• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) Teh Hijau Dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post-Prandial Pada Subjek Dewasa Muda Sehat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) Teh Hijau Dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post-Prandial Pada Subjek Dewasa Muda Sehat"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Green tea is widely consumed both in Asian and Western countries. Many beneficial effects of green tea are related to its catechin, particularly (:): epigallocatechin:3:gallate (EGCG) content. The present study was aimed at providing evidence of improvement on glucose metabolism in healthy humans upon green tea beverage consumption in various levels of EGCG (0, 100, and 200 mg EGCG). This study showed that introducing of 100 and 200 mg EGCG reduced increased blood glucose level on healthy humans (p<0,05). Repeated ANOVA showed that treatments given were significantly affect blood glucose response for each minutes of observation (p=0.002).

The ANOVA showed that treatments given were significantly affect AUC (area under curve) value (p=0.006) and glucose score (p=0.006). There were significant difference of AUC value (p=0.02) and glucose score (p=0.002) between 0 mg EGCG (control) and 100 mg EGCG group. Likewise, there were significant difference of AUC value (p=0.002) and glucose score (p=0.018) between 0 mg EGCG (control) and 200 mg EGCG group. Although AUC value and glucose score of 200 mg EGCG group were lower than 100 mg EGCG group, but there were no significant difference in between (p=0.287 and p=0.33, respectively).

The clinical value on lowering blood glucose showed that subjects in 100 and 200 mg EGCG groups had relative risk value 0.4:0.7 and 0.3:0.7 compared to the control group respectively. When EGCG consumed by body, then the number of hyperglycaemia incidence could be reduced by 40:60% and 30:70% from the previous incidence respectively, while difference between numbers of hyperglycaemia incidence were 40:60% and 30:70% between subjects who received 100 and 200 mg EGCG compared to the control group respectively.

(3)

YOGHATAMA CINDYA ZANZER. Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) Teh Hijau dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post Prandial pada Subjek Dewasa Muda Sehat. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan EVY DAMAYANTHI.

Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari pengaruh pemberian variasi kadar EGCG (epigallocatechin gallate) teh hijau dalam mengontrol level glukosa darah post prandial pada subjek dewasa muda sehat. Tujuan khusus penelitian ini yaitu: (1) Menentukan dan menganalisis kadar EGCG pada minuman teh uji; (2) Mempelajari dan menganalisis perbedaan respon glukosa darah post prandial dari minuman teh uji yang diberikan dengan kadar EGCG sebesar 100 dan 200 mg; (3) Menghitung dan menganalisis glucose score serta respon kurva AUC (area under curve) pada berbagai jenis perlakuan konsentrasi EGCG yang berbeda; (4) Menghitung dan menganalisis nilai kepentingan klinis pada perlakuan kadar 100 dan 200 mg EGCG.

Penelitian yang berlangsung pada bulan November 2010 : Februari 2011 ini merupakan uji klinis tingkat satu (Phase 1 Clinical Trials) yang dilakukan dalam dua tahapan yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap clinical. Penelitian pendahuluan dilaksanakan di Laboratorium Analisis Teh dan Kina, Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Indonesia, sedangkan penelitian tahap clinical dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Penelitian ini telah direview oleh tim Komisi Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Indonesia dengan dikeluarkannya Ethical Clearance No. LB.03.04/KE/8749/2010 pada tanggal 31 Desember 2010.

Tahap penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui kandungan EGCG pada minuman teh hijau serta formulasi minuman teh 100 dan 200 mg EGCG. Sub tahap pertama adalah analisis kadar EGCG yang terdiri dari: a. Penetapan metode cara pembuatan minuman teh hijau awal atau minuman teh hijau biang (Komes et al. 2010, Venditti et al. 2010); b. Proses ekstraksi (liquid/liquid extraction) untuk mengekstrak EGCG yang terdapat dalam minuman teh (PPTK 2006); c. Injeksi larutan ekstrak ke HPLC (PPTK 2006). Sub tahap kedua adalah penetapan formulasi kadar EGCG minuman teh yang akan digunakan untuk intervensi. Setelah mendapatkan kadar EGCG minuman teh hijau biang, maka dapat dilakukan perhitungan stochiometry untuk mengetahui volume yang dibutuhkan dari minuman minuman teh hijau biang untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar EGCG sebesar 100 mg dan 200 mg.

(4)

pada 200 ml air mineral. Pada taraf perlakuan 100 mg EGCG, subjek diberikan intervensi 200 ml minuman teh hijau yang mengandung 100 mg EGCG, setelah selang 10 menit kemudian diberikan intervensi 75 g glukosa murni yang dilarutkan pada 200 ml air mineral. Begitu juga pada taraf perlakuan 200 mg EGCG, subjek diberikan intervensi 200 ml minuman teh hijau yang mengandung 200 mg EGCG, setelah selang 10 menit kemudian diberikan intervensi 75 g glukosa murni yang dilarutkan pada 200 ml air mineral. Sub tahap ketiga adalah pengukuran kadar glukosa plasma darah untuk mengetahui kadar glukosa darah subjek ketika diberikan perlakuan. Prosedur pengukuran glukosa plasma darah yang digunakan yaitu prosedur pengukuran OGTT (Oral Glucose Tolerance Test) yang dirujuk dari standar WHO (Reinauer et al. 2002). Sub tahap keempat adalah pengeplotan data serta perhitungan luas AUC, nilai glucose score, dan nilai kepentingan klinis. Data kadar glukosa darah yang didapatkan dari setiap individu kemudian diplotkan kedalam grafik dengan menit pengukuran pada sumbu:x dan kadar glukosa darah pada sumbu:y. Perhitungan kurva AUC dilakukan dengan menggunakan aturan trapezoid rules (Shiang 2004; Wolever 2006), sedangkan nilai glucose score dihitung dengan membandingkan antara luas AUC dari kelompok perlakuan dengan luas AUC kelompok kontrol (Louie et al. 2008). Nilai kepentingan klinis dihitung dengan metode yang merujuk pada Dahlan (2010).

Hasil analisis menunjukkan bahwa rata:rata kandungan EGCG dari 5 gr teh hijau yang diseduh dalam 200 ml air mineral (minuman teh hijau biang) yaitu 316,30+13,42 mg EGCG. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa volume yang dibutuhkan untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar 200 mg adalah 126,5 ml yang diambil dari minuman teh hijau biang, sedangkan untuk membuat minuman teh hijau dengan kadar 100 mg adalah 63,29 ml yang diambil dari minuman teh hijau biang.

Karakteristik subjek penelitian yang diamati pada penelitian ini meliputi variabel jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, indeks masa tubuh (IMT), tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, dan denyut nadi. Rata:rata usia subjek laki:laki dan perempuan yang berpartisipasi dalam penelitian ini berturut: turut adalah 22+0,63 dan 21+0,32 tahun, sedangkan rata:rata usia secara keseluruhan adalah 21,50+0,40 tahun. Rata:rata berat badan subjek laki:laki dan perempuan pada penelitian ini berturut:turut adalah 56,62+1,68 dan 50,40+2,65 kg, sedangkan rata:rata berat badan secara keseluruhan adalah 53,30+1,77 kg. Rata:rata tinggi badan subjek laki:laki dan perempuan pada penelitian ini berturut:turut adalah 170,00+2,22 dan 154,38+3,36 cm, sedangkan rata:rata tinggi badan secara keseluruhan adalah 162,19+1,22 cm. Hasil perhitungan IMT menunjukkan bahwa rata:rata IMT subjek laki:laki dan perempuan pada penelitian ini berturut:turut adalah 19,46+0,62 dan 21,08+0,43 kg/m2, sedangkan rata:rata IMT keseluruhan adalah 20,27+0,45 kg/m2. Hasil pengukuran tekanan darah sistole pada subjek laki:laki dan perempuan berturut:turut menunjukkan angka rata:rata 116,20+4,38 dan 101,00+4,40 mmHg, sedangkan tekanan diastole berturut:turut menunjukkan angka rata:rata 72,20+2,43 dan 65,00+2,84 mmHg. Rata:rata keseluruhan tekanan darah sistole dan diastole adalah 108,60+3,87 dan 68,60+2,13 mmHg. Rata:rata denyut nadi subjek laki:laki dan perempuan pada penelitian ini berturut:turut adalah 80,80+6,15 dan 76,20+2,97 kali per menit, sedangkan rata:rata denyut nadi keseluruhan adalah 78,50+3,31 kali per menit. Karakteristik subjek penelitian yang dijabarkan di atas menunjukkan bahwa subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini termasuk dalam kategori normal sesuai dengan kriteria inklusi yang ditetapkan.

(5)

penelitian ini adalah uji Saphiro:Wilk. Hasil analisis untuk seluruh perlakuan intervensi menunjukkan bahwa nilai p>0,05 sehingga dapat dikatakan keseluruhan data memiliki karakteristik normal. Grafik Q Q Plot juga menunjukkan bahwa sebaran data memiliki karakteristik normal dikarenakan tersebar dan mendekati pada garis normalitas untuk masing:masing karakteristik data tersebut.

Hasil pengamatan kadar glukosa darah kelompok kontrol untuk setiap menit pengamatan ke:0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 84.4+2.82, 165.2+5.83, 156.6+6.89, 135.2+5.33, 120.6+4.94, 101.4+6.42 mg/dl. Hasil uji independent t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki:laki dengan subjek perempuan untuk setiap menit pengamatan ke:0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah p=0.847, p=0.685, p=0.371, p=0.444, p=0.796, p=0.166. Hasil uji repeated

ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh

yang nyata pada respon glukosa darah untuk setiap menit pengamatan ke:0, 30, 60, 90, 120, 150 (p=0,002). Hasil uji lanjut Sidak:Holm menunjukkan bahwa kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0, menit 120, dan menit 150.

Hasil pengamatan kadar glukosa darah kelompok 100 mg EGCG untuk setiap menit pengamatan ke:0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 86.8+1.65, 157.6+6.82, 155.2+6.25, 124.2+4.66, 111.1+5.06, 85.6+5.56 mg/dl. Hasil uji independent t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki:laki dengan subjek perempuan untuk setiap menit pengamatan ke:0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah p=0.501, p=0.589, p=0.515, p=0.848, p=0.177, p=0.244. Hasil uji repeated

ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh

yang nyata pada respon glukosa darah untuk setiap menit pengamatan ke: 0,30,60,90,120,150 (p=0,002). Hasil uji lanjut Sidak:Holm menunjukkan bahwa kadar glukosa darah menit 30 dan menit 60 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit lainnya. Kadar glukosa darah menit 30 hingga menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150. Selain itu, kadar glukosa darah pada menit 90 dan menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150.

Hasil pengamatan kadar glukosa darah kelompok 200 mg EGCG untuk setiap menit pengamatan ke:0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 84.1+2.48, 157.4+6.53, 147.1+4.38, 121.9+3.82, 109.2+4.65, 82.2+5.34 mg/dl. Hasil uji independent t test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah subjek laki:laki dengan subjek perempuan untuk setiap menit pengamatan ke:0, 30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah p=0.797, p=0.674, p=0.335, p=0.756, p=0.095, p=0.239. Hasil uji repeated

ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh

(6)

darah pada menit 90 dan menit 120 berbeda nyata (p<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar glukosa darah menit 0 dan menit 150.

Hasil perhitungan luas AUC kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG berturut:turut adalah 335.25+8.48, 317.15+8.66, 309.37+5.87 mg.dl:1.h. Hasil uji repeated ANOVA menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan yang diberikan terhadap luas AUC (p=0,006). Hasil uji lanjut Sidak:Holm menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata (p=0,02) dapat ditemui pada perbandingan luas AUC kelompok kontrol dengan kelompok 100 mg EGCG. Begitu juga terdapat perbedaan yang nyata (p=0,002) perbandingan antara luas AUC kelompok kontrol dengan luas AUC kelompok 200 mg EGCG. Meskipun luas AUC kelompok 200 mg EGCG lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 100 mg EGCG, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara keduanya (p=0,287).

Hasil perhitungan nilai glucose score kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG berturut:turut adalah 100+0.00, 94.64+1.74, 92.58+1.9. Hasil

uji repeated ANOVA menunjukkan terdapat pengaruh yang nyata dari perlakuan

yang diberikan terhadap nilai glucose score (p=0,006). Hasil uji lanjut Sidak:Holm menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0,002) antara nilai glucose score kelompok kontrol dengan kelompok 100 mg EGCG. Begitu juga terdapat perbedaan yang nyata (p=0,018) perbandingan antara nilai glucose score kelompok kontrol dan kelompok 200 mg EGCG. Walaupun nilai glucose

score kelompok 200 mg EGCG lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 100

mg EGCG, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara keduanya (p=0,33).

Nilai kepentingan klinis yang diuji adalah RR (relative risk), RRR (relative risk reduction), dan ARR (absolute risk reduction). Kelompok intervensi 100 mg EGCG memiliki nilai RR pada menit ke:30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 0.6, 0.7, 0.4, 0.5, 0.4. Hal tersebut bermakna bahwa kemungkinan subjek pada pemberian 100 mg EGCG tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah adalah 0,4:0,7 kali dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol (plasebo). Nilai RRR pada menit ke:30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 0.4, 0.3, 0.6, 0.5, 0.6. Nilai RRR antara 0,3:0,6 bermakna bahwa jika tubuh mengkonsumsi 100 mg EGCG, maka jumlah insiden hiperglikemia dapat diturunkan sebesar 30:60% dari insiden sebelumnya. Nilai ARR pada menit ke:30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 0.4, 0.3, 0.6, 0.5, 0.6. Hal tersebut bermakna bahwa jika EGCG diminum setiap harinya, maka selisih jumlah insiden hiperglikemia antara subjek yang mendapat perlakuan 100 mg EGCG dengan subjek kontrol adalah sebesar 30: 60%.

Kelompok intervensi 200 mg EGCG memiliki nilai RR pada menit ke:30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 0.7, 0.5, 0.5, 0.5, 0.3. Hal tersebut bermakna bahwa kemungkinan subjek pada pemberian 100 mg EGCG tidak mengalami penurunan kadar glukosa darah adalah 0,3:0,7 kali dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol (plasebo). Nilai RRR pada menit ke:30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 0.3, 0.5, 0.5, 0.5, 0.7. Nilai RRR antara 0,3:0,7 bermakna bahwa jika tubuh mengkonsumsi 200 mg EGCG, maka jumlah insiden hiperglikemia dapat diturunkan sebesar 30:70% dari insiden sebelumnya. Nilai ARR pada menit ke:30, 60, 90, 120, 150 berturut:turut adalah 0.3, 0.5, 0.5, 0.5, 0.7. Hal tersebut bermakna bahwa jika EGCG diminum setiap harinya, maka selisih jumlah insiden hiperglikemia antara subjek yang mendapat perlakuan 200 mg EGCG dengan subjek kontrol adalah sebesar 30:70%.

(7)

!"#!

$%&'&! #&(&) #&*+ #,& &* +-*+ .$."$ /($) '$(& & 0&-& !1!

(8)

Judul : Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) Teh Hijau dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post Prandial pada Subjek Dewasa Muda Sehat

Nama : Yoghatama Cindya Zanzer NIM : I14051844

Disetujui,

Dosen Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. NIP. 19520413 198103 1 003

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. NIP. 19621204 198903 2 002

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, M.S. NIP. 19621218 198703 1 001

(9)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Studi Pengaruh Variasi Pemberian Kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) Teh Hijau dalam Mengontrol Level Glukosa Plasma Darah Post Prandial pada Subjek Dewasa Muda Sehat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

(10)

Penulis dilahirkan di Malang, 07 Maret 1986 dari Ayah AIPTU Djoko Santoso dan Ibu Tutik Agustini. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 3 Malang pada tahun 2005. Pada tahun 2003:2004 penulis mendapat beasiswa dari American Field Service untuk mengikuti exchange program di Geschwister

Scholl Schule Konstanz, Landes Baden Württemberg, GERMANY. Penulis

diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di mayor Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, IPB melalui jalur USMI pada tahun 2005. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan bidang akademik dan non:akademik.

Di bidang non:akademik, pada tahun 2007:2008 penulis pernah menjadi National Vice Director (Head of Exchange Program) pada International Association of Students in Agriculture and Related Sciences yang berkedudukan di Faculty of Bioscience Engineering, Katholieke Universiteit Leuven, BELGIUM. Pada tahun yang sama penulis mendapatkan beasiswa dari German Ministry of Family, Woman, and Youth untuk melakukan International Voluntary Internship di Heinrich Zschokke Haus Centre for Anthroposophie and Gerontopsychiatry,

Düsseldorf, Landes Nord Rhein Westfallen, GERMANY.

Di bidang akademik, pada tahun 2009 penulis memperoleh beasiswa untuk mengikuti exchange program di Tokyo University of Agriculture, JAPAN untuk belajar di bidang Food, Agriculture and Environment. Pada tahun 2010 penulis mendapat beasiswa dari ICAS (International Centre for Advanced Health Studies) untuk belajar Design and Analysis of Clinical Trials dan Advanced Method of Epidemiology di Faculty of Medicine, Ulm University, GERMANY. Pada tahun yang sama penulis mendapat beasiswa dari Tokyo Medical and Dental University untuk mengikuti Advanced Course in Infection and Immunity di Tokyo Medical and Dental University, JAPAN.

(11)

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Subhanahu wata’ala atas limpahan rahmat, hidayah, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada suri tauladan kita Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam beserta keluarganya dan para sahabatnya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih teriring doa kepada semua pihak yang dengan keikhlasan telah banyak membantu penulis selama proses pendidikan, perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.

1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. dan Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S. atas segala ilmu, arahan, masukan, perbaikan, serta motivasi yang selama ini diberikan dan juga kesabaran dalam pembimbingan.

2. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.S. atas segala motivasi, inspirasi, pelajaran hidup, serta dukungan yang tiada hentinya.

3. Prof. Richard Peter dan Prof. TM Fliedner yang telah memberikan beasiswa studi klinis di Faculty of Medicine, Ulm University, GERMANY. 4. Prof. Shrikant Bangdiwala : University of North Carolina at Chapel Hill,

USA sebagai mentor studi klinis di Ulm University, GERMANY.

5. Prof. Miyuki Azuma yang telah memberikan beasiswa Advanced Course in Infection and Immunity di Tokyo Medical and Dental University, JAPAN. 6. Prof. Akimi Fujimoto dan Prof. Hiroki Inaizumi yang telah memberikan

beasiswa untuk belajar Food, Agriculture, and Environment di Tokyo University of Agriculture, JAPAN.

7. dr. Mira Dewi, S.Ked., M.Si. dan dr. Noval, S.Ked. atas saran, masukan, serta bantuannya pada saat studi klinis.

8. Dr. Ir. Rohayati, M.M. yang memberikan ijin penggunaan fasilitas analisis EGCG teh hijau di Pusat Penelitian Teh dan Kina – Gambung, INDONESIA.

9. Subjek atau responden studi klinis ini atas partisipasi aktif serta dedikasinya untuk perkembangan ilmu human nutrition science dan preventive medicine.

10. Kedua orang tua, papa (AIPTU Djoko Santoso) dan mama (Tutik Agustini) serta keluarga di Malang atas segala kasih sayang dan didikan yang tiada henti serta jerih payah, usaha, kesabaran, dan pengorbanan yang tak terbalaskan.

11. Ayupry Diptasari atas segala support, semangat, dan memories.

12. Para sahabat International Association of Students in Agricultural and Related Sciences di Indonesia dan Eropa.

13. Para sahabat di Departemen Gizi Masyarakat IPB.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, semoga Allah membalas kebaikan mereka semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2011

(12)

&(&.&-DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 4

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Chronic Non Communicable Diseases ... 5

Metabolisme dan Regulasi Glukosa Darah ... 6

Patofisiologi Diabetes Mellitus ... 14

Metode Analisis Glukosa Plasma Darah... 20

Nutraceuticals ... 22

Teh ... 25

Flavonoid Polifenol pada Teh ... 29

Proses Optimal pada Penyeduhan Teh ... 31

METODE PENELITIAN ... 34

Waktu dan Lokasi ... 34

Bahan dan Alat ... 34

Metode ... 35

Pengolahan dan Analisis Data ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

Analisis EGCG Minuman Teh Hijau dan Perhitungan Stokiometri ... 49

Karakteristik Subjek ... 52

Uji Normalitas Data ... 57

(13)

Luas AUC (Area Under Curve) dan Glucose Score ... 74

Nilai Kepentingan Klinis ... 78

KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

Kesimpulan ... 81

Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(14)

&(&.&-1 Kadar glukosa darah acuan untuk diagnosis tipe DM ... 20

2 Penggolongan nutraceuticals berdasarkan mekanisme aksinya ... 23

3 Nilai kepentingan klinis perlakuan kontrol dan eksperimen ... 45

4 Hasil pengujian kadar EGCG minuman teh hijau awal (biang) ... 51

5 Sebaran subjek berdasarkan karakteristiknya ... 54

6 Kadar glukosa darah post prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol ... 62

7 Kadar glukosa darah post prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG ... 65

8 Kadar glukosa darah post prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG ... 67

9 Luas AUC kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG .... 75

10 Nilai glucose score kelompok kontrol, 100 mg EGCG, dan 200 mg EGCG ... 77

11 Hasil perhitungan nilai kepentingan klinis dari kelompok intervensi .. 79

3 Perbandingan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2 ... 17

4 Kelompok hewan coba dan pemberian perlakuan ... 30

5 Komposisi ransum standar tikus percobaan ... 32

6 Kandungan EGCG, theaflavin, dan thearubigin teh hitam dan teh hijau (Camellia sinensis) dalam persen berat kering (b.k) ... 37

7 Pengaruh pemberian ransum ad libitum pada tikus normal dan hiperglikemik terhadap jumlah glikogen... 45

(15)

&(&.&-1 Mekanisme sistem regulasi post absorptive ... 7

2 Transpor glukosa di epitel usus dikatalisa oleh SGLT1 yang terletak pada membran apikal, kemudian glukosa meninggalkan sel difasili: tasi oleh transporter glukosa (GLUT2) yang terletak pada membran basolateral ... 9

3 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta pankreas yang diinduksi oleh glukosa serta efeknya pada jaringan peripheral ... 12

4 Patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan dan peningkatan sirku: lasi asam lemak pada penderita DM tipe 2 ... 17

5 Contoh glukometer dan glucose strip yang digunakan dalam pengu: kuran kadar glukosa plasma darah ... 21

6 Tiga jenis utama teh (A. Teh hijau; B. Teh oloong; C. Teh hitam) ... 28

7 Struktur dasar flavonoid ... 29

8 Struktur kimia jenis catechin teh serta jenis epimer turunannya ... 30

9 Struktur kimia flavonols pada teh ... 31

10 Total kandungan flavonoid dan non flavonoid dari berbagai tipe teh hijau yang diseduh pada menit ke 3 pada suhu 80oC ... 32

11 Total kandungan flavonoid dan non flavonoid dari berbagai tipe teh hijau serbuk (Matcha), potongan daun (Gyokuro), dan kemasan kecil (Twinning of London) yang dipengaruhi oleh suhu penyeduhan pada 60oC, 80oC (penyeduhan ke:1, ke:2, dan ke:3), 100oC pada menit ke:3 ... 32

12 Total kandungan flavonoid dan non flavonoid dari berbagai tipe teh hijau serbuk (Matcha), potongan daun (Gyokuro), dan kemasan kecil (Twinning of London) yang dipengaruhi oleh waktu penyeduhan pada menit ke:3, 5, 10, 15, dan 30 pada suhu 80oC ... 33

13 Cara pembuatan minuman teh hijau awal ... 35

14 Prosedur analisis kadar EGCG di dalam minuman teh hijau awal .... 36

15 Nomogram ukuran sampel dan power ... 41

16 Ilustrasi tahapan pengambilan sampel darah ... 43

17 Bagan alur tahapan penelitian pendahuluan dan klinis ... 46

18 Grafik Q Q Plot kelompok kontrol ... 58

19 Grafik Q Q Plot kelompok 100 mg EGCG ... 59

(16)

21 Kurva respon glukosa plasma darah post prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol ... 63

22 Kurva respon glukosa plasma darah post prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 100 mg EGCG ... 66

23 Kurva respon glukosa plasma darah post prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok taraf perlakuan 200 mg EGCG ... 68

24 Kurva perbandingan respon glukosa plasma darah post prandial subjek dewasa muda sehat pada kelompok kontrol, 100 mg EGCG,

dan 200 mg EGCG ... 69

25 Model absorpsi glukosa intestinal apikal GLUT2 pada kondisi sebe:

lum makan (A) dan sesudah makan (B) ... 71

26 Jalur pensinyalan translokasi GLUT4 ... 74 27 Pengaruh intervensi minuman teh hijau dengan berbagai konsentrasi

EGCG terhadap luas grafik AUC ... 76

(17)

&(&.&-1 Ijin etik penelitian (Ethical Clearance) ... 94

2 Contoh perhitungan luas kurva AUC ... 95

3 Contoh perhitungan nilai glucose score ... 96

(18)

&*& $(& &-'

Perubahan pola makan yang tinggi lemak dan kalori serta diikuti dengan gaya hidup yang rendah aktivitas fisik merupakan penyebab timbulnya penyakit kronis (chronic non communicable diseases) seperti obesitas, diabetes mellitus, penyakit kardio vaskuler, hipertensi dan stroke, serta beberapa tipe kanker (Morewitz 2006; WHO Technical Report Series 2003; WHO Technical Report Series 2005). Angka prevalensi dari penyakit kronis tersebut menunjukkan peningkatan yang sangat mengkhawatirkan dengan prediksi peningkatan sebesar 57% hingga tahun 2020 (WHO Technical Report Series 2003). Hal tersebut tidak hanya terjadi di negara yang sudah maju, tetapi juga di negara yang sedang berkembang. Salah satu penyakit kronis yang menjadi perhatian kesehatan masyarakat di dunia adalah diabetes mellitus. WHO telah memprediksi angka prevalensi penyakit diabetes mellitus di negara berkembang akan meningkat sebesar dua setengah kali dari 84 juta di tahun 1995 menjadi 228 juta di tahun 2025 (Aboderin et al. 2001). WHO memperkirakan bahwa prevalensi terbesar dari penyakit diabetes mellitus tersebut akan didominasi oleh negara:negara di benua Asia dan Afrika (Amos et al. 1997).

Melihat semakin meningkatnya prevalensi penyakit kronis, khususnya diabetes mellitus dan obesitas maka banyak sekali upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka prevalensi, contohnya obat:obatan yang dalam hal ini tercakup sebagai aspek kuratif. Lebih dari itu, dari sisi preventif dan manajemen awal maka penanganan dengan berbasiskan pengaturan diet dan sumber pangan menjadi salah satu alternatif utama (Eckel et al. 2005; Grundy et al. 2005). Salah satu contohnya pada Finnish Study yang menunjukkan bahwa kelompok intervensi yang menerima instruksi intensif mengenai penurunan berat badan, asupan diet, serta panduan untuk aktivitas fisik mengalami 58% penurunan insiden terkena diabetes mellitus dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah mengalami follow up selama 3,2 tahun (Tuomilehto et al. 2001).

(19)

yang berasal dari tanaman Camelia sinensis (Sharangi 2009; Stote 2008; Thielecke & Boschmann 2009; Wang & Helliwell 2000). Berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan, kandungan polifenol terutama EGCG (epigallocatechin gallate) di dalam teh memiliki peran utama terhadap kesehatan (Sharangi 2009). Berkaitan dengan aspek kesehatan, pengontrolan kadar glukosa darah pada kondisi normal merupakan salah satu indikator utama dalam memonitor fungsi normal metabolisme tubuh untuk mencegah terjadinya komplikasi penyakit kronis seperti diabetes mellitus (Gropper et al. 2009). Selain itu, hasil studi DCCT (Diabetes Control and Complication Trials) dan UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) menunjukkan bahwa kontrol glikemik merupakan faktor yang esensial untuk memperbaiki hasil secara klinis pasien yang menderita diabetes mellitus (DCCT Research Group 1993; UKPDS Group 1998). Oleh karena itu, kajian mengenai manfaat teh terhadap sistem metabolisme manusia menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut, khususnya mengenai manfaat spesifik mengkonsumsi teh dalam mengontrol kadar glukosa plasma darah (Bryans et al. 2007; Tsuneki et al. 2004).

Studi observasi epidemiologi di Jepang menunjukkan bahwa subjek yang mengkonsumsi lebih dari enam gelas teh hijau setiap harinya dapat menurunkan resiko diabetes mellitus (Iso et al. 2006). Studi lainnya secara cross sectional pada 3.224 subjek menunjukkan hasil yang sejalan yaitu subjek yang mengkonsumsi teh hijau lebih banyak dibandingkan subjek lainnya akan memiliki konsentrasi glukosa darah puasa yang lebih terjaga (Yamaji et al. 2004). Mekanisme pengontrolan kadar glukosa darah yang diinduksi oleh teh secara molekuler sudah diteliti baik secara in vitro maupun in vivo pada hewan coba. Penurunan absorpsi karbohidrat melalui penghambatan beberapa enzim pencernaan menjadi hal yang menarik sebagai pencegahan diabetes mellitus. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian in vivo pada hewan coba menunjukkan bahwa catechin teh hijau dapat menurunkan aktivitas alfa:amilase dan sukrase di intestinal tikus percobaan (Matsumoto et al. 1993). Studi lainnya menunjukkan bahwa EGCG dapat menurunkan pengambilan glukosa di intestinal tikus percobaan melalui mekanisme penghambatan sodium dependent glucose transporter (Kobayashi 2000).

(20)

dengan memberikan intervensi teh oolong yang mengandung 386 mg EGCG dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan intervensi air mineral selama empat minggu dengan periode wash out selama dua minggu. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa subjek yang telah diberikan perlakuan selama tigapuluh hari mengalami penurunan plasma glukosa dari 229 menjadi 162 Pmol/l (p<0.001) dan penurunan fruktosamin dari 409,9 menjadi 323,3 Pmol/l (p<0.01). Selain itu, studi yang dilakukan oleh Tsuneki et al. (2004) menunjukkan bahwa intervensi teh hijau single dose yang mengandung 84 mg EGCG kepada duapuluh dua subjek sehat dapat mengontrol peningkatan glukosa darah post prandial secara signifikan. Bertolak dari hal tersebut diatas, maka studi mengenai pengaruh konsentrasi EGCG dalam mengontrol metabolisme glukosa darah menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut sehingga diperoleh data komprehensif yang nantinya dapat dijadikan sebagai dasar studi lanjut salah satu alternatif pencegahan diabetes mellitus.

+0+&-Tujuan Umum :

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh variasi pemberian kadar EGCG (epigallocatechin gallate) teh hijau dalam mengontrol level glukosa darah post prandial pada subjek dewasa muda sehat.

Tujuan khusus :

1. Menentukan dan menganalisis kadar EGCG pada minuman teh hijau. 2. Mempelajari dan menganalisis perbedaan respon glukosa darah post

prandial dari kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat minuman teh hijau dengan konsentrasi EGCG yang berbeda.

3. Menghitung dan menganalisis luas AUC (area under curve) serta glucose

score dari kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat minuman teh

hijau dengan konsentrasi EGCG yang berbeda.

(21)

!"/*$#!#

Terdapat penghambatan penyerapan glukosa pada subjek yang diberikan intervensi teh hijau dibandingkan dengan subjek yang tidak diberi intervensi (kontrol). Penghambatan penyerapan glukosa akan lebih besar pada konsentrasi polifenol EGCG teh hijau yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi polifenol EGCG teh hijau yang lebih rendah.

(22)

WHO Technical Report Series (2005) mendefinisikan chronic non communicable diseases sebagai suatu penyakit yang muncul akibat dari kebiasaan gaya hidup yang tidak sehat dan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan yang mendukung munculnya penyakit tersebut. Chronic non

communicable diseases membutuhkan periode yang lama dan berakumulasi

untuk bisa terlihat dampak secara nyata dari penyakit tersebut. Tidak seperti communicable diseases yang bisa ditularkan dari satu individu ke individu lainnya, chronic non communicable diseases tidak dapat ditularkan dari satu individu ke individu lainnya. Pada tahun 2005, chronic non communicable diseases merupakan penyebab 60% atau 35 juta kematian dari 58 juta total kematian di dunia. Saat ini, jumlah tersebut diproyeksikan akan meningkat sebesar 17% dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang di berbagai negara, baik pada negara berkembang maupun pada negara industri yang sudah maju.

Beberapa penyakit utama yang tergolong dalam chronic non communicable diseases adalah penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes mellitus. Penyakit jantung memiliki banyak jenis seperti contohnya penyakit jantung koroner atau sering disebut sebagai penyakit jantung iskemik yang diakibatkan oleh penyumbatan pembuluh darah atau yang sering disebut dengan aterosklerosis. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian secara global yaitu 30% dari total kematian di dunia. Stroke merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada suplai darah di otak. Stroke dan penyakit jantung merupakan bentuk utama dari penyakit kardiovaskuler. Riskesdas 2007 menyatakan bahwa prevalensi untuk penyakit jantung di Indonesia (subjek dewasa >18 tahun) menempati angka nasional 7,7% dengan prevalensi pada perempuan (8,1%) lebih tinggi dibandingkan laki:laki (6,2%), sedangkan penyakit stroke menempati angka prevalensi sebesar 8,3%. Hal tersebut berbeda dengan kondisi di Indonesia yang merupakan prevalensi tertinggi adalah penyakit sendi dan hipertensi dengan angka prevalensi masing: masing 30,3% dan 29,8% (DEPKES 2007).

(23)

yang diakibatkan oleh abnormalitas dari proliferasi sel sehingga sel tumbuh dan menyebar secara tidak terkendali. Selain kanker, beberapa istilah lain yang sering digunakan adalah tumor dan neoplasma. Beberapa contoh dari bermacam:macam tipe kanker adalah kanker servik, kanker kulit, dan kanker oral.

Penyakit chronic non communicable diseases yang menempati posisi ketiga penyebab kematian di dunia adalah penyakit paru:paru kronis dengan persentase sebesar 7% dari kematian di seluruh dunia (WHO Technical Report Series 2005). Penyakit paru:paru kronis yang menjadi fokus perhatian utama yaitu penyakit paru:paru kronis obstruktif dan asma. Prevalensi penyakit asma di Indonesia menempati angka sebesar 4 % (DEPKES 2007). Penyakit paru:paru kronis obstruktif disebabkan oleh keterbatasan sirkulasi udara pernapasan yang tidak reversibel secara penuh, sedangkan asma disebabkan oleh obstruksi reversibel dari sirkulasi udara pernapasan (WHO Technical Report Series 2005).

Diabetes mellitus merupakan penyebab kematian sebesar 2% dari total kematian di dunia. Diabetes mellitus dikarakterisasi oleh peningkatan level glukosa darah yang disebabkan oleh kurangnya hormon insulin yang mengontrol level glukosa darah dan ketidakmampuan jaringan tubuh dalam merespon insulin atau yang disebut dengan kondisi resistensi insulin. Terdapat dua tipe penyakit diabetes mellitus yaitu diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) dan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). DM tipe 2 merupakan jenis penyakit yang sering dijumpai dengan proporsi 90% dari total penyakit diabetes mellitus. DM tipe 2 merupakan manifestasi dari seseorang yang memiliki pola makan buruk secara berlebihan dengan berat badan yang berlebihan dan aktivitas fisik yang kurang. DM tipe 1 merupakan penyakit diabetes mellitus yang disebabkan oleh kurangnya insulin secara absolut sehingga merupakan penyakit genetik atau bawaan (WHO Technical Report Series 2005). Prevalensi untuk penyakit diabetes mellitus di Indonesia yang dilaporkan dalam Riskesdas 2007 menempati angka prevalensi nasional 1,1% dengan prevalensi yang sama pada perempuan dan laki:laki yaitu 1,1% (DEPKES 2007).

$*&%/(!#.$ 2&- $'+(&#! (+ /#& & &)

(24)

syaraf sangat tergantung pada glukosa. Karbohidrat yang terdapat dalam alam dihasilkan melalui proses fotosintesis yang ada pada tumbuh:tumbuhan. Asupan karbohidrat yang dapat dicerna dimanifestasikaan dalam bentuk glukosa, galaktosa, dan fruktosa yang ditrasportasikan melalui sistem vena porta hepatika ke hati dimana bentuk galaktosa dan fruktosa siap dikonversi menjadi bentuk glukosa. Oleh karena itu pencernaan makromolekul menjadi unit yang bisa diserap oleh tubuh menempati posisi yang sangat penting serta merupakan sistem kombinasi dari pemecahan secara mekanis dan enzimatis (Murray et al. 2003). Tahapan mekanisme sistem regulasi post absorptive secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Mekanisme sistem regulasi post absorptive (Biesalski & Grimm 2005)

(25)

kemudian melewati lambung yang memiliki pH rendah sehingga aktivitas enzimatik α:amilase dihambat oleh asam lambung, tetapi bentuk dekstrin tidak mengalami perubahan dan perjalanan dilanjutkan menuju usus halus. Dalam perjalanannya dekstrin mengalami hidrolisis oleh α:amilase yang dikeluarkan oleh pankreas menjadi maltosa (untuk dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilosa) serta maltosa dan limit dekstrin (untuk dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilopektin) (Gropper et al. 2009).

Pada vili usus halus, maltosa yang berasal dari amilosa dan amilopektin dihidrolisis oleh maltase membentuk glukosa sederhana sedangkan limit dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilopektin dihidrolisis menjadi glukosa sederhana oleh α:dekstrinase. Sementara itu, pencernaan disakarida berbeda dengan polisakarida yaitu terjadi di usus halus bagian atas dengan aktivitas dari enzim disakaridase terkonsentrasi di bagian mikrovili dari sel mukosa usus halus. Beberapa enzim yang terdapat di permukaan sel yaitu laktase, sukrase, maltase, dan isomaltase. Laktase berperan dalam mengkatalisa pemecahan laktosa menjadi jumlah ekuimolar galaktosa dan glukosa, sementara itu sukrase menghidrolisis sukrosa untuk mendapatkan glukosa dan fruktosa. Lain halnya dengan maltase yang menghidrolisis maltosa untuk mendapatkan dua unit glukosa, isomaltase berperan menghidrolisis ikatan α:1,6 isomaltosa (ikatan pada disakarida dari pemecahan amilopektin yang tidak sempurna) untuk menghasilkan dua molekul glukosa. Glukosa dan galaktosa hasil pemecahan kemudian diabsorpsi mukosa sel melalui transport aktif yang difasilitasi oleh sodium glucose transporter 1 (SGLT1), sedangkan fruktosa diabsorpsi dengan difasilitasi oleh GLUT5. Mutasi yang terjadi pada gen SGLT1 akan berpengaruh terhadap malbasorpsi glukosa dan galaktosa (Gropper et al. 2009).

(26)

Dependent) dan GLUT yang tidak tergantung pada Na+ (Na+ Independent) (Zierler 1999).

SGLT yang dikenal juga sebagai co transporters atau symporters merupakan protein membran integral yang memediasi transpor glukosa dengan afinitas yang rendah serta galaktosa melewati membran plasma melalui mekanisme transport aktif (Wright 1994). Proses transpor ini merupakan ko: transport molekul glukosa dengan ion natrium. Perpindahan ion natrium melintasi membran plasma ke dalam sel didorong oleh gradien konsentrasi dan potensial membran serta akan berpasangan dengan perpindahan molekul glukosa. Pada kondisi stabil, ion natrium yang ditransportasikan ke dalam sel melintasi membran sel apikal dipompa oleh pompa Na+/K+ ATPase melintasi membran basolateral. Glukosa yang terkonsentrasi di dalam sel kemudian akan berpindah melintasi membran basolateral dengan difasilitasi oleh fasilitator transpor glukosa GLUT (Scheepers et al. 2004). Mekanisme transpor glukosa secara molekuler dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Transpor glukosa di epitel usus dikatalisa oleh SGLT1 yang terletak pada membran apikal, kemudian glukosa meninggalkan sel difasilitasi oleh transporter glukosa (GLUT2) yang terletak di membran basolateral (Scheepers et al. 2004).

(27)

glukosa pada sel yang terekspresikan pada eritrosit, sel endotelial otak, dan plasenta. GLUT2 terekspresikan pada organ hati, sel beta pankreas, ginjal, dan usus halus. GLUT3 merupakan fasilitator transpor glukosa yang memiliki afinitas glukosa tinggi sehingga terekspresi pada organ otak yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada glukosa darah. GLUT4 merupakan satu:satunya fasilitator transpor glukosa yang konsentrasinya dipengaruhi oleh hormon, terutama hormon insulin sehingga ketika glukosa ekstraseluler meningkat maka insulin akan menstimulasi translokasi GLUT4 dari membran intraseluler menuju membran plasma (Gambar 3), sehingga dihasilkan peningkatan transpor glukosa hingga mencapai sepuluh sampai dua puluh kali lipat (Scheepers et al. 2004; Simpson & Cushman 1986; Sheperd & Kahn 1999; Bryant et al. 2002). GLUT4 terekspresikan pada organ dan jaringan otot rangka, hati, dan jaringan adiposa. Berikutnya adalah fasilitator transpor glukosa lainnya beserta organ dan jaringan tempat transporter tersebut ditemukan yaitu: GLUT5 (intestinal, testis, ginjal, dan otot); GLUT6 (limpa, periferal leukosit, dan otak); GLUT7 (intestinal, testis, prostat); GLUT8 (testis, otak (neural), blastosis, dan adiposit); GLUT9 (hati dan ginjal); GLUT10 (hati dan pankreas); GLUT11 (pankreas, ginjal, plasenta, jantung, dan otot); GLUT12 (jantung, prostat, dan kanker payudara); HMIT (otak); GLUT14 (testis) (Joost & Thorens 2001; Scheepers et al. 2004).

Pemantauan secara konstan terhadap konsentrasi gula darah melalui mekanisme glukosensing spesifik sangat diperlukan untuk menjaga homeostasis glukosa dalam tubuh. Sistem deteksi pengontrolan glukosa yaitu melalui sel beta pankreas yang mengontrol sekresi insulin. Sensor dari sistem pengontrolan glukosa yaitu termasuk didalamnya fasilitator transpor glukosa (GLUT2), enzim glukokinase, dan channel ATP:sensitif K+ (KATP). Ketika konsentrasi ekstraseluler glukosa meningkat, maka glukosa akan masuk ke dalam sel beta pankreas melalui transporter glukosa GLUT2 dan difosforilasi oleh glukokinase. Metabolisme glikolitik dan oksidatif glukosa meningkatkan rasio ATP terhadap ADP sehingga menyebabkan ATP berikatan dengan kompleks KATP. Hal ini akan menyebabkan inaktivasi channel ATP:sensitif K+ (KATP) yang berujung pada depolarisasi membran, influk kalsium, dan sekresi insulin (Scheepers et al. 2004; Thorens 2003; Postic et al. 2001; Seino et al. 2000).

(28)

menjadi fokus adalah jalur proses metabolik yang memindahkan glukosa dari darah untuk sintesis glikogen dan pengeluaran energi serta jalur proses yang mengembalikan glukosa ke dalam darah seperti glikogenolisis dan glukoneogenesis (Gropper et al. 2009). Terdapat beberapa hormon yang terlibat dalam pengaturan glukosa darah, yaitu hormon insulin, glukagon, glukokortikoid, hormon pertumbuhan, epinefrin, dan kemungkinan hormon diabetogenik lainnya. Hormon insulin diproduksi oleh sel beta Pulau Langerhans di pankreas sebagai respon yang distimulasi oleh kondisi hiperglikemia. Sintesis dan sekresi insulin menstimulasi pengambilan Ca2+ ekstraseluler pada sel beta pankreas. Kation ini memicu mekanisme kontraktil pergerakan granula yang mengandung insulin menuju membran sel dimana granula dilepaskan ke ruang ekstraseluler melalui eksositosis (Greenstein & Wood 2006). Insulin mengontrol kondisi glukosa post prandial melalui tiga mekanisme aksi kerja. Mekanisme pertama, insulin mengirimkan sinyal kepada sel jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin, khususnya otot untuk meningkatkan pengambilan glukosa ke dalam jaringan. Mekanisme kedua, insulin akan bekerja di organ untuk melakukan proses glikogenesis (konversi glukosa menjadi simpanan glikogen). Mekanisme ketiga, insulin secara simultan akan menghambat sekresi glukagon dari sel alpha pankreas, sehingga akan memberikan sinyal kepada organ hati untuk memberhentikan proses produksi glukosa melalui jalur glikogenolisis (konversi glikogen menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (konversi asam amino dan laktat menjadi glukosa) (Aronoff et al. 2004).

(29)

Gambar 3 Mekanisme sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang diinduksi oleh glukosa serta efeknya pada jaringan peripheral (Scheepers et al. 2004).

Keterangan : GK (glucokinase)

GSK3 (glycogen synthase kinase 3) G6P (glucose 6 phosphate)

IRS (insulin receptor substrate) PI3:K (phosphoinositide 3 kinase) PKB/Akt (protein kinase B) Kir6.2 (KATP channel)

Glukagon merupakan hormon yang diproduksi oleh sel alfa pankreas sebagai hasil dari pembelahan preproglukagon. Kandungan glukagon pada pankreas orang dewasa sehat berkisar antara 3:5 Pg/g. Sekresi hormon glukagon distimulasi secara cepat ketika konsentrasi glukosa darah turun dan akan dihambat ketika konsentrasi glukosa darah meningkat. Di organ hati, hormon tersebut menstimulasi glikogenolisis melalui pengaktifan fosforilase. Glukagon juga meningkatkan glukoneogenesis dari asam amino. Insulin dan glukagon adalah antagonis melalui interaksi resiprokal (timbal:balik) parakrin antara sel alpha pankreas dan sel beta pankreas, sehingga pengaruh yang berlawanan inilah yang menjaga keseimbangan metabolisme karbohidrat (Greenstein & Wood 2006).

(30)

ginjal. Kondisi stress akan menyebabkan pelepasan epinefrin dengan segera sehingga mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik dan mental yang luar biasa. Pada kondisi tersebut mobilisasi glukosa ditingkatkan melalui stimulasi pelepasan glukagon dan penghambatan pelepasan insulin. Tugas utama epinefrin adalah memobilisasi simpanan energi melalui proses lipolisis dan glikogenesis. Dengan demikian, epinefrin meningkatkan glukosa darah dan menghambat sintesis insulin oleh sel beta pankreas (Greenstein & Wood 2006; Silbernagl & Despopoulos 2009).

Glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron) merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal (Silbernagl & Despopoulos 2009). Hormon tersebut memiliki fungsi vital dalam sistem metabolisme salah satunya pada sistem regulasi glukosa darah. Pada konsentrasi basal, hormon tersebut bersifat permisif dalam menstimulasi glukoneogenesis dan lipolisis pada kondisi post absorptive. Peningkatan konsentrasi hormon glukokortikoid di dalam plasma akan menyebabkan manifestasi terhadap peningkatan katabolisme protein, peningkatan glukoneogenesis, penurunan pengambilan glukosa oleh sel otot dan adiposa, serta peningkatan pemecahan triasilgliserol (Vander et al. 2001).

Hormon pertumbuhan merupakan salah satu hormon yang disintesis di kelenjar anterior pituitary yang terletak di hipotalamus. Hormon pertumbuhan memiliki fungsi utama dalam menstimulasi pertumbuhan dan anabolisme protein. Selain kedua fungsi tersebut, hormon pertumbuhan juga memiliki fungsi dalam metabolisme karbohidrat dan lipid walaupun pengaruhnya tidak sebesar fungsi utamanya dalam hal menstimulasi pertumbuhan. Hal ini dibuktikan bahwa kondisi defisiensi ataupun kelebihan dari hormon pertumbuhan tidak terlalu berpengaruh secara nyata dalam metabolisme karbohidrat dan lipid. Hormon pertumbuhan mempengaruhi metabolisme lipid dan karbohidrat melalui tiga mekanisme aksi kerja. Mekanisme pertama, hormon pertumbuhan akan menjadikan adiposit lebih responsif terhadap stimuli lipolisis. Mekanisme kedua, hormon pertumbuhan meningkatkan glukoneogenesis yang terjadi di organ hati. Mekanisme ketiga, hormon pertumbuhan akan menurunkan kemampuan insulin, sehingga akan mempengaruhi pengambilan glukosa di sel otot dan jaringan adiposa (Vander et al. 2001).

(31)

berkisar antara 110:199 mg/dl. Penurunan kadar glukosa darah hingga level 50: 54 mg/dl akan menyebabkan gugup, pusing, lemas, dan lapar. Kadar glukosa darah yang naik diatas nilai kisaran normal disebut dengan hiperglikemia, sedangkan kondisi kadar glukosa darah yang turun dibawah kisaran normal atau yang memiliki nilai ambang dibawah 2,2 mmol/l (39,6 mg/dl) disebut hipoglikemia (Caballero 2005).

&*/3!#!/(/'!

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang ditandai oleh peningkatan level glukosa pada darah. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaknormalan produksi insulin pada pankreas ataupun ketidaksensitifan insulin yang diproduksi terhadap respon glukosa pada darah. Secara umum, diabetes mellitus terbagi menjadi diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, dan gestational diabetes mellitus.

!"$

Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit multi faktorial autoimun yang dikarakterisasi oleh defisiensi insulin dikarenakan rusaknya sel beta pankreas yang dimediasi oleh T lymphocites (T cell) yang bereaksi secara spesifik terhadap salah satu atau beberapa protein sel beta (Mathis et al. 2001; Urcelary et al. 2005). Kemungkinan persentase terjadinya penyakit DM tipe 1 yaitu sekitar 10% dari total kejadian penyakit diabetes mellitus (Gillespie 2006). DM tipe 1 merupakan jenis penyakit diabetes mellitus yang berat karena penderita DM tipe 1 harus menerima injeksi insulin tiap waktu dalam sisa hidupnya (Radha et al. 2003). DM tipe 1 terbagi menjadi dua jenis yaitu DM tipe 1a dan DM tipe 1b. Mayoritas kasus yang terjadi pada DM tipe 1 adalah kerusakan sel beta pankreas yang disebabkan oleh autoimun yang termediasi (DM tipe 1a), sedangkan 10% hingga 20% kasus merupakan antibodi negatif yang disebut juga dengan idiopatik (DM tipe 1b) (Morwessel 1998).

(32)

disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendorong proses autoimun. Hal ini biasanya terjadi pada masa anak:anak sebelum menginjak usia 10 tahun. Mekanisme tersebut timbul setelah melewati periode prodromal yang dikarakterisasi oleh kerusakan sel beta pankreas secara bertahap (Morwessel 1998). Mekanisme kedua adalah reaksi superantigen yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas secara cepat pada selang waktu beberapa minggu atau bulan sebelum akhirnya timbul penyakit secara klinis (Trucco & Laporte 1995).

Insiden timbulnya DM tipe 1 memiliki variasi musiman dengan tingkat tertinggi menyerang anak:anak pada musim gugur dan musim dingin. Hal tersebut diprediksi oleh infeksi virus yang mempercepat terjadinya DM tipe 1 (Al: Mutairi et al. 2007). Hingga saat ini terdapat empat belas jenis virus, termasuk picornaviruses, rotaviruses, herpesvirusis, mumps, rubella, dan retroviruses yang dilaporkan berhubungan dengan timbulnya penyakit DM tipe 1 pada manusia dan hewan percobaan. Virus tersebut terlibat dalam patogenesis penyakit DM tipe 1 melalui dua jalan yaitu menginduksi autoimunitas spesifik sel beta pankreas dengan atau tanpa menginfeksi sel beta pankreas (contohnya pada Kilham rat virus), sedangkan jalan kedua yaitu melalui infeksi sitolitik dan perusakan sel beta pankreas (contohnya encephalomyocarditis virus mice) (Hee:Sook & Ji:Won 2002).

(33)

!"$

Patofosiologi DM tipe 2 dikarakterisasi oleh resistansi insulin periferal, terganggunya regulasi glukosa darah, serta penurunan fungsi sel beta pankreas yang akan menyebabkan rusaknya sel beta pankreas (Mahler & Adler 1999). Kejadian:kejadian utama tersebut dipercaya sebagai defisit awal sekresi insulin, serta defisiensi relatif insulin dalam hubungannya dengan resistensi insulin periferal pada kebanyakan pasien (Reaven 1998). Insulin merupakan salah satu hormon kunci untuk pengaturan glukosa darah yang pada kondisi fisiologi normal akan menjaga keseimbangan antara kuantitas insulin yang disekresikan dengan kualitas atau kemampuan insulin dalam proses pengambilan glukosa dari sistem portal ke dalam sel dan jaringan. Hal penting dalam mekanisme molekular tersebut adalah bahwa sel beta pankreas dapat beradaptasi jika terjadi perubahan sensitivitas dari insulin yang disekresikan. Dalam hal ini dapat dicontohkan jika sensitivitas insulin menurun, maka secara otomatis sel beta pankreas akan mengkompensasi atau mengimbangi dengan mengekskresikan insulin yang lebih banyak sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk penyerapan glukosa oleh sel dan jaringan (Stumvoll et al. 2005). Pada awalnya hal tersebut akan menimbulkan kondisi hiperglikemia yang menyebabkan konsentrasi glukosa darah pada kondisi puasa dan dua jam setelah asupan glukosa akan sedikit meningkat. Jika kondisi tersebut berlangsung secara kronis, maka sel beta pankreas yang memproduksi insulin akan mengalami kelelahan sehingga akan menimbulkan kerusakan pada sel beta pankreas. Kondisi disfungsi seluler kronis irreversible dari sel beta pankreas yang disebabkan oleh pengaruh konsentrasi glukosa yang tinggi pada setiap waktu diistilahkan dengan glukotoksisitas (Robertson et al. 2003).

(34)

(Robertson et al. 2003). Oleh karena itu, sel beta pankreas merupakan komponen kritis dalam patofisiologi DM tipe 2. Konsep tersebut diatas telah diverifikasi melalui penelitian baik secara cross sectional maupun longitudinal (Weyer et al. 1999).

Gambar 4 menunjukkan patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan sirkulasi asam lemak pada DM tipe 2. Terlihat berbagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis DM tipe 2 yang mempengaruhi sekresi insulin dan aksi insulin. Penurunan sekresi insulin akan menurunkan pensinyalan insulin pada jaringan target yang menyebabkan peningkatan sirkulasi asam lemak dan hiperglikemia diabetes. Peningkatan asam lemak dan glukosa dalam sirkulasi darah kemudian akan menimbulkan umpan balik serta memperburuk sekresi insulin dan resistensi insulin.

Gambar 4 Patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan sirkulasi asam lemak pada DM tipe 2 (Stumvoll et al. 2005)

!

(35)

Setelah kehamilan (postpartum), toleransi glukosa akan kembali lagi ke kondisi normal pada mayoritas penderita GDM (Cheung & Helmink 2006). Meskipun demikian, penderita GDM memiliki resiko yang tinggi untuk terkena IGT (impaired glucose tolerance) yang bisa berkembang menjadi penyakit DM tipe 2 di kemudian hari (Cheung & Helmink 2006). Berdasarkan meta analisis terkini, wanita yang menderita GDM akan memiliki resiko enam kali lebih besar untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan wanita yang memiliki toleransi glukosa normal pada saat kehamilannya (Cheung & Byth 2003). Prevalensi GDM sangat bervariasi tergantung pada kelompok etnis atau populasi tertentu (Cousins et al. 1991).

Kehamilan merupakan kondisi yang dikarakterisasi oleh resistensi insulin berkelanjutan yang dimulai pada awal pertengahan kehamilan dan berlanjut hingga trimester ketiga (Perkins et al. 2007). Pada kehamilan yang termasuk usia lanjut, sensitifitas insulin akan turun hingga sekitar 50% (Di Cianni et al. 2003). Terdapat dua kontributor utama yang mempengaruhi resistensi insulin yaitu peningkatan adipositas dari wanita yang sedang hamil serta pengaruh dari hormon yang diproduksi oleh plasenta. Melihat penurunan insulin yang nyata setelah melahirkan (post delivery), maka kontributor utama terhadap resistensi insulin adalah hormon yang diproduksi oleh plasenta (Perkins 2007). Plasenta memproduksi hormon HCS (human chorionic somatomammotropin, sebelumnya disebut human placental lactogen), kortisol bebas dan terikat, estrogen, serta progesteron. Hormon HCS menstimulasi sekresi insulin pankreas di fetus dan menghambat pengambilan glukosa periferal di tubuh ibu yang sedang mengandung (Lapolla et al. 2005). Seiring dengan berkembangnya kehamilan serta peningkatan ukuran plasenta, maka begitu juga diiringi dengan peningkatan hormon yang diproduksi oleh plasenta sehingga akan menyebabkan keadaan insulin yang lebih resisten (Perkins et al. 2007).

(36)

hiperplasia sel beta pankreas. Oleh karena itu, wanita yang memiliki defisit pada kapasitas sekresi insulin tambahan akan menderita GDM (Lapolla et al. 2005). Disfungsi sel beta pankreas pada wanita yang didiagnosa menderita GDM kemungkinan termasuk salah satu dalam tiga kategori yaitu autoimun, monogenic, atau terjadinya resistensi insulin (hal yang sering dijumpai pada saat kehamilan) (Buchanan & Xiang 2005). Kehilangan respon insulin fase pertama akan menyebabkan post prandial hiperglikemia yang akan mengakibatkan penekanan produksi glukosa hepatik sehingga akan menyebabkan fasting hiperglikemia. Dikarenakan insulin tidak melintasi plasenta, maka fetus akan terkena kondisi hiperglikemia dari ibu. Pada saat kehamilan minggu ke:11 dan ke:12, pankreas dari fetus mampu untuk merespon kondisi hiperglikemia tersebut sehingga fetus akan menjadi hiperinsulinemik yang akan menyebabkan pertumbuhan pada fetus menjadi makrosomia (Scollan:Koliopoulos 2006).

Perkins et al. (2007) menggolongkan kategori resiko serta karakteristik klinis GDM menjadi tiga golongan yaitu resiko tinggi, resiko rata:rata, dan resiko rendah. Pada kelompok resiko tinggi ditandai oleh karakteristik klinis yang berupa obesitas, memiliki sanak famili diabetes tingkat satu, glukosuria, sejarah menderita GDM atau IGT sebelumnya, memiliki bayi sebelumnya dengan makrosomia. Pada kelompok resiko rendah ditandai oleh usia kurang dari 25 tahun, termasuk dalam etnis resiko rendah (etnis selain Hispanic, African American, Native American, South Asian, East Asian, Pacific Islander atau suku asli Australian), tidak memiliki sejarah abnormalitas toleransi glukosa, memiliki berat badan normal dan peningkatan yang normal saat kehamilan, tidak memiliki sejarah hasil obstetrikal yang parah. Pada kelompok resiko rata:rata ditandai oleh ciri:ciri selain dari kedua kelompok di atas. Kadar glukosa darah yang dijadikan patokan dalam mendiagnosis tipe DM terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan rekomendasi ADA (2011), wanita yang memenuhi dua atau lebih indikator diagnosis kadar glukosa darah pada Tabel 1 berikut dipastikan terdiagnosa menderita GDM. Meskipun demikian, hasil studi juga menunjukkan jika wanita memenuhi salah satu indikator diagnosis untuk GDM diprediksi memiliki resiko tinggi dalam melahirkan bayi yang makrosomia (Perkins et al. 2007).

(37)

Tabel 1 Kadar glukosa darah acuan untuk diagnosis tipe DM

/-#$-* &#! '(+ /#& & *+ "$-'+ +

&-DM tipe 1 atau &-DM tipe 2 GDM

Random > 200 mg/dl :

Setelah puasa satu malam > 126 mg/dl >92 mg/dl 1 jam setelah 75 gr glukosa OGTT : >180 mg/dl 2 jam setelah 75 gr glukosa OGTT : >153 mg/dl

Keterangan :

DM tipe 1 (Diabetes mellitus tipe 1) DM tipe 2 (Diabetes mellitus tipe 2) GDM (Gestational diabetes mellitus) OGTT (Oral glucose tolerance test)

Sumber: ADA (2011)

$*/2$ -&(!#!# &2& (+ /#& (&#.& & &)

(38)

Gambar 5 Contoh glukometer dan glucose strip yang digunakan dalam pengukuran kadar glukosa plasma darah (Howell et al. 2008; Kuhn 1998)

Prinsip dasar reaksi kimia pada glukometer dapat dijelaskan secara sederhana dengan analogi enzim dan mediator (Howell et al. 2008; Kuhn 1998). Reaksi yang terjadi dapat disederhanakan dengan tiga tahapan yaitu :

1. Dengan bantuan enzim gluko:dehidrogenase, glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukonik, sedangkan enzim gluko:dehidrogenase akan direduksi oleh dua elektron dari glukosa tersebut.

2. Enzim yang tereduksi kemudian akan bereaksi dengan mediator (Mox) yang kemudian akan mentransfer elektron tunggal ke masing:masing kedua ion mediator. Enzim kemudian dikembalikan pada keadaan semula sedangkan dua Mox direduksi menjadi Mred.

3. Pada permukaan elektroda, Mred dioksidasi kembali menjadi Mox sedangkan arus yang timbul dan terukur kemudian digunakan untuk menentukan konsentrasi glukosa pada sampel.

(39)

glukosa dan elektroda melalui enzim dan mediator. Setelah berselang waktu selama beberapa detik kemudian konsentrasi glukosa akan ditampilkan pada layar monitor glukometer (Howell et al. 2008; Kuhn 1998).

Istilah nutraceutical merupakan hibrid atau gabungan antara ilmu gizi dan farmasi. Istilah tersebut pertamakali dikemukakan oleh DeFelice dan Foundation for Innovation in Medicine pada tahun 1989. Hal tersebut kemudian dinyatakan kembali dalam konferensi pers yang dirilis pada tahun 1994 bahwa nutraceutical merupakan segala substansi yang dapat digolongkan sebagai pangan atau bagian dari pangan yang memberikan nilai tambah secara medis dan kesehatan termasuk juga dalam hal pencegahan dan pengobatan. Produk pangan atau bagian dari pangan tersebut dapat berupa isolated nutrients, pangan yang termodifikasi secara genetis, produk herbal, serta dalam bentuk pangan yang sudah mengalami proses pengolahan seperti sereal, sup, dan produk minuman. Nutraceutical juga dapat didefinisikan sebagai zat kimia dalam bentuk komponen alam yang terdapat dalam bahan pangan atau bentuk yang ditambahkan dalam bahan pangan yang dapat dikonsumsi serta dapat memberikan manfaat kepada tubuh manusia dalam mencegah atau mengobati satu atau lebih jenis penyakit serta juga dapat memperbaiki dan meningkatkan fungsi fisiologis tubuh (Wildman & Kelley 2007).

(40)

nutraceutical dapat digolongkan berdasarkan mekanisme aksinya yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Penggolongan nutraceuticals berdasarkan mekanisme aksinya

-*! &- $

CLA (conjugated linoleic acid) CP (casein phosphopeptides) DHA (docosa hexenoic acid) EPA (eicosa pentaenoic acid) FOS (fructooligosaccharides) GLA (gamma linolenic acid) I3C (Indole 3 carbonol)

MUFA (monounsaturated fatty acid) PUFA (polyunsaturated fatty acid)

Sumber : Wildman & Kelley (2007)

(41)

yang memberikan manfaat kesehatan diluar fungsi nilai gizi normalnya. Definisi lainnya dikemukakan oleh The International Life Sciences Institute of North America (ILSI) yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang melalui kandungan komponen aktifnya secara fisiologis dapat memberikan manfaat kesehatan di luar fungsi nilai gizi normalnya. Definisi yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Health Canada yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memiliki wujud penampakan sama dengan pangan konvensional dan dikonsumsi sebagai bagian dari asupan makanan yang memiliki nilai tambah manfaat secara fisiologis di luar fungsi nilai gizi normalnya sehingga dapat menurunkan resiko penyakit kronis (Wildman & Kelley 2007). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat ditarik makna bahwa pangan fungsional merupakan bagian dari nutraceuticals.

Konsep pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 1984 dengan istilah FOSHU (Food for Special Dietary Uses). Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya populasi orang tua di Jepang yang berpotensi terhadap peningkatan chronic non communicable diseases seperti diabetes,penyakit jantung koroner, hipertensi, osteoporosis, dan kanker. Berlatar belakang hal tersebut, maka Japanese Ministry of Education pada tahun 1984 mencanangkan proyek pengembangan dan penelitian yang memfokuskan pada sifat fungsional pada pangan. Proyek tersebut merupakan proyek penelitian mengenai pangan fungsional yang pertama kali di dunia dengan melibatkan peneliti antar disiplin ilmu seperti ilmu gizi, farmakologi, psikologi, dan kedokteran (Yamada et al. 2008).

(42)

atau ditambahkan nilai manfaatnya. Substansi yang terdapat di dalamnya dapat berupa komponen bioaktif untuk memelihara fungsi normal tubuh dan pertumbuhan serta dapat memberikan efek postif pada kesehatan dan fisiologis yang dikehendaki.

Goldberg (1993) menyatakan bahwa suatu pangan dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional jika memiliki tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu: (1) Merupakan makanan atau minuman (bukan kapsul, tablet, atau serbuk) yang mengandung senyawa bioaktif tertentu yang berasal dari bahan alami; (2) Harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari:hari; (3) Memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan biologis, mencegah dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan dini. Hingga akhir tahun 2007, Jepang sudah memberikan label FOSHU pada 755 produk pangan. Klaim kesehatan untuk produk FOSHU di Jepang diklasifikasikan menjadi delapan kelompok yang memberikan efek kesehatan untuk kondisi indeks glikemik, tekanan darah, kadar serum kolesterol, kadar glukosa darah, absorpsi mineral, darah yang bebas lemak, kesehatan gigi, serta kesehatan tulang (Yamada et al. 2008).

$)

Teh merupakan salah satu minuman yang paling populer dikonsumsi dua pertiga populasi di dunia. Selain itu, teh juga merupakan jenis minuman yang memiliki sejarah tua yang panjang di dunia (Sinija et al. 2007). Teh berasal dari tanaman Camellia sinensis yang dapat tumbuh secara optimal di wilayah tropis dan sub:tropis. Tanaman Camellia sinensis merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara yang didominasi di daerah timur laut India, utara Myanmar, selatan Cina, dan Tibet (Mondal 2007). Berdasarkan studi budidaya teh di Cina, tanaman teh yang ditanam pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut akan menghasilkan kualitas teh yang baik, karena pada ketinggian ini tanaman teh akan tumbuh secara lambat sehingga akan dihasilkan kualitas flavor yang baik.

Gambar

Gambar 4  Patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan sirkulasi asam lemak
Gambar 5 Contoh glukometer dan glucose strip yang digunakan dalam
Tabel 2 Penggolongan nutraceuticals berdasarkan mekanisme aksinya
Gambar 6 Tiga jenis utama teh (A. Teh hijau (http://www.nihaoteahouse.com);
+7

Referensi

Dokumen terkait

Semakin tinggi dosis fraksi etanol daun kratom yang diberikan menyebabkan waktu untuk balik badan dan keluar tabung lebih lama, serta waktu jatuh yang lebih cepat

PERANCANGAN DASHBOARD FINANSIAL USAHA PETERNAKAN SAPI POTONG DENGAN METODE USER CENTERED DESIGN MENGGUNAKAN POWER BI (STUDI KASUS: KARAPAN.ID).. FINANCIAL DASHBOARD

Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah PT Alam Agung Lestari sebaiknya memadukan sistem pemasaran offline dengan sistem pemasaran online supaya dapat memanfaatkan

umum dikenal sebagai sumber belajar adalah buku dan guru. Sesuai dengan hasil wawancara dengan para informan dalam penelitian ini, Media Online dianggap mempunyai daya

Selanjutnya adalah analisis penguasaan konsep siswa kategori kurang yang terjadi pada indikator menentukan waktu tempuh benda yang bergerak horizontal (soal nomer 2),

Dalam hal pengembangan MSMEs khususnya berupa Industri Kecil dan Menengah (IKM), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri),

Sedangkan nilai keterampilan responden pada kelompok intervensi setelah diberikan penyuluhan didapatkan didapatkan nilai minimum sebesar 11, nilai maksimum sebesar

Menurut SNI 03 – 1726 -2002 2002 mengenai ”Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung” peluang dilampauinya beban tersebut dalam kurun waktu umur gedung 50