komunikasi kecil, dimana hal ini terjadi dalam konteks keagamaan. Sudah menjadi anggapan umum bahwa suku betawi dan madura adalah dua suku yang dikenal fanatik dalam agama dan secara umum amaliah keagamaannya mempunyai kesamaan, yakni: amaliah keagamaan yang tradisional.

(27)

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam skripsi ini, penulis berusaha membuat sistematika khusus berdasarkan kesamaan dan hubungan yang ada, skripsi ini terdiri dari lima bab :

Bab I Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, ruang lingkup tujuan dan manfaat penelitian, metodologi dan bingkai penelitian, tinjauan pustaka, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan.

Bab II Akulturasi dalam ilmu komunikasi antarbudaya, Akulturasi dan Asimilasi (pembauran) menjelaskan Pengertian Akulturasi dan Asimilasi (pembauran). Komunikasi Antarbudaya menjelaskan pengertian Komunikasi, Kebudayaan, dan Komunikasi Antarbudaya. Akulturasi dan variabel komunikasi dalam akulturasi yang meliputi : Komunikasi Persona yang terdiri dari kompeksitas struktur kognitif imigran, citra diri imigran, dan Motivasi akulturasi. Komunikasi Sosial, dan Situasi dan Kondisi Komunikasi.

Bab III Gambaran umum Srengseng Sawah dan sejarah Gambang Kromong; dilihat dari gambaran umum masyarakat Srengseng Sawah, Etnis Betawi, Etnis Tionghoa, asal-usul terbentuknya kesenian Gambang Kromong, alat-alat (instrumen) yang digunakan pada kesenian tersebut, yang terakhir Gambang dan Kromong.

(28)

komunikasi sosial dalam akulturasi pada kesenian Gambang Kromong. Dan yang terakhir lingkungan komunikasi dalam akulturasi pada kesenian Gambang Kromong

Bab V Penutup, Kesimpulan, Saran-saran, dan selain itu diakhir skripsi ini dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.

(29)

BAB II

AKULTURASI DALAM ILMU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

A. Akulturasi dan Asimilasi (Pembauran)

1. Pengertian Akulturasi

Akulturasi dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih,12 dalam Akulturasi atau acculturation atau culture contact diartikan oleh para sarjana antropologi mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.13

Pengertian proses akulturasi dalam buku Komunikasi Antarbudaya merupakan suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru.14

Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam

12

Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer Edisi Lengkap, (Surabaya, Gitamedia Press, 2006), h. 21.

13

Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1981), h. 247-248.

14

(30)

masyarakat Pribumi. Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut15 :

a. Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya Pribumi. b. Usia pada saat berimigrasi.

c. Latar belakang pendidikan.

d. Beberapa karakteristik kepribadian seperti sukan bersahabat dan toleransi.

e. Pengetahuan tentang budaya Pribumi sebelum berimigrasi.

Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (misalnya, melalui media masa). Sebagai contoh, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Indonesia (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berprilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah semakin menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, tentu saja, kultur tuan rumah berubah juga. Tetapi, pada umumnya, kultur imigranlah yang lebih banyak berubah. 16

Menurut Young Yun Kim, seperti yang dikutip Joseph A. Devito, penerimaan kultur baru bergantung pada sejumlah faktor. Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula, mereka yang lebih muda dan terdidik lebih cepat

15

Ibid, h. 146. 16

(31)

terakulturasi ketimbang mereka yang lebih tua dan kurang berpendidikan. Faktor kepribadian juga berpengaruh. Orang yang senang mengambil resiko dan berpikiran terbuka, misalnya, lebih mudah terakulturasi. Akhirnya, orang yang terbiasa dengan kultur tuan rumah sebelum berimigrasi, apakah melalui kontak antarpribadi ataupun melalui media masa, akan tetapi lebih mudah terakulturasi.17

2. Pengertian Asimilasi (Pembauran)

Asimilasi atau assimilation adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, saling bergaus langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-nsur kebudayaan campuran.18 Biasanya golongan-golongan yang ada dalam proses asimilasi adalah suatu golongan-golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas.

Dalam hal ini golongan-golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya, dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.19

B. Komunikasi Antarbudaya

1. Pengertian Komunikasi

17

Ibid, h. 479. 18

Koentjaraningrat, Pengantar ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1981), h. 255. 19

(32)

Komunikasi antarbudaya memiliki dua kata yang masing-masing memiliki pengertian, untuk lebih memudahkan penulis memberikan pengertian komunikasi terlebih dahulu. Komunikasi mengandung makna bersama-sama (Common). Istilah komunikasi atau Communication berasal dari bahasa latin, yaitu Communicatio. Yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya Communis, yang bermakna umum atau bersama-sama.20

Secara umum komunikasi dapat diartikan sebagai hubungan atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan masalah hubungan atau diartikan pula saling tukar-menukar pendapat. Komunikasi dapat juga diartikan hubungan kontak antar manusia baik individu maupun kelompok.21 Komunikasi membangun kontak-kontak manusia dengan menunjukkan keberadaan dirinya dan berusaha memahami kehendak, sikap dan perilaku orang lain. Komunikasi membuat cakrawala seseorang menjadi makin luas.22

Kehidupan manusia ditandai oleh dinamika komunikasi. Seluruh umat manusia di dunia benar-benar menyadari bahwa semua kebutuhan hidupnya hanya dapat terpenuhi jika dia berkomunikasi dengan orang lain. Sejak lahirnya kita di dunia ini kita sudah mulai berkomunikasi dengan orang disekitar kita terutama dengan ibu dan bapak kita, dari nangis, ngompol,

20

Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta, Grasindo, 2005), Cet. Ke-2, h. 5. 21

H.A.W.Widjaja, Ilmu Komunikasi suatu Pengantar, (Jakarta, Rieneka Cipta, 2000), h. 13.

22

(33)

isap jari tangan dan lainya merupakan cara awal seorang bayi berkomunikasi.23

Komunikasi adalah proses berbagi makna melalui prilaku verbal dan nonverbal. Segala prilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih.24 Seperti yang dikutip oleh Dedy Mulyana dari Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup diri-sendiri. Kedua, untuk kelangsungan hidup bermasyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat.25

Berbeda dengan pengertian yang dikutip Alo Liliweri dari Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II, bahwa komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang disampaikan tidak hanya lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah pesan.26

2. Pengertian Kebudayaan

Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan, juga dalam kehidupan sehari-hari, orang tak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang melihat,

23

Ibid, h. 32. 24

Dedy Mulyana, Komunikasi Efektif suatu pendekatan Lintas Budaya, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005), h. 3.

25

Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007), h. 5.

26

(34)

mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan. Masalah kebudayaan, sebenarnya secara khusus dan lebih teliti dipelajari oleh antropologi budaya. Akan tetapi walaupun demikian, seseorang yang memperdalam perhatiannya terhadap masyarakat, tak dapat menyampingkan kebudayaan dengan begitu saja, oleh karena itu di dalam kehidupan yang nyata, keduanya tak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan dwi-tunggal. Masyarakat adalah orang yang menghasilkan kebudayaan.27

Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya, walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan analitis, kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara terpisah. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.28

Kebudayaan secara sederhana banyak yang mengartikan sebuah seni, akan tetapi kebudayaan bukan sekedar sebuah seni, kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan antarmanusia. Dengan begitu, manusia merupakan aktor dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan merupakan satu unit interpretasi, ingatan, dan makna yang ada di dalam manusia dan bukan sekedar dalam kata-kata. Ia meliputi kepercayaan, nilai-nilai, dan norma, semua ini merupakan langkah awal di

27

Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, …, h. 10. 28

(35)

mana kita merasa berbeda dalam sebuah wacana. Kebudayaan melibatkan karakteristik suatu kelompok manusia dan bukan sekedar pada individu.29

Para antropologi mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang di dalamnya meliputi pengetahuan, seni moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat. Untuk mempermudah menjelaskan kebudayaan yaitu dengan mendeskripsikan rincian pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dari kebudayaan tertentu.30 Setiap kelompok budaya menerima pesan dari segi pola budayanya, tidak terbatas pada kebudayaannya. Komunikasi antarbudaya menitikberatkan proses komunikasi serta efektivitas dan akibat suatu pesan dari segi kontak budaya.31

3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi dan Kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial.

Komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Akibatnya, interaksi dan komunikasi yang sedang dilakukan itu membutuhkan tingkat keamanan dan sopan santun

29

Ibid, h. 11. 30

Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, …, h. 10-11. 31

(36)

tertentu, serta peramalan tentang sebuah atau lebih aspek tertentu terhadap lawan bicara.32 Komunikasi antarbudaya mengacu pada komunikasi antara orang-orang dari kultur yang berbeda antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai, atau cara berperilaku kultural yang berbeda.

Model diatas menjelaskan lebih jauh. Lingkaran lebih besar menggambarkan kultur dari komunikator. Lingkaran yang lebih kecil menggambarkan komunikatornya (sumber/penerima). Dalam model ini masing-masing komunikator adalah anggota dari kultur yang berbeda.33

Semua pesan dikirimkan dari konteks kultural yang unik dan spesifik, dan konteks itu mempengaruhi isi dan bentuk pesan. Kita berkomunikasi seperti yang kita lakukan sekarang sebagaian besar sebagai akibat kultur kita. Kultur mempengaruhi setiap aspek dari pengalaman komunikasi kita.34

Sehingga dalam kehidupan sehari-hari dapat tercipta keselarasan dan tidak terjadi distorsi. Disinilah pentingnya mengetahui dan memahami komunikasi antarbudaya. Karena komunikasi antarbudaya adalah komunikasi

32

Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, …, h. 13-14. 33

Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia, (Jakarta, Professional Books, 1997), h. 479-480.

34

Ibid, h. 14

Pesan

Kultur Kultur

(37)

yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat kebiasaan.

C. Variabel Komunikasi dalam Akulturasi

1. Komunikasi Persona

Komunikasi persona (interpersona) mengacu kepada proses-proses mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespon lingkungan. Seperti yang dikutip oleh Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat dari Ruben, "Komunikasi persona dapat dianggap sebagai merasakan, memahami, dan berprilaku terhadap objek-objek dan orang-orang dalam suatu lingkungan. Ia adalah proses yang dilakukan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya."35 Artinya dalam konteks akulturasi, komunikasi persona sebagai cara untuk dapat memudahkan seorang imigran untuk merespon dan mengidentifikasi secara konsisten budaya Pribumi yang secara potensial memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya.

Mengenai komuniaksi persona, seperti yang telah dikutip oleh Astrid S. Susanto dari James H. Campbell dan Hall W. Hepler memberikan contoh dari dua orang yang berkomunikasi, kemudian berinteraksi satu sama lain. Mereka menekankan tentang gambaran dirinya, apa yang dimiliki oleh

35

(38)

masing-masing. Dalam komunikasi dan interaksi, maka faktor diri selalu menjadi faktor terpenting dan faktor pihak yang diajak berkomunikasi dihubungkan dan diteropong dalam bentuk sesudah menilai keadaan dan kepentingan serta milik dirinya.36

Akhirnya setelah terjadi interaksi, hasil interaksi adalah dengan mengutamakan diri, kepentingan pihak yang lain dihubungkan dengan kepentingan diri, dan mengutamakan kepentingan yang lain.

Suatu variabel komunikasi persona dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran, citra diri (self image) imigran, dan Motivasi akulturasi.

a) Kompleksitas Kognitif Imigran

Kompleksitas kognitif seorang imigran yaitu dengan mengetahui secara keseluruhan bagaimana mempersepsikan lingkungan Pribumi sehingga mengetahui budaya Pribumi lebih jauh. Dalam mengawali proses akulurasi biasanya seorang imigran mempersepsikan lingkungan Pribuminya secara sederhana karena seorang imigran masih belum dapat beradaptasi secara langsung, masih merasa asing pada lingkungan Pribumi.37

Seorang imigran diharapkan mengetahui pola-pola dan aturan-aturan sistem komunikasi Pribumi, fungsinya untuk mempermudah dalam

36

Astrid S. Susanto, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, …, h. 94. 37

(39)

meningkatkan partisipasi seorang imigran dalam jaringan-jaringan komunikasi antarpersona dan komunikasi massa yang terdapat pada masyarakat Pribumi.

b) Citra Diri (self image).

Citra diri (self image) imigran yang berkaitan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Artinya citra diri imigran yang berhubungan dengan citra-citranya tentang masyarakat Pribumi dan budaya aslinya. Misalnya, memberi informasi berharga tentang realitas akulturasinya yang subjektif. Perasaan yang diderita oleh seorang imigran sangat berkaitan dengan jarak perasaan antara dirinya dan anggota-anggota masyarakat Pribumi mengenai keterasingannya, dan masalah-masalah psikologis lainnya.38

c) Motivasi Akulturasi

Motivasi akulturasi seorang imigran terbukti sesuai dengan apa yang menjadi tujuannya sehingga memudahkannya dalam proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada kemauan untuk belajar tentang berpartisipasi dan diarahkan menuju sistem sosio-budaya Pribumi. Apa yang telah dilakukan imigran terhadap lingkungan yang baru, biasanya seorang imigran meningkatkan partisipasinya dalam berkomunikasi dengan masyarakat.39

38

Ibid, h. 141. 39

(40)

2. Komunikasi Sosial

Komunikasi persona berkaitan dengan komunikasi sosial ketika dua atau lebih individu berinteraksi, sengaja atau tidak sengaja. Seperti yang dikutip oleh Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, "Komunikasi adalah suatu proses yang mendasari intersubjektivisasi, suatu fenimena yang terjadi sebagai akibat simbolisasi publik dan penggunaan serta penyebaran simbol."40

Komunikasi massa adalah suatu proses komunikasi sosial yang lebih umum, yang dilakukan individu-individu untuk berinteraksi dengan lingkungan sosio-budayanya, tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan individu-individu lainnya.41

Menurut kim, seperti yang dikutip oleh Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, "Fungsi akulturasi komunikasi massa bersifat terbatas dalam hubungannya dengan fungsi akulturasi komunikasi antarpersona."42 Melalui komunikasi massa, seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya Pribumi. Fungsi akulturasi komunikasi massa akan sangat penting pada fase awal proses akulturasi seorang imigran. Dalam fase ini, imigran baru memulai mengembangkan suatu kecakapan yang memadai untuk membina hubungan-hubungan antarpersona yang memuaskan anggota-anggota masyarakat Pribumi.

40

Ibid, h. 142. 41

Ibid, h. 142. 42

(41)

3. Situasi dan Kondisi Komunikasi

Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi komunikasi-komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan lingkungan komunikasi masyarakat Pribumi. Apakah imigran tinggal di desa atau di kota metropolitan, tinggal di daerah miskin atau kaya, bekerja sebagai buruh pabrik atau eksekutif. Semua itu merupakan kondisi lingkungan yang mungkin secara signifikan mempengaruhi perkembangan sosio-budaya yang akan dicapai imigran.43

Suatu kondisi lingkungan yang sangat berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di daerah setempat. Seperti yang dikutip oleh Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat dari Taylor, bahwa derajat pengaruh komunitas etnik atas prilaku imigran sangat bergantung pada derajat "kelengkapan kelembagaan" komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya.44 Artinya dari drajat kelengkapan kelembagaan imigran tersebut dapat memudahkannya dalam mengatasi tekanan-tekanan dalam komunikasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi. Namun lain halnya apabila seorang imigran terlalu luas dalam komunitas etniknya dan tanpa komunikasi yang memadai dengan anggota masyarakat Pribumi mungkin akan memperlambat kecepatan akulturasi imigran. Hingga sejauh ini, mayarakat Pribumilah yang

43

Ibid, h. 144. 44

(42)
(43)

BAB III

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SRENGSENG SAWAH DAN

SEJARAH GAMBANG KROMONG

A. Gambaran Umum Masyarakat Srengseng Sawah

Kelurahan Srengseng Sawah merupakan salah satu dari 6 (enam) Kelurahan di Wilayah Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986, dengan luas wilayah 674,70 Ha yang berbatasan dengan :

- Sebelah Utara : Kel. Lenteng Agung dan Kel. Jagakarsa - Sebelah Timur : Kali Ciliwung

- Sebelah Selatan : Kotamadya Depok

- Sebelah Barat : Kelurahan Ciganjur dan Kelurahan Cipedak.45 Pola pembangunan Kelurahan Srengseng Sawah senantiasa mengacu kepada Rencana Umum Tata Ruang Tahun (RUTR) 2005 dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) wilayah selatan yang ditetapkan sebagai Daerah Resapan Air. Hal ini didukung dengan keberadaan potensi air tanah yang ada antara lain Setu Babakan, Setu Mangga Bolong, Setu Salam UI dan Setu ISTN. Disamping itu potensi Daerah Hijau yang sarat dilindungi oleh Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berupa Hutan Kota yang berada di kawasan Wales Barat Universitas Indonesia.46

Perkembangan penduduk di Kelurahan Srengseng Sawah cukup pesat. Hal ini selain suasana yang cukup menyenangkan karena kelestarian alam masih terjaga dengan baik, juga disebabkan oleh tersedianya fasilitas sarana umum yang

45

Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Laporan Bulan April 2008, (Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan), h 1-2.

46

(44)

memadai, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan dan lain-lain. Pada umumnya penduduk Kelurahan Srengseng Sawah adalah masyarakat Betawi, sehingga adat istiadat yang berlaku adalah Budaya Betawi.47

Mayoritas penduduk Kelurahan Srengseng Sawah adalah beragama Islam. Namun demikian kerukunan antar umat beragama sudah berjalan dengan baik sehingga kehidupan bermasyarakat antar pemeluk agama satu dengan yang lain saling menghormati. Sarana peeribadatan yang ada selain Masjid dan Musholla, di Kelurahan ini pun telah terdapat 3 buah gereja dan 1 buah Pura.48

Mayoritas penduduk memiliki mata pencarian buruh dan pedagang. Sisanya adalah petani ladang dan pensiunan. Program yang sedang dilaksanakan dalam pengembangan pembangunan wilayah kelurahan adalah pembangunan cagar Budaya Betawi yang disebut Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan RW. 08 Kelurahan Srengseng Sawah.49 Adapun Surat Keputusannya melalui Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomer 3 Tahun 2005, tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Untuk melengkapi gambaran umum kelurahan Srengseng Sawah dan SK Gubernur Provinsi Khusus Ibukota Jakarta diatas (lihat Lampiran)

B. Sejarah Singkat Etnis Betawi

Sebelum melihat gambaran umum masyarakat Betawi lebih jauh, seyogyanya melihat terlebih dahulu awal terbentuknya masyarakat Betawi. Dikutip dari Parsudi Suparlan dalam bukunya “Masyarakat dan Kebudayaan

47

Ibid, h 1-2. 48

Ibid, h 1-2. 49

(45)
[image:45.595.78.492.229.684.2]

Perkotaan”, dikatakan bahwa dari hasil analisis sejarah yang telah dibuat oleh Lance Castel, disimpulkan bahwa identitas orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnik mulai dikenal sejak abad ke-19. Dikatakannya bahwa mereka merupakan hasil dari suatu melting pol atau percampuran dari berbagai kelompok etnik yang berasal dari berbagai wilayah di kepulauan Indonesia dan luar Indonesia. Orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnik dibedakan dari kelompok-kelompok etnik lainnya sejak akhir abad ke-19.50 Berikut adalah tabel yang menunjukkan proses perubahan klasifikasi penduduk Batavia pada abad ke-16, 18, dan 19 :

Tabel 1.1

Penduduk Batavia dan Sekitarnya

TAHUN GOLONGAN

1673 1815 1893 Orang Belanda dan Indo

Orang Cina (termasuk peranakan) Orang Marjikers

Orang Arab Orang “Moors”

Orang Jawa (termasuk Orang Sunda) Orang-orang Sulawesi Selatan Orang Bali

Orang Sumbawa

Orang Ambon dan Banda Orang Melayu Budak 2750 2747 5362 - 6339 (a) - - 981 - - 611 13278 2028 11854 - 318 119 3331 4139 (b) 7720 232 82 3155 14249 9017 26569 - - 2842 - - 72241 (c) - - - -

JUMLAH 32068 (d) 47211 10669

Sumber : L. Castles, Indonesia, no.3, 1967:157 dalam Kleden, Teater Lenong Betawi. Hal 105.

50

(46)

Keterangan :

(a)termasuk 5.000 orang “Jawa” di luar kota

(b)termasuk orang Timor

(c)termasuk senia penduduk asli

(d)tidak termasuk 1260 tentara Belanda dan 359 orang Belanda51

Dari tabel diatas tersebut terlihat bahwa dalam pencatatan penduduk tahun 1893 terdapat penyederhanaan golongan sosial dari penduduk di Batavia. Terdiri dari empat golongan, yaitu :

1) Orang Eropa dan Indo

2) Orang Cina (termasuk peranakan) 3) Orang Arab dan “Moors” dan 4) Orang pribumi (Orang Betawi)

Dalam pencatatan tahun 1983 tersebut golongan budak hilang, karena menurut Werthem dalam bukunya Ninuk Kleden, pada tahun 1860 perbudakan mulai dilarang, begitu juga golonan asal dari penduduk pribumi kota Batavia.52

Jumlah budak menurut catatan angka tahun 1673 lebih dari setengah seluruh penduduk Batavia. Menurut Ninuk Kleden, hal itu bisa dimaklumi karena saat itu sedang ramai-ramainya perdagangan budak. Begitu juga dengan bangsa Portugis dan Belanda mendatangkan budak-budak dari daerah Malabar, Bengkal dan Arakan di Burma.53

Selain itu di dalam keterangan tabel juga ditulis “termasuk semua penduduk asli”, menurut Castles dalam Ninuk, siapa yang tersebut penduduk asli tidak dijelaskan lebih lanjut. Menurut Ninuk, mungkin mereka adalah orang-orang dari Kerajaan Pajajaran atau keturunan orang-orang Demak yang mengadakan

51

Ninuk Kleden-Probonegoro, Teater Lenong Betawi, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996), h. 105.

52

Ibid, h. 106. 53

(47)

ekspansi ke daerah ini. Seperti yang dikutip oleh Saidi dari Siswantari tentang asal-usul masyarakat Betawi lebih ditekankan pada teori Bern Nothofer tentang bahasa Melayu dialek Jakarta. Bahasa tersebut berasal dari rumpun Melayu Polinesia yang titik persebarannya berasal dari Kalimantan Barat.54

[image:47.595.79.490.263.727.2]

Menurut Van der Aa yang dikutup dari bukunya Ninuk Kleden, ia adalah seorang sarjana yang pada abad ke-18 tertarik pada Betawi, ia melihat munculnya orang Betawi dari segi bahasa. Dari penelitiannya, tampak bahwa dahasa pergaulan pada abad ke-18 adalah dialek Portugis. Dialek ini tidak lagi dikenal pada abad ke-19, dan sebagai gantinya timbul jenis bahasa semacam bahasa Melayu Betawi. Dari pengguanaan bahasa inilah yang kemudian disebut sebagai orang Betawi. Berikut adalah perkiraan komposisi sukubangsa di Batavia pada tahun 1930.

Tabel 1.1

Penduduk Batavia dan Sekitarnya

PENDUDUK 1930 %

Orang Betawi (termasuk Orang Depok) 419.800 64,3

Sunda 150.300 24,5

Jawa 60.000 9,2

Aceh - 0

Batak 1.300 0,2

Minangkabau 3.200 0,5

Sukubangsa dari Sumatra Selatan 800 0,1

Banjar - 0

Orang Sulawesi Selatan - 0

Orang Sulawesi Utara 3.800 0,6

Orang Maluku dan Irian 2.000 0,3

54

(48)

Nusatenggara Timur - 0

Nusatenggara Barat - 0

Bali - 0

Malaya dan Pulau-pulau sekitarnya 5.300 0,8 Lain-lain dan sukubangsa yang tidak diketahui 6.900 1,1

[image:48.595.77.492.85.560.2]

Sumber : L. Castles, The Ethnic Profil of Djakarta, Indonesia, no.3, 1967:181 dalam Kleden, Teater Lenong Betawi. hal 109.

Tabel di atas memprediksikan bahwa pada tahun 1930, sebagian besar penduduk kota yaitu 64% adalah Orang Batavia (orang Betawi). Dari tabel ini orang Betawi ditunjukkan pada suatu kelompok etnik tersendiri dari kelompok-kelompok etnik yang lain, yang tidak terlihat dari tabel sebelumnya.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnik maupun sebagai sebuah satuan sosial dan politik dalam ruang lingkup yang lebih luas (yaitu Nederland India pada waktu itu, nampaknya baru muncul setelah didirikannya Perkoempoelan Kaoem Betawi oleh tokoh masyarakat orang Betawi Moh. Hoesni Thamrin, pada tahun 1923. dengan didirikannya perkumpulan tersebut, maka kesadaran bahwa mereka itu tergolong sebagai orang Betawi juga di bangunkan.55

Menurut Ridwan Saidi dalam bukunya Yasmine Zaki Shahab, wilayah budaya Betawi dapat dibagi dalam relokasi empat subwilayah yaitu :

1) Betawi Pesisir, yang meliputi dari ujung sebelah Barat sampai ke Timur yaitu Teluk Naga, Kampung Mauk, Japad, Tanjung Priuk, Marunda, Sarang Bango, Marunda Bekasi, dan Kepulauan Seribu.

55

(49)

2) Betawi Tengah yang meliputi Grogol, Jelambar, daerah Kota, Mangga Dua, Sawah Besar, Taman Sari, Gambir, Kemayoran, Senen, Jatinegara (Mester), Tanah Abang, Cikini, dan Petamburan.

3) Betawi Pinggir disebelah Timur meliputi Pulo Gadung sampai Tambun, sebelah Barat meliputi Pesing sampai Tangerang, sebelah Selatan meliputi Kebayoran, Cilandak, Pangkalan Jati, Cinere, Ciputat, Pasar Minggu, Selatan Timur meliputi Pasar Rebo, Selatan Barat meliputi Meruya, Sukabumi, Ilir?Udik, Joglo, Pengumben dan sekitarnya.

4) Betawi Udik meliputi daerah sebelah Timur yaitu, dari daerah Tambun, ke timur sampai dengan Cikarang yaitu batas akhir pemakai bahasa Betawi, sebelah Barat mulai dari perbatasan Tangerang sampai menjelang Balaraja, sebelah selatan – Barat adalah daerah-daerah perbatasan Ciputat sampai dengan Parung dan perbatesan Limo, sebelah Selatan meliputi Lenteng Agung, Depok, dan Bojong Gede. Jika dilihat dari relokasinya seperti di atas, maka Betawi di Setu Babakan atau Perkampungan Budaya Betawi termasuk dalam Betawi Pinggir sebelah Selatan.56

C. Sejarah Singkat Etnis Tionghoa

Suku Bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa

56

(50)

yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.57

Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.58

Tentang riwayat nenek moyang tersebut, Leo Suryadinata (1999) mengatakan bahwa: “Sebelum terjadi imigrasi massal etnik Tionghoa ke Asia Tenggara. khususnya ke Indonesia dan Malaysia, masyarakat Tionghoa di kedua kawasan itu sangat kecil. Pada umumnya, anggotanya telah berbaur ke dalam masyarakat setempat. Pada masa itu, transportasi sulit. Orang Tionghoa, dilarang oleh kerajaan Tiongkok untuk meninggalkan negaranya. Mereka yang meninggalkan tanah leluhurnya juga tidak membawa keluarganya”. Jadi, wajar jika mereka akhirnya mengawini wanita setempat. Umumnya wanita Islam nominal dan tinggal menetap di tempat itu. Karena jumlahnya yang kecil, orang Tionghoa ini bertendensi yang berintegrasi dengan masyarakat lokal. Keturunan mereka akhirnya tidak lagi menguasai bahasa Tionghoa dan menggunakan bahasa

57

Asal Usul China Benteng, China Benteng, Kampung Teluk Naga, Tragedi China Benteng, Artikel diakses pada 23 Mei 2008 dari http://asal usul china benteng, china benteng, kampung teluk naga, tragedi china benteng/htm.

(51)

Melayu-lingua franca dalam Nusantara untuk berkomunikasi (setelah 1928, bahasa Melayu dinamakan bahasa Indonesia).59

Orang China mulai menyebar ke Asia Tenggara pada masa Dinasti Tang (618-907). Ketika itu, mereka mengirim ekspedisi militernya ke daerah China Selatan. Sejak itu, banyak sekali orang-orang Hoakiau/Hokkian yang berasal dari daerah-daerah yang terletak di sekitar Amoy di Provinsi Fukien (Fujian) dan orang-orang Kwang Fu (Kanton) yang berasal dari Kanton dan Makao di Provinsi Kwangtung (Guangdong) terus menetap di perantauan dan tak kembali lagi ke kampung halamannya.60

Pada masa Dinasti Sung (907-1127) mulai banyak pedagang-pedagang China yang datang ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Mereka berdagang dengan orang Indonesia dengan membawa barang dagangan berupa teh, barang porselin China yang indah, kain sutra yang halus serta obat-obatan. Sedangkan mereka membeli dan membawa pulang hasil bumi Indonesia. 61

Dalam sejarah China Kuno, dikatakan orang-orang China mulai merantau ke Indonesia pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang. Daerah pertama yang didatangi adalah Palembang, yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya. Kemudian mereka datang ke Pulau Jawa untuk mencari rempah-rempah.Banyak dari mereka yang kemudian menetap di daerah pelabuhan pantai utara Jawa seperti daerah Tuban, Surabaya, Gresik, Banten (Tangerang) dan Jakarta. Orang China datang ke Indonesia dengan membawa serta

59

Ibid. 60

Ibid. 61

(52)

kebudayaannya, termasuk unsur agamanya. Dengan demikian, kebudayaan China menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.62

Asal kata Tionghoa

Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasti Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi "Tiong Hoa Hwe Kwan" (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda. 63

62

Ibid. 63

(53)

Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia. Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku: 64

1. Hakka 2. Hainan 3. Hokkien 4. Kantonis 5. Hokchia 6. Tiochiu

Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir Tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir Tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.65

Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar

64

Ibid. 65

(54)

berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang. Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat.66

D. Asal-usul Kesenian Gambang Kromong

Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambangnya yang biasa berjumlah 18 buah, terbuat dari kayu suangking, huru kayu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah sepuluh buah. Satuan kromong disebut pencon. Alas untuk bilahan gambang dan kromong disebut ancak, biasanya berkaki cukup tinggi sehingga alat musik itu dapat dimainkan sambil berdiri atau duduk dikursi.67

Kesenian gambang kromong merupakan perpaduan yang cukup harmonis antara unsur-unsur Pribumi dan unsur Cina atau Tionghoa. Secara fisik unsur Cinanya tampak pada alat musik geseknya, yaitu tehyan, kongahyan, dan sukong, sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong

66 Ibid. 67

(55)

merupakan unsur Pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Lagu-lagu yang menunjukkan unsur Pribumi, Jali-jali, seperti Lenggang-lenggang Kangkung dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik nama, melodi, maupun liriknya seperti Sipatmo, Kong Jilok, dan lain sebagainya. Seperti yang dikutip oleh Rachmat Syamsudin dan Dahlan dari tulisan Phoa Kian Sioe, "Orkes gambang, hasil kesenian Tionghoa peranakan di Djakarta", orkes gambang kromong merupakan perkembangan dari orkes yang-khimyang terdiri atas yang-khim, sukong, hosian, thehian, kongahian, sambian, suling, pan (kecrek) dan ningnong.68

Oleh karena yang-khim sulit diperoleh, maka digantilah dengan gambang yang larasnya disesuaikan dengan notasi yamh diciptakan oleh orang-orang Hokian. Sukong, tehian dan kongahian tidak begitu sulit untuk dibuat di sini. Sebangkan sambian dan hosiang ditiadakan tanpa terlalu banyak mengurangi nilai penyajian musik.69

Orkes gambang yang semula hanya disenangi oleh kaum peranakan Cina saja lama kelamaan disenangi juga oleh golongan Pribumi karena berlangsung proses perbauran. Proses perbauran itu paling banyak terjadi setelah pemberontakan orang-orang Cina melawan Belanda pada tahun 1740, yang timbul karena mereka terlalu ditekan oleh pejabat-pejabat VOC. Pada waktu terjadi pemberontakan itu banyak orang-orang Cina yang meloloskan diri menyingkir keluar kota Batavia. Diantaranya banyak yang terus menetap di berbagai daerah sekitar Batavia, seperti Babelan, Tambun, Bekasi, Lemahabang, Jonggol dan Tangerang. Mereka hidup berbaur dalam lingkungan penduduk Pribumi. Kecuali

68

Ibid. h. 5-6. 69

(56)

yang kemudian memeluk Agama Islam, pada umumnya mereka tetap menganut adat istiadat serta kepercayaan leluhurnya. Musik yang mereka gemari adalah gambang, baik sebagai pengiring rancak atau cerita, maupun wayang cokek.70

Menurut Pelaku Seni kebudayaan Betawi, Pok Nori, persebaran Gambang Kromong hingga saat ini sudah meluas keluar daerah Jakarta, di antara persebaranya itu di daerah Bogor, Tangerang, hingga ke Bekasi.71 Pernyataan Pok Nori diperjelas lagi oleh David Kwa, dalam artikelnya, Mengenal Gambang Kromong. Jadi awalnya memang dari pusat kota Batavia ketika itu, musik gambang kromong kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota, hingga ia tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga sampai ke bagian utara Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) sekarang ini. Kawasan-kawasan tersebut memang merupakan area budaya Betawi.72

Pada awal perkembangannya lagu-lagu yang biasa dibawakan dengan iringan Gambang Kromong adalah lagu-lagu Cina. Menurut istilah setempat lagu semacam itu biasa disebut Gambang Cina. Gambang Cina itu berupa lagu-lagu instrumentalia dan lagu-lagu bersyair. Lagu-lagu instrumentalia sering disebut dengan nama Pobian atau Phobian. Lagu bersyair antara lain adalah Sipatmo dan Silitan. Lagu Gambang Cina dewasa ini sudah jarang dinyayikan orang.73

Nada dan Laras

70

Ibid. h. 6. 71

Wawancara dengan Pok Nori, Seorang Pelaku Kesenian Budaya Betawi, Kantor Perkampungan Budaya Betawi, pada 6 Juni 2008.

72

David Kwa, Mengenal Gambang Kromong, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://kampungbetawi.Com/htm.

73

(57)

Seperti halnya musik Tionghoa dan kebanyakan musik Timur lainnya, gambang kromong hanya memakai lima nada (pentatonis) yang semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa: sol (liuh), la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si seperti dalam musik diatonis, yakni musik Barat utamanya.

Larasnya adalah salèndro yang khas Tionghoa sehingga disebut Salèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Salèndro Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra gambang kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa, mengikuti laras Salèndro Cina tadi.

Untuk memainkan lagu-lagu pobin utamanya, para pemusik (panjak) gambang kromong pada awalnya harus mampu membaca noot-noot yang ditulis dalam aksara Tionghoa tersebut, namun akhirnya banyak panjak yang mahir memainkan lagu-lagu tersebut tanpa melihat noot-nya lagi karena sudah hafal.74

Lagu Pobin

Lagu-lagu yang dibawakan oleh orkestra gambang kromong pada awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu pobin. Lagu-lagu pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di Cina selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu tertua dalam repertoar gambang kromong. Di antara lagu-lagu pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun sudah sangat langka, adalah pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa pobin lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.75

Lagu Dalem

Setelah lagu-lagu pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu dalem. Lagu-lagu dalem ini dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Di antara lagu-lagu dalem yang kini tinggal Masnah dan Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain: Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona, Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nori), dan Centé Manis Berdiri.

Lagu dalem berirama tenang dan jernih. Lagu dalem diciptakan bukan untuk ngibing (Sunda, menari), tetapi untuk mengetahui kualitas vokal seorang penyanyi. Dinyanyikan dalam suatu perhelatan untuk menghibur tamu-tamu yang tengah menikmati hidangan yang disuguhkan.76

Wayang Cokèk

Penyanyi lagu-lagu dalem yang pada umumnya perempuan dikenal dengan istilah wayang cokèk. Menurut etimologinya istilah wayang singkatan dari istilah Melayu anak wayang, artinya ‘aktris,’ sedangkan cokèk berasal dari istilah

74

David Kwa, Mengenal Gambang Kromong, artikel diakses pada 15 Juli 2008 dari http://kampungbetawi.Com/htm.

75 Ibid.

(58)

Tionghoa dialek Hokkian chioun-khek yang artinya ‘menyanyi’ (to sing a song). Jadi, wayang cokèk mulanya hanya berprofesi sebagai penyanyi lagu-lagu dalem, bukan penari. Istilah wayang cokèk ini hingga kini masih digunakan di kalangan masyarakat pendukung kesenian gambang kromong di kawasan Teluk Naga, Tangerang, dan sekitarnya. Tidak dikenal istilah penari cokèk, sebab cokèk bukan tarian (nomina), tetapi menyanyi (verba).

Kostum yang dikenakan wayang cokèk aslinya adalah baju kurung yang panjangnya melampaui lutut, dengan bawahan celana panjang, terbuat dari dari bahan satin berwarna-warni ceria: merah, hijau dan lain-lain. Rambut mereka yang dikepang diikat dengan tali merah, lalu dilibatkan di kepala. Baru kemudian (sekitar tahun 1960-an) mereka memakai kebaya dan kain batik. Rambut mereka mulai dipotong pendek dan dikeriting.77

Lagu Sayur

Setelah generasi lagu dalem yang kini telah menjadi lagu klasik gambang kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lag

Gambar

Tabel 1.1 Penduduk Batavia dan Sekitarnya
Tabel 1.1 Penduduk Batavia dan Sekitarnya
Tabel di atas memprediksikan bahwa pada tahun 1930, sebagian besar penduduk
Gambaran diri di sini merupakan cara pandang orang Tionghoa tentang
+6

Referensi

Dokumen terkait