• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BUMI MENGGUNAKAN PEMODELAN CONSTRAINED VELOCITY INVERSION DAN GRID BASED TOMOGRAPHY PADA LINTASAN GMR165 DI DAERAH TELUK CENDRAWASIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BUMI MENGGUNAKAN PEMODELAN CONSTRAINED VELOCITY INVERSION DAN GRID BASED TOMOGRAPHY PADA LINTASAN GMR165 DI DAERAH TELUK CENDRAWASIH"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN

BUMI MENGGUNAKAN PEMODELAN

CONSTRAINED

VELOCITY INVERSION

DAN

GRID BASED TOMOGRAPHY

PADA LINTASAN GMR165 DI DAERAH TELUK

CENDRAWASIH

Oleh

GAMAL MUHAMMAD RIZKA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA TEKNIK

Pada

Jurusan Teknik Geofisika

Fakultas Teknik Universitas Lampung

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRACT

STUDY OF SUBSURFACE IMAGING WITH

CONSTRAINED VELOCITY

INVERSION

DAN

GRID BASED TOMOGRAPHY

MODELLING METHOD

AT LINE GMR165 IN CENDRAWASIH BAY

By

GAMAL MUHAMMAD RIZKA

Prestack Depth Migration (PSDM) method has been applied to image the subsurface

at Line GMR165 in Cendrawasih Bay. Imaging and positioning is the most

important issue in seismic data processing. In the complex area case with

lateral variation velocity , PSDM has more benefit than PSTM . It cause the ability

of PSDM method that can focus just for one reflector when lateral

velocity change.

In this study used

constrained velocity inversion

modelling method

.

This method is

designed to make an

initial interval velocity

model for PSDM and updated in

grid

based tomography

to got the best velocity so that the result had continuous PSDM

reflector with flat gather. That interval velocity applied to PSDM to get seismic

image section and compared with PSTM (prestack time migration) seismic section

based on it’s image and velocity model analysis. Seismic section of PSDM shows a

significant image enhancement. It is able to assure the reflection pattern at the

horizons with strong lateral velocity variations and makes image resolution more

coherence than seismic section of PSTM. This study is very valuable to build

exploration concept and development area, especially in a complex structure with

strong lateral velocity variations.

(3)

ABSTRAK

STUDI PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN BUMI

MENGGUNAKAN PEMODELAN

CONSTRAINED VELOCITY INVERSION

DAN

GRID BASED TOMOGRAPHY

PADA LINTASAN GMR165 DI DAERAH

TELUK CENDRAWASIH

Oleh

GAMAL MUHAMMAD RIZKA

Telah dilakukan penelitian studi pencitraan struktur bawah permukaan bumi pada

Lintasan GMR165 di daerah Teluk Cenderawasih menggunakan metode

Pre Stack

Depth Migration.

Permasalahan

imaging

dan

positioning

merupakan hal terpenting

dalam pengolahan data seismik, dalam hal tersebut

Pre Stack Depth Migration

memiliki keunggulan dibandingkan

Pre Stack Time Migration

untuk kasus struktur

kompleks yang disertai variasi kecepatan secara lateral. Keakuratan ini disebabkan

karena kemampuan

Pre Stack Depth Migration

untuk melakukan

focusing

terhadap

suatu titik reflektor pada kondisi dimana terjadi perubahan kecepatan secara lateral.

Dalam penelitian kali ini digunakan pemodelan

Constarined Velocity Inversion

.

Metoda ini didesain untuk membuat sebuah model kecepatan interval inisial bagi

Pre

Stack Depth Migration

dan di

update

pada tahapan

Grid Based Tomography

dengan

tujuan untuk menemukan grid kecepatan interval yang bisa memberikan

gather

hasil

Pre Stack Depth Migration

yang paling lurus. Kecepatan interval yang didapatkan

kemudian diaplikasikan pada PSDM dan dibandingkan dengan citra hasil PSTM

(Prestack Time Migration)

berdasarkan penampakannya dan dengan menganlisis

kecepatannya. Citra seismik hasil PSDM menunjukkan peningkatan kualitas citra

yang cukup signifikan, yaitu mampu mempertegas pola refleksi pada horizon dengan

variasi kecepatan lateral yang besar dan memberikan resolusi yang lebih koheren

dibandingkan citra seismik PSTM. Studi ini sangat membantu dalam pembuatan

konsep eksplorasi dan pengembangan suatu daerah, khususnya untuk daerah dengan

struktur geologi yang kompleks dengan perubahan variasi kecepatan lateral yang

besar.

(4)
(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

HALAMAN MOTTO ... ix

HALAMAN PERSEMBAHAN ... x

KATA PENGANTAR ... xi

SANWACANA ... xii

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Tujuan Penelitian ... 2

I.3. Batasan Masalah ... 3

I.4. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Tatanan dan Struktur Regional Papua……….………..………..4

II.2. Tatanan Struktur Sekitar Teluk Cenderawasih...5

II.3. Stratigrafi Regional...6

II.4. Evolusi Cekungan Daerah Lepas Pantai Teluk Cenderawasih... .7

III. TEORI DASAR III.1. Konsep Gelombang Seismik ... 14

III.2. Sumber Gelombang Seismik... 15

III.2.1. Gelombang Primer (longitudinal/compussional wave)... 16

(8)

III.3. Penjalaran Gelombang Seismik ... 16

III.4. Hukum Fisika Gelombang Seismik ... 17

III.4.1. Hukum Snellius ... 17

III.4.2. Prinsip Huygens ... 19

III.4.3. Prinsip Fermat………... ... 19

III.5. Migrasi…………...………20

III.6. Prinsip Dasar Migrasi Seismik ... 21

III.7. Metode Migrasi Kirchoff... ... 24

III.8. Migrasi Berdasarkan Domain / Kawasan ... 27

III.8.1. Migrasi pada Domain Waktu (Time Migration)...27

III.8.2. Migrasi pada Domain Kedalaman (Depth Migration) / Kawasan Ruang...27

III.9. Analisis Kecepatan Migrasi...29

III.10. Constrained Velocity Inversion...31

III.11. Prinsip Tomography...34

III.12. Grid Based Tomography...37

IV. METODE PENELITIAN IV.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 40

IV.2. Data dan Perangkat Penelitian ... 40

IV.3. Pengolahan Data ... 41

IV.3.1. Import Data ... 41

IV.3.2. Interpretasi Horizon ... 42

IV.3.3. Pemodelan Kecepatan ... 42

IV.3.4. Preliminary PSDM ... 43

IV.3.5. Update Model Kecepatan Interval ... 43

IV.3.6. Iterative PSDM ... 43

IV.3.7. Final PSDM ... 44

IV.4. Diagram Alir ... 44

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V.1. Hasil Penelitian ... 46

V.1.1. Interpretasi Horizon ... 46

V.1.2. Pemodelan Kecepatan dan Updating Model Kecepatan ... 47

V.1.3. PSDM ... 51

V.2. Pembahasan ... 57

V.2.1. Analisis Kecepatan ... 57

V.2.2. Perbandingan PSTM dan PSDM ... 58

V.2.3. Analisis Gather ... 61

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI.1. Kesimpulan ... 63

VI.2. Saran ... 63

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng tektonik.….…...9

2. Elemen tektonik Papua……….………...…...10

3. Geologi sekitar Teluk Cenderawasih………...11

4. Zona Sesar Yapen yang melewati Pulau Yapen dan Teluk Cenderawasih...12

5. Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara Teluk Cenderawasih...13

6. Penjalaran gelombang seismik………...17

7. Hukum Snellius....18

8. Prinsip Huygens...19

9. Prinsip Fermat ... 20

10. Penampang seismik (a) sebelum migrasi; (b) setelah migrasi...21

11. Skema proses migrasi ... 22

12. Skema kurva difraksi...24

13. Metode migrasi Kirchhoff a) pola penjumlahan difraksi; b) setelah migrasi……….25

14. Skema aperture dari migrasi ... 26

15. Proses Kirchoff migrasi...30

16. CRP gather yang kecepatannya a) terlalu rendah; b) terlalu tinggi...30

17. Konversi dari error kedalaman menjadi error waktu...36

18. Penggambaran skematik penggunaan ray tracing dalam tomographic updating……….…..………...37

19. Diagram alir pengolahan data ... 45

20. Penampang TMS dengan interpretasi horizon ... 46

(10)

22. Penampang kecepatan...50

23. Penampang seismik PSDM (DMS) tomografi...52

24. Penampang seismik PSTM (TMS) time domain ... 54

25. Penampang seismik PSDM (DMS) inisial………….………..55

26. Penampang seismik PSDM (DMS) time domain ... 56

27. Penampang kecepatan interval final ... 57

28. Perbandingan penampang seismik hasil PSTM dan PSDM ... 59

29. Perbandingan penampang seismik hasil PSTM dan PSDM ... 61

(11)

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pengolahan data seismik bertujuan untuk menghasilkan penampang seismik dengan

S/N (

signal to ratio

) yang tinggi tanpa mengubah bentuk kenampakan refleksi,

sehingga dapat

dilakukan interpretasi pada keadaan dan bentuk perlapisan di bawah

permukaan bumi. Untuk itu

diperlukan hasil pengolahan data seismik yang

menampakkan struktur bawah permukaan yang jelas.

Permasalahan

imaging

dan

positioning

merupakan keunggulan

Pre Stack Depth

Migration

dibandingkan

Pre Stack Time Migration

untuk kasus struktur kompleks

yang disertai variasi kecepatan secara lateral. Keakuratan ini disebabkan karena

kemampuan metoda

Pre Stack

Depth Migration

untuk melakukan

focusing

terhadap

suatu titik reflektor pada kondisi dimana terjadi perubahan kecepatan secara lateral.

Pembuatan model awal kecepatan interval (

Interval Velocity Model Building atau

IVMB

) merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam pemrosesan

Pre

Stack Depth Migration

(PSDM), karena hanya dengan model kecepatan yang

paling

tepatlah yang dapat mengikuti algoritma migrasi yang berguna untuk

menjumlahkan

penjalaran gelombang seismik dan pembelokan yang terjadi

selama penjalarannya

(12)

2

Penggambaran daerah bawah permukaan membutuhkan model kecepatan interval

yang baik, karena model kecepatan interval yang didapatkan dari konversi kecepatan

RMS / model awal kecepatan interval (

Interval Velocity Model Building atau IVMB

)

masih memerlukan perbaikan. Tomografi merupakan tahapan alternatif untuk

melakukan perbaikan kecepatan yang akan digunakan sebagai kecepatan

stack

.

Kedua metode tersebut akan diterapkan pada data seismik Teluk Cendrawasih dan

diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi geologi bawah permukaan

daerah tersebut.

I.2. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis hasil pemodelan kecepatan menggunakan

Constrained Velocity

Inversion

dan

Grid Based Tomography

dengan metode

Prestack Depth Migration

(PSDM) pada data seismik Teluk Cendrawasih.

2. Mendapatkan citra bawah permukaan Teluk Cendrawasih yang lebih baik dengan

melakukan PSDM dan membandingkannya dengan hasil PSTM.

1.3 Batasan Masalah

Penelitian ini membatasi permasalahan pada pemodelan kecepatan menggunakan

(13)

3

citra hasil PSDM dan PSTM dilakukan hanya sebatas mengamati perbedaan

penampangnya.

I.4 Manfaat Penelitian

1. Mendapatkan citra bawah permukaan Teluk Cendrawasih yang akurat.

2. Dapat menunjukkan bahwa pengolahan data seismik dengan menggunakan

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tatanan dan Struktur Geologi Regional Papua

Geologi Papua dipengaruhi dua elemen tektonik besar yang saling bertumbukan dan

serentak aktif (Gambar 1). Pada saat ini, Lempeng Samudera Pasifik -

Caroline

bergerak ke barat-barat daya dengan kecepatan 7,5 cm/th, sedangkan Lempeng Benua

Indo - Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 10,5 cm/th.

Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan struktur

kompleks terhadap Papua Barat (Papua), yang sebagian besar dilandasi kerak Benua

Indo - Australia.

Periode tektonik utama daerah Papua dan bagian utara Benua Indo - Australia

dijelaskan dalam empat episode (Henage, 1993), yaitu (1) periode

rifting

awal Jura di

sepanjang batas utara Lempeng Benua Indo-Australia, (2) periode

rifting

awal Jura di

Paparan Barat laut Indo-Australia (sekitar Palung Aru), (3) periode tumbukan Tersier

antara Lempeng Samudera Pasifik-

Caroline

dan Indo-Australia, zona subduksi

berada di Palung New

Guinea

, dan (4) periode tumbukan Tersier antara Busur Banda

dan Lempeng Benua Indo - Australia. Periode tektonik Tersier ini menghasilkan

kompleks - kompleks struktur seperti Jalur Lipatan Anjakan Papua dan Lengguru,

(15)

5

Tektonik Papua, secara umum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu Badan

Burung atau Papua bagian timur dan Kepala Burung atau Papua bagian barat.

Kedua bagian ini menunjukkan pola kelurusan barat - timur yang ditunjukan oleh

Tinggian Kemum di Kepala Burung dan

Central Range

di Badan Burung, kedua pola

ini dipisahkan oleh Jalur Lipatan Anjakan Lengguru berarah barat daya tenggara di

daerah Leher Burung dan juga oleh Teluk Cendrawasih (Gambar 2).

II.2 Tatanan Struktur Sekitar Teluk Cenderawasih

Teluk Cendrawasih merupakan salah satu ciri fisiografi Papua Utara. Teluk ini

terletak di antara daratan Badan Burung ke selatan dan timur, Kepala Burung ke barat

dan Pulau Yapen ke utara. Teluk Cendrawasih merupakan depresi berbentuk

triangular embayment

pada pantai utara Papua yang memisahkan Kepala Burung dan

Badan Burung (Charlton, 2000).

Teluk Cendrawasih memiliki kedalaman air sekitar 1.400 m pada bagian tengahnya.

Memiliki beberapa dasar yang rata, lereng pada bagian utara dan barat sangat terjal,

sedangkan bagian selatan dan timur sangat landai. Pergerakan relatif Lempeng

Samudera Pasifik - Caroline

dan Lempeng Benua Indo - Australia dimanifestasikan

oleh pergerakan

strike-slip

yang mungkin berhubungan atau tidak berhubungan

dengan pensesaran

transform

. Pergerakan strike-slip ini terlihat pada sistem Zona

Sesar Sorong - Yapen - Bewani dari timur ke barat sepanjang New Guinea. Sesar

bergerak mengiri dan beberapa peneliti menyatakan bahwa sesar ini membentuk

(16)

6

Pada bagian daratan Pulau Papua, zona sesar ini disebut dengan Zona Sesar

Mamberamo yang dicirikan oleh kelurusan pada daerah Sungai Mamberamo (Dow

dan Sukamto, 1984). Bagian barat teluk berbatasan dengan sesar berarah barat laut

(Zona Sesar Wandaman) sampai ke timur Jalur Sabuk Lipatan Lengguru dan secara

oblique

memotong Teluk Cendrawasih. Semakin ke selatan terdapat

Weyland

Overthrust

(Gambar 3), suatu massa batuan metamorfik dan plutonik yang

teranjakkan ke selatan di atas Benua Australia dan Jalur Sabuk Lipatan Lengguru

yang dibentuk oleh suatu seri lipatan

overthrust

. Ke arah timur, pada bagian barat

sampai ke timur laut, terdapat pegunungan Van Rees, Gauttier, dan Karamoor.

Dataran pantai menutupi palung sedimenter yang sangat dalam dan sempit yang

lebarnya kurang dari 50 km (Palung Waipoga).

Kedalaman air di Teluk Cendrawasih berkisar antara 0 - 2.000 m, bagian yang

terdalam berada di bagian utara dan bagian tengah. Lokasi Sesar Yapen di bawah

permukaan air laut dapat diidentifikasi dari data batimetri (Gambar 4). Ditemukan

juga sabuk lipatan yang sebelumnya tidak diketahui di bagian tenggara dengan

kecenderungan arah timur laut - barat daya (Gambar 5).

II.3 Stratigrafi Regional

Ciri stratigrafi regional diidentifikasikan dari perbandingan stratigrafi kerak Benua

Indo-Australia dan kerak Samudera Pasifik - Caroline. Stratigrafi afinitas benua

(17)

7

Central Range

), sedangkan afinitas samudera ditunjukan oleh stratigrafi Badan

Burung bagian utara (Cekungan Irian Utara).

Tiga periode utama sejarah geologi Indonesia Timur dan bagian barat laut paparan

Australia ditandai dengan pembetukan batas Benua Indo - Australia pada Perm dan

Mesozoikum Awal. Pembentukan ini merupakan hasil

break - up

Gondwanaland.

Kemudian diikuti oleh periode batas benua pasif yang berlangsung selama

Mesozoikum Akhir hingga Tersier, dan menerus sampai Miosen Akhir. Kemudian

tumbukan lempeng tektonik yang berlangsung sampai akhir Miosen antara batas

Benua Indo - Australia dan busur Asia Tenggara. Selama periode ini, pulau-pulau di

Indonesia Timur yang ada saat ini mulai terbentuk.

II.4. Evolusi Cekungan Daerah Lepas Pantai Teluk Cenderawasih

Cekungan pada daerah Teluk Cenderawasih berada pada wilayah deformasi

kompleks, yaitu zona tumbukan Lempeng Benua Indo - Australia dan Lempeng

Samudera Pasifik - Caroline. Sedimen yang mengisi cekungan dicirikan oleh

sikuen-sikuen pasca tumbukan berumur Pliosen sampai Plistosen. Ketebalan sedimen di

cekungan mencapai 6.500-7.000 m di lepas pantai dan 8.000 m di daratan.

Pergerakan Lempeng Benua Indo-Australia ke arah utara dan Lempeng Samudera

Pasifik - Caroline ke arah barat mengakibatkan suatu konvergensi miring (

oblique

),

dan menghasilkan zona tumbukan dengan Busur Melanesia selama akhir

Miosen/Pliosen. Zona sesar mendatar mengiri Zona Sesar Yapen mengakomodasi

(18)

8

Waipoga dan Sesar Wandaman mengakomodasi pemendekan kerak antara New

Guinea Mobile Belt

dan Kepala Burung.

Selama Pliosen sampai Plistosen, tumbukan menghasilkan pola struktur berjenis

thin-skin

di utara

New Guinea

dan utara Papua, serta menyebabkan perkembangan

wilayah cekungan di sepanjang sisi

suture

. Napal Sumboi yang berumur Miosen

Akhir -

Pliosen

dan Konglomerat Ansus yang berumur Pliosen - Pleistosen (Pietres

dkk., 1983) berkembang di barat Pulau Yapen. Endapan klastik Formasi Kurudu

diendapkan di lingkungan laut dangkal dan

onlap

pada batuan dasar ke arah timur

Pulau Yapen. Selama akhir Miosen sampai Plistosen Tengah, endapan klastik regresi

Formasi Mamberamo terakumulasi di teluk, pada lingkungan laut dalam sampai dekat

pantai. Batu gamping terumbu berkembang selama periode Plio - Plistosen (ekuivalen

Formasi Hollandia).

Selama Pliosen, penurunan dasar cekungan berasosiasi dengan tektonik kompresi

yang dihasilkan oleh tekanan yang tinggi dari lapisan serpih dan timbulnya diapir

(Williams dan Amiruddin, 1983). Pengangkatan regional terjadi pada akhir Plistosen,

kemudian diendapkan endapan klastik Formasi Koekoendoeri pada lingkungan

transisi sungai ke laut. Konvergensi miring antara Lempeng Benua Indo-Australia

dan Samudera Pasifik - Caroline menyebabkan pembentukan ciri struktur kompresi

atau sesar mendatar. Sesar anjakan, sesar mendatar, mulai terbentuk bersamaan.

Lipatan yang terbentuk sejajar dengan sesar pada umumnya merupakan sinklin besar

(19)

9

(20)

10

(21)

11

(22)

12

(23)

13

(24)

III. TEORI DASAR

III.1. Konsep Gelombang Seismik

Gelombang seismik adalah gelombang mekanis yang muncul akibat adanya

gempa bumi. Sedangkan gelombang secara umum adalah fenomena perambatan

gangguan (usikan) dalam medium sekitarnya. Gangguan ini mula-mula terjadi

secara lokal yang menyebabkan terjadinya osilasi (pergeseran) kedudukan

partikel-partikel medium, osilasi tekanan maupun osilasi rapat massa. Karena

gangguan merambat dari suatu tempat ke tempat lain, berarti ada transportasi

energi.

Gelombang seismik disebut juga gelombang elastik karena osilasi partikel-partikel

medium terjadi akibat interaksi antara gaya gangguan (gradien stress) melawan

gaya-gaya elastik. Dari interaksi ini muncul gelombang longitudinal, gelombang

transversal dan kombinasi diantara keduanya. Apabila medium hanya

memunculkan gelombang longitudinal saja (misalnya di dalam fluida), maka

dalam kondisi ini gelombang seismik sering dianggap sabagai gelombang akustik.

Dalam eksplorasi minyak dan gas bumi, seismik refleksi lebih lazim digunakan

daripada seismik refraksi. Hal tersebut disebabkan karena seismik refleksi

mempunyai kelebihan dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan baik

(25)

15

dengan cara membuat getaran dari suatu sumber getar. Getaran tersebut akan

merambat ke segala arah di bawah permukaan sebagai gelombang getar.

Gelombang yang datang mengenai lapisan-lapisan batuan akan mengalami

pemantulan, pembiasan, dan penyerapan. Respon batuan terhadap gelombang

yang datang akan berbeda-beda tergantung sifat fisik batuan yang meliputi

densitas, porositas, umur batuan, kepadatan, dan kedalaman batuan. Gelombang

yang dipantulkan akan ditangkap oleh geophone di permukaan dan diteruskan ke

instrumen untuk direkam. Hasil rekaman akan mendapatkan penampang seismik.

III.2. Sumber Gelombang Seismik

Sumber gelombang seismik pada mulanya berasal dari gempabumi alam yang

dapat berupa gempa vulkanik maupun gempa tektonik, akan tetapi dalam seismik

eksplorasi sumber gelombang yang digunakan adalah gelombang seismik buatan.

Ada beberapa macam sumber gelombang seismik buatan seperti dinamit, benda

jatuh, airgun, watergun, vaporchoc, sparker, maupun vibroseis. Sumber

gelombang seismik buatan tersebut pada hakekatnya membangkitkan gangguan

sesaat dan lokal yang disebut sebagai gradien tegangan (stress).

Gradien tegangan mengakibatkan terganggunya keseimbangan gaya-gaya di

dalam medium, sehingga terjadi pergeseran titik materi yang menyebabkan

deformasi yang menjalar dari suatu titik ke titik lain. Deformasi ini dapat berupa

pemampatan dan perenggangan partikel-partikel medium yang menyebabkan

osilasi densitas/tekanan maupun pemutaran (rotasi) partikel-partikel medium.

Apabila medium bersifat elastis sempurna, maka setelah mengalami deformasi

(26)

16

Menurut cara bergetarnya gelombang seismik dibagi menjadi dua macam yaitu:

1. Gelombang Primer (longitudinal/compussional wave)

Gelombang primer adalah gelombang yang arah pergerakan atau getaran partikel

medium searah dengan arah perambatan gelombang tersebut. Gelombang ini

mempunyai kecepatan rambat paling besar diantara gelombang seismik yang lain.

2. Gelombang Sekunder (transversal/shear wave)

Gelombang sekunder adalah gelombang yang arah getarannya tegak lurus

terhadap arah perambatan gelombang. Gelombang ini hanya dapat merambat pada

material padat saja dan mempunyai kecepatan gelombang yan lebih kecil

dibandingkan gelombang primer.

III.3. Penjalaran Gelombang Seismik

Untuk memahami penjalaran gelombang seismik pada bawah permukaan

diperlukan beberapa asumsi sebagai berikut :

1. Panjang gelombang seismik yang digunakan jauh lebih kecil dibandingkan

dengan ketebalan lapisan batuan. Dengan kondisi seperti ini

memungkinkan setiap lapisan batuan akan terdeteksi.

2. Gelombang seismik dipandang sebagai sinar yang memenuhi Hukum

Snellius, Prinsip Huygens dan Prinsip Fermat.

3. Medium bumi dianggap berlapis-lapis dan setiap lapisan menjalarkan

gelombang seismik dengan kecepatan yang berbeda-beda.

4. Pada bidang batas antar lapisan, gelombang seismik menjalar dengan

(27)

17

5. Semakin bertambahnya kedalaman lapisan batuan, maka semakin kompak

lapisan batuannya, sehingga kecepatan gelombang pun semakin bertambah

seiring dengan bertambahnya kedalaman.

Gambar 6. Penjalaran Gelombang Seismik (Oktavinta, 2008).

III.4. Hukum Fisika Gelombang Seismik 1. Hukum Snellius

Hukum snellius menyatakan bahwa bila suatu gelombang jatuh pada bidang batas

dua medium yang mempunyai perbedaan densitas, maka gelombang tersebut akan

dibiaskan, jika sudut datang gelombang lebih kecil atau sama dengan sudut

kritisnya. Gelombang akan dipantulkan, jika sudut datangnya lebih besar dari

sudut kritisnya. Gelombang datang, gelombang bias, gelombang pantul terletak

(28)

18

Perumusan matematis hukum Snellius adalah :

2 1 2 1 2 1 sin sin n n v v = = q q

Lambang θ1,θ2 merujuk pada sudut datang dan sudut bias, v1 dan v2 pada

kecepatan cahaya sinar datang dan sinar bias. Lambang n1 merujuk pada indeks

bias medium yang dilalui sinar datang, sedangkan n2 adalah indeks bias medium

yang dilalui sinar bias.

Gambar 7. Hukum Snellius (Oktavinta, 2008).

Keterangan :

Pembiasan cahaya pada bidang antarmuka antara dua medium dengan indeks bias

berbeda, dengan n2 > n1. Karena kecepatan cahaya lebih rendah di medium kedua

(v2 < v1), sudut bias θ2 lebih kecil dari sudut datang θ1; dengan kata lain, berkas di

(29)

19

2. Prinsip Huygens

Prinsip Huygens menyatakan bahwa setiap titik-titik pengganggu yang berada di

depan muka gelombang utama akan menjadi sumber bagi terbentuknya deretan

gelombang yang baru.

Jumlah energi total deretan gelombang baru tersebut sama dengan energi utama.

Gambar di bawah ini menunjukkan prinsip Huygens.

Gambar 8. Prinsip Huygens (Oktavinta, 2008).

Di dalam eksplorasi seismik titik-titik di atas dapat berupa patahan, rekahan,

pembajian, antiklin, dll. Sedangkan deretan gelombang baru berupa gelombang

difraksi. Untuk menghilangkan efek ini dilakukanlah proses migrasi.

3.Prinsip Fermat

Prinsip Fermat menyatakan bahwa jika sebuah gelombang merambat dari satu

titik ke titik yang lain, maka gelombang tersebut akan memilih jejak yang

(30)

20

yang akan dilalui oleh sebuah gelombang adalah jejak yang secara waktu tercepat

bukan yang terpendek secara jarak. Tidak selamanya yang terpendek itu tercepat.

Dengan demikian, jika gelombang melewati sebuah medium yang memiliki

variasi kecepatan gelombang seismik, maka gelombang tersebut akan cenderung

melalui zona-zona kecepatan tinggi dan menghindari zona-zona kecepatan rendah.

[image:30.612.134.497.236.425.2]

Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar di bawah ini.

Gambar 9. Prinsip Fermat (Oktavinta, 2008).

III.5 Migrasi

Secara terminologi, migrasi dalam tahapan pengolahan data seismik didefinisikan

sebagai suatu tahapan yang bertujuan untuk mengembalikan reflektor miring ke

posisi sebenarnya serta menghilangkan efek difraksi akibat sesar, kubar garam,

pembajian, dan kompleksitas struktur geologi lainnya, dengan demikian akan

meningkatkan resolusi spasial pencitraan subsurface. Migrasi dapat

diklarifikasikan berdasarkan kawasan, yaitu migrasi pada kawasan waktu (Time

(31)

21

Migrasi bertujuan untuk membuat penampang seismik mirip dengan kondisi

geologi yang sebenarnya berdasarkan reflektifitas lapisan bumi. Refliktifitas suatu

bidang yang semula tidak menyambung dan selaras satu sama lain serta dipenuhi

oleh efek difraksi bowtie, setelah dimigrasi menjadi lebih jelas dan teratur.

Perbedaan amplitudo yang terlihat antara lapisan yang di atas dengan lapisan yang

di bawahnya, akibat perubahan kontras densitas batuan di bidang batas antar

lapisan, setelah dimigrasi juga menunjukkan reflektifitas yang lebih baik. Dengan

kata lain, kontinuitas amplitudo refleksi pada fasies seismik yang ditunjukkan

pada migrated section semakin optimal.

(a) (b)

Gambar 10. Penampang Seismik (a) sebelum migrasi; (b) setelah migrasi. (Marisa, 2008).

III.6. Prinsip Dasar Migrasi Seismik

Prinsip dasar dari migrasi seismik dijelaskan pada Gambar 9, dapat dilihat sebuah

reflektor miring CD hasil rekaman seismik. Diasumsikan bahwa CD termigrasi ke

[image:31.612.138.496.313.453.2]
(32)
[image:32.612.143.460.73.330.2]

22

Gambar 11. Skema Proses Migrasi (Yilmaz, 2001).

Cara kerja dari migrasi tersebut melalui beberapa tahap yaitu :

1. Memanjangkan penampang bawah permukaan CD ke titik O yang ada di

permukaan,

2. Menghubungkan titik titik semu dari C dan D ke permukaan yang ditandai

dengan A dan B,

3. Membuat pola setengah lingkaran dengan jari jari OB,

4. Menarik garis lurus dari titik D, hingga memotong pola setengah lingkaran

tersebut dan diberi label E,

5. Menghubungkan titik EO, maka terbentuklah sudut migrasi sebenarnya,

6. Menentukan posisi D’ (D sebenarnya) dengan mengukur ED’ = ED,

7. Kemudian untuk menentukan posisi C’, paralelkan DD’ ke posisi CC’.

A B

(33)

23

Dari gambar di atas, dapat diturunkan persamaan-persamaan sebagai berikut:

x t t V dx D D = 4 2 ú ú û ù ê ê ë é ÷ ø ö ç è æ D D -= 2 2 1 1 x t V t dt 2 2 1 1 ÷ ø ö ç è æ D D -D D = D D x t V x t x t

Dip (kemiringan) =

x

D

D t

Dip semu =

x t

D

D

(diukur dari unmigrated time section)

dengan t adalah traveltime (s), V adalah kecepatan migrasi (kecepatan medium),

x

D adalah jarak dari titik A dan B, D t adalah selisih waktu antara titik C dan D,

x

d adalah horizontal time displacements, dt adalah vertikal time displacements, t

adalah event time pada posisi yang belum dimigrasi,t adalah event time pada

posisi yang telah dimigrasi.

Cara lain untuk melihat operasi migrasi adalah metode penjumlahan difraksi.

Dasar pemikiran untuk pendekatan ini dapat diterangkan dengan menggunakan

prinsip Huygen’s. Berdasarkan prinsip ini, reflektor seismik dapat dipandang

(34)
[image:34.612.134.501.76.214.2]

24

Gambar 12. Skema kurva difraksi (Marisa,2008)

Migrasi pada penampang seismik diperoleh dengan mengembalikan setiap

diperoleh dengan mengembalikan setiap event difraksi yang berbentuk hiperbola

ketitik asalnya (puncak). Dalam hal ini, setiap titik pada hasil penampang migrasi

dilakukan tersendiri dari titik-titik yang lain. Setiap titik pada hasil penampang

migrai diperoleh dengan menambahkan semua nilai data sepanjang difraksi yang

berpusat pada titik itu.

III.7. Metode Migrasi Kirchoff

Migrasi Kirchoff adalah suatu prosedur yang berdasarkan penjumlahan kurva

difraksi. Migrasi ini merupakan pendekatan secara statistik dengan posisi suatu

titik dibawah permukaan dapat saja berasal dari berbagai kemungkinan lokasi

dengan tingkat probabilitas yang sama. Migrasi Kirchoff dilakukan dengan cara

menjumlahkan amplitudo dari suatu titik reflektor sepanjang suatu tempat

kedudukan yang merupakan kemungkinan lokasi yang sesungguhnya. Kurva

(35)

25

(

)

2

1 int ú û ù ê ë é å × å = -i i i rms t t V V 2 2 2 0 2 rms x v X t

t = +

Keterangan :

tx = waktu pada zero offset (merupakan posisi sesungguhnya)

to = waktu pada jarak x (posisi awal reflektor)

X = posisi titik reflektor sesungguhnya

Migrasi Kirchoff dapat dilakukan dalam suatu migrasi kawasan waktu

menggunakan kecepatan RMS dan straight ray, sedangkan dalam migrasi

kawasan kedalaman menggunakan kecepatan interval dalam ray tracing. Ilustrasi

[image:35.612.136.504.468.593.2]

migrasi Kirchoff menurut penjumlahan difraksi terlihat pada gambar berikut ini :

Gambar 13.Metode migrasi Kirchhoff a) pola penjumlahan difraksi; b) setelah migrasi (Pujiono, 2009).

Menurut prinsip Kirchoff, amplitudo pada posisi refleksi yang sebenarnya akan

dijumlahkan secara koheren sepanjang kurva difraksi (Gambar 12). Menurut

(36)

26

Schneider, keuntungan utama dari migrasi Kirchoff ini adalah penampilan

kemiringan yang curam dan baik, sedangkan salah satu kerugiannya adalah

kenampakan yang buruk jika data seismik mempunyai S/N yang rendah.

Terkadang data yang telah dimigrasi akan menimbulkan spatial aliasing yang

disebabkan oleh edge effect, edge effect ini akan memperpanjang sekitar setengan

dari aperture sebenarnya dalam algoritma migrasi, sehingga akan mengurangi

kualitas pencitraan subsurface.

Aperture merupakan jarak atau cakupan suatu data yang akan dimasukkan ke

dalam perhitungan pada migrasi Kirchoff. Aperture harus dapat mencakup setiap

reflektor yang menjadi target agar amplitudo dapat dimigrasi ke posisi reflektor

sebenarnya. Dengan penentuan aperture yang tepat, edge effect tersebut dapat

dihilangkan, jarak aperture sangat dipengaruhi oleh besar sudut kemiringan,

kecepatan, serta waktu dari event seismik itu sendiri. Berikut ini skema dari

[image:36.612.133.507.443.612.2]

aperture :

Gambar 14. Skema Aperture pada migrasi(Asoteles, 2004).

(37)

27

termigrasi. Untuk keberhasilan proses imaging ini aperture haruslah cukup lebar

untuk mencakup garis sinar refleksi dari setiap target. Aperture setidaknya harus

dua kali lebih lebar dari jarak perpindahan lateral antara titik perekaman dengan

titik refleksi atau bisa juga merupakan jarak daripada far offset nya.

= ´ ´ int 75 . 0 max 2 CMP depth

Jumlah CMP di dalam Aperture

III.8. Migrasi Berdasarkan Domain / Kawasan a. Migrasi pada Domain Waktu (Time Migration)

Proses migrasi yang menghasilkan penampang migrasi dalam kawasan waktu

disebut migrasi waktu. Migrasi jenis ini pada umumnya dapat berlaku selama

variasi kecepatan secara lateral kecil hingga sedang. Jika variasi kecepatan lateral

besar, migrasi waktu tidak dapat menggambarkan bawah permukaan dengan baik

dan benar. Jenis kecepatan yang digunakan dalam migrasi pada domain waktu

adalah akar kuadrat kecepatan rata rata (Vrms). Metode Time Migration ini pada

proses akhirnya tidak dapat menggambarkan struktur bawah permukaan secara

akurat yang memiliki struktur geologi kompleks dengan variasi kecepatan lateral.

b. Migrasi pada Domain Kedalaman (Depth Migration) / Kawasan Ruang

Migrasi kedalaman adalah proses migrasi yang menghasilkan penampang migrasi

dalam kawasan kedalaman / ruang. Migrasi kedalaman biasanya diaplikasikan

pada data seismik yang memiliki bentuk struktur dan variasi kecepatan bawah

permukaan yang kompleks dengan menggunakan asumsi gerak perambatan

(38)

28

migrasi yang digunakan dalam proses migrasi kedalaman adalah kecepatan

interval (Vint). Model kecepatan interval dapat menelusuri dengan baik jejak jejak

sinar dari reflektor ke permukaan. Model kecepatan ini digunakan untuk konversi

waktu ke kedalaman (time to depth convertion), yaitu menampilkan seismik dalam

kawasan kedalaman.

Berdasarkan tahapan dalam pengolahan data seismik, baik dalam kawasan waktu

maupun kedalaman, migrasi juga dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu :

1. Post Stack Migration

Migrasi jenis ini terbentuk, jika serangkaian data seismik melalui proses stack

terlebih dahulu, dimana trace-trace yang telah berupa CDP gather akan

distack/digabungkan, sebelum melalui tahapan migrasi.

2. Pre Stack Migration

Migrasi jenis ini adalah proses migrasi yang dilakukan sebelum proses stack

dilakukan. Pada suatu reflektor miring, pengaruh kemiringan reflektor dan

offset yang besar akan menyebabkan kecepatan stacking (Vstack) lebih besar

daripada root mean square atau RMS (Vrms). Jika pada reflektor miring

diasumsikan Vstack sama dengan Vrms untuk menentukan kecepatan interval,

maka hasil yang diperoleh tidak akurat. Selanjutnya informasi kecepatan yang

tidak akurat ini tidak bisa menggambarkan model-model bawah permukaan

yang sebenarnya. Metode Pre-Stack Migration dilakukan sebelum NMO dan

sebelum stack, sehingga diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang

ditimbulkan akibat Post-Stack. Pada proses pengolahan migrasi Pre-Stack

dilakukan dengan cara memfokuskan energi event seismik sebelum proses

(39)

29

ditempatkan pada tempat yang sebenarnya sebelum proses stack, sehingga

akan membantu dalam proses stack tersebut.

III.9. Analisis Kecepatan Migrasi

Prosedur migrasi dapat dikerjakan dalam satu langkah tetapi akan lebih

menguntungkan bila mengerjakan migrasi pada tiap bidang offset dengan cara

terpisah, kemudian dilakukan stack di semua offset secara bersamaan untuk

membuat gambar migrasi. Pemisahan seperti itu memungkinkan hanya dengan

Migrasi Kirchoff.

Kirchoff Pre-Stack Migration merupakan aplikasi algoritma dengan menjumlahkan

keseluruhan titik data di sepanjang kurfa difraksi Pre Stack dan menandai hasilnya

ke puncak (pada zero-offset).

Perbedaan Kirchoff Time Migration vs Kirchoff Depth Migration

Kirchoff Time Migration Kirchoff Depth Migration

Bentuk difraksinya hiperbola dari

kecepatan rms, serta diasumsikan

difraksinya simetris

Bentuk difraksi dari ray tracing atau

modelling wavefront (muka gelombang)

Untuk perhitungan travel time

menggunakan kecepatan rms atau

straight ray assumption

Perhitungan travel time menggunakan

kecepatan interval atau berdasarkan ray

tracing

Kirchoff Pre Stack Migration sering dilakukan dalam dua langkah, yaitu :

(40)

30

Offset 1

Offset kedua

Offset ketiga

Offset Offset Offset

CMP

2. Menjumlahkan semua offset (stack).

Aliran kerja ini menguntungkan karena langkah langkah ini memasukkan tahap

untuk analisa kecepatan. Pada gambar berikut digambarkan proses kedua langkah

ini yaitu : Pada saat model kecepatan ini sesuai, maka tiap bidang offset termigrasi

[image:40.612.145.463.232.462.2]

dengan tepat CRP gather-nya datar dan dapat di-stack secara bersamaan.

Gambar 15. Proses Kirchoff Migrasi (a) Penampang offset yang dimigrasi secara individu; (b) Gather yang datar setelah Stack Migration. (Fagin,2002).

Pada saat model kecepatannya salah, CRP (Common Reflection Point) gather

menjadi tidak datar, jika kecepatannya terlalu lambat maka kurvanya akan

membentuk pola “smiling”, dan sebaliknya jika terlalu cepat maka kurvanya

(41)
[image:41.612.140.477.76.202.2]

31

Gambar 16. CRP gather yang kecepatannya (∫a) terlalu rendah (over corrected), (b) terlalu tinggi (under corrected). (Fagin,2002).

III.10. Constrained Velocity Inversion

Kami memperkenalkan metode inversi stabil untuk membuat kecepatan sesaat yang

dibatasi secara geologi dari serangkaian stacking sparse (wavelet) yang tidak

umum atau fungsi RMS yang dipick vertikal.

Secara umum, metode ini didesain untuk membentuk model kecepatan yang

optimal untuk curve raypath PSTM dan initial model untuk PSDM serta Grid

Based Tomography. Metode ini dapat diterapkan di daerah yang mengandung

sedimen yang kompak, dimana kecepatan meningkat seiring bertambahnya

kedalaman dan secara lateral bervariasi. Proses inversi dapat dibagi menjadi 3

tahap:

Menentukan trend model kecepatan secara global, menerapkan inversi terbatas dan

pemetaan yang tepat. Awalnya, trend kecepatan diasumsikan sebagai eksponensial

yang asimtot dibatasi fungsi lokal berdasarkan 3 parameter di setiap sumbu lateral.

Hal ini dihitung dari referensi datum yang normalnya sebagai bawah permukaan

laut survei laut atau topografi/referensi lain di survei darat. Di setiap sumbu, trend

awal didefinisikan dari serangkaian fungsi vertikal yang termasuk dalam area

pre-defined yang mempengaruhinya. Pick kecepatan dihubungkan dengan batuan non

(42)

32

sedimen seperti kubah garam atau basal, sehingga membutuhkan fungsi trend yang

berbeda dan oleh karena itu diperlakukan berbeda pula. Inversi dilakukan di setiap

fungsi vertikal RMS dan kemenerusan secara lateral dan vertikal dikontrol oleh

fungsi trend global. Akhirnya, pemetaan serta smoothing dilakukan untuk

mendapatkan kecepatan sesaat, bergantung grid yang baik dalam ruang dan waktu.

Metode ini cukup stabil dan masuk akal untuk model kecepatan yang disesuaikan

dengan geologi dan dapat diterapkan untuk survei 3D, single line 2D, atau

multi-line 2D.

Dix (tahun 1955) membuat algoritma untuk menentukan kecepatan interval dari

picked RMS atau stacking kecepatan yang berhubungan dengan waktu tempuh :

Dimana Vint adalah kecepatan interval, Vrms B dan Vrms A adalah kecepatan RMS

pada permukaan bawah dan atas lapisan, dan TB dan TA adalah waktu tempuh.

Distribusi kecepatan sesaat diasumsikan konstan dengan ketidakmenerusan lapisan.

Sebenarnya, hasil persamaan Dix dalam kecepatan RMS lokal lebih besar dari

kecepatan interval (Hurbal dan Krey, 1980). Penjelasannya adalah pada persamaan

di atas, terdapat kecepatan yang tidak realistis dan sangat berosilasi (tumpang

tindih) bahkan untuk variasi stacking yang relatif kecil ataupun pada kecepatan

RMS. Landa (1991) mempelajari ketidakpastian dalam kecepatan interval dan

menentukan kedalaman sebagai pendekatan intens suatu lapisan secara umum,

menghitung error lokal yang terhubung dalam lapisan tersebut, serta error global

yang dihubungkan dengan overburden. Terdapat korelasi negatif dalam

(43)

33

menentukan kecepatan dua lapisan, jika didapatkan error besar untuk lapisan a

maka error lapisan b akan berkebalikan tanda dan secara bertahap mengkompensasi

error sebelumnya. Hal ini menyebabkan osilasi dalam profil kecepatan vertikal.

Keakuratan estimasi kecepatan interval penting untuk teknik pencitraan seperti

migrasi waktu, kedalaman dan inversi. Oleh karena itu, sejumlah pendekatan

implisit telah dikembangkan untuk inversi transformasi Dix, dimana nilai v error

tunggal dari stacking kecepatan, tidak mudah merusak hasil seluruh inversi.

Metode ini umumnya disebut Constrained Velocity Inversion. Harlan (1999)

menemukan algoritma solusi global untuk satu set fungsi vertikal yang

menerapkan kuadrat terkecil. Untuk beberapa data yang buruk, sebagian besar

diabaikan ketika bertentangan dengan nilai-nilai neighbour. Damping diterapkan

untuk menghindari ketajaman trace yang tidak perlu dalam memperkirakan

kecepatan interval.

Dalam studi ini, kami mengusulkan skema komputasi yang akurat dan cepat untuk

pembatasan inversi kecepatan. Fitur utama dari metode ini adalah fungsi

karakteristik trend, dimana awalnya didekati dengan fungsi asimtot yang dibatasi

eksponensial dan perhitungan iteratif disesuaikan. Inversi kecepatan sesaat

seharusnya tidak hanya cocok dengan kecepatan RMS yang diberikan, tetapi juga

mendekati dengan nilai trend. Mengikuti pendekatan konvensional yang banyak

digunakan, kami juga memecahkan masalah inversi dengan fit kuadrat terkecil. Fit

kecepatan RMS dan fit kecepatan trend memiliki pembobot yang berbeda dalam

fungsi cost. Untuk input data "buruk", pembobotan kecepatan RMS secara

otomatis berkurang, sehingga menghasilkan output yang stabil dan kejadian

(44)

34

dan tidak dibatasi, diasumsikan sebagai piecewise kecepatan sesaat terus menerus,

Parameter yang tidak diketahui adalah kecepatan sesaat pada titik-titik grid

vertikal yang kita asumsikan berbeda jenis.

Distribusi kecepatan sesaat diasumsikan piecewise, konstan dengan diskontinuitas

pada antar lapisan. Sebenarnya, hasil persamaan Dix dalam kecepatan RMS lokal

(Hurbal dan Krey, 1980) memiliki solusi eksplisit yang ditunjukkan oleh

Persamaan. (1) dengan mudah menghasilkan kecepatan non-realistis dan

berosilasi, bahkan untuk variasi yang relatif kecil dalam penentuan kecepatan

RMS. Landa et al (1991) mempelajari ketidakpastian dalam kecepatan interval

dan perkiraan kedalaman dengan pendekatan lapisan umum, menghitung lokal

eksponensial yang dibatasi sebagai fungsi kecepatan yang asimtotik, kemudian

mendekati batas yang telah ditentukan pada kedalaman globalnya (Ravve dan

Koren, 2004). Fungsi ini ditandai oleh tiga parameter: kecepatan sesaat dan

gradien vertikal pada antar lapisan "ground" (topografi, dasar laut atau bentuk

geologi yang lainnya) dan nilai asimtotik. Inversi ini kemudian dilakukan secara

individual untuk setiap fungsi vertikal, mengakibatkan kecepatan sesaat vs waktu

di lokasi lateral yang jarang dan tidak teratur dari fungsi vertikal. Akhirnya, kami

menerapkan algoritma pemetaan yang kuat, didasarkan pada analogi mekanik.

III.11. Prinsip Tomography

Model bawah permukaan 2D mengandung sejumlah perlapisan yang dipisahkan

oleh reflektor lapisan. Waktu rambat disepanjang sinar diberikan oleh persamaan :

t = ∫ray SL dl

(45)

35

SL = Medium slowness (kelambatan)

dl = Panjang sinar didalam sel

Perubahan didalam waktu rambat diberikan oleh Farra dan Madariaga :

δt = ∫ray δSL dl + ∑ ∆P δZi

Keterangan :

∆P = Perubahan pada kelambatan vertikal dari sinar antara titik langsung di

bawah dan diatas bidang batas ke-i

δSL = Error pada slowness

δZi = Error pada koordinat vertikal

dl = Panjang sinar dalam sel

Ada tiga aplikasi penting dari prinsip tomografi ini :

1. Untuk mengoreksi dari error migrasi kedalaman ke error waktu di

sepanjang sinar CRP

2. Metoda migrasi prestack menghasilkan keluaran refleksi dari perlapisan

yang terpusat

3. Perhitungan didalam tomografi matriks

Error kedalaman pada migrasi CRP dapat dikonversi kedalam error waktu

disepanjang sinar CRP. Pasangan sinar yang muncul dari CRP pasangan sinar ini

(46)
[image:46.612.134.506.93.262.2]

36

Gambar 17. Konversi dari error kedalaman menjadi error waktu (Pujiono,2009)

Ketika sinar A berpindah secara vertikal sebesar, maka perubahan yang dihasilkan

pada travel time dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan persamaan,

yakni :

δt = ∆PZ δZ

Jika perubahan diskalakan kedalam satuan unit yang berdasar kepada :

δZ = C (δZ ⁄ 2)

δt = ((cos θ1 + cos θ2)/2) δτ

∆PZ = (cos θ1 + cos θ2)/C

Keterangan :

δZ = Perbedaan kedalaman image lapisan dengan kedalaman referensi

δt = Perubahan travel time

C = Kecepatan diatas bidang batas

(47)

37

Gambar 18 merupakan penggambaran skematik tomography. Pada bagian ini tiap

subsurface terdiri atas beberapa bagian dari lapisan-lapisan model dan tiap lapisan

terdiri dari deret sel atau matrix tomography. Nilai delay, untuk sebuah

source-receiver offset pada sebuah lokasi CRP, didefinisikan oleh analisis residual

moveout. Pola lintasan sinar melintasi model yang ditunjukkan untuk lokasi CRP

dan offset. Tiap sel lapisan berasosiasi dengan pola lintasan. Warna abu-abu

menunjukkan identifikasi raypath transits. Dengan informasi yang baik mengenai

lokasi CRP dan offset-nya, prosedur tomography memberikan nilai turunan dari

traveltime delay atau kemajuan (dalam hal ini perubahan kecepatan) yang

dibutuhkan dalam setiap sel. Perubahan total traveltime yang ada identik dengan

[image:47.612.226.425.369.486.2]

depth gather residual moveout.

Gambar 18. Penggambaran skematik penggunaan ray tracing dalam tomographicupdating (Fagin, 1999)

III.12. Grid Based Tomography

Tomografi pada migrasi kedalaman adalah sebuah metode untuk

menyempurnakan model kecepatan saat migrasi kedalaman yang dilakukan

dengan model kecepatan yang salah. Tingkat ketidakdataran adalah ukuran

(48)

38

(residual moveout) ini sebagai upaya untuk menemukan model alternatif yang

akan meminimalkan kesalahan.

Sebuah fitur penting dari tomografi, dibandingkan dengan Layer Stripping, adalah

pendekatan global. Tomografi mempunyai atribut kesalahan dalam waktu di satu

lokasi ke lokasi kesalahan untuk kecepatan dan kedalaman di lokasi lain. Ini

mempertimbangkan model keseluruhan. Layer Stripping dapat mengakibatkan

akumulasi kesalahan pada bagian dalam dari section ketika ada kesalahan di

bagian dangkal. Tomografi dapat mengupdate bagian dangkal dan dalam secara

bersamaan.

Grid Based Tomography adalah prosedur update kecepatan untuk memperbaiki

dan meningkatkan kecepatan awal. Grid Based Tomography menggunakan

velocity section sebagai input. Output nya adalah kecepatan yang diperbarui, yang

merupakan representasi grid dari model. Kita dapat menggunakan grid berbasis

tomografi dimana sulit untuk untuk melakukan picking horizons dan membangun

model kedalaman setelah migrasi dengan model kecepatan awal, sebagai contoh

ketika bekerja dengan struktur yang kompleks atau kualitas data yang buruk kita

dapat menggunakan Grid Based Tomography untuk memperbaiki kecepatan

setelah beberapa iterasi di Horizon Based Tomography. Input yang digunakan

untuk Grid Based Tomography adalah Residual Moveout Section atau Depth

Gather setelah migrasi.

Grid Based Tomography tidak memerlukan sebuah model sebagai input. Ini

merupakan sebuah keuntungan dibanding Horizon Based Tomography dalam

kasus dimana sulit untuk membangun model yang konsisten. Sebagai alternatif,

(49)

39

dari segmen. Picking ini dilakukan dalam velocity navigator yang berfungsi

sebagai pedoman untuk tomografi tersebut. Namun jika Horizon Based model

dapat dibangun, kami sarankan anda menggunakannya, karena itu lebih cepat dan

memberikan hasil yang lebih baik dengan memperbarui horizon dan velocity

secara bersamaan. Input yang dibutuhkan oleh Grid Based Tomography adalah

kecepatan inisial, Gathers atau Residual Moveout Section dan Tomography Picks.

Output nya adalah Update Velocity Section. Velocity Section dapat diubah menjadi

Horizon Model kemudian dapat diperbarui menggunakan Horizon Based

(50)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1. Hasil Penelitian V.1.1. Interpretasi Horizon

Pengolahan data pada Pre-Stack Depth Migration (PSDM) merupakan tahapan

lanjutan setelah dilakukannya pengolahan data awal, sehingga masukan data

untuk pengolahan data PSDM adalah hasil dari pengolahan sebelumnya yaitu

pengolahan PSTM berupa Time Migrated Section (TMS). Dimanadata TMS pada

[image:50.612.133.505.441.608.2]

penelitian ini sebelumnya diolah oleh PT. Elnusa tbk.

(51)

47

Pada penampang seismik tersebut (TMS) dilakukan picking horizon berdasarkan

dari kenampakan amplitudo yang kuat yakni pada trough, karena pada penelitian

ini menggunakan polaritas normal SEG, sehingga trough bernilai positif yang

ditandai oleh warna putih. Picking horizon ini juga perlu dikoherensikan dengan

interpretasi horizon yang dilakukan geologist sebelumnya karena mereka

mengacu pada kondisi geologi regional. Kemudian, membuat model struktur

sehingga horizon tersebut akan mewakili tiap lapisan yang diberi indikator warna

yang berbeda-beda. Selain itu, batas garis hasil picking horizon ini juga

mengindikasikan adanya perbedaan kecepatan lapisan, Pada penampang ini

diindentifikasi ada 10 lapisan yg memiliki kontras kecepatan secara vertikal.

Sehingga pada pemodelan kecepatan nantinya akan mengacu pada lapisan ini.

V.1.2. Pemodelan Kecepatan dan Updating Model Kecepatan

Pada PSDM diperlukan penampang kecepatan dalam domain kedalaman atau

kecepatan interval. Dalam proses pemodelannya memerlukan data penampang

kecepatan RMS (Gambar 22a). Proses transformasi dari model kecepatan RMS ke

model kecepatan interval dilakukan dengan metode Constrained Velocity

Inversion, yangakan menghasilkan model kecepatan baru yang berupa kecepatan

interval inisial / awal (Gambar 22b).

Model kecepatan interval inisial ini kemudian diaplikasikan pada PSDM, dimana

hasil dari PSDM dievaluasi kebenaran model kecepatan intervalnya dengan

menganalisis data gather (Depth Migrated Gather/DMG) dan semblance residual

moveout nya. Jika model kecepatannya benar, DMG-nya akan flat (datar) atau

(52)

48

Perbaikan model dilakukan dengan melakukan refinement horizon yaitu

memperbaiki posisi hasil picking horizon yang telah bergeser dengan melakukan

automatic picking. Kemudian, meng-update kecepatan dengan menggunakan

konsep Grid Based Tomography untuk menentukan kecepatan interval yang

paling tepat. Pada penelitian ini perbaikan model kecepatan dilakukan sebanyak 6

(53)
[image:53.612.132.506.74.511.2]

49

Gambar 21. Model kecepatan interval; (a) tomografi ke 1, (b) tomografi ke 2, (c) tomografi ke 3, (d) tomografi ke 4, (e) tomografi ke 5, dan

(f) tomografi ke 6

karena model kecepatan interval pada updating ke-6 sudah berhasil mendapatkan

(54)

50

kecepatan interval final atau kecepatan interval yang terbaik yang digunakan

[image:54.612.132.507.128.632.2]

untuk proses PSDM akhir (Gambar 22c).

(55)

51

V.1.3. PSDM

Kecepatan interval yang sudah didapatkan diterapkan untuk me-running PSDM

menggunakan data CDP (Common Depth Point) unmigrated gather sebagai data

masukannya dan jenis algoritma yang digunakan dalam penelitian ini adalah

algoritma kirchoff, kemudian menentukan lebar aperture, dimana lebar aperture

ini menentukan jarak ayunan dari proses migrasi yang besarnya dua kali daripada

jarak perpindahan lateral antara titik perekaman dengan titik refleksi, atau jarak

dari far offset nya. Kemudian merunning PSDM untuk menghasilkan output

(56)
[image:56.612.133.506.75.607.2]

52

Gambar 23. Penampang seismik PSDM (DMS); (a) Tomografi ke 1, (b) Tomografi ke 2, (c) Tomografi ke 3, (d) Tomografi ke 4, (e) Tomografi ke 5,

(57)

53

Selanjutnya, initial depth migrated section dikonversi ke domain time dengan

menggunakan model kecepatan interval sehingga menghasilkan penampang

seismik hasil PSDM dalam domain time (D2T) pada Gambar 26 yang kemudian

dibandingkan dengan hasil penampang hasil PSTM (Gambar 24) dalam domain

(58)
[image:58.792.111.735.103.434.2]

54

(59)
[image:59.792.110.738.103.441.2]

55

(60)
[image:60.792.112.735.104.439.2]

56

(61)

57

V.2. Pembahasan

V.2.1. Analisis Kecepatan

Perambatan gelombang seismik dalam domain waktu biasanya diasumsikan

bahwa nilai kecepatan gelombang yang merambat bernilai konstan atau semakin

dalam semakin besar kecepatannya. Namun pada kenyataanya ada dimana lapisan

atasnya memiliki kecepatan yang lebih besar dibandingkan lapisan dibawahnya.

Hal ini dikarenakan kecepatan akan mengalami perubahan secara vertikal maupun

lateral yang dapat diakibatkan kondisi fisis berupa tekanan, suhu, porositas dan

lainnya, serta dapat diakibatkan efek-efek geologi seperti fault ( patahan), salt

dome, diapir, reef dan sebagainya.

Pada Gambar 27 menunjukkan variasi kecepatan lateral yang terdapat pada daerah

penelitian, dimana perubahan kecepatan pada suatu lapisan dilihat berdasarkan

[image:61.612.130.506.414.602.2]

kontras warna dengan interval kecepatan 1500 - 3800 m/s (biru ke merah).

Gambar 27. Penampang kecepatan interval final

Dapat dilihat bahwa nilai kecepatan tinggi tidak selalu berada di lapisan dalam

(62)

58

hasil kecepatan untuk melakukan proses final migrasi tidak tepat. Dapat dilihat

pada darah yang dibatasi dengan lingkaran berwarna hitam pada lapisan

kedalaman (vertical) 2000-2500 ms dan CMP 2250-3000 terjadi perbedaan warna

yang sangat kontras dibandingkan sekelilingnya, yakni velocity-nya lebih tinggi

dibandingan dengan daerah sekitarnya. Ini menunjukkan ada perubahan struktur

pada daerah tersebut, yang kemungkinan berupa batu gamping terumbu dan

ditaksir sebagai batuan karbonat karena memiliki kecepatan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan shale atau sand. Dengan begitu, menggunakan teknik

perhitungan kecepatan interval dengan Constrained Velocity Inversion yang

berdasarkan penjalaran sinar (ray tracing) mampu mendapatkan kecepatan yang

tepat.

V.2.2 Perbandingan PSTM dan PSDM

Data hasil Pre Stack Depth Migration yang telah dilakukan pada data seismik

pada lintasan GMR165 di kawasan Teluk Cenderawasih untuk memperlihatkan

adanya peningkatan citra yang cukup signifikan dibandingkan citra hasil Pre

Stack Time Migration yaitu pada beberapa reflektor yang terlihat lebih tegas

seperti pada Gambar 28. Fenomena tersebut dapat dijelaskan bahwa pada data

migrasi domain waktu berasumsikan hyperbolic moveout koreksi NMO yang

dilakukan pada time gather relatif tidak tepat, sehingga mengakibatkan terjadinya

distorsi amplitudo sehingga saat time gather tersebut dilakukan stacking maka

(63)
[image:63.612.133.506.81.516.2]

59

Gambar 28. Perbandingan penampang seismik hasil PSTM (atas) dan PSDM (bawah)

Ketidak menerusan reflektor pada data stack time domain biasanya disebabkan

gagalnya positioning pada pencitraan time migrated, hal ini menyebabkan citra

data seismik pada daerah-daerah tertentu (daerah sesar misalnya) menjadi tidak

(64)

60

kecepatan secara lateral, pencitraan pada time domain dengan kecepatan RMS

menghasilkan kesalahan dalam mendeskripsikan geometri kurva difraksi, kurva

difraksi (waktu tempuh minimum) tidak berimpit dengan titik difraksi, kurva

difraksi berada pada posisi tegak lurus terhadap kedatangan gelombang pada

permukaan. Posisi tersebut merupakan lintasan terpendek antara permukaan

dengan titik difraktor sehingga teridentifikasi sebagai kurva difraksi sehingga

menghasilkan ketidaktepatan posisi (mispositioning) event.

Berbeda dengan migrasi pada domain waktu, PSDM tidak berasumsi pada

hyperbolic moveout, akan tetapi setiap titik pada data seismik dilakukan focusing

sehingga setiap amplitudo pada setiap offset berada pada posisi kedalaman yang

sebenarnya. Constrained Velocity Inversion dengan pemodelan ray tracing tidak

menggunakan asumsi hyperbolic moveout, memperhitungkan variasi kecepatan

baik secara lateral maupun vertikal, refraksi dan struktural dip dalam model

sehingga mampu mencitrakan titik reflektor pada posisi kedalaman sebenarnya.

Sehingga kemenerusan reflektor dapat tercitrakan lebih baik, ini terlihat dari

(65)
[image:65.612.133.506.81.516.2]

61

Gambar 29. Perbandingan penampang seismik hasil PSTM (atas) dan PSDM (bawah)

V.2.3. Analisis Gather

Dalam penelitian ini proses iterasi perbaikan kecepatan interval dilakukan

sebanyak 6 kali. Sebagai quality control keberhasilan perbaikan kecepatan

(66)

62

pada Gambar semblance gather final (Gambar 30 bawah) memiliki nilai error

lebih kecil dibandingkan semblance gather initial (Gambar 30 atas) hal ini terlihat

dari warna merah yang lebih mendekati garis 0, ini menandakan kecepatan yang

diterapkan relatif tepat.

Pada initial gather kedalaman antara 2500-3500 m terlihat adanya kecepatan yang

kurang tepat, terlihat bahwa kecepatan yang diterapkan terlalu rendah sehingga

harus dilakukan koreksi. Jika kecepatan terlalu rendah menyebabkan gather

mengalami over-corrected (smiling effect) atau gather akan berharga positif

(kearah atas). Sedangkan jika terlalu tinggi maka akan menyebabkan

under-corrected dan gather akan berharga negatif (kearah bawah). Dan setelah

dilakukan perbaikan, gather terlihat flat, yang menandakan bahwa kecepatannya

[image:66.612.134.507.441.656.2]

tepat.

(67)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis dari pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :

1.

Kecepatan interval yang didapatkan mampu mempresentasikan nilai

kecepatan yang sebenarnya.

2.

Hasil PSDM memberikan peningkatan citra yang signifikan yaitu mampu

mempertegas pola reflektor.

VI.2. Saran

Akurasi model kecepatan yang cukup baik hasil PSDM ini, dapat digunakan untuk

prosessing lanjut seperti inversi AI dan AVO. Diharapkan parameter yang akan

(68)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Agus., 2007, “Ensiklopedia Seismik Online”, Blog Online.

Asoteles, 2004, Survey Design Criteria Maximum Migration Aperture.

Charlton, T.R. (2000) : Tertiary Evolution of the Eastern Indonesia Collision Complex, Journal of Asian Earth Sciences, p. 603 – 631.

Danusaputro, Hernowo and Harmoko, Udi and Triarto, Yose Rizal (2010), Analisis Velocity Model Building Pada Pre Stack Depth Migration

Untuk Penggambaran Struktur Bawah Permukaan Daerah “X”, BERKALA FISIKA, 13 (1). pp. 27-32. ISSN 1410 – 9662.

Dix, C. H., 1955, Seismic velocities from surface measurements: Geophys-ics,20, 68–86.

Dow, D.B., dan Hartono,U., 1982, The Nature of The Crust Underlying Cendrawasih (Geeluink) Bay, Irian Jaya, Proceedings Indonesian Petroleum Association.

Dow, D.B., dan Sukamto, R. (1984) : Western Irian Jaya: the end-product of oblique plate convergence in the Late Tertiary, Tectonophysics, 106, p.109-139.

Fagin, S., 2002, Becoming effective velocity-model builders and depth imagers, Part 1- The basics of pre-stack depth migration, TLE, Texas.

Hamilton, W.R. (1979) : Tectonics of the Indonesian Region, US Geological Survey Professional Paper 1078, 345 pp.

(69)

Henage, A.G. (1993) : Mesozoic and Tertiary Tectonics of Irian Jaya: Evidence for Non-rotation of Kepala Burung, Proceedings of the Indonesian Petroleum Association, p. 763-792.

Hubral, P., and T. Krey, 1980, Interval velocities from seismic reflection time measurements: SEG.

Koren, Zvi dan Ravve, Igor., 2005, Paradigm Geophysical, SEG Houston Annual Meeting.

Kurniawan, Aan., 2012, Studi Pencitraan Struktur Bawah Permukaan Bumi Menggunakan Metode Pre Stack Depth Migration (PSDM) Pada Lintasan AK-213 di Daerah Jawa Timur Bagian Utara, Skripsi Jurusan Teknik Geofisika UNILA, Lampung.

Landa, E., P. Thore, V. Sorin, and Z. Koren, 1991. Interpretation of ve

Gambar

Gambar 1. Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng tektonik (Hamilton, 1979)
Gambar 2. Elemen tektonik Papua (Hamilton, 1979)
Gambar 3. Geologi sekitar Teluk Cenderawasih (Dow dan Hartono, 1982)
Gambar 4. Zona Sesar Yapen yang melewati Pulau Yapendan Teluk Cenderawasih (Dow dan Hartono, 1982)
+7

Referensi

Dokumen terkait