• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan pola kuman endotracheal aspirate pada penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan cara bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif RSU. H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan pola kuman endotracheal aspirate pada penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan cara bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif RSU. H. Adam Malik Medan"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN POLA KUMAN

ENDOTRACHEAL ASPIRATE

PADA

PENDERITA YANG MENGGUNAKAN VENTILATOR SETELAH 48 JAM

DENGAN CARA BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DAN

SELANG KATETER DI UNIT PERAWATAN INTENSIF

RSU. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

INDRA BUANA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERBANDINGAN POLA KUMAN

ENDOTRACHEAL ASPIRATE

PADA

PENDERITA YANG MENGGUNAKAN VENTILATOR SETELAH 48 JAM

DENGAN CARA BRONKOSKOPI SERAT OPTIK LENTUR DAN

SELANG KATETER DI UNIT PERAWATAN INTENSIF

RSU. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Pendidikan Spesialisasi

di Bidang Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/

RSU. H. Adam Malik Medan

Oleh

INDRA BUANA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Judul Tesis : Perbandingan pola kuman endotracheal aspirate pada penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan cara bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif RSU. H. Adam Malik Medan

Nama : Indra Buana

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Fajrinur Syarani, SpP(K) dr. Noni Novisari Soeroso, SpP

NIP.19640531.199002.2.001 NIP.19781120.200501.2.002

Koordinator Penelitian Ketua Program Studi Ketua Departemen

Departemen Pulmonologi Departemen Pulmonologi Departemen Pulmonologi & Kedokteran Respirasi & Kedokteran Respirasi & Kedokteran Respirasi

(4)

Nip.19521101.198003.1.005 Nip. 19451007.197302.1.002 Nip. 19440715.197402.1.001

TESIS

PPDS DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RUMAH SAKIT UMUM HAJI ADAM MALIK

MEDAN

Judul Tesis

: Perbandingan pola kuman

endotracheal aspirate

pada penderita yang menggunakan ventilator

setelah 48 jam dengan cara bronkoskopi serat

optik lentur dan selang kateter di unit perawatan

intensif RSU. H. Adam Malik Medan.

Nama Peneliti

: Indra Buana

Nip

: 140 363 336

Fakultas

: Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Program Studi

: Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Jangka Waktu

: 3 (tiga) bulan

Lokasi Penelitian

: Unit Perawatan Intensif RSU. H. Adam Malik

Medan

Pembimbing

: 1. Dr. Fajrinur Syarani, Sp.P (K)

2. Dr. Noni Novisari Soeroso, Sp.P

(5)

PERNYATAAN

   

Judul Tesis : Perbandingan Pola Kuman

Endotracheal Aspirate

Pada

Penderita Yang Menggunakan Ventilator Setelah 48 Jam

Dengan Cara Bronkoskopi Serat Optik Lentur Dan Selang

Kateter Di Unit Perawatan Intensif RSU. H. Adam Malik

Medan

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yang menyatakan

Peneliti

(6)

Indra Buana

Telah di uji pada :

Tanggal: 12 September 2010

Panitia Penguji Tesis

Ketua

: dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P (K), DTM&H

Sekretaris

: dr. Pantas Hasibuan, Sp.P (K) Onk

Anggota

: Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P (K)

: dr. Zainuddin Amir, Sp.P (K)

: dr. Pandiaman Pandia, Sp.P (K)

(7)

A B S T R A K

Objektif :

Untuk mengetahui pola kuman

endotracheal aspirate

penderita dewasa

laki-laki dan perempuan yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan cara

bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif

RSU. H. Adam Malik Medan.

Metode :

Penelitian secara

Cross Sectional

dan

dipilih secara

non random

consecutive.

Penelitian ini dilakukan di unit perawatan intensif RSU. H. Adam Malik

Medan pada bulan Mei – Juli 2010. Sampel sebanyak 23 penderita, Penderita yang

memenuhi kriteria kemudian dilakukan tindakan pengambilan

endotracheal aspirate

secara aseptik menggunakan selang kateter yang steril dengan mesin alat penghisap,

dan kemudian dilakukan pengambilan secara aseptik dengan menggunakan

bronkoskopi serat optik lentur yang sudah disterilkan menggunakan

Ortho-phthaldehyde

(Cidex OPA) selama 20 menit. Sampel yang didapat dilakukan

pemeriksaan BTA

Direct Smear

, kultur bakteri, jamur dan uji kepekaan di laboratorium

Mikrobiologi RSU. H. Adam Malik Medan.

Hasil :

Pada pemeriksaan mikroorganisme yang didapat dari hasil isolasi

endotracheal

aspirate

yang diambil dengan cara selang kateter didapatkan pola kuman yang paling

banyak adalah

Citrobacter diversus

17,4% (n. 4),

Citrobacter freundii

13,1% (n.3),

Acinetobacter sp

(n.2),

Klebsiella pneumonia

3,4% (n.1) dan tidak dijumpai kuman

sebanyak 26,1% (n.6), sedangkan yang diambil dengan cara bronkoskopi serat optik

lentur didapatkan pola kuman yang paling banyak adalah

Klebsiella pneumonia

21,7%

(n.5),

Citrobacter diversus

17,4% (n.4),

Citrobacter freundii

17,4% (n.4),

Enterobacter

cloacae

17,4% (n.4) dan tidak dijumpai kuman sebanyak 8,7% (n.2). Pada uji

kepekaan bakteri dari

endotracheal aspirate

terhadap antibiotik yang diambil dengan

cara selang kateter didapat mikroorganisme yang paling banyak sensitif terhadap

antibiotik seperti Meropenem 58,8% (n.10), Cefoperazone/Sulbactam 52,9% (n.9),

Levofloxacin 47,1% (n.8), Amikacin 41,2% (n.7), dan yang diambil dengan cara

bronkoskopi serat optik lentur didapati mikroorganisme yang paling sensitif terhadap

antibiotik seperti Meropenem 52,4% (11), Cefoperazone/Sulbactam 47,6% (n.10),

Amikacin 42,9% (n.9), Levofloxacin 33,3% (n.7).

Kesimpulan :

Pada penelitian ini ditemukan jumlah kuman tidak berbeda bermakna dari

endotracheal aspirate yang diambil dengan cara selang kateter dan bronkoskopi serat optik lentur.

Kata kunci :

Pola kuman, pneumonia nosokomial,

ventilator-associated pneumonia

,

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirramanirrahiim

Assalammualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha

Pengasih dan Penyayang, karena atas berkat rahmat dan karuniaNya sehingga penulis

dapat menyelesaikan tulisan akhir ini dengan judul “Perbandingan pola kuman

endotracheal aspirate

pada penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam

dengan cara bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif

RSU. H. Adam Malik Medan”

Tulisan ini merupakan tugas akhir yang merupakan syarat dalam penyelesaian

pendidikan Spesialis Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi di Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik

Medan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam karya tulis ini, namun

penulis berharap semoga karya tulis ini bermamfaat dalam penatalaksanaan pemberian

antibiotik di unit perawatan intensif.

(9)

keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Yang terhormat Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K) sebagai Ketua Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik,

yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, senantiasa

menanamkan disiplin, ketelitian dan perilaku yang baik serta pola berpikir dan bertindak

ilmiah, yang mana hal tersebut sangat berguna bagi penulis untuk masa yang akan

datang.

Yang terhormat dr. Pandiaman Pandia, Sp.P(K) sebagai Sekretaris Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik

Medan yang telah banyak memberi penulis saran dan nasehat yang bermanfaat dalam

penyelesaian pendidikan penulis.

Yang terhormat dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P(K), sebagai Ketua

Program Studi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK-USU/SMF Paru RSU. H.

Adam Malik Medan yang tiada jemunya berupaya menanamkan disiplin, ketelitian,

berpikir dan berwawasan ilmiah serta selalu mendorong penulis dalam menyelesaikan

tulisan ini.

(10)

Yang terhormat Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K) sebagai Koordinator

Penelitian Ilmiah di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

FK-USU/SMF Paru RSU. H. Adam Malik Medan dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia (PDPI) cabang Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan masukan

dalam penyempurnaan tulisan ini.

Yang terhormat dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P(K), sebagai TK-PPDS yang telah

banyak memberikan dorongan dan nasehat yang sangat berguna dalam menjalani

masa pendidikan yang bermanfaat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan.

Yang terhomat dr. Fajrinur Syarani, Sp.P(K), sebagai Pembimbing penulis dalam

tulisan akhir ini yang telah banyak memberi bimbingan, bantuan teknis, masukan dan

dorongan moril serta penyempurnaan penelitian bagi penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tulisan ini.

Yang terhormat dr. Noni Novisari Soeroso, Sp.P, sebagai Pembimbing penulis

dalam tulisan akhir ini yang dengan penuh kesabaran dalam memberi bimbingan,

bantuan teknis, masukan dan dorongan moril serta penyempurnaan penelitian bagi

penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Yang terhormat Drs. Abdul Djalil Amri Arma. M.Kes, sebagai Pembimbing

statistik penulis yang telah banyak memberikan bantuan serta membuka wawasan

penulis dalam bidang statistik.

Penghargaan dan rasa terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada yang

(11)

dr. Setia Putra Tarigan, Sp.P yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan

pengarahan selama penulis menjalani pendidikan ini.

Ucapan terimakasih dan penghargaan kepada yang terhormat Dekan Fakultas

Kedokteran USU Medan, Direktur RSU. H. Adam Malik Medan, Direktur RS. PTPN II

Tembakau Deli Medan, Direktur RS. Materna Medan, Ketua Departemen Anestesiologi

dan Reanimasi FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen Mikrobiologi

FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan, Ketua Departemen Kardiologi FK-USU/RSU H.

Adam Malik Medan, Ketua Departemen Radiologi FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan,

Ketua Departemen Patologi Anatomi FK-USU/RSU H. Adam Malik Medan, Kepala

Instalasi Perawatan Intensif RSU H. Adam Malik Medan yang telah memberikan

kesempatan dan bimbingan kepada penulis selama menjalani pendidikan dan penelitian

ini.

Penulis mengucapakan terimakasih kepada teman sejawat peserta Program

Studi Pendidikan Spesialisasi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, teman

sejawat peserta Program Studi Pendidikan Spesialisasi Anestesiologi dan Reanimasi,

pegawai Tata Usaha / Paramedis Poliklinik / Pegawai ruang bronkoskopi / Ruang Inap

Paru /Paramedis Unit Perawatan Intensif RSU. H. Adam Malik Medan, atas bantuan

dan kerja sama yang baik selama menjalani pendidikan dan penelitian ini.

(12)

dan restu beliau maka penulis dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini. Dan

terimakasih serta rasa hormat saya kepada Ayahanda dan Ibunda mertua Maysafly dan

Murniwati Wallad atas doa restu dan dukungan serta dorongan selama menjalani

pendidikan ini.

Kepada istriku tercinta Conie Mayteria Wilda dan anakku tersayang Syifa

Azzahra Buana Putri dan Fakhry Ramadhan Buana Putra yang selalu setia dalam suka

dan duka, memberi dukungan, cinta kasih serta banyak pengorbanan selama ini,

penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan atas semuanya.

Akhirnya pada kesempatan ini penulis menyampaikan permohonan maaf

sebesar-besarnya atas segala kekhilafan, kesalahan maupun kekurangan yang telah

penulis perbuat selama ini. Semoga segala ilmu, keterampilan, pembinaan yang

penulis dapatkan selama ini bermanfaat bagi semuanya dan tetap dalam Ridho Allah

SWT.

Medan, 30 Agustus 2010

Penulis

(13)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan ...

i

Abstrak... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... xi

Daftar Singkatan ... xv

Daftar Tabel ...

... xvi

Daftar Gambar ...

... xviii

Daftar Lampiran...

... xix

       

BAB 1. PENDAHULUAN ...

1

1.1. Latar Belakang... ... 1

1.2. Perumusan Masalah ...

8

1.3. Hipotesis ... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 9

1.4.1. Tujuan Umum ...

9

(14)

1.5. Manfaat Penelitian ...

10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...

11

2.1. Pneumonia Nosokomial ...

11

2.1.1. Rumah Sakit... 12

2.1.2. Unit Perawatan Intensif...

13

2.2. Teknik Bronkoskopi Serat Optik Lentur...

14

2.3. Teknik Selang Kateter...

16

2.4. Definisi... 17

2.5. Epidemiologi... 18

2.6. Etiologi... 19

2.7. Patogenesis... 22

2.8. Faktor Risiko dan Prediposisi Timbulnya VAP...

24

2.8.1. Faktor Risiko VAP...

24

2.8.2. Prediposisi Timbulnya VAP ...

24

2.9. Menegakkan Diagnosis...

25

2.9.1. Manifestasi Klinis ...

25

2.9.2. Gambaran Radiologis...

26

2.9.3. Pemeriksaan Mikrobiologi...

27

2.10. Penatalaksanaan ...

29

2.10.1. Rekomendasi Terapi Antibiotik...

31

(15)

2.12. Kerangka Konseptual...

37

BAB 3. MANAJEMEN PENELITIAN ...

38

3.1. Desain ... 38

3.2. Tempat dan Waktu...

38

3.3. Populasi dan Sampel ...

38

3.3.1. Populasi... 38

3.3.1.1. Populasi terjangkau...

38

3.3.2. Sampel... 39

3.4. Perkiraan Besar Sampel ...

39

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...

40

3.5.1. Kriteria inklusi ... 40

3.5.2. Kriteria eksklusi ... 40

3.6. Cara Kerja ... 40

3.6.1. Kerangka Operasional...

42

3.7. Identifikasi Variabel... 43

3.7.1. Variabel bebas... 43

3.7.2. Variabel terikat... 43

3.8. Definisi Operasional ...

43

3.9. Bahan dan Alat... 44

3.10. Manajemen dan Analisis Data ...

44

(16)

3.10.2. Metode pengumpulan data...

45

3.10.3. Pengolahan data ...

45

3.10.4. Analisa data... 45

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...

46

4.1. Hasil Penelitian ... 46

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian...

46

4.1.2. Pemberian Antibiotik Saat Masuk UPI ...

48

4.1.3. Mikroorganisme yang di Isolasi dari Endotracheal Aspirate pada Penderita yang

Menggunakan Ventilator setelah 48 jam dengan Cara Selang Kateter dan

Bronkoskopi Serat Optik Lentur ...

49

4.1.4. Uji Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotik ...

52

4.2. Pembahasan Penelitian...

58

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...

64

5.1. Kesimpulan ... 64

5.2 Saran ... 65

(17)

DAFTAR SINGKATAN

UPI

: Unit Perawatan Intensif

HAP

: Hospital Acquired Pneumonia

VAP

: Ventilator Associated Pneumonia

IPI

: Instalasi Perawatan Intensif

BSOL

: Bronkoskopi Serat Optik Lentur

FOB

: Fiber Optic Bronchoscopy

EA

: Endotracheal aspirate

PSB

: Protected Specimen Brush

BAL

: Bronchoaveolar Lavage

PTC

: Plugged Telescoping Catheter

RSU

: Rumah Sakit Umum

CPIS

: Clinical Pulmonary Infection Score

MDR

: Multi Drug Resistance

ARDS

: Acute Respiratory dystress Syndrom

COPD

: Chronic Obstructive Pulmonary Disease

MRSA

: Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus

ETT

: Endotracheal Tube

ESBL : Extended Spectrum

β

-lactamase

Op. VP : Operation Ventricel Peritoneal

ICH

: Intra Cranial Haemorragic

(18)

SDH

: Sub Dural Haemorragic

PPOK

: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

SC

: Sectio Caesaria

GGA

: Gagal Ginjal Akut

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Etiologi VAP dengan menggunakan bronkoskopi pada 24 penelitian

(total 2490 kuman patogen) ... ...

21

Tabel 2. Faktor-faktor risiko berkaitan dengan VAP di beberapa penelitian

analisis multivariat... ...

24

Tabal 3. Clinical Pulmonary Infection Score

... ... 26

Tabel 4. Pebandingan sensitiviti dan spesivisiti EA, PSB dan BAL untuk

diagnosis VAP ... ...

29

Tabel 5 Terapi. antibiotik empiris inisial pada penderita dengan tidak diketahui faktor

risiko pada multidrug resisten patogen dan onset awal hospital- acquired

pneumonia pada semua infeksi berat dan bukan infeksi yang lain ...

32

Tabel 6. Terapi antibiotik empiris inisial pada penderita dengan faktor risiko pada

multidrug resisten patogen onset awal dan lambat VAP pada semua infeksi

berat... ... 23

Tabel 7. Dosis inisial intravena terapi antibiotik empiris untuk penderita dewasa dengan

onset penyakit lanjut atau faktor risiko untuk MDR... ...

34

Tabel 8. Strategi non farmakologi ... ...

35

Tabel 9. Strategi farmakologi ... ...

36

Tabel 10. Karateristik Penderita Berdasarkan Umur ... ... 47

Tabel 11. Karateristik Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin ... ... 47

Tabel 12. Karakteristik Penderita Berdasarkan Diagnosis... ... 48

(20)

Tabel 14. Pola Kuman yang di Isolasi dari Endotracheal Aspirate setelah 48 jam

Menggunakan Ventilator dengan Cara Selang Kateter dan Bronkoskopi Serat Optik lentur... ... 50

Tabel 15. Pola Jamur yang di Isolasi dari Endotracheal Aspirate pada penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan Cara Selang Kateter dan Bronkoskop Serat Optik lentur ... ... 51 Tabel 16. Hasil Pemeriksaan BTA Direct Smaer dari Endotracheal Aspirate

Pada Penderita yang Menggunakan Ventilator Setelah 48 jam dengan cara Selang Kateter dan Bronkoskopi Serat Optik Lentur... ... 51 Tabel 17. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap Mikroorganisme Citrobacter

Frundii, Staphylococcus Epidermidis, Pseudomonas Aeroginosa yang diambil dengan Cara Selang Kateter... ... 53 Tabel 18. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap Mikroorganisme Acinetobacter sp,

Klebsiella Pneumonia, Citrobacter Diversus yang diambil dengan Cara Selang Kateter... ... 53

Tabel 19. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap Mikroorganisme Staphylococcus Aurius, Klebsiella Ozaenae, Enterobacter Agglomerans yang diambil dengan Cara Selang Kateter... ... 54

Tabel 20. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap Mikroorganisme Enterobacter Cloacae, Citrobacter Amalonaticus yang diambil dengan Cara Selang Kateter .. 54 Tabel 21. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap Mikroorganisme Citrobacter Freundii,

Pseudomonas Aeroginosa, Acinetobacter sp yang diambil dengan Cara Bronkoskopi Serat Optk Lentur ... ... 55 Tabel 22. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap Mikroorganisme Klebsiella Pneumonia,

Citrobacter Diversus yang diambil dengan Cara Bronkoskopi Serat Optik Lentur ... ... 55 Tabel 23. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap Mikroorganisme Enterobacter Cloacae,

(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bronkoskopi Serat Optik Lentur ...

14

Gambar 2. Selang Kateter Penghisap (Suction)... 17

Gambar 3. Skema Patogenesis VAP ...

23

Gambar 4. Strategi Manajemen untuk Penderita dengan sangkaan HAP/VAP ...

30

Gambar 5. Antibiotik yang Sensitif Terhadap Mikroorganisme Endotracheal Aspirate yang diambil dengan Cara Selang Kateter... 56

Gambar 6. Antibiotik yang Sensitif Terhadap Mikroorganisme Endotracheal Aspirate yang diambil dengan Cara Bronkoskopi Serat Optik Lentur ... 57

Gambar 7. Antibiotik yang Resisten Terhadap Mikroorganisme Endotracheal Aspirate yang diambil dengan Cara Selang Kateter ... 57

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan

Lampiran 2. Lembaran Penjelasan Kepada Keluarga Calon SubJek Penelitian

Lampiran 3. Persetujuan Kesediaan Sebagai Subjek Penelitian

(23)

A B S T R A K

Objektif :

Untuk mengetahui pola kuman

endotracheal aspirate

penderita dewasa

laki-laki dan perempuan yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan cara

bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif

RSU. H. Adam Malik Medan.

Metode :

Penelitian secara

Cross Sectional

dan

dipilih secara

non random

consecutive.

Penelitian ini dilakukan di unit perawatan intensif RSU. H. Adam Malik

Medan pada bulan Mei – Juli 2010. Sampel sebanyak 23 penderita, Penderita yang

memenuhi kriteria kemudian dilakukan tindakan pengambilan

endotracheal aspirate

secara aseptik menggunakan selang kateter yang steril dengan mesin alat penghisap,

dan kemudian dilakukan pengambilan secara aseptik dengan menggunakan

bronkoskopi serat optik lentur yang sudah disterilkan menggunakan

Ortho-phthaldehyde

(Cidex OPA) selama 20 menit. Sampel yang didapat dilakukan

pemeriksaan BTA

Direct Smear

, kultur bakteri, jamur dan uji kepekaan di laboratorium

Mikrobiologi RSU. H. Adam Malik Medan.

Hasil :

Pada pemeriksaan mikroorganisme yang didapat dari hasil isolasi

endotracheal

aspirate

yang diambil dengan cara selang kateter didapatkan pola kuman yang paling

banyak adalah

Citrobacter diversus

17,4% (n. 4),

Citrobacter freundii

13,1% (n.3),

Acinetobacter sp

(n.2),

Klebsiella pneumonia

3,4% (n.1) dan tidak dijumpai kuman

sebanyak 26,1% (n.6), sedangkan yang diambil dengan cara bronkoskopi serat optik

lentur didapatkan pola kuman yang paling banyak adalah

Klebsiella pneumonia

21,7%

(n.5),

Citrobacter diversus

17,4% (n.4),

Citrobacter freundii

17,4% (n.4),

Enterobacter

cloacae

17,4% (n.4) dan tidak dijumpai kuman sebanyak 8,7% (n.2). Pada uji

kepekaan bakteri dari

endotracheal aspirate

terhadap antibiotik yang diambil dengan

cara selang kateter didapat mikroorganisme yang paling banyak sensitif terhadap

antibiotik seperti Meropenem 58,8% (n.10), Cefoperazone/Sulbactam 52,9% (n.9),

Levofloxacin 47,1% (n.8), Amikacin 41,2% (n.7), dan yang diambil dengan cara

bronkoskopi serat optik lentur didapati mikroorganisme yang paling sensitif terhadap

antibiotik seperti Meropenem 52,4% (11), Cefoperazone/Sulbactam 47,6% (n.10),

Amikacin 42,9% (n.9), Levofloxacin 33,3% (n.7).

Kesimpulan :

Pada penelitian ini ditemukan jumlah kuman tidak berbeda bermakna dari

endotracheal aspirate yang diambil dengan cara selang kateter dan bronkoskopi serat optik lentur.

Kata kunci :

Pola kuman, pneumonia nosokomial,

ventilator-associated pneumonia

,

(24)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

yang invasif di Instalasi Perawatan Intensif merupakan salah satu faktor penting yang

mengancam pemulihan penderita selama perawatan kesehatan berlangsung.

Penderita - penderita ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan infeksi

nosokomial. Pada umumnya penderita di Instalasi Perawatan Intensif memiliki risiko

berupa penyakit yang mendasarinya serta gangguan imun, sehingga pemasangan alat

invasif berlama-lama dapat mempermudah penderita untuk mendapatkan infeksi

nosokomial.

1

Penjamu normal dikolonisasi oleh bakteri yang tidak menyebabkan penyakit.

Suatu infeksi muncul saat mikroorganisme menyebabkan gangguan kesehatan. Hal ini

dapat terjadi akibat adanya invasi mikroorganisme pada permukaan mukosa.

Organisme yang mampu menyebabkan infeksi disebut patogen, sedangkan organisme

yang merupakan flora normal disebut komensal.

2
(25)

Kolonisasi trakea yaitu terdapatnya mikroorganisme dari kultur yang diperoleh dari sampel trakea yang pada awalnya tidak terdapat tanda-tanda proses infeksi saluran napas. Proses Kolonisasi di trakea terjadi selama 24 jam pertama saat penggunaan ventilasi mekanik yang didefinisikan sebagai fase awal. Sedangkan kolonisasi terjadi setelah 24 jam setelah penggunaan ventilasi mekanik tanpa dijumpai sebelumnya didefinisikan sebagai kolonisasi primer. Isolasi dari mikroorganisme yang sama di trakea dan lambung atau trakea dan orofaring dianggap terjadi bersamaan. Kolonisasi sekunder dianggap bila mikroorganisme yang diisolasi di trakea yang sebelumnya telah ada diisolasi di lambung atau orofaring. Mikroorganisme tersebut mempunyai antibiotipe yang sama dan dianggap jenis yang sama.

Mikroorganisme itu dikelompokkan menurut gram positif (Staphylococcus aureus,

Staphylococcus epidermidis, Streptococcus pneumoniae, Enterococus spp, Streptococcus

viridans, Corynebacterium spp), dan basil gram negatif (Enterobacter aerogenes, Escheria coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis).4

Kolonisasi bakteri pada jalan napas merupakan hal yang sangat potensial pada penderita-penderita yang terpasang endotracheal tube (ETT). Dan ini sangat berisiko untuk terjadinya infeksi secara nosokomial. Infeksi yang paling sering adalah ventilator associated pneumonia yaitu pneumonia yang timbul lebih dari 48-72 jam setelah intubasi (pemasangan ventilator).5

(26)

endotel, meningkatkan adhesi neutrofil dan migrasi sel-sel ke jaringan sekitar untuk memakan mikroba. Fibronogen yang mengandung cairan, antibodi dan sebagainya dikeluarkan untuk melindungi daerah yang rusak selama terjadi perbaikan jaringan.6

Pemeriksaan bakteriologi dari infeksi paru terhadap penderita yang di intubasi masih kontroversi. Kesulitan dijumpai dalam diagnosis laboratorium mikrobiologi untuk membedakan organisme yang menyebabkan infeksi dan kolonisasi flora.7

Pengambilan sampel saluran napas bawah dapat dilakukan dengan metode non invasif dan invasif. Metode non invasif yang paling sering dilakukan adalah endotracheal aspirate (EA) sedangkan protected specimen brush (PSB) dan bronchoalveolar lavage (BAL) merupakan metode invasif.8,9 Endotracheal aspirate (EA) digunakan sebagai diagnostik pada penderita dengan menggunakan pipa endotrakea yang dicurigai terjadi infeksi saluran napas bawah dan parenkim paru. Sampel sputum yang mengandung jumlah leukosit yang banyak menunjukkan akurasi dari hasil mikrobiologi walaupun pada sputum ini dijumpai juga organisme non patogen, dan dengan kultur sputum ini dapat membedakan kuman yang patogen dan yang non patogen.8

Desinfektan tingkat tinggi bronkoskopi serat optik lentur berupa Ortho-phthalaldehyde

(Cidex OPA) merupakan produk baru yang disetujui oleh FDA dan sudah digunakan di seluruh

negara untuk endoskopi. Ortho-phthalaldehyde mengandung 0,55%

1,2-benzenedicaeboxaldehyde dan mempunyai keuntungan dibandingan dengan glutaraldehyde.

Ortho-phthalaldehyde diperkenalkan sebagai Cidex OPA pada akhir tahun 1999. Berdasarkan penelitian di berbagai rumah sakit, Cidex OPA dapat membunuh seluruh mikroorganisme termasuk bakteri, jamur dan parasit yang berasal dari endoskopi.10,11

(27)

(kanan) atau lingula (kiri) dan kemudian cairan garam fisiologi 0,9% dengan suhu 37 0C diinstalasikan sebanyak 20-50 ml kemudian dengan hati-hati cairan tersebut dihisap kembali dan di ulangi tindakan tersebut sampai cairan sebanyak 100-300 ml. Sampel yang didapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologi.12

Pada penelitian pola bakteri yang diisolasi dari penderita infeksi saluran napas bawah dan pola kepekaannya terhadap antibiotik yang dilakukan di bagian mikrobiologi FK-UI tahun 2000, hasilnya menunjukkan bahwa bakteri yang di isolasi adalah gram negatif. Banyak bakteri yang resisten terhadap golongan Penisilin dan Aminoglikosida, dan terhadap golongan Sefalosporin serta Kuinolon.13

Vincent dan kawan-kawan melaporkan prevalensi infeksi di unit perawatan intensif sekitar 20,6% dari 10038 penderita pada 1417 unit perawatan intensif di Eropa tahun 1992.

Pneumonia paling banyak dijumpai pada infeksi nosokomial (46,9%), diikuti oleh infeksi saluran napas bawah (17,8%) dan saluran kemih (17,6%) serta infeksi septikemia (12%).14

Pneumonia nosokomial atau hospital-acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke -2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat. Pneumonia nosokomial terjadi 5-10 kasus per 1000 penderita yang masuk ke rumah sakit dan menjadi lebih tinggi 6-20x pada penderita yang memakai alat bantu napas mekanis. Angka kematian pada pneumonia nosokomial 20-50%. Angka kematian penderita pada pneumonia yang dirawat di instalasi perawatan intensif (IPI) meningkat 3-10x dibandingkan penderita tanpa pneumonia. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa lama perawatan meningkat 2-3x dibandingkan penderita tanpa pneumonia, hal ini tentu akan meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit.15

(28)

dan angka kejadian pneumonia nosokomial pada penderita yang menggunakan alat bantu napas meningkat sebesar 20-30%.15

Pada tahun 1989, Fagon menemukan insiden VAP di unit perawatan intensif sebanyak 8,6% dengan menggunakan teknik bronkoskopi untuk membantu mendiagnosis VAP dan pada tahun 1997, Kollef menemukan insiden VAP di unit perawatan intensif sebanyak 14,8% dengan menggunakan teknik bronkoskopi untuk membantu mendiagnosis VAP.16

Beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi tentang kuman penyebab VAP dengan teknik bronkoskopi pada 24 penelitian (total 2490 kuman patogen), yaitu: Pseudomonas aeruginosa 24,4%, Staphylococcus aureus 20,4%, Enterobacteriaceae 14,1%, Haemophilus species 9,8%, Streptococcus species 8,0%, Acinetobacter species 7,9%, Streptococcus pneumonia 4,1%, Neisseria species 2,6%, Stenotrophomonas maltophilia 1,7%, Coagulase-negative staphylococci 1,4%, Anaerob 0,9%, Jamur 0,9%, lain-lain 3,8%.17

Rahbar M dan kawan-kawan pada tahun 2002 melakukan penelitian di unit perawatan intensif rumah sakit Milat Teheran selama empat bulan terhadap 249 penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dan dilakukan endotracheal aspirate didapatkan kuman dominan adalah Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter species, sedangkan gram positif yang dominan adalah Staphylococcus aureus.18

Edy J pada tahun 2007 melakukan penelitian di UPI RSU. H. Adam Malik Medan terhadap 30 penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dan dilakukan endotracheal aspirate dengan memakai selang kateter didapati kuman Klebsiella pneumoniae 36,7%,

Klebsiella oxytoea 10%, Escherichia coli 10%, Pseudomonas aeruginosa 10%,

(29)

Schwartz dan kawan-kawan pada tahun 1998 mengkritik identifikasi agen terkotaminasi pada endotracheal aspirate yang sederhana. Pada sisi lain, Papazian dan kawan-kawan pada tahun 1991 serta Wu dan kawan-kawan pada tahun 2000, hasil akhir suatu penelitian perbandingan kultur kuantitatif dari sekresi trakea dengan teknik endotracheal aspirate yang sederhana dan bronkoskopi, mempertunjukkan suatu korelasi yang baik diantara dua prosedur pada identifikasi agen.20,21

Suwarni A dalam penelitian deskriptif di semua rumah sakit di Yogyakarta tahun 1999 menunjukkan bahwa proporsi kejadian infeksi nosokomial berkisar antara 0,0% hingga 12,06%, dengan rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk rata-rata perawatan berkisar antara 4,3-11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari. Setelah diteliti lebih lanjut maka didapatkan bahwa angka kuman di lantai ruang perawatan mempunyai hubungan bermakna dengan infeksi nosokomial.22

Ewig dan kawan-kawan, menyimpulkan bahwa pemberian terapi antibiotik empiris harus disesuaikan dengan data kuman patogen penyebab VAP di lokasi setempat karena kecendrungan terjadinya resistensi obat. Pemberian antibiotik yang tidak adekuat dapat menyebabkan kegagalan terapi akibat resistensi terhadap obat.23

(30)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu diteliti terhadap pola kuman

endotracheal aspirate pada penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan cara bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif (UPI) RSU. H. Adam Malik Medan.

1.3. Hipotesis

Tidak ada perbedaan pola kuman endotracheal aspirate pada penderita yang

menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan cara bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif RSU. H. Adam Malik Medan.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui jumlah kuman yang di dapat dari endotracheal aspirate penderita dewasa laki-laki dan perempuan yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dengan cara bronkoskopi serat optik lentur dan selang kateter di unit perawatan intensif RSU. H. Adam Malik Medan.

1.4.2. Tujuan khusus

1. Untuk mendapatkan informasi tentang jumlah koloni dan identifikasi dari isolasi kuman

(31)

2. Dengan mengetahui identifikasi kuman lebih awal, maka dapat diberikan antibiotik yang sensitif terhadap kuman yang didapat, sehingga tepat guna dan tepat manfaat.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Untuk mendapatkan pola kuman yang tidak terkotaminan dari kuman-kuman rongga mulut.

2. Dapat memberikan antibiotik lebih awal kepada penderita yang sesuai dengan pola kuman dan uji sensitiviti.

3. Selang kateter dapat dipakai untuk mendapatkan pola kuman endotracheal aspirate

dan uji sensitiviti, bila tidak terdapat sarana bronkoskopi serat optik lentur.

(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pneumonia Nosokomial

Infeksi nosokomial atau disebut juga infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang

terjadi di rumah sakit oleh kuman yang berasal dari rumah sakit.

24

Infeksi yang terjadi

dan diperoleh penderita selama dirawat di rumah sakit yang disebut infeksi nosokomial,

telah menjadi masalah yang besar di pelayanan penderita di rumah sakit di seluruh

dunia, juga di Indonesia. Karena pentingnya masalah ini, maka semua rumah sakit

harus dilengkapi fasilitas laboratorium yang bertanggung jawab mendukung aktifitas

yang berhubungan pada

surveilans

, kontrol dan pencegahan infeksi nasokomial.

25
(33)

Pemilihan antibiotik empiris dapat dibantu dengan pemeriksaan pewarnaan

sampel dari saluran napas untuk memandu terapi. Pewarnaan Gram dilakukan pada

sampel

protected specimen brush

,

bronchoalvolar lavage

, atau

endotracheal aspirate

.

Keterbatasannya adalah sampel tersebut memelukan pemeriksaan invasif. Kualitas

sampel saluran napas bawah penting untuk penilaian mikro-organisme yang berperan

sebagai etiologi HAP. Adanya sel epitel >1% pada sampel saluran bronkus

menunjukkan kontaminasi dari orofaring. Telah disepakati bahwa pada penanganan

VAP, pemeriksaan mikrobiologi bermanfaat dan bila ditemukan kuman intrasel dan

pewarnaan Gram yang positif sangat membantu untuk pemilihan antibiotik empiris yang

akan diberikan. Untuk membantu menentukan apakah suatu mikro-oraganisme

merupakan kolonisasi atau penyebab infeksi, perlu dilakukan pemeriksaan kultur

kuatitatif, baik dengan

colony-forming unit

(CFU)/ml atau semi-kuantitatif dengan

penilaian pertumbuhan kuman.

27

2.1.1.Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan

ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini penderita mendapatkan

terapi dan perawatan untuk dapat sembuh. Rumah sakit selain untuk mencari

kesembuhan, juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari

penderita maupun pengunjung yang berstatus karier. Kuman penyakit ini dapat hidup

dan berkembang di lingkungan rumah sakit seperti : udara, air, lantai, makanan, dan

benda-benda medis maupun non medis.

22
(34)

pneumonia nosokomial atau setiap 4,5 per 100 kasus rawat inap, dengan 99000 kasus

kematian yang disebabkan atau dihubungkan dengan infeksi nosokomial sebagai

penyebab kematian nomor enam di Amerika, data yang sama dengan di Eropa. Biaya

kesehatan di Amerika Serikat yang dikeluarkan adalah 5-10 miliar dolar

pertahunnya.

28

2.1.2. Unit Perawatan Intensif

Unit perawatan intensif adalah suatu tempat atau unit tersendiri di dalam rumah

sakit memiliki staf khusus, peralatan khusus yang ditujukan untuk menanggulangi

penderita gawat karena penyakit, trauma atau komplikasi-komplikasi. Infeksi

nosokomial dan kematian di unit perawatan intensif prevalensinya lebih tinggi dibanding

tempat lainnya di rumah sakit. Penyakit yang mendasari, gangguan mekanisme

pertahanan tubuh, alat invasif, pengobatan imunosupresif, penggunaan antibiotik, dan

kolonisasi dengan kuman yang resisten, menyebabkan penderita rentan terhadap

infeksi nosokomial.

29

2.2. Teknik Bronkoskopi Serat Optik Lentur

Bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) juga dikenal sebagai Fiber Optic Bronchoscopy

(FOB), sangat membantu dalam menegakkan diagnosis pada kelainan yang dijumpai di paru-paru dan berkembang sebagai suatu prosedur diagnostik invasif paru-paru.30,31

(35)
[image:35.612.147.494.106.372.2]

Gambar 1. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)34

       

Tabungnya sangat fleksibel sehingga memungkinkan operator untuk melihat sudut 160o -180o keatas dan 100o-130o ke bawah. Hal ini memungkinkan bronchoscopist FOB untuk melihat ke segmen yang lebih kecil dan segmen sub cabang bronkus ke atas dan ke bawah dari bronkus utama, dan juga ke depan belakang (anterior dan superior).32,33

(36)

Bronchoalveolar lavage

(BAL) adalah tindakan bilasan dengan larutan garam

fisiologis dalam jumlah yang cukup besar untuk menguras material bronkus dan

alveolar guna tujuan diagnostik penyakit paru. Cara kerjanya adalah setelah dipelajari

seluruh percabangan bronkus kanan dan kiri, ujung bronkoskop ditujukan ke salah satu

segmen lobus medius (kanan) atau lingula (kiri) dan disumbatkan pada bronkus

segmen tersebut, kemudian cairan steril garam fisologis 0,9% dengan suhu 37

0

C

diinstilasikan sebanyak 20-50 ml kemudian dengan hati-hati cairan tersebut dihisap

kembali dengan kecepatan 5 ml/detik dan ulangi tindakan tersebut sampai cairan

sebanyak 100-300 ml. Sampel yang didapat dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan

sitologi.

12

2.3. Teknik Selang Kateter

Selang kateter penghisap (

suction

) yang akan digunakan untuk membersihkan

jalan napas biasanya mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda, idealnya selang

kateter penghisap yang baik adalah efektif menghisap sekret dan risiko trauma jaringan

yang minimal. Diameter selang kateter penghisap bagian luar tidak boleh melebihi

setengah dari diameter bagian dalam lumen

endotracheal tube

, diameter yang lebih

besar akan menimbulkan atelektasis sedangkan selang kateter yang terlalu kecil kurang

efektif untuk menghisap sekret yang kental. Yang penting diingat adalah setiap kita

melakukan penghisapan, bukan sekretnya saja yang dihisap, tapi oksigen di paru juga

dihisap dan alveoli juga bisa

collaps

.

37
(37)

Karakter penghisapan (

suction

) harus digunakan satu kali proses penghisapan

misalnya setelah selesai penghisapan

endotracheal tube

dapat dipakai sekalian untuk

penghisapan nasofaring dan urofaring dan sesudah itu harus dibuang atau disterilkan

kembali, ingat jangan sekali-sekali memakai selang kateter penghisap untuk beberapa

penderita. Sebelum penghisapan, penderita harus diberi oksigen yang adekuat (pre

oksigenasi), sebab oksigen akan menurun selama proses penghisapan. Setelah pre

oksigenasi yang cukup, masukkan selang keteter penghisap ke dalam saluran napas

sampai ujungnya menotok tanpa hisap, kemudian tarik selang kateter penghisap

sedikit, lakukan penghisapan dan pemutaran perlahan dan sambil menarik keluar untuk

mencegah kerusakan jaringan dan memudahkan penghisap sekret.

37

Gambar 2. Selang Kateter Penghisap (

Suction

)

38

2.4. Definisi

(38)

Ventilator-associated pneumonia

(VAP) didefinisikan sebagai pneumonia

nosokomial yang terjadi setelah 48 jam pada penderita dengan bantuan ventilasi

mekanik baik itu melalui pipa endotrakea maupun pipa trakeostomi.

39,40

2.5. Epidemiologi

Pneumonia nosokomial diperkirakan terjadi pada 5-10 penderita dari 1000

penderita yang dirawat inap di rumah sakit dan akan meningkat 6-20 kali pada

penderita yang menggunakan ventilasi mekanik.

15,41,42

Pada pasien dengan ventilasi mekanik, insiden VAP meningkat seiring dengan

lamanya ventilasi. Risiko dari VAP adalah yang tertinggi pada awal rawatan di rumah

sakit dan diperkirakan 3% setiap hari selama 5 hari pertama dari ventilasi, 2% setiap

hari diantara hari ke 6 sampai hari ke 10, dan 1% setiap hari setelah hari ke 10. Sejak

ventilasi mekanik yang digunakan dalam jangka pendek, diperkirakan setengah dari

semua episode VAP terjadi dalam 5 hari pertama.

39,43

Di Amerika Serikat diperkirakan

terjadi VAP diantara 9% sampai 27%.

40

Pada sebuah laporan dari penelitian kohort multisenter internasional yang

dilakukan oleh Alberti dan kawan-kawan tahun 2002 selama lebih dari satu tahun

periode, termasuk di dalamnya 8352 penderita (dari 28 unit yang berpartisipasi) yang

dirawat lebih dari 24 jam di unit perawatan intensif (UPI). Angka insiden secara kasar

dari infeksi didapat di UPI adalah 18,9%. Pada penelitian terhadap penderita-penderita

trauma kepala, insiden VAP berkisar 28% sampai 40%, ini menunjukkan tingginya

kejadian insiden infeksi paru.

43
(39)

Ada berbagai mekanisme yang menyebabkan suatu populasi kuman menjadi

resisten terhadap antibiotik. Mekanisme tersebut antara lain adalah :

1. Mikroorganisme memproduksi enzim yang merusak daya kerja

obat.

2. Terjadinya perubahan permeabilitas kuman terhadap obat tertentu.

3. Terjadinya perubahan pada tempat atau lokus tertentu di dalam sel sekelompok

mikroorganisme tertentu yang menjadi target dari obat.

4. Terjadinya perubahan pada

metabolic pathway

yang menjadi target obat.

5. Terjadi perubahan enzimatik sehingga kuman meskipun masih dapat hidup

dengan baik, tetapi kurang sensitif terhadap antibiotik.

44

Ada beberapa bakteri yang sangat penting penyebab VAP, karena perlawanan

yang penting terhadap antibiotik yang umum digunakan.

Pseudomonas aeruginosa

meningkat secara klinis karena resisten terhadap berbagai antimikroba serta memiliki

kemampuan untuk mengembangkan tingkat

Multi Drug Resistance

(MDR) yang tinggi

termasuk Penisilin dan Sefalosporin generasi pertama dan kedua, Tetrasiklin,

Kloramfenikol dan Makrolid.

Multi Drug-Resistance Pseudomonas aeruginosa

(MDRPA) merupakan resistensi

Pseudomonas aeruginosa

terhadap paling sedikitnya 3

macam obat dari golongan obat berikut :

β

-laktam, Aminoglikosida, Carbapenem,

Fluoroquinon.

45

Bakteri ini disebut sebagai bakteri

multi drug resistance

(MDR), antara lain :

1.

Pseudomonas aeruginosa

adalah yang paling umum MDR bakteri gram

negative penyebab VAP.

2.

Klebsiella pneumonia.

(40)

4.

Enterobacter.

5.

Escherichia coli

6.

Citrobacter.

7.

Stenotrophomonas maltophilia.

8.

Acinetobacter.

9.

Burkholderia cepacia.

10.

Methicillin-resistent staphylococcus aureus

merupakan penyebab

peningkatan VAP. Sebanyak 50% dari

staphylococcus aureus

mengisolasikan dalam pengaturan perawatan intensif yang tahan terhadap

methicillin

.

11.

Staphylococcus aureus.

12.

Streptococcus pneumonia.

13.

Hemophilus influenza.

14.

Proteus species.

15.

Legionella pneumophila

16.

Candida species

17.

Aspergillus fumigates

18.

Adenovirus

19.

Influenza

20.

Parainfluenza

(41)
[image:41.612.73.418.158.428.2]

Tabel 1. Etiologi VAP dengan Menggunakan Bronkoskopi

pada 24 Penelitian (total 2490 kuman patogen)17

Patogen Frekuensi (%)

1. Pseudomonas aeruginosa 24,4 2. Staphylococcus aureus 20,4 3. Enterobacteriaceae 14,1 4. Haemophilus species 9,8 5. Streptococcus species 8,0 6. Acinetobacter species 7,9 7. Streptococcus pneumonia 4,1 8. Neisseria species 2,6 9. Stenotrophomonas maltophilia 1,7 10. Coagulase-negative staphylococci 1,4 11. Anaerob 0,9 12. Jamur 0,9 13. Lain-lain 3,8

(42)

2.7. Patogenesis

(43)

Gambar 3. Skema Patogenesis VAP

49

Faktor penjamu

Pemberian awal antibiotik

Strategi invasif Kolonisasi saluran cerna

Obat-obatan yang berpengaruh

terhadap pengosongan lambung

dan pH

Air yang terkontaminasi, obat-obatan cair,

alat dan bahan terapi pernapasan Aspirasi

Inhalasi Bronkiolitis

Infeksi transtoraks

Bakteremia primer Bronkopneumonia

Translokasi gastrointestinal fokal/multifocal

Bakteremia sekunder Bronkopneumonia berat

Systemic inflammatory

response syndrome

Disfungsi organ nonpulmoner Abses paru

(44)

2.8. Faktor Risiko dan Predisposisi Timbulnya VAP

2.8.1. Faktor Risiko VAP

Tabel 2. Faktor-faktor risiko berkaitan dengan VAP di beberapa penelitian analisis

multivariat43,50

Faktor penjamu Faktor intervensi

Usia > 60 tahun. COPD / penyakit paru. ARDS.

Koma / penurunan kesadaran. Serum albumin  2,2 g/dl. Luka bakar.

Trauma kepala. Gagal organ.

Kolonisasi lambung dan pH. Kolonisasi saluran napas atas. Sinusitis.

Keparahan penyakit. Aspirasi volume lambung.

Posisi kepala telentang. Relaksan otot.

Intubasi .

Ventilasi mekanik  2 hari.

Positive end-expiratory pressure.

Monitor tekanan intrakranial. Reintubasi.

Perubahan sirkuit ventilator. Pipa nasogastrik.

Transpor keluar dari UPI.

Terapi antibiotik atau tampa antibiotik. Obat antagonis reseptor H2.

(45)

2.8.2. Predisposisi Timbulnya VAP

1. Aspirasi dari sekret orofaring.

2. Balon pipa endotrakea (Endotracheal Tube Cuff).

3. Pipa endotrakea sebagai reservoir.

4. Pemakaian pipa oral atau nasal.

5. Penurunan kesadaran.

6. Aspirasi dari isi lambung.

7. Refluks.

8. Pencegahan stress ulcer.

9. Posisi tidur.51,52

2.9. Menegakkan Diagnosis

2.9.1. Manifestasi Klinis

Kriteria klinis yang ada kurang bagus, spesivisitinya rendah tetapi ada

peningkatan penggunaan klinikal skor untuk diagnosis VAP.

Guideline

terakhir yang di

publikasikan adalah

guideline

dari

Health and Science Policy Committee of the

American College of Chest Physicians

.

Guideline

tersebut menyebutkan bahwa

episode VAP seharusnya dicurigai pada pasien yang menerima ventilasi mekanik, jika

dua atau lebih gejala klinis berikut dijumpai:

(46)

2. Leukositosis atau leukopenia.

3. Sekresi trakea purulen.

4. Penurunan PaO

2.

Seperti sebuah komplemen, radiologis dapat membantu menunjukkan

keparahan pneumonia (multilobular atau tidak) dan adanya komplikasi seperti emfisema

atau kavitas.

43

Pada awal tahun 1990, Pugin dan kawan-kawan mengembangkan

Clinical

Pulmonary Infection Score

(CPIS) untuk mendiagnosis VAP. Walau itu termasuk data

[image:46.612.67.475.460.715.2]

radiologi dan mikrobiologi, itu dapat digunakan bila dicurigai VAP. CPIS meningkatkan

spesivisiti dari foto dada dalam mendiagnosis VAP. Mereka menemukan bahwa CPIS

lebih dari enam dikaitkan dengan kemungkinan tinggi pneumonia dengan sensitiviti

93% dan spesivisiti 100%.

43,47

Tabel 3. Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)43,53,54

Komponen Nilai Skor

(47)

Sekret purulen 2 Oksigenasi : > 240 atau terdapat ARDS 0 PaO2/FiO2(mmHg) ≤ 240 atau tidak ada ARDS 2 Foto toraks Tidak ada infiltrat 0 Bercak atau infiltrat difus 1 Infiltrat terlokalisir 2 Kultur dari aspirasi trakea

Kultur bakteri patogen jarang atau tidak menerangi kuantitas atau tidak ada petumbuhan 0

Kultur bakteri patogen sedang atau kuantitas berat 1 Kultur bakteri patogen sama, terlihat Gram stain +1

2.9.2. Gambaran Radiologis

Gambaran radiologis pneumonia nosokomial dapat ditegakkan atas dasar foto

toraks terdapat infiltrat baru atau progresif. Perubahan radiologis secara progresif

berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari infiltrate baru.

15

Pada penelitian kohort prospektif dari 129 penderita yang berkembang infiltrat di

paru dan berhubungan dengan penderita pembedahan yang dirawat di UPI untuk

menentukan prediktor dan hasil akhir dari infiltrat di paru. Penyebab yang paling sering

infiltrat di paru adalah pneumonia (30% dari infiltrat di .paru), edema paru (29%),

acute

lung injury

(15%) dan atelektasis (13%). Skor CPIS yang lebih dari 6 menyingkirkan

acute lung injury

, edema paru, atau atelektasis sebagai penyebab infiltrat di paru.

43
(48)

Torres dan kawan-kawan, menyatakan bahwa diagnosis VAP meliputi tanda-tanda

infiltrat baru atau progresif pada foto toraks disertai gejala demam, leukositosis maupun

leukopeni dan sekret purulen. Gambaran foto toraks disertai dua dari tiga kriteria gejala

tersebut memberikan sensitiviti 69% dan spesivisiti 75%.

14,17,55

2.9.3. Pemeriksaan Mikrobiologi

Tingginya mortaliti VAP membutuhkan terapi antibiotik yang tepat dan cepat,

sehingga diperlukan informasi kuman patogen penyebab VAP dan resistensinya

dengan menggunakan teknik pengambilan sampel yang tepat. Pengambilan sampel

dapat dilakukan dengan metode non invasif dan invasif. Metode non invasif yang

sering dilakukan adalah

endotracheal aspirate

sedangkan

protected specimen brush

(PSB) dan

bronchoalveolar lavage

(BAL) merupakan metode invasif.

8,9

Blot dan kawan-kawan, mengusulkan tiga keputusan untuk diagnosis dini dan

penatalaksanaan terhadap tersangka VAP berdasarkan pada

plugged telescoping

catheter

(PTC),

blind

atau

fiberopticallly guided

, dan

endotracheal aspirate

(EA) gram

stain analisis:

1. EA gram stain negatif : VAP sangat jarang. Tidak diperlukan pengobatan

antibiotik empiris untuk pneumonia sampai hasil kultur telah keluar.

(49)

3. EA gram stain positif dan PCT gram stain negatif, tidak ada prediksi yang

memuaskan, sebelum hasil kultur keluar. Keputusan dimulai dengan

pengobatan empiris dan tergantung pada kondisi penderita serta keparahan

sepsis.

43

Untuk diagnostik akurat, direkomendasikan penggunaan dari diagnostik invasif

dengan menggunakan bronkoskopi. Dua metode invasif yaitu:

Protected specimen

brush

(PSB) dan

Bronchoalveolar lavage

(BAL). Kuantitas kultur dengan PSB dan BAL,

diharapkan hasil yang didapat untuk menegakkan diagnosis yang akurat sehingga

dapat diberikan antibiotik yang optimal.

48,51,52,56

Tabel 4. Perbandingan Sensitiviti dan Spesivisiti EA, PSB dan BAL untuk

Diagnosis VAP

8

EA PSB BAL

Sensitiviti (%) 38-100 33-100 42-93

Spesivisiti(%) 14-100 50-100 45-100

2.10. Penatalaksanaan

(50)
[image:50.612.85.491.105.740.2]

inisial sebaiknya diberikan secepatnya, karena penundaan pemberian antibiotik dapat

meningkatkan mortaliti pada penderita VAP.

43

Gambar 4. Strategi Manajemen Untuk Penderita Dengan Sangkaan HAP/VAP46

 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

   

Dugaan untuk HAP/VAP

Pengambilan sampel dari saluran napas bawah untuk pemeriksaan biakan (kuantitatif/semi kuantitatif) dan mikroskopis

Kecuali jika dugaan pneumonia secara klinis dan mikroskopis negatif, pemberian antibiotik dapat

dimulai berdasarkan terapi empiris dan data mikrobiologi lokal

Pada hari kedua dan ketiga pemeriksaan kultur dan taksir respon klinis (temperatur, leukosit,

foto toraks, oksigenasi, sputum purulen, perubahan hemodinamik dan fungsi organ

(51)

 

 

 

 

2.10.1. Rekomendasi Terapi Antibiotik

Kriteria utama dan rekomendasi untuk terapi antibiotik yang optimal ;

1. Terapi empiris untuk penderita dengan VAP menggunakan dosis antibiotik yang optimal untuk mendapatkan efikasi yang maksimal (Level I). Terapi awal dapat diberikan pada semua penderita secara intravena dan ditukar secara oral bila penderita sudah memberikan respon klinis yang baik dan berfungsinya traktus intestinal. Antibiotik seperti kuinolon dan linezolid bisa diubah ke terapi oral pada penderita (Level II).

Tidak

Kultur (-) Kultur (+) Kultur (-) Kultur (+)

Ya

Cari kuman patogen lainnya,

komplikasi, diagnosis, atau infeksi ditempat

lain

Dosis antibiotik tidak perlu ditambahkan, jika

memungkinkan. Pengobatan yang selektif pada penderita

selama 7-8 hari dan dinilai kembali Pertimbangkan

untuk stop antibiotik Sesuaikan terapi

antibiotik, cari patogen lainnya, komplikasi, diagnosis

(52)

2. Antibiotik aerosol tidak terbukti memiliki angka keberhasilan untuk VAP (Level I). Bagaimanapun dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada penderita dengan MDR gram negatif, dimana tidak respon terhadap terapi sistemik (Level III)

3. Kombinasi terapi bisa digunakan jika penderita infeksi menyerupai patogen MDR (Level II). Tidak ada data pendekatan mana yang lebih baik dibandingkan monoterapi, kecuali untuk merubah inisial terapi empiris yang tepat (Level I).

4. Jika penderita menerima terapi kombinasi dengan aminoglikosida, bisa dihentikan setelah 5-7 hari jika penderita ada perbaikan (Level III).

5. Monoterapi yang tepat untuk kuman bisa digunakan untuk penderita VAP, selama tidak resisten (Level I). Penderita yang menerima terapi kombinasi pada awalnya, hingga hasil dari kultur traktus respiratorius bawah diketahui dan dikonfirmasi monoterapi bisa digunakan (Level II).

6. Jika penderita menerima antibiotik awal yang cocok dapat diusahakan untuk memperpendek dari durasi pengobatan, biasanya 14-21 hari menjadi periode lebih pendek menjadi 7 hari, asalkan penyebabnya bukan Pseudomonas aeroginosa, dan respon klinis penderita baik dengan perbaikan (Level I).46,50

 

Tabel 5. Terapi antibiotik empiris inisial pada penderita dengan tidak diketahui faktor

risiko pada multidrug resisten patogen dan onset awal hospital acquired

pneumonia pada semua infeksi berat dan bukan infeksi yang lain43

Potensial Patogen Antibiotik yang Direkomendasi

Streptococcus pneumonia Cephalosporin generasi II/III

Haemophilus influenza (cefotaxime, ceftriaxone)

(53)

aureus Quinolone generasi III/IV Antibiotik- sensitive enterik (levofloxacin, moxifloxacin) Gram –negatif bacilli atau

Escherichia coli β-Lactam, β-lactamase inhibitor

Klebsiella pneumoniae (ampicillin/sulbactam)

Enterobacter species

Serratia marcescens

___________________________________________________________

 

Tabel 6. Terapi antibiotik empiris inisial pada penderita dengan faktor risiko pada

multidrug resisten patogen dengan onset awal dan lambat VAP pada semua

infeksi berat 43,46

Potensial MDR patogen Terapi Antibiotik Kombinasi

Pseudomonas aeruginosa Anti-pseudomonal generasi III/IV Cephalosporin (cefepime,ceptazidime) atau

Klebsiella pneumoniae (ESBL) Carbepenem (anti-pseudomonal)

(54)

atau

β-Lactam, β-lactamase inhibitor (pipercillin-tazobactam)

plus

Fluoroquinolone generasi II/III

(Ciprofloxacin atau Levofloxacin dosis tinggi)

atau

Aminoglikosida

(amikasin, gentamicin, tobramycin) plus

Staphylococcus aureus Linezolid atau Vancomycin

resisten-methicillin

(55)

Tabel 7. Dosis inisial intravena terapi antibiotik empiris untuk penderita dewasa

dengan onset penyakit lanjut atau faktor risiko untuk MDR46

Antibiotik Dosis

Antipseudomonal cephalosporin

Cefepime

Ceftazidimine

Carbepenems

Imipenem

Meropenem

β- lactam / β- lactamase inhibitor

Piperacillin-tazobactam

Aminoglycosida

Gentamycin

Tobramycin

Amikacin

Antipseudomonal quinolone

Levofloxacin

1-2 g setiap 8-12 jam

2 g setiap 8 jam

500 mg setiap 6 jam atau 1 g setiap 8 jam

1 g setiap 8 jam

4,5 g setiap 6 jam

7 mg /kg per hari

7 mg/kg per hari

20 mg/kg per hari

(56)

Ciprofloxacin

Vancomycin

Linezolid

400 mg setiap 8 jam

15 mg/kg setiap 12 jam

600 mg setiap 12 jam

2.11. Pencegahan

Pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi dua kategori yaitu strategi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi non farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi.57

Tabel 8. Strategi non farmakologi52

Strategi non farmakologi Tingkat

Merubah dari nasogastrik atau ETT bila secara klinis memungkinkan. Menghindari dari intubasi ulang yang tidak diperlukan.

Menghindari distensi yang berlebihan dari lambung. Pemberian nutrisi yang adekuat.

Menggunakan alat pengisapan yang sekali pakai. Posisi setengah berbaring dari penderita.

Oral (non-nasal) intubasi.

Pemeliharaan yang adekuat terhadap tekanan balon ETT. Perubahan posisi.

C

C B C A

(57)

Cuci tangan sebelum kontak dengan penderita. Fisioterapi paru.

Menggunakan kontrol program untuk mengatasi infeksi. Menggunakan sarung tangan dan baju kamar operasi.. Penjadwalan pengaliran pada sirkuit ventilator.

Perubahan rutin dari sirkuit ventilator.

Pergantian rutin dari alat pengisapan dan kateter. Pengisapan dari subglotik yang berkesinambungan.

B B A C B C A B A

Tabel 9. Strategi farmakologi52

Strategi Farmakologi Tingkat

Menghindari dari pemberian antibiotik yang tidak diperlukan.

Antibiotik untuk mengatasi demam yang menyebabkan neutropenia. Terapi antibiotik kombinasi.

Pembatasan dari pencegahan Stress ulcer yang berisiko pada penderita. Obat kumur Chlorhexidine.

Koloni granulosit yang merangsang untuk demam neutropenik Rotasi dari kelas antibiotik.

Vaksinasi Streptokokus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe b strain dan virus influenza.

Seleksi dari makanan yang bisa terkontaminasi . Profilaksis immunoglobulin.

Keasaman buatan dari makanan enteral.

(58)

Profilaksis antibiotik parenteral untuk pasien koma. Profilaksis dengan antibiotik aeorosol.

(59)

2.12. Kerangka Konseptual

Penderita yang membutuhkan ventilasi mekanik karena gagal napas

Intubasi endotracheal tube dan

menggunakan ventilator invasif

1. Aspirasi organisme patogen 2. Inhalasi organisme patogen

Kolonisasi terjadi 24 jam pertama

Infeksi berkembang setelah 48 jam

Pengambilan sampel

Endotracheal aspirate Bronchoalveolar lavage

(60)

BAB 3

MANAJEMEN PENELITIAN

3.1. Desain

Penelitian ini dilakukan dengan cara Cross Sectional yang bersifat deskriptif.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di unit perawatan intensif (UPI) RSU. H. Adam Malik

Medan. Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu pada tangal 4 Mei 2010 sampai dengan 7 Agustus 2010 atau bila jumlah sampel sudah tercapai.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Semua penderita laki-laki dan perempuan dewasa yang menggunakan ventilator setelah

48 jam di unit perawatan intensif rumah sakit.

3.3.1.1. Populasi terjangkau

(61)

3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria penderita yang diterima dan penderita yang ditolak serta dipilih secara non random consecutive.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

n =

Keterangan:

• Zά = nilai baku normal dari tabel Z yang nilainya tergantung dari nilai ά  untuk nilai ά 0,05, maka Zά = 1,96

• Z β = nilai baku normal dari tabel Z yang nilainya tergantung dari nilai β untuk nilai β 0,15, maka Zβ = 1,036

• Po = Proporsi penderita penderita VAP sebelumnya, nilainya adalah 8,6%, dalam angka desimal adalah 0,086.

• Qo = 1 – Po = 1 – 0,086 = 0,914

• Pa = Proporsi penderita VAP yang sekarang, nilainya adalah 14,8%, dalam angka desimal adalah 0,148

• Qa = 1 – Pa = 1 – 0,148 = 0,852

• Pa – Po adalah selisih proporsi yang diinginkan oleh peneliti, diambil nilainya adalah 20%, dalam angka desimal adalah 0,20.

• n = [1,96 √ (0,086) (0,914) + 1,036 (0,148) (0,852) ]2 ( 0,20)2

n = 0,549513536 + 0,367883585 0,04

n = 0,917397121 = 22,934928025 ~ 23 0,04

  

(62)

Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 23 orang.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria inklusi

1. Seluruh penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam di unit perawatan intensif RSU. H. Adam Malik Medan.

2. Umur penderita diatas 15 tahun

3.5.2. Kriteria eksklusi

1. Penderita yang meninggal 24 jam setelah menggunakan ventilator. 2. Penderita yang diektubasi sebelum 48 jam.

3. Penderita yang mempunyai kelainan anatomi

3.6. Cara Kerja

Semua penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak terdapat kriteria eksklusi. Penderita yang memenuhi kriteria kemudian dilakukan tindakan pengambilan endotracheal aspirate secara aseptik menggunakan selang kateter yang steril dengan mesin alat penghisap. Penghisapan endotracheal aspirate dilakukan pada penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam dan mempergunakan selang kateter yang berbeda pada setiap penderita serta teknik pengambilan dengan cara sebagai berikut :

(63)

dalam pot yang steril yang kemudian ditutup dengan almunium poil dan segera dikirim ke laboratorium Mikrobiologi RSU. H. Adam Malik untuk dilakukan pemeriksaan kultur

endotracheal aspirate dan uji sensitiviti.

Kemudian dilanjutkan dengan tindakan pengambilan secara aseptik menggunakan

bronkoskopi serat optik lentur yang sudah disterilkan dengan menggunakan

Ortho-phthaldehyde (Cidex OPA) selama 20 menit setiap akan melakukan tindakan menggunakan bronkoskopi serat optik lentur. Tindakan bronkoskopi dilakukan pada penderita yang menggunakan ventilator setelah 48 jam. Penggunaan bronkoskopi serat optik lentur yang telah disterilkan pada setiap penderita dan teknik bronkoskopi dengan cara sebagai berikut :

Bronkoskopi serat optik lentur dimasukan melalui pipa endotrakea atau trakeostomi, setelah bronkoskop berada pada daerah yang diinginkan, sesuai dengan tujuan pemeriksaan lalu dibilas dengan cara memasukan cairan NaCl 0,9% sebanyak 100-150 ml yang kemudian segera dihisap kembali. Cairan yang dihisap ditampung dalam wadah penampung khusus yang dipasang pada bronkoskopi serat optik lentur. Tindakan tersebut diulang sampai dirasakan sudah didapati bahan pemeriksaan dan bahan pemeriksaan diletakkan ke dalam pot yang steril yang kemudian ditutup dengan almunium poil dan segera dikirim ke laboratorium Mikrobiologi RSU. H. Adam Malik untuk dilakukan pemeriksaan kultur cairan bronchoalveolar lavage dan uji sensitiviti. Dan kemudian dilakukan penentuan jenis kuman.

(64)

b. Uji sensitiviti (kepekaan) bakteri terhadap antibiotik dilakukan dengan metode difusi cakram.

3.6.1. Kerangka Operasional

3.7. Identifikasi Variabel

3.7.1. Variabel bebas

a. Tindakan bronchoalveolar lavage (BAL) dengan cara bronkoskopi serat optik lentur. b. Tindakan endotracheal aspirate (EA) dengan cara selang kateter.

3.7.2. Variabel terikat

Pola kuman dan uji sensitiviti Penderita yang

menggunakan ventilator invasif

t l h 48 j

Pola kuman dan uji sensitiviti Tindakan bronchoalveolar lavage

(BAL) dengan cara bronkoskopi serat optik lentur

Gambar

Gambar 1.    Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)34
Tabel 1. Etiologi VAP dengan Menggunakan Bronkoskopi
Tabel 3.  Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)43,53,54
Gambar 4.  Strategi Manajemen Untuk Penderita Dengan       Sangkaan HAP/VAP46
+7

Referensi

Dokumen terkait