• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SIFAT FISIKO KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN SIFAT FISIKO KIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK

OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.),

SUWEG (Amorphallus campanullatus) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)

Oleh

VERAWATI HASAN

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada

Program Pascasarjana Teknologi Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER TEKNOLOGI AGROINDUSTRI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(2)

OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)

Oleh

Verawati Hasan (1), Sussi Astuti (2), Susilawati (2)

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap beberapa pangan yang diduga memiliki indeks glikemik rendah dan serat pangan tinggi, terkait fungsinya sebagai makanan fungsional, termasuk dari jenis umbi-umbian. Umbi-umbian diyakini memiliki sifat fungsional karena memiliki serat pangan (dietary fiber). Pemanfaatan umbi-umbian minor seperti suweg dan garut sebagai bahan baku oyek dan tiwul belum banyak dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisiko kimia dan indeks glikemik oyek dan tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri Universitas Lampung Laboratorium Biokimia IPB dan Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian SMKN 2 Metro, dari bulan April sampai Agustus 2011. Penelitian disusun faktorial dengan dua ulangan. Faktor pertama adalah jenis umbi (garut, suweg dan singkong) dan faktor kedua adalah jenis olahan (oyek dan tiwul). Data hasil penelitian diolah secara deskriptif dengan menggunakan nilai rata-rata dan disajikan dalam bentuk diagram batang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar total pati oyek dan tiwul singkong tertinggi (68.28% oyek dan tiwul singkong (20.60% dan 18.87%).

Hasil pengukuran terhadap nilai Indeks Glikemik (IG) menunjukkan bahwa nilai IG oyek garut sebesar 41, oyek suweg sebesar 42, oyek singkong sebesar 30, sedangkan tiwul garut memiliki nilai IG sebesar 40, tiwul suweg sebesar 40 dan tiwul singkong sebesar 29. Oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong tergolong bahan pangan yang memiliki nilai IG rendah (<55).

Kata kunci : oyek, tiwul, umbi-umbian, sifat fisiko kimia, indeks glikemik

(3)

OYEK AND TIWUL FROM ARROWROOT TUBERS

(Marantha arundinaceae L.),SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) AND

CASSAVA (Manihot utillisima)

By

Key words: oyek, tiwul, tubers, physico-chemical properties, the glycemic index

1. Alumnus of Agriculture Faculty Magister Technology Agroindustry University of Lampung

(4)

Judul Tesis : KAJIAN SIFAT FISIKO KIMIA OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae, L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI), DAN SINGKONG (Manihot utillisima)

Nama Mahasiswa : Verawati Hasan

Nomor Pokok Mahasiswa : 0924051009

Jurusan : Magister Teknologi Agroindustri

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. Ir. Susilawati, M.S.

NIP 19670824 199303 2 002 NIP. 19610806 198702 2 001

2. Ketua Program Studi Magister Teknologi Agroindustri

Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D.

(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si.

Anggota : Ir. Susilawati, M.S.

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Ir .Subeki, M.Si., M.Sc.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 196108261987021001

3. Direktur Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Abdul Kadir Salam, M.Sc. NIP. 196011091985031001

(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Komposisi kimia kultivar Creole dan Banana umbi garut…………...

Komposisi kimia dan kandungan gizi umbi suweg per 100g bahan……..

Kandungan gizi singkong dan produk turunannya……….

Rerata hasil analisis proksimat oyek dan tiwul garut, suweg dan

singkong………...

Rekapitulasi sifat fisikokimia berbagai jenis oyek dan tiwul………..

Hasil analisis karbohidrat dan jumlah sampel yang dikonsumsi………….

Hasil pengukuran indeks glikemik oyek dan tiwul dari berbagai umbi………...

12

14

15

47

50

64

66

(11)

Gambar Halaman

Diagram alir pembuatan oyek garut………..

Diagram alir pembuatan oyek suweg………

Diagram alir pembuatan oyek singkong………

Diagram alir pembuatan tiwul garut………..

Diagram alir pembuatan tiwul suweg………

Diagram alir pembuatan tiwul singkong………...

Diagram batang kadar total pati berbagai jenis oyek………

Diagram batang kadar total pati berbagai jenis tiwul………

Diagram batang kadar amilosa berbagai jenis oyek……….

Diagram batang kadar amilosa berbagai jenis tiwul………

Diagram batang kadar amilopektin berbagai jenis oyek………..

Diagram batang kadar amilopektin berbagai jenis tiwul………...

Diagram batang kadar serat pangan berbagai jenis oyek………..

Diagram batang kadar serat pangan berbagai jenis tiwul……….

Diagram batang kadar pati resisten berbagai jenis oyek………..

Diagram batang kadar pati resisten berbagai jenis tiwul………

Diagram batang kadar daya cerna berbagai jenis oyek………

Diagram batang kadar daya cerna berbagai jenis tiwul………

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi

(12)

23.

24.

25.

26.

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi

oyek singkong………..

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi

tiwul garut………...

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi

tiwul suweg………

Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi tiwul singkong………..

67

67

67

(13)
(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Pada abad modern ini, filosofi makan telah banyak mengalami pergeseran. Makan

bukanlah sekedar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah manfaat

makanan bagi kesehatan tubuh. Pangan diharapkan memberikan lebih dari

sekedar zat gizi sebagai kebutuhan dasar tubuh dan pemuas sensori, tetapi dapat

juga bersifat fungsional.

Pangan fungsional adalah makanan atau bahan pangan yang dapat memberikan

manfaat tambahan disamping fungsi dasar pangan tersebut. Makanan atau pangan

dikatakan bersifat fungsional bila mengandung zat gizi atau non gizi (komponen

aktif) yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh kearah yang bersifat

positif seperti memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit

tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga

kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.

Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati.

Diversifikasi atau penganekaragaman pangan fungsional sebaiknya dilakukan

dengan memanfaatkan sumberdaya alam sekitar. Nenek moyang bangsa

(15)

(pangan tradisional) yang mereka yakini dapat memberikan manfaat bagi

kesehatan tubuh.

Menurut Ardiansyah (2008), pangan tradisional adalah makanan atau minuman

yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa yang khas yang

diterima oleh masyarakat tersebut. Pangan tradisional meliputi berbagai jenis

bahan pangan seperti: bahan nabati (kacang-kacangan, sayuran hijau,

umbi-umbian dan buah-buahan), hewani (kerang, ikan, unggas), dan rempah-rempah

(jahe, kunyit, ketumbar, salam, sirih, dan lain-lain).

Pangan tradisional yang sangat populer bagi masyarakat pedesaan di Indonesia

adalah oyek dan tiwul. Oyek dan tiwul pada umumnya dibuat dari singkong dan

dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan yang kurang mampu atau pada saat musim

paceklik sebagai pengganti beras atau sebagai makanan pokok. Selain harga yang

relatif lebih murah dibanding beras, oyek dan tiwul (singkong) diyakini

masyarakat sebagai pangan tradisional yang memberi efek menguntungkan

terhadap kesehatan.

Pemanfaatan umbi-umbian minor seperti umbi garut dan suweg sebagai bahan

baku oyek dan tiwul belum banyak dilakukan. Sebagai pengganti beras, oyek dan

tiwul yang terbuat dari umbi-umbian minor seperti umbi garut dan suweg

memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Dari berbagai

umbi-umbian minor yang diteliti ternyata umbi garut kukus memiliki indeks glikemik

yang rendah yaitu sebesar 14 (Marsono, 2002) dan umbi suweg kukus memiliki

indeks glikemik sebesar 42 (Faridah, 2005). Kimpul, gembili, ganyong, dan

(16)

Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula

darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap

makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni.

Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis

dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pangan

dengan IG rendah memiliki potensi sebagai pangan fungsional. Dengan nilai IG

umbi garut dan suweg kukus yang rendah, umbi garut dan suweg memiliki potensi

yang sangat baik untuk dikembangkan terkait dengan nilai IG-nya.

Pangan dengan IG rendah memiliki potensi sebagai pangan fungsional karena

potensinya sebagai pengganti makanan pokok beras bagi penderita diabetes

mellitus yang kian hari semakin meningkat di Indonesia. Menurut datan WHO,

Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes

mellitus di dunia. Pada tahun 2000, terdapat sekitar 5.6 juta penduduk Indonesia

yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita

diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang, 50% penderita sadar

telah mengidap diabetes dan diantara mereka baru sekitar 30% yang datang

berobat teratur (Anonim, 2010). Peningkatan penderita diabetes ini dapat terjadi

karena peningkatan kesejahteraan dan ketersediaan pangan serta pola konsumsi

yang tidak benar.

Salah satu upaya untuk pencegahan penyakit diabetes adalah dengan pengaturan

pola konsumsi yang benar dan pemilihan makanan yang tepat. Menurut Shin et al

(2003) pendekatan pemilahan dan pengaturan makanan menjadi cara yang masuk

(17)

merubah pola makan yang kurang baik menjadi lebih baik. Cara memilih pangan

yang tepat diantaranya dengan memakan makanan yang banyak mengandung pati

resisten. Bahan makanan yang banyak mengandung pati resisten banyak

ditemukan pada akar umbi, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Konsumsi

makanan berkadar karbohidrat tinggi seperti nasi dan makanan yang terbuat dari

gandum lainnya ada baiknya dibatasi bagi para penderita diabetes. Sebagai

gantinya dapat diberikan makanan yang memiliki pati resisten dan berindeks

glikemik yang rendah seperti garut dan suweg. Pemanfaatan garut dan suweg

yang dibuat menjadi oyek dan tiwul diharapkan dapat menjadi salah satu pangan

fungsional khususnya bagi penderita diabetes.

Para ahli telah mempelajari faktor-faktor penyebab perbedaan IG antara pangan

yang satu dengan lain. Menurut Sarwono (2002), faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap IG bahan pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan

ukuran partikel), perbandingan amilosa dan amilopektin, kadar serat, dan anti

gizi. Haliza (2006) menyatakan bahwa pengolahan mengakibatkan perubahan

terhadap kandungan pati di dalam pangan menjadi sulit dicerna. Oleh karena itu

diperlukan penelitian terhadap sifat fisikokimia dan IG oyek dan tiwul garut,

suweg dan singkong. Apabila dari hasil penelitian terbukti oyek dan tiwul garut,

suweg dan singkong memiliki IG rendah, maka sebagai pangan tradisional dapat

(18)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisikokimia dan indeks glikemik

oyek dan tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong.

C. Kerangka Pemikiran

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap beberapa pangan yang diduga

memiliki indeks glikemik rendah dan serat pangan tinggi, terkait fungsinya

sebagai makanan fungsional, termasuk dari jenis umbi-umbian. Umbi-umbian

diyakini memiliki sifat fungsional karena memiliki serat pangan (dietary fiber)

yang cukup tinggi dan dapat dijadikan sebagai salah satu pangan fungsional.

Makanan modern pada saat ini kebanyakan mengandung pati yang terdapat

didalamnya telah mengalami perubahan yang menyebabkan sulit untuk dicerna

(Haliza, 2006). Kecenderungan pola konsumsi yang tidak benar dan kenaikan

kesejahteraan masyarakat serta ketersediaan berbagai makanan menyebabkan

kenaikan prevalensi penyakit diabetes di Indonesia. Menurut data WHO

Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes di

dunia. Pada tahun 2000 terdapat 5.6 juta penduduk Indonesia yang mengidap

diabetes. Minimnya informasi tentang gejala diabetes, pencegahannya dan pola

konsumsi yang tidak benar di masyarakat menyebabkan kecenderungan penderita

penyakit ini kian meningkat di tahun-tahun mendatang.

Diversifikasi pangan fungsional terutama yang terbuat dari umbi-umbian perlu

dilakukan sedini mungkin. Keanekaragaman hayati di Indonesia yang berlimpah

(19)

ganyong dan lain-lain, masih memiliki potensi yang besar untuk digali

manfaatnya bagi kepentingan masyarakat.

Oyek dan tiwul merupakan salah satu makanan yang cukup populer dikalangan

masyarakat kelas bawah, terutama dikonsumsi pada saat paceklik. Pola konsumtif

masyarakat yang membeli makanan hanya semata-mata berdasarkan atas

pertimbangan selera dan prestise, bukan untuk pencapaian tingkat kesehatan yang

optimal, membuat oyek tidak banyak dilirik oleh kalangan atas, sehingga oyek

lebih dikenal atau identik sebagai pangan masyarakat kelas bawah.

Oyek dan tiwul yang dikenal di masyarakat biasanya terbuat dari ubi kayu padahal

tidak menutup kemungkinan bagi umbi-umbian lain yang memiliki sifat

fungsional untuk dibuat sebagai oyek. Beberapa penelitian difokuskan untuk

meneliti indeks glikemik umbi-umbian minor, salah satunya adalah garut yang

ternyata memiliki indeks glikemik yang rendah. Menurut Marsono (2002) umbi

garut kukus memiliki indeks glikemik sebesar 14, sedangkan Faridah (2005)

menyatakan bahwa umbi suweg kukus memiliki IG sebesar 42. Kedua umbi

tersebut tergolong bahan pangan yang memiliki IG rendah.

Berdasarkan nilai IG-nya, pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu

pangan IG rendah dengan rentang nilai IG < 55, pangan IG sedang dengan rentang

nilai IG 55 – 70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG > 70. Karbohidrat

dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi,

sebaliknya pangan yang memiliki IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan

lambat sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat (Rimbawan

(20)

Dibandingkan dengan umbi kukus, oyek dan tiwul lebih mewakili sebagai

pangan pokok pengganti beras, bagi penderita diabetes. Namun pemanfaatan

umbi-umbian minor seperti umbi garut dan umbi suweg sebagai bahan baku oyek

dan tiwul belum banyak dilakukan, dan sejauh ini belum ada informasi hasil

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sifat fisikokimia dan indeks glikemik

oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan singkong. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan informasi tentang sifat fisikokimia dan indeks

glikemik oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan singkong terkait fungsinya

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pangan Fungsional

Menurut Astawan (2009), fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk

memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, bobot

tubuh dan aktivitas fisik. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah

fungsi primer. Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga

memenuhi fungsi sekunder, yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik

Seiring makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat,

maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga semakin bergeser. Bahan

pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai

komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi

juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Fungsi yang demikian

dikenal sebagai fungsi tersier.

Jepang merupakan negara yang paling tegas dalam memberi batasan mengenai

pangan fungsional, paling maju dalam perkembangan industrinya. Para ilmuwan

Jepang menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu: (1) sensori

(warna dan penampilan yang menarik dan cita rasa yang enak), (2) nutritional

(bernilai gizi tinggi), dan (3) physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang

(22)

pangan fungsional antara lain adalah: (1) pencegahan dari timbulnya penyakit,

(2) meningkatnya daya tahan tubuh, (3) regulasi kondisi ritme fisik tubuh,

(4) memperlambat proses penuaan, dan (5) menyehatkan kembali (recovery).

Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh

suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) harus

merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang

berasal dari bahan alami, (2) dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet

atau menu sehari-hari, (3) mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, dan dapat

memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme

pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi

tubuh setelah sakit, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses

penuaan.

Menurut konsensus pada The First International Conference on East-West

Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan

yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi

kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung

didalamnya.

Pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah

maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang

berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi- fungsi fisiologis

tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, dikonsumsi layaknya makanan atau

minuman, serta mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna,

(23)

Menurut Ardiansyah (2008), kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi pangan dan

farmasi yang pesat telah memberikan bukti ilmiah bahwa sebagian besar jenis-

jenis pangan yang diyakini nenek moyang kita bermanfaat untuk peningkatan

kesehatan dan pengobatan.

Sebagian besar zat-zat bioaktif dalam bahan pangan tersebut juga telah dapat

diidentifikasi dan diisolasi. Kemajuan ini mendorong lahirnya berbagai produk

pangan fungsional dengan berbagai klaim khasiat dan manfaatnya. Di masa

datang kita tentu tidak ingin menggantungkan diri pada produk pangan fungsional

yang diproduksi di mancanegara tetapi bahan bakunya berasal dari negara kita,

atau diproduksi dengan lisensi dari negara lain sedangkan komponen bioaktifnya

berasal dari sumberdaya hayati pangan kita.

Dalam rangka pengembangan pangan tradisional dengan peningkatan mutu dan

keamanannya harus tetap mengacu pada food habbit atau kebiasaan makan,

dengan cara; (1) setiap masukan hal-hal baru akan mudah diterima apabila ada

kesamaan dengan ciri yang telah ada dan (2) atribut yang menjadi ciri pangan

tradisional sebaiknya tetap dipertahankan.

B. Garut (Marantha arundinaceae L.)

Garut (Marantha arundinaceae L.) merupakan sumber karbohidrat lokal yang

belum banyak termanfaatkan. Selain memiliki banyak manfaat, garut juga mudah

ditanam. Tanaman yang kini nyaris terlupakan di tengah gaya dan pola makan

kita ini mengandung karbohidrat dan zat besi lebih tinggi dibandingkan tepung

(24)

terigu dan beras, serta kandungan kalori tepung garut pun hampir setara dengan

beras dan terigu (Anonim, 2007).

Garut, irut, harut atau patat sagu merupakan salah satu anggota dari suku

Marantaceae. Dalam ilmu tumbuh-tumbuhan dikenal dengan nama Marantha

arundinaceae L. Tanaman ini tumbuh tegak dengan tinggi 60 – 80 cm, batang

sejatinya terdapat dalam tanah, berbentuk kumparan menebal ke arah puncak.

Daunnya berbentuk bundar telur hingga lanset bundar telur, berwarna hijau

berbecak putih (Anonim, 2007). Umbinya berwarna putih ditutupi dengan kulit

yang bersisik berwarna coklat muda, berbentuk silinder. Tanaman ini berasal dari

Amerika khususnya daerah tropik, kemudian menyebar ke Negara-negara tropik

lainnya seperti Indonesia, India, Sri Lanka dan Philipina. Jenis tanaman ubi-ubian

ini tumbuh pada ketinggian 0 – 900 m dpl, dan tumbuh baik pada ketinggian 60 –

90 m dpl. Tanah yang lembab dan di tempat-tempat yang terlindung merupakan

habitat yang terbaik (Sastapraja et al., 1977).

Menurut Kay (1973), garut atau arrowroot memiliki dua kultivar utama yaitu

creole dan banana. Kultivar creole memiliki rhizoma yang kecil memanjang,

dengan susunan menyebar di sekitar batang dan terpenetrasi lebih dalam ke dalam

tanah, sedangkan kultivar banana berumbi pendek tebal, sedikit memiliki serat,

dan rhizomanya terbentuk lebih dekat ke permukaan tanah. Kedua kultivar ini

memiliki komposisi kimia yang tidak jauh berbeda. Komposisi kimia kedua

(25)

Tabel 1. Komposisi kimia kultivar creole dan banana umbi garut per 100 g bahan

Perbanyakan tanaman garut dilakukan dengan memotong sebagian kecil dari

rimpang yang bertunas. Tanaman ini biasanya ditanam pada permulaan musim

hujan sesudah tanah digemburkan lebih dahulu. Selama pertumbuhan, tanah

sekali-kali perlu digemburkan. Umbi dapat dipanen pada umur 10 – 11 bulan, bila

daun-daunnya mulai melayu. Tepung garut mempunyai prospek yang baik dalam

mensubtitusi atau menggantikan tepung terigu karena mempunyai sifat yang

mendekati sifat tepung terigu, serta memiliki kandungan gizi yang tidak jauh

berbeda dengan tepung terigu maupun beras giling.

Dengan karakteristik yang lebih mendekati tepung terigu tersebut, sesungguhnya

tepung garut dapat dipergunakan sebagai alternatif untuk pengganti terigu dalam

penggunaan bahan baku kue, mie, roti kering maupun bubur bayi, makanan diet

pengganti nasi.

C. Suweg (Amorphophallus campanullatus)

Suweg adalah salah satu jenis marga Amorphophallus yang termasuk kedalam

suku talas-talasan (Araceae). Suweg berasal dari daerah Asia tropik dan Afrika

(26)

Pasifik (Kriswidarti, 1980). Di Indonesia sebagian kecil saja penduduk yang

mengenal dan menanam suweg. Tanaman suweg umumnya tumbuh liar di hutan,

dan belum ada usaha untuk membudidayakannya secara besar-besaran, meskipun

suweg memiliki potensi besar sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi

(Lingga et al., 2003).

Tanaman marga Amorphophallus mempunyai 90 jenis (Kay, 1973). Di Indonesia

jenis yang banyak dijumpai adalah Amorphophallus campanulatus BI sedangkan

di Jepang, jenis suweg yang sudah diusahakan besar-besaran adalah Amorphallus

conjac dengan kandungan pati cukup tinggi (Kriswidarti, 1980).

Ada dua varietas Amorphophallus campanulatus yaitu varietas cyvestris yang

berbatang besar, berwarna agak gelap, umbinya sangat gatal dan varietas hortensis

yang berbatang lebih halus dan umbinya tidak begitu gatal (Kriswidarti, 1980).

Amorphophallus campanulatus varietas hortensis banyak ditanam rakyat sebagai

pangan karena umbinya banyak mengandung pati. Sedangkan Amorphophallus

campanulatus varietas cylvestris belum dimanfaatkan oleh penduduk dan masih

merupakan tumbuhan liar (Rosman dan Rusli, 1991). Hal lain yang juga

membedakan kedua varietas tersebut adalah halus kasarnya bintil-bintil pada

tangkai daun yang berwarna belang-belang. Bintil pada varietas cylvestris jika

diraba terasa lebih kasar dan tajam (Lingga et al., 1991).

Suweg mempunyai bentuk umbi setengah bulat dengan diameter antara 10-25 cm.

Umbi ini mengandung kristal oksalat yang menyebabkan rasa gatal bila dimakan

(27)

(Amorphophallus campanulatus) mengandung kristal asam oksalat sebanyak 382

mg. Untuk menghilangkan rasa gatal dapat dilakukan perendaman. Perendaman

umbi yang paling baik adalah dengan menggunakan air bersih dengan lama

perendaman 12 jam asam oksalat akan larut dan terbebas keluar (Drajat, 1987).

Umbi suweg mengandung banyak mengandung karbohidrat. Menurut Rosman et

al., (1994), komponen karbohidrat yang paling utama adalah pati. Selain

mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, umbi suweg juga mengandung

(28)

ke berbagai belahan dunia. Singkong merupakan tanaman rakyat yang banyak

berperan sebagai sumber pangan penduduk di daerah rawan pangan. Indonesia

merupakan salah satu negara penghasil singkong di dunia. Sebagai sumber

pangan nilai utama singkong adalah nilai kalorinya yang tinggi. Kandungan gizi

singkong dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan gizi singkong dan produk turunannya per 100 g bahan

No. Kandungan Gizi Singkong Gaplek Tepung Tapioka 1. Kalori (Kal) 146 338 363

2. Protein (g) 1,2 1,5 1,1 3. Lemak (g) 0,3 0,7 0,5 4. Karbohidrat (g) 34,7 81,3 88,2 5. Zat kapur (mg) 33 80 84 6. Phospor (mg) 40 60 125 7. Zat besi (mg) 0,7 1,9 1,0 8. Vitamin A (S.I) 0 0 0 9. Thiamin (mg) 20 0 0,4 10. Vitamin C (mg) 38 0 0 Sumber : Lingga et al. (1991)

Menurut Lingga et al., (1991), singkong memiliki banyak varietas yang tersebar

dan dikenal di masyarakat diantaranya adalah:

a. Aipin mangi

Varietas ini berasal dari Brazil, tidak beracun, umbi memanjang, rasa manis.

b. Aipin valenca

Varietas ini juga berasal dari Brazil, aman dikonsumsi, rasa manis, dan bentuk

umbi agak gemuk.

c. Mandioca basiorao

(29)

d. Mandioca Sao Pedro Preto (SPP)

Berasal dari Brazil, hasil melimpah, umbi besar tidak bertangkai, rasa pahit dan

mengandung racun.

e. Bogor

Berasal dari Bogor, hasil melimpah, umbi besar tidak bertangkai, rasa pahit

meskipun telah dimasak dan mengandung racun.

f. Muara

Varietas ini merupakan hasil persilangan dari jenis Bogor, umbi besar,

bertangkai pendek dan beracun.

g. Betawi

Varietas Betawi juga berasal dari Bogor dan merupakan hasil persilangan

antara Malaka dan Basiorao. Umbi besar tidak bertangkai, dan aman untuk

dikonsumsi.

Selain varietas-varietas tersebut diatas, terdapat beberapa varietas lain diantaranya

Trapecum itaparica, Tapicuru, Criolincha, Pucuk biru, Pengkang, 802, Mentega,

W 236, Sulingen, Iding dan lain-lain.

Menurut Anwar (2009), singkong yang baik dipergunakan dalam pembuatan

oyek dan tiwul adalah singkong putih dan singkong kuning dari jenis singkong

manis yang mempunyai kandungan HCN (sianida) rendah. Sianida atau racun

pada singkong dapat hilang setelah pencucian, perendaman, pemasakan, serta

(30)

E. Oyek

Oyek merupakan nama tradisional yang digunakan untuk menyebut hasil olahan

dari ubi kayu yang berbentuk butiran-butiran. Nama ilmiahnya adalah

beras-singkong atau cassava rice, yang dapat digunakan sebagai beras simulasi

pengganti bahan makanan pokok yang keseluruhan bahan bakunya berasal dari

singkong. Beras-singkong sangat populer di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur,

juga pada sebagian masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung.

Menurut Anwar (2009) teknologi pembuatan beras-singkong secara tradisional

hampir sama untuk semua wilayah, baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur,

Lampung, Sumatera Selatan atau dari Filipina. Singkong direndam beberapa hari,

kemudian dicuci sampai bersih untuk menghilangkan bau dan kotoran,

selanjutnya dibuat tepung dan dikeringkan. Untuk membuat butiran seperti beras

tepung dipercikkan air, dibuat butiran kecil, kemudian dikukus dan dikeringkan.

Pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan panas matahari.

Beras-singkong ini dapat disimpan cukup lama apabila pengeringan cukup sempurna

atau kadar airnya cukup rendah.

Alternatif cara lain, singkong yang telah direndam setelah dicuci bersih langsung

dihancurkan dan dibuat butiran seperti beras tanpa terlebih dahulu dibuat tepung.

Butiran yang terbentuk dikukus dan dikeringkan. Masalah yang sering timbul

dalam pembuatan beras-singkong adalah pengeringan yang tidak sempurna,

sehingga sering produknya ditumbuhi jamur dan bau yang kurang sedap. Bau

(31)

pencucian yang kurang sempurna. Keadaan inilah yang diduga sebagai penyebab

beras-singkong yang dibuat secara tradisional dengan nama oyek menjadi kurang

diminati.

Teknologi yang digunakan dalam pembuatan beras-singkong semi-instan sama

dengan teknologi pembuatan beras instan dengan sedikit modifikasi. Ada

beberapa tahap yang harus dilakukan dalam pembuatan beras-singkong

semi-instan, yaitu perendaman, pengukusan, dan pengeringan.

Perendaman dan pemasakan ditujukan agar terjadi gelatinasi dan pengembangan

granula pati. Pati yang mengalami gelatinasi setelah dikeringkan molekulnya

dapat lebih mudah menyerap air kembali dalam jumlah besar karena perendaman

dengan larutan soda kue atau dengan larutan perendaman meta fosfat menjadikan

tekstur produk semi-instan lebih porous. Struktur pati yang porous setelah

pengeringan memudahkan air untuk meresap ke dalam beras-singkong

semi-instan pada waktu rehidrasi. Sifat inilah yang digunakan dalam pembuatan pangan

instan. Diharapkan dengan menggunakan teknologi semi-instan ini tidak

menjadikan beras-singkong kurang diminati lagi (Anwar, 2009).

F. Tiwul

Tiwul adalah makanan pokok pengganti beras yang biasanya terbuat dari

singkong, yang merupakan makanan khas masyarakat Gunung Kidul (Mita,

2009). Singkong yang dipergunakan dalam pembuatan gaplek adalah singkong

yang tidak beracun sehingga aman untuk dikonsumsi. Racun pada singkong

(32)

pengolahan yang dilakukan dengan baik dapat menghindarkan masyarakat yang

mengkonsumsi tiwul dari bahaya keracunan sianida.

Perbedaan yang utama dalam pembuatan tiwul dengan oyek adalah pada proses

pengolahannya. Dalam pembuatan tiwul didahului proses pembuatan gaplek

terlebih dahulu.

Secara tradisional, gaplek yang akan diolah menjadi tiwul harus ditepungkan

dengan cara ditumbuk. Alat penumbuknya berupa lumpang dan alu, yang juga

merupakan alat penumbuk padi, jagung, serta produk pertanian lainnya. Lumpang

biasanya terbuat dari kayu atau batu. Bentuknya segi empat berukuran sekitar 80

cm x 0,70 cm x 60 cm, dengan lubang di bagian tengahnya berbentuk lingkaran

berdiameter sekitar 30 cm. Kedalaman lubang sekitar 30 cm, dengan diameter

yang makin mengecil. Alunya sendiri berupa kayu yang berat dan keras

berdiameter 10 cm, panjang 2 m, dengan pegangan di bagian tengahnya yang

dibuat mengecil.

Gaplek yang telah ditumbuk, akan diayak dengan menggunakan tampah. Tampah

adalah anyaman bambu yang rapat dan halus, dipotong menjadi lingkaran yang

berdiameter 70 cm. Proses pengayakan tepung gaplek dengan menggunakan

tampah, serta memerlukan keterampilan tinggi. Mula-mula gaplek yang sudah

ditumbuk diletakkan dalam tampah. Tampah digoyang melingkar berulangkali

hingga gaplek kasar mengumpul di bagian tengah yang kemudian diambil untuk

ditumbuk ulang. Tampah digetarkan naik turun dengan sangat cepat, hingga

tepung gaplek terkumpul di bawah dan bergerak ke arah belakang. Sementara

(33)

ditumpahkan ke wadah lain untuk ditumbuk ulang. Proses ini dilakukan

terus-menerus sampai diperoleh tepung gaplek halus. Selanjutnya, tepung gaplek halus

ini diberi air sampai menggumpal dan kembali dihancurkan secara manual dengan

tangan. Proses ini tetap dilakukan dalam tampah. Untuk memperoleh adonan

berupa butiran yang akan menjadi tiwul, dilakukan proses pemutaran. Tepung

yang masih berupa butiran agak kasar dihancurkan dengan tangan hingga seluruh

tepung menjadi partikel halus yang siap ditanak (dikukus). Bila ingin disimpan

dalam waktu lama setelah proses pengukusan tiwul basah dapat dilkeringkan

sehingga dapat memperpanjang masa simpannya. Pada saat akan memasaknya

tiwul kering terlebih dahulu dilakukan perendaman untuk mempercepat proses

pengukusan.

Tepung gaplek kualitas baik berwarna putih bersih dan beraroma harum khas

gaplek. Tepung kualitas kurang baik berwarna agak cokelat atau abu-abu. Warna

cokelat diakibatkan oleh adanya partikel tanah liat karena setelah dikupas,

singkong tidak dicuci. Warna abu-abu disebabkan oleh adanya kapang karena

proses penjemuran tidak sempurna. Setelah dimasak menjadi tiwul, warna tepung

gaplek yang putih itu akan menjadi cokelat muda cerah agak kekuningan.

Aromanya harum. Teksturnya mirip kue apem tetapi lebih remah. Rasa tiwul

kualitas baik agak manis akibat sebagian karbohidrat dalam pati singkong

terfermentasi menjadi gula pada proses pembuatan gaplek maupun penepungan

(Anonim, 2010)

Tiwul sebagai makanan pokok, memiliki kandungan kalori lebih rendah daripada

(34)

dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan, dan lain sebagainya.

Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia

pada masa penjajahan Jepang (Anonim, 2010).

G. Pati

Pati yang merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan, adalah bentuk

penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula

dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al.,

2006). Pati merupakan polisakarida yang tidak mempunyai rasa manis, dan

merupakan jenis karbohidrat yang paling sering digunakan sebagai sumber energi

dalam bentuk makanan pokok serta dalam bentuk makanan lain (Hodge and

Osman, 1976). Struktur molekul pati dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur molekul pati Sumber : Anonim (2009)

Pada umumnya pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena tersusun atas tiga

komponen yaitu amilosa, amilopektin, dan material lain seperti lemak dan protein

(Banks et al., 1975). Jenis pati dapat dibedakan secara mikroskopis karena

memiliki bentuk, ukuran, letak hilum, dan juga sifat birefringent yang unik.

(35)

mikroskop terlihat kristal gelap dan terang, inilah yang disebut sifat birefringent.

Granula pati yang telah menyerap air, apabila dipanaskan akan mengalami

pembengkakan yang pada suhu tertentu bersifat irreversibel.

Perubahan ini disebut proses gelatinisasi, dan suhu saat terjadinya gelatinisasi

disebut suhu gelatinisasi yang berbeda-beda pada setiap jenis pati. Pada saat

tergelatinisasi, sifat birefringent pati akan hilang. Pati tergelatinisasi yang

kemudian mengalami penurunan suhu dapat mengkristal kembali, proses ini

disebut retrogradasi (BeMiller and Whistler, 1996).

H. Pati Resisten

Menurut EURESTA (European FLAIR-Concerted Action on the 'Physiological

implication of the consumption of resistant starch in man') definisi pati resisten

adalah jumlah keseluruhan dari pati dan produk hasil degradasi pati yang tidak

terserap dalam usus halus pada individu yang sehat (Anonim, 2010). Definisi lain

menyatakan pati resisten sebagai fraksi kecil dari pati yang resisten terhadap

proses hidrolisis oleh α-amilase dan pullulanase pada perlakuan in vitro. Setelah

diinkubasi selama 120 menit (Englyst et al., 1992).

Menurut Brown et al. (1995) ada tiga jenis pati resisten (RS1, RS2, dan RS3) dapat

ditemui secara alami di bahan pangan ataupun juga terbentuk sebagai bagian dari

proses normal pemasakan. Croghan (2002) menyatakan bahwa pati tahan cerna

dikelompokkan dalam empat tipe yaitu: (1) pati tahan cerna tipe 1 adalah

kelompok pati yang terperangkap di dalam sel tanaman, misalnya pada

(36)

sehingga sulit untuk dihidrolisis, contohnya umbi-umbian mentah seperti pati

kentang, jagung dan pisang, (3) pati tahan cerna tipe 3 berupa pati retrogradasi

atau pati dalam bentuk kristal, yang terdapat pada cornflakes, kentang matang

yang didinginkan (4) pati tahan cerna tipe 4 adalah pati yang dimodifikasi secara

kimia (Tovar et al., 1999).

I. Indeks Glikemik

Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula

darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap

makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni.

Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis

dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan

berbeda-beda tergantung pada fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan (Sarwono,

2002; Rimbawan dan Siagian, 2004).

Indeks glikemik ditemukan pada awal tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang

Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan

penanganan yang paling baik bagi penderita DM. Pada masa itu diet pada

penderita DM didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap

bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang sama pada

kadar gula darah. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama

pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis

pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi. Sebaliknya karbohidrat yang dipecah

dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah, sehingga melepaskan glukosa

(37)

digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain (Rimbawan dan

Siagian, 2004).

Nilai IG ditentukan dengan cara membandingkan luas area dibawah kurva respon

glikemik pangan yang diuji dengan luas area dibawah kurva respon glikemik

pangan acuan. Kurva respon glikemik pangan diperoleh dari data pengukuran

kadar glukosa darah subjek setelah makan dengan interval 30 menit. Kurva akan

menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran seberapa cepat dan

seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa cepat tubuh merespon

dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah makan (Whitney et

al., 1990). Sebagai pangan acuan digunakan glukosa murni atau roti tawar yang

dianggap memiliki IG 100.

Kategori pangan menurut rentang IG yaitu : (1) IG rendah, rentang IG < 55 (2) IG

sedang, rentang IG 55 – 70, (3) IG tinggi, rentang IG > 70. Karbohidrat dalam

pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi,

sebaliknya pangan yang memiliki IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan

lambat sehingga melepaskan glukosa dalam darah dengan lambat (Rimbawan dan

Siagian, 2004).

Penderita penyakit diabetes dianjurkan memilih pangan yang ber-IG rendah,

sebab pangan tersebut tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis

(Rimbawan dan Siagian, 2004). Nilai IG pangan berguna bagi penderita gangguan

metabolisme glukosa seperti penderita diabetes dalam memilih jenis makanan

yang tepat untuk dapat mengontrol kadar glukosa darah, dan bagi populasi umum

(38)

telah ditentukan dan disajikan dalam bentuk tabel umum. Akan tetapi terdapat

kemungkinan perbedaan nilai IG untuk jenis pangan yang sama antara dua daerah

yang berbeda akibat perbedaan faktor tumbuh bahan pangan. Beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi besarnya IG pangan adalah proses pengolahan, ukuran

partikel dan tingkat gelatinisasi, perbandingan amilosa-amilopektin, tingkat

keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat

anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Nilai IG hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan karbohidrat

menjadi gula darah, tetapi tidak memberikan informasi mengenai banyaknya

karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap kadar gula darah. Oleh karena

itu, dikembangkan pula konsep yang dapat mengoreksi kelemahan dari IG, yaitu

dengan menentukan nilai beban glikemik (BG). Nilai BG diperoleh dengan

mengalikan nilai IG pangan dengan kadar karbohidratnya. Beban glikemik

memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan

(39)

III. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri

Universitas Lampung, Laboratorium Biokimia IPB dan Laboratorium Pengolahan

Hasil Pertanian SMKN 2 Metro, dari bulan April sampai Agustus 2011.

B. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan oyek dan tiwul adalah umbi garut

varietas creole, suweg (Amorphallus champanulatus BI) dan singkong (Manihot

uttilisima) yang telah siap panen, diperoleh dari petani di Ganjar Asri Metro.

Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah K2SO4, NaOH,

Na2S2O3, H3BO3, HCl, enzim α amylase (termamyl), enzim amiloglukosidase,

fenol 5%, glukosa anhidrat, petroleum eter, buffer natrium fosfat, HCl, heksana,

H2SO4, indikator metil merah-metil biru, KI, I2, asam asetat, glukosa murni,

pepsin, glukosa anhidrat, amilosa murni, larutan DNS, dan larutan maltosa murni.

Alat-alat yang dipergunakan diantaranya adalah: slicer, pisau, parut, hammer mill,

(40)

vortexs, pH-meter, pipet volumetric, erlenmeyer, cawan porselen, gelas ukur,

gelas piala, tabung reaksi, kapas bebas lemak, kertas saring Whatman 40, kertas

lakmus, penangas air, alumunium foil, sentrifus dan spektrofotometer.

C. Metode Penelitian

Penelitian disusun faktorial dengan dua ulangan. Faktor pertama adalah jenis

umbi (garut, suweg, singkong) dan faktor kedua adalah jenis olahan (oyek dan

tiwul). Data hasil penelitian diolah secara deskriptif dengan menggunakan nilai

rata-rata dan disajikan dalam bentuk diagram batang.

D. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian diawali dengan pembuatan oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan

singkong, kemudian dilakukan analisis proksimat (kadar air, kadar protein, kadar

lemak, kadar abu, kadar karbohidrat dan serat kasar) dan analisis fisikokimia

(kadar total pati, amilosa, amilopektin, serat pangan, daya cerna pati dan pati

resisten ) terhadap oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong.

Penentuan indeks glikemik dan beban indeks glikemik oyek umbi garut, suweg,

dan singkong menggunakan glukosa murni sebagai standar. Uji indeks glikemik

(IG) dilakukan dengan menggunakan manusia sebagai objek penelitian.

Sukarelawan yang berpartisipasi berjumlah 10 orang, yang telah lolos seleksi.

Syarat-syarat sukarelawan yang digunakan untuk penentuan IG adalah sehat, non-

diabetes, memiliki kadar glukosa puasa normal (70-120 mg/dl) dan memiliki nilai

(41)

Pengukuran kadar gula darah dilakukan setelah periode puasa (kecuali air putih

selama 10 jam pada malam hari. Pada setiap pengambilan darah yang telah

ditetapkan, sampel darah sukarelawan diambil sebanyak 0,5 µL. Pengambilan

sampel darah relawan dilakukan setiap selang 30 menit sekali yaitu 0 menit (kadar

kenaikan kadar gula darah setelah mengkonsumsi sampel dan glukosa sebagai

standar (Haliza dkk., 2006). Nilai indeks glikemik akhir adalah nilai rata-rata dari

Oyek dibuat dengan beberapa tahapan yaitu pencucian, pemarutan, pemerasan,

pembentukan butiran dan pengukusan selama 10 menit. Setelah pengukusan

(42)

dikeringkan kembali. Proses pembuatan oyek garut disajikan pada Gambar 3,

oyek suweg pada Gambar 4, sedangkan oyek singkong pada Gambar 5.

a. Pembuatan Oyek Garut

Gambar 3. Diagram alir pembuatan oyek garut

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Pencucian

Pemarutan

Pemerasan

Ampas

Filtrat Umbi Garut (1 kg)

Pengukusan (10 menit)

Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Oyek Garut Kering ( 300 gr)

(43)

b. Pembuatan Oyek Suweg

Gambar 4. Diagram alir pembuatan oyek suweg

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Pengupasan

Pencucian

Pemotongan (3-4 cm)

Perendaman dalam air (12 jam) Suweg (1 kg)

Pemerasan

Ampas

Pembentukan butiran ( diameter = 2-3 mm)

Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Oyek Suweg (325 gr) Pengukusan (10 menit)

(44)

c. Pembuatan Oyek Singkong

Gambar 5. Diagram alir pembuatan oyek singkong

Sumber : Sukarti , 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

2. PembuatanTiwul

Tiwul dibuat dengan beberapa tahapan, yaitu pencucian, pengupasan, pengecilan

ukuran (pengirisan), pengeringan dengan sinar matahari, penumbukan,pengayakan

dengan menggunakan ayakan 60 mesh, pembentukan butiran, dan pengukusan. Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)

Pengukusan ( 10 menit)

Oyek Singkong (350 gr) Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Perendaman (5 hari)

Pemerasan Pengupasan

Ampas Singkong (1 kg)

(45)

Jika akan disimpan dalam waktu yang lama tiwul dapat dikeringkan kembali.

Proses pembuatan tiwul garut disajikan pada Gambar 6, tiwul suweg pada

Gambar 7 sedangkan tiwul singkong disajikan pada Gambar 8.

a. Pembuatan Tiwul Garut

Gambar 6. Diagram alir pembuatan tiwul garut

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Pengayakan (60 mesh) Pencucian

Pengukusan ( 10 menit)

Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Tiwul Garut (350 gr)

Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm) Pengirisan (diameter = 2-3 mm)

Penjemuran (sinar matahari )

Gaplek

(46)

b. Pembuatan Tiwul Suweg

Gambar 7. Diagram alir pembuatan tiwul suweg

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Perendaman dalam air (12 jam)

Pengirisan (diameter = 2-3 mm)

Penjemuran (sinar matahari) Pencucian

Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )

Tiwul Suweg (350 gr)

Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)

Pengukusan (10 menit) Pengayakan (60 mesh)

Penggilingan Pengupasan Umbi Suweg (1 kg)

(47)

c. Pembuatan Tiwul Singkong

Gambar 8. Diagram alir pembuatan tiwul singkong

Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)

Penggilingan

Pengayakan (60 mesh)

Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)

Pengukusan (10 menit) Pengupasan

Pencucian

Pengirisan (diameter = 2-3 mm)

Penjemuran (sinar matahari ) Singkong (1 kg)

Tiwul Singkong (350 gr) Gaplek

(48)

E. Metode Pengamatan

Uji proksimat meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan

karbohidrat by different (AOAC, 1995), dilakukan terhadap sampel oyek dan

tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong. Analisis sifat fisiko

kimia oyek dan tiwul meliputi kadar total pati, kadar amilosa dan amilopektin,

kadar serat pangan metode enzimatis, pati resisten, dan daya cerna pati.

Pengukuran indeks glikemik terhadap sampel oyek dan tiwul garut, suweg dan

singkong dilakukan oleh 10 relawan dengan menggunakan glukometer.

1. Analisis Proksimat

a. Kadar Air (AOAC, 1995)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam

desikator, dan ditimbang. Sebanyak 4-5 g sampel ditimbang dalam cawan yang

telah diketahui bobot kosongnya, lalu dikeringkan dalam oven pengering pada

suhu 105oC selama 6 jam. Cawan dengan isinya kemudian didinginkan dalam

desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh berat

konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal

sampel sebelum dikeringkan dengan berat akhir setelah dikeringkan.

Kadar air (%) = (berat awal-berat akhir) x 100 % berat akhir

b. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan porselen dipanaskan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam

(49)

porselen dan ditimbang, lalu dibakar sampai tidak berasap lagi dan diabukan

dalam tanur bersuhu 550oC sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu)

dan beratnya konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar abu (%) = berat abu x 100 % berat sampel

c. Kadar Protein, Metode Semi Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)

Ditimbang sejumlah kecil sampel (0.2 g) dalam labu kjeldahl 30 ml. Ditambahkan

1.9 + 0.1 g K2SO4, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama

1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Cairan didinginkan, ditambah 8-10 ml

NaOH-Na2S2O3 dan dimasukkan ke dalam alat destilasi. Di bawah kondensor alat

destilasi diletakkan erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes

indikator metil merah. Ujung selang kondensor harus terendam larutan untuk

menampung hasil destilasi sekitar 15 ml. Distilat dititrasi dengan HCl 0.02 N

sampai terjadi warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap

blanko (tanpa sampel). Jumlah titrasi sampel (a) dan titrasi blanko (b) dinyatakan

dalam ml HCl 0.02 N.

Kadar N (%) = (a -b) x N HCl x 14,007 x 100 % mg sampel

Kadar protein (%) = Kadar N (%) x 6,25

d. Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak dikeringkan dengan oven. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dibungkus

(50)

tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor.

Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama minimal 5

jam. Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven,

lalu ditimbang.

Kadar lemak (%) = berat lemak x 100 % berat sampel

e. Kadar Karbohidrat by difference

Kadar karbohidrat pada sampel dihitung secara by difference, yaitu dengan cara

mengurangkan 100 % dengan nilai total dari kadar air, kadar abu, kadar protein

kadar lemak dan kadar serat kasar.

Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak + kadar serat kasar)

f. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml kemudian

ditambah dengan H2SO4 0,3 N di bawah pendingin balik kemudian dididihkan

selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-goyangkan. Suspensi disaring

dengan kertas saring, dan residu yang didapat dicuci dengan air mendidih hingga

tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Residu dipindahkan ke

dalam erlenmeyer, sedangkan yang tertinggal di kertas saring dicuci kembali

dengan 200 ml NaOH mendidih sampai semua residu masuk kedalam erlenmeyer.

Sampel dididihkan kembali selama 30 menit dan disaring sambil dicuci dengan

larutan K2SO4 10 %. Residu dicuci dengan 15 ml alkohol 95%, kemudian kertas

(51)

(berat kertas saring + residu) - berat kertas saring kosong

Serat kasar (%) = x 100 Berat sampel

2. Analisis Fisikokimia

a. Penentuan Kadar Total Pati

Penetapan kadar pati dilakukan berdasarkan metode AOAC (1984). Sebanyak 2 g

bahan dimasukkan kedalam erlenmeyer, lalu ditambahkan aquadest sampai

volume 50 ml, kemudian disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm.

Suspensi disaring dengan kain saring, dan endapannya dicuci dengan aquadest

sampai diperoleh filtrat sebanyak 250 ml. Endapan dipindahkan secara kuantitatif

dari kain saring kedalam erlenmeyer 500 ml dengan pencucian menggunakan

200 ml aquadest kemudian ditambahkan HCl 25% sebanyak 20 ml, dihidrolisis

dibawah pendingin balik selama 1,5 jam dan didinginkan. Selanjutnya

dinetralkan dengan NaOH 45% dan dilakukan pengenceran sampai volumenya

500 ml, lalu disaring dengan kain saring.

Sebelum penentuan kadar pati sampel, terlebih dahulu dibuat kurva standar

dengan membuat larutan glukosa standar (10 mg glukosa anhidrat/100 ml air),

dari larutan glukosa standar tersebut dilakukan 6 kali pengenceran sehingga

diperoleh larutan glukosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/ml. Sebanyak

7 buah tabung reaksi bersih, masing-masing diisi dengan 1 ml larutan glukosa

standar tersebut di atas. Satu tabung diisi aquadest sebagai blanko. Kemudian

dalam tabung reaksi ditambahakan fenol 5% sebanyak 1 ml. Panaskan dengan

penangas air pada suhu 30oC selama 20 menit. Kurva standar glukosa dengan OD

(52)

panjang gelombang 490 nm. Penentuan kadar pati sampel dilakukan seperti cara

penentuan kurva standar glukosa. Jumlah kadar pati ditentukan berdasarkan OD

larutan contoh dan kurva standar dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:

Kadar pati (%) = A x B x C x 0,9 x 100%

D Keterangan:

A = Glukosa yang diperoleh dari kurva standar

B = Volume sampel (ml)

C = Faktor pengenceran sampel

D = Berat sampel (g)

0,9 = Faktor penentu kadar pati

b. Kadar Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et al., 1989)

Pembuatan kurva standar amilosa

Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml,

ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu

takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95ºC selama 10 menit.

Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera

sebagai larutan stok standar.

Dari larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dan dipindahkan masing-masing ke

dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian

ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N. Ditambahkan 2

ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam

(53)

lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang

625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi.

Analisis sampel

Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian

ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu

takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95ºC selama 10 menit.

Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera

dan dihomogenkan. Dipipet 5 ml larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar

100 ml. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 ml larutan asam

asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan

selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada

panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan

kurva standar yang diperoleh. Kadar amilopektin diperoleh dengan cara by

different, yaitu dengan cara mengurangkan nilai 100% dengan kadar amilosa.

c. Kadar Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC, 1995)

Sampel kering diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu

kamar selama 15 menit. Sejumlah 1 gram sampel bebas lemak (w) dimasukkan ke

dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml 0.1 M buffer natrium fosfat pH 6

dan dibuat suspensi. Lalu ditambahkan 0.1 ml termamyl, ditutup dengan alufo dan

diinkubasi pada suhu 100ºC selama 15 menit, diangkat dan didinginkan,

kemudian ditambahkan 20 ml akuades dan pH diatur menjadi 1.5 dengan

(54)

diinkubasi pada suhu 40ºC dan diagitasi selama 60 menit. Kemudian ditambahkan

20 ml akuades dan pH diatur menjadi 6.8, lalu ditambahkan 100 mg pankreatin,

ditutup dan diinkubasi pada suhu 40ºC selama 60 menit sambil diagitasi,

danterakhir pH diatur dengan HCl menjadi 4.5. Selanjutnya disaring dengan

crucible kering porositas 2 yang telah ditimbang bobotnya yang mengandung

celite kering (bobot diketahui), lalu dicuci dua kali dengan aquades.

Residu (serat makanan tidak larut/IDF)

Sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton, lalu

dikeringkan pada suhu 105ºC sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang

setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan dalam tanur 500ºC

selama minimal 5 jam, dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1).

Filtrat (serat makanan larut/SDF)

Volume filtrat diatur dengan akuades sampai dengan 100 ml, lalu ditambah

dengan 400 ml etanol 95% hangat (60ºC), diendapkan 1 jam. Lalu disaring

dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering dan

dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu

105ºC hingga berat konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2).

Selanjutnya diabukan dalam tanur 500ºC selama minimal 5 jam, didinginkan

(55)

Serat makanan total/TDF dan blanko

Serat makanan total (TDF) ditentukan dengan menjumlahkan nilai SDF dan IDF.

Nilai blanko untuk IDF dan SDF diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa

menggunakan sampel.

Nilai IDF (% bb) = ((D1 – I1 – B1)/w) x 100%

Nilai SDF(% bb) = ((D2 – I2 – B2)/w) x 100%

Nilai TDF(% bb) = Nilai IDF + SDF

d. Pati Resisten (Kim, et al., 2003)

Sebanyak 0.5 g sampel pati dilarutkan dengan 25 ml buffer fosfat 0.08 M (pH 6.0)

dalam gelas piala 250 ml, lalu ditutup dengan aluminium foil. Kemudian

ditambahkan 0.05 ml enzim termamyl, dan campuran diinkubasi dalam penangas

air suhu 95ºC selama 15 menit, dengan diaduk lembut setiap 5 menit sekali.

Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diatur hingga 7.5 dengan 5

ml larutan NaOH 0.275 N dan ditambahkan 0.05 ml enzim protease (50 mg/ml

protease dalam buffer fosfat), lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang

dengan suhu 60ºC selama 30 menit. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH

campuran diturunkan menjadi 4.3 dengan menambahkan 5 ml larutan HCl 0.325

N, lalu ditambahkan 0.05 ml enzim amiloglukosidase, dan diinkubasi dalam

penangas air bergoyang pada suhu 60ºC selama 30 menit.

Setelah inkubasi selesai, ditambahkan empat bagian etanol 95% dan campuran

(56)

saring Whatman 40. Residu yang tertinggal dicuci dengan 20 ml etanol 78%

sebanyak tiga kali, lalu dengan 10 ml etanol murni sebanyak dua kali, dan dengan

10 ml aseton sebanyak dua kali. Residu tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu

40ºC. Kadar pati resisten dihitung dengan cara membandingkan bobot residu

dengan bobot sampel dikalikan 100. Nilai yang diperoleh dikonversi menjadi

kadar pati resisten dalam umbi segar dan dalam tepung umbi, dengan

menggunakan nilai rendemen pembuatan tepung dan kadar total pati tepung umbi.

Kadar RS (%) = bobot residu x 100 % bobot sampel

e. Daya Cerna Pati (Muchtadi, 1992)

Sebanyak 1 g sampel tepung atau pati murni dimasukkan dalam erlenmeyer 250

ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Wadah ditutup dengan

aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai suhu 90ºC

sambil diaduk. Setelah suhu 90ºC tercapai, sampel segera diangkat dan

didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi

bertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml buffer fosfat pH 7.

Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan

diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 15 menit. Larutan diangkat dan

ditambahkan 5 ml larutan enzim α-amilase (1 mg/ml dalam buffer fosfat pH 7)

untuk sampel dan 5 ml buffer fosfat pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi

dilanjutkan selama 30 menit.

Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi

Gambar

Tabel                                                                                                          Halaman
Gambar
Tabel 1.  Komposisi kimia kultivar creole dan banana umbi garut per 100 g bahan
Tabel 2.  Komposisi kimia dan kandungan gizi umbi suweg per 100 g  bahan
+7

Referensi

Dokumen terkait