1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang banyak terjangkit oleh penyakit yang
ditularkan oleh nyamuk. Satu di antara penyakit yang ditularkan oleh nyamuk
adalah penyakit demam berdarah. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Pada tahun 2008, tercatat sebanyak 137.469 kasus demam
berdarah, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 158.912 kasus demam berdarah
(Depkes 2010).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara
(Depkes 2010) .
Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan
penyakit demam berdarah ini (Lei 2007). Hingga saat ini belum ditemukan obat
yang secara efektif dapat mengobati penyakit demam berdarah tersebut. Dewasa
ini, upaya yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah
dengan cara kimiawi untuk mengendalikan vektor nyamuk atau sering disebut
dengan istilah insektisida kimia. Pemakaian insektisida kimia cukup mudah, tetapi
insektisida kimia ini menimbulkan efek negatif. Laba (2010) menyatakan bahwa
efek negatif yang umum disebabkan oleh insektisida adalah timbulnya hama baru,
resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan, dan
keracunan terhadap manusia. UNEP (2004) menyatakan bahwa 3 dari 100 orang
yang menggunakan insektisida kimia berpotensi keracunan insektisida. Oleh
karena itu, penggunaan insektisida kimia perlu dihindari. Pemanfaatan bahan
alami dapat menjadi alternatif bagi pengendalian vektor penyakit demam
berdarah, salah satunya adalah pemanfaatan minyak atsiri dari tumbuhan sebagai
biolarvasida pencegah berkembangbiaknya nyamuk A. aegypti. Menurut
2
larvasida terhadap larva A. aegypti dengan LC50 jauh lebih besar dibandingkan
Abate(R).
Hasil penelitian Darmawan (2011) menunjukkan bahwa minyak atsiri dari
pohon Surian (Toona sinensis) yang diuji bioaktivitasnya dengan metode Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT), memiliki nilai LC50 dari bagian daun sebesar
11,203 µg/mL, pada bagian kulit 6,851 µg/mL, bagian kayu teras 3,968 µg/mL,
dan bagian kayu gubal sebesar 1,293 µg/mL. Hasil pengujian tersebut
menunjukkan bahwa minyak atsiri Surian memiliki efek toksisitas tinggi. Menurut
Meyer et al. (1982) suatu zat dikatakan toksik apabila LC50 < 1000 µg/mL dan
sangat toksik bila LC50< 30 µg/mL. Penelusuran pustaka menunjukkan belum
dilakukan penelitian pengujian aktivitas biolarvasida minyak atsiri dari pohon
Surian terhadap larva A. aegypti, padahal hasil penelitian Darmawan (2011)
mengindikasikan bahwa minyak atsiri Surian tersebut berpotensi memiliki
aktivitas sebagai biolarvasida terhadap larva A. aegypti. Selain itu minyak atsiri
Surian memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bahan kimia yang
selama ini digunakan sebagai pencegah demam berdarah, misalnya saja adalah
minyak atsiri Surian yang berasal dari bahan alami dan lebih ramah lingkungan.
Oleh karena itu, penelitian untuk menguji potensi minyak atsiri dari berbagai
bagian pohon Surian menarik untuk dilakukan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan membandingkan aktivitas
minyak atsiri yang berasal dari berbagai bagian pohon Surian (daun, kayu teras,
kayu gubal) sebagai biolarvasida nyamuk A. aegypti .
1.3 Manfaat
Memberikan informasi tentang pemanfaatan hasil hutan sebagai salah satu
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pohon Surian (Toona sinensis Roemor)
Surian memiliki banyak sinonim nama di Indonesia di antaranya adalah
ingu, surian amba (Kerinci), kibereum, laut, redani, kuru (Halmahera Utara)
(Zanzibar 2010, Pandit & Wibowo 2011). Surian merupakan pohon dari famili
Meliaceae. Pohon ini cocok untuk lingkungan yang hangat dan lembab. Surian
merupakan pohon yang menyukai sinar matahari dan tidak toleran terhadap dingin
dan basah. Dengan kondisi air yang tidak telalu banyak, pohon ini dapat tumbuh
dengan kondisi tahunan curah hujan rata-rata 500 mm-2000 mm. Surian
merupakan pohon yang cepat tumbuh, secara Internasional banyak dikenal dengan nama “Mahoni China” (Zhou et al. 2010).
Penyebaran pohon Surian secara alami di Nepal, India, Bhutan, Myanmar,
Indo-China, Cina Selatan, Thailand dan sepanjang Malaysia hingga barat Papua
Nugini. Di Indonesia jenis ini terdapat di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi (Zanzibar
2010).
Pohon Surian ini merupakan pohon berukuran sedang sampai besar,
tingginya dapat mencapai 25 m, diameter batangnya dapat mencapai 70 cm. Kulit
batangnya kelihatan coklat dan kelihatan licin pada pohon yang muda, menjadi
pecah dan kasar pada pohon yang sudah tua (Dharmawati 2002).
4
Daunnya lebar, kadang-kadang mengelompok diujung cabang, panjangnya
50-70 cm, dengan 80-20 pasak anak daun (Gambar 1). Permukaan dan bagian
atas umumnya berbulu. Bunga dihasilkan pada musim panas, dijumpai di ujung
cabang, dan berukuran kecil dengan diameter 4-5 mm, berwarna putih atau merah
muda pucat. Buah berupa kapsul dengan panjang 2-3,5 cm buah terdiri beberapa
ruang di dalamnya terdapat benih (Dharmawati 2002).
Pohon Surian memiliki banyak manfaat di antaranya adalah pemanfaatan
kayunya sebagai konstruksi, dekorasi interior, furnitur, alat musik, pembuatan
kapal dan lainnya. Kulitnya dapat digunakan untuk membuat kertas. Buahnya bisa
menjadi obat dan bijinya dapat diekstraksiuntuk minyak (Zhou et al. 2010).
2.2 Minyak Atsiri
Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils,
atau volatile oils adalah komoditi ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal
dari daun,bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Setidaknya ada 150 jenis
minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis
diantaranya dapat diproduksi di Indonesia. Meskipun banyak jenis minyak atsiri
yang bisa diproduksi di Indonesia, baru sebagian kecil jenis minyak atsiri yang
telah berkembang dan sedang dikembangkan di Indonesia (Gunawan 2009).
Menurut Guenther (1988) minyak atsiri ini merupakan minyak yang mudah
menguap, dengan komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap substansi
yang dapat menguap memiliki titik didih dan tekanan uap tertentu dan hal ini
dipengaruhi oleh suhu.
Minyak atsiri ini dapat dihasilkan dari penyulingan daun, batang, kulit,
kayu dan lain sebagainya. Contoh minyak atsiri yang telah sukses di Indonesia
adalah minyak atsiri yang berasal dari kayu putih (Melaleuca leucadendron) yang
telah dikomersialkan dan banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Guenther (1988) menyatakan bahwa penyulingan dapat didefinisikan
sebagai pemisahan komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis cairan
atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut.
5
distillation), penyulingan dengan air dan uap (water and steam destillation) dan
penyulingan dengan uap langsung (steam destilation).
Proses penyulingan dengan air, bahan yang akan disuling kontak langsung
dengan air mendidih. Kelebihan proses ini yaitu biaya operasional yang murah
dan proses yang sederhana. Sedangkan, kekurangan proses ini adalah rendemen
yang dihasilkan sedikit serta minyak atsiri tidak semua menguap tapi ada yg
terlarut dalam air. Penyulingan dengan air dan uap, pada metode ini bahan
diletakkan diatas rak-rak atau saringan berlubang. Ciri khas metode ini adalah uap
selalu dalam keadaan basah dan bahan yang disuling hanya berhubungan dengan
uap. Kelebihan proses ini yaitu bahan hanya kontak dengan uap jenuh dan basah,
sehingga minyak atsiri langsung ikut menguap dengan uap air. Kekurangan dari
proses ini yaitu tekanan yang dihasilkan hanya dari tekanan uap air saja, sehingga
proses penyulingan relatif lama.Untuk metode penyulingan dengan uap atau uap
langsung adalah metode yang menggunakan uap jenuh dengan tekanan lebih dari
1 atmosfer. Kelebihan proses ini yaitu rendemen yang dihasilkan besar, waktu
penyulingan relatif cepat dan bahan baku hanya kontak langsung dengan uap air.
Kekurangan dari teknik ini adalah biaya operasional yang tinggi serta prosesnya
yang rumit.
Minyak atsiri memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai
pewangi dan juga produk farmasi seperti minyak angin dan obat. Ajizah (2004)
menyatakan minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan
kuman dengan mengganggu proses terbentuknya membran dan/atau dinding sel,
membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna.
2.3 Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk A. aegypti merupakan nyamuk yang berperan sebagai vektor
penyakit demam berdarah. Menurut Hadi & Koesharto (2006), nyamuk A. aegypti
ini berwarna belang hitam putih, tersebar di daerah tropis, tetapi berasal dari
Afrika. Nyamuk jenis ini dapat dibedakan dari nyamuk lainnya dengan melihat
ujung abdomen (perut) meruncing, dan mempunyai sersi yang menonjol, lalu
dibagian dadanya terdapat rambut post-spiracular dan tidak mempunyai rambut
6
abdomen (perut) dan tungkai (kaki). Corak putih pada punggung A. aegypti
berbentuk seperti siku yang berhadapan.
Telur A. aegypti berwarna hitam, oval dan di letakkan di dinding wadah
air, biasanya dibagian atas permukaan air. Jentik nyamuknya tidak berlengan,
dadanya lebih lebar dari kepalanya. Jentik dalam kondisi yang sesuai akan
berkembang dalam waktu 6-8 hari dan mengalami empat kali pergantian kulit
(instar), kemudian berubah menjadi pupa (kepompong). Dalam waktu kurang
lebih dua hari, dari pupa muncullah nyamuk dewasa. Jadi total hidup bisa
diselesaikan 9-12 hari. Kemudian nyamuk tersebut mencari pasangan dan
mengadakan perkawinan. Setelah kawin nyamuk siap mencari darah untuk
perkembangan telur. Nyamuk jantan tidak menghisap darah tetapi cairan
tumbuhan, sedangkan nyamuk betina menggigit dan menghisap darah orang (Hadi
& Koesharto 2006).
Chin (2000) menyatakan, A. aegypti adalah spesies nyamuk yang
menggigit pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2 jam
sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari tenggelam.
2.4 Penggunaan Insektisida
Insektisida merupakan suatu cara pengendalian nyamuk secara kimiawi.
Menurut Hadi & Koesharto (2006), insektisida merupakan senyawa kimia yang
digunakan untuk mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia,
ternak, tanaman, dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk mensejahterakan
hidupnya agar kerugian dan gangguan dapat ditekan sekecil mungkin. Insektisida
yang banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk di Indonesia adalah
larvasida, berbagai jenis repelan dan insektisida semprot.
Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida. Menurut Kardinan
(2011), pestisida sintetis atau kimiawi memiliki dampak negatif dalam
penggunaannya. Di antaranya adalah polusi lingkungan (kontaminasi tanah, air
dan udara), serangga hama menjadi resisten, toleran terhadap pestisida dan
dampak negatif lainnya.
Taufik dan Yosmaniar (2010) menyatakan bahwa residu pestisida yang
7
golongan organoklorin, organoposfat, piretroid, dan karbamat. Organoklorin
merupakan senyawa yang sangat persisten artinya bahan aktifnya dapat bertahan
dalam waktu yang lama baik dalam tanah, air, jaringan tanaman maupun hewan.
Senyawa tersebut tidak mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas,
ataupun cahaya ultraviolet. Hadi & Koesharto (2006) menyatakan bahwa
insektisida golongan organoposfat dan karbamat merupakan racun sinaptik.
Sinaps adalah suatu persimpangan antara dua saraf atau suatu titik penghubung
saraf. Secara spesifik organoposfat dan karbamat terikat pada suatu enzim pada
sinaps yang dikenal dengan asetilkholinesterase. Enzim ini dibentuk untuk
menghambat suatu impuls saraf setelah melewati sinaps. Organoposfat dan
karbamat terikat pada enzim ini dan menghambatnya untuk tidak bekerja.
Piretroid adalah racun axonik yaitu beracun terhadap serabut saraf. Racun ini
terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodium
channel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan
rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf. Piretroid
terikat pada gerbang ini dan mencegah penutupan secara normal yang
menghasilkan rangsangan sarf yang berkelanjutan.
Basuki (2009) melakukan penelitian terhadap keefektifan insektisida
dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua. Dari penelitian tersebut Basuki
(2009) menyatakan bahwa petani di Cirebon menggunakan 8 jenis insektisida
kimia. Dari 8 jenis insektisida yang digunakan, 5 jenis insektisida tersebut tidak
efektif (63%), hal ini di duga hama Spodoptera exigua telah resisten terhadap 5
jenis insektisida tersebut.
Banyaknya fakta yang menunjukkan bahaya penggunaan insektisida atau
pestisida kimia menyebabkan timbulnya penelitian mengenai pestisida alami atau
nabati yang cenderung lebih aman. Pestisida nabati ini dapat berupa ekstrak
bagian tanaman dan minyak atsiri dari tanaman. Pestisida nabati tidak hanya
mengandung satu jenis bahan aktif (single active ingredient), tetapi beberapa jenis
bahan aktif (multiple active ingredient). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
beberapa jenis pestisida nabati cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik
hama di lapangan, rumah tangga (nyamuk dan lalat), maupun di gudang. Contoh
8
abu serai dapur, kayu manis, dan brotowali (Kardinan & Iskandar 1999, diacu
dalam Kardinan 2011).
2.4 Senyawa Bioaktif
Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang bersifat racun dalam dosis
yang tinggi. Tingkat konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan ditentukan
dengan letal konsentrasi 50% (LC50). LC50 adalah konsentrasi dari suatu bahan
yang menyebabkan 50% populasi mengalami kematian. LC50 dapat digunakan
untuk menentukan toksisitas dari suatu zat. Suatu senyawa memiliki potensi
bioaktif apabila nilai LC50-nya kurang dari 1000 µg/mL (Meyer et al. 1982).
Alkaloid merupakan senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen, yang biasanya merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid dapat
berperan sebagai pengatur pertumbuhan, penolak, atau pemikat serangga
(Suradikusumah 1989). Utami dan Robara (2008) menyatakan bahwa eksrak
heksan dari daun Ageratum conyzoides dianalisis dan mengandung senyawa
alkaloid.
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid
merupakan senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau
amonia sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan
(Harborne 1987). Dalam dunia pengobatan, beberapa senyawa flavonoid
berfungsi sebagai antibodi, misalnya antivirus dan jamur, peradangan pembuluh
darah dan dapat digunakan sebagai racun ikan. Sirait (2007) menyatakan,
flavonoid ini dapat ditemukan pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah,
tepung sari dan pada akar. Zuhra et al. (2008) menganalisis kandungan kimia
daun katuk (Sauropus androgunus) dan menemukan adanya senyawa flavonoid
yang berpotensi sebagai antioksidan.
Tanin terdapat di hampir seluruh bagian tumbuhan yang sedang tumbuh
seperti tunas, akar muda, buah muda, kulit bagian dalam, kulit bagian luar, dan
daun muda. Tanin berfungsi sebagai pelindung jaringan dari serangan jamur,
bakteri, dan organisme penggangu lainnya, bahkan terhadap virus (Andriani
9
tanaman Salix alba, Rhus typhina dan Peltiphyllum peltatum dan menemukan
adanya senyawa tanin yang terkandung di dalam dedaunan tersebut.
Terpenoid tersebar secara luas dan banyak ditemukan pada tumbuhan
tingkat tinggi. Terpenoid didefinisikan sebagai produk alami yang strukturnya
dibagi menjadi beberapa unit isoprene, karena itu senyawa ini disebut juga
isoprenoid (C5H8). Terpenoid yang tersusun atas 2 isopren membentuk senyawa
golongan monoterpenoid, sesquiterpen tersusun atas 3 unit isoprene, diterpenoid
tersusun atas 4 unit isoprene, sesterpen tersusun atas 5 isopren, triterpenoid
tersusun atas 6 unit isopren, dan tetraterpen tersusun atas 8 isopren. Terpenoid
memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah fisiologis, metabolik, struktural,
dan pertahanan (Goto et al. 2010). Nassar et al. (2010) mempelajari sifat farmasi
10
BAB 3
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium
Entomologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor, selama tiga bulan di bulan Desember 2011 dan
Januari-Februari 2012.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah daun, kayu gubal dan kayu teras pohon
Surian (Toona sinensis) dengan tinggi ± 8 m dan diameter 21 cm. Bahan lain yang
digunakan adalah telurA. aegypti, DMSO (dimetil sulfoksida), dan air destilata.
Peralatan yang digunakan adalah alat destilasi minyak atsiri, alat serut
kayu, golok, alat timbang, peralatan gelas (labu erlenmeyer, funnel separator,
tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, pipet, cawan petri, botol kecil, dan lainnya),
baskom plastik dan kompor gas.
3. 3 Metode Penelitian 3.3.1 Penyiapan Bahan Baku
a. Daun
Daun dipisahkan dari tangkainya dan dirajang kasar, kemudian ditimbang
sebanyak 4,5 kg untuk satu kali pemasakan/penyulingan. Proses ini dilakukan
dengan cepat, agar minyak atsiri yang terkandung dalam daun tidak banyak
yang menguap.
b. Kayu teras dan kayu gubal
Teras dan gubal dipisahkan menggunakan mesin serut, sehingga dapat
diperoleh hasil berupa kayu sisa serutan dengan panjang 1-4 cm, lebar 1-2 cm
dengan tebal 1-5 mm. Masing-masing bagian (pangkal, tengah, dan ujung),
11
Gambar 2 Daun (A) dan kayu Surian (B).
Gambar 2 merupakan gambar daun dan kayu Surian yang belum diolah
menjadi minyak atsiri.
3.3.2 Penyulingan
Bahan baku yang sudah siap selanjutnya dimasukkan dalam alat
penyulingan. Proses penyulingan menggunakan metode air dan uap, yaitu
menggunakan air kemudian dipanaskan sehingga menghasilkan uap air yang
panas. Uap ini dapat menguapkan minyak atsiri pada bahan baku, yang
selanjutnya diembunkan pada kondensor. Hasil pengembunan ini berupa air yang
bercampur dengan minyak atsiri kemudian ditampung pada labu kondensat.
Minyak dan air pada kondensat kemudian dipisahkan, sisa minyak yang
menempel di labu kondensat dilarutkan menggunakan pelarut n-heksan kemudian
di simpan di wadah yang menggunakan tutup aluminum foil yang telah dibuat
lubang. Pembuatan lubang ini dengan maksud agar h-heksan menguap dan
meninggalkan minyak murni. Minyak yang telah di dapatkan kemudian disimpan
di wadah, ditutup dengan rapat agar minyak yang ada tidak menguap.
3.3.3 Penentuan Rendemen
Rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dari tiap-tiap proses penyulingan
dihitung terhadap berat kering tanur, dengan menggunakan rumus:
Rendemen = (Output/Input) x 100%
Keterangan: Output = berat minyak atsiri (g)
Input = berat kering tanur bahan baku (g)
12
3.3.4 Uji Bioassay Larva Nyamuk
a. Persiapan Hewan Uji
Gelas piala 250 ml diisi dengan air sekitar setengah bagian gelas dan
dimasukkan juga kertas saring ke dalam gelas piala tersebut. Kemudian gelas
piala tersebut dimasukkan ke dalam kandang nyamuk. Kertas saring tersebut
berfungsi untuk menempelnya telur telur dari nyamuk A. aegypti. Telur tersebut
akan dihasilkan sampai hari keempat setelah nyamuk makan darah.
Untuk penetasan telur, kertas saring tersebut dicelupkan ke dalam nampan
plastik berukuran 30x20x5 cm yang berisi air, dan setelah 24 jam telur tersebut
akan menetas dan tumbuh menjadi larva instar I. Telur-telur yang telah menjadi
larva instar I kemudian akan mengalami tahap perkembangan menjadi larva instar
II, III (4 hari) dan instar IV (2 hari). Larva tersebut diberi makan berupa pelet ikan
dan rebusan hati ayam.
b. Uji Aktivitas Larvasida
Pengujian efektifitas biolarvasida minyak atsiri pohon Surian merujuk
pada apa yang telah dilakukan oleh Cheng et al. (2004) yang dimodifikasi untuk
jumlah hewan uji dan lama waktu pengujiannya. Dua puluh jentik nyamuk
instar-IV ditempatkan dalam 24,5 ml air destilata, diikuti penambahan 500 µg/mL
larutan DMSO yang mengandung sampel uji dalam wadah berkapasitas 30 ml.
Larutan dikocok pelan-pelan sehingga tercampur secara homogen dan dibiarkan
pada suhu ruang. Konsentrasi minyak yang digunakan adalah 2000, 1000, 500,
dan 250 µg/mL. Sebagai kontrol disiapkan berupa 24,5 ml air destilata dan 500µL
DMSO. Sebagai pembanding, digunakan insektisida komersial Abate(R) dengan
bahan aktif Temephos setara konsentrasi yang sama yaitu 2000, 1000, 500, dan
250 µg/mL.
Aktivitas larvasida minyak atsiri diamati selama 10 menit, 20 menit, 30,
menit, 40 menit, 50 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 24 jam dan 48
jam. Kemudian dihitung nilai mortalitasnya yang dikoreksi dengan kontrol.
Persentase mortalitas dikoreksi dengan kontrol. Nilai toksik dan efektifitas
diukur dengan nilai LC50 yang menunjukkan konsentrasi dalam µg/mL yang
13
3.3.5 Analisis Data
Untuk menentukan nilai Lethality Concentration 50% (LC50), hasil uji
larvasida diuji menggunakan program Minitab 16 dengan probit analysis dan
asumsi distribusi weibull pada selang kepercayaan 95%.
Data yang digunakan adalah konsentrasi dan persentase kematian
(mortalitas) yang sudah dikoreksi dengan kontrol. Data yang yang dianalisis
statistik adalah perbandingan kadar konsentrasi dengan persentase mortalitas
14
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Minyak Atsiri Surian (Toona Sinensis Roemor)
Minyak atsiri Surian ini didapatkan dengan cara penyulingan
menggunakan metode air dan uap atau biasanya disebut metode kukus. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rendemen minyak atsiri pohon Surian yang dapat
menghasilkan rendemen rata-rata sekitar 0,107-0,628 %. Berikut adalah tabel
hasil penelitian rendeman dan wujud fisik minyak atsiri pohon Surian.
Tabel 1 Rendemen dan wujud fisik minyak atsiri pohon Surian
Bagian Rendemen Rata-rata (%) Wujud fisik minyak
Daun 0,107 hijau kehitaman, beraroma menyengat Teras 0,628 coklat kehijauan, beraroma menyengat Gubal 0,243 coklat kehijauan, beraroma menyengat
Tabel 1 menunjukkan nilai rendemen dan wujud fisik minyak atsiri pohon
Surian yang didapatkan menggunakan proses penyulingan. Nilai rendemen
minyak atsiri yang paling tinggi adalah minyak atsiri Surian bagian teras sebesar
0,628%, kemudian gubal sebesar 0,243% dan rendemen yang paling rendah yang
berasal dari bagian daun yaitu sebesar 0,107%. Nilai rendemen minyak atsiri
bagian daun yang didapatkan merupakan nilai rendemen yang terendah
dikarenakan posisi minyak atsiri di dalam daun. Sirait (2007) menyatakan, minyak
atsiri terdapat pada sel kelenjar khusus pada permukaan daun yang berasosiasi
dengan kloroplas. Selain itu, bagian daun berukuran tipis sehingga minyak atsiri
yang bersifat volatil mudah menguap sebelum disuling. Hal ini sesuai dengan
pendapat Guenther (1988) yang menyatakan dinding sel dari tanaman yang
berukuran sangat tipis bersifat permeabel sehingga eksraksi minyak terjadi secara
cepat.
Hasil penyulingan pohon Surian bagian daun, kayu teras dan kayu gubal
menunjukkan wujud fisik yang berbeda. Minyak atsiri bagian daun berwarna hijau
kehitaman, pada bagian teras berwarna coklat dan untuk minyak atsiri bagian
gubal berwarna coklat kehijauan (Tabel 1 dan Gambar 3). Ketiga minyak atsiri
15
Satoni et al. (2009) dan Darmawan (2011) yang menyatakan bahwa minyak atsiri
Surian memiliki bau yang menyengat.
Gambar 3 Minyak atsiri bagian daun (A), bagian teras (B), dan bagian gubal (C).
4.2 Uji Aktivitas Larvasida
Pengujian minyak atsiri Surian (T. sinensis) terhadap larva instar IV
nyamuk A. aegypti diujikan menggunakan konsentrasi 250, 500, 1000 dan 2000
µg/mL dengan tiga kali ulangan tiap bagiannya dengan pengamatan selama 48
jam. Pengujian menggunakan Abate(R) dengan bahan aktif temephos sebagai
pembanding pengujian minyak atsiri.
Hewan uji yang digunakan adalah larva instar IV nyamuk A. aegypti
dikarenakan larva instar IV merupakan fase larva yang paling dewasa sebelum
menjadi pupa dan memiliki daya tahan yang paling kuat, hal ini sesuai yang
dijelaskan oleh Nugraha (2011) yang menyatakan bahwa pemilihan larva instar IV
sebagai hewan uji merupakan fase dengan daya tahan yang paling tinggi dan
mempunyai ukuran yang lebih besar sehingga mudah dalam melakukan
perhitungan dalam pengujian.
Gambar 4 Hubungan konsentrasi minyak Surian (T.sinensis) dan Abate(R) terhadap mortalitas larva A. aegypti.
0 20 40 60 80 100 120
250 500 1000 2000
Mor
tal
it
as
(
%
)
Konsentrasi µg/mL
Daun
Teras
Gubal
Abate
16
Gambar 4 menunjukkan hubungan konsentrasi minyak Surian dan Abate(R)
terhadap mortalitas larva A. aegypti. Pengujian menggunakan konsentrasi yang
berbeda bertujuan untuk mengetahui respon larva terhadap larutan uji yang dibuat.
Minyak Surian pada bagian daun dengan konsentrasi 250, 500 dan 1000 µg/mL
dengan pengujian selama 48 jam dapat menyebabkan kematian tetapi belum
100%, kematian 100% dengan lama pengujian selama 48 jam terjadi pada minyak
Surian bagian daun dengan konsentrasi 2000 µg/mL. Begitu juga untuk minyak
Surian bagian teras, pengujian menggunakan konsentrasi 250, 500, dan 1000
µg/mL dengan pengujian selama 48 jam menyebabkan kematian tetapi belum
100%, dan minyak atsiri Surian bagian teras pada konsentrasi 2000 µg/mL
pengujian selama 48 jam telah mengakibatkan kematian sebesar 100%. Minyak
Surian bagian gubal, pengujian dengan konsentrasi 250 µg/mL dan 500 µg/mL
telah menyebabkan kematian tetapi belum 100 %, sedangkan untuk konsentrasi
1000 µg/mL dan 2000 µg/mL menyebabkan kematian sebesar 100% selama 48
jam.
Pengujian juga dilakukan menggunakan insektisida komersial Abate(R)
dengan membuat larutan Abate(R) pada konsentrasi yang sama dengan minyak
Surian yaitu 250, 500, 1000, dan 2000 µg/mL selama 48 jam menyebabkan
kematian larva A. aegypti sebesar 100% (Gambar 4).
Gambar 5 Grafik hubungan waktu pengamatan terhadap mortalitas larva. 0
20 40 60 80 100 120
10 20 30 40 50 60 120 240 480 600 720 14402880
M
or
tal
it
as
(
%
)
Waktu Pengamatan (menit)
Daun
Teras
Gubal
17
Gambar 5 menunjukkan grafik hubungan waktu pengamatan terhadap
mortalitas larva. Uji aktivitas larvasida terhadap larva instar IV A. aegypti
menggunakan minyak atsiri Surian bereaksi cukup cepat. Dapat dilihat bahwa
pada menit ke 20 dengan konsentrasi 2000 µg/mL minyak atsiri Surian dari ketiga
bagian telah menyebabkan kematian beberapa larva A. aegypti. Sementara itu,
untuk larutan insektisida Abate(R) dapat menyebabkan kematian pada menit ke
120 atau 2 jam setelah larva direaksikan dengan larutan Abate(R). Hal ini
dikarenakan minyak atsiri merupakan minyak dengan ekstrak kasar yang dapat
langsung beraksi dengan larva nyamuk. Sedangkan Abate(R) merupakan
insektisida berupa formulasi sehingga perlu waktu yang cukup lama agar
formulasi tersebut terlarut dan bereaksi terhadap larva A. aegypti.
Berikut adalah tabel uji larvasida A. aegypti yang diuji menggunakan
minyak atsisi pohon Surian yang dianalisis menggunakan model statistika analisis
probit.
Tabel 2 Uji larvasida A. aegypti menggunakan minyak atsiri pohon Surian
Bagian
Mortalitas (%) / µg/mL
LC50
250 500 1000 2000
Daun 83,887 88,89 97,777 100 50,059
Teras 36,11 88,89 99,443 100 296,495
Gubal 72,223 96,663 100 100 154,804
Berdasarkan analisis probit dengan menggunakan software Minitab 16 for
Windows (Lampiran 6, 7 dan 8) diperoleh nilai LC50 untuk masing-masing minyak
atsiri Surian seperti yang terdapat pada Tabel 2. Berdasarkan analisis probit
tersebut diperoleh nilai LC50 sebesar 50,059 µg/mL untuk minyak atsiri bagian
daun. Minyak atsiri Surian bagian gubal diperoleh nilai LC50 sebesar 154,804
µg/mL sedangkan untuk minyak atsiri bagian teras diperoleh nilai LC50 sebesar
296,495 µg/mL. Berdasarkan nilai LC50 dan yang didapatkan, minyak atsiri Surian
dari beberapa bagian bersifat toksik terhadap larva instar IV nyamuk A. aegypti
karena menyebabkan kematian sebesar 50% dari total populasi yang diujikan.
Nilai LC50 yang diperoleh masih sangat tinggi meskipun nilai tersebut
masih dibawah 1000 µg/mL dan berpotensi sebagai bioaktif. Menurut Geris et al.
(2008) dalam Andriani (2008) menyatakan bahwa standar nilai larvasida nabati
18
sangat jauh dari standar larvasida nabati tersebut, hal ini dapat dikarenakan
minyak astiri Surian masih merupakan minyak dengan ekstrak yang sangat kasar
dan belum ada pemurnian senyawa.
Uji aktivitas larvasida menggunakan minyak atsiri ini menunjukan
kesebandingan antara konsentrasi dan persentasi kematian, yaitu semakin besar
konsentrasi yang digunakan maka semakin besar presentasi kematian larvasida
yang diakibatkan ini berarti aktivitas membunuh makin tinggi sehingga terjadi
korelasi positif antar keduanya. Nilai LC50 minyak atsiri Surian bagian daun lebih
rendah dari pada minyak atsiri bagian teras dan gubal, hal ini berarti minyak atsiri
Surian bagian daun memiliki daya bunuh yang lebih tinggi dibandingkan 2
minyak yang lainnya. Hal ini terjadi karena setiap individu memiliki respon yang
berbeda pada zat yang berada dilingkungannya (Loomis 1978 dalam Fadli 2006).
Tingginya daya racun yang disebabkan oleh minyak atsiri yang berasal
dari daun tidak terlepas dari kandungan kimia yang terdapat pada minyak atsiri
tersebut. Berdasarkan penelitian Mu et al. (2007) yang mengidentifikasi senyawa
kimia yang terkandung pada minyak atsiri Surian yang berasal dari daun dan
ditemukan adanya senyawa kimia trans-kariofilena dengan konsentrasi relatif
21,422% senyawa ini diduga yang menyebabkan tingginya aktivitas larvasida.
Sutthanont et al. (2010), melakukan pengujian minyak atsiri dari Syzygium
aromaticum yang mengandung trans-karofilena ternyata berpotensi sebagai
larvasida A.aegypti.
Sari et al. (2012) melakukan pengujian senyawa kimia yang berasal dari
minyak atsiri kayu Surian menggunakan metode gas chromatography-mass
spectrometry (GCMS) menemukan adanya senyawa kimia yang sama seperti pada
minyak atsiri yang berasal dari daun yaitu trans-kariofilena.
Pada minyak atsiri Surian yang berasal dari kayu gubal, konsentrasi relatif
dari senyawa ini sebesar 11,42% sedangkan pada minyak atsiri yang berasal dari
kayu teras sebesar 1,96%. Nilai konsentrasi relatif senyawa trans-kariofilena yang
berasal dari minyak atsiri Surian bagian daun jauh lebih tinggi dibandingkan
bagian gubal dan teras. Hal ini dapat diduga menjadi penyebab tingginya aktifitas
19
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Rendemen minyak atsiri yang paling tinggi adalah bagian teras (0,628 %),
kemudian gubal (0,243 %) dan yang paling rendah adalah daun (0,107 %).
2. Berdasarkan pengujian, minyak atsiri Surian dari beberapa bagian berpotensi
sebagai biolarvasida instar IV A. aegypti. Dilihat dari nilai LC50, minyak atsiri
yang paling berpotensi sebagai biolarvasida adalah minyak atsiri Surian bagian
daun yang memiliki nilai LC50 sebesar 50,059 μg/mL.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian disarankan melakukan isolasi dan identifikasi lebih
lanjut terhadap senyawa aktif yang terkandung pada minyak atsiri Surian dari
MINYAK ATSIRI SURIAN (
Toona sinensis
Roemor) SEBAGAI
BIOLARVASIDA NYAMUK DEMAM BERDARAH
(
Aedes aegypti
Linn)
RAHMAWATI PUJI ASTARI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
20
DAFTAR PUSTAKA
Andriani A. 2008. Uji potensi larvasida fraksi ekstrak daun Clinacanthus nutans
L. terhadap larva instar III nyamuk A. aegypti [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium terhadap ekstrak daun
Psidium guajava L. Jurnal Ilmu-ilmu Biologi 1 (1): 31-38.
Basuki RS. 2009. Pengetahuan petani dan keefektifan penggunaan insektisida oleh petani dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah di Brebes dan Cirebon. Journal of Horticultural Science and Biotechnology 19(4):459-474.
Cheng SS, Liu JY, Tsai KH, Chen WJ, Chang ST. 2004. Chemical composition and mosquito larvicidal activity of essential oils from leaves of different
Cinnamomum osmophloeum provenances. Journal of Agricultural and Food Chemistry 52(14):4395-4400.
Chin J. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.[terhubung berkala] http://nyomankandun.tripod.com/sitebuildercontent/sitebuilderfiles/manual _p2m.pdf (27 September 2011).
Darmawan I. 2011. Bioaktifitas minyak atsiri Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) berdasarkan uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Depkes [Departemen Kesehatan]. 2010. Demam berdarah dengue di Indonesia tahun 1968-2009. Jendela Epidemologi 2:1-14
Dharmawati. FD. 2002. Informasi Singkat Benih. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan
Fadli M. 2006. Uji bioaktivitas zat ekstraktif Kayu Beunying (Ficus fistulosa
Reinw) dan Hamerang (Ficus fulva Reinw) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Goto T, Takahashi N, Hirai S, Kawada T. 2010. Various terpenoids derived from Herbal and dietary plants function as PPAR modulators and regulate carbohydrate and lipid metabolism. Peroxisome Proliferator-Activated Receptors Research 10: 1-9.
Guenther E. 1988. Minyak Atsiri. Volume 1. Ketaren S, penerjemah. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi. Terjemahan dari Essential Oil.
Gunawan W. 2009. Kualitas Dan Nilai Minyak Atsiri, Implikasi Pada
21
http://d.yimg.com/kq/groups/16675956/938931444/name/artikel+ttg+atsiri +di+indonesia+2009.pdf (27 September 2011).
Hadi UK dan Koesharto. 2006. Nyamuk. In Sigit S. (eds). Hama Permukiman Indonesia. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. pp 23-51.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Padmawinata K, Soedira I, penerjemah. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical methods.
Hua X, Biao D, Yu-xian P, Li-wen Q, Ya-di W, Wei H, Li Juan H, Kwok-yung Y, and Xiao-yan C. 2006. Serotype 1-specific monoclonal antibody-based antigen capture immunoassay for detection of circulating nonstructural protein ,implications for early diagnosis and serotyping of dengue virus infections. Journal of Clinical Microbiology 2872-2878.
Jayanegara A, Sofyan A. 2008. Penentuan Aktivitas Biologis Tanin Beberapa Hijauan secara in Vitro Menggunakan ’Hohenheim Gas Test’ dengan Polietilen Glikol Sebagai Determinan. Media Peternakan 31(1):44-52.
Kardinan A. 2011. Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal dalam pengendalian hama tanaman menuju sistem pertanian organik.
Pengembangan Inovasi Pertanian 4(4):262-278
Lima MAA, Oliveira FFM, Gomes GA, Lavor PL, Santiago GMP, Nagao-Dias AT, Arriaga AMC, Lemos TLG, Carrvalho MG. 2011. Evaluation of larvicidal activity of the essential oils of plants species from Brazil against
A. aegypti (Diptera: Culicidae). Africal Journal of Biotechnology 10 (55):11716-11720.
Lei HY. 2007. Immunopathogenesis of the Dengue virus caused disease.
Dipresentasikan pada International Collaboration on Research Development on the Efficacy and Potential Application of Melaleuca Alternifolia Concentrate (MAC) for the Treatment of Dengue Fever and a Range of Population Health issues. Queensland: Griffith University.
Laba IW. 2010. Analisi Empiris Penggunaan Insektisida Menuju Pertanian Berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(2):120-137
Meyer BN, Ferigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nicholas DE, Mc Laughlin JL. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. West Lafayette: Journal of Medicinal Plat Research 45:31-41.
22
followed by GC–MS. Journal for Rapid Communication in Chromatography 65:463-467
Nassar Z, Aisha A, Abdul MA. 2010. The Pharmalogical Properties of Terpenoids from Sandoricum koetjape. Webmedcentral Complementary Medicine
1(12):1-11.
Noegroho, Srimulyani, Mulyaningsih .1997. Aktifitas larvasida minyak atsiri daun jukut (hyptis) suaveolens (l) poit, terhadap larva nyamuk A. aegypti, instar IV dan analisis kromatografi gas-spektroskopi masa. Majalah Farmasi Indonesia 8(4): 160-170.
Nugraha DR. 2011. Ekstrak kayu jati (Tectona grandis l.f) sebagai biolarvasida jentik nyamuk demam berdarah (A. aegypti) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pandit IKN, Wibowo C.2011. Jenis Kayu Primadona Untuk Hutan Tanaman Rakyat. Bogor: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Bekerja Sama Dengan: LPPM IPB.
Santoni A, Nurdin H, Manjang Y, Achmad SA. 2009. Minyak Atsiri dari Toona sinensis dan Uji Aktivitas Insektisida. Jurnal Riset Kimia 2:101-105.
Sari RK, Syafii W, Achmadi SS, Hanafi M. 2012. Komposisi kimia dan potensi anti kanker minyak atsiri kayu teras Surian (Toona sinensis). Accepted
Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Bogor: Depdikbud Dirjen PendidikanTinggi PAU Ilmu Hayati IPB.
Sutthanont N, Choochote W, Tuetun B, Junkum A, Jitpakdi A, Chaithong U, Riyon D, Pitasawat B. 2010. Chemical composition and larvacidal activity of edible plant –derived essential oil against the pyrethroid –susceptible and resistant strains of A. aegypti (diptera:Culicidae). Journal of Vector Ecology 35(1):106-116.
Taufik I, Yosmaniar. 2010. Pencemaran pestisida pada lahan perikanan di daerah Karawang – Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010. Bogor. hlm 961-703.
UNEP [United Nations Environment Programme]. 2004. Childhood Pesticide Poisoning. Invormation for Advocacy and Action. UNEP 2-3
23
Zanzibar M. 2010. Peningkatan Mutu Fisiologis Benih Surian Dengan Cara Priming. Jurnal Standardisasi 12 (1): 1 – 6.
Zhou G, Zhang B, Lin L, Zhu Q, Guo L, Pu Y, Cao X. 2010. Study on the relationship between Toona sinensis Roem stand productivity and site conditions in Sichuan Basin. Journal of Ecological Economy 6:387-394.
Zhu L, Tian YJ, Yang Li, Jiang JG. 2011. Chemical composition and antimicrobial activities of essential oil of Blumea megacephala.
Experimental and Clinical Sciences Journal 10:62-68
MINYAK ATSIRI SURIAN (
Toona sinensis
Roemor) SEBAGAI
BIOLARVASIDA NYAMUK DEMAM BERDARAH
(
Aedes aegypti
Linn)
RAHMAWATI PUJI ASTARI
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
RAHMAWATI PUJI ASTARI. E24080003. Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti
Linn). Dibimbing oleh RITA KARTIKA SARI dan UPIK KESUMAWATI HADI.
Tingginya jumlah masyarakat yang terjangkit demam berdarah di Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan kasus demam berdarah tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit demam berdarah ini ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti. Dewasa ini, pencegahan penyakit demam berdarah dilakukan dengan mengendalikan vektor nyamuk secara kimia seperti penggunaan bubuk Abate(R) dan fogging. Penggunaan bahan alami sebagai alternatif pencegahan bahan kimia dapat dicoba. Minyak atsiri Surian (Toona sinensis) merupakan satu alternatif bahan alami yang berpotensi dan bersifat toksik bagi larva udang yang diuji menggunakan metode brine shrimp lethality test (BSLT). Oleh karena itu,
pengujian minyak atsiri sebagai biolarvasida nyamuk A. aegypti menarik bila
dilakukan.
Minyak atsiri Surian berasal dari beberapa bagian yaitu bagian daun, kayu teras, dan kayu gubal. Bahan baku disuling dengan metode uap dan air selama 12 jam hingga menghasilkan minyak atsiri. Kemudian rendemen yang dihasilkan minyak atsiri tersebut dihitung. Pengujian minyak atsiri sebagai biolarvasida dilakukan
terhadap larva instar IV nyamuk A.aegypti berjumlah 20 ekor dengan konsentrasi
minyak 250 µg/mL, 500 µg/mL, 1000 µg/mL, dan 2000 µg/mL. Pengamatan dilakukan selama 10 menit, 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 24 jam dan 48 jam. Nilai mortalitas larvasida dihitung
sebagai dasar penentuan nilai lethal concentration 50% (LC50).
Rendemen terbesar minyak atsiri Surian yang diperoleh berasal dari minyak
atsiri Surian bagian teras (0,628 %), kemudian minyak atsiri Surian bagian gubal
(0,243 %) dan yang paling rendah adalah minyak atsiri surian bagian daun (0,107 %). Uji biolarvasida menghasilkan nilai LC50 untuk minyak atsiri Surian bagian
daun 50,059 μg/mL, bagian teras 296,495 μg/mL dan bagian gubal 154,804 μg/mL.
Ketiga nilai LC50 dari minyak atsiri Surian pada berbagai bagian ini berpotensi
sebagai bioaktif dengan minyak atsiri Surian bagian daun yang paling efektif. Hasil pengujian biolarvasida tersebut menunjukkan bahwa minyak atsiri surian berpotensi sebagai biolarvasida nyamuk A. aegypti.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti Linn)
Nama Mahasiswa : Rahmawati Puji Astari
NRP : E24080003
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Disetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Ir. Rita Kartika Sari, M.Si Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS NIP. 19681124 199512 2 001 NIP. 19581023 198403 2 001
Diketahui,
Ketua Departemen Hasil Hutan
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 19660212 199103 1 002
MINYAK ATSIRI SURIAN (
Toona sinensis
Roemor) SEBAGAI
BIOLARVASIDA NYAMUK DEMAM BERDARAH
(
Aedes aegypti
Linn)
RAHMAWATI PUJI ASTARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kahutanan
Pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
vii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti Linn) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dibawah bimbingan dosen Ir. Rita Kartika Sari, M.Si dan Dr. drh. Upik
Kesumawati Hadi, MS serta belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada
perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir
skripsi.
Bogor, Juli 2012
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Minyak Atsiri Surian (Toona sinensis Roemor) Sebagai Biolarvasida Nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti Linn). Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak, Ibu, kakak-kakak serta keponakan-keponakan atas doa, kasih sayang
dan dukungan yang diberikan kepada penulis.
2. Ibu Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku dosen pembimbing pertama atas
kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan ilmu, nasehat, dan
motivasi.
3. Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS selaku dosen pembimbing kedua atas
kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan bimbingan ilmu, nasehat, dan
motivasi.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku dosen penguji dan Bapak
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr selaku ketua sidang atas nasehat dan
motivasi yang diberikan.
5. Bagian Kimia Hasil Hutan dan seluruh staf Departemen Hasil Hutan atas
segala bantuannya.
6. Teman-teman seperjuangan Arip, Vebri, Desi, Linda, Mae, Din, Puji, Sari,
Mumun, Ste, Putri, Rico, serta seluruh teman-teman THH 45 atas persahabatan
dan kekeluargaan indah yang diberikan.
7. Sambang Parinda atas semangat yang selalu diberikan tanpa kenal lelah.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu kelancaran studi penulis.
Bogor, Juli 2012
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nabire, Papua pada tanggal 24
Maret 1990 sebagai putri bungsu dari tiga bersaudara
pasangan Bapak Moelyadi dan Ibu Sri Lestari. Penulis
bersekolah di SD Negeri 1 Nabire dan lulus pada tahun 2002.
Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah
Pertama hingga tahun 2005 di SMP Negeri 1 Nabire,
kemudian melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Nabire dan lulus pada tahun
2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mayor
Teknologi Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.
Pada tahun 2010 penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan
Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Papandayan – Sancang Timur Garut. Pada
tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) yang
memiliki basecamp di Gunung Walat Sukabumi. Tahun 2012 penulis mengikuti
Praktek Kerja Lapang (PKL) di PGT Cimanggu KBM INK Unit 1 Jawa Tengah.
Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dendrologi pada tahun
2011.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dikegiatan Himpunan
Mahasiswa Hasil Hutan (Himasiltan) selama dua tahun kepemimpinan yaitu
2009/2010 dan 2010/2011. Selain itu penulis aktif dalam kegiatan Koperasi
Mahasiswa IPB (Kopma IPB) dari tahun 2008 hingga sekarang dan pernah
menjabat sebagai pengurus Kopma IPB pada tahun kepemimpinan 2009/2010 dan
2010/2011 serta penulis aktif dalam kegiatan Organisasi Mahasiswa Daerah
Forum Komunikasi Mahasiswa Boyolali (OMDA FKMB).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
x
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
No Halaman
xii
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Pohon Surian ... 3 2 Daun Surian dan kayu Surian ... 11 3 Minyak atsiri bagian daun, bagian teras, dan bagian gubal ... 15 4 Hubungan konsentrasi minyak Surian (T. sinensis) dan Abate(R) terhadap
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Data kadar air bagian Surian (T. sinensis) ... 25 2 Data rendemen minyak atsiri Surian (T. sinensis) ... 25 3 Mortalitas larva A. aegypti terhadap minyak Surian bagian daun ... 26 4 Mortalitas larva A. aegypti terhadap minyak Surian bagian kayu teras ... 27 5 Mortalitas larva A. aegypti terhadap minyak Surian bagian kayu gubal ... 28 6 Probit Analysis:mortalitas versus konsenterasi Minyak atsiri
Surian (T. sinensis) bagian daun ... 29 7 Probit Analysis:mortalitas versus konsenterasi Minyak atsiri
Surian (T. sinensis) bagian kayu teras ... 30 8 Probit Analysis:mortalitas versus konsenterasi Minyak atsiri
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang banyak terjangkit oleh penyakit yang
ditularkan oleh nyamuk. Satu di antara penyakit yang ditularkan oleh nyamuk
adalah penyakit demam berdarah. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Pada tahun 2008, tercatat sebanyak 137.469 kasus demam
berdarah, sedangkan pada tahun 2009 terdapat 158.912 kasus demam berdarah
(Depkes 2010).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara
(Depkes 2010) .
Secara universal belum ditemukan adanya vaksin sebagai alat pencegahan
penyakit demam berdarah ini (Lei 2007). Hingga saat ini belum ditemukan obat
yang secara efektif dapat mengobati penyakit demam berdarah tersebut. Dewasa
ini, upaya yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit demam berdarah
dengan cara kimiawi untuk mengendalikan vektor nyamuk atau sering disebut
dengan istilah insektisida kimia. Pemakaian insektisida kimia cukup mudah, tetapi
insektisida kimia ini menimbulkan efek negatif. Laba (2010) menyatakan bahwa
efek negatif yang umum disebabkan oleh insektisida adalah timbulnya hama baru,
resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan, dan
keracunan terhadap manusia. UNEP (2004) menyatakan bahwa 3 dari 100 orang
yang menggunakan insektisida kimia berpotensi keracunan insektisida. Oleh
karena itu, penggunaan insektisida kimia perlu dihindari. Pemanfaatan bahan
alami dapat menjadi alternatif bagi pengendalian vektor penyakit demam
berdarah, salah satunya adalah pemanfaatan minyak atsiri dari tumbuhan sebagai
biolarvasida pencegah berkembangbiaknya nyamuk A. aegypti. Menurut
2
larvasida terhadap larva A. aegypti dengan LC50 jauh lebih besar dibandingkan
Abate(R).
Hasil penelitian Darmawan (2011) menunjukkan bahwa minyak atsiri dari
pohon Surian (Toona sinensis) yang diuji bioaktivitasnya dengan metode Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT), memiliki nilai LC50 dari bagian daun sebesar
11,203 µg/mL, pada bagian kulit 6,851 µg/mL, bagian kayu teras 3,968 µg/mL,
dan bagian kayu gubal sebesar 1,293 µg/mL. Hasil pengujian tersebut
menunjukkan bahwa minyak atsiri Surian memiliki efek toksisitas tinggi. Menurut
Meyer et al. (1982) suatu zat dikatakan toksik apabila LC50 < 1000 µg/mL dan
sangat toksik bila LC50< 30 µg/mL. Penelusuran pustaka menunjukkan belum
dilakukan penelitian pengujian aktivitas biolarvasida minyak atsiri dari pohon
Surian terhadap larva A. aegypti, padahal hasil penelitian Darmawan (2011)
mengindikasikan bahwa minyak atsiri Surian tersebut berpotensi memiliki
aktivitas sebagai biolarvasida terhadap larva A. aegypti. Selain itu minyak atsiri
Surian memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan bahan kimia yang
selama ini digunakan sebagai pencegah demam berdarah, misalnya saja adalah
minyak atsiri Surian yang berasal dari bahan alami dan lebih ramah lingkungan.
Oleh karena itu, penelitian untuk menguji potensi minyak atsiri dari berbagai
bagian pohon Surian menarik untuk dilakukan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan membandingkan aktivitas
minyak atsiri yang berasal dari berbagai bagian pohon Surian (daun, kayu teras,
kayu gubal) sebagai biolarvasida nyamuk A. aegypti .
1.3 Manfaat
Memberikan informasi tentang pemanfaatan hasil hutan sebagai salah satu
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pohon Surian (Toona sinensis Roemor)
Surian memiliki banyak sinonim nama di Indonesia di antaranya adalah
ingu, surian amba (Kerinci), kibereum, laut, redani, kuru (Halmahera Utara)
(Zanzibar 2010, Pandit & Wibowo 2011). Surian merupakan pohon dari famili
Meliaceae. Pohon ini cocok untuk lingkungan yang hangat dan lembab. Surian
merupakan pohon yang menyukai sinar matahari dan tidak toleran terhadap dingin
dan basah. Dengan kondisi air yang tidak telalu banyak, pohon ini dapat tumbuh
dengan kondisi tahunan curah hujan rata-rata 500 mm-2000 mm. Surian
merupakan pohon yang cepat tumbuh, secara Internasional banyak dikenal dengan nama “Mahoni China” (Zhou et al. 2010).
Penyebaran pohon Surian secara alami di Nepal, India, Bhutan, Myanmar,
Indo-China, Cina Selatan, Thailand dan sepanjang Malaysia hingga barat Papua
Nugini. Di Indonesia jenis ini terdapat di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi (Zanzibar
2010).
Pohon Surian ini merupakan pohon berukuran sedang sampai besar,
tingginya dapat mencapai 25 m, diameter batangnya dapat mencapai 70 cm. Kulit
batangnya kelihatan coklat dan kelihatan licin pada pohon yang muda, menjadi
[image:39.595.226.383.534.722.2]pecah dan kasar pada pohon yang sudah tua (Dharmawati 2002).
4
Daunnya lebar, kadang-kadang mengelompok diujung cabang, panjangnya
50-70 cm, dengan 80-20 pasak anak daun (Gambar 1). Permukaan dan bagian
atas umumnya berbulu. Bunga dihasilkan pada musim panas, dijumpai di ujung
cabang, dan berukuran kecil dengan diameter 4-5 mm, berwarna putih atau merah
muda pucat. Buah berupa kapsul dengan panjang 2-3,5 cm buah terdiri beberapa
ruang di dalamnya terdapat benih (Dharmawati 2002).
Pohon Surian memiliki banyak manfaat di antaranya adalah pemanfaatan
kayunya sebagai konstruksi, dekorasi interior, furnitur, alat musik, pembuatan
kapal dan lainnya. Kulitnya dapat digunakan untuk membuat kertas. Buahnya bisa
menjadi obat dan bijinya dapat diekstraksiuntuk minyak (Zhou et al. 2010).
2.2 Minyak Atsiri
Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils,
atau volatile oils adalah komoditi ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal
dari daun,bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Setidaknya ada 150 jenis
minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis
diantaranya dapat diproduksi di Indonesia. Meskipun banyak jenis minyak atsiri
yang bisa diproduksi di Indonesia, baru sebagian kecil jenis minyak atsiri yang
telah berkembang dan sedang dikembangkan di Indonesia (Gunawan 2009).
Menurut Guenther (1988) minyak atsiri ini merupakan minyak yang mudah
menguap, dengan komposisi dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap substansi
yang dapat menguap memiliki titik didih dan tekanan uap tertentu dan hal ini
dipengaruhi oleh suhu.
Minyak atsiri ini dapat dihasilkan dari penyulingan daun, batang, kulit,
kayu dan lain sebagainya. Contoh minyak atsiri yang telah sukses di Indonesia
adalah minyak atsiri yang berasal dari kayu putih (Melaleuca leucadendron) yang
telah dikomersialkan dan banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Guenther (1988) menyatakan bahwa penyulingan dapat didefinisikan
sebagai pemisahan komponen-komponen suatu campuran dari dua jenis cairan
atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut.
5
distillation), penyulingan dengan air dan uap (water and steam destillation) dan
penyulingan dengan uap langsung (steam destilation).
Proses penyulingan dengan air, bahan yang akan disuling kontak langsung
dengan air mendidih. Kelebihan proses ini yaitu biaya operasional yang murah
dan proses yang sederhana. Sedangkan, kekurangan proses ini adalah rendemen
yang dihasilkan sedikit serta minyak atsiri tidak semua menguap tapi ada yg
terlarut dalam air. Penyulingan dengan air dan uap, pada metode ini bahan
diletakkan diatas rak-rak atau saringan berlubang. Ciri khas metode ini adalah uap
selalu dalam keadaan basah dan bahan yang disuling hanya berhubungan dengan
uap. Kelebihan proses ini yaitu bahan hanya kontak dengan uap jenuh dan basah,
sehingga minyak atsiri langsung ikut menguap dengan uap air. Kekurangan dari
proses ini yaitu tekanan yang dihasilkan hanya dari tekanan uap air saja, sehingga
proses penyulingan relatif lama.Untuk metode penyulingan dengan uap atau uap
langsung adalah metode yang menggunakan uap jenuh dengan tekanan lebih dari
1 atmosfer. Kelebihan proses ini yaitu rendemen yang dihasilkan besar, waktu
penyulingan relatif cepat dan bahan baku hanya kontak langsung dengan uap air.
Kekurangan dari teknik ini adalah biaya operasional yang tinggi serta prosesnya
yang rumit.
Minyak atsiri memiliki banyak manfaat, diantaranya adalah sebagai
pewangi dan juga produk farmasi seperti minyak angin dan obat. Ajizah (2004)
menyatakan minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan
kuman dengan mengganggu proses terbentuknya membran dan/atau dinding sel,
membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna.
2.3 Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk A. aegypti merupakan nyamuk yang berperan sebagai vektor
penyakit demam berdarah. Menurut Hadi & Koesharto (2006), nyamuk A. aegypti
ini berwarna belang hitam putih, tersebar di daerah tropis, tetapi berasal dari
Afrika. Nyamuk jenis ini dapat dibedakan dari nyamuk lainnya dengan melihat
ujung abdomen (perut) meruncing, dan mempunyai sersi yang menonjol, lalu
dibagian dadanya terdapat rambut post-spiracular dan tidak mempunyai rambut
6
abdomen (perut) dan tungkai (kaki). Corak putih pada punggung A. aegypti
berbentuk seperti siku yang berhadapan.
Telur A. aegypti berwarna hitam, oval dan di letakkan di dinding wadah
air, biasanya dibagian atas permukaan air. Jentik nyamuknya tidak berlengan,
dadanya lebih lebar dari kepalanya. Jentik dalam kondisi yang sesuai akan
berkembang dalam waktu 6-8 hari dan mengalami empat kali pergantian kulit
(instar), kemudian berubah menjadi pupa (kepompong). Dalam waktu kurang
lebih dua hari, dari pupa muncullah nyamuk dewasa. Jadi total hidup bisa
diselesaikan 9-12 hari. Kemudian nyamuk tersebut mencari pasangan dan
mengadakan perkawinan. Setelah kawin nyamuk siap mencari darah untuk
perkembangan telur. Nyamuk jantan tidak menghisap darah tetapi cairan
tumbuhan, sedangkan nyamuk betina menggigit dan menghisap darah orang (Hadi
& Koesharto 2006).
Chin (2000) menyatakan, A. aegypti adalah spesies nyamuk yang
menggigit pada siang hari, dengan peningkatan aktivitas menggigit sekitar 2 jam
sesudah matahari terbit dan beberapa jam sebelum matahari tenggelam.
2.4 Penggunaan Insektisida
Insektisida merupakan suatu cara pengendalian nyamuk secara kimiawi.
Menurut Hadi & Koesharto (2006), insektisida merupakan senyawa kimia yang
digunakan untuk mengendalikan populasi serangga yang merugikan manusia,
ternak, tanaman, dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk mensejahterakan
hidupnya agar kerugian dan gangguan dapat ditekan sekecil mungkin. Insektisida
yang banyak digunakan untuk mengendalikan nyamuk di Indonesia adalah
larvasida, berbagai jenis repelan dan insektisida semprot.
Insektisida merupakan salah satu jenis pestisida. Menurut Kardinan
(2011), pestisida sintetis atau kimiawi memiliki dampak negatif dalam
penggunaannya. Di antaranya adalah polusi lingkungan (kontaminasi tanah, air
dan udara), serangga hama menjadi resisten, toleran terhadap pestisida dan
dampak negatif lainnya.
Taufik dan Yosmaniar (2010) menyatakan bahwa residu pestisida yang
7
golongan organoklorin, organoposfat, piretroid, dan karbamat. Organoklorin
merupakan senyawa yang sangat persisten artinya bahan aktifnya dapat bertahan
dalam waktu yang lama baik dalam tanah, air, jaringan tanaman maupun hewan.
Senyawa tersebut tidak mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas,
ataupun cahaya ultraviolet. Hadi & Koesharto (2006) menyatakan bahwa
insektisida golongan organoposfat dan karbamat merupakan racun sinaptik.
Sinaps adalah suatu persimpangan antara dua saraf atau suatu titik penghubung
saraf. Secara spesifik organoposfat dan karbamat terikat pada suatu enzim pada
sinaps yang dikenal dengan asetilkholinesterase. Enzim ini dibentuk untuk
menghambat suatu impuls saraf setelah melewati sinaps. Organoposfat dan
karbamat terikat pada enzim ini dan menghambatnya untuk tidak bekerja.
Piretroid adalah racun axonik yaitu beracun terhadap serabut saraf. Racun ini
terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodium
channel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan
rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf. Piretroid
terikat pada gerbang ini dan mencegah penutupan secara normal yang
menghasilkan rangsangan sarf yang berkelanjutan.
Basuki (2009) melakukan penelitian terhadap keefektifan insektisida
dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua. Dari penelitian tersebut Basuki
(2009) menyatakan bahwa petani di Cirebon menggunakan 8 jenis insektisida
kimia. Dari 8 jenis insektisida yang digunakan, 5 jenis insektisida tersebut tidak
efektif (63%), hal ini di duga hama Spodoptera exigua telah resisten terhadap 5
jenis insektisida tersebut.
Banyaknya fakta yang menunjukkan bahaya penggunaan insektisida atau
pestisida kimia menyebabkan timbulnya penelitian mengenai pestisida alami atau
nabati yang cenderung lebih aman. Pestisida nabati ini dapat berupa ekstrak
bagian tanaman dan minyak atsiri dari tanaman. Pestisida nabati tidak hanya
mengandung satu jenis bahan aktif (single active ingredient), tetapi beberapa jenis
bahan aktif (multiple active ingredient). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
beberapa jenis pestisida nabati cukup efektif terhadap beberapa jenis hama, baik
hama di lapangan, rumah tangga (nyamuk dan lalat), maupun di gudang. Contoh
8
abu serai dapur, kayu manis, dan brotowali (Kardinan & Iskandar 1999, diacu
dalam Kardinan 2011).
2.4 Senyawa Bioaktif
Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang bersifat racun dalam dosis
yang tinggi. Tingkat konsentrasi yang dapat menyebabkan keracunan ditentukan
dengan letal konsentrasi 50% (LC50). LC50 adalah konsentrasi dari suatu bahan
yang menyebabkan 50% populasi mengalami kematian. LC50 dapat digunakan
untuk menentukan toksisitas dari suatu zat. Suatu senyawa memiliki potensi
bioaktif apabila nilai LC50-nya kurang dari 1000 µg/mL (Meyer et al. 1982).
Alkaloid merupakan senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen, yang biasanya merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid dapat
berperan sebagai pengatur pertumbuhan, penolak, atau pemikat serangga
(Suradikusumah 1989). Utami dan Robara (2008) menyatakan bahwa eksrak
heksan dari daun Ageratum conyzoides dianalisis dan mengandung senyawa
alkaloid.
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid
merupakan senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau
amonia sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan
(Harborne 1987). Dalam dunia pengobatan, beberapa senyawa flavonoid
berfungsi sebagai antibodi, misalnya antivirus dan jamur, peradangan pembuluh
darah dan dapat d