(Suatu Studi Deskriptif tentang Pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)
D I S U S U N Oleh:
NADYA RATNA SARI 050906069
Dosen Pembimbing : Drs. Heri Kusmanto MA Dosen Pembaca : Drs. Warjio MA
Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah... 11
C. Pembatasan Masalah ... 11
D. Tujuan Penelitian ... 12
E. Manfaat Penelitian ... 12
F. Landasan Teori ... 13
a. Pengertian Militer dan Sipil ... 13
b. Tipe‐tipe Orientasi Militer ... 15
c. Hubungan Sipil Militer Menurut Samuel P. Huntington ... 18
d. Teori Tentang Hak Asasi Manusia... 21
e. Landasan Normatif Tentang Tugas dan Peran TNI ... 24
G. Metode Penelitian ... 29
a. Jenis Penelitian ... 29
b. Teknik Pengumpulan Data... 30
c. Sistematika Penulisan ... 30
BAB II REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA A. Arti, sejarah dan dasar pelaksanaan Hak Asasi Manusia ... 32
C. Postur Pertahanan Indonesia... 57 D. Tipologi dan Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia... 64
BAB III PELANGGARAN HAM OLEH TNI DI SUMATERA UTARA
A. Jenis‐jenis Pelanggaran HAM yang di lakukan oleh aparat... 69 B. Korelasi antara Reformasi TNI, Komando Teritorial (Koter) dengan tindak
pelanggaran HAM ... 72 C. Bisnis informal dan illegal sebagai faktor dominan penyebab terjadinya
pelanggaran HAM oleh TNI di Sumatera Utara... 85 D. Pentingnya penghapusan bisnis militer sebagai upaya Reformasi TNI ... 99
BAB IV PENUTUP
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
NADYA RATNA SARI (050906069)
REFORMASI TNI DAN PELANGGARAN HAM : (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)
ABSTRAK
Setelah Presiden Soeharto turun, ABRI termasuk sebagai institusi yang di
kecam rakyat, tuntutan agar mereformasi diri muncul dari segenap elemen
masyarakat. Ini juga terkait akan luka-luka masa lalu dari kasus perbuatan ABRI
yang akhirnya mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Perjalanan Reformasi TNI sudah berjalan sekitar 11 tahun, namun sampai
sekarang juga Reformasi TNI tersebut belum dapat di katakan berhasil, hanya
sedikit perubahan di bidang kebijakan dan hilangnya peran politik para tentara.
Selebihnya, belum ada perubahan yang signifikan.
Peneliti ingin meneliti korelasi antara Reformasi TNI dengan tindak
pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara. Tujuan awalnya, ingin
mengetahui apakah setelah Reformasi TNI, tindak pelanggaran dan
kesewenang-wenangan aparat TNI sudah hilang? Namun pada akhirnya peneliti menemukan
kesimpulan dari penelitiannya bahwa ada keterkaitan yang sangat korelatif antara
tindak pelanggaran HAM yang masih terjadi di Sumatera Utara dengan aktifitas
bisnis informal dan illegal pihak militer.
Penulis lalu mengkorelasikan kembali tindak pelanggaran HAM dengan
(Koter) yang dimana bisnis militer dan struktur Komando Teritorial merupakan
PR Reformasi TNI yang sampai sekarang juga belum ada penyelesaiannya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dengan menjelaskan
perjalanan Reformasi TNI, Hak Asasi Manusia, lalu peneliti mengkelompokan
beberapa tindak pelanggaran HAM oleh tentara dan mencari penyebab
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara kepada masyarakat sipil.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.,
Perjuangan selama enam bulan, selesai juga! Setahun sebenarnya, dengan enam bulan awal yang sia-sia. Akhirnya skripsi dengan judul Reformasi TNI dan Pelanggaran HAM (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010) berhasil membawa saya menjadi Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU. Alhamdulillah..
Dalam perjalanan skripsi ini, saya tidak bisa berjalan sendiri. Banyak pihak yang membantu baik moril dan materiil, mendukung, menyediakan waktu untuk diskusi, menenangkan gundah saya sampai mendoakan saya. Oleh karna itu, saya ingin mengucapkan terima kasih, kepada :
1. Tuhanku, ALLAH SWT. Sembah Sujud kepada-MU, Subhanallah
Walhamdullillah Walailahailallah Allahu Akbar.. karena atas segala rahmat, anugrah, bimbingan, cobaan, semua yang Engkau limpahkan menjadikanku manusia-manusia yang sabar menjalani segala macam prosesnya, bersyukur dan belajar dari segala yang terjadi. Terima Kasih Ya Tuhanku atas segala yang Engkau beri..
2. Orang tuaku, Faruk Irawan (papa) dan Nelly Herawati (mama).
Kalian adalah Papa dan Mama yang terbaik untukku yang di berikan Tuhan. Terima Kasih tak terhingga atas semua yang kalian berikan kepadaku. Terima Kasih telah mengandung, melahirkan, membesarkan, menyekolahkan, mendidik, dan menjagaku. Terima Kasih atas Cintanya mulai dari masih ada di kandungan, sampai bisa sebesar ini. Terima Kasih atas segala ajarannya, segala materinya, segala doanya, segala-galanya yang tidak dapat terhitung lagi. Nadya selalu ingin dan berusaha menjadi anak yang membuat bangga kalian.. Semoga bisa..
3. Bpk. Drs. Heri Kusmanto, MA sebagai ketua Departemen Ilmu
4. Drs. Humaizi, MA sebagai Pembantu Dekan 1, Bagian Pendidikan. Terima Kasih atas bantuan bapak, FISIP USU membutuhkan orang-orang seperti bapak.
5. Drs. Antonius Sitepu, Msi sebagai ketua dosen penguji saya. Terima kasih atas waktunya, bimbingan dan bantuannya.
6. Nh. Nanda Lestari, SE. Kakak yang selalu jadi inspirasiku, wanita perkasa yang tidak pernah menyerah, kakak yang selalu berusaha membantu adik-adiknya. Semoga Tuhan selalu memberikan jalan yang lurus, rezeki yang berlimpah dan juga jodoh yang baik. Juga adik-adikku, M. Noor Fadilah, Nurul Fidiyani, Gilang Ali Rahman, Intan Khairunissa. Semoga kalian tumbuh menjadi anak yang baik, yang berpendidikan, yang berpikiran terbuka, yang membanggakan dan membahagiakan mama papa. Semoga kita selalu di lindungi oleh ALLAH. Insya ALLAH!
7. Aulia Muflih Nasution, ST Msc. Terima Kasih atas segala bantuannya buat skripsiku yang tidak dapat terhitung lagi! Mulai dari menyediakan infocus buat seminar, browse dan download semua data-data, memotivasiku, mengingatkanku, selalu mengajakku refreshing di kala suntuk meraja, sampai rela membagi orang tuanya untuk juga menjadi orang tuaku di medan. Terima Kasih selalu menyediakan kantornya dan rumahnya kapan pun untuk tempat menulis skripsi ketika aku jenuh menulis di kamar atau perpus, Terima Kasih atas kesabaran ketika aku emosi, Terima Kasih support dan dukungannya ketika aku merasa lemah, Terima Kasih atas bahunya untukku menangis. Terima Kasih atas semuanya.. Semoga ALLAH memang menakdirkan kita untuk terus bersatu dan mewujudkan keinginan kita : “menjadi lebih baik”.
di kala penat, serta Damanhuri Asyaro Nasution. Terima Kasih sudah menerimaku dengan hangat, bersama kalian aku merasa mempunyai keluarga di Medan. Semoga suatu saat, Nadya dapat membalas kebaikan kalian. Dan semoga Nadya memang berjodoh
dengan anak kalian yah mama,ayah..
9. Terima kasih kepada abang Khusnul Isa Harahap S.sos Msi, atas
waktunya untuk bertukar pikiran ,mengoreksi skripsi saya, memberi masukan, info bahkan channel siapa saja orang yang capable untuk dijadikan narasumber saya.
10.Sahabat dan teman baik saya. Alvina Carolyn Kandou SH,
Faralita Avianda Lubis Amd SH dan Yoga Geraldo Alexander di Medan, Ajeng Sekar Tanjung S.Kom di Bandung, Nopi Rahayu Dinika S.sos di Pangkalan Brandan , Lydia Octawidawati SH di Bekasi, Asriati S.Kom, Putri Lestari ST dan Dr. Anggun Fitri di Jakarta, Yulia Pratiwi di Padang, Lisa Fitri S.Hut dan Ria Olivia Amd di Bandar Lampung. Terima Kasih atas doanya, dukungannya, bantuannya, selalu mengingatkan, pengertiannya ketika saya tiba-tiba jadi ansos karena skripsi dan tidak mood untuk bertemu siapa-siapa sampai menyediakan rumahnya untuk saya bersemedi..
11.Ir. M. Noor Sufrin Bakrie, Terima kasih Yai atas keluarga pertamanya ketika saya berada di medan. Dari rumah itu juga, saya banyak mendapat pelajaran hidup.
12.Terima Kasih untuk keluarga besarku Alm. Achmad Sarofie
Baikrie yang tersebar mulai dari Medan, Riau, Palembang, Lampung, Jakarta, Depok, Tangerang dan keluarga besar Alm. Abdul Gani di Lampung, Jakarta, sampai Cirebon. Maaf tidak bisa menyebutkan satu persatu.
13.Segenap Guru-Guru di TK Xaverius Tanjung Karang, SD
Fransiskus 1 Bandar Lampung, SLTP Negeri 1 Bandar Lampung dan SMA Negeri 3 Bandar Lampung. Tanpa peran kalian, saya tidak akan menjadi apa-apa..
bimbingannya, dan kerjasamanya. Semoga terwujud TNI yang profesional, akuntabel dan menghormati HAM.
15.Semua rekan-rekan Jurusan Ilmu Politik khususnya 2005. Asola
Akbar, Naufal Dzaki Lubis (Terima Kasih! kalian berdua sahabat pertamaku di medan), teman diskusi dan bertukar pikiran tentang skripsi: M. Jaka Pratama dan Golfrid “kibo” yang juga jadi moderator seminar skripsi, teman-teman yang datang ketika seminar saya: Abi Rekso, Emmy Arvan, Imelda Purba, Matthew SLT, Irwan Sandi, Tigor Manalu dan Mardatillah, teman bercerita pertama di kampus: Sri Puji Nurhaya, Aisyah, Fanina Fanindita, Irfan Ananda, M. Fildza Azmi, Nahyatun Nissa Harahap, juga Team Praktikum : Safrie Sidabalok, Maria Simare-mare dan Stella Hutabarat. Dan juga yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.. Semoga Sukses! See You At The Top..
16.Segenap Civitas Akademika USU, terlebih Ilmu Politik FISIP
USU. Terima Kasih buat para dosen, para staff yang banyak membantu saya, buat abang Rusdi Muhammad, buat yang lainnya juga.. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.
17.Orang-Orang yang tanpa mereka sadari sedikit banyak saya
mencari tahu tentang dunia kemiliteran : Mayor Reza Suud, Kapten Inf Ali Imran, dll. Doakan saya supaya menjadi Menteri Pertahanan yah, supaya dapat menampung keinginan kalian atas masyarakat sipil. Dan juga kalian bisa mengakomodasi keinginan masyarakat sipil. Saya sadar dan percaya masyarakat sipil dan juga tentara, semuanya perlu sejahtera. :p
18.Hoppipolla Family! Kalian keluargaku di medan. Irwin Fahdianto, Dian Warunda, Andrew Heri Adhadian, Khalid Ridhoni dan vokalis yang belum ketemu pengganti si Di Muhammad Devirza beserta crew-crew Jangek dan Manisse. Semoga Hoppipolla sukses suatu hari nanti, Jangan pernah menyerah, tetaplah kreatif!
19.Terima Kasih kepada CV. Raft Origin, Perpustakaan USU, Kantin
Twitter, Blogger, Snaptu, UT, YM, Hitam Hijau, Indocafe, Minute Maid Pulpy Orange, Pop Mie, Axioo Hitamku, Opera Van Java, dan semua yang mendukung pengembalian moodku dan semangatku. Saya sebutkan karna walaupun kecil, tapi sangat berarti buat saya.
20.Orang- Orang yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dan
(mungkin) tidak ingin saya sebutkan. Terima Kasih karena kalian, saya lalu terpacu ingin membuktikan bahwa saya bisa! Terima Kasih atas bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini, atas masukannya, kritikannya, semangatnya bahkan sindirannya. Semoga ALLAH SWT memberikan pahala dan balasan atas segalanya kepada kalian semua. Amin..
Wassalamualaikum Wr.Wb,
Medan, Juni 2010
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
NADYA RATNA SARI (050906069)
REFORMASI TNI DAN PELANGGARAN HAM : (Studi Deskriptif tentang korelasi Reformasi TNI dengan tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara Pasca Reformasi TNI 2006-2010)
ABSTRAK
Setelah Presiden Soeharto turun, ABRI termasuk sebagai institusi yang di
kecam rakyat, tuntutan agar mereformasi diri muncul dari segenap elemen
masyarakat. Ini juga terkait akan luka-luka masa lalu dari kasus perbuatan ABRI
yang akhirnya mengakibatkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Perjalanan Reformasi TNI sudah berjalan sekitar 11 tahun, namun sampai
sekarang juga Reformasi TNI tersebut belum dapat di katakan berhasil, hanya
sedikit perubahan di bidang kebijakan dan hilangnya peran politik para tentara.
Selebihnya, belum ada perubahan yang signifikan.
Peneliti ingin meneliti korelasi antara Reformasi TNI dengan tindak
pelanggaran HAM yang terjadi di Sumatera Utara. Tujuan awalnya, ingin
mengetahui apakah setelah Reformasi TNI, tindak pelanggaran dan
kesewenang-wenangan aparat TNI sudah hilang? Namun pada akhirnya peneliti menemukan
kesimpulan dari penelitiannya bahwa ada keterkaitan yang sangat korelatif antara
tindak pelanggaran HAM yang masih terjadi di Sumatera Utara dengan aktifitas
bisnis informal dan illegal pihak militer.
Penulis lalu mengkorelasikan kembali tindak pelanggaran HAM dengan
(Koter) yang dimana bisnis militer dan struktur Komando Teritorial merupakan
PR Reformasi TNI yang sampai sekarang juga belum ada penyelesaiannya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dengan menjelaskan
perjalanan Reformasi TNI, Hak Asasi Manusia, lalu peneliti mengkelompokan
beberapa tindak pelanggaran HAM oleh tentara dan mencari penyebab
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara kepada masyarakat sipil.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peristiwa yang terjadi di Mei 1998, jatuhnya pemerintahan Orde baru di
bawah pemerintahan Presiden Soeharto dipicu oleh adanya krisis moneter di
kawasan Asia yang menyebar mulai dari Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan
terakhir Indonesia. Dari sekian negara yang mengalami krisis ekonomi, Indonesia
adalah negara yang paling parah tertimpa krisis tersebut yaitu dengan anjloknya
dollar Amerika yang sangat tajam. Karena sistem perekonomian di Indonesia
tidak memiliki fundamental yang cukup kuat, maka penyelesaiannya pun tidak
mendapatkan hasil yang baik, bahkan semakin berlarut-larut dan rupiah semakin
anjlok. Hal ini membawa dampak kredibilitas pemerintah menjadi rendah dan
rakyat mulai hilang kepercayaannya.
Djojohadikusumo memandang bahwa ketidakpercayaan masyarakat telah
menjadi institusional disease yang tercermin dari serangkaian fenomena yang
telah melembaga, seperti maraknya praktek-praktek korupsi dan kolusi pejabat
pemerintah dan pengusaha serta ketidakpastian hukum. Sedangkan R. William
Liddle memandang krisis ekonomi (moneter) di Indonesia telah berpengaruh
pemerintahan Orde baru kehilangan legitimasinya.1 Memburuknya situasi ini
membangkitkan reaksi keras dari masyarakat, terutama para intelektual yang
tergabung dalam gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa dan
pelajar. Berbagai aksi demonstrasi oleh mahasiswa yang didukung oleh elemen
masyarakat seperti para tokoh masyarakat, buruh, LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) dan lain-lain, digelar di berbagai daerah di seluruh pelosok tanah
air.2 Mereka mengklaim bahwa semua permasalahan yang ada saat itu adalah
karena akibat kesalahan manajemen Presiden Soeharto, sehingga mereka
menuntut keras agar Presiden Soeharto bergegas mundur dari kekuasaannya.
Akhirnya demontrasi besar-besaran diarahkan mahasiswa menuju ke gedung
DPR/MPR sebagai simbol dari wakil suara rakyat. Demontrasi ini mengakibatkan
pimpinan DPR dipaksa mengambil tindakan tegas terhadap tuntutan para
demonstran. Tanggal 20 Mei 1998, pimpinan DPR atas kesepakatan dialog
dengan delegasi masyarakat yang memadati areal tersebut mengeluarkan
statement bahwa akan segera mengadakan SI (Sidang Istimewa) MPR jika
Presiden Soeharto tidak secepatnya mengundurkan diri. Dan tanggal 21 Mei 1998
di Istana Negara, Presiden Soeharto menyampaikan pernyataan berhenti dari
jabatan Presiden.3
Sejak jatuhnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto oleh gerakan
mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai gerakan reformasi, maka posisi
1
Malik A.Haramain dan Nurhuda Y.MF, Mengawal Transisi:Refleksi atas Pemantauam
Pemilu’99,JAMPPI-PB PMII dan UNDP, Jakarta 2000.
2
Mengenai tokoh-tokoh dan unsure-unsur pendukung gerakan mahasiswa dalam perjuangannya dapat dilihat dalam Adi Suryadi Culla,Patah Tumbuh,Hilang Berganti :Sketsa Pergolakan
Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia1908-1998, Jakarta : Penerbit Rajawali,
1999,halaman 161-164
3
Mengenai kronologi jatuhnya Presiden Soeharto, dapat dilihat S. Sinansari Encip, Kronologi
ABRI dalam peta perpolitikan Indonesia ikut jatuh pula. Tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa ABRI adalah kekuatan politik Orde Baru bersama Golkar. Jatuhnya
Orde Baru berarti jatuhnya ABRI sebagai penyangga pemerintahan, karena ABRI
selama Orde Baru lebih identik dengan alat pemerintah yang berkuasa daripada
alat penyangga dan pelindung negara dari segala ancaman dari luar melalui
konsep Dwi Fungsi ABRI. ABRI di desak untuk melakukan reformasi, walaupun
secara garis besar ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya terjadinya
Reformasi TNI, bukan hanya karena Dwi Fungsi ABRI.
Program pembangunan dalam masa Orde Baru dilancarkan melalui konsep
Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) Pemerataan Pembangunan dan hasil-hasilnya
menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; (2)
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan (3) Stabilitas nasional yang sehat
dan dinamis. Di dalam “stabilitas” itulah terkandung “pendekatan keamanan”.
Praktek Dwi Fungsi ABRI menjadi subur sejak Orde Baru, yaitu dengan di
terapkannya “pendekatan keamanan”. Pendekatan keamanan ini diberlakukan
mengingat dua hal, yaitu: Pertama, suasana pasca G30S/PKI 1965 masih
menuntut dilaksanakannya segala bentuk aktivitas keamanan di seluruh sektor dan
di seluruh wilayah Republik Indonesia dari bahaya laten komunisme. Kedua, Orde
baru bertekat melaksanakan program pembangunan yang kesuksesannya
menuntut adanya stabilitas keamanan.4 Dari praktek Dwi Fungsi ABRI pada masa
itu berkembanglah militerisme dan militerisasi. Demi terlaksananya pembangunan
dengan mencapai keberhasilan maka ABRI harus aktif menjalankan kekuasaan
4
negara. Itulah prinsip militerisme dan demi pembangunan itu pula, anggota ABRI
harus ada dimana-mana, sebagaimana pembangunan dilaksanakan di semua
sektor, inilah yang disebut dengan militerisasi.
Praktek militerisme Orde Baru dilakukan dengan menempatkan ABRI
dalam kekuasaan legislatif, baik sebagai anggota DPR (tanpa ikut serta dalam
pemilu) maupun sebagai anggota MPR (non-DPR, dari golongan
karya/fungsional). Selain itu pula atas hak prerogatif presiden, banyak anggota
ABRI dilibatkan di departemen-departemen pemerintah, bahkan menjadi mentri
dalam kabinet walaupun masih dalam posisi anggota ABRI aktif. Selain itu juga
anggota ABRI banyak duduk di posisi pemerintahan daerah mulai dari jabatan
bupati/walikota sampai gubernur. Kedudukan di BUMN atau BUMD juga banyak
di minati anggota ABRI. Perusahaan-perusahaan milik pemerintah
(Negara/Daerah) menjadi sumber pembiayaan kegiatan ABRI, dikarenakan
kelangkaan sumber dana, inilah yang mengharuskan anggota TNI/ABRI
(khususnya TNI-AD) melakukan kegiatan bisnis untuk membiayai dirinya,
terlebih-lebih untuk melakukan operasi pada saat itu. Hal inilah yang membuat
ABRI (TNI-AD) memasuki sektor ekonomi dan bisnis.5
ABRI pada akhirnya menjadi kekuatan yang adikuasa di semua sektor, para
anggotanya mendapatkan hak-hak istimewa yang melebihi warga negara yang
lain. Kekuasaan yang besar dan hak-hak istimewa itu akhirnya membangun pula
tata nilai tertentu dalam lingkungan ABRI yang memberikan pengaruh kuat
5
Di rangkum dari kutipan perkataan Saurip Kadi (Perwira tinggi AD), Sri-Bintang Pamungkas,
terhadap berkembangnya budaya KKN dan budaya berbisnis-ria. KKN juga
berkembang oleh adanya dana besar non-budgeter negara yang di peruntukan oleh
ABRI bagi mendukung segala operasi ABRI menciptakan stabilitas keamanan.
ABRI telah menjadi alat kekuasaan, bukan lagi alat negara.
Dalam suasana militerisme dan militerisasi, sulit dibedakan berlakunya
kekuasaan sipil dari kekuasaan militer, antara keadaan aman atau darurat perang.
Seakan-akan negara selalu ada dalam keadaan tidak aman, penuh ancaman,
khususnya dari dalam negeri sendiri. Sebagai akibatnya, ABRI mencurigai adanya
musuh di mana-mana di dalam negeri. Kritik terhadap pemerintah dan perbedaan
pendapat dianggap sebagai gangguan dan ancaman terhadap negara, pemerintah
dan pembangunan dan harus dihadapi dengan tindak kekerasan secara militer.
Tentu saja ini justru menciptakan kekacauan yang selanjutnya mengakibatkan
terjadinya situasi yang tak terkendali yang memakan korban jiwa rakyat sipil yang
lemah.
Situasi tidak terkendali muncul dengan keterlibatan ABRI (terutama
TNI-AD) dalam banyak tindak kekerasan militer disertai dengan jatuhnya puluhan,
bahkan ratusan ribu korban jiwa, dalam kurun waktu panjang Orde Baru yang
mencerminkan tidak adanya perlindungan masyarakat atas Hak Asasi Manusia.
Pertama, dalam berbagai kasus menghadapi protes para aktivis
Pro-demokrasi, antara lain seperti yang terjadi dalam Peristiwa Golput (Golongan
Putih,1971) di Jakarta, Peristiwa Taman Mini (1973) di Jakarta, Peristiwa Malari
Mahasiswa terhadap Soeharto (1978) di Bandung, Peristiwa Penyataan
Keprihatinan Petisi 50 (1980) di Jakarta, Peristiwa SDSB (Soeharto Dalang
Segala Bencana, 1994) di halaman gedung DPR/MPR Jakarta, Peristiwa Berdarah
UMI (Universitas Muslim Indonesia, 1996) di Makasar, Peristiwa Penculikan
(19970 terutama di Jakarta, Peristiwa Trisakti (1998) di Jakarta, Peristiwa
Semanggi I dan II (1999) di Jakarta.
Kedua, tindak kekerasan ABRI menghadapi protes-protes masyarakat
terhadap kebijakan aparat dan pejabat Negara, seperti dalam Peristiwa
Pembantaian G-30-S/ 1965 berikut penangkapan-penangkapan, pemenjaraan dan
pembuangan korban ke Pulau Buru, Peristiwa Invasi ke Timor-Timur dan
pendudukannya selama 23 tahun (1975-1998), Peristiwa Tanjung Priok (1984) di
Jakarta, Peristiwa Lampung (1989), Peristiwa Santa Cruz (1991) di Timor-Timur,
Peristiwa Sei Lepan (1993) di Sumatera Utara, Peristiwa Haur Koneng (1993) di
Jawa Barat, Peristiwa Nipah (1993) di Madura, Peristiwa Parbuluhan (1995) di
Sumatera Utara, Peristiwa Jenggawah (1996) di Jawa Timur, Peristiwa Freepot
(1996), Abepura (1996) dan Nabire (1996) di Irian Jaya, Peristiwa DOM (Daerah
Operasi Militer, 1989-1998) di Aceh, dan masih banyak peristiwa lain yang
hampir selalu berakhir dengan tindak kekerasan dan penghilangan nyawa oleh
pihak ABRI.
Ketiga, tindak kekerasan terhadap perorangan dan anggota masyarakat yang
justru di mulai dari pihak ABRI, seperti Peristiwa Komando Jihad (1977-1978) di
beberapa kota di Jawa, Peristiwa Pembajakan Pesawat Woyla (1981) di Bangkok,
Marsinah (1993) di Jawa Timur, Peristiwa Sri-Bintang Pamungkas (1995) di
Jerman, Peristiwa 27 Juli (1996) di Jakarta, Peristiwa Wartawan Udin (1996) di
Yogyakarta, Peristiwa Situbondo (1996) di Jawa Timur, Peristiwa Tasikmalaya
(1996) di Jawa Barat, Peristiwa Kartu Lebaran Politik (1997) di Jakarta, Peristiwa
Dukun Santet (1998) di Jawa Timur, Peristiwa Ketapang (1998) di Jakarta dan
Kupang, Peristiwa Kerusuhan Mei (1998) di Jakarta dan beberapa kota di Jawa,
Peristiwa Tengku Bantaqiah (1999) di Aceh Barat, Peristiwa Jajak Pendapat
(1999) di Timor-Timur dan Peristiwa Haruku dan lain-lain (2000) di Maluku.6
Berbagai tindak kekerasan yang dilakukan pihak negara dengan memakai
ABRI sebagai alatnya harus diakhiri, militerisme dan militerisasi harus diakhiri.
ABRI harus kembali kepada profesionalismenya. Rakyat sendiri tidak boleh
diperlakukan sebagai musuh. Negara harus mampu meredakan setiap gejolak
dalam masyarakat tanpa harus membunuh rakyat sendiri. Semua gejolak harus
bisa diselesaikan secara politis tanpa melibatkan militer dan kekerasan militer dan
tanpa harus melakukan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia.
Kecenderungan ABRI yang lebih mementingkan dan memelihara
kekuasaan membawa ABRI terjebak dalam pola-pola pendekatan yang represif.
Sehingga tidak jarang oknum ABRI bertindak di luar pegangan yang mereka
ucapkan setiap Apel atau Upacara yaitu Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Pelanggaran-pelanggaran dalam berbagai bentuk, baik kriminal maupun motif
politik, semakin lama semakin terakumulasi. Sehingga pada momentum yang
tepat, yaitu saat jatuhnya pemerintahan Orde Baru meledaklah semua akumulasi
6
pelanggaran ABRI pada masa lalu tersebut. ABRI dibenci dan dihujat rakyat
karena dianggap lebih sebagai pelindung dan pengaman Orde Baru selama 32
tahun daripada menjadi pelindung dan pengayom rakyat.
Slogan-slogan yang didengungkan seperti “ABRI dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat”, “Yang terbaik untuk rakyat adalah terbaik untuk ABRI”,
“ABRI manunggal dengan rakyat” dan sebagainya hanyalah kata-kata yang tidak
bermakna dan dianggap mengelabuhi rakyat saja. Akhirnya, tuntutan atas
Reformasi TNI pun muncul dari berbagai komponen masyarakat, termasuk dari
kalangan militer sendiri. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI menjadi salah satu
tuntutan pokok yang di lontarkan, walaupun dapat dikatakan proses Reformasi
TNI bukan semata karena lengsernya Soeharto saja, ada empat alasan yang
melatarbelakanginya. Pertama, Peran sosial politik TNI yang melampaui batas
telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, Campur
tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah
mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi
dalam masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah
mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap
lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi
dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini.7
Akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang menumpuk selama lebih dari
tiga dekade di bawah orde baru akibat dari akses kekuatan ABRI disegala hal
7
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (MABES TNI), TNI abad XXI: Redefinisi, Reposisi
dan Reaktualisasi Peran TNI dalam kehidupan bangsa, Jakarta : Mabes TNI, 1999, dalam Bukhari
yang berlebihan ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi
dengan menghujat dan mendesak ABRI kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu
mengurusi masalah pertahanan dan keamanan negara. Reformasi cukup tajam
menyoroti posisi ABRI, baik sebagai kekuatan Hankam maupun sebagai kekuatan
sosial politik. Sorotan masyarakat dalam semangat reformasi ini sangat
memojokan posisi ABRI. Luka-luka lama terungkit kembali ke permukaan. Dilain
pihak ABRI juga menyadari posisinya dan telah bertekad untuk melaksanakan
konsolidasi dan reformasi internal dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan
zaman dengan memperbaiki serta belajar dari pengalaman masa lalu.
Tentara yang dalam tradisi kemiliteran Indonesia akrab dengan kehidupan
politik, sejak tanggal 21 mei 1998 secara bertahap telah meninggalkan gelanggang
politik. Di mulai dari masa pemerintahan Presiden BJ Habibie itulah, peran
tentara kembali kepada jati dirinya sebagai militer yang profesional. Maka
ditatalah hubungan sipil-militer yang seharusnya melalui reformasi internal TNI
dan paradigma barunya. Namun, perubahan yang diharapkan terjadi sejak tahun
1998 ternyata masih belum dapat di wujudkan oleh pemerintahan baru pasca
rezim Soeharto. Hal ini terjadi karena kekuasaan Orde Baru yang masih kuat serta
mesin politiknya yang masih solid serta belum ada kesepahaman serta konsolidasi
yang baik dari kelompok-kelompok Pro Demokrasi, Kekuasaan Orde Baru masih
membayang-bayangi pemerintahan pasca 1998, sehingga mempengaruhi tindakan
pemerintahan transisi. Hal ini dapat dilihat dari Pemerintah masih belum
menunjukkan kesungguhan untuk melakukan perubahan sistem politik, hukum
kebutuhan rakyat dalam merumuskan kebijakan, serta tidak melakukan secara
maksimal upaya-upaya penegakan hukum dan HAM.
Kenyataan bahwa masih banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh
Aparat (Polisi dan Militer) di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada
khususnya, mendorong peneliti untuk meneliti keterkaitan antara reformasi TNI
dengan besarnya tindak pelanggaran HAM di Sumatera Utara.
B. Perumusan Masalah
Masyarakat Sipil termasuk sebagai satu dari beberapa elemen yang
mempunyai kontribusi dalam mendorong terjadinya Reformasi TNI. Sejak 1998
sampai sekarang, kalangan masyarakat sipil (civil society) secara aktif telah
melakukan upaya-upaya untuk mendorong, mempengaruhi dan mengawasi
proses-proses reformasi, terutama untuk memastikan berjalannya reformasi di
institusi TNI. Perubahan yang diharapkan bukan saja atas perubahan kebijakan
dan legislasi di tubuh TNI, tetapi juga perubahan institusi dan struktur, dan juga
perubahan akan prilaku dan sikap aparat TNI itu sendiri.8 Peneliti kemudian
memfokuskan penelitiannya terhadap perubahan perilaku dan sikap aparat TNI
salah satunya pokok besarnya adalah menyoroti berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Aparat.
8
Maka penulis merumuskan pertanyaan penelitiannya, yaitu : “Apakah
pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil di Sumatera Utara masih terjadi setelah reformasi TNI?“
C. Pembatasan Masalah
Penulis membatasi dan memfokuskan skripsinya kepada kasus pelanggaran
HAM oleh aparat TNI kepada masyarakat sipil di Provinsi Sumatera Utara saja
setelah Reformasi TNI terjadi, namun peneliti hanya meneliti dalam kurun waktu
tahun 2006 sampai Maret 2010. Data yang di dapat berupa data wawancara dan
juga data tertulis dari KontraS dan juga SSRC, sebagai berikut dari KontraS
berupa data dari tahun 2006 sampai Maret 2010 (dengan beberapa kekosongan
data) dan data dari SSRC berupa data dari awal tahun 2010 sampai April 2010.
Jadi Reformasi TNI dan korelasinya terhadap pelanggaran HAM di skripsi ini di
teliti dari tahun 2006 saja di karenakan keterbatasan data.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perubahan perilaku aparat TNI pasca Reformasi TNI
di Sumatera Utara, khususnya menyangkut persoalan pelanggaran
2. Menjadi pembelajaran tentang bagaimana Reformasi TNI itu sendiri
dan persoalan kompleks yang terdapat di dalamnya dan menjadi tugas
kita untuk memonitoring perkembangannya.
3. Sebagai refrensi kepada masyarakat untuk lebih dapat mengetahui lebih
lanjut salah satu lembaga atau birokrasi Negara.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat bagi penulis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan
pengetahuannya dan pemahaman penulis untuk berfikir secara
akademis dalam melihat perkembangan reformasi yang terjadi di tubuh
militer dan ke depannya penulis berharap memberikan manfaat lebih
terhadap dirinya sendiri .
2. Manfaat bagi akademis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi
referensi baru dalam pengembangan khasanah ilmu politik, diharapkan
hasilnya dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa dan juga
masyarakat luas tentang implementasinya Reformasi TNI terutama
terhadap perubahan sikap dan prilaku TNI atas penggunaan
wewenangnya.
3. Manfaat praktis , hasil penelitian ini dapat memberikan realitas
mengenai kenyataan akan kejadian yang terjadi di kehidupan nyata
menyadari pentingnya menghormati Hak Asasi Manusia tidak
terkecuali siapapun itu.
F. Landasan Teori
a. Pengertian Militer dan Sipil
Dalam bahasa Inggris, Militer atau “ military ” adalah “the soldiers ;
the army ; the army forces” 9 yang berarti prajurit atau tentara ;
angkatan bersenjata.
Di negara modern, militer biasanya adalah angkatan bersenjata yang
terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang yaitu : darat, laut, udara dan atau
marinir. Sedangkan polisi, meski diberi kewenangan memegang senjata,
tidak termasuk di dalamnya.
Di Indonesia, batasan militer berubah dan berbeda dari masa ke masa.
Militer pada masa Orde Lama adalah Angkatan Perang Republik Indonesia
(APRI) yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara. Pada tahun 1959 sebutan APRI diubah menjadi ABRI yaitu
kepanjangan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lalu
pada masa Orde Baru, melalui UU Nomor 13/1961 Pasal 3, Keppres
Nomor: 225/1962, Keppres Nomor: 290/1964 menetapkan Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah ABRI. Dengan demikian, ABRI meliputi
9
TNI AU.
TNI Angkatan Darat (AD), TNI Angkatan Laut (AL), TNI Angkatan Udara
(AU) dan Kepolisian Negara RI.10 Dimana kedudukannya sama dan
sederajat dengan ketiga angkatan lainnya dengan garis-garis komando dan
hierarki yang utuh dan bulat.11 Pasca Orde Baru, di era Reformasi ,
terhitung 1 April 1999, yang dimaksud dengan militer adalah TNI (bukan
ABRI lagi) yang terdiri dari TNI AD, TNI AL dan
Batasan militer ini menjadi baku kemudian melahirkan istilah Sipil.
kepada mereka yang bekerja di luar profesi Angkatan Bersenjata. Dalam
bahasa Inggris, Sipil yaitu “civilian”, “(person) not serving with armed
forces”.12 Yang berarti seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan
bersenjata. Semua orang dengan segala macam profesi yang bekerja di
instansi pemerintah maupun swasta yang berada di luar struktur organisasi
militer, termasuk polisi di sebut warga sipil. Namun di Indonesia batasan ini
tentu berbeda, karena polisi cenderung di anggap sebagai warga non-sipil.
Cohan13 mendefinisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum,
lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Sayidiman
10
Buku Peraturan Perundang-undangan Pertahanan dan Keamanan RI,Sekretariat Jendral Dephankam, Jakarta, 1996, halaman 88.
11
Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan Bidang Hankamneg dari tahun 1961-1971, Buku III, Biro Organisasi Sekretariat Jendral Dephankam Tahun 1989, halaman 142-144
12
AS Horby, op.cit., hal.151
13
Suryohardiprojo memberikan batasan sipil sebagai semua lapisan
masyarakat.14
Dari berbagai pengertian di atas maka dapat dibuat suatu pengertian
secara universal bahwa sipil adalah semua orang baik individu ataupun
institusi yang berada di luar organisasi militer.
b. Tipe-tipe orientasi militer
Setiap negara mempunyai tipe-tipe orientasi militer yang berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini terkait sangat erat dengan
peran pihak militer dalam pemerintahan, selain itu terkait juga dengan
sistem politik yang dianut oleh negara itu sendiri. Setiap negara mempunyai
karakteristik tersendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya.
Menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul
di negara bangsa modern masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap
jenis kekuatan sipil yang dilembagakan, yakni:15
1. Prajurit Profesional
Perwira profesional di zaman modern mempunyai ciri – ciri
sebagai berikut: 1) keahlian (managemen kekerasan), 2) pertautan
(tanggung jawab kepada klien, bangsa dan Negara), 3) korporatisme
(kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi), dan 4) ideologi
(semangat militer). Ciri-ciri ini dapat dijumpai dalam semua lembaga
militer baik di negara maju ataupun negara berkembang.
14
Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, Sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999
15
Menurut Huntington keempat ciri tersebut merupakan variabel
penting yang dapat menjauhkan fungsi militer dari intervensi politik
suatu negara. Huntington melihat bahwa prajurit profesional klasik
timbul apabila koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap tentara.
Prajurit dengan keahlian dan pengetahuan profesionalnya menjadi
pelindung tunggal negara.
2. Prajurit Pretorian
Kaum pretorian sebenarnya juga prajurit profesional namun
karena kurang diperhatikan dan selalu dikendalikan oleh pemerintah
sipil maka terbuka kemungkinan besar mereka melakukan intervensi
dalam politik. Menurut Perlmutter kaum pretorian memang lebih
sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau
secara ideologis terpecah-pecah. Secara keseluruhan, kondisi pretorian
mempengaruhi lembaga militer secara negatif dan menurunkan
standar-standar profesionalisme.
Frederick Mundel Watkins mendefinisikan pretorianisme
sebagai suatu kata yang sering dipakai untuk mencirikan suatu situasi
dimana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan
kekuasaan politik yang otonom di dalam masyarakat tersebut berkat
penggunaan kekuatan actual atau ancaman penggunaan kekuatan.
Perlmutter membedakan tipe praetorian kedalam dua kategori
yaitu tipe praetorian yang paling ekstrim (tipe penguasa) dan tipe
penguasa mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organisasi
politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Sedangkan tentara
praetorian penengah tidak mempunyai organisasi politik dan tidak
banyak menunjukan minat dalam penciptaan ideologi politik.
3. Tentara Revolusioner Profesional
Tentara revolusioner seperti tentara pretorian yang mempunyai
pola intervensi illegal, namun tidak seperti tentara pretorian yang
melalui kudeta militer atau melalui kerjasama dengan kelompok –
kelompok lain sebelum dan selama proses intervensi. Intervensi
tentara revolusioner merupakan suatu aktivitas kelompok militer yang
illegal yang beroprasi secara sembunyi, dan dilancarkan untuk
mendukung kelompok revolusioner yang sudah ada yang secara
terang-terangan berusaha mengambil alih kekuasaan dengan bantuan
dan dukungan kelembagaan secara besar-besaran.
Tentara revolusioner bukanlah hasil dari keahlian militer,
melainkan pengabdian revolusi dan mendapatkan dukungan partai.
Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan
penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut
bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karna itu tentara
revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi
c. Hubungan Sipil Militer menurut Samuel P. Huntington
Menurut Samuel P. Huntington hubungan sipil-militer ditunjukan
melalui dua cara,16 yaitu :
1) Subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif)
Dilakukan dengan cara memperbesar kekuatan sipil (maximizing
civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer. Cara ini,
dapat menimbulkan hubungan sipil-militer kurang sehat karena
merujuk pada upaya untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi
mereka dan membuat mereka lebih dekat ke sipil (civilian the
military).
2) Objective civilian control (pengendalian sipil objektif)
Dilakukan dengan cara sebaliknya yaitu dengan cara militarizing
the military untuk mencapai pengendalian sipil objektif yaitu dengan
cara memperbesar profesionalisme kaum militer, kekuasaannya akan
diminimkan namun tidak sama sekali melenyapkan kekuasaan kaum
militer, melainkan tetap menyediakan kekuasaan terbatas tertentu
untuk melaksanakan hubungan sipil-militer yang sehat.
Menurut Huntington istilah Objective civilian control
mengandung : 1). Profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari
pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang
mereka; 2). Subordinasi yang efektif dalam militer kepada pemimpin
16
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military
politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri
dan militer; 3). Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin
politik tersebut atas kewenangan profesionalisme dan otonomi bagi
militer; dan 4). Akibatnya minimalisasi intervensi militer dalam
politik dan minimalisasi politik dalam militer.
Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara,
hubungan sipil-militer yang harmonis merupakan hal yang sangat penting
bagi suatu bangsa karena berpengaruh terhadap ketahanan nasionalnya,
bahkan menjadi prasyarat utama yang menentukan maju-mundurnya sebuah
negara. Hubungan sipil-militer yang harmonis dan sinergis akan
memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi kejayaan negara dan
bangsa. Namun, sebaliknya hubungan sipil-militer yang buruk akan
membawa bangsa dan negara pada perpecahan dan kehancuran. Hubungan
sipil-militer yang baik adalah terjadinya interaksi timbal balik antara
pemerintahan sipil dengan kalangan militer dimana pemerintahan sipil
membutuhkan militer untuk melindungi wilayah dan rakyat negaranya serta
menjamin kepentingan nasionalnya, sedangkan militer memerlukan
dukungan pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang dibutuhkan, untuk
membangun kekuatan angkatan perang dalam rangka mengatasi ancaman
yang timbul.17
17
Pada akhirnya, Reformasi TNI yang dijalankan secara
sungguh-sungguh sesuai dengan sistem yang berlaku akan melahirkan tentara
profesional yang mempunyai karakteristik; (1) tidak berpolitik dan berniaga,
(2) Mempunyai keahlian, kesatuan profesi, kompetensi teknis, serta
mengetahui secara persis etika-etika militer dan etika-etika perang, (3)
Menghormati Supremasi, hukum, demokrasi dan Hak Asasi Manusia dan
(4) ketika tentara digelar untuk digunakan, berhasil memenangkan
peperangan.
d. Teori tentang Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia dapat dibagi atau dibedakan sebagai berikut:18
1. Hak-hak asasi pribadi atau “personal rights” yang meliputi
kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama,
kebebasan bergerak dan sebagainya.
2. Hak-hak asasi ekonomi atau “property rights”, yaitu hak untuk
memiliki sesuatu, membeli dan menjualnya serta
memanfaatkannya.
3. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam
hukum dan pemerintahan atau “rights of legal equality”.
4. Hak-hak asasi politik atau “political rights”, yaitu hak untuk
ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih
18
dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik dan
sebagainya.
5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau “social and culture
rights”, misalnya hak untuk memilih pendidikan,
mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.
6. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan dan tata-cara
peradilan dan perlindungan atau “procedural rights”, misalnya
peraturan dalam hal penangkapan, penggeledahan, peradilan dan
sebagainya.
Menurut UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 7
(tujuh) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi: kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida19 adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
19
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran
didalam kelompok; atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke
kelompok lain.
Sedangkan Kejahatan terhadap kemanusiaan20 adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok
hukum internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h. Pengamayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
20
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum Internasional;
i. Penghilangan orang secara Paksa; atau
j. Kejahatan apartheid.
e. Landasan Normatif tentang Tugas dan Peran TNI
Istilah Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) awalnya muncul
pada masa reformasi 1998. Penggunaan kata TNI terkait dengan upaya
reformasi internal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Munculnya istilah ini sebagai respon kalangan TNI terhadap desakan publik
atas peran politik dan ekonomi TNI serta akuntabilitas atas
pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang di lakukan sebelum 1998.
Tuntutan reformasi tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Rezim
Orde Baru.
Secara umum, tuntutan gerakan masyarakat bukan hanya kepada TNI
melainkan dapat dikalkulasikan sebagai tuntutan atas adanya reformasi di
sektor keamanan berupa transformasi kebijakan-kebijakan dan
institusi-institusi keamanan negara dari sistem lama yang otoriter menuju sistem baru
yang demokratis. Sehingga aktor-aktor keamanan (termasuk TNI) menjadi
institusi profesional, menjadi subjek dari supremasi pemerintahan sipil,
akuntabel serta menghormati HAM. 21
Sektor keamanan yang dimaksud di atas adalah seluruh institusi yang
memiliki otoritas untuk menggunakan atau mengerahkan kekuatan fisik atau
21
ancaman penggunaan kekuatan fisik dalam rangka melindungi negara dan
warga negara. Dalam definisi ini termasuk TNI dan Polri (Kepolisian
Negara Republik Indonesia), maupun segenap institusi sipil yang
bertanggung-jawab dalam pengelolaan dan pengawasannya, seperti
Presiden, Departemen Pertahanan dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Reformasi TNI merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan, yaitu
reformasi kolektif intra-institusional yang meliputi; Departemen Luar
Negeri, Departemen Dalam Negeri, Dinas Imigrasi, Departemen
Pertahanan, Kejaksaan, Parlemen, Badan Intelijen Negara (BIN), TNI dan
Polri.
Reformasi TNI menjadi penting karena TNI merupakan institusi yang
tidak terpisah dari sejarah kelam politik pemerintahan Orde Baru yang
mendapat tekanan untuk mereformasi dirinya. Karenanya, salah satu agenda
Reformasi TNI adalah menjauhkan institusi ini dari berbagai
praktek-praktek yang menyimpang di masa lalu dan mendorong
pertanggungjawaban politik dan hukum yang akuntabel terhadap berbagai
kejahatan dan pelanggaran serta memastikan terbentuknya militer
profesional sebagaimana dimaksud dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang
TNI, yang berbunyi “Tentara Profesional adalah tentara yang terlatih,
terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis,
dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik Negara
ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi”22
Secara normatif, gerakan reformasi mendorong TNI melakukan
perubahan paradigma, peran, fungsi dan tugasnya. Pemerintah pun
mewujudkan upaya-upaya penghapusan hak-hak istimewa TNI selama masa
Orde Baru yang di tuntut rakyat Indonesia melalui beberapa kebijakan dan
peraturan yang meliputi pengaturan tentang pemisahan TNI dan Polri (Tap
MPR No.VI/2000), Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara dan Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia.
Amandemen Kedua Undang Undang Dasar 1945 pada Bab XII
Tentang Pertahanan dan Keamanan negara Pasal 30 ayat 2 (dua) dan ayat 3
(tiga) menyatakan bahwa :
“…(2) usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. (3)
Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara, sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara”
22
Konstitusi menyatakan bahwa fungsi dan tugas pokok TNI di bidang
pertahanan sebagai alat negara dengan tugas pertahanan, perlindungan dan
pemeliharaan keutuhan dan kedaulatan negara. Sebagai alat negara, TNI
mutlak tunduk pada negara (melalui perintah dan pengelolaan oleh otoritas
politik sipil), mendapatkan fasilitas negara dan mendapatkan previledge
untuk menggunakan kekuatan koersifnya atas perintah negara terkait
upaya-upaya pertahanan. Sejauh ini tidak ada institusi atau alat negara lainnya
yang memiliki otoritas penggunaan kekuatan koersif atas perintah otoritas
politik sipil selain militer.
Lebih lanjut UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara pasal
10 ayat 1 (satu) dan 3 (tiga) menegaskan tugas konstitusional tersebut
dengan menyatakan,
“… (1) Tentara Nasional Indonesia berperan sebagai alat pertahanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia;… (3) Tentara Nasional
Indonesia bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk
: a. Mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah; b.
Melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa; c. Menjalankan
Operasi Militer Selain Perang; d. Ikut serta aktif dalam tugas
pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.”
Selanjutnya, fungsi dan tugas pokok TNI dijabarkan dalam UU no 34
Tahun 2004 tentang TNI bab IV tentang Perang, Fungsi dan Tugas pasal 5
Pasal 5 menegaskan kembali peran TNI sebagai “alat negara di bidang
pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan
keputusan politik negara”. Pasal 6 menjabarkan fungsi pertahanan TNI yang
meliputi “fungsi penangkalan terhadap ancaman luar dan dalam terhadap
keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa; fungsi penindakan; dan fungsi
pemulihan.”
Pasal 7 menjelaskan secara mendetail tugas pokok TNI yang meliputi
“operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang yang
diantaranya adalah: 1. Mengatasi gerakan separatis bersenjata; 2. Mengatasi
pemberontakan bersenjata; 3. Mengatasi aksi terorisme; 4. Mengamankan
wilayah perbatasan; 5. Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat
strategis; 6. Melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan
politik luar negeri; 7. Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden berserta
keluarganya; 8. Memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan
pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9.
Membantu tugas pemerintah di daerah; 10. Membantu Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban
masyarakat yang diatur dalam undang-undang; 11. Membantu
mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan perwakilan
pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12. Membantu
menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan
kemanusiaan; 13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan
pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan
penyeludupan”.23
Pasal 8, 9 dan 10 menjabarkan tugas masing-masing Angkatan
(Darat,Laut dan Udara) berupa pelaksanaan tugas-tugas pokok di atas di
masing-masing matra, menjaga keamanan perbatasan di wilayah darat, laut
dan udara, melaksanakan tugas pembangunan dan pengembangan di
masing-masing matra serta melakukan pemberdayaan di setiap wilayah
darat, laut dan udara. 24
G.
Metodologi Penelitian
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
jenis penelitian deskriptif dengan tujuan menggambarkan, meringkaskan
berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul dalam
masyarakat yang menjadi objek penelitian. Penelitian deskriptif ini
menggunakan pendekatan sejarah. Metode deskriptif ini menggunakan
teori-teori yang berhubungan dengan Reformasi TNI, hubungan sipil-militer
dan Hak Asasi Manusia.
23
Kelemahan dari pasal ini adalah masih dimasukannya problem keamanan internal sebagai bagian dari ancaman terhadap integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang kemudian memberikan justifikasi bagi pelibatan TNI dalam penyelesaian problem-problem tersebut. Pasal ini memunculkan wilayah abu-abu peran TNI dan Polri seperti mengatasi sparatisme dan pemberontakan bersenjata, memerangi aksi terorisme, mengamanaan obyek vital dan membantu tugas pemerintah daerah. Tak heran kemudian muncul anggapan bahwa secara terselubung legitimasi peran sosial,politik dan ekonomi militer seperti di masa lalu.
24
Mufti Makaarim A., Mempertimbangkan Hak Pilih TNI, Konsistensi reformasi TNI dan
Usaha mendeskripsikan tentang keterkaitan antara Reformasi TNI
terhadap tindak pelanggaran HAM oleh TNI, pada tahap permulaan tertuju
pada usaha mempaparkan berbagai tindakan TNI/ABRI yang dilakukan di
masa lampau, kesalahan-kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran
oknum-oknumnya, mengemukakan perbedaan antara sipil dan militer, mengartikan
Reformasi TNI yang merupakan bagian dari Reformasi Sektor Keamanan.
Pada umumnya penelitian deskriptif ini merupakan penelitian non hipotesis
sehingga dalam langkah-langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan
hipotesa.
b. Teknik pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka
yaitu dengan cara menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan
dokumen-dokumen dari berbagai sumber dan tempat serta hal-hal lain yang
menunjang dan juga melakukan beberapa riset dan berdiskusi dengan
berbagai pihak, kemudian apabila perlu juga dilakukan wawancara kepada
pihak-pihak terkait dalam rangka menyempurnakan penelitian ini.
c. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih terperinci, serta untuk
mempermudah isi dari skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat bab.
BAB I: PENDAHULUAN
Menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodelogi penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II : REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA
Menguraikan tentang penjelasan secara menyeluruh tentang
bentuk-bentuk dari Reformasi TNI dan tindakan-tindakan yang mengakibatkan
pelanggaran Hak Asasi Manusia.
BAB III: PELANGGARAN HAM OLEH TNI DI SUMATERA
UTARA
Menguraikan tentang penjelasan tentang tindak pelanggaran HAM
oleh aparat TNI di Sumatera Utara, mengkorelasikan antara reformasi TNI
dengan tindak pelanggaran HAM oleh Aparat TNI. Menjelaskan apa yang
menjadi penyebab pelanggaran HAM di Sumatera Utara dan Solusinya.
BAB IV: PENUTUP
Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang berguna
BAB II
REFORMASI TNI DAN HAK ASASI MANUSIA
A. Arti , sejarah dan dasar pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang
dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak
asasi ini menjadi dasar dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Sebagaimana kita ketahui, di samping hak-hak asasi ada
kewajiban-kewajiban asasi, yang dalam hidup kemasyarakatan kita seharusnya mendapat
perhatian terlebih dahulu dalam pelaksanaannya. Memenuhi kewajiban terlebih
dahulu baru menuntut hak.
Dalam masyarakat yang individualistis ada kecenderungan pelaksanaan atau
tuntutan pelaksanaan hak-hak asasi agak berlebihan. Hak asasi tidak dapat
dituntut pelaksanaannya secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan hak asasi
secara mutlak berarti melanggar hak-hak asasi yang sama dari orang lain.
Menurut sejarahnya asal mula hak asasi manusia itu ialah dari Eropa Barat
yaitu Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak asasi ialah pada tahun 1215
dengan lahirnya Magna Charta. Dalam Magna Charta tercantum kemenangan para
bertindak sewenang-wenang. Dalam hal-hal tertentu, raja didalam tindakannya
harus mendapat persetujuan dari bangsawan. Walaupun hal ini terbatas kepada
hubungan antara bangsawan dan raja saja, tetapi kemudian terus berkembang.
Sebagai suatu prinsip, hal ini merupakan suatu kemenangan, sebab hak-hak
tertentu telah diakui oleh pemerintah.
Perkembangan berikutnya adalah adanya Revolusi Amerika 1776 dan
Revolusi Prancis 1789. Dua revolusi abad XVIII ini besar sekali pengaruhnya
dalam perkembangan hak asasi manusia tersebut. Revolusi Amerika menuntut
adanya hak bagi setiap orang untuk hidup merdeka, dalam hal ini hidup bebas dari
kekuasaan Inggris. Revolusi besar Prancis pada tahun 1789 bertujuan untuk
membebaskan manusia warga Negara Prancis dari kekangan kekuasaan mutlak
seorang raja penguasa tunggal negara (absolute monarchie) di Prancis waktu itu
(Raja Louis XVI). Istilah yang dipakai pada waktu itu adalah “droit de I’homme”
yang berarti “hak manusia”, yang dalam bahasa Inggris disebut “human rights”
atau “mensen rechten” dalam bahasa Belanda. Dalam Bahasa Indonesia biasa
disebut dengan “hak-hak kemanusiaan” atau “hak-hak asasi manusia”.
Yang dimaksud mula-mula dari istilah itu adalah hak yang melekat pada
martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, seperti misalnya
hak hidup dengan selamat, hak kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak
boleh dilanggar oleh siapapun juga. Berkenaan dengan hak asasi ini, PBB sebagai
induk dari bersatunya negara-negara di dunia telah mengeluarkan pernyataan yang
Instrumen HAM yang paling penting yang merupakan induk dari seluruh
instrument lainnya disebut sebagai The International Bill of Human Rights yang
terdiri dari tiga dokumen pokok yaitu :25
The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia)
International Convention on Economic, Social and Cultural Rights
(Perjanjian Internasional tentang Hak Asasi Manusia di Bidang
Ekonomi, Sosial dan Budaya)
International Convention on Civil and Political Rights (Perjanjian
tentang Hak Asasi Manusia dalam Bidang Kehidupan Bermasyarakat
dan Bernegara)
Instrumen HAM sedunia tidak hanya memberikan perlindungan terhadap
Hak Asasi Manusia, tetapi juga menetapkan sasaran serta tolok ukur yang ingin di
capai dengan perlindungan HAM tersebut. Beberapa instumen yang mengandung
kaidah tentang sasaran dan tolok ukur pembangunan HAM antara lain adalah:26
Declaration on the Right of People to Peace (Deklarasi tentang Hak
Masyarakat untuk Memperoleh Kedamaian dan Perdamaian), 1984.
Declaration on the Rights to Development (Deklarasi tentang Hak
untuk Pembangunan), 1986.
The Vienna Declaration and Programme of Action (Deklarasi dan
Program Aksi Wina), 1993.
25
Drs. Saafroedin Bahar, Hak Asasi Manusia (Analisis Komnas HAM dan Jajaran Hankam/ABRI), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal 8.
26
Pada dasarnya instrument HAM sedunia tersebut diatas melindungi seluruh
umat manusia. Namun ada yang mendapatkan perhatian secara khusus, yaitu
kelompok-kelompok rentan yang lazimnya tidak dapat melindungi hak asasinya
sendiri seperti:27
a. Kanak-kanak;
b. Kaum Wanita;
c. Kaum Pekerja;
d. Minoritas;
e. Penyandang cacat;
f. Penduduk Asli atau Suku terbelakang (indigenous people);
g. Tersangka, tahanan dan tawanan;
h. Budak;
i. Korban kejahatan;
j. Pengungsi;
k. Mereka yang tidak berkewarganegaraan (stateless).
Isi Piagam Pernyataan Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights) , yaitu:28
Pasal 1. Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang sama. Mereka di karuniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu
sama lain dalam persaudaraan.
27
Ibid., hal 20.
28
Pasal 2 ayat (1). Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang
tercantum dalam Pernyataan ini dengan tak ada kecualian apapun, misalnya
bangsa, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula
kebangsaan atau kemasyarakatan, milik kelahiran atau kedudukan lain.
Pasal 2 ayat (2). Selanjutnya tidak akan diadakan perbedaan atas dasar
kedudukan politik, hukum ataupun kedudukan internasional dari negara atau
daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka maupun yang
berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau dibawah perbatasan lain dari
kedaulatan.
Pasal 3. Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan
keselamatan seseorang.
Pasal 4. Tiada seseorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan;
penghambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang.
Pasal 5. Tidak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam,
dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun dengan jalan perlakuan atau
hukum yang menghinakan.
Pasal 6. Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi
terhadap undang-undang di mana saja ia berada.
Pasal 7. Semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama dengan tak ada perbedaan. Semua orang berhak
atas perlindungan yang sama terhadap setiap perbedaan yang memperkosa
pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan
Pasal 8. Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim
nasional yang kuasa terhadap tindakan pemerkosaan hak-hak dasar, yang
diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang.
Pasal 9. Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara
sewenang-wenang.
Pasal 10. Setiap orang berhak dalam persamaan yang sepenuhnya
didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang
merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya.
Pasal 11 ayat (1). Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan
suatu pelanggaran pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan
kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang
terbuka, dan ia di dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu untuk
pembelaannya.
Pasal 11 ayat (2). Tiada seorang pun boleh dipersalahkan melakukan
pelanggaran pidana karena perbuatan yang tidak merupakan suatu pelanggaran
pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan
tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih dari
yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.
Pasal 12. Tidak seorang pun dapat diganggu dengan sewenang-wenang
dalam urusan perseorangannya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan
surat menyuratnya, juga tidak diperkenankan pelanggaran atas kehormatan dan
nama baiknya. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan undang-undang
Pasal 13 ayat (1). Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam
di dalam lingkungan batas-batas tiap negara.
Pasal 13 ayat (2). Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk
negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.
Pasal 14 ayat (1). Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan tempat
pelarian di negeri-negeri lain untuk menjauhi pengejaran.
Pasal 14 ayat (2). Hak ini tidak dapat dipergunakan dalam pengejaran yang
benar-benar timbul dari kejahatan-kejahatan yang tak berhubungan dengan politik
atau dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan dan
dasar-dasar Perserikatan Bangsa Bangsa.
Pasal 15 ayat (1). Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
Pasal 15 ayat (2). Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat
dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti
kewarganegaraannya.
Pasal 16 ayat (1). Orang-orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan,
dengan tidak dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak
untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak
yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan dan di kala perceraian.
Pasal 16 ayat (2). Perkawinan harus dilakukan dengan cara suka sama suka
dari kedua mempelai.
Pasal 16 ayat (3). Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat
pokok dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat
Pasal 17 ayat (1). Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain.
Pasal 17 ayat (2). Tidak seorang pun dapat dirampas hak miliknya dengan
semena-mena.
Pasal 18. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafan batin dan
agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan,
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkan,
melakukan, beribadat dan menempatinya, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik di tempat umum maupun yang tersendiri.
Pasal 19. Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkann pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai
pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan-gangguan, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan
pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dengan tidak memandang batas-batas.
Pasal 20 ayat (1). Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul
dan berpendapat denga tidak mendapat gangguan.
Pasal 20 ayat (2). Tidak seorang pun dipaksa memasuki salah satu
perkumpulan.
Pasal 21 ayat (1). Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan
negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil
yang dipilih dengan bebas.
Pasal 21 ayat (2). Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk