KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK
OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.),
SUWEG (Amorphallus campanullatus) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)
Oleh
VERAWATI HASAN
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS
Pada
Program Pascasarjana Teknologi Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER TEKNOLOGI AGROINDUSTRI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) DAN SINGKONG (Manihot utillisima)
Oleh
Verawati Hasan (1), Sussi Astuti (2), Susilawati (2)
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap beberapa pangan yang diduga memiliki indeks glikemik rendah dan serat pangan tinggi, terkait fungsinya sebagai makanan fungsional, termasuk dari jenis umbi-umbian. Umbi-umbian diyakini memiliki sifat fungsional karena memiliki serat pangan (dietary fiber). Pemanfaatan umbi-umbian minor seperti suweg dan garut sebagai bahan baku oyek dan tiwul belum banyak dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisiko kimia dan indeks glikemik oyek dan tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri Universitas Lampung Laboratorium Biokimia IPB dan Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian SMKN 2 Metro, dari bulan April sampai Agustus 2011. Penelitian disusun faktorial dengan dua ulangan. Faktor pertama adalah jenis umbi (garut, suweg dan singkong) dan faktor kedua adalah jenis olahan (oyek dan tiwul). Data hasil penelitian diolah secara deskriptif dengan menggunakan nilai rata-rata dan disajikan dalam bentuk diagram batang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar total pati oyek dan tiwul singkong tertinggi (68.28% oyek dan tiwul singkong (20.60% dan 18.87%).
Hasil pengukuran terhadap nilai Indeks Glikemik (IG) menunjukkan bahwa nilai IG oyek garut sebesar 41, oyek suweg sebesar 42, oyek singkong sebesar 30, sedangkan tiwul garut memiliki nilai IG sebesar 40, tiwul suweg sebesar 40 dan tiwul singkong sebesar 29. Oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong tergolong bahan pangan yang memiliki nilai IG rendah (<55).
Kata kunci : oyek, tiwul, umbi-umbian, sifat fisiko kimia, indeks glikemik
OYEK AND TIWUL FROM ARROWROOT TUBERS
(Marantha arundinaceae L.),SUWEG (Amorphallus campanullatus BI) AND
CASSAVA (Manihot utillisima)
By
Key words: oyek, tiwul, tubers, physico-chemical properties, the glycemic index
1. Alumnus of Agriculture Faculty Magister Technology Agroindustry University of Lampung
Judul Tesis : KAJIAN SIFAT FISIKO KIMIA OYEK DAN TIWUL DARI UMBI GARUT (Marantha arundinaceae, L.), SUWEG (Amorphallus campanullatus BI), DAN SINGKONG (Manihot utillisima)
Nama Mahasiswa : Verawati Hasan
Nomor Pokok Mahasiswa : 0924051009
Jurusan : Magister Teknologi Agroindustri
Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si. Ir. Susilawati, M.S.
NIP 19670824 199303 2 002 NIP. 19610806 198702 2 001
2. Ketua Program Studi Magister Teknologi Agroindustri
Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D.
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si.
Anggota : Ir. Susilawati, M.S.
Penguji
Bukan Pembimbing : Dr. Ir .Subeki, M.Si., M.Sc.
2. Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 196108261987021001
3. Direktur Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Abdul Kadir Salam, M.Sc. NIP. 196011091985031001
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Komposisi kimia kultivar Creole dan Banana umbi garut…………...
Komposisi kimia dan kandungan gizi umbi suweg per 100g bahan……..
Kandungan gizi singkong dan produk turunannya……….
Rerata hasil analisis proksimat oyek dan tiwul garut, suweg dan
singkong………...
Rekapitulasi sifat fisikokimia berbagai jenis oyek dan tiwul………..
Hasil analisis karbohidrat dan jumlah sampel yang dikonsumsi………….
Hasil pengukuran indeks glikemik oyek dan tiwul dari berbagai umbi………...
12
14
15
47
50
64
66
Gambar Halaman
Diagram alir pembuatan oyek garut………..
Diagram alir pembuatan oyek suweg………
Diagram alir pembuatan oyek singkong………
Diagram alir pembuatan tiwul garut………..
Diagram alir pembuatan tiwul suweg………
Diagram alir pembuatan tiwul singkong………...
Diagram batang kadar total pati berbagai jenis oyek………
Diagram batang kadar total pati berbagai jenis tiwul………
Diagram batang kadar amilosa berbagai jenis oyek……….
Diagram batang kadar amilosa berbagai jenis tiwul………
Diagram batang kadar amilopektin berbagai jenis oyek………..
Diagram batang kadar amilopektin berbagai jenis tiwul………...
Diagram batang kadar serat pangan berbagai jenis oyek………..
Diagram batang kadar serat pangan berbagai jenis tiwul……….
Diagram batang kadar pati resisten berbagai jenis oyek………..
Diagram batang kadar pati resisten berbagai jenis tiwul………
Diagram batang kadar daya cerna berbagai jenis oyek………
Diagram batang kadar daya cerna berbagai jenis tiwul………
Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi
23.
24.
25.
26.
Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi
oyek singkong………..
Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi
tiwul garut………...
Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi
tiwul suweg………
Kurva perubahan kadar glukosa darah relawan 1 setelah mengkonsumsi tiwul singkong………..
67
67
67
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Pada abad modern ini, filosofi makan telah banyak mengalami pergeseran. Makan
bukanlah sekedar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah manfaat
makanan bagi kesehatan tubuh. Pangan diharapkan memberikan lebih dari
sekedar zat gizi sebagai kebutuhan dasar tubuh dan pemuas sensori, tetapi dapat
juga bersifat fungsional.
Pangan fungsional adalah makanan atau bahan pangan yang dapat memberikan
manfaat tambahan disamping fungsi dasar pangan tersebut. Makanan atau pangan
dikatakan bersifat fungsional bila mengandung zat gizi atau non gizi (komponen
aktif) yang dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh kearah yang bersifat
positif seperti memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit
tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga
kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati.
Diversifikasi atau penganekaragaman pangan fungsional sebaiknya dilakukan
dengan memanfaatkan sumberdaya alam sekitar. Nenek moyang bangsa
(pangan tradisional) yang mereka yakini dapat memberikan manfaat bagi
kesehatan tubuh.
Menurut Ardiansyah (2008), pangan tradisional adalah makanan atau minuman
yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, dengan citarasa yang khas yang
diterima oleh masyarakat tersebut. Pangan tradisional meliputi berbagai jenis
bahan pangan seperti: bahan nabati (kacang-kacangan, sayuran hijau,
umbi-umbian dan buah-buahan), hewani (kerang, ikan, unggas), dan rempah-rempah
(jahe, kunyit, ketumbar, salam, sirih, dan lain-lain).
Pangan tradisional yang sangat populer bagi masyarakat pedesaan di Indonesia
adalah oyek dan tiwul. Oyek dan tiwul pada umumnya dibuat dari singkong dan
dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan yang kurang mampu atau pada saat musim
paceklik sebagai pengganti beras atau sebagai makanan pokok. Selain harga yang
relatif lebih murah dibanding beras, oyek dan tiwul (singkong) diyakini
masyarakat sebagai pangan tradisional yang memberi efek menguntungkan
terhadap kesehatan.
Pemanfaatan umbi-umbian minor seperti umbi garut dan suweg sebagai bahan
baku oyek dan tiwul belum banyak dilakukan. Sebagai pengganti beras, oyek dan
tiwul yang terbuat dari umbi-umbian minor seperti umbi garut dan suweg
memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Dari berbagai
umbi-umbian minor yang diteliti ternyata umbi garut kukus memiliki indeks glikemik
yang rendah yaitu sebesar 14 (Marsono, 2002) dan umbi suweg kukus memiliki
indeks glikemik sebesar 42 (Faridah, 2005). Kimpul, gembili, ganyong, dan
Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula
darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap
makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni.
Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis
dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pangan
dengan IG rendah memiliki potensi sebagai pangan fungsional. Dengan nilai IG
umbi garut dan suweg kukus yang rendah, umbi garut dan suweg memiliki potensi
yang sangat baik untuk dikembangkan terkait dengan nilai IG-nya.
Pangan dengan IG rendah memiliki potensi sebagai pangan fungsional karena
potensinya sebagai pengganti makanan pokok beras bagi penderita diabetes
mellitus yang kian hari semakin meningkat di Indonesia. Menurut datan WHO,
Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes
mellitus di dunia. Pada tahun 2000, terdapat sekitar 5.6 juta penduduk Indonesia
yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita
diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang, 50% penderita sadar
telah mengidap diabetes dan diantara mereka baru sekitar 30% yang datang
berobat teratur (Anonim, 2010). Peningkatan penderita diabetes ini dapat terjadi
karena peningkatan kesejahteraan dan ketersediaan pangan serta pola konsumsi
yang tidak benar.
Salah satu upaya untuk pencegahan penyakit diabetes adalah dengan pengaturan
pola konsumsi yang benar dan pemilihan makanan yang tepat. Menurut Shin et al
(2003) pendekatan pemilahan dan pengaturan makanan menjadi cara yang masuk
merubah pola makan yang kurang baik menjadi lebih baik. Cara memilih pangan
yang tepat diantaranya dengan memakan makanan yang banyak mengandung pati
resisten. Bahan makanan yang banyak mengandung pati resisten banyak
ditemukan pada akar umbi, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Konsumsi
makanan berkadar karbohidrat tinggi seperti nasi dan makanan yang terbuat dari
gandum lainnya ada baiknya dibatasi bagi para penderita diabetes. Sebagai
gantinya dapat diberikan makanan yang memiliki pati resisten dan berindeks
glikemik yang rendah seperti garut dan suweg. Pemanfaatan garut dan suweg
yang dibuat menjadi oyek dan tiwul diharapkan dapat menjadi salah satu pangan
fungsional khususnya bagi penderita diabetes.
Para ahli telah mempelajari faktor-faktor penyebab perbedaan IG antara pangan
yang satu dengan lain. Menurut Sarwono (2002), faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap IG bahan pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan
ukuran partikel), perbandingan amilosa dan amilopektin, kadar serat, dan anti
gizi. Haliza (2006) menyatakan bahwa pengolahan mengakibatkan perubahan
terhadap kandungan pati di dalam pangan menjadi sulit dicerna. Oleh karena itu
diperlukan penelitian terhadap sifat fisikokimia dan IG oyek dan tiwul garut,
suweg dan singkong. Apabila dari hasil penelitian terbukti oyek dan tiwul garut,
suweg dan singkong memiliki IG rendah, maka sebagai pangan tradisional dapat
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisikokimia dan indeks glikemik
oyek dan tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong.
C. Kerangka Pemikiran
Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap beberapa pangan yang diduga
memiliki indeks glikemik rendah dan serat pangan tinggi, terkait fungsinya
sebagai makanan fungsional, termasuk dari jenis umbi-umbian. Umbi-umbian
diyakini memiliki sifat fungsional karena memiliki serat pangan (dietary fiber)
yang cukup tinggi dan dapat dijadikan sebagai salah satu pangan fungsional.
Makanan modern pada saat ini kebanyakan mengandung pati yang terdapat
didalamnya telah mengalami perubahan yang menyebabkan sulit untuk dicerna
(Haliza, 2006). Kecenderungan pola konsumsi yang tidak benar dan kenaikan
kesejahteraan masyarakat serta ketersediaan berbagai makanan menyebabkan
kenaikan prevalensi penyakit diabetes di Indonesia. Menurut data WHO
Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes di
dunia. Pada tahun 2000 terdapat 5.6 juta penduduk Indonesia yang mengidap
diabetes. Minimnya informasi tentang gejala diabetes, pencegahannya dan pola
konsumsi yang tidak benar di masyarakat menyebabkan kecenderungan penderita
penyakit ini kian meningkat di tahun-tahun mendatang.
Diversifikasi pangan fungsional terutama yang terbuat dari umbi-umbian perlu
dilakukan sedini mungkin. Keanekaragaman hayati di Indonesia yang berlimpah
ganyong dan lain-lain, masih memiliki potensi yang besar untuk digali
manfaatnya bagi kepentingan masyarakat.
Oyek dan tiwul merupakan salah satu makanan yang cukup populer dikalangan
masyarakat kelas bawah, terutama dikonsumsi pada saat paceklik. Pola konsumtif
masyarakat yang membeli makanan hanya semata-mata berdasarkan atas
pertimbangan selera dan prestise, bukan untuk pencapaian tingkat kesehatan yang
optimal, membuat oyek tidak banyak dilirik oleh kalangan atas, sehingga oyek
lebih dikenal atau identik sebagai pangan masyarakat kelas bawah.
Oyek dan tiwul yang dikenal di masyarakat biasanya terbuat dari ubi kayu padahal
tidak menutup kemungkinan bagi umbi-umbian lain yang memiliki sifat
fungsional untuk dibuat sebagai oyek. Beberapa penelitian difokuskan untuk
meneliti indeks glikemik umbi-umbian minor, salah satunya adalah garut yang
ternyata memiliki indeks glikemik yang rendah. Menurut Marsono (2002) umbi
garut kukus memiliki indeks glikemik sebesar 14, sedangkan Faridah (2005)
menyatakan bahwa umbi suweg kukus memiliki IG sebesar 42. Kedua umbi
tersebut tergolong bahan pangan yang memiliki IG rendah.
Berdasarkan nilai IG-nya, pangan dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu
pangan IG rendah dengan rentang nilai IG < 55, pangan IG sedang dengan rentang
nilai IG 55 – 70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG > 70. Karbohidrat
dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi,
sebaliknya pangan yang memiliki IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan
lambat sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat (Rimbawan
Dibandingkan dengan umbi kukus, oyek dan tiwul lebih mewakili sebagai
pangan pokok pengganti beras, bagi penderita diabetes. Namun pemanfaatan
umbi-umbian minor seperti umbi garut dan umbi suweg sebagai bahan baku oyek
dan tiwul belum banyak dilakukan, dan sejauh ini belum ada informasi hasil
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sifat fisikokimia dan indeks glikemik
oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan singkong. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi tentang sifat fisikokimia dan indeks
glikemik oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan singkong terkait fungsinya
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pangan Fungsional
Menurut Astawan (2009), fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk
memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, bobot
tubuh dan aktivitas fisik. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah
fungsi primer. Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga
memenuhi fungsi sekunder, yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik
Seiring makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat,
maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga semakin bergeser. Bahan
pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai
komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi
juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Fungsi yang demikian
dikenal sebagai fungsi tersier.
Jepang merupakan negara yang paling tegas dalam memberi batasan mengenai
pangan fungsional, paling maju dalam perkembangan industrinya. Para ilmuwan
Jepang menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu: (1) sensori
(warna dan penampilan yang menarik dan cita rasa yang enak), (2) nutritional
(bernilai gizi tinggi), dan (3) physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang
pangan fungsional antara lain adalah: (1) pencegahan dari timbulnya penyakit,
(2) meningkatnya daya tahan tubuh, (3) regulasi kondisi ritme fisik tubuh,
(4) memperlambat proses penuaan, dan (5) menyehatkan kembali (recovery).
Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh
suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) harus
merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang
berasal dari bahan alami, (2) dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet
atau menu sehari-hari, (3) mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, dan dapat
memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme
pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi
tubuh setelah sakit, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses
penuaan.
Menurut konsensus pada The First International Conference on East-West
Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan
yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi
kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung
didalamnya.
Pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang
berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi- fungsi fisiologis
tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan, dikonsumsi layaknya makanan atau
minuman, serta mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna,
Menurut Ardiansyah (2008), kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi pangan dan
farmasi yang pesat telah memberikan bukti ilmiah bahwa sebagian besar jenis-
jenis pangan yang diyakini nenek moyang kita bermanfaat untuk peningkatan
kesehatan dan pengobatan.
Sebagian besar zat-zat bioaktif dalam bahan pangan tersebut juga telah dapat
diidentifikasi dan diisolasi. Kemajuan ini mendorong lahirnya berbagai produk
pangan fungsional dengan berbagai klaim khasiat dan manfaatnya. Di masa
datang kita tentu tidak ingin menggantungkan diri pada produk pangan fungsional
yang diproduksi di mancanegara tetapi bahan bakunya berasal dari negara kita,
atau diproduksi dengan lisensi dari negara lain sedangkan komponen bioaktifnya
berasal dari sumberdaya hayati pangan kita.
Dalam rangka pengembangan pangan tradisional dengan peningkatan mutu dan
keamanannya harus tetap mengacu pada food habbit atau kebiasaan makan,
dengan cara; (1) setiap masukan hal-hal baru akan mudah diterima apabila ada
kesamaan dengan ciri yang telah ada dan (2) atribut yang menjadi ciri pangan
tradisional sebaiknya tetap dipertahankan.
B. Garut (Marantha arundinaceae L.)
Garut (Marantha arundinaceae L.) merupakan sumber karbohidrat lokal yang
belum banyak termanfaatkan. Selain memiliki banyak manfaat, garut juga mudah
ditanam. Tanaman yang kini nyaris terlupakan di tengah gaya dan pola makan
kita ini mengandung karbohidrat dan zat besi lebih tinggi dibandingkan tepung
terigu dan beras, serta kandungan kalori tepung garut pun hampir setara dengan
beras dan terigu (Anonim, 2007).
Garut, irut, harut atau patat sagu merupakan salah satu anggota dari suku
Marantaceae. Dalam ilmu tumbuh-tumbuhan dikenal dengan nama Marantha
arundinaceae L. Tanaman ini tumbuh tegak dengan tinggi 60 – 80 cm, batang
sejatinya terdapat dalam tanah, berbentuk kumparan menebal ke arah puncak.
Daunnya berbentuk bundar telur hingga lanset bundar telur, berwarna hijau
berbecak putih (Anonim, 2007). Umbinya berwarna putih ditutupi dengan kulit
yang bersisik berwarna coklat muda, berbentuk silinder. Tanaman ini berasal dari
Amerika khususnya daerah tropik, kemudian menyebar ke Negara-negara tropik
lainnya seperti Indonesia, India, Sri Lanka dan Philipina. Jenis tanaman ubi-ubian
ini tumbuh pada ketinggian 0 – 900 m dpl, dan tumbuh baik pada ketinggian 60 –
90 m dpl. Tanah yang lembab dan di tempat-tempat yang terlindung merupakan
habitat yang terbaik (Sastapraja et al., 1977).
Menurut Kay (1973), garut atau arrowroot memiliki dua kultivar utama yaitu
creole dan banana. Kultivar creole memiliki rhizoma yang kecil memanjang,
dengan susunan menyebar di sekitar batang dan terpenetrasi lebih dalam ke dalam
tanah, sedangkan kultivar banana berumbi pendek tebal, sedikit memiliki serat,
dan rhizomanya terbentuk lebih dekat ke permukaan tanah. Kedua kultivar ini
memiliki komposisi kimia yang tidak jauh berbeda. Komposisi kimia kedua
Tabel 1. Komposisi kimia kultivar creole dan banana umbi garut per 100 g bahan
Perbanyakan tanaman garut dilakukan dengan memotong sebagian kecil dari
rimpang yang bertunas. Tanaman ini biasanya ditanam pada permulaan musim
hujan sesudah tanah digemburkan lebih dahulu. Selama pertumbuhan, tanah
sekali-kali perlu digemburkan. Umbi dapat dipanen pada umur 10 – 11 bulan, bila
daun-daunnya mulai melayu. Tepung garut mempunyai prospek yang baik dalam
mensubtitusi atau menggantikan tepung terigu karena mempunyai sifat yang
mendekati sifat tepung terigu, serta memiliki kandungan gizi yang tidak jauh
berbeda dengan tepung terigu maupun beras giling.
Dengan karakteristik yang lebih mendekati tepung terigu tersebut, sesungguhnya
tepung garut dapat dipergunakan sebagai alternatif untuk pengganti terigu dalam
penggunaan bahan baku kue, mie, roti kering maupun bubur bayi, makanan diet
pengganti nasi.
C. Suweg (Amorphophallus campanullatus)
Suweg adalah salah satu jenis marga Amorphophallus yang termasuk kedalam
suku talas-talasan (Araceae). Suweg berasal dari daerah Asia tropik dan Afrika
Pasifik (Kriswidarti, 1980). Di Indonesia sebagian kecil saja penduduk yang
mengenal dan menanam suweg. Tanaman suweg umumnya tumbuh liar di hutan,
dan belum ada usaha untuk membudidayakannya secara besar-besaran, meskipun
suweg memiliki potensi besar sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi
(Lingga et al., 2003).
Tanaman marga Amorphophallus mempunyai 90 jenis (Kay, 1973). Di Indonesia
jenis yang banyak dijumpai adalah Amorphophallus campanulatus BI sedangkan
di Jepang, jenis suweg yang sudah diusahakan besar-besaran adalah Amorphallus
conjac dengan kandungan pati cukup tinggi (Kriswidarti, 1980).
Ada dua varietas Amorphophallus campanulatus yaitu varietas cyvestris yang
berbatang besar, berwarna agak gelap, umbinya sangat gatal dan varietas hortensis
yang berbatang lebih halus dan umbinya tidak begitu gatal (Kriswidarti, 1980).
Amorphophallus campanulatus varietas hortensis banyak ditanam rakyat sebagai
pangan karena umbinya banyak mengandung pati. Sedangkan Amorphophallus
campanulatus varietas cylvestris belum dimanfaatkan oleh penduduk dan masih
merupakan tumbuhan liar (Rosman dan Rusli, 1991). Hal lain yang juga
membedakan kedua varietas tersebut adalah halus kasarnya bintil-bintil pada
tangkai daun yang berwarna belang-belang. Bintil pada varietas cylvestris jika
diraba terasa lebih kasar dan tajam (Lingga et al., 1991).
Suweg mempunyai bentuk umbi setengah bulat dengan diameter antara 10-25 cm.
Umbi ini mengandung kristal oksalat yang menyebabkan rasa gatal bila dimakan
(Amorphophallus campanulatus) mengandung kristal asam oksalat sebanyak 382
mg. Untuk menghilangkan rasa gatal dapat dilakukan perendaman. Perendaman
umbi yang paling baik adalah dengan menggunakan air bersih dengan lama
perendaman 12 jam asam oksalat akan larut dan terbebas keluar (Drajat, 1987).
Umbi suweg mengandung banyak mengandung karbohidrat. Menurut Rosman et
al., (1994), komponen karbohidrat yang paling utama adalah pati. Selain
mengandung karbohidrat yang cukup tinggi, umbi suweg juga mengandung
ke berbagai belahan dunia. Singkong merupakan tanaman rakyat yang banyak
berperan sebagai sumber pangan penduduk di daerah rawan pangan. Indonesia
merupakan salah satu negara penghasil singkong di dunia. Sebagai sumber
pangan nilai utama singkong adalah nilai kalorinya yang tinggi. Kandungan gizi
singkong dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan gizi singkong dan produk turunannya per 100 g bahan
No. Kandungan Gizi Singkong Gaplek Tepung Tapioka 1. Kalori (Kal) 146 338 363
2. Protein (g) 1,2 1,5 1,1 3. Lemak (g) 0,3 0,7 0,5 4. Karbohidrat (g) 34,7 81,3 88,2 5. Zat kapur (mg) 33 80 84 6. Phospor (mg) 40 60 125 7. Zat besi (mg) 0,7 1,9 1,0 8. Vitamin A (S.I) 0 0 0 9. Thiamin (mg) 20 0 0,4 10. Vitamin C (mg) 38 0 0 Sumber : Lingga et al. (1991)
Menurut Lingga et al., (1991), singkong memiliki banyak varietas yang tersebar
dan dikenal di masyarakat diantaranya adalah:
a. Aipin mangi
Varietas ini berasal dari Brazil, tidak beracun, umbi memanjang, rasa manis.
b. Aipin valenca
Varietas ini juga berasal dari Brazil, aman dikonsumsi, rasa manis, dan bentuk
umbi agak gemuk.
c. Mandioca basiorao
d. Mandioca Sao Pedro Preto (SPP)
Berasal dari Brazil, hasil melimpah, umbi besar tidak bertangkai, rasa pahit dan
mengandung racun.
e. Bogor
Berasal dari Bogor, hasil melimpah, umbi besar tidak bertangkai, rasa pahit
meskipun telah dimasak dan mengandung racun.
f. Muara
Varietas ini merupakan hasil persilangan dari jenis Bogor, umbi besar,
bertangkai pendek dan beracun.
g. Betawi
Varietas Betawi juga berasal dari Bogor dan merupakan hasil persilangan
antara Malaka dan Basiorao. Umbi besar tidak bertangkai, dan aman untuk
dikonsumsi.
Selain varietas-varietas tersebut diatas, terdapat beberapa varietas lain diantaranya
Trapecum itaparica, Tapicuru, Criolincha, Pucuk biru, Pengkang, 802, Mentega,
W 236, Sulingen, Iding dan lain-lain.
Menurut Anwar (2009), singkong yang baik dipergunakan dalam pembuatan
oyek dan tiwul adalah singkong putih dan singkong kuning dari jenis singkong
manis yang mempunyai kandungan HCN (sianida) rendah. Sianida atau racun
pada singkong dapat hilang setelah pencucian, perendaman, pemasakan, serta
E. Oyek
Oyek merupakan nama tradisional yang digunakan untuk menyebut hasil olahan
dari ubi kayu yang berbentuk butiran-butiran. Nama ilmiahnya adalah
beras-singkong atau cassava rice, yang dapat digunakan sebagai beras simulasi
pengganti bahan makanan pokok yang keseluruhan bahan bakunya berasal dari
singkong. Beras-singkong sangat populer di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur,
juga pada sebagian masyarakat Sumatera Selatan dan Lampung.
Menurut Anwar (2009) teknologi pembuatan beras-singkong secara tradisional
hampir sama untuk semua wilayah, baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, Sumatera Selatan atau dari Filipina. Singkong direndam beberapa hari,
kemudian dicuci sampai bersih untuk menghilangkan bau dan kotoran,
selanjutnya dibuat tepung dan dikeringkan. Untuk membuat butiran seperti beras
tepung dipercikkan air, dibuat butiran kecil, kemudian dikukus dan dikeringkan.
Pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan panas matahari.
Beras-singkong ini dapat disimpan cukup lama apabila pengeringan cukup sempurna
atau kadar airnya cukup rendah.
Alternatif cara lain, singkong yang telah direndam setelah dicuci bersih langsung
dihancurkan dan dibuat butiran seperti beras tanpa terlebih dahulu dibuat tepung.
Butiran yang terbentuk dikukus dan dikeringkan. Masalah yang sering timbul
dalam pembuatan beras-singkong adalah pengeringan yang tidak sempurna,
sehingga sering produknya ditumbuhi jamur dan bau yang kurang sedap. Bau
pencucian yang kurang sempurna. Keadaan inilah yang diduga sebagai penyebab
beras-singkong yang dibuat secara tradisional dengan nama oyek menjadi kurang
diminati.
Teknologi yang digunakan dalam pembuatan beras-singkong semi-instan sama
dengan teknologi pembuatan beras instan dengan sedikit modifikasi. Ada
beberapa tahap yang harus dilakukan dalam pembuatan beras-singkong
semi-instan, yaitu perendaman, pengukusan, dan pengeringan.
Perendaman dan pemasakan ditujukan agar terjadi gelatinasi dan pengembangan
granula pati. Pati yang mengalami gelatinasi setelah dikeringkan molekulnya
dapat lebih mudah menyerap air kembali dalam jumlah besar karena perendaman
dengan larutan soda kue atau dengan larutan perendaman meta fosfat menjadikan
tekstur produk semi-instan lebih porous. Struktur pati yang porous setelah
pengeringan memudahkan air untuk meresap ke dalam beras-singkong
semi-instan pada waktu rehidrasi. Sifat inilah yang digunakan dalam pembuatan pangan
instan. Diharapkan dengan menggunakan teknologi semi-instan ini tidak
menjadikan beras-singkong kurang diminati lagi (Anwar, 2009).
F. Tiwul
Tiwul adalah makanan pokok pengganti beras yang biasanya terbuat dari
singkong, yang merupakan makanan khas masyarakat Gunung Kidul (Mita,
2009). Singkong yang dipergunakan dalam pembuatan gaplek adalah singkong
yang tidak beracun sehingga aman untuk dikonsumsi. Racun pada singkong
pengolahan yang dilakukan dengan baik dapat menghindarkan masyarakat yang
mengkonsumsi tiwul dari bahaya keracunan sianida.
Perbedaan yang utama dalam pembuatan tiwul dengan oyek adalah pada proses
pengolahannya. Dalam pembuatan tiwul didahului proses pembuatan gaplek
terlebih dahulu.
Secara tradisional, gaplek yang akan diolah menjadi tiwul harus ditepungkan
dengan cara ditumbuk. Alat penumbuknya berupa lumpang dan alu, yang juga
merupakan alat penumbuk padi, jagung, serta produk pertanian lainnya. Lumpang
biasanya terbuat dari kayu atau batu. Bentuknya segi empat berukuran sekitar 80
cm x 0,70 cm x 60 cm, dengan lubang di bagian tengahnya berbentuk lingkaran
berdiameter sekitar 30 cm. Kedalaman lubang sekitar 30 cm, dengan diameter
yang makin mengecil. Alunya sendiri berupa kayu yang berat dan keras
berdiameter 10 cm, panjang 2 m, dengan pegangan di bagian tengahnya yang
dibuat mengecil.
Gaplek yang telah ditumbuk, akan diayak dengan menggunakan tampah. Tampah
adalah anyaman bambu yang rapat dan halus, dipotong menjadi lingkaran yang
berdiameter 70 cm. Proses pengayakan tepung gaplek dengan menggunakan
tampah, serta memerlukan keterampilan tinggi. Mula-mula gaplek yang sudah
ditumbuk diletakkan dalam tampah. Tampah digoyang melingkar berulangkali
hingga gaplek kasar mengumpul di bagian tengah yang kemudian diambil untuk
ditumbuk ulang. Tampah digetarkan naik turun dengan sangat cepat, hingga
tepung gaplek terkumpul di bawah dan bergerak ke arah belakang. Sementara
ditumpahkan ke wadah lain untuk ditumbuk ulang. Proses ini dilakukan
terus-menerus sampai diperoleh tepung gaplek halus. Selanjutnya, tepung gaplek halus
ini diberi air sampai menggumpal dan kembali dihancurkan secara manual dengan
tangan. Proses ini tetap dilakukan dalam tampah. Untuk memperoleh adonan
berupa butiran yang akan menjadi tiwul, dilakukan proses pemutaran. Tepung
yang masih berupa butiran agak kasar dihancurkan dengan tangan hingga seluruh
tepung menjadi partikel halus yang siap ditanak (dikukus). Bila ingin disimpan
dalam waktu lama setelah proses pengukusan tiwul basah dapat dilkeringkan
sehingga dapat memperpanjang masa simpannya. Pada saat akan memasaknya
tiwul kering terlebih dahulu dilakukan perendaman untuk mempercepat proses
pengukusan.
Tepung gaplek kualitas baik berwarna putih bersih dan beraroma harum khas
gaplek. Tepung kualitas kurang baik berwarna agak cokelat atau abu-abu. Warna
cokelat diakibatkan oleh adanya partikel tanah liat karena setelah dikupas,
singkong tidak dicuci. Warna abu-abu disebabkan oleh adanya kapang karena
proses penjemuran tidak sempurna. Setelah dimasak menjadi tiwul, warna tepung
gaplek yang putih itu akan menjadi cokelat muda cerah agak kekuningan.
Aromanya harum. Teksturnya mirip kue apem tetapi lebih remah. Rasa tiwul
kualitas baik agak manis akibat sebagian karbohidrat dalam pati singkong
terfermentasi menjadi gula pada proses pembuatan gaplek maupun penepungan
(Anonim, 2010)
Tiwul sebagai makanan pokok, memiliki kandungan kalori lebih rendah daripada
dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan, dan lain sebagainya.
Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia
pada masa penjajahan Jepang (Anonim, 2010).
G. Pati
Pati yang merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan, adalah bentuk
penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula
dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al.,
2006). Pati merupakan polisakarida yang tidak mempunyai rasa manis, dan
merupakan jenis karbohidrat yang paling sering digunakan sebagai sumber energi
dalam bentuk makanan pokok serta dalam bentuk makanan lain (Hodge and
Osman, 1976). Struktur molekul pati dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur molekul pati Sumber : Anonim (2009)
Pada umumnya pati tidak terdapat dalam keadaan murni karena tersusun atas tiga
komponen yaitu amilosa, amilopektin, dan material lain seperti lemak dan protein
(Banks et al., 1975). Jenis pati dapat dibedakan secara mikroskopis karena
memiliki bentuk, ukuran, letak hilum, dan juga sifat birefringent yang unik.
mikroskop terlihat kristal gelap dan terang, inilah yang disebut sifat birefringent.
Granula pati yang telah menyerap air, apabila dipanaskan akan mengalami
pembengkakan yang pada suhu tertentu bersifat irreversibel.
Perubahan ini disebut proses gelatinisasi, dan suhu saat terjadinya gelatinisasi
disebut suhu gelatinisasi yang berbeda-beda pada setiap jenis pati. Pada saat
tergelatinisasi, sifat birefringent pati akan hilang. Pati tergelatinisasi yang
kemudian mengalami penurunan suhu dapat mengkristal kembali, proses ini
disebut retrogradasi (BeMiller and Whistler, 1996).
H. Pati Resisten
Menurut EURESTA (European FLAIR-Concerted Action on the 'Physiological
implication of the consumption of resistant starch in man') definisi pati resisten
adalah jumlah keseluruhan dari pati dan produk hasil degradasi pati yang tidak
terserap dalam usus halus pada individu yang sehat (Anonim, 2010). Definisi lain
menyatakan pati resisten sebagai fraksi kecil dari pati yang resisten terhadap
proses hidrolisis oleh α-amilase dan pullulanase pada perlakuan in vitro. Setelah
diinkubasi selama 120 menit (Englyst et al., 1992).
Menurut Brown et al. (1995) ada tiga jenis pati resisten (RS1, RS2, dan RS3) dapat
ditemui secara alami di bahan pangan ataupun juga terbentuk sebagai bagian dari
proses normal pemasakan. Croghan (2002) menyatakan bahwa pati tahan cerna
dikelompokkan dalam empat tipe yaitu: (1) pati tahan cerna tipe 1 adalah
kelompok pati yang terperangkap di dalam sel tanaman, misalnya pada
sehingga sulit untuk dihidrolisis, contohnya umbi-umbian mentah seperti pati
kentang, jagung dan pisang, (3) pati tahan cerna tipe 3 berupa pati retrogradasi
atau pati dalam bentuk kristal, yang terdapat pada cornflakes, kentang matang
yang didinginkan (4) pati tahan cerna tipe 4 adalah pati yang dimodifikasi secara
kimia (Tovar et al., 1999).
I. Indeks Glikemik
Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula
darah. Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap
makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni.
Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis
dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan
berbeda-beda tergantung pada fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan (Sarwono,
2002; Rimbawan dan Siagian, 2004).
Indeks glikemik ditemukan pada awal tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang
Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan
penanganan yang paling baik bagi penderita DM. Pada masa itu diet pada
penderita DM didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap
bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang sama pada
kadar gula darah. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama
pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis
pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi. Sebaliknya karbohidrat yang dipecah
dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah, sehingga melepaskan glukosa
digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Nilai IG ditentukan dengan cara membandingkan luas area dibawah kurva respon
glikemik pangan yang diuji dengan luas area dibawah kurva respon glikemik
pangan acuan. Kurva respon glikemik pangan diperoleh dari data pengukuran
kadar glukosa darah subjek setelah makan dengan interval 30 menit. Kurva akan
menggambarkan efek glikemik dari pangan, yaitu ukuran seberapa cepat dan
seberapa tinggi kadar glukosa darah naik, dan seberapa cepat tubuh merespon
dengan membuat kadar glukosa darah kembali normal setelah makan (Whitney et
al., 1990). Sebagai pangan acuan digunakan glukosa murni atau roti tawar yang
dianggap memiliki IG 100.
Kategori pangan menurut rentang IG yaitu : (1) IG rendah, rentang IG < 55 (2) IG
sedang, rentang IG 55 – 70, (3) IG tinggi, rentang IG > 70. Karbohidrat dalam
pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi,
sebaliknya pangan yang memiliki IG rendah karbohidratnya akan dipecah dengan
lambat sehingga melepaskan glukosa dalam darah dengan lambat (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Penderita penyakit diabetes dianjurkan memilih pangan yang ber-IG rendah,
sebab pangan tersebut tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis
(Rimbawan dan Siagian, 2004). Nilai IG pangan berguna bagi penderita gangguan
metabolisme glukosa seperti penderita diabetes dalam memilih jenis makanan
yang tepat untuk dapat mengontrol kadar glukosa darah, dan bagi populasi umum
telah ditentukan dan disajikan dalam bentuk tabel umum. Akan tetapi terdapat
kemungkinan perbedaan nilai IG untuk jenis pangan yang sama antara dua daerah
yang berbeda akibat perbedaan faktor tumbuh bahan pangan. Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi besarnya IG pangan adalah proses pengolahan, ukuran
partikel dan tingkat gelatinisasi, perbandingan amilosa-amilopektin, tingkat
keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat
anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Nilai IG hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan karbohidrat
menjadi gula darah, tetapi tidak memberikan informasi mengenai banyaknya
karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap kadar gula darah. Oleh karena
itu, dikembangkan pula konsep yang dapat mengoreksi kelemahan dari IG, yaitu
dengan menentukan nilai beban glikemik (BG). Nilai BG diperoleh dengan
mengalikan nilai IG pangan dengan kadar karbohidratnya. Beban glikemik
memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan
III. BAHAN DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Politeknik Negeri
Universitas Lampung, Laboratorium Biokimia IPB dan Laboratorium Pengolahan
Hasil Pertanian SMKN 2 Metro, dari bulan April sampai Agustus 2011.
B. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan oyek dan tiwul adalah umbi garut
varietas creole, suweg (Amorphallus champanulatus BI) dan singkong (Manihot
uttilisima) yang telah siap panen, diperoleh dari petani di Ganjar Asri Metro.
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah K2SO4, NaOH,
Na2S2O3, H3BO3, HCl, enzim α amylase (termamyl), enzim amiloglukosidase,
fenol 5%, glukosa anhidrat, petroleum eter, buffer natrium fosfat, HCl, heksana,
H2SO4, indikator metil merah-metil biru, KI, I2, asam asetat, glukosa murni,
pepsin, glukosa anhidrat, amilosa murni, larutan DNS, dan larutan maltosa murni.
Alat-alat yang dipergunakan diantaranya adalah: slicer, pisau, parut, hammer mill,
vortexs, pH-meter, pipet volumetric, erlenmeyer, cawan porselen, gelas ukur,
gelas piala, tabung reaksi, kapas bebas lemak, kertas saring Whatman 40, kertas
lakmus, penangas air, alumunium foil, sentrifus dan spektrofotometer.
C. Metode Penelitian
Penelitian disusun faktorial dengan dua ulangan. Faktor pertama adalah jenis
umbi (garut, suweg, singkong) dan faktor kedua adalah jenis olahan (oyek dan
tiwul). Data hasil penelitian diolah secara deskriptif dengan menggunakan nilai
rata-rata dan disajikan dalam bentuk diagram batang.
D. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian diawali dengan pembuatan oyek dan tiwul dari umbi garut, suweg dan
singkong, kemudian dilakukan analisis proksimat (kadar air, kadar protein, kadar
lemak, kadar abu, kadar karbohidrat dan serat kasar) dan analisis fisikokimia
(kadar total pati, amilosa, amilopektin, serat pangan, daya cerna pati dan pati
resisten ) terhadap oyek dan tiwul garut, suweg dan singkong.
Penentuan indeks glikemik dan beban indeks glikemik oyek umbi garut, suweg,
dan singkong menggunakan glukosa murni sebagai standar. Uji indeks glikemik
(IG) dilakukan dengan menggunakan manusia sebagai objek penelitian.
Sukarelawan yang berpartisipasi berjumlah 10 orang, yang telah lolos seleksi.
Syarat-syarat sukarelawan yang digunakan untuk penentuan IG adalah sehat, non-
diabetes, memiliki kadar glukosa puasa normal (70-120 mg/dl) dan memiliki nilai
Pengukuran kadar gula darah dilakukan setelah periode puasa (kecuali air putih
selama 10 jam pada malam hari. Pada setiap pengambilan darah yang telah
ditetapkan, sampel darah sukarelawan diambil sebanyak 0,5 µL. Pengambilan
sampel darah relawan dilakukan setiap selang 30 menit sekali yaitu 0 menit (kadar
kenaikan kadar gula darah setelah mengkonsumsi sampel dan glukosa sebagai
standar (Haliza dkk., 2006). Nilai indeks glikemik akhir adalah nilai rata-rata dari
Oyek dibuat dengan beberapa tahapan yaitu pencucian, pemarutan, pemerasan,
pembentukan butiran dan pengukusan selama 10 menit. Setelah pengukusan
dikeringkan kembali. Proses pembuatan oyek garut disajikan pada Gambar 3,
oyek suweg pada Gambar 4, sedangkan oyek singkong pada Gambar 5.
a. Pembuatan Oyek Garut
Gambar 3. Diagram alir pembuatan oyek garut
Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)
Pencucian
Pemarutan
Pemerasan
Ampas
Filtrat Umbi Garut (1 kg)
Pengukusan (10 menit)
Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )
Oyek Garut Kering ( 300 gr)
b. Pembuatan Oyek Suweg
Gambar 4. Diagram alir pembuatan oyek suweg
Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)
Pengupasan
Pencucian
Pemotongan (3-4 cm)
Perendaman dalam air (12 jam) Suweg (1 kg)
Pemerasan
Ampas
Pembentukan butiran ( diameter = 2-3 mm)
Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )
Oyek Suweg (325 gr) Pengukusan (10 menit)
c. Pembuatan Oyek Singkong
Gambar 5. Diagram alir pembuatan oyek singkong
Sumber : Sukarti , 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)
2. PembuatanTiwul
Tiwul dibuat dengan beberapa tahapan, yaitu pencucian, pengupasan, pengecilan
ukuran (pengirisan), pengeringan dengan sinar matahari, penumbukan,pengayakan
dengan menggunakan ayakan 60 mesh, pembentukan butiran, dan pengukusan. Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)
Pengukusan ( 10 menit)
Oyek Singkong (350 gr) Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )
Perendaman (5 hari)
Pemerasan Pengupasan
Ampas Singkong (1 kg)
Jika akan disimpan dalam waktu yang lama tiwul dapat dikeringkan kembali.
Proses pembuatan tiwul garut disajikan pada Gambar 6, tiwul suweg pada
Gambar 7 sedangkan tiwul singkong disajikan pada Gambar 8.
a. Pembuatan Tiwul Garut
Gambar 6. Diagram alir pembuatan tiwul garut
Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)
Pengayakan (60 mesh) Pencucian
Pengukusan ( 10 menit)
Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )
Tiwul Garut (350 gr)
Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm) Pengirisan (diameter = 2-3 mm)
Penjemuran (sinar matahari )
Gaplek
b. Pembuatan Tiwul Suweg
Gambar 7. Diagram alir pembuatan tiwul suweg
Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)
Perendaman dalam air (12 jam)
Pengirisan (diameter = 2-3 mm)
Penjemuran (sinar matahari) Pencucian
Pengeringan (sinar matahari, 2 hari )
Tiwul Suweg (350 gr)
Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)
Pengukusan (10 menit) Pengayakan (60 mesh)
Penggilingan Pengupasan Umbi Suweg (1 kg)
c. Pembuatan Tiwul Singkong
Gambar 8. Diagram alir pembuatan tiwul singkong
Sumber : Sukarti, 2010 (Pedagang oyek singkong di pasar Metro, yang dimodifikasi)
Penggilingan
Pengayakan (60 mesh)
Pembentukan butiran (diameter = 2-3 mm)
Pengukusan (10 menit) Pengupasan
Pencucian
Pengirisan (diameter = 2-3 mm)
Penjemuran (sinar matahari ) Singkong (1 kg)
Tiwul Singkong (350 gr) Gaplek
E. Metode Pengamatan
Uji proksimat meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan
karbohidrat by different (AOAC, 1995), dilakukan terhadap sampel oyek dan
tiwul yang terbuat dari umbi garut, suweg dan singkong. Analisis sifat fisiko
kimia oyek dan tiwul meliputi kadar total pati, kadar amilosa dan amilopektin,
kadar serat pangan metode enzimatis, pati resisten, dan daya cerna pati.
Pengukuran indeks glikemik terhadap sampel oyek dan tiwul garut, suweg dan
singkong dilakukan oleh 10 relawan dengan menggunakan glukometer.
1. Analisis Proksimat
a. Kadar Air (AOAC, 1995)
Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam
desikator, dan ditimbang. Sebanyak 4-5 g sampel ditimbang dalam cawan yang
telah diketahui bobot kosongnya, lalu dikeringkan dalam oven pengering pada
suhu 105oC selama 6 jam. Cawan dengan isinya kemudian didinginkan dalam
desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh berat
konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal
sampel sebelum dikeringkan dengan berat akhir setelah dikeringkan.
Kadar air (%) = (berat awal-berat akhir) x 100 % berat akhir
b. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan porselen dipanaskan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam
porselen dan ditimbang, lalu dibakar sampai tidak berasap lagi dan diabukan
dalam tanur bersuhu 550oC sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu)
dan beratnya konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar abu (%) = berat abu x 100 % berat sampel
c. Kadar Protein, Metode Semi Mikro-Kjeldahl (AOAC, 1995)
Ditimbang sejumlah kecil sampel (0.2 g) dalam labu kjeldahl 30 ml. Ditambahkan
1.9 + 0.1 g K2SO4, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama
1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Cairan didinginkan, ditambah 8-10 ml
NaOH-Na2S2O3 dan dimasukkan ke dalam alat destilasi. Di bawah kondensor alat
destilasi diletakkan erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes
indikator metil merah. Ujung selang kondensor harus terendam larutan untuk
menampung hasil destilasi sekitar 15 ml. Distilat dititrasi dengan HCl 0.02 N
sampai terjadi warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap
blanko (tanpa sampel). Jumlah titrasi sampel (a) dan titrasi blanko (b) dinyatakan
dalam ml HCl 0.02 N.
Kadar N (%) = (a -b) x N HCl x 14,007 x 100 % mg sampel
Kadar protein (%) = Kadar N (%) x 6,25
d. Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak dikeringkan dengan oven. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dibungkus
tersebut diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dirangkai dengan kondensor.
Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak lalu direfluks selama minimal 5
jam. Sisa pelarut dalam labu lemak dihilangkan dengan dipanaskan dalam oven,
lalu ditimbang.
Kadar lemak (%) = berat lemak x 100 % berat sampel
e. Kadar Karbohidrat by difference
Kadar karbohidrat pada sampel dihitung secara by difference, yaitu dengan cara
mengurangkan 100 % dengan nilai total dari kadar air, kadar abu, kadar protein
kadar lemak dan kadar serat kasar.
Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak + kadar serat kasar)
f. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml kemudian
ditambah dengan H2SO4 0,3 N di bawah pendingin balik kemudian dididihkan
selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-goyangkan. Suspensi disaring
dengan kertas saring, dan residu yang didapat dicuci dengan air mendidih hingga
tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Residu dipindahkan ke
dalam erlenmeyer, sedangkan yang tertinggal di kertas saring dicuci kembali
dengan 200 ml NaOH mendidih sampai semua residu masuk kedalam erlenmeyer.
Sampel dididihkan kembali selama 30 menit dan disaring sambil dicuci dengan
larutan K2SO4 10 %. Residu dicuci dengan 15 ml alkohol 95%, kemudian kertas
(berat kertas saring + residu) - berat kertas saring kosong
Serat kasar (%) = x 100 Berat sampel
2. Analisis Fisikokimia
a. Penentuan Kadar Total Pati
Penetapan kadar pati dilakukan berdasarkan metode AOAC (1984). Sebanyak 2 g
bahan dimasukkan kedalam erlenmeyer, lalu ditambahkan aquadest sampai
volume 50 ml, kemudian disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm.
Suspensi disaring dengan kain saring, dan endapannya dicuci dengan aquadest
sampai diperoleh filtrat sebanyak 250 ml. Endapan dipindahkan secara kuantitatif
dari kain saring kedalam erlenmeyer 500 ml dengan pencucian menggunakan
200 ml aquadest kemudian ditambahkan HCl 25% sebanyak 20 ml, dihidrolisis
dibawah pendingin balik selama 1,5 jam dan didinginkan. Selanjutnya
dinetralkan dengan NaOH 45% dan dilakukan pengenceran sampai volumenya
500 ml, lalu disaring dengan kain saring.
Sebelum penentuan kadar pati sampel, terlebih dahulu dibuat kurva standar
dengan membuat larutan glukosa standar (10 mg glukosa anhidrat/100 ml air),
dari larutan glukosa standar tersebut dilakukan 6 kali pengenceran sehingga
diperoleh larutan glukosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/ml. Sebanyak
7 buah tabung reaksi bersih, masing-masing diisi dengan 1 ml larutan glukosa
standar tersebut di atas. Satu tabung diisi aquadest sebagai blanko. Kemudian
dalam tabung reaksi ditambahakan fenol 5% sebanyak 1 ml. Panaskan dengan
penangas air pada suhu 30oC selama 20 menit. Kurva standar glukosa dengan OD
panjang gelombang 490 nm. Penentuan kadar pati sampel dilakukan seperti cara
penentuan kurva standar glukosa. Jumlah kadar pati ditentukan berdasarkan OD
larutan contoh dan kurva standar dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:
Kadar pati (%) = A x B x C x 0,9 x 100%
D Keterangan:
A = Glukosa yang diperoleh dari kurva standar
B = Volume sampel (ml)
C = Faktor pengenceran sampel
D = Berat sampel (g)
0,9 = Faktor penentu kadar pati
b. Kadar Amilosa dan Amilopektin (Apriyantono et al., 1989)
Pembuatan kurva standar amilosa
Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml,
ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu
takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95ºC selama 10 menit.
Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera
sebagai larutan stok standar.
Dari larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dan dipindahkan masing-masing ke
dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut kemudian
ditambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan asam asetat 1 N. Ditambahkan 2
ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI dilarutkan dalam 100 ml air destilata) ke dalam
lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dan absorbansi.
Analisis sampel
Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian
ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam labu. Labu
takar lalu dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95ºC selama 10 menit.
Setelah didinginkan, larutan gel pati ditambahkan air destilata sampai tanda tera
dan dihomogenkan. Dipipet 5 ml larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar
100 ml. Ke dalam labu takar tersebut kemudian ditambahkan 1.0 ml larutan asam
asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan
selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa ditentukan berdasarkan persamaan
kurva standar yang diperoleh. Kadar amilopektin diperoleh dengan cara by
different, yaitu dengan cara mengurangkan nilai 100% dengan kadar amilosa.
c. Kadar Serat Pangan Metode Enzimatis (AOAC, 1995)
Sampel kering diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu
kamar selama 15 menit. Sejumlah 1 gram sampel bebas lemak (w) dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml 0.1 M buffer natrium fosfat pH 6
dan dibuat suspensi. Lalu ditambahkan 0.1 ml termamyl, ditutup dengan alufo dan
diinkubasi pada suhu 100ºC selama 15 menit, diangkat dan didinginkan,
kemudian ditambahkan 20 ml akuades dan pH diatur menjadi 1.5 dengan
diinkubasi pada suhu 40ºC dan diagitasi selama 60 menit. Kemudian ditambahkan
20 ml akuades dan pH diatur menjadi 6.8, lalu ditambahkan 100 mg pankreatin,
ditutup dan diinkubasi pada suhu 40ºC selama 60 menit sambil diagitasi,
danterakhir pH diatur dengan HCl menjadi 4.5. Selanjutnya disaring dengan
crucible kering porositas 2 yang telah ditimbang bobotnya yang mengandung
celite kering (bobot diketahui), lalu dicuci dua kali dengan aquades.
Residu (serat makanan tidak larut/IDF)
Sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton, lalu
dikeringkan pada suhu 105ºC sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang
setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan dalam tanur 500ºC
selama minimal 5 jam, dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1).
Filtrat (serat makanan larut/SDF)
Volume filtrat diatur dengan akuades sampai dengan 100 ml, lalu ditambah
dengan 400 ml etanol 95% hangat (60ºC), diendapkan 1 jam. Lalu disaring
dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering dan
dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu
105ºC hingga berat konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2).
Selanjutnya diabukan dalam tanur 500ºC selama minimal 5 jam, didinginkan
Serat makanan total/TDF dan blanko
Serat makanan total (TDF) ditentukan dengan menjumlahkan nilai SDF dan IDF.
Nilai blanko untuk IDF dan SDF diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa
menggunakan sampel.
Nilai IDF (% bb) = ((D1 – I1 – B1)/w) x 100%
Nilai SDF(% bb) = ((D2 – I2 – B2)/w) x 100%
Nilai TDF(% bb) = Nilai IDF + SDF
d. Pati Resisten (Kim, et al., 2003)
Sebanyak 0.5 g sampel pati dilarutkan dengan 25 ml buffer fosfat 0.08 M (pH 6.0)
dalam gelas piala 250 ml, lalu ditutup dengan aluminium foil. Kemudian
ditambahkan 0.05 ml enzim termamyl, dan campuran diinkubasi dalam penangas
air suhu 95ºC selama 15 menit, dengan diaduk lembut setiap 5 menit sekali.
Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diatur hingga 7.5 dengan 5
ml larutan NaOH 0.275 N dan ditambahkan 0.05 ml enzim protease (50 mg/ml
protease dalam buffer fosfat), lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang
dengan suhu 60ºC selama 30 menit. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH
campuran diturunkan menjadi 4.3 dengan menambahkan 5 ml larutan HCl 0.325
N, lalu ditambahkan 0.05 ml enzim amiloglukosidase, dan diinkubasi dalam
penangas air bergoyang pada suhu 60ºC selama 30 menit.
Setelah inkubasi selesai, ditambahkan empat bagian etanol 95% dan campuran
saring Whatman 40. Residu yang tertinggal dicuci dengan 20 ml etanol 78%
sebanyak tiga kali, lalu dengan 10 ml etanol murni sebanyak dua kali, dan dengan
10 ml aseton sebanyak dua kali. Residu tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu
40ºC. Kadar pati resisten dihitung dengan cara membandingkan bobot residu
dengan bobot sampel dikalikan 100. Nilai yang diperoleh dikonversi menjadi
kadar pati resisten dalam umbi segar dan dalam tepung umbi, dengan
menggunakan nilai rendemen pembuatan tepung dan kadar total pati tepung umbi.
Kadar RS (%) = bobot residu x 100 % bobot sampel
e. Daya Cerna Pati (Muchtadi, 1992)
Sebanyak 1 g sampel tepung atau pati murni dimasukkan dalam erlenmeyer 250
ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Wadah ditutup dengan
aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai suhu 90ºC
sambil diaduk. Setelah suhu 90ºC tercapai, sampel segera diangkat dan
didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi
bertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml buffer fosfat pH 7.
Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan
diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 15 menit. Larutan diangkat dan
ditambahkan 5 ml larutan enzim α-amilase (1 mg/ml dalam buffer fosfat pH 7)
untuk sampel dan 5 ml buffer fosfat pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi
dilanjutkan selama 30 menit.
Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi