• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP

TINGKAT KEMISKINAN DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

HESTY AMBAR SARY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

Hesty Ambar Sary

(4)

ABSTRAK

HESTY AMBAR SARY. Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia. Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI.

Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan daerah bagian Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya alam (SDA) melimpah yang dapat dikembangkan dan berpotensi untuk menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan. Namun, kekayaan SDA yang melimpah ini belum didukung oleh SDM yang secara kualitas dan kuantitas baik. Hal ini dapat tercemin dari nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di KTI yang relatif rendah. Otonomi daerah yang mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan diharapkan dapat meningkatkan IPM dan mengurangi kemiskinan di daerah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan TKED, kemiskinan dan IPM di wilayah KTI serta untuk menganalisis pengaruh TKED terhadap tingkat kemiskinan dan IPM. Data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda dengan estimasi Ordinary Least Square. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi TKED di KTI masih timpang. Tingkat kemiskinan kabupaten/kota di wilayah KTI masih tinggi dan nilai IPM relatif masih rendah. Variabel yang secara signifikan mampu meningkatkan nilai IPM di KTI adalah perizinan usaha, peraturan daerah, Kapasitas dan integritas bupati/walikota, keamanan dan penyelesaian konflik, PDRB per Kapita serta belanja pendidikan. Sedangkan variabel yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan adalah infrastruktur daerah, perizinan usaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, keamanan dan penyelesaian konflik, PDRB per kapita dan belanja pendidikan.

Kata Kunci : KTI, IPM, TKED dan Tingkat Kemiskinan

ABSTRACT

HESTY AMBAR SARY. Impact of Local Economic Governance on Poverty and Human Development Index in East Indonesia. Supervised by WIWIEK RINDAYATI.

East Indonesia is a part of Indonesian region which has a wealth of natural that can be developed and potential to become a growth centers. However, this wealth natural resource has not been supported by human resource both in quality and quantity. This can be reflected from the HDI (Human Development Index) in a relatively low in East Indonesia. Regional autonomy was implemented in Indonesia since 2001 aims to improve the welfare of the society and is expected to increase HDI and reduce poverty. The objective of this study is to describe Local Economic Governance (LEG), poverty and HDI in the region and to analyze the impact of LEG on poverty and HDI in East Indonesia. The data were processed using descriptive analysis and multiple regression analysis to estimate Ordinary Least Square. The results showed that LEG conditions in East Indonesia still inequity. The level of poverty districts/cities in East Indonesia is still high and HDI is still relatively low. Variables that can significantly increase the HDI in East Indonesia is business licensing, regulatory regions, capacity and integrity of regent / mayor, security and conflict resolution, as well as GDP per capita and education spending. While the variables that can reduce the level of poverty is local infrastructure, business licensing, capacity and integrity of regent/mayor, security and conflict resolution, GDP per capita and education spending .

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

PENGARUH TATA KELOLA EKONOMI DAERAH TERHADAP

TINGKAT KEMISKINAN DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

DI KAWASAN TIMUR INDONESIA

HESTY AMBAR SARY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah Terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan

Timur Indonesia Nama : Hesty Ambar Sary

NIM : H14100007

Disetujui oleh

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M. Si. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia. Judul tersebut dipilih mengingat pentingnya pembangunan di KTI yang saat ini belum terlaksana secara menyeluruh, khususnya pembangunan manusia dan masalah kemiskinan yang masih tinggi di KTI, apakah hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan tata kelola ekonomi yang baik oleh pemerintah daerah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku pembimbing, serta Ibu Dr. Sri Mulatsih, M.Sc Agr dan Bapak Salahuddin El Ayyubi, MA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua, kakak dan adik penulis atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terimaskih kepada pihak KPPOD (Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah), BPS (Badan Pusat Statistik) dan pihak lain atas sharing datanya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada teman satu bimbingan dan seluruh teman-teman baik penulis atas saran, dukungan dan semangatnya yang luar biasa.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 5

Hipotesis Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Tinjauan Teori 5

Penelitian Terdahulu 9

Kerangka Pemikiran 10

METODE 11

Jenis dan Sumber Data 11

Metode Analisis Data 12

Pengujian Asumsi 13

GAMBARAN UMUM 15

Kawasan Timur Indonesia 15

Pengeluaran pemerintah 16

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Kondisi Tata Kelola Ekonomi Daerah Kawasan Timur Indonesia 17 Kondisi Kemiskinan dan Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia

Tahun 2011 21

Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan di

Kawasan Timur Indonesia 22

Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia

di Kawasan Timur Indonesia 25

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 31

(10)

DAFTAR TABEL

1 Presentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2011 (persen) 2

2 Batas Kritis pada Pengujian Durbin-Watson 14

3 Realisasi Belanja Pemerintah Tahun 2011 (juta rupiah) 16

4 Hasil estimasi output Variabel Kemiskinan 23

5 Hasil Estimasi Output Variabel IPM 26

DAFTAR GAMBAR

1 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi di Kawasan Timur Indonesia

dan Nasional Tahun 2009-2011 1

2 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah 6

3 Lingkaran Perangkap Kemiskinan 7

4 Kerangka Pemikiran 11

5 Realisasi Belanja Pemerintah untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun

2011 (juta rupiah) 17

6 Kabupaten/Kota dengan Nilai Sub Indeks Terkecil dan Terbesar 19 7 Tingkat Kemiskinan Kawasan Timur Indonesia Tahun 2011 21 8 Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan timur Indonesia Tahun

2011 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah di Kawasan Timur

Indonesia Tahun 2011 31

2 Data Tingkat Kemiskinan di KTI Tahun 2011 33

3 Realisasi Belanja Pendidikan dan Kesehatan Pemerintah Daerah di

KTI tahun 2011 (persen) 36

4 Hasil Estimasi Output Variabel Kemiskinan 38

5 Uji Normalitas Variabel Kemiskinan 39

6 Uji Heteroskedastisitas dengan uji ARCH 39

7 Uji Multikolinieritas Variabel Kemiskinan 40

8 Hasil Estimasi Output Variabel IPM 40

9 Uji Normalitas Variabel IPM 41

10 Uji Heteroskedastisitas dengan Uji ARCH Variabel IPM 41

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan Timur Indonesia (KTI) merupakan daerah bagian Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya alam melimpah yang dapat dikembangkan dan berpotensi untuk menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan. Luas daratan kawasan ini mencapai 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91 persen dari luas wilayah Indonesia. Potensi yang terdapat di wilayah KTI berupa kekayaan sumberdaya kelautan, perkebunan, pertanian, kehutanan serta pertambangan dan energi. Sebesar 70 persen dari total potensi perikanan laut nasional terdapat di wilayah KTI. Kekayaan sumberdaya alam yang melimpah di wilayah KTI belum didukung oleh sumberdaya manusia yang secara kualitas dan kuantitas baik, sehingga potensi tersebut belum dikelola secara optimal. Menurut Todaro dan Smith (2006), besar kecilnya potensi pertumbuhan ekonomi suatu Negara atau daerah sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas sumberdaya yang dimilikinya, baik itu sumberdaya fisik maupun sumberdaya manusia. Keduanya harus berjalan beriringan untuk menciptakan suatu kondisi ekonomi yang lebih baik.

Salah satu indikator untuk melihat kualitas sumberdaya manusia adalah dengan menggunakan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dibangun dari beberapa aspek kehidupan yang penting, yaitu usia yang panjang dan hidup sehat, tingkat pendidikan yang memadai, dan standar hidup yang layak (Kuncoro 2004). IPM merupakan suatu gambaran mengenai tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Semakin tinggi nilai IPM suatu daerah menunjukkan bahwa sumberdaya manusia daerah tersebut semakin sejahtera dan berkualitas.

Sumber : BPS 2013

(12)

2

Berdasarkan Gambar 1, secara umum IPM di KTI mengalami peningkatan dari tahun 2009 sampai 2011 dan nilainya masih tergolong kelompok menengah dengan rentang nilai 50-79. Namun, jika dibandingakan dengan nilai IPM nasional, secara umum IPM provinsi-provinsi di KTI masih berada di bawah nilai IPM nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2011, hanya Provinsi Sulawesi Utara (76,54), Kalimantan Tengah (75,06), Kalimantan Timur (76,22) yang memiliki nilai IPM diatas IPM nasional (72,77). Bahkan beberapa provinsinya memiliki nilai indeks yang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai IPM provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini menunjukkan bahwa masih terjadinya kesenjangan antara KBI dan KTI.

Kesejahteraan masyarakat tidak hanya dilihat dari tinggi atau rendahnya nilai IPM tetapi dapat juga dilihat dari tingkat kemiskinan. Masalah kemiskinan merupakan masalah yang umumnya terjadi di Negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia masih terhitung tinggi dengan presentase 12,49 persen pada tahun 2011 (lihat Tabel 1). Bahkan tingkat kemiskinan provinsi-provinsi di Indonesia juga terhitung tinggi dengan presentase diatas tingkat kemiskinan Indonesia, khususya beberapa provinsi yang terletak di wilayah KTI. Provinsi Papua merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan paling tinggi diantara seluruh provinsi di Indonesia dengan nilai 31,98 persen.

Tabel 1 Presentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2011 (persen)

Provinsi

Sumatera Barat 9,04 Kalimantan Barat 8,60

Riau 8,47 Kalimantan Tengah 6,56

Jambi 8,65 Kalimantan selatan 5,29

Sumatera Selatan 14,24 Kalimantan Timur 6,77

Bengkulu 17,50 Sulawesi Utara 8,51

Lampung 16,93 Sulawesi Tengah 15,83

Bangka Belitung 5,75 Sulawesi Selatan 10,29

Kepulauan Riau 7,40 Sulawesi Tenggara 14,56

DKI Jakarta 3,75 Gorontalo 18,75

Jawa Barat 10,65 Sulawesi Barat 13,89

Jawa Tengah 15,76 Maluku 23,00

DI Yogyakarta 16,08 Maluku Utara 9,18

Jawa Timur 14,23 Papua Barat 31,92

Banten 6,32 Papua 31,98

Bali 4,20 Indonesia 12,49

(13)

3 Rendahnya nilai IPM dan masih tingginya persentase penduduk miskin di KTI menunjukkan pembangunan yang tidak merata di wilayah Indonesia. Hal ini mencerminkan belum optimalnya pelaksanaan otonomi daerah yang sudah dilaksanakan selama lebih dari satu dekade. Kebijakan otonomi daerah mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 2001 dengan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya secara mandiri demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Salah satu tujuan dari diterapkannya kebijakan otonomi daerah adalah mengurangi kesenjangan yang terjadi di daerah-daerah. Namun saat ini kesenjangan antar daerah masih tejadi khususnya pada wilayah KBI dan KTI.

Pengelolaan daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang selanjutnya disebut dengan Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) merupakan peran pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerahnya melalui pengembangan usaha. TKED yang baik diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi di suatu daerah sehingga dapat menarik banyak investor khususnya swasta untuk menanamkan modal di daerah. Investasi swasta merupakan penggerak perekonomian yang sangat penting. Dengan investasi swasta yang tumbuh, lapangan pekerjaan dapat berkembang dan kemiskinan dapat dikurangi secara berkelanjutan (KPPOD 2011). Oleh karena itu, untuk dapat menarik dan mempertahankan investasi, dibutuhkan iklim usaha yang baik.

Menurut Sen dalam Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai tujuan akhir, pembangunan haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas kehidupan yang kita jalani dan kebebasan yang kita nikmati. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tujuan akhir dari pembangunan adalah kesejahteraan masyarakat dimana tingkat kemiskinan dapat menurun dan IPM meningkat. Hal ini tentu saja harus didukung oleh peningkatan faktor ekonomi lainnya yaitu investasi swasta yang mana dapat ditingkatkan dengan melakukan TKED yang baik. Oleh karena itu, perlu dikaji apakah TKED yang dilakukan oleh pemerintah daerah sudah secara efektif mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan IPM di KTI.

Perumusan Masalah

Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah telah diberikan kewenangan untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Otonomi daerah yang mulai diterapkan di Indonesia selama lebih dari satu dekade tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara mengatasi kesenjangan pembangunan yang terjadi antar daerah. Pemerintah daerah memiliki hak untuk mengembangkan potensi daerahnya kearah pembangunan yang berkelanjutan.

(14)

4

Selain itu, kemiskinan tinggi dan pembangunan manusia yang rendah masih menjadi masalah yang terjadi di daerah KTI.

Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah diharapkan dapat digunakan untuk membangun perekonomian daerahnya. Dengan wewenang tersebut, pemerintah daerah dapat mengelola sumberdaya daerahnya, salah satunya dengan melakukan TKED. TKED merupakan suatu upaya pemerintah daerah untuk menciptakan iklim investasi yang baik. Sehingga melalui TKED ini pemerintah daerah dapat mengembangkan dan memajukan usaha-usaha di daerah serta menarik para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Melalui peningkatan investasi ini, TKED selanjutnya dapat menanggulangi masalah kemiskinan dan meningkatkan nilai IPM daerah.

Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang dapat diajukan adalah:

1. Bagaimana kondisi TKED, IPM dan tingkat kemiskinan di KTI pada tahun 2011

2. Bagaimana pengaruh TKED dan faktor lainnya terhadap tingkat kemiskinan dan IPM di KTI tahun 2011.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menawarkan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi, yaitu :

1. Mendeskripsikan kondisi TKED, IPM dan tingkat kemiskinan di KTI pada tahun 2011

2. Menganalisis pengaruh TKED dan faktor lainnya terhadap tingkat kemiskinan dan IPM di KTI tahun 2011.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain :

1. Sebagai bahan pembelajaran dan sarana untuk menambah pengetahuan bagi penulis

2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak terkait dalam perumusan dan implementasi kebijakan dalam pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan di kawasan timur Indonesia.

(15)

5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang terdiri dari sembilan sub indeks terhadap tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia di KTI. Selain itu juga membahas faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan dan IPM selain dari sembilan sub indeks TKED seperti PDRB per Kapita, belanja pendidikan dan kesehatan daerah. Penelitian ini hanya meneliti pengaruh tersebut di 101 kabupaten/kota yang berasal dari 12 Provinsi di KTI pada tahun 2011 yang sebelumnya telah dilakukan survei oleh KPPOD (Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah).

Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diduga variabel sub-indeks TKED memiliki pengaruh yang positif terhadap IPM dan memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di KTI.

2. Diduga variabel PDRB per kapita memiliki pengaruh positif terhadap IPM dan negatif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di KTI.

3. Diduga realisasi belanja pendidikan dan kesehatan memiliki pengaruh yang positif terhadap IPM dan negatif terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di KTI.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori Otonomi Daerah

(16)

6

Tata Kelola Ekonomi Daerah

Terdapat dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi yang berasal dari pemodalan swasta.

Sumber: KPPOD 2007

Gambar 2 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah

Faktor penggerak produktivitas daerah yang terbentuk pada suatu daerah merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Hal ini terlihat pada Gambar 2. Kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat investasi tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Berdasarkan hipotesa ini, keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting (KPPOD 2007).

Konsep tata kelola ekonomi daerah menyoroti sejumlah kebijakan daerah terkait dunia usaha di kabupaten/kota Indonesia. Namun kebijakan terkait dunia usaha yang dihadapi pelaku usaha sehari-hari di daerah tidak hanya dibuat oleh pemda. Didalam interaksinya terdapat kebijakan pusat yang berlaku di daerah, pihak legislatif daerah, dan pihak eksekutif daerah. Interaksi diantara ketiganya sedikit-banyak memengaruhi keadaan berusaha di suatu daerah.

(17)

7 Kemiskinan

Kemiskinan absolut merupakan sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian dan rumah. Menurut BPS, penduduk yang dikatakan miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pegeluaran per kapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

Tinggi rendahya tingkat kemiskinan di suatu Negara tergantung pada dua faktor utama, yaitu tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan (Todaro dan Smith 2006). Pendapatan nasional per kapita suatu Negara yang tinggi jika distribusi pendapatannya tidak merata, maka tingkat kemiskinan di Negara tersebut akan tetap tinggi. Demikian pula sebaliknya, semerata apapun distribusi pendapatan di suatu Negara, jika tingkat pendapatan nasional rata-ratanya rendah, maka kemiskinan juga akan semakin meluas.

Gambar 3 Lingkaran Perangkap Kemiskinan Kekayaan alam kurang dikembangkan

Pembentukan modal rendah

Kekurangan modal Masyarakat masih terbelakang

Tabungan rendah

Produktivitas Rendah

(18)

8

Kemiskinan seringkali dipandang sebagai suatu lingkaran setan (the vicious

circle of poverty) atau dikenal sebagai perangkap kemiskinan yaitu serangkaian

kekuatan yang saling memengaruhi secara sedemikian rupa sehingga menimbulkan keadaan dimana suatu negara akan tetap mengalami banyak kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi (Sukirno 2010). Meier dan Balwin dalam Sukirno mengemukakan bahwa lingkaran perangkap kemiskinan ini timbul dari hubungan saling memengaruhi antara keadaan masyarakat yang masih terbelakang dan tradisional dengan kekayaan alam yang belum dikembangkan. Dimana kekayaan sumberdaya alam tanpa pengolahan yang efektif dari sumberdaya manusianya akan menimbulkan produktivitas yang rendah dan berdampak pada pendapatan rill yang rendah. Pendapatan rendah secara langsung memengaruhi tingkat modal rendah dan akan menyebabkan suatu daerah kekurangan modal sehingga masyarakat tetap dalam keadaan terbelakang.

Pembangunan Manusia

Pembangunan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pembangunan manusia. Pembangunan manusia dapat diukur melalui nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM mencoba untuk menilai semua Negara dari skala 0 (tingkat pembangunan manusia yang paling rendah) hingga 1 (tingkat pembangunan manusia yang tertinggi) berdasarkan 3 tujuan atau produk akhir pembangunan. Pertama, masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup. Kedua, pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa secara terimbang dan rata-rata tahun bersekolah. Ketiga, standar kehidupan (standard of living) yang diukur dengan pendapatan rill per kapita, disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity) dari mata uang setiap Negara untuk mencerminkan biaya hidup dan untuk memenuhi asumsi utilitas marginal yang semakin menurun dari pendapatan.

Hubungan Tata Kelola Ekonomi dengan Pembangunan Manusia

Tata kelola ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dilakukan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui jalur investasi. Walaupun begitu, tujuan akhirnya tetap kesejahteraan masyarakat dalam hal ini manusianya. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan manusia secara empiris terbukti tidak bersifat otomatis. Artinya, banyak negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat tanpa diikuti oleh pembangunan manusia yang seimbang. Sebaliknya, banyak pula negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang sedang tetapi terbukti dapat meningkatkan kinerja pembangunan manusia secara mengesankan. Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana utama bagi pembangunan manusia terutama pertumbuhan ekonomi yang merata secara sektoral dan kondusif terhadap penciptaan lapangan kerja.

(19)

9 pengeluaran rumah tangga. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah pengeluaran rumah tangga dimana penduduk miskin hanya memiliki pengeluaran yang kecil (Soebono, 2005).

Penelitian Terdahulu

Tombolotutu (2013) menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah dan keuangan daerah terhadap kinerja perekonomian daerah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini menggunakan OLS untuk menganalisis modelnya dan hasil analisis menunjukkan bahwa untuk meningkatkan perekonomian daerah (peningkatan PDRB per kapita, pengurangan pengangguran, pengurangan penduduk miskin) dapat dilakukan dengan tata kelola yang baik, yaitu : dengan kondisi lampu jalan yang lebih baik di sekitar tempat usaha, lama perbaikan listrik yang lebih cepat, lama perbaikan PDAM yang lebih cepat, program pengembangan usaha swasta (pelatihan pengajuan kredit yang dilakukan oleh program pengembangan usaha swasta, dan tingkat manfaat bagi dunia usaha).

Rusdarti dan Sebayang (2013) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah dengan menggunakan Ordinary Least

Square (OLS). Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa PDRB berpengaruh

negatif terhadap persentase jumlah penduduk miskin, sedangkan pengangguran tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin di masing-masing kabupaten/kota Jawa Tengah. Variabel belanja publik bernilai positif dan signifikan secara statistik. Hal ini disebabkan masih dominannya belanja operasional pemerintahan dengan orientasi belanja pegawai yang semakin tinggi menyebabkan rendahnya prioritas pada pelayanan publik, sehingga belanja publik tidak mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Belanja publik yang digunakan dalam penelitia ini termasuk belanja untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Sittha (2012) menganalisis hubungan tata kelola pemerintah dengan penanggulangan kemiskinan di Thailand dengan menggunakan analisis korelasi Pearson. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara keduanya yang artinya semakin baik tata kelola yang dilakukan pemerintah, maka dapat mengurangi kemiskinan. Selain itu, hasil analisis dengan korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Artinya pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup untuk menanggulangi masalah kemiskinan, tetapi perlu peran pemerintah dalam melakukan tata kelola ekonomi di daerah. Tata kelola yang baik akan memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan ketika pertumbuhan bersifat pro-poor.

(20)

10

terhadap IPM. GNP dan total cadangan berpengaruh positif, sedangkan variabel inflasi dan remitansi berpengaruh negatif terhadap IPM.

Ginting et al (2008) meneliti tentang pembangunan manusia di Indonesia dan faktor-faktor yang memengruhinya dengan menggunakan metode GLS (Generelize Least Square). Data yang digunakan merupakan data time series pada tahun 1996, 1999, 2002, 2004, 2005 dan 2006 dan data cross section pada 26 provinsi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk makanan berpengaruh negatif, sedangkan pengeluaran rumah tangga untuk bukan makanan berpengaruh positif. Hal ini sesuai dengan Hukum Engle yang meyatakan bahwa semakin sejahtera suatu rumah tangga/masyarakat maka semakin kecil proporsi pengeluaran konsumsi untuk makanan. Sementara itu, rasio penduduk miskin berpengaruh negatif, dan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan berpengaruh postif terhadap pembangunan manusia. Variabel pengeluaran pemerintah untuk pendidikan merupakan variabel yang pengaruhnya terbesar terhadap pembangunan manusia.

Kerangka Pemikiran

(21)

11

Gambar 4 Kerangka Pemikiran

METODE

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data tersebut merupakan data cross section tahun 2011 indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang diperoleh dari Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita, tingkat kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat serta realisasi Anggaran Pendapatan Belanja

Sembilan subsektor TKED : 1. Akses Lahan

2. Infrastruktur Daerah 3. Perizinan Usaha 4. Peraturan di Daerah 5. Biaya Transaksi

6. Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota

7. Interaksi Pemda dan Pelaku Usaha 8. Program Pembangunan Usaha

Swasta

9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik Analisis

Deskriptif

Analisis Regresi Linier Berganda Pengelolaan oleh pemerintah

daerah melalui Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)

Otonomi Daerah UU No. 32 Tahun 2004 Kawasan Timur Indonesia

Tingkat Kemiskinan Indeks Pembangunan Manusia

(22)

12

Daerah (APBD) untuk Pendidikan dan kesehatan yang diperoleh dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK).

Metode Analisis Data

Analisis Deskriptif

Metode deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu data sehingga memberikan informasi yang berguna. Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk mengintrepertasikan data kuantitatif secara sederhana. Analisis deskriptif ini mengkaji secara eksploratif mengenai gambaran tata kelola ekonomi daerah, tingkat kemiskinan dan indeks pembangunan manusia dengan bantuan tabel dan grafik.

Analisis Regresi Berganda

Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan tujuan untuk menganalisis keterkaitan hubungan yang signifikan antara delapan indikator tata kelola ekonomi daerah dengan tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia kabupaten dan kota di Kawasan Timur Indonesia. Estimasi koefisien regresi dilakukan melalui metode Ordinary Least Square (OLS). Salah satu regresi dalam OLS adalah regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda menunjukkan hubungan sebab akibat antara variabel X (variabel bebas) yang merupakan penyebab dan variabel Y (variabel tak bebas) yang merupakan akibat. Analisis linear berganda berfokus pada ketergantungan satu variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel penjelas (variabel bebas).

Model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia adalah sebagai berikut:

KMSi= α0i + α1lnALi + α2lnIDi + α3lnPUi + α4lnPDi+ α5lnBTi + α6lnKIi + α7lnIPi +

α8lnPPi + α9lnKPi + α10 lnPDRBi + α11BPi + α12BKi + ei

Sedangkan model utama yang digunakan untuk menganalisis pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap IPM adalah sebagai berikut:

lnIPM = β0i + β1lnALi + β2lnIDi + β3lnPUi + β4lnPDi + β5lnBTi + β6lnKIi +

β7lnIPi+ β8lnPPi+ β9lnKPi+β10 lnPDRBi+ β11BPi + β12BKi + ei

Keterangan :

KMSi : Presentase penduduk miskin kabupaten/kota di KTI (persen)

(23)

13 ALi : Nilai sub indeks akses lahan kabupaten/kota di wilayah KTI

IDi : Nilai sub indeks infrastruktur daerah kabupaten/kota di wilayah KTI

PUi : Nilai sub indeks perizinan usaha kabupaten/kota di wilayah KTI

PDi : Nilai sub indeks peraturan daerah kabupaten/kota di wilayah KTI

BTi : Nilai sub indeks biaya transaksi kabupaten/kota di wilayah KTI

KIi : Nilai sub indeks kapasitas dan integritas bupati/walikota kabupaten/kota

di wilayah KTI

IPi : Nilai sub indeks interaksi pemda dengan pelaku usaha kabupaten/kota di

wilayah KTI

PPi : Nilai sub indeks program pembangunan usaha swasta kabupaten/kota di

wilayah KTI

KPi : Nilai sub indeks keamanan dan penyelesaian koflik kabupaten/kota di

wilayah KTI

PDRBi : Produk domestik regional bruto per kapita kabupaten/kota di KTI

(rupiah)

BPi : Persentase realisasi belanja pendidikan terhadap belanja total

kabupaten/kota di KTI (persen)

BKi : Persentase realisasi belanja kesehatan terhadap belanja total

kabupaten/kota di KTI (persen)

Model tersebut selanjutnya akan dianalisis menggunakan kriteria-kriteria uji statistik dan uji asumsi ekonometrik agar memenuhi persyaratan metode analisis OLS dan terbebas dari masalah-masalah multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.

Pengujian Asumsi

Uji Multikolinearitas

(24)

14

karena masalah estimator yang BLUE tidak memerlukan asumsi tidak adanya korelasi antar variabel independen. Multikolinieritas hanya menyebabkan kesulitan dalam memperoleh estimator dengan standard eror yang kecil. Masalah multikolinieritas juga timbul karena hanya memiliki jumlah observasi yang sedikit. Adapun cara kedua yaitu melakukan perbaikan model dengan cara :

1. Menghilangkan variabel independen 2. Transformasi variabel

3. Penambahan data Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi ada atau tidaknya serial korelasi dari error term yang terdapat dalam suatu model regresi. Gejala serial korelasi dalam konteks time series terjadi bila error term pada suatu periode tertentu berpengaruh kepada error term periode waktu berikutnya, atau dengan kata lain jika error term dari periode waktu berlainan saling berkorelasi. Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk menguji serial korelasi ini yaitu dengan menggunakan uji Durbin-Watson atau dengan uji Breusch Godfrey LM Test. Beberapa uji stasistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson

(DW) atau uji dengan Run Test. Uji DW hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation), dan mensyaratkan adanya intercept

(konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lag di antara variabel independen.

Pengujian Durbin Watson dilakukan dengan melakukan pengujian Durbin-Watson. Hipotesis dalam uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut:

H0 : tidak ada korelasi orde pertama

H1 : ada autokorelasi

Tabel 2 Batas Kritis pada Pengujian Durbin-Watson Nilai DW berdasarkan estimasi model

DL< DW-stat< dU Tidak ada kesimpulan

0 < DW-stat< dL H0 ditolak, terdapat serial korelasi

positif Sumber : Damonar Gujarati, Dasar-dasar Ekonometrik Heteroskedastisitas

(25)

15 1. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang

minimum atau estimator tidak efisien.

2. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi menjadi tidak efisien. 3. Tidak dapat diterapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan dengan

menggunakan formula yang berkaitan dengan nilai varians.

Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji ARCH (Auto Regression Conditional Heteroskedasticity), yang dilakukan pertama kali pada uji ini adalah mendapatkan residual (ut) dari regresi OLS, lalu regresikan nilai absolut dari ut (|ut|) terhadap variabel bebas yang diperkirakan mempunyai hubungan yang erat. Uji ini menggunakan nilai probabilitas dari |ut|, jika hasil regresi siginifikan berarti terdapat masalah heteroskedastisitas.

Hipotesis : H0: ρ = 0

H1: ρ ≠ 0

Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heteroskedastisitas adalah sebagai berikut :

1. Probability |ut|<α, maka tolak H0

2. Probability |ut| > α, maka terima H0

Keterangan:

|ut| : Residual (galat)

Jika H0 ditolak maka terjadi heteroskedastisitas dalam model, sebaliknya

jika H0 diterima maka tidak ada heteroskedastisitas dalam model. Solusi dari

masalah heteroskedastisitas adalah mencari transformasi model asal sehingga model yang baru akan memiliki galat dengan varians yang konstan.

GAMBARAN UMUM

Kawasan Timur Indonesia

Menurut Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2002 mengatakan bahwa KTI meliputi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Kawasan Timur Indonesia terdiri dari beberapa pulau dan kepulauan dengan luas wilayah daratan 1.293.215 km2 atau sebesar 67,91 persen dari seluruh wilayah Indonesia. Provinsi Papua mempunyai luas wilayah daratan paling besar (421.981 km2) atau 32 persen dari luas KTI, sementara Provinsi Gorontalo memiliki luas daratan paling kecil (12.215 km2) atau 0.9 persen dari luas wilayah KTI. Wilayah Negara Indonesia mempunyai daerah yang berbatasan dengan 11 negara lain yang sebagian besar terletak di KTI.

(26)

16

lautan mempunyai potensi yang sangat besar, namun pengelolaannya belum optimal. Diperkirakan 81,2 persen dari total cadangan bahan tambang Indonesia terdapat di KTI. Demikian juga dengan sumberdaya alam yang terbarukan seperti kehutanan, perikanan, dan obyek wisata laut.

Pengeluaran pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan sejumlah dana yang dikeluarkan pemerintah guna membantu pembangunan suatu daerah. Pengeluaran pemerintah ini merupakan komponen penyusun pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah menurut fungsi terbagi menjadi sembilan, diantaranya adalah pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, ekonomi, ketertiban dan keamanan, lingkungan hidup, pariwisata dan budaya, pelayanan umum, pendidikan, perlindungan sosial, serta perumahan dan fasilitas umum. Pengeluaran pemerintah di semua provinsi di KTI yang tertinggi adalah untuk pelayanan umum. Total belanja pemerintah yang tertinggi adalah di Papua yaitu dengan nilai 6.290.376 juta rupiah.

Tabel 3 Realisasi Belanja Pemerintah Tahun 2011 (juta rupiah)

Pro

Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan 2011

(27)

17

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 2011

Gambar 5 Realisasi Belanja Pemerintah untuk Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2011 (juta rupiah)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Tata Kelola Ekonomi Daerah Kawasan Timur Indonesia Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) kabupaten/kota yang terletak di Kawasan Timur Indonesia (KTI) memiliki keragaman nilai. Masing - masing kabupaten/kota menempati peringkat tersendiri yang diurutkan berdasarkan tinggi rendahnya indeks TKED yang diperoleh dari pehitungan sembilan sub-indeks. Sub indeks tersebut mencangkup akses lahan, infrastruktur daerah, perizinan usaha, peraturan di daerah, biaya transaksi, kapasitas dan integritas bupati/walikota, interaksi pemda dan pelaku usaha, program pembangunan usaha swasta, serta keamanan dan penyelesaian konflik. Nilai sub indeks diperoleh dari angka normalisasi hasil survei yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada September 2010 - Januari 2011.

Kabupaten Seruyan yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah memliki nilai tertinggi dalam sub indeks akses lahan dengan nilai indeks 92,3. Artinya bahwa Kabupaten Seruyan memiliki kemudahan dalam memperoleh lahan usaha. Kemudahan mengakses lahan dapat dilihat dari pendekatan lamanya mengurus sertifikat tanah. Rata-rata waktu pengurusan tanah di Kabupaten Seruyan adalah 2,5 minggu. Sedangkan, daerah yang memiliki nilai sub indeks akses lahan terendah adalah Kabupaten Kepulauan Yapen yang terletak di Provinsi Papua dengan nilai 42,4. Kepulauan Yapen cenderung lebih lama dalam mengurus sertifikat tanah yaitu membutuhkan waktu 8 minggu. Selain itu kemudahan dalam memperoleh lahan di Kabupaten Seruyan sebesar 84 persen. Disisi lain Kabupaten Kepulauan Yapen kemudahan mendapatkan lahannya hanya 25,5 persen.

50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 350,000 400,000 450,000 500,000

(28)

18

Pendekatan lainnya untuk menilai kemudahan mengakses lahan adalah adanya Pendekatan lainnya untuk menilai kemudahan mengakses lahan adalah adanya penggusuran lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebesar 100 persen tidak pernah terjadi penggusuran lahan di Kabupaten Seruyan. Sedangkan di Kepulauan Yapen 25 persen mungkin terjadinya penggusuran lahan.

Sub indeks infrastruktur daerah memiliki bobot yang paling tinggi dalam membangun nilai indeks TKED yaitu sebesar 37,9 persen. Daerah yang memiliki nilai infrastruktur daerah yang paling tinggi adalah Kabupaten Pulang Pisau (Provinsi Kalimantan Tengah) dengan nilai 87,7. Angka ini menunjukkan bahwa Kabupaten Pulang Pisau memiliki kualitas infrastruktur yang baik dilihat dari aspek kondisi jalan, lampu penerangan jalan, air PDAM, listrik PLN dan telepon. Berbeda dengan Kabupaten Seram Bagian Timur (Maluku) yang merupakan daerah yang nilai infrastruktur daeranya terendah yaitu 30,5. Jika dilihat dari kondisi jalan, kondisi jalan di Kabupaten Pulang Pisau 100 persen baik sedangkan di Kabupaten Seram Bagian Timur kondisi jalannya hanya 26 persen baik. Infrastruktur lampu jalan Kabupaten Pulang Pisau 71,42 persen dalam keadaan baik dan hanya 2 persen kondisi lampu jalan di Kabupaten Seram Bagian Timur dalam kondisi baik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur di Kabupaten Seram Bagian Timur masih buruk, termasuk infrastruktur lainnya seperti PDAM, listrik dan telepon.

Penilaian sub indeks infrastruktur daerah juga dibangun dengan pendekatan lamanya perbaikan infrastruktur. Kabupten Pulang Pisau memerlukan waktu sekitar 22 hari untuk perbaikan jalan dan 11 hari lamanya untuk perbaikan lampu jalan. Kabupaten Pulang Pisau dalam hal ini memerlukan waktu yang relatif sedikit untuk perbaikan infrastruktur jalan dan lampu jalan dibandingkan dengan Kabupaten Seram Bagian Timur. Waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki jalan di Kabupaten Seram Bagian Timur adalah 325 hari dan lama perbaikan lampu jalan adalah 184 hari.

Kabupaten Gunung Mas 100 persen perusahaannya sudah memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan merupakan kabupaten yang memiliki nilai sub indeks perizinan usaha terendah dengan nilai 31,1. Sedangkan, perusahan yang memiliki TDP di Kabupaten Tapin sebesar 95,8 persen. Walaupun begitu, Kabupaten Tapin (Kalimantan Selatan) merupakan daerah yang menempati posisi tertinggi dengan nilai 82. Hal ini dikarena kemudahan dalam perizinan usaha tidak hanya dinilai dari seberapa banyak perusahaan yang memiliki TDP di daerah tersebut. Faktor lain yang dapat dinilai adalah lamanya waktu bagi perusahaan untuk mengurus TDP. Perusahaan di Kabupaten Gunung Mas rata-rata waktu pengurusan TDP adalah 10,3 hari kerja. Berbeda dengan Kabupaten Tapin yang hanya membutuhkan waktu rata-rata 6 hari kerja untuk perusahaan mendapatkan TDP. Padahal, standar waktu yang ditetapkan oleh Kementrian Perdagangan untuk mengurus TDP hanya 3 hari. Ditinjau dari segi biaya, 66,7 persen pelaku usaha di Kabupaten Gunung Mas menganggap biaya untuk mengurus TDP tidak memberatkan dan 92,3 persen pelaku usaha di Kabupaten Tapin menilai biaya tidak memberatkan.

(29)

19 peraturan daerah tidak dinilai berdasarkan kuisioner atau persepsi pelaku usaha. Tetapi lebih secara objektif dengan kriteria-kriteria tertentu, yaitu dilihat dari aspek yuridis, substansi dan prinsip. Penilaian secara yuridis berarti melihat apakah peraturan di daerah menggunakan acuan yang terbaru atau tidak. Aspek substansi menilai kesesuaian tujuan dengan isi peraturan, kejelasan objek dan subjek, kejelasan kewajiban dan hak, kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur. Sedangkan, dari aspek prinsip menilai apakah peraturan daerah sudah mengandung keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip perdagangan domestik yang bebas, serta prinsip persaingan sehat (KPPOD 2011). Sub indeks peraturan daerah memiliki bobot terendah dalam pembentukan nilai indeks TKED.

Sumber: KPPOD 2011

Gambar 6 Kabupaten/Kota dengan Nilai Sub Indeks Terkecil dan Terbesar

Secara umum, kabupaten/kota di KTI memiliki nilai yang relatif tinggi dalam sub indeks biaya transaksi. Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT adalah daerah dengan nilai tertinggi dalam sub indeks biaya transaksi (100) dan nilai terendah (52,3) dimiliki oleh Kabupaten Katingan. Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan di Kabupaten Katingan adalah 2,27 persen sedangkan di Kabupaten Sumba Barat Daya 100 persen tidak ada hambatan. Tingkat hambatan biaya transaksi di Sumba Barat Daya relatif rendah yaitu 100 persen kecil dibandingkan dengan di Kabupaten Katingan yang tingkat hambatannya hanya 97,9 persen kecil.

(30)

20

setuju atas profesionalisme birokrat daerahnya. Disisi lain, hanya 25 persen pelaku usaha yang setuju bahwa Pemerintah Daerah di Kabupaten Katingan yang memahami masalah dunia usaha dan 6,97 persen pelaku usahanya setuju atas profesionalisme birokrat daerah.

Kabupaten Sorong menempati nilai tertinggi pada sub indeks interaksi pemda dan pelaku usaha dengan nilai 77,3. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi komunikasi yang baik antara pemda dan pelaku usaha. Forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha 40,81 persen tersedia di Kabupaten Sorong. Sedangkan di Kabupaten Murung Raya yang memiliki nilai terendah (27,7) dalam sub indeks ini, keberadaan forum komunikasinya hanya 22,44 persen. Berdasarkan opini pelaku usaha di Kabupaten Sorong, tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda sebesar 98,1 persen. Selain itu, dilihat dari tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah, sebanyak 98,03 persen pelaku usaha setuju bahwa pemda mendukung pelaku usaha. Di lain pihak, pelaku usaha di Kabupaten Murung Raya hanya 8.33 persen yang setuju bahwa pemda mendukung pelaku usaha.

Daerah yang memiliki nilai tertinggi dalam sub indeks program pengembangan usaha swasta adalah Kabupaten Flores Timur (NTT) dengan nilai 75,1 dan yang terendah adalah Kabupaten Mamuju dengan nilai 2,7. Sebesar 75, 51 persen pelaku usaha di Kabupaten Sorong memiliki pengetahuan akan keberadaan program pengembangan usaha swasta. Sebaliknya, di Kabupaten Mamuju bahkan tidak ada satupun pelaku usaha yang mengetahui adanya program tersebut. Tingkat partisipasi program pengembangan usaha swasta di Kabupaten Sorong hanya sebesar 2,04 persen, namun itu lebih baik dibandingkan dengan Kabupaten Mamuju yang tingkat partisipasinya sebesar nol persen. Dilihat dari segi manfaat dari program pengembangan usaha swasta, di Kabupaten Sorong 100 persen program ini memberikan manfaat. Sedangkan di Kabupaten Mamuju, manfaatnya hanya 40 persen .

Kabupaten Manggarai, NTT memiliki nilai yang tertinggi dalam sub indeks keamanan dan penyelesaian konflik (92,6) dan Kabupaten Lombok Timur, NTB memiliki nilai yang paling rendah dengan nilai 33,1. Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi di Kabupaten Manggarai 96,15 persen baik menurut persepsi pelaku usaha. Sedangkan di Kabupaten Lombok Timur hanya 48,33 persen baik. Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian konflik terhadap kinerja perusahaan di Kabupaten Sorong sangat kecil, bahkan 98,07 persen tidak menghambat. Sebaliknya, di Kabupaten Lombok Timur masih terdapat hambatan dalam keamanan dan penyelesaian konflik, walaupun hambatannya masih kecil yaitu sebesar 14,03 persen.

(31)

21 Kondisi Kemiskinan dan Pembangunan Manusia di Kawasan Timur

Indonesia Tahun 2011

Kemiskinan adalah salah satu indikator untuk melihat kesejahteraan masyarakat suatu daerah dan merupakan suatu ukuran pertumbuhan ekonomi. Masalah kemiskinan masih terjadi di Indonesia khususnya di wilayah KTI. Secara umum, tingkat kemiskinan di KTI relatif tinggi dengan tingkat diatas kemiskinan nasional. Papua Barat merupakan provinsi yang tingkat kemiskinannya paling tinggi dengan nilai 32,4 persen. Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah daerah dengan tingkat kemiskinan yang tertinggi yaitu mencapai 39,27 persen. Daerah termiskin kedua setelah Lombok Utara adalah Kabupaten Jayawijaya yang terletak di Provinsi Papua. Beberapa daerah lain di wilayah KTI juga memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan hanya beberapa saja yang tingkat kemiskinannya dibawah rata-rata nasional.

Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang tingkat kemiskinannya dibawah kemiskinan nasional, dengan nilai 5,37 persen. Diikuti oleh Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dengan nilai masing-masing 6,64 persen dan 8,67 persen. Selain provinsi dari Pulau Kalimantan, hanya Provinsi Maluku Utara yang tingkat kemiskinannya lebih rendah dari kemiskinan Indonesia. Ditinjau dari lingkup kabupaten/kota, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan merupakan daerah dengan kemiskinan terendah (3,17 persen). Secara umum, tingkat kemiskinan kabupaten/kota yang terletak di Provinsi-provinsi Kalimantan sedah tergolong rendah dengan nilai di bawah tingkat kemiskinan nasional.

Sumber: BPS 2012

Gambar 7 Tingkat Kemiskinan Kawasan Timur Indonesia Tahun 2011

0 5 10 15 20 25 30 35

(32)

22

Disisi yang lain, rata-rata nilai pembangunan manusia yang dicerminkan melalui nilai IPM di wilayah KTI masih tergolong kelompok menengah ke atas dengan rentang nilai 65-80. IPM juga merupakan suatu ukuran kesejahteraan masyarakat. Kota Ambon (Provinsi Maluku) memiliki nilai IPM tertinggi dengan nilai 78,97. Sedangkan daerah dengan nilai IPM terendah adalah Kabupaten Boven Digoel yang terletak di Provinsi Papua dengan nilai 50,64 dan tergolong menengah ke bawah. Jika dilihat berdasarkan provinsi, Kalimantan Tengah merupakan provinsi yang memiliki nilai IPM tertinggi dan nilainya diatas nilai IPM Indonesia dengan nilai 75,06, sedangkan daerah dengan IPM terendah adalah Provinsi Papua dengan nilai 65,36.

Sumber: BPS 2012

Gambar 8 Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan timur Indonesia Tahun 2011

Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Tingkat Kemiskinan di Kawasan Timur Indonesia

Pengujian untuk mengetahui pengaruh variabel sub indeks TKED, PDRB per kapita, belanja pendidikan dan belanja kesehatan terhadap tingkat kemiskinan di KTI dilakukan menggunakan analisis regresi berganda dengan estimasi

Ordinary Least Square (OLS). Data kabupaten/kota yang digunakan dalam model

adalah 101 kabupaten/kota. Model yang digunakan merupakan model terbaik yang telah bebas dari masalah-masalah ekonometrik seperti uji normalitas, multikolinieritas, autokolinieritas dan heteroskedastisitas.

Model ini memiliki galat yang menyebar normal dengan sebaran galat mendekati garis distribusi normal. Selain itu, model juga telah terbebas dari masalah autokolinieritas dilihat dari nilai DW (Durbin Watson) stat berada pada rentang dU<Dw-stat<4-dU. Model ini juga sudah terbebas dari masalah heteroskedastisitas, diuji dengan menggunakan uji ARCH (Auto Regression

Conditional Heteroskedasticity). Hasil uji menunjukkan bahwa prob-F lebih besar

60 62 64 66 68 70 72 74 76 NTB

(33)

23 dari taraf nyata 5 persen yang berarti model terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Model ini sebelumnya diboboti dengan menggunakan estimasi

weighted least square untuk mengatasi adanya masalah heteroskedastisitas.

Hasil analisis regresi menunjukkan nilai R-squared sebesar 0,999808. Artinya 99,98 persen keragaman tingkat kemiskinan kabupaten/kota di KTI dapat dijelaskan oleh 12 variabel independennya, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Hampir semua variabel independen yang dipilih berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan dengan nilai p-value kurang dari taraf nyata 5 persen. Hanya satu variabel yang tidak berpengaruh yaitu sub indeks program pengembangan usaha swasta. Variabel ini tidak berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan karena perannya yang lebih ditujukan untuk pengembangan UMKM, keberadaannya tidak banyak diketahui. Program ini lebih banyak diketahui oleh pengusaha perusahaan besar, sehingga tidak tepat sasaran. Tabel 4 Hasil estimasi output Variabel Kemiskinan

Variabel Koef Prob

Ln Akses Lahan 1,928933 0,0013**

Ln Infrastruktur Daerah -7,967189 0,0000***

Ln Perizinan Usaha -6,194635 0,0000***

Ln Peraturan Daerah 12,31564 0,0000***

Ln Biaya Transaksi 3,818337 0,0000***

Ln Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota -4,263024 0,0000*** Ln Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha 19,14944 0,0000*** Ln Program Pengembangan Usaha Swasta 0,312896 0,2744 Ln Keamanan dan Penyelesaian Konflik -11,60668 0,0000***

Ln PDRB/Kapita -3,694612 0,0000***

Realisasi Belanja Pendidikan -0,377451 0,0000***

Realisasi Belanja Kesehatan 1,144140 0,0000***

Weighted

**) Signifikan pada taraf nyata 5 persen ***) Signifikan pada taraf nyata 1 persen

(34)

24

daerah akan mengurangi kemiskinan sebesar 7,96 persen. Menurut teori, ketersediaan infrastruktur yang mendukung akan membantu proses pengembangan usaha dan dapat membantu mengurangi jumlah penduduk miskin dalam suatu daerah.

Perizinan usaha berpengaruh secara negatif terhadap tingkat kemiskinan di KTI sebesar 6,19. Artinya peningkatan satu persen nilai perizinan usaha akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 6,19 persen. Kemudahan dalam perizinan usaha dalam hal ini perolehan TDP, akan memudahkan pelaku usaha baru untuk membangun usahanya. Sehingga, akan meningkatkan investasi daerah yang kemudian dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan. Variabel peraturan daerah mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan dengan koefisien 12,31. Artinya ketika variabel peraturan daerah mengalami peningkatan satu persen, maka akan meningkatkan kemiskinan sebesar 12,31 persen. Kualitas peraturan daerah dinilai berdasarkan aspek yuridis, substansi dan prinsip. Semakin tinggi nilai dari sub indeks peraturan daerah, maka semakin baik kualitasnya. Penilaian baik disini hanya mencerminkan kualitas peraturan daerah yang tertulis, bukan berarti dalam implementasi peraturannya juga baik. Jika kualitas peraturan daerah sudah dinilai baik, namun belum dilaksanakan secara tepat, maka peraturan daerah tersebut belum tentu dapat mendorong perkembangan usaha yang dapat mengurangi masalah kemiskinan di daerah.

Biaya transaksi memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan. Artinya, tingkat kemiskinan meningkat apabila nilai biaya transaksi mengalami peningkatan. Biaya transaksi yang ditetapkan dan dibayarkan oleh pelaku usaha nantinya akan didistribusikan untuk kepentingan pengembangan usaha di daerah. Sehingga, walaupun biaya transaksinya tinggi dan dianggap memberatkan pelaku usaha, hal tersebut tetap akan membantu mengembangkan usaha dan selanjutnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Berbeda halnya dengan biaya transaksi, variabel kapasitas dan integritas bupati/walikota berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan sebesar 4,26. Setiap peningkatan satu persen nilai kapasitas dan integritas bupati/walikota akan mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 4,26 persen. Profesionalisme dan pengetahuan pemda mengenai dunia usaha akan membantu menciptakan iklim investasi yang baik di daerah. Menurut teori pertumbuhan ekonomi, investasi adalah salah satu faktor yang membangun output daerah. Output daerah selanjutnya dapat membantu menanggulangi masalah kemiskinan.

Variabel interaksi pemda dan pelaku usaha berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan dengan koefisien 19,14. Artinya, ketika nilai interaksi pemda dan pelaku usaha meningkat sebesar satu persen, maka akan meningkatkan kemiskinan sebesar 19,14 persen. Hal ini dikarenakan informasi mengenai masalah dunia usaha yang disampaikan dalam forum yang diadakan oleh pemda tidak sesuai dengan permasalahan yang sebenarnya dihadapi oleh pelaku usaha, sehingga menjadi tidak tepat sasaran. Misalnya, dalam forum yang diadakan, pemda hanya membahas mengenai birokrasi untuk pengurusan usaha yang secara umum sudah diketahui oleh pelaku usaha. Hal penting yang sebaiknya dibahas dalam forum tersebut salah satunya adalah mengenai pentingnya CSR

(Coorporate Social Responsibility) bagi perusahaan. Dimana dengan adanya CSR

(35)

25 Sementara itu, variabel keamanan dan penyelesaian konflik berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di KTI. Artinya melalui peningkatan variabel ini dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Keamanan usaha dari tindak kriminal dapat mengurangi hambatan bagi pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya. Sehingga, dengan pengembangan usaha dapat meningkatkan investasi yang selanjutnya akan menurunkan tingkat kemiskinan di daerah.

Variabel PDRB per kapita berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan dengan nilai koefisien 3,69. Hal ini mendukung teori yang ada dimana setiap peningkatan satu persen PDRB per kapita dapat mengurangi kemiskinan sebesar 3,69 persen. PDB atau dalam hal ini PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian (Mankiw 2006). Semakin tinggi PDRB suatu daerah maka dianggap semakin baik pula pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi yang cepat dapat membantu mengurangi tingkat kemiskinan. Belanja pendidikan juga mempunyai pengaruh yang negatif terhadap tingkat kemiskinan di KTI. Fenomena ini juga sesuai teori yang ada dimana belanja pendidikan merupakan pengeluaran pemerintah untuk mendukung pembangunan ekonomi melalui pembiayaan fasilitas-fasilitas pendidikan. Fasilitas yang dibangun tersebut, diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia sehingga masalah kemiskinan dapat ditanggulangi. Berbeda dengan belanja pendidikan, variabel belanja kesehatan berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di KTI. Nilai belanja kesehatan yang terlalu kecil proporsinya dan peruntukkan belanja kesehatan yang dikeluarkan pemerintah belum terfokus pada masyarakat miskin. Sehingga akan menyebabkan masalah kemiskinan tidak dapat dikurangi malalui pembiayaan kesehatan di KTI

Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kawasan Timur Indonesia

Pengujian untuk melihat pengaruh sub indeks TKED, PDRB per kapita, belanja pendidikan dan belanja kesehatan terhadap IPM juga menggunakan analisis regresi berganda. Perlakuan yang sama seperti model pada variabel kemiskinan juga dilakukan pada model IPM. Model yang terpilih merupakan model terbaik yang sudah terlepas dari masalah-masalah asumsi klasik. Nilai

R-squared yang dihasilkan adalah sebesar 0,9986 yang artinya sebesar 99,86 persen

nilai keragaman IPM dapat dijelaskan oleh variabel independennya. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua variabel independen mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IPM di KTI kecuali variabel program pengembangan usaha swasta. Artinya IPM di KTI tidak ditentukan oleh adanya program pengembangan swasta.

(36)

26

Variabel infrastruktur daerah juga memiliki pengaruh yang negatif terhadap IPM di KTI. Infrastruktur daerah yang dinilai adalah jalan, penerangan jalan, listrik, air PDAM dan telepon, sedangkan infrastuktur untuk sarana-sarana seperti pendidikan, kesehatan dan penunjang untuk meningktakan IPM masih kurang. Perizinan usaha mempunyai pengaruh positif terhadap IPM sebesar 0,16. Artinya bahwa peningkatan nilai perizinan usaha sebesar satu persen, akan meningkatkan IPM sebesar 0,16 persen, asumsi cateris paribus. Kemudahan dalam perizinan usaha akan mendorong pelaku usaha untuk membangun usaha baru sehingga nilai investasi daerah akan meningkat. Investasi yang tinggi akan membantu meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Semakin banyak masyarakat yang bekerja, daya beli masyarakat akan meningkat dan masyarakat menjadi lebih sejahtera. Melalui daya beli yang tinggi inilah IPM dapat meningkat.

Tabel 5 Hasil Estimasi Output Variabel IPM

Variabel Coef Prob

Ln Akses Lahan -0,041821 0,0000**

Ln Infrastruktur Daerah -0,025598 0,0000**

Ln Perizinan Usaha 0,167932 0,0000**

Ln Peraturan Daerah 0,038394 0,0000**

Ln Biaya Transaksi -0,136409 0,0000**

Ln Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota 0,032824 0,0000** Ln Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha -0,087863 0,0000** Ln Program Pengembangan Usaha Swasta 0,015827 0,2744 Ln Keamanan dan Penyelesaian Konflik 0,087963 0,0000**

Ln PDRB/Kapita 0,023598 0,0000**

Realisasi Belanja Pendidikan 0,000342 0,0007**

Realisasi Belanja Kesehatan -0,002838 0,0000**

Weighted

**) Signifikan pada taraf nyata 5 persen ***) Signifikan pada taraf nyata 1 persen

(37)

27 kapasitas dan integritas bupati/walikota berpengaruh positif terhadap IPM. Hal ini mendukung teori bahwa pemda yang menguasai dunia usaha akan membantu memajukan usaha-usaha yang ada di daerahnya.

Variabel interaksi pemda dengan pelaku usaha mempunyai pengaruh yang negatif terhadap IPM dengan koefisien 0,08. Artinya bahwa dengan peningkatan nilai interaksi pemda dengan pelaku usaha satu persen, akan menurunkan nilai IPM sebesar 0,08 persen. Interaksi pemda dengan pelaku usaha dilakukan dengan mengadakan forum komunikasi untuk membahas hal-hal terkait dunia usaha. Namun, hal yang dibahas dalam forum ini hanya terkait birokrasi mengurus usaha saja. Perihal penting yang juga perlu dibahas dalam forum komunikasi ini adalah bagaimana pelaku usaha akan membangun CSR dalam perusahaannya. Dengan adanya CSR dapat membantu meningkatkan nilai IPM melalui program-program yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, hal penting lainnya yang perlu dibahas di dalam forum adalah yang terkait dengan peningkatan kapasitas pelaku usaha melalui peningkatan keterampilan pelaku usaha. Sedangkan keamanan dan penyelesaian konflik mempunyai penaruh yang positif terhadap IPM di KTI sebesar 0,08 yang berarti ketika nilai keamanan dan penyelesaian konflik naik sebesar satu persen, maka akan meningkatkan nilai IPM sebesar 0,08 persen. Keamanan dalam melakukan usaha akan membantu menciptakan iklim investasi yang baik serta persaingan yang aman, nyaman dan sehat. Hal ini dapat menarik banyak investasi ke daerah sehingga pendapatan daerah akan meningkat yang selanjutnya akan meningkatan nilai IPM.

(38)

28

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kondisi TKED di KTI masih terdapat ketimpangan jika dilihat dari nilai-nilai sub indeks yang terbentuk. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai-nilai sub indeks yang dimiliki kabupaten/kota tertinggi dan terendah memiliki rentang nilai yang cukup jauh, seperti dalam sub indeks program pengembangan usaha swasta. Selain itu, kabupaten/kota di KTI masih menempati peringkat 20 terbawah se-nasional. Kemiskinan juga masih menjadi masalah di KTI. Tingkat kemiskinan kabupaten/kota di KTI masih jauh berada diatas kemiskinan nasional. Jika dibandingkan dengan wilayah KBI, kemiskinan di KTI nilainya masih tertinggal. Hal yang sama juga terjadi pada IPM. Secara relatif IPM di KTI nilainya masih rendah walaupun rata-rata sudah tergolog menengah.

Semua sub indeks TKED berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan, kecuali program pengembangan usaha swasta. Selain itu PDRB per kapita, belanja pendidikan, belanja kesehatan juga berpengaruh signikan terhadap tingkat kemiskinan. Faktor yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan adalah keamanan dan penyelesaian konflik, infrastruktur daerah, perizinan usaha, kapasitas dan integritas bupati/walikota, PDRB per kapita dan realisasi belanja pendidikan. Hal yang sama juga terdapat pada variabel IPM dimana semua variabel independen yang dianalisis mempunya pengaruh yang signifikan terhadap IPM di KTI, kecuali program pengembangan usaha. Faktor yang secara signifikan mampu meningkatkan nilai IPM di KTI adalah perizinan usaha, keamanan dan penyelesaian konflik, peraturan daerah, kapasitas dan integritas bupati/walikota, PDRB per kapita serta belanja pendidikan. Belanja pemerintah dalam sektor pendidikan pengaruhnya masih kecil terhadap IPM. Hal ini mengindikasikan masih belum optimalnya peran belanja pemerintah di sektor pendidikan.

Saran

Penanggulangan masalah kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan kinerja beberapa sub indeks TKED. Diantaranya adalah dengan meningkatkan kualitas infrastruktur daerah (jalan, lampu jalan, PDAM dan telepon), memudahkan pelaku usaha dalam memperoleh perizinan usaha, meningkatkan kapasitas dan integritas bupati/walikota, serta meningkatkan keamanan dan mempercepat penyelesaian konflik. Selain itu, perlu juga untuk meningkatkan PDRB per kapita dan belanja pendidikan dengan cara menyediakan sarana dan prasarana pendidikan guna mengurangi tingkat kemiskinan daerah di KTI.

(39)

29 Kualitas pelayanan pendidikan juga harus ditingkatkan melalui peningkatan kemampuan tenaga pendidik. Walaupun belanja kesehatan tidak dapat meningkatkan IPM dan menurunkan tingkat kemiskinan di KTI bukan berarti hal ini diabaikan. Artinya belanja kesehatan ini tetap harus ditingkatkan proporsinya yang lebih difokuskan keapada masyarakat yang miskin. Sehingga kualitas sumberdaya masyarakat miskin dapat meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah R. 2011. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan pemilihan kepala daerah

secara langsung. Edisi ke 4. Jakarta (ID): Rajawali pers.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data & Informasi Kemiskinan

Kabupaten/Kota 2011. Jakarta (ID): BPS Republik Indonesia.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Tinjauan Regional 2011, Berbagai Edisi. Jakarta (ID): BPS Republik Indonesia

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Indeks Pembangunan Manusia (Dinamis). Jakarta (ID): BPS Republik Indonesia.

[DJPK] Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Realisasi Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah 2011. Jakarta (ID): DJPK

Ginting C K, Lubis I, Mahali K. 2008. Pembangunan Manusia di Indonesia dan

Faktor-faktor yang Memengaruhinya. Wahana Hijau. 4(1): 17-24.

Gujarati D. 1993. Dasar-Dasar Ekonometrika. Zain S, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Basic Econometrics.

[KPPOD] Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah. 2011. Tata

Kelola Ekonomi Daerah Tahun 2011. Jakarta (ID): KPPOD

[KPPOD] Komite Pemantauan Penyelenggaraan Otonomi Daerah. 2007. Tata

Kelola Ekonomi Daerah Tahun 2007. Jakarta (ID): KPPOD

Kuncoro M. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan,

Strategi dan Peluang. Jakarta(ID): Erlangga.

Mankiw G. 2006. Makroekonomi. Liza F, Nurmawan I, penerjemah. Edisi ke-6. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics.

Oktapriono A. 2008. Analisis Dampak Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pembangunan Manusia (Studi Kasus: Kawasan

Timur Indonesia Periode 2001-2003) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Rusdarti, Sebayang L K. 2013. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat

Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Economia. 9(1): 1-9

Sittha P. 2012. Governance and Poverty Reduction in Thailand. Modern Economy. 3(1): 487-497.

Soebono A. 2005. Analisis Pembangunan Manusia dan Prioritas Pembangunan

Sosial di Jawa Timur [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor.

(40)

30

Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Munandar H, AL Puji, penerjemah. Edisi Ke-9. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari:

Economic Development.

Tombolotutu A D. 2013. Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah dan

Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Perekonomian Daerah

Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah [Tesis]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Zulfiqar M, Shakeel S, Azim P. 2012. Economic Governance and Huiman

Gambar

Gambar  1 Indeks Pembangunan Manusia Provinsi di Kawasan Timur Indonesia
Tabel 1 Presentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi Tahun 2011 (persen)
Gambar  2 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah
Gambar  3 Lingkaran Perangkap Kemiskinan
+7

Referensi

Dokumen terkait

penyerapan air di permukaan tanah, dengan memperbesar infiltrasi. Mengatur serta mengurangi kecepatan aliran permukaan agar tidak merusak.. Metoda Pengawetan Tanah Secara

Dengan ini saya menyatakan bahwa seluruh isi skripsi dengan judul “Profil Kemampuan Literasi Sains Siswa Dengan Menggunakan Soal PISA Pada Konten Bumi dan Antariksa DI SMP Negeri

Judul Skripsi : Pengaruh Suhu yang Berbeda terhadap Kestabilan Fikosianin dalam Mikrokapsul Spirulina platensis.. Nama Mahasiswa : Fathia Nissa

Berdasarkan penghitungan analisis regresi yang telah dijalankan yang menghasilkan koefisien variabel senilai 1.32E-05 dengan probabilitas 0,0286 lebih rendah dibandingkan

Jika nilai tegangan referensi dan modulasi serat optik sama besarnya, maka dapat dipastikan intensitas cahaya kedua serat optik tersebut dipantulkan dengan sempurna.. Kasus ini

Škole koje su potvrdile da imaju školski vrt bile su: Osnovna škola Vukovina , područne škole Rakitovec i Buševec, Osnovna škola Novo Čiče , područne škole Lukavec i

Pengarah surat masuk diperpustakaan STIPAP Medan adalah menerima surat yang telah dilampiri surat pengantar atau kartu kendali dari pihak biro administrasi