komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
HIDAYAT.
Belu district and Kupang district are endemic brucellosis area in East Nusa Tenggara Province. The present study evaluated of brucellosis control and eradication program in those districts using Cost Benefit Analysis. Brucellosis prevalence in Belu district 14,5% and Kupang district 2%. Two brucellosis control alternative programs were analyzed for Belu district: Program A was continuation of the present program (vaccination with average 57% coverage). Program B was intensive vaccination (80% coverage). Both programs were given positive NPV, B/C ratio > 1 and IRR which is higher than discount rate 15% and 20%, but implementation of Program B is more feasible (economic feasibility) than Program A while NPV and B/C ratio of Program B higher than Program A. Program B was also feasible from epidemiology aspect than Program A, because Program B will produce herd immunity that can reduce brucellosis prevalence. In Kupang district, two brucellosis alternative strategies were analyzed: Program A was continuation of the present program and Program B was intensive slaughtering of reactors for 6 years. Implementations of both programs were given positive NPV, B/C ratio > 1 and IRR which is higher than discount rate 15% and 20%. NPV of Program B was greater than Program A, but B/C ratio and IRR of Program A was greater than Program B, because of that, Program A was more economic feasibility than Program B. But, we chosen program which given greater beneficial both financial and non financial, and then by combine economy and epidemiology aspects, Program B was more suitable for Kupang district.
RAHMAT HIDAYAT.
Brucellosis merupakan salah satu" yang penting di dunia. Hampir semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten Penyakit ini disebabkan oleh bakteri , dan patogen utama pada sapi adalah genus # . Pada sapi, brucellosis disebut juga penyakit Bang
$ % & # # dan " # '
Pada manusia, penyakit ini disebut juga demam $ ! & (
atau ( ! ( ! dan % ! . Infeksi# pada
hewan dapat menyebabkan abortus, infertilitas, anak lahir lemah, penurunan berat badan dan kepincangan. Hal ini merupakan faktor penghambat utama dalam perdagangan ternak.
Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang merupakan 2 daerah dengan potensi peternakan besar di NTT, khususnya sapi bali. Status kedua kabupaten tersebut yang belum bebas dari brucellosis merupakan hambatan tersendiri bagi pengembangan potensi peternakan di daerah tersebut, terutama dalam perdagangan komoditi ternak. Meskipun program pengendalian dan pemberantasan brucellosis sudah dilaksanakan sejak tahun 1993/1994, namun sampai saat ini kedua wilayah tersebut belum terbebas dari brucellosis.
Prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu pada tahun 2009 adalah 14,5% dan prevalensi di Kabupaten Kupang adalah 2%. Daerah tertular brucellosis terbagi atas 2 kriteria yaitu daerah tertular ringan dan daerah tertular berat. Daerah tertular ringan yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis ≤ 2% (uji CFT), sedangkan daerah tertular berat yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis > 2% (uji CFT). Dengan demikian saat ini Kabupaten Belu tergolong daerah tertular berat brucellosis dan Kabupaten Kupang tergolong daerah tertular ringan.
Kajian biaya manfaat merupakan suatu kajian ekonomi untuk menentukan program/proyek yang memberikan keuntungan yang layak, dengan membandingkan biaya dan manfaatnya. Pada keadaan dimana sumberCsumber yang tersedia bagi pembangunan terbatas, maka penghitungan biaya dan manfaat dari berbagai alternatif program sangat diperlukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian biaya manfaat dilaksanakannya program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang beserta alternatif strategi pengendalian dan pemberantasannya. Kajian yang dilakukan dikhususkan terhadap brucellosis pada ternak sapi. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar ilmiah bagi pemerintah selaku penentu kebijakan dalam menetapkan strategi pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Indonesia.
Data yang digunakan meliputi data primer maupun data sekunder. Data sekunder, antara lain data vaksinasi, data realisasi potong bersyarat, dana pengendalian dan pemberantasan brucellosis, data populasi ternak serta data pendukung lainnya.
Sedangkan untuk Kabupaten Kupang, kajian juga dilakukan terhadap 2 alternatif program. Program A merupakan program yang dilaksanakan saat ini, yaitu potong bersyarat dengan rataCrata realisasi 2,15% dari perkiraan jumlah reaktor. Program B merupakan pelaksanaan potong bersyarat secara intensif dan bertahap selama 6 tahun terhadap seluruh reaktor (100%).
Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Belu menunjukkan bahwa pada tahun keC10 pelaksanaan program, Program A dan Program B masingCmasing memberikan NPV positif, B/C ratio > 1 dan IRR yang lebih besar daripada tingkat diskonto (15% maupun 20%). Program B memberikan NPV dan B/C yang lebih tinggi dibandingkan Program A baik pada tingkat diskonto 15% maupun 20%, sehingga dapat disimpulkan Program B merupakan alternatif yang paling layak secara ekonomi. Pelaksanaan Program B di Kabupaten Belu juga paling tepat dilaksanakan dari sudut pandang epidemiologi, karena dengan pelaksanaan Program B dapat tercipta populasi ternak yang kebal terhadap brucellosis $) (( & yang kemudian akan berdampak pada penurunan prevalensi secara signifikan.
Hasil penghitungan biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di Kabupaten Kupang menunjukkan bahwa, pada tahun keC10 pelaksanaan program, kedua program memberikan NPV positif, B/C > 1 dan IRR yang lebih besar daripada tingkat diskonto (15% maupun 20%). Program B memberikan NPV yang lebih tinggi dibandingkan Program A pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Akan tetapi, Program B memberikan perbandingan manfaat dan biaya (B/C ) yang lebih kecil dibandingkan Program A baik pada tingkat diskonto 15% maupun 20%. Program B juga memberikan ” * yang lebih kecil dibandingkan dengan Program A, untuk setiap rupiah yang diinvestasikan. Dengan demikian, secara ekonomi Program A lebih layak dibandingkan Program B.
Meskipun demikian, program yang dipilih adalah program yang memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat, baik manfaat secara finansial maupun non finansial, dan dengan mengkombinasikan sudut pandang ekonomi dan epidemiologi, Program B adalah yang paling tepat untuk dilaksanakan di Kabupaten Kupang.
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi Medik, Sekolah Pascasarjana IPB.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. drh. Agustin Indrawati, M.Biomed dan bapak drh. Rahmat Hidayat, M.Si selaku dosen pembimbing atas arahan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis; kepada bapak Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu selaku penguji luar komisi. pada ujian tesis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktur Kesehatan HewanC Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana, Kepala Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur beserta staf, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Belu beserta staf, Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Kupang beserta staf. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Helen ScotCOrr (Australian Project Leader ACIAR AH 2006 166) dan ibu drh. Noeri Widowati, M.Sc (Koordinator Proyek ACIAR AH 2006 166 untuk Indonesia) dan Bapak Dr. Ian Patrick. Ungkapan terimakasih juga kepada ibu Dr. drh. Maria Geong, Ibu drh. Ani atas segala saran, masukan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami tercinta Edi Darudjati, ananda Rizal Pradana Reswara dan Alya Ghaisani Putri, ibuCbapak, ibu mertua serta seluruh keluarga atas segala do’a, kasih sayang dan pengertian yang telah diberikan.
Rasa terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satuCpersatu, yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.
satu orang putra (Rizal Pradana Reswara) dan satu orang putri (Alya Ghaisani Putri).
Pendidikan SD ditempuh di SD Negeri II IKIP Yogyakarta lulus pada tahun 1987. Pendidikan SMP ditempuh di SMP Negeri 8 Yogyakarta lulus pada tahun 1990. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 8 Yogyakarta lulus pada tahun 1993. Kemudian penulis melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada dan gelar Sarjana Kedokteran Hewan diraih pada tahun 1998, sedangkan gelar sebagai dokter hewan diraih pada tahun 1999.
Pada tahun 2000 – 2003, penulis bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang perunggasan di Yogyakarta. Dan dari tahun 2003 sampai saat ini, penulis bekerja sebagai staf Direktorat Kesehatan HewanC Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian.
Pada tahun 2008, penulis mendapatkan beasiswa dari
+ )(ACIAR AH 2006 166) untuk melanjutkan
DAFTAR GAMBAR ………. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………. xiv
PENDAHULUAN ………. 1
Latar Belakang ……… 1
Perumusan Masalah ……….. 2
Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 3
Hipotesa ……… 3
TINJAUAN PUSTAKA ……… 4
Kabupaten Belu ………... 4
Letak Geografis, Topografi dan Iklim ……….. 4
Kabupaten Kupang ………. 5
Letak Geografis, Topografi dan Iklim ……….. 5
Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan ………... 6
Brucellosis ……… 8
Agen Penyakit ………. 8
Transmisi dan Masa Inkubasi ……….. 8
Gejala Klinis ……… 10
Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Belu 11 dan Kabupaten Kupang ……….. METODOLOGI PENELITIAN ……… 15
Tempat dan Waktu ………. 15
Materi dan Metode ……….. 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 19
Profil Peternakan Sapi Bali di Kabupaten Belu dan Kabupaten 19 Kupang ………. Prakiraan Potensi dan Nilai Ekonomis Pupuk Kandang …………... 22
Kajian Biaya Manfaat Pengendalian dan Pemberantasan Brucellosis ……… 22
Kabupaten Belu ……….. 23
Kabupaten Kupang ……… 28
SIMPULAN DAN SARAN ………. 35
DAFTAR PUSTAKA ………... 36
2 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu ………. 12 3 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang …………. 14
4 Daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner) ……….. 19
5 Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Belu tahun 2005C2009 …….. 23 6 Cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu ……… ……….. 24 7 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor 25
$ ( &peternakan sapi bali di Kabupaten Belu ………..
8 Penghitungan laba kotor $ ( & peternakan sapi bali di 26 Kabupaten Belu ………..
9 Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B di 28 Kabupaten Belu ………..
10 Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Kupang tahun 2008C2009 …. 29 11 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor 31
$ ( &peternakan sapi bali di Kabupaten Kupang ……….. 12 Penghitungan laba kotor $ ( & peternakan sapi bali di 31
Kabupaten Kupang ..………..
2 Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program A) di 41 Kabupaten Belu ……… 3 Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program B) di 43
Kabupaten Belu ………..
4 Struktur ternak sapi bali di Kabupaten Belu (Tahun keC1) ……… 45 5 Arus kas tanpa program pengendalian brucellosis di Kabupaten 46
Kupang ……….
6 Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program A) di 48 Kabupaten Kupang ……….
7 Arus kas dengan program pengendalian brucellosis (Program B) di 50 Kabupaten Kupang ……….. 8 Struktur ternak sapi bali di Kabupaten Kupang (Tahun keC1) …………. 52 9 Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2007 ……… 53 10 Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2008 ………... 54 11 Populasi ternak sapi di Kabupaten Belu Tahun 2009 ………... 55 12 Populasi ternak sapi di Kabupaten Kupang Tahun 2006C2008 ………… 56 13 Anggaran biaya pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu (APBD II) 57
Tahun 2006C2008 ……… 14 Alokasi kegiatan pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu sumber 57
dana Pusat dan APBD I ………. 15 Anggaran biaya pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang 57
Tahun 2009 ………... 16 Biaya pemberantasan brucellosis di Provinsi NTT tahun 2007C2009 … 58
17 Estimasi nilai ekonomis pupuk kandang ………... 59
Brucellosis merupakan salah satu zoonosis yang penting di dunia. Hampir
semua hewan domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten
terhadap infeksi . Infeksi pada hewan dapat menyebabkan abortus, anak
lahir lemah, infertilitas, kepincangan, penurunan produksi susu dan penurunan
berat badan, yang merupakan faktor penghambat utama dalam perdagangan
ternak (Radostits 1986). Di Indonesia, brucellosis merupakan salah satu
dari 12 jenis penyakit hewan menular (PHM) strategis berdasarkan Peraturan
Direktur Jenderal Peternakan Nomor 59 Tahun 2007. Pemberantasan brucellosis
juga merupakan salah satu kegiatan dalam mendukung Program Swasembada
Daging Sapi (PSDS).
Kejadian awal brucellosis di Indonesia tidak diketahui dengan pasti.
Menurut Donker1Voet, pada tahun1tahun menjelang Perang Dunia II, tingkat
prevalensi penyakit ini berdasarkan uji serologis di Lembaga Penelitian Penyakit
Hewan (LPPH) yang sekarang bernama Balai Besar Penelitian Veteriner
(BBALITVET) di Bogor adalah sekitar 5% dengan daerah penyebaran terutama
di Pulau Jawa pada sapi perah. Pada tahun 1983, brucellosis diketahui terjadi
pada sapi potong di Provinsi Sulawesi Utara yaitu dengan laporan kejadian
wabah abortus dan dari hasil penelusuran lebih lanjut diketahui bahwa penyakit
tersebut berasal dari Provinsi Sulawesi Selatan melalui penyebaran ternak sapi
bibit. Pada tahun 1986, penyebaran brucellosis diketahui telah meluas di 16
propinsi dan pada tahun 1991 kasus brucellosis dilaporkan terjadi di 26 wilayah
propinsi kecuali Provinsi Bali yang masih bebas (Ditkeswan 2001).
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah
sumber komoditas sapi Bali di Indonesia. Sapi Bali telah diangkat sebagai
primadona dalam pengembangan peternakan sapi di Indonesia karena memiliki
beberapa keunggulan yaitu daya adaptasi yang tinggi pada lingkungan yang
kurang menguntungkan (misalnya pada lahan kering) dan memiliki tingkat
fertilitas yang tinggi (Putra 2002). Status Provinsi NTT yang belum terbebas
dari brucellosis, merupakan hambatan tersendiri bagi pengembangan peternakan
sapi Bali di wilayah tersebut.
Brucellosis diperkirakan masuk ke Pulau Timor pada tahun 1975
di Kecamatan Ponu, Kabupaten Timor Tengah Utara (Disnak Prov. NTT 2008a).
Pulau Timor merupakan sentra produksi sapi Bali di NTT. Sekitar 77,1% dari total
populasi sapi Bali di NTT berada di Pulau Timor. Ironisnya, saat ini seluruh
kabupaten/kota yang ada di Pulau Timor (5 kabupaten/kota) merupakan daerah
tertular brucellosis, yaitu Kabupaten Kupang, Kota Kupang, Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten
Belu. Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular berat (prevalensi
>2%) dan pengendalian brucellosis dengan vaksinasi. Pemberantasan
brucellosis di Kabupaten Kupang, Kota Kupang dan Kabupaten TTS yang
merupakan daerah tertular ringan (prevalensi ≤ 2%) dilakukan melalui
atau potong bersyarat (Disnak Prov. NTT 2008b).
Reaktor brucellosis di NTT pertama kali didiagnosa tahun 1986 di Pulau
Timor, kemudian di Pulau Sumba tahun 1992 dan Pulau Flores tahun 1994
(Dartini 2006). Pada tahun 1986, prevalensi brucellosis di Kabupaten
Kupang 1,5% dan Kabupaten Belu (uji /RBT) 29,6 % (Disnak
Prov. NTT 2009). Hasil survey !
(EIVSP) tahun 1991 prevalensi (uji RBT) di Kupang 5,0% dan Kabupaten Belu
30% (Christie 1992). Menurut Perwitasari (2010), prevalensi brucellosis pada
tahun 2009 di Kabupaten Kupang 2,0 (uji " # /CFT),
sedangkan prevalensi di Kabupaten Belu menurut Lake (2010) adalah 14,5 (uji
CFT).
Penghitungan kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena brucellosis
pada sapi di Provinsi NTT dan Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Direktorat
Kesehatan Hewan pada tahun 1994 menunjukkan nilai kerugian sejumlah
Rp. 170.000.000,1 selama 5 tahun setiap desa dengan populasi 2.010 ekor
(Ditkeswan 2001). Disnak Prov. NTT (2009) menyebutkan bahwa kerugian
ekonomi akibat brucellosis pada sapi pada tahun 2008 di Pulau Timor adalah
sejumlah 101, 55 milyar rupiah.
Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang merupakan 2 daerah dengan
potensi peternakan besar di NTT, khususnya sapi Bali. Status kedua kabupaten
tersebut yang belum bebas dari brucellosis merupakan hambatan tersendiri bagi
pengembangan potensi peternakan, terutama dalam perdagangan komoditi
Program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu
dan Kabupaten Kupang telah dilaksanakan sejak tahun 1993 dan saat ini perlu
dikaji kembali secara ekonomi, apakah cukup efisien untuk diperoleh manfaatnya
dalam kurun waktu 10 tahun mendatang (kajian secara prospektif).
a. Tujuan Penelitian
Melakukan kajian biaya manfaat dilaksanakannya program pengendalian
dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang
beserta alternatif strategi pengendaliannya. Kajian yang dilakukan dikhususkan
terhadap brucellosis pada ternak sapi.
b. Manfaat Penelitian
Dapat digunakan sebagai dasar ilmiah bagi pemerintah/penentu
kebijakan dalam menetapkan pengendalian dan pemberantasan brucellosis di
Indonesia.
• Pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dengan program intensif,
yaitu vaksinasi mencakup 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi
dan potong bersyarat (secara terbatas), lebih efisien dibandingkan dengan
program yang dilaksanakan sekarang.
• Pengendalian brucellosis di Kabupaten Kupang dengan program intensif,
yaitu pemotongan bersyarat seluruh reaktor secara menyeluruh selama 6
tahun berturut1turut lebih efisien dibandingkan dengan program yang
! "
" #
Kabupaten Belu adalah salah
satu kabupaten dari lima kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
terletak di daratan Timor di bagian paling timur dan berbatasan langsung dengan
Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Dalam posisi astronomis,
wilayah Kabupaten Belu terletak antara koordinat 124º 38’ 33” BT– 125º 11’ 23”
BT dan 08º 56’ 30” LS – 09º 47’ 30” LS. Kabupaten Belu secara geografis
meliputi wilayah dengan1batas1batas sebagai berikut:
1 Sebelah utara :: berbatasan dengan Selat Ombai
1 Sebelah selatan :: berbatasan dengan Laut Timor
1 Sebelah timur :: berbatasan dengan wilayah RDTL
1 Sebelah barat :: berbatasan dengan wilayah Kabupaten Timor
Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS) (Bappeda Kab. Belu 2009)
Secara administratif, Kabupaten Belu yang memiliki luas wilayah
mencapai 2.240,05 km2, terbagi atas 24 kecamatan serta 208 desa hasil
pemekaran ke12. Keadaan topografi Kabupaten Belu bervariasi antara ketinggian
0 sampai dengan +1500 m.dpal (meter di atas permukaan laut). Variasi
ketinggian rendah (01150 m.dpal) mendominasi wilayah bagian selatan dan
sebagian kecil di bagian utara. Sementara pada bagian tengah wilayah ini terdiri
dari area dengan dataran sedang (2001500 m.dpal). Dataran tinggi di Kabupaten
Belu ini hanya menempati kawasan pada bagian timur yang berbatasan
langsung dengan RDTL. Zona1zona dataran rendah di bagian selatan ini
sebagian besar digunakan sebagai areal pertanian dan kawasan cagar alam
hutan (Bappeda Kab. Belu 2009).
Secara umum Kabupaten Belu beriklim tropis, dengan musim hujan yang
sangat pendek (Desember – Maret) dan musim kemarau yang panjang (April–
Nopember). Temperatur di Kabupaten Belu suhu rata1rata berkisar 27,6º C
dengan interval 21,5º 1 33,7º C. Temperatur terendah 21,5º C yang terjadi pada
bulan Agustus dengan temperatur tertinggi 33,7º C yang terjadi pada bulan
Nopember (Bappeda Kab. Belu 2009).
Komposisi penggunaan lahan wilayah Kabupaten Belu saat ini secara
penggunaan lahan basah/sawah dan penggunaan lahan kering. Penggunaan
lahan basah antara lain terdiri dari irigasi teknis setengah teknis, irigasi
sederhana, irigasi desa dan sawah tadah hujan. Dari seluruh lahan basah yang
ada, komposisi terbesar ditunjukan oleh irigasi setengah teknis dengan
prosentase hanya mencapai 1,29% dari luas lahan keseluruhan Kabupaten Belu.
Sedangkan untuk penggunaan lahan kering meliputi 11 jenis penggunaan, mulai
dari penggunaan lahan pekarangan untuk wilayah terbangun, tegalan/kebun,
ladang, padang rumput, rawa, tambak, kolam/empang, tanah kosong, hutan
rakyat, hutan negara serta penggunaan lainnya (Bappeda Kab. Belu 2009).
" # "
Kabupaten Kupang merupakan
kabupaten yang terletak paling selatan di Indonesia. Secara geografis Kabupaten
Kupang terletak pada 121o30’ BT1 214o11’ BT dan 9o19’ LS – 10o57’ LS dengan
batas1batas wilayah :
1 Sebelah utara :: berbatasan dengan Laut Sawu dan Selat Ombai
1 Sebelah selatan :: berbatasan dengan Samudera Hindia
1 Sebelah timur :: berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS) dan Ambeno (Timor Leste)
1 Sebelah barat :: berbatasan dengan Kabupaten Rote Ndao dan Laut
Sawu (KPDE Kab. Kupang 2007)
Luas wilayah Kabupaten Kupang 53.958,28 km2 yang terdiri dari wilayah
daratan seluas 7.178,28 km2 dan wilayah laut seluas 46.780 km2 dengan garis
pantai ± 492,4 km. Topografi kabupaten ini bergunung1gunung dan berbukit
dengan derajat kemiringan sampai 45o. Permukaan tanah kritis dan gundul
sehingga peka terhadap erosi, namun pada hamparan dataran rendah
merupakan lahan yang subur dan luas dimana biasanya penduduk
terkonsentrasi disana (KPDE Kab. Kupang 2007).
Kabupaten Kupang umumnya beriklim tropis dan kering yang juga
cenderung dipengaruhi oleh angin. Musim hujan sangat pendek yaitu 315 bulan,
sedangkan lama musim kemarau 718 bulan. Kabupaten ini dikategorikan sebagai
daerah semi arid karena curah hujan yang relatif rendah dan keadaan vegetasi
yang didominasi savana dan stepa. Kondisi iklim tersebut mempengaruhi pola
luas wilayah merupakan tanah sawah kering dan 97% atau sekitar 572.365 ha
merupakan tanah kering pekarangan atau tegalan. Kabupaten ini mempunyai
lahan potensial untuk dijadikan padang penggembalaan seluas 15.465 ha, yang
memungkinkan untuk pengembangan peternakan (KPDE Kab. Kupang 2007).
" $ # $ %
Pada umumnya, penyakit yang terjadi pada populasi ternak piaraan (dan
kadang1kadang pada hewan yang tidak dipelihara) dapat menurunkan jumlah
dan/atau kualitas dari produk ternak tersebut yang digunakan untuk konsumsi
manusia. Penyakit dapat meningkatkan biaya produksi menjadi dua kali.
Pertama, karena sumber daya yang digunakan menjadi tidak efisien sebagai
akibat dari produk yang dihasilkan memerlukan biaya tambahan. Kedua, yaitu
biaya tambahan yang dikeluarkan oleh konsumen akibat rendahnya kualitas
produk yang dikonsumsi. Ringkasnya, penyakit akan meningkatkan biaya (biaya
produksi) dan menurunkan kualitas dari produk (Budiharta dan Suardana 2007).
Menurut Morris (1997), efek penyakit terhadap produktivitas ternak antara lain :
kematian , penurunan nilai ternak dan produk ternak yang dipotong,
penurunan hasil dan produk ternak (seperti telur, susu), penurunan berat hidup
dan penurunan konversi pakan$% &.
Kajian biaya manfaat merupakan suatu kajian ekonomi untuk
menentukan program/proyek yang memberikan keuntungan yang layak, dengan
membandingkan biaya dan manfaatnya (Gittinger 1986). Pada keadaan dimana
sumber1sumber yang tersedia bagi pembangunan terbatas, maka penghitungan
biaya dan manfaat dari berbagai alternatif program sangat diperlukan untuk
menghindari pengorbanan sumber1sumber yang langka (Kadariah 1986). Kajian
manfaat dari biaya suatu program pengendalian penyakit dapat digunakan
sebagai alat untuk membuat keputusan dengan mengacu kepada adanya
keterbatasan sumber daya yag dialokasikan (Budiharta dan Suardana 2007).
Kajian ekonomi terhadap pengendalian penyakit hewan merupakan suatu
hal yang kompleks. Hal ini dipengaruhi oleh keragaman penyakit, epidemiologi,
kejadian penyakit dan kegiatan pencegahan dan pengendalian yang dilakukan.
Untuk melakukan hal ini, diperlukan kombinasi pengetahuan tentang biologi dan
kedokteran hewan dengan pertimbangan1pertimbangan finansial. Dengan
demikian, pengetahuan mengenai kedua faktor tersebut, yaitu tentang ekonomi
Menurut Gittinger (1986), semua kajian ekonomi terhadap suatu program/proyek
menggunakan suatu asumsi. Harga merupakan gambaran dari nilai.
Menurut Sudardjat (2004), dengan kajian ekonomi yang tepat, secara
obyektif dapat memberikan gambaran besarnya biaya maupun tingkat
keuntungan yang bisa diperoleh dari masing1masing program yang ditawarkan.
Kajian ekonomi dapat juga dipakai sebagai dasar argumentasi untuk meyakinkan
pihak1pihak yang berkepentingan, terutama bagi pengambil keputusan dan bagi
pihak pengolah dan penyedia dana.
Menghitung keuntungan dari suatu proyek atau program pengendalian
penyakit jauh lebih sulit dan lebih rumit dibandingkan dengan menghitung
pembiayaannya. Hal ini disebabkan komponen keuntungan yang diperhitungkan
terdiri dari kategori1kategori keuntungan finansial dan non finansial, serta
keuntungan yang bersifat sosial dan keuntungan lain yang merupakan implikasi
langsung dan tidak langsung dari keberhasilan program yang bersangkutan
(Sudardjat 2004).
Biaya (kerugian) ekonomi suatu penyakit hewan adalah suatu
pertimbangan yang amat penting untuk membuat suatu program kontrol penyakit
hewan. Perhitungan biaya ekonomi suatu penyakit hewan akan memperlihatkan
suatu ukuran yang mana biaya kontrol suatu penyakit dapat diperbandingkan,
sehingga dapat diidentifikasi program kontrol penyakit hewan yang paling efisien
dan efektif dari segi pembiayaannya (Leksmono dan Holden 1994).
Total biaya ekonomi dari suatu penyakit hewan dapat diukur sebagai
jumlah dari kerugian /hasil ditambah dengan biaya kontrol. Penurunan
terhadap merupakan suatu kerugian karena keuntungan yang diperoleh
menjadi terbuang (tidak maksimal). Disisi lain, biaya untuk menjadi
meningkat dan biasanya terkait dengan biaya kontrol penyakit, seperti biaya
untuk dokter hewan dan obat1obatan (Budiharta dan Suardana 2007).
&
Brucellosis disebabkan oleh bakteri , Hampir semua hewan
domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten terhadap infeksi
. Patogen utama pada sapi adalah genus (Crawford
1990). Pada sapi, brucellosis disebut juga penyakit Bang $ ' &(
( % dan ) Penyakit ini
$ % ( atau % ( % dan ' %
(Merchant dan Barner 2004). Sapi dapat terinfeksi oleh dan
ketika merumput atau menggunakan secara bersama1sama
peralatan kambing, domba atau babi yang terinfeksi (PAHO 2003).
Biovar 1 terdapat di seluruh dunia dan paling umum
ditemukan diantara 7 Biovar yang terdapat di dunia (PAHO 2003). Geong (1999)
mengatakan bahwa hanya Biovar 1 yang dapat dikultur dari sapi di Pulau Timor1
NTT.
Cairan higroma merupakan spesimen terbaik untuk mengisolasi dan
menemukan . Sapi seropositif mempunyai proporsi 24,1 kali
lebih besar untuk menderita higroma dibandingkan sapi seronegatif (Geong
1999). Pada kondisi ideal, dapat menetap pada material organik
seperti feses, cairan abortus dan susu sampai 6 bulan dan dalam fetus yang
diabortuskan dapat bertahan sampai 8 bulan. Bakteri tersebut sangat rentan
terhadap pengawetan dan pengeringan serta cahaya langsung. Semua jenis
desinfektan standar dapat merusak . (AHA 2005). Tabel 1 di bawah
ini menyajikan daya tahan Brucella abortus pada berbagai kondisi lingkungan.
Tabel 1 Daya tahan pada berbagai kondisi lingkungan
(Crawford 1990).
Kondisi lingkungan Daya tahan
Terkena sinar matahari langsung
Tanah : tanah kering 4 hari
tanah lembab 66 hari
tanah dingin 1511185 hari
Air : air minum 51114 hari
air tercemar 301150 hari
Fetus yang diabortuskan 180 hari
Sumber utama infeksi adalah material abortus dari sapi betina abortus
yang mencemari lingkungan via fetus, dan peralatan yang terkontaminasi.
Ingesti pakan/makanan yang terkontaminasi merupakan rute utama penularan
brucellosis. Penularan juga dapat terjadi melalui inhalasi debu yang mengandung
kuman atau melalui kontak langsung. paling sering
ditemukan pada kelompok ternak yang bebas brucellosis melalui pemasukan
sapi betina dan dara yang terinfeksi secara laten. Infeksi dapat juga berasal dari
hewan lain yang telah terinfeksi (kuda, babi, kambing, domba, anjing) dan
Pada infeksi alam, masa inkubasi sulit ditentukan. Suatu penelitian
menunjukkan bahwa masa inkubasi bervariasi dan tergantung tahap
perkembangan fetus, masa inkubasi terpendek adalah pada hewan dengan usia
kebuntingan tua. Jika betina terinfeksi secara oral pada saat masa kawin, masa
inkubasi dapat mencapai 200 hari, sedangkan jika betina tersebut terinfeksi 6
bulan setelah masa kawin, maka masa inkubasi kira1kira 2 bulan. Masa “inkubasi
serologi” (waktu dari terinfeksi sampai timbulnya antibodi) adalah beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Masa inkubasi bervariasi tergantung dari
virulensi, dosis bakteri, rute infeksi dan kepekaan hewan (PAHO 2003).
masuk ke tubuh hewan dan berkembang biak mula1mula dalam
limponodus regional dan kemudian dibawa oleh cairan limfe dan darah ke organ
lainnya. Pada suatu percobaan, bakterimia terdeteksi 2 minggu pasca infeksi dan
bakteri dapat diisolasi dalam aliran darah. Bakteri seringkali ditemukan
dalam limponodus, uterus, , limpa, hati dan pada organ genital sapi
jantan (PAHO 2003).
Penyebaran brucellosis terutama melalui mutasi ternak pembawa$ &
dari daerah tertular ke daerah bebas. Penyebaran penyakit terjadi dengan cepat
pada kawasan dengan sistem peternakan ekstensif. Sedangkan pada daerah
dengan sistem peternakan intensif, penyebaran penyakit relatif lambat (Rompis
2002).
Faktor yang berperan secara signifikan dalam penyebaran brucellosis
adalah manajemen beternak, terutama dalam hal manajemen induk yang
melahirkan dan lalu1lintas ternak (Makka 1989). Geong (1999) mengatakan
bahwa lalulintas ternak yang seringkali tanpa didahului dengan tes terhadap
brucellosis, mempunyai peranan yang signifikan dalam penyebaran brucellosis di
daratan Pulau Timor. Transmisi kemungkinan juga dipermudah
oleh sistem peternakan di Pulau Timor yang bersifat ekstensif.
Makka (1989) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan prevalensi
brucellosis di antara kabupaten1kabupaten di Sulawesi Selatan. Infeksi
brucellosis lebih sering pada sapi yang digembalakan di dataran tinggi daripada
di dataran rendah. Hal ini kemungkinan karena perbedaan kepadatan populasi,
jumlah sapi yang digembalakan di dataran tinggi lebih banyak daripada yang di
dataran rendah, dimana sapi lebih sering ditambatkan dan dikandangkan.
Menurut Crawford (1990), terdapat hubungan antara kepadatan populasi
populasi meningkatkan potensi kontak antara ternak yang sehat dengan ternak
sakit.
Gejala utama pada betina bunting adalah abortus,
(anak mati sesaat setelah dilahirkan) atau kelemahan anak yang dilahirkan.
Umumnya, abortus terjadi pada pertengahan kebuntingan, seringkali disertai
, yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya metritis ataupun
infertilitas permanen. Pada betina yang dinseminasi dengan semen yang
terinfeksi, dapat menyebabkan estrus berulang. Pada betina yang tidak bunting,
tidak memperlihatkan gejala klinis, dan jika terinfeksi sebelum kawin, seringkali
tidak terjadi abortus. Pada pejantan, bakteri dapat terlokalisir di testis,
yang menyebabkan kebengkakan testis, berkurangnya libido dan infertilitas.
Kadangkala testis menjadi atropi, adhesi dan fibrosis. Dapat pula terjadi seminal
vesikulitis, ampulitis, higroma dan arthritis. (PAHO 2003).
Menurut Gul dan Khan (2007), terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi prevalensi brucellosis, yaitu kondisi iklim, geografi, spesies, jenis
kelamin, umur hewan dan tes diagnosa yang digunakan. Berdasarkan penelitian
Geong (1999), pada tahun 1996 seroprevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang
adalah 3,0% dan secara signifikan lebih rendah daripada di Kabupaten Belu
dengan seroprevalensi 29,2%. Bersamaan dengan hasil penelitian tersebut,
diketahui bahwa terdapat keterkaitan antara gejala klinis yang ada dengan
seropositif terhadap CFT atau RBT. Di Kupang, 2,3% dari jumlah RBT positif
menunjukkan (anak mati sesaat setelah dilahirkan), 9,1% infertil
(terhitung sudah 4 tahun sampai saat survei dilakukan tidak memproduksi/
menghasilkan anak). Tidak ada laporan abortus pada sapi seropositif, sedangkan
2% dari sapi seronegatif dilaporkan abortus.
Kabupaten Belu yang mempunyai seroprevalensi tinggi, sebanyak 32,9%
sapi seropositif mengalami abortus, sedangkan sapi seronegatif yang mengalami
abortus mencapai 9,1%, infertil mencapai 21,2%, mencapai 11,8% dan
yang menderita higroma mencapai 2% (Geong 1999).
Di Belu, ( abortus dan higroma secara lebih signifikan dapat
dideteksi pada sapi seropositif daripada sapi seronegatif. Sapi yang abortus 9,6
kali lebih besar kecenderungan hasil pemeriksaan serologinya positif daripada
sapi yang tidak abortus. Sapi Bali di Belu 5,9 kali lebih cenderung mengalami
abortus daripada sapi di Kupang. Sapi di Kupang 13,5 kali lebih cenderung dapat
# & " # " # "
Pada prinsipnya, tujuan dan sasaran program pemberantasan brucellosis
pada sapi adalah memperbaiki lingkungan budi daya peternakan sehingga bebas
dari brucellosis, meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan
pada akhirnya untuk meningkatkan pendapatan petani peternak (Rompis 2002).
Strategi pemberantasan brucellosis harus disesuaikan dengan kondisi
sistem peternakan setempat. Di Indonesia, usaha peternakan sapi kebanyakan
dalam skala kecil dan bersifat tradisional atau peternakan rakyat. Sistem
manajemen peternakan seperti ini sangat mempengaruhi pola penularan
penyakit (Rompis 2002).
Menurut Ditkeswan (2001), daerah tertular brucellosis terbagi atas 2
kriteria yaitu daerah tertular ringan dan daerah tertular berat. Daerah tertular
ringan yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis ≤ 2% (dengan uji CFT),
sedangkan daerah tertular berat yaitu daerah dengan prevalensi brucellosis > 2%
(dengan uji CFT).
Program pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Kabupaten
Kupang dan Belu dimulai sejak ditetapkannya Surat Keputusan Gubernur Nomor
13 Tahun 1993 tentang Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Brucellosis
di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Disnak Prov. NTT 2008c). Pencegahan dan
pemberantasan brucellosis di Provinsi NTT dilaksanakan melalui survei penyakit,
vaksinasi, pengujian ternak, pemotongan bersyarat, pengaturan lalu lintas ternak
dan identifikasi ternak (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993a).
Kabupaten Belu merupakan daerah tertular berat (prevalensi brucellosis
>2%) dan kegiatan pemberantasan dilakukan melalui vaksinasi menggunakan
vaksin strain 19. Sapi yang positif terhadap uji RBT diberi cap“S” di pipi
kiri dan dianjurkan untuk dipotong bersyarat. Pengeluaran ternak sapi bibit untuk
sementara dihentikan sampai Brucellosis dapat dikendalikan. Pengeluaran
ternak sapi potong dari Kabupaten Belu hanya diijinkan melalui Pelabuhan Wini
dan Pelabuhan Atapupu (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993b).
Data perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu tahun
Tabel 2 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu Tahun Prevalensi 1986 29,6 1991 30,0 1994 33,4 1996 31,2 2000 20,39 2002 20,6 2003 15,66 2004 14,66 2005 13,44 2006 12,74 2007 2008 15,62 11,24 2009* 14,5
Sumber : Disnak Prov. NTT *Lake PRMT 2010
Menurut Ditkeswan (2001), vaksinasi massal pada daerah tertular berat
(prevalensi >2%), dilakukan serentak terhadap seluruh populasi selama 5 tahun
berturut1turut. Vaksinasi tahun pertama dilakukan pada semua umur, pada tahun
kedua dan seterusnya pada yang umur muda saja dan yang belum tervaksin
pada tahun1tahun sebelumnya. Kemudian setelah tahun kelima dilakukan tes
prevalensi, dan jika prevalensi sudah ≤ 2 % dilanjutkan dengan
sampai tercapai status bebas.
Hasil survei Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI
Denpasar di Kabupaten Belu pada tahun 2004, dari 5.066 sampel yang diperiksa
dan berasal dari 4 kecamatan (Sasitamean, Malaka Timur, Tasifeto Barat dan
Kobalima) sebanyak 395 (7,79%) positif reaktor brucellosis secara CFT, yang
mengindikasikan bahwa program vaksinasi telah mampu menekan penyebaran
brucellosis di lapangan (Dartini 2004).
Vaksin S19 merupakan jenis vaksin yang paling sering
digunakan dalam pengendalian brucellosis dibandingkan jenis vaksin yang lain
(OIE 2009). Jenis vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama lebih dari 7
tahun (Pusvetma 2007). Pengendalian dengan vaksinasi massal bertujuan untuk
menurunkan prevalensi penyakit serendah1rendahnya. Di negara Chili,
prevalensi brucellosis turun dari 7% menjadi 3% dalam kurun waktu 10 tahun
dengan proteksi 72,9%. Sedangkan di Argentina, prevalensi brucellosis turun
dari 17% menjadi 13% dalam kurun waktu 10 tahun dengan proteksi 79,4%
(Noor 2008).
Kabupaten Kupang merupakan daerah tertular brucellosis dengan
potong bersyarat$ & terhadap ternak sapi yang positif terhadap
uji RBT (ternak reaktor). Ternak reaktor diberikan penandaan cap “S” di pipi kiri
(Disnak Prov. NTT 2008b).
Gambar 1. Peta Administrasi Provinsi NTT
Menurut Ditkeswan (2001), dilakukan dengan :
(1) Tes RBT pada semua (100%) ternak sapi betina umur 12 bulan atau lebih
dengan rincian :
a) Tes pertama pada semua desa di unit lokasi sasaran.
b) Tes kedua hanya pada desa1desa tertular/positif CFT dari test pertama
saja.
c) Tes ketiga pada tahun ke12 dan hanya pada desa1desa yang positif CFT
sebelumnya sampai tidak ditemukan reaktor brucellosis (bebas
sementara/ % ).
(2) Tes CFT pada semua sapi yang positif hasil tes RBT.
(3) Pemotongan reaktor pada semua sapi yang positif CFT.
Pada daerah tertular ringan (prevalensi ≤ 2%) jika tidak dilakukan
pemberantasan sejak dini, maka dalam 10 tahun mendatang prevalensi akan
naik menjadi > 10% bahkan sampai 50180% (Ditkeswan 2001). Kegiatan
pemotongan bersyarat terhadap reaktor brucellosis diharapkan dapat
mengakibatkan penurunan jumlah reaktor/sumber infeksi dari kelompok ternak
perluasan wilayah bebas brucellosis, peningkatan jumlah kelahiran hidup dan
penurunan jumlah sapi abortus, higroma dan infertil (Disnak Prov. NTT 2008b).
Pemasukan ternak sapi ke wilayah NTT harus disertai surat keterangan
uji brucellosis negatif. Pengeluaran ternak sapi bibit harus disertai dengan surat
keterangan uji brucellosis negatif (Gubernur Kepala Daerah Tk. I NTT 1993a).
Ternak sapi bibit yang dikeluarkan melalui Pelabuhan Laut harus dilakukan
tindak karantina minimal 40 hari dan dilakukan uji RBT sebanyak 2 kali, yaitu
pertama di pemerintah/swasta dan di karantina pelabuhan
pengeluaran ternak. Ternak bibit yang positif uji brucellosis tahap I atau tahap II
diberi cap “S” di pipi kiri dan dianjurkan untuk dipotong bersyarat (Gubernur
Kepala Daerah Tk. I NTT 1993b).
Data perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang tahun
198612009 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perkembangan prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang
Tahun Prevalensi (%)
1986 1,5
1991 5,0
1994 3,0
1996 0,7
2000 1
2002 1
2003 1
2004 1,6
2005 1,1
2006 1,98
2007 2008
1 6,85
2009* 2,0
Sumber : Disnak Prov. NTT *Perwitasari 2010
Noor (2008) mengatakan bahwa pemberantasan brucellosis dengan
potong bersyarat dapat memberikan hasil yang sangat nyata apabila prevalensi
penyakit rendah. Potong bersyarat harus dilakukan secara ketat untuk
menghindarkan reinfeksi. Adapun negara yang menerapkan sistem ini dan
' ' '(
)
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari 1 Agustus 2010. Lokasi
penelitian di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Belu 1 Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
Data1data yang diperlukan dalam melakukan kajian biaya manfaat ini
meliputi :
1. Data primer
Pengumpulan data primer melalui wawancara peternak menggunakan
kuesioner terstruktur. Penentuan sampel peternak menggunakan metode
dengan jumlah peternak yang diwawancarai
sejumlah 60 orang (n = 60) untuk masing1masing kabupaten.
Penentuan wilayah didasarkan pada kriteria : wilayah
kecamatan dengan populasi sapi bali yang tinggi, mempunyai prevalensi
brucellosis yang tinggi dan kemudahan akses menuju wilayah tersebut
2. Data sekunder, antara lain data vaksinasi, data realisasi potong
bersyarat, dana pengendalian dan pemberantasan brucellosis, data
populasi ternak serta data pendukung lainnya.
Kajian biaya manfaat dilakukan secara prospektif (10 tahun ke depan dari
saat penelitian dilakukan). Kajian biaya manfaat pengendalian dan
pemberantasan brucellosis di Kabupaten Belu dilakukan terhadap 2 alternatif
program yaitu Program A dan Program B. Program A merupakan program yang
dilakukan sekarang, yaitu vaksinasi dengan cakupan rata1rata 57 % dari populasi
ternak betina wajib vaksinasi. Program B merupakan program yang diusulkan,
yaitu vaksinasi intensif dengan cakupan rata1rata 80% dari populasi ternak betina
wajib vaksinasi.
Sedangkan untuk Kabupaten Kupang, kajian juga dilakukan terhadap 2
alternatif program. Program A merupakan program yang dilaksanakan saat ini,
yaitu potong bersyarat dengan rata1rata realisasi 2,15% dari perkiraan jumlah
potong bersyarat secara intensif dan bertahap selama 6 tahun terhadap seluruh
reaktor (100%).
Tahap1tahap kajian biaya manfaat :
1. Menetapkan (laba kotor)
2. Menetapkan variabel1variabel yang berpengaruh, seperti : tingkat
kematian (anak & dewasa), tingkat kelahiran anak, harga berat hidup
(Rp/kg), pemanfaatan ternak (misal untuk membajak), tingkat diskonto,
komisi, biaya pakan tambahan, biaya kesehatan, transpor dan biaya
pemasaran.
3. Menghitung biaya variabel yang diperlukan untuk pelaksanaan
pengendalian penyakit dan tahun dimana biaya tersebut dikeluarkan.
4. Menetapkan perkiraan kapan diperoleh manfaat dari pelaksanaan
program.
5. Menetapkan dan menghitung biaya infrastruktur.
6. Menetapkan daerah penelitian
7. Menghitung *% +“dengan” dan “tanpa program” .
8. Menghitung diskon
9. Membandingkan skenario “dengan” dan “tanpa program” menggunakan
, (NPV), % - (BCR) dan %
(IRR).
10.
Terdapat 3 kriteria yang digunakan dalam kajian biaya manfaat, yaitu (Putt
1987) :
1 , (NPV)
, (NPV) disebut juga , . (NPW) atau Nilai
Bersih Sekarang, yaitu hasil pengurangan nilai % %
(PVB) – % (PVC).
Secara matematis, nilai NPV disajikan dalam rumus :
n
NPV = Σ Bt– Ct
t = 1 (1 + i)t
dengan :
C1= nilai total biaya$ &pada periode waktu t
B1= nilai total keuntungan$ % &yang diperoleh pada periode waktu t
n = berlangsungnya kegiatan proyek (jumlah tahun)
Suatu proyek dianggap dapat berjalan jika PVB > PVC atau NPV positif.
2. % (B/C )
Yaitu perbandingan antara % % (PVB) dan
%
n Bt
∑ (1 + i)t Bt
B/C = t = 1 =
Ct
∑ (1 + i) t Ct
Proyek dianggap dapat berjalan jika rasio≥1
3. % (IRR)
Yaitu suatu dimana PVB = PVC.
n
IRR = ∑ Bt– Ct = 0
t = 1 (1 + r )1
Suatu proyek dapat diterima apabila i>r, dimana i = (tingkat
diskonto) yang digunakan untuk menghitung PVB dan PVC, sedangkan r =
minimum yang dapat diterima. Jika IRR dari investasi proyek
lebih besar dari tingkat harapan sebenarnya, maka proyek secara ekonomis
dapat dikerjakan.
IRR adalah yang dapat membuat besarnya NPV proyek
= 0 (nol) atau yang membuat B/C = 1 (Kadariah 1986). Proyek yang
memberikan nilai IRR tertinggi merupakan alternatif proyek yang paling baik
untuk dikerjakan (Martin . 1987).
Besarnya B/C dipengaruhi oleh tingginya yang
dipakai. Makin tinggi , makin kecil B/C , dan jika
tinggi sekali, B/C dapat turun sampai <1. Jika dipakai B/C ,maka
kriteria untuk menerima proyek adalah B/C r ≥ 1 (Kadariah 1986).
Ukuran1ukuran NPV, B/C dan IRR mencerminkan analisa
parsial $ & yang didasarkan pada asumsi bahwa proyek yang
keseluruhan, sehingga tidak mempengaruhi harga1harga. Untuk proyek1
proyek yang besar sekali, yang dapat mempengaruhi seluruh perekonomian,
ukuran1ukuran tersebut tidak cukup. Dalam hal ini diperlukan analisa yang
! !
Dalam penelitian ini, pengambilan data primer dilakukan di 3 (tiga)
kecamatan dari tiap kabupaten sebagai wilayah . Pemilihan kecamatan
didasarkan pada kriteria wilayah dengan populasi ternak yang tinggi, mempunyai
tingkat kejadian brucellosis yang tinggi dan kemudahan akses menuju wilayah
tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut, kecamatan Tasifeto Barat, Laenmanen
dan Malaka Timur merupakan wilayah yang dipilih untuk pengambilan sampel
(kuesioner) di Kabupaten Belu, sedangkan di Kabupaten Kupang dilakukan di
kecamatan Kupang Timur, Kupang Barat dan Amarasi Barat. Sejumlah 20 orang
peternak dari tiap1tiap kecamatan dipilih sebagai responden secara %
Tabel 4 di bawah ini menyajikan daerah sebaran pengambilan
sampel (kuesioner).
Tabel 4 Daerah sebaran pengambilan sampel (kuesioner)
Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah (n)
Belu Tasifeto Barat Naekasa 5
Bakustulama 15
Laenmanen Triumanu 4
Tesa 6
Kapitan Meo 7
Neotroi 3
Malaka Timur Nomponi 5
Kusa 15
Total 60
Kupang Kupang Timur Merdeka 6
Oesao 1
Naibonat 1
Manusak 2
Nunkurus 10
Kupang Barat Oenesu 5
Oenaek 1
Batakte 1
Manulai I 5
Kuanheum 5
Oematnunu 3
Amarasi Barat Merbaun 3
Niurbaun 4
Teunbaun 3
Erbaun 8
Toobaun 2
Total 60
! " # " # "
Berdasarkan hasil survei sekitar 81,6% responden (n = 49) di Kabupaten
[image:34.612.147.457.347.618.2]ternak sapi bali sebagai pekerjaan sampingan, sedangkan pekerjaan utama
mereka adalah bertani.
Di Kabupaten Belu, 12,06% responden (n=7) tidak pernah menempuh
pendidikan formal (sekolah), 55% responden (n=33) mempunyai pendidikan
terakhir SD, 18,96% responden (n=11) mempunyai pendidikan terakhir SMP,
10,34% responden (n=6) mempunyai pendidikan terakhir SMA dan 5,17%
responden (n=3) mempunyai pendidikan terakhir akademi/universitas.
Sedangkan di Kabupaten Kupang, 61,6% responden (n=37) mempunyai
pendidikan terakhir SD, 18,3% responden (n=11) mempunyai pendidikan terakhir
SMP, 15% responden (n=9) mempunyai pendidikan terakhir SMA dan 5%
responden (n=3) mempunyai pendidikan terakhir akademi/universitas.
Tujuan utama dari pemeliharaan ternak adalah sebagai investasi/
tabungan. Selain itu, ternak dipelihara untuk keperluan lain seperti : upacara
adat, simbol status sosial dan untuk keperluan konsumsi.
Pemeliharaan ternak dilakukan secara ekstensif. Pada pagi hari ternak
digembalakan dan pada siang atau sore hari dibawa kembali ke kandang atau
diikat di dekat rumah (untuk peternak yang tidak mempunyai kandang). Kandang
umumnya terbuat dari batu yang disusun menyerupai pagar ataupun dari kayu
maupun bambu. Perkawinan ternak terjadi secara alami. Pada musim kering,
ternak diberikan pakan tambahan berupa rumput atau hijauan yang berasal dari
kebun milik peternak sendiri.
Kotoran ternak atau pupuk kandang dimanfaatkan oleh peternak sebagai
pengganti pupuk buatan untuk memupuk tanaman di lahan kebun atau tegalan
yang mereka miliki. Di Kabupaten Belu seluruh responden yang diwawancarai
(n = 60) memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang. Di Kabupaten
Kupang 86,6% responden (n=52) memanfaatkan kotoran ternak untuk memupuk
tanaman di ladang, sedangkan 13,3% responden (n=8) memanfaatkan kotoran
ternak sebagai biogas penghasil energi listrik.
Berdasarkan hasil survei, baik di Kabupaten Belu maupun Kabupaten
Kupang, pemanfaatan ternak sebagai tenaga pembajak tidak lagi dilakukan
karena umumnya petani peternak sudah mempunyai mesin pembajak sendiri.
Penjualan ternak umumnya dilakukan melalui pedagang perantara yang
mengambil langsung ke peternak ataupun dengan cara dijual ke pasar pada saat
hari pasaran. Kadangkala ternak dijual dengan cara ditukar dengan babi (babi
Rata1rata tingkat kelahiran sapi bali di Pulau Timor adalah 62,8±10%
dengan kisaran 45189% dan angka kematian anak sapi di bawah umur 1 tahun
berkisar antara 3130% pada lokasi semi intensif. Di lokasi ekstensif, tingkat
kelahiran berkisar antara 57,1177,4% dengan tingkat kematian anak sapi di
bawah umur 1 tahun sebesar 3%. Rata1rata jarak beranak pada sapi Bali adalah
15 bulan. Waktu beranak pertama pada lokasi semi intensif adalah 32±5,3 bulan
dan di lokasi ekstensif pada umur 47 bulan. Angka kematian sapi Bali dewasa
adalah 3,1% dan angka kematian dalam kelompok$ &adalah 4,9% (Bakry
1994). Thalib (2002) mengatakan bahwa angka kematian prasapih pada sapi
Bali di Provinsi Nusa Tenggara Timur berkisar antara 15150%, sedangkan angka
kematian sapi dewasa adalah 1%. Menurut Geong (1994), angka kematian
anak sapi Bali di Pulau Timor yang berumur di bawah 6 bulan mencapai 19%.
Frekuensi kelahiran sapi bali di NTT tertinggi (41,3±18,9%) terjadi pada
bulan April sampai dengan akhir Juni (dari permulaan sampai pertengahan
musim kemarau). Kemudian disusul pada permulaan Juli sampai akhir
September (dari pertengahan sampai akhir musim kemarau) mempunyai
frekuensi kelahiran 39,8±15,9%. Frekuensi kelahiran yang rendah secara
signifikan terjadi pada awal Oktober sampai akhir Desember (akhir musim
kemarau dan awal musim hujan) yaitu rata1rata 14,0±18,0% dan dari Januari
sampai akhir Maret (dari pertengahan sampai akhir musim hujan) yaitu 5,0±5,8%
(Bakry 1994).
Menurut Geong (1999), pada desa tertular$ % &, jumlah anak
yang dilahirkan dari sapi1sapi seropositif lebih sedikit (29,1% pada tahun 1995
dan 25% pada tahun 1996) dibandingkan sapi1sapi seronegatif (48,5% pada
tahun 1995 dan 51,6% pada tahun 1996).
Pada tahun 1995, secara signifikan lebih sedikit anak (48,6%) yang lahir
dari sapi1sapi seronegatif di 10 desa tertular brucellosis $ % &
dibandingkan dari sapi1sapi seronegatif (58,2%) dari 3 desa tidak tertular
brucellosis $ % & Demikian juga pada tahun 1996, yaitu 51,6%
pada desa tertular dan 56,8% desa tidak tertular (Geong 1999).
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok
yang divaksin dan yang tidak divaksin dari hasil pengamatan pada desa yang
berbeda. pada kelompok yang divaksinasi antara 38,3 – 68,3%
Makka (1989) mengatakan bahwa tingkat kelahiran $ & akibat
brucellosis pada sapi potong di Sulawesi Selatan adalah 56,13% sedangkan
angka kematian anak sapi$ % & adalah 19,79%, tingkat infertilitas
mencapai 12,84% dan tingkat abortus 26,5%.
"
Komponen pupuk kandang terdiri dari % , , rumput kering atau
jerami dan air dengan perbandingan yang sangat beragam. Prakiraan potensi
dan nilai ekonomis pupuk kandang dapat memberikan gambaran mengenai
potensi pupuk kandang yang dapat digunakan pada lahan1lahan kering, lahan
produktif pertanian, areal budidaya tambak dan kontribusi haranya serta jumlah
substitusi pupuk buatan yang diperoleh. Dengan demikian dapat diketahui
potensi ekonomisnya yang cukup tinggi selain secara tidak langsung telah
mendukung pembangunan yang berkelanjutan dengan memanfaatkan bahan
organik (Suharyanto dan Rinaldi 2001). Pupuk kandang tersebut merupakan
komponen yang penting dan untuk menilainya direfleksikan sebagai
. Penilaian yaitu dengan menghitung nilai setara
pupuk buatan.
Penghitungan nilai ekonomis pupuk kandang di Kabupaten Belu dan
Kabupaten Kupang dengan menggunakan metode penghitungan menurut
Suharyanto dan Rinaldi (2001) disajikan pada Lampiran 17. Diketahui nilai
ekonomis pupuk kandang pada tahun 2009 di di Kabupaten Belu adalah setara
pupuk buatan Rp. 2.150.951.000,1 dan di Kabupaten Kupang adalah setara
pupuk buatan Rp. 3.361.416.000,1
Berdasarkan hasil penghitungan tersebut, maka diketahui bahwa setiap
ekor sapi di Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang menghasilkan pupuk
kandang yang mempunyai nilai ekonomis setara pupuk buatan Rp. 22.152,1 per
tahun.
" $ # &
Metode pengukuran ekonomi yang digunakan dalam kajian biaya manfaat
ini menggunakan yang dicerminkan dengan ukuran1ukuran NPV,
B/C dan IRR. Kajian dilakukan secara prospektif selama 10 tahun.
Kajian biaya manfaat terhadap suatu program/proyek dilakukan dengan
teknis, yaitu parameter produksi maupun reproduksi dari suatu peternakan
seperti tingkat kelahiran$ &, tingkat kematian anak$ % &,
tingkat kematian dewasa $ &, tingkat afkir ( &,
prosentase pejantan (terhadap betina) digunakan untuk melakukan proyeksi
jumlah populasi ternak. Proyeksi jumlah populasi ternak merupakan unsur pokok
dalam menganalisa suatu program/proyek yang berkaitan dengan peternakan
(Gittinger 1986). Pada penelitian ini, asumsi yang digunakan merupakan
kompilasi dari data primer, data sekunder serta literatur.
Kabupaten Belu merupakan daerah tertular berat
(prevalensi > 2%) dan program pengendalian dilakukan dengan vaksinasi dan
potong bersyarat. Menurut Ditkeswan (2001), vaksinasi harus dilakukan secara
massal dan serentak di semua lokasi sasaran dengan target 100% dari populasi
sapi betina wajib vaksinasi sampai prevalensi turun menjadi ≤ 2%. Pada tahun
kedua dan seterusnya, vaksinasi hanya dilakukan pada ternak betina muda dan
yang belum tervaksin pada tahun sebelumnya.
Pengambilan sampel darah untuk pengujian brucellosis dilakukan 2 tahun
setelah vaksinasi dan mencakup 100 % populasi dan semua reaktor dilakukan
potong bersyarat (Disnak Prov. NTT 2009).
Prevalensi brucellosis di Kabupaten Belu pada tahun 2009 dengan uji
CFT adalah 14,5% (Lake 2010) dan populasi sapi betina dewasa sejumlah
43.192 ekor. Dengan demikian dapat diperkirakan jumlah reaktor pada tahun
2009 adalah 6.262 ekor.
Tabel 5 di bawah ini menyajikan realisasi potong bersyarat tahun 20051
2009. Berdasarkan tabel tersebut diketahui belum seluruh reaktor dapat
dilakukan potong bersyarat, dan rata1rata realisasi potong bersyarat terhadap
reaktor selama 5 tahun (200512009) adalah 133 ekor atau 2,12% dari total
perkiraan jumlah reaktor dikarenakan keterbatasan dana kompensasi.
Tabel 5. Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Belu tahun 200512009
Tahun Jumlah Sampel (ekor)
Jumlah Positif (ekor)
Realisasi Potong Bersyarat (ekor)
2005 10.727 1.125 165
141 144 111 105
2006 5.621 1.064
2007 5.071 792
2008 4.000 449
2009 2.000 337
Rata1rata 133
[image:38.612.125.500.616.705.2]Kajian biaya manfaat pengendalian brucellosis di Kabupaten Belu
dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu :
! "# $ % &
' ( Vaksinasi brucellosis di Kabupaten
Belu dilakukan sejak tahun 1994, dengan demikian kegiatan vaksinasi yang
dilaksanakan sekarang adalah tahap konsolidasi dengan target wajib vaksinasi
diasumsikan populasi anak betina dan muda betina.
Tabel 6 di bawah ini menyajikan data cakupan vaksinasi brucellosis di
Kabupaten Belu tahun 200412008, dengan rata1rata cakupan vaksinasi sebesar
57%.
Tabel 6. Cakupan vaksinasi brucellosis di Kabupaten Belu
Tahun Populasi betina Realisasi % Realisasi
Anak Muda Total (ekor)
2004 9.418 15.154 24.571 10.000 41
2005 9.606 15.456 25.062 12.000 48
2006 9.803 15.774 25.577 25.000 98
2007 9.686 15.611 25.297 15.000 59
2008 9.812 15.811 25.623 10.000 39
Rata1rata 57
Sumber : Disnak Kab. Belu, data diolah.
Dengan Program A, yaitu dilakukan vaksinasi terhadap 57% populasi
ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat secara terbatas terhadap
2,12% reaktor, diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 1% per tahun
dari asumsi awal sebesar 57%. % diasumsikan
menurun sebesar 1% per tahun dari asumsi % awal sebesar 19%.
Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%.
Berdasarkan data tahun 200712008, rata1rata total biaya pemberantasan
untuk Program A adalah Rp. 1.042.735.250,00 dan rata1rata populasi sapi betina
adalah 67.803 ekor, sehingga dapat dihitung biaya pemberantasan untuk tiap
[image:39.612.105.484.337.457.2]!
)*$ % &
Dengan Program B, yaitu dilakukan vaksinasi dengan cakupan
rata1rata 80% dari populasi ternak betina wajib vaksinasi dan potong bersyarat
secara terbatas terhadap 2,12% reaktor, diasumsikan terjadi
kenaikan sebesar 2% per tahun dari asumsi awal sebesar 57%. %
diasumsikan menurun sebesar 2% per tahun dari asumsi %
awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar
3%. Pelaksanaan Program B bertujuan untuk menurunkan prevalensi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Berman (1981) bahwa vaksinasi
terhadap sekurang1kurangnya 70% dari populasi secara signifikan akan
mengurangi prevalensi brucellosis. Erasmus (1995) mengatakan bahwa
vaksinasi sekurang1kurangnya 80% dari populasi betina dapat menurunkan
prevalensi brucellosis secara signifikan.
Perbedaan antara Program A dan Program B terletak pada cakupan
vaksinasi (pada Program A cakupan vaksinasi 57%). Berdasarkan data tahun
200712008, biaya vaksinasi per ekor adalah Rp. 4.125,00 meliputi biaya
pembelian vaksin dan biaya operasional vaksinasi. Populasi sapi betina wajib
vaksinasi pada tahun tersebut sejumlah 25.461 ekor. Dengan dilaksanakannya
Program B, maka populasi betina wajib vaksinasi adalah sejumlah 20.369 ekor.
Pada Program A, populasi betina yang tervaksin sejumlah 14.512 ekor,
maka jika dibandingkan dengan Program B terdapat selisih 5.857 ekor dan ini
kemudian diperhitungkan sebagai tambahan biaya pemberantasan
(Rp. 24.325.125,00). Sehingga total biaya pemberantasan pada Program B
adalah Rp. 1.067.060.375,00 dan biaya pemberantasan untuk tiap ekor adalah
Rp. 15.737,00
Komponen input penghitungan laba kotor $ &peternakan sapi
Bali di Kabupaten Belu disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor $
&peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu
!
57%
Tingkat kematian anak$ % & 19%
Tingkat kematian dewasa$ & 3%
10%
[image:40.612.126.509.635.711.2]Bobot badan Jantan Betina
011 tahun 83 kg 68 kg
112 tahun 165 kg 128 kg
213 tahun 240 kg 180 Kg
>3 tahun 300 kg 225 kg
Harga berat hidup Rp. 18.000,00/kg
Komisi 5%
Biaya kesehatan Rp. 15.000,00/ekor
Tenaga kerja Rp. 12.500/hari/10 ekor
Lainnya Rp. 5.000,00
Dari hasil penghitungan laba kotor$ &yang tersaji pada Tabel
8 diketahui laba kotor peternakan sapi Bali di Kabupaten Belu pada tahun 2009
sebesar Rp. 14.308.218.218,00. Besarnya laba kotor tersebut untuk tahun
berikutnya dapat berubah, yang besarnya tergantung pada parameter produksi
yang dipengaruhi oleh program pengendalian yang dilaksanakan.
Tabel 8 Penghitungan laba kotor $ & peternakan sapi Bali di
Kabupaten Belu
! * " : Sapi Bali$ &
Unit Usaha : 43.192 sapi betina induk
PENDAPATAN Satuan Harga Satuan Jumlah (Rp)
Penjualan Ternak & Produk Asal Ternak
1 Jantan muda 9.970,9 2.970.000 61.354.612.393
1 Dara 1.947,4 2.304.000
1 Afkir jantan (dijual) 950,2 5.400.000
1 Afkir betina induk (dijual) 5.462,5 4.050.000
Tenaga ternak 0 0 0
Pupuk kandang 97.101 22.152 2.150.981.352
' + , -./010/02./340
BIAYA VARIABEL Penggantian Ternak
1 Pejantan 950,2 2.970.000 2.822.165.280
1 Betina induk 0,00 2.304.000
Komisi 5% 3.067.730.620
Pemeliharaan
1 Biaya kesehatan 15.000 43.243.352.628
1 Tenaga kerja 12.500/hari/10 ekor
1 Lain1lain 5.000/ekor
Pakan 0
Transportasi & pemasaran 10.000 64.127.000
' 5 6 * + , 42/723/.30/089
[image:41.612.74.487.367.698.2]Kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B dilakukan
dengan membandingkan keadaan tanpa program pengendalian. Dengan tidak
dilakukannya program pengendalian (tanpa program), diasumsikan
menurun 1% per tahun dari asumsi awal sebesar 57% menjadi 48%
pada tahun ke110. % diasumsikan meningkat sebesar 0,5 %
setiap tahun dari asumsi % awal sebesar 19% menjadi 24% pada
tahun ke110. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3% per tahun.
Pada Program A, diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 1%
per tahun dari asumsi awal sebesar 57%. %
diasumsikan menurun sebesar 1% per tahun dari asumsi % awal
sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%.
Dari sudut pandang epidemiologi, pelaksanaan Program A belum mampu
menurunkan prevalensi secara signifikan. Program A hanya mampu
mempertahankan prevalensi berada pada kisaran tahun1tahun sebelumnya. Hal
ini sesuai dengan hasil survey oleh Dartini (2004), bahwa program
vaksinasi di Kabupaten Belu diketahui dapat menekan penyebaran brucellosis di
lapangan.
Berdasarkan kajian terhadap hasil pelaksanaan Program A tersebut di
atas, maka pada penelitian ini Program B yang diusulkan dimaksudkan dapat
tercapai penurunan prevalensi yang serendah1rendahnya. Pada Program B,
diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 2% per tahun dari asumsi
awal sebesar 57%. % diasumsikan menurun sebesar
2% per tahun dari asumsi % awal sebesar 19%. Tingkat kematian
dewasa diasumsikan sebesar 3%.
Berdasarkan proyeksi arus kas $ % +& secara prospektif selama 10
tahun pada keadaan tanpa program, laba kotor akan menurun setiap tahun.
Pada Program A & Program B, terdapat peningkatan laba kotor sesuai dengan
peningkatan populasi sapi dari tahun ke tahun sebagai efek dari peningkatan
dan penurunan % dari masing1masing pelaksanaan
program (Program A dan Program B). Dari hasil proyeksi laba kotor kumulatif
pada tahun ke110, Program B mempunyai laba kotor yang lebih tinggi
(Rp. 245.042.283.753,00) daripada Program A (Rp. 197.729.835.674,00).
Hasil kajian biaya manfaat terhadap Program A dan Program B disajikan
positif, B/C > 1 dan nilai IRR yang menunjukkan bahwa dari sudut pandang
ekonomi kedua program layak untuk dilaksanakan.
Tabel 9 Hasil Kajian Biaya Manfaat terhadap Program A dan Program B di
Kabupaten Belu
Kriteria Diskonto Program A Program B
, 15 % Rp. 40.168.103.518 Rp. 59.124.540.107
(NPV) 20 % Rp. 30.455.309.621 Rp. 45.090.376.093
% 15 % 3,06 3,88
- 20 % 2,80 3,55
% 333% 476%
(IRR)
Pada tahun ke110, Program B mempunyai NPV yang lebih besar
dibandingkan Program A, yaitu NPV Program B sebesar Rp. 59.124.540.107,00
dan NPV Program A sebesar Rp. 40.168.103.518,00 pada tingkat diskonto 15%.
Pada tingkat diskonto 20% pada tahun ke110, NPV kedua program masih
menunjukkan nilai positif, yaitu NPV Program B sebesar Rp. 45.090.376.093,00
dan NPV Program A sebesar Rp. 30.455.309.621,00.
B/C Program B (3,88) menunjukkan nilai yang lebih tinggi
dibandingkan Program A (3,54) pada tingkat diskonto 15%. B/C masih
menunjukkan nilai >1 pada tingkat diskonto 20% yaitu 2,80 pada Program A dan
3,55 pada Program B.
Dengan mengkombinasikan antara sudut pandang ekonomi, yaitu hasil
penghitungan biaya manfaat (NPV, B/C ratio dan IRR) dan sudut pandang
epidemiologi, maka Program B merupakan alternatif yang paling layak dan paling
tepat dilaksanakan. Dari sudut pandang ekonomi, Program B memiliki NPV lebih
tinggi dan B/C lebih besar dibandingkan Program A, demikian pula untuk
IRR. Dari sudut pandang epidemiologi, dengan dilaksanakannya Program B yang
memiliki cakupan vaksinasi terhadap brucellosis yang lebih tinggi dibandingkan
Program A, diharapkan dapat tercipta populasi ternak yang kebal terhadap
brucellosis$ &(sehingga dapat mengurangi transmisi penyakit antar
ternak, yang kemudian akan berdampak pada penurunan prevalensi.
Prevalensi brucellosis di Kabupaten Kupang pada
tahun 2009 adalah 2% berdasarkan hasil uji CFT (Perwitasari 2010) dan
kegiatan pemberantasan yang dilakukan adalah potong bersyarat $
[image:43.612.104.484.169.239.2]sapi betina dewasa. Menurut Disnak Kab. Kupang (2009a), populasi sapi betina
dewasa adalah 47,86% dari total populasi sapi.
Kajian biaya manfaat pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang
dilakukan terhadap 2 alternatif program yaitu :
Jumlah populasi sapi di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 dihitung
dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Sudardjat (2004), yaitu
dengan menambahkan angka populasi pada tahun 2008 dengan rata1rata
kenaikan populasi pada tahun1tahun sebelumnya (tahun 2006 dan tahun 2007)
Dengan metode penghitungan tersebut, maka angka populasi sapi di Kabupaten
Kupang pada tahun 2009 adalah 155.398 ekor. Dengan demikian dapat
diperkiraan jumlah populasi betina dewasa adalah 74.373 ekor dan perkiraan
jumlah reaktor adalah 1.487 ekor.
Rata1rata realisasi potong bersyarat pada tahun 200812009 adalah 32
ekor yaitu sekitar 2,15% dari total perkiraan jumlah reaktor. Dengan
menggunakan data pada Tabel 10, jika program dilaksanakan selama 6 tahun
dapat diasumsikan total reaktor yang dipotong adalah 12,9% dari jumlah reaktor
keseluruhan. Sehingga pada akhir tahun ke16, program ini masih menyisakan
sekitar 1.295 reaktor (87,1% dari jumlah reaktor) yang harus dipotong. Reaktor
yang belum dipotong tersebut merupakan sumber penularan yang potensial.
Tabel 10 Realisasi potong bersyarat di Kabupaten Kupang tahun 200812009
Tahun Jumlah Sampel
(ekor)
Jumlah Positif (ekor)
Realisasi Potong Bersyarat (ekor) 2008 2009 2.000 1.000 137 33 55 9
Rata1rata 1.500 85 32
Sumber : Disnak Prov. NTT
Pada Program A, diasumsikan terjadi kenaikan sebesar 0,5%
per tahun dari asumsi awal sebesar 60%. %
diasumsikan menurun sebesar 0,5% per tahun dari asumsi %
awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%.
Biaya pemberantasan brucellosis di Kabupaten Kupang tahun 2009 yang
[image:44.612.127.509.490.556.2]demikian, rata1rata biaya pemberantasan untuk tiap ekor sapi pada Program A
adalah Rp. 2.663,00
' 0
0 1 0 ( Program B adalah potong
bersyarat terhadap seluruh reaktor (100%). Dengan menggunakan asumsi yang
sama pada Program A dimana perkiraan jumlah reaktor secara keseluruhan
adalah 1.487 ekor (tahun 2009), maka jika kegiatan potong bersyarat dilakukan
selama 6 tahun berturut1turut dan untuk mencapai 0 reaktor pada akhir tahun ke1
6, maka tiap tahun dilakukan potong bersyarat terhadap 248 ekor (16,5%).
Pelaksanaan Program B diharapkan dapat mengurangi jumlah reaktor secara
signifikan, sehingga dapat mencegah terjadinya reinfeksi.
Pada Program B, pelaksanaan pemotongan bersyarat pada tiap tahun
pelaksanaan program (sampai tahun ke16) lebih tinggi dibandingkan pada
Program A, yaitu terdapat selisih 216 ekor. Berdasarkan data dari Disnak Kab.
Kupang (2009b), biaya pembelian reaktor adalah Rp. 2.528.750,00 per ekor,
sehingga terdapat selisih biaya pemberantasan Rp. 465.290.000,00 yang
diperhitungkan sebagai biaya tambahan pemberantasan. Dengan demikian total
biaya pemberantasan adalah Rp 744.280.240,00. Dengan demikian dapat
dihitung rata1rata biaya pemberantasan untuk tiap ekor sapi adalah
Rp. 10.007,00
Keogh (1981) mengatakan bahwa, sejak dimulainya program
secara intensif di New South Wales, dan berdasarkan hasil uji
terhadap lebih dari 85% populasi pada tahun 1981 prevalensi turun menjadi
dibawah 2% dari prevalensi awal pada tahun 1976 sebesar 2,9%.
Dengan Program B, diasumsikan terjadi kenaikan sebesar
3% per tahun dari asumsi awal sebesar 60%. %
diasumsikan menurun sebesar 1,5% per tahun dari asumsi %
awal sebesar 19%. Tingkat kematian dewasa diasumsikan sebesar 3%.
Komponen input penghitungan laba kotor$ &peternakan sapi
Tabel 11 Asumsi yang digunakan sebagai input penghitungan laba kotor$
&peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang
!
60%
% (tingkat kematian anak) 19%
Tingkat kematian dewasa 3%
10%
Prosentase pejantan 30%
Bobot badan Jantan Betina
011 tahun 83 kg 68 kg
112 tahun 165 kg 128 kg
213 tahun 240 kg 181 Kg
>3 tahun 300 kg 225 kg
Harga berat hidup Rp. 18.000,00/kg
Komisi 5%
Biaya kesehatan Rp. 15.000,00/ekor
Tenaga kerja Rp. 12.500/hari/10 ekor
Lainnya Rp. 5.000,00
Berdasarkan penghitungan laba kotor (Tabel 12), diketahui bahwa
peternakan sapi Bali di Kabupaten Kupang pada tahun 2009 mempuny