SUKSESI VEGETASI DI GUNUNG PAPANDAYAN
PASCA LETUSAN TAHUN 2002
WELLY RAHAYU
E 14201033
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
RINGKASAN
Welly Rahayu. Suksesi Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002. Di Bawah Bimbingan Ir. Iwan Hilwan, MS.
Masyarakat hutan merupakan suatu siste m hidup dan tumbuh, atau suatu masyarakat yang dinamis. Untuk mencapai keadaan seimbang/dinamis (dynamic equilibrium) masyarakat hutan memerlukan jangka waktu yang sangat lama. Masyarakat hutan yang telah seimbang/dinamis sering terusik oleh beberapa gangguan. Pertama aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan seperti perladangan berpindah dan pembalakan. Kedua karena faktor alam yang bersifat alami seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin ribut dan lain-lain.
Kerusakan hutan akibat faktor alam terjadi di Gunung Papandayan yang meletus pada tahun 2002 yang telah mengakibatkan kerusakan baik pada kondisi lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan berbeda dengan kondisi awal. Dimana untuk mencapai keadaan seimbang (dynamic equilibrium) dibutuhkan suatu proses dalam jangka waktu yang sangat lama yaitu proses suksesi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat suksesi yang terjadi di kawasan hutan pasca letusan Gunung papandayan. Data ini sebagai data awal yang dapat digunakan untuk penelitian pada tahun-tahun berikutnya.
Penelitian suksesi ini dilaksanakan di kawasan hutan Gunung Papandayan Garut, pada hutan yang terkena letusan dan hutan yang tidak terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl dan 2500 m dpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – September 2005. Bahan-bahan yang digunakan adalah etiket gantung, lembar herbarium dan label, sasak bambu, kertas gambar dan kertas koran, isolatif, kantong palstik dan Alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan adalah Alat ukur meteran, alat tulis, tali rafia atau tali plastik, golok dan pisau, kompas, gunting ranting, tally sheet, pita keliling, pita tanda, kamera digital, paralon, haga meter, GPS, dan termometer.
Kegiatan yang dilakukan adalah analisis vegetasi, analisis tanah dan pembuatan herbarium. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode jalur berpetak. Pada setiap ketinggian dibuat sebanyak lima jalur (20 x 100 m) dimana setiap jalur dibagi menjadi lima petak contoh (20 x 20 m). Petak contoh ini dibagi lagi menjadi sub petak contoh yang terdiri dari tingkat semai (2 x 2 m), pancang (5 x 5 m), tiang ( 10 x 10 m), dan pohon (20 x 20 m). Sedangkan untuk herba dan semak (5 x 5 m), liana dan efifit (20 x 20 m). Jarak antar jalur adalah 30 m. Data hasil analisis vegetasi berupa Indek Nilai Penting, Indeks Keragaman, Indeks Kekayaan, Indeks Kemerataan, Indeks Dominansi dan Indeks Kesamaan Komunitas. Untuk analisis tanah metode yang dilakukan adalah metode tanah terusik. Data yang dianalisis adalah sifat fisik (tekstur) dan sifat kimia (pH, Al, P, C-organik, N-total, KTK, Mg, K, Ca, dan KB) tanah. Pembuatan herbarium dengan cara mengambil specimen di lapangan.
dibandingkan hutan tidak terkena letusan baik di ketinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl. Sedangkan untuk Indeks Dominansi pada hutan yang terkena letusan lebih tinggi dibandingkan hutan tidak terkena letusan baik di ke tinggian 2300 m dpl maupun 2500 m dpl.. Pada hutan di ketinggian 2300 m dpl Indek Kesamaan Komunitas terbesar adalah pada tingkat tiang dengan nilai sebesar 19,44% sedangkan di ketinggian 2500 m dpl adalah pada tingkat herba dan semak dengan nilai sebesar 49,26%.
Akibat adanya peristiwa letusan Gunung Papandayan yang terjadi pada tahun 2002, telah mengakibatkan perubahan yang sangat drastis pada kondisi lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan tersebut berbeda dengan kondisi awalnya. Kemudian seiring dengan perubahan alam dari waktu ke waktu, telah terjadinya suatu proses suksesi yaitu suksesi sekunder pada areal-areal terbuka yang mengalami kerusakan akibat letusan.
Proses suksesi sekunder yang berjalan lebih kurang tiga tahun lamanya telah membentuk suatu komunitas baru yang berbeda dari komunitas sebelumnya. Proses suksesi yang terjadi telah masuk kedalam tingkatan pertama yaitu vegetasi rumput herba dan semak kecil. Proses ini telah terjadi pada hutan yang terkena letusan di ketinggia n 2500 m dpl dimana pada hutan tersebut didominasi oleh vegetasi untuk tingkat herba dan semak. Sedangkan pada hutan yang terkena letusan di ketinggian 2300 m dpl, proses suksesi berjalan sangat lambat karena hingga saat ini belum ditemukannya vegetasi bar u yang tumbuh pada hutan tersebut. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena hutan pada ketinggian 2300 m dpl sangat dekat dengan sumber letusan (2200 m dpl) sehingga menyebabkan kerusakan yang sangat parah.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Suksesi Vegetasi Di Gunung Papandayan Pasca
Letusan Tahun 2002
Nama Mahasiswa : Welly Rahayu
NRP : E 14201033
Program studi : Budi Daya Hutan
Disetujui,
(Ir. Iwan Hilwan, MS)
Dosen Pembimbing
Diketahui,
(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS)
SUKSESI VEGETASI DI GUNUNG PAPANDAYAN
PASCA LETUSAN TAHUN 2002
WELLY RAHAYU
E 14201033
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara, yang
telah melimpahkan nikmat dan karunianya, termasuk nikmat yang Dia berikan
kepada penulis dalam pelaksanaan serangkaian tugas akhir hingga tuntasnya
skripsi ini.
Skripsi ini be rjudul “Suksesi Vegetasi Gunung Papandayan Pasca Letusan
Tahun 2002”. Skripsi ini dilakukan penulis untuk mempelajari tingkat suksesi
yang terjadi di kawasan hutan pasca letusan Gunung papandayan. Data ini sebagai
data awal yang dapat digunakan untuk penelitian pada tahun-tahun berikutnya.
Dengan penuh kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Keluarga tercinta yang telah memberikan doa, dukungan serta
pengorbanan yang terbaik.
2. Ir. Iwan Hilwan, MS atas kesediaan dan keikhlasan beliau membimbing
penulis dalam menyusun skripsi ini.
3. Ir. I. Ketut N Pandit, MS dan Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA selaku
dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen Konservasi
Sumber Daya Hutan dan Ekowisata atas saran dan masukan yang telah
diberikan demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Kritik serta saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan
tulisan ini.
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi sumber
informasi bagi yang menggunakannya.
Bogor, Januari 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Dumai, Propinsi Riau pada tanggal
20 Juli 1983. Penulis merupakan anak ketiga dari empat
bersaudara dari pasangan Ridwan. AR (Ayah) dan Yunimar
(Ibu). Penulis menjalani pendidikan Sekolah Dasar Negri 014
Dumai tahun 1989-1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Negri 2 Dumai tahun 1995-1998 dan Sekolah Menengah
Umum Negri 2 Dumai tahun 1998-2001.
Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi
Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Dalam bidang akademik, penulis telah mengikuti beberapa prakte k
lapang antara lain : Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada bulan
Juli-Agustus 2004 di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah (KPH Banyumas
Barat, BKPH Rawa Timur dan KPH Banyumas Timur, BKPH Gunung Slamet
Barat) dan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, KPH Ngawi. Pada bulan Februari
– April 2005, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Diamond
Raya Timber, Riau.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota Komunitas
Masyarakat Rumput (MR) tahun 2002-2003, anggota Departemen Public relation
ASEAN Forestry Student’s Association (AFSA) LC IPB 2003-2004, dan asisten
mata kuliah Dendrologi dan Ekologi Hutan 2004-2006.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... ii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 2
C. Manfaaat Penelitian ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA... 3
A. Dinamika Masyarakat Tumbuhan ... 3
1. Pengertian Suksesi ... 3
2. Macam Suksesi ... 5
3. Karakteristik Suksesi... 5
4. Tahapan Perkembangan Suksesi ... 6
B. Morfologi Tumbuhan... 9
1.Struktur dan Komposisi Daun... 9
2.Struktur dan Komposisi Bunga ... 10
3.Buah ... 11
C. Eksplorasi Botani Hutan ... 13
D. Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 14
1. Sifat Fisik Tanah... 14
a. Tekstur Tanah... 14
2. Sifat Kimia Tanah ... 15
a. Reaksi Tanah ... 16
b. Bahan Organik ... 17
c. Nitrogen... 17
d. Fosfor ... 18
e. Kalium ... 19
f. Magnesium dan Kalsium ... 19
g. Kapasitas Tukar Kation ... 20
h. Kejenuhan Basa ... 21
II. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK... 22
A. Luas dan Letak ... 22
B. Topografi dan Iklim ... 22
C. Sumber Air ... 23
D. Tanah ... 23
1.Flora ... ... 23
2.Fauna ... ... 23
F. Keadaan Sosial Ekonomi ... 24
1.Penduduk... ... 24
2.Mata Pencaharian ... ... 24
3.Jenis Penggunaan Lahan ... ... 24
IV. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian... 25
B. Bahan dan Alat ... 25
1. Bahan ... 25
2. Alat... 25
C. Metode Penelitian... 25
1. Analisis Vegetasi ... 25
2. Pembuatan Herbarium... 27
3. Analisis Tanah ... 27
4. Dokumentasi ... 28
5. Analisis Data ... 28
a Kegiatan Analisis Vegetasi ... 28
i. Indeks Nilai Penting... 28
ii. Indeks Kekayaan Jenis ... 29
iii.Indeks Keanekaragaman Jenis ... 29
iv.Indeks Kemerataan Jenis ... 29
v. Indeks Dominansi... 30
vi.Indeks Kesamaan Komunitas ... 30
b. Tanah... 31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32
A. Hasil Penelitian... 32
1. Indeks Nilai Penting ... 32
a. Hutan Terkena Letusan pada 2300 m dpl... 32
b. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2300 m dpl ... 32
c. Hutan Terkena Letusan pada 2500 m dpl... 33
d. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2500 m dpl ... 36
2. Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wiener (H’)... 40
3. Indeks Kekayaan Margalef (R1) ... 41
4. Indeks Kemerataan (E) ... 42
5. Indeks Dominansi (C) ... 44
6. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)... 45
7. Sifat Fisik Tanah ... 46
8. Sifat Kimia Tanah... 46
B. Pembahasan ... 54
1. Indeks Nilai Penting ... 54
2. Indeks Keragaman, Keka yaan, dan Kemerataan... 57
3. Indeks Dominansi (C) ... 58
4. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)... 59
5. Tingkat suksesi yang terjadi... 60
7. Sifat Kimia Tanah... 61
VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 67
A. Kesimpulan... 67
B. Saran... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Hubungan Kelas Tekstur dengan Kapasitas Infiltrasi pada Penutupan
yang Berbeda ... 15
2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ( Staf Pusat
Penelitian Tanah, 1981) ... 16
3. Jumlah Penduduk Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Sukaresmi
dan Desa Neglawangi ... 24
4. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah ... 31
5. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2300 m dpl tidak
Terkena Letusan) ... 33
6. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl Terkena Letusan)... 34
7. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl Terkena Letusan) ... 34
7. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl Terkena Letusan) ... 35
8. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl Terkena Letusan) ... 35
9. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2500 m dpl Terkena
Letusan) ... 36
10. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ... 37
11. Nilai Penting Tingkat Pancang (2500 m dpl tidak
Terkena Letusan) ... 37
12. Nilai Penting Tingkat Tiang (2500 m dpl tidak Terkena Letusan) ... 38
13. Nilai Penting Tingkat Pohon (2500 m dpl tidak
Terkena Letusan) ... 38
14. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2500 m dpl tidak Terkena
Letusan) ... 39
15. Data Tekstur Tanah ... 46
16. Data Sifat Kimia Tanah dan Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Peta Papandayan... 22
2. Petak Pengamatan ... 26
3. Indeks Keragaman Jenis ... 40
4. Indeks Kekayaan Jenis ... 41
5. Indeks Kemerataan Jenis ... 43
6 Indeks Dominansi... 44
7. Indeks Kesamaan Komunitas... 45
8. Reaksi Tanah (pH Tanah) ... 47
9. Kandungan Aluminium... 48
10. Kandungan Fosfor... 49
11. Kandungan Karbon Organik ... 49
12. Kandungan Nitrogen Total... 50
13. Kapasitas Tukar Kation (KTK) ... 51
14. Kandungan Magnesium... 51
15. Kapasitas Kalium ... 52
16. Kandungan Kalsium ... 53
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman 1. Hutan Terkena Letusan dan Tidak Terkena Letusan di Ketinggian
2300 m dpl... 70
2. Hutan Terkena Letusan dan Kondisi Vegetasi pada Hutan Terkena letusan dan tidak terkena letusan di Ketinggian 2300 m dpl... 71
3. Bahan-Bahan Herbarium... 72
4. Indeks Nilai Penting pada Hutan Terkena letusan di ketinggiaan 2300 m dpl... 73
5. Indeks Nilai Penting pada Hutan Tidak Terkena letusan di ketinggiaan 2300 m dpl... 74
6. Indeks Nilai Penting pada Hutan Terkena letusan di ketinggiaan 2500 m dpl... 76
7. Indeks Nilai Penting pada Hutan Tidak Terkena letusan di ketinggiaan 2500 m dpl... 79
8. Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wiener (H’) ... 83
9. Indeks Kekayaan Margalef(R) ... 83
10. Indeks Kemerataan (E) ... 84
11. Indeks Dominansi (C) ... 84
12. Indeks Kesamaan Komunitas (IS)... 85
13. Daftar Nama Jenis Pohon di Gunung Papandayan... 85
14. Daftar Nama Jenis Tumbuhan Bawah di Gunung Papandayan... 86
15. Data Kimia Tanah ... 88
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gunung Papandayan adalah salah satu gunung api aktif yang ada di Jawa
Barat, dan merupakan Taman Wisata Alam (TWA) yang semula bagian dari
Cagar Alam (CG) yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budaya dan rekreasi. Secara umum, areal Gunung
Papandayan ini berupa hutan, dimana berdasarkan pengertiannya hutan sebagai
suatu ekosistem yang merupakan hasil interaksi antara faktor biotik dan abiotik.
Komponen biotik meliputi semua organisme hidup, baik flora, fauna termasuk
juga manusia. Sedangkan faktor abiotik meliputi curah hujan, angin, temperatur,
kelembaban, tanah, ketinggian, topografi, dan lain sebagainya.
Masyarakat hutan merupakan komunitas biotik yaitu suatu sistem hidup dan
tumbuh, suatu masyarakat yang dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara
berangsur -angsur melalui beberapa tahap yaitu : invasi oleh tumbuh-tumbuhan,
adaptasi, agregasi, persaingan dan penguasan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan
stabilisasi atau keseimbangan dinamis. Dimana untuk mencapai keadaan
seimbang (dynamic equilibrium) memerlukan jangka waktu yang sangat lama.
Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah suksesi.
Masayarakat hutan yang stabil sering terusik oleh beberapa macam
gangguan. Pertama, karena keberadaan manusia yang kian hari kian bertambah
populasinya menyebabkan kebutuhan akan keperluan hidup juga bertambah
sehingga banyak aktivitas manusia yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan
seperti perladangan berpindah dan pembalakan. Kedua , karena faktor alam yang
bersifat alami seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin
ribut dan lain-lain.
Kerusakan hutan akibat faktor alam ini terjadi di Gunung Papandayan yang
meletus pada tahun 2002 yang telah mengakibatkan kerusakan baik pada kondisi
lingkungan maupun ekosistem yang menyebabkan kawasan hutan berbeda denga n
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat suksesi yang terjadi di
kawasan hutan pasca letusan Gunung Papandayan.
C. Manfaat Penelitian
Data suksesi yang diperoleh merupakan data awal guna memantau
perkembangan suksesi vegetasi pasca letusan di kawasan hutan Gunung
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dinamika Masyarakat Tumbuhan
Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara
dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa
tahap : invasi, agregasi, persaingan dan penguasaan, reaksi terhadap tempat
tumbuh dan stabilisasi. Proses tersebut disebut sebagai suksesi (Soerianegara dan
Indrawan, 1988).
1. Pengertian suksesi
Spurr (1964), menyatakan bahwa suksesi merupakan proses yang
terjadi secara terus-menerus yang ditandai oleh banyaknya perubahan dalam
vegetasi, tanah dan iklim mikro. Perubahan ini terjadi secara bersama -sama
dan komponen yang satu dengan yang lain akan saling berhubungan.
Selanjutnya dikatakan oleh Ewusie (1990), bahwa suksesi merupakan
hasil dari tumbuhan itu sendiri, dalam arti bahwa tumbuhan yang berbeda
dalam daerah itu pada waktu tertentu mengubah lingkungannya yang terdiri
dari tanah, tumbuhan dan iklim mikro yang berada di atasnya, sedemikian
rupa sehingga membuatnya cocok untuk jenis yang lain daripada tumbuhan itu
sendiri.
Sedangkan menurut Kartawinata, Ressodarmo dan Soegiarto (1992), suksesi merupakan suatu proses perubahan dalam komunitas yang
berlangsung menuju kesatu arah secara teratur. Lebih lanjut dikatakan bahwa
suksesi ini tidak lebih dari pergantian jenis yang oportunis (jenis-jenis pionir)
oleh jenis-jenis yang lebih mantap dan dapat me nyesuaikan secara lebih baik
dengan lingkungannya.
Selama suksesi berlangsung hingga tercapai keseimbangan dinamis
dengan lingkungannya, terjadi pergantian-pergantian masyarakat tumbuhan
hingga terbentuk masyarakat yang disebut klimaks (Soerianegara dan
Indrawan, 1988). Selaunjutnya dikatakan bahwa dalam masyarakat yang telah
stabil pun selalu terjadi perubahan-perubahan, misalnya karena pohon-pohon
yang tua dan mati, maka timbullah anakan pohon atau pohon-pohon yang
Menurut Clarke (1954), adanya perubahan dalam masyarakat
tumbuhan terutama disebabkan oleh aktivitas masing-masing masyarakat
tumbuhan di dalam lingkungannya sendiri. Dijelaskan lebih lanjut bahwa di
dalam hutan, pohon-pohon akan meningkat dalam bentuk dan ukurannya,
sehin gga bersifat menaungi dan akibatnya kelembaban akan bertambah tinggi.
Tumbuhan mengambil hara dari dalam tanah dalam bentuk yang berbeda.
Akumulasi humus, perubahan pH tanah dan kandungan air semuanya akan
berubah, akibatnya habitat akan berubah pula. Per ubahan ini akan
menciptakan keadaan habitat yang baik untuk pertumbuhan jenis yang lain
dari jenis yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, jenis yang berbeda
alam kondisi selanjutnya akan menguasai.
Menurut Wirakusumah (2003), pada dasarnya ada komunitas yang
statis tetapi pada hakikatnya senantiasa berubah menurut peredaran waktu.
Perubahan ini dikenal dalam jenjang-jenjang, yang pertama tentunya terjadi
karena organisme tumbuh, berinteraksi atau mati. Perubahan lain dalam
jangka waktu lebih lama mengakibatkan perubahan besar pada komposisi dan
struktur suksesi ekologik, sebagai reaksi komunitas perubahan faktor biotik
fundamental dan evolusi komunitas.
Suksesi ekologik ini dapat digambarkan dari awal suatu ekosistem
yang mengalami gangguan sehingga mengakibatkan tanah menjadi gundul.
Kendati demikian pada lahan gundul itu dapat tersisa vegetasi akar-akaran dan
biji-biji dorman yang mulai hidup kembali membentuk ekosistem baru.
Jenis-jenis pertama yang mulai membentuk komunitas baru itu disebut Jenis-jenis pionir,
yang memelopori hidup di lingkungan gersang yang kemudian mati, ditambah
semak-semaknya sewaktu masih tumbuh dan meningkatkan mutu kondisi
lingkungan abiotik, yang memungkinkan organisme lain hidup, baik dari yang
dominan di tempat maupun kedatangan spesies baru dari luar, meningkatkan
komunitas semakin dewasa. Pertumbuhan komunitas semakin dewasa ini
disebut proses suksesi. Proses ini berlanjut terus menuju keseimbangan
2. Macam Suksesi
Manan (1978), membedakan proses terjadinya suksesi menjadi dua
macam, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer bermula
dari suatu habitat yang tidak bervegetasi sebelumnya, sedangkan suksesi
sekunder bermula dari suatu habitat yang tadinya sudah ditumbuhi vegetasi
yang kemudian terjadi kerusakan yang disebabkan oleh adanya gangguan,
seperti bencana alam (kebakaran, banjir, longsor, gunung meletus) atau
kerusakan oleh adanya perladangan, vegetasinya rusak dan musnah digantikan
oleh jenis tumbuhan baru yang sesuai dengan keadaan tempat terbuka.
Soerianegara dan Indrawan (1988), membedakan pula suksesi atas dua
bagian, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder. Suksesi primer merupakan
perkembangan vegetasi mulai dari habitat yang tidak bervegatasi hingga
mencapai masyarakat yang stabil atau klimaks, sedangkan suksesi sekunder
terjadi apabila klimaks atau suksesi yang normal terganggu atau dirusak. Jika
gangguan atau kerusakan itu tidak hebat, maka suksesi sekunder ini dapat
mencapai klimaks semula, tetapi apabila kerusakan yang terjadi berat sekali,
sehingga kondisi klimaks tidak mungkin lagi tercapai, maka terbentuklah apa
yang disebut disklimaks.
3. Karakteristik Suksesi
Odum (1971), menyebutkan tiga karakteristik suksesi yang berperan
penting dalam perkembangan ekosistem, yaitu :
a. Suksesi merupakan suatu perkembangan komunitas yang meliputi
perubahan di dalam struktur jenis dan metabolisme komunitas yang
searah dengan waktu sehingga dapat diramalkan.
b. Suksesi merupakan proses induksi komunitas dan organisme yang
meneruskan perubahan lingkungan fisik. Perubahan dalam lingkungan
fisik menentukan pola dan dasar dari suksesi dalam habitat.
c. Suksesi berperan penting untuk pembentukan stabilitas komunitas
dengan biomassa maksimum, keanekaragaman jenis dan penggunaan
semua kemungkinan tempat hidup organisme.
Kecepatan proses suksesi menurut Kartawinata, dkk. (1992)
a. Luasnya komunitas asal yang rusak karena gangguan.
b. Jenis-jenis yang terdapat di sekitar komunitas yang terganggu.
c. Kehadiran pemancar biji dan benih
d. Iklim, terutama arah dan kecepatan angin yang membawa biji dan spora
serta perkembangan semai selanjutnya.
e. Macam substrat baru yang terbentuk.
f. Sifat-sifat jenis tumbuhan yang ada di sekitar terjadinya suksesi.
4. Tahapan Perkembangan Suksesi
Mengenai adanya perubahan habitat, Whittaker (1975), menyatakan
bahwa selama proses suksesi berjalan terjadi beberapa macam perubahan,
yaitu :
a. Adanya perkembangan dari sifat tanah, seperti meningkatnya kedalaman
tanah, meningkatnya kandungan bahan organik dan meningkatnya
perbedaan lapisan tanah.
b. Meningkatnya komunitas tumbuh-tumbuhan dalam tinggi, massa kayu
(biomassa), kerimbunan dan perbedaan strata tajuk.
c. Dengan berkembangnya sifat-sifat tanah dan struktur komunitas yang
lebih baik, maka produktivitas dan pembentukan bahan organik
meningkat.
d. Adanya perkembangan dari kerapatan, penutupan tajuk dan iklim mikro
dalam komunitas.
e. Keanekaragaman meningkat dari komunitas sederhana pada tingkat awal
suksesi ke komunitas yang kaya pada akhir suksesi.
f. Populasi meningkat, pergantian suatu populasi oleh populasi lainnya
meningkat sampai tingkat yang stabil. Jenis yang berumur pendek
digantikan jenis yang berumur panjang.
g. Kestabilan relatif dari suatu komunitas pada tingkat awal komunitas
tidak stabil, dimana populasi secara cepat digantikan oleh populasi yang
lain, sedangkan populasi akhir biasanya stabil dan dikuasai oleh
tumbuhan yang berumur panjang serta komposisi dari komunitas yang
Ewusie (1990), menyatakan bahwa ada tiga faktor yang memegang
peranan penting dalam terbentuknya suatu komuntas:
a. Tersedia kesempatan berkoloni atau bahan-bahan serbuan (invading
material) misalnya benih, buah dan spora-spora. Hal ini merupakan faktor
yang sangat penting dalam perke mbangan komunitas tumbuhan pada
setiap waktu tertentu. Jadi tergantung bahan yang terbawa ke lokasi
tersebut.
b. Seleksi pada bahan-bahan yang tersedia secara alam di lingkungan
tersebut. Setelah beberapa benih berkoloni dan semai telah mulai hidup
pada habitat tersebut, hanya beberapa saja yang dapat toleran terhadap
lingkungan dan dapat tumbuh dengan baik. Lingkungan dapat tidak baik
untuk perkecambahan beberapa benih dan juga dapat menekan
semai-semai tertentu sampai tidak dapat tumbuh. Tingkat ini adalah tingkat yang
kritis, karena secara umum selang toleran semai lebih sempit daripada
tumbuhan yang telah dewasa. Tentunya perbedaan lingkungan
menghasilkan perbedaan dalam tingkat seleksi. Sebagai kasus yang
ekstrim misalnya pada permukaan batu telanjang atau bukit pasir, di sini
hanya beberapa jenis saja yang dapat tumbuh.
c. Modifikasi lingkungan oleh tumbuhan. Dari saat yang akan berkoloni
pertama tiba pada habitat yang telanjang tersebut dan mulai tumbuh,
masyarakat tumbuhan mulai memodifikasi lingkungan. Pengaruhnya dapat
dilihat pada tahap akhir dari perkembangan.
Sedangkan Odum (1971), menyatakan kesamaan/kesejajaran antara
suksesi dengan perkembanagn organisme-organisme individual sebagai
berikut :
a. Suatu proses yang berlangsung secara teratur/ berurutan yang cukup
terarah dan dengan demikian dapat diduga.
b. Terjadi sebagai hasil modifikasi lingkungan fisik oleh komunitas, artinya
perkembangan tersebut adalah perkembangan yang dikontrol oleh
c. Mencapai puncaknya di dalam suatu ekosistem yang telah stabil (disebut
juga ekosistem klimaks, ekosistem yang telah matang) dengan sifat
homeostatis (ekosistem dalam keadaan yang setimbang dan sehat).
Sedangkan Shukla dan Chandel (1982), membagi suksesi kedalam
sembilan tahapan, yaitu :
a. Nudation, yaitu proses terbentuknya vegetasi penutup tanah.
b. Migration, yaitu proses tumbuh-tumbuhan sampai dan tersebar dalam
bentuk biji pada daerah yang terbuka.
c. Ecesis, yaitu proses perkecambahan, pertumbuhan, perkembangbiakan
dan menetapnya tumbuhan baru tersebut.
d. Agregation, yaitu pola pengelompokan dari koloni individu yang tumbuh
berkembang pada areal yang kosong.
e. Evolution of community relationship, yaitu suatu proses yang terjadi
apabila daerah yang kosong ditempati jenis-jenis yang berkoloni, dan
jenis tersebut akan saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
f. Invation, yaitu dalam proses kolonisasi, biji tumbuhan yang telah
beradaptasi dalam waktu yang relatif panjang akan tumbuh dan menetap
di tempat tersebut.
g. Reaction, yaitu terjadinya perubahan habitat yang disebabkan oleh
tumbuhan itu sendiri dan habitat tempat tumbuhnya. Reaction
merupakan proses yang terus menerus dan menyebabkan kondisi yang
kurang cocok bagi tumbuhan yang telah ada dan lebih cocok pada
individu yang baru. Dengan cara demikian, reaction memegang peranan
yang sangat penting di dalam pergantian jenis tumbuhan.
h. Stabilization, yaitu suatu proses dimana telah terbentuk individu yang
dominan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur vegetasi
yang sudah dapat dikatakan relatif konstan.
i. Clima x, yaitu tahap akhir perubahan vegetasi, keadaan habitat dan
struktur vegetasi relatif konstan, karena pembentukan jenis dominan
Proses suksesi yang terjadi menurut Gates (1949), dapat dibagi ke
dalam empat tahapan, yaitu :
a. Tahap rumput-rumput pionir
b. Tahap semak
c. Tahap pohon sementara
d. Tahap hutan klimaks
Sedangkan Danserau (1954), memperkenalkan lima tahapan dalam
suksesi, yaitu :
a. Tahap pionir
b. Tahap konsolidasi
c. Tahap sub klimaks
d. Tahap quasi klimaks
e. Tahap klimaks
B. Morfologi Tumbuhan
1. Struktur dan Komposisi Daun
Daun merupakan bagian atau organ tumbuhan yang berfungsi
membentuk makanan (fotosintesis), respirasi dan transpirasi. Karena daun
menunjukkan pola-pola khas, maka dinilai sangat penting dipelajari dalam
taksonomi (Samingan, 1980).
Daun terdiri dari helai daun atau lamina dan tangkai daun atau petiole.
Tangkai daun dapat panjang atau pendek, lentur atau kaku, bersurut, beralur,
atau memipih dan kadang-kadang mempunyai kelenjar. Pada beberapa kasus,
tangkai daun tidak ada dan helai melekat langsung pada ranting, daun
demikian ini disebut daun duduk atau sessile. Beberapa daun disertai organ
yang menyerupai daun atau seperti sisik yang disebut daun penumpu atau
stipule yang melekat pada ranting di bawah pangkal atau dikedua sisi tangkai
daun tadi. Tumbuhan yang memiliki stipule disebut stipulate, sedangkan
tumbuhan yang tidak memiliki stipule disebut estipulate (Harlow &
Harar,1958).
Menurut Benson (1957), setiap jenis pohon biasanya memiliki tata
a. Bersilang atau opposite, yaitu apabila daun berpasangan pada ketinggian
yang sama, satu pada masing-masing sisi dari ranting.
b. Melingkar atau Whorled atau Verticillate, yaitu apabila lebih dari dua
daun dijumpai pada ruas yang sama.
c. Berseling atau alternate, yaitu hanya satu helai daun saja yang melekat
pada ruas dan dengan pengamatan yang seksama akan tampak ditata
dalam spiral mengitari ranting.
Komposisi daun dengan satu helai disebut daun tunggal (simple leaf)
dan jika dua atau lebih helai daun yang melekat pada tangkai persekutuan
disebut daun majemuk (compound leaf) dan helai-helai daunnya disebut anak
daun (leaflet). Tangkai menopang anak daun disebut rachis. Apabila jumlah
anak daun yang melekat sepanjang rachis disebut daun bersirip (pinnately
compound) berjumlah ganjil atau genap, maka hal tersebut menunjukkan
jumlah anak daun yang ada. Daun bersirip ganda adalah daun majemuk
bersirip dan anak-anak daun bersirip lagi yang disebut pinulle (Samingan,
1980).
2. Struktur dan Komposisi Bunga
Bunga dapat dianggap sebagai ranting dengan daun yang berubah
fungsinya (Samingan, 1980). Terjadinya perubahan fungsi tersebut menurut
Loveless (1989) akan mengakibatkan :
a. Bunga tidak mempunyai kuncup pada ketiak daunnya.
b. Buku-bukunya pendek sehingga jarak vertikal antara daun yang
berurutan sangat pendek.
c. Bunga menunjukkan pertumbuhan yang terbatas, yaitu segera setelah
meristem ujung membentuk bunga, maka pertumbuhan lebih lanjut akan
terhenti.
Bunga terdiri dari beberapa bagian bunga, yaitu : kelopak (sepal),
mahkota bunga (petal), benang sari (stamen), dan putik (pistil). Jika bunga
mempunyai semua bagian tersebut, maka bunga disebut bunga lengkap
(complete) dan jika salah satu bagian bunga tidak ada maka disebut bunga
Bunga yang sempurna adalah bunga yang memiliki putik dan benang
sari, sedangkan bagian tambahan lainnya seperti daun kelopak dan atau daun
mahkota hanya sebagai pelengkap. Sedangkan bunga tidak sempurna adalah
bunga yang hanya mengandung benang sari atau putik saja. Sehingga bunga
tidak sempurna merupakan bunga berkelamin satu, sedangkan bunga
sempurna adalah bunga biseksual atau hermaphrodit (Harlow & Harar,1958).
Samingan (1980) mengatakan bahwa bunga tidak sempurna dapat
berbentuk bunga jantan (apabila benang sari yang berfungsi, sedangkan putik
mandul) atau dapat juga berbentuk bunga betina (apabila putik yang berfungsi,
sedangkan benang sari mandul).
3. Buah
Buah adalah organ tumbuhan yang mengandung biji. Struktur buah
memberikan cirri khas yang sangat bermanfaat bagi klasifikasi tumbuhan
berbunga.
Secara morfologi, buah konifer dapt dibedakan menjadi buah kering
dan buah berdaging yang terdiri dari dua tipe, yaitu :
a. Buah yang terdiri dari satu biji, yang sebagian atau seluruhnya tertutup
oleh aril (daging biji).
b. Buah yang terdiri dari beberapa sisi berkayu atau keras atau sisik
berdaging, masing-masing dengan satu atau lebih biji dan tersusun pada
sumbu membentuk kerucut atau cone.
Sedangkan buah angiospermae biasanya dikatakan sebagai bakal buah
yang masak, yang dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Buah tunggal (yang terbentuk oleh satu putik)
b. Buah majemuk (yang terbentuk oleh dua atau lebih putik yang terdapat
pada dasar bunga yang sama)
Kedua macam buah ini dapat merupakan buah kering atau buah
berdaging (sekulen) menurut keadaan buahnya waktu matang (Samingan,
Loveless (1989) membagi buah tunggal menjadi tiga bentuk, yaitu
a. Buah kering tidak merekah, terdiri dari tipe :
i. Buah longkah, yaitu buah kecil, berongga dan berbiji satu.
ii. Samara, yaitu buah keras bersayap.
iii. Nut, yaitu buah keras kecil
b. Buah kering merekah terdiri dari tipe :
i. Buah polong atau legume, yaitu hasil dari putik tunggal yang merekah
sepanjang garis suture (kampuh).
ii. Buah bumbung atau follicle, yaitu hasil dari satu putik yang merekah
melalui dua atau lebih suture (kampuh).
iii. Buah kotak atau capsule, yaitu hasil dari putik majemuk merekah
melalui dua atau lebih suture (kampuh)
iv. Buah berdaging, yaitu hasil dari putik majemuk merekah melalui dua
atau lebih suture (kampuh)
c. Buah berdaging terdiri dari tipe :
i. Buah empulur atau pome, yaitu hasil putik majemuk ; dinding luar
bakal buah berdaging, dinding dalam menjangat membungkus banyak
biji.
ii. Buah batu atau drupe, yaitu buah berdaging berbiji satu ; biasanya
hasil dari putik tunggal, dinding luar berdaging, dinding dalam keras.
iii. Buah buni atau berry, yaitu buah berbiji banyak ; dinding luar dan
dalam berdaging dengan biji-biji terbungkus dalam massa yang seperti
bubur (tomat).
Sedangkan buah majemuk dapa t dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Buah aggregate, yaitu merupakan kumpulan buah tunggal yang berasal
dari putik-putik terpisah pada bunga yang sama yang terdapat pada dasar
bunga persekutuan.
b. Buah multiple, yaitu kumpulan buah tunggal yang berasal dari putik-putik
C. Eksplorasi Botani Hutan
Eksplorasi botani di hutan dan penelitian botani tentang pohon-pohon akan
memberikan data/informasi mengenai flora pohon di hutan yang bersangkutan.
Kegiatan eksplorasi botani hutan dan penelitian teknologi kayu sudah sejak
dahulu dilakukan, dimana Endert pada tahun 1917 untuk pertama kalinya
melakukan eksplorasi ini dan menghasilkan sekitar 4000 jenis pohon.
Eksplorasi botanis dan teknologi kayu pada dasarnya merupakan bagian
dari eksplorasi atau survey hutan yang bertujuan untuk mendapatkan data tentang
letak, luas, struktur hutan, komposisi jenis dan data kondisi tempat tumbuhnya
(Kusmana, 1995).
Metode terbaik yang digunakan dalam eksplorasi botanis menurut
Kusmana (1995) adalah metode jalur, yang memiliki lebar 10 m atau 20 m dengan
panjang satu km atau lebih. Setelah itu, semua pohon yang berdiameter 20 cm ke
atas yang masuk ke dalam jalur dicatat nama daerahnya, diameternya, tinggi total
dan tinggi bebas cabangnya.
Contoh-contoh herbarium sangatlah berguna untuk keperluan eksplorasi
botani di suatu daerah. Contoh herbarium ini selain bahan identifikasi atau
determinasi jenis tumbuhan, tetapi juga sebagai barang bukti yang
didokumentasikan bahwa jenis-jenis tumbuhan yang bersangkutan terdapat di
daerah tersebut (Kusmana, 1995).
Lebih lanjut Kusmana (1995) mengatakan bahwa suatu contoh herbarium
yang baik harus mengandung bagian-bagian tumbuhan yang lengkap yang terdiri
dari contoh ranting-ranting berdaun (daun muda dan daun tua), bunga (kuncup
bunga dan bunga yang sudah mekar), buah (buah muda dan muda tua) dan biji.
Kemudian Kusmana (1995) menambahkan beberapa petunjuk dalam
pengumpulan herbarium, antara lain :
1. Bahan herbarium tidak boleh dipungut dari tanah, tetapi harus diambil dari
pohon yang bersangkutan.
2. Untuk pohon (berdiameter 10 cm atau lebih) atau berupa pohon kecil diambil
ranting yang berdaun yang ada bunganya dan bila ada dilengkapi dengan
buah. Sekurang-kurangnya dikumpulkan lima ranting dari tiap pohon yang
Sedangkan ukuran ranting yang dikumpulkan untuk herbarium adalah sekitar
27 cm x 42 cm (ukuran setengah halaman kertas Koran). Tiap ranting
sekurang-kurangnya berisi lima daun apabila daun tidak terlalu besar. Untuk
daun berukuran besar, cukup dua helai daun per ranting.
3. Untuk mengambil contoh herbarium yang tinggi dilakukan dengan cara
dipanjat, melempar ranting atau cabang terendah yang mengandung bunga dan
atau buah denga n sepotong kayu atau menembak dengan senapan atau
memakai tali pancing dari nilon yang dilemparkan dengan ketapel.
D. Sifat Fisik dan Kimia Tanah
Tanah merupakan tubuh alam bebas yang terbentuk dari hasil kerjasama
antara kelima faktor pembentuk tanah yaitu bahan induk, iklim, organisme, relief
dan waktu.
1.
Sifat Fisik Tanah
a. Tekstur Tanah
Tekstur tanah adalah perbandingan relief dari berbagai golongan
besar partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan
antara fraksi-fraksi liat, debu, dan pasir (Sarief,1985)
Kadar liat merupakan kriteria penting sebab liat mempunyai
kemampuan menahan air yang tinggi. Tanah yang mengandung liat dalam
jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh
menimpanya, dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh
butir-butir liat semakin tinggi nisbah liat maka laju infiltrasi semakin kecil
(Arsyad, 2000).
Seperti yang dikemukan oleh Hardjowigeno (2003) bahwa
tanah-tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga
sulit menyerap dan menahan air atau unsur hara. Tanah-tanah yang
bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga
kemampuan menahan air dan menyimpan unsur hara tinggi. Tanaman
yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada
Perbedaan tekstur dan struktur adalah tekstur merupakan ukuran
butir-butir tanah sedangkan struktur adalah kumpulan butir-butir tanah
disebabkan terikatnya butir-butir pasir, liat, dan debu oleh bahan or ganik,
oksidasi besi, dan lain-lain (Hardjowigeno,2003).
Struktur tanah memegang peranan penting terhadap pertumbuhan
tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bila tanah padat,
maka akar susah untuk menembus tanah tersebut. Bila struktur tanah
remah, maka akar akan tumbuh dengan baik (Sarief, 1985).
Daya infiltrasi dan ukuran butir -butir tanah akan menentukan
mudah atau tidaknya terangkut air. Tanah dengan agregat yang mudah
didispersikan oleh air dan daya infiltrasinya kecil dengan ukuran
butir-butir tanah halus, peka terhadap erosi atau erodibilitasnya besar (Sarief,
1985).
Menurut Lee (1990) harga-harga khas kapasitas infiltrasi
dihubungkan dengan tekstur tanah dan tajuk (penutup lahan) dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan Kelas Tekstur dengan Kapasitas Infiltrasi pada Penutupan yang Berbeda.
Kapasitas infiltrasi (mm/jam) Tekstur
Tanah gundul Bervegetasi
Liat 0-5 5-10
Lempung berliat 5-10 10-20
Lempung 10-15 20-30
Lempung
berpasir
15-20 30-40
Pasir 20-25 40-50
2. Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah
umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat-sifat yang perlu
dianalisis untuk mengetahui kadar unsur hara dalam tanah adalah pH,
C-organik, N-total, P, Mg, K, Ca, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan
Tabel 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1981)
No Sifat Kimia Tanah
Sangat Rendah
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1 C-organik <0,100 1,00 – 2,00 2,01 – 3,00 3,01 – 5,00 >5,00 2 N-total <0,10 0,10 – 0,20 0,21 – 0,50 0,51 – 0,75 >0,75 3 P <10 10 - 15 16 - 25 26 - 35 >35 4 M g <0 4 0,4 – 1,0 1,1 – 2,0 2,1 – 8,0 >8,0 5 K <0,1 0,1 – 0,2 0,3 – 0,5 0,6 – 1,0 >1,0 6 Ca <2 2 - 5 6 - 10 11 - 20 >20 7 KTK <5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 >40 8 KB <20 20 – 35 36 - 50 51 - 70 >70 9 Al <10 10-20 21-30 31-60 >70
Sangat Masam
Masam Agak Masam
Netral Agak Alkalis
Alkalis
10 pH <4,5 4,5 – 5,5 5,6 – 6,5 6,6 - 7,5 7,6 – 8,5 >8,5
a. Reaksi tanah (pH tanah)
Reaksi tanah merupakan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dalam pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
Hidrogen (H+) di dalam tanah. Semakin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah,
semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain ion H+juga ditemukan
ion OH−, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Pada
tanah-tanah yang masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada ion OH−, sedang
pada tanah-tanah alkalis kandungan OH− lebih banyak daripada H+ . Bila
kandungan H+ sama dengan OH− maka tanah bereaksi netral yaitu pH = 7
(Hardjowigeno, 2003).
Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting, sebab
terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat
beberapa hubungan antara pH dan semua pembentukan serta sifat-sifat tanah.
Sejumlah organisme mempunyai toleransi yang agak kecil terhadap variasi
pH, tetapi organisme lain dapat toleran terhadap kisaran pH yang lebar.
Penelitian-penelitian telah memperlihatkan bahwa konsentrasi actual H+ dan
merupakan kondisi yang berkaitan dari suatu nilai pH tertentu yang terpenting
(Foth, 1988).
b. Bahan Organik
Hardjowigeno (1995), menyatakan bahwa bahan organik umumnya
ditemukan di permukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya 3-5 % saja
tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah sangat besar. Adapun pengaruh
bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan akibatnya terhadap pertumbuhan
tanaman adalah sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah, sumber
unsur hara N, P, S dan unsur mikro lainnya, menambah kemampuan tanah
untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur
hara dan sumber energi bagi mikroorganisme.
Sumber asli bahan organik adalah jaringan tumbuhan, dalam keadaan
alami bagian di atas tanah, akar pohon, semak-semak, rumput, dan tanaman
tingkat rendah lainnya tiap tahunnya menyediakan sejumlah besar sisa-sisa
organik. Karena bahan ini didekomposisikan dan dihancurkan oleh banyak
macam organisme tanah, hasilnya akan menjadi bagian dari horizon di
bawahnya, karena adsorpsi atau pencampuran fisik secara aktif. Bagian bahan
organik yang dioksidasi terdiri dari karbon, hydrogen yang menyusun lebih
dari separuh bahan kering (Buckman dan Brady, 1969).
c. Nitrogen (N)
Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer dan lainnya
adalah berasal dari aktifitas kehidupan di dalam tanah sebagai sumber
sekunder. Fiksasi N secara simbiotik, khususnya terdapat pada tanaman jenis
leguminosae dengan bakteri tertentu. Bahan organik juga membebaskan N dan
senyawa lainnya setelah mengalami dekomposisi oleh aktifitas jasad renik
tanah (BKS, PTN, 1991).
Nitrogen berada di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik.
Bentuk-bentuk organik meliputi NH4, NO3, NO2, dan unsur N. Tanaman
menyerap unsur ini terutama dalam bentuk NO3. Namun bentuk lain yang juga
dapat diserap adalah NH4, dan urea (CO(N2))2 dalam bentuk NO3 (BKS.PTN,
Selanjutnya BKS.PTN (1991), menyatakan bahwa dalam siklusnya,
nitrogen organik di dalam tanah mengalami mineralisasi, sedangkan bahan
mineral mengalami imobilisasi. Sebagian N terangkut bersama panen,
sebagian kembali lagi sebagai residu tanaman, hilang ke atmosfer dan kembali
lagi, hilang melalui pencucian dan bertambah lagi melalui pemupukan.
Adanya yang hilang tererosi atau bertambah karena pengendapan.
Nitrogen ditambahkan ke tanah sebagai komponen presipitasi.
Penambahan sebagian besar nitrogen secara alami ke tanah di tambahkan
melalui fiksasi biologis simbiotik dan nonsimbiotik (Foth, 1988).
d. Fosfor (P)
Fosfor memainkan peranan yang sangat diperlukan seperti bahan bakar
yang universal untuk semua aktifitas biokimia dalam sel hidup. Masalah
utama dalam pengambilan fosfor dari tanah oleh tanaman adalah kelarutan
yang rendah dari sebagian besar campuran fosfor dan konsentrasi fosfor yang
dihasilkan sangat rendah dalam lapisan tanah pada setiap waktu tertentu
(Foth, 1988).
Sebagian besar P tanah bersumber dari pelapukan batuan dan
mineral-mineral yang mengandung P yang terdapat pada kerak bumi. Salah satu sifat
dari unsur ini adalah tingkat kestabilannya di dalam tanah yang tinggi,
sehingga kehilangan akibat pencucian relatif tidak pernah terjadi. Hal ini pula
yang menyebabkan kelarutan P dalam tanah sangat rendah sehingga
ketersediaan untuk tanah relatif sangat sedikit. Dengan demikian ketersediaan
P tanah sangat tergantung kepada sifat dan ciri tanah (BKS.PTN, 1991).
Ketersediaan P dapat diartikan sebagai P tanah yang dapat
diekstrasikan oleh air dan asam sitrat. Penambahan unsur ini diharapkan
berasal dari pupuk fosfat, pelapukan mineral-mineral fosfat, dan residu hewan
dan tanaman. Sedangkan kehilangan P dapat terjadi karena terangkut tanaman,
e. Kalium (K)
Kalium adalah unsur hara ketiga setelah nitrogen dan fosfor yang
diserap tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari Kalium akan
membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif
nitrat, fosfat atau unsur lainnya (BKS.PTN, 1991).
Kalium tanah adalah berasal dari pelapukan batuan dan
mineral-mineral yang mengandung kalium. Melalui proses dekomposisi bahan
tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah.
Selanjutnya sebagian besar kalium tanah yang larut akan tercuci atau tererosi
dan kehilangan ini dipercepat lagi oleh serapan tanaman dan jasad renik. Di
dalam tanah dikenal empat bentuk kalium, yaitu mineral, terfiksasi,
K-dipertukarkan dan K-larutan. Tetapi untuk kepentingan pertumbuhan ta naman,
kalium tanah dibedakan berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman, dan
digolongkan ke dalam kalium relatif tidak tersedia, kalium lambat tersedia,
dan kalium segera tersedia. Kalium dapat dipertukarkan dan kalium larut,
langsung, dan mudah diserap tanaman disebut kalium tersedia (BKS.PTN,
1991).
Menurut Foth (1988), pada dasarnya kalium dalam tanah ditemukan
dalam mineral-mineral yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion
diadsorbsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman.
f. Magnesium (Mg) dan Kalsium (Ca)
Kalsium dan magnesium merupakan kation-kation utama pada
kompleks pertukaran . Keduanya mempunyai sifat dan prilaku yang mirip
dalam ta nah. Unsur-unsur tersebut biasanya dihubungkan dengan masalah
kemasaman tanah dan pengapuran, karena keduanya merupakan kation
yang paling cocok untuk mengurangi kemasaman dan menaikkan pH
tanah. Kalsium dan magnesium tanah diserap tanaman masing-masing
sebagai Ca2+ dan Mg2+ yang berasal dari bentuk dapat ditukar dan atau
bentuk larut air (BKS.PTN, 1991).
Kalsium merupakan komponen struktural dinding-dinding sel
tanaman. Ia sangat mempengaruhi permeabilitas membran sitoplasma.
Magnesium merupakan satu-satunya unsur anorganik yang menyusun
molekul klorofil dan merupakan unsur yang terlibat pada kebanyakan
reaksi enzimatis. Oleh karena itu magnesium amat esensial pada proses
metabolisme di dalam tanaman.
Dibandingkan dengan kalsium , magnesium tidak begitu kuat
diadsorbsi pada tempat pertukaran kation, sedikit rendah magnesium dapat
ditukar ada dalam tanah, dan defisiensi magnesium lebih sering
ditemukan. Defisiensi kalsium dicirikan oleh suatu bentuk yang cacat
pembentukan yang kurang dan disintegrasi bagian ujung dari tanaman
sedangkan defisiensi magnesium berakibat pada suatu perubahan warna
khusus pada daun (Foth, 1988).
g. Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kation adalah ion yang bermuatan positif seperti Ca++, Mg+, K+,
Na+, NH+, H+, Al3+ dan sebagainya. Di dalam tanah kation-kation tersebut
terlarut di dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah.
Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap oleh tanah
persatuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan Kapasitas tukar
kation (KTK).
Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar
tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat digantikan oleh kation lain yang
terdapat dalam larutan tanah. Hal tersebut dinamakan pertukaran kation.
Jenis-jenis kation yang telah disebutkan di atas merupakan kation-kation
umum ditemukan dalam kompleks jerapan tanah.
Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat
hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu
menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan
KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa,
Ca, Mg, K, Na (kejenuhan basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan
tanah, tetapi bila didominasi oleh kation asam Al, H (kejenuhan basa
h. Kejenuhan Basa (KB)
Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah
kation-kation basa dengan jumlah semua kation-kation (kation-kation basa dan kation-kation asam)
yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Kation-kation basa
umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman. Di samping itu
basa-basa umumnya mudah tercuci, sehingga tanah dengan kejenuhan basa
tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak pencucian dan
merupakan tanah yang subur.
Kejenuhan basa berhubungan erat dengan pH tanah, dimana
tanah-tanah dengan pH rendah umumnya mempunyai kejenuhan basa rendah,
sedang tanah-tanah dengan pH tinggi mempunyai kejenuhan basa yang
tinggi pula (Hardjowigeno, 2003).
Nilai kejenuhan basa bergantung pada intensitas pencucian yang
berarti bergantung pada curah hujan, pengatusan setempat dan perembihan
sedangkan pengaruh bahan induknya tergolong kecil. Kejenuhan basa
tergolong tinggi apabila berkembang pada tempat yang bercurah hujan
rendah dan nilai kejenuhan basa tersebut lebih kecil jika berkembang pada
III. KONDISI UMUM LOKASI PRAKTEK
A. Luas dan Letak
Kawasan Cagar Alam (CA) Papandayan dan Taman Wisata Alam (TWA)
Gunung Papandayan ditetapkan sebagai kawasan konservasi CA dan TWA
Papandayan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 226 / Kpts – II / 1990
tgl. 8 Mei 1990 seluas ; 7.032 Ha, terdiri dari Cagar Alam seluas : 6.807 Ha,
TWA seluas : 225 Ha.
Letak geografis CA/TWA Papandayan berada pada 7º30’ Lintang Selatan
dan 107º31’ – 180º Bujur Timur.
Keterangan :
A : Lokasi Parkir B : Kompleks Kawah C : Blok Bunderan
: Jalan Kendaraan D : Blok Pondok Saladah E : Blok Bandung Vooruit
: Batas Kawasan TWA
P apandayan
Jarak lokasi dengan kota terdekat : Garut : ± 32 Km
[image:35.612.120.504.274.603.2]Bandung : ± 97 Km (melalui Cisurupan) ± 81 Km (melalui Pangalengan
Gambar 1. Peta Papandayan
B. Topografi dan Iklim
Konfigurasi lapangan bergelombang dengan topografi curam, berbukit dan
bergunung-gunung serta tebing yang terjal, ketinggian berkisar antara 2.170 s/d
2.662 mdpl.
Termasuk tipe iklim B, dengan kelembaban udara 70-90 % dan suhu
C. Sumber Air
Di dalam Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Papandayan
terdapat sumber air baik air panas maupun air dingin. Sungai yang mengalir di
dalam kawasan antara lain adalah Ciparugpug, Cibeureum, Cisaladah, Cigebog,
Cingenah dan lain-lain. Sebagian sungai mengalir bereaksi asam karena melewati
daerah belerang tetapi ada juga sungai yang airnya tawar dan dapat digunakan
untuk mandi dan memasak.
D. Tanah
Secara geologi Cagar Alam Papandayan mempunyai jenis batuan yang
terdiri dari batuan vulkanik, pigosol, andosol, dan batuan intermediet gelombang
bergunung dengan ketebalan solum 30-60 cm dengan tingkat kesuburan tanahnya
baik (subur).
E. Flora dan Fauna 1. Flora
Secara keseluruhan vegetasi di TWA/CA Gunung Papandayan
diantaranya adalah pohon Cantigi (Vacinium lucidum) dan Edelweiss
(Anaphalis javanica), dan vegetasi hutan campuran terdiri dari perdu, pohon
dan semak belukar dengan tajuk saling menutupi diantaranya adalah : Puspa
(Schima walichii), Saninten (Castanopsis argentea), Jamuju (Podocarpus
imbricatus), Pasang (Quercus sp), dan Lame (Alstonia angustifolia).
2. Fauna
Jenis satwa yang terdapat di TWA/CA Gunung Papandayan yang
mudah ditemukan secara langsung umumnya berbagai jenis burung, antara
lain : Walik (Teron grisscipilla), Kadanca (Dacula sp), Walet (Collocalia
vulconorium), Saeran (Dicrurus mococarpus), Elang dll. Jenis satwa lain yang
terdapat di kawasan TWA/CA Papandayan ini antara lain adalah Lutung
(Presbytitis cristata), Musang (Paradoxurus hermaproditus), Babi (Sus sp),
F. Keadaan Sosial Ekonomi 1. Penduduk
Jumlah penduduk di Kabupaten Garut khususnya di Kecamatan
Cisurupan yaitu 82.053 orang dengan jumlah Laki-laki 42.571 orang,
perempuan 39.482 orang, Kecamatan Sukaresmi 31.439 orang dengan jumlah
Laki-laki 15.122 orang, Perempuan 16. 317 orang, dan Desa Neglawangi
Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung adalah 4.879 orang dengan jumlah
Laki-laki 2.376 orang dan jumlah Perempuan sebanyak 2.503 orang.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Cisurupan, Kecamatan Sukaresmi dan Desa Neglawangi.
Jenis Kelamin No Nama Kecamatan /
Desa Laki-laki
(org)
Perempuan
(org)
Jumlah
1 2 3 4 5
1 Cisurupan 42.571 39.482 82.053
2 Sukaresmi 15.122 16.317 31.439
3 Neglawangi 2.503 2.376 4.879
Jumlah 60.196 58.175 118.371
Sumber : Garut dalam Angka 2003 dan Monografi Desa Kecamatan. Kertasi 2003
2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan CA. Papandayan
umumnya bergerak dalam bidang pertanian, hal ini didukung kondisi alam
yang memadai.
3. Jenis Penggunaan Lahan
Jenis penggunaan lahan di sekitar kawasan Cagar Alam Papandayan
adalah Perkebunan, Hutan Lindung, Hutan Produksi, Ladang, Padang Rumput
IV. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian suksesi ini dilaksanakan di kawasan hutan Gunung Papandayan
Garut, dengan melakukan analisis vegetasi di hutan yang terkena letusan dan
hutan yang tidak terkena letusan yang masing-masing dilakukan pada ketinggian
2300 m dpl dan ketinggian 2500 m dpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni –
Septe mber 2005.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Etiket gantung (dari karton manila).
b. Lembar herbarium (dari karton tebal) dan label.
c. Sasak kayu atau bambu.
d. Kertas gambar dan kertas koran.
e. Isolatif
f. Kantong palstik
g. Alkohol 70%
2. Alat -alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Alat ukur meteran
b. Tali rafia atau tali plastik
c. Kompas
d. Tally sheet
e. Pita tanda
f. Paralon
g. GPS
h. Alat tulis
i. Golok dan pisau
j. Gunting ranting
k. Pita keliling
l. Kamera digital
m. Haga meter
C. Metode Penelitian 1. Analisis Vegetasi
Pengambilan data dengan cara analisis vegetasi bertujuan untuk
mengetahui komposisi jenis yang ada di kawasan Gunung Papandayan Garut.
Metode yang digunakan adalah metode jalur berpetak yang dianggap dapat
mewakili areal tersebut. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada hutan yang
terkena letusan dan hutan yang tidak terkena letusan yang masing-masing
dilakukan pada ketinggian yang berbeda pula yaitu 2300 m dpl dan 2500 m
dpl. Perbedaan ketin ggian ini untuk mengetahui apakah ketinggian
mempengaruhi tingkat kerusakan akibat letusan Gunung Papandayan.
Pada setiap ketinggian, jalur berpetak ini dibuat sebanyak lima jalur
dengan ukuran jalur 20 m x 100 m. Satu jalur terdiri dari lima petak contoh
yang masing petak berukuran 20 m x 20 m dimana jarak antar jalur adalah 30
m. Di dalam petak contoh dibuat lagi subpetak contoh berukuran 2 m x 2
m (untuk tingkat semai), 5 m x 5 m (untuk tingkat pancang), 10 m x 10 m
(untuk tingkat tiang) dan 20 m x 20 m (untuk tingkat pohon). Penentuan letak
petak contoh dibuat searah dengan arah kontur. Skema petak contoh dan
[image:39.612.149.506.467.582.2]subpetak contoh yang digunakan seperti pada gambar 2.
Gambar 2. Jalur Pengamatan
Untuk menentuka n tingkat permudaan pertumbuhan, digunakan kriteria
sebagai berikut :
a. Semai (seedling), yaitu permudaan dari mulai kecambah sampai setinggi
1,50 meter.
Arah rintisan
20 m
20 m
100 m
10 m
5 m
b. Pancang (sapling), yaitu permudaan yang tingginya ≥ 1,50 m sampai
pohon muda yang berdiameter ≤ 10 cm.
c. Tiang (pole), yaitu pohon muda yang berdiameter 10-20 cm.
d. Pohon dewasa, yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm.
Untuk analisis vegetasi herba dan semak dilakukan pada subpetak
contoh yang berukuran 5 m x 5 m. Sedangkan analisis vegetasi liana dan epifit
dilakukan pada subpetak contoh yang sama dengan pohon yaitu yang
berukuran 20 m x 20m.
2. Pembuatan Herbarium
Langkah-langkah pembuatan herbarium adalah sebagai berikut :
a. Bahan herbarium diambil dari pohon (bukan yang sudah jatuh ke tanah),
berupa ranting yang berdaun. Setiap jenis pohon diambil satu ranting.
Bahan herbarium yang telah diambil diberi etiket gantung (label) secara
berurutan sesuai dengan urutan pengambilannya.
b. Pencacatan setiap bahan herbarium yang telah diberi label da lam buku
lapangan untuk kegiatan risalah pohon.
c. Bahan-bahan herbarium dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran (satu
lembar kertas koran untuk satu contoh tumbuhan).
d. Bahan herbarium yang telah dibungkus koran disusun sebanyak 20-25 di
dalam sasak bambu dan kemudian diikat dengan tali rafia.
e. Setiap sasak dimasukkan ke dalam kantong plastik lalu disiram dengan
alkohol 70 %.
f. Kemudian bahan herbarium tersebut disimpan selama satu malam.
g. Penggantian semua kertas koran yang digunakan untuk membungkus
bahan herbarium dengan kertas koran yang kering.
h. Bahan herbarium disusun kembali di dalam sasak bambu dan diikat
dengan tali rafia.
i. Semua bahan herbarium yang telah disasak, selanjutnya dikeringkan
menggunakan oven bersuhu 60°C sampai bahan herbarium tersebut
kering.
3. Analisis Tanah
Contoh tanah (sample tanah) diambil pada masing-masing ketinggian
(2300 m dpl dan 2500 m dpl) baik di hutan yang terkena letusan maupun
hutan yang tidak terkena letusan. Hal ini sangat diperlukan agar data yang
didapat lebih akurat. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada dua
kedalaman yaitu 0-20 cm dan 20-40 cm dengan menggunakan metode contoh
tanah terusik/terganggu, dimana untuk metode ini contoh tanah dapat diambil
menggunakan alat berupa bor tanah/golok/pisau. Contoh tanah diambil di
dalam petak contoh secara acak (random) sebanyak 3 kali ulangan pada
masing-masing kedalaman. Setelah contoh tanah diambil kemudian
dimasukkan ke dalam kantong palstik dan diberi label sesuai tempat dan
kedalaman pengambilan contoh tanah tersebut.
4. Dokumentasi
Guna menyimpan dan penyebarluasan hasil penelitian untuk pengguna
di lapangan akan dibuat dokumentasi berupa :
a Foto atau gambar
b Penyimpanan spesimen herbarium untuk identifikasi.
5. Analisis Data
a Kegiatan Analisis Vegetasi
Hasil dari kegiatan analisis vegetasi diolah dengan menggunakan
rumus-rumus sebagai berikut :
1. Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai penting ini digunakan untuk menetapkan domin asi
suatu jenis terhadap jenis lainnya. Nilai penting merupakan jumlah dari
Kerapatan Relatif (KR), Dominansi Relatif (DR), dan Frekuensi
Relatif (FR).
Jumlah individu
Jumlah petak ditemukan suatu jenis
Ø Frekuensi (F) =
Jumlah seluruh petak
Jumlah bidang dasar
Ø Dominansi (D) =
Luas petak contoh
Kerapatan suatu jenis
Ø Kerapatan Relatif (KR) = x 100% Kerapatan seluruh jenis
Frekuensi suatu jenis
Ø Frekuensi Relatif (FR) = x 100% Frekuensi seluruh jenis
Dominansi suatu jenis
Ø Dominansi Relatif (DR) = x 100% Dominansi seluruh jenis
Ø Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR è Pohon dan
Tiang
Ø Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR è Semai dan Pancang
2. Indeks Kekayaan Jenis dari Margelaf
S - 1
R1 =
ln (n)
Dimana :
R1 = Indeks Margelaf
S = Jumlah jenis
N = Jumlah total individu
3. Indeks Keanekaragaman Jenis berdasarkan Shannon- Weinner
H’ = -∑ [(Pi) ln (Pi)]
Dimana :
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
ni = INP setiap jenis
N = Total INP seluruh jenis
4. Indeks Kemerataan Jenis
H’ E =
ln (S)
Dimana :
E = Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis
5. Indeks Dominansi (C)
C = ∑ (ni/N)2
Dimana :
C = Indeks Dominansi
ni = INP setiap jenis
N = Total INP seluruh jenis
6. Indeks Kesamaan Komunitas
Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk mengetahui
kesamaan relatif komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan
pada masing-masing tingkat pertumbuhan.
2W
IS = X 100% a + b
Dimana :
IS = koefisien kesamaan komunitas (index of similarity)
W = jumlah nilai penting yang sama atau nilai yang terendah (≤)
dari jenis-jenis yang terdapat dalam dua petak contoh yang
dibandingkan
a = jumlah nilai penting dari semua jenis yang terdapat pada
komunitas A
b = jumlah nilai penting dari semua jenis yang terdapat pada
komunitas B
b. Tanah
Contoh –contoh tanah baik terganggu maupun contoh tanah utuh
masing-masing di bawa ke laboratorium tanah untuk dianalisis dengan
metode seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah
No Sifat Tanah Metode Analisis Satuan 1 Sifat fisik
Tekstur
Pipet %
2 Sifat kimia tanah pH C-organik N-total P Mg Ca K Al KTK KB pH meter
Walkley dan black Kjeldahl
P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1 P- Bray 1
[image:44.612.169.480.384.602.2]V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan didapat data semai, pancang,
tiang dan pohon yang kemudian diolah untuk memperoleh Indeks Nilai Penting
(INP) dari masing-masing data di atas. Peranan suatu jenis dalam komunitas dapat
dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang mempunyai
nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa
jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih
tinggi dari jenis yang lain.
1. Indeks Nilai Penting
a.Hutan Terkena Letusan pada 2300 m dpl i. Tingkat Pancang
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
pancang didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dengan
nilai INP adalah 200,00%.
ii. Tingkat Tiang
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
tiang didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dengan nilai
INP adalah 300,00%.
iii. Tingkat Pohon
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
pohon didominasi oleh jenis Suwagi (Va ccinium varingifolium) dengan
nilai INP adalah 300,00%.
b. Hutan Tidak Terkena Letusan pada 2300 m dpl i. Tingkat Semai
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
semai didominasi oleh tiga jenis saja yaitu jenis Suwagi (Vaccinium
varingifolium), Cantigi (Vaccinium lucidum) dan Segel (Wormia excelsa)
ii. Tingkat Pancang
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
pancang didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dan
Cantigi (Vaccinium lucidum) dengan nilai INP masing-masing sebesar
194,12% dan 5,88%.
iii. Tingkat Tiang
Hasil analisis vegetasi Berdasarkan dapat diketahui bahwa dominasi
jenis tingkat tiang didominasi ole h jenis Suwagi (Vaccinium
varingifolium) dengan nilai INP adalah 300,00%.
iv. Tingkat Pohon
Hasil analisis vegetasi dapat diketahui bahwa dominasi jenis tingkat
pohon didominasi oleh jenis Suwagi (Vaccinium varingifolium) dengan
nilai INP adalah 300,00%.
v. Tingkat Herba dan Semak
Hasil analisis vegetasi tingkat herba dan semak dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Penting Tingkat Herba dan Semak (2300 m dpl tidak Terkena Letusan)
No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%) 1 Paku andam Gleichania linearis 56,90
2 Ilateun Agrostis infirma 47,04
3 Pakis munding Angiopteris evecta 45,54
4 Jajambuan Eugenia sp 16,94
5 Harendong Melastoma malabathricum 16,30 6 Paku tangkur Selliguea heterocarpa 15,65 7 Edelweis Anaphalis javanica 1,64
Jumlah 200,01
Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa dominasi jenis
tingkat herba dan semak didominasi oleh jenis Paku andam(Gleichania
linearis) dengan nilai INP adalah 56,90%.
c. Hutan Terkena Letusan pada 2500 m dpl i. Tingkat semai
Tabel 6. Nilai Penting Tingkat Semai (2500 m dpl Terkena Letusan) No Nama Lokal Nama Ilmiah Nilai Penting (%)
1 Kendung Helicia serrata 83,07
2 Segel Wormia excelsa 43,49
3 Anggrid Neonauclea lanceolata 27,08 4 Huru batu Litsea glutinosa 12,24 5 Huru buah Beilschmiedia gemmiflora 12,24 6 Huru minyak Lindera polyantha 11,72 7 Jamuju Podocarpus imbricatus 3,65
8 Ki sapu Eurya acuminata 3,65
9 Huru beureum Literatur