• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Bioetanol Dari Eceng Gondok Dengan Proses Hidrolisis, Fermentasi, Dan Ekstraksi Secara Terpadu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembuatan Bioetanol Dari Eceng Gondok Dengan Proses Hidrolisis, Fermentasi, Dan Ekstraksi Secara Terpadu"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN BIOETANOL DARI ECENG GONDOK DENGAN

PROSES HIDROLISIS, FERMENTASI, DAN EKSTRAKSI

SECARA TERPADU

TESIS

Oleh

OKTA BANI

117022004/TK

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMBUATAN BIOETANOL DARI ECENG GONDOK DENGAN

PROSES HIDROLISIS, FERMENTASI, DAN EKSTRAKSI

SECARA TERPADU

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik

Pada Program Studi Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

OLEH

OKTA BANI

117022004/TK

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Taslim, M.Si

Anggota : - Dr. Eng. Ir. Irvan, M.Si

- Prof. Dr. Ir. Rosdanelli Hsb, MT

(5)

ABSTRAK

Eceng gondok merupakan gulma air yang dianggap merusak dan susah diberantas. Salah satu cara pengendalian yang cukup menjanjikan adalah memanfaatkannya untuk produksi bioetanol. Penelitian terdahulu telah berhasil menghasilkan etanol dari eceng gondok, tetapi teknologi ini masih belum menguntungkan. Pemilihan tekonologi praperlakuan yang tepat dan produksi enzim secara on-site dianggap penting untuk menurunkan biaya produksi. Selain itu, penerapan proses daur-ulang dan ekstraksi secara simultan juga menjanjikan sebagai pengganti teknologi pemurnian yang banyak digunakan saat ini yaitu distilasi. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi kompatibilitas proses-proses tersebut dalam produksi bioetanol. Dalam penelitian ini, eceng gondok yang telah dihaluskan dihadapkan pada 4 jenis praperlakuan: dilute acid pretreatment (DAP), liquid hot water (LHW), praperlakuan biologis, and tanpa praperlakuan. Kemudian, eceng gondok dihidrolisis dengan campuran selulase dari Tricoderma reesei dan

Aspergillus niger, dan difermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae dan Candida utilis. Kaldu fermentasi didaur-ulang langsung setelah penyaringan, dan biodiesel sawit digunakan sebagai pengekstrak. Magnesium sulfat ditambahkan untuk meningkatkan kualitas proses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan DAP, penambahan inokulum C. utilis dan magnesium sulfat, serta ekstraksi dengan biodiesel sawit memberikan hasil positif. Daur ulang kaldu meningkatkan kadar etanol yang dicapai, tetapi menurunkan yield etanol yang dihasilkan.

(6)

ABSTRACT

Water hyacinth is an aquatic weed that is considered damaging and difficult to eradicate. One promising way to control it is by utilizing it for bioethanol production. Previous researches have successfully yielded ethanol from water hyacinth, but this technology is yet to be profitable. Correct choice of pretreatment and on-site enzyme production are considered important to cut the production cost. In addition, integration of recycling process along with simultaneous extraction seems promising as a substitute for existing purification technology (distillation). Therefore, this study aimed to evaluate compatibility of these processes in the production of bioethanol. In this study, pre-blended water hyacinth was subjected to 4 types of pretreatment: dilute acid pretreatment (DAP), liquid hot water (LHW), biological, and without pretreatment. Afterwards, water hyacinth was hydrolyzed by cellulase mixture from Tricoderma reesei and Aspergillus niger, and subsequently fermented by Saccharomyces cerevisiae and Candida utilis. Fermentation broth was directly recycled after filtration, and palm biodiesel was used as extractor. Magnesium sulfate was added to enhance the process. Result favors the use of DAP as pretreatment, addition of C. utilis inoculums and magnesium sulfate in fermentation broth, as well as extraction by palm biodiesel. Broth recycling increase ethanol level, but lowers ethanol yield.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul:

PEMBUATAN BIOETANOL DARI ECENG GONDOK DENGAN PROSES

HIDROLISIS, FERMENTASI, DAN EKSTRAKSI SECARA TERPADU

Dalam penyusunan tesis ini, Penulis mendapatkan bimbingan serta bantuan

dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini juga, Penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada Bapak Dr. Ir. Taslim, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Ketua Program Studi Magister Teknik Kimia yang telah memberikan bimbingan,

arahan dan bantuan dalam penyusunan Tesis ini; Bapak Dr. Eng. Ir. Irvan, M.Si

selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan

dalam penyusunan Tesis ini; Ibu Dr. Ir. Iriany, M.Si atas kesediaannya sebagai

penguji Tesis ini; Ibu Prof. Dr. Ir. Rosdanelli Hsb, MT atas kesediaannya sebagai

penguji Tesis ini; Ibu Feni Amriani, ST, MT atas bantuannya selama penelitian;

Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) yang telah mendanai penelitian ini;

dan rekan-rekan di Magister Teknik Kimia USU serta seluruh pihak yang telah

membantu dan memberi dukungan dalam penyelesaian Tesis ini.

Terima kasih sebesar-besarnya disampaikan secara khusus kepada kedua

orang tua Penulis yang telah memberikan dukungan moral dan spiritual karena

(8)

Dalam penyusunan Tesis ini, Penulis menyadari masih banyak terdapat

kekurangan. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari

pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan ini. Akhir kata,

Penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, 24 Februari 2014

Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan pada tanggal 1 Nopember 1988, merupakan anak

kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Darmadi dan Ibu Jang King.

Pendidikan TK ditempuh di TK SUTOMO I MEDAN pada tahun 1992 -

1994, kemudian melanjutkan ke pendidikan sekolah dasar di SD SUTOMO I pada

tahun 1994 – 2000, kemudian melanjutkan ke SLTP SUTOMO I pada tahun 2000 –

2003, dan SMA SUTOMO I pada tahun 2003 – 2006.

Pada tahun 2006 Penulis melanjutkan pendidikan di Program Sarjana Teknik

Kimia di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2011.

Setelah itu Penulis mengambil program Magister Teknik Kimia di Fakultas Teknik

(10)

DAFTAR ISI

Judul Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Lingkup Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Eceng Gondok dalam Produksi Bioetanol ... 8

2.2. Karakteristik dan Pola Perkembangbiakan Eceng Gondok ... 9

(11)

2.4. Danau Toba dan Masalah Eceng Gondok ... 13

2.5. Ulasan Teknologi Produksi Bioetanol ... 14

2.5.1. Metode Praperlakuan ... 16

2.5.2. Metode Hidrolisis ... 18

2.5.3. Fermentasi dan Skema Proses Terpadu ... 23

2.5.4. Strategi – Strategi yang Diterapkan untuk Meningkatkan Tiap Proses ... 24

2.6. Produksi Bioetanol dari Eceng Gondok dan Perkembangannya . 25 2.7. Komponen – Komponen dalam Produksi Bioetanol ... 26

2.7.1. Selulosa ... 26

2.7.2. Hemiselulosa ... 35

2.7.3. Lignin ... 36

2.7.4. Struktur Mikrofibril Lignoselulosa ... 37

2.8. Mikroorganisme dalam Produksi Bioetanol ... 38

2.8.1. Trichoderma reesei ... 38

2.8.2. Aspergillus niger ... 39

2.8.3. Saccharomyces cerevisiae ... 39

2.8.4. Candida utilis ... 39

2.8.5. Jamur Akar Putih... 40

2.9. Modifikasi Proses dalam Produksi Bioetanol ... 40

(12)

2.9.2. Co-Fermentasi Hemiselulosa ... 43

2.9.3. Sistem Fermentasi Non-Steril ... 43

2.9.4. Daur Ulang dalam Produksi Bioetanol ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 45

3.1. Lokasi Penelitian ... 45

3.2. Bahan dan Peralatan ... 45

3.3. Prosedur... 47

3.3.1. Prosedur Pembenihan Isolat... 48

3.3.2. Prosedur Persiapan Inokulum ... 49

3.3.3. Prosedur Persiapan Eceng Gondok ... 49

3.3.4. Prosedur Pembuatan Enzim ... 50

3.3.5. Prosedur Praperlakuan Eceng Gondok ... 50

3.3.6. Prosedur Fermentasi Eceng Gondok ... 52

3.3.7. Prosedur Daur Ulang Hidrolisat ... 52

3.3.8. Prosedur Analisis Densitas ... 53

3.3.9. Prosedur Analisis Viskositas ... 53

3.3.10. Prosedur Analisis pH ... 54

3.3.11. Prosedur Analisis Kadar Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin ... 54

3.3.12. Prosedur Analisis Kadar Air ... 55

(13)

3.3.14. Prosedur Assay Enzim ... 56

3.3.15. Prosedur Analisis Kadar Etanol ... 57

3.4. Flowchart ... 59

3.4.1. Flowchart Pembenihan Isolat ... 59

3.4.2. Flowchart Persiapan Inokulum ... 60

3.4.3. Flowchart Persiapan Eceng Gondok ... 61

3.4.4. Flowchart Pembuatan Enzim ... 62

3.4.5. Flowchart Praperlakuan Eceng Gondok ... 63

3.4.6. Flowchart Fermentasi Eceng Gondok ... 64

3.4.7. Flowchart Daur Ulang Hidrolisat ... 66

3.4.8. Flowchart Analisis Densitas ... 68

3.4.9. Flowchart Analisis Viskositas... 69

3.4.10. Flowchart Analisis pH ... 70

3.4.11. Flowchart Analisis Kadar Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin ... 71

3.4.12. Flowchart Analisis Kadar Air ... 74

3.4.13. Flowchart Analisis Kadar Gula ... 75

3.4.14. Flowchart Assay Enzim ... 76

3.4.15. Flowchart Analisis Kadar Etanol ... 77

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 78

(14)

4.2. Pengaruh Metode Praperlakuan pada Fermentasi ... 79

4.3. Pengaruh Kadar Magnesium Sulfat pada Fermentasi ... 81

4.4. Pengaruh Durasi Fermentasi pada Fermentasi ... 82

4.5. Pengaruh Pemilihan Mikroorganisme pada Fermentasi ... 83

4.6. Pengaruh Perbandingan Pelarut pada Fermentasi ... 85

4.7. Pengaruh Daur Ulang pada Fermentasi ... 87

4.8. Data Densitas dan Viskositas Kaldu Fermentasi dan Pelarut ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

5.1. Kesimpulan ... 92

5.2. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN A DATA PENELITIAN ... 105

A.1. Hasil Analisis Kadar Air Eceng Gondok ... 105

A.2. Hasil Analisis Kandungan Hemiselulosa-Selulosa-Lignin Eceng Gondok ... 105

A.3. Data dan Kurva Kalibrasi Larutan Etanol Standar ... 106

A.4. Data dan Kurva Kalibrasi Etanol-Biodiesel Sawit ... 106

A.5. Data Analisis GC Sampel ... 107

A.6. Data dan Kurva Kalibrasi Larutan Gula Standar ... 108

A.7. Data Analisis Spektrofotometer UV-Vis (λ = 540 nm) ... 109

(15)

A.9. Data Densitas Pelarut ... 111

A.10. Data Viskositas Kaldu Fermentasi ... 112

A.11. Data Viskositas Pelarut ... 113

LAMPIRAN B IDENTITAS DATA ... 114

B.1. Identitas Data ... 114

LAMPIRAN C CONTOH PERHITUNGAN ... 115

C.1. Contoh Perhitungan Kadar Air ... 115

C.2. Contoh Perhitungan Aktivitas Enzim ... 115

C.3. Contoh Perhitungan Densitas Run 5 ... 115

C.4. Contoh Perhitungan Viskositas Sampel Run 5 ... 116

C.5. Contoh Perhitungan Total Etanol per 50 ml Run 22 (dalam g/L) ... 116

C.6. Contoh Perhitungan Yield Etanol Run 22 (tanpa daur ulang)... 117

C.7. Contoh Perhitungan Yield Etanol Run 23 (dengan daur ulang) .. 117

LAMPIRAN D DOKUMENTASI ... 118

D.1. Eceng Gondok ... 118

D.2. Isolat Mikroorganisme ... 118

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Spesies Eceng Gondok Umum ... 9

2.2. Tahapan dalam Produksi Bioetanol Secara Umum ... 15

2.3. Perubahan Struktur Mikro Akibat Praperlakuan ... 18

2.4. Aktivitas Enzim dalam Hidrolisis Selulosa ... 21

2.5. Berbagai Senyawa Turunan Hidrolisis Asam ... 22

2.6. Kiri: Unit Penyusun Selulosa, Selobiosa; Kanan: Fasa Selulosa Monoklinik Iα dan Triklinik Iβ ... 34

2.7. Ringkasan Informasi Struktural Selulosa ... 35

2.8. Representasi Struktur Hemiselulosa ... 36

2.9. Representasi Struktur Lignin dan Lignols ... 37

2.10. Matriks Selulosa – Hemiselulosa – Lignin ... 38

2.11. Ekstraksi Etanol dengan Minyak dan Turunannya ... 41

3.1. Flowchart Pembenihan Isolat ... 59

3.2. Flowchart Persiapan Inokulum ... 60

3.3. Flowchart Persiapan Eceng Gondok ... 61

3.4. Flowchart Pembuatan Enzim ... 62

3.5. Flowchart Praperlakuan Eceng Gondok ... 63

(17)

3.7. Flowchart Daur Ulang Hidrolisat ... 66

3.8. Flowchart Analisis Densitas ... 68

3.9. Flowchart Analisis Viskositas... 69

3.10. Flowchart Analisis pH ... 70

3.11. Flowchart Analisis Kadar Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin ... 71

3.12. Flowchart Analisis Kadar Air ... 74

3.13. Flowchart Analisis Kadar Gula ... 75

3.14. Flowchart Assay Enzim ... 76

3.15. Flowchart Analisis Kadar Etanol ... 77

4.1. Perbandingan berbagai metode praperlakuan dalam fermentasi selama 24 jam dalam inkubator pada 20 oC ... 79

4.2. Pengaruh kadar magnesium pada fermentasi... 81

4.3. Endapan pada sampel sewaktu dianalisa dengan metode DNS ... 82

4.4. Pengaruh durasi fermentasi pada fermentasi ... 83

4.5. Pengaruh pemilihan mikroorganisme pada fermentasi ... 84

4.6. Pengaruh rasio pelarut pada fermentasi ... 86

4.7. Pengumpulan substrat di atas lapisan kaldu, baik disertai pelarut maupun tanpa pelarut ... 87

4.8. Pengaruh daur ulang pada fermentasi ... 88

(18)

4.10. Data viskositas kaldu fermentasi (kiri) dan pelarut (kanan) ... 91

A.1. Kurva Kalibrasi Larutan Etanol Standar ... 106

A.2. Kurva Kalibrasi Etanol-Biodiesel Sawit ... 107

A.3. Kurva Kalibrasi Larutan Gula Standar ... 109

D.1. Eceng Gondok ... 118

D.2. Isolat Aspergillus niger ... 118

D.3. Isolat Trichoderma reesei ... 119

D.4. Isolat Candida utilis ... 119

D.5. Isolat Ganoderma boninense ... 119

(19)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 2

2.1. Kandungan Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin Eceng Gondok (basis kering) ... 12

2.2. Berbagai Metode Praperlakuan ... 19

2.3. Skema Proses Terpadu dalam Produksi Bioetanol... 24

2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok ... 27

4.1. Rangkuman Hasil Analisis Kondisi Awal ... 78

A.1. Hasil Analisis Kadar Air Batang Eceng Gondok ... 105

A.2. Hasil Analisis Kadar Air Daun Eceng Gondok ... 105

A.3. Hasil Analisis Kadar Air Bubur Eceng Gondok ... 105

A.4. Hasil Analisis Kandungan Hemiselulosa-Selulosa-Lignin Eceng Gondok ... 105

A.5. Data Kurva Kalibrasi Larutan Etanol Standar ... 106

A.6. Data Kurva Kalibrasi Etanol-Biodiesel Sawit ... 106

A.7. Data Analisis GC Sampel ... 107

A.8. Data Kurva Kalibrasi Larutan Gula Standar (λ = 540 nm) ... 108

A.9. Data Analisis Spektrofotometer Enzim ... 109

(20)

A.11. Data Densitas Kaldu Fermentasi ... 110

A.12. Data Densitas Pelarut ... 111

A.13. Data Viskositas Kaldu Fermentasi ... 112

A.14. Data Viskositas Pelarut ... 113

(21)

DAFTAR SINGKATAN

DAP : Dilute Acid Pretreatment

LHW : Liquid Hot Water

HMF : Hidroksimetil Furfural

SHF : Separated Hydrolysis and Fermentation

SSF : Simultaneous Saccharification and Fermentation

HHF : Hybird Hydrolysis and Fermentation

SSCF : Simultaneous Saccharification and Cofermentation

CBP : Consolidated Bioprocessing

DMC : Direct Microbial Conversion

PEG : Polietilen glikol

BSA : Bovine serum albumin

CG : Crude glycerol

IL : Ionic Liquid

IU : International Unit

FPU : Filter Paper Unit

FDA : Food and Drug Administration

CMC : Karboksimetil selulosa

DNS : Dinitro salisilat

(22)

ABSTRAK

Eceng gondok merupakan gulma air yang dianggap merusak dan susah diberantas. Salah satu cara pengendalian yang cukup menjanjikan adalah memanfaatkannya untuk produksi bioetanol. Penelitian terdahulu telah berhasil menghasilkan etanol dari eceng gondok, tetapi teknologi ini masih belum menguntungkan. Pemilihan tekonologi praperlakuan yang tepat dan produksi enzim secara on-site dianggap penting untuk menurunkan biaya produksi. Selain itu, penerapan proses daur-ulang dan ekstraksi secara simultan juga menjanjikan sebagai pengganti teknologi pemurnian yang banyak digunakan saat ini yaitu distilasi. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengevaluasi kompatibilitas proses-proses tersebut dalam produksi bioetanol. Dalam penelitian ini, eceng gondok yang telah dihaluskan dihadapkan pada 4 jenis praperlakuan: dilute acid pretreatment (DAP), liquid hot water (LHW), praperlakuan biologis, and tanpa praperlakuan. Kemudian, eceng gondok dihidrolisis dengan campuran selulase dari Tricoderma reesei dan

Aspergillus niger, dan difermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae dan Candida utilis. Kaldu fermentasi didaur-ulang langsung setelah penyaringan, dan biodiesel sawit digunakan sebagai pengekstrak. Magnesium sulfat ditambahkan untuk meningkatkan kualitas proses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan DAP, penambahan inokulum C. utilis dan magnesium sulfat, serta ekstraksi dengan biodiesel sawit memberikan hasil positif. Daur ulang kaldu meningkatkan kadar etanol yang dicapai, tetapi menurunkan yield etanol yang dihasilkan.

(23)

ABSTRACT

Water hyacinth is an aquatic weed that is considered damaging and difficult to eradicate. One promising way to control it is by utilizing it for bioethanol production. Previous researches have successfully yielded ethanol from water hyacinth, but this technology is yet to be profitable. Correct choice of pretreatment and on-site enzyme production are considered important to cut the production cost. In addition, integration of recycling process along with simultaneous extraction seems promising as a substitute for existing purification technology (distillation). Therefore, this study aimed to evaluate compatibility of these processes in the production of bioethanol. In this study, pre-blended water hyacinth was subjected to 4 types of pretreatment: dilute acid pretreatment (DAP), liquid hot water (LHW), biological, and without pretreatment. Afterwards, water hyacinth was hydrolyzed by cellulase mixture from Tricoderma reesei and Aspergillus niger, and subsequently fermented by Saccharomyces cerevisiae and Candida utilis. Fermentation broth was directly recycled after filtration, and palm biodiesel was used as extractor. Magnesium sulfate was added to enhance the process. Result favors the use of DAP as pretreatment, addition of C. utilis inoculums and magnesium sulfate in fermentation broth, as well as extraction by palm biodiesel. Broth recycling increase ethanol level, but lowers ethanol yield.

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Tumbuhnya eceng gondok dalam suatu ekosistem dapat menyebabkan

penurunan kualitas lingkungan ekosistem tersebut. Di beberapa danau di dunia,

seperti Danau Victoria, Danau Toba dan danau lain, eceng gondok tumbuh

melampaui spesies alami, sehingga mengurangi biodiversitas ekosistem tersebut

(Moedjojo et al. 2006; Rutashobya, 1996 dalam Katima, 2001). Eceng gondok

mampu memurnikan suatu badan air tetapi ketika tumbuh di luar kendali, tumbuhan

ini menyebabkan banyak masalah (Flacker, 2004; Jafari, 2010; Mahamadi, 2011).

Karena usaha mengontrol populasi eceng gondok telah mengalami banyak

kegagalan, studi baru-baru ini lebih ditekankan pada pemanfaatannya (Abdel-sabour,

2010; Malik, 2007). Salah satu pemanfaatan yang ramah lingkungan adalah dengan

mengubah eceng gondok ke etanol (Mukhopadhyay dan Chatterjee, 2010).

Penelitian-penelitian terdahulu mengenai produksi bioetanol dari eceng gondok

beserta penelitian lain yang dijadikan sebagai acuan dalam modifikasi proses,

diringkas dalam Tabel 1.1.

Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, alur proses secara umum

meliputi praperlakuan (pretreatment) dengan/tanpa detoksifikasi, diikuti hidrolisis

(25)

Fermentation) ataupun bersamaan seperti Simultaneous Saccharification and

Fermentation / Simultaneous Saccharification, Co-Fermentation and Fermentation /

Consolidated BioProcessing).

Tabel 1.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu Lingkup studi Peneliti Hasil

Metode dan

Tiap metode praperlakuan memiliki kelemahan dan kekurangan masing-masing. Praperlakuan yang lebih intensif biasanya memungkinkan konversi selulosa yang lebih tinggi dan lebih cepat, namun menyebabkan terbentuknya inhibitor.

Praperlakuan yang terlalu lama dianggap tidak efektif dan menyebabkan degradasi gula.

Terdapat literatur yang menyebutkan bahwa penggilingan saja merupakan praperlakuan yang memadai.

Dari berbagai metode yang pernah dicoba, hanya praperlakuan biologis dengan jamur akar putih yang tidak menghasilkan inhibitor.

Penggunaan campuran enzim selulase memberikan efek sinergis. Semakin tinggi konsentrasi enzim, konversi yang lebih tinggi dan lebih cepat diperoleh.

Akan tetapi, dalam banyak studi disampaikan bahwa peningkatan hasil tidak sebanding dengan biaya tambahannya.

Selain selulase, penggunaan jenis enzim lain seperti pektinase, hemiselulase, arabinose, ligninase, dan xilanase juga memberikan kontribusi positif dalam produksi bioetanol.

Loading

Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa ketika

loading biomassa ditingkatkan, konsentrasi

(26)

Tabel 1.1. Ringkasan Penelitian Terdahulu Lingkup studi Peneliti Hasil

Mikroba

Beragam strain dan spesies ragi dan bakteri telah dicoba. Parameter utama perbandingan biasanya adalah yield etanol yang dicapai masing-masing organisme. Strain baru dan rekombinan masih terus diisolasi dan dikembangkan.

Penggunaan surfaktan mengurangi ikatan non efektif selulase pada lignin sehingga mengurangi konsumsi enzim.

Mode proses yang menggabungkan fermentasi dan hidrolisis memberikan hasil yang lebih baik.

Ekstraksi etanol Offeman et al. 2010; 2008; 2006

Stang et al. 2001 Kim et al. 1999 Munson dan King, 1984

Berbagai jenis pelarut diuji. Tiap pelarut memberikan harga koefisien distribusi dan faktor separasi yang sangat beragam. Beberapa karakteristik pelarut menentukan toksisitas pelarut. Penerapan ekstraksi simultan meningkatkan produksi bioetanol.

Peningkatan toleransi ragi

Hu et al. 2003 Ion Mg2+ mengurangi permeabilitas membran

plasma dan meningkatkan toleransi etanol ragi.

Fermentasi non-steril (bioetanol / non-eceng gondok)

Larsen, 2012 Pada konsentrasi yang tidak terlalu tinggi, efek inhibisi dari inhibitor dalam larutan fermentasi tidak terlalu mengganggu ragi, tetapi sangat menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat

Pergeseran hidrofobik. Heterogenitas dan zona separasi juga meningkat.

(27)

Kebanyakan penelitian-penelitian tersebut berfokus pada evaluasi metode

proses, pengembangan mikroba fermentasi, ataupun optimisasi kondisi operasi.

Perkembangan aspek-aspek tersebut sangat dipengaruhi rekayasa genetika dimana

mikroorganisme rekombinan dan enzim-enzim chimera telah dikembangkan.

Sementara aspek-aspek tersebut terus berkembang pesat, aspek-aspek lain seperti

pemurnian etanol, peluang daur ulang total proses, dan peluang fermentasi non-steril

yang dapat mempengaruhi biaya operasi tampaknya masih kurang diteliti. Oleh

karena itulah, penelitian ini lebih diarahkan pada aspek-aspek tersebut dengan

mengadaptasikan beberapa modifikasi dalam produksi bioetanol dari eceng gondok.

Adapun modifikasi yang dimaksud meliputi:

1. Penggunaan produksi enzim on-site,

2. Perlakuan hidrolisis, fermentasi, dan ekstraksi secara simultan,

3. Penambahan magnesium sulfat (mempengaruhi fermentasi dan ekstraksi),

4. Penerapan daur ulang hidrolisat fermentasi, dan

5. Dilangsungkannya daur ulang fermentasi secara non-steril.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah merumuskan suatu konsep

produksi bioetanol dari eceng gondok yang aman, ekonomis, sederhana, dan ramah

lingkungan sehingga dapat diaplikasikan ke masyarakat yang berdomisili di daerah

(28)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendesainkan suatu alur proses produksi etanol yang aman, ekonomis,

sederhana dan ramah lingkungan dari eceng gondok,

2. Mengevaluasi keberhasilan penerapan metode fermentasi non-steril, ekstraksi

in-situ dan sistem daur ulang dalam proses fermentasi,

3. Mengidentifikasi kendala dan faktor yang mempengaruhi proses produksi

bioetanol akibat modifikasi tersebut, dan

4. Mencoba memecahkan masalah-masalah terkait kendala-kendala tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

Secara umum, penelitian ini akan memberikan informasi mengenai produksi

bioetanol dari eceng gondok, terutama dari sisi modifikasi prosesnya. Jika penelitian

berhasil, maka hasilnya akan membantu mengatasi salah satu masalah utama

lingkungan di Danau Toba, dan meningkatkan perekonomian daerah tersebut.

1.5. Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada trial integrasi metode ekstraksi in-situ secara

simultan ke fermentasi hidrolisat eceng gondok non-steril dan analisis variable

terkait seperti perbandingan pelarut dan kaldu, pengujian teknik-teknik daur ulang

dalam sistem daur ulang, pengumpulan data-data reologi proses dan peninjauan

(29)

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Farmasi, Fakultas

Farmasi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Bahan-bahan utama yang digunakan

antara lain eceng gondok, ekstrak enzim selulase kasar, magnesium sulfat hepta

hidrat, asam sulfat, natrium hidroksida dan biodiesel sawit. Organisme yang

digunakan dalam penelitian ini adalah ragi Saccharomyces cerevisiae, ragi Candida

utilis, jamur Trichoderma reesei, jamur Aspergillus niger, dan jamur akar putih /

Ganoderma boninense. Peralatan utama dalam penelitian ini adalah autoklaf,

inkubator, sentrifugator, lemari aseptik, oven, freezer, spektrofotometer, GC,

pHmeter, viskometer Oswald, piknometer, refluks kondensor, vial, dan cuvet.

Variabel yang diuji dalam penelitian ini meliputi:

1. Metode praperlakuan (pretreatment):

a. Tanpa praperlakuan (sterilisasi),

b. Dilute Acid Pretreatment (DAP),

c. Liquid Hot Water (LHW), dan

d. Praperlakuan biologis dengan jamur akar putih.

2. Konsentrasi magnesium sulfat(mM) : 0, 25, 50, 75, dan 100

3. Lama fermentasi : 1, 2, dan 4 hari

4. Mikroorganisme fermentasi: Saccharomyces cerevisiae, dan Candida utilis

5. Perbandingan pelarut terhadap kaldu: 0; 0,4; 0,5; 0,66; 1

(30)

Variabel diuji dengan memvariasikan hanya 1 jenis variabel pada satu kondisi

tetap. Kondisi tetap yang digunakan adalah kondisi dengan variabel yang ditetapkan

di awal apabila kondisi terbaik belum diketahui atau kondisi terbaik bila sudah

diketahui, yaitu konsentrasi magnesium sulfat 0 mM, fermentasi 1 hari, monokultur

Saccharomyces cerevisiae, volum pelarut 0 ml, dan persentase daur ulang 0%.

Parameter yang diukur adalah kadar hemiselulosa, kadar selulosa, kadar lignin,

aktivitas enzim, kadar gula tereduksi, kadar etanol, kadar air, pH, densitas, dan

viskositas. Kadar hemiselulosa, selulosa, dan lignin dianalisis dengan metode

Chesson, aktivitas enzim dianalisis dengan assay CMC, kadar gula tereduksi

dianalisis dengan metode DNS, kadar etanol diukur menggunakan GC dengan

metode static head space, kadar air diukur secara gravimetri, pH diukur

menggunakan pHmeter, densitas diukur menggunakan piknometer, dan viskositas

diukur menggunakan viskometer. Sampel yang tidak dianalisis langsung disimpan

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eceng Gondok dalam Produksi Bioetanol

Konversi biomassa lignoselulosa ke bahan bakar bio berpotensi

mengamankan sekuritas energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca demi

keberlangsungan lingkungan (Wyman, 1999 dalam Kumar et al. 2009; Joshi et al.

2011). Eceng gondok, tersedia dalam jumlah banyak dan tidak diinginkan, cocok

digunakan sebagai tanaman penghasil bioenergi karena bereproduksi dengan cepat,

memiliki kandungan lignin rendah, resistan terhadap zat kimia, tidak kompetitif

dengan tanaman pangan, dan memiliki kecenderungan polusi genetik yang rendah

melalui penyerbukan silang antar tanaman pangan terkultivasi (Patel, 2012;

Bhattacharya dan Kumar, 2010; Mukhopadhyay dan Chatterjee, 2010).

Kapabilitasnya menghasilkan etanol menyamai limbah pertanian, sesuai untuk

produksi bahan bakar bio dan juga sebagai kandidat bahan baku industri penghasil

lapangan kerja (Mashima et al. 2008). Hronich et al. (2008) menyatakan bahwa

penggunaan eceng gondok menjadi ekonomis pada biaya produksi sekitar $40 per

ton massa kering.

Produksi etanol sendiri diperkirakan meningkat tajam di masa depan, karena

kemungkinan naiknya harga minyak, meningkatnya permintaan bahan bakar cair,

(32)

E-10), dan produksi bahan bioplastik dari etanol (Nag, 2008; Neves et al. 2007). Di

samping alasan-alasan di atas, mencampurkan etanol ke dalam bensin juga

meningkatkan bilangan oktan bensin, dan memungkinkan pembakaran yang lebih

sempurna (Wyman 1994).

2.2. Karakteristik dan Pola Perkembangbiakan Eceng Gondok

Eceng gondok adalah tanaman akuatis terapung perenial yang berasal dari

Brazil, basin Amazon, daerah ekuator, daerah tropis dan sub-tropis Amerika Selatan.

Dengan daun yang lebar dan mengkilap, eceng gondok dapat mencapai tinggi 1

meter di atas permukaan air. Batangnya panjang, menggelembung dan berongga.

Akarnya yang berbulu dan bebas bergantung berwarna ungu kehitaman. Satu tangkai

tegak menyokong segerombol 8 – 15 bunga yang atraktif, kebanyakan berwarna

lavender sampai merah jambu dengan enam kelopak seperti dalam Gambar 2.1

(Patel, 2012; Flacker, 2004).

(33)

Sebagai salah satu tanaman dengan laju pertumbuhan tercepat, eceng gondok

berproduksi terutama melalui stolon yang membentuk anak tanaman. Eceng gondok

juga dapat menghasilkan tanaman baru melalui fragmentasi (pecah menjadi bagian

kecil), membentuk tunas daun di pucuk dasar batang, dan memproduksi sejumlah

besar bibit yang tahan hingga tiga puluh tahun. Eceng gondok umum (Eichhornia

crassipes) tumbuh secara agresif, dan diketahui dapat melipat-gandakan populasinya

dalam dua minggu (Flacker, 2004). Dalam suatu studi, dua tanaman menghasilkan

1.200 anak tanaman dalam empat bulan. Satu tanaman dapat memproduksi 5.000

bibit dan unggas air memakan dan memindahkan bibit ke lokasi baru (Anonim,

2012). Tanaman tropis ini menyebar ke berbagai bagian bumi di akhir abad ke-19

dan awal abad-20 (Wilson et al. 2005). Semua usaha ilmuwan dan teknokrat di

seluruh dunia untuk memberantas tanaman ini secara kimiawi dan biologis hanya

membuahkan sedikit hasil (Jafari, 2010).

Adapun mudahnya adaptasi eceng gondok di habitat barunya dapat dilacak ke

beberapa sifat (Flacker, 2004; Soltan dan Rashed, 2003):

1. Eceng gondok berkembang-biak secara efektif melalui dua metode vegetatif.

2. Batangnya yang berongga dan terisi udara memudahkannya tetap terapung.

3. Daunnya yang menyerupai kipas mempermudah penyebarannya ke badan air

ketika angin bertiup.

(34)

5. Eceng gondok dapat bertahan hidup di campuran logam berat dengan

konsentrasi sampai 3 mg/l.

2.3. Dampak Ekologi, Kimia – Fisik dan Utilisasi Eceng Gondok

Keberadaan eceng gondok pada ekosistem yang dimasukinya bersifat

merusak. Eceng gondok dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem dengan

mengganggu rantai makanan dan siklus nutrisi. Eceng gondok juga menutupi

permukaan air dan menghalangi cahaya matahari. Ketika eceng gondok ataupun

tumbuhan yang diganggunya membusuk, pembusukannya menghabiskan oksigen

terlarut dalam air (Patel, 2012; Flacker, 2004).

Pertumbuhan eceng gondok yang masif dan invasif juga berpengaruh pada

kehidupan manusia. Terganggunya aktivitas pelayaran dan nelayan, sistem drainasi

yang tersumbat, serta menurunnya estetika dan nilai rekreasional lingkungan

merupakan contoh gangguan yang disebabkan gulma ini (Patel, 2012; Flacker, 2004).

Ketika tumbuh di luar kendali, eceng gondok merupakan gangguan, tetapi

beberapa peneliti menyarankan penggunaan tanaman eksotis ini sebagai sumber daya

dapat dipanen, misalnya sebagai makanan hewan, sumber antioksidan, sumber

antibiotik, biosorben, agen fitoremediasi, bahan pulp, pupuk organik, bahan

kerajinan tangan dan perabotan, bahan biofuel, dan untuk memproduksi enzim

selulase (Bhattacharya dan Kumar, 2010; Calvert, 2001; Patel, 2012; Chen et al.

(35)

dan Saikia, 1994; Hasan et al. 2007; Ibrahim et al. 2012; Jianbao et al. 2008; Ma et

al. 2010; Mahamadi, 2011; Mishima et al. 2008; Orth dan Sapkota, 1988; Yerima et

al. 2009; Yi et al. 2009). Akan tetapi, bahkan dengan banyaknya pemanfaatannya,

sejauh ini dampak negatif tanaman ini ke habitat adopsinya masih jauh melampaui

kontribusinya ke lingkungan barunya (Flacker, 2004).

Dari segi komposisi kimianya, tanaman ini memiliki flavanoid, asam amino,

protein kasar, sianida, fosfat, zat organik dan karbon organik tinggi (Nyananyo et al.

2007). Tanaman segar mengandung 95,5% kelembapan, 0,04% N, 1,0% abu, 0,06%

P2O5, 0,20% K2O, 3,5% bahan organik. Pada basis kelembapan nol, terdapat 75,8%

bahan organik, 1,5% N, dan 24,2% abu. Abu mengandung 28,7% K2O, 1,8% Na2O,

12,8% CaO, 21,0% Cl, dan 7,0% P2O5. Protein mentah mengandung, per 100 g, 0,72

g metionin, 4,72 g fenilalanin, 4,32 g treonin, 5,34 g lisin, 4,32 g isoleusin, 0,27 g

valin, dan 7,2 g leusin (Matai dan Bagchi, 1980 dalam Jafari, 2010). Kuantitas

hemiselulosa, selulosa dan lignin dari berbagai sumber ditunjukkan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kandungan Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin Eceng Gondok (Basis Kering)

(Sornvoraweat dan Kongkiattikajorn, 2010; Hasan dan Chakrabati, 2009)

Hasan dan Chakrabarti (2009) juga menyampaikan bahwa hanya ada sedikit

(36)

Akan tetapi, eceng gondok yang hidup di kondisi yang berbeda mungkin memiliki

variasi komposisi karena akar mereka menyerap polutan secara alami (Jafari, 2010).

Lebih jauh lagi, sebuah studi oleh Mahmood et al. (2005) menunjukkan bahwa di

bawah pengaruh limbah tekstil, eceng gondok mengalami penurunan ukuran secara

anatomis. Kondisi yang sama kemungkinan besar juga dialami eceng gondok di

perairan Danau Toba yang tercemar. Namun, besar pengaruh hal tersebut dalam

produksi bioetanol masih belum dapat dipastikan.

2.4. Danau Toba dan Masalah Eceng Gondok

Danau Toba merupakan danau terbesar Indonesia dan terletak di provinsi

Sumatera Utara, 176 km ke barat ibukota provinsi, Medan. Danau Toba memiliki

panjang 87 km dari barat laut ke Tenggara dan lebar 27 km, dan berada 904 meter di

atas permukaan laut dengan kedalaman 505 meter. Danau tersebut merupakan salah

satu tujuan wisata penting. Daerah resapannya seluas 3.704 km2, meliputi sebagian

area dari lima kabupaten. Kualitas air di danau ini telah terpengaruh secara negatif

oleh buangan air domestik, peternakan ikan, polusi minyak dan polusi biologis

(Moedjodo et al. 2006; Worldlake, 2012).

Sejak 1990, eceng gondok telah tampak mengambang di daerah Parapat,

menandakan dimulainya eutrofikasi danau tersebut (Moedjodo et al. 2006). Setelah

itu, berbagai masalah mulai bermunculan, mulai dari terganggunya penangkapan

(37)

2004). Walaupun sejumlah konsep sudah diberikan untuk mengatasi masalah

lingkungan tersebut, merealisasikan konsep ini terbukti susah karena perbedaan

persepsi dan konflik kepentingan antara pemegang saham (Moedjodo et al. 2006).

Ledakan pertumbuhan eceng gondok dalam danau ini telah dihubungkan

dengan polusi fosfor dan nitrogen. Idealnya, jalan terbaiknya adalah menekan

masukan limbah. Akan tetapi, terbatasnya limbah yang bisa dikurangi dan lamanya

waktu operasi telah menyebabkan cara ini tidak efektif. Jelas kiranya bahwa populasi

eceng gondok harus dikendalikan. Mukhopadhyay dan Chatterjee (2010)

mengusulkan cara pengendalian yang ramah lingkungan dengan menggunakannya

sebagai bahan baku murah dalam proses inovatif biokonversi ke etanol.

2.5. Ulasan Teknologi Produksi Bioetanol

Teknologi produksi bioetanol saat ini (proses generasi pertama)

menggunakan gula tebu dan/atau biji-bijian dan umbi – umbian berbasis tepung

(terutama jagung dan kentang) sebagai substrat utama. Akan tetapi oleh karena

dampak negatifnya pada harga makanan dan sekuritas makanan, trend saat ini sedang

bergeser ke biomassa lignoselulosa. Ada dua proses lignoselulosa yang tersedia,

proses enzimatis dan proses termokimia. Proses enzimatis umumnya melibatkan

hidrolisis biomassa lignoselulosa ke gula diikuti fermentasi gula ke etanol (lihat

Gambar 2.2). Proses termokimia menggunakan jalur gasifikasi dan jalur pirolisis

(38)

Gambar 2.2. Tahapan dalam Produksi Bioetanol Secara Umum (Joshi et al. 2011)

Untuk biomassa lignoselulosa herbal, proses enzimatis lebih cocok (Foust et

al. 2009). Penjelasan lengkap tentang praperlakuan, hidrolisis/sakarifikasi,

(39)

Untuk saat ini, etanol selulosa masih kurang diminati karena keuntungannya yang

marginal. Beberapa alasan yang menyebabkannya antara lain:

a. Teknologi praperlakuan yang ada kurang efisien atau terlalu mahal dan

banyak kelemahan yang menyertainya.

b. Harga enzim terlalu tinggi.

c. Konversi oleh mikroba masih terbatas. Sebagai contoh, Zymmomonas

mobilus yang lebih toleran dari ragi hanya mampu mentolerir konsentrasi

etanol sampai 16% saja.

Teknologi ini diperumit lagi oleh masalah-masalah umum bioreaktor seperti

kontaminasi mikroba, tidak stabilnya proses, problematika daur ulang dan washout

mikroba, serta pemrosesan akhir yang sukar. Khusus untuk proses fermentasi

lignoselulosa, tingginya kekentalan pada loading padatan tinggi menyebabkan

masalah pengadukan (Huang et al. 2011). Walau begitu, teknik-teknik untuk

mengatasi masalah – masalah ini telah banyak dikembangkan.

2.5.1. Metode Praperlakuan

Salah satu rintangan utama dalam hidrolisis selulosa adalah karakteristik

substrat yang tidak mendukung hidrolisis selulosa. Karakteristik ini kemudian

dimodifikasi agar hidrolisis berlangsung lebih efisien (Huang et al. 2011). Sebab

itulah, praperlakuan memiliki dampak besar pada seluruh operasi dan biasanya

(40)

untuk membuka struktur lignoselulosa agar dapat diakses enzim seperti dalam

Gambar 2.3 (Huang et al. 2011; Sanderson, 2006 dalam Neves et al. 2007). Beberapa

masalah umum dalam praperlakuan adalah terbentuknya produk penghambat,

pembukaan struktur lignin – hemiselulosa – selulosa kurang efektif, terlalu banyak

selulosa terdegradasi, perlunya biaya kapital (peralatan) atau operasi yang mahal,

daur ulang senyawa kimianya mahal, terbentuknya limbah, ataupun kondisi operasi

yang tidak aman (Geddes et al. 2011; Huang et al. 2011; Menon dan Rao, 2012;

Neves et al. 2007). Sejumlah cara praperlakuan dijabarkan dalam Tabel 2.2.

Praperlakuan yang telah dilakukan biasanya bertujuan untuk meningkatkan akses

enzim, menghilangkan lignin, dan mengganggu kristalinitas selulosa. Dalam banyak

studi, meningkatkan akses enzim dianggap lebih penting daripada menghilangkan

lignin (Zhu, 2011; Huang et al. 2011). Ahn et al. (2012) juga menunjukkan bahwa

praperlakuan yang menghasilkan konten selulosa tinggi lebih penting dibanding

dengan yang menghasilkan konten lignin rendah. Selain hal-hal di atas, hal yang

perlu diperhatikan adalah terbentuknya pseudo-lignin dalam metode pretreatment

tertentu (Hu et al. 2003).

Praperlakuan yang ada dikembangkan untuk mengurangi limbah, kerusakan,

inhibitor, gula nonfermentable, meningkatkan hasil gula, dan mengurangi biaya

praperlakuan (Kumar et al. 2009; Houghton et al. 2006). Secara garis besar,

praperlakuan fisik biasanya memerlukan energi besar, sedangkan praperlakuan

(41)

dan peralatan yang mahal (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Dalam penelitian ini,

beberapa jenis praperlakuan dipilih dan dibandingkan untuk mengetahui metode

yang paling sesuai dengan prioritas kesederhanaan, keamanan, dan ramah

lingkungan.

Gambar 2.3. Perubahan Struktur Mikro Akibat Praperlakuan (Houghton et al. 2006)

2.5.2. Metode Hidrolisis

Tahap hidrolisis mentransformasi selulosa ke gula terfermentasi. Dua metode

umum hidrolisis adalah hidrolisis asam dan hidrolisis enzimatis. Metode hidrolisis

lain adalah hidrolisis termal yang sangat jarang digunakan. Hidrolisis enzimatis lebih

dipilih karena bekerja pada suhu wajar, menghasilkan yield tinggi dengan jumlah

yang sedikit, merupakan senyawa alami yang dapat terbiodegradasi dan ramah

(42)

Tabel 2.2. Berbagai Metode Praperlakuan

Metode Praperlakuan Keterangan Literatur

Praperlakuan asam: asam encer, dan asam pekat

Menghidrolisa hemiselulosa dan merusak struktur kristal selulosa, tapi menghasilkan produk samping inhibitor, dan memerlukan peralatan tahan korosi. Biasanya menggunakan H2SO4, tetapi asam fosfat

dikatakan menghasilkan lebih sedikit produk samping beracun dan dapat digunakan pada reaktor baja antikarat. Jenis asam encer memberi yield rendah sedangkan jenis asam pekat menghasilkan produk samping, mendegradasi selulosa dan memerlukan biaya daur ulang mahal.

Eshtiaghi et al. 2012 Merina dan Trihadinigrum, 2011

Satyanagalakshmi et al. 2011

Sornvoraweat dan Kongkiattikajorn, 2010 Sassner et al. 2008

Praperlakuan alkali/basa Memisahkan lignin dan sebagian hemiselulosa, dan meningkatkan reaktivitas selulosa. Biasanya menggunakan NaOH, Ca(OH)2, urea

atau Ammonia (SAA, ARP). NaOH juga meningkatkan derajat polimerisasi dan kristalinitas selulosa. Ammonia juga mengembangkan substrat yang tersisa.

Praperlakuan dengan agen pengoksidasi: hidrogen per-oksida, asam per asetat

Yield setinggi 98% berhasil dicapai. Saha dan Cotta, 2007

Teixeira et al. 1999 Gould, 1984

Praperlakuan dengan pelarut organik

Melarutkan lignin dan sebagian hemiselulosa tapi memerlukan peralatan dengan tekanan tinggi. Pelarut organik yang sudah digunakan misalnya metanol, etanol, aseton, etilen glikol, trietilen glikol, dan alkohol tetrahidrofurfuril.

Yamashita et al. 2010 Pan et al. 2005

Steam explosion, ammonia fiber expansion/explosion,

acid catalyzed steam

explosion

Bahan dipanaskan pada suhu dan tekanan tinggi kemudian didekompresi ke tekanan atmosfir secara tiba-tiba. Masih belum praktis karena butuh energi besar dan peralatan mahal.

(43)

Tabel 2.2. Berbagai Metode Praperlakuan (lanjutan)

Metode Praperlakuan Keterangan Literatur

Liquid Hot Water

(LHW)

Menghidrolisa hemiselulosa menggunakan air bersuhu tinggi (160 – 190oC) dan tekanan tinggi (30 bar). selulosa, ataupun lignin. Substrat dilarutkan dalam cairan ionik dan dipanaskan kemudian dipresipitasi dengan antisolven. Proses ini merupakan teknologi baru dan lebih cocok untuk biomassa berkayu.

Muhammad et al. 2012 Sathitsuksanoh et al. 2012

Guragain et al. 2011 Lee et al. 2009 Granstorm et al. 2008 Kosan et al. 2008

Praperlakuan mikrobial Jamur akar putih, coklat, dan lunak (Basidiomycetes) telah banyak digunakan untuk mendepolimerisasi substrat lignoselulosa tanpa banyak produk samping inhibitor

Chandel et al. 2011b Zhong et al. 2011 Cardona et al. 2007

Penggilingan Ekstrusi

Tanpa mempengaruhi lignin dan hemiselulosa, meningkatkan aksesibilitas dan merubah kristalinitas selulosa. Merupakan salah satu metode paling efektif tetapi kurang cocok diterapkan di industri. Penggilingan dilakukan dalam hampir semua proses di laboratorium.

Harun et al. 2011 Merina dan

trihadinigrum, 2011 Satyanagalakshmi et al. 2011

(44)

Hidrolisis asam menggunakan berbagai asam mineral pada suhu tinggi,

walaupun proses sering mendegradasi glukosa ke hidroksimetil furfural (HMF) dan

produk samping beracun lain, atau mencapai yield rendah. Harga asam, daur ulang,

dan pengolahan limbahnya masih menjadi masalah dalam hidrolisis asam.

Gambar 2.4. Aktivitas Enzim dalam Hidrolisis Selulosa (Wyman, 1994)

Hidrolisis enzimatis memanfaatkan 3 kelompok enzim untuk berfungsi

dengan baik (Lihat Gambar 2.4). Pertama, 1,4--D-glukan glukanohidrolase (EC

3.2.1.3) dan 1,4--D-glukan 4-glukanohidrolase (EC 3.2.1.4), dikenal sebagai

endo-1,4--glukanase, memotong rantai selulosa secara acak. Kemudian, 1,4--D-glukan

glukohidroliase (EC 3.2.1.74) dan 1,4--D-glukan selobiohidroliase (EC 3.2.1.91),

dikenal sebagai ekso-1,4--glukanase berturut-turut membebaskan glukosa dan

(45)

juga sebagai selobiase, mengubah selobiosa menjadi D-glukosa (Joshi et al. 2011;

Geddes et al. 2011; Neves et al. 2007; Wyman, 1994).

Selulase komersial dan produksi on-site selulase dapat digunakan.

Kebanyakan glukanase diproduksi Trichoderma ressei (jamur akar halus) sedangkan

selobiase dari Aspergillus niger (Barta et al. 2010 dalam Geddes et al. 2011; Kaur et

al. 2007 dalam Joshi et al. 2011).

Gambar 2.5. Berbagai Senyawa Turunan Hidrolisis Asam (Chandel et al. 2011b)

Salah satu perbedaan terbesar hidrolisis asam dan enzim adalah produk

samping hidrolisis asam yang sangat beragam dan bersifat menginhibisi Lignin Cellulose

Hemicellulose Others

(46)

pertumbuhan. Selain itu, jenis hidrolisis asam menghasilkan limbah dan memerlukan

penanganan khusus. Oleh sebab itulah, proses hidrolisis yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan jenis hidrolisis enzim. Berbagai jenis produk samping

hasil hidrolisis asam dapat dilihat pada Gambar 2.5.

2.5.3. Fermentasi dan Skema Proses Terpadu

Ragi Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling

disukai dalam fermentasi heksosa. Selain ragi, Pichia stipitis dan Candida shehatae

juga mampu memfermentasi heksosa dan pentosa ke etanol (Parekh et al. 1986

dalam Joshi et al. 2011). Gorsek dan Zajsek (2010) menemukan bahwa dalam

jangkauan suhu 16oC sampai 30oC, produksi etanol oleh ragi meningkat.

Di samping intensifikasi proses, penggembangan juga dilakukan dalam

sistem bioreaktor misalnya external loop liquid-lift bioreactor, circulating loop

bioreactor, bioreaktor membran, ultrasonic airlift reactors, fluidized bed reactor

(Stang et al. 2001; Roble et al. 2003; Huang et al. 2011). Sistem bioreaktor yang

dikembangkan biasanya mengangkat isu-isu mengenai masalah viskositas campuran

yang tinggi sehingga mengurangi transfer massa ataupun merujuk pada upaya

integrasi proses ekstraksi etanol secara simultan dalam proses kontiniu sehingga

mengurangi inhibisi produk. Beberapa skema proses yang sering digunakan dalam

(47)

Tabel 2.3. Skema Proses Terpadu dalam Produksi Bioetanol

Tahap hidrolisis selulosa dan fermentasi dipisah sehingga mengurangi interaksi antar tahap.

Kelemahan: sering kali produk akhir hidrolisis menghambat kerja enzimnya dan membatasi kinerjanya.

Tahap hidrolisis selulosa dan fermentasi digabung. Secara umum meningkatkan kinetika fermentasi dan ekonomi karena mengurangi akumulasi gula yang menginhibisi enzim dan adanya etanol mengurangi kontaminasi mikroba.

Kelemahan: kondisi optimal enzim dan mikroba mungkin berbeda dan banyak gula dipakai untuk pertumbuhan ragi.

Simultaneous saccharification and cofermentation (SSCF)

Sama seperti SSF tetapi fermentasi pentose juga diintegrasikan ke dalam proses. Kelemahan: sama seperti SSF tapi

lebih rumit lagi.

Consolidated

BioProcessing (CBP)

atau Direct Microbial

Conversion (DMC)

Produksi selulase, hidrolisis substrat, dan fermentasi dilakukan dalam satu tahapan. Kelemahan CBP/DMC: tidak ada mikroba alami yang mampu memproduksi selulase sekaligus memfermentasi hidrolisat (harus menggunakan mikroba hasil rekayasa genetik) dan proses terbentur oleh wujud alami suspensi yang berserat (rheologi aliran).

(Joshi et al. 2011; Geddes et al. 2011; Neves et al. 2007)

2.5.4. Strategi-strategi yang Diterapkan untuk Meningkatkan Tiap Proses

Selain pengembangan teknologi dan mikroorganisme dalam proses itu

sendiri, beberapa strategi juga telah dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi tiap

proses. Beberapa di antara strategi-strategi tersebut adalah detoksifikasi hidrolisat,

penambahan additif, immobilisasi sel dan enzim, penambahan antibiotik/agen

(48)

anaerob penghasil selulosom dan/atau strain flokulen (Chandel et al. 2011b; Huang

et al. 2011; Najafpour et al. 2004; Rakin et al. 2009; Maye, 2011).

Berbagai cara detoksifikasi telah tersedia misalnya evaporasi vacuum,

separasi membran, netralisasi, overliming, activated charcoal pretreatment, resin

penukar ion, ekstraksi dengan etil asetat, aklimatisasi mikrobial, detoksifikasi

mikrobial in-situ, dan detoksifikasi enzimatis. Dari cara-cara yang ada, detoksifikasi

biologislah yang paling menguntungkan (Chandel et al. 2011b). Detoksifikasi

biologis dapat dilakukan dengan simultaneous detoxification and enzymatic

production, simultaneous detoxification andfermentation, dan cara lainnya.

Penggunaan aditif seperti Tween 20, Tween 80, polietilen glikol (PEG),

bovine serum albumin (BSA), dapat mengurangi adsorpsi selulase ke lignin dan

menjaga kestabilan enzim. Sebuah kelas protein non katalitik seperti ekspansin,

protein mirip ekspansin, dan swollenins, diketahui dapat mengubah struktur selulosa

walau penjelasan mengenai cara kerja protein ini masih sebatas spekulasi (Huang et

al. 2011). Aditif lain seperti ion Mg2+dapat meningkatkan toleransi ragi S. cerevisiae

terhadap etanol melalui penurunan permeabilitas membran plasma (Hu et al. 2003).

2.6. Produksi Bioetanol dari Eceng Gondok dan Perkembangannya

Penelitian mengenai pembuatan bioetanol dari eceng gondok dapat dilihat di

Tabel 2.4. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua penelitian berkutat

(49)

berbagai studi telah dilakukan, hasil-hasil tersebut belum diterapkan di industri

karena sebab-sebab seperti: yield etanol yang rendah; teknik pemrosesan yang

kompleks dan lama; penggunaan bahan kimia, peralatan, ataupun alur proses yang

mahal; dan teknik yang tidak ramah lingkungan. Dalam penelitian ini akan dicoba

teknik pemrosesan yang berbeda yaitu fermentasi non-steril yang dilangsungkan

bersamaan dengan hidrolisis hemiselulosa-selulosa, isomerisasi xilosa dan ekstraksi

etanol serta sistem daur-ulang larutan fermentasi.

2.7. Komponen – Komponen dalam Produksi Bioetanol

2.7.1. Selulosa

Selulosa merupakan glukan paling penting yang tersusun oleh sakarida

homopolimer selobiosa yang terdiri dari dua molekul -D-glukosa yang terikat

dalam ikatan -(1–4)- glikosidik dan dapat berputar untuk membentuk ikatan

intramolekul dan intermolekul (Bobleter, 2005). Dalam banyak penelitian, eceng

gondok dikeringkan untuk mempermudah penanganannya, tetapi selulosa mengalami

modifikasi fisik berupa penciutan (disebut juga hornifikasi) yang dapat menghambat

sakarifikasi saat didehidrasi (Arantes dan Saddler, 2011; Zhu, 2011; Houghton et al.

(50)

Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok

Judul Penelitian Metodologi Hasil

Abdel-Fattah dan

- Praperlakuan: NaOH, alkalin H2O2, asam perasetat, NaClO2, kombinasi NaClO2 dengan NaOH, alkalin H2O2, atau asam perasetat.

- Hidrolisis: enzimatis dengan selulase

- Variasi: metode praperlakuan, penambahan gula dan etanol, penambahan selobiase, dan waktu sakarifikasi (hidrolisis)

Hasil terbaik dicapai dengan

kombinasi praperlakuan

NaClO2 selama 1 jam dan asam perasetat selama 15

menit pada 100 oC.

Penambahan 8% glukosa

ataupun 8% etanol

- Praperlakuan: dicuci, akar dibuang, dikeringkan, ditepungkan, kemudian diolah

dalam larutan NaOH 1, 3, 5, 7, 10% w/v pada suhu 60 oC (24 jam) atau 100 oC (2 jam).

Lalu didinginkan dan diolah dengan H2O2 0,1; 0,5; 1; 2; 3; dan 6% v/v selama 24 jam. - Hidrolisis: enzimatis dengan Cellulast 1.5 L and Viscozyme L dengan konsentrasi 1, 5, 10, 15, 20–25% v/v dan rasio 1:9, 3:7, 5:5, 7:3, dan 9:1 selama 112 jam.

- Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae KCTC 7928

- Mode: SHF

- Variasi: konsentrasi NaOH, suhu dan waktu praperlakuan dengan NaOH, konsentrasi H2O2, konsentrasi enzim, rasio enzim, konsentrasi eceng gondok (mula-mula 2,5% dikonsentrasikan dengan faktor 2, 5, 7, 10 dan 15).

Konversi glukosa 71,42% dicapai untuk NaOH 7%

pada 100 oC dan H2O2 2%.

(51)

Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

Judul Penelitian Metodologi Hasil

Eshtiaghi et al. 2012.

Preliminary study for

bioconversion of

water hyacinth

(Eichhornia

crassipes) to bioethanol

- Praperlakuan: dibersihkan, dipotong-potong dan dikeringkan. Selanjutnya:

i. 10 g tepung dicampur ke 1, 3, 5, 7 dan 9% w/w larutan asam sulfat sampai 100 ml

dan diautoklafpada 121 oC selama 15 menit

ii. 10 g tepung dicampur ke 1, 2, 3, 4, dan 5% w/w larutan NaOH sampai 100 ml dan

dipanaskan pada 85 oC selama 1 jam

iii. 2 g tepung dicampur ke 20 ml air dan dipanaskan pada 160 oC dan 200 oC selama

10 menit

- Hidrolisis: enzimatis dengan Crystalzyme 200 XL, Cellulast 1.5 L FG, Alcalase 2.5 L DX, Validase ANC-L dan Xylanase (rasio 1:1:1:1:1) dengan konsentrasi 0,8% w/w

pada 55 oC selama 12 jam

- Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae 0,2 g/ 50 ml sampel

- Mode: SHF

- Variasi: metode praperlakuan, konsentrasi asam, konsentrasi alkali, suhu pemanasan air, konsentrasi enzim (0,8% w/w dan 4% w/w) dan lama fermentasi

Konversi gula optimum

mencapai 50,5% dengan

Hidrolisat kemudian dinetralkan dengan Ba(OH)2 sampai pH 4,5.

- Hidrolisis: enzimatis dengan selulase GC220 0 – 1000 IU pada 50 oC selama 24 jam,

diikuti evaporasi vakum pada 70 oC untuk pengentalan.

- Mikroba fermentasi: (masing – masing) 0,1 g per 100 ml

Saccharomyces cerevisiae NBRC10217

Saccharomyces cerevisiae sake yeast No.7

Saccharomyces cerevisiae brewers’ yeast BSRIYB23-3

Saccharomyces cerevisiae TY2

Pichia stipitis NBRC1689 - Mode: SHF

- Variasi: loading eceng gondok, konsentrasi selulase, dan jenis mikroba fermentasi

Kadar etanol setinggi 9,6 1,1 g/l berhasil dicapai untuk larutan terkonsentrasi.

Konsentrasi selulase

optimum 400 IU. Loading

eceng gondok di atas 3 g

tidak memberi dampak

positif. Jenis mikroba yang memberikan hasil maksimum

(52)

Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

Judul Penelitian Metodologi Hasil

Guragain et al.

- Hidrolisis: enzimatis dengan selulase dari T. reesei

- Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae

- Mode: -

- Hidrolisis: asam sulfat 5% pada suhu 121 3 o

C, 60 menit

- Variasi: metode praperlakuan, besar daya ultrasonication, dan lama ultrasonication

Produksi gula tertinggi

(155,13 mg gula/g massa

surface structure and crystallinity of water

hyacinth (Eichhornia

crassipes) following

recombinant α

-L-arabinofuranosidase (abfa) treatment

- Praperlakuan: dipotong, dibersihkan, dikeringkan, dan ditepungkan.

- Hidrolisis: enzimatis dengan α-L-arabinofuranosidase dengan rasio enzim intraselular

dan ekstraselular 1:10, 1:8, 1:4, 1:2, 1:1 pada 70 oC selama 1, 2, 4, 8, 12, dan 24 jam.

- Variasi: perbandingan enzim intraselular (P) dan enzim ekstraselular (S) (analisa aktivitas), perbandingan enzim intraselular (P) dan enzim ekstraselular (S) (konsentrasi gula pereduksi), lama hidrolisis

Aktivitas enzim terbaik pada rasio P:S = 1:10 sampai 1:0.

Rasio P:S = 1:2

menghasilkan konsentrasi

gula pereduksi terbesar.

(53)

Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

Judul Penelitian Metodologi Hasil

Merina dan

- Praperlakuan: dibersihkan, dikeringkan, dan ditepungkan. Selanjutnya:

i. 25 g tepung dicampur ke 420 ml asam sulfat 2% v/v disetir 7 jam diikuti netralisasi dan penambahan buffer

ii. pemanasan (121 oC, 30 menit) diikuti penambahan air dan buffer

- Hidrolisis: likuifikasi (A. niger) dan pemanasan diikuti (atau tanpa) sakarifikasi (S. tidaknya sakarifikasi, dan jenis mikroba fermentasi.

Kadar etanol tertinggi 0,27% dicapai dengan pemanasan, likuifikasi dengan seeding ratio 8/40 v/v dan sakarifikasi diikuti fermentasi 3 hari oleh

- Praperlakuan: dipotong, dikeringkan, ditepungkan, lalu 15 g tepung dicampur air

dengan perbandingan 1:3 dan diautoklafselama 20 menit pada 121 oC.

- Delignifikasi:

i. Dengan jamur akar putih (Phanerochaete chrysosporium) selama 8 minggu

ii. Dengan gabungan Pleurotus osterotus dan Phanerochaete chrysosporium selama 8

minggu

- Variasi: metode delignifikasi

Delignifikasi sampai 67,23% berhasil dicapai pada minggu

ke 8. Selulosa dan

(54)

Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

Judul Penelitian Metodologi Hasil

Satyanagalakshmi et

al. 2011.

Bioethanol

production from acid

pretreated water

hyacinth by separate

hydrolysis and

fermentation.

- Praperlakuan: dibersihkan, dikeringkan, digiling dengan knife mill, kemudian 10 g

biomassa dicampur ke: (i) HCl 2% v/v; (ii) H2SO4 2% v/v; (iii) asam asetat 30% v/v;

(iv) asam formiat 30% v/v dan diautoklaf (121 oC, 1 jam) diikuti netralisasi dengan

NaOH, pencucian dan pengeringan.

- Hidrolisis: enzimatis dengan selulase komersial Zytex

- Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae

- Mode: SHF

- Variasi: konsentrasi asam (1-7% w/v), loading biomassa (5; 7,5; 10; 12,5; 15 dan

17,5% w/w), jenis surfaktan (Tween 80, Triton X-100, dan PEG), konsentrasi surfaktan (0,01; 0,02; 0,05; 0,1 dan 0,2), konsentrasi selulase (10, 30, 50, 70 FPU/g biomassa),

suhu (80 o, 100 o & 121 oC), dan waktu inkubasi (15 – 90 menit)

Hasil terbaik (0,292% w/v etanol) untuk waktu inkubasi 24 jam, loading biomassa

sulfat pada loading padatan

10% w/w pada suhu 121 oC

- Praperlakuan: pencucian, pengecilan ukuran, dan pengeringan pada 80 oC selama 24

jam, diikuti sterilisasi dengan autoklafpada 121 oC selama 15 menit.

- Hidrolisis: termal pada 175 oC dan tekanan 8 – 10 bar (10 g eceng gondok per 200 ml

aquades)

- Mikroba fermentasi: Pichia stipitis NRRL Y-7124

- Mode: SHF

- Variasi: suhu (25 dan 30 oC), dan laju pengadukan (75 dan 150 rpm)

Yield etanol tertinggi (58,356 ge/gs) diperoleh pada variasi

suhu 25 oC dan pengadukan

i. Dengan asam sulfat 0,25% saja

ii. Dengan asam sulfat 0,25% dan jamur akar putih Echinodontium taxodii

iii. Dengan asam sulfat 0,25% dan jamus akar coklat Antrodia sp. 5898

- Hidrolisis: enzimatis

- Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae

- Mode: SHF

- Variasi: metode praperlakuan, suhu praperlakuan dan lama praperlakuan

Yield etanol tertinggi 0,192 g/g massa kering dicapai untuk copraperlakuan asam

sulfat dan E. taxodii selama

(55)

Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

Judul Penelitian Metodologi Hasil

Mukhopadhyah dan

- Hidrolisis: enzimatis dengan selulase dari Trichoderma reesei ATCC 26921 dan

-glukosidase dari Aspergillus phoenicis ATCC 52007

- Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae MTCC 171 (tahap 1) diikuti

Pachysolen tannophilus MTCC 1077 (tahap 2) - Mode: SHF, SSF, SBB, PH-SSF

- Praperlakuan: dibersihkan, dikeringkan, digiling, kemudian 1,5 g bubuk diautoklaf

dalam 100 ml asam sulfat 0,1 M selama 10 – 90 menit, suhu 120 – 135 oC.

- Hidrolisis: enzimatis dengan selulase, -amilase, xilanase, amiloglukosidasie, dan

pektinase dalam 0,1 M Na3PO4, 48 jam, 50 oC.

- Mikroba fermentasi: (monokultur dan co-kultur)

Saccharomyces cerevisiae TISTR 5048

Saccharomyces cerevisiae KM 1195

Saccharomyces cerevisiae KM 7253

Candida tropicalis TISTR 5045 - Mode: SHF

- Variasi: waktu praperlakuan, suhu praperlakuaan, dan jenis mikroba fermentasi

Yield 0,27 g/g biomassa dan

5045. Kondisi optimum

praperlakuan dicapai pada

135 oC dan 30 menit, dan isolated from various hydrospheres

- Praperlakuan: dibersihkan, dikeringkan, lalu digiling

- Hidrolisis: 3 g bubuk ditambah ke 50 ml asam sulfat encer 0,5 – 4% v/v suhu 121 oC,

waktu 0,5 – 1,5 jam kemudian dinetralkan dan disaring. - Mikroba fermentasi:

Saccharomyces cerevisiae 484 dari Sungai Katsuragawa

Saccharomyces cerevisiae K7 dan 11 strain lain - Mode: SHF

- Variasi: konsentrasi asam sulfat, waktu hidrolisis

Hasil terbaik (1,77 0,4 g/l

etanol) diperoleh untuk

hidrolisis dengan asam sulfat

encer 1% v/v suhu 121 oC

(56)

Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

Judul Penelitian Metodologi Hasil

Mishima et al. 2008.*

Saccharomyces cerevisiae NBRC 2346

Escherichia coli KO11 (strain rekombinan) - Mode: SHF, SSF

- Variasi: Jenis biomassa (eceng gondok dan water lettuce), jenis mikroba fermentasi,

dan mode proses.

Hasil terbaik (16,9 g/l etanol) dicapai untuk substrat eceng gondok dengan proses SSF

- Praperlakuan: dibersihkan, dipotong-potong, dihancurkan, lalu dikeringkan

- Hidrolisis: 100 g tepung eceng gondok dicampur dengan 1% atau 10% H2SO4 sampai

1000 ml, lalu diautoklafpada 121oC selama 15 menit. Kemudian didinginkan, disaring,

dipanaskan ke 60 oC, ditambah NaOH dan Ca(OH)2 sampai pH 10, ditambah 10 g

neopepton, pH disesuaikan ke 5,6, lalu ditambah air sampai 1000 ml.

- Mikroba fermentasi: Candida shehatae TISTR 5843

- Mode: SHF

- Variasi: jenis substart (sabouraud dextrose broth, sabouraud xylose broth, hidrolisat

eceng gondok), dan konsentrasi asam sulfat

Yield etanol tertinggi 0,19 g/g atau 1,01 g/l pada konsentrasi asam sulfat 10%.

(57)

Walaupun kebanyakan polisakarida larut dalam air, selulosa tidak larut dalam

air karena ikatan hidrogen intra dan intermolekuler (Kajiwara dan Miyamoto, 2005).

Alomorf selulosa ada 4: selulosa I, selulosa II, selulosa III, dan selulosa IV. Dari

alomorf ini, selulosa I lah yang paling banyak ditemukan di alam. Selulosa I sendiri

tersusun oleh kombinasi fasa triklinik Idan fasa monoklinik I(Perez dan Mazeau,

2005). Polimerasi dan kristalinitas selulosa bervariasi dan mempengaruhi sifat

hidrolitiknya (Lihat Gambar 2.6 dan 2.7).

Gambar

Gambar 2.2. Tahapan dalam Produksi Bioetanol Secara Umum (Joshi  et al. 2011)
Gambar 2.3. Perubahan Struktur Mikro Akibat Praperlakuan (Houghton et al. 2006)
Gambar 2.4. Aktivitas Enzim dalam Hidrolisis Selulosa (Wyman, 1994)
Gambar 2.5. Berbagai Senyawa Turunan Hidrolisis Asam (Chandel et al. 2011b)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan keadaan terbaik (pH fermentasi, jenis ragi, dan waktu fermentasi) dari proses pembuatan bioetanol dari ampas tebu

Fermentasi dilakukan menggunakan substrat yang berasal dari eceng gondok sehingga gula reduksi yang terdapat didalamnya dapat dikonversi

Dari hasil penelitian pembuatan NaCMC dari eceng gondok, variabel yang paling berpengaruh terhadap proses pembuatan NaCMC dari batang eceng gondok adalah

Pengaruh Lama Fermentasi dan Berat Ragi Roti Terhadap Kadar Bioetanol Dari Proses Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Jerami Padi Dengan HCl 30%.. Universitas

Beberapa masalah umum dalam praperlakuan adalah terbentuknya produk penghambat, pembukaan struktur lignin – hemiselulosa – selulosa kurang efektif, terlalu banyak

Untuk mendapatkan kadar ethanol yang terbaik pada jerami Padi dengan menggunakan proses Hidrolisis dan fermentasi. Mengetahui proses pembuatan bioethanol dari jerami Padi

Tulisan ini merupakan Skripsi dengan judul “Pembuatan Bioetanol dari Tepung Ampas Tebu Melalui Proses Hidrolisis Termal dan Fermentasi: Pengaruh pH Fermentasi, Jenis Ragi dan

METODE PENELITIAN Pada penelitian ini eceng gondok menjadi energi alternatif bioetanol menggunakan tahap pretreatment, hidrolisis, fermentasi, destilasi kemudian dilakukan proses