ABSTRAK
ANALISIS KRIMINALISASI SANTET SEBAGAI TINDAK PIDANA DALAM KONSEP PASAL 293 RUU KUHP TAHUN 2013
Oleh:
Enisa Resti Wahyuni
Santet pada umumnya memang sulit untuk dipahami atau dimengerti makna nya, namun pada dasarnya santet merupakan bagian dari ilmu gaib yang memang dipercaya atau diyakini oleh beberapa atau sebagian masyarakat. Santet menurut beberapa opini juga dapat menyebabkan seseorang sebagai korban dikarenakan penyalahgunaan santet tersebut yang digunakan sebagai media untuk membuat orang celaka, sakit, atau bahkan kematian. Oleh karena santet dapat menyebabkan seseorang sebagai korban maka santet dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Adapun latar belakang filosofi santet dapat digolongkan menjadi tindak pidana adalah karena santet diakui dan dipercaya keberadaannya di masyarakat, dan menimbulkan keresahan, namun tidak dapat dicegah dan diberantas melalui hukum karena kesulitan dalam hal pembuktiannya. Dengan alasan tersebut maka perlu dibentuk tindak pidana baru mengenai santet yang sifatnya mencegah agar perbuatan tersebut tidak terjadi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi latar belakang kriminalisasi santet sebagai tindak pidana, bagaimanakah perumusan santet sebagai tindak pidana dalam konsep RUU KUHP 2013.
Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun jenis dan sumber data yang terdiri dari data primer bersumber dari lapangan berupa hasil wawancara dengan responden yang terdiri dari satu orang Pengacara, satu orang Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan satu orang Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Serta data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang di teliti. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, kemudian diambil kesimpulan secara induktif.
tindak pidana. Perumusan Pasal 293 RUU KUHP dirumuskan berdasarkan delik formilnya yang berarti suatu perbuatan yang dilarang. Dalam perumusannya hanya menitikberatkan perhatiannya pada usaha pencegahan (prevensi) dilakukannya praktik santet oleh para juru/tukang santet. Yang akan dicegah/diberantas ialah profesi atau pekerjaan pelaku santet yang memberikan bantuan jasa kepada seseorang yang dapat menimbulkan kematian atau mencelakakan/menderitakan orang lain. Dengan perkataan lain, yang akan dikriminalisasikan adalah perbuatan menawarkan/memberikan jasa dengan ilmu santet untuk membunuh atau mencelakakan/menderitakan orang lain.
Saran penulis dalam skripsi ini adalah perlunya dibentuk pembaharuan hukum pidana mengenai santet karena santet merupakan perbuatan yang dapat menyebabkan kematian atau menghilangkan nyawa orang lain sehingga dapat di kategorikan sebagai sebuah tindak pidana. Perlunya disahkan nya RUU KUHP yang mengatur tentang tindak pidana santet agar perbuatan santet ada dasar legalitas dalam penjeratannya yang diharapkan bisa digunakan secara maksimal agar tiada lagi praktek persantetan disana-sini.
DALAM KONSEP PASAL 293 RUU KUHP TAHUN 2013
(Skripsi)
Oleh
ENISA RESTI WAHYUNI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN Halaman
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7
E. Sistematika Penulisan... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Pidana, Tindak Pidana, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan... 17
1. Pengertian Hukum Pidana... 17
2. Pengertian Tindak Pidana... 19
3. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan... 21
B. Tinjauan Umum Tentang Kriminalisasi... 24
1. Pengertian Kriminalisasi... 24
2. Kriteria Kriminalisasi... 26
3. Manfaat Kriminalisasi... 28
C. Tinjauan Umum Tentang Santet... 28
1. Pengerian Santet... 28
2. Santet Dalam Hukum Islam... 30
3. Santet Dalam Hukum Adat... 30
D. Tinjauan Perumusan Santet dalam KUHP... 31
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 33
B. Sumber dan Jenis Data... 34
C. Penentuan Populasi dan Sampel... 35
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 35
A. Karakteristik Responden... 38 B. Latar Belakang Kriminalisasi Santet sebagai Tindak Pidana... 39 C. Perumusan Santet sebagai Tindak Pidana dalam Konsep Pasal 293
RUU KUHP 2013... 45
V. PENUTUP
A. Kesimpulan... 51 B. Saran... 52
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Santet pada umumnya memang sulit untuk dipahami atau dimengerti makna nya,
namun pada dasarnya santet merupakan bagian dari ilmu gaib yang memang
dipercaya atau diyakini oleh beberapa atau sebagian masyarakat. Santet menurut
beberapa opini juga dapat menyebabkan seseorang sebagai korban dikarenakan
penyalahgunaan santet tersebut yang digunakan sebagai media untuk membuat
orang celaka, sakit, atau bahkan kematian. Oleh karena santet dapat menyebabkan
seseorang sebagai korban maka santet dapat digolongkan sebagai tindak pidana.
Tindak Pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Pasal 11 ayat 1 yang merupakan perbuatan melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Adapun latar belakang filosofi santet dapat digolongkan menjadi tindak pidana
adalah karena santet diakui dan dipercaya keberadaannya di masyarakat, dan
menimbulkan keresahan, namun tidak dapat dicegah dan diberantas melalui
hukum karena kesulitan dalam hal pembuktiannya. Dengan alasan tersebut maka
perlu dibentuk tindak pidana baru mengenai santet yang sifatnya mencegah agar
Ditinjau dari pengertiannya, kriminalisasi adalah proses mengangkat perbuatan
yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana.
Proses kriminalisasi ini terdapat didalam tahap formulasi dari pembaharuan
hukum pidana.1
Masalah kriminalisasi ini sangat erat kaitannya dengan criminal policy. Criminal
policy adalah usaha yang rasional baik dari masyarakat/pemerintah untuk
menaggulangi tindak pidana baik menggunakan sarana penal maupun non penal.
Seiring berkembangnya zaman, pembaharuan peraturan hukum pidana memang
perlu dilakukan sebagai kebijakan hukum pidana yang dapat disebut pula sebagai
politik hukum pidana.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum
maupun kriminal.
Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 2
Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegakan hukum
karena tujuanya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka
kebijakan penegakan hukum ini pun termasuk kedalam kebijakan sosial, yaitu
segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai
1
suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum pidana
sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam
bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan penilaian dan
pemilihan dari berbagai macam alternatif.
Dengan demikian, masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana, bukan hanya merupakan problem sosial tetapi juga
masalah kebijakan.
Meninjau masalah santet dalam perspektif hukum, berarti meninjau sebagai salah
satu permasalahan hukum yang perlu adanya kajian lebih dalam tentang
bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana santet karena santet
merupakan perbuatan gaib yang sulit dalam pembuktianya secara hukum.
Sejak dulu hingga saat ini ternyata santet masih dianggap ada, dengan melihat
contoh kasus yang ada seperti yang terjadi di daerah Jawa Timur yang
membuktikan bahwa benar adanya tindak kejahatan santet sebagai berikut.
Muharno (70) penduduk Desa Jiwut, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa
Timur ini meyakini sihir atau santet sesuatu yang nyata. Memang tidak bisa
diterima akal sehat, namun faktanya dibalik kulit perut lelaki berusia senja itu
benar-benar keluar untaian logam kawat yang biasa digunakan sebagai material
bangunan. Hal itu mengingat rasa sakit yang dideritanya berlangsung cukup
lama. “Saya mengalami sakit sekitar satu tahun setengah. Tentunya logam yang
bercampur darah dan cairan di dalam tubuh membuat berkarat”, jelasnya.
Sebelum bertemu dengan orang “pintar” asal Kabupaten Banyuwangi, hidup
kepalanya kerap berputar tanpa sebab yang nyata. Seperti halnya para penderita
penyakit migrain. Tidak hanya merasa lega dan ringan. Wajah kakek dua cucu itu
kembali cerah dan berseri-seri. Ia kembali bisa melanjutkan aktivitasnya di sawah.
Tapi anehnya berulangkali saya bawa ke dokter, dokter selalu mengatakan saya
tidak sakit apa-apa, “jelasnya.3
Selain itu belakangan ini bahkan muncul dalam berita tuduhan terhadap salah
seorang sebagai dukun santet yang berakhir ricuh, maka dalam hal ini penyusun
berpendapat pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana santet harus ada,
karena santet bisa saja terjadi, selain itu hukum pidana tidak mengenal berlaku
surut karena itu perlu adanya pengaturan hukum yang mengatur tindak pidana
santet.
Penerapan Pasal 293 tentang penyantetan dalam Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menimbulkan berbagai tanggapan
Pro dan Kontra. Ada sebagian yang menganggap bahwa kriminalisasi santet
hanya dapat menimbulkan fitnah, hal ini dikarenakan belum ada bukti yang nyata
untuk bisa memperkuat dan membuktikan sebuah kasus santet, namun bukan hal
itu yang dimaksud apabila dilihat dari segi delik formilnya. Oleh sebab kesulitan
pembuktian itulah maka Pasal 293 (dulu Pasal 292 RUU tahun 2004)
menggunakan rumusan tindak pidana secara formil, yang bukan mempidana
perbuatan santetnya melainkan mempidana perbuatan-perbuatan tertentu yang
sesungguhnya merupakan perbuatan-perbuatan sebelum perbuatan itu benar-benar
dilakukan.
3
Pasal 293 RUU KUHP 2013 merumuskan:
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekatan gaib,
memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa
kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit,
kematian, penderitaan mental dan fisik seseorang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan
sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan
1/3 (satu per tiga).
Rumusan tindak pidananya terdapat pada ayat (1), yang jika dirinci terdiri dari
unsur-unsur berikut:
a. Perbuatannya;
1. Menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib
2. Memberitahukan harapan
3. Menawarkan jasa
4. Memberikan bantuan jasa
b. Objeknya;
Pada orang lain bahwa karena perbuatnnya dapat menimbulkan penyakit,
Salah satu pertimbangan mengapa kebijakan hukum pidana terhadap tindak
pidana santet harus ada karena jika mengikuti asas legalitas dimana suatu
perbuatan dapat di pidana jika sudah di atur dalam peraturan
perundang-undangan, maka santet tidak bisa di pidana karena santet tidak terdapat dalam
peraturan perundang undangan atau KUHP yang sekarang berlaku. Sedangkan
santet itu sendiri sebuah tindakan yang dipandang berlawanan dengan hukum dan
patut dikriminalisasikan. Jika menurut KUHP yang sekarang berlaku, perbuatan
meramal nasib/mimpi dan memakai jimat saja diancam pidana, apakah praktik
persantetan tidak lebih pantas untuk dijadikan tindak pidana. Dengan demikian,
berarti perlu adanya kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana santet dan
menurut penyusun kebijakan hukum pidana mempunyai peran penting karena
KUHP yang kita adopsi dari kolonial Belanda tidak mengatur masalah santet,
sedangkan santet itu merupakan sebuah tindak pidana dengan mempunyai
rumusan delik yang mengandung unsur menghilangkan nyawa, merusak
kesehatan dan lain sebagainya dengan cara gaib yang sulit pembuktianya secara
hukum.
Berdasarkan Latar Belakang diatas, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan
judul : “Analisis Kriminalisasi Santet Sebagai Tindak Pidana dalam Konsep Pasal
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dibahas
dan dikemukakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Apakah yang menjadi latar belakang kriminalisasi santet sebagai tindak
pidana?
2. Bagaimanakah perumusan santet sebagai tindak pidana dalam konsep RUU
KUHP 2013?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penulisan ini hanya dibatasi mengenai analisis santet yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau kriminalisasi santet yang
berlatarbelakang dari konsep Pasal 293 RUU KUHP tahun 2013. Ruang lingkup
penelitian ini dilakukan di Bandar Lampung pada tahun 2013.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang kriminalisasi santet
sebagai tindak pidana.
b. Untuk mengetahui perumusan santet sebagai tindak pidana dalam konsep
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat memeberikan manfaat serta sebagai
bahan masukan bagi pengembangan ilmu hukum khusus nya hukum pidana
dengan mengungkapkan secara objektif tentang kriminalisasi santet sebagai tindak
pidana yang berlandaskan dari konsep pasal 293 Rancangan Undang-Undang
KUHP Tahun 2013.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
masyarakat agar mengetahui bahwa santet juga dapat diartikan sebagai tindak
pidana sehingga santet tidak lagi menimbulkan keresahan dan dapat dicegah di
dalam kehidupan masyarakat.
D. Kerangka teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari
hasil-hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan.4
Dalam penetapan santet sebagai undang-undang, ada beberapa landasan teori yang
dapat dijadikan dasar penulis sebagai berikut:
4
1. Teori Kriminalisasi
Kriminalisasi dilakukan dalam upaya pembaharuan hukum. Berkaitan dengan
pengertian pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief mengemukakan yaitu:
Pembaruan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makana, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosio-politik, sosiofilosofik, dan sosiokultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan
penegakkan hukum di Indonesia.5
Selanjutnya diuraikan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana
sebagai berikut:
(i) Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah
sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang
tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembahruan hukum pidana
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal subtance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.6
5
Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (PerkembanganPenyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 30
6Ibid
(ii) Dilihat dari sudut pendekatan-nilai:
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan reevaluasi”) nilai-nilai
sosiopolitik, sospolitik, sosiofilosofis, sosiokultural yang melandasi dan memberi
isi terhadap muatan normatif dan subtansif hukum pidana yang dicita-citakan.
Bukanlah pembaharuan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari
hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP baru) sama saja dengan
orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).7
Mengingat sebuah teori bahwa manusia itu adalah makhluk sosial dimana
manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lainnya dan dalam hubungan
sosial tersebut ada suatu bentrokan kepentingan yang pada akhirnya dibentuk
suatu peraturan untuk mengatasi bentrokan itu. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang ada didalam masyarakat perlu suatu peraturan berisi kebijakan dan
kebijakan hukum dalam hal ini hukum pidana. Salah satunya adalah kebijakan
kriminalisasi. Kebijakan kriminalisasi dapat dikatakan sebagai proses penyusunan
perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi perbuatn yang diancam
pidana dalam perundang-undangan.
Kebijakan ini pada dasarnya berupa penekanan terhadap upaya pemilihan (baik
perbuatan maupun sanksinya) untuk mewujudkan suatu perundang-undangan
yang baik. Peraturan perundangan-undangan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada waktu baik sekarang maupun yang akan datang. Disamping itu
juga dapat menampung rasa keadilan bagi masyarakat.
7Ibid
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis
apabila ketentuan-ketentuanya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadasaran
hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat di taati
oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka.8 Hal ini berarti bahwa
peraturan perundang-undangan yang di buat harus dipahami oleh masyarakat,
sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat. Membuat suatu aturan yang tidak
sesuai dengan tata nilai, keyakinan dan kesadaran masyarakat tidak akan ada
artinya, tidak mungkin dapat diterapkan karena tidak dipatuhi dan ditaati. Hukum
yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) dalam
masyarakat.
Walaupun demikian tidak berarti bahwa apa yang ada pada suatu saat dan dalam
suatu masyarakat, akan menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk
perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname).9
Masyarakat berubah, nilai-nilai pun berubah, kecenderungan dan harapan
masyarakat harus dapat diprediksi dan terakumulasi dalam peraturan
perundang-undangan yang berorientasi masa depan.
2. Teori Perumusan Tindak Pidana
Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan permusannya dapat dibedakan menjadi:
a. Tindak Pidana Formil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah
8
Amiroeddin Syarif,Perundang-Undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 92
9
melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak
memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatau akibat tertentu dari
perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melaiinkan semata-mata pada
perbuatannya.
b. Tindak Pidana Materil
Sebaliknya, tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Santet dapat
dikatakan sebagai ilmu atau kemampuan atau kemahiran untuk mencelakakan,
menderitakan fisik maupunu psikis atau bahkan menghilangkan nyawa orang lain
dengan cara gaib. Pengertian santet sebagaimana demikian, tentulah dapat
dijadikan suatu tindak pidana karena terdapat seseorang yang menjadi korban di
dalam nya. Walau memang ada kesulitan dalam pembuktiannya namun apabila
Rancangan Undang-Undang KUHP Pasal 293 ini disahkan maka akan ada bukti
tertulis serta otentik untuk menetapkan larangan adanya santet dan dapat dikatakan
sebagai tindak pidana karena dilihat dari delik formilnya yaitu apabila ada
seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib atau menawarkan
bantuan jasa tentang santet maka sudah dapat dikatakan sebagai tindak pidana
tanpa perlu melihat akibat dari santet tersebut.
Pasal 293 RUU KUHP 2013 merumuskan:
(3) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekatan gaib,
memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa
kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit,
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
IV.
(4) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan
sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan
1/3 (satu per tiga).
Rumusan tindak pidananya terdapat pada ayat (1), yang jika dirinci terdiri dari
unsur-unsur berikut:
c. Perbuatannya;
5. Menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib
6. Memberitahukan harapan
7. Menawarkan jasa
8. Memberikan bantuan jasa
d. Objeknya;
Pada orang lain bahwa karena perbuatnnya dapat menimbulkan penyakit,
kematian, dan penderitaan mental atau fisik seseorang.
Jenis pidana yang pada umumnya dicantumkan dalam perumusan delik menurut
pola KUHP ialah pidana pokok, dengan menggunakan 9 (sembilan) bentuk
perumusan, yaitu:
a. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
b. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu; c. Diancam dengan pidana penjara (tertentu);
d. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
g. Diancam dengan pidana kurungan;
h. Diancam dengan pidana kurungan atau denda; i. Diancam dengan pidana denda.9
Dari sembilan bentuk perumusan di atas, dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai
berikut:10
a. KUHP hanya menganut 2 (dua) sistem perumusan, yaitu:
a.1. perumusan tunggal (hanya diancam satu pidana pokok);
a.2. perumusan alternatif.
b. Pidana pokok yang diancam/dirumuskan secara tunggal, hanya pidana
penjara, kurungan atau denda. Tidak ada pidana mati atau penjara seumur
hidup yang diancam secara tunggal.
c. Perumusan alternatif dimulai dari pidana pokok terberat sampai yang paling
ringan.
2. Konseptual
Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.11
Hal ini dilakukan, dimaksudkan agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam
melakukan penelitian. Maka disini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang
dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap
dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.
9
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,(Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,1996),hlm.179
10Ibid
.,hlm.180
11
Istilah-istilah yang dimaksud adalah:
1. Analisis
Analisis adalah cara pemeriksaan salah satu soal, dengan tuuuan
menemukan sautu unsur dasar, hubungan antar unsur-unsur nya yang
bersangkutan.12
2. Kriminalisasi
Kriminalisasi adalah sebuah proses atau upaya menjadikan sesuatu
perbuatan yang bukan termasuk perbuatan kriminal (pidana) menjadi
sebuah perbuatan pidana.13
3. Santet
Santet adalah ilmu (lebih tepatnya kemampuan, kepandaian, atau
kemahiran) untuk mencelakakan, menderitakan fisiki atau menghilangkan
nyawa orang lain dengan cara gaib.14
4. Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut.15
5. Konsep
Konsep dapat diartikan sebagai rancangan ide atau pengertian yang di
abstrakkan dari pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau
apapun.16
12
Hassan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,1968,hlm.189
13
Topo Santoso, Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada:Jakarta.2012.hlm.34
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia,Op.Cit, hlm.287
15
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta: Jakarta,1987. Hlm. 54
16
6. Rancangan Undang-Undang
Rancangan undang-undang adalah kajian mengenai penentuan kerangka
dasar pembentukan sebuah peraturan atau undang-undang baru.
7. KUHP
KUHP adalah kitab undang-undang hukum pidana yang dibentuk sebagai
suatu aturan yang digunakan oleh Negara untuk menyelenggarakan
ketertiban umum.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hukum ditujukan untuk dapat memberikan gambaran yang
lebih jelas, komperhensif dan menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan
hukum yang akan disusun. Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi
dalam penulisan skripsi ini dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka
skripsi ini disusun dalam 5 (lima) Bab dengan sistematika penulisan adalah
sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang
akan diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan yang
dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian.
Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran.
Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang pengertian hukum pidana,
tindak pidana, tujuan dan pedoman pemidanaan, tinjauan umum tentang
kriminalisasi, tinjauan umum tentang santet, serta tinjauan perumusan
santet dalam Pasal 293 RUU KUHP 2013.
III. METODE PENELITIAN
Pada bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam
penelitian berupa langkah-langkah yang dapat digunakan dalam
melakukan pendekatan masalah, penguraian, tentang sumber data yang di
dapat dari berbagai literatur/buku hukum, KUHP, dan RUU KUHP, serta
jenis data serta prosedur analisis data yang telah didapat.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisikan tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap
permasalahan penelitian ini dengan mendasarkan pada rumusan masalah
antara lain latar belakang kriminalisasi santet sebagai tindak pidana dan
perumusan santet sebagai tindak pidana dalam konsep Pasal 293 RUU
KUHP 2013.
V. PENUTUP
Pada bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara
singkat berisikan hasil pembahasan daripenelitian yang telah dilakukan
dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Pidana, Tindak Pidana, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan.
1. Pengertian Hukum Pidana
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik
merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak
zaman dahulu. Hukum ini dianggap sangat penting eksistensinya dalam menjamin
keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan
(bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku
pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang
ada di setiap masanya.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap pegertian hukum pidana,
ada beberapa pendapat dari para ahli sebagai berikut :17
Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah “semua aturan-aturan hukum yang
menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana
dan apakah macamnya pidana itu”.18
17
Tri Andrisman. Hukum Pidana, (B.Lampung:Universitas Lampung,2011), hlm.6
Menurut Simons memberikan pengertian hukum pidana sebagai:
a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan
nestapa, yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;
b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan
pidana;19
Menurut Moeljanto, Hukum pidana adalah: “Bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.20
Menurut Mezger “hukum pidana adalah aturan hukum, yang mengikatkan kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa
pidana”.21
Selanjutnya dijelaskan oleh Mezger, pengertian hukum pidana itu meliputi dua hal
pokok, yaitu aturan hukum yang mengatur tentang:
a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
b. Pidana. 22
19 Ibid., 20Ibid
., hlm.7
21
Sudarto. Hukum PidanaI. Yayasan Sudarto. Semarang. 1990
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diketahui bahwa pengertian
dari Hukum Pidana adalah suatu aturan-aturan yang berisi larangan atas pebuatan
yang bersifat merugikan atau perbuatan yang dilarang.
2. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah
perbuatan seperti yang terwujud in-abstarcto dalam peraturan pidana. Sedangkan
kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi
norma yang hidup di masyarakat secara konkrit. Mengenai pengertian tindak
pidana (strafbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda
sebagai berikut:
a. Pompe:
Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:
1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang
dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana
untuk mempertahankan tata hukum dan meenyelamatkan kesejahteraan
umum.
2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh
peraturan undang-undang dirumuskan sebaggai perbuatan yang dapat
dihukum.23
23
b. Simons:
Tindak pidana adalah “kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana,
yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”.24
c. Vos:
Tindak pidana adalah “suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh
peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang
dengan ancaman pidana”.25
d. Van Hamel:
Tindak pidana adalah “kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet (undang
-undang), yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan
dengan kesalahan”.26
e. Moeljatno:
Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.27
f. Wirjono Prodjodikoro:
Tindak pidana adalah “suatu perbuatan yang pelaku nya dapat dikenakan
hukuman pidana”.28
Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar diatas,
dapat diketahui bahwa tindak pidana yang dimaksud adalah merupakan suatu
perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan
24
Moeljatno. Azas-Azas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta.1987. hlm. 56
25
Ibid.
26 Ibid. 27Ibid.,
hlm.54
28
yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana
aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi
pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan
kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar
aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap
orang tersebut sebagai pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa
aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya
antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai
hubungan yang erat pula.
3. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Pedoman adalah kumpulan atau ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana
sesuatu harus dilaksanakan, pedoman juga diartikan hal (pokok) yang menjadi
dasar (pegangan, petunjuk, dsb) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.29
Berkaitan dengan pemidanaan maka pedoman pemidanaan dapat diartikan
ketentuan dasar yang memberi arah/ melaksanakan pemidanaan atau pemberian
pidana atau penjatuhan pidana.
Dengan demikian “ketentuan dasar” pemidanaan harus ada terlebih dahulu
sebelum penjatuhan pidana atau dapat diartikan bahwa ketentuan dasar untuk
pemidanaan tertuang secara ekplisit dalam sistem pemidanaan, sedangkan sistem
pemidanaan dilihat dari sudut normatif-substantif (hanya dilihat dari norma
hukum pidana substantif) diartikan sebagai keseluruhan aturan/norma hukum
29
pidana materiil untuk pemidanaan atau keseluruhan aturan/norma hukum pidana
materiil untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.30
Membicarakan ketentuan dasar pemidanaan sama dengan membicarakan asas-asas
yang menjadi dasar pemidanaan dan yang merupakan asas yang fundamental yaitu
asas legalitas dan asas culvabilitas. KUHP sebagai ius constitutum yang memuat
prinsip-prinsip umum (general principle) hukum pidana dan pemidanaan tidak
secara ekplisit mencantumkan kedua asas di atas. Hal ini dipertegas oleh Sudarto
yang menyatakan : KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana
(straftoemetingsleiddraad) yang umum ialah suatu pedoman yang dibuat oleh
pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh
hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana
(straftoemetingsregels).31
Berdasarakan pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa pedoman
pemidanaan merupakan kebijakan legislatif yang “seharusnya” ada dalam aturan/
norma hukum pidana materiil yang harus diperhatikan dalam pemberian pidana.
Tujuan dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “arah,haluan
(jurusan), maksud, tuntutan (yang dituntut)”.32
Tujuan pemidanaan berarti arah yang “seharusnya” ingin dicapai dari penjatuhan
pidana atau dapat diartikan juga maksud yang hendak didapatkan dari pemberian
pidana/pemidanaan.
30
Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan dalam Ketentuan Umum Buku I RUU KUHP 2004, Hlm. 2
31
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 79.
32
Tujuan pemidanaan mengemban fungsi pendukung dari fungsi hukum pidana
secara umum yang ingin dicapai sebagai tujuan akhir adalah terwujudnya
kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (Social defence dan social welfare).
Tujuan pemidanaan secara khusus dapat dilihat dari pendapat Prof Roeslan Saleh
mengenai tiga alasan masih diperlukan hukum pidana dan pidana khususnya
alasan yang ketiga yaitu : “pengaruh pidana atau hukuman bukan semata mata
ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak
jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat”.33
Berdasarkan pendapat di atas sangat jelas terlihat bahwa tujuan hukuman/
pemberian pidana adalah di samping untuk si penjahat itu sendiri tetapi juga untuk
masyarakat secara umum agar taat terhadap norma hukum. Ditetapkan tujuan
pemidanaan terkandung maksud agar pidana yang dijatuhkan sesuai dengan
keadaan terpidana sehingga dapat mencapai tujuan, di samping sistem
pemidanaan ini adalah sistem yang bertujuan (purposive system).
Alasan lain ditetapkannya tujuan pemidanaan/ pemberian pidana adalah adanya
keterbatasan dari sanksi pidana itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh H.L.
PACKER yaitu :
“(The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely it is guarantor; used
indiscriminately and coercively, it is threatener)”
“Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan
suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia
merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara
33
manusiawi; ia merupakan pengancam apa bila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa”.34
Pernyataan di atas secara implisit menyarankan agar tujuan pemidanaan
ditetapkan sehingga pidana yang dijatuhkan dapat berfungsi sebagai penjamin
terhadap tujuan hukum pidana sebagai sarana untuk mencapai perlindungan dan
kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai penjamin tidak terjadi penurunan
derajat kemanusiaan/dehumanisasi dalam pelaksanaan pidana.
Menetapkan tujuan dan pedoman pemberian pidana harus dijadikan pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana sehingga keputusan hakim tersebut dapat
terbaca oleh orang lain(masyarakat) dan khususnya oleh orang yang
berkepentingan dalam perkara itu.
B. Tinjauan Umum Tentang Kriminalisasi
1. Pengertian Krminalisasi
Kriminalisasi (criminalization) merupakan objek studi hukum pidana materiil
(substantive criminal law) yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) yang diancam dengan sanksi
pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai
perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan
sanksi pidana.
Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan
34 Ibid
penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau
golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana
menjadi perbuatan pidana.35
Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu
pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang
merupakan hasil dari suatu penimbanganpenimbangan normatif (judgments) yang
wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions). Kriminalisasi dapat pula
diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan
yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang
dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.
Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini
yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang
menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang
tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang
dipandang tercela dan perlu dipidana. Dalam perspektif labeling, kriminalisasi
adalah keputusan badan pembentuk undang-undang pidana memberi label
terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana. 36
Pengertian kriminalisasi tersebut di atas menjelaskan bahwa ruang lingkup
kriminalisasi terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang
diancam dengan sanksi pidana. Namun menurut Paul Cornill, pengertian
kriminalisasi tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana
35
Soerjono Soekanto, Kriminologi: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta, 1981, hlm. 62.
36
dan dapat dipidana, tetapi juga termasuk penambahan (peningkatan) sanksi pidana
terhadap tindak pidana yang sudah ada.37
2. Kriteria Kriminalisasi
Dalam membahas masalah kriminalisasi timbul dua pertanyaan, yaitu:
a. Apakah kriteria yang digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana tertentu?
b. Apakah kriteria yang digunakan pembentuk undang-undang untuk menetapkan ancaman pidana terhadap tindak pidana yang satu lebih tinggi daripada ancaman pidana terhadap tindak pidana yang lain.38
Menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi
harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan
bermacam-macam faktor termasuk:
a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai,
b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,
c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia, dan
d. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.39
Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang mengungkapkan bahwa dalam
menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini, (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu
37Paul Cornill, “Criminality and Deviance in a Changing Whorld”, Ceramah pada Kongres PBB
IV 1970 mengenai Prevention of Crime and treatment of Offender.
38
Rusli Effendi, dkk, Op.Cit., hlm. 34-35.
39 M. Cherif Bassiouni, “Substantive Criminal Law”, 1978, hlm. 82. Dikutip dari Barda Nawawi
sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil atau spiritual) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).40
Hullsman mengajukan beberapa kriteria absolut yang perlu diperhatikan dalam
proses kriminalisasi, yaitu sebagai berikut:
a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-mata atas keinginan untuk melaksanakan suatu sikap moral tertentu terhadap suatu bentuk perilaku tertentu.
b. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan perlengkapan peradilan pidana.
c. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai suatu tabir sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu masalah.41
Adapun menurut Moeljatno ada tiga kriteria kriminalisasi dalam proses
pembaruan hukum pidana. Pertama, penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan
terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Kedua, apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu
adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan
tersebut. Ketiga, apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang
bersangkutan, betulbetul mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman
pidana kalau ternyata ada yang melanggar larangan.42
40
Sudarto, Op.Cit., hlm. 44-48.
41
Hullsman sebagaimana dikutip Roeslan Saleh dalam, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1988, hlm.. 87.
42
3. Manfaat Kriminalisasi
Untuk menentukan manfaat kriminalisasi, dapat diawali dengan satu pertanyaan
yaitu apakah kriminalisasi lebih banyak membawa manfaat atau tidak kepada
masyarakat? Tidak mudah mengukur manfaat kriminalisasi karena adanya
kesulitan membedakan efek pencegahan bertahap dalam skema kriminalisasi
tertentu dari efek-efek yang bisa dicapai dengan metode non-pidana melalui
peraturan hukum maupun sarana-sarana kontrol sosial lain. Di samping itu,
adanya kesulitan menghitung dampak perilaku tertentu dalam kriminalisasi. Tidak
mudah mengukur manfaat kriminalsasi juga berkaitan dengan adanya fakta bahwa
„kriminalisasi‟ adalah sebuah variabel yang dengan sendirinya bisa dimanipulasi
karena efek keperilakuan akan tergantung pada definisi perilaku yang dilarang.
C. Tinjauan Umum Tentang Santet
1. Pengertian Santet
Santet adalah upaya seseorang untuk mencelakai orang lain dari jarak jauh dengan
menggunakan ilmu hitam. Santet dilakukan menggunakan berbagai macam media
antara lain rambut, foto, boneka, dupa, rupa-rupa kembang, dan lain-lain.
Seseorang yang terkena santet akan berakibat cacat atau meninggal dunia. Santet
sering di lakukan orang yang mempunyai dendam kepada orang lain.43
Walaupun proses santet yang gaib ini sulit dimengerti secara ilmu pengetahuan,
tapi secara logis santet dapat dimengerti sebagai proses dematerialisasi. Pada saat
43
santet akan dikirim, benda-benda seperti paku, jarum, beling, ataupun inatang
berbisa ini diubah dari materi menjadi energi. Kemudian dalam bentuk energi,
benda ini dikirim menuju sasaran. Setelah tepat mengenai sasaran, energi ini
diubah kembali menjadi materi. Sehingga apa-apa yang tadi dikirim, misalnya
beling dan binatang berbisa akan masuk ke tubuh seseorang yang merupakan
sasaran santet. Selanjutnya secara otomatis benda-benda yang tadi dimasukkan
melalui santet ini akan menimbulkan kesakitan pada tubuh orang yang disantet.
Pada konteks masyarakat tradisional Indonesia dengan semua sukunya, sihir yang
populer dengan istilah santet itu sangat dipercaya eksistensinya dan diyakini dapat
digunakan untuk menyakiti orang lain bahkan bisa menghabisi nyawa orang lain
(membunuh). Karena keyakinan pada santet dalam masyarakat sudah mengakar
dan realitanya telah menimbulkan aksi-aksi yang membuat orang-orang yang
dituduh tukang santet itu dibunuh di luar proses pengadilan.
Untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam
(black magic) yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya
dan untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang
dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun
teluh (santet), kiranya sudah mendesak agar masalah santet ini dimasukkan dalam
2. Santet Dalam Hukum Islam
Santet dalam istilah fiqih sampai sekarang belum dapat ditemukan. Namun jika
ditelusuri secara sosio-antropologis, kira-kira dapat disamakan dengan dengan
sihir dalam bahasa Arab. Oleh karena itu santet dapat diartikan sebagai kekuatan
jahat yang gaib, yang dalam bahasa Inggris sering disebut Black Magic. Jika
pengertian ini yang dimaksud dengan santet, maka dalam fikih sejajar dengan
pengertian sihir. Sihir secara bahasa, diartikan sesuatu yang halus dan rumit
sebabnya.
Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata santet
secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa santet adalah benar-benar
terjadi „riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, santet memiliki pengaruh yang
benar-benar terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena santet. Ibnul Qudamah
rahimahullah mengatakan, “Santet adalah jampi atau mantra yang memberikan
pengaruh buruk baik secara lahir maupun batin, semisal membuat orang lain
menjadi sakit, atau bahkan membunuhnya.
3. Santet Dalam Hukum Adat
Hukum adat adalah suatu kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum
adat merupakan adat yang harus diterima dan harus dilaksanakan dalam
masyarakat yang bersangkutan.44
Dalam hal ini santet dapat dikategorikan sebagai suatu kebiasaan yang sudah
terjadi dalam masyarakat yang meyakininya.
44
D. Tinjauan Perumusan Santet dalam RUU KUHP
Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana memiliki arti penting dalam
wacana hukum di Indonesia. Dalam hukum pidana terkandung aturan-aturan yang
menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai
ancaman berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat
dijatuhkan yang dicantumkan dalam KUHP.45
Santet dianggap sebagai sebuah perbuatan yang dapat merugikan dan bahkan
membahayakan, oleh sebab itu dibutuhkannya penetapan santet dalam sebuah
undang-undang untuk melegalkan bahwa santet merupakan perbuatan yang
dilarang.
Berdasarkan pengertian santet yang telah dituliskan sebelumnya maka santet
dapat dikatakan sebagai kemampuan atau kemahiran untuk mencelakakan,
menderitakan fisik maupun psikis ataupun bahkan menghilangkan nyawa orang
lain dengan cara gaib. Pengertian santet sebagaimana demikian, tentulah dapat
dijadikan suatu tindak pidana dikarenakan terdapat seseorang yang menjadi
korban di dalam nya. Walau memang ada kesulitan dalam pembuktiannya namun
apabila Rancangan Undang-Undang KUHP Pasal 293 ini disahkan maka akan ada
bukti tertulis serta otentik untuk menetapkan larangan adanya santet dan dapat
dikatakan sebagai tindak pidana karena dilihat dari delik formilnya.
Delik formil merupakan perumusan yang dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang. Sedangkan delik materiil merupakan perumusan
yang dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang).
45
Pasal 293 RUU KUHP merumuskan:
(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekatan gaib,
memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa
kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit,
kematian, penderitaan mental dan fisik seseorang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori
IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1)
melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan
sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian kriminalisasi ini
menggunakan dua pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan Yuridis Normatif adalah pendekatan yang dilakukan dalam
bentuk usaha untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang tertera
dalam peraturan perundang-undangan terutama yang berhubungan langsung
dengan permasalahan yang diteliti.
Peneliti mengadakan pendekatan Yuridis Normatif, untuk memperoleh
gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang
akan dibahas.46
b. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan Yuridis Empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara
menggali informasi dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui
secara lebih jauh mengenai permasalahan yang diteliti. Pada penelitian
kriminalisasi ini peneliti melakukan wawancara dengan Pengacara, Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen Fakultas Hukum Unila untuk
mendapatkan gambaran rinci tentang analisis terhadap kriminalisasi santet
sebagai tindak pidana.
46
B. Sumber dan Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data seknder.
Data primer dan Data sekunder meliputi data yang akan diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan yang diteliti yaitu Pengacara, Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber
hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder
dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum tetap mengikat, yaitu meliputi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang bersifat memberikan penjelasan
terhadap bahan-bahan hukum primer antara lain, RUU KUHP Pasal 293
Tahun 2013 tentang kriminalisasi santet.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti teori/pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum,
berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dan diteliti dalam
skripsi ini.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi yang akan diteliti oleh peneliti dalam skripsi ini adalah Pengacara,
Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung yang sudah dijelaskan pada data primer.
Peneliti dalam menentukan sample pada penelitian ini adalah menggunakan
metode purposive sampling, yaitu mengambil subjek penelitian tidak secara
keseluruhan dari subjek yang ada, tetapi hanya mengambil beberapa subjekk yang
mempunyai hubungan dan sangkut paut dengan ciri-ciri populasi yang dapat
mewakili dari keseluruhan subjek yang terkait tersebut.
Adapun sample pada penelitian ini adalah:
1. Pengacara di LBH Nasional Sofyan Sitepu and Partners : 1 orang
2. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang
3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang
Jumlah : 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Studi Pustaka adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian
literatut serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait dengan permasalahan.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan
wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha
mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis yang telah diperoleh
sesuai dengan permasalahan yang di teliti. Pengolahan data dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan
data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut
kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang
benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan
dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan
E. Analisis Data
Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah
dibaca dan diindentifikasi.
Data yang telah diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu menguraikan
data dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian
diinterpresentasikan dengan berlandaskan pada peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga diperoleh gambaran
yang jelas mengenai pokok bahasan yang akhirnya akan menuju pada suatu
kesimpulan ditarik dengan metode induktif yaitu cara penarikan kesimpulan dari
hal yang khusus ke hal yang umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan penulis, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Latar belakang kriminalisasi santet sebagai tindak pidana adalah karena
santet diakui dan dipercaya keberadaannya di masyarakat dan
menimbulkan keresahan, namun belum dapat dicegah dan diberantas
melalui hukum. Santet merupakan perbuatan yang dapat menyebabkan
kematian atau menghilangkan nyawa orang lain sehingga dapat di
kategorikan sebagai sebuah tindak pidana. Adapun latar belakang filosofi
santet dapat digolongkan menjadi tindak pidana adalah karena santet
diakui dan dipercaya keberadaannya di masyarakat, dan menimbulkan
keresahan, namun tidak dapat dicegah dan diberantas melalui hukum
karena kesulitan dalam hal pembuktiannya. Dengan alasan tersebut maka
perlu dibentuk tindak pidana baru mengenai santet yang sifatnya
mencegah agar perbuatan tersebut tidak terjadi.
2. Perumusan santet sebagai tindak pidana dalam konsep RUU KUHP 2013
adalah berdasarkan delik formilnya yang berarti suatu perbuatan yang
dilarang. Dalam perumusannya hanya menitikberatkan perhatiannya pada
juru/tukang santet. Profesi atau pekerjaan pelaku santet yang memberikan
bantuan jasa kepada seseorang yang dapat menimbulkan kematian atau
mencelakakan/menderitakan orang lain yang akan dicegah atau diberantas,
dengan perkataan lain yang akan dikriminalisasikan adalah perbuatan
menawarkan/memberikan jasa dengan ilmu santet untuk membunuh atau
mencelakakan/menderitakan orang lain.
B. Saran
1. Perlunya dibentuk pembaharuan hukum pidana mengenai santet karena
santet merupakan perbuatan yang dapat menyebabkan kematian atau
menghilangkan nyawa orang lain sehingga dapat di kategorikan sebagai
sebuah tindak pidana.
2. Perlunya disahkan nya RUU KUHP yang mengatur tentang tindak pidana
santet agar perbuatan santet ada dasar legalitas dalam penjeratannya yang
diharapkan bisa digunakan secara maksimal agar tiada lagi praktek
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Arief, barda nawawi. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.
_______________. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada Media Grup. Jakarta.
Bahiej, Ahmad. 2008. Hukum Pidana. UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Hadikusumo, Hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukm Adat Indonesia. Mandar Maju. Bandar Lampung.
Hamzah, Andi. 2007. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta.
Hassan. 1968. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
I.A, DR. Kamal. 2007. Kupas Tuntas Masalah Jin dan Sihir. Darusunnah. Yogyakarta.
Manan, Bagir. 1996. Dasar-Dasar Perundangan Indonesia. Ind. Hill, co. Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty. Yogyakarta.
Moeljanto. 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Rieneka Cipta. Jakarta.
P, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Eresco. Bandung.
Poernomo Bambang. 1981. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sapardjaja, Komariah Emong. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam Hukum Pidana Indonesia. Alumni. Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press. Jakarta.
________________. 1981. Kriminologi. Jakarta.
Sudarto . 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Semarang.
_______. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. PT. Alumni. Bandung.
_______. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Syarif, Amiroedin. 1987. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Bina Aksara. Jakarta
Internet:
http://madewarka.blogspot.com/2013/02/segi-hukum-praktek-teluh-dalam.html.
http://surabaya.okezone.com/read/2013/04/17/524/792828/bahaya-laten-santet//