• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KARAKTERISTIK ROOST KELELAWAR PEMAKAN BUAH (MEGACHIROPTERA) DI PERKEBUNAN KOPI SUMBER REJO WAY HENI LAMPUNG BARAT, SUMATRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI KARAKTERISTIK ROOST KELELAWAR PEMAKAN BUAH (MEGACHIROPTERA) DI PERKEBUNAN KOPI SUMBER REJO WAY HENI LAMPUNG BARAT, SUMATRA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

KARAKTERISTIK ROOST KELELAWAR PEMAKAN BUAH (Megachiroptera) DI PERKEBUNAN KOPI SUMBER REJO WAY HENI

LAMPUNG BARAT, SUMATRA

Eka Sulpin Ariyanti

Kelelawar adalah satu-satunya mamalia yang memiliki kemampuan terbang dengan menggunakan sayap, merupakan hewan nokturnal yaitu aktif pada malam hari. Dalam melakukan berbagai aktivitas seperti reproduksi, istirahat, makan, dan tidur, kelelawar membutuhkan tempat tinggal yang disebut roost, dibedakan kedalam dua kategori yaitu roost malam dan roost siang.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Oktober 2012 di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni Lampung Barat, Sumatra dengan tujuan untuk

mengetahui karakteristik roost kelelawar dan jenis tumbuhan yang menjadi roost kelelawar.

Penelitian ini di bawah program penelitian S3 Joe Chun Chia Huang Department Biology, Texas Tech University USA dan bekerja sama dengan Wildlife

Conservation Society- Indonesia Program (WCS-IP). Metode yang digunakan adalah observasi langsung untuk menemukan roost kelelawar. Identifikasi karakteristik roost meliputi, jenis roost, jenis tumbuhan roost, tanda sekunder, luas tutupan kanopi, bentuk tutupan tajuk, bentuk percabangan batang, diameter batang (DBH), tinggi puncak/bebas cabang/roost, dan lebar tajuk. Pohon yang dimanfaatkan sebagai roost malam memiliki tinggi rerata 8,08±2,68 meter, dan pohon yang dimanfaatkan sebagai roost siang memiliki tinggi rerata 10,87±4,09 meter. Pohon dengan luas tutupan kanopi mencapai 96 persen yang pada

umumnya dimanfaatkan sebagai roost. Ketinggian pohon dan luas tutupan tajuk berkaitan dengan pola perilaku antipredator dan sensitivitas terhadap cahaya. Pohon Cempaka (Magnolia campacha) dengan arsitektur Cook sebagai roost malam dan kelapa (Cocos nucifera) dengan arsitektur Corner banyak digunakan sebagai roost siang merupakan pohon yang umum digunakan kelelawar sebagai roost.

(2)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi dan Ekologi Kelelawar

Kelelawar termasuk ke dalam Ordo Chiroptera, merupakan salah satu

kelompok mamalia yang sukses beradaptasi hingga saat ini, hal ini dibuktikan dengan jumlahnya yang relatif besar dan distribusi yang luas dari kelompok mamalia setelah Ordo Rodentia. Kelelawar dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. (Voughan et al., 2000)

Pada dasarnya terdapat dua perbedaan secara fungsional pada Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera tidak melakukan hibernasi meskipun terdapat beberapa kelelawar pemakan nektar yang akan memasuki fase hipothermia dengan rata-rata metabolisme yang sangat rendah, sedangkan Microchiroptera mampu melakukan hibernasi yang sangat panjang pada musim dingin di beberapa negara yang memiliki empat musim (Lekagul dan Mcneely, 1977).

(3)

untuk terbang dan menangkap mangsanya (Voughan et al., 2000). Ekolokasi dilakukan dengan mengeluarkan suara mulut atau lubang hidung dengan frekuensi getaran gelombang yang sangat tinggi (ultrasonic) rata-rata 50 kilohertz di luar ambang batas pendengaran manusia yang hanya sekitar 3-18 kilohertz, apabila gelombang suara mengenai obyek yang menghasilkan gaung maka gelombang tersebut akan dipantulkan kembali sebagai gelombang suara yang selanjutnya akan diterima oleh telinga kelelawar dengan demikian keberadaan, jarak, petunjuk dari kecepatan gerakan, ukuran dan tekstur obyek yang terkena suara (Jones dan Rydel, 2003).

Berbeda dengan kelelawar Microchiroptera, Megachiroptera tidak memiliki kemampuan ekolokasi (kecuali Genus Rousettus), sehingga dalam

menentukan posisinya kelelawar Megachiroptera memiliki mata yang sangat unik karena di dalam retinanya berbentuk projeksi sehingga akan

memperbesar area karena reseptor terkumpul. Hal ini membantu kelelawar untuk melihat pada malam hari dapat mengetahui makanannya dengan

menggunakan indera pembau dan lokasi dirinya dengan penglihatan (Lekagul dan Mcneely, 1977).

B. Klasifikasi dan Distribusi Kelelawar

(4)

sembilan famili yang terdiri 225 spesies, dan di Sumatera terdapat 72 spesies dari sembilan famili, serta terdapat 12 spesies di Sulawesi. Kelelawar Megachiroptera dikelompokkan dalam satu famili yaitu : Pteropodidae dengan 42 genus dan 175 spesies. Sedangkan Microchiroptera terdiri atas 17 famili, 147 genus dan 814 spesies (Cobert dan Hill, 1992).

Microchiroptera dibagi menjadi empat super famili yaitu Emballonuroidea, Rhinolophoidea, Phyllostomoidea dan Vespertilionoidea. Kebanyakan famili tersebar di daerah tropis. Empat famili (Molossidae, Mystracinidae,

Rhinolophidae dan Vespertilionidae) dapat bertahan pada suhu dingin, sehingga famili ini dapat tersebar hingga ke daerah sedang. Emballonuridae dan Mollosidae terdapat di kedua belahan dunia tersebut meskipun terbatas oleh ketinggian tertentu (Nowak, 1994).

Menurut Corbet dan Hill ( 1992) kedudukan taksonomi kelelawar adalah : Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Chiroptera

Kelompok Microchiroptera memiliki distribusi yang lebih luas serta memiliki jumlah spesies yang melimpah dibandingkan dengan Megachiroptera

(5)

distribusi paling luas kecuali pada wilayah zoogeografis Artik dan kutub. Kelelawar banyak ditemukan di daerah sedang tetapi kemelimpahannya lebih tinggi di daerah tropis dan subtropis (Voughan et al., 2000).

Beberapa faktor yang mempengaruhi persebaran spesies adalah ketersediaan pakan dan kompetisi. Spesies akan mencari area yang memiliki ketersediaan pakan yang sesuai, walaupun memiliki jarak yang jauh. Kompetisi antar spesies pada area tertentu akan mengakibatkan tersingkirnya spesies tertentu pada area tersebut dan akan mencari area baru yang lebih sesuai (Bahri, 2012).

C. Morfologi Kelelawar

(6)

Kelelawar memiliki dua tipe sayap, tipe yang pertama adalah sayap kecil yang dimiliki oleh kelelawar yang hidup di alam terbuka. Tipe sayap ini berguna untuk terbang dengan cepat tanpa rintangan di depannya. Tipe kedua adalah sayap lebar dimiliki kelelawar yang hidup di tempat tertutup, terbang pelan di antara cabang pohon (Vaughan, 2000).

Gambar 1. Morfologi kelelawar (Schmidly, 2012)

Keterangan : Knee (lutut)

Tail membrane (membran ekor) Foot (kaki)

Wing membrane (selaput sayap ) Third finger (jari ke-3)

Ear (telinga)

Tragus (tragus)

Upper arm (lengan paling atas) Forearm (lengan)

(7)

Kaki bawah kelelawar termodifikasi guna membantu patagium pada saat terbang atau menggantung. Kelelawar memiliki otot yang kuat pada jari-jari kaki untuk mencengkeram sehingga kelelawar dapat tidur posisi

menggantung. Kelelawar memiliki otot pada patagium dan menggunakan otot-otot tambahan pada dada untuk menggerakkan sayap ke atas dan bawah. Tulang yang kuat pada kelelawar dipakai untuk menopang propatagium pada membran sayap sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan manuver saat terbang. Hal ini dikarenakan sayapnya yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan kelelawar Megachiroptera (Simmons dan Conway, 1997).

Pada saat terbang kelelawar membutuhkan oksigen jauh lebih banyak dibandingkan ketika tidak terbang (27 ml berbanding 7 ml oksigen/1 gram bobot tubuh). Denyut jantung juga berdetak lebih kencang (822 kali berbanding 522 kali/menit) untuk mendukung kebutuhan tersebut, jantung kelelawar berukuran relatif lebih besar yaitu 0,9% atau 0,5% dari bobot tubuh. Kebutuhan energi yang tinggi pada saat terbang mengharuskan kelelawar makan dalam jumlah banyak (Yalden dan Morris, 1975).

(8)

sempit (Payne et al., 2000). Ukuran kepala dan panjang tubuh bervariasi mulai dari 50 hingga 400 mm tergantung dari jenisnya (Gambar 2). Ekor pendek bahkan kadang menghilang kecuali pada marga Notopteris. Kelompok kelelawar dewasa mempunyai rentang berat mulai dari 15 gram untuk pemakan nektar dan lebih dari 1500 gram untuk kelelawar pemakan buah (Nowak, 1994).

Gambar 2. Macroglossus sobrinus (Megachiroptera) (Dokumentasi Tim Peneliti Kelelawar, 2012)

(9)

Microchiroptera memiliki telinga yang baik dan terdapat lipatan-lipatan khusus serta tragus dan antitragus yang berperan dalam menerima gelombang suara (Gambar 3), ciri yang tidak dimiliki oleh kelelawar Megachiroptera (kecuali Genus Rousettus) (Nowak, 1994).

Gambar 3. Miniopterussp. (Microchiroptera) (Dokumentasi Tim Peneliti Kelelawar, 2012)

D. Perilaku Makan

(10)

Mamalia yang termasuk pemakan buah cenderung membawa, memakan, dan menelan buah kemudian mensekresikan feses yang mengandung biji yang termakan, biasanya cenderung mempunyai rata-rata waktu semai lebih tinggi daripada biji yang tidak termakan (Vaughan et al., 2000). Menurut

Moermond dan Denslow (1985) mamalia pemakan buah harus memakan sebanyak dua gram buah setiap gram berat tubuh. Kelelawar pemakan buah pada umumnya akan memakan daging buahnya saja dan menelan biji yang relatif kecil dan memuntahkan biji yang besar. Biji akan dimuntahkan sewaktu kelelawar terbang. Jarak pemencaran biji oleh kelelawar mampu mencapai 200 m (Pijl, 1968). Kelelawar membutuhkan energi dan nitrogen dengan mengkombinasikan makanannya. Oleh karena itu, kelelawar akan mengurangi aktivitas hariannya hanya untuk aktivitas makan untuk

mendapatkan protein tinggi (Flemming, 1988).

Buah mempunyai senyawa seperti feromon pada hewan yang dapat menarik hewan untuk mengadakan interaksi. Senyawa itu meliputi terpenoid, alkaloid, dan fenol. Senyawa tersebut berasal dari hasil metabolisme sekunder

(11)

untuk melangsungkan aktivitasnya, salah satunya adalah aktivitas laktasi pada kelelawar betina (Elangovan et al., 2010).

E. Habitat Kelelawar

Habitat merupakan tempat organisme biasa ditemukan, memiliki beberapa komponen yang penting untuk mendukung kehidupan suatu satwa (Odum, 1994). Habitat bagi kelelawar merupakan suatu hal yang memiliki kekhasan tersendiri. Habitat kelelawar berhubungan erat dengan tempat mencari makan (foraging area) dan sarang/tempat tinggal (roosting area). Tempat mencari makan dan tinggal dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk tipe tempat bertengger, makanan dan air, morfologi terbang, ukuran koloni, serta siklus reproduksi. Jarak antara area roosting dan mencari makan sering kali terpisah beberapa kilometer sehingga sulit mengamati habitat alami kelelawar secara tepat (Kunz dan Lumsden, 2003).

(12)

Lokasi dekat air merupakan daerah penting dalam pemilihan area beristirahat kelelawar. Beberapa kelelawar pemakan serangga mencari makan seringkali terkonsentrasi tepat di perairan atau daerah pinggiran-pinggiran sungai.

Karena sumber air (sungai) menyediakan fasilitas minum bagi banyak spesies. Kelelawar banyak mengunjungi perairan karena tersedianya nutrien seperti kalsium dan sodium, selain itu kelelawar dalam masa reproduksi akan memilih lokasi dekat air (Kunz dan Lumsden, 2003). Kelelawar memiliki musuh alami seperti ular sanca, ular hijau, elang, kucing dan burung hantu. Namun ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan habitat tempat tinggal dan tempat mencari makan (Francis et al., 1999).

F. Roost Kelelawar

Roost kelelawar merupakan tempat untuk melakukan berbagai aktifitas, seperti roost sebagai tempat untuk bereproduksi, tidur, makan, istirahat, pengasuhan anakan dan berlindung dari predatornya. Kelelawar memiliki roost yang beragam, yaitu gua, celah bambu, rerimbunan dedaunan, gulungan daun (palem atau pisang), lubang-lubang batang pohon baik yang mati

maupun yang hidup, kolong atap-atap rumah, terowongan-terowongan, dan bawah jembatan, (Suyanto, 2001). Penggunaan nama roost sebagai tempat tinggal kelelawar untuk melakukan berbagai aktifitasnya sama seperti mamalia lain dalam penggunaan sarang seperti pada babi hutan yang

(13)

Dalam memilih roost biasanya kelelawar pemakan buah lebih suka tinggal di pohon yang tidak terlalu terbuka tutupannya sedangkan kelelawar pemakan serangga biasanya lebih banyak ditemukan di gua hutan primer, selain itu atap-atap rumah dan bangunan menjadi salah satu roost kelelawar

(Prastianingrum, 2008).

Pemilihan lubang pada tegakan pohon sebagai roost kelelawar dipengaruhi beberapa faktor yaitu struktur, usia, ukuran, dan ketinggian pohon (Wunder dan Carey, 1996). Pada daerah perkebunan kelelawar banyak menggunakan daun pisang (Gambar 4) dan kelapa sebagai roost siang beberapa spesies kelelawar (Ariyanti et al., 2012).

Gambar 4. C. branchyotis-forest lineage di daun pisang perkebunan kopi Sumber Rejo (Dokumentasi Tim Peneliti Kelelawar, 2012)

(14)

daya (makanan, air, tempat hibernansi), faktor iklim, dan ketersediaan roost. Roost kelelawar cukup beragam, sebagian besar spesies memanfaatkan pohon (lubang/celah, pada batang/ranting), dedaunan (dibalik daun/di dalam

dedaunan), gua atau pada celah bebatuan (Kunz and Lumsden, 2003). Wunder dan Carey (1996) menyatakan sebagian spesies kelelawar di daerah tropis memanfaatkan dedaunan sebagai roost. Penggunaan dedaunan sebagai roost lebih potensial ditemukan dibanding di lubang-lubang pohon dan gua. Tetapi tempat yang terbuka membuat kelelawar beresiko terhadap gangguan satwa lainnya.

Kelelawar hidup dalam koloni yang besar, namun ada beberapa spesies yang ditemukan secara soliter pada beberapa roost, seperti pada gua-gua di Texas, spesies Tadarida brasiliensis membentuk koloni dengan anggota kurang lebih 20 juta individu. Jenis Chaerephon yang ditemukan di Kamboja dengan anggota koloni mencapai 1,5 – 2 juta individu. Daerah jelajah pada kelelawar juga sangat bervariasi, mulai dari 3 km hingga 60 km (Nowak, 1994).

(15)

G. Peranan dan Manfaat Kelelawar dalam Ekosistem

Kelelawar memiliki peranan penting dalam pemulihan suatu ekosistem hutan. Kelelawar berperan dalam penyebaran biji tanaman buah-buahan dan sebagai polinator. Masyarakat memanfaatkan daging kelelawar sebagai bahan

makanan dan obat asma yang memiliki protein tinggi, kelelawar juga dikenal sebagi penghasil pupuk guano (fosfat) yang diperlukan banyak bagi pertanian tanaman pangan (Walker, 1964).

Menurut Howell dan Roth (1981) keberadaan kelelawar pemakan buah mempengaruhi penyerbukan yang dapat menghasilkan 3800 biji dari 780000 bakal biji per tanaman. Restorasi secara alami dapat dilakukan melalui proses penyebaran biji polinasi dengan bantuan kelelawar. Proses penyebaran biji oleh dua tipe habitat yang berbeda menjadi hal yang penting dalam

menentukan komposisi dan struktur vegetasi (Ingle, 2002).

(16)

Kelelawar pemakan serangga memerlukan serangga untuk dikonsumsi seberat setengah dari total berat tubuhnya dalam satu malam. Hal itu sama dengan 600 ekor nyamuk yang dimakan hanya dalam satu jam, atau jika diakumulasi dalam satu tahun kelelawar memerlukan lebih dari 2000 ton serangga untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya (Kingston et al., 2006). Hal ini menunjukkan bahwa kelelawar pemakan serangga penting dalam suatu ekosistem sebagai pengendali biologis dan predator beberapa serangga yang mungkin berbahaya bagi kesehatan.

H. Gambaran Umum Desa Sumber Rejo

Desa Sumber Rejo secara administratif terletak di Kecamatan Bengkunat,

Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Terletak pada 5°39’325” LS

dan 104°24’21”BT dengan ketinggian berkisar antara 0-100 m dpl (WCS-IP,

1999).

Lokasi penelitian merupakan perkebunan kopi milik masyarakat desa Sumber Rejo, dengan luas lokasi penelitian ±20 ha. Tipe habitat diamati dengan menggunakan metode rapid assesment, menunjukkan:

(17)

2. Perkebunan kopi dengan kanopi tertutup, banyak ditemukan pohon besar seperti cempaka, durian, karet, duku, pisang, kelapa, medang, kapuk, jambu air, jambu bol, rambutan, belawan, terongan. Pada area ini selain kopi juga terdapat tanaman lada.

Dua tipe habitat tersebut terbagi menjadi dua yaitu 7 ha area perkebunan kopi dengan kanopi terbuka dan 13 ha di area perkebunan kopi dengan kanopi tertutup, dipisahkan oleh jalan berbatu dan pemukiman masyarakat.

Berdasarkan pengamatan dengan metode rapid assesment diketahui 27 jenis tanaman pohon, meliputi; pohon cempaka, pohon kelapa, pohon duku, pohon coklat, pohon pinang, pohon kopi, pohon sawo, pohon jering, pohon

(18)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni Lampung Barat pada bulan Juni sampai bulan Oktober 2012. Penelitian ini berada di bawah program penelitian Joe-Chun Chia Huang, mahasiswa S3 dari Texas Tech University, Amerika Serikat dan bekerjasama dengan Wildlife Conservations Society-Indonesia Program (WCS-IP). Penelitian ini didanai oleh Rufford Small Grand Foundation.

B. Alat dan Bahan

(19)

bagian yang terlindungi dari sinar matahari pada roost. Perangkap tangan (Hand net) digunakan untuk upaya penangkapan kelelawar, identifikasi menggunakan Bat of Krau Wildlife Reserva (Kingston et al., 2006) dan Huang (Unpublished). Kaliper ± 0,1 mm digunakan untuk pengukuran morfologi kelelawar. Timbangan gantung (pesola) digunakan untuk pengukuran berat kelelawar (50 gram dan 100 gram). Stocking (kaos kaki tipis) digunakan untuk meminimalkan pergerakan kelelawar, agar mudah pada saat ditimbang. Penanda bagi kelelawar yang digunakan adalah wing punch, pelubang pada sayap kelelawar. Lembar data digunakan untuk mencatat pada saat identifikasi.

C. Cara Kerja

Pengamatan di lapangan dilakukan dengan metode observasi langsung. Pengamatan yang akan dilakukan antara lain :

1. Survei Pendahuluan

Survei pendahuluan dilakukan pada bulan Juni 2012. Observasi langsung dilakukan untuk mengetahui tempat yang menjadi roost kelelawar. Setiap tempat yang telah diketahui sebagai roost kelelawar ditandai dengan pita berwarna dan data koordinat roost ditentukan dengan menggunakan GPS.

2. Pengambilan Data di Lapangan

(20)

sepahan untuk mengetahui roost kelelawar. Kondisi umum area pengamatan diamati dengan metode rapid assesment yang merupakan modifikasi dari habitat assesment untuk mengetahui gambaran umum lokasi keberadaan roost kelelawar dan jenis vegetasi yang ada di sekitar roost kelelawar (Brower et al., 1990). Hal ini dilakukan untuk

mengetahui jenis vegetasi penyusun habitat secara umum.

3. Identifikasi RoostKelelawar

Identifikasi roost kelelawar yang ditemukan berdasarkan jenis lokasi roost (pohon, bebatuan, lubang pohon, gulungan daun), waktu roosting (roost siang atau malam), jenis tumbuhan yang digunakan menjadi roost, jenis tanda sekunder yang ditemukan di roost (sisa pakan buah, feses, sepahan), tutupan kanopi roost (pohon), bentuk tutupan tajuk (arsitektur pohon), bentuk percabangan batang (monopodial /simpodial /dikotom), mengukur diameter roost (pohon), menentukan tinggi roost/puncak pohon/bebas cabang pohon, dan lebar tajuk.

1. Jenis Roost

(21)

2. Waktu Roosting

Waktu roosting merupakan waktu yang dibedakan berdasarkan waktu penggunaan roost oleh kelelawar yaitu pada siang atau malam hari. Dibedakan menjadi waktu roosting siang untuk penggunaan roost siang hari dengan ditemukan kelelawar secara langsung di roost, sebaliknya waktu roosting malam merupakan roost yang tidak

ditemukan kelelawar pada siang hari hanya ditemukan tanda sekunder.

3. Jenis Tumbuhan Roost

Tumbuhan yang menjadi roost kelelawar dicatat jenisnya dan bagian pohon yang digunakan sebagai roost.

4. Jenis Tanda Sekunder

(22)

5. Luas Tutupan kanopi

Tutupan kanopi ditentukan dalam bentuk persentase, ditentukan dengan meletakkan densiometer sederhana (Gambar 5) diatas kepala dengan posisi berdiri tepat pada area yang terdapat tanda sekunder kelelawar dan menghitung persentase bagian pohon yang tidak mendapatkan cahaya matahari.

100 cm Keterangan :

100 cm = 100% 20 cm = 20%

20 cm

Gambar 5. Sketsa bentuk densiometer sederhana untuk mengukur luas tutupan kanopi

6. Diameter Pohon

(23)

= Lebar Tajuk = Diameter Pohon diperoleh berdasarkan lingkar pohon kemudian akan ditentukan

diameter pohon roost dengan menggunakan rumus keliling lingkaran (Gambar 6) (Adilman, 2006).

Keliling = 2.π.r

Keterangan : r = jari-jari d = dimeter

Gambar 6. Sketsa pengukuran diameter pohon

7. Lebar Tajuk

Dalam menentukan lebar tajuk diukur mendatar pada proyeksi tajuk di tanah, pada bagian tajuk terlebar dan tajuk tersempit sehingga dapat diperoleh rata-rata lebar tajuk (Soegiharto, 2009). Teknik pengukuran diameter pohon dan lebar tajuk (Gambar 7).

Gambar 7. Sketsa pengukuran diameter pohon dan lebar tajuk

d

(24)

8. Bentuk Tutupan Tajuk (Arsitektur Pohon)

Tajuk merupakan bagian dari tumbuhan yang memiliki bentuk tertentu. Bentuk pohon (arsitektur pohon) biasanya merupakan karakteristik pohon secara visual. Setiap jenis pohon memilki ciri yang khas dalam fase pertumbuhan pohon tersebut, sehingga arsitektur setiap jenis pohon dapat dijadikan data tambahan dalam membedakan dengan jenis pohon lain. Arsitektur pohon akan memberikan dampak fungsi dan peran pohon tersebut dalam komunitasnya maupun dalam ekosistem secara keseluruhan (Aprijani, 2006). Menurut Halle et al. (1975) terdapat 22 jenis arsitektur pohon yang meliputi model

Holtum’s, Corner’s, Tomlinson’s, Chamberlain’s, Leewenbergh’s, Schoute’s, Kwan-Koriba’s, Prevost’s, Fagerlinds’s, Petit’s,

Aubreville’s, Scarrone’s, Rauh’s, Attim;s, Nozeran’s, Austrelle’s, Massart’s, Roux’s, Cook’s, Champagnat’s, Mangenot’s, dan Troll’s

(Lampiran 1). Untuk menentukan arsitektur pohon dilakukan dengan pengamatan langsung dan identifikasi untuk menentukan model arsitektur pohon menggunakan buku Tropical Tries an Forest; An Architectural Analysis.

9. Bentuk Percabangan Batang

Menurut Indriyanto (2005), bentuk percabangan batang dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:

(25)

yang lebih besar atau pertubuhan lebih cepat dibandingkan dengan cabang-cabangnya.

2. Simpodial adalah sistem percabangan batang yang tidak tampak jelas antara batang dengan cabang, karena pertumbuhan batang lebih lambat dibandingkan dengan cabang-cabangnya.

3. Dikotom adalah sistem percabangan yang disebut juga dengan percabangan menggarpu karena setiap pertumbuhan batang selalu tumbuh menjadi dua cabang dengan ukuran hampir sama besar.

10. Tinggi Roost/Puncak Pohon/Bebas Cabang

Tinggi roost adalah bagian dari roost yang ditempati oleh kelelawar. Tinggi pohon yaitu tinggi pohon roost kelelawar ditentukan dari atas permukaan tanah hingga puncak, sedangkan tinggi bebas cabang di ukur dari atas atas permukaan tanah hingga percabangan pohon pertama. Dalam menentukan tinggi dilakukan dengan menggunakan pipa panjang yang telah ditandai hingga ukuran delapan meter dan meteran (50 m).

4. Identifikasi Spesies Kelelawar

(26)

genitalia dan puting susu, menentukan umur kelelawar dengan melihat persambungan tulang metacarpal dan phalanx di lengan depan kelelawar (Gambar 8). Menurut Kingston et al. (2006), usia dibedakan atas tiga golongan yaitu Pup, Anakan (Juvenile), dan Dewasa (Adult).

A. Pup (P)

Pada keadaan ini kelelawar masih menempel pada induk betina. Tulang kartilago masih bersambung antara metacarpal dan phalanx.

B. Juvenile (J)

Persambungan tulang metacarpal dan phalanx sudah menyatu. C. Adult (A)

Pada persambungan antara metacarpal dan phalanx terdapat bentuk seperti pita bila dilakukan penyinaran. Persambungan belum menyatu..

Gambar 8. Persambungan metacarpal dan phalanx pada

(27)

Selanjutnya pengukuran pada bagian morfologi kelelawar.

Pengukuran penting dalam mengikuti determinasi guna mendapatkan nama spesies. Pengukuran yang dilakukan meliputi panjang lengan, paha, ekor, telinga dan berat tubuh.

1. Panjang lengan bawah

Diukur dengan menggunakan kaliper dari sisi luar siku sampai sisi luar pergelangan tangan pada sayap yang melengkung.

2. Paha

Diukur dari pergelangan kaki hingga lutut. 3. Telinga

Diukur dari bagian yang terbuka (pangkal telinga) hingga ujung telinga.

4. Ekor

Diukur dari pangkal ekor sampai ujung ekor tidak termasuk rambut yang memanjang melebihi ekor.

5. Berat badan

Berat keseluruhan kelelawar dan stocking dikurang berat stocking. Panjang lengan bawah.

Data tersebut kemudian diterapkan pada kunci dikotom identifikasi berdasarkan Kingston et al. (2006) dan Huang (Unpublished).

(28)

digunakan adalah wing punch. Wing punch yaitu penandaan dengan cara melubangi sayap kelelawar dengan menggunakan alat pelubang khusus (punch). Pada jantan penandaan dilakukan pada sayap sebelah kanan sedangkan betina pada sayap sebelah kiri.

5. Analisis Data

(29)

STUDI KARAKTERISTIK ROOST KELELAWAR PEMAKAN BUAH (MEGACHIROPTERA) DI PERKEBUNAN KOPI SUMBER REJO WAY

HENI LAMPUNG BARAT, SUMATRA

Oleh

EKA SULPIN ARIYANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains

Pada Jurusan Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

(30)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dra. Elly L. Rustiati, M.Si ...

Sekretaris : Meyner Nusalawo, S.P ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Drs. M. Kanedi, M.Si ...

2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Prof. Suharso, Ph.D NIP. 196905301995121001

(31)

Judul Skripsi : STUDI KARAKTERISTIK ROOST KELELAWAR PEMAKAN BUAH

(MEGACHIROPTERA) DI PERKEBUNAN KOPI SUMBER REJO WAY HENI

LAMPUNG BARAT, SUMATRA

Nama Mahasiswa :

EKA SULPIN ARIYANTI

NPM : 0817021028

Jurusan / Program Studi : Biologi / S1 Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc. Meyner Nusalawo, S.P NIP 196310141989032001

Mengetahui, 2. Ketua Jurusan Biologi

(32)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi dalam berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh wilayah yang terdiri atas kurang lebih 13.000 pulau dan lautan. Salah satu pulau besar di Indonesia yang menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi adalah Sumatra. Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang sangat penting karena merupakan salah satu hotspot area keanekaragaman hayati. Hutan hujan tropis hanya menutupi 7% dari luas permukaan bumi tetapi memberikan habitat lebih dari 50% bentuk kehidupan yang ada di permukaan bumi (Knudson, 1988).

(33)

atau pembangunan di sekitarnya. Satwa liar memiliki tingkat sensitivitas yang kuat terhadap perubahan lingkungan yang dapat menurunkan tingkat populasi (Nugroho, 2003). Salah satu satwa liar yang memiliki tingkat

keanekaragaman yang tinggi dengan tingkat penyebaran yang luas adalah Ordo Chiroptera. Penyebaran yang luas kelompok Chiroptera di dukung oleh kemampuan terbangnya. Sebagai hutan hujan tropis TNBBS memiliki peranan penting untuk menjaga stabilitas iklim global, serta keseimbangan air dan tanah. Selain itu TNBBS juga memiliki peran penting dan posisi yang strategis dalam upaya konservasi berbagai spesies yang hidup di dalamnya, termasuk kelelawar.

Di sekitar kawasan TNBBS banyak terdapat lahan perkebunan, termasuk perkebunan kopi di desa Sumber Rejo. Letak perkebunan kopi yang berada di pinggir kawasan TNBBS dapat mempengaruhi penyebaran tanaman hutan dan perkebunan kopi milik masyarakat yang berada di pinggir kawasan.

Kelelawar merupakan salah satu kekayaan satwa liar yang ada di Indonesia yang keberadaannya semakin terdesak oleh aktivitas manusia. Gangguan manusia berupa perusakan habitat dan perburuan liar dapat menyebabkan penurunan populasi satwa liar secara drastis atau wilayah teritorialnya semakin sempit (Nugroho, 2003) .

(34)

sehingga penyebarannya sangat luas dan sulit untuk diidentifikasi pada saat terbang.

Mamalia ini bersifat nokturnal, yaitu aktif mencari makan dan terbang pada malam hari. Kelelawar sangat sensitif terhadap dehidrasi, sedangkan pada siang hari kelelawar tidur dalam keadaan bergantung terbalik. Kelelawar membutuhkan tempat bertengger (lokasi roosting) untuk melakukan berbagai aktifitasnya, seperti tidur, istirahat, reproduksi, dan menikmati makanannya.

Menurut Estrada dan Estrada (2001) kelelawar merupakan salah satu mamalia yang sensitif terhadap kehilangan atau fragmentasi habitat. Beberapa spesies kelelawar tidak mampu melakukan adaptasi dengan baik terhadap lingkungan yang terganggu dan pindah ke daerah lain. Kelelawar memiliki habitat dengan kekhasan tersendiri. Habitat kelelawar berhubungan erat dengan tempat mencari makan (foraging area) dan sarang/tempat tinggal (roosting area). Tempat mencari makan dan tinggal dipengaruhi oleh beberapa faktor,

termasuk tipe tempat bertengger, makanan dan air, morfologi terbang, ukuran koloni, serta siklus reproduksi. Jarak antara tempat bertengger dan mencari makan sering kali terpisah beberapa kilometer sehingga sulit mengamati habitat alami kelelawar secara tepat (Kunz dan Lumsden, 2003).

(35)

pemakan buah di perkebunan kopi Sumber Rejo meliputi buah dan daun dari 11 jenis tanaman, antara lain; duku (Lansium domesticum), sawo (Achras zapota), jambu air (Syzygium spp.), jambu bol (Syzygium malaccense), luingan (Ficus hispida), terongan (Strombosia javanica), ketapang

(Terminalia catappa), dadap (Erythrina sp.), kopi (Coffea canephora), pisang (Musa paradisiaca), dan lada-ladaan (Piper aaduncum) ditemukan dalam bentuk sisa pakan buah, kulit, biji, dan sepahan. Sisa buah pakan kelelawar di perkebunan kopi menunjukkan bahwa lokasi tersebut merupakan area jelajah kelelawar. Ketersediaan tumbuhan pakan dan ruang sebagai roost yang sesuai dalam melakukan berbagai aktifitas kelelawar menjadi salah satu faktor kemelimpahan kelelawar.

B. Tujuan

Penelitian di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni Lampung Barat ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui karakteristik roost kelelawar di perkebunan kopi.

(36)

C. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik roost kelelawar di perkebunan kopi Way Heni Lampung Barat. Manfaat lebih lanjut dari penelitian ini untuk memahami kondisi habitat dan jenis tumbuhan sebagai roost kelelawar sebagai upaya konservasi di perkebunan kopi Way Heni Lampung Barat

D. Kerangka Pikir

(37)

membantu kelelawar untuk melihat pada malam hari (Lekagul and Mcneely, 1977).

Beberapa spesies kelelawar memiliki daerah jelajah yang cukup luas, daya jelajah kelelawar berhubungan dengan tempat tinggal dan tempat mencari makan, selain itu juga berhubungan dengan faktor musim dan ketersediaan sumber pakan pada suatu area tertentu.

Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di perkebunan kopi Sumber Rejo Way Heni Lampung Barat di temukan tujuh jenis buah sisa pakan kelelawar (Ariyanti et al., 2012), yang menunjukkan bahwa perkebunan kopi Sumber Rejo menjadi area jelajah kelelawar. Sistem komunitas yang cukup stabil akan mampu mendukung kelangsungan hidup kelelawar, seperti tersedianya habitat yang baik bagi kelelawar sebagai roost kelelawar.

Komponen fisik dan biologis merupakan dua komponen pengisi suatu habitat yang saling berperan sebagai penyedia makanan dan pelindung bagi

kelelawar. Kondisi perkebunan kopi yang masih cukup banyak menyediakan lokasi dan sumber pakan kelelawar. Penelitian ini telah dilakukan di

(38)
(39)

Kupersembahkan karya kecil yang sederhana ini untuk-MU,

diriku, dan semua yang telah mendukungku:

Ibu dan Bapak yang paling berharga dan kucinta yang selalu

mendukung dengan penuh cinta kasih tanpa batas dalam

membimbingku ke arah yang lebih baik

Ibu Elly L Rustiati dan Bapak Mikael Jazdzyk untuk setiap

kata mutiara dalam doa, nasehat, semangat dan kasih sayang

luar biasa yang banyak mengajarkan arti kasih sayang

(40)

Sukses adalah seperti kucing yang mengejar

ekornya, jika kucing itu berlari mengejar tanpa

berfikir tidak akan bisa didapatkan selamanya, tapi

jika kucing itu berjalan sebagaimana mestinya maka

ekor itupun akan mengikuti kucing. Sabar dan

(41)

Tidak ada simpanan yang lebih berguna daripada ilmu.

Tidak ada yang lebih beruntung daripada adab.

Tidak ada kawan yang lebih baik daripada akal.

Tidak ada benda yang lebih ghaib daripada maut.

Tak perlulah mengisi hati ini dengan

penyesalan masa lalu dan kekhawatiran

untuk masa depan, karena kita tak akan

memiliki hari ini untuk disyukuri.

Bertemu dengan seseorang yang selalu membela

kebenaran, dialah hiasan dikala senang dan perisai

diwaktu susah adalah anugerah yang tak pernah mampu

dihargai dengan logam mulia sekalipun.

(42)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Muara Dua, Kabupaten OKU Selatan pada tanggal 23 November 1990 dari pasangan Bapak Tikno dan Ibu Rosmala Dewi. Penulis diterima di Jurusan Biologi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Sebelumnya penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Al Azhar 3 Bandar Lampung (2008), Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhamadiyah 3 Bandar Lampung (2005), Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Kedaton Bandar Lampung.

(43)

Kaderisasi dan Kepemimpinan dan pada tahun 2010 menjadi kepala bidang Kaderisasi dan Kepemimpinan Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO), kemudian di tahun 2011 dipercaya menjadi kepala divisi Sains dan Teknologi di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FMIPA.

Penulis pernah melaksankan Kerja Praktek (KP) di desa Sumber Rejo Lampung Barat, Sumatra dan Wildlife Conservation Society- Indonesia Program (WCS-IP) bertempat di Stasiun Pusat Penelitian Way Canguk Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di bawah program penelitian Mr. Chun Chia Huang mahasiswa S3 Texas Tech University, USA pada tahun 2012. Penulis juga berpartisipasi dalam seminar nasional Sains, Matematika, Informatika, dan Aplikasinya III

(SNSMAIP- III) (2012) sebagai pemakalah dengan judul “Pemanfaatan Buah Sebagai Pakan Kelelawar Fitofagus dengan Metode Survei Roost di

Perkebunan Kopi Lampung barat Sumatra “

(44)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin penulis ungkapkan rasa puji dan syukur kepada

Allah SWT yang telah memberikan kelancaran, kekuatan, rahmat dan, hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi dengan judul “ Studi Karakteristik Roost Kelelawar Pemakan Buah (Megachiroptera) di Perkebunan Kopi Sumber Rejo Way Heni Lampung Barat, Sumatra” adalah syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains di Universitas Lampung.

Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar besarnya penulis tujukan kepada semua yang telah membantu sejak memulai kegiatan sampai

terselesaikannya skripsi ini, ucapan tulus penulis sampaikan kepada : 1. Dra. Elly Lestari Rustiati, M.Sc selaku pembimbing satu atas ide,

bimbingan, saran, masukan, kritik dan perhatian serta kasih sayang yang tiada hingga yang telah diberikan selama penyelesaian skripsi ini. 2. Meyner Nusalawo, S.P selaku pembimbing dua atas bimbingan, arahan

dan dukungan yang besar dalam menyelesaikan skripsi ini.

(45)

4. Mr. Chun Chia Huang, M.Sc atas kesempatan dan dukungan yang berharga yang telah diberikan untuk mengikuti penelitian ini. 5. Dr. Rochmah Agustrina selaku pembimbing akademik atas

dukungan,motivasi, dan bimbingan selama perkuliahan. 6. Prof. Suharso, Ph.D selaku dekan FMIPA Unila

7. Dra. Nuning Nurcahyani, M.Si selaku ketua jurusan Biologi FMIPA Unila atas dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

8. Orang tua yang telah memberi dukungan, doa, sabar yang tak terbatas dan harapan kepada penulis. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan ridho-Nya untuk ibu dan bapak.

9. Jani Master, M.Si, atas bantuan, dukungan, dan informasi terkait skripsi. 10.Keluarga besarku: Anita desya marantika, Aang Dwi Purnawan, Intan Tria

Sartika, dan kakak iparku Gustya Novryadi untuk segala doa, bimbingan dan nasehat yang telah diberikan kepada penulis.

11.Teristimewa : Bona Quinda dan Destia Putri Ariyani untuk persahabatan yang tak pernah habis dan motivasinya.

12.Endra Kusuma untuk perhatian, kebersamaan, dan koreksinya. 13. Bat Boys team: Syaipul Bahri, Koko Yustian, Miswandi, dan Endra

Kusuma terima kasih buat semua bimbingannya mengenalkan kelelawar pada penulis.

14.Keluarga besar Janjiyanto, untuk perhatian dan kekeluargaannya selama penelitian.

(46)

16.Keluarga besar Biologi 2008 keceriaan dan kebersamaannya, Rahmat, Irke, Alan, Nevi, Aji, dan teman-teman semua dalam setiap kegiatan dan peristiwa-peristiwa tak terduganya.

17.Haidawati dan Nunung Cahyawati untuk kekeluargaan dan motivasinya. 18.Kakak-kakak 2005, 2006, 2007 dan teman-teman 2009-2010 untuk canda

tawa dan keceriannya.

19.Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis satu per satu, yang dengan tulus telah membantu penulis selama melakukan proses penyusunan skripsi.

Semoga ALLAH SWT membalas segala kebaikan semua. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi maupun pembaca.

Bandar Lampung, November 2012 Penulis

(47)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan di perkebunan kopi Sumber Rejo

terhadap roost kelelawar pemakan buah (Megachiroptera), dapat disimpulkan bahwa diperkebunan kopi, pohon yang digunakan kelelawar sebagai roost adalah pohon yang lebih tinggi dan tutupan kanopi yang lebih luas dari pohon lain disekitarnya

B. Saran

Gambar

Gambar 2.   Macroglossus sobrinus (Megachiroptera) (Dokumentasi Tim Peneliti Kelelawar, 2012)
Gambar 3.   Miniopterus sp. (Microchiroptera) (Dokumentasi Tim Peneliti Kelelawar, 2012)
Gambar 5.  Sketsa bentuk densiometer sederhana untuk mengukur

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini dibangun sebagai alat untuk menampilkan informasi rumah, bentuk rumah dan denah ruangan secara 3 dimensi, dimana bentuk 3D ini akan ditampilkan pada sebuah marker atau

Sehingga perlu dikembangkan teknologi untuk pengambilan keputusan pergerakan yang menggabungkan beberapa input data kemampuan-kemampuan yang dimiliki, dengan adanya teknik

Tanpa miring, bidang gambar, pesawat lensa, dan bidang fokus adalah paralel, dan tegak lurus terhadap sumbu lensa; objek dalam fokus yang tajam semua pada jarak yang sama

Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya interaksi antara variabel sistem pengukuran kinerja dan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja manajerial,

Dari hasil penelitian diperoleh R-square 0,98 hal ini mengidentifikasikan bahwa secara simultan (serempak) ada pengaruh yang nyata antara modal, tenaga kerja, pengalaman,

Hal ini menandakan bahwa secara terpisah (parsial) variabel bebas dalam penelitian ini tidak mempunyai pengaruh yang signifikan pada variabel terikat. 2) Jika nilai

Pembelajaran Metode Komando pada kelompok mahasiswa yang memiliki kemampuan motorik tinggi, kemampuan mahasiswa untuk mendapatkan Keterampilan Jurus Tunggal Pencak Silat akan

Siklus I berlangsung selama lima pertemuan dengan kegiatan pembelajaran dan praktik pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT). Siklus II juga dilakukan selama