AGAMA DAN INTERAKSI SOSIAL Studi Kasus Relasi Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris dengan Pemeluk Agama Lain di SMAN 79
Jakarta Selatan
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Sebagai Persyaratan Untuk mencapai
Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Oleh
SYARIFAH ALAWIYAH NIM: 101032221718
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
AGAMA DAN INTERAKSI SOSIAL
Studi Kasus Relasi Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris dengan Pemeluk Agama Lain di SMAN 79 Jakarta Selatan
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Oleh:
SYARIFAH ALAWIYAH NIM:101032221718
Di bawah Bimbingan
Dra. Ida Rosyidah, M.A. NIP: 150243267
JURUSAN SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HDAYATULLAH JAKARTA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul AGAMA DAN INTERAKSI SOSIAL: STUDI KASUS RELASI AKTIVIS ROHIS DAN AKTIVIS ROHKRIS DENGAN PEMELUK AGAMA LAIN DI SMAN 79 JAKARTA SELATAN telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.sos) pada jurusan Sosiologi Agama.
Jakarta, 16 Juni 2009
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Hamid Nasuhi, MA Dra. Joharotul Jamilah, M.Si
NIP: 150 241 817 NIP: 150 282 401
Anggota
Penguji I Penguji II
Dr. Masri Mansoer, MA Ahmad Abrori, MA
NIP: 150 244 493 NIP: 150 368 736
Pembimbing
Dra. Ida Rosyidah, MA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga
selalu dilimpahkan pada Nabi Muhammad SAW yang menjadi rahmat bagi seluruh alam,
yang menjadi petunjuk bagi manusia, beserta keluarga dan sahabatnya.
Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
hadapi, namun banyak pula pelajaran yang didapat. Berkat motivasi dan bantuan dari
semua pihak akhirnya penulis dapat mengambil hikmah dari kesulitan yang dihadapi.
Merupakan sebuah penantian yang cukup lama bagi penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi untuk mencapai gelar kesarjanaan Strata 1 (S1) pada jurusan Sosiologi
Agama ini. Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan banyak terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada mereka yang telah membimbing dan membantu penulis dalam
suka maupun duka untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Adapun ucapan terima kasih
ingin penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. M. Amin Nurdin, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
beserta seluruh civitas Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah mengarahkan,
membimbing dan melayani seluruh kebutuhan administratif dan akademik kepada
penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
2. Dra. Ida Rosyidah, MA., selaku ketua jurusan Sosiologi Agama dan juga sebagai
pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya dengan kesabaran dalam
3. Dra. Jauharotul Jamila, M.si, selaku sekretaris jurusan Sosiologi Agama dan Drs.
Ramlan A. Gani MA., selaku pembimbing akademik yang senantiasa
membimbing penulis selama perkuliahan.
4. Kepala Perpustakaan Utama dan Kepala Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat beserta seluruh stafnya yang telah memberikan palayanan dengan baik.
5. Drs. A. Sukarno selaku kepala sekolah di SMAN 79 Jakarta Selatan dan Harjono
S.pd selaku wakil kepala sekolah bagian humas di SMAN 79 yang telah bersedia
memberikan informasi dan data-data yang berkaitan dengan pembahasan penulis.
Drs. H. Syihabuddin selaku pembimbing Rohis di SMAN 79 dan Dra. Loine
Simanjuntak selaku pembimbing Rohkris di SMAN 79 yang bersedia
meluangkan waktunya untuk penulis. Seluruh informan aktifis Rohis (Fajar
Susanto, Ahmad Affandi, Bagas Febriansyah Wijaya, Amalia Hadi, Nurhalimah
Tusadiyah dan Anis Nur Husna) dan aktifis Rohkris (Canang Karismantio,
George Alexander, Demonsky Ambonnes Rassel, Jessica Simanjuntak, Dwi
Anastasia dan Megawati Immanela) yang telah bersedia memberikan informasi
tentang rohis dan rohkris pada penulis. Semoga Allah membalas amal baik kalian
semua.
6. Kedua orang tua penulis, Bapak Muhammad Nasir dan Ibu Paridah yang
senantiasa menyemangati penulis untuk giat menyelasaikan skripsi ini dan tak
pernah lelah mendoakan untuk keberhasilan anak-anaknya. Terima kasih juga
untuk suami dan anakku tercinta Luekman Hakim, S.Ag dan Sahla Qobilatil Ilmi
menyelesaikan skripsi ini. Serta saudara-saudara yang tidak dapat disebutkan
namanya satu persatu terima kasih atas dukungan dan doanya.
7. Terima kasih untuk sahabatku Nia Novitasari dan Laila Masyitoh yang tidak
pernah bosan menjadi tempat penulis berkonsultasi. Untuk sahabat- sahabatku
Dila, Supri, Amin, Nourma, Samsul, Seha, Imas, Nining, Ani, Eltri,
kokom………..semoga persahabatan kita selalu abadi selamanya. Juga semua
pihak yang telah banyak membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Hanya Allah SWT yang dapat membalas jasa-jasa mereka yang telah
memberikan perhatiannya pada penulis. Teriring doanya semoga penulis dapat membalas
semua kebaikan yang telah diberikan.
Berbagai macam kekurangan pasti terdapat dalam penulisan tugas akhir ini,
untuk itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berharap agar karya ini
bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Ciputat, 4 Mei 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………. i
DAFTAR ISI……… iv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 7
D. Metodologi Penelitian………. 8
E. Sistematika Penulisan………. 11
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Agama dan Keberagamaan 1. Pengertian Agama……… 14
2. Fungsi Agama ……… 16
3. Ruang Lingkup Agama……… 20
4. Pengertian Keberagamaan……… 22
5. Dimensi Keberagamaan………... 24
B. Pengertian Interaksi Sosial 1. Pengertian Interaksi Sosial……….. 28
2. Syarat-syarat terjadinya Interaksi Sosial………. 29
C. Toleransi Antar Umat Beragama
1. Pengertian Toleransi………... 37
2. Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif
Islam……….. 41
3. Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif
Kristen……… 44
BAB III. GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Institusi SMAN 79 Sebagai Sarana Pendidikan dan Pengajaran
1. Sejarah Berdirinya ……….. 47
2. Sarana dan Prasarana………... 56
3. Struktur Kelembagaannya………... 57
B. Seputar Rohis: Sejarah, Tujuan dan Program
C. Sekilas Tentang Rohkris: Sejarah, Tujuan dan Program
D. Minat Siswa Terhadap Kegiatan Keagamaan
BAB IV. AGAMA DAN INTERAKSI SOSIAL AKTIVIS ROHIS DAN AKTIVIS ROHKRIS DENGAN PEMELUK AGAMA LAIN DI LINGKUNGAN SEKOLAH
A. Keberagamaan Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris…… 71
B. Interaksi Sosial Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris…. 81
C. Pengaruh Agama terhadap Interaksi Sosial Aktivis Rohis dan Aktivis
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan……….. 94
B. Saran-saran……….. 94
DAFTAR PUSTAKA………. 96
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial, yang secara individual membutuhkan orang
lain. Ia dituntut hidup bersama dan berdampingan dengan orang lain dalam upaya
mencapai tujuan hidupnya. Tanpa bantuan orang lain, manusia tidak akan dapat
mengaktualisasikan dirinya sehingga tidak dapat meneruskan keberlangsungan hidupnya
untuk mencapai posisi sebagai khalifah fil al-ardl.
Masyarakat merupakan sebuah kelompok manusia yang memiliki tatanan
kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang secara bersama-sama ditaati oleh seluruh
anggota masyarakatnya. Tatanan kehidupan, norma dan adat istiadat tersebut merupakan
dasar kehidupan sosial dalam lingkungan mereka yang pada gilirannya membentuk
kelompok manusia yang mempunyai ciri kehidupan yang khas.1
Dalam sebuah masyarakat, dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk
sosial, interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial. Dengan
demikian, interaksi sosial merupakan kunci kehidupan sosial dimana dalam proses
tersebut terjadi hubungan sosial yang dinamis baik antara individu, antara kelompok
maupun antara individu dan kelompok.2
1
M. Arifin Noor; Ilmu Sosial Dasar, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h. 85
2
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2001), cet. Ke-32, h. 67
Proses interaksi sosial terjadi melalui empat hal yaitu, imitasi, sugesti,
identifikasi, simpati. 3 Proses-proses tersebut mengandung banyak kelebihan dan
kekurangannya yang semuanya tergantung dari individu dalam mengaktualisasikan
hidupnya di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk. Hal ini ditandai
oleh pelbagai perbedaan-perbedaan seperti: suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama.
Perbedaan-perbedaan ini sering kali menimbulkan konflik-konflik terutama perbedaan
agama, hal ini disebabkan oleh sikap saling curiga dan salah faham dari satu penganut
agama terhadap sikap dan prilaku agama lain. Oleh karena itu masyarakat dituntut untuk
bersikap toleran agar tercipta kehidupan yang harmonis antar umat beragama dan setiap
agama mengakui eksistensi agama-agama lain dan saling menghormati hak asasi
penganutnya.
Ketidakharmonisan antar pemeluk agama juga di latar belakangi oleh banyak
faktor. Secara kategoris-simplistis hal itu dapat dibedakan ke dalam dua faktor, yaitu
faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi seseorang
dalam bersikap yang disebabkan atas dasar pemahaman keagamaan terhadap agamanya.
Seperti, adanya kecenderugan pemahaman radikal-ekstrim dan fundamental-subjektif.
Demikian pula sikap eksklusifisme, dan kesalahpahaman terhadap ajaran agama sendiri
telah menjadikan agama sebagai ancaman bagi pemeluk agama lainnya. Tidak hanya
faktor internal, faktor lain seperti sikap hedonitas dan oportunitas dengan mengatas
namakan agama sebagai komoditas kepentingan telah menjadikan petaka kemanusian
yang berkepanjangan.4
3
Indonesia merupakan negara yang memberikan kebebasan kepada warganya
untuk memeluk dan menjalankan agama berdasarkan keyakinannya. Di sini, warga
diberikan kebebasan dalam mengaktualisasikan ajaran agamanya sepanjang dibarengi
dengan sikap toleransi dan saling menghargai antar pemeluk agama. Kenyataan ini
membawa citra Indonesia dimata internasional sebagai negara yang toleran.
Namun kenyataannya, masih terjadi konflik di mana-mana seperti yang terjadi di
Ambon, Poso, Madura dan lain-lain. Konflik dan pertikaian ini terjadi karena
kemajemukan masyarakat Indonesia yang diperparah lagi oleh kesenjangan sosial dan
ekonomi yang tajam dan belum tumbuhnya budaya multikultural yang lebih
memungkinkan masyarakat kita membangun kerjasama dan kemitraan secara tulus.
Misalnya kasus kerusuhan Ambon dapat dilihat sebagai bagian dari disharmonisitas yang
terpendam disebabkan pertentangan ekonomi dan status sosial selama Orde Baru.
Sebagian besar petani Ambon beragama Kristen, sementara itu pelaku bisnis papan
bawah dan papan atas dimonopoli oleh kelompok masyarakat yang beragama Islam.
Kelompok ini didukung oleh orang Bugis-Makassar dan orang-orang Ambon keturunan
Arab. Sedangkan para pejabat yang duduk di birokrasi pemerintah dan angkatan
bersenjata mayoritas dikuasai oleh penduduk yang beragama Kristen. Pembagian okupasi
ini seakan sebuah division of labaour (pembagian lapangan kerja) yang telah mentradisi
sejak Maluku jatuh ke tangan Belanda. Kemiskinan yang dialami kelompok petani
Ambon di zaman orde baru telah menjatuhkan prestise mereka dihadapan kelompok
okupasi lainnya, khususnya pendatang muslim. Ketika terjadi ekspansi terhadap lahan
pendapatan kelompok lainnya, maka munculah kecurigaan dan mengundang sentimen
4
sehingga mengakibatkan keseimbangan sosial tersebut goyah. Sesungguhnya pertarungan
antar kelompok etnik merupakan pertarungan antar kelompok kepentingan. Namun
pertarungan itu selalu dikemas dalam bungkus agama agar ia kelihatan sakral dan mudah
melestarikannya.
Kerusuhan-kerusuhan ini menimbulkan korban harta dan jiwa, selain itu juga
yang tak kalah penting adalah rusaknya harmoni kehidupan masyarakat yang telah
terbentuk sekian lama. Kecurigaan dan dendam melanda berbagai kelompok masyarakat.
Masyarakat kini telah kehilangan panutan dan norma hidup berbangsa dan bernegara
Fenomena di atas, menuntut seluruh warga negara untuk bersikap toleran
sehingga dapat hidup berdampingan di antara sesama. Sikap toleran ini harus
dikembangkan oleh segenap lapisan masyarakat dalam semua sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara, tak terkecuali bagi para siswa.
Di Indonesia, terdapat perbedaan antara madrasah dengan sekolah, terutama jika
dilihat dari aspek latar belakang agamanya. Madrasah lebih bersifat singularis, yakni
semua guru, tenaga kependidikan dan para siswanya beragama Islam. Sedangkan para
guru, tenaga kependidikan dan siswa di sekolah bersifat pluralis, yakni terdiri atas
berbagai latar belakang agama. Suasana semacam itu menuntut tumbuh kembangnya
sikap dan kesadaran pluralisme.
Di sekolah-sekolah umum, biasanya tidak hanya didominasi siswa dari satu
agama saja. Kebanyakan sekolah-sekolah tersebut menerima siswa dengan latar agama
yang berbeda-beda. Salah satunya di SMAN 79 Jakarta. Di sekolah ini jumlah siswa non
muslim sekitar 5,28 % dari agama lain.5
5
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal berfungsi dalam menyiapkan
generasi penerus. Dalam menanamkan dan membina sikap toleransi antara sesama murid,
terutama yang tidak seagama (jika diperlukan) hanya terbatas dalam membantu
menyiapkan sarana yang diperlukan untuk upacara yang dimaksud, dan bukan ikut
menghadiri atau melaksanakan upacara (ritual) agama tertentu.
Di sekolah-sekolah umum, biasanya terdapat berbagai macam organisasi siswa.
Salah satunya adalah organisasi kegamaan yaitu, Rohis (Rohani Islam) dan Rohkris
(Rohani Kristen). Dalam organisasi ini, siswa-siswi muslim dan non muslim dibina untuk
mendalami ajaran agamanya. Selain itu dalam organisasi ini juga, siswa-siswi ini
diajarkan cara berorganisasi dan berinteraksi dengan sesama, sebagai bekal nantinya
hidup di masyarakat. Selain itu, siswa-siswi yang ikut dalam organisasi ini diharapkan
dapat menerapkan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari, terlebih lagi cara
mereka berinteraksi dengan lingkungan. Dalam hal ini, cara mereka berinteraksi dengan
siswa-siswi yang berbeda agama.
Hal ini amat menarik untuk dikaji lebih jauh, terutama untuk memahami
pandangan siswa-siswi muslim yang aktif dalam organisasi rohis (rohani Islam) terhadap
siswa-siswi non muslim begitu juga memahami pandangan siswa-siswi non muslim yang
aktif dalam organisasi rohkris (rohani Kristen) terhadap siswa-siswi muslim. Serta
bagaimana mereka mampu memahami setiap perbedaan yang ada di antara mereka. Dari
uraian di atas, penulis tertarik untuk menganalisa dalam sebuah penelitian berbentuk
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan pemeluknya. Agama dapat
berkaitan dengan stratifikasi sosial, solidaritas sosial, bahkan terkadang agama
dikait-kaitkan dengan konflik sosial yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Agama juga tidak dapat dipisahkan dari interaksi sosial pemeluknya, karena
agama merupakan pedoman hidup yang oleh mereka dijadikan sebagai acuan utama
dalam bertingkah laku, bertutur kata dan bertindak.
Setiap ajaran agama –agama apa pun- akan menuntun pemeluknya untuk
membangun sebuah relasi yang harmonis dengan sesama pemeluk agama maupun
pemeluk agama lain, maka dari itu setiap pemeluk agama selalu berusaha menjalin
dengan lingkungannya sebaik mungkin.
Maka dari itu dalam penelitian ini, penulis hanya akan membatasi masalah pada
hubungan agama dengan interaksi sosial, dalam hal ini relasi antar pemeluk suatu agama
dengan agama lainnya.
Adapun mengenai perumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini
adalah: “ Bagaimanakah hubungan agama dan interaksi sosial, dalam hal ini relasi aktivis
rohis dan aktivis rohkris dengan pemeluk agama lain di SMAN 79 Jakarta Selatan?”
Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Untuk memperkaya kajian ilmu pengetahuan tentang paradigma, konsep, dan teori
tentang kehidupan keberagamaan dan pola interaksi siswa yang berlatar belakang
beda agama.
b. Untuk mengetahui kehidupan keberagamaan dan interaksi antara masyarakat
Indonesia yang plural, terutama kalangan remajanya.
c. Untuk mengetahui toleransi beragama aktifis Rohis dan aktifis Rohkris.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini menjadi sumbangan bagi pengkajian dan pengembangan teori
sosiologi agama.
Hasil penelitian ini menjadi penting bagi para ahli sosiologi agama untuk memikirkan
kembali hubungan keagamaan yang ideal dalam konteks kekinian.
Untuk memperluas wawasan intelektual tentang fungsi lembaga sekolah bagi kehidupan
beragama
Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana
pendekatan kualitatif difahami sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat
diamati.6
6
Pendekatan Kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengambil bentuk
studi kasus. Studi ini dilakukan sebagai nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik
tentang fenomena individual dan dapat digeneralisasikan ke dalam proposisi teoritis.
Studi kasus merupakan bentuk penelitian yang mendalam tentang aspek-aspek
lingkungan sosial, lingkungan pendidikan, keagamaan termasuk manusia di dalamnya.
Bentuk studi kasus dapat diperoleh dari laporan hasil pengamatan, catatan pribadi,
biografi orang yang diteliti dan keterangan dari orang yang mengetahui tentang hal itu.
Dalam skripsi ini, penulis memilih studi kasus terhadap relasi aktivis Rohis dan aktivis
Rohkris dengan pemeluk agama lain di SMAN 79 Jakarta Selatan.
2. Subyek Penelitian
Pada penelitian studi kasus, peneliti tidak melakukan populasi sampel
sebagaimana survey dan eksperimen, melainkan subjek penelitian. Istilah subjek
penelitian menunjuk kepada orang atau individu ataupun kelompok yang dijadikan unit
(satuan) yang diteliti.7
Subjek penelitian dalam skripsi ini adalah anggota aktivis Rohis beserta
pengurusnya dan juga anggota aktivis Rohkris beserta pengurusnya di SMAN 79 Jakarta
Selatan. Mengenai subjek yang akan diteliti, penulis menetapkan 12 orang informan
yakni 6 orang informan aktivis Rohis yang terdiri dari 2 orang dari pengurus dan 4 orang
dari anggota Rohis dan juga 6 orang informan aktivis Rohkris yang terdiri dari 2 orang
dari pengurus dan 4 orang dari anggota Rohkris.
7
Menurut Strauss, tidak ada ketentuan buku mengenai jumlah minimal subjek
yang harus dipenuhi dalam suatu penelitian kualitatif, apabila data yang diperoleh sudah
cukup memadai, maka dapat diambil subjek dalam jumlah kecil dalam penelitian ini
penulis memilih jumlah subjek yang sama antara aktivis Rohis dan aktivis Rohkris yaitu
6 orang supaya terjadi keseimbangan dalam pengumpulan data dan juga menurut penulis
jumlah subjek yang diambil tersebut sudah mnecukupi data-data penelitian.
Selainitu juga penulis memilih informan dari para anggota dan pengurus Rohis
dan Rohkris di SMAN 79 Jakarta Selatan, karena mereka mengetahui tentang Rohis dan
Rohkris sehingga memudahkan penulis untuk menggali lebih banyak informasi yang
berkaitan dengan hal yang penulis teliti.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini diperlukan data-data yang dapat mendukung
penelitian. Adapun teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut :
a. Pengamatan (observasi)
Pengamatan atau observasi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Suprayogo dan
Tabrani, adalah satu proses mengamati dan mendengar dalam kerangka untuk
memahami, mencari jawab, mencari bukti terhadap satu fenomena8.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan bentuk pengamatan pemeranserta
sebagai pengamat yaitu pengamat dalam hal ini tidak sepenuhnya sebagai pemeranserta
tetapi melakukan fungsi pengamat. Ia sebagai anggota pura-pura, jadi tidak melebur
dalam arti sesungguhnya. Penulis hanya mengamati kegiatan Rohis dan Rohkris di
8
SMAN 79 Jakarta Selatan. Penulis melakukan observasi selama 8 bulan, terhitung dari
bulan September 2008 sampai bulan April 2009. dalam penelitian ini penulis ikut serta
kurang lebih sebanyak 5 kali pertemuan dalam kegiatan keagamaan di SMAN 79 Jakarta
Selatan.
Kegiatan keagamaan Rohis di SMAN 79 Jakarta Selatan dilaksanakan setiap
hari Selasa dan Jum'at. Kegiatan keagamaan Rohis yang dilaksanakn setiap hari selasa
dipimpin oleh Pembina Rohis yaitu Drs. H. Syihabuddin. Kegiatan ini dilaksanakan di
masjid sekolah, semua anggota rohis duduk melingkar, barisan akwat dan ikhwan
terpisah. Kemudian Pembina Rohis membacakan satu surat dari juz amma kemudian
diikuti oleh anggota rohis. Setelah membaca al-Qur'an dilanjutkan dengan belajar tajwid,
setiap anggota Rohis ditanya oleh Pembina Rohis tentang tajwid yang ada dalam
pembahasan hari ini.
Kegiatan keagamaan Rohkris dilaksanakan setiap hari Jum'at bertempat di kelas
yang dipimpin Pembina Rohkris yaitu Ibu Dra. Loine Simanjuntak. Setelah seluruh
anggota rohkris berkumpul di kelas Pembina Rohkris memulai kegiatan dengan membaca
doa kemudian memberikan materi al-Kitab dan menjelaskan setelah itu diadakan tanya
jawab.
Adapun hambatan yang dihadapi selama penelitian yaitu sulitnya melakukan
pendekatan dengan anggota Rohkris, khususnya anggota laki-laki karena biasanya
mereka kurang aktif dan malu-malu apabila diwawancarai, mereka takut tidak bisa
menjawab, jadi penulis kesulitan untuk menggali dan mendapatkan informasi dari
mereka. Penulis juga mengalami kesulitan dalam mencari referensi tentang toleransi antar
b. Wawancara
Wawancara digunakan untuk mendapatkan data atau keterangan dari informan.
Keterangan yang mendalam dapat digali dengan cara mewawancarai informan. Melihat
definisinya wawancara adalah suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan
informan9.
Dalam melakukan wawancara, penulis mengadakan wawancara mendalam atau
wawancara tak berstruktur, dimana bentuk wawancara seperti ini bersifat luwes. Selain
itu susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada
saat wawancara disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pada saat wawancara
berlangsung. Wawancara juga dapat mengungkap sosial budaya (agama, suku, gender,
usia, pekerjaan) informan yang penulis wawancarai10.
c. Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder dari
berbagai literatur-literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Baik itu berupa
buku, majalah, koran ataupun jurnal metode ini diharapkan dapat menunjang gagasan
primer yaitu hasil dari wawancara dan pengamatan di lapangan, serta mendukung
teori-teori yang relevan, yang sebelumnya telah dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan
permasalah yang hendak penulis bahas untuk kemudian penulis jadikan rujukan.
4. Instrumen Penelitian
9
Deddy Mulyana, Metodologi penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Sosial lainnya, (Bandung: PT. Remaja, 2001), Cet Ke-1, h.138
10
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini
meliputi: pedoman wawancara, tape recorder, dan buku catatan. Penggunaan pedoman
wawancara dimaksudkan supaya wawancara berjalan terarah dan tidak keluar dari
permasalahan yang telah dirumuskan. Sementara tape recorder digunakan unuk merekam
subyek, dan buku catatan untuk mencatat hal-hal yang tidak terekam atau terlewati dalam
wawancara.
5. Analisisa Data
Analisa data merupakan salah satu langkah penting untuk memperoleh
temuan-temuan hasil penelitian. Dalam penelitian, data yang terkumpul akan dianalisis secara
kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil observasi partisipasi wawancara dan dokumen
tersebut dideskripsikan dalam bentuk uraian, kemudian dianalisis secara komparatif yaitu
membandingkan data yang diperoleh dari aktifis Rohis dan Rohkris agar data yang
diperoleh dapat dimengerti, sehingga penemuan yang dihasilkan bisa dikomunikasikan
kepada orang lain. Pelaksanaan analisisnya dilakukan pada saat masih di lapangan dan
setelah data terkumpul. Peneliti menganalisa data-data sepanjang penelitian dan
dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for
Sistematika Penelitian
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisa materi dalam
penulisan skripsi ini, maka penulis akan menjelaskannya dalam sistematika penulisan
sebagai berikut:
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap bab dibagi menjadi
sub-bab, dan setiap sub-bab mempunyai pembahasan masing-masing yang mana antara satu
dan yang lainnya saling berkaitan. Lima bab tersebut diantaranya :
Bab I : Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Kajian teori tentang pengertian agama, dan keberagamaan yang terdiri
atas pengertian agama, fungsi agama, ruang lingkup agama, pengertian
keberagamaan dan dimensi keberagaman. Di samping itu, dalam bab ini
dibahas juga mengenai pengertian interaksi sosial yang terdiri atas
pengertian interaksi sosial, syarat-syarat terjadinya interaksi sosial, dan
bentuk-bentuk interaksi sosial serta pengertian toleransi, ruang lingkup
toleransi, dasar-dasar toleransi dan toleransi antara umat beragama
dalam perspektif Islam dan Kristen.
Bab III : Gambaran umum objek penelitian yang meliputi institusi SMAN 79
sebagai sarana pandidikan dan pengajaran yang terdiri dari sejarah
berdirinya, sarana dan prasarana dan struktur kelembagaan SMAN 79
Jakarta Selatan. Serta seputar organisasi rohis terdiri dari sejarah,
dan program kegiatannya, serta minat siswa terhadap kegiatan
keagamaan.
Bab IV : Berbicara tentang pengolahan dan analisa data yang meliputi intensitas
aktivis Rohis dan aktivis Rohkris dalam mengikuti kegiatan keagamaan
di SMAN 79, keberagamaan aktivis Rohis dan aktivis Rohkris dan
interaksi sosial aktivis Rohis dan aktivis Rohkri dengan pemeluk agama
lain.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Agama dan Keberagamaan 1. Pengertian Agama
Menurut Dadang Kahmad, agama dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Sangsekerta a yang berarti tidak dan gama berarti kacau. Berdasarkan akar katanya,
agama mengandung pengertian tata aturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak
kacau. Dalam hal ini, agama dikaitkan dengan peraturan yang mengatur kehidupan
manusia.11
Secara umum, agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan
lingkungannya. Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem-sistem nilai, karena
pada dasarnya aturan-aturan tersebut bersumber pada etos dan pandangan hidup. Karena
itu juga, aturan-aturan dan perturan-peraturan yang ada dalam agama lebih menekankan
pada hal-hal yang normatif atau yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan, dan bukannya
berisikan petunjuk-petunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia
menghadapi lingkungannya dan sesamanya.12
Agama dalam pengertian sosiologis adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki
oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu
11
Bernard Raho, Sosiologi : Sebuah Pengantar (Surabaya: Syilvia, 2004), cet. 1, h.118.
12
Roland Robertsoon, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 1988), cet.1, h. v.
aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama
juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat di samping unsur-unsur
yang lain, seperti kesenian, bahasa, sistem mata pencaharian, sistem peralatan, dan sistem
organisasi sosial.13
Dalam Kamus Sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu (1)
Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual; (2) Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek
spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3) Ideologi mengenai hal-hal yang
bersifat supranatural.14
J.M. Yinger, seorang ahli sosiologi berkebangsaan Amerika. Menurutnya,
agama adalah sistem kepercayaan dan peribadatan yang digunakan oleh berbagai bangsa
dalam perjuangan mereka mengatasi persoalan dalam hidup. Agama merupakan
keengganan untuk menyerah kepada kematian, menyerah dalam menghadapi frustasi, dan
untuk menumbuhkan rasa persaudaraan di antara sesama manusia. Agama di sini
berfungsi sebagai salah satu alternatif untuk menghadapi persoalan hidup, mengatasi rasa
frustasi.15
Bagi Elisabeth k. Nothingham, agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia
untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan keberadaan alam
semesta. Agama telah menimbulkan khayalan yang paling luas dan juga digunakan untuk
membenarkan kekejaman yang luar biasa terhadap orang lain. Agama dapat
13
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), cet. 2, h. 14.
14
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 129.
15
membangkitkan kebahagian batin tetapi juga pada waktu yang sama menimbulkan
perasaan takut dan ngeri. 16
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan
masyarakat luas umumnya. 17
Thomas F.O. Dea, memakai definisi yang banyak dipakai dalam teori
fungsional. Agama ialah pendayagunaan sarana. Sarana supra empiris untuk
maksud-maksud non empiris atau supra empiris. 18
Dari beberapa definisi di atas, jelas tergambar bahwa agama merupakan suatu
hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar
jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supra natural sehingga diharapkan
dapat mengatasi masalah-masalah yang non empiris.
2. Fungsi Agama
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam
mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena
itu, diharapkan agama menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera,
aman, stabil dan sebagainya. 19
Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dari
tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakatnya. Berdasarkan pengalaman dan
16
Bernard Raho, Sosiologi : Sebuah Pengantar, h.120.
17
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. II, h.129.
18
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: PT. Kanisus, 1983), h.34.
19
pengamatan dapat disimpulkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi manusia
dihadapkan pada tiga hal, yakni ketidakpastian, ketidakmampuan dan kelangkaan. Untuk
mengatasi masalah tersebut maka manusia akan lari pada agama. Berikut inilah fungsi
agama dalam kehidupan manusia, yaitu:20
1). Fungsi Edukatif
Manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas
mengajar dan tugas bimbingan. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan
petugas-petugasnya baik di dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan
(meditasi), pendalaman rohani dan lain-lain. Untuk melaksanakan tugas itu ditunjuk
sejumlah fungsionaris seperti dukun, kyai, pendeta, imam, nabi dan lain-lain. Mengenai
yang disebut nabi ini penunjukkannya dilakukan oleh Tuhan. Kebenaran ajaran mereka
harus diterima karena tak ada yang keliru, hal tersebut diyakini oleh para penganutnya
bahwa mereka dapat berhubungan langsung dengan “yang gaib” dan “yang sakral” serta
mendapat ilham khusus darinya.
2). Fungsi Penyelamatan
Setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam kehidupan sekarang
maupun sesudah mati. Usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi (yang tumbuh dari naluri
manusia sendiri) itu tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka
temukan dalam agama. Agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara
yang khas untuk mencapai kebahagian di dunia maupun di akhirat yaitu :
a. Agama membantu manusia untuk mengenal “yang sakral” dan “makhluk
tertinggi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya.
20
b. Agama sanggup mendamaikan kembali “yang salah” dengan Tuhan dengan
jalan pengampunan dan penyucian.
3). Fungsi Pengawasan Sosial (Social Control)
Agama ikut bertanggung jawab akan adanya norma-norma susila yang baik yang
berlaku di masyarakat. Karena hal itulah, agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang
ada dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan menolak kaidah yang
buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama juga memberikan
sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan bagi orang yang melanggarnya dan melakukan pengawasan
yang ketat atas pelaksanaannya.
4). Fungsi Memupuk Persaudaraan
Mengenai fungsi ini, jika kita menyoroti keadaan persaudaraan dalam satu jenis
golongan beragama saja misalnya umat Islam tersendiri, umat Kristen tersendiri maka
menjadi teranglah bahwa agama masing-masing sungguh berhasil dalam menjalankan
tugas “memupuk persaudaraan”. Karena baik agama Islam maupun Kristen
masing-masing berhasil mempersatukan sekian banyak bangsa yang berbeda ras dan
kebudayaannya dalam satu keluarga besar dimana mereka menemukan ketentraman dan
kedamaian.
5). Fungsi Transformatif
Kata transformatif berasal dari bahasa latin “Transformare” artinya mengubah
bentuk. Jadi fungsi transformatif (yang dilakukan kepada agama) berarti mengubah
nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru. Sementara itu transformasi berarti
mengubah kesetiaan manusia kepada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi dan
membentuk kepribadian manusia yang ideal.
Thomas F. O’Dea menyebutkan ada enam fungsi agama, yaitu : (1) sebagai
pendukung pelipur lara dan perekonsiliasi, (2) sarana hubungan transendental melalui
pemujaan dan upacara adat, (3) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada, (4)
pengoreksi fungsi yang sudah ada, (5) pemberi identitas diri dan (6) pendewasaan
agama.21
Horton dan Hunt membedakan fungsi agama jadi dua yakni fungsi manifes dan
fungsi laten. Menurut mereka fungsi manifes agama berkaitan dengan segi doktrin, ritual
aturan dalam agama. Namun yang perlu juga diketahui adalah fungsi laten agama. Dalam
hal ini Durkheim terkenal karena pandangannya bahwa agama mempunyai fungsi positif
bagi integrasi masyarakat, baik pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro,
menurut Durkheim fungsi agama ialah untuk menggerakkan kita dan membantu kita
untuk hidup, karena menurutnya melalui komunikasi dengan Tuhan orang yang beriman
bukan saja mengetahui kebenaran yang tidak diketahui oleh orang kafir tetapi juga
menjadi seseorang yang lebih kuat. Di segi makro agama pun menjalankan fungsi positif,
karena memenuhi keperluan masyarakat untuk secara berkala menegakkan dan
memperkuat perasaan serta ide kolektif yang menjadi ciri dan inti persatuan masyarakat
tersebut. Melalui upacara agama yang dilakukan secara berjamaah maka persatuan dan
kebersamaan umat dapat dipupuk dan dibina.22
21
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.130.
22
3. Ruang Lingkup Agama
1). Segi Pemahaman
Dilihat dari sudut pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang
membedakan dalam perwujudannya, yaitu:23
Pertama, segi kejiwaan (Psychological State), yaitu suatu kondisi subjektif atau
kondisi dalam jiwa manusia berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama.
Kondisi inilah yang biasa disebut kondisi agama, yakni kondisi patuh dan taat kepada
yang disembah. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai emosi yang dimiliki oleh setiap
pemeluk agama yang menjadikannya sebagai hamba Tuhan. Dimensi religiusitas
seseorang merupakan inti kebergamaan, sehingga di hati mereka bisa bangkit rasa
solidaritas bagi yang seagama, menumbuhkan kesadaran beragama, dan menjadikan
seseorang menjadi orang yang sholeh dan takwa. Segi psikologis ini sangat sulit diukur
dan susah diamati karena merupakan milik pribadi pemeluk agama. Pengungkapan
keberagamaan segi psikologis ini baru bisa dipahami ketika telah menjadi sesuatu yang
diucapkan atau dinyatakan dalam perilaku orang yang beragama tersebut.
Kedua, segi objektif (Objective State), yaitu segi luar yang disebut juga kejadian
objektif, yang merupakan dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama
dinyataka oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual
maupun persekutuan. Segi objektif inilah yang bisa dipelajari dengan menggunakan
metode ilmu sosial. Segi kedua ini mencakup adat istiadat, upacara keagamaan,
bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan
prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.
2). Kawasan dalam Agama
23
Menurut Hendropuspito berdasarkan pengamatan analitis atas kawasan agama
sebagai objek sosiologis terdapat tiga pembatasan dalam kawasan ini, yaitu:24
Pertama, Kawasan “Putih”, yaitu suatu kawasan di mana kebutuhan manusiawi
yang hendak dicapai masih dapat dicapai dengan kekuatan manusia itu sendiri. Manusia
tidak perlu lari pada kekuatan supra-empiris. Dengan akal budinya dan dibantu oleh
teknolgi maka manusia dapat berhasil. Tetapi hal ini pada tingkatnya akan berbeda di
masyarakat. Terutama masyarakat yang lebih terbelakang (primitif), mereka lebih cepat
lari pada kekuatan gaib untuk menerima bantuan.
Kedua, Kawasan “Hijau” meliputi daerah usaha di mana manusia merasa aman
dalam artian akhlak (moral). Dalam kawasan ini tindak langkah manusia diatur oleh
norma-norma rasional yang mendapat legitimasi dari agama. Misalnya hal ihwal yang
berkaitan dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, warisan, pertukaran barang-barang,
diatur oleh peraturan-peraturan manusia yang dibenarkan oleh agama yang dianutnya.
Dengan adanya legitimasi dari agama maka hilanglah rasa bimbang dan keraguan yang
semula membayanginya.
Ketiga, Kawasan “gelap” meliputi daerah usaha di mana manusia secara radikal
dan total mengalami kegagalan yang disebabkan ketidakmampuan mutlak manusia itu
sendiri. Apapun daya manusia sendiri di daerah ini menghadapi suatu “titik putus”
(breaking point) yang tidak mungkin disambung lagi dengan kekuatannya sendiri.
Satu-satunya jalan keluar dari kesulitan ini ialah mengadakan komunikasi dengan kekuatan
yang ada di luar yang mengatasi segala kekuatan alam. Kawasan ini disebut daerah
“gelap” karena rasio manusia tidak sanggup menangkap hakekat (subtansi) kekuatan luar
karena “Dia” itu di luar jangkauan pengalaman.
24
4. Pengertian Keberagamaan
Istilah keberagamaan disebut juga religiusitas. Kata religiusitas berasal dari kata
religious dan mendapat akhiran-ity. Dalam kamus John M. Echol dan Hassan Shadily,
kata religious berarti hal-hal yang berhubungan dengan agama.25
Muhammad Djamaluddin, mendefinisikan keberagamaan sebagai “manifestasi
seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami, menghayati, dan
mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari dalam semua aspek
kehidupan. 26
Menurut Djamaluddin Ancok, Keberagamaan adalah pembicaraan mengenai
pengalaman atau fenomena yang menyangkut hubungan antara agama dengan
penganutnya, atau suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang (penganut agama) yang
mendorong untuk bertingkah laku yang sesuai dengan agamanya.27
Keberagamaan adalah keadaan di mana individu merasakan dan mengakui
adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia dan hanya kepada-Nya
manusia merasa bergantung, berserah diri. Semakin manusia mengakui adanya Tuhan
dan kekuasaan-Nya maka akan semakin tinggi tingkat keberagamaannya. Jadi menurut
Fuat Nashori dan Rachmi D.M. keberagamaan adalah seberapa jauh pengetahuan,
seberapa kokoh keyakinan, seberapa mantap pelaksanaan ibadah, kaidah, dan seberapa
dalam penghayatan atas agama yang dianut.28
25
John M. Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1990), h. 90.
26
Muhammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi, (Yogyakarta: UGM Press, 1995), h.44.
27
Djamaluddin Ancok, Psikologi Islami : Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi
(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 76.
28
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keberagamaan adalah
sikap seseorang terhadap agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Keberagamaan atau religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia. Aktifitas keagamaan tidak saja terjadi pada saat seseorang melakukan ritual
saja, melainkan juga ketika seseorang melakukan aktifitas yang lain dalam kehidupan.
Dalam penelitiannya Robert H. Thouless mengemukakan beberapa faktor yang
menimbulkan religiusitas, yaitu :
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial).
b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keberagamaan terutama pengalaman
tentang keindahan, keserasian, kebaikan, konflik moral, dan pengalaman emosional
keagamaan.
c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan yang tidak
terpenuhi terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri dan
ancaman kematian.
d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). 29
5. Dimensi Keberagamaan
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku
ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan
supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat
mata, tapi juga aktivitas yang tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu,
29
keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi. Dengan
demikian, agama adalah sebuah sistem yang berdimensi banyak.
Menurut C.Y. Glock dan R. Stark (Robertson, 1998) ada lima macam dimensi
keberagamaan yaitu :
(1) Dimensi keyakinan (idiologis)
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang religius berpegang
teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana para penganut
diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu berpariasi
tidak hanya di antara agama-agama, tetapi seringkali juga di antara tradisi-tradisi dalam
agama yang sama. Di dalam Islam dimensi ini menunjuk pada seberapa tingkat
keyakinan Muslim terhadap kebenaran-kebenaran agamanya, isi dimensi keimanan
menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, nabi atau rasul, kitab-kitab Allah,
surga dan neraka, serta qadha dan qadar.
(2) Dimensi Praktik Agama (ritualistik)
Dimensi ini mencakup prilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan
orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik
keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting yaitu : a. Ritual, mengacu kepada
seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua
mengharapkan para pemeluk melaksanakan. Dalam kristen sebagian dari pengharapan
ritual itu diwujudkan dalam kebaktian di gereja, persekutuan suci, baptis, dan perkawinan
dan semacamnya. b. Ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada
semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat tindakan persembahan dan
kontemplasi personal yang relatif sepontan, informal, dan khas pribadi. Ketaatan di
lingkungan penganut Kristen diungkapkan melalui sembahyang pribadi, membaca injil
dan barangkali menyanyi himne bersam-sama.
Dalam Islam ditunjukkan pada seberapa tingkat kepatuhan muslim dalam
mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan diajurkan oleh agamanya.
Dalam keberislaman dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat,
haji, membaca Al Qur’an, do’a, zikir, ibadah qurban, I’tikaf di masjid di bulan Puasa, dan
sebagainya.
(3) Dimensi Pengalaman (eksperiental)
Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama
mengandung pengharapan-pengaharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa
seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan
subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (bahwa ia akan mencapai suatu
kontak dengan kekuatan supernatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami
seseoang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan. Dalam Islam dimensi ini
terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan do’a-do’anya sering
terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakal
pasrah diri kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdo’a,
perasaan tergetar ketika mendengar azan atau ayat-ayat Al Qur’an, perasaan syukur
(4) Dimensi Pengetahuan Agama (Intelektual)
Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling
tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,
ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan
satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi
penerimaannya walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat
pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu bersandar pada keyakinan.
Seseorang dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau
kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. Dalam Islam dimensi ini
menyangkut pengetahuan tentang isi Al Qur’an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani
dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun iman) hukum-hukum Islam, sejarah Islam dan
sebagainya.
(5) Dimensi Pengamalan (konsekuensi)
Konsekuensi komitmen agama berlainan dari ke empat dimensi di atas. Dimensi
ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman,
dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah “kerja” dalam pengertian teologis
digunakan di sini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya
seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas
sebatas mana konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan, atau
semata-mata berasal dari agama. Dalam Islam dimensi ini menunjuk pada seberapa
perilaku suka menolong, bekerja sama, berderma, berlaku jujur, menjaga amanat, tidak
korupsi, tidak mencuri, dan lain sebagainya.
B. Pengertian Interaksi Sosial 1. Pengertian Interaksi Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia bergantung dan
membutuhkan individu lain atau makhluk lainnya. Dalam hidup bermasyarakat, manusia
dituntut untuk berinteraksi dengan sesama secara baik agar tercipta masyarakat yang
tentram dan damai.
Secara etimologis, interaksi terdiri dari dua kata, yakni action (aksi) dan inter
(antara). Jadi, interaksi adalah tindakan yang dilakukan di antara dua atau lebih orang,
atau tindakan yang berbalas-balasan. 30
Menurut H. Bonner, interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih
individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Definisi ini menggambarkan
kelangsungan timbal-baliknya interaksi sosial antara dua atau lebih manusia itu. 31
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.32
30
Bernard Raho, Sosiologi - Sebuah Pengantar, h.33.
31
W.A.Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1996), Cet.13, h.57.
32
Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa
interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan
secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok
sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk
mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya.
33
2. Syarat-syarat terjadinya Interaksi Sosial
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua
syarat yaitu, adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. 34
a. Kontak Sosial
Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama),
dan tango (yang artinya menyentuh), jadi artinya secara harfiah adalah bersama-sama
menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, tetapi
ada juga orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya
misalnya dengan cara berbicara, orang-orang dapat berhubungan satu dengan lainya
melalui telephon, telegrap, radio, surat dan seterusnya. 35
Suatu kontak dapat pula bersifat primer atau skunder. Kontak primer terjadi
apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, seperti
misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan, saling senyum dan seterusnya.
Sebaliknya kontak yang skunder memerlukan melalui alat-alat misalnya telephon,
telegrap, radio dan seterusnya. Dalam hal si A menelephon si B maka terjadi kontak
33
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 60-61.
34
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 64.
35
sekunder langsung, akan tetapi apabila si A meminta tolong kepada si B supaya
diperkenalkan dengan gadis C, maka kontak tersebut bersifat skunder tidak langsung. 36
b. Komunikasi
Komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada prilaku orang
lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan
apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian
memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.
Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu
kelompok manusia atau orang perorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain
atau orang-orang lainnya. 37
Menurut Hartly dalam bukunya Sarito Wirawan, ada beberapa jenis komunikasi,
yaitu komunikasi antar individu dengan individu, antar individu dengan massa, misalnya
dalam pidato dan kuliah. Dan komunikasi antar kelompok atau antar massa, misalnya
antara para penyuluh pertanian dan para petani. 38
Dalam komunikasi kemungkinan sekali terjadi pelbagai macam penafsiran
terhadap tingkah laku orang lain. Seulas senyum, misalnya, dapat ditafsirkan sebagai
keramah-tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap ingin
menunjukkan kemenangan.
36
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 66.
37
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 67.
38
3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan
(competition) dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). 39
a. Kerjasama (cooperation)
Beberapa orang sosiolog menganggap bahwa kerjasama merupakan bentuk
interaksi sosial yang pokok. Kerjasama timbul karena orientasi orang perorangan
terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainnya (yang merupakan
out-group-nya). Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang
mengancam atau ada tindakan-tindakan lain yang menyinggung kesetian yang secara
tradisional atau institusional telah tertanam di dalam kelompok, dalam diri seorang atau
segolongan orang.
Betapa pentingnya fungsi kerjasama, digambarkan oleh Charles H.Cooley
sebagai berikut :40
“Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut, kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna“.
Dalam hubungannya dengan kebudayaan suatu masyarakat, maka kebudayaan
itulah yang mengarahkan dan mendorong terjadinya kerjasama. Di kalangan masyarakat
Indonesia dikenal bentuk kerjasama tradisonal dengan nama gotong-royong. Di dalam
sistem pendidikan Indonesia yang tradisional, seseorang sejak kecil telah ditanamkan
etika kehidupan agar dia selalu hidup rukun, terutama dengan keluarganya dan lebih luar
lagi dengan orang-orang lainnya di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya
39
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h.70.
40
suatu pandangan hidup, bahwa seseorang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kerjasama
dengan orang lain. Pandangan hidup demikian ditingkatkan dalam taraf kemasyarakatan,
sehingga gotong-royong seringkali diterapkan untuk menyelenggarakan suatu
kepentingan umum.
Sehubungan dengan pelaksanaan kerjasama, dalam bukunya Soerjono Soekanto
ada lima bentuk kerjasama, yaitu :
a. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong
b. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan
jasa-jasa antara dua orgnisasi atau lebih.
c. Ko-optasi (co-optation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu
cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang
bersangkutan.
d. Koalisi (coalition), yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang
mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang
tidak stabil untuk sementara waktu, karena dua organisasi atau lebih tersebut
kemungkinan mempunyai struktur yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan
tetapi karena maksud utama adalah untuk mencapai satu atau beberapa tujuan
bersama, maka sifatnya adalah kooperatif.
e. Joint-ventrue, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya
: pemboran minyak, pertambangan batu bara, perfilman, perhotelan dan seterusnya.
Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana
individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui
bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum
(baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik
atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman
atau kekerasan. 41
Persaingan adalah suatu perjuangan (struggle) dari pihak-pihak untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. Suatu ciri dari persaingan adalah perjuangan menyingkirkan pihak
lawan itu dilakukan secara damai atau secara fair-play, artinya selalu menjunjung tinggi
batas keharusan. Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya :
bidang ekonomi dan perdagangan, kedudukan, kekuasaan, dan sebaginya. 42
Akibat-akibat persaingan mungkin saja bersifat asosiatif atau mungkin pula
bersifat disosiatif. Apabila seorang dokter, ahli hukum, guru dan seterusnya membina
karirnya dalam masyarakat, maka tujuannya adalah untuk pribadi sendiri dan relasinya,
adalah juga untuk mengadakan kerjasama agar persaingan antara mereka sendiri sedapat
mungkin dicegah. Akibat-akibat yang disosiatif dapat menjadi pertentangan atau
pertikaian. Hasil-hasil suatu persaingan dapat berhubungan erat dengan berbagai faktor
antara lain :
1. Keperibadian seseorang. Apabila persaingan dilakukan secara jujur, maka hal itu
akan dapat memperkembangkan rasa sosial dalam diri seseorang. Seseorang hampir
tak mungkin bersaing dengan orang lain tanpa mengenal lawannya dengan baik.
41
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, h.91
42
Persaingan menyangkut terjadinya kontak dengan kata lain komunikasi, oleh karena
seseorang tentu ingin mengetahui sifat-sifat, cara-cara kerja dan perilaku dari
lawannya. Oleh karena itu persaingan dapat memperluas pandangan seseorang, dapat
memperluas pengertian serta pengetahuannya.
2. Kemajuan; dalam masyarakat yang sedang berkembang dan maju, orang perorangan
perlu menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Persaingan akan mendorong
seorang untuk bekerja keras supaya dapat memberikan sahamnya bagi pembangunan
masyarakat.
3. Solidaritas kelompok. Selama persaingan dilakukan secara jujur, solidaritas
kelompok tak akan goyah. Lain halnya apabila persaingan tersebut mempunyai
kecenderungan untuk berubah menjadi pertentangan atau pertikaian.
4. Disorganisasi. Perubahan-perubahan yang terlalu cepat dalam masyarakat, mungkin
akan mengakibatkan disorganisasi dalam struktur sosial. Perubahan-perubahan yang
terlalu cepat tadi merupakan faktor utama disorganisasi karena masyarakat hampir
tidak dapat kesempatan untuk menyesuaikan diri dan mengadakan reorganisasi. 43
Walaupun persaingan mempunyai kecenderungan kepada pertikaian, namun dapat
pula mendorong untuk suatu kerjasama. Misalnya antara beberapa perusahaan tertentu,
mungkin beberapa perusahaan itu akan melakukan kerjasama untuk menyingkirkan satu
perusahaan yang lainnya.
c. Pertentangan (pertikaian atau konflik)
43
Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial dimana individu atau
kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan
yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.44
Sebab musabab atau akar-akar dari pertentangan antara lain :
1. Perbedaan antara indvidu-individu. Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan
melahirkan bentrokan antara mereka.
2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung
pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta
perkembangan kepribadian tersebut.
3. Perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan antara individu maupun kelompok
merupakan sumber lain dari pertenangan.
4. Perubahan sosial. Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara
waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
Walaupun pertentangan merupakan suatu proses disosistif yang agak tajam akan
tetapi pertentangan sebagai salah satu bentuk proses sosial juga mempunyai fungsi positif
bagi masyarakat, misalnya pertentangan dalam seminar atau diskusi-diskusi ilmiah,
dimana dua atau beberapa pendapat yang berbeda diketengahkan dan dipertahankan oleh
berbagai pihak.
Pertentangan-pertentangan yang menyangkut suatu tujuan, atau kepentingan,
sepanjang tidak berlawanan dengan pola-pola hubungan sosial di dalam strukutur sosial
yang tertentu, maka pertentangan-pertentangan tersebut bersifat positif.
Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus antara lain :
44
1. Pertentangan pribadi. Tidak jarang terjadi bahwa dua orang sejak mulai berkenalan
sudah saling tidak menyukai.
2. Pertentangan rasial. Adanya perbedaan-perbedaan yang seringkali menimbulkan
pertentangan. Misalnya pertentangan antara orang-orang negro dengan orang-orang
kulit putih di Amerika.
3. Pertentangan antara kelas-kelas sosial. Pada umumnya ia disebabkan oleh perbedaan
kepentingan, misalnya perbedaan kepentingan antara majikkan dengan buruh.
4. Pertentangan politik. Biasanya pertentangan ini menyangkut baik antara
golongan-golongan dalam satu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat.
5. Pertentangan yang bersifat internasional.
Akibat-akibat bentuk pertentangan adalah :
1. Tambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok bertentangan dengan
kelompok lain, maka solidaritas antara warga-warga kelompok biasanya akan
bertambah erat.
2. Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam suatu kelompok
tertentu akibatnya yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut.
3. Perubahan kepribadian.
4. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
5. Akomodasi, dominasi dan takluknya satu pihak tertentu.
Istilah toleransi berasal dari bahasa inggris, yaitu : “Tolerance” berarti sikap
membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan
persetujuan. Bahasa Arab menterjemahkan dengan “tasamuh”, berarti saling
mengijinkan, saling memudahkan.45
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran”
yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada.
Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan
dengan pendirianya.46
Jadi toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak
mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut
agama-agama lain.
2. Ruang Lingkup Toleransi
Tanda-tanda bahwa ada sikap dan suasana toleansi di antara sesama manusia
atau antar pemeluk agama, ruang lingkup toleransi adalah :47
1. Mengakui hak orang lain, maksudnya ialah suatu sikap mental yang mengakui hak
setiap orang di dalam menentukan sikap atau tingkah laku dan nasibnya
45
Said Agil Husin Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), cet. 3, h. 13.
46
Abdu Fattah, Toleransi Beragama dalam Perspektif Al Qur’an, Artikel diakses tanggal 25 Oktober 2008, dari http: // Fahdamjad.files.wordpress.com
47
masing, tentu saja sikap atau perilaku yang di jalankan itu tidak melanggar hak orang
lain.
2. Menghormati keyakinan orang lain, keyakinan seseorang ini biasanya berdasarkan
kepercayaan, yang telah tertanam dalam hati dan dikuatkan dengan landasan baik
yang berupa wahyu maupun pemikiran yang rasional karena keyakinan seseorang ini
tidak akan mudah untuk dirubah atau dipengaruhi. Bahkan kalau diganggu, sampai
matipun mereka akan tetap mempertahannkan.
3. “Agree in Disagreement “ (setuju dalam perbedaan) adalah prinsip yang selalu
didengungkan oleh mantan Menteri Agama Prof. Dr. H. Mukti Ali dengan maksud
bahwa perbedaan tidak harus ada permusuhan karena perbedaan selalu ada
dimanapun, maka dengan perbedaan itu kita harus menyadari adanya
keanekaragamaan kehidupan ini.
4. Saling mengerti, ini merupakan salah satu unsur toleransi yang paling penting, sebab
dengan tidak adanya saling pengertian ini tentu tidak akan terwujud toleransi.
5. Kesadaran dan kejujuran, menyangkut sikap, jiwa dan kesadaran batin seseorang
yang se