• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reformasi TNI Dan Pelanggaran HAM (Suatu Studi Deskriptif tentang Pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Reformasi TNI Dan Pelanggaran HAM (Suatu Studi Deskriptif tentang Pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

(Suatu Studi Deskriptif tentang Pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

D I S U S U N Oleh:

NADYA RATNA SARI 050906069

Dosen Pembimbing : Drs. Heri Kusmanto MA Dosen Pembaca : Drs. Warjio MA

Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(2)

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1 

B. Perumusan Masalah... 11 

C. Pembatasan Masalah ... 11 

D. Tujuan Penelitian ... 12 

E. Manfaat Penelitian ... 12 

F. Landasan Teori ... 13 

a. Pengertian Militer dan Sipil ... 13 

b. Tipe‐tipe Orientasi Militer ... 15 

c. Hubungan Sipil Militer Menurut Samuel P. Huntington ... 18 

d. Teori Tentang Hak Asasi Manusia... 21 

e. Landasan Normatif Tentang Tugas dan Peran TNI ... 24 

G. Metode Penelitian ... 29 

a. Jenis Penelitian ... 29 

b. Teknik Pengumpulan Data... 30 

c. Sistematika Penulisan ... 30 

BAB II REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA A. Arti, sejarah dan dasar pelaksanaan Hak Asasi Manusia ... 32 

(3)

 

C. Postur Pertahanan Indonesia... 57  D. Tipologi dan Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia... 64 

BAB III PELANGGARAN HAM OLEH TNI DI SUMATERA UTARA

A. Jenis‐jenis Pelanggaran HAM yang di lakukan oleh aparat... 69  B. Korelasi antara Reformasi TNI, Komando Teritorial (Koter) dengan tindak 

pelanggaran HAM ... 72  C. Bisnis informal dan illegal sebagai faktor dominan penyebab terjadinya 

pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara... 85  D. Pentingnya penghapusan bisnis militer sebagai upaya Reformasi TNI ... 99 

BAB IV PENUTUP

(4)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NADYA RATNA SARI (050906069)

REFORMASI TNI DAN PELANGGARAN HAM : (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

ABSTRAK

Setelah Presiden Soeharto turun, ABRI termasuk sebagai institusi yang di

kecam rakyat, tuntutan agar mereformasi diri muncul dari segenap elemen

masyarakat. Ini juga terkait akan luka-luka masa lalu dari kasus perbuatan ABRI

yang akhirnya mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Perjalanan Reformasi TNI sudah berjalan sekitar 11 tahun, namun sampai

sekarang juga Reformasi TNI tersebut belum dapat di katakan berhasil, hanya

sedikit perubahan di bidang kebijakan dan hilangnya peran politik para tentara.

Selebihnya, belum ada perubahan yang signifikan.

Peneliti ingin meneliti korelasi antara Reformasi TNI dengan tindak

pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara. Tujuan awalnya, ingin

mengetahui apakah setelah Reformasi TNI, tindak pelanggaran dan

kesewenang-wenangan aparat TNI sudah hilang? Namun pada akhirnya peneliti menemukan

kesimpulan dari penelitiannya bahwa ada keterkaitan yang sangat korelatif antara

tindak pelanggaran HAM yang masih terjadi di Sumatera Utara dengan aktifitas

bisnis informal dan illegal pihak militer.

Penulis lalu mengkorelasikan kembali tindak pelanggaran HAM dengan

(5)

 

(Koter) yang dimana bisnis militer dan struktur Komando Teritorial merupakan

PR Reformasi TNI yang sampai sekarang juga belum ada penyelesaiannya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dengan menjelaskan

perjalanan Reformasi TNI, Hak Asasi Manusia, lalu peneliti mengkelompokan

beberapa tindak pelanggaran HAM oleh tentara dan mencari penyebab

pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara kepada masyarakat sipil.

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.,

Perjuangan selama enam bulan, selesai juga! Setahun sebenarnya, dengan enam bulan awal yang sia-sia. Akhirnya skripsi dengan judul Reformasi TNI dan Pelanggaran HAM (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010) berhasil membawa saya menjadi Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. Alhamdulillah..

Dalam perjalanan skripsi ini, saya tidak bisa berjalan sendiri. Banyak pihak yang membantu baik moril dan materiil, mendukung, menyediakan waktu untuk diskusi, menenangkan gundah saya sampai mendoakan saya. Oleh karna itu, saya ingin mengucapkan terima kasih, kepada :

1. Tuhanku, ALLAH SWT. Sembah Sujud kepada-MU, Subhanallah

Walhamdullillah Walailahailallah Allahu Akbar.. karena atas segala rahmat, anugrah, bimbingan, cobaan, semua yang Engkau limpahkan menjadikanku manusia-manusia yang sabar menjalani segala macam prosesnya, bersyukur dan belajar dari segala yang terjadi. Terima Kasih Ya Tuhanku atas segala yang Engkau beri..

2. Orang tuaku, Faruk Irawan (papa) dan Nelly Herawati (mama).

Kalian adalah Papa dan Mama yang terbaik untukku yang di berikan Tuhan. Terima Kasih tak terhingga atas semua yang kalian berikan kepadaku. Terima Kasih telah mengandung, melahirkan, membesarkan, menyekolahkan, mendidik, dan menjagaku. Terima Kasih atas Cintanya mulai dari masih ada di kandungan, sampai bisa sebesar ini. Terima Kasih atas segala ajarannya, segala materinya, segala doanya, segala-galanya yang tidak dapat terhitung lagi. Nadya selalu ingin dan berusaha menjadi anak yang membuat bangga kalian.. Semoga bisa..

3. Bpk. Drs. Heri Kusmanto, MA sebagai ketua Departemen Ilmu

(7)

 

4. Drs. Humaizi, MA sebagai Pembantu Dekan 1, Bagian Pendidikan. Terima Kasih atas bantuan bapak, FISIP USU membutuhkan orang-orang seperti bapak.

5. Drs. Antonius Sitepu, Msi sebagai ketua dosen penguji saya. Terima kasih atas waktunya, bimbingan dan bantuannya.

6. Nh. Nanda Lestari, SE. Kakak yang selalu jadi inspirasiku, wanita perkasa yang tidak pernah menyerah, kakak yang selalu berusaha membantu adik-adiknya. Semoga Tuhan selalu memberikan jalan yang lurus, rezeki yang berlimpah dan juga jodoh yang baik. Juga adik-adikku, M. Noor Fadilah, Nurul Fidiyani, Gilang Ali Rahman, Intan Khairunissa. Semoga kalian tumbuh menjadi anak yang baik, yang berpendidikan, yang berpikiran terbuka, yang membanggakan dan membahagiakan mama papa. Semoga kita selalu di lindungi oleh ALLAH. Insya ALLAH!

7. Aulia Muflih Nasution, ST Msc. Terima Kasih atas segala bantuannya buat skripsiku yang tidak dapat terhitung lagi! Mulai dari menyediakan infocus buat seminar, browse dan download semua data-data, memotivasiku, mengingatkanku, selalu mengajakku refreshing di kala suntuk meraja, sampai rela membagi orang tuanya untuk juga menjadi orang tuaku di medan. Terima Kasih selalu menyediakan kantornya dan rumahnya kapan pun untuk tempat menulis skripsi ketika aku jenuh menulis di kamar atau perpus, Terima Kasih atas kesabaran ketika aku emosi, Terima Kasih support dan dukungannya ketika aku merasa lemah, Terima Kasih atas bahunya untukku menangis. Terima Kasih atas semuanya.. Semoga ALLAH memang menakdirkan kita untuk terus bersatu dan mewujudkan keinginan kita : “menjadi lebih baik”.

(8)

 

di kala penat, serta Damanhuri Asyaro Nasution. Terima Kasih sudah menerimaku dengan hangat, bersama kalian aku merasa mempunyai keluarga di Medan. Semoga suatu saat, Nadya dapat membalas kebaikan kalian. Dan semoga Nadya memang berjodoh

dengan anak kalian yah mama,ayah.. 

9. Terima kasih kepada abang Khusnul Isa Harahap S.sos Msi, atas

waktunya untuk bertukar pikiran ,mengoreksi skripsi saya, memberi masukan, info bahkan channel siapa saja orang yang capable untuk dijadikan narasumber saya.

10.Sahabat dan teman baik saya. Alvina Carolyn Kandou SH,

Faralita Avianda Lubis Amd SH dan Yoga Geraldo Alexander di Medan, Ajeng Sekar Tanjung S.Kom di Bandung, Nopi Rahayu Dinika S.sos di Pangkalan Brandan , Lydia Octawidawati SH di Bekasi, Asriati S.Kom, Putri Lestari ST dan Dr. Anggun Fitri di Jakarta, Yulia Pratiwi di Padang, Lisa Fitri S.Hut dan Ria Olivia Amd di Bandar Lampung. Terima Kasih atas doanya, dukungannya, bantuannya, selalu mengingatkan, pengertiannya ketika saya tiba-tiba jadi ansos karena skripsi dan tidak mood untuk bertemu siapa-siapa sampai menyediakan rumahnya untuk saya bersemedi..

11.Ir. M. Noor Sufrin Bakrie, Terima kasih Yai atas keluarga pertamanya ketika saya berada di medan. Dari rumah itu juga, saya banyak mendapat pelajaran hidup.

12.Terima Kasih untuk keluarga besarku Alm. Achmad Sarofie

Baikrie yang tersebar mulai dari Medan, Riau, Palembang, Lampung, Jakarta, Depok, Tangerang dan keluarga besar Alm. Abdul Gani di Lampung, Jakarta, sampai Cirebon. Maaf tidak bisa menyebutkan satu persatu.

13.Segenap Guru-Guru di TK Xaverius Tanjung Karang, SD

Fransiskus 1 Bandar Lampung, SLTP Negeri 1 Bandar Lampung dan SMA Negeri 3 Bandar Lampung. Tanpa peran kalian, saya tidak akan menjadi apa-apa..

(9)

 

bimbingannya, dan kerjasamanya. Semoga terwujud TNI yang profesional, akuntabel dan menghormati HAM.

15.Semua rekan-rekan Jurusan Ilmu Politik khususnya 2005. Asola

Akbar, Naufal Dzaki Lubis (Terima Kasih! kalian berdua sahabat pertamaku di medan), teman diskusi dan bertukar pikiran tentang skripsi: M. Jaka Pratama dan Golfrid “kibo” yang juga jadi moderator seminar skripsi, teman-teman yang datang ketika seminar saya: Abi Rekso, Emmy Arvan, Imelda Purba, Matthew SLT, Irwan Sandi, Tigor Manalu dan Mardatillah, teman bercerita pertama di kampus: Sri Puji Nurhaya, Aisyah, Fanina Fanindita, Irfan Ananda, M. Fildza Azmi, Nahyatun Nissa Harahap, juga Team Praktikum : Safrie Sidabalok, Maria Simare-mare dan Stella Hutabarat. Dan juga yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.. Semoga Sukses! See You At The Top..

16.Segenap Civitas Akademika USU, terlebih Ilmu Politik FISIP

USU. Terima Kasih buat para dosen, para staff yang banyak membantu saya, buat abang Rusdi Muhammad, buat yang lainnya juga.. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.

17.Orang-Orang yang tanpa mereka sadari sedikit banyak saya

mencari tahu tentang dunia kemiliteran : Mayor Reza Suud, Kapten Inf Ali Imran, dll. Doakan saya supaya menjadi Menteri Pertahanan yah, supaya dapat menampung keinginan kalian atas masyarakat sipil. Dan juga kalian bisa mengakomodasi keinginan masyarakat sipil. Saya sadar dan percaya masyarakat sipil dan juga tentara, semuanya perlu sejahtera. :p

18.Hoppipolla Family! Kalian keluargaku di medan. Irwin Fahdianto, Dian Warunda, Andrew Heri Adhadian, Khalid Ridhoni dan vokalis yang belum ketemu pengganti si Di Muhammad Devirza beserta crew-crew Jangek dan Manisse. Semoga Hoppipolla sukses suatu hari nanti, Jangan pernah menyerah, tetaplah kreatif!

19.Terima Kasih kepada CV. Raft Origin, Perpustakaan USU, Kantin

(10)

 

Twitter, Blogger, Snaptu, UT, YM, Hitam Hijau, Indocafe, Minute Maid Pulpy Orange, Pop Mie, Axioo Hitamku, Opera Van Java, dan semua yang mendukung pengembalian moodku dan semangatku. Saya sebutkan karna walaupun kecil, tapi sangat berarti buat saya.

20.Orang- Orang yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dan

(mungkin) tidak ingin saya sebutkan. Terima Kasih karena kalian, saya lalu terpacu ingin membuktikan bahwa saya bisa! Terima Kasih atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini, atas masukannya, kritikannya, semangatnya bahkan sindirannya. Semoga ALLAH SWT memberikan pahala dan balasan atas segalanya kepada kalian semua. Amin..

Wassalamualaikum Wr.Wb,

Medan, Juni 2010

(11)

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NADYA RATNA SARI (050906069)

REFORMASI TNI DAN PELANGGARAN HAM : (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)

ABSTRAK

Setelah Presiden Soeharto turun, ABRI termasuk sebagai institusi yang di

kecam rakyat, tuntutan agar mereformasi diri muncul dari segenap elemen

masyarakat. Ini juga terkait akan luka-luka masa lalu dari kasus perbuatan ABRI

yang akhirnya mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Perjalanan Reformasi TNI sudah berjalan sekitar 11 tahun, namun sampai

sekarang juga Reformasi TNI tersebut belum dapat di katakan berhasil, hanya

sedikit perubahan di bidang kebijakan dan hilangnya peran politik para tentara.

Selebihnya, belum ada perubahan yang signifikan.

Peneliti ingin meneliti korelasi antara Reformasi TNI dengan tindak

pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara. Tujuan awalnya, ingin

mengetahui apakah setelah Reformasi TNI, tindak pelanggaran dan

kesewenang-wenangan aparat TNI sudah hilang? Namun pada akhirnya peneliti menemukan

kesimpulan dari penelitiannya bahwa ada keterkaitan yang sangat korelatif antara

tindak pelanggaran HAM yang masih terjadi di Sumatera Utara dengan aktifitas

bisnis informal dan illegal pihak militer.

Penulis lalu mengkorelasikan kembali tindak pelanggaran HAM dengan

(12)

 

(Koter) yang dimana bisnis militer dan struktur Komando Teritorial merupakan

PR Reformasi TNI yang sampai sekarang juga belum ada penyelesaiannya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dengan menjelaskan

perjalanan Reformasi TNI, Hak Asasi Manusia, lalu peneliti mengkelompokan

beberapa tindak pelanggaran HAM oleh tentara dan mencari penyebab

pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara kepada masyarakat sipil.

(13)

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa yang terjadi di Mei 1998, jatuhnya pemerintahan Orde baru di

bawah pemerintahan Presiden Soeharto dipicu oleh adanya krisis moneter di

kawasan Asia yang menyebar mulai dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan

terakhir Indonesia. Dari sekian negara yang mengalami krisis ekonomi, Indonesia

adalah negara yang paling parah tertimpa krisis tersebut yaitu dengan anjloknya

dollar Amerika yang sangat tajam. Karena sistem perekonomian di Indonesia

tidak memiliki fundamental yang cukup kuat, maka penyelesaiannya pun tidak

mendapatkan hasil yang baik, bahkan semakin berlarut-larut dan rupiah semakin

anjlok. Hal ini membawa dampak kredibilitas pemerintah menjadi rendah dan

rakyat mulai hilang kepercayaannya.

Djojohadikusumo memandang bahwa ketidakpercayaan masyarakat telah

menjadi institusional disease yang tercermin dari serangkaian fenomena yang

telah melembaga, seperti maraknya praktek-praktek korupsi dan kolusi pejabat

pemerintah dan pengusaha serta ketidakpastian hukum. Sedangkan R. William

Liddle memandang krisis ekonomi (moneter) di Indonesia telah berpengaruh

(14)

 

       

pemerintahan Orde baru kehilangan legitimasinya.1 Memburuknya situasi ini

membangkitkan reaksi keras dari masyarakat, terutama para intelektual yang

tergabung dalam gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa dan

pelajar. Berbagai aksi demonstrasi oleh mahasiswa yang didukung oleh elemen

masyarakat seperti para tokoh masyarakat, buruh, LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat) dan lain-lain, digelar di berbagai daerah di seluruh pelosok tanah

air.2 Mereka mengklaim bahwa semua permasalahan yang ada saat itu adalah

karena akibat kesalahan manajemen Presiden Soeharto, sehingga mereka

menuntut keras agar Presiden Soeharto bergegas mundur dari kekuasaannya.

Akhirnya demontrasi besar-besaran diarahkan mahasiswa menuju ke gedung

DPR/MPR sebagai simbol dari wakil suara rakyat. Demontrasi ini mengakibatkan

pimpinan DPR dipaksa mengambil tindakan tegas terhadap tuntutan para

demonstran. Tanggal 20 Mei 1998, pimpinan DPR atas kesepakatan dialog

dengan delegasi masyarakat yang memadati areal tersebut mengeluarkan

statement bahwa akan segera mengadakan SI (Sidang Istimewa) MPR jika

Presiden Soeharto tidak secepatnya mengundurkan diri. Dan tanggal 21 Mei 1998

di Istana Negara, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti dari

jabatan Presiden.3

Sejak jatuhnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto oleh gerakan

mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan reformasi, maka posisi  

1

Malik A.Haramain dan Nurhuda Y.MF, Mengawal Transisi:Refleksi atas Pemantauam

Pemilu’99,JAMPPI-PB PMII dan UNDP, Jakarta 2000.

2

Mengenai tokoh-tokoh dan unsure-unsur pendukung gerakan mahasiswa dalam perjuangannya dapat dilihat dalam Adi Suryadi Culla,Patah Tumbuh,Hilang Berganti :Sketsa Pergolakan

Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia1908-1998, Jakarta : Penerbit Rajawali,

1999,halaman 161-164

3

Mengenai kronologi jatuhnya Presiden Soeharto, dapat dilihat S. Sinansari Encip, Kronologi

(15)

 

       

ABRI dalam peta perpolitikan Indonesia ikut jatuh pula. Tidak dapat dipungkiri

lagi bahwa ABRI adalah kekuatan politik Orde Baru bersama Golkar. Jatuhnya

Orde Baru berarti jatuhnya ABRI sebagai penyangga pemerintahan, karena ABRI

selama Orde Baru lebih identik dengan alat pemerintah yang berkuasa daripada

alat penyangga dan pelindung negara dari segala ancaman dari luar melalui

konsep Dwi Fungsi ABRI. ABRI di desak untuk melakukan reformasi, walaupun

secara garis besar ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya terjadinya

Reformasi TNI, bukan hanya karena Dwi Fungsi ABRI.

Program pembangunan dalam masa Orde Baru dilancarkan melalui konsep

Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya

menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (2)

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan (3) Stabilitas nasional yang sehat

dan dinamis. Di dalam “stabilitas” itulah terkandung “pendekatan keamanan”.

Praktek Dwi Fungsi ABRI menjadi subur sejak Orde Baru, yaitu dengan di

terapkannya “pendekatan keamanan”. Pendekatan keamanan ini diberlakukan

mengingat dua hal, yaitu: Pertama, suasana pasca G30S/PKI 1965 masih

menuntut dilaksanakannya segala bentuk aktivitas keamanan di seluruh sektor dan

di seluruh wilayah Republik Indonesia dari bahaya laten komunisme. Kedua, Orde

baru bertekat melaksanakan program pembangunan yang kesuksesannya

menuntut adanya stabilitas keamanan.4 Dari praktek Dwi Fungsi ABRI pada masa

itu berkembanglah militerisme dan militerisasi. Demi terlaksananya pembangunan

dengan mencapai keberhasilan maka ABRI harus aktif menjalankan kekuasaan

  4

(16)

 

       

negara. Itulah prinsip militerisme dan demi pembangunan itu pula, anggota ABRI

harus ada dimana-mana, sebagaimana pembangunan dilaksanakan di semua

sektor, inilah yang disebut dengan militerisasi.

Praktek militerisme Orde Baru dilakukan dengan menempatkan ABRI

dalam kekuasaan legislatif, baik sebagai anggota DPR (tanpa ikut serta dalam

pemilu) maupun sebagai anggota MPR (non-DPR, dari golongan

karya/fungsional). Selain itu pula atas hak prerogatif presiden, banyak anggota

ABRI dilibatkan di departemen-departemen pemerintah, bahkan menjadi mentri

dalam kabinet walaupun masih dalam posisi anggota ABRI aktif. Selain itu juga

anggota ABRI banyak duduk di posisi pemerintahan daerah mulai dari jabatan

bupati/walikota sampai gubernur. Kedudukan di BUMN atau BUMD juga banyak

di minati anggota ABRI. Perusahaan-perusahaan milik pemerintah

(Negara/Daerah) menjadi sumber pembiayaan kegiatan ABRI, dikarenakan

kelangkaan sumber dana, inilah yang mengharuskan anggota TNI/ABRI

(khususnya TNI-AD) melakukan kegiatan bisnis untuk membiayai dirinya,

terlebih-lebih untuk melakukan operasi pada saat itu. Hal inilah yang membuat

ABRI (TNI-AD) memasuki sektor ekonomi dan bisnis.5

ABRI pada akhirnya menjadi kekuatan yang adikuasa di semua sektor, para

anggotanya mendapatkan hak-hak istimewa yang melebihi warga negara yang

lain. Kekuasaan yang besar dan hak-hak istimewa itu akhirnya membangun pula

tata nilai tertentu dalam lingkungan ABRI yang memberikan pengaruh kuat

  5

Di rangkum dari kutipan perkataan Saurip Kadi (Perwira tinggi AD), Sri-Bintang Pamungkas,

(17)

 

terhadap berkembangnya budaya KKN dan budaya berbisnis-ria. KKN juga

berkembang oleh adanya dana besar non-budgeter negara yang di peruntukan oleh

ABRI bagi mendukung segala operasi ABRI menciptakan stabilitas keamanan.

ABRI telah menjadi alat kekuasaan, bukan lagi alat negara.

Dalam suasana militerisme dan militerisasi, sulit dibedakan berlakunya

kekuasaan sipil dari kekuasaan militer, antara keadaan aman atau darurat perang.

Seakan-akan negara selalu ada dalam keadaan tidak aman, penuh ancaman,

khususnya dari dalam negeri sendiri. Sebagai akibatnya, ABRI mencurigai adanya

musuh di mana-mana di dalam negeri. Kritik terhadap pemerintah dan perbedaan

pendapat dianggap sebagai gangguan dan ancaman terhadap negara, pemerintah

dan pembangunan dan harus dihadapi dengan tindak kekerasan secara militer.

Tentu saja ini justru menciptakan kekacauan yang selanjutnya mengakibatkan

terjadinya situasi yang tak terkendali yang memakan korban jiwa rakyat sipil yang

lemah.

Situasi tidak terkendali muncul dengan keterlibatan ABRI (terutama

TNI-AD) dalam banyak tindak kekerasan militer disertai dengan jatuhnya puluhan,

bahkan ratusan ribu korban jiwa, dalam kurun waktu panjang Orde Baru yang

mencerminkan tidak adanya perlindungan masyarakat atas Hak Asasi Manusia.

Pertama, dalam berbagai kasus menghadapi protes para aktivis

Pro-demokrasi, antara lain seperti yang terjadi dalam Peristiwa Golput (Golongan

Putih,1971) di Jakarta, Peristiwa Taman Mini (1973) di Jakarta, Peristiwa Malari

(18)

 

Mahasiswa terhadap Soeharto (1978) di Bandung, Peristiwa Penyataan

Keprihatinan Petisi 50 (1980) di Jakarta, Peristiwa SDSB (Soeharto Dalang

Segala Bencana, 1994) di halaman gedung DPR/MPR Jakarta, Peristiwa Berdarah

UMI (Universitas Muslim Indonesia, 1996) di Makasar, Peristiwa Penculikan

(19970 terutama di Jakarta, Peristiwa Trisakti (1998) di Jakarta, Peristiwa

Semanggi I dan II (1999) di Jakarta.

Kedua, tindak kekerasan ABRI menghadapi protes-protes masyarakat

terhadap kebijakan aparat dan pejabat Negara, seperti dalam Peristiwa

Pembantaian G-30-S/ 1965 berikut penangkapan-penangkapan, pemenjaraan dan

pembuangan korban ke Pulau Buru, Peristiwa Invasi ke Timor-Timur dan

pendudukannya selama 23 tahun (1975-1998), Peristiwa Tanjung Priok (1984) di

Jakarta, Peristiwa Lampung (1989), Peristiwa Santa Cruz (1991) di Timor-Timur,

Peristiwa Sei Lepan (1993) di Sumatera Utara, Peristiwa Haur Koneng (1993) di

Jawa Barat, Peristiwa Nipah (1993) di Madura, Peristiwa Parbuluhan (1995) di

Sumatera Utara, Peristiwa Jenggawah (1996) di Jawa Timur, Peristiwa Freepot

(1996), Abepura (1996) dan Nabire (1996) di Irian Jaya, Peristiwa DOM (Daerah

Operasi Militer, 1989-1998) di Aceh, dan masih banyak peristiwa lain yang

hampir selalu berakhir dengan tindak kekerasan dan penghilangan nyawa oleh

pihak ABRI.

Ketiga, tindak kekerasan terhadap perorangan dan anggota masyarakat yang

justru di mulai dari pihak ABRI, seperti Peristiwa Komando Jihad (1977-1978) di

beberapa kota di Jawa, Peristiwa Pembajakan Pesawat Woyla (1981) di Bangkok,

(19)

 

       

Marsinah (1993) di Jawa Timur, Peristiwa Sri-Bintang Pamungkas (1995) di

Jerman, Peristiwa 27 Juli (1996) di Jakarta, Peristiwa Wartawan Udin (1996) di

Yogyakarta, Peristiwa Situbondo (1996) di Jawa Timur, Peristiwa Tasikmalaya

(1996) di Jawa Barat, Peristiwa Kartu Lebaran Politik (1997) di Jakarta, Peristiwa

Dukun Santet (1998) di Jawa Timur, Peristiwa Ketapang (1998) di Jakarta dan

Kupang, Peristiwa Kerusuhan Mei (1998) di Jakarta dan beberapa kota di Jawa,

Peristiwa Tengku Bantaqiah (1999) di Aceh Barat, Peristiwa Jajak Pendapat

(1999) di Timor-Timur dan Peristiwa Haruku dan lain-lain (2000) di Maluku.6

Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan pihak negara dengan memakai

ABRI sebagai alatnya harus diakhiri, militerisme dan militerisasi harus diakhiri.

ABRI harus kembali kepada profesionalismenya. Rakyat sendiri tidak boleh

diperlakukan sebagai musuh. Negara harus mampu meredakan setiap gejolak

dalam masyarakat tanpa harus membunuh rakyat sendiri. Semua gejolak harus

bisa diselesaikan secara politis tanpa melibatkan militer dan kekerasan militer dan

tanpa harus melakukan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia.

Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara

kekuasaan membawa ABRI terjebak dalam pola-pola pendekatan yang represif.

Sehingga tidak jarang oknum ABRI bertindak di luar pegangan yang mereka

ucapkan setiap Apel atau Upacara yaitu Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Pelanggaran-pelanggaran dalam berbagai bentuk, baik kriminal maupun motif

politik, semakin lama semakin terakumulasi. Sehingga pada momentum yang

tepat, yaitu saat jatuhnya pemerintahan Orde Baru meledaklah semua akumulasi  

6

(20)

 

       

pelanggaran ABRI pada masa lalu tersebut. ABRI dibenci dan dihujat rakyat

karena dianggap lebih sebagai pelindung dan pengaman Orde Baru selama 32

tahun daripada menjadi pelindung dan pengayom rakyat.

Slogan-slogan yang didengungkan seperti “ABRI dari rakyat, oleh rakyat

dan untuk rakyat”, “Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk ABRI”,

“ABRI manunggal dengan rakyat” dan sebagainya hanyalah kata-kata yang tidak

bermakna dan dianggap mengelabuhi rakyat saja. Akhirnya, tuntutan atas

Reformasi TNI pun muncul dari berbagai komponen masyarakat, termasuk dari

kalangan militer sendiri. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI menjadi salah satu

tuntutan pokok yang di lontarkan, walaupun dapat dikatakan proses Reformasi

TNI bukan semata karena lengsernya Soeharto saja, ada empat alasan yang

melatarbelakanginya. Pertama, Peran sosial politik TNI yang melampaui batas

telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, Campur

tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah

mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi

dalam masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah

mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap

lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi

dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini.7

Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang menumpuk selama lebih dari

tiga dekade di bawah orde baru akibat dari akses kekuatan ABRI disegala hal  

7

Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (MABES TNI), TNI abad XXI: Redefinisi, Reposisi

dan Reaktualisasi Peran TNI dalam kehidupan bangsa, Jakarta : Mabes TNI, 1999, dalam Bukhari

(21)

 

yang berlebihan ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi

dengan menghujat dan mendesak ABRI kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu

mengurusi masalah pertahanan dan keamanan negara. Reformasi cukup tajam

menyoroti posisi ABRI, baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan

sosial politik. Sorotan masyarakat dalam semangat reformasi ini sangat

memojokan posisi ABRI. Luka-luka lama terungkit kembali ke permukaan. Dilain

pihak ABRI juga menyadari posisinya dan telah bertekad untuk melaksanakan

konsolidasi dan reformasi internal dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan

zaman dengan memperbaiki serta belajar dari pengalaman masa lalu.

Tentara yang dalam tradisi kemiliteran Indonesia akrab dengan kehidupan

politik, sejak tanggal 21 mei 1998 secara bertahap telah meninggalkan gelanggang

politik. Di mulai dari masa pemerintahan Presiden BJ Habibie itulah, peran

tentara kembali kepada jati dirinya sebagai militer yang profesional. Maka

ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI

dan paradigma barunya. Namun, perubahan yang diharapkan terjadi sejak tahun

1998 ternyata masih belum dapat di wujudkan oleh pemerintahan baru pasca

rezim Soeharto. Hal ini terjadi karena kekuasaan Orde Baru yang masih kuat serta

mesin politiknya yang masih solid serta belum ada kesepahaman serta konsolidasi

yang baik dari kelompok-kelompok Pro Demokrasi, Kekuasaan Orde Baru masih

membayang-bayangi pemerintahan pasca 1998, sehingga mempengaruhi tindakan

pemerintahan transisi. Hal ini dapat dilihat dari Pemerintah masih belum

menunjukkan kesungguhan untuk melakukan perubahan sistem politik, hukum

(22)

 

       

kebutuhan rakyat dalam merumuskan kebijakan, serta tidak melakukan secara

maksimal upaya-upaya penegakan hukum dan HAM.

Kenyataan bahwa masih banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh

Aparat (Polisi dan Militer) di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada

khususnya, mendorong peneliti untuk meneliti keterkaitan antara reformasi TNI

dengan besarnya tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara.

B. Perumusan Masalah

Masyarakat Sipil termasuk sebagai satu dari beberapa elemen yang

mempunyai kontribusi dalam mendorong terjadinya Reformasi TNI. Sejak 1998

sampai sekarang, kalangan masyarakat sipil (civil society) secara aktif telah

melakukan upaya-upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi

proses-proses reformasi, terutama untuk memastikan berjalannya reformasi di

institusi TNI. Perubahan yang diharapkan bukan saja atas perubahan kebijakan

dan legislasi di tubuh TNI, tetapi juga perubahan institusi dan struktur, dan juga

perubahan akan prilaku dan sikap aparat TNI itu sendiri.8 Peneliti kemudian

memfokuskan penelitiannya terhadap perubahan perilaku dan sikap aparat TNI

salah satunya pokok besarnya adalah menyoroti berbagai pelanggaran HAM yang

dilakukan oleh Aparat.

  8

(23)

 

Maka penulis merumuskan pertanyaan penelitiannya, yaitu : “Apakah

pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil di Sumatera Utara masih terjadi setelah reformasi TNI?“

C. Pembatasan Masalah

Penulis membatasi dan memfokuskan skripsinya kepada kasus pelanggaran

HAM oleh aparat TNI kepada masyarakat sipil di Provinsi Sumatera Utara saja

setelah Reformasi TNI terjadi, namun peneliti hanya meneliti dalam kurun waktu

tahun 2006 sampai Maret 2010. Data yang di dapat berupa data wawancara dan

juga data tertulis dari KontraS dan juga SSRC, sebagai berikut dari KontraS

berupa data dari tahun 2006 sampai Maret 2010 (dengan beberapa kekosongan

data) dan data dari SSRC berupa data dari awal tahun 2010 sampai April 2010.

Jadi Reformasi TNI dan korelasinya terhadap pelanggaran HAM di skripsi ini di

teliti dari tahun 2006 saja di karenakan keterbatasan data.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perubahan perilaku aparat TNI pasca Reformasi TNI

di Sumatera Utara, khususnya menyangkut persoalan pelanggaran

(24)

 

2. Menjadi pembelajaran tentang bagaimana Reformasi TNI itu sendiri

dan persoalan kompleks yang terdapat di dalamnya dan menjadi tugas

kita untuk memonitoring perkembangannya.

3. Sebagai refrensi kepada masyarakat untuk lebih dapat mengetahui lebih

lanjut salah satu lembaga atau birokrasi Negara.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat bagi penulis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan

pengetahuannya dan pemahaman penulis untuk berfikir secara

akademis dalam melihat perkembangan reformasi yang terjadi di tubuh

militer dan ke depannya penulis berharap memberikan manfaat lebih

terhadap dirinya sendiri .

2. Manfaat bagi akademis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi

referensi baru dalam pengembangan khasanah ilmu politik, diharapkan

hasilnya dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan juga

masyarakat luas tentang implementasinya Reformasi TNI terutama

terhadap perubahan sikap dan prilaku TNI atas penggunaan

wewenangnya.

3. Manfaat praktis , hasil penelitian ini dapat memberikan realitas

mengenai kenyataan akan kejadian yang terjadi di kehidupan nyata

(25)

 

       

menyadari pentingnya menghormati Hak Asasi Manusia tidak

terkecuali siapapun itu.

F. Landasan Teori

a. Pengertian Militer dan Sipil

Dalam bahasa Inggris, Militer atau “ military ” adalah “the soldiers ;

the army ; the army forces” 9 yang berarti prajurit atau tentara ;

angkatan bersenjata.

Di negara modern, militer biasanya adalah angkatan bersenjata yang

terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang yaitu : darat, laut, udara dan atau

marinir. Sedangkan polisi, meski diberi kewenangan memegang senjata,

tidak termasuk di dalamnya.

Di Indonesia, batasan militer berubah dan berbeda dari masa ke masa.

Militer pada masa Orde Lama adalah Angkatan Perang Republik Indonesia

(APRI) yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan

Udara. Pada tahun 1959 sebutan APRI diubah menjadi ABRI yaitu

kepanjangan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lalu

pada masa Orde Baru, melalui UU Nomor 13/1961 Pasal 3, Keppres

Nomor: 225/1962, Keppres Nomor: 290/1964 menetapkan Kepolisian

Negara Republik Indonesia adalah ABRI. Dengan demikian, ABRI meliputi

  9

(26)

 

TNI AU.

       

TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut (AL), TNI Angkatan Udara

(AU) dan Kepolisian Negara RI.10 Dimana kedudukannya sama dan

sederajat dengan ketiga angkatan lainnya dengan garis-garis komando dan

hierarki yang utuh dan bulat.11 Pasca Orde Baru, di era Reformasi ,

terhitung 1 April 1999, yang dimaksud dengan militer adalah TNI (bukan

ABRI lagi) yang terdiri dari TNI AD, TNI AL dan

Batasan militer ini menjadi baku kemudian melahirkan istilah Sipil.

kepada mereka yang bekerja di luar profesi Angkatan Bersenjata. Dalam

bahasa Inggris, Sipil yaitu “civilian”, “(person) not serving with armed

forces”.12 Yang berarti seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan

bersenjata. Semua orang dengan segala macam profesi yang bekerja di

instansi pemerintah maupun swasta yang berada di luar struktur organisasi

militer, termasuk polisi di sebut warga sipil. Namun di Indonesia batasan ini

tentu berbeda, karena polisi cenderung di anggap sebagai warga non-sipil.

Cohan13 mendefinisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum,

lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Sayidiman

  10

Buku Peraturan Perundang-undangan Pertahanan dan Keamanan RI,Sekretariat Jendral Dephankam, Jakarta, 1996, halaman 88.

11

Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan Bidang Hankamneg dari tahun 1961-1971, Buku III, Biro Organisasi Sekretariat Jendral Dephankam Tahun 1989, halaman 142-144

12

AS Horby, op.cit., hal.151

13

(27)

 

       

Suryohardiprojo memberikan batasan sipil sebagai semua lapisan

masyarakat.14

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat dibuat suatu pengertian

secara universal bahwa sipil adalah semua orang baik individu ataupun

institusi yang berada di luar organisasi militer.

b. Tipe-tipe orientasi militer

Setiap negara mempunyai tipe-tipe orientasi militer yang berbeda

antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait sangat erat dengan

peran pihak militer dalam pemerintahan, selain itu terkait juga dengan

sistem politik yang dianut oleh negara itu sendiri. Setiap negara mempunyai

karakteristik tersendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya.

Menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul

di negara bangsa modern masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap

jenis kekuatan sipil yang dilembagakan, yakni:15

1. Prajurit Profesional

Perwira profesional di zaman modern mempunyai ciri – ciri

sebagai berikut: 1) keahlian (managemen kekerasan), 2) pertautan

(tanggung jawab kepada klien, bangsa dan Negara), 3) korporatisme

(kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi), dan 4) ideologi

(semangat militer). Ciri-ciri ini dapat dijumpai dalam semua lembaga

militer baik di negara maju ataupun negara berkembang.  

14

Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, Sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999

15

(28)

 

Menurut Huntington keempat ciri tersebut merupakan variabel

penting yang dapat menjauhkan fungsi militer dari intervensi politik

suatu negara. Huntington melihat bahwa prajurit profesional klasik

timbul apabila koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap tentara.

Prajurit dengan keahlian dan pengetahuan profesionalnya menjadi

pelindung tunggal negara.

2. Prajurit Pretorian

Kaum pretorian sebenarnya juga prajurit profesional namun

karena kurang diperhatikan dan selalu dikendalikan oleh pemerintah

sipil maka terbuka kemungkinan besar mereka melakukan intervensi

dalam politik. Menurut Perlmutter kaum pretorian memang lebih

sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau

secara ideologis terpecah-pecah. Secara keseluruhan, kondisi pretorian

mempengaruhi lembaga militer secara negatif dan menurunkan

standar-standar profesionalisme.

Frederick Mundel Watkins mendefinisikan pretorianisme

sebagai suatu kata yang sering dipakai untuk mencirikan suatu situasi

dimana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan

kekuasaan politik yang otonom di dalam masyarakat tersebut berkat

penggunaan kekuatan actual atau ancaman penggunaan kekuatan.

Perlmutter membedakan tipe praetorian kedalam dua kategori

yaitu tipe praetorian yang paling ekstrim (tipe penguasa) dan tipe

(29)

 

penguasa mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organisasi

politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Sedangkan tentara

praetorian penengah tidak mempunyai organisasi politik dan tidak

banyak menunjukan minat dalam penciptaan ideologi politik.

3. Tentara Revolusioner Profesional

Tentara revolusioner seperti tentara pretorian yang mempunyai

pola intervensi illegal, namun tidak seperti tentara pretorian yang

melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan kelompok –

kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi

tentara revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang

illegal yang beroprasi secara sembunyi, dan dilancarkan untuk

mendukung kelompok revolusioner yang sudah ada yang secara

terang-terangan berusaha mengambil alih kekuasaan dengan bantuan

dan dukungan kelembagaan secara besar-besaran.

Tentara revolusioner bukanlah hasil dari keahlian militer,

melainkan pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai.

Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan

penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut

bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara

revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi

(30)

 

       

c. Hubungan Sipil Militer menurut Samuel P. Huntington

Menurut Samuel P. Huntington hubungan sipil-militer ditunjukan

melalui dua cara,16 yaitu :

1) Subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif)

Dilakukan dengan cara memperbesar kekuatan sipil (maximizing

civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer. Cara ini,

dapat menimbulkan hubungan sipil-militer kurang sehat karena

merujuk pada upaya untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi

mereka dan membuat mereka lebih dekat ke sipil (civilian the

military).

2) Objective civilian control (pengendalian sipil objektif)

Dilakukan dengan cara sebaliknya yaitu dengan cara militarizing

the military untuk mencapai pengendalian sipil objektif yaitu dengan

cara memperbesar profesionalisme kaum militer, kekuasaannya akan

diminimkan namun tidak sama sekali melenyapkan kekuasaan kaum

militer, melainkan tetap menyediakan kekuasaan terbatas tertentu

untuk melaksanakan hubungan sipil-militer yang sehat.

Menurut Huntington istilah Objective civilian control

mengandung : 1). Profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari

pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang

mereka; 2). Subordinasi yang efektif dalam militer kepada pemimpin

  16

Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military

(31)

 

       

politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri

dan militer; 3). Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin

politik tersebut atas kewenangan profesionalisme dan otonomi bagi

militer; dan 4). Akibatnya minimalisasi intervensi militer dalam

politik dan minimalisasi politik dalam militer.

Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara,

hubungan sipil-militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting

bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya,

bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju-mundurnya sebuah

negara. Hubungan sipil-militer yang harmonis dan sinergis akan

memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kejayaan negara dan

bangsa. Namun, sebaliknya hubungan sipil-militer yang buruk akan

membawa bangsa dan negara pada perpecahan dan kehancuran. Hubungan

sipil-militer yang baik adalah terjadinya interaksi timbal balik antara

pemerintahan sipil dengan kalangan militer dimana pemerintahan sipil

membutuhkan militer untuk melindungi wilayah dan rakyat negaranya serta

menjamin kepentingan nasionalnya, sedangkan militer memerlukan

dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan, untuk

membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman

yang timbul.17

  17

(32)

 

       

Pada akhirnya, Reformasi TNI yang dijalankan secara

sungguh-sungguh sesuai dengan sistem yang berlaku akan melahirkan tentara

profesional yang mempunyai karakteristik; (1) tidak berpolitik dan berniaga,

(2) Mempunyai keahlian, kesatuan profesi, kompetensi teknis, serta

mengetahui secara persis etika-etika militer dan etika-etika perang, (3)

Menghormati Supremasi, hukum, demokrasi dan Hak Asasi Manusia dan

(4) ketika tentara digelar untuk digunakan, berhasil memenangkan

peperangan.

d. Teori tentang Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia dapat dibagi atau dibedakan sebagai berikut:18

1. Hak-hak asasi pribadi atau “personal rights” yang meliputi

kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama,

kebebasan bergerak dan sebagainya.

2. Hak-hak asasi ekonomi atau “property rights”, yaitu hak untuk

memiliki sesuatu, membeli dan menjualnya serta

memanfaatkannya.

3. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam

hukum dan pemerintahan atau “rights of legal equality”.

4. Hak-hak asasi politik atau “political rights”, yaitu hak untuk

ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih

  18

(33)

 

       

dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik dan

sebagainya.

5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau “social and culture

rights”, misalnya hak untuk memilih pendidikan,

mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.

6. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan dan tata-cara

peradilan dan perlindungan atau “procedural rights”, misalnya

peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan dan

sebagainya.

Menurut UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 7

(tujuh) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: kejahatan

genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kejahatan genosida19 adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan

maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian

kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a. Membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap

anggota-anggota kelompok;

c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan

kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

  19

(34)

 

       

d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran

didalam kelompok; atau

e. Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke

kelompok lain.

Sedangkan Kejahatan terhadap kemanusiaan20 adalah salah satu

perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau

sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara

langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a. Pembunuhan;

b. Pemusnahan;

c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara

sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok

hukum internasional;

f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan

kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau

bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Pengamayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan

yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,

  20

(35)

 

       

budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara

universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum Internasional;

i. Penghilangan orang secara Paksa; atau

j. Kejahatan apartheid.

e. Landasan Normatif tentang Tugas dan Peran TNI

Istilah Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) awalnya muncul

pada masa reformasi 1998. Penggunaan kata TNI terkait dengan upaya

reformasi internal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Munculnya istilah ini sebagai respon kalangan TNI terhadap desakan publik

atas peran politik dan ekonomi TNI serta akuntabilitas atas

pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang di lakukan sebelum 1998.

Tuntutan reformasi tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Rezim

Orde Baru.

Secara umum, tuntutan gerakan masyarakat bukan hanya kepada TNI

melainkan dapat dikalkulasikan sebagai tuntutan atas adanya reformasi di

sektor keamanan berupa transformasi kebijakan-kebijakan dan

institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama yang otoriter menuju sistem baru

yang demokratis. Sehingga aktor-aktor keamanan (termasuk TNI) menjadi

institusi profesional, menjadi subjek dari supremasi pemerintahan sipil,

akuntabel serta menghormati HAM. 21

Sektor keamanan yang dimaksud di atas adalah seluruh institusi yang

memiliki otoritas untuk menggunakan atau mengerahkan kekuatan fisik atau  

21

(36)

 

ancaman penggunaan kekuatan fisik dalam rangka melindungi negara dan

warga negara. Dalam definisi ini termasuk TNI dan Polri (Kepolisian

Negara Republik Indonesia), maupun segenap institusi sipil yang

bertanggung-jawab dalam pengelolaan dan pengawasannya, seperti

Presiden, Departemen Pertahanan dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Reformasi TNI merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan, yaitu

reformasi kolektif intra-institusional yang meliputi; Departemen Luar

Negeri, Departemen Dalam Negeri, Dinas Imigrasi, Departemen

Pertahanan, Kejaksaan, Parlemen, Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan

Polri.

Reformasi TNI menjadi penting karena TNI merupakan institusi yang

tidak terpisah dari sejarah kelam politik pemerintahan Orde Baru yang

mendapat tekanan untuk mereformasi dirinya. Karenanya, salah satu agenda

Reformasi TNI adalah menjauhkan institusi ini dari berbagai

praktek-praktek yang menyimpang di masa lalu dan mendorong

pertanggungjawaban politik dan hukum yang akuntabel terhadap berbagai

kejahatan dan pelanggaran serta memastikan terbentuknya militer

profesional sebagaimana dimaksud dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang

TNI, yang berbunyi “Tentara Profesional adalah tentara yang terlatih,

terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis,

dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik Negara

(37)

 

       

ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah

diratifikasi”22

Secara normatif, gerakan reformasi mendorong TNI melakukan

perubahan paradigma, peran, fungsi dan tugasnya. Pemerintah pun

mewujudkan upaya-upaya penghapusan hak-hak istimewa TNI selama masa

Orde Baru yang di tuntut rakyat Indonesia melalui beberapa kebijakan dan

peraturan yang meliputi pengaturan tentang pemisahan TNI dan Polri (Tap

MPR No.VI/2000), Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan

Negara dan Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional

Indonesia.

Amandemen Kedua Undang Undang Dasar 1945 pada Bab XII

Tentang Pertahanan dan Keamanan negara Pasal 30 ayat 2 (dua) dan ayat 3

(tiga) menyatakan bahwa :

“…(2) usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui

sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara

Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. (3)

Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan

Laut, dan Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas

mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan

kedaulatan negara”

  22

(38)

 

Konstitusi menyatakan bahwa fungsi dan tugas pokok TNI di bidang

pertahanan sebagai alat negara dengan tugas pertahanan, perlindungan dan

pemeliharaan keutuhan dan kedaulatan negara. Sebagai alat negara, TNI

mutlak tunduk pada negara (melalui perintah dan pengelolaan oleh otoritas

politik sipil), mendapatkan fasilitas negara dan mendapatkan previledge

untuk menggunakan kekuatan koersifnya atas perintah negara terkait

upaya-upaya pertahanan. Sejauh ini tidak ada institusi atau alat negara lainnya

yang memiliki otoritas penggunaan kekuatan koersif atas perintah otoritas

politik sipil selain militer.

Lebih lanjut UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara pasal

10 ayat 1 (satu) dan 3 (tiga) menegaskan tugas konstitusional tersebut

dengan menyatakan,

“… (1) Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia;… (3) Tentara Nasional

Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk

: a. Mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah; b.

Melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa; c. Menjalankan

Operasi Militer Selain Perang; d. Ikut serta aktif dalam tugas

pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.”

Selanjutnya, fungsi dan tugas pokok TNI dijabarkan dalam UU no 34

Tahun 2004 tentang TNI bab IV tentang Perang, Fungsi dan Tugas pasal 5

(39)

 

Pasal 5 menegaskan kembali peran TNI sebagai “alat negara di bidang

pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan

keputusan politik negara”. Pasal 6 menjabarkan fungsi pertahanan TNI yang

meliputi “fungsi penangkalan terhadap ancaman luar dan dalam terhadap

keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa; fungsi penindakan; dan fungsi

pemulihan.”

Pasal 7 menjelaskan secara mendetail tugas pokok TNI yang meliputi

“operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang yang

diantaranya adalah: 1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata; 2. Mengatasi

pemberontakan bersenjata; 3. Mengatasi aksi terorisme; 4. Mengamankan

wilayah perbatasan; 5. Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat

strategis; 6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan

politik luar negeri; 7. Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden berserta

keluarganya; 8. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan

pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9.

Membantu tugas pemerintah di daerah; 10. Membantu Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban

masyarakat yang diatur dalam undang-undang; 11. Membantu

mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan

pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12. Membantu

menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan

kemanusiaan; 13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan

(40)

 

       

pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan

penyeludupan”.23

Pasal 8, 9 dan 10 menjabarkan tugas masing-masing Angkatan

(Darat,Laut dan Udara) berupa pelaksanaan tugas-tugas pokok di atas di

masing-masing matra, menjaga keamanan perbatasan di wilayah darat, laut

dan udara, melaksanakan tugas pembangunan dan pengembangan di

masing-masing matra serta melakukan pemberdayaan di setiap wilayah

darat, laut dan udara. 24

G.

Metodologi Penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

jenis penelitian deskriptif dengan tujuan menggambarkan, meringkaskan

berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul dalam

masyarakat yang menjadi objek penelitian. Penelitian deskriptif ini

menggunakan pendekatan sejarah. Metode deskriptif ini menggunakan

teori-teori yang berhubungan dengan Reformasi TNI, hubungan sipil-militer

dan Hak Asasi Manusia.

  23

Kelemahan dari pasal ini adalah masih dimasukannya problem keamanan internal sebagai bagian dari ancaman terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang kemudian memberikan justifikasi bagi pelibatan TNI dalam penyelesaian problem-problem tersebut. Pasal ini memunculkan wilayah abu-abu peran TNI dan Polri seperti mengatasi sparatisme dan pemberontakan bersenjata, memerangi aksi terorisme, mengamanaan obyek vital dan membantu tugas pemerintah daerah. Tak heran kemudian muncul anggapan bahwa secara terselubung legitimasi peran sosial,politik dan ekonomi militer seperti di masa lalu.

24

Mufti Makaarim A., Mempertimbangkan Hak Pilih TNI, Konsistensi reformasi TNI dan

(41)

 

Usaha mendeskripsikan tentang keterkaitan antara Reformasi TNI

terhadap tindak pelanggaran HAM oleh TNI, pada tahap permulaan tertuju

pada usaha mempaparkan berbagai tindakan TNI/ABRI yang dilakukan di

masa lampau, kesalahan-kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran

oknum-oknumnya, mengemukakan perbedaan antara sipil dan militer, mengartikan

Reformasi TNI yang merupakan bagian dari Reformasi Sektor Keamanan.

Pada umumnya penelitian deskriptif ini merupakan penelitian non hipotesis

sehingga dalam langkah-langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan

hipotesa.

b. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka

yaitu dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan

dokumen-dokumen dari berbagai sumber dan tempat serta hal-hal lain yang

menunjang dan juga melakukan beberapa riset dan berdiskusi dengan

berbagai pihak, kemudian apabila perlu juga dilakukan wawancara kepada

pihak-pihak terkait dalam rangka menyempurnakan penelitian ini.

c. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, serta untuk

mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat bab.

(42)

 

BAB I: PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodelogi penelitian,

dan sistematika penulisan.

BAB II : REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA

Menguraikan tentang penjelasan secara menyeluruh tentang

bentuk-bentuk dari Reformasi TNI dan tindakan-tindakan yang mengakibatkan

pelanggaran Hak Asasi Manusia.

BAB III: PELANGGARAN HAM OLEH TNI DI SUMATERA

UTARA

Menguraikan tentang penjelasan tentang tindak pelanggaran HAM

oleh aparat TNI di Sumatera Utara, mengkorelasikan antara reformasi TNI

dengan tindak pelanggaran HAM oleh Aparat TNI. Menjelaskan apa yang

menjadi penyebab pelanggaran HAM di Sumatera Utara dan Solusinya.

BAB IV: PENUTUP

Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang berguna

(43)

 

BAB II

REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA

A. Arti , sejarah dan dasar pelaksanaan Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang

dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak

asasi ini menjadi dasar dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.

Sebagaimana kita ketahui, di samping hak-hak asasi ada

kewajiban-kewajiban asasi, yang dalam hidup kemasyarakatan kita seharusnya mendapat

perhatian terlebih dahulu dalam pelaksanaannya. Memenuhi kewajiban terlebih

dahulu baru menuntut hak.

Dalam masyarakat yang individualistis ada kecenderungan pelaksanaan atau

tuntutan pelaksanaan hak-hak asasi agak berlebihan. Hak asasi tidak dapat

dituntut pelaksanaannya secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan hak asasi

secara mutlak berarti melanggar hak-hak asasi yang sama dari orang lain.

Menurut sejarahnya asal mula hak asasi manusia itu ialah dari Eropa Barat

yaitu Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak asasi ialah pada tahun 1215

dengan lahirnya Magna Charta. Dalam Magna Charta tercantum kemenangan para

(44)

 

bertindak sewenang-wenang. Dalam hal-hal tertentu, raja didalam tindakannya

harus mendapat persetujuan dari bangsawan. Walaupun hal ini terbatas kepada

hubungan antara bangsawan dan raja saja, tetapi kemudian terus berkembang.

Sebagai suatu prinsip, hal ini merupakan suatu kemenangan, sebab hak-hak

tertentu telah diakui oleh pemerintah.

Perkembangan berikutnya adalah adanya Revolusi Amerika 1776 dan

Revolusi Prancis 1789. Dua revolusi abad XVIII ini besar sekali pengaruhnya

dalam perkembangan hak asasi manusia tersebut. Revolusi Amerika menuntut

adanya hak bagi setiap orang untuk hidup merdeka, dalam hal ini hidup bebas dari

kekuasaan Inggris. Revolusi besar Prancis pada tahun 1789 bertujuan untuk

membebaskan manusia warga Negara Prancis dari kekangan kekuasaan mutlak

seorang raja penguasa tunggal negara (absolute monarchie) di Prancis waktu itu

(Raja Louis XVI). Istilah yang dipakai pada waktu itu adalah “droit de I’homme”

yang berarti “hak manusia”, yang dalam bahasa Inggris disebut “human rights”

atau “mensen rechten” dalam bahasa Belanda. Dalam Bahasa Indonesia biasa

disebut dengan “hak-hak kemanusiaan” atau “hak-hak asasi manusia”.

Yang dimaksud mula-mula dari istilah itu adalah hak yang melekat pada

martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, seperti misalnya

hak hidup dengan selamat, hak kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak

boleh dilanggar oleh siapapun juga. Berkenaan dengan hak asasi ini, PBB sebagai

induk dari bersatunya negara-negara di dunia telah mengeluarkan pernyataan yang

(45)

 

       

Instrumen HAM yang paling penting yang merupakan induk dari seluruh

instrument lainnya disebut sebagai The International Bill of Human Rights yang

terdiri dari tiga dokumen pokok yaitu :25

The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal

tentang Hak Asasi Manusia)

International Convention on Economic, Social and Cultural Rights

(Perjanjian Internasional tentang Hak Asasi Manusia di Bidang

Ekonomi, Sosial dan Budaya)

International Convention on Civil and Political Rights (Perjanjian

tentang Hak Asasi Manusia dalam Bidang Kehidupan Bermasyarakat

dan Bernegara)

Instrumen HAM sedunia tidak hanya memberikan perlindungan terhadap

Hak Asasi Manusia, tetapi juga menetapkan sasaran serta tolok ukur yang ingin di

capai dengan perlindungan HAM tersebut. Beberapa instumen yang mengandung

kaidah tentang sasaran dan tolok ukur pembangunan HAM antara lain adalah:26

Declaration on the Right of People to Peace (Deklarasi tentang Hak

Masyarakat untuk Memperoleh Kedamaian dan Perdamaian), 1984.

Declaration on the Rights to Development (Deklarasi tentang Hak

untuk Pembangunan), 1986.

The Vienna Declaration and Programme of Action (Deklarasi dan

Program Aksi Wina), 1993.

  25

Drs. Saafroedin Bahar, Hak Asasi Manusia (Analisis Komnas HAM dan Jajaran Hankam/ABRI), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal 8.

26

(46)

 

       

Pada dasarnya instrument HAM sedunia tersebut diatas melindungi seluruh

umat manusia. Namun ada yang mendapatkan perhatian secara khusus, yaitu

kelompok-kelompok rentan yang lazimnya tidak dapat melindungi hak asasinya

sendiri seperti:27

a. Kanak-kanak;

b. Kaum Wanita;

c. Kaum Pekerja;

d. Minoritas;

e. Penyandang cacat;

f. Penduduk Asli atau Suku terbelakang (indigenous people);

g. Tersangka, tahanan dan tawanan;

h. Budak;

i. Korban kejahatan;

j. Pengungsi;

k. Mereka yang tidak berkewarganegaraan (stateless).

Isi Piagam Pernyataan Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

Human Rights) , yaitu:28

Pasal 1. Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan

hak-hak yang sama. Mereka di karuniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu

sama lain dalam persaudaraan.

  27

Ibid., hal 20.

28

(47)

 

Pasal 2 ayat (1). Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang

tercantum dalam Pernyataan ini dengan tak ada kecualian apapun, misalnya

bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula

kebangsaan atau kemasyarakatan, milik kelahiran atau kedudukan lain.

Pasal 2 ayat (2). Selanjutnya tidak akan diadakan perbedaan atas dasar

kedudukan politik, hukum ataupun kedudukan internasional dari negara atau

daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka maupun yang

berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau dibawah perbatasan lain dari

kedaulatan.

Pasal 3. Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan

keselamatan seseorang.

Pasal 4. Tiada seseorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan;

penghambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang.

Pasal 5. Tidak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam,

dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun dengan jalan perlakuan atau

hukum yang menghinakan.

Pasal 6. Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi

terhadap undang-undang di mana saja ia berada.

Pasal 7. Semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas

perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan. Semua orang berhak

atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa

pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan

(48)

 

Pasal 8. Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim

nasional yang kuasa terhadap tindakan pemerkosaan hak-hak dasar, yang

diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang.

Pasal 9. Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara

sewenang-wenang.

Pasal 10. Setiap orang berhak dalam persamaan yang sepenuhnya

didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang

merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya.

Pasal 11 ayat (1). Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan

suatu pelanggaran pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan

kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang

terbuka, dan ia di dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu untuk

pembelaannya.

Pasal 11 ayat (2). Tiada seorang pun boleh dipersalahkan melakukan

pelanggaran pidana karena perbuatan yang tidak merupakan suatu pelanggaran

pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan

tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih dari

yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.

Pasal 12. Tidak seorang pun dapat diganggu dengan sewenang-wenang

dalam urusan perseorangannya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan

surat menyuratnya, juga tidak diperkenankan pelanggaran atas kehormatan dan

nama baiknya. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan undang-undang

(49)

 

Pasal 13 ayat (1). Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam

di dalam lingkungan batas-batas tiap negara.

Pasal 13 ayat (2). Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk

negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.

Pasal 14 ayat (1). Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan tempat

pelarian di negeri-negeri lain untuk menjauhi pengejaran.

Pasal 14 ayat (2). Hak ini tidak dapat dipergunakan dalam pengejaran yang

benar-benar timbul dari kejahatan-kejahatan yang tak berhubungan dengan politik

atau dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan

dasar-dasar Perserikatan Bangsa Bangsa.

Pasal 15 ayat (1). Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.

Pasal 15 ayat (2). Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat

dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti

kewarganegaraannya.

Pasal 16 ayat (1). Orang-orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan,

dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak

untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak

yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan dan di kala perceraian.

Pasal 16 ayat (2). Perkawinan harus dilakukan dengan cara suka sama suka

dari kedua mempelai.

Pasal 16 ayat (3). Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat

pokok dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat

(50)

 

Pasal 17 ayat (1). Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang lain.

Pasal 17 ayat (2). Tidak seorang pun dapat dirampas hak miliknya dengan

semena-mena.

Pasal 18. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan

agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan,

kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan,

melakukan, beribadat dan menempatinya, baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang lain, baik di tempat umum maupun yang tersendiri.

Pasal 19. Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan

mengeluarkann pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai

pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan-gangguan, dan untuk

mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan

pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dengan tidak memandang batas-batas.

Pasal 20 ayat (1). Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul

dan berpendapat denga tidak mendapat gangguan.

Pasal 20 ayat (2). Tidak seorang pun dipaksa memasuki salah satu

perkumpulan.

Pasal 21 ayat (1). Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan

negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil

yang dipilih dengan bebas.

Pasal 21 ayat (2). Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4.

Referensi

Dokumen terkait