• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG dilahirkan ke bumi. Oleh karena itu pemerintah serta aparat penegak hukum harus menjunjung tinggi hak asasi tersebut di segala bidang tanpa terkecuali dan tidak boleh dilanggar. Begitu pula dengan saksi ataupun korban. Saksi ataupun korban memilki hak – hak yang harus diberikan kepada saksi ataupun korban dalam suatu perkara. Hak – hak saksi dan korban ini sendiri telah diatur di dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, pada kenyataannya walaupun telah ada undang – undang yang mengatur mengenai hak – hak saksi dan korban, pada kenyataanya masih banyak saksi dan korban yang tidak mau memberikan kesaksiannya dengan berbagai alasan seperti takut mendapatkan ancaman dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, padahal dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini mengatur mengenai hak saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan dari lembaga yang berwenang dalam menjalankan pemberian hak kepada saksi ataupun korban. Permasalahan dalam skripsi ini adalah, Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peadilan pidana berdasarkan Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Faktor – faktor apa sajakah yang menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.

(2)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis serta berdasarkan hasil dari wawancara dari para responden, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana belum sepenuhnya terlaksana oleh aparat penegak hukum baik itu dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sendiri. Adapun hak yang belum bisa terlaksanakan dengan baik adalah hak saksi ataupun korban untuk mendapatkan biaya penggantian transportasi hal ini terjadi karena belum adanya undang – undang yang mengatur mengenai hal tersebut sehingga menghambat penggantian biaya transportasi tersebut. Adapun fakor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana yaitu faktor dari Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri dimana dalam undang – Kota Negara sehingga membuat masyarakat juga banyak yang tidak mengetahui bahwa telah ada lembaga yang bertanggungjawab dalam pemberian hak – hak saksi dan korban hal ini juga masih kurangnya sosialisasi dari pihak penegak hukum khususnya dari LPSK nya sendiri kepada masyarakat khususnya yang berada di luar Jakarta.

(3)

ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Oleh

FLORENCIA EIGTHEEN NATALYA SINAGA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati M, S.H., M.H. ………..

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ………..

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H. ………..

2. Dekan Fakultas Hukum

H. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1 003

(5)

Judul Skripsi : ANALISIS TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006

TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Nama Mahasiswa : Florencia Eigtheen Natalya Sinaga

Nomor Pokok Mahasiswa : 0612011018

Program Studi : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. Maya Shafira, S.H.,M.H. NIP.19620817 198703 2 003 NIP. 19770601 200501 2 002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gadingrejo sebuah Kecamatan di

Kabupaten Pringsewu di Propinsi Lampung pada tanggal 18

Desember 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara

dari pasangan Brigpol James Sinaga dan Dra. Rusmina

Sitinjak.

Pada Tahun 1994 Penulis menyelesaikan pendidikan pada sekolah Taman

Kanak-Kanak ( TK ) Pertiwi Gadingrejo, kemudian pada Tahun 1994 Penulis

melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dasar ( SD ) Negeri 1 Gadingrejo, setelah

lulus kemudian pada Tahun 2000 melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama ( SLTP ) Negeri 1 Gadingrejo, setelah itu menyelesaikan

pendidikan pada Sekolah Menengah Atas ( SMA ) Negeri 1 Gadingrejo pada

tahun 2006 dan pada tahun yang sama Penulis terdaftar sebagai mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan

Akademik dan Bakat ( PKAB )dan mengambil bagian Hukum Pidana di Fakultas

Hukum Universitas Lampung serta Penulis mengikuti Organisasi Himpunan

Mahasiswa Pidana ( Hima Pidana ).

(7)
(8)

MOTTO

Segala Sesuatu Dapat Tercapai Dengan Usaha.

Usaha Tidak Akan Sia-Sia Apabila Dikerjakan Dengan Sungguh-Sungguh

Yakinlah Apa Yang Akan Kita Kerjakan

Dan

Raihlah Segala Sesuatu Dengan Usaha Sendiri

Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan

Janganlah kamu membela orang kecil

dengan tidak sewajarnya

Dan janganlah engkau terpengaruh

Oleh orang-orang besar

Tetapi engkau harus mengadili

Orang sesamamu dengan kebenaran

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Yesus Kristus, karena berkat serta campur tangan Nya

sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Terhadap

Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang –

Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban “,

sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana bidang ilmu hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari segala kesulitan dan hambatan

namun, dengan adanya bantuan, bimbingan, petunjuk serta saran dari berbagai

pihak maka dalam kesempatan ini dengan segela kerendahan hati, Penulis

menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Bapak H. Adius Semenguk, S.H.,M.H. selaku dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung;

2. Bapak Armen Yaser, S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas

Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung yang sekaligus sebagai

Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikaran dalam

(10)

skripsi ini;

5. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. selaku Pembahas I yang telah berkenaan

mengevaluasi, memberi masukan dan saran guna penyempurnaan skripsi

ini;

6. Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H. selaku Pembahas II yang telah berkenaan

memberikan kritik dan saran serta petunjuk – petunjuk guna penyempurnaan skripsi ini;

7. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik

yang selama ini membimbing penulis dan memberikan bantuan dalam

menuntut ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh staf, dosen, dan karyawan Civitas Akademik Fakultas Hukum

Universitas Lampung ( mbak Yanti serta mbak Sri );

9. Papa dan Mama yang selalu mendoakan penulis selama ini terima kasih

atas semuanya yang telah diberikan selama ini serta buat adik – adik ku Lidya Sinaga serta Redhi Sinaga;

10.Alm. Opung ( Kelapa Tinggi ) walaupun Opung Doli dan Opung Boru

telah tiada terima kasih karena pasti opung selalu mendoakan penulis.

Serta Opung Doli dan Opung Boru di Samosir terima kasih selalu

memberikan semangat serta nasehat – nasehat dan mendoakan penulis; 11.Bapaktua, Mamaktua, Amangboru, Namboru, Tante, Nanguda, Uda,

(11)

Penulis serta teman – teman terbaik Penulis yaitu alumni XI IS 3 yang selalu memberikan doanya;

13.Teman – teman penulis pada Fakultas Hukum Universitas Lampung April, Lismelalia, Rosya, Marisa, Ara, Rina, Elmi, Laura, Dwi Dinata ( Onta ),

Torry, Erlangga, Reza. Gladis, Windi serta teman – teman Fakultas Hukum 06 yang lainnya yang tidak dapat di sebutkan satu persatu

khususnya teman – teman pada bagian Hukum Pidana terima kasih atas doanya dan semangatnya;

Penulis hanya dapat mandoakan semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang

telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat dijadikan sebagai

sesuatu yang bermanfaat bagi pembacanya.

Bandarlampung, 4 April 2010 Penulis,

(12)

DAFTAR ISI

(13)

DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden……….. 46 B. Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan

Pidana Berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban……….. 47 C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban

Dalam Sistem Peradilan Pidana………. 64 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia mempunyai kebebasan dan hak – hak yang disebut dengan Hak Asasi Manusia ( HAM ), dimana hak asasi ini dimiliki oleh setiap menusia sejak

ia dilahirkan ke bumi. Oleh karena itu, pemerintah serta aparat penegak hukum

harus menjunjung tinggi hak asasi tersebut di segala bidang tanpa terkecuali dan

tidak boleh dilanggar. Indonesia sendiri sebagai negara hukum mennjunjung

tinggi hak-hak warga negaranya termasuk hak persamaan warga negara di depan

hukum dimana hak ini tertuang pada Undang – Undang Dasar 1945 atau biasa disebut dengan UUD 1945 pada Pasal 27 .

Pasal 27 menyatakan:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya”.

Berdasarkan pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban

untuk melindungi hak – hak warga negaranya tersebut tanpa terkecuali melalui aparat penegak hukumnya. Begitu pula dengan saksi dan korban meskipun

mereka hanya menjadi seorang saksi ataupun mereka menjadi korban dalam suatu

kasus pidana tetap saja mereka mempunyai hak yang sama di depan hukum tanpa

(15)

Hak saksi dan korban sendiri dalam Kitab Hukum Acara Pidana atau disebut

dengan KUHAP tidak membahas pentingnya hak – hak saksi dan korban hanya ada beberapa pasal yang dianggap menjadi hak saksi dan korban yaitu:

1. Pasal 98 KUHAP menyatakan:

Korban suatu tindak pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa

yang terbukti bersalah menyebabkan kerugian baginya, melalui proses

penggabungan perkara pidana dan perdata.

2. Pasal 117 ayat (1) KUHAP menyatakan :

Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan

dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.

3. Pasal 118 KUHAP menyatakan:

Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditanda

tangani oleh penyidik, dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka

menyetujuinya.

4. Pasal 166 KUHAP menyatakan:

Petanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada terdakwa

maupun saksi.

5. Pasal 177 KUHAP menyatakan:

Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim ketua sidang

menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan

menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.

6. Pasal 178 KUHAP menyatakan:

(16)

Hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai

bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.

7. Pasal 229 menyatakan:

Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka

memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak, mendapat

penggantian biaya menurut aturan perundang –undangan yang berlaku”.

Pasal – pasal dalam KUHAP ini sepertinya belum dapat terlaksanakan dengan baik serta masih sangat kurang bagi saksi dan korban sebab dalam KUHAP tidak

ada mengenai hak untuk dilindungi padahal hak ini sangat penting diberikan

kepada saksi dan korban serta merupakan hak yang paling di inginkan oleh saksi

ataupun korban.

Menurut Basil Fernando (2006:4):

“ Perlindungan bagi saksi dan korban sangatlah penting diberikan oleh aparat

penegak hukum sebab tanpa adanya perlindungan maka impunitas tidak dapat diperangi sebab jika hak perlindungan terhadap saksi tidak ada maka maka korban pelanggaran HAM berat yang melaporkan kasusnya tentu harus menghadapi ancaman serius yang dapat membahayakan jiwa mereka sendiri ataupun orang – orang yang mereka kasihi sehingga diperlukan suatu lembaga

yang mempunyai tugas untu melindungi saksi dan korban.”

Hal ini berarti betapa pentingnya hak perlindungan bagi saksi dan korban dalam

sistem peradilan pidana agar pelaksanaan proses pembuktian suatu kasus tindak

pidana dapat berjalan dengan baik. Untuk melaksanakan hak tersebut di Indonesia

sendiri terdapat lembaga – lembaga yang berperan besar dalam penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Lembaga – lembaga tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat lembaga inilah

(17)

melaksanakan pemberian hak – hak terhadap saksi dan korban tapi sapertinya para penegak hukum ini masih sering mengabaiakan hak – hak dari saksi dan korban. Padahal saksi dan korban menempati posisi kunci sebagaimana terlihat dalam

penempatannya dalam Pasal 184 KUHAP dalam pasal tersebut dituliskan bahwa

saksi merupakan alat bukti utama.

Keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus

bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi, sangatlah jelas bahwa posisi saksi

mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan

keadilan namun posisi saksi yang sangat penting ini sepertinya sangat jauh dari

perhatian masyarakat khususnya penagak hukum yang tidak memperhatikan hak – hak dari saksi maupun korban untuk mendapatkan sebuah perlindungan.

Posisi korban dan saksi dalam sistem peradilan pidana cenderung diperlakukan

sebagai bagian dari alat bukti setelah itu tidak ada upaya untuk menjamin adanya

upaya perlindungan kepada saksi yang memberikan keterangan di pengadilan

dengan resiko tertentu demikian juga bagi korban, tidak ada upaya pemulihan

yang memadai untuk mengembalikan posisi korban seperti semula bahkan

seringkali saksi ataupun korban secara tidak langsung mendapat pertanyaan – pertanyaan yang menjerat mereka dalam proses pembuktian di persidangan karena

hal ini pula banyak saksi atau bahkan korban yang tidak ingin memberikan

kesaksian di persidangan dikarenakan takut mendapatkan ancaman dari pihak – pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, seharusnya saksi

(18)

Tahun 2006 disahkan sebuah undang – undang mengenai perlindungan saksi dan korban yaitu Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang – Undang ini di buat untuk melindungi saksi ataupun korban agar mendapatkan hak – hak mereka sebagai saksi ataupun korban dalam suatu kasus tindak pidana. Namun, kenyataannya masih saja banyak terjadi

kasus-kasus yang menimpa saksi dan korban walaupun telah ada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Contohnya:

Pada Juni 2008 seorang wanita bernama Sumarlin bersama dengan teman-temannya mengadakan aksi menolak BBM di depan Kampus UIN Makassar. Aparat kepolisian membubarkan aksi. Atas kejadian tersebut, 2 orang mahasiswa hilang saat polisi membubarkan aksi. Atas kejadiaan tersebut mahasiswa melakukan konfrensi pers dan menduga kepolisian melakukan penculikan. Akhirnya Mustari dan Sumarlin mendapatkan panggilan sebagai saksi dari Polwiltabes Makassar dengan tuduhan penyiaran, penghinaan, terhadap pejabat negara. Mesti tidak menjadi tersangka, sumarlin sempat mendapat teror dan intimidasi. (Kesaksian media informasi perlindungan saksi dan korban juni 2009)

Di Kabupaten Sinjai, seorang aktivis LSM bernama Amrullah melaporkan adanya dugaan korupsi di salah satu lembaga pemerintahan di Sinjai. Laporan tersebut diajukan ke Kepolisiaan Polres Sinjai. Meski mendapatkan initimidasi dan tekanan dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, Amrullah tetap bersikeras terhadap laporannya. Karena laporannya itu, Amrullah dijadikan tersangka oleh Polres Sinjai dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan. (Kesaksian media informasi perlindungan saksi dan korban juni 2009)

Kasus – kasus diatas merupakan sebagaian kasus yang masih menimpa saksi ataupun korban setelah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di sahkan. Apa yang di kemukakan diatas tidak

semestinya terjadi apabila aparat penegak hukum seperti Kepolsian. Kejaksaan,

(19)

tugas pokok dan fungsinya. Diluar konteks undang – undang perlindungan saksi dan korban telah berlaku seharusnya aparat penegak hukum mampu bertindak adil

terhadap sebuah proses pemeriksaan perkara dengan tetap mengacu pada

mekanisme hukum yang berlaku, sehingga tidak perlu lagi terjadi hal semacam

ini. LPSK sendiri merupakan lembaga yang beradasarkan undang – undang perlindungan saksi dan korban adalah lembaga yang berwenang dalam

pelaksanaan pemberian hak – hak saksi ataupun korban. Namun, lembaga ini sendiri baru terbentuk pada Agustus 2008 sehingga lembaga ini belum efektif

dalam menjalankan tugasnya.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian yang berjudul: “Analisis Terhadap Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan

dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan hak - hak saksi dan korban dalam sistem peradilan

pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum?

(20)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini hanya dibatasi mengenai pelaksanaan

hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta

faktor – faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana pada wilayah hukum Poltabes Bandar Lampung,

Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Kelas 1a Tanjung Karang

serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan hak - hak saksi dan korban dalam sistem

peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum.

b. Untuk mengetahui faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana .

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan kajian

bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan

(21)

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas untuk

mengetahui pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana

berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta untuk mengetahui

faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoretis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran

atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi

terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono

Soekanto, 1986 :125).

Penulisan skripsi ini, perlu dibuat sebuah karangan teoritis untuk

mengidentifikasikan data yang akan menjadi pengantar bagi penulis dalam

menjawab permasalahan skripsi yang diangkat.

Manusia adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban hukum, jadi

setiap manusia mempunyai hak yang sama di depan pengadilan seperti hak untuk

mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum. Hal ini sesuai dengan arti

dari hukum itu sendiri yaitu memberi pengayoman, kedamaian dan ketentraman

(22)

sebab itu maka sistem hukum di Indonesia mempunyai asas - asas hukum yang

menjamin hak – hak manusia sebagai subjek hukum. Oleh karena itu saksi dan korban dalam peradilan di Indonesia pada dasarnya mempunyai hak untuk

mendapatkan perlindungan selama persidangan berlangsung sampai dengan

persidangan tersebut berakhir.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah hal ini berdasarkan

KUHAP Pasal 184 Ayat 1 yang menyatakan bahwa: “ Alat bukti yang sah ialah

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”. Keterangan saksi dalam proses peradilan pidana ialah saksi yang mendengar,

mengalami atau melihat dengan mata kepala sendiri dan bukan yang ia mendengar

atau memperoleh keterangan dari orang lain. Sehingga kedudukan saksi di dalam

proses peradilan pidana sangat penting oleh sebab itu diperlukan perlindungan

hukum oleh pihak yang berwenang sampai proses peradilan yang dijalaninya

selesai.

Perlindungan saksi dan korban diatur pula dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 98 (1) KUHAP dan Pasal 229 ayat (1)

KUHAP.

Pasal 98 KUHAP yang menyatakan:

“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian

bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat

menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada

(23)

Pasal 229 ayat (1) KUHAP menyatakan:

“Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka

memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat

penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Peranan aparat penegak hukum dalam hal ini sangatlah penting sebab tanpa

adanya peranan dari aparat penegak hukum maka efektifitas dalam menjalankan

Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

tidak akan berjalan dengan baik. Menurut Soerjono Soekanto, dalam rangka

efektivitas penegakan hukum dibutuhkan lima unsur pokok yaitu:

a. Faktor Hukum

Praktik dalam penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan

kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara

normatif. suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar

hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau

tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum, karena penyelenggaraan

hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan

pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

b. Faktor Penegakan Hukum

Mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan

penting dalam berfungsinya hukum, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas

(24)

kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau

kepribadian penegak hukum. selama ini ada kecenderungan yang kuat di

kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak

hukum.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan

perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.

Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang

praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan

di dalam tujuannya. Sedangkan perangkat keras dalam hal ini adalah sarana

fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok

sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul

adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,

atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,

merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

e. Faktor Kebudayaan

Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya begitu sering membicarakan soal

kebudayaan. Kebudayaan sendiri mempunyai fungsi yang sangat besar bagi

(25)

bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau

mereka berhubungan dengan orang lain.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah- istilah

yang ingin diteliti atau ingin diketehui (Soerjono Soekanto, 1986:132).

Adapun pengertian dasar dari istilah yang ingin atau yang akan digunakan dalam

penulisan adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya. ( Purwadarmita,1993)

b. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan

tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia

alami sendiri. (KUHAP Pasal 1 butir 26)

c. Korban adalah seseorang yang mengalami pendertitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. (Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 2)

d. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan

untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau Korban yang wajib

dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan

undang-undang ini. (Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 6)

(26)

lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.

(Mardjono, dalam buku ajar Sistem Peradilan Pidana oleh Erna

Dewi,S.H.,M.H.)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pemahaman penulisan

skripsi sacara keseluruhan yang dirinci sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat latar belakang masalah penulisan skripsi ini yaitu

mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban. Bab ini juga memuat permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan

kegunaan penulisan, serta menguraikan kerangka teoretis, konseptual dan

sistematika penulisan, dimana permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai

pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai faktor penghamabat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban tersebut

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum

tentang pokok bahasan antara lain mengenai sistem peradilan pidana yang dalam

(27)

kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan selain itu dalam bab ini juga

akan membahas mengenai kedudukan saksi dan korban dalam sistem peradilan

pidana, pengertian saksi dan korban, hak – hak saksi dan korban serta sistem peradilan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai metode penulisan, yaitu pendekatan masalah,

sumber data, penentuan populasi dan sampel dan pengolahan data, serta analisis

data. Metode ini digunakan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini

dimana dalam bab ini di dicantumkan populasi dan sampel dalam penulisan

skripasi ini yang dalam hal ini populasi dan sampelnya adalah pihak Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan serta LPSK.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat

tentang analisis pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum serta faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 dalam sistem

peradilan pidana. Jawaban dari permasalahan tersebut diberikan oleh responden

(28)

V. PENUTUP

Dalam bab ini mengemukakan kesimpulan tentang hal – hal yang telah diuraikan dalam bab – bab terdahulu, guna menjawab permasalahan mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana serta faktor penghambatnya yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan

pemikiran berupa saran yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Peradilan Pidana

Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

(LP). Lembaga – lembaga peradilan ini satu sama lain saling berhubungan dalam melakukan penanganan suatu perkara.

Menurut Mardjono sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan

yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarkatan. Sedangkan,

tujuan dari sistem peradilan pidana menurut Mardjono adalah:

a. Mencegah masyarakat dari korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

sehingga keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

melakukan lagi kejahatannya.

Lembaga – lembaga dalam sistem peradilan di Indonesia satu sama lain saling berhubungan, hal ini dapat dilihat dari kedudukan Kepolisian sebagai lembaga

yang pertama kali akan menangani suatu perkara yang telah terjadi atau dapat

dikatakan Kepolisian menjadi penjaga pintu gerbang dalam sistem peradilan

pidana karena Kepolisian yang berwenang untuk menentukan siapa yang patut

(30)

Kejaksaan dalam hal ini adalah Penuntut Umum akan melaksanakan tugasnya

ketika telah menerima berita acara pemeriksaan penyidikan dari pihak Kepolisian,

Karena, dari berita acara pemerikasaan penyidikan dari Kepolisian tersebutlah

Penuntut Umum akan membuat surat dakwaannya. Berdasarkan hal tersebut

sudah seharusnya Kepolisian dan Kejaksaan bisa saling bekerja sama sehingga

tanggung jawab kedua lembaga tersebut dapat di laksanakan dengan sebaik

mungkin.

Hubungan Kepolisian dengan Pengadilan dapat dilihat dari dalam hal penyidik

meminta atau mengajukan permintaan untuk perpanjangan penahanan, meminta

ijin penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Sedangkan, hubungan

antara penyidik dengan hakim dapat dilihat pada pemeriksaan di muka

persidangan. Jika dalam persidangan hakim beranggapan bahwa surat dakwaan

yang dibuat oleh penuntut umum tidak atau kurang benar maka hakim dapat

memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk memperbaikinya. Dalam

hal hubungan dengan lembaga pemasyarakatan, penuntut umum adalah orang

yang ditugaskan untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap dengan memasukkan orang atau terdakwa ke dalam

Lembaga Pemasyarakatan.

Sistem peradilan pidana yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan satu kesatuan yang

melaksanakan fungsi dan tugas penegakan hukum pidana secara terpadu. Untuk

(31)

peradilan pidana tersebut maka, di bawah ini di uraikan fungsi serta tugas dari

lembaga – lembaga dalam sistem peradilan pidana tersebut:

1. Kepolisian

Kepolisian memiliki peraturan perundang - undangan yang mengatur mengenai

tugas serta fungsi dari Kepolisian yaitu Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pengertian Kepolisian berdasarkan Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) adalah segala

hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Kepolisian adalah lembaga yang pertama kali harus dilewati dalam proses

penegakan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Kepolisian

mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penahanan,

penyitaan, sampai ditemukannya suatu kejahatan yang di lakukan oleh seorang

tersangka.

Fungsi dari Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat hal ini sesuai

dengan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan tugas pokok dari Kepolisian Negara Republik

Indonesia terdapat dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa tugas pokok dari

(32)

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Kepolisian dalam sistem peradilan pidana mempunyai tugas yang bersifat

penindakan seperti melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan

dan penyitaan. Tindakan ini dalam sistem peradilan pidana dimaksudkan untuk

menyelesaikan tiap – tiap perkara yang masuk ke Kepolisian diselesaikan secara efisien.

2. Kejaksaan

Undang - Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

pada Pasal 2 ayat (1) mengatur mengenai pengertian Kejaksaan Republik

Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara

secara merdeka di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-

Undang. Di beberapa negara berkembang peranan Kejaksaan sebagai aparat

penegak hukum masih menunjukkan suatu alat pertumbuhan yang lebih dewasa,

terutama terhadap perubahan dan nilai – nilai ketertiban hukum yang terjadi didalam masyarakat.

Kejaksaan mempunyai wewenang dan tugas yang tercantum dalam berbagai

(33)

1967 dan Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia serta berbagai macam peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai Kejaksaan.

Peranan instansi Kejaksaan di negara – negara berkembang seperti Indonesia memiliki fungsi ganda, yaitu di samping sebagai aparat penegak hukum

Kejaksaan juga berpengaruh dalam kekuasaan eksekutif. Kejaksaan sendiri sering

disebut dengan Penuntut Umum atau Jaksa.

KUHAP memberikan pengertian yang berbeda mengenai Jaksa dan Penuntut

Umum. Pengertian tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 butir ke 6a dan 6b.

Pasal 1 butir ke 6 menyatakan:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang – undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang

ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.

Pengertian Jaksa yang terdapat dalam Pasal 1 butir ke 6 KUHAP berbeda dengan

pengertian Jaksa yang terdapat dalam Pasal 1 butir ke 1 Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Pasal 1 butir ke 1 menyatakan:

“ Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang –

(34)

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang

lain berdasarkan undang –undang ini.”

Kejaksaan Republik Indonesia terdiri dari:

a. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia

dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik

Indonesia.

b. Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah

hukumnya meliputi wilayah provinsi.

c. Kejaksaan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah

hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.

Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatur tugas dan wewenang dari Kejaksaan yang terdapat pada Pasal 30 ayat

(1), (2), (3).

Pasal 30 menyatakan:

(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang – undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya di koordinasikan dengan penyidik.

(2) Dibidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan kesejahteraan umum, kejaksaan turut menyelenggarkan kegiatan:

(35)

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal

3. Pengadilan

Pengadilan adalah lembaga yang menjalankan salah satu kekuasaan kehakiman

yang merdeka, menyelenggarakan peradilan yang dilaksanakan oleh Hakim guna

menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang

diajukan kepadanya ( Pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Nomor 35 tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 14 tahun 1970). Inti tugas tersebut adalah memberi kekuasaan kepada Hakim di pengadilan untuk mengadili dan memberi keputusan

setiap perkara baik perdata maupun pidana.

Tugas untuk mengadili tersebut dilaksanakan oleh Hakim. Pengertian Hakim

menurut Undang – Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam

undang-undang. Hakim yang mengadili perkara tersebut adalah termasuk Hakim di

Pengadilan Negeri, Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi serta Hakim Agung di

Mahkamah Agung.

Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta

memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istimewa karena, Hakim

selain sebagai pegawai negeri, Hakim juga diangkat serta diberhentikan oleh

Presiden. Hakim berbeda dengan pejabat – pejabat yang lain karena, Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,

(36)

keadilan menuntut Hakim agar supaya wajib mengadili dan memeriksa setiap

perkara yang diajukan kepadanya. Hakim tidak boleh menolak memeriksa

perkara-perkara yang diajukan karena Hakim adalah tempat pencari keadilan

untuk meminta keadilan.

4. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan adalah wadah yang berfungsi sebagai tempat

penggodokan para terpidana, guna menjalani yang telah diputuskan oleh

Pengadilan baginya. Masuknya terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan

merupakan titik awal usaha pembinaan bagi terpidana baik pembinaan secara fisik

maupun mental, dengan cara memberikan kepada terpidana – terpidana tersebut pendidikan sekolah, moral, agama serta keterampilan khusus agar terpidana

nantinya mempunyai bekal dalam menghadapi lingkungan hidup yang baru

setelah para terpidana tersebut keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan mempunyai tugas – tugas sosial yang memberikan wewenang kepada lembaga pemasyarakatan untuk menilai sikap prilaku terpidana

serta menentukan langkah – langkah yang akan dijalankan dalam proses pembinaan tersebut. Penilaian – penilaian yang di lakukan oleh lembaga pemasyarakatan terhadap terpidana digunakan untuk mendorong diberikan upaya-

upaya yang dapat meringankan terpidana dalam menjalani pemidanaannya di

dalam lembaga pemasyarakatan. Upaya – upaya tersebut dapat berupa remisi atau pelepasan bersyarat, yang semua itu mengarah agar terpidana tidak melakukan

(37)

B. Definisi Saksi dan Korban

1. Definisi Saksi

Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang

didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana. Sebagaimana

diketahui bahwa suatu keberhasilan dari suatu proses peradilan pidana sangat

bergantung dari pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam suatu proses

persidangan terutama alat bukti yang berkenaan dengan saksi. Saksi merupakan

alat bukti atau unsur yang paling penting dari sebuah proses pembuktian dalam

proses persidangan suatu perkara.

Saksi merupakan kunci utama dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses

persidangan karena dapat dikatakan bahwa keterangan dari saksi merupakan alat

bukti yang utama dari suatu perkara pidana sebab tidak ada perkara pidana yang

luput dari pembuktian dari keterangan saksi. Hampir semua sumber pembuktian

perkara pidana selalu bersumber dari keterangan saksi walaupun selain dari

keterangan dari saksi masih ada alat bukti yang lain namun, pembuktian dengan

menggunakan keterangan saksi masih sangat diperlukan. Hal ini dapat dilihat dari

Pasal 184 – 185 KUHAP yang menerapkan keterangan saksi pada urutan pertama hal ini juga dikarenakan keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama

kalinya diperiksa dalam tahap pembuktian didalam persidangan.

Saksi dalam hukum pidana dapat saja ada semenjak mulainya suatu tindak pidana

dimana tindak pidana ini mengakibatkan masyarakat merasa tidak aman dan tidak

tertib serta merasa terganggu ketentramannya. Masyarakat menghendaki agar si

(38)

berlaku. Saksi diperlukan guna mencari suatu titik terang atas telah terjadinya

suatu tindak pidana.

Keterangan saksi sebagai alat bukti yang salah harus dibedakan apakah termasuk

keterangan saksi sebagaimana tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP atau

sebagai “petunjuk” sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1)d KUHAP.

Pengertian saksi dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban ini menggunakan konsep tentang pengertian saksi

seperti yang diatur oleh KUHAP yang membedakan adalah jika dalam KUHAP

seseorang disebut sebagai saksi adalah pada tahap penyidikan sedangkan pada

Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 ini seseorang disebut sebagai saksi semenjak tahap penyelidikan dimulai.

Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP diatur mengenai pengertian Saksi serta

Keterangan Saksi.

Pasal 1 butir 26 KUHAP menyatakan:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna penyidikan,

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.”

Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan:

“Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya

(39)

Berdasarkan kajian teoretik dan praktik dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang

saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila orang itu memang

benar-benar mengetahui atas telah terjadinya suatu tindak pidana. Seseorang

dipanggil menjadi saksi, tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan,

saksi tersebut dapat diperintahkan supaya menghadap ke persidangan, hal ini

sesuai dengan Pasal 159 ayat (2) KUHAP.

Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan:

“Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan

hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk manyangka bahwa

saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat

memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan kepersidangan.”

Keterangan seorang saksi dalam hukum pidana tidak langsung saja dapat di

jadikan alat bukti yang sah, karena begitu pentingnya keterangan seorang saksi

maka agar dapat diterima sebagai alat bukti yang sah harus lah sesuai dengan

ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 185 KUHAP.

Pasal 185 KUHAP:

1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;

2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;

4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri - sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;

5. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi;

6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh - sunggguh memperhatikan:

(40)

b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

7. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Umumnya semua orang dapat dijadikan saksi namun, ada orang – orang tertentu yang tidak dapat dijadikan saksi yaitu terdapat pada Pasal 168 KUHAP dimana

pada Pasal tersebut dijelaskan orang – orang yang tidak dapat di jadikan seorang saksi suatu perkara pidana dalam suatu proses persidangan yaitu:

1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah

sampai derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa;

2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara

ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena

perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa.

Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberikan kesaksian

dibawah sumpah yaitu:

1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah

kawin;

(41)

Pasal 170 KUHAP yang menyatakan:

“ mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya

diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban

untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang

dipercayakan kepada mereka”.

Adapun jenis – jenis saksi dalam peradilan pidana yaitu :

1. Saksi a charge ( Memberatkan )

Pada dasarnya menurut sifat dan eksistensinya maka keterangan saksi a charge

adalah keterangan seorang saksi dengan memberatkan terdakwa dan terdapat

dalam beberapa perkara serta lazim diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Saksi a

charge ini dicantumkan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Hal ini

dilakukan oleh Jaksa karena nantinya di persidangan ia harus dapat membuktikan

semua tuntutan yang di jatuhkan kepada terdakwa

2. Saksi A de Charge ( Meringankan )

Merupakan saksi yang meringankan bagi tersangka/terdakwa atau saksi yang tidak

menguatkan bahwa tersangka itu melakukan tindak pidana. Saksi meringankan ini

diajukan oleh terdakwa pada saat persidangan di Pengadilan. Hal ini sesuai

dengan Pasal 65 KUHAP yang mengatakan bahwa tersangka atau terdakwa

berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau sesorang yang memiliki

keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya.

(42)

3. Saksi Korban ( Mengalami sendiri )

Korban dari suatu tindak pidana berhak mengajukan laporan kepada penyidik atau

penyelidik. Korban dapat dijadikan sebagai saksi yang umumnya disebut dengan

saksi korban. Saksi korban ini dapat memberikan keterangan mengenai kejadian

atau tindak pidana yang dialaminya sendiri.

4. Saksi Pelapor ( Mendengar/melihat sendiri)

Saksi pelapor merupakan orang yang bukan sebagai korban tindak pidana, tetapi

ia adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri sacara langsung kejadian

itu dan bukan diketahui oleh orang lain.

Orang – orang yang menjadi saksi ini adalah seseorang yang memberikan laporan kepada aparat kepolisian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana di suatu tempat

atau dapat juga seseorang yang berada di tempat kejadian perkara tersebut.

5. Saksi Mahkota ( Yang bersama menjaadi terdakwa )

Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dari atau diambil dari salah seorang

tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama – sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.

Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah

dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu

tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau

dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Namun demikian kelemahan

(43)

palsu, sehingga ada kemungkinan yang timbul para terdakwa yang diperiksa

menjadi saksi mahkota akan saling memberatkan atau meringankan.

6. Saksi Testamonium de Auditu

Saksi Testamonium de Auditu merupakan saksi yang menerangkan tentang apa

yang didengarnya mengenai suatu tindak pidana dari orang lain. Sebenarnya saksi

Testamonium de Auditu bukan merupakan alat bukti yang sah dalam suatu proses

perkara pidana di persidangan sebab saksi Testamonium de Auditu ini tidak

melihat atau mendengar sendiri suatu tindak pidana yang telah terjadi saksi ini

hanya mendengar keterangan dari orang lain walaupun saksi ini tidak mendengar

secara langsung mengenai telah terjadinya suatu tindak pidana tetapi saksi

Testamonium de Auditu ini perlu pula didengar oleh Hakim, walaupun tidak

mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan

Hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Saksi Testamonium de

Auditu ini dapat dijadikan alat bukti yang sah jika tidak ada alat bukti lain.

2. Definisi Korban

Terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban

tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana. Dimana dalam terjadinya suatu

tindak pidana ini tentunya yang sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana

tersebut. Ada beberapa pengertian mengenai korban, pengertian ini diambil dari

(44)

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 2 menyatakan

bahwa pengertian korban adalah:

“ Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

Menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 pengertian korban

adalah:

“ orang - orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita

kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum

pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang

penyalahgunaan kekuasaan.”

Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam PP Nomor 2 Tahun 2002

tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Kepada Saksi dan Korban Pelanggaran

HAM Berat yaitu menyatakan bahwa korban adalah orang perseorangan atau

kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak

asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari

ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Korban juga dapat merupakan pihak yang sifatnya secara kolektif dan hanya

bersifat perseorangan. Sebab, akibat terjadinya suatu tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa mengakibatkan jatuhnya korban yang bisa saja tidak

hanya satu orang namun bisa saja korban dari tindak pidana tersebut lebih dari

satu orang. Korban suatu tindak pidana ini dapat melaporkan secara langsung

perkara pidana yang telah menimpa dirinya kepada pihak yang berwenang yaitu

(45)

Korban dalam suatu tindak pidana berhak untuk medapatkan perlindungan baik

itu bagi dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.

Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan mengapa korban

memerlukan hak untuk mendapatkan perlindungan diantaranya adalah:

a. sistem peradilan pidana dianggap terlalu memberikan perhatian pada

permasalahan dan peran pelaku kejahatan;

b. terdapat potensi informasi dari korban untuk memperjelas dan melengkapi

penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset tentang korban dan harus

dipahami bahwa korbanlah yang menggerakkan mekanisme sistem

peradilan pidana;

c. semakin disadari bahwa selain korban kejahatan konvensional, tidak

kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan

non konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.

Berdasarkan alasan – alasan tersebut memang sudah seharusnya korban mendapatkan haknya untuk perlindungan

C. Kedudukan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Saksi dalam sistem peradilan pidana menempati posisi yang sangat penting seperti

yang sudah di jelaskan sebelumnya bahwa suatu perkata pidana tidak dapat

terungkap jika tidak adanya saksi. Dalam proses penangkapan atau penahanan

seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana telah diketahui

(46)

permulaan yang cukup yaitu dua alat bukti yang cukup salah satunya adalah

adanya saksi yang melihat, mendengar mengenai tindak pidana yang telah terjadi.

Kedudukan saksi dan korban khususnya bagi saksi dalam proses peradilan pidana

di Indonesia ini telah ada sejak dimulainya proses penyelidikan atas perkara

tindak pidana yang telah terjadi sampai dengan nantinya di Kejaksaan dan

Pengadilan. Hal ini membuktikan bahwa peran saksi dalam setiap perkara pidana

yang ada sangat penting apalagi dengan adanya keterangan saksi dalam proses

persidangan dapat membantu Hakim dalam memutuskan bersalah atau tidaknya

terdakwa sebab Hakim pun dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa harus

mendengarkan terlebih dahulu keterangan dari saksi - saksi atau pun korban

tindak pidana itu sendiri yang di hadirkan dalam persidangan.

Dilihat dari sudut Perundang-undangan kedudukan saksi dan korban sangat

lemah. Hal ini dapat di lihat dengan tidak adanya hak-hak saksi dan korban yang

dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP )

berbeda dengan terdakwa yang hak - haknya terdapat dalam KUHAP. Pemberian

hak – hak terdakwa didalam KUHAP mungkin dikarenakan faktor kedudukan terdakwa yang lemah karena sebagai posisinya sebagai orang yang bersalah,

Namun sebenarnya saksi dan korban juga seharusnya dapat di berikan hak

-haknya seperti halnya terdakwa karena sesungguhnya kondisi saksi, korban serta

terdakwa tidak jauh berbeda semuanya sama - sama berhak untuk mendapatkan

haknya salah satunya dalam hal mendapatkan perlindungan, karena:

1. Bagi saksi ( apalagi saksi yang tidak mengerti tentang hukum )

(47)

2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana

baginya karena dianggap bersumpah palsu;

3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapatkan

ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan;

4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya;

5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang

terdakwa/tersangka.

Kedudukan saksi dan korban terutama saksi yang sangat lemah dalam sistem

peradilan pidana juga dapat di lihat dalam Pasal 224 KUHP yang menyebutkan:

“ Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang - undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang -undang selaku demikian harus dipenuhinya ancaman: Ke-1 dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan.

Ke-2 dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.”

Secara teoritis, saksi dan korban terutama untuk korban memang telah diwakili

haknya oleh aparat penegak hukum. Namun, pada kenyataannya saksi dan korban

hanyalah dijadikan sebagai alat untuk menguatkan suatu argumentasi untuk

memenangkan suatu perkara dalam persidangan.

Di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat ( 1 ) dinyatakan :

“ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecualinya”

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat ( 1 ) tersebut seharusnya tidak berlebihan

(48)

Perundang – undangan sehingga pada akhirnya untuk memberikan suatu hak yang memang seharusnya didapatkan oleh saksi dan korban maka pemerintah membuat

Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban.

3. Hak – Hak Saksi dan Korban

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti

yang berhasil diungkapkan atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama

yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak

adanya saksi yang mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi dan

korban menentukan dalam proses peradilan pidana.

Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang

diperhatikan oleh masyarakat serta para aparat penegak hukum. Kasus – kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan karena saksi dan

korban takut memberikan kesaksiaan kepada aparat penegak hukum hal ini

dikarenakan para saksi dan korban terutama saksi banyak mendapatkan ancaman

dari pihak – pihak tertentu.

Usaha menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap suatu tindak

pidana perlu diciptakan suatu iklim yang kondusif dengan cara memberikan hak – hak kepada saksi yang memang mengetahui atau menemukan mengenai suatu hal

yang dapat membantu mengungkapkan tindak pidana yang telah terjadi serta

(49)

Pelapor – pelapor atau para saksi dan korban yang melaporkan telah terjadinya suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum tersebut sudah semestinya

mendapatkan hak – hak nya sebagai saksi dan korban semenjak perkara tersebut diproses oleh aparat penegak hukum hingga perkaranya di limpahkan ke

pengadilan. Karena, dikahwatirkan banyak saksi yang mengetahui telah terjadinya

suatu tindak pidana tidak mau memberikan kesaksiaannya dikarenakan takut

mendapatkan ancaman atau hal – hal lainnya karena mereka tidak diberikan hak- hak yang seharusnya diberikan kepada saksi dan korban.

Saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana sebenarnya memiliki posisi yang

sangat penting atau dapat dikatakan saksi merupakan kunci dari terkuaknya suatu

kasus tindak pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti utama ini menjadi acuan

Hakim untuk memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Namun, posisi saksi yang

sedemikian penting ini tidak diperhatikan oleh para aparat penegak hukum. Saksi

dan korban tidak diberikan haknya seperti halnya tersangka/terdakwa yang

mempunyai hak yang telah diatur dalam KUHAP, sedangkan hak saksi ataupun

korban dalam KUHAP hanya ada satu Pasal yang menyatakan secara jelas

mengenai Hak Saksi yaitu pada Pasal 229 KUHAP yang menyatakan tentang

penggantian biaya bagi para saksi yang datang ke persidangan. Lalu, untuk korban

diatur dalam Pasal 98 KUHAP yang menyatakan bahwa korban suatu tindak

pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa yang terbukti bersalah

menyebabkan kerugian baginya, melalui proses penggabungan perkara pidana dan

(50)

proses peradilan pidana maka dibuatlah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 didalamnya telah diatur secara jelas

mengenai hak – hak saksi dan korban, Adapun hak – hak saksi dan korban tersebut di atur dalam Pasal 5 yaitu:

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

4. Mendapat penerjemah;

5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

9. Mendapat identitas baru;

10.Mendapatkan tempat kediaman baru;

11.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

12.Mendapat nasihat hukum;

13.Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

(51)

Untuk korban tindak pidana dalam Undang - Undang ini memilki kekhususan

terutama bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain korban

tersebut mendapatkan hak -haknya yang terdapat dalam Pasal 5 Undang - Undang

ini korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini juga mendapatkan hak-

hak yang lain, yang terdapat dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006:

“ Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak

atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk

mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.”

Walaupun telah ada Undang - Undang yang mengatur mengenai penjaminan hak -

hak dari saksi dan korban, namun pemberian hak- hak tersebut tidak diberikan

kepada semua saksi dan korban yang sedang menjalani proses peradilan perkara

pidana. Hak – hak tersebut hanya diberikan kepada saksi - saksi yang menjalani proses peradilan perkara pidana mengenai tindak pidana pembunuhan, korupsi,

kekerasan dalam rumah tangga lalu kasus pencucian uang. Jadi, tidak semua saksi

yang memberikan keterangannya di persidangan bisa mendapatkan hak - hak saksi

dan korban yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban tersebut.

Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 ini terdapat juga Pasal yang mengatur

(52)

di persidangan atas persetujuan Hakim, hal ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1), (2)

dan (3) yaitu:

(1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.

(2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.

(3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Seluruh hak – hak yang ada dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hak untuk mendapatkan

perlindungan adalah hak yang paling diinginkan oleh para saksi dan korban hal ini

juga secara tersirat di jelaskan Pada Pasal 9 ayat ( 1 ), ( 2 ), ( 3 ) Undang – Undang tersebut, berdasarkan penjelasan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa

saksi atau korban yang di ijinkan oleh Hakim untuk tidak hadir di depan

persidangan serta kesaksiannya dapat disampaikan secara tertulis atau didengar

kesaksiannya melalui sarana elektronik didampingi oleh pejabat berwenang hal ini

mengisyaratkan bahwa ketidakhadiran saksi atau korban di muka persidangan

mungkin saja karena ada ancaman dari pihak - pihak tertentu sehingga diperlukan

pemberian hak perlindungan kepada saksi dan korban tersebut.

Mengingat betapa pentingnya keterangan saksi dalam persidangan perkara pidana

khususnya saksi serta korban perkara pidana kasus - kasus seperti pembunuhan,

korupsi, kekerasan dalam rumah tangga yang sudah melanggar hak asasi manusia,

(53)

dari para aparat penegak hukum dalam memberikan kesaksiannya sehingga saksi

dan korban dapat merasakan suatu keamanan untuk dirinya serta keluarganya

dimana perlindungan ini ada dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006

Referensi

Dokumen terkait

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELANGGARAN HAM BERAT MELALUI KOMPENSASI BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN” telah

Setelah melewati proses negosisasi bertahun-tahun, akhirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut Menurut Pasal 1 butir ke

Dalam proses peradilan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kepada korban dan saksi

proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang.. mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam Memperoleh Hak Pelayanan Dan Hak Pendampingan Ditinjau Dari Undang-Undang

Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 ini misalnya diatur

13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP), tidak pernah disebutkan secara

Adapun hak-hak korban dicantumkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban dikutip