• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hasil Kajian Kerentanan dalam Pengembangan Strategi Adaptasi di Indonesia Terkait Perubahan Iklim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hasil Kajian Kerentanan dalam Pengembangan Strategi Adaptasi di Indonesia Terkait Perubahan Iklim"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

MUHAMMAD RIDWAN SOLEH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MUHAMMAD RIDWAN SOLEH. The Study of Vulnerability Development Adaptation Strategy in Indonesia Related To Climate Change. Supervised by YON SUGIARTO dan ARI MOCH ARIF.

The impact of climate changes going increasingly worrying. It put Indonesia as one of the most vulnerable countries affected by climate change. This study was conducted by reviewing the studies that have been done by DNPI focused on adaptation strategies to climate change in Indonesia. Especially to the vulnerability of food, health, and in coastal areas, which is expected to anticipate losses due to the impact of greater climate change. The development of adaptation strategies is a top priority that must be done, and the role of government in this case is The National Council on Climate Change (NCCC), it is necessary to formulate, coordinate and control the policies that is consistent with climate change adaptation. The cooperation of all parties to participate in controlling climate change makes it especially important considering the process of socialization and adaptation. It requires a synergistic follow-up between the government, private sector, NGOs to the general public. Adaptation strategies of the results of this study is also expected to reduce climate refugees due to climate change.

(3)

Strategi Adaptasi di Indonesia Terkait Perubahan Iklim. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan ARI MOCH ARIF.

(4)

TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

MUHAMMAD RIDWAN SOLEH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Program Studi : Geofisika dan Meteorologi

NIM

: G24062789

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

(Yon Sugiarto, S.Si., M.Sc)

(Ari Moch. Arif, S.H., M.H)

NIP: 197406041998031003

Sekretaris Pokja Adaptasi DNPI

Mengetahui,

Tanggal Lulus:

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S)

(6)

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas akhir yang berupa praktek lapang atau magang ini dilaksanakan di Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sejak Januari hingga Desember 2011. Judul dalam praktek lapang yang diambil adalah Tinjauan Hasil Kajian Kerentanan dalam Pengembangan Strategi Adaptasi di Indonesia Terkait Perubahan Iklim.

Dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yon Sugiarto, S.Si., M.Sc, Bapak Ari Moch Arif, S.H., M.H, yang telah membimbing penulis dalam melakukan tugas akhir ini serta Ibu Amanda Katili Niode, Ph.D, dan Bapak Dicky Edwin Hindarto atas perhatian dan support yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di DNPI. Apresiasi dan ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada kedua orang tua tercinta, Ayah Mohammad Soleh dan Mama Salminah, Rizki Amelia dan Mochammad Fachrizal kedua adik kandung penulis. Ustadz Sulaiman, Ayu Fitriyani, Seluruh angkatan departemen GFM IPB dan rekan-rekan DNPI yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas dukungan, motivasi dan doa yang luar biasa untuk penulis.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan tugas akhir ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Oleh karenanya masukan dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap tugas akhir yang berbentuk praktek lapang ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan rekan-rekan yang membutuhkan pada umumnya.

Jakarta, Agustus 2012

(7)

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mohammad Soleh, SE dan Ibu Salminah. Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1988. Penulis menghabiskan masa kanak-kanak hingga dewasa di Jakarta.

Penulis memulai pendidikan di sebuah Taman Kanak-kanak (TK) Merpati, kemudian melanjutkan studi di SDN Kebon Baru 03 Pagi serta SLTPN 115 Jakarta. Pada tahun 2006 penulis berhasil menamatkan diri di SMA Negeri 26 Jakarta, kemudian diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK (Penulusuran Minat dan Bakat). Penulis memilih bidang studi Mayor Meteorologi Terapan pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(8)

DAFTAR TABEL... i

DAFTAR GAMBAR... ii

DAFTAR LAMPIRAN... iii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA... 1

2.1 Iklim dan Kerentanan Sebagai Dampak Perubahan Iklim... 3

2.2 Kerentanan Pangan... 3

2.3 Kerentanan Kesehatan... 4

2.4 Kerentanan Kawasan Pesisir... 6

2.5 Adaptasi Perubahan Iklim... 7

2.6 Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)... 7

III. METODOLOGI... 8

3.1 Tempat dan Waktu Kajian... 8

3.1.1 Tempat Kajian... 8

3.1.2 Waktu Kajian... 8

3.2 Batasan Kajian... 8

3.3 Teknik Kajian... 9

3.3.1 Jenis Data... 9

3.3.2 Cara Pengumpulan Data Kajian... 9

3.3.2.1 Studi Dokumentasi/ Arsip... 9

3.3.2.2 Aktifitas Magang di DNPI... 9

3.3.2.2.1 Focus Group Discussion (FGD)... 9

3.3.2.2.2 Wawancara dan Pengisisan Kuesioner... 9

3.4 Metode Analisis Kajian... 9

3.4.1 Identifikasi Hasil Kajian DNPI... 9

3.4.2 Analisis Keterkaitan Perubahan Iklim dengan Sektor Lain... 10

3.4.3 Pengembangan Startegi Adaptasi... 10

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 10

4.1 Kondisi Iklim di Indonesia... 10

4.2 Analisis Pengetahuan Masyarakat Terkait Perubahan Iklim... 11

4.2.1 Persepsi Masyarakat Terkait Perubahan Iklim... 11

4.2.2 Indikator Perubahan Iklim... 13

4.3 Analisis Keterkaitan Perubahan Iklim dengan Sektor Lain... 13

(9)

Kesehatan... 18

4.4 Solusi Adaptasi Perubahan Iklim... 19

4.4.1 Solusi Terhadap Kawasan Pesisir... 19

4.4.2 Solusi Terhadap Kerentanan Pangan... 20

4.4.3 Solusi Terhadap Kerentanan Kesehatan... 21

4.4.3.1 Perbaikan Kinerja Pelayanan Kesehatan... 21

4.4.3.2 Perilaku Masyarakat yang Kurang Mendukung Pola Hidup Bersih dan Sehat... 21

4.4.3.3 Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit... 22

4.4.3.4 Sarana Kesehatan... 22

4.5 Startegi Adaptasi... 22

4.5.1 Starategi Adaptasi dengan Local Wisdom... 22

4.5.2 Pembuatan Kebijakan Selaras dengan Adaptasi Perubahan Iklim... 22

4.5.3 Meningkatkan Kerjasama antar Kementerian/ Lembaga dan Instansi... 22

4.5.4 Sosialisasi Perubahan Iklim... 23

4.5.4.1 Seminar Perubahan Iklim... 23

4.5.4.2 Materi Publikasi... 23

4.5.4.3 Pameran Perubahan Iklim ... 23

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 23

5.1 Kesimpulan... 23

5.2 Saran... 24

DAFTAR PUSTAKA... 25

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Hasil Pengetahuan Masyarakat Terkait Perubahan Iklim di

Sumatera Utara (DNPI, 2009)... 12 Tabel 4.2 Tren Pengurangan Luas Panen Akibat Perubahan Curah Hujan dan

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Pengaruh Perubahan Iklim, Suhu, Lingkungan, dan Kesehatan

(IPCC, 2007)... 5 Gambar 2.2. Peta Potensi Kerentanan Demam Berdarah Dengue (DBD) Sebagai

Dampak Perubahan Iklim di Wilayah DKI Jakarta (DNPI, 2009)... 6 Gambar 2.3 Faktor Penyebab Kerentanan Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil

(IPCC, 2007) ... 6 Gambar 4.1. Diagram Pengetahuan Masyarakat Mengenai Perubahan Iklim

(DNPI, 2011)... 11 Gambar 4.2. Alur Perubahan iklim... 12 Gambar 4.3. Diagram Pengetahuan Masyarakat Terkait Daerah Rentan

Perubahan Iklim (DNPI, 2011)... 12 Gambar 4.4 Potensi Kehilangan Areal Sawah Akibat Kenaikan Ketinggian

Muka Air Laut di Provinsi Banten (DNPI, 2009)... 14 Gambar 4.5 Potensi Kehilangan Areal Sawah Akibat Kenaikan Ketinggian

Muka Air Laut di Provinsi Jawa Barat (DNPI, 2009)... 14 Gambar 4.6. Alur Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Struktur Kelembagaan DNPI (DNPI, 2012)... 27 Lampiran 2. Luas Potensi Kehilangan Lahan Sawah Akibat Kenaikan

Tinggi Muka Air Laut (DNPI, 2009)... 28 Lampiran 3. Peta Lahan Terdegradasi Akibat Kenaikan Muka Air Laut (DNPI, 2009).. 29 Lampiran 4. Peta Kerentanan Pangan Baseline di Indonesia (DNPI, 2009)... 29 Lampiran 5. Peta Kerentanan Pangan Akibat Perubahan Iklim di Indonesia

(DNPI, 2009)... 29 Lampiran 6. Kuesioner Pengetahuan Masyarakat Tentang Perubahan Iklim

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan (UU No. 31 Tahun 2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change –IPCC (2001), perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih).

Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri-industri. Pengamatan temperatur global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan iklim. Perubahan temperatur global ini ditunjukkan dengan naiknya rata-rata temperatur hingga 0,74oC antara tahun 1906 sampai tahun 2005. (IPCC, 2001). Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang berlangsung lama. Dalam jangka panjang, anomali tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut sangat beragam dan hampir mempengaruhi seluruh sektor pembangunan, termasuk diantaranya adalah kesehatan, pertanian, pangan, kehutanan, dan kawasan pesisir. Perubahan iklim ini juga menyebabkan berbagai daerah menjadi lebih rentan dari sebelumnya.

Penanggulangan masalah perubahan iklim perlu dilaksanakan oleh berbagai sektor yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, masyarakat madani, dunia pendidikan, dan masing-masing individu maupun pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat posisi Indonesia di forum

internasional dalam pengendalian perubahan iklim, maka dibentuklah Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008.

Bebagai dampak, penyebab, dan pencegahan dari perubahan iklim menjadi sorotan yang patut untuk diketahui, dibahas, dan difahami, mengingat hal itu akan menyangkut dampaknya di berbagai aspek dalam kehidupan. Kesadaran semua pihak menjadi penentu keberhasilan penganggulangan dampak dari perubahan iklim ini karena perubahan iklim tidak hanya masalah pada daerah tertentu saja, melainkan mencakup seluruh wilayah. Sosialisasi perubahan iklim harus terus dilakukan untuk meminimalisir bencana, akan tetapi faktor kefektifitasan penyampaian hasil kajian menjadi hal yang sangat penting pula untuk dapat dikaji, agar hasil dari kajian dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

1.2 Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk membahas hasil kajian yang telah dilakukan oleh DNPI terkait kerentanan perubahan iklim di sektor pangan, kesehatan, dan di kawasan pesisir terutama yang erat kaitannya dengan adaptasi perubahan iklim, serta evaluasi kegiatan sosialisasi keilmuan perubahan iklim di level nasional.

Hasil kajian diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan keikutsertaan masyarakat akan pentingnya efek bahaya dari perubahan iklim.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(14)

selatan, sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim penghujan (DNPI, 2009).

Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Diantaranya ada yang mempunyai pola munsonal, ekuatorial, dan lokal. Pola hujan tersebut dapat diuraikan berdasarkan pola masing-masing. Distribusi hujan bulanan dengan pola monsun adalah adanya satu kali hujan minimum.

Hujan minimum terjadi saat monsun timur, sedangkan saat monsun barat terjadi hujan yang berlimpah. Monsun timur terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus yaitu saat matahari berada di garis balik utara. Oleh karena matahari berada di garis balik utara, maka udara di atas benua Asia mengalami pemanasan yang intensif sehingga Asia mengalami tekanan rendah. Berkebalikan dengan kondisi tersebut di belahan selatan tidak mengalami pemanasan intensif sehingga udara di atas benua Australia mengalami tekanan tinggi. Akibat perbedaan tekanan di kedua benua tersebut maka angin bertiup dari tekanan tinggi (Australia) ke tekanan rendah (Asia) yaitu udara bergerak di atas laut yang jaraknya pendek sehingga uap air yang dibawanyapun sedikit.Dapat diamati bahwa hujan maksimum terjadi antara bulan Desember, Januari dan Februari. Pada kondisi ini matahari berada di garis balik selatan sehingga udara di atas Australia mengalami tekanan rendah sedangkan di Asia mengalami tekanan tinggi. Akibat dari hal ini udara bergerak di atas laut dengan jarak yang cukup jauh sehingga arus udara mampu membawa uap air yang banyak (monsun barat atau barat laut). Akibat dari hal ini wilayah yang dilalui oleh munson barat akan mengalami hujan yang tinggi (DNPI, 2009).

Atas dasar sebab terjadinya angin munson barat ataupun timur yang mempengaruhi terbentuknya pola hujan munsonal di beberapa wilayah Indonesia, dapat dikatakan wilayah yang terkena relatif tetap selama posisi pergeseran semu matahari juga tetap. Namun, perubahan diperkirakan akan terjadi terhadap jumlah, intensitas dan durasi hujannya. Untuk mempelajari hal ini diperlukan data curah hujan dalam seri yang panjang (Susandi, et al 2008).

Seperti telah diketahui, pemanasan global (global warming) adalah suatu fenomena

peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun, akibat terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect), yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4),

dan dinitrooksida (N2O). Sebagian dari

gas-gas rumah kaca ini terserap oleh laut. Oleh sebab itu diperlukan suatu penghitungan potensi penyerapan/ emisi karbon perairan Indonesia untuk mengetahui seberapa besar kemampuan laut Indonesia dalam menyerap karbon.

Selain itu, perlu juga dipahami dampak lain dari pemanasan global, yaitu meningkatnya kenaikan muka laut global. Di Indonesia, kenaikannya diperkirakan berkisar antara 20–100 cm dalam 100 tahun. Berdasarkan data peningkatan suhu permukaan laut dan pencairan es di daerah kutub, IPCC (1990) memperkirakan bahwa pada kurun waktu 100 tahun, terhitung mulai tahun 2000, muka air laut akan meningkat setinggi 15 – 90 cm, dengan kepastian peningkatan setinggi 48 cm (IPCC, 2007).

Oleh karena hal tersebut diatas, Pemerintah perlu mengkaji dan mempertimbangkan dampak kerentanan perubahan iklim dalam mengambil kebijakan pembangunan. Bukan hanya bergantung pada pendekatan mitigasi untuk mengurangi emisi GRK dengan teknologinya saja, melainkan pilihan adaptatif yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal yang dijalankan masyarakat perlu dilakukan juga.

DNPI telah melakukan beberapa kegiatan studi terkait kerentanan dan adaptasi di tingkat nasional, dimulai dari tahun 2009, 2010, dan 2011 dengan mengkaji kerentanan terkait perubahan iklim di level yang lebih detail, karena dinilai cukup penting untuk melihat kesiapan Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Provinsi dalam mengantisipasi dampak dari perubahan iklim.

(15)

2.1 Iklim dan Kerentanan Sebagai Dampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi.

Dampak perubahan iklim semakin nyata dirasakan. Beberapa kejadian seperti kerusakan dan penurunan kualitas sumber daya lahan dan air; penurunan produksi dan produktivitas tanaman pangan, semua itu akan mengancam ketahanan pangan dan akan berimplikasi kepada peningkatan jumlah kemiskinan. Dampak tersebut terus bertambah parah seiiring dengan terus meningkatnya ketergantungan kita pada pemanfaatan sumber energi fosil yang merupakan penyebab utama peningkatan pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim (DNPI, 2009).

Kerentanan perubahan iklim itu sendiri menurut IPCC adalah tingkatan dimana suatu sistem mudah terpengaruh terhadap, atau tidak mampu menghadapi, efek buruk dari perubahan iklim, termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrim (IPCC, 2007).

2.2 Kerentanan Pangan

Masyarakat Indonesia telah menghadapi berbagai bencana alam yang besar seperti kekeringan, banjir, perubahan dan penurunan fungsi hutan, gempa bumi, tanah longsor dan kebakaran hutan. Kuantitas dan kontinuitas produksi komoditas pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kejadian bencana alam karena faktor iklim. Bencana alam merupakan fenomena alam yang sudah biasa dihadapi oleh masyarakat Indonesia.

Pangan merupakan kebutuhan dasar primer manusia sebagai mahluk hidup yang membutuhkan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.

Perubahan iklim berpengaruh pada ketahanan pangan baik secara langsung

maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya dengan perubahan iklim maka akan terjadi perubahan kapan turunnya hujan, waktu musim tanam, banjir, kekeringan, dan lain lain. Sementara secara tidak langsung akan berpengaruh terhadapat perubahan harga karena stok yang berkurang, dan pengaruh ke distribusi makanan. Sebagai contoh di beberapa wilayah Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Nusa Tenggara Barat (NTB), pengaruh datangnya musim kering yang berubah ternyata berpengaruh besar pada produksi pertanian yang ada, demikian juga dengan beberapa wilayah lain di Jawa, seperti musim hujan yang ekstrim menyebabkan areal padi menjadi puso/ gagal panen. Pada wilayah pesisir, perubahan iklim berpengaruh pada saat turun ke laut yang terbatas karena besarnya gelombang yang menyebabkan hasil tangkapan ikan dan hasil laut lainnya menjadi lebih sedikit.

Kerentanan pangan harus dapat dikelola dengan meminimalisasi besaran kerentanan sebagai resultan dampak dari faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomik dan lingkungan hidup. Kerentanan pangan yang dapat dikelola dengan baik akan menjamin tercapainya ketahanan pangan sebagai bagian dari tujuan pembangunan nasional.

Kerentanan Rawan Pangan (KRP) di suatu daerah menurut Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan WFP (World Food Programme) tahun 2005, antara lain ditentukan oleh 4 faktor/ kriteria, yaitu :

a. Persentase luas area/lahan bervegetasi, terutama hutan;

b. Anomali curah hujan (terhadap nilai hujan rataan selama 20-30 tahun);

c. Persentase luas areal pertanian/sawah yang puso (resiko gagal panen), akibat banjir, kekeringan dan hama penyakit;

(16)

sistem produksi pangan. Food and Agriculture Organization (FAO) Committee on Food Security, Report of 31st Session (2005) mengungkapkan bahwa 11% dari lahan pertanian di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang dampaknya telah mengurangi produksi bahan pangan biji-bijian di 65 negara dan telah mengakibatkan 16% penurunan Gross Domestic Product (GDP). Secara umum, dampak perubahan iklim dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok: dampak biofisik (biophysic) dan dampak sosio-ekonomi (WHO, 2001).

Guna mengantisipasi dampak perubahan iklim khususnya ancaman terhadap ketahanan pangan dan energi, maka diperlukan kajian ilmiah yang memberikan fakta akurat mengenai hal tersebut guna membantu pemerintah dalam mengeluarkan produk-produk kebijakan dan melaksanakan aksi nyata baik di tingkat pusat maupun daerah.

Kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dapat didefinisikan sebagai tingkat kekurangberdayaan suatu sistem usahatani dalam mempertahankan dan menyelamatkan tingkat produktivitasnya secara optimal dalam menghadapi perubahan iklim. Pada dasarnya kerentanan bersifat dinamis sejalan dengan kehandalan teknologi, kondisi sosial-ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan. Kerentanan dipengaruhi oleh tingkat keterpaparan (exposure) terhadap bahaya dan kapasitas adaptif serta dinamika iklim itu sendiri. Dampak adalah tingkat kondisi kerugian, baik secara fisik, produk, maupun secara sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh ancaman perubahan iklim (DNPI, 2009).

Pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi

pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las., et al, 2008b). Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan muka laut.

Pemerintah pada dasarnya sudah menyadari bahwa aspek perubahan iklim dan ketahanan pangan akan saling berkaitan dengan jelas. Aspek iklim dan cuaca terkait dengan segala fenomena yang terjadi dalam kaitan ruang, ini menjadikan pengetahuan geografi juga menjadi sangat penting dalam perencanaan kegiatan antisipasi ketahanan pangan dalam menghadapi perubahan iklim. Diteliti lebih dalam lagi bahwa perubahan iklim terkait erat dengan beberapa aspek, misalnya terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor melibatkan aspek keruangan yang sangat jelas. Peran ilmu geografi sangat diperlukan untuk mampu memetakan wilayah-wilayah dengan kondisi fisiknya seperti kelerengan, iklim, penggunaan tanah. Sesudah itu dapat dilakukan analisis geografi yang lebih mendalam dengan membuat analisis mengenai dampak dari perubahan iklim, aktifitas manusia dalam mengelola lingkungan, dll.

Outputnya dapat digunakan dalam

pengambilan keputusan terkait dengan strategi dalam menjamin adanya ketahanan pangan bagi masyarakat.

2.3 Kerentanan Kesehatan

(17)

Gambar 2.1 Pengaruh Perubahan Iklim, Suhu, Lingkungan, dan Kesehatan (IPCC 2007) Dari sekian banyak golongan, masyarakat

miskin merupakan objek pertama yang akan terkena dampak akibat perubahan iklim. Hal ini disebabkan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan memiliki infrastruktur dasar yang kurang dari standar semestinya, serta keterbatasan akses sanitasi dan jaringan air bersih.

Berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1018/Menkes/Per/V/2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor Kesehatan Terhadap Dampak Perubahan Iklim, bekerjasama dengan beberapa instansi terkait telah merumuskan sejumlah strategi. Antara lain, melaui sosialisasi dan advokasi, pemetaan populasi dan daerah rentan, meningkatkan sistem tanggap darurat, dan menyiapkan peraturan perundangan. Strategi lainnya adalah meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan, pelatihan adaptasi untuk masyarakat, program pencegahan dan pengendalian, peningkatan kemitraan, pemberdayaan masyarakat, serta meningkatkan surveilans dan sistem nasional. Pencegahan dampak perubahan iklim ini dapat dimulai dari diri sendiri dengan berpedoman pada perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta menjaga kelestarian lingkungan (ICCSR, 2010).

Fakta terjadinya perubahan iklim dan posisi geografis Indonesia yang berada pada wilayah endemik pertumbuhan nyamuk aedes aegypti dan Anopheles menuntut masyarakat untuk siap menghadapinya. Perubahan Iklim akan mempercepat penyebaran virus Demam Berdarah Dengue (DBD), karena dengan berubahnya pola hujan, tingginya frekuensi dan tidak teraturnya kejadian hujan serta suhu yang menghangat akan meningkatkan jumlah nyamuk seiring dengan proses perkembangbiakan nyamuk aedes aegypti dan

(18)

Gambar 2.2 Peta Potensi Kerentanan DBD Sebagai Dampak Perubahan Iklim di Wilayah DKI Jakarta (DNPI, 2009)

2.4 Kerentanan Kawasan Pesisir

Gambar 2.3 Faktor Penyebab Kerentanan Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil (IPCC, 2007) Kawasan Pesisir adalah daerah yang

paling rentan terhadap perubahan iklim. Sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia adalah dataran rendah daerah pantai yang merupakan salah satu areal potensial untuk perkembangan budidaya ikan, dan pertanian. Indonesia menjadi sangat rentan terhadap kenaikan tinggi muka air laut, terutama dengan penduduk yang padat di kawasan

(19)

sehingga dampak perubahan iklim bisa dikurangi.

Perubahan iklim utamanya akan berdampak pada masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan mereka yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dan perikanan yang peka iklim. Hal ini berarti, 65 persen masyarakat Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir akan terpengaruh, baik yang berada di kota pesisir yang padat penduduk, maupun masyarakat desa nelayan. Hal ini juga berarti, masyarakat pedesaan yang memilki penghidupan dari aktivitas yang berhubungan dengan pertanian, perikanan dan hutan, akan sangat terpukul. Sayangnya, masyarakat ini umumnya adalah masyarakat termiskin di Indonesia, yang memiliki sumber daya terbatas dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Masyarakat pesisir sudah beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi di wilayah pesisir, namun perubahan iklim akan menyebabkan perubahan yang berbeda baik terhadap dinamika pesisir maupun terhadap perubahan muka laut yang dramatis. Dari berbagai fakta di lapangan dan hasil prediksi berbagai model fisis, terbangun sebuah asumsi bahwa perubahan sifat fisis perairan pesisir akan berlangsung secara bertahap dan bersifat moderat.

Kenaikan muka laut merupakan dampak perubahan iklim yang dapat dipahami dan dirasakan secara langsung. Banjir pasang (penggenangan), banjir, abrasi/erosi dan intrusi air laut adalah beberapa aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang akan menimbulkan kerugian.

2.5 Adaptasi Perubahan Iklim

Adaptasi adalah berbagai tindakan penyesuaian diri terhadap kondisi atau dampak perubahan iklim yang terjadi. Saat ini, proses adaptasi sudah mulai dilakukan, namun terbatas. Umumnya kegiatan yang dilakukan merupakan respons dari interpretasi yang sifatnya spesifik, misalnya adaptasi terhadap peningkatan suhu rata-rata atau kalender tanam pada sektor pangan; pemeliharaan fasilitas kesehatan masyarakat pada sektor kesehatan dan pembuatan bendungan di kawasan pesisir.

2.6 Dewan Nasional Perubahan Iklim

DNPI merupakan suatu badan pemerintahan non-departemen yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 dengan maksud untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim. Adapun peran dan fungsi dari DNPI diantaranya:

- Merumuskan kebijakan nasional, strategi program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim;

- Mengoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan;

- Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon;

- Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim;

- Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.

Dalam struktur kelembagaan, DNPI diketuai oleh Presiden Republik Indonesia, dengan Prof. (Hon). Ir. Rachmat Witoelar sebagai Ketua Harian dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Wakil Ketua. Anggota dari DNPI terdiri dari Menteri-menteri, Sekretariat, dan Kepala Badan yang terkait dengan permasalahan perubahan iklim.

(20)

anggota dimana ketua/wakil ketua/sekretaris serta anggota dari masing-masing kelompok kerja berasal dari berbagai Kementerian/Lembaga maupun dari akademisi/profesional yang ada dan terkait dengan perubahan iklim dan sudah aktif melaksanakan tugas dan fungsinya terkecuali, Pokja Basis Ilmiah dan Inventarisasi Gas Rumah Kaca yang belum aktif (Lampiran 1).

Organ selanjutnya adalah Sekretariat, yang berfungsi sebagai wadah pendukung untuk dewan dan pelaksanaan berbagai koordinasi. Sekretariat ini terdiri dari beberapa divisi, antara lain: Divisi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE), Mekanisme Perdagangan Karbon (MPK); Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Keputusan Dewan (PEPKD); Peningkatan Kapasitas Penelitian dan Pengembangan; Perencanaan, Peraturan dan Kerjasama; Serta Divisi Administrasi Umum. Seperti halnya dengan kelompok kerja, masing-masing divisi memiliki unit-unit kerja pendukung dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan dan sudah berjalan sampai saat ini, terkecuali Divisi Perencanaan, Peraturan dan Kerjasama yang belum aktif.

Divisi KIE adalah salah satu bagian dari divisi di DNPI yang fokus pada pemberian penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai perubahan iklim melalui berbagai sarana komunikasi yang sesuai dengan sasaran yang dituju serta merumuskan strategi komunikasi perubahan iklim yang sesuai baik itu, dalam skala global maupun nasional.

Pokja Adaptasi DNPI mengetengahkan pada prioritas program adaptasi pertanian, pengurangan resiko bencana, penyebaran informasi perubahan iklim, pengembangan rencana pembangunan yang integratif terhadap perubahan iklim, penguatan rencana infrastruktur dan desain terhadap dampak cuaca ekstrim dan perubahan iklim.

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Kajian

3.1.1 Tempat Kajian

Bentuk tugas akhir yang dilakukan adalah berupa praktek lapang yang bertempat di Divisi KIE DNPI, Jakarta. Alasan pemilihan

ini didasari oleh hasil peninjauan terhadap berbagai Instansi/Lembaga Pemerintah yang memiliki program-program yang memiliki relevansi terhadap tema dari tugas akhir yang sedang dikembangkan.

3.1.2 Waktu Kajian

Kajian dilaksanakan dalam dua tahap meliputi:

1. Praktek lapang yang dilakukan di DNPI.

2. Tinjauan hasil kajian kerentanan terkait adaptasi perubahan iklim.

Tahapan yang dilakukan merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi, yaitu data yang diperoleh pada tahap pertama dipadukan dan dielaborasi dengan tahap kedua yang dipergunakan dalam penulisan tugas akhir.

Tahap pertama, yaitu praktek lapang dilaksanakan di Divisi KIE DNPI pada bulan Mei 2011 sampai dengan bulan November 2011. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai DNPI dan Divisi KIE, serta gambaran pendukung lainnya mengenai kerentanan perubahan iklim dan adaptasinya serta sosialisasi dari keilmuan perubahan iklim secara umum.

Tahapan selanjutnya adalah tahap dua. Pada tahapan ini dilakukan tinjauan terhadap hasil kajian kerentanan yang dilakukan DNPI pada tahun 2009, 2010, dan 2011, hingga pada proses penulisan tugas akhir yang dilakukan dan dilaksanakan pada bulan November 2011 hingga Januari 2012 (Lampiran 7).

3.2 Batasan Kajian

(21)

3.3 Teknik Kajian

3.3.1 Jenis Data

Dalam kajian yang dilakukan, data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif, berupa data primer dan sekunder. Data kuantitatif merupakan data yang disajikan dalam bentuk angka yang dalam kajian ini berupa data statistik, literatur, dan laporan atau publikasi lainnya yang berbentuk angka, sedangkan data kualitatif merupakan pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan, tanggapan-tanggapan, dan lain-lain tentang sesuatu keadaan yang berhubungan dengan kehidupan manusia.

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil survey dalam bentuk kuesioner dan wawancara, diskusi kelompok, focused group discussion (FGD) dan lokakarya yang dilakukan dan diikuti. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data informasi statistik, literatur, dan laporan kajian atau publikasi serta kegiatan studi kepustakaan terhadap berbagai dokumen dan arsip serta data pendukung yang ada yang bersumber dari instansi-instansi terkait.

3.3.2 Cara Pengumpulan Data Kajian

Teknik Pelaksanaan beberapa hasil kajian yang telah dilakukan, melalui pendekatan yang mencakup:

3.3.2.1 Studi Dokumentasi/Arsip

Studi dokumentasi ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan atau literatur (laporan, catatan, serta arsip lainnya) yang bersumber dari instansi-instansi terkait serta data pendukung lainnya mengenai aspek-aspek yang terkait dengan kerentanan adaptasi perubahan iklim, terutama kerentanan pangan, kerentana kesehatan, dan kerentanan di kawasan pesisir, serta pengembangannya yang relevan dengan topik yang sedang dilakukan.

3.3.2.2 Aktifitas Magang di DNPI

3.3.2.2.1 Focus Group Discussion (FGD). FGD ketika pengamatan di Makassar dan Gorontalo terbagi menjadi tiga tahapan. Tahapan pertama dilakukan sebagai pembuka kegiatan pengamatan kajian, dengan mempresentasikan kepada Pemerintah Daerah

mengenai teknik kajian yang dilakukan, sasaran kajian, dan target hasil dari kajian ini. FGD kedua dilakukan untuk melaporkan hasil data dan kesimpulan sementara yang telah didapat, untuk memproyeksikan gambaran keadaan yng nantinya akan didapati. FGD ketiga adalah untuk mempresentasikan hasil akhir yang terjadi di dearah tersebut, baik dampak, dan solusi yang mereka harus lakukan untuk dapat mengurangi efek dari perubahan iklim.

3.3.2.2.2 Wawancara dan Pengisian Kuesioner

Kegiatan survei lapang ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi dari dampak perubahan iklim yang telah dirasakan langsung oleh masyarakat. Data dan informasi ini selanjutnya digunakan sebagai bahan klarifikasi, konfirmasi, dan perbandingan dari hasil analisis data-data sekunder yang meliputi data iklim, dan hasil studi literatur.

Wawancara dilakukan oleh seorang pewawancara dan seorang narasumber dengan memberikan pertanyaan langsung kepada mereka. Jawaban setiap pertanyaan yang diberikan dituliskan oleh pewawancara di lembar kuesioner. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemahaman yang berbeda dari masyarakat terkait soal yang diajukan. Sesi wawancara ini dilakukan dengan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat, sehingga apa yang ditanyakan dan dijawab oleh mereka itu sesuai.

3.4 Metode Analisis Kajian

Metode analisis kajian ini terbagi menjadi beberapa bagian:

3.4.1 Identifikasi Hasil Kajian DNPI

(22)

3.4.2 Analisis Keterkaitan Perubahan Iklim dengan Sektor Lain

Hasil identifikasi selanjutnya dianalisis terkait keterkaitan perubahan iklim dengan kerentanan pangan, kesehatan, dan di kawasan pesisir. Beberapa indikator perubahan iklim adalah kecenderungan peningkatan suhu udara, perubahan pola distribusi hingga intensitas curah hujan yang meningkat dan nantinya berpengaruh pada seluruh aspek.

3.4.3 Pengembangan Startegi Adaptasi

Hasil analisis keterkaitan perubahan iklim dan sektor, nantinya akan menghasilkan solusi adaptasi yang dapat disimpulkan untuk menjadi bagian dari strategi adaptasi perubahan iklim sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut di kehidupan masyarakat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Iklim di Indonesia

Iklim di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh sirkulasi monsun Asia dan Australia yang dicirikan oleh sistem angin dekat permukaan yang berubah arah hampir sekitar setengah tahun sekali. Perubahan tersebut menyebabkan pula perubahan musim yang utama yakni musim penghujan dan musim kemarau. Dalam literatur mengenai monsun Asia, dikenal dengan adanya summer monsoon dalam periode Juni-Juli-Agustus (JJA) dan winter monsoon dalam periode Desember-Januari-Februari (DJF). Periode ini kurang lebih sama dengan apa yang dikenal masyarakat awam di Indonesia dengan istilah “Musim Timur“, yang identik dengan musim kemarau dan “Musim Barat“ untuk musim penghujan (khususnya di Pulau Jawa) (DNPI, 2009).

Iklim di Indonesia telah menjadi lebih hangat selama abad 20. Suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0,3oC sejak 1900 dengan suhu tahun 1990-an merupakan dekade terhangat dalam abad ini dan tahun 1998 merupakan tahun terhangat, hampir 1oC di atas rata-rata tahun 1961-1990. Peningkatan kehangatan ini terjadi dalam semua musim di tahun itu. Curah hujan tahunan telah turun sebesar 2 hingga 3 persen di wilayah Indonesia di abad ini dengan pengurangan

tertinggi terjadi selama perioda Desember- Febuari, yang merupakan musim terbasah dalam setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia dipengaruhi kuat oleh kejadian El Nino dan kekeringan umumnya telah terjadi selama kejadian El Nino terakhir dalam tahun 1082/1983, 1986/1987 dan 1997/1998. Perubahan yang terjadi itulah yang membuat Indonesia menjadi negara yang sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim (DNPI, 2009).

Secara umum, fenomena El Nino dicirikan oleh menghangatnya suhu muka laut seiring dengan melemahnya angin timuran di tengah Pasifik sehingga daerah pertumbuhan awan dan pembentukan hujan yang biasanya terdapat di Pasifik Barat (termasuk wilayah Indonesia) bergeser ke Pasifik Tengah Sebaliknya, La Nina adalah terkait dengan mendinginnya suhu muka laut seiring dengan menguatnya angin timuran di Pasifik Tengah. Hal ini menyebabkan peningkatan aktivitas pembentukan awan dan hujan di Pasifik Barat dan sebagian wilayah di Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan terhadap ancaman dan dampak dari perubahan iklim sehingga harus lebih waspada. Perubahan iklim mengakibatkan peningkatan frekuensi dan magnitute dari cuaca ekstrim dan meningkatkan potensi bencana iklim (banjir, kekeringan dan anomali curah hujan).

Hasil kajian dan studi literatur menunjukkan bahwa perubahan iklim menyebabkan peningkatan variabilitas dan peningkatan anomali curah hujan di beberapa wilayah berupa tren penurunan curah hujan serta pergeseran musim. Perlu dikaji lebih dalam untuk menentukan tren jangka panjang yang diakibatkan perubahan iklim atau variasi yang terjadi dalam jangka tahunan. Diprediksi bahwa sampai tahun 2050 peningkatan suhu udara terkait pemanasan global di Indonesia dapat mencapai 2°C dengan variasi yang beragam di berbagai wilayah.

Kajian IPCC, organisasi yang dibentuk tahun 1988 oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Program Lingkungan PBB (UNEP), memperkirakan Indonesia akan mengalami kenaikan suhu 1-4 derajat celsius pada tahun 2050 (IPCC, 2007).

(23)

dipastikan, namun beberapa yang diperkirakan akan sangat signifikan, yaitu:

• Curah hujan yang lebih tinggi.

Diperkirakan, akibat perubahan iklim, Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun, serta musim hujan yang lebih pendek (lebih sedikit jumlah hari hujan dalam setahun), yang menyebabkan resiko banjir meningkat secara signifikan.

• Kenaikan permukaan air laut.

Daerah berpopulasi padat akan sangat dipengaruhi oleh kenaikan permukaan air laut. Ada sekitar 40 juta masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10m dari permukaan air laut rata-rata, yang berarti sangat rentan terhadap perubahan permukaan air laut.

• Ketahanan pangan.

Perubahan iklim akan mengubah curah hujan, penguapan, limpasan air, dan kelembapan tanah; yang akan mempengaruhi produktivitas pertanian. Kesuburan tanah akan berkurung 2-8 persen dalam jangka panjang, yang akan berakibat pada penurunan produksi tahunan padi sebesar 4 persen, kedelai sebesar 10 persen, dan jagung sebesar 50 persen. Sebagai tambahan, kenaikan permukaan air laut akan menggenangi tambak di pesisir, dan berpengaruh pada produksi ikan dan udang di seluruh negeri.

• Pengaruh pada keanekaragaman bahari. Diperkirakan bahwa iklim yang

berubah akan meningkatkan suhu air laut Indonesia sebesar 0.2 – 2.5oC. Hal ini akan menambah tekanan pada 50,000 km2 terumbu karang, yang sudah dalam keadaan darurat. Pemutihan terumbu karang diperkirakan akan meningkat secara konstan pada suhu air laut, seperti yang diamati pada saat terjadinya El Nino.

• Peningkatan berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan vektor.

Walaupun hubungan antara perubahan iklim dan masalah kesehatan belum banyak diteliti, ada potensi bahwa berjangkitnya penyakit yang dibawa air dan vector akan meningkat. Beberapa berspekulasi bahwa peningkatan berjangkitnya kasus demam berdarah selama musim hujan di Indonesia,

sebagiannya mungkin saja disebabkan oleh iklim yang lebih hangat (World Bank, 2010).

Berbagai wilayah di Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim dan memerlukan upaya adaptasi, misalnya terhadap perubahan curah hujan, kekurangan air/kekeringan, banjir, kenaikan muka air laut, cuaca ekstrim, dan penyakit menular. Hingga saat ini Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam menangani dampak perubahan iklim, yang diperkirakan akan semakin membahayakan pencapaian target pembangunan jangka panjang apabila tidak dilakukan antisipasi.

4.2 Analisis Pengetahuan Masyarakat Mengenai Perubahan Iklim.

4.2.1 Persepsi/ Pengetahuan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim

Secara umum hampir semua masyarakat yang terdiri dari bebagai sektor, baik itu dari sektor pemerintah, swasta, pendidikan, maupun dari masyarakat mengetahui adanya perubahan yang terjadi pada iklim saat ini, dan hanya sebagian kecil yang tidak tahu.

Gambar 4.1 Diagram Pengetahuan Masyarakat Mengenai Perubahan Iklim (DNPI, 2011)

Berbagai masyarakat yang mengetahui adanya perubahan iklim merasakan perubahan itu sejak sepuluh tahun terakhir. Mereka merasakannya fenomena perubahan iklim dengan suhu udara yang semakin panas, curah hujan yang tinggi di waktu tertentu namun di waktu lain sangat jarang, musim kemarau yang lebih panjang, pergeseran masa tanam dan masa panen, sehingga menggeser pula produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan sektor lainnya yang terkena dampak dari

Ya 97% Tidak

3%

(24)

perubahan iklim, karena kurangnya pasokan air (Tabel 4.1).

Gambar 4.1 menunjukan respon masyarakat sebesar 97% dari semua kalangan usia sudah mengetahui terjadinya perubahan iklim dan hanya sebagian kecil masyarakat yang tidak tahu akan terjadinya perubahan iklim yaitu sebesar 3% beralasan bahwa perubahan yang terjadi hanyalah bersifat alamiah, jadi merupakan sesuatu hal yang wajar.

Tabel 4.1 Hasil Pengetahuan Masyarakat Terkait Perubahan Iklim di Sumatera Utara (DNPI, 2009)

No Kabupaten/Kota Persepsi/Pengertian Perubahan Iklim

1 Kab. Deli Serdang

Cuaca semakin panas, curah hujan tidak menentu, banjir 2 Kab. Simalungun Cuaca semakin panas, air

semakin sulit

3 Kab. Asahan Udara menjadi panas, air sulit

4 Kab. Dairi Udara semakin panas, air sulit, kekeringan 5 Kab. Tobasa

Suhu udara semakin panas, air sulit, kekeringan 6 Kab. Tapanuli

Tengah

suhu udara menjadi panas, hujan tidak menentu, banjir 7 Kota Medan

Suhu udara semakin panas, air bersih sulit, banjir

8 Kota Sibolga

cuaca semakin panas, banjir, sulit air pada waktu tertentu

Berdasarkan dari data masyarakat yang terdapat pada 3 kajian DNPI (2009, 2010, dan 2011) mengenai kerentanan perubahan iklim, didapati bahwa masih banyak korespoden mengetahui perubahan iklim itu hanya pada dampak yang ditimbulkan, bukan pada keilmuan perubahan iklim itu sendiri, yang mana melalui proses pada Gambar 4.2. Pada gambar tersebut, dijelaskan urutan/alur terjadinya perubahan iklim hingga berpotensi menjadi bencana.

Gambar 4.2 Alur Perubahan Iklim (DNPI, 2011)

Masyarakat pada umumnya keliru mengenai maksud dan pengertian dari efek rumah kaca. Banyak masyarakat menilai efek rumah kaca adalah efek dari banyaknya rumah dan gedung-gedung yang berkaca. Sedangkan yang sebenarnya kita ketahui, bahwa efek rumah kaca adalah ungkapan kiasan yang bemakna terjadinya pemanasan yang terjadi di bumi seperti efek pemanasan yang terjadi di dalam sebuah rumah kaca.

Gambar 4.3 Diagram Pengetahuan Masyarakat Daerah Rentan Perubahan Iklim (DNPI, 2011)

Risiko Bencana Perubahan Iklim Pemanasan Global

Efek Rumah Kaca Emisi Gas Rumah Kaca

0

Daerah Rentan Perubahan Iklim

(25)

Pengetahuan masyarakat terkait perubahan iklim semakin membaik dikarenakan sosialisasi dan kepeduliaan masyarakat untuk dunia dan lingkungan di Indonesia yang baik semakin membesar. Hal tersebut ditunjang dengan diagram hasil kuesioner yang diisi oleh masyarakat pada Gambar 4.3 mengenai pengetahuan mereka tentang daerah yang rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Dari data tersebut menunjukkan kawasan perkotaan menjadi daerah yang terpaling rentan dikarenakan banyaknya Sumber Daya Manusia di daerah tersebut. Sedangkan kawasan pantai termasuk kedalam daerah rentan, dikarenakan efek dari pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim mencairkan es di kutub utara sehingga menaikkan tinggi muka air laut dunia.

4.2.2 Indikator Perubahan Iklim

Fenomena perubahan iklim yang dirasakan berbagai sektor hampir sama dengan pengertian perubahan iklim yang dimengerti oleh mereka. Dimulai dari perubahan suhu atau cuaca yang semakin panas, curah hujan yang tidak menentu, berkurangnya pasokan air bersih, perubahan pola tanam dan masa panen hingga terjadinya banyak bencana yang terjadi saat ini.

Sedangkan menurut IPCC itu sendiri ada beberapa indikator terkait perubahan iklim, salah satunya adalah temperatur, dimana IPCC tahun 1990, 1992 dan 2001 dalam laporannya menyatakan bahwa sejak 140 tahun lalu, rata-rata temperatur udara permukaan bumi mengalami peningkatan sekitar 0.45 ± 0.15 derajat Celsius (IPCC, 2007).

Fenomena perubahan iklim yang dirasakan masyarakat pada umumnya berupa:

a. Perubahan suhu udara atau cuaca yang semakin panas;

b. Curah hujan yang tidak menentu; c. Perubahan pola musim;

d. Terjadinya badai atau puting beliung; e. Kekeringan;

f. Banyaknya bencana yang terjadi;

4.3 Analisis Keterkaitan Perubahan Iklim dengan Sektor lain.

4.3.1Analisis Pengaruh Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir.

Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air laut, sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar pulau Greenland (di sebelah utara Kanada), sehingga akan meningkatkan volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama abad ke-20. Para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad ke-21 sekitar 9 - 88 cm. Dengan merujuk kajian IPCC secara global dan UNDP untuk wilayah Indonesia, maka peningkatan tinggi muka air yang disimulasikan adalah sebesar 0.5 dan 1 meter (ICCSR, 2010).

IPCC (2007) melaporkan bahwa peningkatan tinggi muka air laut secara global sejak permulaan abad ke 20 dengan kecenderungan laju peningkatan yang semakin tinggi. Berbagai skenario peningkatan suhu udara global menduga bahwa peningkatan tinggi muka air laut adalah berkisar antara 0.18 – 0.59 meter pada akhir abad 21. Untuk kawasan Indonesia dengan karateristik wilayah kepulauan yang sangat banyak, UNDP (2007) menyatakan bahwa dampak perubahan iklim dalam hal peningkatan suhu global dapat meningkatkan tinggi air laut antara 0.9 hingga 1 meter terdapat variasi yang besar dari laju peningkatan tinggi muka air laut yang terukur pada berbagai stasiun observasi di Indonesia. Variasi yang besar tersebut disebabkan oleh proses erosi pesisir pantai yang tidak seragam bersamaan dengan penurunan permukaan tanah (land subsiding) di daerah pesisir. Namun hasil pengukuran tersebut memberikan bukti bahwa peningkatan tinggi muka air laut memang terjadi dengan besaran yang bervariasi.

(26)

dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai.

Hasil analisis citra satelit untuk penutupan lahan di Indonesia menunjukkan bahwa luas areal pertanian sawah sebesar 6,898,335 ha atau sebesar 3.48% dari luas total daratan. Hampir setengah atau sebesar 49.72% dari areal persawahan tersebut terletak di Pulau Jawa. Hal ini berarti bahwa penyumbang produksi padi yang terbesar

adalah berasal dari Pulau Jawa. Gambar 4.4 dan Gambar 4.5 menggambarkan proyeksi besarnya kehilangan luas areal sawah karena peningkatan tinggi muka air laut berkisar antara 0,5-1 mdpl, dimana luas areal yang hilang akibat kenaikan tinggi muka air laut adalah bagian utara, dan seperti yang kita ketahui bagian utara adalah daerah penghasil pangan di Pulau Jawa. Hasil proyeksi kajian seperti ini akan membantu pemerintah untuk dapat meminimalisir dampak dan kerugian di akibat dampak dari perubahan iklim di waktu mendatang (DNPI, 2009).

Gambar 4.4 Potensi Kehilangan Areal Sawah Akibat Kenaikan Ketinggian Muka Air Laut di Provinsi Banten (DNPI, 2009)

(27)

Hasil Analisis yang dilakukan dengan skenario peningkatan 50 cm tinggi muka air laut, maka Indonesia berpotensi kehilangan luas lahan pertanian sawah sebesar 322.091 ha atau 4.67%. Sedangkan dengan skenario peningkatan 1 m tinggi muka air laut, maka Indonesia berpotensi kehilangan luas lahan pertanian sawah sebesar 346.850 ha atau 5.03%. Potensi kehilangan ini belum termasuk kehilangan lahan pertanian karena alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lainnya yang banyak terjadi di Pulau Jawa (DNPI, 2009).

Aspek adaptasi akan perubahan iklim menjadi hal yang harus diperhatikan sejalan dengan meningkatnya permukaan laut. Wilayah-wilayah pantai mengalami kemunduran garis pantai dan suatu waktu akan menyebabkan wilayah terbangun tersebut menjadi wilayah tergenang. Para ahli memperkirakan, pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim akan berdampak pada rusaknya berbagai ekosistem darat maupun laut. Lebih ekstrim lagi, diperkirakan akibat pemanasan global, pulau-pulau di Pasifik akan tenggelam. Bagaimana dengan Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan. Meski tidak sampai menenggelamkan pulau, dampak perubahan iklim telah terlihat di sebagian besar kawasan di Indonesia, terutama area pesisir.

Salah satu dampak yang terjadi akibat kenaikan muka air laut lainnya adalah di daratan Banjarmasin yang merupakan salah satu daerah kajian, diproyeksikan akan hilang karena kenaikan muka laut dan akan berdampak juga pada beberapa sektor perekonomian di Banjarmasin. Estimasi dampak sosial dan ekonomi yang terjadi sebagai akibat dari genangan air di Banjarmasin adalah :

• Terganggunya lalu lintas jalan raya. • Munculnya genangan-genangan air di

wilayah perkotaan.

• Berkurangnya lahan-lahan produktif

di sektor pertanian.

• Bekunya aktifitas-aktifitas industri

dan bisnis diakibatkan

kerusakan/terganggunya infrastruktur-infrastruktur.

Kerusakan ekosistem lainnya yang diperkirakan terjadi akibat pemanasan global adalah pemutihan terumbu karang. Saat tekanan yang dialami komunitas terumbu karang meningkat, organisme yang hidup di terumbu karang menghilang. Akibatnya,

terumbu karang memutih (bleaching). Hal ini akan berdampak serius bagi kelestarian terumbu karang dan kehidupan biota laut serta masyarakat pesisir. Lebih dari 50 persen sektor perekonomian di Indonesia bertumpu pada area pesisir. Kota-kota besar rata-rata di daerah pesisir.

4.3.2 Analisis Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan Pangan

Ketahanan pangan suatu negara tergantung pada besarnya bencana yang dihadapinya dan keberdayaan dari masyarakat terhadap pengendalian bencana tersebut. Suatu negara yang mengalami kerawanan pangan kronis, situasinya dapat semakin buruk jika semakin besar bencana yang dialaminya. Suatu negara yang mengalami bencana dadakan kecepatan pemulihan kearah situasi normal ditempuh dengan beberapa tahapan. Ini adalah yang telah terjadi di Indonesia, negara yang mengalami pertumbuhan cepat hingga tahun 1998. Kemudian adanya El Nino tahun 1998 bergabung dengan keterpurukan ekonomi tahun 1998 dan negara masih belum pulih sepenuhnya keluar dari krisis.

Kerentanan didefinisikan sebagai kondisi-kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang meningkatkan kerawanan suatu masyarakat terhadap dampak ancaman bencana. Sementara itu, pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Ancaman bencana kekurangan pangan merupakan kondisi yang dapat terjadi sebagai akibat kerentanan pangan yang tidak dapat dikelola dengan baik.

(28)

di lingkup daerah maupun nasional yang dapat mengganggu proses pembangunan nasional menuju masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, faktor-faktor utama kerentanan pangan terkait dengan faktor fisik dan lingkungan hidup serta faktor sosial ekonomi. Faktor fisik dan lingkungan hidup saat ini banyak menjadi isu utama terkait dengan perubahan dan degradasi lingkungan global yang dikhawatirkan berpengaruh terhadap proses penyediaan bahan pangan melalui sektor pertanian. Isu utama yang dikaitkan dengan kerentanan pangan saat ini dan menjadi bagian dari pembahasan global adalah isu peningkatan suhu udara dan perubahan pola serta distribusi curah hujan terkait dengan fenomena perubahan iklim. Sektor pertanian sepantasnya mendapatkan perhatian yang lebih besar terkait dengan fenomena perubahan iklim, karena keberhasilan produksi pertanian sangat tergantung pada kondisi iklim. Ketergantungan terhadap iklim yang tinggi ini mengakibatkan sektor pertanian memiliki peran penting dalam perdebatan mengenai adaptasi terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim terhadap produksi padi relatif bervariasi di wilayah studi. Bervariasinya produksi padi ini tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan iklim yang terjadi, akan tetapi masih banyak faktor yang mempengaruhi produksi padi seperti halnya ketersediaan pupuk, pestisida dan keberadaan irigasi.

Kegiatan pertanian sangat dipengaruhi oleh berbagai fenomena cuaca dan iklim yang terjadi baik dalam skala temporal singkat

(menit, jam, hari) sampai skala temporal bulanan (musim). Dengan mengasumsikan faktor lain seperti kualitas lahan, benih, pupuk, dan teknik budidaya dalam kondisi optimal, maka faktor unsur cuaca dan iklim utama (suhu, radiasi, dan curah hujan) menjadi penting dalam proses produksi pertanian untuk menghasilan luas panen dan produktivitas maksimum per satuan lahan.

Perubahan iklim yang terjadi disebabkan oleh peningkatan suhu udara global yang selanjutnya menyebabkan peningkatan anomali curah hujan dan pergeseran musim. Untuk sektor pertanian tanaman pangan, dampak perubahan iklim yang terjadi diantaranya :

1. Awal musim kemarau yang lebih cepat, menyebabkan luas dan intensitas kekeringan meningkat. 2. Peningkatan curah hujan pada musim

hujan yang menyebabkan intensitas banjir meningkat.

3. Perubahan pola tanam yang menyebabkan peningkatan intensitas serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), perubahan status OPT, dan peningkatan virulensi/patogenitas.

4. Menurunnya kapasitas lahan atau tangkapan air untuk keperluan. Kenaikan suhu akan mempengaruhi dan menurunkan produksi pangan. Tetapi, karena Indonesia sangat luas dan setiap daerah memiliki pola iklim lokal berbeda, pengaruh itu tidak dapat disamaratakan untuk seluruh wilayah.

(29)

Kenaikan suhu yang bervariasi dengan berbagai skenario antara 0,5°C – 2,0°C (Tabel 4.2), dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan air tanaman melalui evapotranspirasi sehingga akan mengurangi luas sawah yang dapat diirigasi. Dengan demikian, luas panen diduga akan berkurang karena penurunan pasokan air irigasi dibandingkan dengan total luas sawah yang ada. Penurunan luas panen total akibat penurunan pasokan air irigasi tersebut diduga terjadi diseluruh provinsi di Pulau Jawa dan Kalimantan Selatan (DNPI, 2009).

Prediksi pengaruh curah hujan terhadap luas panen tanaman padi dilakukan berdasarkan hubungan antara jumlah curah hujan dengan luas panen tanaman padi ladang yang keduanya mengandalkan pasokan air dari hujan. Pengaruh periode musim hujan dianggap telah termasuk dalam hubungan antara curah hujan dengan luas panen.

Perubahan hujan yang terjadi juga dipengaruhi oleh peningkatan suhu udara sebagai bagian dari perubahan iklim yang terjadi. Suhu udara yang tinggi akan memicu peningkatan evapotranspirasi potensial. Namun kehilangan evaportranspirasi yang tinggi tidak selalu diikuti oleh pembentukan awan yang kuat untuk terjadinya hujan. Walau dengan pertimbangan bahwa luas padi ladang di Indonesia juga relatif kecil, namun pengurangan sampai 10% dari luas panen tersebut cukup berarti seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan bahan pangan beras.

Produksi atau hasil panen padi merupakan akhir dari suatu proses konversi energi radiasi surya melalui proses fotosintesis yang juga merupakan kombinasi dari berbagai faktor baik fisik maupun non fisik. Faktor iklim merupakan salah satu faktor utama dengan asumsi berbagai faktor nonfisik seperti teknik budidaya dan lain-lain berada pada kondisi optimal dan bukan merupakan faktor pembatas. Produksi atau hasil panen padi di Indonesia merupakan fungsi dari luas panen yang setiap tahun relatif berfluktuasi terkait dengan berbagai bencana karena pengaruh faktor iklim.

Berbagai faktor fisik dan non fisik akan menentukan hasil produksi per satuan luas panen yang disebut sebagai produktivitas. Berdasarkan data statistik, produksi atau hasil panen padi di Indonesia meningkat setiap tahun. Namun peningkatan hasil panen atau produksi ini terkait dengan peningkatan luas

lahan sawah yang ditanami, tidak terkait langsung dengan kondisi iklim yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Curah hujan akan menentukan ketersediaan air bagi tanaman yang ditanam, terutama pada pertanaman padi di lahan tadah hujan. Namun pada lahan beririgasi, anomali curah hujan juga berdampak pada penyediaan air melalui irigasi. Anomali curah hujan negatif yang ditunjukkan oleh curah hujan tahunan di bawah rataan 30 tahun dapat mengidentifikasikan potensi berkurangnya air irigasi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi Ketahanan Pangan adalah aspek kerentanan (vulnerability) yang menunjukkan kondisi faktor lingkungan berpotensi mengalami rawan bencana, sehingga dapat menyebabkan kegagalan panen/produksi pangan. Rawan pangan merupakan salah satu bencana kemanusiaan yang terjadi akibat daya dukung lahan dan lingkungan untuk menunjang produksi pangan tidak optimal serta faktor ekonomi, sosial dan budaya. Faktor-faktor lahan dan kondisi lingkungan termasuk perubahan iklim yang menurun dapat menyebabkan kerentanan yang meningkat terhadap bencana ekologis, yaitu kegagalan panen dan produksi pangan, sehingga menimbulkan kondisi rawan pangan.

Hasil analisis kerentanan pangan akibat dampak perubahan iklim atau dengan menambahkan faktor lahan sawah yang terdegradasi akibat kenaikan tinggi muka air laut menyajikan beberapa perubahan peringkat pada indeks kerentanan (Lampiran 3, 4, dan 5).

(30)

Tabel 4.3. Perbandingan Pola Tanam di Daerah Kajian (DNPI, 2009)

Provinsi Pola tanam 5 Tahun Lalu Sekarang

Kalimantan

Selatan Padi-Padi Padi-Padi

Banten Padi-Padi Padi-Padi

Jawa Barat Padi-Padi Padi-Padi Jawa

Tengah Padi-Padi Padi-Padi

DIY Padi-Padi-Jagung Padi-Padi-Jagung Jawa Timur Padi-Padi-Padi Padi-Padi-Padi

4.3.3 Analisis Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Kerentanan Kesehatan

Perubahan iklim sebagai implikasi pemanasan global, disebabkan oleh kenaikan gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4), mengakibatkan dua

hal utama yang terjadi di lapisan atmosfer paling bawah, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut diantaranya adalah :

• Semakin banyak penyakit (Tifus, Malaria, Demam, dll.);

• Mengancam ketersediaan air;

• Mengakibatkan pergeseran musim dan perubahan pola hujan;

Perubahan iklim dapat mempengaruhi transmisi beberapa penyakit. Sebagai contoh, vektor dan parasit malaria sensitif terhadap temperatur sehingga distribusi dan transmisi malaria dipengaruhi oleh perubahan iklim (Gambar 4.6). Secara umum faktor-faktor iklim makro dan mikro berpengaruh terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan, umur, dan distribusi vektor malaria. Curah hujan berpengaruh terhadap tipe dan jumlah habitat perkembangbiakan, temperatur serta kelembaban nisbi. Faktor-faktor iklim tersebut dapat meningkatkan atau mengurangi kepadatan populasi serta kontak manusia dengan vektor.

Gambar 4.6 Alur Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan (Patz et al, 2000) Kapasitas adaptasi dalam sektor

kesehatan meliputi kemampuan sistem pelayanan tubuh dan kesiapan komunitas untuk menghadapi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. Indikator kapasitas adaptasi yang sering digunakan adalah sumber daya ekonomi, ketersediaan dan akses terhadap teknologi, informasi dan keterampilan. Selain itu juga indikator kesiapan infrastruktur dan kelembagaan dalam menghadapi perubahan iklim (Smith et al., 2001).

WHO tahun 2000 menyatakan bahwa meningkatnya kasus malaria juga dapat diakibatkan oleh adanya curah hujan yang

abnormal, peningkatan kelembaban dan temperatur atau juga adanya perubahan permanen dari iklim mikro karena adanya pembangunan sistem irigasi, proyek agrikultur atau penanaman pohon. Faktor seperti topografi, suhu, curah hujan, penggunaan lahan, perpindahan penduduk dan tingkat deforestasi mempengaruhi distribusi spasial dan temporal dari vector malaria dan malaria itu sendiri.

(31)

mempengaruhi kebiasaan dan distribusi geografis nyamuk malaria dan siklus hidup parasitnya. Secara tidak langsung pengaruhnya pada ketersediaan vegetasi untuk tempat perindukan. Bila suhu rata rata naik 3-5 derajat karena perubahan iklim, jumlah orang yang terpapar malaria akan meningkat 45% - 60% dari populasi. Suhu adalah variable utama dalam transmisi malaria. Suhu dan kelembaban mempengaruhi periode inkubasi secara ekstrinsik dari parasit dan kemampuan survival vector. Transmisi malaria tidak dapat terjadi pada suhu rendah. Suhu optimum untuk perkembangan parasit adalah antara 20 – 27 0C. Suhu optimum untuk nyamuk adalah antara 25 – 27 0C sedangkan 40 0C adalah suhu maksimum untuk vector dan parasit (Patz, et al’ 1996).

Pemahaman dan analisis data lingkungan dan unsur cuaca dapat digunakan untuk mengetahui pola penyebaran vektor malaria dan menduga populasi vektor malaria. Kombinasi kedua faktor tersebut dapat digunakan dalam penyusunan rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran malaria disuatu daerah.

Overlay data lingkungan (altitide, slope dan

land used) digunakan untuk menduga zona risiko malaria.

Perubahan iklim mempercepat penyebaran virus DBD. Jumlah populasi nyamuk berkembang cepat akibat pola hujan yang berubah dan frekuensinya lebih banyak dan tidak teratur membuat siklus penularan virus DBD menjadi lebih pendek. Selain itu, suhu yang menghangat juga membuat proses perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypty

berlangsung lebih cepat. Sebagai contoh pada saat terjadi La Nina pada tahun 1998 kasus DBD meningkat bahkan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Contoh yang lain penelitiannya Achmad Sasmita dkk menyimpulkan bahwa siklus hidup vektor DBD dipengaruhi oleh curah hujan lokal dengan prediksi 61% untuk Surabaya dan DKI 56 % (ICCSR, 2010).

Pemahaman dan analisis data-data lingkungan, unsur cuaca dan kondisi demografi yang terkait erat dengan munculnya dan meningkatnya penyakit DBD digunakan untuk mengetahui pola penyebaran penyakit DBD dan menduga distribusi dan pergerakannya. Kombinasi ketiga faktor tersebut diatas dapat digunakan dalam penyusunan rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran penyakit DBD.

Kerentanan kesehatan tidak hanya berfokus pada vektor pembawa penyakit saja, melainkan berpengaruh pula terhadap tingkat kesejahteraan penduduk, pelayanan dan tenaga kesehatan yangmana tingkat kesejahteraan penduduk menunjukkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi pelayanan kesehatan dan juga pemenuhan ketersediaan makanan serta nutrisi yang layak. Pemenuhan nutrisi dan gizi yang buruk dapat menyebabkan kerentanan untuk terserang penyakit-penyakit tertentu terkait perubahan iklim.

Proses menganalisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan baik langsung maupun tidak langsung diperlukan data yang cukup memadai dengan rentang waktu yang panjang (time series). Saat ini Departemen Kesehatan telah mengumpulkan dan mengelola data kesehatan namun dirasa belum cukup untuk menganalisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan di Indonesia secara komprehensif. Mengingat pentingnya analisis dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, di masa yang akan datang sektor kesehatan perlu meningkatkan program surveilans

khususnya sistem dan metode pengumpulan, pengolahan dan pengelolaan data yang terkait dengan perubahan iklim.

4.4 Solusi Adaptasi Perubahan Iklim

4.4.1 Solusi Terhadap Kawasan Pesisir

Wilayah pesisir merupakan laboratorium untuk menguji konsep yang baru karena dibandingkan dengan berbagai dampak lainnya. Kenaikan muka laut merupakan dampak perubahan iklim yang dapat dipahami dan dirasakan secara langsung. Dalam perspektif oseanografi, wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rawan terhadap perubahan iklim. Banjir, dan abrasi/erosi beberapa aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang akan menimbulkan kerugian.

(32)

menggunakan feeling mereka dalam menentukan kejadian alam yang mereka rasakan saat itu daripada menggunakan informasi yang di sampaikan oleh BMKG. Nelayan cenderung melihat fenomena seperti pergerakan angin dan awan yang cepat, yang menandakan terjadinya badai sehingga para nelayan tidak akan melaut. Ketika badai sedang melanda daerah tersebut, para nelayan biasanya akan beralih pekerjaan untuk mencari sumber pendapatan yang lain.

Perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan seperti ketika pasang, airnya akan lebih tinggi dari sebelumnya yang kita ketahui bahwa hal tersebut dikarenakan akibat dari naiknya permukaan air laut. Naiknya permukaan air laut tersebut menyebabkan adanya perubahan daerah kumpulnya ikan, karena perubahan panas di laut, sehingga para nelayan kesulitan mencari dan memprediksi tempat berkumpulnya ikan-ikan.

Kerusakan ekosistem lainnya yang diperkirakan terjadi akibat pemanasan global di kawasan pesisir adalah pemutihan terumbu karang. Saat tekanan yang dialami komunitas terumbu karang meningkat, organisme yang hidup di terumbu karang menghilang. Akibatnya, terumbu karang memutih (bleaching). Hal ini akan berdampak serius bagi kelestarian terumbu karang dan kehidupan biota laut serta masyarakat pesisir.

Perubahan iklim yang dirasakan oleh nelayan ternyata juga ada dampak positifnya. Seperti pada El Nino yang meningkatkan penakapan ikan tuna karena peningkatan kondisi garam. Sedangkan ketika La Nina, meningkatkan kandungan air tawar untuk pembudidayaan ikan tambak dan perikanan darat.

Berbagai kegiatan adaptasi dapat dilakukan, seperti pada:

1. Pemukiman/perumahan:

a. Relokasi atau mundur dari pantai;

b. Membangun rumah panggung; c. Perencanaan Wilayah, Zonasi,

dan jalur evakuasi;

d. Pembuatan dinding laut dan penguatan pantai;

2. Ekosistem pantai:

a. Penyemaian terumbu karang; b. Perlindungan dan konservasi

terumbu karang, mangrove, rumput laut, dan vegetasi pinggir pantai;

4.4.2 Solusi Terhadap Kerentanan Pangan

Suhu udara berperan dalam proses perkembangan tanaman yang ditunjukkan melalui perubahan fase-fase tanaman sejak di semai sampai panen. Waktu yang dibutuhkan oleh tanaman dari semai sampai panen ditentukan oleh akumulasi panas (heat unit) yang merupakan fungsi dari selisih antara suhu udara harian dengan suhu dasar tanaman. Semakin tinggi suhu udara, akumulasi heat unit akan semakin cepat sehingga umur tanaman manjadi lebih pendek. Peningkatan suhu udara disamping mempercepat perkembangan dan umur tanaman, juga meningkatkan laju respirasi secara eksponensial. Respirasi diperlukan tanaman untuk mempertahankan pertumbuhannya, namun jika lajunya terlalu tinggi, maka akan berakibat pada penurunan hasil.

Tabel 4.4 Respon Petani Terhadap Perubahan Iklim (DNPI, 2009)

Provinsi Respon Petani

Kalimantan

Selatan Merubah waktu penanaman Banten Merubah waktu penanaman Jawa Barat Merubah waktu penanaman

Jawa

Tengah Merubah waktu penanaman DIY Mengganti varietas tanaman yang

digunakan Jawa

Timur

Mengganti varietas tanaman yang digunakan

Perubahan iklim juga berpanguruh pada pola kalender tanam para petani. Dahulu, pola tersebut tidak hanya mengacu pada musim atau iklim, tetapi mengacu pada perayaan hari besar keagamaan atau yang lebih kita kenal dengan hajatan, seperti pernikahan atau sunatan. Pola kalender petani juga berpangaruh ketika memasuki waktu lebaran, karena menurut petani, waktu-waktu tersebut adalah ketika harga barang pokok menjadi naik, dan keuntungan menjadi lebih besar. Saat ini,perubahan tersebut dikarenakan pergesaran musim akibat perubahan iklim, sehingga para petani tidak bisa memprediksi dengan baik kapan tanaman padi bisa ditanam dan bisa dipanen.

Gambar

Gambar 2.1.
Gambar 2.1  Pengaruh Perubahan Iklim, Suhu, Lingkungan, dan Kesehatan (IPCC 2007)
Gambar 2.2  Peta Potensi Kerentanan DBD Sebagai Dampak Perubahan Iklim di Wilayah DKI
Gambar 4.1  Diagram Pengetahuan
+5

Referensi

Dokumen terkait