• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah : Studi Kasus Di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,Malaysia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah : Studi Kasus Di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,Malaysia"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN SULH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HADHANAH (STUDI KASUS DI MAHKAMAH SYARIAH WILAYAH PERSEKUTUAN

KUALA LUMPUR, MALAYSIA)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Mohd Norman Shah bin Mohd Yaziz NIM : 105044103554

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PELAKSANAAN SULH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HADHANAH (STUDI KASUS DI MAHKAMAH SYARIAH WILAYAH PERSEKUTUAN

KUALA LUMPUR, MALAYSIA)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Mohd Norman Shah bin Mohd Yaziz NIM : 105044103554

Pembimbing I : Pembimbing II :

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA Fahmi Muhammad Ahmadi, MS.I

NIP : 150 169 102 NIP : 150 326 914

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Desember 2008

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat, dan hidayah serta rahmatNya. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya yang telah membawa dan menyebarkan agama Islam sebagai hidayah kepada jalan yang benar dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Skripsi ini berjudul : PELAKSANAAN SULH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HADHANAH (STUDI KASUS DI MAHKAMAH SYARIAH WILAYAH PERSEKUTUAN KUALA LUMPUR MALAYSIA), untuk memenuhi dan sekaligus melengkapi syarat-syarat dalam mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari pelbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat Bapak :

(5)

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah dan Kamarusdiana, S.Ag, M.H, selaku Seketaris Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, dan Fahmi Myhammad Ahmadi, Ms.I, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan petunjuk, arahan, dan masukan kepada penulis hingga tuntas skripsi ini Hanya Allah SWT memberikan ganjaran yang berlipat ganda atas jasa baiknya kepada penulis.

4. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga terima kasih yang sebesar-besarnya kepada staf perpustakaan, karyawan-karyawan yang banyak membantu penulis memfasilitasi penyelesaian penulisan skripsi ini.

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Maslah ... 5

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II SULH MENURUT PERSPEKTIF ISLAM A. Pengertian Sulh... 11

B. Landasan Hukum Sulh ... 13

C. Rukun Sulh ... 17

D. Syarat Sulh ... 21

E. Hikmah Sulh... 24

BAB III HADHANAH DALAM AKTA UNDANG-UNDANG A. Pengertian Hadhanah Dan Dasar Hukumnya ... 30

(7)

C. Masa Hadhanah ... 44

D. Hadhanah dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984 ... 45

BAB IV PERAN SULH TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA HADHANAH DI MAHKAMAH SYARIAH WILAYAH PERSEKUTUAN KUALA LUMPUR MALAYSIA A. Gambaran Umum Tentang Sulh di Mahkamah Syariah ... 52

B. Tatacara Pelaksanaan Sulh di Mahkamah Syariah ... 55

C. Sulh dalam Kasus Hadhanah ... 63

D. Analisis Penulis ... 69

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 74

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN 1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 79

2. Surat Permohonan Mendapatkan Data / Wawancara ... 80

3. Format Perjanjian Penyelesaian (Sulh) ... 85

(8)

5. Statistik Kasus Devisi Sulh Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur Tahun 2006 ... 89 6. Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984

(Bagian Penjagaan Anak-anak atau Hadhanah) ... 90 7. Struktur Organisasi Mahkamah Syariah Wilayah-wilayah

Persekutuan ... 95 8. Formulir Pendaftaran Gugatan / Permohonan Perkara ... 97 9. Akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah

Persekutuan) 2006 ... 99 10.Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Wilayah-wilayah

Persekutuan) 1998 ...100 11.Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh) (Wilayah-wilayah

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap pasangan yang mengambil keputusan untuk menikah pasti memimpikan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera serta kekal selamanya. Namun, disebabkan berbagai masalah yang timbul disertai dengan tidak adanya kemampuan untuk menghadapinya, mahligai indah akhirnya punah dilanda gelora. Jika pada saat bersama sering terjadi sengketa, maka perceraian juga semakin mempersulit keadaan apabila soal nafkah, mut’ah dan hadhanah dibawa ke mahkamah (pengadilan). Walaupun Islam menghalalkan talak, namun bukan berarti pasangan yang memilih untuk bercerai dibiarkan berselisih untuk mendapatkan hak dan sebagainya.

Sebaliknya, sikap ingin berdamai serta saling toleransi sangat dianjurkan agar semua masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan cepat dan adil. Penyelesaian secara damai atau sulh sangat dianjurkan untuk menghentikan perselisihan. Salah satu ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa perdamaian adalah salah satu cara yang dianjurkan dan disyari’atkan untuk menyelesaikan masalah adalah firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 128 sebagai berikut:

!" # ﻡ % & '( ﻡ

)*+! ,-". / 0

' & * +1

2 3

2 1ی

5& #6

7 8) ) 9 :);6

26

<

=

>

?

(10)

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan isterimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sungguh, Allah adalah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Nisa, 4:128)

Salah satu bentuk perdamaian adalah dengan proses sulh. Konsep ini dapat mencapai keadilan yang mana tidak ada pihak yang menang atau kalah karena keputusan dibuat dengan persetujuan bersama. Bahkan, ijma’ ulama juga berpendapat bahwa penyelesaian secara sulh adalah lebih tepat dalam mencapai keadilan karena kedua belah pihak lebih mengetahui hak yang seharusnya mereka dapatkan.

Hal ini berbeda dengan keputusan melalui persidangan karena pihak yang lebih pandai beralasan cenderung untuk menang yang berarti memperoleh sesuatu yang bukan haknya. Hal yang demikian itu mendapat ancaman berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari sebagai berikut:

% A

B C D ﺱ FG

?

8

B)3

H ﺱC H A

)ﺱ

:

)B

1;I6 J)"

K

8;)L2 2

J0# )M#

NO# ﻡ

K

ﻡ P ﺱ ﻡ 2" B 8 Q0A.

8

R

ﻡ 8 %#SA

C )

ﻡ D#SA 8 PSA )"9 . ﺵ 8 & FU

R

<

8

U-;ﻡ

@

1

Artinya: “Dari Ummu Salamah r.a, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kepadaku. Barangkali sebagian diantara kalian ada yang lebih pandai mengemukakan hujah daripada yang lain, maka aku memberikan keputusan yang menguntungkannya berdasarkan yang aku dengar darinya. Barangsiapa yang aku berikan sepotong dari

1

(11)

hak saudaranya, itu berarti aku memberikannya sepotong api neraka.” (Muttafaq ‘alaih)

Penyelesaian dengan cara sulh ini sangat dianjurkan karena adakalanya keputusan mahkamah tidak dapat memuaskan hati para pihak yang bersangkutan. Sedangkan sulh adalah lahir dari rasa toleransi dan sukarela yang akhirnya membawa penyelesaian yang dibuat secara sepakat. Seandainya masalah-masalah keluarga masih dapat diselesaikan secara musyawarah, maka sewajarnya jika diselesaikan tanpa melibatkan mahkamah. Ini akan menjadikan Mahkamah Syariah yang telah ada menjadi tempat rujukan dan persidangan untuk persoalan-persoalan yang lebih berat dan kompleks.

Sulh menurut syara’ ialah suatu akad untuk mengakhiri persengketaan di antara dua pihak yang bersengketa atau akad untuk menyelesaikan pertikaian dengan sukarela melalui ijab dan kabul.2 Sulh dapat dilaksanakan dengan sukarela tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Dalam usaha menyelesaikan persengketaan secara adil, perkara pertama yang perlu dilakukan oleh qadi atau hakim ialah menganjurkan pihak-pihak yang bersangkutan untuk berdamai. Dengan demikian, semua pertikaian dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat tanpa rasa benci dan dendam.

Fenomena yang sering timbul di Mahkamah Syariah apabila terjadi perceraian adalah tuntutan pasca perceraian dari kedua belah pihak yaitu si suami dan si istri dalam menuntut hak masing-masing. Di antara tuntutan yang diajukan

2

(12)

adalah mut’ah, harta bersama, dan nafkah hutang. Selain itu, persoalan yang sering menimbulkan persengketaan suami-istri setelah pembubaran perkawinan ialah hak penjagaan anak atau hadhanah.

Sesuai dengan fitrah seorang ibu yang melahirkan dan menyusukan anak, Islam memberikan keutamaan kepada mereka untuk mendapatkan hak penjagaan atau hadhanah. Meskipun demikian, bukan berarti apabila terjadi penceraian, seorang ayah tidak berhak langsung karena dalam keadaan tertentu mereka juga diberi keutamaan. Adapun yang menimbulkan masalah ialah apabila mereka yang terlibat dalam kasus pengasuhan anak menunjukkan keinginannya masing-masing untuk menang sehingga bisa menggunakan segala macam cara.

Di Malaysia, perceraian seolah-olah dijadikan alasan bahwa pengasuhan anak akan menjadi hak mutlak bagi satu pihak saja. Akhirnya, sikap tamak dan ingin menguasai perhatian anak ini mendorong pihak yang menang untuk menghalang-halangi ayah atau ibu menjenguk anak-anaknya walaupun terdapat perintah mahkamah mengenai perkara tersebut. Menurut penulis, hadhanah bukan sesuatu yang mutlak baik untuk ayah atau ibu. Semua itu bersifat sementara karena anak adalah hak dan tanggungjawab bersama walaupun setelah terjadi perceraian.

(13)

tuntutan hak masing-masing pihak. Oleh karena itu, bermusyawarah adalah langkah terbaik agar pertikaian dapat diselesaikan secara sulh antara kedua belah pihak.

Menyingkap masalah hak pengasuhan anak dari segi undang-undang Islam, kasus-kasus yang pernah terjadi serta cara-cara mengatasinya. Penelitian ini semakin penting bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa sulh belum banyak dikenal di kalangan publik, karenanya hasil penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan baik secara individu maupun institusi untuk memilih sulh sebagai alternatif penyelesaian sengketa (ADR) yang terbaik. Inilah landasan kuat bagi penulis untuk melakukan penelitian dengan memilih judul :

“Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi di

Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia).”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini terarah, maka penulis membatasi masalah dalam skripsi sekitar pandangan Islam tentang konsep sulh serta pelaksanannya di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur. Dalam skripsi ini juga, pembatasan masalah adalah sekitar pelaksanaan sulh dalam kasus hadhanah yang dibawa ke Mahkamah (pengadilan).

(14)

Masalah skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut : “Masyarakat Malaysia khususnya, kurang memahami bahwa Mahkamah Syariah adalah tempat rujukan terakhir untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mengenai keluarga. Akibatnya, masyarakat begitu cepat mengajukan pertikaiannya untuk disidang dan diputuskan oleh hakim. Sedangkan, semua ini semestinya dapat diselesaikan dengan mudah di luar mahkamah dengan menggunakan konsep sulh. Hal ini yang ingin penulis selesaikan dalam penulisan skripsi ini”.

Rumusan tersebut di atas dapat penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Apa saja ketentuan Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984 yang mengatur tentang Hadhanah?

b. Bagaimanakah pelaksanaan prinsip sulh (mediasi) di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai melalui penelitian sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

(15)

2. Untuk mengetahui bagaimana sulh dilaksanakan di Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur menurut Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984.

Manfaat dari penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Agar dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sulh (mediasi)

2. Dalam tatanan praktis, penulis mengharapkan agar dapat menambah referensi atau pengetahuan bagi para mahasiswa syariah dan seluruh umat Islam di Indonesia,

3. Menambah khazanah di bidang keilmuan di Indonesia khususnya perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,

4. Untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan gelar SHI pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia.

D. Metode Penelitian

Untuk menyelesaikan penelitian ini, maka penulis menggunakan metode-metode berikut:

1. Penentuan Jenis Data

(16)

2. Sumber data

Adapun metode yang digunakan penulis untuk mendapatkan data-data atau informasi dalam penelitian ini adalah:

a. Primer : Sumber primer yaitu Akta Tatacara Mal Mahkamah Syariah

(Wilayah-wilayah Persekutuan) 1998 Akta 585, Kaedah-kaedah Tatacara Mal (Sulh) (Wilayah-wilayah Persekutuan) 2004 dan Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984 serta putusan-putusan berdasarkan persetujuan bersama yang melibatkan gugatan perkara hadhanah yang diambil dari asip mahkamah.

b. Sekunder : Sumber sekunder, yaitu mengambil literatur-literatur

tambahan yang berkenaan dengan pembahasan seperti kitab-kitab fikih yang muktabar.

c. Tertier : Sumber tertier merupakan data perlengkapan yang terdiri

daripada majalah, jurnal ensiklopedia, kamus dan sebagainya. 3. Pengumpulan data

(17)

4. Analisis data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagi sumber, baik primer maupun sekunder. Setelah dipelajari dan ditelaah maka langkah penulis berikutnya adalah mengolah data, dengan jalan merangkum masalah yang penulis teliti. Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode pendekatan falsafi. Dan dalam pengambilan kesimpulan, penulis menggunakan metode yuridis normatif, yaitu suatu metode yang menggambarkan suatu masalah berdasarkan kepada norma hukum yang berlaku.

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini penulis menguraikan secara sistematis Penulisan skripsi ini dibagi kepada tiga bab sebagai berikut:

1. Bagian Awal terdiri dari: halaman sampul, halaman judul, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, kata pengantar, daftar isi. 2. Bagian Tengah merupakan isi, terdiri atas uraian masalah yang dibagi menjadi

bab-bab seperti berikut:

(18)

Bab kedua membahaskan tentang Sulh menurut perspektif Islam. Menjelaskan tinjauan umum tentang sulh yang terdiri dari: pengertian sulh, landasan hukum sulh, rukun dan syarat sulh serta hikmah sulh.

Bab ketiga yaitu Tinjauan Umum tentang Hadhanah. Membahas sekilas tentang hadhanah yang terdiri dari : pengertian hadhanah dan dasar hukumnya, orang yang berhak hadhanah serta syarat dan rukunnya, masa hadhanah, serta hadhanah dalam Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984.

Bab keempat adalah mengenai Peran Sulh Terhadap Penyelesaian Sengketa Hadhanah Di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur Malaysia. Membahas tentang peran sulh terhadap penyelesaian sengketa hadhanah yang terdiri dari: Gambaran Umum Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Tatacara Pelaksanaan Sulh di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, contoh-contoh gugatan perkara Hadhanah yang melibatkan Sulh dan analisis penulis.

(19)

BAB II

SULH MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

A. Pengertian Sulh

Sulh dari segi bahasa artinya memutuskan suatu pertikaian (khushumah). Adapun dari segi syara' artinya suatu akad untuk mencegah pertikaian (khushum) antara dua pihak yang bertikai3.

Sulh juga dapat diartikan sebagai suatu akad yang dilakukan untuk menghilangkan pertikaian. Atau juga bermaksud suatu akad yang bertujuan untuk mencapai islah, yaitu perdamaian di antara kedua belah pihak yang berselisih4.

Sulh juga dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan untuk menghilangkan pertikaian dan menyelesaikan persengketaan antara kedua belah pihak dengan kerelaan keduanya5

Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam, sulh diartikan sebagai perdamaian (composition), penyelesaian (settlement)6 sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Quran di dalam surah An-Nisa’ ayat 128. Firman Allah SWT :

3

As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah,(Beirut: Darul Kitab Al-‘Arabi, 1971), Juz III, h. 303.

4

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik: Darul al-Fikr, 1984), Juz V, h. 293.

5

Kementerian Wakaf dan hal Ehwal Islam Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, (Kuwait: Wizarat al-Awqaf wa-al-Shu'un al-Islamiyah, 1989), Cet 1 Juz X, h. 144.

6

(20)

!" # ﻡ % & '( ﻡ

)*+! ,-". / 0

' & * +1

2 3

2 1ی

5& #6

7 8) ) 9 :);6

26

<

=

>

?

@

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan isterimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sungguh, Allah adalah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Nisa, 4:128)

Sedangkan pengertian Sulh dalam Al-Ahkam Al-Adliyyah pasal 1531 yaitu: “Sulh ialah satu kontrak bagi menyelesaikan pertikaian dengan cara persetujuan. Ia berlaku dengan ijab dan qabul.”7

Di samping itu, terdapat beberapa istilah fiqh yang berkaitan dengan ‘Sulh’ di dalam Al-Ahkam Al-Adliyyah adalah:

Pasal 1532 : “Musalih ialah orang yang membuat kontrak sulh (kompromi).” Pasal 1533 : “Musalih ‘Alaihi ialah ganti (harga) sulh.”

Pasal 1534 : “Musalih ‘anhu ialah barang yang dituntut oleh orang yang mendakwa (mudda‘abih).”8

7

Mohd Akhir Haji Yaacob, Undang-Undang Sivil Islam, Terjemahan; Ahkam Al-Adliyyah, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), h. 503.

8

(21)

B. Landasan Hukum Sulh

Dasar tentang konsep sulh banyak terdapat dalam Al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’. Di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Dasar dari Al-Qur’an al-Karim

Oleh karena sulh merupakan suatu konsep dan jalan untuk menyelesaikan permusuhan yang sangat dianjurkan dalam syariat Islam, terdapat banyak ayat-ayat suci Al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep persoalan ini.

Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 128 :

!" # ﻡ % & '( ﻡ

2 1ی

)*+! ,-". / 0

' & * +1

2 3

5&

#6

7 8)

) 9

:);6

26

<

=

>

?

@

Artinya : “Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia menurut tabiatnya itu kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ , 4:128)

Firman Allah SWT :

NV #ﻡ

NDAW1 ﻡ ﻡ ) X L" ﻡ N Y7 Q

&

V

8) (

ﻡ = Z; [ \ M#-ی ﻡ ] )

N 3

^

8 6_"

<

=

(22)

Artinya : “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’, 4:114)

Firman Allah SWT :

%Z

9

2 3. ;;A

ﻡ_

;-` a

ﻡ B =Q-6 B); QZ56 Q;) 6 : b &. B

X W

) S A HW#

2 3. /=

9 8)

+c2ی 8)

S :

<

/ L2

>

de

?

e

@

Artinya : “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat, 49:9)

2. Dasar dari al-Hadits

Rasulullah SAW merupakan utusan Allah yang menjadi contoh dan teladan dalam semua perkara. Selain menyampaikan risalah, baginda juga mempunyai peran untuk menerangkan lebih terperinci tentang perintah atau kehendak syariat Islam itu sendiri. Oleh karena itu, kita dapat menemukan beberapa buah hadis yang menerangkan tentang sulh.

(23)

H ﺱC ) 8

B C BF"f

NV

N

H A )ﺱ 8

B)3

?

2 3 )

'f` * +1

)M

GF

R

)

a ﺵ B

ﻡ_

)M

G)

a= ﺵ

< R

bgﻡ ; h C

@

9

Artinya : “Dari Amr bin ‘Auf al-Muzanni; Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu diperbolehkan antara sesama muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan perkara halal atau menghalalkan perkara yang haram. Orang muslim selalu diikutkan persyaratannya, kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram.” (HR. at-Tirmizi)

Hadits ini dikatakan termasuk dalam hadits hasan shahih. Pengertian di atas secara jelas menerangkan tentang keharusan sulh yang berdasarkan pada batas-batas ketentuan syara’.10

Sabda Rasulullah SAW:

% A Wیfی % = ﺱ

?

8

)B 3

H ﺱC H A

)ﺱ

?

Nijﺙ B )l mgJ +M2یl

?

86 ﻡ M ) iFW2ی

K

m 2 B mgJ

K

* 1 mgJ

] )

R

<

h C

bgﻡ ;

@

11

Artinya : “Dari Asma’ binti Yazid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak halal berdusta kecuali dalam tiga perkara yaitu seorang bercerita kepada istrinya untuk menyenangkannya, berdusta dalam peperangan dan berdusta untuk mendamaikan antara orang yang bertikai.” (HR. at-Tirmizi)

9

Muhammad ibn Isma`il al-San`ani, Subul salam : sharh Bulugh maram min jam` al-ahkam, (Qahirah: Maktabah ‘Atif, 1979), Juz III, h. 883.

10

Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah al-Termizi, Sunan al-Termizi, Terjemahan Moh. Zuhri, (Semarang : CV Asy Syifa’, 1992), Jil II, h. 703.

11

(24)

Semua hadits di atas adalah sebagian hadits yang menerangkan tentang keharusan dan anjuran pelaksanaan sulh. Selama berada dalam batas-batas syara’, Rasulullah SAW menjelaskan betapa pentingnya sulh ini sehingga Allah SWT tidak menganggap dosa mereka yang berdusta semata-mata untuk tujuan tersebut.

3. Dasar dari Ijma’

Jumhur ulama telah sepakat tentang pensyariatan sulh karena tergolong akad yang dapat mendatangkan faedah kepada seluruh masyarakat. Ijma’ ini adalah berdasarkan pada dalil-dalil dari nas-nas seperti yang dikemukakan tadi.12

Di samping itu para ulama’ juga berpedoman kepada amalan-amalan yang telah dilakukan oleh para sahabat khususnya sahabat-sahabat besar baginda Rasulullah SAW pada zaman Khulafa Al-Rasyidin. Sebagai contoh, Sayyidina Umar Al-Khattab r.a pernah menegaskan : “Sulh adalah harus. Hakim hendaklah memberi peluang kepada pihak-pihak yang bermusuhan mengadakan sulh. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa sulh tidak

12

(25)

boleh dilakukan untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”13

Beliau juga pernah berkata : “Kembalikanlah persengketaan sehingga mereka berdamai karena sesungguhnya yang diputuskan di mahkamah (pengadilan) akan menimbulkan dendam.”14

C. Rukun Sulh

Menurut mazhab Hanafi, rukun sulh hanya dua perkara yaitu ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan) ataupun apa saja yang memberikan pengertian keduanya.

Sedangkan menurut pendapat jumhur ulama’ terdapat empat rukun sulh seperti berikut :

1. Dua pihak yang berakad

Mereka adalah pihak yang menuntut sulh dan pihak yang dituntut sulh. Mereka ini dikehendaki memenuhi syarat sebagai orang yang berakal sehat dan dewasa, mempunyai kuasa dalam harta benda. Jika sulh itu untuk seseorang yang di bawah umur hendaknya sulh itu tidak membawa keburukan yang nyata kepadanya, baik sebagai pihak yang menuntut atau yang dituntut.15

13

Yasin Muhammad Yahya, ‘Aqd Sulh Baina Muqaranah Fiqhiyah wa Qanun al-Madani : Dirasah Muqaranah Fiqhiyyah, Qadaiyyah, Tasri’iyyah, (Beirut : Dar al-Fikr, 1978), h. 126.

14

Arnus Muhammad Mahmud, Tarikh al-Qadha fi al-Islam, (Kairo : Matba’ah Al-Misriyyah al-Hadithah, tth), h. 13.

15

(26)

Contohnya :

Seorang anak di bawah umur menjadi pihak yang dituntut dan walinya membuat suatu sulh atas sebagian dari harta anak itu setara dengan hak yang tertanggung atasnya atau dengan suatu ukuran yang lebih rendah akan tetapi biasa dilakukan oleh orang banyak. Sulh seperti ini adalah sah karena sama dengan pertukaran barang hak milik dan seorang wali diberi wewenang menentukannya dengan ukuran yang sedikit lebih rendah.

2. Sighah (ijab dan qabul)

Kedua belah pihak hendaklah menyatakan tawaran dan penerimaan (ijab dan qabul).

Contohnya :

Pihak yang dituntut yang menganjurkan sulh menyatakan, “Saya menawarkan sulh kepada Anda untuk perkara……… Dengan kadar ………..” Pihak yang satu lagi menjawab, “Saya menerima tawaran itu dan sebagainya ……….”, yang menunjukkan adanya kerelaan dan penerimaannya.16

3. Perkara yang dipertikaikan

Adanya hak yang dituntut oleh yang penuntut disertakan dengan permohonan supaya sulh itu dibuat sebagai ganti dengan suatu benda, hutang atau manfaat. Hak yang dituntut itu hendaklah memenuhi beberapa syarat seperti berikut :

16

(27)

a. Hak itu merupakan sesuatu yang termasuk hak anak Adam, baik yang berbentuk harta benda atau bukan harta benda seperti hak qisas.

Contohnya :

Seseorang mempunyai hak qisas terhadap orang lain dan orang itu sepakat sulh dengan jaminan harta benda sebagai ganti. Sulh itu harus; walaupun ganti yang disepakati itu dalam bentuk hutang seperti seribu dinar. Jika ganti itu dalam bentuk hutang, hendaklah diterima dalam majlis penerimaan sulh itu supaya tidak terjadi pertukaran hutang dengan hutang yang lain. Penyelesaian secara sulh dalam perkara qisas meliputi qisas nyawa atau qisas anggota yang lain. Jika sulh dibuat dalam perkara yang dikategorikan hak Allah SWT seperti dalam kasus zina dengan ukuran harta yang diterima sebagai alternatif supaya perkara tidak dibawa ke mahkamah, dengan matlamat hukuman tidak dikenakan had, maka sulh demikian tidak sah karena hukuman had adalah hak Allah dan ia tidak menerima ganti.17

b. Hak itu menjadi sebagian dari hak pihak yang menganjurkan sulh. Seandainya itu bukan haknya, sulh tidak sah dibuat olehnya kecuali dalam kasus orang yang di bawah penjagaannya.

Contohnya :

Seorang perempuan yang sudah bercerai menuduh anak di bawah penjagaannya adalah anak dari suami yang menceraikannya sedangkan

17

(28)

suaminya menyangkal itu semua dan perempuan itu hanya mengajukan sulh. Sulh itu adalah tidak sah karena masalah nasab itu adalah hak anak tersebut dan bukan haknya, oleh karena itu ia tidak mempunyai wewenang untuk mengajukan sulh dalam perkara itu.18

4. Adanya ganti sulh

Ganti yang akan diterima oleh pihak yang menuntut dari pihak yang dituntut sebagai alternatif terhadap tuntutan haknya, ganti ini harus memenuhi syarat-syarat :

a. Berupa harta yang sah menurut syara’.

Sesuatu yang tidak diakui sebagai harta yang sah menurut syara’, tidak boleh menjadi alternatif dalam jual beli, begitu juga tidak boleh menjadi alternatif dalam sulh.19

Tidak jadi soal jika harta yang menjadi ganti itu suatu benda (ain) contohnya seperti sajadah, hutang atau faedah. Semua itu dapat menjadi ganti dalam jual beli dan muamalat. Oleh karena itu, juga sah menjadi ganti dalam sulh.20

b. Berupa sesuatu yang dimiliki oleh yang menganjurkan sulh.

Sekiranya ia membuat sulh dengan sesuatu yang nyata tetapi ia tidak memilikinya, sulh yang dibuat itu adalah batal, walaupun pihak yang

18

Ibid., h. 179.

19

Ibid., h. 179.

20

(29)

menerima sulh itu sudah menerimanya karena sulh yang dibuat itu dengan suatu benda yang bukan milik pihak yang membuat sulh. Contohnya seperti barang yang dicuri atau dirampas atau sebagainya.

c. Merupakan sesuatu yang diketahui oleh kedua belah pihak.

Ketidaktahuan pengganti sulh akan menimbulkan perselisihan antara pihak-pihak yang terlibat dan keadaan ini merusak suatu akad.21

D. Syarat Sulh

Antara syarat-syarat sulh ialah:

1. Berkaitan pihak yang melakukan sulh (berdamai) a. Berakal

Sulh tidak sah dilakukan orang gila dan anak-anak yang tidak berakal karena mereka tidak cakap untuk mengurus dan membelanjakan harta mereka. Jika sulh dilakukan oleh walinya dan mendatangkan kerugian atas harta mereka, maka dianggap tidak sah. Hal ini karena seorang wali tidak berhak membelanjakan harta milik orang yang berada di bawah penjagaannya. Namun, jika sulh yang dilakukan mendatangkan kebaikan bagi mereka, maka dibenarkan oleh syara’.22

21

Ibid., h. 181.

22

(30)

b. Orang yang melakukan sulh untuk anak-anak, anak yatim dan harta wakaf harus terdiri dari orang yang cakap dan diberi hak untuk mengurus harta tersebut.

c. Pihak-pihak yang melakukan sulh tidak terdiri dari golongan yang murtad. Syarat ini hanya terdapat di dalam mazhab Hanafi saja. Ini karena mazhab ini tidak mengakui semua urusan orang yang murtad. Sedangkan menurut jumhur ulama, sulh golongan yang murtad adalah sah23

2. Berkaitan dengan sesuatu yang dijadikan sulh a. Berupa harta yang bernilai

Tidak sah melakukan sulh menggunakan bangkai, arak, babi, dan barang-barang lain yang tidak diakui oleh Islam sebagai harta yang bernilai. Hal ini karena sulh mestilah dilakukan dengan pertukaran. Oleh karena itu, suatu barang yang tidak sah dijadikan pertukaran dalam urusan jual beli adalah tidak sah digunakan dalam pelaksanaan sulh. Tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa jika sulh itu telah sempurna meskipun dengan menggunakan sesuatu yang tidak sah digunakan sebagai pertukaran, sulh tersebut tetap diterima. Hal ini karena sulh yang dilakukan menunjukkan bahwa kedua belah pihak tidak menghendaki pertukaran semata. Tetapi mereka saling ridha-meridhai antara satu sama lain24

23

Ibid., h. 300.

24

(31)

b. Harta tersebut berada di bawah kepemilikan sempurna pihak-pihak yang ingin melakukan sulh.

c. Harta yang digunakan dalam pelaksanaan sulh harus diketahui oleh kedua belah pihak. Syarat ini bertujuan untuk menghindari ketidakpuasan salah satu pihak yang akan menyebabkan terjadinya permusuhan yang berkepanjangan25

3. Hak yang dipertikaikan

a. Berupa suatu harta, manfaat atau hak yang mempunyai nilai di sisi syara’. b. Berupa sesuatu yang hanya melibatkan hak manusia, baik dalam bentuk

harta, manfaat ataupun hak-hak yang tidak melibatkan harta seperti qisas dan ta’zir. Ini berarti sulh tidak sah dilakukan dalam perkara-perkara yang melibatkan hak Allah atau hak masyarakat seperti hukuman zina, mencuri, minum arak, dan sebagainya. Jika sulh dilakukan juga dalam perkara-perkara tersebut maka akan batal dengan sendirinya. Ini karena hal yang demikian seumpama mengharamkan perkara halal atau menghalalkan perkara haram26

c. Hak yang dipertikaikan itu harus dimiliki oleh pihak-pihak yang ingin melakukan sulh. Hal ini karena meurut Islam, seseorang tidak dibenarkan membuat sesuatu urusan dalam suatu perkara yang tidak mempunyai hak

25

Ibid., h. 302.

26

(32)

atasnya. Namun pengecualian untuk seseorang yang mendapat izin yang sah dari pemilik hak yang dipertikaikan itu.27

E. Hikmah Sulh

Dari segi teori, akad sulh adalah suatu akad yang mempunyai kedudukan istimewa dalam fiqh Islam. Ini karena sulh dapat diimplimentasikan dalam kebanyakan urusan baik yang berkaitan dengan harta atau jinayah (pidana). Ini adalah amalan yang dapat digunakan sebagai cara yang terbaik untuk menyelesaikan suatu permusuhan. Berdasarkan sifatnya yang istimewa itu, akad sulh dapat menjadi akad yang mengakibatkan pertukaran barang, pembelian atau pelepasan dan pengguguran hak.28

Sikap toleransi dan memaafkan kesalahan orang lain merupakan di antara sifat terpuji yang sangat dianjurkan oleh Islam. Bahkan Allah lebih menganjurkan supaya setiap tindakan jahat itu dibalas dengan kebaikan.

Firman Allah SWT:

' &

6 53 n

8 ;5A

ﻡ MY

5A #

;5A

ی )1

Artinya : “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl, 16:126)

27

Ibid., h. 312.

28

(33)

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa suatu kejahatan dapat dibalas dengan tindakan yang serupa. Meskipun demikian, Allah menganjurkan sifat saling memaafkan dan toleransi dengan menyediakan balasan kepada mereka yang sabar dan sanggup menghapus perasaan dendam.

Orang-orang yang bertoleransi dan memaafkan kesalahan orang lain akan memperoleh banyak kelebihan dan termasuk dalam golongan orang-orang yang akan dimasukkan ke dalam syurga tanpa hisab.

Sabda Rasullullah SAW :

\

A

o

#

5

p

2

m

=

A

'G

2

B

C B

A

p

p

B

m

L

)

D

:

M

X

_

=

A

M

+!

W

=

7

"

=

A

)

"

p

ﻡ b

Np

?

:

h

B

W

&

M

L

)

D

q

)

"

p

)Y b

"

D

?

:

h

B

W

&

M

L

)

D

q

A

H

?

)g

b

h

B

A r

H

?

#

) B

]

R

)

"

p

b

)Y

Y

D

?

:

h

B

W

&

M

L

)

D

q

:

G

7

g

7

g

-W

&

X

Z

Nm

R

29

Artinya : “Ketika seorang hamba dihisab, datanglah sekelompok kaum yang dilehernya ada bekas darah dan mereka berselisih di depan pintu surga. Ditanyakan, ‘Siapa mereka?’ Maka dijawab, ‘Mereka adalah para syuhada’ yang hidup diberi rezeki, ‘maka diserukan yang pertama : Barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah, maka masuklah syurga. Kemudian berseru yang kedua, barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah, maka masuklah syurga. Ditanyakan : Siapakah orang yang mengharapkan pahala dari Allah? Dijawab : Yaitu orang-orang yang memaafkan sesamanya. Kemudian berseru yang ketiga : Barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah, maka masuklah syurga. Maka berdirilah orang-orang yang disebut dan meraka masuk syurga tanpa hisab.”

29

(34)

Jika kita teliti lebih jauh, kita akan menemukan banyak kelebihan serta hikmah dalam Islam bagi mereka yang mengamalkan sifat-sifat terpuji seperti bertoleransi dan memaafkan. Dalam konteks sulh, hikmah-hikmah tersebut akan dapat dirasakan oleh semua pihak.

Pihak penuntut yang telah berhasil menolak kepentingan diri sendiri dan menjawab seruan Allah SWT maka bukan hanya menerima faedah di dunia, tetapi juga akan diberi ganjaran di akhirat. Keberhasilannya mengendalikan diri merupakan suatu keberhasilan dalam usaha untuk melawan kehendak nafsu. Dengan demikian, lahirlah ketakwaan yang kokoh dalam jiwa.

Selain itu, sikap toleransi yang diamalkan akan memberikan kenyamanan dan ketenangan kepadanya. Sebaliknya, jika sikap ini tidak diamalkan maka keinginan untuk membalas dendam akan mengganggu pikirannya dan dia tidak akan merasa puas selama belum melampiaskannya. Selanjutnyanya pihak yang satu lagi juga akan melakukan tindakan yang sama. Akibatnya permusuhan ini akan terus berkepanjangan. Keadaan ini akan berlanjut seandainya tidak timbul dalam pikiran mereka untuk melakukan sedikit pengorbanan. Pengorbanan ini akan dibalas dengan ganjaran yang besar dari Allah SWT.

Firman Allah SWT:

1 8) B sC. / ) [ ﻡ 8)

(35)

Firman Allah SWT:

) ) Q :- ی یg)

#

t Z

u J

= ) )0

=

2 +c2ی 8) ] )

Artinya : “(Yaitu) Orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali-Imron, 3:134)

Seharusnya sikap terpuji ini juga akan memberikan kebaikan kepada pelaku kejahatan yang terlibat. Dia secara tidak langsung akan merasa bersyukur dan berterima kasih terbebas dari hukuman. Ini akan menarik dirinya supaya tidak lagi melakukan kejahatan.

Masyarakat juga akan mendapat faedah yang berharga dari sikap toleransi atau sulh yang diamalkan. Situasi masyarakat akan menjadi harmonis dan stabil.

Pelaksanaan sulh secara langsung akan memudahkan persidangan terhadap suatu kasus. Sulh juga merupakan salah satu jalan yang efektif untuk mengatasi kerumitan dalam proses perundangan. Sulh yang dilaksanakan sewaktu persidangan sedang berlangsung akan mempercepat penyelesaiannya dan memuaskan hati semua pihak.30

Pelaksanaan sulh sebelum suatu kasus diangkat ke mahkamah akan meringankan beban pihak-pihak yang terlibat. Ini karena proses perundangan adalah sesuatu yang menyulitkan. Selain menghabiskan waktu yang lama, mereka juga terpaksa menanggung segala biaya serta menumpahkan seluruh perhatian

30

(36)

terhadap persidangan tersebut. Namun, hasilnya tidak dapat dijamin akan memuaskan hati semua pihak yang terlibat.31

Sesungguhnya pelaksanaan sulh dapat membawa kepada terwujudnya konsep keadilan sejati. Ini karena pihak-pihak yang bersengketa lebih mengetahui tentang hakikat sebenarnya persengketaan mereka. Mereka juga lebih mengetahui sebesar mana hak mereka dalam perkara tersebut. Oleh karena itu, sulh yang mereka lakukan dengan sikap toleransi dan saling meridhai semestinya akan dapat mencapai tahap keadilan sejati yang kadangkala tidak dapat diperoleh melalui persidangan dan hukuman mahkamah.32

Dan juga dalam suatu persidangan, kadangkala lebih bijak berhujah dan berhasil memperoleh sesuatu yang bukan haknya. Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya menerangkan tentang perkara ini.

Sabda Rasulullah SAW:

)"

"

!

'

)"

J

6

I

;

1

)Q

#

)M

#

0

J

ی

J

2

2

)L

;

8

#

NO

A

0

B

8

2

X

P

8

A

0

%

8

!

Nv

FU

&

8

ی

=

&

g

Nv

)"

A

S

P

8

A

S

#

D

)

C

R

33

Artinya : “Sesungguhnya saya adalah manusia biasa dan kalian mengadukan perkara kepadaku. Barangkali sebagian diantara kalian ada yang lebih pandai mengemukakan hujah daripada yang lain, maka aku memberikan keputusan yang menguntungkannya berdasarkan yang aku dengar darinya. Barangsiapa yang aku berikan sepotong dari hak saudaranya, itu berarti aku memberikannya sepotong api neraka.”

31

Ibid., h. 22.

32

Ibid., h. 23.

33

(37)

Maka berdasarkan hikmah-hikmah yang telah dikemukakan, jelaslah bagi kita mengapa Islam sangat menganjurkan amalan ini.

Sebagaimana yang kita ketahui, keadilan merupakan salah satu unsur yang sangat dititikberatkan oleh syariat Islam. Dalam setiap perkara kita dapat menemukan bahwa Islam meletakkan konsep keadilan di tempat yang paling tinggi. Hal ini lebih jelas lagi jika dilihat dalam aspek perundangan.

Pelaksanaan sulh mempunyai kesan yang sangat terlihat dalam aspek kehidupan sebuah masyarakat. Apabila pihak-pihak yang bersengketa saling bertoleransi dan meridhai, mereka akan dapat menghindarkan adanya perasaan dendam yang dapat menggoncang sebuah masyarakat. Bahkan, permusuhan mereka akan dapat selesai dan tidak akan berkepanjangan. Hasilnya, masyarakat akan hidup dengan penuh harmoni dan aman nan damai.

(38)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH34

A. Pengertian Hadhanah dan Dasar hukumnya

Hadhanah diambil dari kata yang berarti sesuatu yang terletak antara ketiak dan pusat.35 , sesuatu yang boleh dipeluk.36

Para fuqaha’ telah berselisih pendapat dalam mendefinisikan hadhanah. Mereka antara lain :

Mazhab Syafi’i mengatakan hadhanah ialah untuk menjaga mereka yang tidak mampu untuk mengurus diri mereka sendiri. Mazhab Hambali mengatakan hadhanah sebagai menjaga anak-anak kecil atau orang gila atau cacat atau orang tidak sadar.37

Mazhab Hanafi mengatakan hadhanah untuk mendidik anak-anak yang sepatutnya mendapat hak penjagaan dan Mazhab Maliki berpendapat hadhanah

34

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. ke-1, h. 327.

35

Fuad Afram al-Bustani, Munjib al-Tullab, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1973), h. 129.

36

Ibn Manzur Muhammad ibn Mukarram, Lisan al-`Arab, (Beirut: Dar Sadir,1968), juz.13, h. 122.

37

(39)

sebagai penjagaan anak-anak dan menunaikan hak-hak kemaslahatan mereka dan melayani urusan mereka.38

Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang hampir sesuai artinya dalam bahasa Indonesia adalah pengasuhan atau pemeliharaan anak. Hadhanah juga menjadi hak bagi anak-anak dan ahli-ahlinya saja yang mempunyai syarat-syarat kelayakan yaitu terdiri daripada keluarga anak yang ada pertalian kerabat dan kasih sayang yang khusus dengan anak-anak supaya pengasuhan terhadap anak-anak-anak-anak ini dapat dilaksanak-anakan dengan sempurna.

Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama, yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kafalah dalam arti sederhana ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya.39

Apabila dua orang suami-istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka

38

Muhammad ibn Ahmad ibn `Arafah al-Dasuqi, Hashiyat al-Dasuqi `ala al-sharh al-kabir, (Cairo: Dar Ihya' al-Kutub al-`Arabiyah, 1980), juz 2, h. 526

39

(40)

lah yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.40

Dalam waktu itu si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain. Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib dipikul oleh bapaknya.41

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2) ayat 233:

) 6 7 ) A C 8 p B

Artinya: “Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya.” (QS. Al-Baqarah, 2:233)

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.

Rasulullah SAW bersabda:

% A ( ﻡ )

N

W5

?

gX B )

H ﺱC ی

BیWﺙ '=

8 B S %" 7

h )

'= 8 b L

'= :ﺱ 8

BFﻡ 8 f ی

p C B :)a

R

8

B)3

H ﺱC

H :

40

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam; Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), cet.ke-29, h. 426.

41

(41)

)ﺱ

?

B2J 6 ﻡ 8 +U %"

< R

8223 p p

W

h C

7 2

@

42

Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Amr bahwa sesungguhnya seorang perempuan berkata: ‘Wahai Rasulullah, ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang memberi minumnya dan pangkuankulah yang memangkunya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan dia hendak merampasnya dariku. Sabda Rasulullah SAW, ‘Sesungguhnya engkaulah yang lebih berhak selama engkau belum menikah dengan orang lain.”

Menurut ijma’ juga menceritakan bahwa sayyidina Umar bin Khattab telah mencerikan istrinya yang bernama Jamilah (seorang wanita anshor) dan mereka meninggalkan seorang anak bernama Ashim. Mereka berebut tentang siapakah yang berhak untuk menjaga anak itu. Abu bakar memutuskan bahwa ibunya lebih berhak.43

B. Orang yang berhak Hadhanah dan Syarat serta Rukunnya

Dalam membicarakan orang yang berhak menjaga penjaga kanak-kanak, tidak dapat dinafikan penjaga yang paling baik ialah ibu bapa kanak-kanak itu sendiri yang masih dalam masa perkawinan. Tetapi jika berlaku penceraian siapakah yang lebih baik antara keduanya.

Para ulama’ sepakat mengatakan bahwa wanita lebih berhak sebagai pengasuh anak-anak dan lebih baik lagi ialah ibunya sendiri. Hak ini diutamakan

42

Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul as-Salam Syarh al-Kahlani, (Bandung: Dahlan, tth), juz III, h. 227.

43

(42)

kepada ibu karena ibu lebih mampu untuk mengurus anak-anak kecil dan ibu biasanya merupakan seorang lemah-lembut, penyayang dan tekun dalam mengurus hal anak-anak dibanding dengan seorang ayah.44

Ini dapat dilihat dalam sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa telah datang seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa dia telah diceraikan dan mantan suaminya ingin mengambil anaknya. Kemudian Nabi SAW bersabda yang artinya: “Engkaulah yang lebih berhak mengasuh anakmu selama mana engkau belum berkahwin dengan orang lain”45

Dalam menetapkan susunan atau urutan orang-orang yang berhak menjadi pengasuh anak-anak hendaklah dilihat apabila sekiranya ibu itu hilang kelayakan untuk menjadi pengasuh, seperti menikah lagi, meninggal dunia atau semisalnya, maka hak ini akan berpindah kepada penjaga lain dari kaum wanita juga.

Syara’ telah menetapkannya sebagaimana berikut : 1. nenek dari ibu ke atas

2. nenek dari ayah ke atas

3. saudara perempuan sekandung 4. saudara perempuan seibu 5. saudara perempuan seayah

6. anak saudara perempuan sekandung

7. anak perempuan dari saudara perempuan seibu 8. ibu saudara perempuan sekandung

44

al-Zuhayli, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa-adillatuhu, h. 720.

45

(43)

9. ibu saudara perempuan sebapa

10.anak dari saudara lelaki (dengan mendahulukan sekandung, seibu, kemudian seayah)

11.bibi dari ayah (dengan mendahulukan sekandung, seibu, kemudian seayah) 12.ibu saudara seibu sebelah ibu.

13.ibu saudara sebelah ibu yang sebapak 14.emak saudara sebelah bapak yang sebapak 15.ibu saudara sebelah bapa yang seibu.46

Tetapi sekiranya tidak terdapat penjaga dari kaum wanita, penjagaan atau Hadhanah ini akan berpindah kepada kaum lelaki yang menjadi ashabah sesuai tingkat keutamaan sebagai berikut :

1. ayah

2. kakek sebelah ayah ke atas 3. saudara laki-laki sekandung 4. saudara laki-laki seayah

5. anak saudara laki-laki sekandung 6. anak saudara laki-laki seayah 7. ayah saudara dari ayah sekandung 8. kakek saudara sekandung

9. kakek saudara seayah

10.saudara sepupu laki-laki sekandung

46

(44)

11.saudara sepupu laki-laki dari ayah yang seayah47

Dan sekiranya semua pihak yang tersebut berkumpul baik dari pihak laki-laki atau wanita, maka susunannya seperti berikut :

1. ibu

2. nenek dari ibu 3. ayah

4. nenek dari ayah 5. saudara perempuan 6. anak saudara perempuan 7. saudara laki-laki

8. anak saudara laki-laki 9. bibi

10.paman48

Dari susunan di atas dapatlah disimpulkan bahwa syara’ telah meletakkan kedudukan kaum wanita itu lebih utama dari kaum lelaki dalam masalah pengasuhan atau hadhanah terhadap anak-anak ini.

Pengasuhan anak itu berlaku dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan

47

Ibid, h. 304

48

(45)

ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, maka ibu dan/atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.49

Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh diisyaratkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.

3. Beragama Islam. Tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang akan diasuh akan jauh dari agamanya.

4. Adil. Dalam arti menjalankan agama secara baik. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.50

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:

49

Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 328.

50

(46)

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.51

Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bwah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati oleh ulama.52

Alasan yang dikemukakan di samping perasaan kasih sayang sebagaimana di atas juga dari sepotong hadis Nabi dari Abdullah bin Mas’ud:

Artinya: “Sesungguhnya seorang perempuan berkata Nabi: Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini perut saya yang mengandungnya, puting susu saya yang mengairinya dan haribaan saya yang memeluknya. Ayahnya telah menceraikan saya dan ingin memisahkan anak saya itu dari saya. Nabi SAW bersabda: Engkau lebih berhak untuk mengurusnya selama engkau belum kawin.”53

51

Ibid., h. 330.

52

Ibid., h. 329.

53

(47)

Dari hadis di atas jelaslah bahwa keutamaan hak ibu itu ditentukan oleh dua syarat, yaitu: dia belum kawin dan dia memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas hadhanah. Bila kedua atau salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi, umpamanya ia telah kawin atau tidak memenuhi persyaratan maka ibu tidak lebih utama dari ayah. Bila syarat itu tidak terpenuhi maka hak pengsuahan pindah kepada urutan yang paling dekat yaitu ayah.

Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia tidak idiot, antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad dan Imam Syafi’i.54

Golongan ini mendasarkan pendapatnya kepada sepotong hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Ahmad dan empat perawi hadis:

% A ( ﻡ ) 8

Q C ( ی X B

?

)

H ﺱC ی

#-" WA B

cXgی

Wی ی B

8

B

n ﻡ B" :ﺱ B

R

)ﺱ 8

B)3 +Q5) H :

= L

?

w gX G x ی

%nﺵ

Fی W gI [+ﻡ hgX

K

8 %: S" 8Fﻡ W g&

R

<

h C

D# Cl W

bgﻡ ; 8223

@

55

Artinya: “Seorang perempuan berkata kepada Nabi SAW: Ya Rasulullah, sesungguhnya suami saya ingin membawa anak saya, sedangkan dia banyak membantu saya dan menimbakan air dari sumur Abu Unbah,

54

Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.330.

55

(48)

kemudian suaminya datang. Nabi berkata: Hai anak, ini ayahmu dan ini ibumu; ambillah salah satu tangan di antara keduanya yang kamu senangi. Anak itu mengambil tangan ibunya dan berlalu bersama ibunya itu.”

Hak pilih diberikan kepada anak bila terpenuhi dua syarat56, yaitu:

Pertama, kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang lain tidak, maka si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.

Kedua, si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak mengasuh; dan tidak ada hak pilih untuk si anak.

Sebagian ulama di antaranya Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat tidak diberikan hak pilih kepada si anak. Namun di antara keduanya berbeda pendapat dalam penyelesaiannya. Abu Hanifah berpendapat bahwa bila si anak telah dapat hidup mandiri, baik dalam berpakaian, makan, dan membersihkan badannya, maka ayah lebih berhak atasnya. Imam Malik berpendapat bahwa ibu yang lebih berhak sampai selesai masa asuhannya.57

Bila yang telah mencapai masa tamyiz itu adalah anak perempuan, ulama beda pendapat dalam menetapkan yang berhak melakukan hadhanah. Menurut pendapat Imam Ahmad yang diikuti oleh pengikut dan ulama lainnya, anak perempuan itu diberikan kepada ayah, karena dia yang berhak melakukan hadhanah. Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah bahwa yang menjadi

56

Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.331.

57

(49)

tujuan dari hadhanah itu di samping pemeliharaan adalah rasa diri. Anak perempuan yang telah mencapai usia tujuh tahun mendapatkan rasa dirinya bila dia berada di bawah ayahnya. Dia memerlukan pemeliharaan dan ayah lebih baik dalam hal ini dibandingkan dengan ibu.58

Imam Syafi’e berpendapat bahwa anak perempuan itu diberi pilihan untuk hidup bersama ayahnya atau ibunya, sebagaimana yang berlaku pada anak laki-laki. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ibu lebih berhak untuk melaksanakan hadhanah sampai dia kawin atau haid. Menurut Imam Malik, ibu lebih berhak sampai dia kawin atau bergaul dengan suaminya, karena anak dalam usia tersebut tidak mampu untuk memilih.59

Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan kembali pada waktunya sedangkan yang satu lagi menetap di tempat, maka yang menetap di tempat lebih berhak menjalankan hadhanah. Alasannya ialah bahwa perjalanan itu mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak. Oleh karena itu menetap lebih baik kerena tidak ada resiko tersebut bagi si anak.

Dalam hal pindah tempat juga ulama beda pendapat. Menurut ulama ahlu ra’yi (Hanafiyah) bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah, maka ibu lebih berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakannya perkawinan, ibu yang berhak tetapi bila pindah ke tempat lain, ayahlah yang

58

Ibid., h. 341.

59

(50)

berhak. Ulama lainnya termasuk Imam Malik dan Syafi’I yang berhak atas hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah.60

Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semua memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama61 adalah:

1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas; 2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas;

3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas; 4. Ibunya kakek melalui ayah, dan seterusnya ke atas;

5. Saudara-saudara perempuan dari ibu; 6. Saudara-saudara perempuan dari ayah.

Lain dari urutan yang disebutkan di atas ulama tidak sepakat dalam keutamaan haknya. Bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, maka ulama berbeda pendapat kepada siapa hak hadhanah itu beralih. Sebagian ulama berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah. Pendapat kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak tersebut pindah kepada ibunya ibu, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh urutannya.62

60

Ibid., h. 341.

61

Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.332.

62

(51)

Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu kawin, suaminya berhak melarangnya untuk menyusukan anaknya itu. Kecuali dalam keadaan terpaksa seperti tidak ditemukan perempuan lain yang dapat diterima oleh si anak.

Disebabkan pentingnya penjagaan peringkat awal ini, maka syara’ telah menentukan kepada seorang penjaga hendaklah63 :

1. Sempurna akal, seorang yang gila atau tidak sadar secara permanen atau sementara adalah hilang hak penjagaannya.

2. Merdeka, seorang hamba tidak mempunyai hak hadhanah sekalipun telah diizinkan oleh tuannya.

3. Beragama Islam, seorang kafir tidak berhak menjadi penjaga anak muslim, karena pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan aqidah anak-anak itu. 4. Amanah dan dapat dipercaya, seorang penjaga itu harus bias menjaga diri dan

kehormatannya dari melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’.

5. Penjaga itu harus bermukim di tempat anak-anak itu tinggal. Sekiranya salah seorang dari mereka berpindah ke tempat lain, maka orang bermukim dengan anak-anak itu adalah lebih berhak terhadap hadhanah anak-anak itu.

6. Tidak menikah lagi bagi ibu yang bercerai. Sekiranya perempuan itu menikah lagi, maka hak hadhanah akan gugur walaupun mantan suaminya mengizinkan dia memelihara anak-anak itu.

63

(52)

7. Penjaga atau hadhinah menjadi ibu susu di mana anak-anak itu menyusu. Jika Penjaga itu enggan atau tidak mempunyai susu badan, maka hadhanahnya itu tidak sah.

8. Penjaga itu juga tidak mempunyai penyakit yang permanen seperti batuk kering, lumpuh dan sebagainya.

9. Penjaga itu bukan seorang yang buta. 10.Penjaga itu bukan seorang yang lalai. 11.Penjaga itu adalah seorang dewasa.64

C. Masa Hadhanah

Masa penjagaan anak-anak tidak ada ketentuan yang jelas tentang masanya, karena bergantung kepada keadaan dan sikap anak-anak itu sendiri. Sekiranya anak-anak itu telah mumayyiz dan dapat mengurus dirinya sendiri, berarti hadhanah telah berakhir masanya.

Oleh karena itu masa hadhanah dapat dibagi menjadi dua peringkat : 1. Peringkat sebelum mumayyiz.

2. Peringkat mumayyiz.

Peringkat sebelum mumayyiz adalah masa yang amat memerlukan penjagaan dan kasih sayang yang hanya dapat dilakukan oleh kaum wanita saja untuk membentuk fitrah anak-anak itu, keadaan ini berakhir apabila anak-anak itu dapat dan mampu mengurusi dirinya sendiri. Bagi anak-anak lelaki biasanya

64

(53)

umurnya 7 tahun atau 9 tahun dan bagi anak-anak perempuan pula umurnya 9 tahun atau 11 tahun.

Peringkat mumayyiz adalah masa yang memerlukan asuhan dan didikan dari seorang ayah atau walinya. Di sini berlaku perpindahan Hadhanah daripada ibu kepada ayah.

Dalam Mazhab Hanafi mengatakan sekiranya ibu itu enggan menyerahkan anak itu, maka ayahnya dapat membuat tuntutan anak-anak itu melalui Mahkamah.65

Mazhab Syafie berpendapat bahwa anak-anak itu diberi pilihan baik dia memilih ibu maupun ayahnya. Sekiranya dia memilih ibunya, ayahnya juga dapat mengunjunginya supaya hubungan tali silaturrahmi di antara keduanya tidak terputus.66

Mazhab Maliki mengatakan bahwa anak-anak yang berada dalam jagaan penjaga sehingga anak-anak itu baligh. Dan untuk anak-anak perempuan sampai mereka menikah. As-Sabuni telah membuat kesimpulan bahwa pendapat Mazhab Maliki lebih rajih atau lebih kuat di mana kedua peringkat penjagaan yaitu ketika anak-anak itu memerlukan kasih sayang diserahkan kepada ibunya dan ketika

65

`Abd al-Rahman al-Sabuni, Nizam al-usrah wa-hall mushkilatiha fi daw' al-Islam, (Cairo: Dar al-Fikr, 1972), hal. 181-182.

66

(54)

baligh atau mumayyiz yang memerlukan penjagaan yang lebih tegas diserahkan kepada ayahnya.67

D. Hadhanah dalam Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984

Akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984 telah membuat satu bab khusus tentang hadhanah dengan memberikan wewenang kepada Mahkamah Syariah dan Hakim untuk menangani masalah-masalah tuntutan hadhanah di Maahkamah dan melaksanakan putusan mahkamah yang telah ditetapkan mengenai masalah ini.

Akta ini terdiri dari 10 bab, dan bab hadhanah atau pemeliharaan anak merupakan bab VII yang terdiri dari seksyen 81-105. (Lampiran)

Dalam seksyen 81 (1) menerangkan bahwa ibu lebih berhak menjadi pengasuh bagi anak-anaknya.68

Syara’ telah menetapkan bahwa orang yang berhak menjadi hadhinah (penjaga) setelah ibu adalah sesuai dengan susunan keluarga sebagaimana disebutkan dalam seksyen 81 (2) yaitu:

1. Nenek dari ibu ke atas. 2. ayah.

3. nenek dari ayah ke atas

67

Abdul Al-Sabuni, Op. Cit. Hal. 158.

68

(55)

4. saudara perempuan sekandung. 5. saudara perempuan seibu. 6. saudara perempuan seayah.

7. anak perempuan dari saudara perempuan sekandung. 8. anak perempuan dari saudara perempuan seibu. 9. anak perempuan dari saudara seayah.

10.saudara perempuan dari ibu. 11.saudara perempuan dari ayah. 12.ashabah laki-laki.

Dalam seksyen 81 (3) diterangkan bahwa seorang laki-laki yang berhak menjadi pengasuh mempunyai hubungan muhrim dengan anak perempuan.

Dalam seksyen 81 (4) diterangkan bahwa orang yang memiliki lebih banyak kelayakan lebih diutamakan menjadi hadhinah ketika semua yang berhak menjadi hadhanah berkumpul.

Seksyen 82 juga menerangkan syarat-syarat untuk perempuan yang menjadi hadhinah seperti yang telah ditetapkan oleh syara’.69

Seksyen 83 (a)-(e) menyatakan perkara-perkara yang menyebabkan gugurnya hak hadhanah.

Seksyen 84 (1) menerangkan bahwa ulama fiqh telah menetapkan batasan umur untuk masa hadhanah dan mahkamah dapat memberi pertimbangan batasan umur ini tergantung permohonan yang diajukan.

69

(56)

Seksyen 84 (2) menerangkan bahwa ayah diberi wewenang un

Referensi

Dokumen terkait

Strategi pembelajaran aktif roda keberuntungan yang diterapkan pada pokok bahasan kesetimbangan kimia di kelas eksperimen membuat peserta didik harus siap untuk

data tenaga kerja yang telah diserap oleh Perusahaan Minyak Kelapa Sawit PT. Surya Gemilang Agro Mandiri Periode Tahun 2013

karena masih rendahnya skor masing-masing rasio yang diperoleh KSP Wisuda Guna Raharja dalam aspek penilaian kesehatan yang diakibatkan oleh beberapa faktor yang

Dengan ini menyatakan bahwa saya sebagai penerima hibah berupa uang yang bersumber dari APBD Kabupaten Pandeglang Tahun Anggaran 2018 melalui DAK Non Fisik untuk Biaya

- Nếu dây điện hoặc vòi cung cấp bị hư hỏng, bạn nên thay dây điện hoặc vòi cung cấp tại trung tâm bảo hành của Philips, các trung tâm dịch vụ

Menanggapi permasalahan ini saya bermaksud menguraikan kembali pandangan dari Richard Rorty terkait dengan penolakannya terhadap epistemologi tradisional, yang dari

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together pada mata pelajaran Kimia tentang Penyetaraan Reaksi Kimia di kelas X-1 SMA di kota

Jadi untuk mengetahui Kepemimpinan Kepala Madrasah dalam meningkatkan kualitas kinerja guru di MTs Hasanuddin Teluk Betung Bandar Lampung dan apa saja faktor