ABSTRAK
ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG dilahirkan ke bumi. Oleh karena itu pemerintah serta aparat penegak hukum harus menjunjung tinggi hak asasi tersebut di segala bidang tanpa terkecuali dan tidak boleh dilanggar. Begitu pula dengan saksi ataupun korban. Saksi ataupun korban memilki hak – hak yang harus diberikan kepada saksi ataupun korban dalam suatu perkara. Hak – hak saksi dan korban ini sendiri telah diatur di dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, pada kenyataannya walaupun telah ada undang – undang yang mengatur mengenai hak – hak saksi dan korban, pada kenyataanya masih banyak saksi dan korban yang tidak mau memberikan kesaksiannya dengan berbagai alasan seperti takut mendapatkan ancaman dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, padahal dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini mengatur mengenai hak saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan dari lembaga yang berwenang dalam menjalankan pemberian hak kepada saksi ataupun korban. Permasalahan dalam skripsi ini adalah, Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peadilan pidana berdasarkan Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Faktor – faktor apa sajakah yang menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis serta berdasarkan hasil dari wawancara dari para responden, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana belum sepenuhnya terlaksana oleh aparat penegak hukum baik itu dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sendiri. Adapun hak yang belum bisa terlaksanakan dengan baik adalah hak saksi ataupun korban untuk mendapatkan biaya penggantian transportasi hal ini terjadi karena belum adanya undang – undang yang mengatur mengenai hal tersebut sehingga menghambat penggantian biaya transportasi tersebut. Adapun fakor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana yaitu faktor dari Undang –Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban itu sendiri dimana dalam undang – Kota Negara sehingga membuat masyarakat juga banyak yang tidak mengetahui bahwa telah ada lembaga yang bertanggungjawab dalam pemberian hak – hak saksi dan korban hal ini juga masih kurangnya sosialisasi dari pihak penegak hukum khususnya dari LPSK nya sendiri kepada masyarakat khususnya yang berada di luar Jakarta.
ANALISIS TERHADAP HAK SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Oleh
FLORENCIA EIGTHEEN NATALYA SINAGA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Diah Gustiniati M, S.H., M.H. ………..
Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ………..
Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H. ………..
2. Dekan Fakultas Hukum
H. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 19560901 198103 1 003
Judul Skripsi : ANALISIS TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Nama Mahasiswa : Florencia Eigtheen Natalya Sinaga
Nomor Pokok Mahasiswa : 0612011018
Program Studi : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. Maya Shafira, S.H.,M.H. NIP.19620817 198703 2 003 NIP. 19770601 200501 2 002
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gadingrejo sebuah Kecamatan di
Kabupaten Pringsewu di Propinsi Lampung pada tanggal 18
Desember 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara
dari pasangan Brigpol James Sinaga dan Dra. Rusmina
Sitinjak.
Pada Tahun 1994 Penulis menyelesaikan pendidikan pada sekolah Taman
Kanak-Kanak ( TK ) Pertiwi Gadingrejo, kemudian pada Tahun 1994 Penulis
melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dasar ( SD ) Negeri 1 Gadingrejo, setelah
lulus kemudian pada Tahun 2000 melanjutkan pendidikan pada Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama ( SLTP ) Negeri 1 Gadingrejo, setelah itu menyelesaikan
pendidikan pada Sekolah Menengah Atas ( SMA ) Negeri 1 Gadingrejo pada
tahun 2006 dan pada tahun yang sama Penulis terdaftar sebagai mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan
Akademik dan Bakat ( PKAB )dan mengambil bagian Hukum Pidana di Fakultas
Hukum Universitas Lampung serta Penulis mengikuti Organisasi Himpunan
Mahasiswa Pidana ( Hima Pidana ).
MOTTO
Segala Sesuatu Dapat Tercapai Dengan Usaha.
Usaha Tidak Akan Sia-Sia Apabila Dikerjakan Dengan Sungguh-Sungguh
Yakinlah Apa Yang Akan Kita Kerjakan
Dan
Raihlah Segala Sesuatu Dengan Usaha Sendiri
Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan
Janganlah kamu membela orang kecil
dengan tidak sewajarnya
Dan janganlah engkau terpengaruh
Oleh orang-orang besar
Tetapi engkau harus mengadili
Orang sesamamu dengan kebenaran
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Yesus Kristus, karena berkat serta campur tangan Nya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Terhadap
Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang –
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban “,
sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana bidang ilmu hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari segala kesulitan dan hambatan
namun, dengan adanya bantuan, bimbingan, petunjuk serta saran dari berbagai
pihak maka dalam kesempatan ini dengan segela kerendahan hati, Penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:
1. Bapak H. Adius Semenguk, S.H.,M.H. selaku dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Bapak Armen Yaser, S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas
Hukum Universitas Lampung
3. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung yang sekaligus sebagai
Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikaran dalam
skripsi ini;
5. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. selaku Pembahas I yang telah berkenaan
mengevaluasi, memberi masukan dan saran guna penyempurnaan skripsi
ini;
6. Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H. selaku Pembahas II yang telah berkenaan
memberikan kritik dan saran serta petunjuk – petunjuk guna penyempurnaan skripsi ini;
7. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik
yang selama ini membimbing penulis dan memberikan bantuan dalam
menuntut ilmu pada Fakultas Hukum Universitas Lampung;
8. Seluruh staf, dosen, dan karyawan Civitas Akademik Fakultas Hukum
Universitas Lampung ( mbak Yanti serta mbak Sri );
9. Papa dan Mama yang selalu mendoakan penulis selama ini terima kasih
atas semuanya yang telah diberikan selama ini serta buat adik – adik ku Lidya Sinaga serta Redhi Sinaga;
10.Alm. Opung ( Kelapa Tinggi ) walaupun Opung Doli dan Opung Boru
telah tiada terima kasih karena pasti opung selalu mendoakan penulis.
Serta Opung Doli dan Opung Boru di Samosir terima kasih selalu
memberikan semangat serta nasehat – nasehat dan mendoakan penulis; 11.Bapaktua, Mamaktua, Amangboru, Namboru, Tante, Nanguda, Uda,
Penulis serta teman – teman terbaik Penulis yaitu alumni XI IS 3 yang selalu memberikan doanya;
13.Teman – teman penulis pada Fakultas Hukum Universitas Lampung April, Lismelalia, Rosya, Marisa, Ara, Rina, Elmi, Laura, Dwi Dinata ( Onta ),
Torry, Erlangga, Reza. Gladis, Windi serta teman – teman Fakultas Hukum 06 yang lainnya yang tidak dapat di sebutkan satu persatu
khususnya teman – teman pada bagian Hukum Pidana terima kasih atas doanya dan semangatnya;
Penulis hanya dapat mandoakan semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang
telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat dijadikan sebagai
sesuatu yang bermanfaat bagi pembacanya.
Bandarlampung, 4 April 2010 Penulis,
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden……….. 46 B. Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan
Pidana Berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban……….. 47 C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Hak – Hak Saksi dan Korban
Dalam Sistem Peradilan Pidana………. 64 DAFTAR PUSTAKA
V. PENUTUP
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai kebebasan dan hak – hak yang disebut dengan Hak Asasi Manusia ( HAM ), dimana hak asasi ini dimiliki oleh setiap menusia sejak
ia dilahirkan ke bumi. Oleh karena itu, pemerintah serta aparat penegak hukum
harus menjunjung tinggi hak asasi tersebut di segala bidang tanpa terkecuali dan
tidak boleh dilanggar. Indonesia sendiri sebagai negara hukum mennjunjung
tinggi hak-hak warga negaranya termasuk hak persamaan warga negara di depan
hukum dimana hak ini tertuang pada Undang – Undang Dasar 1945 atau biasa disebut dengan UUD 1945 pada Pasal 27 .
Pasal 27 menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”.
Berdasarkan pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban
untuk melindungi hak – hak warga negaranya tersebut tanpa terkecuali melalui aparat penegak hukumnya. Begitu pula dengan saksi dan korban meskipun
mereka hanya menjadi seorang saksi ataupun mereka menjadi korban dalam suatu
kasus pidana tetap saja mereka mempunyai hak yang sama di depan hukum tanpa
Hak saksi dan korban sendiri dalam Kitab Hukum Acara Pidana atau disebut
dengan KUHAP tidak membahas pentingnya hak – hak saksi dan korban hanya ada beberapa pasal yang dianggap menjadi hak saksi dan korban yaitu:
1. Pasal 98 KUHAP menyatakan:
Korban suatu tindak pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa
yang terbukti bersalah menyebabkan kerugian baginya, melalui proses
penggabungan perkara pidana dan perdata.
2. Pasal 117 ayat (1) KUHAP menyatakan :
Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan
dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.
3. Pasal 118 KUHAP menyatakan:
Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditanda
tangani oleh penyidik, dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka
menyetujuinya.
4. Pasal 166 KUHAP menyatakan:
Petanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada terdakwa
maupun saksi.
5. Pasal 177 KUHAP menyatakan:
Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim ketua sidang
menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan
menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan.
6. Pasal 178 KUHAP menyatakan:
Hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai
bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
7. Pasal 229 menyatakan:
Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berhak, mendapat
penggantian biaya menurut aturan perundang –undangan yang berlaku”.
Pasal – pasal dalam KUHAP ini sepertinya belum dapat terlaksanakan dengan baik serta masih sangat kurang bagi saksi dan korban sebab dalam KUHAP tidak
ada mengenai hak untuk dilindungi padahal hak ini sangat penting diberikan
kepada saksi dan korban serta merupakan hak yang paling di inginkan oleh saksi
ataupun korban.
Menurut Basil Fernando (2006:4):
“ Perlindungan bagi saksi dan korban sangatlah penting diberikan oleh aparat
penegak hukum sebab tanpa adanya perlindungan maka impunitas tidak dapat diperangi sebab jika hak perlindungan terhadap saksi tidak ada maka maka korban pelanggaran HAM berat yang melaporkan kasusnya tentu harus menghadapi ancaman serius yang dapat membahayakan jiwa mereka sendiri ataupun orang – orang yang mereka kasihi sehingga diperlukan suatu lembaga
yang mempunyai tugas untu melindungi saksi dan korban.”
Hal ini berarti betapa pentingnya hak perlindungan bagi saksi dan korban dalam
sistem peradilan pidana agar pelaksanaan proses pembuktian suatu kasus tindak
pidana dapat berjalan dengan baik. Untuk melaksanakan hak tersebut di Indonesia
sendiri terdapat lembaga – lembaga yang berperan besar dalam penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Lembaga – lembaga tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan. Keempat lembaga inilah
melaksanakan pemberian hak – hak terhadap saksi dan korban tapi sapertinya para penegak hukum ini masih sering mengabaiakan hak – hak dari saksi dan korban. Padahal saksi dan korban menempati posisi kunci sebagaimana terlihat dalam
penempatannya dalam Pasal 184 KUHAP dalam pasal tersebut dituliskan bahwa
saksi merupakan alat bukti utama.
Keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus
bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi, sangatlah jelas bahwa posisi saksi
mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan
keadilan namun posisi saksi yang sangat penting ini sepertinya sangat jauh dari
perhatian masyarakat khususnya penagak hukum yang tidak memperhatikan hak – hak dari saksi maupun korban untuk mendapatkan sebuah perlindungan.
Posisi korban dan saksi dalam sistem peradilan pidana cenderung diperlakukan
sebagai bagian dari alat bukti setelah itu tidak ada upaya untuk menjamin adanya
upaya perlindungan kepada saksi yang memberikan keterangan di pengadilan
dengan resiko tertentu demikian juga bagi korban, tidak ada upaya pemulihan
yang memadai untuk mengembalikan posisi korban seperti semula bahkan
seringkali saksi ataupun korban secara tidak langsung mendapat pertanyaan – pertanyaan yang menjerat mereka dalam proses pembuktian di persidangan karena
hal ini pula banyak saksi atau bahkan korban yang tidak ingin memberikan
kesaksian di persidangan dikarenakan takut mendapatkan ancaman dari pihak – pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, seharusnya saksi
Tahun 2006 disahkan sebuah undang – undang mengenai perlindungan saksi dan korban yaitu Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang – Undang ini di buat untuk melindungi saksi ataupun korban agar mendapatkan hak – hak mereka sebagai saksi ataupun korban dalam suatu kasus tindak pidana. Namun, kenyataannya masih saja banyak terjadi
kasus-kasus yang menimpa saksi dan korban walaupun telah ada Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Contohnya:
Pada Juni 2008 seorang wanita bernama Sumarlin bersama dengan teman-temannya mengadakan aksi menolak BBM di depan Kampus UIN Makassar. Aparat kepolisian membubarkan aksi. Atas kejadian tersebut, 2 orang mahasiswa hilang saat polisi membubarkan aksi. Atas kejadiaan tersebut mahasiswa melakukan konfrensi pers dan menduga kepolisian melakukan penculikan. Akhirnya Mustari dan Sumarlin mendapatkan panggilan sebagai saksi dari Polwiltabes Makassar dengan tuduhan penyiaran, penghinaan, terhadap pejabat negara. Mesti tidak menjadi tersangka, sumarlin sempat mendapat teror dan intimidasi. (Kesaksian media informasi perlindungan saksi dan korban juni 2009)
Di Kabupaten Sinjai, seorang aktivis LSM bernama Amrullah melaporkan adanya dugaan korupsi di salah satu lembaga pemerintahan di Sinjai. Laporan tersebut diajukan ke Kepolisiaan Polres Sinjai. Meski mendapatkan initimidasi dan tekanan dari pihak – pihak yang tidak bertanggungjawab, Amrullah tetap bersikeras terhadap laporannya. Karena laporannya itu, Amrullah dijadikan tersangka oleh Polres Sinjai dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan. (Kesaksian media informasi perlindungan saksi dan korban juni 2009)
Kasus – kasus diatas merupakan sebagaian kasus yang masih menimpa saksi ataupun korban setelah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di sahkan. Apa yang di kemukakan diatas tidak
semestinya terjadi apabila aparat penegak hukum seperti Kepolsian. Kejaksaan,
tugas pokok dan fungsinya. Diluar konteks undang – undang perlindungan saksi dan korban telah berlaku seharusnya aparat penegak hukum mampu bertindak adil
terhadap sebuah proses pemeriksaan perkara dengan tetap mengacu pada
mekanisme hukum yang berlaku, sehingga tidak perlu lagi terjadi hal semacam
ini. LPSK sendiri merupakan lembaga yang beradasarkan undang – undang perlindungan saksi dan korban adalah lembaga yang berwenang dalam
pelaksanaan pemberian hak – hak saksi ataupun korban. Namun, lembaga ini sendiri baru terbentuk pada Agustus 2008 sehingga lembaga ini belum efektif
dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul: “Analisis Terhadap Hak Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pelaksanaan hak - hak saksi dan korban dalam sistem peradilan
pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini hanya dibatasi mengenai pelaksanaan
hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta
faktor – faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana pada wilayah hukum Poltabes Bandar Lampung,
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Pengadilan Negeri Kelas 1a Tanjung Karang
serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan hak - hak saksi dan korban dalam sistem
peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum.
b. Untuk mengetahui faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana .
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan kajian
bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas untuk
mengetahui pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban yang dilakukan oleh aparat penegak hukum serta untuk mengetahui
faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak-hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoretis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran
atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi
terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono
Soekanto, 1986 :125).
Penulisan skripsi ini, perlu dibuat sebuah karangan teoritis untuk
mengidentifikasikan data yang akan menjadi pengantar bagi penulis dalam
menjawab permasalahan skripsi yang diangkat.
Manusia adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban hukum, jadi
setiap manusia mempunyai hak yang sama di depan pengadilan seperti hak untuk
mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum. Hal ini sesuai dengan arti
dari hukum itu sendiri yaitu memberi pengayoman, kedamaian dan ketentraman
sebab itu maka sistem hukum di Indonesia mempunyai asas - asas hukum yang
menjamin hak – hak manusia sebagai subjek hukum. Oleh karena itu saksi dan korban dalam peradilan di Indonesia pada dasarnya mempunyai hak untuk
mendapatkan perlindungan selama persidangan berlangsung sampai dengan
persidangan tersebut berakhir.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah hal ini berdasarkan
KUHAP Pasal 184 Ayat 1 yang menyatakan bahwa: “ Alat bukti yang sah ialah
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa”. Keterangan saksi dalam proses peradilan pidana ialah saksi yang mendengar,
mengalami atau melihat dengan mata kepala sendiri dan bukan yang ia mendengar
atau memperoleh keterangan dari orang lain. Sehingga kedudukan saksi di dalam
proses peradilan pidana sangat penting oleh sebab itu diperlukan perlindungan
hukum oleh pihak yang berwenang sampai proses peradilan yang dijalaninya
selesai.
Perlindungan saksi dan korban diatur pula dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 98 (1) KUHAP dan Pasal 229 ayat (1)
KUHAP.
Pasal 98 KUHAP yang menyatakan:
“Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian
bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
Pasal 229 ayat (1) KUHAP menyatakan:
“Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat
penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Peranan aparat penegak hukum dalam hal ini sangatlah penting sebab tanpa
adanya peranan dari aparat penegak hukum maka efektifitas dalam menjalankan
Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
tidak akan berjalan dengan baik. Menurut Soerjono Soekanto, dalam rangka
efektivitas penegakan hukum dibutuhkan lima unsur pokok yaitu:
a. Faktor Hukum
Praktik dalam penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan
kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara
normatif. suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar
hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau
tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum, karena penyelenggaraan
hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan
pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
b. Faktor Penegakan Hukum
Mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan
penting dalam berfungsinya hukum, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian penegak hukum. selama ini ada kecenderungan yang kuat di
kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak
hukum.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.
Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang
praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan
di dalam tujuannya. Sedangkan perangkat keras dalam hal ini adalah sarana
fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung.
d. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul
adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,
atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
e. Faktor Kebudayaan
Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya begitu sering membicarakan soal
kebudayaan. Kebudayaan sendiri mempunyai fungsi yang sangat besar bagi
bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau
mereka berhubungan dengan orang lain.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah- istilah
yang ingin diteliti atau ingin diketehui (Soerjono Soekanto, 1986:132).
Adapun pengertian dasar dari istilah yang ingin atau yang akan digunakan dalam
penulisan adalah :
a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya. ( Purwadarmita,1993)
b. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia
alami sendiri. (KUHAP Pasal 1 butir 26)
c. Korban adalah seseorang yang mengalami pendertitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. (Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 2)
d. Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan
untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau Korban yang wajib
dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini. (Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 6)
lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.
(Mardjono, dalam buku ajar Sistem Peradilan Pidana oleh Erna
Dewi,S.H.,M.H.)
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pemahaman penulisan
skripsi sacara keseluruhan yang dirinci sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang memuat latar belakang masalah penulisan skripsi ini yaitu
mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban. Bab ini juga memuat permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan
kegunaan penulisan, serta menguraikan kerangka teoretis, konseptual dan
sistematika penulisan, dimana permasalahan dalam skripsi ini adalah mengenai
pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta mengenai faktor penghamabat pelaksanaan hak – hak saksi dan korban tersebut
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum
tentang pokok bahasan antara lain mengenai sistem peradilan pidana yang dalam
kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan selain itu dalam bab ini juga
akan membahas mengenai kedudukan saksi dan korban dalam sistem peradilan
pidana, pengertian saksi dan korban, hak – hak saksi dan korban serta sistem peradilan pidana.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan mengenai metode penulisan, yaitu pendekatan masalah,
sumber data, penentuan populasi dan sampel dan pengolahan data, serta analisis
data. Metode ini digunakan penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini
dimana dalam bab ini di dicantumkan populasi dan sampel dalam penulisan
skripasi ini yang dalam hal ini populasi dan sampelnya adalah pihak Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan serta LPSK.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat
tentang analisis pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana berdasarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum serta faktor – faktor yang menghambat pelaksanaan hak saksi dan korban dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 dalam sistem
peradilan pidana. Jawaban dari permasalahan tersebut diberikan oleh responden
V. PENUTUP
Dalam bab ini mengemukakan kesimpulan tentang hal – hal yang telah diuraikan dalam bab – bab terdahulu, guna menjawab permasalahan mengenai pelaksanaan hak – hak saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana serta faktor penghambatnya yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan
pemikiran berupa saran yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Peradilan Pidana
Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan
pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan
(LP). Lembaga – lembaga peradilan ini satu sama lain saling berhubungan dalam melakukan penanganan suatu perkara.
Menurut Mardjono sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan
yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarkatan. Sedangkan,
tujuan dari sistem peradilan pidana menurut Mardjono adalah:
a. Mencegah masyarakat dari korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
sehingga keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
melakukan lagi kejahatannya.
Lembaga – lembaga dalam sistem peradilan di Indonesia satu sama lain saling berhubungan, hal ini dapat dilihat dari kedudukan Kepolisian sebagai lembaga
yang pertama kali akan menangani suatu perkara yang telah terjadi atau dapat
dikatakan Kepolisian menjadi penjaga pintu gerbang dalam sistem peradilan
pidana karena Kepolisian yang berwenang untuk menentukan siapa yang patut
Kejaksaan dalam hal ini adalah Penuntut Umum akan melaksanakan tugasnya
ketika telah menerima berita acara pemeriksaan penyidikan dari pihak Kepolisian,
Karena, dari berita acara pemerikasaan penyidikan dari Kepolisian tersebutlah
Penuntut Umum akan membuat surat dakwaannya. Berdasarkan hal tersebut
sudah seharusnya Kepolisian dan Kejaksaan bisa saling bekerja sama sehingga
tanggung jawab kedua lembaga tersebut dapat di laksanakan dengan sebaik
mungkin.
Hubungan Kepolisian dengan Pengadilan dapat dilihat dari dalam hal penyidik
meminta atau mengajukan permintaan untuk perpanjangan penahanan, meminta
ijin penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Sedangkan, hubungan
antara penyidik dengan hakim dapat dilihat pada pemeriksaan di muka
persidangan. Jika dalam persidangan hakim beranggapan bahwa surat dakwaan
yang dibuat oleh penuntut umum tidak atau kurang benar maka hakim dapat
memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk memperbaikinya. Dalam
hal hubungan dengan lembaga pemasyarakatan, penuntut umum adalah orang
yang ditugaskan untuk melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dengan memasukkan orang atau terdakwa ke dalam
Lembaga Pemasyarakatan.
Sistem peradilan pidana yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan satu kesatuan yang
melaksanakan fungsi dan tugas penegakan hukum pidana secara terpadu. Untuk
peradilan pidana tersebut maka, di bawah ini di uraikan fungsi serta tugas dari
lembaga – lembaga dalam sistem peradilan pidana tersebut:
1. Kepolisian
Kepolisian memiliki peraturan perundang - undangan yang mengatur mengenai
tugas serta fungsi dari Kepolisian yaitu Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pengertian Kepolisian berdasarkan Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) adalah segala
hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Kepolisian adalah lembaga yang pertama kali harus dilewati dalam proses
penegakan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Kepolisian
mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penahanan,
penyitaan, sampai ditemukannya suatu kejahatan yang di lakukan oleh seorang
tersangka.
Fungsi dari Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat hal ini sesuai
dengan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan tugas pokok dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia terdapat dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa tugas pokok dari
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum;
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Kepolisian dalam sistem peradilan pidana mempunyai tugas yang bersifat
penindakan seperti melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan
dan penyitaan. Tindakan ini dalam sistem peradilan pidana dimaksudkan untuk
menyelesaikan tiap – tiap perkara yang masuk ke Kepolisian diselesaikan secara efisien.
2. Kejaksaan
Undang - Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
pada Pasal 2 ayat (1) mengatur mengenai pengertian Kejaksaan Republik
Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
secara merdeka di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-
Undang. Di beberapa negara berkembang peranan Kejaksaan sebagai aparat
penegak hukum masih menunjukkan suatu alat pertumbuhan yang lebih dewasa,
terutama terhadap perubahan dan nilai – nilai ketertiban hukum yang terjadi didalam masyarakat.
Kejaksaan mempunyai wewenang dan tugas yang tercantum dalam berbagai
1967 dan Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia serta berbagai macam peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai Kejaksaan.
Peranan instansi Kejaksaan di negara – negara berkembang seperti Indonesia memiliki fungsi ganda, yaitu di samping sebagai aparat penegak hukum
Kejaksaan juga berpengaruh dalam kekuasaan eksekutif. Kejaksaan sendiri sering
disebut dengan Penuntut Umum atau Jaksa.
KUHAP memberikan pengertian yang berbeda mengenai Jaksa dan Penuntut
Umum. Pengertian tersebut dapat dilihat pada Pasal 1 butir ke 6a dan 6b.
Pasal 1 butir ke 6 menyatakan:
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang – undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim.
Pengertian Jaksa yang terdapat dalam Pasal 1 butir ke 6 KUHAP berbeda dengan
pengertian Jaksa yang terdapat dalam Pasal 1 butir ke 1 Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 1 butir ke 1 menyatakan:
“ Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang –
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang
lain berdasarkan undang –undang ini.”
Kejaksaan Republik Indonesia terdiri dari:
a. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik
Indonesia.
b. Kejaksaan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi.
c. Kejaksaan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.
Undang – Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatur tugas dan wewenang dari Kejaksaan yang terdapat pada Pasal 30 ayat
(1), (2), (3).
Pasal 30 menyatakan:
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang – undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya di koordinasikan dengan penyidik.
(2) Dibidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan kesejahteraan umum, kejaksaan turut menyelenggarkan kegiatan:
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal
3. Pengadilan
Pengadilan adalah lembaga yang menjalankan salah satu kekuasaan kehakiman
yang merdeka, menyelenggarakan peradilan yang dilaksanakan oleh Hakim guna
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya ( Pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Nomor 35 tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 14 tahun 1970). Inti tugas tersebut adalah memberi kekuasaan kepada Hakim di pengadilan untuk mengadili dan memberi keputusan
setiap perkara baik perdata maupun pidana.
Tugas untuk mengadili tersebut dilaksanakan oleh Hakim. Pengertian Hakim
menurut Undang – Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang-undang. Hakim yang mengadili perkara tersebut adalah termasuk Hakim di
Pengadilan Negeri, Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi serta Hakim Agung di
Mahkamah Agung.
Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta
memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istimewa karena, Hakim
selain sebagai pegawai negeri, Hakim juga diangkat serta diberhentikan oleh
Presiden. Hakim berbeda dengan pejabat – pejabat yang lain karena, Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
keadilan menuntut Hakim agar supaya wajib mengadili dan memeriksa setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Hakim tidak boleh menolak memeriksa
perkara-perkara yang diajukan karena Hakim adalah tempat pencari keadilan
untuk meminta keadilan.
4. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan adalah wadah yang berfungsi sebagai tempat
penggodokan para terpidana, guna menjalani yang telah diputuskan oleh
Pengadilan baginya. Masuknya terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan
merupakan titik awal usaha pembinaan bagi terpidana baik pembinaan secara fisik
maupun mental, dengan cara memberikan kepada terpidana – terpidana tersebut pendidikan sekolah, moral, agama serta keterampilan khusus agar terpidana
nantinya mempunyai bekal dalam menghadapi lingkungan hidup yang baru
setelah para terpidana tersebut keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Lembaga pemasyarakatan mempunyai tugas – tugas sosial yang memberikan wewenang kepada lembaga pemasyarakatan untuk menilai sikap prilaku terpidana
serta menentukan langkah – langkah yang akan dijalankan dalam proses pembinaan tersebut. Penilaian – penilaian yang di lakukan oleh lembaga pemasyarakatan terhadap terpidana digunakan untuk mendorong diberikan upaya-
upaya yang dapat meringankan terpidana dalam menjalani pemidanaannya di
dalam lembaga pemasyarakatan. Upaya – upaya tersebut dapat berupa remisi atau pelepasan bersyarat, yang semua itu mengarah agar terpidana tidak melakukan
B. Definisi Saksi dan Korban
1. Definisi Saksi
Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana. Sebagaimana
diketahui bahwa suatu keberhasilan dari suatu proses peradilan pidana sangat
bergantung dari pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam suatu proses
persidangan terutama alat bukti yang berkenaan dengan saksi. Saksi merupakan
alat bukti atau unsur yang paling penting dari sebuah proses pembuktian dalam
proses persidangan suatu perkara.
Saksi merupakan kunci utama dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses
persidangan karena dapat dikatakan bahwa keterangan dari saksi merupakan alat
bukti yang utama dari suatu perkara pidana sebab tidak ada perkara pidana yang
luput dari pembuktian dari keterangan saksi. Hampir semua sumber pembuktian
perkara pidana selalu bersumber dari keterangan saksi walaupun selain dari
keterangan dari saksi masih ada alat bukti yang lain namun, pembuktian dengan
menggunakan keterangan saksi masih sangat diperlukan. Hal ini dapat dilihat dari
Pasal 184 – 185 KUHAP yang menerapkan keterangan saksi pada urutan pertama hal ini juga dikarenakan keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama
kalinya diperiksa dalam tahap pembuktian didalam persidangan.
Saksi dalam hukum pidana dapat saja ada semenjak mulainya suatu tindak pidana
dimana tindak pidana ini mengakibatkan masyarakat merasa tidak aman dan tidak
tertib serta merasa terganggu ketentramannya. Masyarakat menghendaki agar si
berlaku. Saksi diperlukan guna mencari suatu titik terang atas telah terjadinya
suatu tindak pidana.
Keterangan saksi sebagai alat bukti yang salah harus dibedakan apakah termasuk
keterangan saksi sebagaimana tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP atau
sebagai “petunjuk” sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1)d KUHAP.
Pengertian saksi dalam Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban ini menggunakan konsep tentang pengertian saksi
seperti yang diatur oleh KUHAP yang membedakan adalah jika dalam KUHAP
seseorang disebut sebagai saksi adalah pada tahap penyidikan sedangkan pada
Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 ini seseorang disebut sebagai saksi semenjak tahap penyelidikan dimulai.
Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP diatur mengenai pengertian Saksi serta
Keterangan Saksi.
Pasal 1 butir 26 KUHAP menyatakan:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.”
Pasal 1 butir 27 KUHAP menyatakan:
“Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
Berdasarkan kajian teoretik dan praktik dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang
saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Apabila orang itu memang
benar-benar mengetahui atas telah terjadinya suatu tindak pidana. Seseorang
dipanggil menjadi saksi, tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan,
saksi tersebut dapat diperintahkan supaya menghadap ke persidangan, hal ini
sesuai dengan Pasal 159 ayat (2) KUHAP.
Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan:
“Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan
hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk manyangka bahwa
saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat
memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan kepersidangan.”
Keterangan seorang saksi dalam hukum pidana tidak langsung saja dapat di
jadikan alat bukti yang sah, karena begitu pentingnya keterangan seorang saksi
maka agar dapat diterima sebagai alat bukti yang sah harus lah sesuai dengan
ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 185 KUHAP.
Pasal 185 KUHAP:
1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;
2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri - sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;
5. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi;
6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh - sunggguh memperhatikan:
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
7. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Umumnya semua orang dapat dijadikan saksi namun, ada orang – orang tertentu yang tidak dapat dijadikan saksi yaitu terdapat pada Pasal 168 KUHAP dimana
pada Pasal tersebut dijelaskan orang – orang yang tidak dapat di jadikan seorang saksi suatu perkara pidana dalam suatu proses persidangan yaitu:
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa;
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
3. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberikan kesaksian
dibawah sumpah yaitu:
1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
Pasal 170 KUHAP yang menyatakan:
“ mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang
dipercayakan kepada mereka”.
Adapun jenis – jenis saksi dalam peradilan pidana yaitu :
1. Saksi a charge ( Memberatkan )
Pada dasarnya menurut sifat dan eksistensinya maka keterangan saksi a charge
adalah keterangan seorang saksi dengan memberatkan terdakwa dan terdapat
dalam beberapa perkara serta lazim diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Saksi a
charge ini dicantumkan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaannya. Hal ini
dilakukan oleh Jaksa karena nantinya di persidangan ia harus dapat membuktikan
semua tuntutan yang di jatuhkan kepada terdakwa
2. Saksi A de Charge ( Meringankan )
Merupakan saksi yang meringankan bagi tersangka/terdakwa atau saksi yang tidak
menguatkan bahwa tersangka itu melakukan tindak pidana. Saksi meringankan ini
diajukan oleh terdakwa pada saat persidangan di Pengadilan. Hal ini sesuai
dengan Pasal 65 KUHAP yang mengatakan bahwa tersangka atau terdakwa
berhak mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau sesorang yang memiliki
keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya.
3. Saksi Korban ( Mengalami sendiri )
Korban dari suatu tindak pidana berhak mengajukan laporan kepada penyidik atau
penyelidik. Korban dapat dijadikan sebagai saksi yang umumnya disebut dengan
saksi korban. Saksi korban ini dapat memberikan keterangan mengenai kejadian
atau tindak pidana yang dialaminya sendiri.
4. Saksi Pelapor ( Mendengar/melihat sendiri)
Saksi pelapor merupakan orang yang bukan sebagai korban tindak pidana, tetapi
ia adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri sacara langsung kejadian
itu dan bukan diketahui oleh orang lain.
Orang – orang yang menjadi saksi ini adalah seseorang yang memberikan laporan kepada aparat kepolisian bahwa telah terjadi suatu tindak pidana di suatu tempat
atau dapat juga seseorang yang berada di tempat kejadian perkara tersebut.
5. Saksi Mahkota ( Yang bersama menjaadi terdakwa )
Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dari atau diambil dari salah seorang
tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama – sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota.
Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah
dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu
tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau
dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Namun demikian kelemahan
palsu, sehingga ada kemungkinan yang timbul para terdakwa yang diperiksa
menjadi saksi mahkota akan saling memberatkan atau meringankan.
6. Saksi Testamonium de Auditu
Saksi Testamonium de Auditu merupakan saksi yang menerangkan tentang apa
yang didengarnya mengenai suatu tindak pidana dari orang lain. Sebenarnya saksi
Testamonium de Auditu bukan merupakan alat bukti yang sah dalam suatu proses
perkara pidana di persidangan sebab saksi Testamonium de Auditu ini tidak
melihat atau mendengar sendiri suatu tindak pidana yang telah terjadi saksi ini
hanya mendengar keterangan dari orang lain walaupun saksi ini tidak mendengar
secara langsung mengenai telah terjadinya suatu tindak pidana tetapi saksi
Testamonium de Auditu ini perlu pula didengar oleh Hakim, walaupun tidak
mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan
Hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Saksi Testamonium de
Auditu ini dapat dijadikan alat bukti yang sah jika tidak ada alat bukti lain.
2. Definisi Korban
Terjadinya suatu tindak pidana dalam masyarakat mengakibatkan adanya korban
tindak pidana dan juga pelaku tindak pidana. Dimana dalam terjadinya suatu
tindak pidana ini tentunya yang sangat dirugikan adalah korban dari tindak pidana
tersebut. Ada beberapa pengertian mengenai korban, pengertian ini diambil dari
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 butir 2 menyatakan
bahwa pengertian korban adalah:
“ Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”
Menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 pengertian korban
adalah:
“ orang - orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita
kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum
pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan.”
Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam PP Nomor 2 Tahun 2002
tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Kepada Saksi dan Korban Pelanggaran
HAM Berat yaitu menyatakan bahwa korban adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
Korban juga dapat merupakan pihak yang sifatnya secara kolektif dan hanya
bersifat perseorangan. Sebab, akibat terjadinya suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa mengakibatkan jatuhnya korban yang bisa saja tidak
hanya satu orang namun bisa saja korban dari tindak pidana tersebut lebih dari
satu orang. Korban suatu tindak pidana ini dapat melaporkan secara langsung
perkara pidana yang telah menimpa dirinya kepada pihak yang berwenang yaitu
Korban dalam suatu tindak pidana berhak untuk medapatkan perlindungan baik
itu bagi dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan mengapa korban
memerlukan hak untuk mendapatkan perlindungan diantaranya adalah:
a. sistem peradilan pidana dianggap terlalu memberikan perhatian pada
permasalahan dan peran pelaku kejahatan;
b. terdapat potensi informasi dari korban untuk memperjelas dan melengkapi
penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset tentang korban dan harus
dipahami bahwa korbanlah yang menggerakkan mekanisme sistem
peradilan pidana;
c. semakin disadari bahwa selain korban kejahatan konvensional, tidak
kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan
non konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan alasan – alasan tersebut memang sudah seharusnya korban mendapatkan haknya untuk perlindungan
C. Kedudukan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Saksi dalam sistem peradilan pidana menempati posisi yang sangat penting seperti
yang sudah di jelaskan sebelumnya bahwa suatu perkata pidana tidak dapat
terungkap jika tidak adanya saksi. Dalam proses penangkapan atau penahanan
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana telah diketahui
permulaan yang cukup yaitu dua alat bukti yang cukup salah satunya adalah
adanya saksi yang melihat, mendengar mengenai tindak pidana yang telah terjadi.
Kedudukan saksi dan korban khususnya bagi saksi dalam proses peradilan pidana
di Indonesia ini telah ada sejak dimulainya proses penyelidikan atas perkara
tindak pidana yang telah terjadi sampai dengan nantinya di Kejaksaan dan
Pengadilan. Hal ini membuktikan bahwa peran saksi dalam setiap perkara pidana
yang ada sangat penting apalagi dengan adanya keterangan saksi dalam proses
persidangan dapat membantu Hakim dalam memutuskan bersalah atau tidaknya
terdakwa sebab Hakim pun dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa harus
mendengarkan terlebih dahulu keterangan dari saksi - saksi atau pun korban
tindak pidana itu sendiri yang di hadirkan dalam persidangan.
Dilihat dari sudut Perundang-undangan kedudukan saksi dan korban sangat
lemah. Hal ini dapat di lihat dengan tidak adanya hak-hak saksi dan korban yang
dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP )
berbeda dengan terdakwa yang hak - haknya terdapat dalam KUHAP. Pemberian
hak – hak terdakwa didalam KUHAP mungkin dikarenakan faktor kedudukan terdakwa yang lemah karena sebagai posisinya sebagai orang yang bersalah,
Namun sebenarnya saksi dan korban juga seharusnya dapat di berikan hak
-haknya seperti halnya terdakwa karena sesungguhnya kondisi saksi, korban serta
terdakwa tidak jauh berbeda semuanya sama - sama berhak untuk mendapatkan
haknya salah satunya dalam hal mendapatkan perlindungan, karena:
1. Bagi saksi ( apalagi saksi yang tidak mengerti tentang hukum )
2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana
baginya karena dianggap bersumpah palsu;
3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapatkan
ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan;
4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya;
5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang
terdakwa/tersangka.
Kedudukan saksi dan korban terutama saksi yang sangat lemah dalam sistem
peradilan pidana juga dapat di lihat dalam Pasal 224 KUHP yang menyebutkan:
“ Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang - undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang -undang selaku demikian harus dipenuhinya ancaman: Ke-1 dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan.
Ke-2 dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.”
Secara teoritis, saksi dan korban terutama untuk korban memang telah diwakili
haknya oleh aparat penegak hukum. Namun, pada kenyataannya saksi dan korban
hanyalah dijadikan sebagai alat untuk menguatkan suatu argumentasi untuk
memenangkan suatu perkara dalam persidangan.
Di dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat ( 1 ) dinyatakan :
“ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat ( 1 ) tersebut seharusnya tidak berlebihan
Perundang – undangan sehingga pada akhirnya untuk memberikan suatu hak yang memang seharusnya didapatkan oleh saksi dan korban maka pemerintah membuat
Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban.
3. Hak – Hak Saksi dan Korban
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti
yang berhasil diungkapkan atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama
yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak
adanya saksi yang mendukung tugas penegak hukum. Padahal adanya saksi dan
korban menentukan dalam proses peradilan pidana.
Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang
diperhatikan oleh masyarakat serta para aparat penegak hukum. Kasus – kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan karena saksi dan
korban takut memberikan kesaksiaan kepada aparat penegak hukum hal ini
dikarenakan para saksi dan korban terutama saksi banyak mendapatkan ancaman
dari pihak – pihak tertentu.
Usaha menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap suatu tindak
pidana perlu diciptakan suatu iklim yang kondusif dengan cara memberikan hak – hak kepada saksi yang memang mengetahui atau menemukan mengenai suatu hal
yang dapat membantu mengungkapkan tindak pidana yang telah terjadi serta
Pelapor – pelapor atau para saksi dan korban yang melaporkan telah terjadinya suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum tersebut sudah semestinya
mendapatkan hak – hak nya sebagai saksi dan korban semenjak perkara tersebut diproses oleh aparat penegak hukum hingga perkaranya di limpahkan ke
pengadilan. Karena, dikahwatirkan banyak saksi yang mengetahui telah terjadinya
suatu tindak pidana tidak mau memberikan kesaksiaannya dikarenakan takut
mendapatkan ancaman atau hal – hal lainnya karena mereka tidak diberikan hak- hak yang seharusnya diberikan kepada saksi dan korban.
Saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana sebenarnya memiliki posisi yang
sangat penting atau dapat dikatakan saksi merupakan kunci dari terkuaknya suatu
kasus tindak pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti utama ini menjadi acuan
Hakim untuk memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Namun, posisi saksi yang
sedemikian penting ini tidak diperhatikan oleh para aparat penegak hukum. Saksi
dan korban tidak diberikan haknya seperti halnya tersangka/terdakwa yang
mempunyai hak yang telah diatur dalam KUHAP, sedangkan hak saksi ataupun
korban dalam KUHAP hanya ada satu Pasal yang menyatakan secara jelas
mengenai Hak Saksi yaitu pada Pasal 229 KUHAP yang menyatakan tentang
penggantian biaya bagi para saksi yang datang ke persidangan. Lalu, untuk korban
diatur dalam Pasal 98 KUHAP yang menyatakan bahwa korban suatu tindak
pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa yang terbukti bersalah
menyebabkan kerugian baginya, melalui proses penggabungan perkara pidana dan
proses peradilan pidana maka dibuatlah Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 didalamnya telah diatur secara jelas
mengenai hak – hak saksi dan korban, Adapun hak – hak saksi dan korban tersebut di atur dalam Pasal 5 yaitu:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
4. Mendapat penerjemah;
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
9. Mendapat identitas baru;
10.Mendapatkan tempat kediaman baru;
11.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
12.Mendapat nasihat hukum;
13.Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
Untuk korban tindak pidana dalam Undang - Undang ini memilki kekhususan
terutama bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain korban
tersebut mendapatkan hak -haknya yang terdapat dalam Pasal 5 Undang - Undang
ini korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini juga mendapatkan hak-
hak yang lain, yang terdapat dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006:
“ Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak
atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk
mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.”
Walaupun telah ada Undang - Undang yang mengatur mengenai penjaminan hak -
hak dari saksi dan korban, namun pemberian hak- hak tersebut tidak diberikan
kepada semua saksi dan korban yang sedang menjalani proses peradilan perkara
pidana. Hak – hak tersebut hanya diberikan kepada saksi - saksi yang menjalani proses peradilan perkara pidana mengenai tindak pidana pembunuhan, korupsi,
kekerasan dalam rumah tangga lalu kasus pencucian uang. Jadi, tidak semua saksi
yang memberikan keterangannya di persidangan bisa mendapatkan hak - hak saksi
dan korban yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban tersebut.
Undang - Undang Nomor 13 tahun 2006 ini terdapat juga Pasal yang mengatur
di persidangan atas persetujuan Hakim, hal ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1), (2)
dan (3) yaitu:
(1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
(2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
(3) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
Seluruh hak – hak yang ada dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hak untuk mendapatkan
perlindungan adalah hak yang paling diinginkan oleh para saksi dan korban hal ini
juga secara tersirat di jelaskan Pada Pasal 9 ayat ( 1 ), ( 2 ), ( 3 ) Undang – Undang tersebut, berdasarkan penjelasan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa
saksi atau korban yang di ijinkan oleh Hakim untuk tidak hadir di depan
persidangan serta kesaksiannya dapat disampaikan secara tertulis atau didengar
kesaksiannya melalui sarana elektronik didampingi oleh pejabat berwenang hal ini
mengisyaratkan bahwa ketidakhadiran saksi atau korban di muka persidangan
mungkin saja karena ada ancaman dari pihak - pihak tertentu sehingga diperlukan
pemberian hak perlindungan kepada saksi dan korban tersebut.
Mengingat betapa pentingnya keterangan saksi dalam persidangan perkara pidana
khususnya saksi serta korban perkara pidana kasus - kasus seperti pembunuhan,
korupsi, kekerasan dalam rumah tangga yang sudah melanggar hak asasi manusia,
dari para aparat penegak hukum dalam memberikan kesaksiannya sehingga saksi
dan korban dapat merasakan suatu keamanan untuk dirinya serta keluarganya
dimana perlindungan ini ada dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006