• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama dan interaksi sosial : studi kasus relasiaktivisis rohis dan aktivisrohkris dengan pemeluk agama lain di SMAN 79 Jakarta Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Agama dan interaksi sosial : studi kasus relasiaktivisis rohis dan aktivisrohkris dengan pemeluk agama lain di SMAN 79 Jakarta Selatan"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

AGAMA DAN INTERAKSI SOSIAL Studi Kasus Relasi Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris dengan Pemeluk Agama Lain di SMAN 79

Jakarta Selatan

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Sebagai Persyaratan Untuk mencapai

Gelar Sarjana Sosial (S.sos)

Oleh

SYARIFAH ALAWIYAH NIM: 101032221718

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

AGAMA DAN INTERAKSI SOSIAL

Studi Kasus Relasi Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris dengan Pemeluk Agama Lain di SMAN 79 Jakarta Selatan

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.sos)

Oleh:

SYARIFAH ALAWIYAH NIM:101032221718

Di bawah Bimbingan

Dra. Ida Rosyidah, M.A. NIP: 150243267

JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HDAYATULLAH JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul AGAMA DAN INTERAKSI SOSIAL: STUDI KASUS RELASI AKTIVIS ROHIS DAN AKTIVIS ROHKRIS DENGAN PEMELUK AGAMA LAIN DI SMAN 79 JAKARTA SELATAN telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.sos) pada jurusan Sosiologi Agama.

Jakarta, 16 Juni 2009

Sidang Munaqasah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Hamid Nasuhi, MA Dra. Joharotul Jamilah, M.Si

NIP: 150 241 817 NIP: 150 282 401

Anggota

Penguji I Penguji II

Dr. Masri Mansoer, MA Ahmad Abrori, MA

NIP: 150 244 493 NIP: 150 368 736

Pembimbing

Dra. Ida Rosyidah, MA

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga

selalu dilimpahkan pada Nabi Muhammad SAW yang menjadi rahmat bagi seluruh alam,

yang menjadi petunjuk bagi manusia, beserta keluarga dan sahabatnya.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis

hadapi, namun banyak pula pelajaran yang didapat. Berkat motivasi dan bantuan dari

semua pihak akhirnya penulis dapat mengambil hikmah dari kesulitan yang dihadapi.

Merupakan sebuah penantian yang cukup lama bagi penulis dalam menyelesaikan

penulisan skripsi untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata 1 (S1) pada jurusan Sosiologi

Agama ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan banyak terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada mereka yang telah membimbing dan membantu penulis dalam

suka maupun duka untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Adapun ucapan terima kasih

ingin penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. M. Amin Nurdin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

beserta seluruh civitas Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah mengarahkan,

membimbing dan melayani seluruh kebutuhan administratif dan akademik kepada

penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

2. Dra. Ida Rosyidah, MA., selaku ketua jurusan Sosiologi Agama dan juga sebagai

pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya dengan kesabaran dalam

(5)

3. Dra. Jauharotul Jamila, M.si, selaku sekretaris jurusan Sosiologi Agama dan Drs.

Ramlan A. Gani MA., selaku pembimbing akademik yang senantiasa

membimbing penulis selama perkuliahan.

4. Kepala Perpustakaan Utama dan Kepala Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat beserta seluruh stafnya yang telah memberikan palayanan dengan baik.

5. Drs. A. Sukarno selaku kepala sekolah di SMAN 79 Jakarta Selatan dan Harjono

S.pd selaku wakil kepala sekolah bagian humas di SMAN 79 yang telah bersedia

memberikan informasi dan data-data yang berkaitan dengan pembahasan penulis.

Drs. H. Syihabuddin selaku pembimbing Rohis di SMAN 79 dan Dra. Loine

Simanjuntak selaku pembimbing Rohkris di SMAN 79 yang bersedia

meluangkan waktunya untuk penulis. Seluruh informan aktifis Rohis (Fajar

Susanto, Ahmad Affandi, Bagas Febriansyah Wijaya, Amalia Hadi, Nurhalimah

Tusadiyah dan Anis Nur Husna) dan aktifis Rohkris (Canang Karismantio,

George Alexander, Demonsky Ambonnes Rassel, Jessica Simanjuntak, Dwi

Anastasia dan Megawati Immanela) yang telah bersedia memberikan informasi

tentang rohis dan rohkris pada penulis. Semoga Allah membalas amal baik kalian

semua.

6. Kedua orang tua penulis, Bapak Muhammad Nasir dan Ibu Paridah yang

senantiasa menyemangati penulis untuk giat menyelasaikan skripsi ini dan tak

pernah lelah mendoakan untuk keberhasilan anak-anaknya. Terima kasih juga

untuk suami dan anakku tercinta Luekman Hakim, S.Ag dan Sahla Qobilatil Ilmi

(6)

menyelesaikan skripsi ini. Serta saudara-saudara yang tidak dapat disebutkan

namanya satu persatu terima kasih atas dukungan dan doanya.

7. Terima kasih untuk sahabatku Nia Novitasari dan Laila Masyitoh yang tidak

pernah bosan menjadi tempat penulis berkonsultasi. Untuk sahabat- sahabatku

Dila, Supri, Amin, Nourma, Samsul, Seha, Imas, Nining, Ani, Eltri,

kokom………..semoga persahabatan kita selalu abadi selamanya. Juga semua

pihak yang telah banyak membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Hanya Allah SWT yang dapat membalas jasa-jasa mereka yang telah

memberikan perhatiannya pada penulis. Teriring doanya semoga penulis dapat membalas

semua kebaikan yang telah diberikan.

Berbagai macam kekurangan pasti terdapat dalam penulisan tugas akhir ini,

untuk itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berharap agar karya ini

bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Ciputat, 4 Mei 2008

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……… iv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 7

D. Metodologi Penelitian………. 8

E. Sistematika Penulisan………. 11

BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Agama dan Keberagamaan 1. Pengertian Agama……… 14

2. Fungsi Agama ……… 16

3. Ruang Lingkup Agama……… 20

4. Pengertian Keberagamaan……… 22

5. Dimensi Keberagamaan………... 24

B. Pengertian Interaksi Sosial 1. Pengertian Interaksi Sosial……….. 28

2. Syarat-syarat terjadinya Interaksi Sosial………. 29

(8)

C. Toleransi Antar Umat Beragama

1. Pengertian Toleransi………... 37

2. Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif

Islam……….. 41

3. Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif

Kristen……… 44

BAB III. GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Institusi SMAN 79 Sebagai Sarana Pendidikan dan Pengajaran

1. Sejarah Berdirinya ……….. 47

2. Sarana dan Prasarana………... 56

3. Struktur Kelembagaannya………... 57

B. Seputar Rohis: Sejarah, Tujuan dan Program

C. Sekilas Tentang Rohkris: Sejarah, Tujuan dan Program

D. Minat Siswa Terhadap Kegiatan Keagamaan

BAB IV. AGAMA DAN INTERAKSI SOSIAL AKTIVIS ROHIS DAN AKTIVIS ROHKRIS DENGAN PEMELUK AGAMA LAIN DI LINGKUNGAN SEKOLAH

A. Keberagamaan Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris…… 71

B. Interaksi Sosial Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris…. 81

C. Pengaruh Agama terhadap Interaksi Sosial Aktivis Rohis dan Aktivis

(9)

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 94

B. Saran-saran……….. 94

DAFTAR PUSTAKA………. 96

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial, yang secara individual membutuhkan orang

lain. Ia dituntut hidup bersama dan berdampingan dengan orang lain dalam upaya

mencapai tujuan hidupnya. Tanpa bantuan orang lain, manusia tidak akan dapat

mengaktualisasikan dirinya sehingga tidak dapat meneruskan keberlangsungan hidupnya

untuk mencapai posisi sebagai khalifah fil al-ardl.

Masyarakat merupakan sebuah kelompok manusia yang memiliki tatanan

kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang secara bersama-sama ditaati oleh seluruh

anggota masyarakatnya. Tatanan kehidupan, norma dan adat istiadat tersebut merupakan

dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka yang pada gilirannya membentuk

kelompok manusia yang mempunyai ciri kehidupan yang khas.1

Dalam sebuah masyarakat, dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk

sosial, interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial. Dengan

demikian, interaksi sosial merupakan kunci kehidupan sosial dimana dalam proses

tersebut terjadi hubungan sosial yang dinamis baik antara individu, antara kelompok

maupun antara individu dan kelompok.2

1

M. Arifin Noor; Ilmu Sosial Dasar, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h. 85

2

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2001), cet. Ke-32, h. 67

(11)

Proses interaksi sosial terjadi melalui empat hal yaitu, imitasi, sugesti,

identifikasi, simpati. 3 Proses-proses tersebut mengandung banyak kelebihan dan

kekurangannya yang semuanya tergantung dari individu dalam mengaktualisasikan

hidupnya di tengah-tengah masyarakat.

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk. Hal ini ditandai

oleh pelbagai perbedaan-perbedaan seperti: suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama.

Perbedaan-perbedaan ini sering kali menimbulkan konflik-konflik terutama perbedaan

agama, hal ini disebabkan oleh sikap saling curiga dan salah faham dari satu penganut

agama terhadap sikap dan prilaku agama lain. Oleh karena itu masyarakat dituntut untuk

bersikap toleran agar tercipta kehidupan yang harmonis antar umat beragama dan setiap

agama mengakui eksistensi agama-agama lain dan saling menghormati hak asasi

penganutnya.

Ketidakharmonisan antar pemeluk agama juga di latar belakangi oleh banyak

faktor. Secara kategoris-simplistis hal itu dapat dibedakan ke dalam dua faktor, yaitu

faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi seseorang

dalam bersikap yang disebabkan atas dasar pemahaman keagamaan terhadap agamanya.

Seperti, adanya kecenderugan pemahaman radikal-ekstrim dan fundamental-subjektif.

Demikian pula sikap eksklusifisme, dan kesalahpahaman terhadap ajaran agama sendiri

telah menjadikan agama sebagai ancaman bagi pemeluk agama lainnya. Tidak hanya

faktor internal, faktor lain seperti sikap hedonitas dan oportunitas dengan mengatas

namakan agama sebagai komoditas kepentingan telah menjadikan petaka kemanusian

yang berkepanjangan.4

3

(12)

Indonesia merupakan negara yang memberikan kebebasan kepada warganya

untuk memeluk dan menjalankan agama berdasarkan keyakinannya. Di sini, warga

diberikan kebebasan dalam mengaktualisasikan ajaran agamanya sepanjang dibarengi

dengan sikap toleransi dan saling menghargai antar pemeluk agama. Kenyataan ini

membawa citra Indonesia dimata internasional sebagai negara yang toleran.

Namun kenyataannya, masih terjadi konflik di mana-mana seperti yang terjadi di

Ambon, Poso, Madura dan lain-lain. Konflik dan pertikaian ini terjadi karena

kemajemukan masyarakat Indonesia yang diperparah lagi oleh kesenjangan sosial dan

ekonomi yang tajam dan belum tumbuhnya budaya multikultural yang lebih

memungkinkan masyarakat kita membangun kerjasama dan kemitraan secara tulus.

Misalnya kasus kerusuhan Ambon dapat dilihat sebagai bagian dari disharmonisitas yang

terpendam disebabkan pertentangan ekonomi dan status sosial selama Orde Baru.

Sebagian besar petani Ambon beragama Kristen, sementara itu pelaku bisnis papan

bawah dan papan atas dimonopoli oleh kelompok masyarakat yang beragama Islam.

Kelompok ini didukung oleh orang Bugis-Makassar dan orang-orang Ambon keturunan

Arab. Sedangkan para pejabat yang duduk di birokrasi pemerintah dan angkatan

bersenjata mayoritas dikuasai oleh penduduk yang beragama Kristen. Pembagian okupasi

ini seakan sebuah division of labaour (pembagian lapangan kerja) yang telah mentradisi

sejak Maluku jatuh ke tangan Belanda. Kemiskinan yang dialami kelompok petani

Ambon di zaman orde baru telah menjatuhkan prestise mereka dihadapan kelompok

okupasi lainnya, khususnya pendatang muslim. Ketika terjadi ekspansi terhadap lahan

pendapatan kelompok lainnya, maka munculah kecurigaan dan mengundang sentimen

4

(13)

sehingga mengakibatkan keseimbangan sosial tersebut goyah. Sesungguhnya pertarungan

antar kelompok etnik merupakan pertarungan antar kelompok kepentingan. Namun

pertarungan itu selalu dikemas dalam bungkus agama agar ia kelihatan sakral dan mudah

melestarikannya.

Kerusuhan-kerusuhan ini menimbulkan korban harta dan jiwa, selain itu juga

yang tak kalah penting adalah rusaknya harmoni kehidupan masyarakat yang telah

terbentuk sekian lama. Kecurigaan dan dendam melanda berbagai kelompok masyarakat.

Masyarakat kini telah kehilangan panutan dan norma hidup berbangsa dan bernegara

Fenomena di atas, menuntut seluruh warga negara untuk bersikap toleran

sehingga dapat hidup berdampingan di antara sesama. Sikap toleran ini harus

dikembangkan oleh segenap lapisan masyarakat dalam semua sendi kehidupan berbangsa

dan bernegara, tak terkecuali bagi para siswa.

Di Indonesia, terdapat perbedaan antara madrasah dengan sekolah, terutama jika

dilihat dari aspek latar belakang agamanya. Madrasah lebih bersifat singularis, yakni

semua guru, tenaga kependidikan dan para siswanya beragama Islam. Sedangkan para

guru, tenaga kependidikan dan siswa di sekolah bersifat pluralis, yakni terdiri atas

berbagai latar belakang agama. Suasana semacam itu menuntut tumbuh kembangnya

sikap dan kesadaran pluralisme.

Di sekolah-sekolah umum, biasanya tidak hanya didominasi siswa dari satu

agama saja. Kebanyakan sekolah-sekolah tersebut menerima siswa dengan latar agama

yang berbeda-beda. Salah satunya di SMAN 79 Jakarta. Di sekolah ini jumlah siswa non

muslim sekitar 5,28 % dari agama lain.5

5

(14)

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berfungsi dalam menyiapkan

generasi penerus. Dalam menanamkan dan membina sikap toleransi antara sesama murid,

terutama yang tidak seagama (jika diperlukan) hanya terbatas dalam membantu

menyiapkan sarana yang diperlukan untuk upacara yang dimaksud, dan bukan ikut

menghadiri atau melaksanakan upacara (ritual) agama tertentu.

Di sekolah-sekolah umum, biasanya terdapat berbagai macam organisasi siswa.

Salah satunya adalah organisasi kegamaan yaitu, Rohis (Rohani Islam) dan Rohkris

(Rohani Kristen). Dalam organisasi ini, siswa-siswi muslim dan non muslim dibina untuk

mendalami ajaran agamanya. Selain itu dalam organisasi ini juga, siswa-siswi ini

diajarkan cara berorganisasi dan berinteraksi dengan sesama, sebagai bekal nantinya

hidup di masyarakat. Selain itu, siswa-siswi yang ikut dalam organisasi ini diharapkan

dapat menerapkan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari, terlebih lagi cara

mereka berinteraksi dengan lingkungan. Dalam hal ini, cara mereka berinteraksi dengan

siswa-siswi yang berbeda agama.

Hal ini amat menarik untuk dikaji lebih jauh, terutama untuk memahami

pandangan siswa-siswi muslim yang aktif dalam organisasi rohis (rohani Islam) terhadap

siswa-siswi non muslim begitu juga memahami pandangan siswa-siswi non muslim yang

aktif dalam organisasi rohkris (rohani Kristen) terhadap siswa-siswi muslim. Serta

bagaimana mereka mampu memahami setiap perbedaan yang ada di antara mereka. Dari

uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisa dalam sebuah penelitian berbentuk

(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pemeluknya. Agama dapat

berkaitan dengan stratifikasi sosial, solidaritas sosial, bahkan terkadang agama

dikait-kaitkan dengan konflik sosial yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Agama juga tidak dapat dipisahkan dari interaksi sosial pemeluknya, karena

agama merupakan pedoman hidup yang oleh mereka dijadikan sebagai acuan utama

dalam bertingkah laku, bertutur kata dan bertindak.

Setiap ajaran agama –agama apa pun- akan menuntun pemeluknya untuk

membangun sebuah relasi yang harmonis dengan sesama pemeluk agama maupun

pemeluk agama lain, maka dari itu setiap pemeluk agama selalu berusaha menjalin

dengan lingkungannya sebaik mungkin.

Maka dari itu dalam penelitian ini, penulis hanya akan membatasi masalah pada

hubungan agama dengan interaksi sosial, dalam hal ini relasi antar pemeluk suatu agama

dengan agama lainnya.

Adapun mengenai perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini

adalah: “ Bagaimanakah hubungan agama dan interaksi sosial, dalam hal ini relasi aktivis

rohis dan aktivis rohkris dengan pemeluk agama lain di SMAN 79 Jakarta Selatan?”

Tujuan dan Manfaat Penelitian

(16)

a. Untuk memperkaya kajian ilmu pengetahuan tentang paradigma, konsep, dan teori

tentang kehidupan keberagamaan dan pola interaksi siswa yang berlatar belakang

beda agama.

b. Untuk mengetahui kehidupan keberagamaan dan interaksi antara masyarakat

Indonesia yang plural, terutama kalangan remajanya.

c. Untuk mengetahui toleransi beragama aktifis Rohis dan aktifis Rohkris.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini menjadi sumbangan bagi pengkajian dan pengembangan teori

sosiologi agama.

Hasil penelitian ini menjadi penting bagi para ahli sosiologi agama untuk memikirkan

kembali hubungan keagamaan yang ideal dalam konteks kekinian.

Untuk memperluas wawasan intelektual tentang fungsi lembaga sekolah bagi kehidupan

beragama

Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana

pendekatan kualitatif difahami sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat

diamati.6

6

(17)

Pendekatan Kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengambil bentuk

studi kasus. Studi ini dilakukan sebagai nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik

tentang fenomena individual dan dapat digeneralisasikan ke dalam proposisi teoritis.

Studi kasus merupakan bentuk penelitian yang mendalam tentang aspek-aspek

lingkungan sosial, lingkungan pendidikan, keagamaan termasuk manusia di dalamnya.

Bentuk studi kasus dapat diperoleh dari laporan hasil pengamatan, catatan pribadi,

biografi orang yang diteliti dan keterangan dari orang yang mengetahui tentang hal itu.

Dalam skripsi ini, penulis memilih studi kasus terhadap relasi aktivis Rohis dan aktivis

Rohkris dengan pemeluk agama lain di SMAN 79 Jakarta Selatan.

2. Subyek Penelitian

Pada penelitian studi kasus, peneliti tidak melakukan populasi sampel

sebagaimana survey dan eksperimen, melainkan subjek penelitian. Istilah subjek

penelitian menunjuk kepada orang atau individu ataupun kelompok yang dijadikan unit

(satuan) yang diteliti.7

Subjek penelitian dalam skripsi ini adalah anggota aktivis Rohis beserta

pengurusnya dan juga anggota aktivis Rohkris beserta pengurusnya di SMAN 79 Jakarta

Selatan. Mengenai subjek yang akan diteliti, penulis menetapkan 12 orang informan

yakni 6 orang informan aktivis Rohis yang terdiri dari 2 orang dari pengurus dan 4 orang

dari anggota Rohis dan juga 6 orang informan aktivis Rohkris yang terdiri dari 2 orang

dari pengurus dan 4 orang dari anggota Rohkris.

7

(18)

Menurut Strauss, tidak ada ketentuan buku mengenai jumlah minimal subjek

yang harus dipenuhi dalam suatu penelitian kualitatif, apabila data yang diperoleh sudah

cukup memadai, maka dapat diambil subjek dalam jumlah kecil dalam penelitian ini

penulis memilih jumlah subjek yang sama antara aktivis Rohis dan aktivis Rohkris yaitu

6 orang supaya terjadi keseimbangan dalam pengumpulan data dan juga menurut penulis

jumlah subjek yang diambil tersebut sudah mnecukupi data-data penelitian.

Selainitu juga penulis memilih informan dari para anggota dan pengurus Rohis

dan Rohkris di SMAN 79 Jakarta Selatan, karena mereka mengetahui tentang Rohis dan

Rohkris sehingga memudahkan penulis untuk menggali lebih banyak informasi yang

berkaitan dengan hal yang penulis teliti.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini diperlukan data-data yang dapat mendukung

penelitian. Adapun teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut :

a. Pengamatan (observasi)

Pengamatan atau observasi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Suprayogo dan

Tabrani, adalah satu proses mengamati dan mendengar dalam kerangka untuk

memahami, mencari jawab, mencari bukti terhadap satu fenomena8.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan bentuk pengamatan pemeranserta

sebagai pengamat yaitu pengamat dalam hal ini tidak sepenuhnya sebagai pemeranserta

tetapi melakukan fungsi pengamat. Ia sebagai anggota pura-pura, jadi tidak melebur

dalam arti sesungguhnya. Penulis hanya mengamati kegiatan Rohis dan Rohkris di

8

(19)

SMAN 79 Jakarta Selatan. Penulis melakukan observasi selama 8 bulan, terhitung dari

bulan September 2008 sampai bulan April 2009. dalam penelitian ini penulis ikut serta

kurang lebih sebanyak 5 kali pertemuan dalam kegiatan keagamaan di SMAN 79 Jakarta

Selatan.

Kegiatan keagamaan Rohis di SMAN 79 Jakarta Selatan dilaksanakan setiap

hari Selasa dan Jum'at. Kegiatan keagamaan Rohis yang dilaksanakn setiap hari selasa

dipimpin oleh Pembina Rohis yaitu Drs. H. Syihabuddin. Kegiatan ini dilaksanakan di

masjid sekolah, semua anggota rohis duduk melingkar, barisan akwat dan ikhwan

terpisah. Kemudian Pembina Rohis membacakan satu surat dari juz amma kemudian

diikuti oleh anggota rohis. Setelah membaca al-Qur'an dilanjutkan dengan belajar tajwid,

setiap anggota Rohis ditanya oleh Pembina Rohis tentang tajwid yang ada dalam

pembahasan hari ini.

Kegiatan keagamaan Rohkris dilaksanakan setiap hari Jum'at bertempat di kelas

yang dipimpin Pembina Rohkris yaitu Ibu Dra. Loine Simanjuntak. Setelah seluruh

anggota rohkris berkumpul di kelas Pembina Rohkris memulai kegiatan dengan membaca

doa kemudian memberikan materi al-Kitab dan menjelaskan setelah itu diadakan tanya

jawab.

Adapun hambatan yang dihadapi selama penelitian yaitu sulitnya melakukan

pendekatan dengan anggota Rohkris, khususnya anggota laki-laki karena biasanya

mereka kurang aktif dan malu-malu apabila diwawancarai, mereka takut tidak bisa

menjawab, jadi penulis kesulitan untuk menggali dan mendapatkan informasi dari

mereka. Penulis juga mengalami kesulitan dalam mencari referensi tentang toleransi antar

(20)

b. Wawancara

Wawancara digunakan untuk mendapatkan data atau keterangan dari informan.

Keterangan yang mendalam dapat digali dengan cara mewawancarai informan. Melihat

definisinya wawancara adalah suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan

informan9.

Dalam melakukan wawancara, penulis mengadakan wawancara mendalam atau

wawancara tak berstruktur, dimana bentuk wawancara seperti ini bersifat luwes. Selain

itu susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada

saat wawancara disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pada saat wawancara

berlangsung. Wawancara juga dapat mengungkap sosial budaya (agama, suku, gender,

usia, pekerjaan) informan yang penulis wawancarai10.

c. Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder dari

berbagai literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Baik itu berupa

buku, majalah, koran ataupun jurnal metode ini diharapkan dapat menunjang gagasan

primer yaitu hasil dari wawancara dan pengamatan di lapangan, serta mendukung

teori-teori yang relevan, yang sebelumnya telah dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan

permasalah yang hendak penulis bahas untuk kemudian penulis jadikan rujukan.

4. Instrumen Penelitian

9

Deddy Mulyana, Metodologi penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Sosial lainnya, (Bandung: PT. Remaja, 2001), Cet Ke-1, h.138

10

(21)

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini

meliputi: pedoman wawancara, tape recorder, dan buku catatan. Penggunaan pedoman

wawancara dimaksudkan supaya wawancara berjalan terarah dan tidak keluar dari

permasalahan yang telah dirumuskan. Sementara tape recorder digunakan unuk merekam

subyek, dan buku catatan untuk mencatat hal-hal yang tidak terekam atau terlewati dalam

wawancara.

5. Analisisa Data

Analisa data merupakan salah satu langkah penting untuk memperoleh

temuan-temuan hasil penelitian. Dalam penelitian, data yang terkumpul akan dianalisis secara

kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil observasi partisipasi wawancara dan dokumen

tersebut dideskripsikan dalam bentuk uraian, kemudian dianalisis secara komparatif yaitu

membandingkan data yang diperoleh dari aktifis Rohis dan Rohkris agar data yang

diperoleh dapat dimengerti, sehingga penemuan yang dihasilkan bisa dikomunikasikan

kepada orang lain. Pelaksanaan analisisnya dilakukan pada saat masih di lapangan dan

setelah data terkumpul. Peneliti menganalisa data-data sepanjang penelitian dan

dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for

(22)

Sistematika Penelitian

Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisa materi dalam

penulisan skripsi ini, maka penulis akan menjelaskannya dalam sistematika penulisan

sebagai berikut:

Secara garis besar skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap bab dibagi menjadi

sub-bab, dan setiap sub-bab mempunyai pembahasan masing-masing yang mana antara satu

dan yang lainnya saling berkaitan. Lima bab tersebut diantaranya :

Bab I : Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Kajian teori tentang pengertian agama, dan keberagamaan yang terdiri

atas pengertian agama, fungsi agama, ruang lingkup agama, pengertian

keberagamaan dan dimensi keberagaman. Di samping itu, dalam bab ini

dibahas juga mengenai pengertian interaksi sosial yang terdiri atas

pengertian interaksi sosial, syarat-syarat terjadinya interaksi sosial, dan

bentuk-bentuk interaksi sosial serta pengertian toleransi, ruang lingkup

toleransi, dasar-dasar toleransi dan toleransi antara umat beragama

dalam perspektif Islam dan Kristen.

Bab III : Gambaran umum objek penelitian yang meliputi institusi SMAN 79

sebagai sarana pandidikan dan pengajaran yang terdiri dari sejarah

berdirinya, sarana dan prasarana dan struktur kelembagaan SMAN 79

Jakarta Selatan. Serta seputar organisasi rohis terdiri dari sejarah,

(23)

dan program kegiatannya, serta minat siswa terhadap kegiatan

keagamaan.

Bab IV : Berbicara tentang pengolahan dan analisa data yang meliputi intensitas

aktivis Rohis dan aktivis Rohkris dalam mengikuti kegiatan keagamaan

di SMAN 79, keberagamaan aktivis Rohis dan aktivis Rohkris dan

interaksi sosial aktivis Rohis dan aktivis Rohkri dengan pemeluk agama

lain.

(24)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Agama dan Keberagamaan 1. Pengertian Agama

Menurut Dadang Kahmad, agama dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa

Sangsekerta a yang berarti tidak dan gama berarti kacau. Berdasarkan akar katanya,

agama mengandung pengertian tata aturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak

kacau. Dalam hal ini, agama dikaitkan dengan peraturan yang mengatur kehidupan

manusia.11

Secara umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan

peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan

manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan

lingkungannya. Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem-sistem nilai, karena

pada dasarnya aturan-aturan tersebut bersumber pada etos dan pandangan hidup. Karena

itu juga, aturan-aturan dan perturan-peraturan yang ada dalam agama lebih menekankan

pada hal-hal yang normatif atau yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan, dan bukannya

berisikan petunjuk-petunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia

menghadapi lingkungannya dan sesamanya.12

Agama dalam pengertian sosiologis adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki

oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu

11

Bernard Raho, Sosiologi : Sebuah Pengantar (Surabaya: Syilvia, 2004), cet. 1, h.118.

12

Roland Robertsoon, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1988), cet.1, h. v.

(25)

aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama

juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat di samping unsur-unsur

yang lain, seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan, dan sistem

organisasi sosial.13

Dalam Kamus Sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu (1)

Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual; (2) Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek

spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3) Ideologi mengenai hal-hal yang

bersifat supranatural.14

J.M. Yinger, seorang ahli sosiologi berkebangsaan Amerika. Menurutnya,

agama adalah sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa

dalam perjuangan mereka mengatasi persoalan dalam hidup. Agama merupakan

keengganan untuk menyerah kepada kematian, menyerah dalam menghadapi frustasi, dan

untuk menumbuhkan rasa persaudaraan di antara sesama manusia. Agama di sini

berfungsi sebagai salah satu alternatif untuk menghadapi persoalan hidup, mengatasi rasa

frustasi.15

Bagi Elisabeth k. Nothingham, agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia

untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam

semesta. Agama telah menimbulkan khayalan yang paling luas dan juga digunakan untuk

membenarkan kekejaman yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat

13

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), cet. 2, h. 14.

14

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 129.

15

(26)

membangkitkan kebahagian batin tetapi juga pada waktu yang sama menimbulkan

perasaan takut dan ngeri. 16

Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh

penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang

dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan

masyarakat luas umumnya. 17

Thomas F.O. Dea, memakai definisi yang banyak dipakai dalam teori

fungsional. Agama ialah pendayagunaan sarana. Sarana supra empiris untuk

maksud-maksud non empiris atau supra empiris. 18

Dari beberapa definisi di atas, jelas tergambar bahwa agama merupakan suatu

hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar

jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra natural sehingga diharapkan

dapat mengatasi masalah-masalah yang non empiris.

2. Fungsi Agama

Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam

mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan

secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena

itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera,

aman, stabil dan sebagainya. 19

Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dari

tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakatnya. Berdasarkan pengalaman dan

16

Bernard Raho, Sosiologi : Sebuah Pengantar, h.120.

17

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. II, h.129.

18

Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: PT. Kanisus, 1983), h.34.

19

(27)

pengamatan dapat disimpulkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi manusia

dihadapkan pada tiga hal, yakni ketidakpastian, ketidakmampuan dan kelangkaan. Untuk

mengatasi masalah tersebut maka manusia akan lari pada agama. Berikut inilah fungsi

agama dalam kehidupan manusia, yaitu:20

1). Fungsi Edukatif

Manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas

mengajar dan tugas bimbingan. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan

petugas-petugasnya baik di dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan

(meditasi), pendalaman rohani dan lain-lain. Untuk melaksanakan tugas itu ditunjuk

sejumlah fungsionaris seperti dukun, kyai, pendeta, imam, nabi dan lain-lain. Mengenai

yang disebut nabi ini penunjukkannya dilakukan oleh Tuhan. Kebenaran ajaran mereka

harus diterima karena tak ada yang keliru, hal tersebut diyakini oleh para penganutnya

bahwa mereka dapat berhubungan langsung dengan “yang gaib” dan “yang sakral” serta

mendapat ilham khusus darinya.

2). Fungsi Penyelamatan

Setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam kehidupan sekarang

maupun sesudah mati. Usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi (yang tumbuh dari naluri

manusia sendiri) itu tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka

temukan dalam agama. Agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara

yang khas untuk mencapai kebahagian di dunia maupun di akhirat yaitu :

a. Agama membantu manusia untuk mengenal “yang sakral” dan “makhluk

tertinggi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya.

20

(28)

b. Agama sanggup mendamaikan kembali “yang salah” dengan Tuhan dengan

jalan pengampunan dan penyucian.

3). Fungsi Pengawasan Sosial (Social Control)

Agama ikut bertanggung jawab akan adanya norma-norma susila yang baik yang

berlaku di masyarakat. Karena hal itulah, agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang

ada dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan menolak kaidah yang

buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama juga memberikan

sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan bagi orang yang melanggarnya dan melakukan pengawasan

yang ketat atas pelaksanaannya.

4). Fungsi Memupuk Persaudaraan

Mengenai fungsi ini, jika kita menyoroti keadaan persaudaraan dalam satu jenis

golongan beragama saja misalnya umat Islam tersendiri, umat Kristen tersendiri maka

menjadi teranglah bahwa agama masing-masing sungguh berhasil dalam menjalankan

tugas “memupuk persaudaraan”. Karena baik agama Islam maupun Kristen

masing-masing berhasil mempersatukan sekian banyak bangsa yang berbeda ras dan

kebudayaannya dalam satu keluarga besar dimana mereka menemukan ketentraman dan

kedamaian.

5). Fungsi Transformatif

Kata transformatif berasal dari bahasa latin “Transformare” artinya mengubah

bentuk. Jadi fungsi transformatif (yang dilakukan kepada agama) berarti mengubah

(29)

nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru. Sementara itu transformasi berarti

mengubah kesetiaan manusia kepada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi dan

membentuk kepribadian manusia yang ideal.

Thomas F. O’Dea menyebutkan ada enam fungsi agama, yaitu : (1) sebagai

pendukung pelipur lara dan perekonsiliasi, (2) sarana hubungan transendental melalui

pemujaan dan upacara adat, (3) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada, (4)

pengoreksi fungsi yang sudah ada, (5) pemberi identitas diri dan (6) pendewasaan

agama.21

Horton dan Hunt membedakan fungsi agama jadi dua yakni fungsi manifes dan

fungsi laten. Menurut mereka fungsi manifes agama berkaitan dengan segi doktrin, ritual

aturan dalam agama. Namun yang perlu juga diketahui adalah fungsi laten agama. Dalam

hal ini Durkheim terkenal karena pandangannya bahwa agama mempunyai fungsi positif

bagi integrasi masyarakat, baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro,

menurut Durkheim fungsi agama ialah untuk menggerakkan kita dan membantu kita

untuk hidup, karena menurutnya melalui komunikasi dengan Tuhan orang yang beriman

bukan saja mengetahui kebenaran yang tidak diketahui oleh orang kafir tetapi juga

menjadi seseorang yang lebih kuat. Di segi makro agama pun menjalankan fungsi positif,

karena memenuhi keperluan masyarakat untuk secara berkala menegakkan dan

memperkuat perasaan serta ide kolektif yang menjadi ciri dan inti persatuan masyarakat

tersebut. Melalui upacara agama yang dilakukan secara berjamaah maka persatuan dan

kebersamaan umat dapat dipupuk dan dibina.22

21

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.130.

22

(30)

3. Ruang Lingkup Agama

1). Segi Pemahaman

Dilihat dari sudut pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang

membedakan dalam perwujudannya, yaitu:23

Pertama, segi kejiwaan (Psychological State), yaitu suatu kondisi subjektif atau

kondisi dalam jiwa manusia berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama.

Kondisi inilah yang biasa disebut kondisi agama, yakni kondisi patuh dan taat kepada

yang disembah. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai emosi yang dimiliki oleh setiap

pemeluk agama yang menjadikannya sebagai hamba Tuhan. Dimensi religiusitas

seseorang merupakan inti kebergamaan, sehingga di hati mereka bisa bangkit rasa

solidaritas bagi yang seagama, menumbuhkan kesadaran beragama, dan menjadikan

seseorang menjadi orang yang sholeh dan takwa. Segi psikologis ini sangat sulit diukur

dan susah diamati karena merupakan milik pribadi pemeluk agama. Pengungkapan

keberagamaan segi psikologis ini baru bisa dipahami ketika telah menjadi sesuatu yang

diucapkan atau dinyatakan dalam perilaku orang yang beragama tersebut.

Kedua, segi objektif (Objective State), yaitu segi luar yang disebut juga kejadian

objektif, yang merupakan dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama

dinyataka oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual

maupun persekutuan. Segi objektif inilah yang bisa dipelajari dengan menggunakan

metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup adat istiadat, upacara keagamaan,

bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan

prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.

2). Kawasan dalam Agama

23

(31)

Menurut Hendropuspito berdasarkan pengamatan analitis atas kawasan agama

sebagai objek sosiologis terdapat tiga pembatasan dalam kawasan ini, yaitu:24

Pertama, Kawasan “Putih”, yaitu suatu kawasan di mana kebutuhan manusiawi

yang hendak dicapai masih dapat dicapai dengan kekuatan manusia itu sendiri. Manusia

tidak perlu lari pada kekuatan supra-empiris. Dengan akal budinya dan dibantu oleh

teknolgi maka manusia dapat berhasil. Tetapi hal ini pada tingkatnya akan berbeda di

masyarakat. Terutama masyarakat yang lebih terbelakang (primitif), mereka lebih cepat

lari pada kekuatan gaib untuk menerima bantuan.

Kedua, Kawasan “Hijau” meliputi daerah usaha di mana manusia merasa aman

dalam artian akhlak (moral). Dalam kawasan ini tindak langkah manusia diatur oleh

norma-norma rasional yang mendapat legitimasi dari agama. Misalnya hal ihwal yang

berkaitan dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, warisan, pertukaran barang-barang,

diatur oleh peraturan-peraturan manusia yang dibenarkan oleh agama yang dianutnya.

Dengan adanya legitimasi dari agama maka hilanglah rasa bimbang dan keraguan yang

semula membayanginya.

Ketiga, Kawasan “gelap” meliputi daerah usaha di mana manusia secara radikal

dan total mengalami kegagalan yang disebabkan ketidakmampuan mutlak manusia itu

sendiri. Apapun daya manusia sendiri di daerah ini menghadapi suatu “titik putus”

(breaking point) yang tidak mungkin disambung lagi dengan kekuatannya sendiri.

Satu-satunya jalan keluar dari kesulitan ini ialah mengadakan komunikasi dengan kekuatan

yang ada di luar yang mengatasi segala kekuatan alam. Kawasan ini disebut daerah

“gelap” karena rasio manusia tidak sanggup menangkap hakekat (subtansi) kekuatan luar

karena “Dia” itu di luar jangkauan pengalaman.

24

(32)

4. Pengertian Keberagamaan

Istilah keberagamaan disebut juga religiusitas. Kata religiusitas berasal dari kata

religious dan mendapat akhiran-ity. Dalam kamus John M. Echol dan Hassan Shadily,

kata religious berarti hal-hal yang berhubungan dengan agama.25

Muhammad Djamaluddin, mendefinisikan keberagamaan sebagai “manifestasi

seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami, menghayati, dan

mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek

kehidupan. 26

Menurut Djamaluddin Ancok, Keberagamaan adalah pembicaraan mengenai

pengalaman atau fenomena yang menyangkut hubungan antara agama dengan

penganutnya, atau suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang (penganut agama) yang

mendorong untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.27

Keberagamaan adalah keadaan di mana individu merasakan dan mengakui

adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia dan hanya kepada-Nya

manusia merasa bergantung, berserah diri. Semakin manusia mengakui adanya Tuhan

dan kekuasaan-Nya maka akan semakin tinggi tingkat keberagamaannya. Jadi menurut

Fuat Nashori dan Rachmi D.M. keberagamaan adalah seberapa jauh pengetahuan,

seberapa kokoh keyakinan, seberapa mantap pelaksanaan ibadah, kaidah, dan seberapa

dalam penghayatan atas agama yang dianut.28

25

John M. Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 90.

26

Muhammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi, (Yogyakarta: UGM Press, 1995), h.44.

27

Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami : Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi

(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 76.

28

(33)

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keberagamaan adalah

sikap seseorang terhadap agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan

manusia. Aktifitas keagamaan tidak saja terjadi pada saat seseorang melakukan ritual

saja, melainkan juga ketika seseorang melakukan aktifitas yang lain dalam kehidupan.

Dalam penelitiannya Robert H. Thouless mengemukakan beberapa faktor yang

menimbulkan religiusitas, yaitu :

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial).

b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keberagamaan terutama pengalaman

tentang keindahan, keserasian, kebaikan, konflik moral, dan pengalaman emosional

keagamaan.

c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan yang tidak

terpenuhi terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri dan

ancaman kematian.

d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). 29

5. Dimensi Keberagamaan

Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan

manusia aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku

ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan

supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat

mata, tapi juga aktivitas yang tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu,

29

(34)

keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Dengan

demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.

Menurut C.Y. Glock dan R. Stark (Robertson, 1998) ada lima macam dimensi

keberagamaan yaitu :

(1) Dimensi keyakinan (idiologis)

Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang religius berpegang

teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.

Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut

diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu berpariasi

tidak hanya di antara agama-agama, tetapi seringkali juga di antara tradisi-tradisi dalam

agama yang sama. Di dalam Islam dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat

keyakinan Muslim terhadap kebenaran-kebenaran agamanya, isi dimensi keimanan

menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, nabi atau rasul, kitab-kitab Allah,

surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

(2) Dimensi Praktik Agama (ritualistik)

Dimensi ini mencakup prilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan

orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik

keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting yaitu : a. Ritual, mengacu kepada

seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua

mengharapkan para pemeluk melaksanakan. Dalam kristen sebagian dari pengharapan

ritual itu diwujudkan dalam kebaktian di gereja, persekutuan suci, baptis, dan perkawinan

dan semacamnya. b. Ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada

(35)

semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan

kontemplasi personal yang relatif sepontan, informal, dan khas pribadi. Ketaatan di

lingkungan penganut Kristen diungkapkan melalui sembahyang pribadi, membaca injil

dan barangkali menyanyi himne bersam-sama.

Dalam Islam ditunjukkan pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam

mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan diajurkan oleh agamanya.

Dalam keberislaman dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat,

haji, membaca Al Qur’an, do’a, zikir, ibadah qurban, I’tikaf di masjid di bulan Puasa, dan

sebagainya.

(3) Dimensi Pengalaman (eksperiental)

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama

mengandung pengharapan-pengaharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa

seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan

subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (bahwa ia akan mencapai suatu

kontak dengan kekuatan supernatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman

keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami

seseoang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan. Dalam Islam dimensi ini

terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan do’a-do’anya sering

terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakal

pasrah diri kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdo’a,

perasaan tergetar ketika mendengar azan atau ayat-ayat Al Qur’an, perasaan syukur

(36)

(4) Dimensi Pengetahuan Agama (Intelektual)

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling

tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,

ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan

satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi

penerimaannya walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat

pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan.

Seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau

kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. Dalam Islam dimensi ini

menyangkut pengetahuan tentang isi Al Qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani

dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun iman) hukum-hukum Islam, sejarah Islam dan

sebagainya.

(5) Dimensi Pengamalan (konsekuensi)

Konsekuensi komitmen agama berlainan dari ke empat dimensi di atas. Dimensi

ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman,

dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah “kerja” dalam pengertian teologis

digunakan di sini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya

seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas

sebatas mana konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan, atau

semata-mata berasal dari agama. Dalam Islam dimensi ini menunjuk pada seberapa

(37)

perilaku suka menolong, bekerja sama, berderma, berlaku jujur, menjaga amanat, tidak

korupsi, tidak mencuri, dan lain sebagainya.

B. Pengertian Interaksi Sosial 1. Pengertian Interaksi Sosial

Manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia bergantung dan

membutuhkan individu lain atau makhluk lainnya. Dalam hidup bermasyarakat, manusia

dituntut untuk berinteraksi dengan sesama secara baik agar tercipta masyarakat yang

tentram dan damai.

Secara etimologis, interaksi terdiri dari dua kata, yakni action (aksi) dan inter

(antara). Jadi, interaksi adalah tindakan yang dilakukan di antara dua atau lebih orang,

atau tindakan yang berbalas-balasan. 30

Menurut H. Bonner, interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih

individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau

memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Definisi ini menggambarkan

kelangsungan timbal-baliknya interaksi sosial antara dua atau lebih manusia itu. 31

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang

menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok

manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.32

30

Bernard Raho, Sosiologi - Sebuah Pengantar, h.33.

31

W.A.Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1996), Cet.13, h.57.

32

(38)

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa

interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan

secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok

sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan

atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk

mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya.

33

2. Syarat-syarat terjadinya Interaksi Sosial

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua

syarat yaitu, adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. 34

a. Kontak Sosial

Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama),

dan tango (yang artinya menyentuh), jadi artinya secara harfiah adalah bersama-sama

menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, tetapi

ada juga orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya

misalnya dengan cara berbicara, orang-orang dapat berhubungan satu dengan lainya

melalui telephon, telegrap, radio, surat dan seterusnya. 35

Suatu kontak dapat pula bersifat primer atau skunder. Kontak primer terjadi

apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, seperti

misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan, saling senyum dan seterusnya.

Sebaliknya kontak yang skunder memerlukan melalui alat-alat misalnya telephon,

telegrap, radio dan seterusnya. Dalam hal si A menelephon si B maka terjadi kontak

33

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 60-61.

34

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 64.

35

(39)

sekunder langsung, akan tetapi apabila si A meminta tolong kepada si B supaya

diperkenalkan dengan gadis C, maka kontak tersebut bersifat skunder tidak langsung. 36

b. Komunikasi

Komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada prilaku orang

lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan

apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian

memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.

Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu

kelompok manusia atau orang perorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain

atau orang-orang lainnya. 37

Menurut Hartly dalam bukunya Sarito Wirawan, ada beberapa jenis komunikasi,

yaitu komunikasi antar individu dengan individu, antar individu dengan massa, misalnya

dalam pidato dan kuliah. Dan komunikasi antar kelompok atau antar massa, misalnya

antara para penyuluh pertanian dan para petani. 38

Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi pelbagai macam penafsiran

terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum, misalnya, dapat ditafsirkan sebagai

keramah-tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin

menunjukkan kemenangan.

36

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 66.

37

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 67.

38

(40)

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk interaksi dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan

(competition) dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). 39

a. Kerjasama (cooperation)

Beberapa orang sosiolog menganggap bahwa kerjasama merupakan bentuk

interaksi sosial yang pokok. Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan

terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainnya (yang merupakan

out-group-nya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang

mengancam atau ada tindakan-tindakan lain yang menyinggung kesetian yang secara

tradisional atau institusional telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri seorang atau

segolongan orang.

Betapa pentingnya fungsi kerjasama, digambarkan oleh Charles H.Cooley

sebagai berikut :40

“Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna“.

Dalam hubungannya dengan kebudayaan suatu masyarakat, maka kebudayaan

itulah yang mengarahkan dan mendorong terjadinya kerjasama. Di kalangan masyarakat

Indonesia dikenal bentuk kerjasama tradisonal dengan nama gotong-royong. Di dalam

sistem pendidikan Indonesia yang tradisional, seseorang sejak kecil telah ditanamkan

etika kehidupan agar dia selalu hidup rukun, terutama dengan keluarganya dan lebih luar

lagi dengan orang-orang lainnya di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya

39

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h.70.

40

(41)

suatu pandangan hidup, bahwa seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama

dengan orang lain. Pandangan hidup demikian ditingkatkan dalam taraf kemasyarakatan,

sehingga gotong-royong seringkali diterapkan untuk menyelenggarakan suatu

kepentingan umum.

Sehubungan dengan pelaksanaan kerjasama, dalam bukunya Soerjono Soekanto

ada lima bentuk kerjasama, yaitu :

a. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong

b. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan

jasa-jasa antara dua orgnisasi atau lebih.

c. Ko-optasi (co-optation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam

kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu

cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang

bersangkutan.

d. Koalisi (coalition), yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang

mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang

tidak stabil untuk sementara waktu, karena dua organisasi atau lebih tersebut

kemungkinan mempunyai struktur yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan

tetapi karena maksud utama adalah untuk mencapai satu atau beberapa tujuan

bersama, maka sifatnya adalah kooperatif.

e. Joint-ventrue, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya

: pemboran minyak, pertambangan batu bara, perfilman, perhotelan dan seterusnya.

(42)

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana

individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui

bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum

(baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik

atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman

atau kekerasan. 41

Persaingan adalah suatu perjuangan (struggle) dari pihak-pihak untuk mencapai

suatu tujuan tertentu. Suatu ciri dari persaingan adalah perjuangan menyingkirkan pihak

lawan itu dilakukan secara damai atau secara fair-play, artinya selalu menjunjung tinggi

batas keharusan. Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya :

bidang ekonomi dan perdagangan, kedudukan, kekuasaan, dan sebaginya. 42

Akibat-akibat persaingan mungkin saja bersifat asosiatif atau mungkin pula

bersifat disosiatif. Apabila seorang dokter, ahli hukum, guru dan seterusnya membina

karirnya dalam masyarakat, maka tujuannya adalah untuk pribadi sendiri dan relasinya,

adalah juga untuk mengadakan kerjasama agar persaingan antara mereka sendiri sedapat

mungkin dicegah. Akibat-akibat yang disosiatif dapat menjadi pertentangan atau

pertikaian. Hasil-hasil suatu persaingan dapat berhubungan erat dengan berbagai faktor

antara lain :

1. Keperibadian seseorang. Apabila persaingan dilakukan secara jujur, maka hal itu

akan dapat memperkembangkan rasa sosial dalam diri seseorang. Seseorang hampir

tak mungkin bersaing dengan orang lain tanpa mengenal lawannya dengan baik.

41

Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h.91

42

(43)

Persaingan menyangkut terjadinya kontak dengan kata lain komunikasi, oleh karena

seseorang tentu ingin mengetahui sifat-sifat, cara-cara kerja dan perilaku dari

lawannya. Oleh karena itu persaingan dapat memperluas pandangan seseorang, dapat

memperluas pengertian serta pengetahuannya.

2. Kemajuan; dalam masyarakat yang sedang berkembang dan maju, orang perorangan

perlu menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Persaingan akan mendorong

seorang untuk bekerja keras supaya dapat memberikan sahamnya bagi pembangunan

masyarakat.

3. Solidaritas kelompok. Selama persaingan dilakukan secara jujur, solidaritas

kelompok tak akan goyah. Lain halnya apabila persaingan tersebut mempunyai

kecenderungan untuk berubah menjadi pertentangan atau pertikaian.

4. Disorganisasi. Perubahan-perubahan yang terlalu cepat dalam masyarakat, mungkin

akan mengakibatkan disorganisasi dalam struktur sosial. Perubahan-perubahan yang

terlalu cepat tadi merupakan faktor utama disorganisasi karena masyarakat hampir

tidak dapat kesempatan untuk menyesuaikan diri dan mengadakan reorganisasi. 43

Walaupun persaingan mempunyai kecenderungan kepada pertikaian, namun dapat

pula mendorong untuk suatu kerjasama. Misalnya antara beberapa perusahaan tertentu,

mungkin beberapa perusahaan itu akan melakukan kerjasama untuk menyingkirkan satu

perusahaan yang lainnya.

c. Pertentangan (pertikaian atau konflik)

43

(44)

Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial dimana individu atau

kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan

yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.44

Sebab musabab atau akar-akar dari pertentangan antara lain :

1. Perbedaan antara indvidu-individu. Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan

melahirkan bentrokan antara mereka.

2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung

pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta

perkembangan kepribadian tersebut.

3. Perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan antara individu maupun kelompok

merupakan sumber lain dari pertenangan.

4. Perubahan sosial. Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara

waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat

Walaupun pertentangan merupakan suatu proses disosistif yang agak tajam akan

tetapi pertentangan sebagai salah satu bentuk proses sosial juga mempunyai fungsi positif

bagi masyarakat, misalnya pertentangan dalam seminar atau diskusi-diskusi ilmiah,

dimana dua atau beberapa pendapat yang berbeda diketengahkan dan dipertahankan oleh

berbagai pihak.

Pertentangan-pertentangan yang menyangkut suatu tujuan, atau kepentingan,

sepanjang tidak berlawanan dengan pola-pola hubungan sosial di dalam strukutur sosial

yang tertentu, maka pertentangan-pertentangan tersebut bersifat positif.

Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus antara lain :

44

(45)

1. Pertentangan pribadi. Tidak jarang terjadi bahwa dua orang sejak mulai berkenalan

sudah saling tidak menyukai.

2. Pertentangan rasial. Adanya perbedaan-perbedaan yang seringkali menimbulkan

pertentangan. Misalnya pertentangan antara orang-orang negro dengan orang-orang

kulit putih di Amerika.

3. Pertentangan antara kelas-kelas sosial. Pada umumnya ia disebabkan oleh perbedaan

kepentingan, misalnya perbedaan kepentingan antara majikkan dengan buruh.

4. Pertentangan politik. Biasanya pertentangan ini menyangkut baik antara

golongan-golongan dalam satu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat.

5. Pertentangan yang bersifat internasional.

Akibat-akibat bentuk pertentangan adalah :

1. Tambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok bertentangan dengan

kelompok lain, maka solidaritas antara warga-warga kelompok biasanya akan

bertambah erat.

2. Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam suatu kelompok

tertentu akibatnya yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut.

3. Perubahan kepribadian.

4. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.

5. Akomodasi, dominasi dan takluknya satu pihak tertentu.

(46)

Istilah toleransi berasal dari bahasa inggris, yaitu : “Tolerance” berarti sikap

membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan

persetujuan. Bahasa Arab menterjemahkan dengan “tasamuh”, berarti saling

mengijinkan, saling memudahkan.45

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran”

yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.

Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.

Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap

menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,

kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan

dengan pendirianya.46

Jadi toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak

mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut

agama-agama lain.

2. Ruang Lingkup Toleransi

Tanda-tanda bahwa ada sikap dan suasana toleansi di antara sesama manusia

atau antar pemeluk agama, ruang lingkup toleransi adalah :47

1. Mengakui hak orang lain, maksudnya ialah suatu sikap mental yang mengakui hak

setiap orang di dalam menentukan sikap atau tingkah laku dan nasibnya

45

Said Agil Husin Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), cet. 3, h. 13.

46

Abdu Fattah, Toleransi Beragama dalam Perspektif Al Qur’an, Artikel diakses tanggal 25 Oktober 2008, dari http: // Fahdamjad.files.wordpress.com

47

(47)

masing, tentu saja sikap atau perilaku yang di jalankan itu tidak melanggar hak orang

lain.

2. Menghormati keyakinan orang lain, keyakinan seseorang ini biasanya berdasarkan

kepercayaan, yang telah tertanam dalam hati dan dikuatkan dengan landasan baik

yang berupa wahyu maupun pemikiran yang rasional karena keyakinan seseorang ini

tidak akan mudah untuk dirubah atau dipengaruhi. Bahkan kalau diganggu, sampai

matipun mereka akan tetap mempertahannkan.

3. “Agree in Disagreement “ (setuju dalam perbedaan) adalah prinsip yang selalu

didengungkan oleh mantan Menteri Agama Prof. Dr. H. Mukti Ali dengan maksud

bahwa perbedaan tidak harus ada permusuhan karena perbedaan selalu ada

dimanapun, maka dengan perbedaan itu kita harus menyadari adanya

keanekaragamaan kehidupan ini.

4. Saling mengerti, ini merupakan salah satu unsur toleransi yang paling penting, sebab

dengan tidak adanya saling pengertian ini tentu tidak akan terwujud toleransi.

5. Kesadaran dan kejujuran, menyangkut sikap, jiwa dan kesadaran batin seseorang

yang se

Gambar

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Tabel 2: Data Siswa Tahun Ajaran 2008-2009
Tabel Kelas III
Tabel 3: Kejuaraan

Referensi

Dokumen terkait