• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN METODE THINKING ALOUD PAIRS PROBLEM SOLVING (TAPPS) DALAM UPAYA PENINGKATAN KESADARAN METAKOGNITIF DAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (SI) DI STIKES DARUL AZHAR BATULICIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN METODE THINKING ALOUD PAIRS PROBLEM SOLVING (TAPPS) DALAM UPAYA PENINGKATAN KESADARAN METAKOGNITIF DAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (SI) DI STIKES DARUL AZHAR BATULICIN"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Metakognitif merupakan suatu pengetahuan seseorang tentang proses kognitifnya sendiri atau kesadaran tentang apapun yang berhubungan dengan diri mereka sendiri. Seseorang yang memiliki kesadaran metakognitif biasanya dapat memulai pemikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajari (Nuryana & Bambang, 2012). Sebaliknya jika kesadaran metakognitif seseorang tidak terpenuhi maka dapat berdampak pada pemikiran yang kurang sistematis atau kurang runtut pada mahasiswa. Hal ini juga dapat mengakibatkan mahasiswa sulit dalam memahami konsep-konsep yang abstrak, yang berakibat pada rendahnya hasil belajar. Rendahnya kesadaran metakognitif juga dapat menyebabkan siswa tidak dapat memantau sejauh mana tujuan belajar yang dicapainya atau bahkan tidak mengetahui tujuan dari belajarnya (Novak & Gowin, 1984 dalam Adhitama, 2014).

(2)

mahasiswa.

Salah satu tolak ukur yang dapat dilihat untuk mengetahui berkualitas tidaknya suatu pendidikan yakni dari hasil belajar peserta didiknya. Berdasarkan laporan tahunan UNESCO Education for All Global Monitoring Report 2012 di tingkat perguruan tinggi, Indonesia berada pada peringkat ke 64 dari 120 negara diseluruh dunia (USAID, 2013). Sedangkan ditingkat Asia, Indonesia menduduki posisi peringkat ke 69 dari 76 negara yang ikut dalam kompetisi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) tahun 2015. Singapura memimpin diperingkat pertama kemudian disusul oleh Hong Kong. Indonesia meraih peringkat 8 terbawah disusul oleh Oman, Maroko, Hoduras, Afrika Selatan dan Ghana. Rendahnya prestasi pendidikan di Indonesia ini menunjukkan bahwa perlunya adanya suatu perbaikan untuk meningkatkan kualitas dari peserta didik. Salah satu cara untuk memperbaiki hal tersebut yaitu dengan cara merancang suatu pembelajaran inovatif yang dapat menumbuhkan kesadaran metakognitif siswa sehingga hasil belajarnya dapat meningkat yang berimbas pada perbaikan kualitas pendidikan (Coughlan, 2015).

(3)

seseorang tidak menyadari bahwa yang dilakukan itu merupakan kegiatan metakognisi. Tingkat kemampuan metakognisi yang dimiliki individu yang satu dengan yang lainnya berbeda tergantung dari aktivitas belajar yang dilakukannya (Novitasari, 2015).

Salah satu strategi pembelajaran yang dipandang dapat mengembangkan kesadaran metakognitif dan hasil belajar adalah metode thinking aloud pairs problem solving yang selanjutnya akan disingkat TAPPS. Menurut Jonassen dalam Rahmat (2014) TAPPS adalah sebuah kombinasi dari berpikir keras dan teknik pengajaran kembali. Metode TAPPS adalah strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari jawaban dari permasalahan secara berkelompok.

Beberapa penelitian mengenai metode TAPPS menunjukkan bahwa TAPPS menjadi langkah penting dalam pengembangan keterampilan metakognitif dan meningkatkan prestasi mahasiswa (Pate et al., 2004; Benham 2009; Mustikawati et al., 2015; Rahayuningsih et al., 2013) hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa mahasiswa yang mengikuti proses metode TAPPS tampil lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional ceramah.

(4)

penemuan yang melibatkan peran aktif siswa untuk mendapatkan konsep secara mendalam, bukan sekedar hafalan (Rustaman 2005 dalam Adhitama 2014).

Studi pendahuluan dilakukan oleh peneliti pada tanggal 20 Januari 2016 melalui metode wawancara mendalam dengan Kaprodi S1 Keperawatan di STIKES Darul Azhar Batulicin. Berdasarkan hasil wawancara tersebut diperoleh informasi bahwa saat ini metode pembelajaran yang diimplementasikan ke mahasiswa hampir semua dosen masih menggunakan metode ceramah (teacher centered). Selain itu mahasiswa masih terlihat pasif dan sangat tergantung pada dosen. Kemudian dari hasil belajar yang diperoleh pada mahasiswa semester 3 tahun ajaran 2015/2016 masih tergolong rendah dari 46 (100%) mahasiswa yang mendapatkan nilai sesuai standar hanya 18 (41%) mahasiswa. Hal ini dimungkinkan karena kemampuan metakognitif mahasiswa yang masih rendah yang mana berimbas pada hasil belajar yang rendah pula, sehingga perlu adanya perubahan metode pembelajaran inovatif yakni metode TAPPS.

(5)

pemahaman materi yang lebih mendalam. Melalui kegiatan tersebut, diharapkan mahasiswa dapat menggunakan kesadaran metakognitifnya dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, serta evaluasi.

Seorang pembelajar yang baik akan mengawali aktivitas belajarnya dengan merencanakan apa yang akan dilakukannya ketika belajar, dan akan memutuskan apakah menguasai apa yang telah dipelajarinya jadi jika dirasakan ada suatu pelajaran atau pembahasan pelajaran yang tidak dimengerti oleh mahasiswa, maka mahasiswa akan lebih aktif untuk mempelajarinya. Seperti membuat perencanaan apa yang akan dipelajari, melakukan pemantauan terhadap hasil belajar, mengevaluasi hasil belajar yang diperoleh, mengulang, mengorganisasi belajarnya, dan berusaha untuk mencapai hasil belajar yang optimal (Nurmalasari, 2015).

(6)

memantau, melaksanakan dan mengevaluasi. TAPPS merupakan suatu metode pemikiran tingkat tinggi yang dapat memonitor mahasiswa sehingga mereka dapat mengetahui apa yang belum diketahui. Dibandingkan dengan metode pembelajaran lain TAPPS memiliki keunggulan yang lebih baik yakni kejelasan peran dari mahasiswa pada saat memecahkan masalah. Dalam pelaksanaannya mahasiswa secara mandiri dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada pada suatu kasus tanpa bantuan orang lain. Sehingga metode pembelajaran ini dimungkinkan dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan hasil belajar mahasiswa. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Penerapan Metode Thinking Aloud Pairs Problem Solving (TAPPS) dalam Upaya Peningkatan Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar Mahasiswa PSIK di STIKES Darul Azhar Batulicin.

B. Rumusan Masalah

Apakah Metode TAPPS dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan hasil belajar mahasiswa PSIK di Stikes Darul Azhar Batulicin?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

(7)

a. Mengembangkan metode TAPPS di Stikes Darul Azhar Batulicin. b. Mengetahui perubahan kesadaran metakognitif dan hasil belajar

sebelum dan sesudah dilakukan metode TAPPS pada mahasiswa PSIK di Stikes Darul Azhar Batulicin.

c. Menganalisis penerapan metode TAPPS dalam upaya peningkatan kesadaran metakognitif dan hasil belajar mahasiswa PSIK di Stikes Darul Azhar Batulicin.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat: 1. Manfaat teori

Dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti lain dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan metode pembelajaran inovasi dalam cakupan pendidikan keperawatan.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Institusi STIKES Darul Azhar Batulicin

(8)

satu alternatif strategi pembelajaran yang berguna untuk meningkatkan kemampuan kesadaran metakognitif dan hasil belajar bagi mahasiswa keperawatan.

c. Bagi Mahasiswa Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kesadaran metakognitif dan hasil belajar mahasiswa guna menjadi lulusan perawat yang profesional.

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian selanjutnya terutama yang terkait dengan penerapan metode pembelajaran TAPPS.

E. Penelitian Terkait

Tabel 1.1 Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu No Nama

Peneliti

Judul Hasil Penelitian Perbedaan dan Persamaan 1. Mulyanti

(2014) Penerapan Pembelajaran Kolaboratif Teknik Think Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) untuk Meningkatkan Kebiasaan Berpikir dan Kemampuan Pemecahan Masalah

Tujuan penelitian untuk mengetahui adanya perbedaaan kebiasaan berpikir dan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam mata kuliah pengantar akuntasi. Metode penelitian

menggunakan quasi eksperiment,

(9)

Secondary-Level Students Performance in Career and Technical Education Courses

didik untuk memecahkan masalah. Sampel penelitian ini sebanyak 34 mahasiswa yang terbagi menjadi kelompok eksperimental 18 mahasiswa dan kelompok kontrol 16 mahasiswa. Hasil penelitian mengungkapkan keakuratan pemecahan masalah yang dilakukan oleh masing-masing kelompok. subjek penelitian dan tempat penelitian. Sedangkan persamaan penelitian terdapat pada variabel independen

3. Kani &

Masitah (2015) Applying the Thinking Aloud Pair Problem Solving Strategy in Mathematics Lessons

Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif pre and post test dengan melibatkan 21 siswa (12 laki-laki dan 9 perempuan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan dalam perilaku pemecahan masalah siswa terutama dalam memahami masalah. Meskipun TAPPS tidak membantu dalam meningkatkan pengetahuan konseptual siswa dalam matematika melainkan diperlukan siswa untuk memiliki pemahaman yang kuat dari pengetahuan konseptual terlebih dahulu agar dapat menyusun rencana untuk memecahkan masalah.

Perbedaan dalam penelitian ini terdapat pada tujuan penelitian, metode penelitian, variabel dependent, subjek penelitian dan tempat penelitian. Sedangkan persamaan penelitian terdapat pada variabel independen

4. Pate & Caitlin (2014) Compact Power Equipment Troubleshooti ng Training: Formative Assessment using Think-Aloud Pair Problem Solving

Tujuan penelitian untuk menggambarkan pikiran mahasiswa teknologi sistem pertanian saat menggunakan TAPPS untuk memecahkan masalah pada kesalahan mesin gas kompresi kecil. Sampel penelitian sebanyak 56 mahasiswa yang terbagi menjdi kelompok kontrol dan eksperimen. Hasil penelitian menggunakan uji chi-square asosiasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (χ2 (1) = 0,08, p = 0,78, phi = 0,038) di tingkat keberhasilan antara mahasiswa yang bekerja sendirian dan mereka yang menggunakan TAPPS.

Perbedaan dalam penelitian ini terdapat pada tujuan penelitian, metode penelitian, variabel dependent, subjek penelitian dan tempat penelitian. Sedangkan persamaan penelitian terdapat pada variabel independen

5. Pate &

George (2004) Effect of Thinking Aloud Pair Problem Solving on

Tujuan penelitian untuk menentukan dampak dari berpikir keras pasangan dalam pemecahan masalah (TAPPS) terhadap kinerja pemecahan masalah mahasiswa dalam kursus teknologi

(10)

Undergraduate Agriculture Students in a Power

Technology Course

eksperimen dan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan TAPPS dapat menjadi langkah penting dalam pengembangan keterampilan metakognitif antara siswa dalam pemecahan masalah teknologi.

persamaan

penelitian terdapat pada variabel independen

6. Rahadian (2013) Penerapan Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Berbantuan Multimedia Interaktif dalam Mata Pelajaran TIK terhadap Peningkatan Hasil Belajar siswa

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan rerata peningkatan hasil belajar siswa pada dalam ranah kognitif antara siswa kelompok atas, tengah dan bawah. Metode penelitian menggunakan desain pre eksperimental dengan

model One Group Pretest-Post Test

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Landasan Teori

1. Konsep Metode Pembelajaran

Beberapa penelitian sebelumnya oleh Danial (2010); Arifah et al., (2015) dan Irmayani (2013) menyebutkan bahwa problem based learning (PBL), discovery learning (DL) dan cooperative learning dengan metode TAPPS dapat meningkatkan kesadaran metakognitif dan hasil belajar. Berikut penjelasannya:

a. Problem Based Learning (PBL) 1) Definisi

Problem based learning (PBL) adalah lingkungan belajar yang didalamnya menggunakan masalah untuk belajar yaitu sebelum pembelajar mempelajari suatu hal mereka diharuskan mengidentifikasi suatu masalah baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus. Masalah diajukan sedemikian rupa sehingga para pelajar menemukan kebutuhan yang diperlukan agar mereka dapat memecahkan masalah tersebut (Nursalam & Ferry, 2012).

2) Tujuan PBL

(12)

ketiga ranah pembelajaran mahasiswa yang memenuhi kriteria ketiga ranah pembelajaran yaitu:

(a) Di bidang kognitif: berupa ilmu dasar dan ilmu terapan secara terintegrasi

(b) Di bidang psikomotor: berupa scientific reasoning, critical appraisal, information literacy, self directed learning, life long learning

(c) Di bidang afektif: berupa value of framework, hubungan antar manusia yang berkaitan masalah psikososial.

3) Kelebihan dan Kelemahan PBL

Adapun kelebihan PBL menurut Nursalam dan Ferry (2012) adalah sebagai berikut:

(a) PBL berpusat pada mahasiswa: memotivasi pembelajaran aktif, meningkatkan pemahaman dan menstimulus seseorang untuk terus belajar selama hidupnya

(b) Kompetensi umum: PBL memfasilitasi mahasiswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan umum yang dikehendaki dimasa mendatang

(c) Integrasi: PBL memfasilitasi integrasi kurikulum inti

(d) Motivasi: PBL menyenangkan bagi tutor dan mahasiswa serta prosesnya melibatkan mahasiswa dalam proses pembelajaran

(13)

menghubungkan konsep dengan aktivitas sehari-hari dan meningkatkan pemahaman mahasiswa)

(f) Pendekatan konstruktif: mahasiswa aktif berdasarkan pengetahuan dan membangun kerangka konseptual dari pengetahuan tersebut

Sedangkan kekurangan PBL menurut Nursalam dan Ferry (2012) adalah sebagai berikut:

(a) Peran tutor dalam PBL bukan untuk mengajar : tutor merasa nyaman dengan metode tradisional sehingga kemungkinan PBL akan terasa membosankan dan sulit

(b) Sumber daya manusia: lebih banyak staf yang terlibat dalam proses tutorial

(c) Sumber lain: sebagian besar mahasiswa memerlukan akses pada perpustakaan yang sama dan internet secara bersamaan pula. (d) Model peran: kemungkinan mahasiswa mengalami kekurangan

akses pada dosen yang berkualitas dimana dalam kurikulum tradisional memberikan kuliah dalam kelompok besar

(14)

b. Discovery Learning (DL) 1) Definisi

Menurut Irmayani (2013) metode pembelajaran discovery adalah suatu metode yang mana mahasiswa mampu menemukan sendiri pengetahuan yang belum diketahuinya melalui usaha mandiri.

2) Tujuan DL

Project (2008 dalam Irmayani 2013) menyampaikan tujuan dari pembelajaran DL terdapat pada ciri utama belajar menemukan yaitu:

(a) Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan

(b) Berpusat pada mahasiswa

(c) Kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada

3) Kelebihan dan Kelemahan DL

Suryosubroto (2009 dalam Husain 2012) memaparkan beberapa kelebihan metode penemuan sebagai berikut:

(a) Membantu mahasiswa mengembangkan penguasaan keterampilan dan proses kognitifnya.

(15)

(c) Membangkitkan minat pada mahasiswa, misalnya mahasiswa merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan dan kadang-kadang kegagalan.

(d) Memberi kesempatan pada mahasiswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri.

(e) Mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga mahasiswa lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar.

(f) Memperkuat pribadi mahasiswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses penemuan.

(g) Berpusat pada mahasiswa, yakni memberi kesempatan kepada mahasiswa dan dosen berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide.

(h) Membantu perkembangan siswa menuju skeptisisme yang sehat untuk menemukan kebenaran akhir dan mutlak.

Selain itu Suryosubroto (2009 dalam Husain 2012) juga memaparkan beberapa kelemahan metode DL sebagai berikut:

(a) Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini.

(b) Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar.

(16)

(d) Mementingkan memperoleh pengertian (pengetahuan) dan kurang memperhatikan diperolehnya sikap dan keterampilan. (e) Dalam beberapa ilmu, fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba

ide-ide mungkin tidak ada.

(f) Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berfikir kreatif, kalau pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih dahulu oleh dosen, demikian pula proses-proses di bawah pembinaannya tidak semua pemecahan masalah menjamin penemuan yang penuh arti.

c. Cooperative Learning dengan Metode TAPPS (Think Aloud Pairs Problem Solving)

1) Definisi

Menurut Krisanti dan Kamarza (2016) metode berpasangan Whimbey (TAPPS) adalah metode latihan untuk meningkatkan kesadaran proses berpikir : 1) Berpikir dan berbicara pada waktu yang bersamaan sewaktu memecahkan masalah yang mana dapat meningkatkan kemampuan menjelaskan proses berpikir, 2) Pembicara sebagai problem solver menjelaskan kepada pendengar.

(17)

berpikir yang diverbalkan secara berpasangan dalam menyelesaikan masalah.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa thinking aloud pairs problem solving (TAPPS) adalah suatu metode pembelajaran berpikir dan berbicara secara bersamaan yang mana mahasiswa berperan sebagai problem solver (pembicara) dan listener (pendengar) yang dilakukan secara berpasangan untuk memecahkan suatu masalah.

2) Tujuan TAPPS

Tujuan dari TAPPS adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah untuk memantau kemajuan kognitif dan metakognitif mahasiswa (Gourgey, 1998 dalam Pate & Greg, 2011).

3) Faktor yang Mempengaruhi TAPPS

Menurut Nurastiyani dan Supiyono (2014) faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan TAPPS antara lain: komposisi gender, kemampuan mahasiswa, human error

4) Peran Pendengar dalam Metoda TAPPS

Menurut Krisanti dan Kamarza (2016) peran pendengar dalam metode TAPPS antara lain:

(a) Menolong pembicara untuk menyadari bahwa pendengar bukan pengkritik

(b) Mengingatkan pembicara untuk berbicara terus

(18)

(d) Mengerti dan mengikuti setiap tahap proses berpikir pembicara (e) Tidak boleh membelakangi pembicara atau mencoba sendiri

memecahkan masalah tersebut.

(f) Tidak boleh ikut memecahkan masalah mengatakan pada pembicara apa yang seharusnya dia lakukan

(g) Tidak membolehkan pembicara melanjutkan bicaranya bila: (1) Tidak mengerti apa yang dijelaskan dan

(2) Menganggap ada kesalahan yang telah dibuat, sehingga pembicara harus mengecek kembali pernyataan, bila pembicara tidak melihat kesalahannya, tunjukkan kesalahannya tapi jangan memperbaikinya

5) Peran Pembicara dalam Metoda TAPPS

Menurut Krisanti dan Kamarza (2016) peran pembicara dalam metoda TAPPS antara lain:

(a) Duduk berdua bersebelahan dengan pensil atau pulpen dan kertas (b) Pembicara membaca soal tertulis dengan suara cukup keras

(pendengar tidak membaca)

(c) Mulai memecahkan masalah (mendapatkan solusi) dengan caranya sendiri. Tidak dibantu pendengar

(d) Bila mengalami kesukaran, kembali dan ulangi lagi pada bagian yang anda anggap sukar

(19)

(f) Anda sekarang sedang berlatih metoda TAPPS jadi masalah yang diberikan adalah masalah yang diberikan relatif mudah

6) Langkah – langkah dalam Menerapkan Metode TAPPS

Menurut Wijayanti (2013) tahapan pembelajaran dengan metode TAPPS adalah sebagai berikut:

(a) Tahap 1 (Pengajar Menyampaikan Materi)

(1) Dengan tanya jawab pengajar menjelaskan materi yang akan dibahas

(2) Mahasiswa dan pengajar bersama-sama membahas contoh soal

(3) Pengajar memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya kalau masih belum memahami

(b) Tahap 2 (Pengajar Membentuk Kelompok)

Pengajar membagi mahasiswa dalam beberapa tim (tim heterogen) yang terdiri dari 2 mahasiswa, dimana mereka akan saling bekerjasama secara berpasangan satu pihak (mahasiswa A) bertugas sebagai problem solver dan satu pihak lagi (mahasiswa B) sebagai listener.

(c) Tahap 3 (Membagikan Lembar Soal)

(20)

(d) Tahap 4 (Menyelesaikan Masalah Berpasangan/TAPPS)

Mahasiswa menyelesaikan masalah yang telah diberi oleh pengajar secara bergantian tugas dan pengajar hanya sebagai fasilitator. Sambil berkeliling, fasilitator mengawasi jalannya diskusi dan membantu jika ada mahasiswa yang mengalami kesulitan.

(e) Tahap 5 (Presentasi Hasil Diskusi)

Beberapa kelompok diminta mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya.

7) Kelebihan dan Kekurangan TAPPS

Menurut Desriyanti (2014) dan Wijayanti (2014) metode TAPPS memiliki beberapa keunggulan, antara lain:

(a) Mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk menganalisa suatu permasalahan dan memecahkan suatu permasalahan

(b) Meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep belajar (c) Melatih siswa berpikir secara sistematik

(d) Meningkatkan keahlian mendengarkan aktif

(e) Melatih konsentrasi siswa dalam menyimak dan mengoreksi penjelasan dari teman sebaya

(21)

(g) Setiap anggota pada pasangan TAPPS dapat saling belajar mengenai strategi pemecahan masalah satu sama lain sehingga mereka sadar tentang proses berpikir masing-masing.

(h) TAPPS menuntut seorang problem solver untuk berpikir sambil menjelaskan sehingga pola berpikir mereka lebih terstruktur. (i) Dialog pada TAPPS membantu membangun kerangka kerja

kontekstual yang dibutuhkan untuk meningkatkan pemahaman peserta didik.

(j) TAPPS memungkinkan peserta didik untuk melatih konsep, mengaitkan dengan kerangka kerja yang sudah ada dan menghasilkan pemahaman materi yang lebih mendalam.

(k) Memberikan kesempatan kepada siswa mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.

(l) Pemecahan masalah merupakan tehnik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.

Sedangkan menurut Nurastiyani dan Supriyono (2014); Wijayanti (2014) berdasarkan penelitian yang dilaksanakan, penerapan pembelajaran dengan strategi TAPPS memiliki beberapa kekurangan yakni:

(a) Tidak mudah bagi seorang siswa untuk menjelaskan kepada pasangannya tentang cara penyelesaian soal yang diberikan.

(22)

(c) Tidak mudah bagi siswa dengan kemampuan rendah untuk berperan sebagai problem solver.

(d) Jika kelas yang diterapkan strategi TAPPS merupakan kelas besar yakni dengan jumlah siswa yang banyak, maka guru akan kesulitan untuk mengontrol dan memberikan bimbingan pada setiap pasangan, karena terlalu banyak pasangan yang terbentuk. (e) Banyak siswa tidak senang apabila disuruh bekerja sama dengan

yang lain.

(f) Pengajar khawatir bahwa akan terjadi kekacauan dikelas. Kondisi seperti ini dapat diatasi dengan pengajar mengkondisikan kelas atau pembelajaran dilakukan dengan memotivasi siswa.

(g) Perasaaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok.

(h) TAPPS memerlukan banyak waktu.

8) Strategi Pemecahan Masalah dalam Metode TAPPS

(23)

(a) Membaca

(1) Baca lagi pernyataan yang berisi masalah tersebut

(2) Dengarkan baik-baik bila seseorang sedang menjelaskan permasalahan secara verbal

(3) Mengamati dengan seksama

(4) Memotivasi diri sendiri bahwa kita mampu mengerjakannya (5) Persiapan mental untuk mengerjakan tugas

(b) Mendefinisikan Masalah

(1) Mendefinisikan masalah yang sebenarnya merupakan tugas yang sangat menantang. Bila salah mendefinisikan, maka akan keliru menyelesaikan masalahnya.

(2) Mendefinisikan masalah perlu waktu yang cukup lama untuk mendapat gambaran yang sebenarnya dari masalah yang diberikan, dalam kelompok setiap anggota dapat memiliki gambaran yang berbeda tentang masalah.

(c) Mengeksplorasi

(1) Melihat kembali pernyataan masalah, latar belakang pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam memecahkan masalah

(2) Tidak membuat komitmen apapun tentang jawaban atau solusi masalah

(24)

(4) Menemukan asumsi yang paling masuk akal

(5) Menggabungkan kecakapan seperti kreativitas, analisis, generalisasi, menyederhanakan, menterjemahkan, melihat dari berbagai sudut pandang, serta memperluas dan menyempitkan pandangan.

(d) Merencanakan

Tahap eksplorasi berpindah ke tahap rencana, bila:

(1) Mulai mempetakan sub-masalah dan tahap-tahap yang harus diambil

(2) Mendaftar data yang harus dikumpulkan (3) Mencatat hipotesa yang harus dicoba

Kemudian memonitor tahap ini: (a) Apakah rencana keseluruhan?

(b) Apakah rencana ini terstruktur dengan baik? (c) Apakah rencana ini relevan?

(d) Bagaimana dapat mengukur kualitas rencana ini? (e) Bagaimana dapat memonitor kemajuannya? (e) Melaksanakan

(25)

(f) Mengevaluasi

(1) Jangan terlalu cepat berpuas diri atas keberhasilan menyelesaikan masalah tapi harus mengevaluasinya

(2) Perlu memeriksa bahwa jawaban sudah memenuhi alasan tidak ada kesalahan, dan jawaban memenuhi kriteria dan tujuan masalah

(3) Perlu melihat lagi proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah, dan apa yang sudah dipelajari dari memecahkan masalah tersebut.

2. Konsep Kesadaran Metakognitif a. Definisi

Menurut Daud et al., (2013) metakognitif adalah suatu bentuk berpikir sendiri tentang kognisinya sendiri. Selain itu, metakognisi melibatkan kemampuan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang aktivitas berpikirnya sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Seseorang dengan kemampuan seperti ini dimungkinkan memiliki kemampuan tinggi dalam memecahkan masalah.

(26)

memonitor dan meregulasi proses kognitif seperti penalaran, komprehensif (pemahaman) mengatasi masalah, belajar dan sebagainya.

Menurut Desmita (2010 dalam Herlanti 2015) mengemukakan bahwa metakognitif adalah sebuah konstruksi psikologi yang kompleks yang meliputi pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognisi atau pengetahuan tentang pikiran dan cara kerjanya.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kesadaran metakognitif adalah suatu bentuk kesadaran dalam berpikir untuk mengolah proses berpikirnya sendiri sehingga memunculkan suatu motivasi untuk memperbaiki kerangka berpikirnya dalam menghadapi suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan.

b. Komponen Metakognitif

Menurut Flavell (1979 dalam Danial 2010) metakognitif terdiri dua komponen yang saling berinteraksi yaitu:

1) Pengetahuan Metakognisi

Mengacu pada pemerolehan pengetahuan tentang proses kognitif, pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif dibagi menjadi beberapa antara lain:

a) Person Knowledge

(27)

b) Task Knowledge

Pengetahuan tentang tugas serta jenis pengolahan tugas yang akan diterapkan oleh individu.

c) Strategy Knowledge

Pengetahuan tentang kedua strategi kognitif dan metakognitif serta pengetahuan kondisional tentang kapan dan mana yang tepat untuk menggunakan strategi tersebut.

2) Pengalaman Metakognitif

Melibatkan penggunaan strategi metakognitif:

a) Strategi metakognitif adalah proses berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif dan untuk memastikan bahwa tujuan kognitif telah tercapai.

b) Proses ini membantu untuk mengatur dan memantau proses belajar dan terdiri dari perencanaan dan monitoring kegiatan kognitif serta memeriksa hasil kegiatan tersebut.

Hal ini juga didukung oleh Schraw dan Dennison (2006) metakognitif terdiri dari dua yaitu:

1) Pengetahuan tentang kognisi

(28)

a) Pengetahuan Deklaratif: Pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkan untuk keperluan belajar.

b) Pengetahuan Prosedural: Pengetahuan tentang bagaimana menggunakan apa saja yang telah diketahui dalam declarative knowledge pada aktivitas belajar.

c) Pengetahuan Kondisional: Pengetahuan tentang menggunakan suatu prosedur, keterampilan atau strategi, bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung, dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya.

2) Regulasi Kognisi

Bagaimana seseorang mengatur aktivitas kognisinya secara efektif, mekanisme pengaturan diri yang digunakan oleh individu yang aktif selama memecahkan masalah serta mengatur bagaimana individu belajar. Dalam regulasi kognisi ini terdapat subkomponen yakni:

(a) Perencanaan: kemampuan mahasiswa merencanakan aktivitas belajarnya.

(b) Strategi mengelola informasi: strategi mengelola informasi berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan

(29)

(d) Strategi perbaikan: kemampuan menggunakan strategi-strategi debugging yaitu strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam belajar

(e) Evaluasi: kemampuan mengevaluasi efektivitas strategi belajar, apakah akan mengubah strategi, menyerah pada keadaan atau mengakhiri kegiatan tersebut.

c. Sistem Pemprosesan Informasi

Menurut Woolfolk (2008 dalam Nuryana & Bambang 2012) didalam model pemprosesan informasi, proses kontrol eksekutif disebut sebagai keterampilan metakognitif sebab proses tersebut dapat digunakan secara intensif untuk mengarahkan atau mengatur proses kognisi. Suatu proses berpikir merupakan proses bagaimana informasi masuk ke dalam memori jangka panjang dan pemanggilannya kembali sebagai bentuk suatu pengetahuan. Proses kognisi tersebut dikontrol oleh suatu sistem yang disebut sistem eksekutif.

(30)

3 keterampilan esensial yang memungkinkan pengaturan proses kognisi yaitu perencanaan, pemonitorian, dan pengevaluasian.

d. Faktor yang Mempengaruhi Kesadaran Metakognitif

Menurut Winkel (1996 dalam Fasikhun 2008) faktor yang mempengaruhi kemampuan metakognitif yang berkaitan dengan fungsi kognitif seseorang yakni:

1) Taraf Intelegensi

Salah satu teori intelegensi yang erat kaitannya dengan metakognisi terbagi menjadi tiga komponen yakni: 1) Komponen pengatur dan pengontrol seperti mengidentifikasikan suatu masalah yang dihadapi dan merepresentasikannya dalam ingatan kerja, memilih strategi/siasat yang akan diterapkan, serta memonitor penerapan strategi tersebut. 2) Komponen pelaksanaan yaitu melakukan apa yang telah diputuskan dan yang akan diperbuat. 3) Komponen memperoleh informasi baru yaitu menambah pengetahuan deklaratif dan prosedural (Winkel, 1999).

2) Bakat Khusus

(31)

3) Organisasi Kognitif

Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah dipelajari disimpan dalam ingatan; apakah tersimpan secara sistematis atau tidak.

4) Taraf Kemampuan Berbahasa

Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu bacaan dan merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh itu dalam bahasa yang baik, sekurang-kurangnya bahasa tertulis. Mengingat kaitan yang ada antara berpikir yang tepat dengan berbahasa yang benar, maka tidaklah mengherankan bahwa siswa yang kurang mampu berbahasa, tertinggal dibandingkan dengan siswa yang mampu berbahasa dengan baik.

5) Daya Fantasi

(32)

ketegangan hidup sehari-hari (rekreasi), dan dalam menempatkan diri dalam situasi hidup orang lain (sosial).

6) Gaya Belajar

Gaya belajar visual menitikberatkan pada ketajaman penglihatan, artinya bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar mereka paham. Gaya belajar seperti ini mengandalkan penglihatan atau melihat dulu buktinya untuk kemudian bisa mempercayainya. Ada beberapa karakteristik yang khas bagi orang-orang yang menyukai gaya belajar visual yaitu: kebutuhan melihat sesuatu (informasi/pelajaran) secara visual untuk mengetahuinya atau memahaminya, memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, memiliki pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik, memiliki kesulitan dalam berdialog secara langsung, terlalu reaktif terhadap suara, sulit mengikuti anjuran secara lisan, seringkali salah menginterpretasikan kata atau ucapan.

(33)

secara langsung, memiliki kesulitan menulis ataupun membaca. Sedangkan untuk audiovisual merupakan kemampuan mahasiswa yang mengandalkan pada melihat dan mendengar, sehingga karakter yang dimiliki adalah campuran antara karakter visual dan auditori. Kemudian Susanto (2011) menambahkan faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif seseorang yaitu:

1) Faktor Keturunan (Hereditas)

Teori hereditas atau nativisme yang dipelopori oleh seorang ahli filsafat Schopenhauer yang mengemukakan bahwa manusia yang lahir sudah membawa potensi tertentu yang tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Taraf intelegensisudah ditentukan sejak lahir.

2) Faktor Lingkungan

John Locke berpendapat bahwa, manusia dilahirkan dalam keadaan suci seperti kertas putih yang belum ternoda, dikenal dengan teori tabula rasa. Taraf intelegensi ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari lingkungan hidupnya

3) Faktor Kematangan

Tiap organ (fisik maupun psikis) dikatakan matang jika telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Hal ini berhubungan dengan usia kronologis.

4) Faktor Pembentukan

(34)

yaitu pembentukan sengaja (sekolah formal) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).

5) Faktor Minat dan Bakat

Minat mengarahkan perbuatan kepada tujuan dan merupakan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik. Bakat seseorang akan mempengaruhi tingkat kecerdasannya. Seseorang yang memiliki bakat tertentu akan semakin mudah dan cepat mempelajarinya.

6) Faktor Kebebasan

Keleluasaan manusia untuk berpikir divergen (menyebar) yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah dan bebas memilih masalah sesuai kebutuhan.

e. Strategi Meningkatkan Kesadaran Metakognitif

Metakognisi merupakan suatu pengetahuan dan keterampilan yang mana tentunya dapat diajarkan, dilatihkan, atau dikembangkan. Osman dan Hannafin dalam Huitt (1997 dalam Fasikhun 2008) mengemukakan dua kriteria untuk mengklasifikasikan strategi-strategi pelatihan metakognitif yakni:

1) Pendekatan Pelatihan

(35)

2) Hubungan dengan Isi Pelajaran

Berdasarkan hubungannya dengan konten/isi pelajaran, strategi mungkin tergantung pada, atau bebas dari konten/isi pelajaran. Strategi content-dependent terfokus secara eksplisit pada konsep-konsep yang dipelajari dari konten khusus. Sebaliknya strategi content independent adalah bebas dari konten, yakni strategi umum yang tidak spesifik pada materi-materi akademik tertentu.

Kemudian Blakey dan Spence (1990 dalam Fasikhun 2008) mengemukakan strategi atau langkah untuk meningkatkan keterampilan metakognitif yakni:

1) Mengidentifikasi apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui Memulai aktivitas pengamatan, siswa perlu membuat keputusan yang disadari tentang pengetahuan mereka. Pertama-tama siswa menulis apa yang sudah saya ketahui tentang dan apa yang ingin saya pelajari tentang dengan menyelidiki suatu topik, siswa akan menverifikasi, mengklarifikasi dan mengembangkan, atau mengubah pernyataan awal mereka dengan informasi yang akurat.

2) Berbicara tentang Berpikir

(36)

mendeskripsikan proses berpikirnya, sedangkan pasangannya mendengarkan dan bertanya untuk membantu mengklarifikasi proses berpikir.

3) Membuat Jurnal Berpikir

Cara lain untuk mengembangkan metakognisi adalah melalui penggunaan jurnal atau catatan belajar. Jurnal ini berupa buku harian dimana setiap siswa merefleksi berpikir mereka, membuat catatan tentang kesadaran mereka terhadap kegandaan arti dan ketidakkonsistenan dan komentar tentang bagaimana mereka berurusan/menghadapi kesulitan.

4) Membuat Perencanaan dan Self regulation

Mahasiswa harus mulai bekerja meningkatkan responsibilitas untuk merencanakan dan meregulasi belajar mereka. Sulit bagi pembelajar menjadi orang yang mampu mengatur diri sendiri ketika belajar direncanakan dan dimonitori oleh orang lain.

5) Melaporkan Kembali Proses Berpikir

Aktivitas terakhir adalah menfokuskan diskusi mahasiswa pada proses berpikir untuk mengembangkan kesadaran tentang strategi-strategi yang dapat diaplikasikan pada situasi belajar yang lain. Metode tiga langkah dapat digunakan :

(37)

(b) Kelompok mengklasifikasi ide-ide yang terkait, mengindentifikasi strategi yang digunakan;

(c) Mereka mengevaluasi keberhasilan, membuang strategi-strategi yang tidak tepat, mengindentifikasi strategi yang dapat digunakan kemudian, dan mencari pendekatan alternatif yang menjanjikan. 6) Evaluasi Diri

Mengarahkan pengalaman evaluasi diri dapat diawali melalui pertemuan individual dan hal-hal yang berfokus pada proses berpikir. Secara bertahap, evaluasi diri akan lebih banyak diaplikasikan secara independent.

f. Alat Ukur Kesadaran Metakognitif

Menurut Herianti (2015) alat pengukur kesadaran metakognitif yang sering dipakai yakni: Metacognitive Awareness Inventory (MAI). Instrumen kesadaran metakognitif pertama kali dikembangkan oleh Schraw & Dennison (1994) dengan nama MAI. MAI terdiri dari 52 item pada 5 titik skala Likert yang dibagi 2 skala bagian yaitu skala pengetahuan kognisi dan pengaturan atau keterampilan kognisi yang mencakup tiga komponen umum yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional

(38)

mengukur metakognisi didasarkan pada pandangan metakognisi yang melibatkan pengetahuan tentang kemampuan dan keterampilan kognisi seseorang, dan pengetahuan dari strategi kognisi, serta memutuskan strategi yang tepat ketika diberikan sebuah tugas, menilai efektivitas strategi yang digunakan, dan mengubah strategi yang digunakan ketika tidak efektif. MAI terbukti valid dan dapat diandalkan untuk menilai metakognisi yang berkaitan dengan tugas belajar akademik. MAI adalah yang paling banyak diterima, diuji, dan dikutip dari semua alat penilaian metakognisi.

3. Konsep Hasil Belajar Mahasiswa a. Definisi

Hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011).

Menurut Yusuf (2015) tes hasil belajar merupakan salah satu tipe instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang kemajuan dan atau memberi nilai peserta didik dalam belajar. Assessment hasil belajar mempunyai hubungan timbal balik dengan hasil belajar dan kegiatan belajar pembelajaran.

(39)

b. Tujuan Penilaian Hasil Belajar

Menurut Sudjana (2005 dalam Majid 2014) tujuan penilaian hasil belajar sebagai berikut:

1) Mendeskripsikan kecakapan belajar siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya. Dengan pendeskripsian kecakapan tersebut dapat diketahui pula posisi kemampuan siswa dibandingkan dengan siswa lainnya

2) Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku siswa kearah tujuan pendidikan yang diharapkan

3) Menentukan tindak lanjut hasil penelitian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta sistem pelaksanaannya

4) Memberikan pertanggungjawaban dari pihak sekolah kepada pihak yang berkepentingan

c. Prinsip Assessment Hasil Belajar

Menurut Yusuf (2015) ada beberapa prinsip khusus yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tes hasil belajar sebagai berikut:

1) Tes dapat mengukur tujuan pendidikan

(40)

Sehingga antara tujuan dengan yang diukur sesuai dalam perwujudannya.

2) Tes merupakan sampel yang representatif

Dalam hal ini pengajar atau dosen perlu membuat kisi-kisi soal (blueprint) terlebih dahulu sehingga dapat memberikan gambaran lebih rinci tentang kawasan dan materi pembelajaran.

3) Bentuk tes harus sesuai dengan tujuan yang akan dicapai 4) Tes proses dan hasil belajar harus seterandal mungkin

Dalam hal ini, penyusun tes hasil belajar perlu:

a) Memperhatikan panjangnya tes yang disusun. Tes yang panjang lebih reliabel dari tes yang pendek

b) Memperbaiki butir soal yang kurang tepat, sehingga kualitas tes menjadi lebih baik

c) Menyediakan butir soal yang dapat mewakili tingkah laku yang diukur

d) Mengujicobakan tes yang telah disusun untuk mengetahui kesalahan dan kemudian menyempurnakannnya.

d. Macam Ranah Hasil Belajar

(41)

pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi dan menciptakan. Berikut ini adalah taksonomi Bloom yang telah direvisi antara lain:

(1) Mengingat

Mengingat merupakan usaha mendapatkan kembali pengetahuan memori atau ingatan yang telah lampau, baik yang baru saja didapatkan maupun yang sudah lama didapatkan. Mengingat merupakan dimensi yang berperan penting dalam proses pembelajaran yang bermakna dan pemecahan masalah. Kemampuan ini dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks. Mengingat meliputi mengenali dan memanggil kembali. Mengenali berkaitan dengan mengetahui pengetahuan masa lampau yang berkaitan dengan hal-hal yang konkrit. Sedangkan memanggil kembali adalah proses kognitif yang membutuhkan pengetahuan masa lampau secara tepat dan cepat.

(2) Memahami

(42)

(3) Menerapkan

Menerapkan menunjukkan pada proses kognitif memanfaatkan atau mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau menyelesaikan permasalahan. Menerapkan berkaitan dengan dimensi pengetahuan prosedural. Menerapkan meliputi kegiatan menjalankan prosedur dan mengimplementasikan.

(4) Menganalisis

Menganalisis merupakan memecahkan suatu permasalahan dengan memisahkan tiap bagian dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap bagian tersebut dan mencari tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan permasalahan.

(5) Mengevaluasi

(43)

(6) Menciptakan

Menciptakan mengarah pada proses kognitif meletakkan unsur secara bersama-sama untuk membentuk kesatuan yang koheren dan mengarahkan siswa untuk menghasilkan suatu produk baru dengan mengorganisasikan beberapa unsur menjadi bentuk atau pola yang berbeda dengan yang sebelumnya. Menciptakan sangat berkaitan erat dengan pengalaman belajar siswa pada pertemuan sebelumnya. Meskipun menciptakan mengarah pada proses berpikir kreatif, namun tidak secara total berpengaruh pada kemampuan siswa untuk menciptakan.

Menciptakan meliputi menggeneralisasikan dan memproduksi. Menggeneralisasikan merupakan kegiatan mempresentasikan permasalahan dan penemuan alternatif hipotesis yang diperlukan. Menggeneralisasikan ini berkaitan dengan berpikir divergen yang merupakan inti dari berpikir kreatif. Memproduksi mengarah pada perencanaan untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Memproduksi berkaitan erat dengan dimensi pengetahuan prosedural dan pengetahuan metakognisi.

e. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

(44)

1) Faktor Internal a) Faktor Jasmaniah

Kesehatan dan cacat tubuh merupakan hal dapat mempengaruhi hasil belajar mahasiswa. Apabila mahasiswa tersebut mengalami kesehatan yang buruk atau cacat tubuh maka dapat mengganggu proses belajarnya yang mana nantinya juga akan mempengaruhi hasil belajarnya.

b) Faktor Psikologis

Faktor psikologis dalam belajar sangat menentukan keberhasilan dalam proses belajar. Adapun faktor yang tergolong dalam faktor psikologis antara lain:

(1) Intelegensi

Intelegensi mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Pada dasarnya seseorang yang memiliki intelegensi tinggi biasanya akan lebih berhasil dibandingkan dengan intelegensinya rendah. Meskipun begitu seseorang dengan intelegensi tinggi belum tentu pasti berhasil karena belajar adalah proses yang kompleks yang banyak faktor lain yang mempengaruhinya. (2) Perhatian

(45)

belajarnya dengan siswa agar menimbulkan perhatian dari siswa. Sehingga siswa akan menaruh perhatian yang lebih besar terhadap bahan yang dipelajarinya.

(3) Minat

Minat mempunyai pengaruh yang cukup besar pula dalam menentukan hasil belajar. Suatu kegiatan yang diminati dan disenangi siswa akan menumbuhkan lebih besar rasa ingin belajar, secara otomatis hal ini memungkinkan untuk dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

(4) Bakat

Bakat merupakan kemampuan terdalam dari manusia, biasanya seseorang yang memiliki bakat tinggi akan lebih besar hasil belajar dibandingkan dengan seseorang yang tidak atau rendah bakatnya.

(5) Motif

(46)

(6) Kematangan

Kematangan siswa dalam belajar sangat berpengaruh terhadap hasil belajarnya karena diperlukan kesiapan dari siswa untuk dapat melakukan kegiatan belajarnya.

c) Faktor Kelelahan

Kelelahan disini digolongkan menjadi dua yakni kelelahan jasmani dan rohani. Bila seseorang mengalami kelelahan fisik akan merasa lemah dan malas untuk melakukan kegiatan belajar. Begitupun juga kelelahan rohani akan mengakibatkan kehilangan minat dan semangat untuk belajar.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal terbagi dalam 3 kategori meliputi: a) Faktor Keluarga

Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.

b) Faktor Sekolah

(47)

c) Faktor Masyarakat

(48)

B.Kerangka Teori

[image:48.842.94.728.130.510.2]

-

Gambar 2.1 Kerangka Teori Membaca Mendefinisikan masalah Mengeksplorasi Merencanakan Melaksanakan Mengevaluasi Monitoring (Memahami Masalah) Informasi penting (Masalah)

Fakta Konsep

Hipotesis P l a n i n g

Memutuskan pemecahan masalah

Evaluasi/checking Solusi T A P P S K E S A D A R A N M E T A K O G N I T I F Hasil belajar berdasarkan ranah kognitif (Bloom) :

(49)

C. Kerangka Konsep

Keterangan:

[image:49.842.107.743.89.493.2]

: Diteliti : Tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Thinking Aloud Pairs Problem Solving (TAPPS) Kesadaran Metakognitf Hasil Belajar Mahasiswa

Kategori dalam MAI: 1. Berkembang sangat baik 2. Berkembang baik

3. Mulai berkembang 4. Belum begitu

berkembang

5. Masih sangat beresiko

Kategori dalam Hasil Belajar:

1. Sangat baik 2. Baik 3. Cukup 4. Kurang Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

1. Eksternal a. Keluarga b. Sekolah c. Masyarakat 2. Internal a. Jasmaniah b. Kelelahan

Faktor yang Mempengaruhi Kesadaran Metakognitif: 1. Bakat khusus

2. Organisasi kognitif 3. Taraf kemampuan bahasa 4. Daya fantasi

Faktor yang

mempengatuhi TAPPS: 1. Komposisi gender 2. Kemampuan mahasiswa 3. Human error

5. Gaya belajar 6. Taraf intelegensi

(50)

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

[image:51.595.128.537.452.583.2]

Penelitian ini menggunakan pendekatan true experiment dengan rancangan pre and post test with control group design. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penerapan metode TAPPS dalam upaya peningkatan kesadaran metakognitif dan hasil belajar mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (SI) di STIKES Darul Azhar Batulicin. Pada penelitian ini, kelompok perlakuan mendapatkan intervensi metode pembelajaran TAPPS sedangkan kelompok kontrol mendapatkan metode pembelajaran ceramah. Sebelum dilakukan intervensi, pada kedua kelompok dilakukan pre test, kemudian dilanjutkan pemberian intervensi dan diakhiri dengan post test.

Gambar 3.1 Desain Penelitian

Keterangan:

A : Kesadaran metakognitif dan hasil belajar sebelum penerapan metode TAPPS pada kelompok perlakuan

Sampel Penelitian

Simple Random Sampling

Kelompok Perlakuan (A)

Metode TAPPS

Kelompok Kontrol (B)

Metode Ceramah

C

(52)

C : Kesadaran metakognitif dan hasil belajar setelah penerapan metode TAPPS pada kelompok perlakuan

D : Kesadaran metakognitif dan hasil belajar setelah penerapan metode ceramah pada kelompok kontrol

B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester empat sebanyak 45 mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (S1) di STIKES Darul Azhar Batulicin.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester empat Program Studi Ilmu Keperawatan (S1) di STIKES Darul Azhar Batulicin. Pemilihan sampel pada semester empat karena disesuaikan dengan karakteristik dari metode TAPPS yakni mahasiswa harus menguasai konsep dasar terlebih dahulu sebelum memecahkan kasus. Mahasiswa semester empat dianggap menguasai konsep karena pada semester sebelumnya telah mendapatkan materi dasar keperawatan. Kemudian sampel dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Adapun kriteria sampel pada kelompok perlakuan dan kontrol sebagai berikut:

(53)

3. Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini adalah 45 reponden yang dibagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok perlakuan sebanyak 22 responden, dan kelompok kontrol sebanyak 23 responden.

4. Tehnik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan probability sampling dengan teknik simple random sampling yakni sampel diambil secara acak dengan asumsi bahwa karakteristik tertentu yang dimiliki oleh populasi tidak dipertimbangkan dalam penelitian.

C. Lokasi Dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di STIKES Darul Azhar Batulicin. 2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan oleh peneliti pada tanggal Mei – Juli tahun 2016. D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah TAPPS 2. Variabel dependen

(54)

No Variabel Definisi Operasional Indikator Skala

1. Pemberian

metode TAPPS

Suatu metode latihan berpikir dan berbicara secara berpasangan yang terdiri dari

problem solver (pembicara) dan listener (pendengar), yang mana diberikan kasus untuk dapat memecahkan masalah.

Problem solver

menyampaikan proses pemecahan masalah dengan menggunakan strategi meliputi membaca, mendefinisikan masalah, mengeksplorasi, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi. Waktu yang digunakan maksimal selama 10 menit.

Strategi Pemecahan Masalah

MPS Woods:

1. Membaca

2. Mendefinisikan masalah 3. Mengeksplorasi

4. Merencanakan 5. Melaksanakan 6. Mengevaluasi

Ya = 2 Tidak = 1

2. Kesadaran metakognitif

Kesadaran Metakognitif merupakan proses berpikir seseorang untuk dapat memahami dan mengontrol proses belajarnya sendiri. Kesadaran metakognitif yang dikaji mencakup pengetahuan tentang kognisi terdiri dari pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisional

sedangkan regulasi kognisi terdiri dari perencanaan, strategi mengelola informasi,

pemantauan terhadap pemahaman, strategi perbaikan

dan evaluasi.

Indikator Kesadaran Metakognitf

A. Pengetahuan tentang

Kognisi 1. Pengetahuan Deklaratif 2. Pengetahuan Prosedural 3. Pengetahuan Kondisional B. Regulasi Kognisi

1. Perencanaan

2. Strategi Mengelola

Informasi 3. Pemantauan

terhadap Pemahaman 4. Strategi perbaikan 5. Evaluasi

Berkembang sangat baik = 81-100

Berkembang Baik = 61-80 Mulai Berkembang = 41-60 Belum begitu berkembang = 21-40 Masih sangat beresiko = 0-20

3. Hasil belajar siswa

Suatu kumpulan hasil pencapaian belajar yang diperoleh setelah melalui proses pembelajaran dan tes/ujian

Indikator hasil belajar: 1. Tes soal MCQ

Sangat baik = 80-100

[image:54.595.90.544.166.722.2]
(55)

penjabaran instrument berdasarkan variabelnya: 1. Instrumen Metode TAPPS

Instrumen yang digunakan berupa modul pembelajaran TAPPS dan rancangan kasus untuk problem solver dan listener. Modul dalam penelitian ini dibuat oleh peneliti sendiri sehingga nantinya akan dilakukan review oleh pakar dalam pembuatan modul. Modul ini berisi 6 topik bahasan penyakit yaitu Asma, Ca Paru, Pneumonia, Pneumothoraks, Abses Paru dan Bronkhiektasis serta tiap topik bahasan penyakit memiliki 2 kasus yang harus dipecahkan oleh problem solver.

2. Instrumen Kesadaran Metakognitif

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kesadaran metakognitif adalah MAI yang dimodifikasi dari Schraw & Dennison (1994). Instrumen diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh 2 ahli bahasa yang telah bersertifikasi, kemudian hasil terjemahan dicocokkan dan diuji keterbacaannya selanjutnya dilakukan uji validitas pada mahasiswa semester enam di STIKES Darul Azhar Batulicin. Uji validitas dilakukan sebanyak dua kali yang mana setiap uji coba dilakukan revisi sampai dengan valid.

3. Instrumen Hasil Belajar

(56)

Menurut Notoatmodjo (2012) pengalaman pada pre test dapat mempengaruhi hasil post test sehingga kemungkinan para responden penelitian dapat mengingat kembali jawaban yang salah pada waktu pre test dan kemudian pada waktu post test responden tersebut dapat memperbaiki jawabannya. Oleh sebab itu perubahan variabel terikat bukan karena hasil eksperimen melainkan karena pengaruh dari pre test. Sehingga dalam penelitian ini soal antara pre tes dan post test dibuat berbeda namun dalam isi soalnya memiliki level yang setara/sejajar, hal ini dapat dilihat melalui blueprint soal yang telah dibuat oleh peneliti. Soal dalam instrumen ini dibuat oleh peneliti sendiri sehingga dilakukan review oleh pakar sebanyak 3 orang. Setelah mendapat kelayakan soal untuk digunakan, peneliti melakukan uji coba soal pada mahasiswa semester enam di STIKES Darul Azhar Batulicin. Uji coba dilakukan sebanyak tiga kali yang mana dari setiap hasil uji coba dilakukan revisi sampai dengan hasil soal valid.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas 1. Perhitungan Validitas Instrumen

(57)
(58)

Azhar Batulicin. Hasil validasi soal hasil belajar baik pretest maupun post test didapatkan 120 pertanyaan dalam soal valid semua. Kemudian hasil corrected item - total item correlation lebih besar dari koefisien korelasi minimal (>0,312) sehingga semua pertanyaan soal dianggap valid.

2. Perhitungan Reliabilitas Instrumen

Uji reliabilitas instrumen kesadaran metakognitif dan hasil belajar menggunakan formula Alpha Cronbach diperoleh nilai ≥ 0,7 yang bermakna bahwa reliabilitasnya dalam kategori baik (tinggi).

H. Cara Pengumpulan Data 1. Penelitian tahap persiapan

a. Menentukan populasi dan sampel penelitian yakni seluruh mahasiswa semester 4 PSIK STIKES Darul Azhar Batulicin tahun ajaran 2014/2015.

b. Melakukan uji coba instrumen kesadaran metakognitif dan soal hasil belajar masing-masing dilakukan sebanyak tiga kali pada kelas uji coba c. Menganalisis data hasil uji coba instrumen kesadaran metakognitif dan

soal hasil belajar

(59)

peneliti meminta persetujuan dari responden untuk melakukan penelitian.

f. Peneliti membagi responden menjadi 2 kelompok yakni kelompok eksperimen sebanyak 22 mahasiswa dan kelompok kontrol sebanyak 23 mahasiswa. Pemilihan sampel dilakukan secara acak dengan memperhatikan proporsi jumlah jenis kelamin dan level kemampuan mahasiswa yang dibagi secara merata pada kelompok perlakuan dan kontrol.

g. Peneliti melakukan koordinasi dengan dosen pengampu mata kuliah respirasi. Kemudian membagi tugas dalam pemberian metode pembelajaran, pemberian metode TAPPS pada kelompok perlakuan dilakukan oleh peneliti dan metode konvensional (ceramah) pada kelompok kontrol dilakukan oleh dosen pengampu mata kuliah respirasi (asisten peneliti).

h. Memberikan buku modul pada mahasiswa kelompok eksperimen untuk persiapan pembelajaran TAPPS dan pada kelompok kontrol tidak diberikan modul.

2. Penelitian tahap pelaksanaan

(60)
(61)

c. Setelah tahapan TAPPS terlampaui kegiatan proses pembelajaran diakhiri. Kemudian mahasiswa diberikan post test terkait kesadaran metakognitif dan hasil belajar dengan instrumen yang telah dipersiapkan. Post test dilakukan pada kedua kelompok baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen.

3. Penelitian Tahap Terminasi

(62)

semester 4 sejumlah 45 mahasiswa

Sampel Sebagian mahasiswa semester 4 sejumlah 45

mahasiswa Simple Random

Sampling

Kelompok Eksperimen (N=22) Kelompok Kontrol (N=23)

Pre test Pre test

Pengukuran kesadaran metakognitif dengan instrumen MAI dan hasil

belajar dengan soal MCQ

Pengukuran kesadaran metakognitif dengan instrumen MAI dan hasil

belajar dengan soal MCQ

Perlakuan dengan Metode TAPPS

Metode Konventional (ceramah)

Post test Post test

Pengukuran kesadaran metakognitif dengan instrumen MAI dan hasil

belajar dengan soal MCQ

Pengukuran kesadaran metakognitif dengan instrumen MAI dan hasil

belajar dengan soal MCQ Data Dianalisis

Paired T Test Independent T Test

Pemilihan Kelompok secara

[image:62.595.119.546.120.764.2]
(63)

Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah melalui beberapa tahap yaitu: a. Editing

Peneliti melakukan pengecekan isi dari kuesioner pada setiap responden agar meminimalkan terjadi kesalahan pengisian yang dilakukan setelah kuesioner terkumpul. Dalam tahap ini dilakukan pemeriksaan antara lain: kesesuaian jawaban, kelengkapan pengisian serta konsistensi jawaban. Editing pada proses ini peneliti memeriksa semua instrumen penelitian yang masuk mengenai kelengkapan maupun kesalahan dalam pengisian, hal ini dilakukan dilapangan sehingga bila terjadi kekurangan atau ketidaksesuaian dapat segera dilengkapi.

b. Coding

(64)

c. Skoring

Peneliti melakukan skoring pada masing-masing variabel kesadaran metakognitif dan hasil belajar. Pada variabel kesadaran metakognitif dilakukan skoring untuk jawaban sangat setuju: 4, setuju: 3, tidak setuju: 2, sangat tidak setuju: 1 sedangkan pada variabel hasil belajar untuk jawaban benar diberi skor: 1 dan skor 0 untuk jawaban salah.

d. Entry Data

Peneliti melakukan proses entry data dengan memasukkan data yang didapat dari instrument kedalam komputer dan dimasukkan dalam program spss untuk dianalisa.

e. Cleaning Data

Peneliti memeriksa kembali data yang sudah dientry kedalam komputer kemudian dilakukan analisa.

2. Metode Analisis Data

a. Teknik Analisis Univariat

(65)

b. Teknik Analisis Bivariat

(66)

Seluruh responden dengan jumlah 45 responden dalam penelitian ini setuju untuk dilakukan penelitian dan menandatangani inform consent. Inform consent diberikan sebelum pemberian intervensi metode TAPPS. 2) Anonimity (Penjagaan Privasi)

Informasi yang telah dikumpulkan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dengan tidak mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, cukup dengan memberikan no kode tertentu pada masing-masing lembar tersebut.

3) Confidentiallity

Dalam penelitian ini, semua informasi responden yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil riset.

(67)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Tempat Penelitian

(68)

2. Karakteristik Responden

Hasil analisis karakteristik responden pada penelitian ini menggambarkan distribusi responden dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berdasarkan jenis kelamin, usia, faktor kesehatan, faktor kelelahan, faktor lingkungan, dukungan keluarga, gaya belajar dan taraf intelegensi pada mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (SI) Di Stikes Darul Azhar Batulicin (n=45)

Variabel Perlakuan Kontrol

F % f %

Jenis kelamin • Laki-laki • Perempuan 5 17 22,7 77,3 5 18 21,7 78,3 Umur • <20 • >20 6 16 27,3 72,7 7 16 30,4 69,6 Faktor Kesehatan • Sehat • Tidak Sehat

18 4 81,8 18,2 18 5 78,3 21,7 Faktor Kelelahan • Lelah • Tidak lelah

5 17 22,7 77,3 5 18 21,7 78,3 Faktor Lingkungan Masyarakat • Mendukung

• Tidak Mendukung

18 4 81,8 18,2 17 6 73,9 26,1 Faktor Lingkungan Sekolah

• Mendukung

• Tidak Mendukung

21 1 95,5 4,5 22 1 95,7 4,3 Faktor Dukungan Keluarga

• Mendukung

• Tidak mendukung

22 - 100 - 22 1 95,7 4,3 Gaya Belajar • Visual • Audio • Audiovisual 2 - 20 9,1 - 90,9 2 1 20 8,7 4,3 87,0 Taraf Intelegensi (IP)

[image:68.595.168.498.250.719.2]
(69)

Berdasarkan tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa jenis kelamin responden mayoritas berjenis kelamin perempuan, umur responden sebagian besar berumur >20 tahun, faktor kesehatan responden mayoritas sehat, faktor kelelahan responden mayoritas tidak lelah, faktor lingkungan masyarakat responden mayoritas mendukung, faktor dukungan keluarga mayoritas mendukung, faktor lingkungan sekolah mayoritas mendukung, gaya belajar mahasiswa mayoritas bertipe audiovisual dan berdasarkan taraf intelegensi indeks prestasi kumulatif sebagian besar memiliki IPK 2,51-3,50.

3. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar

[image:69.595.152.524.486.708.2]

Hasil analisis faktor yang mempengaruhi kesadaran metakognitif dan hasil belajar dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Faktor yang mempengaruhi kesadaran metakognitif dan hasil belajar (n=45)

Variabel

Kesadaran

Metakognitif P value

Hasil Belajar

P value

Β SE β SE

Constant 136,514 23,739 0,000 197,367 36,832 0,000

TAPPS -12,441 2,261 0,000 -26,476 3,507 0,000

Jenis kelamin -0,444 2,866 0,878 -0,214 4,446 0,962

Umur -1,182 3,152 0,710 -2,977 4,890 0,547

Faktor Lingkungan

Sekolah 3,471 5,603 0,540 -17,941 8,694 0,047

Faktor Kesehatan -6,169 5,084 0,233 -14,790 7,888 0,069

Faktor Kelelahan -4,136 4,718 0,387 -6,814 7,319 0,358

Faktor Lingkungan

Masyarakat -5,159 3,460 0,145 12,347 5,467 0,036

Faktor dukungan

keluarga 4,200 8,113 0,608 -28,242 12,588 0,031

Gaya Belajar -4,931 2,055 0,022 -1,951 3,188 0,545

Taraf intelegensi -2,108 1,774 0,243 -4,631 2,753 0,102

(70)

Berdasarkan hasil uji regresi berganda faktor yang mempengaruhi kesadaran metakognitif yang terdiri dari: jenis kelamin, umur, faktor kesehatan, faktor kelelahan, faktor lingkungan masyarakat, faktor lingkungan sekolah, faktor dukungan keluarga dan taraf intelegensi mahasiswa didapatkan nilai koefisient (p>0,05) sehingga tidak ada pengaruh secara signifikan terhadap kesadaran metakognitif. Sedangkan pada gaya belajar didapatkan nilai koefisient (p<0,05) sehingga ada pengaruh secara parsial terhadap kesadaran metakognitif mahasiswa.

Kemudian pada ringkasan model diperoleh nilai R Square 0,558. Angka tersebut berarti bahwa 55,8% kesadaran metakognitif yang terjadi dapat dijelaskan oleh variabel bebas: jenis kelamin, umur, faktor kesehatan, faktor kelelahan, faktor lingkungan masyarakat, faktor lingkungan sekolah, faktor dukungan keluarga, gaya belajar dan taraf intelegensi. Sedangkan sisanya 44,2% dijelaskan oleh faktor lain di luar model regresi ini. Nilai Durbin – Watson pada tabel di atas sebesar 2, 242. Nilai ini mempunyai makna tidak terjadi otokorelasi dalam model regresi ini. Ketentuannya ialah akan terjadi otokorelasi jika nilai Durbin – Watson: 1 < DW > 338.

(71)

Fhitung > Ftabel (4,254 > 2,12) dengan signifikan 0,001 < 0,05. Hal ini berarti terdapat pengaruh positif dan signifikan antara jenis kelamin, umur, faktor kesehatan, faktor kelelahan, faktor lingkungan masyarakat, faktor lingkungan sekolah, faktor dukungan keluarga, gaya belajar dan taraf intelegensi secara simultan (bersama-sama) terhadap kesadaran metakognitif.

Berdasarkan hasil uji regresi berganda faktor yang mempengaruhi hasil belajar yang terdiri dari: jenis kelamin, umur, faktor kesehatan, faktor kelelahan, faktor lingkungan masyarakat dan taraf intelegensi mahasiswa didapatkan nilai koefisien (p>0,05) sehingga tidak ada pengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar. Sedangkan pada faktor lingkungan sekolah, faktor dukungan keluarga didapatkan nilai koefisien (p<0,05) sehingga ada pengaruh secara parsial terhadap kesadaran metakognitif mahasiswa.

(72)

Ketentuannya ialah akan terjadi otokorelasi jika nilai Durbin – Watson: 1 < DW > 338.

Uji Anova menghasilkan angka F sebesar 8,237 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,001. Karena angka probabilitas 0,000 < 0,05 maka model regresi ini sudah layak untuk digunakan dalam memprediksi hasil belajar mahasiswa. Hasil perhitungan dengan SPSS diperoleh F hitung sebesar 8,237 serta F tabel sebesar 2,12. Karena Fhitung > Ftabel (8,237 > 2,12) dengan signifikan 0,000 < 0,05. Hal ini berarti terdapat pengaruh positif dan signifikan antara jenis kelamin, umur, faktor kesehatan, faktor kelelahan, faktor lingkungan masyarakat, faktor lingkungan sekolah, faktor dukungan keluarga, gaya belajar dan taraf intelegensi secara simultan (bersama-sama) terhadap hasil belajar.

4. Perubahan Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar Sebelum dan Sesudah Diterapkan Metode Thinking Aloud Pairs Problem Solving

(TAPPS) Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol.

Hasil analisis perubahan kesadaran metakognitif dan hasil belajar sebelum dan sesudah dilakukan intervensi dapat dilihat pada tabel 4.3.

(73)

cukup (60) dan hasil belajar sebelum diterapkan metode ceramah (Kontrol) hasil belajar mahasiswa cukup (55,65).

Tabel 4.3 Perubahan Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan (P) dan kelompok kontrol (K) mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (S1) STIKES Darul Azhar Batulicin (n=45)

Variabel Mean

Sebelum Perlakuan Mean Sesudah Perlakuan P Value

Kesadaran Metakognitif 1 (P) Kesadaran Metakognitif 1 (K) Hasil Belajar 1 (P)

Hasil Belajar 1 (K)

73,05 73,57 60,00 55,65 77,55 74,00 70,45 55,22 0,005 0,822 0,024 0,932 Kesadaran Metakognitif 2 (P)

Kesadaran Metakognitif 2 (K) Hasil Belajar 2 (P)

Hasil Belajar 2 (K)

73,18 75,96 57,73 60,87 76,36 74,35 70,00 58,26 0,037 0,256 0,038 0,509 Kesadaran Metakognitif 3 (P)

Kesadaran Metakognitif 3 (K) Hasil Belajar 3 (P)

Hasil Belajar 3 (K)

75,64 76,74 55,91 56,96 80,55 77,61 68,18 67,39 0,040 0,526 0,016 0,103 Kesadaran Metakognitif 4 (P)

Kesadaran Metakognitif 4 (K) Hasil Belajar 4 (P)

Hasil Belajar 4 (K)

75,95 76,70 52,73 61,30 81,86 75,48 77,27 56,09 0,002 0,484 0,000 0,310 Kesadaran Metakognitif 5 (P)

Kesadaran Metakognitif 5 (K) Hasil Belajar 5 (P)

Hasil Belajar 5 (K)

72,14 73,65 52,73 43,04 83,64 77,09 80,91 50,00 0,000 0,056 0,000 0,210 Kesadaran Metakognitif 6 (P)

Kesadaran Metakognitif 6 (K) Hasil Belajar 6 (P)

Hasil Belajar 6 (K)

75,64 73,35 52,27 56,52 89,05 76,39 83,64 56,52 0,000 0,061 0,000 1,000 Sumber: Primer, 2016

[image:73.595.152.505.203.576.2]
(74)

mahasiswa yang telah diterapkan metode ceramah hasil belajar mahasiswa tetap dalam kategori cukup (56,52).

Berdasarkan tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa variabel-variabel yang menunjukkan perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah diterapkan metode TAPPS dengan menggunakan uji statistik Paired Sample T Test adalah kesadaran metakognitif dan hasil belajar pada kelompok perlakuan dipertemuan pertama sampai dengan pertemuan keenam diperoleh hasil p value <0,05, sedangkan pada kelompok kontrol pada variabel kesadaran metakognitif dan hasil belajar menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah diterapkan metode ceramah yang mana diperoleh hasil p value >0,05.

5. Perbedaan Perubahan Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar antara Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol

Hasil analisis perbedaan perubahan kesadaran metakognitif dan hasil belajar antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 4.4

(75)

penerapan metode TAPPS tampil sama dengan mahasiswa yang diberi penerapan metode pembelajaran ceramah.

Tabel 4.4 Perbedaan perubahan kesadaran metakognitif dan hasil belajar antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (S1) STIKES Darul Azhar Batulicin (n=45).

Variabel Mean Selisih t hitung p Value Kesadaran Metakognitif 1 (P)

Kesadaran Metakognitif 1 (K) Hasil Belajar 1 (P)

Hasil Belajar 1 (K)

Gambar

Tabel 1.1 Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Desain Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

jenis jaring insang yang dioperasikan secara pasif umumnya dilakukan pada.. malam hari dengan atau tanpa alat

Hasil penelitian adalah sebuah aplikasi sistem pencarian dan pemesanan pemandu wisata berbasis web yang menampilkan daftar seluruh pemandu wisata yang terdaftar sebagai

Perkenankanlah kami menyampaikan keterangan Presiden baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan atas Permohonan

Diharapkan perancangan ini dapat memberikan informasi pada masyarakat Surabaya, khususnya para ibu hamil tentang pentingnya pola makan sehat pada masa

Based on the UV-A light characteristics of UV-LED irradiators superior to UV-A/B from UV- mercury irradiators as described above, we can draw a prototype UV-LED photoreactor for the

Menurut Kusumadewi (2003) menyatakan bahwa metode back propagation dapat digunakan untuk melakukan pendeteksian suatu jenis penyakit, gangguan, maupun kasus yang memiliki data

Dengan dibuatnya aplikasi multimedia player ini pemakai tidak perlu membutuhkan 2 player untuk menjalankan file audio dan file video dengan berbagai macam jenis file yang

Model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dan memberikan pembelajaran berkaitan erat dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan pembelajaran Contextual Teaching